Seruling Naga Sakti 2
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti Bagian 2
itu mencerminkan sikap yang ramah dan penyabar. Bibirnya tersenyum, menyaksikan
si bocah telah terjaga.
"Kakek, siapakah engkau" Sedari tadi aku tidak melihatmu?" tanya Sena sambil
menggerakkan tubuh untuk bangkit
"Bocah, aku adalah penghuni Gua Setan ini. Sepantasnya aku yang bertanya
begitu padamu," ujar orang tua itu, tanpa melepas senyumnya.
Sena terkejut mendengar penuturan orang tua yang memberitahukan kalau dirinya
berada di dalam gua angker yang ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan.
Memang, walaupun masih kecil tapi ayah dan ibunya sering memberitahukan hal-hal
yang terjadi di dalam rimba persilatan.
"Jadi, inikah Gua Setan?" tanya bocah kecil itu.
"Ya," sahut orang tua penghuni Gua Setan masih tersenyum ramah.
"Dan kau penghuni Gua Setan ini?"
"Benar," jawab orang tua itu lagi.
Setelah tahu siapa lelaki tua di
hadapannya, tanpa diperintah bocah kecil itu langsung turun dan sujud di kaki
orang tua itu. "Maafkan aku yang bodoh dan begitu lancang memasuki Gua Setan ini serta
mempelajari gambar-gambar di dinding.
Sekiranya engkau menyalahkan tindakanku, aku siap menerima hukuman."
Orang tua penghuni Gua Setan
tersenyum, kemudian tangannya mengangkat pundak si bocah.
"Berdirilah. Kau tidak bersalah, Bocah. Bahkan aku bangga menyaksikan mu tanpa
rasa lelah mempelajari jurus-jurus ilmu silat yang ada di dinding gua ini.
Siapa namamu?" tanya orang tua itu.
"Ampunkan aku yang bodoh ini, Kek.
Namaku Sena Manggala. Kalau aku tidak salah, bukankah engkau yang bernama Eyang
Singo Edan?" tanya Sena, memberanikan diri. Meski ia tidak berani mengadu
pandang pada orang tua di depannya yang saat itu tertawa.
"Benar.... Benar apa yang kau katakan. Aku memang Singo Edan, penghuni Gua Setan
ini," jawab orang tua itu sambil terus tertawa. "Bocah, dari mana kau tahu kalau
aku Singo Edan?"
Sena tidak langsung menjawab, malah dia balik bertanya untuk menegaskan
kebenaran yang didengarnya.
"Jadi, benarkah kau Eyang Singo Edan?"
"Ya, kenapa...?"
Kembali bocah itu bersujud, lalu
dengan suara penuh hormat berkata,
"Oh, sekali lagi ampuni saya yang bodoh dan lancang ini."
Singo Edan tertawa bergelak. Sekali lagi diangkatnya pundak si bocah hingga
berdiri. Matanya memandang lekat ke wajah Sena sebelum kembali bertanya,
"Katakanlah, dari mana kau tahu aku bernama Singo Edan" Dan, jangan kau pikirkan
masalah kelancanganmu, sebab aku justru senang dengan kehadiranmu di gua ini.
Aku bahkan kagum dengan semangatmu
mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si Gila'."
Sena tercengang mendengar penuturan Singo Edan yang mengatakan kalau dia telah
mempelajari jurus-jurus langka yang hebat itu.
"Apa"! Jadi...," seru Sena tanpa sadar.
"Benar. Semua yang kau anggap lucu adalah jurus-jurus langka 'Ilmu Silat Si
Gila'. Nah! Sekarang katakan, dari mana kau tahu namaku Singo Edan?" desak orang
tua itu ingin tahu.
Setelah menjura, Sena menceritakan siapa sesungguhnya dirinya, siapa orangtuanya
dan siapa pula kakeknya.
Bocah kecil itu juga menceritakan kalau dia tergelincir dan menggelinding ke
bawah lereng karena tubuhnya lemah terkena tendangan seorang pengeroyok ayahnya.
"Begitulah ceritanya, Eyang," kata Sena, mengakhiri ceritanya.
"Jadi kau cucu Senabrata"!" tanya Singo Edan dengan kening berkerut Sena
menganggukkan kepala.
"Kakekmu telah meninggal?" tanya Singo Edan kembali.
"Benar, Eyang. Kakek meninggal karena usia tua, sedangkan ayah dan Ibu entah
bagaimana nasibnya. Orang-orang itu begitu jahat, Eyang...," tutur Sena
polos, membuat Singo Edan manggut-manggut dengan raut wajah prihatin.
Di samping Singo Edan terharu
mendengar penuturan bocah kecil itu, dia juga merasa sedih karena Senabrata
sebenarnya adalah sahabatnya. Nasib yang menimpa anak Senabrata dirasakan
seperti menimpa anaknya sendiri.
"Sudahlah, Sena.... Semua sudah menjadi suratan takdir. Tak perlu disesali lagi.
Kini, Eyang mau menawarkan padamu. Maukah kau mempelajari dengan tekun gambar-
gambar itu?" tanya Singo Edan setelah memberi petuah pada si bocah, sekaligus
memberikan semangat Sena memandangi wajah Singo Edan.
Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Tapi, setelah Singo
Edan kembali menganggukkan kepala sambil tersenyum, segera bocah itu bersujud.
"Oh, sungguh aku yang bodoh dan lancang ini tidak terkira bahagianya, sebab aku
merasa telah mendapatkan kehormatan menjadi murid Eyang. Terimalah sembahku,
Eyang." "Sudahlah, tak perlu begitu. Kita sama-sama manusia. Hanya Tuhan yang patut
disembah. Bangunlah," ujar Singo Edan, kemudian diajaknya bocah kecil itu
melangkah ke ruang dalam. Sejak saat itulah, Sena Manggala menjadi murid tunggal
tokoh sakti yang belum
tertandingi sampai saat ini.
5 Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa sepuluh tahun telah berlalu.
Selama itu, Sena Manggala dengan tekun mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si
Gila' yang langka dan dahsyat. Sedikit pun tak ada keluhan dari bibirnya. Bukan
itu saja, Kitab Ilmu Silat Si Gila yang ditulis Eyang Singo Edan pun telah
dilalapnya dengan cepat, hingga semua
'Ilmu Silat Si Gila' tak satu pun tersisa.
Ilmu-ilmu lainnya, seperti tenaga dalam, meringankan tubuh, dan pukulan-pukulan
sakti telah pula dipelajarinya.
Hingga pada usia dua puluh tahun, Sena telah menjadi sosok pendekar muda yang
memiliki bekal ilmu kedigdayaan yang tinggi.
Pagi merambati muka bumi bersama
seluruh warna dan tembang alam. Di dalam Gua Setan, dua orang tengah duduk
berhadap-hadapan. Yang seorang adalah lelaki tua berjubah putih dengan rambut
yang kian memutih pula. Ia tak lain Singo Edan atau lebih terkenal dengan
julukan Penghuni Gua Setan. Di depannya duduk seorang pemuda tampan, berkulit
kuning bersih serta rambut panjang rapi yang diikat dengan selembar kulit ular.
Tubuhnya yang berotot menggambarkan kalau selama ini ia telah menjalani godokan
yang berat. Pemuda itu adalah Sena Manggala.
"Sena, sepuluh tahun telah berlalu.
Sepuluh tahun pula kau berada di gua ini.
Semua ilmu yang Eyang miliki, telah diwariskan padamu...," kata Singo Edan
setelah beberapa saat terdiam.
"Perpisahan memang berat, Cucuku...."
Sena tak berkata apa-apa. Pemuda
itu nampaknya terharu mendengar penuturan eyang gurunya. Bagaimanapun juga,
selama sepuluh tahun mereka senantiasa berdua.
Susah senang mereka jalani bersama. Tapi, tiba-tiba kini mereka harus berpisah.
Siapa pun pasti akan merasa sedih.
"Sena, jangan kau pikirkan
perpisahan antara kita, sebab hal itu adalah kenyataan hidup setiap manusia. Di
mana ada pertemuan, tentu ada perpisahan.
Kau telah dewasa, telah mewarisi seluruh
'Ilmu Silat Si Gila'...."
Kembali orang tua sakti itu
menghentikan ucapannya. Dihelanya napas sebelum meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, ilmu seseorang tidak berarti sama sekali jika digunakan untuk
kejahatan. Dan harus kau ingat pula, bahwa sesungguhnya ilmu yang dimiliki
manusia hanya bagai setetes air di lautan dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Hyang Widhi. Kau
paham, Sena...?"
pesan Singo Edan, amat menggiris.
"Paham, Eyang...," sahut Sena masih menunduk.
"Bagus.... Dengan begitu, kau tidak akan tersesat nantinya. Kemudian yang perlu
kau ingat juga, jangan menaburkan benih permusuhan dalam hidupmu. Buanglah rasa
dendam di hatimu, sebab dendam adalah setan."
"Baik, Eyang.... Semua yang Eyang petuahkan, akan senantiasa kuingat,"
jawab Sena. Singo Edan mengangguk-angguk,
sementara tangannya mengelus-elus jenggotnya yang semakin memutih.
"Satu lagi yang ingin kukatakan padamu, Sena."
"Kalau Eyang berkenan, katakanlah.
Sebab semua petuah Eyang adalah penerang jalan hidupku yang masih buta," tutur
Sena, penuh hormat.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik, dan camkan. Pepatah mengatakan; Jangan melawan
badai, jika kau tak mampu. Dan jangan melawan arus jika kau tak memiliki
pegangan. Kau tahu artinya, Sena...?"
tanya Singo Edan.
