Pencarian

Seruling Kematian 2

Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian Bagian 2


lu sakit. Agaknya ia telah berhasil menetralisir rasa sakit pada tulang-
tulangnya. "Hei, Bi.... Aku tahu kau punya ilmu yang cukup tinggi, tapi kau tidak bisa
mengungguli aku, kan" Sekarang begini... kalau kau mau membantuku mengorek
keterangan dari Areswara dan kita bisa menemukan Is-
tana Langit Perak, maka anak gadisku itu pun ku relakan menikah denganmu. Sebab
selain aku yakin kau
bisa menjaganya dengan ilmumu itu, kau juga akan
kaya dari hasil pembagian harta itu."
"Aku jijik jika kau bertemu dengan anak gadismu...."
kata Lanangseta seenaknya pula. Ia tidak peduli Lak-
samana Chou mendelik mendengar kata-katanya. La-
nang malahan tetap berkata dengan lantang, "Sekali pun aku belum pernah bertemu
dengan putrimu, tapi
aku percaya bahwa aku akan muntah bila bertemu
dengannya suatu saat nanti. Sebab aku tahu, hanya perempuan murahan yang tak
punya harga diri saja yang
mau dibawa kabur oleh lelaki bukan suaminya. Dan...
entah sudah berapa banyak penyakit lelaki yang mengi-dap di tubuh dan darahnya
itu. Iih... jijik aku jika membayangkannya, Laksamana!"
"Iblis...!" geram Laksamana dengan tangan mengepal kuat. Ia berdiri, nafasnya
terengah-engah. Kemarahannya terpancing.
Segera ia menghentakkan tangannya dengan kekua-
tan yang membuat otot-otot tubuh bertonjolan. Sebuah pukulan tenaga dalam
dilancarkan ke dada Lanangseta.
Tapi Lanang segera menyilangkan pedangnya ke dada.
Pukulan tenaga dalam itu mengenai pedang yang merah
membara, lalu memantul balik, mengenai dada Laksa-
mana Chou. Lelaki bermata kecil dan kumis telah terpotong sebelah itu terpental
mundur, bahkan sampai terjatuh segala. Lanang hendak bangkit, namun tubuhnya
masih terasa lemas. Belum begitu segar, sekali pun ia telah berhasil menetralkan
segala rasa sakit dan penyakit. Laksamana Chou bangkit dengan kemarahan yang
tinggi. "Manusia tak patut diberi ampun kamu, hah..."!
Hiaaat...!"
Pukulan Rajawali Murka segera beraksi. Dari kedua
telapak tangan keluarlah sinar merah terputus-putus
menyerupai anak panah kecil-kecil. Anak panah itu melesat ke arah Lanangseta.
Dan Lanangseta memutar pe-
dangnya di bagian depan dengan cepat. Putaran pedang itu menimbulkan sinar merah
membara yang bagai sebuah perisai penangkis anak-anak panah tersebut. Benturan
anak panah dengan pedang memercikkan bunga
api yang sangat dahsyat. Apalagi ketika Laksamana segera merubah jurus, yang
kini menjadi bola-bola api
melayang menghantam Lanangseta, tangkisan Lanang
pun lain lagi. Bukan pedang diputar cepat menyerupai perisai, melainkan pedang
itu sendiri dikibas-kibaskan dan menimbulkan hempasan angin kencang yang
membuat bola api itu membentur ke sana sini tak teratur. Beberapa tempat yang
terkena benturan bola api
itu ada yang sampai terbakar, tapi tidak lama padam
sendiri, karena lumut bercahaya yang ada di tempat itu, yang memenuhi dinding
itu, tidak mudah terbakar karena kelembabannya.
Lanangseta cukup tenang. Ia duduk melonjorkan
kaki dan punggungnya bersandar pada batu besar.
"Aku sudah bosan berhadapan denganmu, Babi
Kampung! Sekarang saatnya membunuh telah tiba.
Ciaaaat...!"
Laksamana Chou menggerakkan tangannya ke de-
pan dan bersimpang siur. Makin lama semakin cepat.
Dan Lanang ingat, itulah jurus yang dipakai memukul-
nya tadi; Pukulan Tangan Setan. Lanang segera men-
gangkat pedangnya ke depan wajah.
"Wisa Kobra... bunuh dia!"
Pedang Wisa Kobra dilepas dari genggaman Lanang,
dan pedang itu pun meluncur cepat ke arah Laksamana
Chou. Gerakan Tangan Setan berhenti seketika, dan
Laksamana segera berkelit ke arah kanan. Pedang itu
membelok ke arah kanan. Laksamana kebingungan
dengan mata yang membelalak ngeri. Ia segera bersalto beberapa kali ke beberapa
tempat, tapi pedang Wisa
Cobra yang dijuluki Pedang Malaikat itu masih tetap
mengejar ke mana pun lawannya lari. Sementara itu,
Lanangseta tetap duduk melonjorkan kaki dengan san-
tai sambil menyaksikan Laksamana dikejar-kejar pe-
dang Wisa Kobra.
Pedang itu melesat ke arah leher Laksamana, dan
Laksamana menghindar. Pedang itu melesat ke tempat
kosong, namun ia segera kembali lagi menghunjam
punggung Laksamana. Pada saat itu, Laksamana sem-
pat merunduk sehingga pedang itu hanya menggores
punggung dan membuat Laksamana terpekik kesakitan.
Ia bersalto ke belakang beberapa kali. Pedang Wisa Kobra masih mengejarnya.
Sampai akhirnya, Laksamana
tersudut di suatu himpitan dua batu yang berjajar. Pedang Wisa Kobra melesat
terus dan menghunjam perut
Laksamana tanpa ampun lagi.
"Aaaahhkk...!"
Laksamana tertembus pedang sampai jebol ke bagian
pinggang belakang. Bahkan karena pinggang itu mera-
pat dengan batu, maka pedang Wisa Kobra pun terus
menembus batu besar yang kekar hingga dia lolos dari batu dan melayang kembali
ke tangan Lanangseta. Itulah kehebatan Pedang Malaikat. Lanangseta mencium
pedang itu seraya berkata:
"Pekerjaan yang bagus, Wisa Kobra...! Sekarang
orang itu tahu sendiri akibatnya...." Lalu Lanang segera menyarungkan pedang
tersebut ke punggung. Sedangkan tubuh Laksamana berkelojotan. Ususnya terjulur
ke luar dari perut yang robek ditembus pedang Wisa
Kobra. Setelah kakinya mengejang-ngejang beberapa
saat, lalu tubuh itu pun lunglai sudah. Ia tak pernah bergerak sedikit pun,
alias mati. "Selamat jalan, Laksamana...." ucap Lanang dari tempat duduknya. Dan ia
menghempaskan nafas lega.
Ia masih ingin beristirahat di situ. Pedang dan Cambuk Naga ada padanya.
Lanangseta tertidur di dalam goa itu. Ketika bangun, ia merasakan badannya cukup
segar. Tapi ia tak tahu
kalau sebenarnya ia telah tertidur selama tiga hari di sana.
"Cambuk Naga sudah kuperoleh...!" katanya sendirian. "Sebaiknya aku harus pulang
dulu, supaya Kirana tidak gelisah menungguku."
Gelombang laut tidak begitu besar saat Lanangseta
keluar dari goa tersebut dan berenang menuju ke per-
mukaan laut. Ada debar-debar aneh di hatinya pada
saat itu. Lanangseta sendiri menerka-nerka, apa yang membuat getaran dan debaran
aneh di hatinya" Setelah lama baru ia temukan makna debaran tersebut; bahwa
dia sebenarnya sedang rindu kepada Kirana, istrinya.
Sebagai pengantin baru, ia sudah pergi cukup lama. Jelas hal itu akan membuat
segumpal kerinduan di kedua belah pihak. Namun yang sangat dicemaskan
Lanangseta, adalah kerinduan istrinya.
Putri Bukit Badai, istrinya itu, tak boleh menderita rindu. Sebab bila kerinduan
menyiksa dirinya, maka
darah Kirana akan membusuk dan menjadi beracun,
seperti dulu ketika Lanang pergi tanpa pamit itu. Hampir saja kerinduan Kirana
membuat gadis itu mati selamanya. Untung Lanang segera datang dan mampu
menggerakkan sukma Kirana, membuat darahnya ne-
tral kembali dan akhirnya perempuan itu pun masih hidup sampai sekarang, (dalam
kisah MALAIKAT PEDANG
SAKTI). Dalam perjalanannya pulang ke Bukit Badai, tempat
di mana istri dan mertuanya tinggal di Griya Teratai Wingit, Lanangseta sempat
menemukan mayat Mahani
yang tubuhnya membusuk dan wajahnya hancur per-
tanda mendapat siksaan berat. Lanangseta sempat ter-
bakar darahnya melihat mayat Mahani tergeletak begitu saja. Apa yang telah
terjadi, Lanang tak tahu. Memang ia melihat banyak pohon yang tumbang, banyak
dahan dan ranting yang patah dan terpotong beberapa bagian.
Tetapi siapa yang memotong dan menumbangkannya"
Ludiro atau adik kembar Lanang sendiri: Ekayana" La-
lu... ke mana mereka" Mengapa hanya ada mayat Ma-
hani dan tempat yang berantakan" Ke mana Ekayana,
Ludiro serta Yin Yin" Tak ada bekas darah yang me-
netes ke satu arah.
