Pencarian

Serikat Serigala Merah 3

Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah Bagian 3


he he...! Memang manusia jahat itu harus diban-
tai! Ciat, ciat...!" seru Dogol, lalu berlagak dengan jurus-jurus asal-
asalannya. Pendekar Gila tertawa-tawa dan mengga-
ruk-garuk kepala sambil menghampiri Pasopati
dan Dogol. "Rupanya masih banyak lagi rintangan yang
harus kita hadapi," kata Sena setelah dekat mereka.
Selesai berkata begitu, Sena kemudian se-
cara tiba-tiba menghentakkan kedua tangannya ke
satu arah. "Heaaa...!"
Wut! Wut! Serangkum angin bagai topan menderu
kencang. Itulah ajian 'Inti Bayu'. Yang mampu me-nerbangkan batu sebesar gajah.
Dan seketika dari balik semak berterbangan tiga orang terangkat
oleh angin yang dilancarkan Pendekar Gila tadi.
"Wuaaa...!"
Pasopati dan Dogol membelalakkan mata,
merasa kagum bercampur kaget. Sebab Sena yang
tadi nampak cengengesan, tiba-tiba membuat ke-
jutan. Tubuh ketiga orang berpakaian serba merah darah melayang-layang di udara.
Dan begitu akan
jatuh ke tanah. Kembali Pendekar Gila menghan-
tarkan pukulan dahsyat ke arah mereka.
"Heaaa...!"
Glar! "Aaawww...!"
Seketika ketiga orang berpakaian serba me-
rah menjerit. Lalu tampak mulut mereka memun-
tahkan darah kental.
Ternyata mereka Tiga Kembar Bermuka Se-
rigala yang pernah bentrok dengan Pendekar Gila.
Ketika Pendekar Gila ingin menyelamatkan Sekar
Melati. "Hah"!" Dogol kaget. "Mereka antek-antek kelompok Serikat Serigala
Merah...!" serunya, ketika mengenali wajah-wajah mereka. Pasopati men-
gerutkan kening. Pendekar Gila hanya menggaruk-
garuk kepala. Pasopati mendekati ketiga mayat itu.
Diamatinya mereka sejenak.
"Hei.... Mereka juga pernah bertemuku, se-
belum aku bertemu dengan Sugrikala...," kata Pasopati setelah mengamati mayat
Tiga Kembar Bermuka Serigala.
"Aneh, kenapa begitu mudah ketiganya ma-
ti. Padahal, yang kuketahui dan melihat dengan
mata kepala sendiri, Tiga Kembar Bermuka Seriga-
la sangat tangguh. Jago-jago dari hampir semua
penjuru yang datang ke Desa Progo tewas di tan-
gan mereka...," tutur Dogol sambil terheran-heran.
Lalu memandang ke arah Sena.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa-tawa. "Dogol, uca-panmu memang benar. Dan kalau
memang benar, tentunya aku pun tak semudah itu dapat melum-
puhkan mereka. Sekarang kau dekati dan buka
kedok mereka!" kata Sena kemudian.
"Hah"!" Dogol kembali kaget. Kali ini bukan karena takut, melainkan merasa aneh.
Dan tak menduga kalau ketiga orang yang terkapar di ha-
dapannya itu palsu! Maka segera Dogol mendekati
dan dengan agak ragu dan takut, Dogol lalu mem-
buka kedok ketiga orang itu.
Benar. Ternyata mereka hanyalah peram-
pok-perampok kroco yang memanfaatkan situasi.
"Apakah kesepuluh penyerang tadi juga pal-
su, Kang Sena...?" tanya Pasopati ingin tahu.
"Tidak, mereka asli. Coba kau periksa. Ka-
lau kau merasa ragu!" jawab Sena. Lalu kembali cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. Pasopati yang ingin memastikan semuanya.
Segera melangkah memeriksa kesepuluh lawannya
tadi. Dan ternyata mereka asli: Manusia serigala!
Pasopati nampak mengerti dan puas.... Be-
gitu juga Dogol.
*** Sementara itu Sugrikala dan kelompoknya
sedang berunding untuk menangkap dan mele-
nyapkan Pasopati. Nampak para tokoh aliran sesat berkumpul di rumah tua dalam
hutan. Mereka duduk bersila membuat lingkaran mengitari Su-
grikala sebagai ketua.
"Aku inginkan pemuda itu...! Hidup atau
mati. Kalian harus dapat menemukannya, sebelum
hari pertemuan pemilihan ketua di Candi Borobu-
dur. Kalau tidak, celaka! Pemuda itu bisa meng-
hancurkan rencana kita...!" kata Sugrikala penuh nafsu amarah. Tangannya
menggebrak melayang
ada di depannya. Seketika meja itu pecah. Yang
lain hanya diam tak bersuara.
"Kalian harus sadar. Wajahku kini tak bisa
lagi berubah seperti sediakala. Karena tombak sak-ti itu sempat melukaiku! Jadi
kalian harus dapat merebut tombak pemuda itu. Agar wajahku dapat
berubah kembali seperti semula. Hhh.... Aku ha-
rus berhasil membunuh pemuda itu dengan tom-
baknya sendiri, lalu menghisap darahnya. Itulah satu-satunya cara...!" tutur
Sugrikala lagi dengan suara lantang.
Sesaat suasana hening dan tegang. Hanya
suara angin malam yang mendesir kencang meng-
hembuskan hawa dingin. Hingga menambah se-
ramnya tempat itu.
"Sebaiknya, kau meminta bantuan Guru
Besar kita. Agar semuanya berjalan-lancar. Karena dia serba tahu," terdengar
suara dari salah seorang anggota Serikat Serigala Merah, mengusulkan pa-da
Sugrikala. "Tidak! Aku tidak ingin lagi meminta ban-
tuan si Tua Bangka itu! Biar semuanya aku hadapi sendiri. Aku hanya minta
bantuan pada kalian.
Apakah kalian keberatan... "!" terdengar suara Sugrikala keras.
"Tidak... tidak!" jawab semua yang ada di si-tu.
Sugrikala nampak melotot garang, menatapi
semua anggotanya. Lalu menghela napas dalam-
dalam. "Bagaimana kalau kita biarkan saja pemuda itu sampai pertemuan pemilihan
ketua nanti...?"
usul salah seorang yang berpakaian kulit buaya.
Berjanggut panjang, matanya seperti mata buaya.
"Kau bicara tidak pakai otak, Setabaya! Itu sama saja mencelakakanku...! Bodoh!"
bentak Su-grikah, "Apakah kau tidak dengar kataku tadi"
Wajahku saat ini aneh! Bagaimana nanti mereka
bisa mendukungku! Kalau tahu akulah pimpinan
Serikat Serigala Merah, yang selalu membuat onar dan memeras rakyat. Serta
pemilik rumah-rumah
maksiat!" kata Sugrikala dengan marah.
Kembali suasana hening. Tak ada lagi yang
berbicara. Sepertinya mereka sedang mencari jalan dan siasat.
Sementara di luar langit semakin gelap. Dan
malam semakin larut. Bulan pun mulai tertutup
awan. Hingga sinarnya tak lagi dapat menerangi
bumi. Malam semakin mencekam. Sunyi dan se-
pi.... *** Malam telah berganti dengan pagi. Cuaca
nampak tak begitu cerah. Sang Surya tertutupi
awan hitam. Mendung. Angin bertiup sangat ken-
cang. Tiga orang lelaki, salah seorang berbadan
gendut. Menelusuri jalanan berbatu, di dekat se-
buah hutan. Tak ada sepatah kata pun dari mere-
ka. Hanya terlihat lelaki bertubuh gendut seperti mendapat kesulitan, ketika
harus melompati tebing. Terpaksa kedua pemuda gagah yang bersa-
manya, membantu dengan mengangkat tubuh be-
sar dan gendut itu.
"Wah, kalau begini terus, kita akan mema-
kan waktu...," kata pemuda berpakaian kulit ular.
"Lantas bagaimana, Kang Sena?" tanya Pasopati pada Sena.
Sena melirik ke arah Dogol yang ngos-
ngosan kecapean. Dia terduduk di tanah berbatu.
"Sebaiknya kita sama-sama menggotongnya.