"Ampun, Eyang.... Aku masih terlalu buta dan bodoh untuk mengurai maksud
peribahasa itu," jawab Sena merendah. Dan hal itu yang menjadikan Singo Edan
semakin kagum terhadap muridnya. Ternyata sang Murid bukan hanya cerdas, namun
kepribadiannya pun sangat luhur.
Singo Edan tersenyum seraya
mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Sena sesungguhnya memahami apa
maksud peribahasa itu. Tapi pemuda itu tampaknya lebih suka merendah.
"Sena, arti peribahasa itu
begini.... Seorang manusia seharusnya jangan menyombongkan diri hingga
membuatnya mencelakakan diri sendiri.
Seorang manusia seharusnya jangan bertindak tanpa pertimbangan, hingga
tindakannya menjadi sia-sia belaka. Bukan mendapatkan yang terbaik, justru akan
mencelakakan diri sendiri. Nah, kau paham...?"
"Paham, Eyang...."
"Nah, kini tidak ada lagi yang dapat Eyang berikan padamu. Hanya suling ini yang
masih tersisa di tangan Eyang.
Suling ini pun akan Eyang berikan padamu.
Terimalah! Anggaplah suling ini sebagian hidupmu. Jagalah baik-baik, jangan
sampai jatuh ke tangan manusia-manusia berhati iblis, sebab akan menimbulkan
celaka," tutur Singo Edan memberi petuah dengan penuh penekanan pada setiap kata yang
terucap. "Hm.... Mari ikut aku, biar
kutunjukkan keistimewaan suling sakti ini."
Segera kaki Singo Edan melangkah ke ruang lain yang luas dalam gua itu. Singo
Edan lalu memperagakan sesuatu. Suling itu dihentakkannya ke depan dan seketika
batu-batu yang ada dalam gua itu
terlempar berhamburan disertai angin kencang.
"Ini sebagian dari kesaktian suling ini," ujar Singo Edan setelah memperagakan
kesaktian suling sakti itu, membuat Sena berdecak kagum.
Setelah itu, Singo Edan memberikan suling di tangannya pada Sena yang langsung
menerimanya. Sekilas diamatinya suling berwarna perak yang pada satu ujungnya
terukir kepala naga. Itulah Suling Naga Sakti, yang sampai saat ini menjadi
incaran kaum rimba persilatan.
"Kini lengkap sudah semua yang kau miliki. Semua milik Pendekar Gila telah kau
dapatkan. Pergilah dari Gua Setan ini. Banyak orang yang membutuhkan pertolongan
dan uluran tanganmu. Ber-jalanlah di jalan yang lurus, jangan sesekali berpaling
ke jalan yang sesat,"
tutur Singo Edan seraya membelai rambut pemuda itu.
"Terima kasih, Eyang.... Sungguh besar jasamu padaku. Entah dengan cara apa aku
yang bodoh dan tiada guna ini
dapat membalasnya."
"Sudah, jangan pikirkan hal itu.
Eyang akan senang, jika kau dapat membantu orang yang memerlukan pertolonganmu.
Pergilah ke arah selatan, di sana akan kau temukan pintu keluar dari gua ini.
Ingat, jangan kembali ke Gua Setan ini," tegas Singo Edan.
"Baik, Eyang. Aku mohon pamit..."
Sena menjura hormat dengan
membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan masih membungkuk, pemuda itu bangkit
dari duduknya, melangkah mundur meninggalkan orang tua yang masih duduk di atas
batu datar. Di bibir orang tua itu tersungging senyum kepuasan. Hatinya merasa tenang, sebab
kini telah ada penggantinya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di muka
bumi. "Semoga Hyang Widhi senantiasa
melindungimu, Cucuku," desis orang tua itu lirih. Matanya pun segera dipejamkan,
seolah berusaha menahan rasa haru yang menyelinap di harinya.
*** Pemuda berbadan tegap serta
berwajah tampan dengan pakaian terbuat dari kulit ular sanca itu masih melangkah
menyusuri lorong-lorong gua, meninggalkan
eyang gurunya yang semakin jauh. Pemuda itu tidak lain adalah Sena Manggala.
Kakinya terus menyelusuri lorong gua, mencari jalan keluar yang ditunjukkan oleh
gurunya. Lama pemuda itu menyelusuri lorong gua, hingga akhirnya matanya melihat sebuah
sinar terang menyeruak masuk ke dalam.
"Hm, tentunya itu sinar dari luar.
Tidak salah lagi, itu memang pintu gua,"
kata Sena sambil mempercepat langkahnya menuju ke arah sumber sinar yang
menerobos masuk. Lorong gua yang berliku, menjadikan sinar itu tidak tembus ke
dalam. Dan tentunya orang lain tidak akan menyangka ada jalan keluar dari lorong
itu. Benar juga dugaannya. Ketika tiba di mulut gua, terlihat laut yang luas
membentang. Dan ketika kepalanya
menengadah ke atas, ternyata pintu gua itu terpayungi batu cadas, sehingga tidak
terlihat dari atas sana.
"Heh! Bagaimana aku bisa ke luar"
Di hadapanku laut, sedang di atasku batu," gumam pemuda itu seperti kebingungan.
Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya cengar-cengir
seperti melihat hal lucu.
"Ah, bodohnya aku! Kenapa aku tidak mencoba dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam?"
Setelah mengangguk-angguk sambil
tersenyum, Sena menyurutkan kakinya tiga langkah ke belakang. Lalu sambil
tertawa, dia melesat laksana terbang. Tubuhnya meluncur lurus di atas permukaan
air laut, lalu berputar ke atas bagai menunggang angin, dan dengan ringan
kakinya dijejakkan di atas batu cadas yang menutupi mulut gua.
"Huh, segar sekali udara di sini.
Hm, inikah dunia bebas?"
Bibirnya kembali cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Kemudian diambilnya suling yang terselip di pinggang. Lama suling itu diamati
seraya menimangnya perlahan.
"Aku harus menjaga suling ini baik-baik," gumam Sena seperti berjanji pada diri
sendiri. Sena kembali menimang-nimang suling itu. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk meniup
suling sekadar menghibur diri.
Disatukan bibirnya pada ujung suling berbentuk kepala naga, kemudian di tiupnya.
Suara suling mengalun merdu,
berkumandang ke seluruh pelosok dan menyelusup di pucuk-pucuk pohon kelapa yang
tumbuh di sekitar daerah itu.
Semakin lama, suara suling itu kian tinggi. Dan....
Darrr! Ledakan terjadi, ketika lengking
suling membentur sebatang pohon kelapa.
Kejadian itu menyentakkan Sena, hingga segera menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya membuka lebar dan mulutnya menganga melihat sesuatu yang dahsyat Pohon
kelapa itu terbakar hangus, kemudian tumbang dengan daun-daunnya yang mengering
hangus. "Oh....! Tidak salahkah yang kulihat?" tanya Sena pada diri sendiri setengah
bergumam. Matanya menyapu ke segenap penjuru tempat itu. Tidak ditemukan adanya
orang lain. Berarti, pohon kelapa besar itu terbakar dan tumbang oleh suara
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sulingnya. "Oh, sungguh dahsyat suara suling ini. Eyang, pemberianmu ini
sungguh-sungguh benda pusaka yang sangat hebat. Pantas kau begitu sungguh-
sungguh berpesan padaku."
Angin Laut Selatan bertiup ramah, mengantar kesejukan. Gelombang laut masih
bergulung, berusaha menggempur batu karang.
Pemuda tampan dengan rompi kulit
ular itu masih mematung setelah
menyelipkan sulingnya pada sabuk kulit ular yang melilit pinggangnya. Dia masih
bingung ke mana harus melangkah. Dunia bebas ini masih sangat asing baginya.
"Ah, bodohnya aku!"
Kembali Sena menepuk keningnya
perlahan, seraya menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
"Bukankah aku punya kaki" Kenapa mesti bingung?"
Usai berkata begitu, kakinya
melangkah mantap meninggalkan Pantai Selatan di mana pintu rahasia Gua Setan
berada. Sena hanya mengikuti kata hati, melangkah tanpa tujuan yang pasti.
*** Sinar matahari pagi membelai
hangat. Sebuah kedai telah dibuka oleh pemiliknya sejak kokok ayam pertama
terdengar. Empat orang lelaki bertampang kasar memperlihatkan kebengisan masuk
ke kedai itu. Tingkah mereka tidak sopan, menandakan kalau keempat lelaki itu
bukan orang baik-baik. Dilihat dari golok yang tergantung di pinggang, jelas
keempat lelaki berwajah bengis itu dari rimba persilatan.
"Sediakan arak empat guci, cepat!"
seru seorang dari mereka. Tangannya
dengan keras menggebrak meja di depannya.
Brak! Pemilik kedai dengan wajah
ketakutan, tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Tubuhnya menggigil, karena rasa
takut tidak alang kepalang.
"Maaf, Aden sekalian minta apa?"
tanya pemilik kedai itu, dengan suara bergetar.
"Goblok! Apa telingamu tuli, hah"!
Cepat sediakan empat guci arak, juga makanan yang enak!" bentak orang yang tadi
menggebrak meja.
"Ba..., baik," jawab pemilik kedai semakin bertambah ketakutan.
Lalu, tanpa banyak tanya lagi dia tergopoh-gopoh berlalu. Tidak lama kemudian,
bersama seorang pelayan, laki-laki tua itu membawa empat guci arak serta
makanan-makanan lezat
"Cepat..!" bentak orang itu lagi tak sabar.
"I..., iya, Den," sahut pemilik kedai.
Dengan tubuh gemetar ditaruhnya
empat guci arak di meja. Sedangkan pelayannya menaruh makanan-makanan permintaan
keempat lelaki kasar itu.