"Ludirooo..."! Pamaaan Ludiroo...!" teriak Lanang bergema. Namun sepi, tak ada
jawaban. "Ekayanaaaa...! Ekayanaaaa... di mana kauu...!"
Juga tetap sepi, tak ada jawaban. Lanangseta gemas
sendiri. Ia naik ke atas pohon, memeriksa keadaan se-keliling. Namun tempat itu
sangat sunyi. Tak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sana sini.
Mata Lanang tertuju pada mayat Mahani. Hatinya te-
riris melihat keadaan dan nasib gadis desa yang lugu itu. Kasihan sekali Mahani,
karena memburu cintanya
kepada Lanang sampai-sampai ia menjadi korban yang
menyedihkan. Padahal Lanang yang diburunya sudah
menikah dengan Kirana, Putri Bukit Badai yang anggun dan sangat dicintai Lanang
itu. Bau busuk itu sangat tajam. Lanang tak sanggup ka-
lau harus menggali kubur dan memakamkannya. Satu-
satunya jalan harus dibakar.
Sebab itu, Lanangseta segera mengumpulkan daun
kering dan kayu-kayu kering. Barang-barang itu dis-
usun rapi menutupi mayat Mahani. Kemudian, Lanang
mengambil jarak dan mencabut Cambuk Naganya. Ia
tak tahu apakah ia bisa memakai cambuk itu atau ti-
dak. Tapi seingatnya, dulu ia pernah menggunakan
cambuk tersebut dalam suatu pertempuran di Tebing
Neraka. Dan tangan serta tubuhnya bergerak-gerak
sendiri, seakan sedang memainkan jurus Cambuk Naga
milik bekas kekasihnya: Sekar Pamikat.
Dalam keadaan merenung itu, tahu-tahu Lanangseta
merasa bingung sendiri setelah tangannya yang meme-
gangi cambuk itu berputar-putar. Cambuk Naga bagai
melingkari udara di atas kepalanya. Kemudian cambuk
itu pun melejit ke atas tumpukan kayu, Satu kali melejit: "Taar...!" Dan
tumpukan kayu itu pun terbakar seketika. Api berkobar membakar mayat Mahani yang
tak terkuburkan oleh siapa pun itu.
Lanangseta segera berlari menuju Griya Teratai Win-
git. Ia sudah tak tahan memendam kangen dengan is-
trinya. Namun ketika ia sampai di Griya Teratai Wingit, ia jadi kecewa ketika
Rama Sabdawana, mertua Lanang, berkata:
"Istrimu menyusul kau ke Pulau Kramat. Dia khawatir terjadi sesuatu padamu,
sebab itu ia ke sana."
"Gawat...!" Lanang menggumam cemas. "Paman Ludiro juga ikut ke sana, Rama?"
"Ludiro..."! Oh, dia belum kembali sejak dulu...."
"Lho..."! Ke mana, ya"!"
*** 4 ANDINI sudah memperoleh kekuatan seperti dulu.
Ilmu dan kesaktiannya yang telah hilang, kini kembali seperti sediakala. Ia
telah melakukan Semadi Serap bersama Indra Mada, alias Jaka Bego yang sudah
berubah ujud. Sudah tentu hatinya sangat gembira sekali, sama halnya dengan kegembiraan
yang ada pada Nyai Katri.
Namun, rupanya ada satu masalah yang membuat
kedua perempuan itu gelisah. Masing-masing tak mau
mengungkapkan kegelisahannya. Tapi akhirnya, Nyai
Katri yang membuka rahasia hatinya ketika ia dan An-
dini sibuk membakar ikan untuk santapan Indra Mada
yang masih tertidur.
"Apakah semalam kau sempat bermimpi, Andini?"
Andini menggeleng, sesekali ia menggigit ikan kecil
yang terlanjur hangus. Lalu ia pun bertanya,
"Bagaimana dengan kau, Nyai" Kau tertidur pulas, ya?"
Nyai mendesah. "Semalam aku tak bisa tidur."
Andini sedikit curiga. Ia mengira Nyai menyindirnya.
"Jangan menyindir."
"O, tidak. Aku tidak menyindir siapa-siapa. Aku berkata sebenarnya, An. Aku
semalam tidak bisa tidur. Ada sesuatu yang bergejolak di hatiku dan sangat
menggeli-sahkan. Kau tahu itu?"
"Hemm... tentang salah satu ilmu yang belum kau dapatkan kembali?"
"Bukan. Bukan soal ilmu," jawab Nyai. "Soal lain."
"Soal lain" Hemm... tentang...." Andini berbisik dengan mendekatkan wajahnya ke
telinga Nyai, "Tentang...
Jaka Bego, bukan"!"
Nyai sedikit tersipu. "Terus terang... iya. Memang soal itu. Aku memikirkan
bahwa...."
"Kalau begitu sama persis dengan yang kugelisahkan, Nyai!"
Nyai dan Andini akhirnya tertawa. Sambil membakar
ikan mereka masih terus berbicara tentang Indra Mada dan gejolak birahinya.
"Aku tak berani mengganggunya, Nyai. Aku... yah, terus terang saja, aku memang
mengharapkan cum-buannya, tapi aku takut kalau ilmu yang ada padaku
akan hilang lagi terserap pusakanya yang, hemm...
aduhai itu, Nyai...."
Tawa Nyai Katri semakin menjadi.
"Eh, benar kok. Aku sendiri ngeri. Sebetulnya semalam, bahkan sudah beberapa
malam ini aku ingin sekali mengenyam kehangatan pelukannya, tapi aku juga takut
kalau-kalau aku terjebak dalam Asmara Pasak De-
wa. Tapi... ah, memang serba susah, Andini. Sejak ilmuku kembali lagi, aku jadi
sangat hati-hati kepadanya.
Hasratku sangat bergelora, tapi demi menjaga kewaspadaan, yah... aku jadi
mencarinya sendiri...."
"Mencarinya sendiri?" Andini tertawa menutup mulut
dengan tangannya. "Mencarinya sendiri..." Ih, lucu."
"Ah, terserah. Mau dianggap lucu atau tidak, tapi...
semua itu bersifat: apa boleh buat."
Andini masih mengikik geli.
"Jangan meledek, An!" geram Nyai sedikit cemberut.
"Bukannya meledek, tapi... aku pun juga begitu."
"Mencarinya sendiri?"
"Iya... hi, hi, hi...!"
Indra Mada masih tertidur. Ia perlu istirahat banyak, terutama setelah selama
enam hari melakukan Semadi
Serap untuk kedua perempuan itu. Memang, sudah tiga
hari juga ia beristirahat, namun agaknya masih kurang.
Indra Mada masih sering mengantuk dan tak berse-
mangat memberikan ciuman kepada mereka. Di samp-
ing itu juga karena kedua perempuan tersebut memang
tidak banyak menggodanya.
Sekalipun jantung berdetak-detak, keringat bercucu-
ran menahan gelora cinta, dan desah sering keluar berupa keluh yang
menjengkelkan, namun agaknya kedua


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan itu hanya bisa mendesah dan mengeluh.
Untuk menggoda apalagi memakainya sendiri, seperti
dulu kala, mereka tak berani. Mereka takut kehilangan kekuatannya yang telah
kembali itu. Asmara Pasak De-wa membuat mereka menjadi trauma untuk bercumbu
dengan Indra Mada.
Nyai Katri berkata bagai sebuah gumam, seraya ia
membolak-balik ikan panggang yang ditusuknya me-
makai ranting. "Sebenarnya, kepada siapa lagi kita akan memperoleh pusaka yang istimewa itu"
Kurasa tidak ada lelaki lain yang mempunyai kehebatan seperti Indra Mada,
atau si Jaka Bego...."
"Memang...." kata Andini. Ia juga ikut memanggang salah satu ikan. "Tak ada
lelaki yang bisa sehebat dan setangguh Jaka dalam bercinta. Kekuatannya sungguh
luar biasa. Ke mana lagi kita akan memperoleh kuda se-jantan dia?"
Nyai termenung, sekali pun matanya tertuju pada
ikan yang dipanggangnya, namun pikirannya menera-
wang ke malam-malam sebelum ia melakukan Semadi
Serap. Darahnya berdesir jika ia terbayang kejantanan Jaka sewaktu menyusuri
malam yang dingin bersamanya, juga bersama Andini. Jaka terus berpacu bagai tak
kenal lelah, dari tempat yang satu ke tempat yang lain, lalu kembali ke yang
satu, dan balik lagi ke yang lain, begitu seterusnya ia menyusuri malam yang
dingin dan membuaikan kemesraan sejati itu. Andini sendiri
menjadi kacau pikirannya dan semakin ditikam kegeli-
sahan jika mengingat hal itu.
Namun ada masalah lain yang ingin ia tanyakan ke-
pada Nyai Katri. Mulanya ia merasa tak perlu memasa-
lahkan pertanyaan batinnya. Tapi lama-lama, setelah
direnungkan, ia berkesimpulan bahwa pertanyaan da-
lam batinnya itu perlu mendapat perhatian yang sung-
guh-sungguh. Sebab itu, Andini pun terpaksa melon-
tarkannya saat itu:
"Nyai... sebenarnya siapa di antara kita yang akan menjadi istri Jaka Bego" Kau
atau aku, Nyai...?"