Ayo...!" usul Sena kemudian.
Segera Sena berada di sebelah kanan Dogol,
Pasopati di sebelah kiri. Kedua tangan Dogol me-
rangkul Sena dan Pasopati. Lalu dengan menggu-
nakan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh,
Sena dan Pasopati berlari cepat sambil memanggul tubuh Dogol. Sepertinya kedua
pemuda itu tak mendapatkan kesulitan. Atau merasa berat. Kedu-
anya seperti membawa anak kecil saja. Dengan il-
mu lari 'Sapta Bayu' Sena bersama Pasopati me-
lompat dan berlari menelusuri jalanan yang ber-
macam-macam keadaannya.
Tak lama mereka sudah berada di puncak
sebuah bukit. Di tempat itu mereka bisa meman-
dang jelas dataran yang maha luas. Di kejauhan
Candi Borobudur nampak berdiri dikitari lembah
hijau yang permai.
Sena dan Pasopati menurunkan Dogol. Le-
laki muda berbadan gendut itu menghela napas
panjang. Lalu mengusap-usap perutnya yang bun-
cit. Mulutnya melongo, memandang ke bawah.
"Hi hi hi... ngeri...!" gumam Dogol, ketika melihat ke bawah. Sambil bergidik.
Sena dan Pasopati hanya tersenyum melihat
Dogol. "Kau seharusnya aku lempar ke bawah sa-na," ujar Sena menggoda Dogol,
seraya mau mendorong tubuh Dogol.
"Waduuuh...! Ampun, Den! Jangan..., saya
masih mau hidup! Belum kawin kok mau disuruh
mati. He he he...," jawab Dogol berseloroh.
Pasopati tertawa-tawa kecil mendengar uca-
pan Dogol yang polos dan lucu itu.
Mereka memang sedikit terhibur dengan
adanya si Gendut itu. Terutama Pasopati. Dia me-
rasa sangat gembira dapat berkenalan dengan Do-
gol dan Sena. "Nampaknya keadaan di bawah aman dan
tenteram. Heh.... Tapi aku lebih senang di sini sebentar. Sambil
beristirahat...," kata Sena tiba-tiba sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku pun sependapat, Kang Sena. Kita coba
mengatur siasat. Bagaimana caranya, agar kita tidak selalu dibuntuti orang-orang
mereka," tutur Pasopati.
"Ya. Kau benar," sahut Sena sambil memegang pundak Pasopati. Lalu kembali
menggaruk- garuk kepala. Sementara itu Dogol, sudah mencari tempat
untuk istirahat. Di tempat yang teduh, dia me-
nyandarkan kepala dan tubuhnya pada batu besar
yang ada di bawah pohon rindang. Tak jauh dari
Sena dan Pasopati.
Tak berapa lama kemudian Dogol sudah
mendengkur, tertidur karena lelah. Seperti bi-
asanya orang berbadan gendut seperti Dogol paling mudah tidur, di mana saja.
Sena dan Pasopati masih berunding. Kedu-
anya membicarakan rencana mereka dengan se-
rius. Namun Sena tetap sesekali cengengesan,
menggaruk-garuk kepala, dan bertingkah persis
orang sinting. Tapi Pasopati nampak senang dan
mengerti. "Jalan satu-satunya untuk menghindari
mereka, hanya itulah cara kita. Apakah kau setu-
ju?" tanya Sena.
"Setuju sekali.... Tapi bagaimana dengan si Dogol sahabat kita itu?" tanya
Pasopati sambil menoleh ke arah Dogol yang sudah lelap tidur dan ngorok.
"Ah, gampang. Dia bisa dipercaya dan jujur.
Nanti kita atur...," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Pasopati nampak lega, lalu keduanya berja-
bat tangan erat, menandakan bahwa mereka saling
percaya dan bersatu.
8 Sena Manggala atau Pendekar Gila telah
mengatur siasat dengan Pasopati. Sena berpencar
dengan Pasopati dan Dogol. Pasopati ditemani Do-
gol, yang secara diam-diam telah diberi aliran ilmu silat Pendekar Gila, dengan
jurus-jurus tertentu.
Untuk mendampingi Pasopati. Sedangkan Pende-
kar Gila bergerak sendiri, dengan mengambil jalan pintas. Menggunakan perahu
untuk memancing
orang-orang Sugrikala.
Pendekar Gila merasakan, kalau kelompok
Serikat Serigala Merah telah mengerahkan antek-
anteknya, untuk menangkap Pasopati dan dirinya.
Maka Pendekar Gila sengaja tak menggunakan pe-
nyamaran. Hanya Pasopati dan Dogol yang meng-
gunakan penyamaran.
Perahu yang membawa Sena menuju arah
Parangtritis nampak melaju dengan lancar. Tak
ada gangguan. Walaupun ombak mulai besar. Se-
na berdiri tegak di atas perahu yang berukuran
cukup besar itu. Dikemudikan oleh seorang lelaki berbadan besar, telanjang dada.
Angin bertiup kencang menerpa wajah Sena
yang tampan. Rambutnya yang agak ikal gondrong
sebatas bahu tertiup angin laut yang kencang,
hingga sebagian menutupi wajahnya. Segera Sena
mengibaskan rambut itu. Dengan tingkahnya yang
khas, Sena cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. Matanya menatap tajam ke depan dan se-
luas samudera yang diarunginya.
Manakala perahu yang ditumpanginya telah
dekat dengan pantai Parangtritis, tiba-tiba terlihat sebuah perahu yang lebih
besar dari yang ditumpangi Sena, menghadang perahunya.
"Aha, rupanya ada perampok usil! Tapi aku
tahu mereka bukan perampok biasa.... Hi hi hi...!"
gumam Sena dalam hati. Dan terus menggaruk-
garuk kepalanya.


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalam perahu besar itu, ada sekitar dua
puluh orang bermuka garang dan bersenjatakan
parang serta tombak. Ada pula yang membawa
panah. Ketika perahu itu semakin dekat, tiba-tiba berpuluh-puluh anak panah
meluncur ke arah
Pendekar Gila. Pendekar Gila cepat mengelak ke samping
kiri dan kanan, atau merebahkan tubuhnya ke be-
lakang bahkan melenting ke atas sambil menang-
kis dengan kedua tangannya. Perahu itu semakin
dekat. Pendekar Gila melenting ke udara dan men-
darat di perahu perampok. Dan dengan cepat dia
menghajar mereka dengan tendangan kaki kanan
dan kirinya yang keras dan dahsyat. Mangaki-
batkan sebagian perampok memekik dan berjatu-
han ke laut Sementara itu perahu yang ditumpangi Se-
na tadi tertubruk perahu besar itu, hingga terbalik.
Pengemudinya tenggelam, berusaha menyela-
matkan diri. Pendekar Gila segera melompat ke
laut menolong pemilik perahu itu.
Dengan gerakan cepat dia membawa pemi-
lik perahu ke darat. Tentu saja menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat
tinggi dan me-nakjubkan. Sepertinya tak menghiraukan ombak
yang besar. Tubuhnya melesat bagai terbang di
atas air laut, menuju daratan sambil membopong
pemilik perahu.
Sekejap Sena sudah berada di darat. Sete-
lah merebahkan tubuh pemilik perahu. Pendekar
Gila kembali ke laut, untuk menghajar para pe-
rampok "Heaaa...!"
Sambil berteriak, Pendekar Gila melompat
ke arah lautan hendak mendarat ke perahu pe-
rampok itu. Namun sewaktu tubuhnya masih di
udara, sebuah tombak meluncur deras. Dan terli-
hat menancap di dada Pendekar Gila. Tubuh Pen-
dekar Gila jatuh ke laut.
"Aaakh...!"
Jbur! Pimpinan perampok laut itu memeriksa se-
jenak, lalu tertawa-tawa kegirangan. Dirinya yakin Pendekar Gila mampus ditelan
lautan, setelah ter-tancap tombak.
"Ha ha ha...! Ternyata kita mampu membu-
nuh Pendekar Gila itu! Ha ha ha.... Kalian lihat sendiri bukan"! Ha ha ha...
kini aku jadi pahla-wan! Dan kita akan mendapat hadiah yang be-
saaarrr...!" pimpinan perampok yang berbadan besar, dengan dada ditumbuhi bulu
lebat itu terta-
wa-tawa. "Ketua memang hebat! Ternyata Pendekar
Gila itu hanya besar nama saja. Ha ha ha...!" sahut salah seorang anak buahnya.