Keempat lelaki kasar itu terbahak-bahak melihat wajah pucat pasi pemilik kedai
yang masih berdiri di samping mereka dengan tubuh gemetaran.
"Heh, kenapa kau masih di sini?"
tanya orang kedua dari mereka. Nada suaranya tidak sekasar orang pertama.
"Maaf, Den.... Barangkali masih ada yang dipesan?" tanya pemilik kedai, mencoba
tersenyum meski terlihat kaku.
"Apa"! Pesan..." Siapa yang pesan"!
Apakah kau belum tahu siapa aku" Kau belum tahu kami, ya" Dengar, kami adalah
Empat Iblis dari Kranggeng, anak buah Segoro Wedi!" tutur orang pertama dengan
suara keras, seakan ingin menyombongkan diri dengan menyebut Segoro Wedi sebagai
tokoh sesat yang sangat ditakuti.
"Ampunilah hamba yang buta ini...,"
ujar orang tua pemilik kedai setelah mendengar penuturan tadi.
"Baik, pergi cepat! Jangan sampai aku muak!"
Tanpa diperintah dua kali, orang
tua itu berlalu meninggalkan mereka.
Bukan hanya pemilik kedai yang
ketakutan setelah tahu siapa keempat lelaki beringas dan kasar itu. Para
pengunjung kedai juga begitu. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu dengan
terburu-buru. Di wajah mereka terlukis rasa takut luar biasa.
Semakin pongah saja keempat lelaki bertampang beringas dan kasar itu, merasa
kalau semua orang takut kepada mereka.
Dengan tertawa-tawa, mereka menyantap makanan. Tapi tawa mereka seketika
terhenti ketika dari luar terdengar tawa yang mampu menggetarkan hati mereka.
"He he he.... Ha ha ha...! Lucu..., lucu sekali. Iblis-iblis sekarang
bergentayangan! Ah, dunia ini aneh
sekali," ujar sebuah suara, dibarengi dengan munculnya seorang pemuda tampan
berompi kulit ular. Pemuda itu tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
sesekali menggeleng. Sedangkan mulutnya cengengesan persis orang gila.
"Bocah edan! Siapa kau"! Lancang sekali ucapanmu! Apakah kau tidak tahu kami,
hah"!" bentak salah seorang dari Empat Iblis dari Kranggeng. Wajahnya yang
beringas semakin bertambah beringas karena marah. Tapi pemuda yang dibentak
bukan takut, malah semakin memperkeras tawanya sambil menggaruk-garuk kepala.
"He he he.....Bukankah tadi kau mengatakan kalian berempat iblis?" balik pemuda
itu dengan maksud mengejek.
Tangannya terus menggaruk-garuk kepala serta mulutnya cengengesan. Kemudian
dengan tingkah laku seperti orang gila, pemuda yang ternyata Sena Manggala itu
kembali berkata, "Ah, lucu.... Seharusnya orang seusia kalian belum pikun.
Tapi... Yah, mungkin inilah dunia. Ternyata iblis pun bisa pikun...,"
Merah membara wajah Empat Iblis
dari Kranggeng mendengar ocehan pemuda gila itu. Salah seorang dari mereka
melontarkan paha ayam ke arah si pemuda, disertai tenaga dalam penuh.
"Nih untukmu, terimalah! Lalu pergi dari sini, jangan sampai kesabaran kami
hilang!" Paha ayam yang masih utuh itu
melesat seperti mata anak panah ke arah si pemuda. Tapi dengan enteng, Sena
menangkapnya. Hal itu membuat Empat Iblis dari Kranggeng cukup terkejut. Sedang
pemuda itu dengan santai menggeragoti daging ayam.
"Terima kasih, kau baik sekali.
Terimalah tulang ini. He he he...!" ujar Sena setelah paha ayam itu tinggal
tulang. Tulang ayam itu melesat cepat,
mengejutkan Empat iblis dari Kranggeng.
Mata mereka menegang, tidak menyangka lemparan pemuda itu sangat kuat. Mau tidak
mau mereka merundukkan kepala agar tidak terkena sambaran tulang itu Wesss!
Tulang itu meluncur tepat di atas rambut mereka, lalu akhirnya tertanam dalam
pada sebatang pohon yang ada di samping kedai. Semakin terbuka lebar mata
keempat lelaki beringas itu menyaksikan pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa
itu. Namun kepongahan rupanya membuat
mereka buta pada ilmu pemuda yang jauh berada di atas mereka. Didahului
bentakan, Empat Iblis dari Kranggeng mencabut golok dan menyerang pemuda yang
masih tertawa cekikikan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Kurang ajar! Rupanya kau perlu dihajar!"
Sena agak terkejut mendapat
serangan begitu cepat dari keempat lelaki yang menamakan dirinya Empat Iblis
dari Kranggeng itu. Ia memang belum banyak pengalaman dalam rimba persilatan
yang penuh kelicikan dan tipu daya. Tapi nalurinya menuntun agar serangan itu
dielakkannya. Dengan satu lentingan indah,
dimentahkannya serangan ganas itu.
Menyebabkan golok para penyerang beradu di tempat kosong.
Trang! Sena kembali cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu pantatnya
ditepuk berulang kali.
"Kenapa kalian mengeroyokku" Wah, celaka! Kalian benar-benar orang jahat!"
"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu, Bocah Sinting!" dengus orang pertama dari Empat
Iblis dari Kranggeng. Lalu dengan penuh amarah tubuhnya melesat untuk memburu
pemuda itu, diikuti oleh ketiga temannya.
"Heaaa...!"
6 Semua orang yang menyaksikan pemuda itu dikeroyok oleh Empat Iblis dari
Kranggeng turut tegang. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda tampan yang
bertingkah seperti orang gila itu akan menjadi korban keberingasan dan kekejaman
mereka. Namun untuk membantu pemuda itu, mereka tidak berani. Mereka tahu, siapa Empat
Iblis dari Kranggeng, terlebih dengan Segoro Wedi.
Tokoh yang terakhir, akhir-akhir
ini sangat ditakuti, baik oleh tokoh rimba persilatan atau oleh tokoh
kebanyakan. Dia ditakuti karena
kekejamannya. Belum ada tokoh rimba persilatan yang mampu menghadang sepak
terjangnya. Semua yang mencoba
menghalangi, tak ada yang dibiarkan hidup. Mereka dibantai bagai binatang tak
berharga. Kini seorang pemuda berani
menghadapi Empat Iblis dari Kranggeng, itu berarti secara tak langsung telah
menantang pimpinan mereka.
"Benar-benar nekat pemuda gila itu.
Apakah dia tidak takut terhadap Segoro Wedi?" gumam pemilik kedai yang masih
menyaksikan jalannya pertarungan antara Sena melawan Empat Iblis dari Kranggeng,
begundal Segoro Wedi.
"Namanya saja pemuda gila. Mana ada sih, orang gila yang takut?" sambung
temannya. "Iya, ya.... Tapi kasihan juga dia; semuda itu sudah gila," kata pemilik kedai
seraya menghela napas. "Semoga pemuda gila itu bisa menang. Muak rasanya aku
melihat tingkah laku bajingan-bajingan itu."
"Benar! Mereka bukan hanya kejam, tapi juga menculik gadis dan memperkosanya.
Tindakan mereka benar-benar seperti iblis!" rutuk teman bicaranya.
Apa yang diharapkan kedua orang itu menjadi kenyataan. Pemuda tampan yang
tindak-tanduknya seperti orang gila itu kini mampu menguasai keadaan. Bahkan
kini dia mendesak Empat Iblis dari Kranggeng dengan jurus-jurus yang aneh.
Jurus-jurus yang menyerupai orang gila tengah menari-nari dan sesekali tampak
menepuk gemulai itu, ternyata mampu membuat keempat lawannya kewalahan.
Semua orang yang melihat
pertarungan itu pun membelalakkan mata dengan mulut berdecak kagum melihat
gerakan pemuda aneh itu.
Gerakannya memang kelihatan lambat, namun sesungguhnya sangat dahsyat dan cepat,
karena disertai tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Berkali-kali pemuda itu terkepung
serangan golok Empat Iblis dari
Kranggeng. Tapi berkali-kali pula pemuda itu mematahkan serangan lawan, hanya
dengan jurus-jurus yang terlihat sangat lemah dan lucu.
Kalau orang yang tidak mengerti
ilmu silat, mungkin melihat gerakan pemuda itu hanyalah sebuah gerakan main-
main. Untuk apa tangannya menepuk" Untuk apa tubuhnya meliuk-liuk seperti
menari" Padahal dia dalam ancaman maut keempat lawan yang menyerang bertubi-tubi.
Tapi bagi yang tahu ilmu silat,
justru akan berpikir seribu kali untuk menghadapi gerakan aneh pemuda itu.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', salah satu jurus langka yang pernah
menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun silam milik seorang pendekar gila
yang bernama Singo Edan.
Dan selama itu pula, belum ada yang mengalahkannya.
Kini jurus itu kembali muncul,
lewat seorang pemuda bau kencur yang aneh. Kalau saja Empat Iblis dari Kranggeng
tahu, tentunya mereka akan berpikir berulang kali untuk menghadapi jurus itu.
"Bocah edan! Rupanya kau memiliki ilmu juga, heh"!" bentak orang pertama dari
Empat Iblis dari Kranggeng. "Jangan bangga dulu, Bocah! Kalau sejak tadi kau
bisa mematahkan serangan kami, maka kali ini nyawamu akan hilang. Terimalah
jurus 'Empat Golok Iblis Membelah Bumi'.
Heaaa...!"
Empat Iblis dari Kranggeng
merangsek cepat. Mula-mula mereka mengangkat golok masing-masing ke atas kepala.