Nyai Katri mendesah. Rupanya ia sendiri bimbang
untuk mengatakan yang sebenarnya. Ia hanya balik
bertanya: "Menurutmu siapa yang pantas mendampinginya?"
"Aku tidak bisa memberi pendapat, Nyai. Aku sendiri bingung. Kalau dia menjadi
istrimu, aku akan kecewa.
Dan kalau aku yang menjadi istrinya, tentu kau pun
akan kecewa, bukan" Jadi.... Ah, entah. Siapa di antara kita ini yang akan
dipilihnya."
Nyai memasukkan beberapa ikan bakar yang sudah
matang ke dalam suatu tempat yang terbuat dari daun
jati. Ia sempat berkata, sekali pun tanpa memandang
Andini: "An... kalau menurutku, kita ini sama."
"Sama bagaimana, Nyai?"
"Kita punya nasib yang sama, punya selera yang sa-ma, dan punya tujuan yang
sama." Nyai berhenti sebentar, memasang seekor ikan laut sebesar betis, menu-
suknya dengan kayu dan menaruhnya di atas kobaran
api. Kemudian ia berkata seraya membolak-balikkan
ikan panggangnya itu:
"Sejak aku kehilangan semua ilmuku, dan kau pun demikian, aku merasakan ada
kesamaan di antara kita.
Yang pertama, kesamaan untuk membunuh Lanangse-
ta. Lalu, kesamaan tidak mempunyai ilmu apa-apa.
Kemudian kesamaan dilayani dan melayani Jaka Bego.
Setelah itu, kesamaan ketagihan Jaka Bego. Seterus-
nya, kesamaan saling suka dan menyukai Indra Mada,
kesamaan ingin membuat kuda jantan kita menjadi se-
hat, dan..,." Nyai berpaling memandang Andini yang saat itu sengaja diam, tidak
mengerjakan apa-apa.
"Terus terang, Andini... sejak kau mau menguburkan aku dalam melakukan Semadi
Serap, sampai kau mau
membongkar kuburanku setelah tiga hari lamanya, se-
jak saat itu aku menganggap kau adalah adikku sendiri.
Karena itu, sewaktu kau dan Jaka masuk ke liang dan
melakukan Semadi Serap, aku menimbunmu dan men-
jagamu dengan hati-hati sekali. Aku tak ingin kau celaka, apalagi Jaka. Aku
punya keinginan agar kita selalu bersama dalam keadaan damai, dan sejahtera.
Sehingga, kemarin sempat pula kupikirkan, seandainya, aku
yang dipilih Jaka, maka kubiarkan kau ikut merasakan kehangatannya kapan saja
kau mau. Aku tidak cembu-ru kepadamu. Aku rela dia tidur bersamamu, sebab kita
toh memang sudah sering tidur bertiga dan saling me-nukar rasa dengannya,
bukan?" Andini diam. Ada semburat keharuan yang terbayang
di kebeningan matanya. Namun ia masih belum bisa bi-
cara apa-apa. Hanya saja, kali ini Nyai Katri merangkul dirinya dan membisikkan
kata, "Dia milik kita berdua, Andini. Kita sama-sama mengaguminya dan... dan
mencintainya, bukan?"
Andini mengangguk. Kedua matanya semburat me-
rah. "Terima kasih, Nyai...." bisik Andini. "Aku tak me-nyangka kalau kau akan
berhati seperti itu." Andini menitikkan air mata, namun buru-buru dihapusnya
sendiri. Nyai Katri sendiri seumur-umur baru kali itu merasa hatinya tersentuh
oleh suatu kelembutan yang
penuh perasaan. Dulu, sebelum ia mengenal Indra Ma-
da, ia tidak pernah seperti itu. Ia pantang tersentuh oleh keharuan. Namun
sekarang, entah bagaimana bi-sa, ia tersentuh oleh keharuan yang nyaris-tidak
terlihat itu. Ketika Indra Mada santap siang, Nyai Katri mengaju-kan pertanyaan
tersebut: "Sebenarnya siapa di antara kita yang ingin kaujadi-kan istrimu, Jaka?"
Indra Mada hanya tersenyum seraya menikmati ikan
bakarnya. Andini menunduk, merasakan desiran halus
di hatinya, sedangkan Nyai Katri memberanikan diri untuk menatap Indra Mada. Ia
merasa tak boleh cengeng
untuk masalah seperti itu. Ia harus bisa menampilkan sosok ketegasan yang dulu
pernah ia miliki.
"Terus terang, Jaka... tadi, sebelum kau bangun, kami berbicara soal itu. Lalu,
semuanya kuserahkan
kepadamu. Terserah kau, siapa yang akan kau pilih dari kami berdua ini: Andini,
atau aku...."
"Apakah aku perlu menjawab pertanyaan seperti
itu?" tanya Indra Mada dengan kalem.
"Kurasa perlu, supaya kami berdua lega dan mengetahui apa yang harus kami
lakukan untuk kamu."
"Kalau begitu, lakukan saja secara bersamaan. Apa susahnya" Bukankah selama ini
kalian juga melakukan
secara bersamaan?"
Nyai Katri sengaja menatap Andini, yang rupanya ju-
ga sedang memandang Nyai. Lalu, Andini memberani-
kan diri bertanya dengan suara yang pelan:
"Maksudmu bagaimana, Jaka?"
Jaka meneguk minumannya. Ia menampakkan sikap
serius dan sungguh-sungguh dalam bicara.
"Kau tahu siapa aku sebenarnya, bukan?"
"Seorang dewa. Dewa Seribu Mimpi," jawab Andini.
"Nah, dalam peraturan, seorang dewa tidak boleh be-ristrikan seorang manusia.
Artinya, dewa harus kawin dengan dewi, atau seorang bidadari. Tetapi seandainya
dewa itu menikah atau mempunyai istri manusia, ada
dua kemungkinan yang bisa dilakukan: keluar sebagai
dewa dan terus menjelma jadi manusia, atau tetap menjadi dewa tetapi tidak boleh
membawa pulang istrinya."
Andini menatap Indra Mada dengan sorot mata sayu.
Indra Mada merasa iba melihat kesenduan Andini dan
Nyai. Indra Mada berkata lagi:
"Aku pernah katakan kepadamu, Nyai, bahwa aku
akan datang tujuh hari sebelum dan sesudah bulan
purnama. Dan selama itulah kalian bisa melepas rindu kepadaku...."
"Maksudnya, aku dan Nyai...?" sela Andini.
"Ya. Kau dan Nyai. Aku ingin memperistri kalian berdua, apabila kalian berjalan
pada jalur kehidupan yang benar. Menjauhi keserakahan, kebatilan, kedengkian,
kekejaman, dan lain sebagainya. Aku ingin mempunyai
istri yang baik-baik, sehingga aku punya alasan untuk mempertahankan tuduhan di
Suralaya nanti. Kalau istriku berbuat keji, serong dari jalan yang benar, maka
bagaimana aku akan bisa mempertahankan keputu-sanku dalam rapat di Suralaya
nanti" Jadi, aku akan
setia kepada kalian, akan memberikan kebahagiaan
yang kalian cari selama ini, asalkan kalian menjadi manusia yang betul. Bukan
manusia yang berjiwa binatang dan iblis."
Nyai Katri tertunduk, merasa dirinya dulu hidup pe-
nuh dengan kekejian, sampai-sampai banyak yang men-
julukinya sebagai perempuan iblis. Bahkan dulu pun ia pernah berjuluk Iblis
Sendang Bangkai. Namun, setelah ia mendengar penuturan Indra Mada itu, hatinya
menjerit dan menangisi masa lalunya. Kini ia ingin menjadi manusia yang
menjalani hidup dalam kebenaran. Ia tak ingin ditinggalkan Indra Mada, sebab
pada diri Indra Mada itu seakan segala yang dicarinya selama ini telah
diperolehnya. Kebahagiaan sejati.
Saat itu Andini juga berani bertanya kepada Indra
Mada: "Lalu, bagaimana dengan kemesraan dan kehanga-
tan yang kami butuhkan dari kamu, Jaka" Apakah ti-
dak akan menyedot ilmu kami lagi?"
Indra Mada tertawa, dan Nyai Katri segera menam-
bahkan kata: "Benar. Hal itu sangat menghantui kami, sehingga kami jadi takut menggumuli
kamu, Jaka."
Lalu jawab Indra Mada, "Aku tak akan segila dulu.
Aku tak akan memasang perangkap lagi untuk kalian,
asal kalian mau menjadi manusia baik-baik. Ilmu As-
mara Pasak Dewa hanya untuk menunjukkan perem-
puan-perempuan berhati sombong dan keji. Tapi... ku-
rasa kalian sekarang bukan manusia sombong dan keji.
Kurasa kalian sekarang menjadi perempuan-perempuan
yang... yang selalu memancing gairah dan memang
membuatku betah...."
Tawa Indra Mada terlepas, seperti halnya tawa Nyai
dan Andini. Dan di balik tawa itu, sesungguhnya suatu sorak kegembiraan yang
panjang bagi Nyai Katri dan
Andini. Karena dengan begitu, mereka dapat segera meneguk secawan anggur
menghapus dahaga yang selama
ini mereka tahan-tahan.