Semuanya kemudian tertawa-tawa kegiran-
gan serta bersorak-sorai. Lalu pimpinan rampok
itu meminta arak pada anak buahnya. Seorang
anak buahnya memberinya. Langsung dengan ke-
sombongannya dia meneguk arak yang ada dalam
guci berukuran besar itu sampai habis. Lalu ter-
tawa-tawa lagi. Diikuti yang lain.
Namun dalam suasana gembira itu, tiba-
tiba perahu mereka terbalik. Seketika semua men-
jerit minta tolong. Ternyata Pendekar Gila yang
membalikkan perahu besar itu. Rupanya tombak
yang meluncur ke dada tadi dapat ditangkap den-
gan sempurna. Dan Pendekar Gila sengaja berbuat
begitu, agar dapat mengelabui mereka.
Pimpinan perampok berusaha menyela-
matkan diri. Dalam keadaan setengah mabok, tu-
buhnya terlempar ombak. Pendekar Gila segera
menjemputnya, dan menyeret ke darat.
Sementara yang lainnya sudah terbawa om-
bak entah ke mana. Kebanyakan mati tenggelam.
Sekejap Pendekar Gila sudah berada di da-
rat, di pinggir pantai Parangtritis, yang berpasir itu. Dilemparkannya tubuh
pimpinan rampok itu
ke pasir yang panas karena sinar matahari.
"Siapa yang menyuruhmu untuk menyerang
dan akan membunuhku"!" bentak Pendekar Gila pada pimpinan rampok yang masih
sesak napasnya, karena hampir tenggelam ditelan ombak.
"Aku..., akuuu hanya menjalankan perin-
tah...," jawab pimpinan rampok yang sudah lemah
itu dengan suara serak dan tersendat-sendat.
"Siapa yang memerintahmu" Jawab...!" bentak Sena lagi, sambil mengangkat kepala
orang itu. "Aku... aku tidak mengenalnya... seseorang
yang membayarku. Ukh...! Huk, huk...!" jawab kepala rampok lagi lalu batuk-
batuk. Sena memeriksa celana orang itu, dan tan-
pa sengaja dia menemukan suatu tanda di dalam
ikat pinggang kepala rampok itu. Suatu lambang
dari Serikat Serigala Merah. Sena menarik napas
panjang dan kemudian menggaruk-garuk kepala.
"Sudah kuduga. Mereka orang-orang Sugri-
kala. Aku harus cepat menemui Pasopati, agar dia lebih hati-hati...," gumam Sena
dalam hati. Baru saja Sena hendak meninggalkan tem-
pat itu, tiba-tiba...
Zing! Zing! Zing!
Tiga golok kecil yang memancarkan sinar,
melesat ke arah Pendekar Gila. Bagai anak panah, menyerang kepala, dada, dan
kaki Pendekar Gila!
Datangnya begitu tiba-tiba dan cepat. Hanya seo-
rang berilmu tinggi yang dapat menyelamatkan diri dari serangan seperti ini.
Pendekar Gila dengan
cepat berkelit ke kiri sambil berjumpalitan.
Datang lagi golok-golok yang lain, namun
dengan gesitnya Pendekar Gila dapat mengelakkan
semuanya. Kemudian meluncur pula golok yang
arahnya tak lurus. Golok itu melesat dengan
membuat lingkaran panjang! Itulah 'Golok Ter-
bang'. Namun Pendekar Gila yang memiliki kepan-
daian ilmu silat tingkat tinggi, dapat mengelak-
kannya. Dan bahkan dengan ujung jarinya me-
nyentil golok yang menyambar. Akibatnya golok-
golok itu kembali ke pemiliknya.
Zing! Zing! Zing!
Wut! Wut! "Hah"!" pemilik golok-golok terbang itu tersentak kaget. Dengan membelalak
melompat menghindar. Jlep! Jlep! Jlep!
Golok-golok itu menancap di pohon dan be-
batuan. Begitu hebatnya kekuatan golok itu, batu besar pun dapat tembus.
Bagaimana kalau tubuh
manusia. Orang yang memiliki golok itu menghenti-
kan serangannya. Pendekar Gila dengan tenang
menghadapi orang-orang yang mencelakakan di-
rinya. Mulutnya cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala serta bertingkah seperti orang gila.
Berjingkrak-jingkrak sambil menepuk-nepuk pan-
tatnya. "Hi hi hi... Lucu! Pengecut...! Kau tentu antek-antek Serikat Serigala
Merah. Mau apa kau..."!" bentak Sena pada orang-orang yang masih menatap tajam tak berkedip
kepadanya. Ma- tanya bagai elang. Dengan pakaian berlengan pan-
jang warna biru tua bagian luar. Sedangkan pa-
kaian bagian dalam, warna hitam dan berikat
pinggang merah. Terselip beberapa golok kecil di pinggangnya. Wajahnya tak
garang, cukup tampan. Hanya hidungnya yang mirip paruh betet itu
membuatnya kelihatan sedikit bengis.
"Ha ha ha...! Rupanya aku kini berhadapan
dengan pendekar yang kesohor di rimba persilatan.
Sudah lama aku menginginkan dapat bertemu,
dan bertarung denganmu Pendekar Gila!" ucap orang berbaju biru dengan pengikat
rambutnya yang panjang melewati bahu.
"Hi hi hi...! Bagus kalau kau sudah menge-
nalku! Apa kau masih penasaran denganku..."!"
ujar Sena dengan santai sambil menggaruk-garuk
kepala. "Aku memang penasaran denganmu. Sela-ma ini tak ada seorang pun yang
bisa mengelak dari golok-golok terbangku. Apalagi untuk berkelit dari dua atau tiga batang
tombak terbangku. Tapi kau cukup hebat, Anak Muda! Tapi kali ini kau tak akan
dapat lolos dari Setan Golok Terbang!
Heaaat...!"
Selesai berkata begitu, orang yang berjuluk
Setan Golok Terbang itu melancarkan serangan.
Sekaligus dia melemparkan lima batang golok ter-
bangnya ke arah Pendekar Gila.
Zing! Zing! Zing...!
"Heit...!"
Pendekar Gila kali ini nampak agak kewala-
han. Namun dia terus berkelit. Dan dua golok la-
wan dapat ditangkap dengan dua jari menjepit.
Sambil bersalto di udara. Tiga golok lainnya hampir saja merobek pinggang
Pendekar Gila, kalau
saja dia terlambat sekejap saja. Dan Pendekar Gila yang sudah mulai tak bisa
lama-lama lagi dengan
permainan itu segera melemparkan golok-golok
yang dapat ditangkapnya tadi.
"Heaaa...!"
Zing! Zing! Zing!
"Hah..."!" Setan Golok Terbang terbelalak kaget, melihat golok-golok miliknya
meluncur cepat ke arahnya. Dengan cepat dia mencoba menge-
lak sambil mengibaskan tangannya dan melompat
ke samping. Namun Pendekar Gila yang melihat
itu, cepat melompat melancarkan serangan dengan
tendangan mautnya.
Bug! Bug! Bug! "Aaa...!"
Setan Golok Terbang memekik panjang. Da-
danya terasa sesak karena tendangan maut Pen-
dekar Gila. Tubuhnya terhuyung-huyung ke bela-
kang. Dan memuntahkan darah segar dari mulut-
nya. Pendekar Gila mengamati dengan cengar-
cengir lawannya yang kesakitan. Namun Setan Go-
lok Terbang tak mau begitu saja mengalah. Den-
gan gerakan cepat, tangannya kembali melempar-
kan dua golok terakhirnya ke arah Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
Zing! Zing! Pendekar Gila berkelit ke kiri sambil tangan
kanannya menangkap sebilah golok. Setan Golok
Terbang melompat, bermaksud menghajar Pende-
kar Gila dengan tendangan. Namun ketika Setan
Golok Terbang masih di udara, Pendekar Gila telah melemparkan golok yang dapat
dijepit dengan kedua jarinya tadi. Golok itu pun menancap di leher lawannya.