Kemudian menebaskan ke muka, disusul dengan tebasan ke samping kiri dan kanan.
Gerakan mereka serempak, sehingga rasanya sangat sulit bagi Sena untuk dapat
melepaskan diri dari serangan itu.
"Celaka...! O, matilah aku...,"
keluh pemuda itu sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya tetap cengengesan,
layaknya orang gila.
"Belah tubuhmu, Bocah Edan...!"
Empat bilah golok di tangan lawan mengarah dari atas ke kepalanya. Sena
tersentak merasakan angin tebasan. Segera nalurinya memerintah agar dia
mengelak. Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan Benang', pemuda itu mencoba
menyelamatkan diri dari maut Sebuah gerakan aneh seperti
melepaskan lilitan benang yang menjerat tubuh, ternyata mampu menyelamatkan
nyawanya. Kini dengan menggerakkan tangan, pemuda itu malah menghantamkan
cengkeraman ke selangkangan salah seorang dari pengeroyoknya.
Crak! "Akh...!" jerit orang itu sambil melepaskan goloknya dari genggaman lalu beralih
memegangi kemaluannya yang pecah.
Orang itu melotot sesaat, kemudian terjerembab dengan tubuh bergelinjang sekarat
lalu mati. Ketiga temannya tersentak. Tubuh
mereka tegang menyaksikan kematian salah seorang teman mereka. Kemarahan mereka
kian membeludak. Kemudian dengan
mendengus, ketiganya kembali menyerang ke arah Sena dengan membabi buta.
Hal itu sebenarnya sangat mengun-
tungkan bagi Sena karena mereka tak mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Dada mereka dipenuhi nafsu untuk segera membinasakan pemuda gila yang telah
membunuh salah satu temannya.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!"
"Heaaa...!"
Pemuda gila itu menggaruk-garuk
kepala. Setelah cengengesan, sekali lagi pantatnya ditepuk, yang membuat
pengeroyoknya semakin marah dan langsung menggebrak dengan babatan golok.
"Mampus kau...!" bentak orang kedua dari Empat Iblis dari Kranggeng.
Golok itu melesat cepat ke arah
Sena, namun dengan gerakan aneh tubuhnya berhasil luput dari serangan. Malah
tanpa diduga, tangannya menepak ke kening si
penyerang. Plak! "Akh...!" jerit orang itu. Tubuhnya meluncur deras ke belakang dengan tangan
memegangi keningnya yang hancur. Tulang tengkorak kepalanya pecah, sehingga dari
mata, hidung, dan telinganya mengalir darah segar. Untuk sesaat tubuh orang itu
mengejang, kemudian lunglai tanpa nyawa.
Sena bertepuk tangan sambil
berjingkrak-jingkrak seperti monyet.
Tangannya sesekali menggaruk-garuk kepala, atau menepuk-nepuk pantat sambil
tertawa-tawa girang. Seakan apa yang terjadi hanya kejadian lucu yang
mengundang tawanya. Hal itu membuat sisa pengeroyoknya semakin murka. Satu orang
kembali melesat sambil membabatkan goloknya. Orang inilah yang sangat bengis di
antara mereka. "Kurencah tubuhmu, Bocah Edan...!
Heaaa...!"
Golok di tangannya ganas mengancam kepala pemuda tampan itu. Sebentar lagi,
kepala Sena akan menjadi sasaran empuk.
Orang-orang yang menyaksikan
pertarungan itu menjadi bergidik ngeri.
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi dugaan mereka meleset, dalam sekejap pemuda itu menggeserkan kakinya dengan
melebar ke samping. Kemudian, mendorong miring tubuhnya ke arah kaki yang
melebar. Tangan lawan yang menggenggam golok melesat cepat di sampingnya. Secepat itu
pula, tangan Sena mencengkeram per-gelangan tangan lawan, lalu tubuh lawan yang
tengah melesat dibantingnya dengan kuat
Bugkh! "Akh...!"
Orang itu menjerit. Tulang
punggungnya langsung remuk akibat bantingan tadi. Sesaat mata orang itu mendelik
bagai hendak melompat keluar.
Kemudian diam tak berkutik dengan mulut bersimbah darah.
Seorang lawannya yang masih hidup seketika ciut nyalinya menyaksikan bagaimana
ketiga rekannya mati. Lelaki berwajah kasar itu mendadak pucat pasti, dan serta
merta meminta ampun pada pemuda itu.
"Ampunilah aku, Anak Muda,"
ratapnya mengiba.
Pemuda tampan itu tertawa, seakan menganggap hal itu lucu. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepalanya yang digeleng-gelengkan perlahan.
"Lucu... Baru kali ini aku melihat hal yang amat lucu. Tadi kau menunjukkan
kebengisanmu. Mengapa kini kau seperti tikus pikun?" ujar Sena kembali terbahak
bahak. "Dunia ini memang aneh,... Ada kalanya orang yang mengaku waras,
bertindak seperti orang tak waras. Tapi sebaliknya, orang yang dianggap tak
waras, malah bertingkah bagaikan orang waras. Ah, benar-benar lucu...."
Semua tertegun menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang dengan seenak perutnya
berlalu sambil bernyanyi meninggalkan semua orang. Termasuk seorang lawan yang
terpaku bengong.
"Pendekar Gila...!" gumam lelaki kasar itu, sambil menatap punggung Sena yang
makin lama makin jauh.
Sementara itu kasak-kusuk merambat di sekitar arena pertarungan, bagai satu
upacara untuk kepergian Sena Manggala.
"Ternyata pemuda gila itu seorang pendekar. Pendekar Gila! Dari mana dia
datang?" gumam pemilik kedai dengan nada kagum setelah menyadari siapa
sesungguhnya pemuda gila yang telah mampu mengalahkan keempat tangan kanan
Segoro Wedi. "Ck, ck, ck...!" decak temannya.
"Hebat! Baru kali ini aku melihat Pendekar Gila yang sering kudengar.
Ternyata orangnya masih muda."
"Bukankah Pendekar Gila hidup pada puluhan tahun yang silam?" tanya yang lainnya
terheran-heran.
"Mungkin dia muridnya," sahut temannya.
Sejak itulah, orang-orang membica-
rakan pemuda gila itu. Tidak hanya rakyat biasa, tapi tokoh-tokoh rimba
persilatan pun mulai membicarakan kehadiran seorang pemuda yang berulah gila-
gilaan. Tetapi ilmu silatnya sangat sakti. Dan, setiap Sena Manggala muncul
mereka menyebutnya Pendekar Gila.
*** Segoro Wedi tengah berkumpul di
ruangan besar dengan ketujuh kaki tangannya, termasuk seorang wanita cantik
bernama Nyi Bangil yang baru saja menjadi anggota. Seperti saat ini, ruangan itu
dipakai mereka untuk berembuk menentukan langkah yang akan mereka lakukan
selanjutnya. Ada dua pengikut baru Segoro Wedi.
Salah satunya Nyi Bangil, wanita cantik menggairahkan yang sesungguhnya
mencintai Segoro Wedi. Hingga karena cintanya, wanita itu rela mengabdi pada
Segoro Wedi. Tapi selama ini, cintanya
dipermainkan oleh Segoro Wedi. Dia hanya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki
berjubah merah yang kini duduk di singgasana kepemimpinan.
Berulang kali Nyi Bangil meminta pertanggungjawaban dari sang Pemimpin, tetapi
semuanya tiada guna. Segoro Wedi selalu berjanji dan berjanji. Malah
sering berbuat kasar jika dia terlalu mendesaknya. Hal itulah yang membuat
wanita cantik bertubuh sintal itu menyimpan dendam cinta di hatinya. Tapi apa
dayanya saat itu"
Segoro Wedi terlalu kuat baginya.
Apalagi dengan kelima begundalnya. Hingga akhirnya dia hanya mampu menerima
nasib, sambil menunggu datangnya penolong yang akan membebaskannya dari belenggu
cinta. Seorang lagi adalah lelaki bertubuh ceking bermata sayu. Mungkin hal itu
disebabkan karena dia selalu meminum tuak. Ke mana-mana, selalu dibawanya guci
berisi tuak. Hingga dia dijuluki Tuak Iblis.
"Sahabat-sahabat sekalian, sengaja kuundang kalian karena aku ada rencana,"
kata Segoro Wedi membuka pertemuan dengan ketujuh kaki tangannya. "Tentunya
kalian telah tahu, setiap rencana yang aku ungkapkan adalah rencana besar."
"Benar, Ketua...," sahut Pedang Akhirat.
Segoro Wedi bangun dari
singgasananya, lalu berdiri tegak sambil menopang tangan kanan yang mengelus
jenggot dengan tangan kiri. Tatapan matanya tajam serta lurus ke muka.
"Kalian tahu apa rencanaku?"
tanyanya tiba-tiba.
"Menyerang sebuah perguruan,
Ketua...?" tanya Sepasang Hantu dari Kelangit hampir bersamaan. Segoro Wedi
menggelengkan kepalanya. "Bukan itu.
Semua perguruan di wilayah ini telah kita taklukkan...," jawab Segoro Wedi.
"Rasa-rasanya, kedudukan kita telah kuat"
"Mungkin Ketua hendak menyerang kadipaten?" tanya Raja Setan Muka Ular.
"Tidak perlu, Raja Setan Muka Ular.
Bagaimanapun juga, adipati masih ada hubungan saudara denganku. Lagi pula, untuk
apa merebut kadipaten" Kalau kedudukanku kini jauh lebih enak dan lebih
berpengaruh?" ujar Segoro Wedi sambil melepas tawa terkekeh, menjadikan keenam
rekan lelakinya turut tertawa.