Buktinya, sejak itu mereka berdua tak pernah ber-
henti memancing-mancing Indra Mada dengan cara dan
gayanya masing-masing, sehingga Indra Mada pun
hanya diam dan berlagak lemas ketika digotong masuk
ke kamar. Andini dan Nyai merasa mempunyai kekua-
tan yang maha dahsyat, sehingga mereka berdua mem-
biarkan Indra Mada berlagak lemas. Kini mereka men-
dayung sendiri, membawa sampan ke ujung dunia,
mengarungi samudra cinta ke puncak Himalaya seting-
gi-tingginya. Mereka bekerja tanpa memberi kesempa-
tan Indra Mada untuk membalas serangan dengan ju-
rus tertentu, sebab mereka ingin meluapkan amukan
birahi sekehendak hati. Dendam asmara yang tertunda, membuat mereka sibuk
sepanjang hari tanpa meminta
Indra Mada mengayuh sampan di antara dua genangan
samudera. Sore dilewati tanpa henti. Dan malam dijelajahi tan-
pa kelelahan. Tenaga mereka adalah tenaga dalam yang diperbantukan untuk
merengkuh kebahagiaan. Tenaga
mereka bukan sekedar tenaga seorang perempuan yang
hanya bisa lunglai di ujung satu dermaga. Mereka
mempunyai tenaga simpanan yang mampu melewati
banyak dermaga, bahkan banyak pulau yang dilalui
tanpa berhenti kecuali bergantian menjadi nakhoda.
"Kurasa Lanangseta tak akan sebegini mengagum-
kan." tutur Nyai. "Jadi, sebenarnya sia-sia sekali kau dulu mengejar-ngejar
Lanangseta. Kau malah seperti
perempuan hina yang tak dihargai sama sekali oleh Lanangseta, Andini."
Waktu itu, Andini hanya tersenyum dan sibuk men-
gatur nafasnya sambil mendengarkan omongan Nyai
yang tengah beristirahat sejenak itu, Nyai berkata lagi
seperti orang menerawang:
"Tak ada perempuan sebahagia kita, Andini. Tak ada.
Sekali pun dia istri Lanangseta, namun dia belum tentu sebahagia kita...." Nyai
tertawa ketika ia melihat Indra Mada masih tertidur dan membiarkan dirinya
diayun-ayunkan ke ujung dunia.
Namun, pada saat itu ada sedikit perubahan yang te-
rasa di hati Andini. Begitu ia mendengar nama Lanangseta, begitu istri
Lanangseta disebutkan, bergetar hatinya. Ia merasa dihina pada waktu itu oleh
Lanangseta. Ia merasa dianggap perempuan tak punya harga di ma-
ta Lanang, mungkin juga di mata Ludiro atau istri Lanangseta itu.
Perasaan-perasaan itu mengganggu kenikmatan ma-
lam menjelang pagi. Sampai akhirnya Andini mele-
paskan kesibukannya, dan segera mengenakan gaun-
nya yang tipis. Nyai merasa heran.
"Hei, cepat sekali kau selesaikan tugas batinmu" Tidak menyesal terlalu cepat?"
"Aku ingin menghirup udara di luar kamar, Nyai.
Berlayarlah sendiri, nanti aku akan menyusul lagi kalau pernafasanku sudah lega
kembali...."
Nyai tidak tahu, Nyai hanya tertawa dan berkata,
"Makanya, kalau cepat mabok jangan naik sampan. Bi-sa cepat muntah...." Tawa
Nyai berkepanjangan sambil ia sendiri mulai meraih dayung dan mempermainkan-nya
sejenak. Andini keluar dari kamar dengan wajah
murung tipis. Ia masih teringat kata-kata Nyai; sebagai perempuan yang
diremehkan, dihina dan dianggap tidak mempunyai harga diri. Andini merasa
menyesal se- kali, mengapa ia menciptakan kesan seperti itu kepada Lanangseta, sehingga suatu
saat ia akan menjadi bahan ejekan oleh Lanang, dan terlebih lagi oleh istri
Lanangseta sendiri. Iih... gemas sekali ia jadinya.
Dan mendadak dalam ingatan Andini juga muncul
wajah Ekayana. Andini menggeram, menggeletukkan gi-
gi. Menahan gejolak nafsu amarah teringat betapa sa-
kitnya ia dikhianati Ekayana, dianggap perempuan tak punya arti apa-apa
dibandingkan dengan Yin Yin, gadis Cina itu. Padahal kegantengan Ekayana maupun
Lanangseta, tak ada separoh dari ketampanan Indra Ma-
da. Dari renungan ke renungan, timbullah dendam yang mulai membara di hati
Andini. Dari dendam ke dendam, mulai timbul kemarahan yang meluap-luap. Dari
kemarahan itulah timbul sebuah gagasan untuk membunuh
mereka: orang-orang Lanangseta yang pernah dikenal-
nya. Setidaknya dengan membunuh mereka, Andini me-
rasa tertutupi rasa malunya di masa lampau. Dengan
membantai mereka, Andini dapat menunjukkan kepada
dunia, bahwa dia bukan perempuan murahan yang
pantas dihina dan diremehkan oleh lelaki seperti Lanang dan Ekayana.
"Tetapi mereka cukup tangguh...." pikir Andini dalam ketermenungannya itu.
"Ilmuku agaknya tak seberapa dibandingkan dengan Ekayana, apalagi Lanangseta.


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sa-tu-satunya jalan, aku harus membujuk Nyai agar ia
mau membantuku...! Ah, tapi Nyai belum tentu mau. Ia sudah ingin menjadi orang
baik. Puih...! Orang baik"
Apakah ia akan mampu" Apakah Nyai dapat bertahan
untuk tidak membunuh siapa pun?"
Andini mondar-mandir di ruang tengah yang panjang
itu. Suara desah dan erangan Nyai terdengar jelas, namun ia tak ambil pusing
lagi. Otaknya sudah digeluti oleh dendam dan kebencian kepada Ekayana, Yin Yin,
Lanangseta, istri Lanang dan... orang-orang yang masuk dalam kelompok Lanangseta
itu. "O, ya... aku ada akal...." katanya dalam hati. "Bukankah dulu, sebelum Nyai dan
Jaka masuk ke liang
kubur, ia pernah menunjukkan sebuah pusaka dari
Tiongkok" Ya, aku ingat ketika Jaka menceritakan
keampuhan seruling itu. Dapat membunuh lawan hing-
ga menjadi berkeping-keping jika ditiup sambil kita
memandang lawannya. Wouww...! Itu dia yang harus
kucuri. Itu yang akan membantuku. Seruling Surga...!
Yah, dengan seruling itu akan bisa mengalahkan mere-
ka. Dan... dan aku harus segera mencurinya untuk ke-
mudian akan kukembalikan lagi setelah selesai urusan itu."
Kelengahan Nyai dalam bercumbu yang tidak kenal
lelah itu telah memberi peluang bagi Andini. Anak putri Panglima Negeri Seberang
itu telah berhasil mencuri Seruling Surga, bekas pusaka seorang biksu Tiongkok.
Dengan sangat hati-hati, Andini menyelipkan Seruling Surga itu. Ia mengenakan
ikat pinggang dari kain selendang warna biru, dan kainnya yang merah jambu di-
biarkan melekat tipis pada kulit tubuhnya. Pelan-pelan sekali ia pergi
meninggalkan rumah panjang, tempat di mana Nyai serta Indra Mada masih asyik
menikmati ayunan ombak bahtera kebahagiaannya. Andini menye-
linap, merayap, dan pergi memburu dendamnya dengan
berbekal Seruling Surga.
Tepat matahari menyingsing, Andini berdiri di pantai.
Ia menggerakkan kedua tangannya ke depan, lalu ke-
duanya terentang dan naik ke atas kepala, lalu kedua telapak tangannya itu
saling bertemu, mengatup rapat di atas kepala. Kemudian kedua tangan yang telah
merapat itu bergerak turun perlahan-lahan. Sebaris mantra diucapkan dalam hati.
Dan dengan satu gerakan
kuat, kedua tangan yang mengatup sudah berada di
depan pusarnya itu membuka seketika, bagai ia menye-
bar sesuatu ke permukaan air laut. Dan pada saat itu pula, ternyata air laut
menjadi beku. Samudra bagaikan padang es. Salju turun samar-samar. Lalu, Andini
berlari dengan menapak di permukaan air laut yang telah
menjadi beku itu.
Ketika sampai di pantai seberang, Andini menghem-
buskan nafas panjang sambil mengulangi gerakan se-
perti tadi, sewaktu ia hendak membekukan air laut. Ketika ia menghempaskan
nafas, air laut pun bergolak
kembali dan menjadi cair. Salju yang beterbangan berhenti sedikit demi sedikit.
Udara dingin segera berganti hangat karena matahari sudah kian meninggi.