Seketika lelaki tampan berpakaian biru itu menjerit. Kemudian tubuhnya
terbanting ke pasir. Bruk! Setan Golok Terbang seketika tewas. Golok
masih menancap di batang lehernya. Pendekar Gi-
la menghela napas panjang. Nampak puas, melihat
lawannya terkapar tak bernyawa lagi.
"Aku terpaksa membunuhmu. Karena kau
akan membunuhku...," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Satu orang lagi dari kelompok Serikat Seri-
gala Merah telah mati di tangan Pendekar Gila. Entah masih berapa lagi yang
harus dihadapi Pende-
kar Gila maupun Pasopati.
Sena kemudian melesat meninggalkan pan-
tai Parangtritis. Meninggalkan mayat Setan Golok Terbang. Sebenarnya Sena lebih
jauh jika melalui laut. Namun itu dia lakukan agar sebagian orang-orang
Sugrikala tidak ikut serta membuntuti Pa-
sopati, jika penyamaran Pasopati dan Dogol dike-
tahui oleh mereka. Itu akan sangat berbahaya, karena anggota Serikat Serigala
Merah, memiliki ilmu yang rata-rata cukup tinggi.
*** Sementara itu Pasopati dan Dogol sudah be-
rada di daerah perbatasan kekuasaan Serikat Serigala Merah. Pasopati sengaja
berkunjung ke Desa
Muntilan yang letaknya tak begitu jauh dari Candi Borobudur. Maksudnya
menyelidiki, dan menunggu Sena. Seperti yang telah direncanakan.
Dengan menyamar sebagai penduduk desa,
Pasopati membawa sebuah karung, dipanggul. Se-
dangkan Dogol berdandan sebagai seorang wanita
yang sedang hamil besar. Istri Pasopati. Dogol
memakai kerudung. Dituntun Pasopati yang wa-
jahnya tertutup dengan caping lebar sudah kotor
dan sebagian rusak anyamannya, serta memakai
kumis palsu yang tebal.
Keduanya berjalan pelan di dekat sebuah
kedai. Lalu berhenti sejenak, pura-pura bertanya pada warga desa itu.
"Pak, di mana rumah dukun beranak...?"
tanya Pasopati pada seorang lelaki setengah baya yang baru keluar dari kedai
minum. "Wah..., jauh. Di sana, di balik bukit sa-
na...," jawab lelaki itu sambil menunjuk ke arah bukit yang ada di sebelah
selatan desa itu.
"Terima kasih, Pak...," kata Pasopati sambil merunduk, "Oh, ya..., Pak. Pak,
tunggu! Kalau rumah besar itu, apakah rumah lurah...?" tanya Pasopati lagi,
sambil menunjuk ke arah rumah yang
di pintu masuk banyak lelaki dan wanita sedang
berdiri dan bercanda. Lalu ada dua orang berba-
dan besar berjaga-jaga dengan golok di pinggang.
"Ooo... itu. He he he...!" lelaki itu malah tertawa, sambil menutup mulutnya.
"Kenapa, Pak. Kok tertawa" Ada apa...?"
tanya Pasopati berlagak heran.
Pada saat itu Dogol yang menyamar sebagai
wanita hamil, kakinya digigit semut rangrang.


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waduhhh...!" Dogol terpaksa memekik dengan suara aslinya. Kontan saja lelaki
setengah baya itu kaget. Dan mencari-cari suara teriakan
seorang lelaki. Namun tak melihat siapa-siapa,
yang ada hanya dia, Pasopati, dan Dogol. Lelaki se-
tengah baya itu jadi heran.
Sebelum lelaki itu curiga, cepat Pasopati
memeluk Dogol sambil mengaduh.
"Aduuuh...!" teriak Pasopati.
"Kenapa, Sobat...?" tanya lelaki tua itu heran. "Kaki saya tiba-tiba terasa
sakit, Pak...," jawab Pasopati.
"Ooo.... Tapi tadi suara siapa, ya...?" tanya lelaki itu masih heran.
"Mungkin lelaki itu, Pak...," jawab Pasopati seraya menunjuk ke arah seorang
lelaki tua, tak
jauh dari tempat mereka. Lelaki itu sedang dipijit tengkuknya oleh seorang
wanita, karena muntah-muntah. Mungkin kebanyakan minum arak.
"Ooo... ya. Dia itu tukang mabok. Pasti si
Sikrok itu kebanyakan minum. Biar modar...," ka-ta lelaki itu sambil memandangi
Sikrok yang masih dipijit wanita kedai yang menjadi gundiknya.
Sesaat mereka diam, hanya tertawa-tawa.
Lalu Pasopati kembali menanyakan rumah besar
di seberang jalan itu.
"Pak, jangan pergi dulu! Apakah itu rumah
lurah...?"
"Oh, ya aku lupa kasih tahu tadi. Itu rumah wanita penghibur. Apakah kau mau
masuk ke sa-na?" tanya lelaki itu sambil senyum-senyum.
"Heh... istrimu sedang hamil tua begini, masa' mau main-main sama wanita
nakal... kasihan dia! He
he he...!"
Dogol yang kesal, tiba-tiba menendang kaki
lelaki itu. Bug! "Waduuuh...!" teriak lelaki setengah baya itu kesakitan.
"Ada apa, Pak"!" tanya Pasopati.
"Kakiku... aduh...!" lalu lelaki itu dengan terpincang-pincang pergi, sambil
celingukan. Merasa heran, dan bertanya dalam hati, siapa yang
menendang kakinya sekeras itu.
Dogol tertawa-tawa sendiri di balik keru-
dungnya. Pasopati tahu kalau itu perbuatan Dogol.
"Jangan ceroboh! Kalau nanti orang Serikat
Serigala Merah tahu kita bisa tertangkap. Ayo, kita jalan...!" kata Pasopati
berbisik. Keduanya kembali berjalan perlahan. Mata
Pasopati dengan liar mengamati keadaan desa dari balik capingnya.
Ketika keduanya sampai dekat ujung desa,
tiba-tiba dari arah depan muncul serombongan
orang-orang berkuda memasuki desa. Orang pal-
ing depan memakai kedok. Yang lainnya bermuka
garang. Memacu kuda mereka dengan kencang.
Pasopati dan Dogol hampir saja kena terjang kuda-kuda mereka.
"Hah"! Sugrikala..."!" gumam Pasopati sambil menghindar. Dia sempat mengenali
pakaian orang yang berkedok itu.
Karena dorongan kuat dari Pasopati tadi,
tubuh Dogol terhuyung, dan terjatuh. Kerudung-
nya terlepas. Hingga nampak jelas wajah lelakinya.
Namun dengan cepat Dogol mengambil kerudung
itu, dan memakainya lagi sambil merangkak.
"Sebal! Oh, nasib...! Mau jadi pendekar kok
susah banget. Akhirnya aku jadi wanita-
wanitaan..., gombal!" gerutu Dogol tak tahan menahan kesal.
Dogol terus merangkak sambil memegangi
perutnya. Pasopati masih berdiri, menatap serombon-
gan orang berkuda tadi.
"Rasanya aku sudah tak tahan untuk me-
nuntut balas.... Tapi aku harus menunggu Pende-
kar Gila. Aku tak akan ceroboh kali ini...," gumam Pasopati dengan menahan
geram. Dogol, bersandar di dinding sebuah rumah
bilik. Pasopati menghampirinya.
"Ayo cepat kita meninggalkan tempat ini! Ki-ta harus segera menemui Pendekar
Gila...," kata Pasopati, seraya menyeret Dogol.
9 Di sebuah bukit, tak jauh dari Candi Boro-
budur, nampak tiga orang sedang berdiri menatap
ke bawah. Seorang di antaranya berbadan gendut.
"Apa yang kau dapat dari penyamaranmu,
Pasopati?" tanya Sena.
"Tak banyak. Hanya saja, aku merasa agak
lega, tahu bahwa Sugrikala memang pimpinan Se-
rikat Serigala Merah. Dia pula yang memiliki ru-
mah-rumah maksiat dan perjudian. Hampir di se-
mua pelosok desa yang dianggapnya cocok untuk
mengeruk uang...," jawab Pasopati.