Hanya Nyi Bangil yang diam, dengan wajah agak merengut.
"Memang benar apa yang Ketua katakan," tukas Kapak Iblis, bernada menjilat.
Kemudian setelah melihat ketuanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala,
Kapak Iblis melanjutkan kata-katanya. "Kalau boleh kami tahu, rencana apa yang
hendak Ketua sampaikan pada kami dan harus kami laksanakan?"
Segoro Wedi tidak langsung
menjawab, tapi dia kini berjalan ke samping kanan. Matanya menatap ke dinding,
di mana sebuah lukisan seorang wanita cantik bernama Dewi Rukmini terpajang.
Ditatapnya wajah yang cantik
jelita dan membuatnya begitu tergila-gila dalam lukisan itu.
Semua terdiam, tanpa seorang pun
berbicara. Sedangkan Nyi Bangil menjadi geram menyaksikan Segoro Wedi memandangi
lukisan itu. Kau benar-benar bajingan, Segoro Wedi! Kau permainkan aku! Kau
jadikan aku pelampias nafsumu! Huh, tunggulah pembalasanku! Geramnya dalam hati.
Segoro Wedi membalikkan tubuh dan kembali memandang ketujuh kaki tangannya
sambil berkata.
"Apakah kalian telah mendengar bahwa besok akan datang seorang saudagar Cina?"
tanya Segoro Wedi.
"Belum, Ketua...," sahut ketujuh kaki tangannya hampir berbareng, termasuk Nyi
Bangil yang berusaha memendam dendam cinta di harinya.
"Hm apakah kalian tidak menerima laporan tentang hal itu dari Prangga yang
memimpin di laut?" kembali Segoro Wedi bertanya.
"Ampun, Ketua. Prangga sama sekali tidak menceritakan pada kami," sahut ketujuh
kaki tangannya setelah saling pandang sejenak.
Kembali kepala Segoro Wedi
mengangguk-angguk.
Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Hal itu menjadikan ketujuh kaki tangannya
bertanya-tanya dalam hati, sebab mereka merasa heran melihat senyumnya. Selama
ini, ketua mereka tak pernah tersenyum selebar itu. Kalaupun bibirnya tersenyum,
sekadar senyum kecil. Itulah yang menimbulkan tanda tanya di hati mereka.
Ada apa gerangan dengan sang Ketua"
Tak ada seorang pun yang berani
bertanya. Mereka hanya diam membisu dengan menyimpan pertanyaan dalam hati
"Dengar! Besok kapal saudagar itu akan merapat ke pesisir. Untuk itu, kuharap
kalian dapat menanganinya.
Prangga dan anak buahnya tak mampu menghadapi pengawal saudagar yang terdiri
dari sepuluh pendekar muda dari Cina."
"Jadi kami harus menumpas mereka semua, Ketua?" tanya Tuak Iblis, memberanikan
diri. Mata Segoro Wedi langsung melotot pada Tuak Iblis yang segera menundukkan
kepala: "Bodoh! Apakah kau tahu, bahwa di kapal itu ada seorang gadis Cina yang cantik"!
Kalian boleh menumpas semuanya.
Tapi ingat, kalian harus bisa membawa gadis itu hidup-hidup ke hadapanku untuk
kujadikan istri! Mengerti...?"! bentak Segoro Wedi keras, hingga ketujuh kaki
tangannya sampai terlonjak karena kaget
"Mengerti, Ketua...," jawab mereka serentak sambil menundukkan kepala, tak
berani beradu pandang dengan mata bengis Segoro Wedi. Mereka tahu, berani
menentang berarti kematian!
"Besok, siapkan pasukan secukupnya!
Tugas ini aku percayakan pada kalian. Dan ingat, jika sampai gagal maka leher
kalian sebagai gantinya!" ancam Segoro Wedi, membuat bulu kuduk mereka seketika
berdiri. Mereka tahu, ancaman ketuanya tidak main-main.
"Baik, Ketua," sahut mereka.
Tengah mereka rapat, tiba-tiba
masuk seorang lelaki yang mereka kenal dengan tergopoh-gopoh. Lelaki yang tidak
lain salah seorang dari Empat Iblis dari Kranggeng, memperlihatkan wajah pucat.
Hal itu menjadikan Segoro Wedi
mengerutkan kening.
"Ada apa, Wangsana" Kau seperti ketakutan, dan di mana ketiga saudara
seperguruanmu?" tanya Segoro Wedi.
"Ampun, Ketua.... Aku datang untuk melaporkan sesuatu," jawab Wangsana terbata-
bata. Napasnya turun-naik setelah berlari tiada henti.
"Katakanlah!"
Dengan wajah masih ketakutan,
Wangsana pun menceritakan bentrokan antara dia dan ketiga saudara
seperguruannya dengan seorang pemuda gila yang memiliki kesaktian luar biasa.
Sampai mereka mengalami kekalahan.
Bahkan, tiga saudara seperguruannya mati terbunuh. Hanya dia yang selamat dan
sampai di tempat itu.
Mendengar cerita Wangsana, pimpinan dunia hitam itu kelihatan sangat gusar.
Napasnya terdengar mendengus berat
"Kenapa kau tidak sekalian mampus saja bersama mereka, Wangsana"!
Menghadapi pemuda gila saja kalian tidak becus! Kau tidak berguna lagi bagiku.
Pengawal, tangkap orang ini! Pancung di depan, hingga semua melihatnya!"
perintah Segoro Wedi, membuat semua mata
terbelalak kaget
Wangsana menggigil ketakutan.
Mulutnya meratap agar mendapat ampunan dari ketuanya. Bahkan kaki Segoro Wedi
diciuminya dengan merengek-rengek. Tapi semua itu tiada arti. Sekali keputusan
diucapkan, maka hukuman harus
dilaksanakan. "Ketua, ampunilah nyawa hamba....
Ampunilah...."
"Tak ada ampun bagi orang
sepertimu!" dengus Segoro Wedi "Kalian lihai sendiri bukan" Kalau sampai besok
kalian gagal, maka kalian pun akan mengalami hal seperti anjing itu!"
Semua tertunduk tanpa ada yang
berani berbicara. Bahkan ketika pengawal yang bertubuh besar dan kokoh menyeret
tubuh Wangsana, tak seorang pun berani
melihatnya. "Sekarang kalian boleh bubar untuk mempersiapkan apa yang akan kalian lakukan
besok!" perintah Segoro Wedi.
Ketujuh kaki tangannya segera
bangkit lalu menjura hormat Ketika mereka hendak pergi, Segoro Wedi memanggil
salah seorang dari mereka.
"Nyi Bangil, jangan pergi"
Wanita cantik bertubuh sintal yang di hatinya memendam dendam karena cintanya
tak terbalas, menghentikan langkahnya. Sakit sekali hatinya saat itu. Dia tahu,
tentunya Segoro Wedi ingin melampiaskan nafsunya lagi.
Segoro Wedi menghampiri wanita
cantik dan menggairahkan itu. bibirnya tersenyum, kemudian tangannya merangkul
pundak Nyi Bangil.
"Ikutlah aku, Nyi...," ajaknya ramah.
Nyi Bangil tahu kalau keramahan itu hanya ada di saat-saat tubuhnya
dibutuhkan. Setelah itu, dia akan kembali seperti semula. Melihat Nyi Bangil
cemberut Segoro Wedi mengerutkan kening,
"Ada apa, Nyi" Mengapa wajahmu begitu?"
Nyi Bangil menatap tajam ke arah
Segoro Wedi. Sorot matanya menyiratkan kebencian.
"Kapan kau akan menjadikan aku
istri, Segoro Wedi?"
Segoro Wedi tersenyum. Diajaknya
Nyi Bangil melangkah masuk ke dalam kamarnya. Kemudian setelah menutup pintu,
tangan Segoro Wedi membuka pakaian yang dikenakan Nyi Bangil yang berusaha
menolak. "Katakan, kapan...?"
"Jangan mendesakku, Nyi!" bentak Segoro Wedi kasar. Lalu tangannya dengan kasar
merenggut pakaian wanita itu hingga lepas dari tubuhnya.
Nyi Bangil tak dapat berbuat apa-
apa, kecuali menuruti apa yang diinginkan oleh ketuanya. Dendam di hatinya
semakin menganga dalam karena cinta yang tak terbalas.
7 Dari kejauhan tampak sebuah kapal layar melaju menuju pesisir. Kapal itulah yang
tengah dinanti oleh anak buah Segoro Wedi. Kapal yang membawa saudagar kaya dari
dataran Cina dengan gadis cantik jelita.
Beberapa orang tampak berdiri di
atas perahu dengan mata memandang pesisir yang hendak mereka singgahi. Ada
sepuluh orang lebih di atas perahu itu. Dilihat dari sorot mata mereka yang
tajam bagai elang dan pedang yang tergantung di
punggung, sudah dapat dipastikan kalau kesepuluh pemuda tersebut adalah para
pendekar yang mengawal saudagar kaya itu.
Sepuluh pendekar Cina itu terus
mengawasi pesisir di mana sebentar lagi kapal mereka akan merapat. Mereka
kelihatannya waspada, mungkin karena kejadian di laut tempo hari saat kapal
mereka diserang sekelompok bajak laut.
Mereka yakin kalau bajak laut yang masih hidup dan tidak sempat mereka tangkap
telah melapor pada pimpinannya.
Tidak tertutup kemungkinan, kalau kedatangan mereka diawasi oleh kawanan
perompak itu. "Waspadalah, tentunya bajak laut yang tempo hari lolos telah melaporkan pada
pimpinannya. Tidak tertutup
kemungkinan, kedatangan kita diawasi mereka," kata seorang pendekar bertubuh
tinggi tegap dalam bahasa Cina. Tentunya pendekar ini yang menjadi pemimpin dari
sembilan pendekar lainnya.