Pada waktu itu, ada sepasang mata menyaksikan se-
gala gerakan Andini. Sepasang mata yang tajam dan indah itu jelas milik seorang
perempuan. Ia berlindung dari balik bebatuan di tepi pantai sebelah ujung. Ia
sempat kagum melihat kemampuan Andini membekukan air laut. Dan diam-diam
perempuan yang mengintai itu pun menguntit gerakan Andini. Ia mengira, Andini
adalah jelmaan dari Nyai Katri yang terkenal dapat berganti-ganti rupa seribu
kali. Perempuan itu tak lain adalah Kirana Sari, istri La-
nangseta yang sedang menyelidiki dengan indra keenam apakah Lanang berada di
Pulau Kramat itu atau tidak.
Tetapi sepanjang penyelidikannya, ternyata Lanang
memang tak ada di sana. Jadi tak ada salahnya jika Kirana menguntit gerakan
perempuan bergaun merah
muda, berikat pinggang selendang biru. Kirana belum
tahu kalau perempuan yang dikuntitnya itu adalah An-
dini. Dulu, dia memang pernah melihat wajah Andini,
namun tidak sekurus itu. Kini wajah Andini sedikit ber-beda dengan wajah saat
dia bertemu dengan Ekayana di depan Goa Malaikat.
Beberapa saat setelah Kirana mengikuti Andini, ba-
rulah ia ingat bahwa ia pernah bertemu dengan gadis
itu. Kirana juga ingat bahwa Andini adalah kekasih
Ekayana, adik kembar Lanangseta, suaminya. Kirana
tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kirana ingin
mengejar Andini untuk menanyakan sesuatu. Tetapi ge-
rakan Andini cukup lincah dan cepat. Ada kecurigaan
yang timbul di hati Kirana setelah ia melihat gerakan Andini seakan tidak ingin
diketahui oleh orang lain. Ini berarti Andini menyimpan suatu rahasia yang cukup
penting, dan Kirana ingin mengetahuinya.
Kirana sengaja menguntitnya dari jarak jauh. Ia me-
manfaatkan kepekaan indra keenamnya yang mampu
mengetahui ke mana arah larinya Andini.
"Apa yang akan dilakukannya" Mengapa ia seperti pencuri yang takut diintip
orang?" pikir Kirana.
Mendadak Andini berhenti. Kirana buru-buru ber-
sembunyi di balik semak belukar. Andini melompat ke
atas pohon dengan gerakan ringan yang menyerupai
kupu-kupu terbang. Kirana pun ikut melompat ke salah satu pohon yang berdaun
rimbun. Rupanya Andini melihat sesosok bayangan melesat di balik tiga pohon
besar berjajar itu. Andini memandang ke arah sana, dan Kirana pun memandang ke
arah serupa. "Oh, dia mengincar Paman Ludiro...?" pikir Kirana.
Andini melesat ke pohon yang satu, Kirana menyu-
sul, menempati pohon yang semula dipakai Andini. Ma-
ta Andini memandang ke arah Selatan, Kirana pun
mengikutinya. "Oh, itu dia adik Lanangseta...?" kata Kirana dalam hati. "Agaknya ia sedang
dalam kejaran Paman Ludiro.
Oh, dia membawa gadis Cina.... Astaga" Ada persoalan apa mereka sebenarnya?"
Andini melesat ke pohon yang satu, lalu melompat
lagi ke tempat yang lebih rendah, lalu bersifat menunggu, dan ia segera turun
dari atas pohon tepat di depan Ekayana yang tengah membawa lari Yin Yin. Kirana
mengikutinya terus secara hati-hati. Bahkan ia mendapat tempat yang cukup
strategis untuk bersembunyi
dan melihat apa yang terjadi di bawah sana.
Ekayana terperanjat melihat Andini menghadangnya.
Yin Yin paling kaget melihat Andini turun dari atas pohon seperti kupu-kupu
raksasa. "Andini..."!" Ekayana mencoba menyapa dengan halus.
Andini bersikap kasar, "Kau tak perlu beramah sapa lagi kepadaku, Bajingan.
Sekarang tiba saatnya aku
membalas sakit hatiku karena penghianatanmu, Bajin-
gan...!" "Kau, Bajingan perempuan...!" Yin Yin yang bersuara kecil, seperti suara anak-
anak, begitu tandas dan berani membentak Andini.
"Hei, Perempuan jalang...! Bersiaplah kau menuju neraka! Sepantasnya kau di
sana, karena kerjamu tu-kang merebut kekasih orang...!"
"Biadab kau. Ciaaat...!" Yin Yin menyerang Andini dengan kegeraman amarahnya.
Kakinya melayang secara bergantian bagaikan sabetan kipas. Andini menghantam
kaki itu dengan Seruling Surga. Hantamannya cu-
kup kuat, namun kaki Yin Yin yang menendangnya juga
cukup menghentak, sehingga Andini terpental.
pada saat itulah, Andini meniup Seruling Surga sete-
lah sebelumnya ia berteriak. "Sekarang saatmu menemui ajal, Gadis kotor...!"
Seruling ditiup, suaranya melengking bagai irama pelepas sukma. Yin Yin
terkejut, lalu mengejang. Ia mendekap telinganya dan berteriak kesakitan.
Ekayana segera menyerang Andini karena
tahu bahwa seruling itu mempunyai suatu tenaga gaib
yang amat membahayakan keselamatan Yin Yin.
Ekayana berseru: "Andini...! Jangan...!"
*** 5 ANDINI semakin meniup dengan suara lengking.
Ekayana bimbang dan kebingungan, karena Yin Yin su-
dah terlanjur kelojotan dan berteriak-teriak sangat histeris.
"Hentikan...! Hentikaaaan...!" teriak Ekayana. Lalu ia segera menyerang Andini
dengan pedangnya. "Jahanam kau, Diniii...!"
Tetapi terlambat. Gerakan Ekayana terhenti seketika, karena jeritan Yin Yin
semakin melengking menyamai
suara seruling. Lalu, dengan mata kepala sendiri
Ekayana melihat tubuh Yin Yin menjadi retak-retak,
dan akhirnya meledak tanpa suara, namun cukup men-
gejutkan dan mempertinggi kepanikannya.
Tubuh gadis Cina itu pecah menjadi berkeping-
keping. Serpihan dagingnya berhamburan kian ke mari.
Dan Ekayana pun berteriak keras. "Yin Yiiiin...!"
Ekayana bermaksud memeluk Yin Yin, tetapi apa
yang hendak dipeluknya" Tak ada bagian tubuh yang
tersisa sebesar genggaman tangan manusia. Tak ada.
Semuanya menjadi cuilan-cuilan kecil yang tak mampu
lagi dipungut maupun diraup menjadi satu.
Kirana yang memperhatikan dari tempat persembu-
nyiannya menjadi bergidik melihat kejadian itu. Ia hampir saja turun dari atas
pohon dan menyerang Andini.
Namun ia masih menyadarkan diri. Karena pada saat
itu, Ekayana maju menyerang Andini dengan kemara-
han yang tak terkendali. Ekayana mengibaskan pe-
dangnya ke leher Andini, tapi Andini segera menangkisnya dengan Seruling Emas
berukir ular naga. Kaki An-
dini menendang ketiak Ekayana, namun tendangan itu
justru disongsong dengan pukulan keras dari tangan ki-ri Ekayana. Pukulan itu
mengenai tulang kering kaki
Andini sehingga Andini memekik kesakitan.
"Aaauh...! Bangsat kau, Ekayana...!"
Pedang Ekayana mengibas ke samping dengan cepat.
Andini menghindari dadanya dari sabetan pedang. Ia
melengkungkan badan ke belakang. Tetapi aneh... ia
merasa perih pada bagian pahanya. Ketika dilihatnya, ternyata kedua pahanya
telah robek akibat kilasan pedang Ekayana. Gerakan pedang Ekayana yang dikira
hendak merobek dada, ternyata begitu cepat dan menu-
ju paha sasarannya. Andini tak mengira kalau pahanya yang menjadi sasaran pedang
Ekayana. Ia mengaduh dan sedikit limbung. Tetapi Ekayana
sudah hilang kesabarannya. Ia berguling mendekati ka-ki Andini dan pada saat itu
ia menebas kaki Andini seperti ia hendak memperuncing sebatang bambu. Andini
sempat mengelak dengan satu loncatan yang sekaligus
berhasil menendang wajah Ekayana.
Tetapi Andini segera terbungkuk karena perutnya te-
rasa perih. Ia memandang bagian perutnya dengan ma-
ta membelalak. Ternyata perut Andini robek beberapa
bagian sekali pun tidak dalam. Ia tak sadar kalau gerakan Ekayana itu begitu
cepat dalam mempermainkan
pedang, sehingga perut robek pun tak sempat disadari sebelumnya. Andini mengira
Ekayana hendak memotong kakinya.
"Pantas kalau dia dijuluki Pendekar Maha Pedang,"
pikir Kirana dari tempat persembunyian. Ia ingin memberi komentar lain, namun
pertarungan Andini dan
Ekayana cukup mengagumkan. Jurus-jurus pedang
Ekayana membuat Kirana terbengong-bengong kare-
nanya. Kali ini, Andini sengaja menyerang Ekayana dengan
pukulan Bidadari Senja. Ekayana berhasil berkelit sambil bersalto ke samping,
dan pukulan itu mengenai batu setinggi lutut. Batu itu menjadi hitam, hangus,
lalu ron- tok seketika itu. Ada asap mengepul dari batu tersebut.