"Bagus, itu bisa kau beberkan dalam perte-
muan nanti. Kalau semuanya berjalan lancar. In-
gat, kita belum selesai sampai di sini. Kalian tetap dalam penyamaran. Kita
harus mendahului mereka sampai di pertemuan itu...!" kata Sena kemudian. "Lantas
apa langkah kita selanjutnya Kang Sena...?" tanya Pasopati. "Aku sudah tak sabar
lagi ingin menuntut balas, atas kematian ayahku...."
Sena menepuk-nepuk bahu Pasopati, lalu
berkata, "Kau akan mendapat kesempatan itu. Ta-pi ingat, jangan terlalu
bernafsu. Nanti kau akan celaka sendiri. Sugrikala sangat licik dan berilmu
tinggi. Aku tetap membantumu...."
"Terima kasih, Kang Sena...."
Sejenak Sena berpikir, sambil memegangi
kening, lalu menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana kalau nanti malam kita serang
mereka...?" tanya Pasopati membuka suara.
"Jangan! Kalau kita melakukan itu, mereka
pasti sudah tahu bahwa aku yang melakukan. Sa-
barlah... waktunya nanti akan tiba sendiri.... Ingat pesan kakekmu...!" kata
Sena menasihati Pasopati yang sudah tak sabar itu.
"Apakah aku akan terus jadi wanita begini,
Den...?" tanya Dogol dengan wajah merengut sambil menggaruk-garuk perutnya.
Sena tertawa, begitu juga Pasopati.
"Ya. Katanya kau mau jadi pendekar. Dan
sekarang kau untuk sementara jadi pendekar wa-
nita jejadian...," kata Sena berseloroh. Lalu tertawa. Dogol hanya cengar-cengir
dan terus men- gusap-usap perutnya. Lalu mengeluarkan kantung
dari dalam bajunya. Mengambil isinya, yang ter-
nyata makanan. Singkong bakar.... Lalu mema-
kannya dengan lahap.
*** Di tempat lain saat itu ternyata terjadi per-
tarungan antara tokoh-tokoh aliran lurus dan aliran sesat yang dipimpin
Sugrikala. Dengan kelicikan dan ilmu sesatnya, ba-
nyak sudah tokoh aliran lurus mati di tangan anak buah Sugrikala.
"Habisi mereka semua!" perintah Sugrikala yang berdiri atas batu. Masih memakai
kedok untuk menutupi wajahnya yang berupa serigala itu.
"Heaaa...!"
"Aaa...!"
"Mampus kau, Kakek Tua...!" seru Setabaya yang menerkam tokoh aliran lurus Ki
Bandura. Di lain tempat, tak jauh dari situ, dua tokoh
lurus sedang bertarung dengan dua orang anggota
Serikat Serigala Merah. Pertarungan cukup seru.
Mereka menggunakan jurus-jurus maut dan ber-
bagai senjata pamungkas mereka.
Namun dengan ilmu sihirnya, serta serbuk
beracun yang dimiliki Sugrikala membunuh tokoh-
tokoh aliran lurus. Hal itu ternyata karena mereka hendak ikut dalam pertemuan
pemilihan ketua tokoh persilatan.
Itulah kelicikan Sugrikala. Dirinya sangat
berhasrat dapat duduk sebagai ketua agar dapat
menguasai rimba persilatan. Dia tak mau para to-
koh aliran putih mengetahui siapa dirinya sebe-
narnya. Apalagi kini wajahnya tak lagi dapat kembali menjadi manusia biasa,
setelah tombak Paso-
pati telah melukai tubuhnya. Maka itu Sugrikala
terus melacak dan menyebar anak buahnya untuk
meringkus Pasopati. Sebelum hari pertemuan itu
tiba. Namun nyatanya sampai sekarang Pasopati
belum ditemukan. Itulah yang membuat Sugrikala
dan pengikutnya menjadi murka, membabi buta,
membantai tokoh-tokoh persilatan. Tak pandang
bulu, baik dari golongan putih maupun hitam.
Semua ditumpas! Demi cita-citanya.
"Bagus! Hampir sepertiga dari tokoh-tokoh
aliran putih mampus! Sekarang tinggal anak itu
yang belum kita dapatkan. Waktu kita tinggal se-
hari lagi. Aku tak ingin gagal. Cepat, cari anak itu...!" perintah Sugrikala
dengan suara lantang.
Segera mereka berangkat.
Sugrikala yang masih berdiri dengan pon-
gahnya di atas batu, menengadah, lalu meren-
tangkan kedua tangannya ke atas dari tertawa-
tawa keras. Tawanya bagai mengguncangkan bu-
mi. Menggelegar.... Lalu tubuh Sugrikala seketika lenyap. Hanya tinggal asap
mengepul di tempat
Sugrikala tadi berdiri. Itulah ilmu 'Tanpa Wujud Siluman Iblis'.
Namun suara tawa itu masih terus terden-
gar, dan kemudian perlahan-lahan menghilang.
Tak terdengar lagi.
Dan beberapa saat kemudian, Sena, Paso-
pati, dan Dogol tiba di tempat itu. Alangkah terke-jutnya mereka ketika melihat
mayat-mayat berge-
limpangan di tanah. Darah membasahi tempat itu.
"Ya, Jagad Dewa Batara...!" seru Sena.
"Bangsat! Ini pasti perbuatan orang-orang
Serikat Serigala Merah! Aku harus cepat membu-
runya, Kang Sena!" kata Pasopati geram dan hendak pergi.
"Tunggu...!" seru Sena. Lalu mendekati Pasopati. "Aku tak bisa mencegahmu. Tapi
ingat! Kau harus hati-hati dan pancing mereka agar berpencar...! Aku akan
mengikutimu dari jarak tertentu.
Pergilah...!" ujar Sena. Kemudian Pasopati memeluk Sena dan segera melesat
pergi. "Saya... bagaimana, Aden?" tanya Dogol yang masih dengan pakaian wanita dan
berkeru-dung warna hijau.
"Hm.... Kau ikut denganku! Dan turuti se-
mua perintahku. Jangan pengecut, kalau kau in-
gin jadi orang persilatan yang tangguh!"
"Siap, Den! Sekarang saya sudah siap tem-
pur. Biar gendut-gendut begini, heaaat...!" sahut Dogol lalu memperlihatkan
jurus yang diajarkan
Sena. Sena hanya tersenyum-senyum.
"Ayo...!" ajak Sena. Lalu melesat pergi, diikuti Dogol yang lari di belakangnya.
Padahal Sena hanya berjalan biasa. Apalagi kalau Sena menggunakan lari 'Sapta
Bayu'nya, Dogol tak akan mam-
pu mengejarnya.
*** Tiga Kembar Bermuka Serigala, bersama ke-
tiga orang kelompoknya menghentikan langkah.
Tiba-tiba mereka melihat dari arah depan nampak
berlari-lari lelaki bercaping, sambil memanggul sebuah karung di pundaknya. Dia
terjatuh-jatuh....
"Ooo.... Tuan... tolooong...! Ada pemuda gi-la...," kata lelaki bercaping dengan
nada ketakutan. Meminta tolong pada Tiga Kembar Bermuka
Serigala sambil membungkuk-bungkuk, memberi
hormat. "Kenapa kau dikejar orang gila itu..." Dan
dari mana asalmu...?" tanya salah seorang dari Ti-ga Kembar Bermuka Serigala
menyelidik. "Saya... dari Desa Muntilan. Saya orang
miskin tak ada sanak saudara. Tolonglah saya
Tuan...!" "Hem!" gumam mereka. "Minggir kamu!
Mungkin orang yang mengejarmu itu pemuda yang
kucari...."
Lelaki bercaping segera berjalan melewati
mereka, sambil merunduk-runduk.
Namun begitu dia melewati keenam orang
itu. Dengan cepat lelaki bercaping itu, menyerang mereka dengan tombak di tangan
kanannya. "Heaaa...!"
Wut! Wut! Cras! Cras! "Wuaaa...!" jerit Bagaspati yang berjalan paling belakang. Punggungnya tertusuk
tombak lelaki bercaping itu.
Sementara yang lain kaget, dan berpencar,
sambil mengelak dari serangan gencar yang dila-
kukan lelaki bercaping.