Di dada pemimpin pendekar dari
daratan Cina itu tertera sebuah lambang seekor naga berwarna hijau dengan
sepasang pedang menyilang. Gambar itu mengandung arti kalau pendekar itu berasal
dari Perguruan Naga Hijau, sebuah perguruan besar di Cina yang banyak
menghasilkan pendekar-pendekar tangguh dan digdaya. Dia adalah kakak perguruan
tertua dari sembilan Pendekar Naga Hijau lain di kapal layar itu.
"Baik, Koko Han Jin. Kami
senantiasa siap menjaga kemungkinan yang akan terjadi. Kami siap mempertaruhkan
nyawa untuk melindungi Koh Lie dan Nona Cin Mei Lie," sahut salah seorang adik
seperguruannya.
"Bagus! Sebagai seorang pendekar, kita harus bisa menjaga nama baik Perguruan
Naga Hijau. Bersiaplah, sebab sebentar lagi kapal akan mendarat..,"
pesan pemimpin rombongan yang bernama Han Jin pada adik seperguruanya.
Mendengar ucapan itu, adik
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperguruan Han Jin segera memberitahukan pada delapan pemuda lain untuk
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Kapal melaju dengan tenang, semakin lama kian dekat dengan pesisir. Tanpa mereka
ketahui, dari balik semak-semak sekitar pesisir telah siap sekelompok anak buah
Segoro Wedi untuk menunggu kapal itu merapat. Nampaknya mereka sudah tidak sabar
lagi untuk segera menyerang.
Kepungan itu dipimpin oleh tujuh orang kaki tangan Segoro Wedi. Masing-masing
pemimpin menempati tempat yang telah diatur dengan seksama, hingga tidak akan
ada jalan bagi orang-orang Cina itu untuk meloloskan diri. Strategi mereka
benar-benar matang. Terbukti dari cara mereka bersembunyi.
Tiga kelompok yang dipimpin oleh
tiga orang kaki tangan Segoro Wedi yaitu Raja Setan Muka Ular, Kapak Iblis dan
Tuak Iblis, berada paling depan. Mereka akan melakukan serangan pertama.
Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak di belakang mereka, telah siap empat
kelompok yang masing-masing dipimpin oleh Sepasang Hantu dari Kelangit, Pedang
Akhirat dan Nyi Bangil.
Jika kelompok terdepan menghadapi bahaya, maka empat kelompok yang ada di
belakangnya akan segera membantu. Sungguh strategi yang hebat. Untuk membuat
strategi itu, tidak tanggung-tanggung Segoro Wedi dan tujuh begundalnya
mengerahkan hampir delapan puluh orang anggota. Dan telah tertanam peringatan di
benak mereka kalau mereka tidak boleh melukai gadis Cina. Mereka harus
mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup dan utuh. Jika gagal, sudah dapat
dibayangkan akibat 'Pukulan Pasir Beracun', sebuah pukulan dahsyat milik ketua
mereka. Mata mereka terus mengawasi kapal layar yang melaju perlahan dan semakin
mendekati pesisir. Mereka tidak tahu kalau para pendekar yang mengawal kapal itu
pun telah siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi.
Sebelum kapal layar itu benar-benar merapat di pesisir, terdengar aba-aba
berkumandang lantang, seakan hendak membelah ombak yang datang di bibir pantai.
"Serbu...!"
Keempat pemimpin yang berada di
barisan belakang tersentak kaget. Mereka tidak menduga sama sekali kalau pasukan
di barisan depan telah mendahului menyerbu sebelum kapal itu merapat ke pesisir.
Mendengar seruan dari pemimpin
mereka, serentak pasukan pada lapisan terdepan yang terdiri dari tiga puluh
orang, berlompatan keluar dari persembunyian mereka.
Para pendekar Cina yang berada di atas kapal tersentak kaget. Beruntung mereka
telah waspada, hingga mereka tidak panik menghadapinya. Dengan sigap, sepuluh
pendekar Cina itu menghadang di tepian kapal yang tentunya akan dijadikan jalan
bagi penyerang untuk naik.
"Kita sambut mereka di atas!"
Terdengar perintah dari Han Jin
yang merupakan pemimpin para pendekar Cina. Dengan tubuh tegang dan mata tak
berkedip, mata mereka mengawasi serbuan orang-orang yang masih terus berlari
menuju ke arah kapal dan segera melompat
ke laut yang bergelombang setelah mereka tiba di bibir pantai. Sebab, jarak
kapal dengan pantai memang masih sekitar dua puluh lima tombak. Hal itu
menguntungkan bagi para pendekar Cina. Dengan
mengarungi laut berarti tenaga mereka akan terkuras. Jadi ketika tiba di kapal,
tenaga mereka akan tinggal separuh.
Nafsu mereka yang terlalu menggebu, membuat mereka luput memperhitungkan hal
itu. Mereka terus merenangi laut dan berusaha sampai di kapal.
Ketika mereka tiba di kapal, segera sepuluh pendekar Cina menghadang mereka.
Pedang di tangan sepuluh pendekar dari Cina berkelebat cepat untuk membabat
penyerang yang berusaha naik ke atas kapal.
"Hadang...! Jangan sampai ada yang bisa naik!" teriak Han Jin sambil mengayunkan
pedang sedemikian rupa.
Gerakannya begitu cepat dan lincah, sehingga pedang di tangannya hanya terlihat
sebagai kilatan cahaya perak mengelilingi tubuhnya. Setiap kali penyerang
berusaha naik, dengan cepat pedang di tangannya bergerak membabat ke arah tubuh
lawan. Cras! "Akh...!"
Terdengar jeritan melengking
tinggi, disusul dengan melayangnya tubuh
korban jatuh ke laut. Sesaat tubuh itu menghilang di bawah permukaan air laut
yang tiba-tiba berwarna merah, kemudian muncul kembali ke permukaan dengan
keadaan tak bernyawa.
Begitu juga yang dilakukan sembilan pendekar Cina lain, mereka dengan mudah
menghalau penyerang. Pedang di tangan mereka laksana malaikat pencabut nyawa
yang haus darah, menciptakan kelebatan maut yang senantiasa membawa korban. Tapi
hal itu tidak menjadikan nyali anak buah Segoro Wedi ciut, bahkan mereka semakin
buas dan beringas. Mereka berusaha naik ke atas kapal, walau kematian siap
menghadang mereka.
Pembantaian terhadap para penyerang membuat tiga pemimpin mereka menjadi sengit.
Ketiganya kini ikut melesat cepat ke arah kapal yang semakin mendekati pesisir.
Hingga mereka tidak terlalu membuang tenaga dengan mengarungi laut untuk sampai
di kapal itu. "Bangsat! Kalian harus mampus...!"
maki Kapak Iblis murka.
Tokoh sesat bersenjatakan sepasang kapak itu tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan senjata yang sudah terkenal haus darah manusia. Disertai dengusan
sebagai tanda kemarahan yang tak
terbendung lagi, Kapak Iblis memburu ke arah Han Jin. Sepasang kapaknya bergerak
dengan ganas, menimbulkan suara dengungan yang memekakkan telinga.
Han Jin tersentak mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada,
sehingga dengan memiringkan tubuhnya ke samping, serangan itu dapat
dihindarinya. Kemudian, tanpa berpikir panjang, pendekar dari Cina itu balas
menyerang dengan menusukkan pedangnya ke tubuh lawan yang meluruk ke depan.
Kapak Iblis tersentak kaget, hampir saja pedang di tangan lawan menghunjam ulu
hatinya, kalau saja ia tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh. Sementara
tangan yang memegang sepasang kapak turut bergerak menangkis tusukan.
Tring! Dua buah senjata beradu keras.
Memercikkan pijaran api di udara. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat
melompat ke belakang. Wajah Kapak Iblis berubah pucat ketika tangannya tergetar
akibat benturan senjata tadi. Dia sadar kalau lawannya bukan orang sembarangan.
Tenaga dalam lawan ternyata berada dua tingkat di atasnya. Benar-benar tidak
terduga oleh Kapak Iblis, kalau lawannya yang masih kelihatan muda itu memiliki
tenaga dalam hebat. Namun, bagaimana mungkin dia harus mengakui keunggulan lawan
di depan anak buah dan
gerombolannya" Hendak ditaruh di mana
mukanya" Sesaat mata kedua orang itu saling berpandangan. Nampak ketenangan di wajah Han
Jin. Sepertinya, dia tidak merasakan apa-apa atas benturan senjatanya dengan
senjata lawan. Hal itu membuat Kapak Iblis semakin penasaran bercampur marah.
Dia mendengus, kemudian kembali
menyerang. "Heaaa...!"
*** Sepasang senjata di tangan Kapak
Iblis bergerak dengan cepat ke arah Han Jin, yang dengan tenang mundur sambil
mengelitkan badan ke kiri dan kanan. Lalu dengan cepat dia balik menyerang
dengan tusukan serta babatan pedang yang mengarah ke bagian tubuh yang
mematikan. Kapak Iblis yang sudah tahu
kehebatan tenaga dalam lawannya berusaha menghindari bentrokan senjata. Matanya
membelalak kaget, menyaksikan serangan lawan yang datang begitu cepat dan
mengarah ke bagian tubuhnya.
"Celaka...!" pekik Kapak iblis. Dia tidak menyangka kalau lawan yang semula
dianggap enteng ternyata memiliki serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Kalau tidak hati-hati, dalam beberapa gebrakan saja dia akan menerima
kekalahan. Han Jin yang melihat lawannya agak kerepotan, tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dengan tusukan dan tebasan pedang yang cepat, dia terus menyerang Kapak Iblis.