Andini tak mau tinggal diam. Ia mencari tempat untuk meniup seruling, namun
Ekayana segera melayangkan
tubuhnya seperti burung walet. Pedangnya terarah lu-
rus ke depan. Andini terpaksa berkelit sambil melompat ke kiri.
"Jangan lari kau, Iblis...!" teriak Ekayana seraya memburu Andini dengan
bersalto. Tahu-tahu Ekayana
sudah berada di depan Andini. Pedangnya bergerak
membabat ke sana-sini. Andini menghindar dengan me-
liukkan badan, sesekali menangkisnya memakai Serul-
ing Emas. Namun seketika dirasakan kecepatan gera-
kan pedang Ekayana semakin tinggi, Andini segera berguling-guling ke tanah.
Ekayana mengejarnya dengan
hentakan-hentakan kaki yang selalu meleset.
Lalu dengan kecepatan luar biasa, Ekayana pun ikut
berguling-guling dengan cepat bagai baling-baling di rumput. Andini menjaga
jarak agar jangan sampai ber-sentuhan dengan pedang Ekayana.
Dalam satu kesempatan, Andini berhasil lolos den-
gan cara berkelit pada sebatang pohon, lalu melentik ke atas bersalto beberapa
kali. Tubuhnya dapat mendarat dengan sempurna dan kaki berdiri tegap, sedikit
me-renggang. "Hah..."! Kurang ajar kau, Maling...!" teriak Andini setelah mengetahui bahwa
semua gaunnya tercabik-cabik rapi oleh pedang Ekayana. Andini menjadi
kebingungan, malu sekali. Tak ada bagian gaun yang masih
tersisa selembar daun talas. Semuanya menjadi robek-
robek. Bagai pakaian pengemis yang tiga tahun tidak
pernah diganti. Tapi Andini merasa kulit tubuhnya tak ada yang terluka lagi,
kendati bagian dadanya ada yang tersembul ke luar dengan sangat memalukan.
Ekayana tidak memberi kesempatan kepada Andini.
Ia menyerang lagi dengan gerakan seperti monyet ber-
jumpalitan di angkasa. Pedangnya mengibas ke sana si-ni seakan sedang melindungi
dirinya sendiri. Andini
menjaga kemungkinan yang dapat lebih parah lagi. Ia
segera melompat ke atas pohon, dan berlari melesat dari dahan ke dahan. Hampir
saja ia hinggap di pohon tempat persembunyian Kirana.
"Andini...! Jangan lari...! Kau harus bertanggungja-wab atas perbuatan kejimu,
Setan Betina...!" Ekayana mengejar dengan satu hentakan kaki. Tubuhnya melesat
ke atas pohon, dan ia melesat dari dahan ke dahan, mengikuti arah Andini. Ia
berseru memanggil-manggil
Andini dengan kemarahan yang benar-benar tak ter-
bendung lagi. Tiba-tiba terdengar suara seruling yang melengking
dan mendayu-dayu. Kirana terperanjat dan mulai pa-
nik. Ia juga melompat ke pohon yang lain untuk melihat apa yang terjadi. Pada
saat itu, ia melihat Ludiro telah berdiri di atas pohon dan berseru.
"Ekayana...! Cepat lari...! Jangan mendekat!"
Tapi Ekayana tidak mempedulikan seruan Ludiro.
Sekali pun Ludiro tadi mengejar-ngejar Ekayana, na-
mun pada saat ini, Ludiro merasa kasihan kepada
Ekayana. Ia juga melihat peristiwa malang yang menim-pa diri Yin Yin. Sebab itu
ia bermaksud membantu
Ekayana. Sebab bagaimana pun juga, Ekayana adalah
adik Lanangseta, atasan Ludiro yang selalu harus dijaganya.
Tetapi bantuan itu terlambat. Andini telah meniup
Seruling Surga dan Ekayana tetap nekad mendekat. Ke-
tika tubuh Ekayana hendak mendekati Andini, ia ter-
pental dan jatuh ke tanah. Ekayana meringis dan men-


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerang. Bukan karena ia jatuh dari atas pohon tapi karena suara suling itu
mendenging-denging di gendang
telinganya. Ekayana berusaha untuk berdiri, tetapi ia terkulai lemas.
"Aaakkh... aaakhh...!" Ekayana mulai mengejang dan menutup kedua telinganya. Ia
kelojotan. Suara Seruling Surga semakin melengking tinggi. Suara erangan
Ekayana berubah menjadi teriakan yang histeris.
Saat itu Ludiro menerjang Andini dengan satu gera-
kan melayang. Tapi Andini masih dengan tenang me-
niup serulingnya, sedangkan Ludiro jatuh terpental dan nyaris kepalanya
terbentur batu di tanah.
"Aaaaahhhkk...!" teriak Ekayana sembari kelojotan seperti ayam disembelih.
Ludiro tak tega melihat Ekayana seperti dalam kea-
daan sekarat. Segera ia melemparkan senjata raha-
sianya yang berupa mata pisau kecil beracun itu. Anehnya, senjata itu tak pernah
mau mengenai tubuh Andi-
ni, sekali pun Andini tetap duduk di dahan dengan tenang meniup seruling.
Senjata-senjata itu hanya me-
nancap di kanan kiri Andini, bahkan terkadang melesat entah ke mana.
"Aaaooowww...! Tolooong, aaahhh...!"
Teriakan Ekayana begitu histeris, mengiris hati yang mendengarnya. Ludiro hendak
mendekat dan membawa
kabur Ekayana. Tetapi tiba-tiba Ekayana berteriak melengking menyamai suara
seruling, lalu tubuhnya meletus tanpa suara, kecuali suara daging dijebol dan
darah tersembur.
"Ekayanaaaa...!" teriak Ludiro dalam kebingungan.
Tubuh Ekayana seperti nasib Yin Yin, meledak men-
jadi cuilan-cuilan kecil yang tak mampu diraup lagi.
Daging dan tulang yang sebesar jempol kaki itu menyebar ke mana-mana, bahkan ada
yang menghantam tu-
buh Ludiro beberapa buah. Ludiro berteriak antara ke-takutan dan jijik.
Kengerian apa yang terjadi pada diri Ekayana benar-benar membuat bulu kuduk pun
berdiri meremang. Kirana berulang kali mengusap tengkuk ke-
palanya dari tempat persembunyiannya. Ia pun tadi
nyaris ikut berteriak sewaktu tubuh Ekayana pecah
menjadi berkeping-keping.
Andini menghentikan tiupan serulingnya. Ia tertawa
melihat Ekayana dan Yin Yin sudah menjadi cuilan-
cuilan mayat tak terawat.
"Mampus semua! Sekarang mampus semua...!"
"Andini...! Sadarlah kamu, Andini...!" Ludiro berseru.
Andini turun dari pohon dan menghadapi Ludiro. Ia
bertolak pinggang dengan masih menggenggam Seruling
Surga itu. Ia tersenyum sinis dan berkata:
"Apakah kau akan menyusul Ekayana dan Yin Yin,
Paman?" "Andini..."! Iblis mana yang telah merasuk ke dalam ragamu, hah"! Kejam sekali
kau! Kejaaam...!"
"Baiklah, rupanya kau ingin seperti dia juga, Paman!"
Andini siap meniup seruling, tetapi Ludiro segera melemparkan senjata
rahasianya. "Seet...! Seet...! Seet...!"
Tiga senjata berupa mata pisau kecil melesat. Andini menangkisnya dengan gerakan
suling yang mengibas ke
sana sini bagai mainan saja. Senjata itu mental ke beberapa arah. Ludiro
penasaran, ia segera mencabut pe-
dang Jalak Pati. Dengan pedang itu ia menyerang Andi-ni. Kemarahannya meluap dan
gerakannya menjadi liar.
Kasar. Kirana tidak begitu khawatir, sebab ia tahu Ludiro
orang yang kebal terhadap senjata apapun. Karena itu, Kirana masih tetap sebagai
penonton setia, untuk kemudian dapat menyelidiki di mana letak kekuatan An-
dini dan di mana letak kelemahannya.
"Kubunuh kau kalau tak mau kembali sebagai ma-
nusia...!" teriak Ludiro sambil membabat perut Andini.
Tapi Andini berkelit dengan menggerakkan tubuhnya ke kiri dan menghadang gerakan
tangan Ludiro yang hendak kembali ke tempat semula. Begitu tangan ditarik
mundur oleh Ludiro, Seruling Surga menghentakkan
tulang siku, memukul keras dan membuat Ludiro me-
ringis kesakitan. Saat itulah pertama kali Kirana merasa cemas terhadap
keselamatan Ludiro.
Andini melompat menghindari serangan pedang Lu-
diro. Tapi sebelumnya ia sempat menendang ulu hati
Ludiro dengan keras. Ludiro terjengkang ke belakang, dan hal itu dipakai untuk
lari oleh Andini.
"Aku segan menghadapimu, Paman. Jangan kejar
aku...!" "Apa pun alasannya, kau harus kukejar, Andini...!"
Ludiro melesat mengikuti arah Andini. Sedangkan
Kirana segera mengikuti mereka karena hatinya berde-
bar-debar, cemas tentang diri Ludiro. Tapi agaknya Andini mempunyai kecepatan
khusus yang sulit diikuti.
Ludiro sempat kehilangan jejak.