Kelabakan juga orang-orang Serikat Serigala
Merah, mendapatkan serangan mendadak dari le-
laki bercaping.
"Akulah orang yang kalian cari itu...!" seru lelaki bercaping yang tak lain
Pasopati, sambil terus mencecar lawan-lawannya. Itu adalah suatu
cara untuk menghadapi manusia-manusia licik
dan berilmu sihir. Agar mereka tak sempat meng-
gunakan ilmu andalannya.
Tusukan dan tebasan, serta tendangan kaki
Pasopati begitu dahsyat. Membuat kelima lawan-
nya terus terdesak. Apalagi Tombak Baruklinting
yang di tangan Pasopati sangat ampuh. Siapa
orangnya yang terkena tusukan tombak itu kulit-
nya akan membiru lalu mati!
"Rupanya kau pemuda keparat! Tak lama
lagi kau akan mampus!" seru Setabaya. Dia murka melihat Bagaspati telah mati di
tangan pemuda yang dianggapnya penghalang bagi Serikat Serigala Merah. Pertarungan berjalan
seru, namun lama-kelamaan Pasopati mulai berbalik terdesak. Tiga
Kembar Bermuka Serigala mulai melancarkan ju-
rus-jurus mautnya yang sukar ditebak.
"Celaka! Bisa mati konyol aku. Kalau terus
melawan mereka dengan cara begini... Hup!"
Dengan cerdik, Pasopati melesat sesuai
dengan perintah Sena, untuk memancing agar me-


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

reka mengejarnya dan Sena menunggu di tempat
yang cukup baik, untuk menjebak.
"Bangsat! Jangan lari kau, Anak Muda...!
Kejar!" perintah Setabaya.
Mereka segera melesat bagai serigala-
serigala memburu mangsanya. Melompat bagaikan
terbang menerobos semak belukar. Juga melompa-
ti tebing dan bebatuan besar.
*** Pasopati sudah menunggu mereka di atas
pohon. Dia berdiri di cabang pohon dengan siap
menyerang lawan.
Srak! Srak! Benar, di bawah pohon nampak Tiga Kem-
bar Bermuka Serigala berkelebat berbarengan
memburu. Disusul dua orang lainnya. Dari atas ti-ba-tiba Pasopati melepas
jalanya. Tepat mengu-
rung Setabaya dan Kalabendana.
"Mampus kau kali ini, Manusia-manusia
Busuk!" gumam Pasopati sambil melompat dan
menghunuskan tombak pusakanya. Dan....
Jlep! Jlep! "Aaauuukkk...!"
Terdengar jeritan dari kedua orang berwajah
aneh itu. Seketika kulit tubuh mereka membiru,
kejang-kejang lalu nyawa mereka pun melayang.
Pasopati merasa lega.
"Sebagian dendamku telah terbalas. Kini
tinggal dedengkotnya!"
Lalu Pasopati meninggalkan kedua mayat
yang ada dalam jala itu, melesat memburu Tiga
Kembar Bermuka Serigala.
Ternyata Tiga Kembar Bermuka Serigala te-
lah bertempur dengan Pendekar Gila yang dibantu
Dogol. Suasana pertempuran tampak lucu. Si
Gendut yang berpakaian wanita berpura-pura ke-
takutan. Namun ketika ada kesempatan, mengha-
jar salah satu dari Tiga Kembar Bermuka Serigala.
"Hi hi hi...! Binatang-binatang siluman ini perlu dicincang! Biar tidak
mengotori rimba persilatan...!" ejek Pendekar Gila sambil mengelak dengan
menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat'. Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana
menari dengan sesekali tangannya menepuk. Te-
pukannya yang kelihatan lamban dan lemah ser-
ing mengejutkan lawan.
"Hiuh...!"
Plak! Plak! "Ikh...!"
Tiga Kembar Bermuka Serigala terpekik ke-
tika dada mereka tahu-tahu terasa sakit dan se-
sak. Seorang lagi terhuyung mendekati Dogol yang dengan cepat mengetuk kepalanya
dengan keras. Lalu Dogol bersembunyi. Hingga orang yang terpu-
kul itu makin kelengar. Dogol tertawa-tawa se-
nang. Namun tanpa setahu Dogol, di belakang su-
dah siap menerkamnya, seorang lagi yang sempat
melesat ke arah Dogol.
"Hah"!" Dogol kaget. Namun entah dari ma-na keberaniannya itu tiba-tiba muncul.
Dengan cepat dia melancarkan pukulan yang mirip jurus
'Si Gila Membelah Mega'!
"Heaaa...!"
Deg! Deg! "Aaakh...!" menjeritlah lelaki berwajah serigala, terkena pukulan Dogol. Dengan
cepat Dogol lari dan bersembunyi.
Pasopati yang melihat hal itu tertawa-tawa.
Dan bergumam. "Boleh juga Dogol. Dari mana dia dapat pu-
kulan hebat itu...?"
Sementara itu Pendekar Gila tengah meng-
hadapi seorang lagi dengan tertawa-tawa. Sambil
meliuk dia menepuk lawannya.
Setelah itu Pendekar Gila ingin segera men-
gakhiri pertarungan itu.
"Heaaa...!"
"Grrr...! Mampus kau, Orang Gila...! Grrr...!"
bentak lelaki berpakaian serba merah dan berwa-
jah serigala. "Hits...! He he he...!"
Pendekar Gila menangkis pukulan lawan,
lalu disusul dengan sabetan kaki kanannya,
menghajar keras kaki lawan.
Krak! "Aaakh...!"
Seketika kaki itu patah. Dan terdengar pe-
kikan panjang dari mulut lawan. Namun ketika
Pendekar Gila akan melancarkan pukulan maut-
nya, dari arah belakang dua orang berwajah seri-
gala menyerangnya. Pendekar Gila cepat mengelak.
Dan akibatnya, serangan itu mengenai temannya
sendiri. Hingga ambruk dan tak berkutik lagi.
Keduanya kaget, karena yang dihajar ter-
nyata saudara mereka. Dalam keadaan demikian,
tiba-tiba Pasopati yang sejak tadi hanya diam, me-
lompat dan menghajar orang-orang berwajah seri-
gala itu dengan tombaknya.
Jlep! Jlep! "Aaakh...!"
Kembali terdengar pekikan keras dari kedua
manusia muka serigala. Tubuhnya membiru lalu
tak lama kemudian mati.
Sena terkejut dengan tindakan Pasopati itu.
Segera Sena mendekati.
"Kenapa kau lakukan itu..." Tindakan itu
bukan sikap seorang pendekar...! Kecuali dia akan membunuh kita...!" ujar Sena
karena tahu Pasopati bertindak membokong lawan. Suatu perbuatan
yang pantang bagi pendekar sejati.
"Maafkan aku. Tapi, maksudku... agar an-
tek-antek Sugrikala musnah. Dan tinggal aku dan
dia..," jawab Pasopati dengan suara parau.
Sena menggeleng-gelengkan kepala, sejenak
dia berpikir. Dan menggaruk-garuk kepala.
Sementara itu Dogol, mulai keluar dari per-
sembunyian sambil membuka baju samarannya.
Mendekati Sena dan Pasopati.
"Sekarang tugasku sebagai wanita palsu
sudah habis...!" seru Dogol, dengan cengengesan dan mengusap-usap perutnya.
Segera Pasopati mengeluarkan dua keping
uang dan memberikan pada Dogol. Dogol meneri-
manya, seraya berkata, "Lumayan, nanti buat beli makanan di sana...."
"Makan makan saja yang kau pikir. Nanti
perutmu meledak...!" kata Sena sambil menunjuk perut Dogol yang saat itu sedang
bergerak-gerak.
Dogol hanya nyengir kuda. Pasopati tersenyum.
"Kang Sena. Bagaimana rencana kita selan-
jutnya?" tanya Pasopati kemudian.
"Sesuai rencana semula. Kalau tidak ada
masalah lagi, kini saatnya kau menuntut balas
pada Sugrikala. Tapi apakah dia akan datang pada pertemuan besok, dengan muka
tertutup kedok..."!"
"Entahlah," jawab Pasopati cemas.