"Gila...! Benar-benar gila...!"
maki Kapak Iblis sambil berusaha
berkelit. Serangan-serangan itu terus mencecarnya. Seakan-akan tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menarik napas.
Han Jin terus memberondong dengan kombinasi pukulan, tendangan, serta tusukan
pedangnya. Membuat Kapak Iblis kian kewalahan. Dia hanya mampu
menghindar dari serangan, tanpa berani untuk mengadu senjata kembali. Tapi hal
itulah yang menjadikan kedudukannya semakin terjepit.
Gempuran-gempuran yang dilancarkan oleh Han Jin kian cepat dan deras pada setiap
titik kematian. Tangan, kaki, serta pedangnya silih berganti menyerang, seakan
tidak ada ruang bagi Kapak Iblis untuk mengelak dan balik menyerang.
Kapak Iblis mencoba membuka benteng serangan lawan dengan menyodorkan satu
serangan. Tapi hampir saja dia menjadi korban ketika pedang lawan dengan tiba-
tiba melesat ke arah tubuhnya. Setelah itu tak ada lagi kesempatan baginya untuk
bisa menghindar dari serangan beruntun
itu. Sebab dia baru saja melakukan salto, sementara kakinya belum sempat
menginjak lantai kapal. Mungkin ini saat
kematianku, keluh Kapak Iblis dalam hati.
Pedang di tangan Han Jin sekejap
lagi akan melubangi ulu hatinya, ketika sebuah benturan terjadi tiba-tiba,
hingga menyelamatkan nyawa Kapak Iblis dari kematian.
Trang! Han Jin menarik mundur serangannya, matanya memandang ke arah orang yang telah
menggagalkan serangan tadi. Orang tersebut kini terhuyung ke belakang dengan
mulut meringis sambil memegangi tangan yang terasa ngilu. Sedangkan pedang yang
tadi digunakan untuk
menangkis, kini terpental jauh. Orang itu yang tidak lain Raja Setan Muka Ular
membelalakkan mata. Dia tidak menyangka kalau kejadiannya begitu tak terduga.
Raja Setan Muka Ular yang tadinya menyangka kalau pendekar muda itu ilmunya
belum seberapa, kini harus membuka mata dan mengakui kalau tenaga dalamnya masih
di bawah pemuda bermata sipit itu.
"Kalian mencari mampus!" dengus Han Jin gusar, kemudian tanpa banyak kata lagi
dia berkelebat melabrak dua orang yang menjadi lawannya dengan serangan cepat
dan sulit diduga.
"Awas...!" pekik Kapak Iblis dengan
mata membelalak menyaksikan serangan yang begitu
mendadak dan cepat.
Tangannya mendorong Raja Setan Muka Ular, sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri
untuk mengelakkan tusukan pedang lawan.
Ternyata dugaannya meleset, pendekar muda itu menarik serangan pedangnya,
kemudian dengan gerakan yang sulit diduga kakinya menendang ke arah lambung
Kapak Iblis. Deg! Tak ampun lagi, tendangan yang
disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di lambung Kapak Iblis,
mendorong tubuhnya hingga terpental keluar dari kapal lalu jatuh ke laut
Hal itu menjadikan Raja Setan Muka Ular seketika terkejut. Sulit
sekali diikutinya gerakan yang dilakukan pendekar muda dari Cina itu. Belum juga hilang
rasa kaget di hati Raja Setan Muka Ular, tiba-tiba dia dikejutkan oleh serangan
cepat yang dilakukan oleh pendekar muda itu. Sebuah tusukan pedang melesat ke
arah ulu hatinya. Mau tak mau Raja Satan Muka Ular segera menjatuhkan diri untuk
menggelakkan tusukan itu. Tangannya yang masih agak sakit langsung digerakkan, memukul ke arah
selangkangan lawan yang dengan cepat memapaskan pedangnya ke bawah.
"Celaka!" pekik Raja Setan Muka Ular perlahan.
Raja Setan Muka Ular berusaha
menarik pukulannya, tapi tebasan pedang lawan ternyata jauh lebih cepat
dibanding gerakannya. Tanpa ampun lagi, pedang lawan menebas tangan kanannya.
Cras! "Aaa...!"
Pekik kesakitan pun keluar dari
mulut Raja Setan Muka Ular. Disusul sebuah tendangan cepat menghantam dadanya.
Tak ayal lagi, tubuh Raja Setan Muka Ular pun terpental keluar dari kapal dan
jatuh ke air. Empat begundal Segoro Wedi yang
masih bersembunyi di semak-semak
tersentak menyaksikan dua orang temannya dapat dikalahkan. Kini yang tersisa di
kapal itu hanya Tuak Iblis dan beberapa anak buahnya.
"Keparat! Kalau didiamkan terus, korban akan semakin banyak di pihak kita.
Nampaknya Tuak Iblis pun tak mampu berbuat banyak menghadapi serangan pendekar-
pendekar Cina itu. Kite bantu dia," kata Pedang Akhirat "Kalian serang sembilan
pendekar lainnya. Bantu Tuak Iblis. Kami berempat akan mengeroyok pendekar itu.
Serbu...!"
Mendengar aba-aba itu, lebih dari lima puluh orang dengan spontan
berlompatan keluar dari persembunyian mereka diikuti oleh empat pimpinan
mereka. Dengan semangat tinggi mereka menyerbu ke arah kapal.
Seperti telah direncanakan, sekitar lima puluh orang anak buah itu segera
membantu Tuak Iblis menghadapi sembilan pendekar dari Cina itu. Sedangkan empat
pemimpin mereka kini mengurung pemimpin pendekar muda dari Cina yang sudah
diketahui berilmu tinggi.
Pertarungan yang tadinya tidak
seimbang kini bertambah seru, karena banyak para penyerang mengalami kematian.
Bahkan dua orang pemimpin mereka entah bagaimana nasibnya. Semangat para
penyerang yang tadinya telah melemah, kembali berkobar. Mereka dengan berani
mencoba merangsek sembilan pendekar muda dari Cina, walau untuk itu mereka harus
mengorbankan nyawa. Sebab, sembilan pendekar muda dari Cina itu ternyata bukan
lawan enteng. Ilmu mereka semuanya setara, membuat gerakan mereka terlihat
demikian kompak dan cepat
Kegaduhan di atas kapal itu rupanya mengejutkan orang yang berada di bawah.
Termasuk saudagar Cina yang bernama Koh Lie dan anaknya, Cin Mei Lie. Ayah dan
anak itu segera naik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan, betapa
kagetnya mereka ketika menyaksikan para pengawal tengah bersabung nyawa.
"Oh! Apa yang terjadi. Ayah...?"
tanya gadis cantik jelita berkulit kuning langsat itu. Di matanya terbayang
kengerian menyaksikan pertarungan yang memakan korban hingga berserakan di atas
kapal. Sang Ayah tak dapat menjawab. Dia tidak tahu pasti apa yang tengah terjadi.
Saat itu, terdengar suara perintah dari pendekar muda yang tengah dikeroyok oleh
Keris Maut 2 Tangan Berbisa Karya Khu Lung Tangan Geledek 5
itu mencerminkan sikap yang ramah dan penyabar. Bibirnya tersenyum, menyaksikan
si bocah telah terjaga.
"Kakek, siapakah engkau" Sedari tadi aku tidak melihatmu?" tanya Sena sambil
menggerakkan tubuh untuk bangkit
"Bocah, aku adalah penghuni Gua Setan ini. Sepantasnya aku yang bertanya
begitu padamu," ujar orang tua itu, tanpa melepas senyumnya.
Sena terkejut mendengar penuturan orang tua yang memberitahukan kalau dirinya
berada di dalam gua angker yang ditakuti oleh orang-orang rimba persilatan.
Memang, walaupun masih kecil tapi ayah dan ibunya sering memberitahukan hal-hal
yang terjadi di dalam rimba persilatan.
"Jadi, inikah Gua Setan?" tanya bocah kecil itu.
"Ya," sahut orang tua penghuni Gua Setan masih tersenyum ramah.
"Dan kau penghuni Gua Setan ini?"
"Benar," jawab orang tua itu lagi.
Setelah tahu siapa lelaki tua di
hadapannya, tanpa diperintah bocah kecil itu langsung turun dan sujud di kaki
orang tua itu. "Maafkan aku yang bodoh dan begitu lancang memasuki Gua Setan ini serta
mempelajari gambar-gambar di dinding.
Sekiranya engkau menyalahkan tindakanku, aku siap menerima hukuman."
Orang tua penghuni Gua Setan
tersenyum, kemudian tangannya mengangkat pundak si bocah.
"Berdirilah. Kau tidak bersalah, Bocah. Bahkan aku bangga menyaksikan mu tanpa
rasa lelah mempelajari jurus-jurus ilmu silat yang ada di dinding gua ini.
Siapa namamu?" tanya orang tua itu.
"Ampunkan aku yang bodoh ini, Kek.
Namaku Sena Manggala. Kalau aku tidak salah, bukankah engkau yang bernama Eyang
Singo Edan?" tanya Sena, memberanikan diri. Meski ia tidak berani mengadu
pandang pada orang tua di depannya yang saat itu tertawa.
"Benar.... Benar apa yang kau katakan. Aku memang Singo Edan, penghuni Gua Setan
ini," jawab orang tua itu sambil terus tertawa. "Bocah, dari mana kau tahu kalau
aku Singo Edan?"
Sena tidak langsung menjawab, malah dia balik bertanya untuk menegaskan
kebenaran yang didengarnya.