Tetapi pada suatu tempat, ia berhasil melihat Andini duduk di sebuah batu besar
dengan seruling siap diti-upkan. Langkah Kirana terhenti.
"Paman...! Jangan melawan aku. Aku masih ingat ja-samu ketika kau menolongku
dari racun senjatamu.
Aku masih ingat saat kita menyerbu ke Sendang Bang-
kai. Kuminta, jangan menyerangku, nanti kau celaka
sendiri, Paman. Aku hanya ingin bertemu dengan La-
nangseta dan istrinya...!"
Kirana yang berada di tempat persembunyian mulai
terperanjat kaget. Kini dirinya merasa terlibat dalam urusan tersebut. Namun ia
belum mau keluar. Ia sempat mendengar Ludiro berkata: "Aku tahu, kau ingin
membalas dendam kepada Lanang dan istrinya, karena
cintamu ditolak oleh Lanang, bukan. Terutama pasti
kau dendam kepada istrinya. Tapi ketahuilah, sebelum kau berhadapan dengannya,
kau harus berhadapan
denganku dulu, Andini...!"
"Jangan takabur, Paman Ludiro...! Kau lihat sendiri
betapa mudahnya aku membunuh Ekayana dan Yin
Yin, bukan" Tentunya aku pun akan mudah membu-
nuhmu jika kau menghendaki demikian." Andini tersenyum angkuh. "Biarkan aku
menghadapi istri Lanangseta. Suruh dia ke mari! Suruh Lanang juga ke mari untuk
menyaksikan siapa yang terunggul antara aku dan
istrinya! Hah...! Akan kubikin Lanang bertekuk lutut di hadapanku sambil
menangis-nangis memunguti daging-daging istrinya...!"
"Andini...! Tutup mulutmu!" Ludiro menerjang Andini dengan gerakan pedang Jalak
Patinya. Tetapi sebelum
pedang itu sempat mengenai tangan Andini, tiba-tiba
sekelebat bayangan menyambar pedang Jalak Pati
hingga pedang itu pun terlepas dari pegangan Ludiro.
Ludiro terbengong. Andini tertawa. Seorang perem-
puan berwajah cantik dan anggun memegang pedang
Jalak Pati. Perempuan itu berdiri tepat di antara Ludiro dan Andini.
"Ap... apa maksudmu, Putri..."!" Ludiro masih serba bingung. Ia memandang Kirana
yang memegangi pedang Jalak Pati sambil tersenyum tipis.
Andini yang belum menyadari siapa Kirana masih
menertawakan Ludiro seraya berkata:
"Paman, Paman... tidak gampang membunuh orang
seperti aku. Buktinya, selalu saja ada orang yang me-mihak dan membelaku. Kau
lihat, sendiri bukan" Tanpa bergerak, pedangmu sudah bisa dilucuti, dan tanpa
menghindar aku sudah bisa lolos dari jurus pedangmu."
Kirana masih tersenyum dan mempermainkan pe-
dang Jalak Pati seperti mempermainkan sebatang kayu
tanpa arti. Andini tersenyum kepada Kirana, lalu berkata: "Terima kasih atas
pertolonganmu yang tepat waktu, Teman. Tapi... boleh aku tahu ada urusan apa kau
dengan lelaki pendek hitam ini?"
"Tidak banyak. Ada sedikit persoalan yang membuat aku tidak rela jika kau
dibunuh atau dilukai olehnya,"
jawab Kirana. Andini semakin bangga dan manggut-
manggut. "Boleh aku tahu mengapa kau tidak rela dia melu-kaiku?" tanya Andini seraya
melirik Ludiro yang terbengong.
"Sebab akulah yang berhak membunuhmu, Ka-
wan...." Andini mendelik seketika. Jawaban Kirana yang lem-
but sangat mengejutkan hatinya. Ia mulai bergegas pasang kuda-kuda seraya
berkata: "Siapa kau, hah"!"
"Orang yang kau cari! Aku istri Lanangseta."
Sekali lagi Andini mendelik, terperanjat. Mulutnya
bagai kelu, tangannya sedikit gemetar.
Kirana tetap tenang dan tidak menampakkan kema-
rahannya. Ia bahkan berkata:
"Kau tidak ingat dengan wajahku" Kau lupa, Andi-ni?"
Andini menggeragap sebentar, lalu segera berkata
dengan angkuh: "Maaf, terhadap perempuan jalang aku memang
gampang lupa." Ia menyunggingkan senyum sinis. Kirana membalas.
"O, ya. Aku memaklumi. Perempuan yang rakus lela-ki memang sering lemah
ingatannya."
"Puihh...!" Andini meludah dengan gemas. "Rupanya kau sudah tak sabar menunggu
saat kematianmu, ya?"
"Sangat tak sabar, Kawan...! Sampai-sampai aku terpaksa melukaimu lebih dulu...
Ciaaat...!"
Kirana menendang dengan tendangan miring, dan
Andini tak sempat mengelak. Dadanya terhentak bagai
kejatuhan benda besar dan berat. Andini sempat terbatuk-batuk. Dan Kirana tak
menyia-nyiakan kesempatan
itu. Ia segera memukul dengan sikutnya dan mengenai
tengkuk kepala Andini. Andini semakin sempoyongan
dan mengaduh tertahan. Gerakan kepala Andini yang
menunduk segera didongakkan oleh Kirana dalam satu
tendangan beruntun sambil Kirana melompat dan ber-
salto ke belakang.
"Paman... bawa pedangmu dan cari Lanang...!" teriak Kirana seraya melemparkan
pedang Jalak Pati.
"Aku di sini, Sayang...!" seru suara di atas pohon.
"Lanang...!" panggil Ludiro. Ia segera menyusul Lanang yang bertengger di atas
pohon. Ludiro memberi la-poran tentang Ekayana dan Yin Yin yang menjadi kor-
ban Seruling Surga. Lanangseta merah mukanya. Ter-
bakar darahnya. Ia hendak turun menghajar Andini, tetapi Ludiro mencegahnya.
"Beri kesempatan kepada istrimu untuk menunjuk-
kan harga dirinya di depan perempuan seperti Andini
itu...!" "Bangsat memang Andini itu! Kukira istriku lari ke Pulau Kramat mencariku,
ternyata ada di sini menerima penghinaan yang memuakkan...!" Lanangseta gemetar
karena menahan kemarahan. Tetapi ia sengaja menya-barkan diri untuk memberi
kesempatan kepada Kirana.
Andini tampak terdesak dan dari tadi tidak mempu-
nyai kesempatan menyerang Kirana. Gerakan Kirana
cukup cepat dan tepat. Kali ini ia memutar dengan satu tendangan mengenai rahang
Andini. Andini masih bertahan. Ia hendak melayang mundur, tetapi Kirana su-
dah lebih dulu memukul pinggangnya tiga kali dengan
gerakan cepat. "Aaakkhh...!" Andini menjerit. Tangan kanannya terluka dalam, nyaris putus. Ia
segera mendekapnya sam-
bil menangis kesakitan.
Tak ada jalan lain baginya untuk melawan Kirana,
kecuali kabur. Memancingnya agar Kirana mengejar
sampai ke Pulau Kramat. Dan di sana Andini mempu-
nyai dua andalan, yaitu Nyai Katri dan Indra Mada.
Pancingan Andini berhasil. Kirana mengejarnya, de-
mikian juga Ludiro dan Lanangseta.
"Jangan ikut campur, Lanang!" teriak Kirana. "Ini bagianku...! Biarkan aku
mendidiknya bagaimana ia harus mati secara cepat!"
Darah dari luka di lengan Andini banyak yang me-
netes keluar. Ia bermaksud berhenti untuk mencoba
meniup seruling yang masih di genggam di tangan ki-
rinya. Tetapi Kirana menyerang dengan tendangan ber-
ganda, kedua kakinya melayang ke punggung Andini,
lalu menjejak secara beruntun, dan setelah itu ia salto ke belakang, berdiri
tegak lagi. Andini tak sempat memekik, karena ia memuntah-
kan darah kental dari mulutnya. Kirana segera menarik rambut Andini dan
menghantam pelipisnya dengan keras, sehingga Andini menjerit keras sekali. Darah
keluar dari kedua telinganya. Kirana tidak peduli. Ia hanya berseru kepada
Andini: "Aku istri Lanangseta...! Kau katanya ingin mengha-dapiku, hah" Ayo... hadapi
aku...! Tunjukkan keheba-
tanmu di depan Lanangseta. Itu dia ada di sebelah sa-na, menunggu kehebatanmu
keluar. Ayo...!"
Tanpa diduga-duga, sebuah pukulan jarak jauh
menghantam punggung Kirana. Untung ia segera ber-
jumpalitan di tanah sehingga hawa panas yang datang
menyerangnya dari belakang itu menghantam pohon di
samping Andini. Pohon tersebut somplak bagai tersam-
bar petir. Seorang perempuan muncul bersama seorang lelaki
bermata kebiruan. Dialah Nyai Katri dengan Indra Ma-
da. Kirana segera berdiri menyerang Nyai Katri dengan tendangan tipuan. Dan Nyai
Katri melancarkan pukulan Brama Pati, berupa gumpalan api yang menyerang Ki-
rana. Kirana berkelit menggulingkan badan ke arah kiri, dan sebuah pukulan Racun
Mayat Seribu meluncur da-ri jari-jari Kirana, yaitu berupa jarum-jarum beracun
berwarna hitam dan jumlahnya cukup banyak.