"Apalagi, kalau dia sudah tahu bahwa ke-
lompoknya telah menemui ajal di tangan kita. Tentunya saat ini Sugrikala telah
merasakan hal itu....
Aka yakin," ujar Sena kemudian.
"Ya. Lalu bagaimana caranya agar dia mun-
cul pada pertemuan itu?" tanya Pasopati lagi.
"Sulit untuk memikirkan, karena Sugrikala
bukan orang bodoh. Apalagi, kini dia tahu kalau
kau sedang menuntut balas," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Oh, ya.
Bukankah kau bilang bahwa karena dia terluka oleh tombakmu,
hingga mukanya tak bisa lagi berubah seperti se-
diakala...?"
"Benar."
"Nah, tentunya dia sangat mengharap kau
hadir pada pertemuan itu. Dia pasti akan me-
nunggu mu. Kalau begitu rencana kita tetap berjalan. Tapi kali ini aku yang
harus menyamar seba-
gai dirimu. Dan kau menyamar seperti tadi...,"
usul Sena. "Rencana yang bagus. Tapi aku ingin den-
gan tombak ini aku membunuh Sugrikala. Agar
arwah ayahku merasa lega...."
"Jangan khawatir! Tunggu isyaratku...!"
"Tugasku..."!" tanya Dogol.
"Kau tetap akan menyamar sebagai wanita!"
ujar Sena sambil menepuk perut Dogol.
Mereka lalu tertawa-tawa. Dogol merengut
kesal, karena harus menjadi wanita lagi.
10 Suasana hari itu cukup cerah. Di tempat
pemilihan ketua pendekar untuk Jawa Dwipa
nampak riuh. Letaknya di dekat Candi Borobudur.
Candi yang terbesar dan termegah di selu-
ruh jagad nampak megah, sebagai latar belakang
arena pesta pemilihan.
Hampir semua tokoh telah hadir, dari se-
mua penjuru Jawa Dwipa. Mereka belum memu-
tuskan siapa ketua baru. Karena orang yang sela-
ma ini dianggap pantas, belum juga muncul.
"Saudara-saudara sekalian! Waktu kami
tunda beberapa saat, menunggu calon utama ke-
tua baru Sugrikala. Harap tenang dan bersabar!"
seru ketua lama Prabu Santika.
"Lebih baik pilih orang lain! Kami sudah la-ma menunggu...!" usul salah seorang
tokoh. "Benar! Aku setuju.... Calon itu mungkin
tak pantas menduduki kursi ketua. Belum jadi ke-
tua saja sudah begini...!" sahut yang lain.
Suasana menjadi ribut. Dari sana sini ber-
sahutan mengajukan usulan-usulan.
Tiba-tiba terdengar dari luar arena tempat
pemilihan suara membentak yang dibarengi berke-
lebatnya sesosok orang memakai kedok!
"Hentikan!"
"Siapa kau"!" tanya ketua lama Prabu Santika. "Apakah kau tak mengenalku" Aku
terpaksa memakai kedok, dan terlambat, karena orang-orangku terbunuh. Maafkan
aku.... Aku Sugrika-
la!" kata orang itu.
"Kami tak mau melihat calon ketua baru
dengan kedok! Bukalah kedokmu! Biar kami dapat
mengenal wajahmu...," seru salah seorang berpakaian serba putih, dengan ikat
kepala menutupi
seluruh kepalanya, seperti sorban. Dialah Ki Ragakandaka. Dari Perguruan
Kelabang Sakti, beraliran putih. "Baiklah, kalau kalian ingin mengenali
wajahku," jawab lelaki itu. Lalu segera membuka kedoknya. Dan....
"Hah..."! Kau..."!" gumam Prabu Santika yang telah mengenali pemuda itu.
Suasana menjadi bertambah riuh. Keba-
nyakan mereka yang hadir sudah mengenal wajah
pemuda yang berdiri di atas panggung. Rambutnya
agak ikal, dengan wajah tampan. Dan tak henti-
hentinya cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Sena Manggala murid Singo Edan...!" gumam hampir semua tokoh persilatan
yang hadir. "Sena...! Bagaimana kau sampai berbuat
demikian" Ada apa rupanya dengan pemilihan
ini?" tanya Prabu Santika heran.
"Panjang ceritanya.... Nanti juga kalian akan
mengetahuinya. Karena kebusukan tak akan lama
tersimpan...," jawab Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Semua yang hadir jadi riuh saling bicara sa-
tu sama lain. Di antara mereka nampak Pasopati dan Do-
gol yang menyamar sebagai orang biasa. Berdiri di luar arena pemilihan. Namun
tiba-tiba... Zing! Zing! Zing!
Benda-benda tajam meluncur ke arah Sena
dan Prabu Santika. Dengan cepat Sena menubruk
Prabu Santika untuk menghindari serangan gelap
itu. Suasana semakin ribut dan kacau! Menda-
dak muncul orang berkedok yang tak lain Sugrika-
la. Menggereng dan mengejar Sena yang melompat
sambil bersalto di udara. Gerakan Pendekar Gila
begitu cepat dan sukar diatasi oleh Sugrikala.
Deg! Deg! Kaki kanan Pendekar Gila menghajar wajah
Sugrikala, hingga kedoknya terlepas. Semua orang kaget. Sugrikala yang memiliki
kepala serigala itu terpental, ambruk menimpa sebagian orang yang
ada di tempat itu.
Brak...! "Ukh...!"
"Hi hi hi...! Kalian semua sekarang menda-
pat jawabannya. Kenapa aku berbuat demikian.
Lihat orang yang selama ini kalian calonkan dan
disanjung. Tak lebih seorang manusia siluman se-
rigala. Dialah yang telah membuat onar dan me-
nindas rakyat. Membuka perjudian dan rumah
maksiat! Yang melanggar hukum...!" teriak lantang seorang pemuda yang di tangan
kanannya memegang tombak pusaka.
"Bangsat! Rupanya kau bersekongkol den-
gan Pendekar Gila itu...!" bentak Sugrikala yang sudah kehilangan muka.
"Grrr...!"
"Ha ha ha...! Ayo, Siluman Jelek...! Hari ini aku akan menuntut balas atas
kematian ayahku...!" seru Pasopati. Lalu melempar capingnya ke arah Sugrikala.
Wut! Wut! Caping yang dilempar Pasopati itu melayang
deras ke arah Sugrikala.
"Heaaa...!"
Sugrikala dengan mudah dapat mengelak.


Pendekar Gila 32 Serikat Serigala Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian dengan cepat pula dia melakukan se-
rangan balik yang cukup dahsyat.
Zing! Zing! Zing!
Senjata rahasia meluncur deras ke arah Pa-
sopati dari tangan Sugrikala. Pasopati melenting sambil menangkis dengan
tombaknya. Trang! Trang! Trang!
"Grrr...!"
Sugrikala membabi buta. Karena dia harus
merebut tombak itu dan menghisap darah Pasopa-
ti, agar dirinya bisa kembali seperti sediakala.
"Mampus kau! Aku kirim kau seperti ayah-
mu ke akherat...!" seru Sugrikala sambil terus mencecar Pasopati.
Orang-orang tokoh persilatan tak mau
menghalangi atau membantu mereka. Mereka me-
nyadari, setelah mendengar penjelasan Pendekar
Gila tadi. "Kalian semua harus mendukung putra
Sumbaga itu.,.! Sugrikala telah mengkhianati dan membunuh ayah pemuda itu dua
puluh tahun si-lam," ujar Sena yang terus mengamati gerakan Sugrikala.
Pertarungan Sugrikala dan Pasopati ber-
langsung semakin seru. Keduanya saling serang
dan beradu di udara. Namun setelah sekian jurus, nampak Pasopati tampak mulai
terdesak. Membuat Sugrikala sempat melukai lengan kanan Pa-
sopati hingga tombak pusaka itu terlepas dari
genggamannya. "Hah"!" pekik Pasopati kaget.
Cepat Pasopati bergulingan di tanah, untuk
mengambil Tombak Baruklinting. Namun rupanya
Sugrikala lebih cepat, karena dia dalam kedudu-
kan lebih menguntungkan.
Bug! Bug! Kaki Sugrikala menendang muka Pasopati,
hingga tubuh pemuda itu terlempar jauh. Sugrika-
la yang melihat lawan terluka, cepat mengambil
tombaknya. Dengan cepat dilemparkan ke arah
Pasopati yang masih menahan sakit. Namun sebe-
lum tombak itu sampai pada sasarannya.
Wesss! Sesosok bayangan berkelebat, menghadang
lajunya Tombak Baruklinting. Dan seketika mem-
balikkan tombak pusaka itu ke arah Sugrikala.
"Wut! Wut...!"
"Heh..."!"
Sugrikala terbelalak kaget.
Jlep! Tombak Baruklinting menancap tepat di
dada Sugrikala. Sugrikala mengerang. Dan men-
cabut tombak itu. Sena tertegun sesaat.
"Edan! Setan ini benar-benar ampuh...!"
gumam Pendekar Gila dalam hati.
Pada saat itu pula Sugrikala berubah wujud
menjadi serigala raksasa. Semua orang yang ada di situ terbelalak kaget.
Kemudian bergerak mundur.
"Grrr...! Auuung...!"
Pendekar Gila yang melihat wujud itu,
hanya tersenyum lalu dia segera mengeluarkan
ajian 'Inti Brahma'. Seketika bola-bola api meluncur ke arah serigala siluman
itu. Namun anehnya, binatang siluman itu tak mempan. Pendekar Gila
mengerutkan kening.
Pada saat itu Pasopati sudah mulai kembali
pulih, dengan cepat dia mengambil kembali tom-
bak yang tergeletak di tanah. Lalu dengan cepat
dia berlari mendekati Pendekar Gila.
"Sekarang waktunya kita untuk mele-
nyapkan binatang terkutuk ini, Pasopati...," ujar Sena. Dengan cepat Pendekar
Gila mencabut Suling Naga Sakti-nya. Kemudian dipadukan dengan
Tombak Baruklinting yang juga berkepala naga mi-
lik Pasopati. Seketika memancarlah sinar aneh,
menyilaukan semua orang. Termasuk serigala si-
luman Sugrikala itu.
"Grrr...! Kalian tak akan sanggup membu-
nuhku.... Grrr.... Auuung...!"
Serigala siluman menyerang kedua pende-
kar muda itu. Matanya mencorong tajam meman-
carkan sinar membara mengandung hawa maut.
Dengan tenang Sena dan Pasopati memapa-
ki serangan serigala besar berbulu merah itu.
"Heaaa...!"
Slat! Glarrr! Terdengar ledakan dahsyat. Bulu-bulu war-
na merah berterbangan di udara.
Tubuh Pasopati dan Pendekar Gila ter-
huyung ke belakang. Sedangkan tubuh Sugrikala
remuk. Terdengar suaranya mengerang keras
mengiringi perubahan wujudnya menjadi manusia.
Pasopati yang dendamnya telah membara, masih
belum puas melihat lawan sudah sekarat. Dia me-
lompat dengan cepat sambil mengangkat Tombak
Baruklinting. Dan menghujamkan ke tubuh Sugri-
kala. Jlep! Jlep...!
"Aaawww...!" kembali Sugrikala mengerang panjang. Tubuhnya menggelepar-gelepar.
Namun masih berusaha untuk bangun. Dia tak kuasa, ka-
rena ternyata akibat tusukan Pasopati tadi, selain tubuh Sugrikala remuk, juga
terbelah dua. Ketika dia hendak bangkit, tubuhnya terle-
pas bagian perut ke atas dan bagian pinggang
sampai kaki terpisah. Erangannya bagai seekor serigala hutan, melengking
panjang. Menyakitkan telinga. Semua yang menyaksikan kejadian itu ter-
bengong, merasa heran dan aneh. Dogol yang ber-
larian mendekati Sena dan Pasopati tersenyum-
senyum bangga. Para tokoh yang hadir langsung berkeru-
mun, menyaksikan mayat Sugrikala si Manusia Si-
luman Serigala. Prabu Santika segera menghampi-
ri Pendekar Gila.
"Sena, kami sangat berterima kasih pada-
mu. Kalau tidak, bagaimana jadinya rimba persilatan di bumi Jawa Dwipa ini...,"
ucap Prabu Santika.
"Ah, jangan berterima kasih pada saya. Se-
mua ini sudah tugasku, untuk membela kebena-
ran. Kau harus berterima kasih pada pemuda ini,"
ucap Sena sambil memegang bahu Pasopati.
"Ya. aku sudah mendengar sebelumnya ten-
tang pemuda ini. Namun keadaanku sendiri dalam
cengkeraman Serikat Serigala Merah. Yang ternya-
ta dipimpin Sugrikala. Kami semua menganggap-
nya orang yang dermawan dan bijaksana. Aku be-
nar-benar bodoh!" tutur Prabu Santika.
"Sudahlah, Ki Prabu! Kini semuanya sudah
selesai. Dan usul kami, sebaiknya Ki Prabu Santi-ka meneruskan jabatan ketua
itu...," kata Sena, la-lu menggaruk-garuk kepala.
"Tidak bisa. Aku telah melepaskannya. Dan
kini tetap harus mencari pengganti ketua baru. Sebenarnya Ki Wibisana yang
pantas, tapi beliau sudah tua dan tak ingin lagi muncul dalam rimba
persilatan...," kata Prabu Santika.
"Lalu siapa menurut Ki Prabu yang pantas
menjadi ketua...?"
"Entahlah...," jawab Prabu Santika.
Pada saat itu segerombolan para tokoh
menghampiri mereka. Dan Ki Ragakandaka dari
Perguruan Kera Sakti berucap, "Prabu Santika, dan kau murid Kakang Singo Edan.
Kami tadi telah berunding. Dan telah mencapai persetujuan
semua, untuk mengangkat pemuda ini menjadi ke-
tua kami...," kata Ki Ragakandaka sambil menepuk bahu Pasopati.
Pasopati kaget. Lalu segera berucap ramah,
"Maaf...! Rasanya, saya tak pantas menjadi ketua.
Saya masih terlalu muda. Lebih baik pilihlah orang lain..., sekali lagi maaf!
Dan terima kasih atas perhatian semuanya pada saya...!" kata Pasopati dengan
polos penuh rendah hati.
Sena tersenyum dan menggaruk-garuk ke-
pala. "Apa yang dikatakan Pasopati benar. Sebaiknya, untuk sementara Ki Prabu
Santika tetap menjabat sebagai ketua.... Bagaimana menurut
yang lain...?" usul Sena.
"Setujuuu...!" terdengar dari semua para tokoh yang hadir menyetujuinya.
Prabu Santika tak bisa berbuat apa-apa.
Hanya manggut-manggut, "Kalau memang itu yang saudara-saudara inginkan, saya
mengucapkan terima kasih. Tapi dengan syarat, saya minta dengan sangat Pasopati
mendampingiku, sebagai wakil.
Bagaimana...?" ujar Prabu Santika. "Karena aku sebenarnya telah mengetahui,
bahwa Pasopati ternyata cucu Ki Wibisana."
Semua tokoh tersentak kaget, lalu terse-
nyum-senyum senang.
"Kalau begitu kami sangat setuju, karena
Kakang Wibisana adalah orang yang kami segani
dan bijaksana...," sahut Ki Ragakandaka, lalu dis-ambut tepuk tangan yang lain.
Pasopati memeluk Sena erat. Sena pun
membalasnya, "Terima kasih, Kang Sena.... Aku banyak berhutang budi padamu...."
"Jangan berkata begitu. Kau sudah seperti
adikku sendiri. Guru kita pun satu perguruan, jadi kita juga saudara... he he
he...!" sahut Sena berseloroh. "Nah, aku ini apa.... Apakah Aden anggap aku
wanita jejadian...?" tanya Dogol yang merasa iri. Bertingkah mirip anak kecil,
mau nangis. "Tidak... Kau tetap sahabat kami. Tapi ingat jangan cengeng dan makan harus
dikurangi. Kalau
kebanyakan diisi, perutmu akan meledak!" kata Sena menggoda. Dogol hanya
tertawa-tawa sambil
memegangi perutnya.... Semua nampak bahagia
dan gembira. Cuaca semakin terang menyinari
bumi, secerah wajah-wajah mereka.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Pahlawan Dan Kaisar 1 Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan 4
^