Indra Mada segera meraih daun lembar, lalu meng-
hadang daun itu di depan Nyai Katri. Jarum-jarum be-
racun menancap semua pada daun tersebut. Kemudian
daun itu dilemparkan ke arah api dari pukulan Nyai Katri, dan terjadilah ledakan
yang membahana dan sangat mengguncangkan bumi. Pada saat itu Nyai Katri bersiap
untuk melancarkan tendangannya ke arah Kirana, tetapi Indra Mada justru
menangkis tendangan Nyai Katri
sendiri sehingga membuat Kirana bingung seperti orang linglung.
Rupanya pada saat itu Andini menggunakan kesem-
patan untuk meniup Seruling Surga. Saat-saat terakhir baginya, ia berusaha
meniup seruling itu dan berhasil.
Nyai Katri dan Indra Mada tercengang kaget dan saling berpandangan.
"Aaauuh...!" Kirana menjerit dan menutupi kedua telinganya. Lanangseta segera
mencabut Cambuk Naga
dan melecutkan ke arah Andini.
"Taaar...!"
Lecutan itu membuat Andini mengejang dengan leher
robek dan menyemburkan darah. Nyai Katri menjerit
keras: "Andiniiii..."!" Ia ingin menghambur memeluk Andini yang sekarat. Namun Cambuk
Naga sekali lagi melecut
di udara dan ujungnya terarah ke punggung Nyai Katri.
"Taarr...!"
"Blegaaar...!" Sebuah sinar warna ungu keluar dari mata Indra Mada. Sinar itu


Pendekar Cambuk Naga 12 Seruling Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepat mengenai ujung cambuk sehingga menimbulkan ledakan yang cukup dah-
syat dan membuat Nyai dan Kirana tersungkur jatuh.
Kirana bergegas menyerang Indra Mada dengan satu
pukulan tangan kanannya. Indra Mada diam saja, dan
terjungkal ke belakang akibat dadanya terkena pukulan itu. Lalu Kirana menginjak
leher Indra Mada dengan keras dan kuat. Indra Mada tetap diam saja.
"Kau terpaksa harus kubunuh, Orang asing...!" geram Kirana seraya menggencet
leher Indra Mada dengan kakinya kuat-kuat. Tetapi Indra Mada bahkan mengelus-
elus kala Kirana dengan senyum yang menggoda.
Kirana heran dan tak habis pikir. Lalu ia melepaskan injakan kakinya. Matanya
memandang penuh kehera-nan pada Indra Mada. Indra Mada bangkit dalam kea-
daan segar bugar.
Pada saat itu Nyai Katri marah melihat Indra Mada
diinjak begitu. Ia menyerang Kirana dengan pukulan
andalannya. Kirana tak sempat mengelak. Tapi tangan
Indra Mada dengan gesit dan gerakan yang tak terlihat mata, telah mampu
menangkis pukulan Nyai Katri.
Bertepatan dengan itu, Lanangseta melayang dan
menyerang Nyai Katri dari belakang. Pedang Wisa Kobra terhunus Ia pun berseru:
"Mampus, kau Nyai Sendang Bangkai...! Heaaatt...!"
Indra Mada melompat ke belakang Nyai Katri. Den-
gan sigap ia mengayunkan kedua tangannya tepat pa-
da-saat Lanangseta menghantamkan pedangnya ke
punggung Nyai Katri. Pedang itu meleset dan masuk di antara kedua telapak tangan
Indra Mada. Terjepit rapat dan kuat sehingga Lanangseta terheran-heran melihat
pedangnya ada yang mampu menahan dengan jepitan
kedua telapak tangan yang menghimpit. Lanang ingin
mencabut pedangnya, namun susah.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentak Lanangseta.
Indra Mada menjawab, "Hentikan pertarungan ini!"
Ludiro penasaran. Cambuk Naga sudah diserahkan
ke tangannya, dan ia melecutkan ke arah Indra Mada.
Dengan gesit dan tangkas Indra Mada meraih lenturan
cambuk itu dengan kaki kanannya. Cambuk melilit,
Ludiro menarik, Indra Mada mempertahankan dengan
tangan masih tetap terangkat di atas kepala, menjepit pedang Wisa Kobra.
"Hentikan pertarungan ini atau kubunuh semuanya, tanpa kecuali...!" serunya.
"Jaka...! Mereka telah membunuh Andini! Lihat, ia terkapar tak bernyawa lagi,
Jaka...." kata Nyai Katri.
"Andini menyalahi janjinya. Ia telah menggunakan ilmu untuk dalih dendam dan
kesombongan. Lihat, Seruling Surga itu ia curi dan ia gunakan sebagai seruling
kematian! Ia sudah layak mendapat ganjaran seperti
itu." "Siapa dia sebenarnya, Nyai...?" tanya Lanangseta kepada Nyai Katri seraya
menuding Indra Mada. Tapi,
jawab Nyai Katri:
"Dia... temanmu sendiri: Jaka Bego...."
"Hah..."!" semuanya terbengong. Semuanya melom-pong. Semuanya membelalakkan mata
memandang In- dra Mada. "Kau... kau Jaka Bego..."!" tanya Kirana yang mendekat.
Indra Mada nyengir dan menjawab, "Iya... tapi itu dulu, sebelum diriku yang
sebenarnya ketahuan begini...."
"Gila kau, Jaka..."! Aku masih belum bisa percaya!"
seru Ludiro. "O, itu terserah Paman..."! Tapi inilah kenyataan yang tak dapat kuelakkan
lagi." Nyai menambahkan: "Dia sebenarnya seorang de-
wa...." "Dewa..."!" serentak mereka terbengong lagi.
"Yaah... mudah-mudahan dipercaya omonganmu,
Nyai," kata Indra Mada. Nyai melanjutkan:
"Dia bernama Indra Mada, Dewa Seribu Mimpi. Ia
datang untuk mencari ayahnya, yaitu dewa Bhirawa
Mada yang bergelar Si Tongkat Besi...."
"Hahh..."!" serentak semua memekik begitu.
"Kalian benar-benar kaget atau hanya meledek
aku"!" kata Indra Mada yang mulai kelihatan gaya Jaka Begonya.
"Tongkat Besi...?" gumam Lanangseta.
"Sudah kuduga kau pasti mengenalnya, Lanang.
Hanya saja selama ini aku belum sempat menanyakan-
nya kepadamu."
"Aku sangat kenal dengan dia, sebab... sebab dia adalah guruku...."
"Hah..."!" Indra Mada mendelik.
Lanang berkata: "Sekarang kau yang terkejut dan meledekku?"
"Setahuku, ayahku tidak akan mempunyai murid kalau murid itu tidak bisa
membunuhnya." kata Indra Mada sambil tangannya masih menjepit pedang Wisa
Kobra. "Benar," jawab Lanang. "Dan aku telah ditipu oleh Tongkat Besi. Semua ilmunya
diturunkan kepadaku, setelah selesai menurunkan ilmu, aku dijebak untuk
membunuhnya. Aku tidak mau dan sangat tak tega.
Tapi... dia benar-benar pandai menjebak, sampai akhirnya... aku yang berhasil
merobek perutnya dengan pe-
dang ini...."
"Kau..."!" Indra Mada membelalak dan berteriak.
"Dia bahkan berterima kasih kepadaku, ladu mem-
beriku gelar: Malaikat Pedang Sakti...!"
"Ayahku...." Indra Mada termenung. "Itu gelar ayahku...."
"Dia memberikan gelar itu sebagai tanda ucapan terima kasih padaku, sebab sudah
lama ia ingin mati...."
"Ayahku...." Indra Mada berbengong sendu.
"Maaf, boleh kusarungkan pedang ini," kata Lanang.
Indra Mada melepaskan jepitan kedua telapak tan-
gannya. Lanang memasukkan pedang ke sarung. Se-
mua ikut sendu dan murung. Lalu Indra Mada meme-
gang Lanangseta dan berkata pelan, namun serius:
"Kau, Lanang... kau pengganti ayahku... Kau penjel-maan ayahku yang bergelar
Malaikat Pedang Sakti...!"
Lanang kebingungan tak tahu apa yang harus dika-
takan. Tapi ia tetap berkata kepada Kirana, "Apakah aku pantas punya anak segede
dia...?" Kirana tersenyum. "Kita sedang mencicil membuatnya, bukan?"
Ludiro yang tertawa lebih dulu, ladu yang lainnya
ikut tertawa. Pada kesempatan itu, Indra Mada menje-
laskan persoalan Nyai Katri yang ingin menebus dosa-
dosanya selama ini dengan mengabdi kepada kebenaran
dan selalu siap menolong siapa pun yang berada dalam kesusahan. Lalu mereka pun
membicarakan tentang Istana Langit Perak yang belum diketahui akan diguna-
kan untuk apa harta sebanyak itu. Yang pasti mereka
sepakat untuk sama-sama saling menjaga harta terse-
but, dan sama-sama saling menjalin kedamaian demi
perjalinan kasih di antara sesama.
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** 2 *** 3 *** 4 *** 5 TAMAT Perjodohan Busur Kumala 11 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Keadilan 11
^