"Jadi, benarkah kau Eyang Singo Edan?"
"Ya, kenapa...?"
Kembali bocah itu bersujud, lalu
dengan suara penuh hormat berkata,
"Oh, sekali lagi ampuni saya yang bodoh dan lancang ini."
Singo Edan tertawa bergelak. Sekali lagi diangkatnya pundak si bocah hingga
berdiri. Matanya memandang lekat ke wajah Sena sebelum kembali bertanya,
"Katakanlah, dari mana kau tahu aku bernama Singo Edan" Dan, jangan kau pikirkan
masalah kelancanganmu, sebab aku justru senang dengan kehadiranmu di gua ini.
Aku bahkan kagum dengan semangatmu
mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si Gila'."
Sena tercengang mendengar penuturan Singo Edan yang mengatakan kalau dia telah
mempelajari jurus-jurus langka yang hebat itu.
"Apa"! Jadi...," seru Sena tanpa sadar.
"Benar. Semua yang kau anggap lucu adalah jurus-jurus langka 'Ilmu Silat Si
Gila'. Nah! Sekarang katakan, dari mana kau tahu namaku Singo Edan?" desak orang
tua itu ingin tahu.
Setelah menjura, Sena menceritakan siapa sesungguhnya dirinya, siapa orangtuanya
dan siapa pula kakeknya.
Bocah kecil itu juga menceritakan kalau dia tergelincir dan menggelinding ke
bawah lereng karena tubuhnya lemah terkena tendangan seorang pengeroyok ayahnya.
"Begitulah ceritanya, Eyang," kata Sena, mengakhiri ceritanya.
"Jadi kau cucu Senabrata"!" tanya Singo Edan dengan kening berkerut Sena
menganggukkan kepala.
"Kakekmu telah meninggal?" tanya Singo Edan kembali.
"Benar, Eyang. Kakek meninggal karena usia tua, sedangkan ayah dan Ibu entah
bagaimana nasibnya. Orang-orang itu begitu jahat, Eyang...," tutur Sena
polos, membuat Singo Edan manggut-manggut dengan raut wajah prihatin.
Di samping Singo Edan terharu
mendengar penuturan bocah kecil itu, dia juga merasa sedih karena Senabrata
sebenarnya adalah sahabatnya. Nasib yang menimpa anak Senabrata dirasakan
seperti menimpa anaknya sendiri.
"Sudahlah, Sena.... Semua sudah menjadi suratan takdir. Tak perlu disesali lagi.
Kini, Eyang mau menawarkan padamu. Maukah kau mempelajari dengan tekun gambar-
gambar itu?" tanya Singo Edan setelah memberi petuah pada si bocah, sekaligus
memberikan semangat Sena memandangi wajah Singo Edan.
Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Tapi, setelah Singo
Edan kembali menganggukkan kepala sambil tersenyum, segera bocah itu bersujud.
"Oh, sungguh aku yang bodoh dan lancang ini tidak terkira bahagianya, sebab aku
merasa telah mendapatkan kehormatan menjadi murid Eyang. Terimalah sembahku,
Eyang." "Sudahlah, tak perlu begitu. Kita sama-sama manusia. Hanya Tuhan yang patut
disembah. Bangunlah," ujar Singo Edan, kemudian diajaknya bocah kecil itu
melangkah ke ruang dalam. Sejak saat itulah, Sena Manggala menjadi murid tunggal
tokoh sakti yang belum
tertandingi sampai saat ini.
5 Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa sepuluh tahun telah berlalu.
Selama itu, Sena Manggala dengan tekun mempelajari jurus-jurus 'Ilmu Silat Si
Gila' yang langka dan dahsyat. Sedikit pun tak ada keluhan dari bibirnya. Bukan
itu saja, Kitab Ilmu Silat Si Gila yang ditulis Eyang Singo Edan pun telah
dilalapnya dengan cepat, hingga semua
'Ilmu Silat Si Gila' tak satu pun tersisa.
Ilmu-ilmu lainnya, seperti tenaga dalam, meringankan tubuh, dan pukulan-pukulan
sakti telah pula dipelajarinya.
Hingga pada usia dua puluh tahun, Sena telah menjadi sosok pendekar muda yang
memiliki bekal ilmu kedigdayaan yang tinggi.
Pagi merambati muka bumi bersama
seluruh warna dan tembang alam. Di dalam Gua Setan, dua orang tengah duduk
berhadap-hadapan. Yang seorang adalah lelaki tua berjubah putih dengan rambut
yang kian memutih pula. Ia tak lain Singo Edan atau lebih terkenal dengan
julukan Penghuni Gua Setan. Di depannya duduk seorang pemuda tampan, berkulit
kuning bersih serta rambut panjang rapi yang diikat dengan selembar kulit ular.
Tubuhnya yang berotot menggambarkan kalau selama ini ia telah menjalani godokan
yang berat. Pemuda itu adalah Sena Manggala.
"Sena, sepuluh tahun telah berlalu.
Sepuluh tahun pula kau berada di gua ini.
Semua ilmu yang Eyang miliki, telah diwariskan padamu...," kata Singo Edan
setelah beberapa saat terdiam.
"Perpisahan memang berat, Cucuku...."
Sena tak berkata apa-apa. Pemuda
itu nampaknya terharu mendengar penuturan eyang gurunya. Bagaimanapun juga,
selama sepuluh tahun mereka senantiasa berdua.
Susah senang mereka jalani bersama. Tapi, tiba-tiba kini mereka harus berpisah.
Siapa pun pasti akan merasa sedih.
"Sena, jangan kau pikirkan
perpisahan antara kita, sebab hal itu adalah kenyataan hidup setiap manusia. Di
mana ada pertemuan, tentu ada perpisahan.
Kau telah dewasa, telah mewarisi seluruh
'Ilmu Silat Si Gila'...."
Kembali orang tua sakti itu
menghentikan ucapannya. Dihelanya napas sebelum meneruskan ucapannya.
"Ketahuilah, ilmu seseorang tidak berarti sama sekali jika digunakan untuk
kejahatan. Dan harus kau ingat pula, bahwa sesungguhnya ilmu yang dimiliki
manusia hanya bagai setetes air di lautan dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Hyang Widhi. Kau
paham, Sena...?"
pesan Singo Edan, amat menggiris.
"Paham, Eyang...," sahut Sena masih menunduk.
"Bagus.... Dengan begitu, kau tidak akan tersesat nantinya. Kemudian yang perlu
kau ingat juga, jangan menaburkan benih permusuhan dalam hidupmu. Buanglah rasa
dendam di hatimu, sebab dendam adalah setan."
"Baik, Eyang.... Semua yang Eyang petuahkan, akan senantiasa kuingat,"
jawab Sena. Singo Edan mengangguk-angguk,
sementara tangannya mengelus-elus jenggotnya yang semakin memutih.
"Satu lagi yang ingin kukatakan padamu, Sena."
"Kalau Eyang berkenan, katakanlah.
Sebab semua petuah Eyang adalah penerang jalan hidupku yang masih buta," tutur
Sena, penuh hormat.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik, dan camkan. Pepatah mengatakan; Jangan melawan
badai, jika kau tak mampu. Dan jangan melawan arus jika kau tak memiliki
pegangan. Kau tahu artinya, Sena...?"
tanya Singo Edan.
"Ampun, Eyang.... Aku masih terlalu buta dan bodoh untuk mengurai maksud
peribahasa itu," jawab Sena merendah. Dan hal itu yang menjadikan Singo Edan
semakin kagum terhadap muridnya. Ternyata sang Murid bukan hanya cerdas, namun
kepribadiannya pun sangat luhur.
Singo Edan tersenyum seraya
mengangguk-anggukkan kepala. Dia tahu kalau Sena sesungguhnya memahami apa
maksud peribahasa itu. Tapi pemuda itu tampaknya lebih suka merendah.
"Sena, arti peribahasa itu
begini.... Seorang manusia seharusnya jangan menyombongkan diri hingga
membuatnya mencelakakan diri sendiri.
Seorang manusia seharusnya jangan bertindak tanpa pertimbangan, hingga
tindakannya menjadi sia-sia belaka. Bukan mendapatkan yang terbaik, justru akan
mencelakakan diri sendiri. Nah, kau paham...?"
"Paham, Eyang...."
"Nah, kini tidak ada lagi yang dapat Eyang berikan padamu. Hanya suling ini yang
masih tersisa di tangan Eyang.
Suling ini pun akan Eyang berikan padamu.
Terimalah! Anggaplah suling ini sebagian hidupmu. Jagalah baik-baik, jangan
sampai jatuh ke tangan manusia-manusia berhati iblis, sebab akan menimbulkan
celaka," tutur Singo Edan memberi petuah dengan penuh penekanan pada setiap kata yang
terucap. "Hm.... Mari ikut aku, biar
kutunjukkan keistimewaan suling sakti ini."
Segera kaki Singo Edan melangkah ke ruang lain yang luas dalam gua itu. Singo
Edan lalu memperagakan sesuatu. Suling itu dihentakkannya ke depan dan seketika
batu-batu yang ada dalam gua itu
terlempar berhamburan disertai angin kencang.
"Ini sebagian dari kesaktian suling ini," ujar Singo Edan setelah memperagakan
kesaktian suling sakti itu, membuat Sena berdecak kagum.
Setelah itu, Singo Edan memberikan suling di tangannya pada Sena yang langsung
menerimanya. Sekilas diamatinya suling berwarna perak yang pada satu ujungnya
terukir kepala naga. Itulah Suling Naga Sakti, yang sampai saat ini menjadi
incaran kaum rimba persilatan.
"Kini lengkap sudah semua yang kau miliki. Semua milik Pendekar Gila telah kau
dapatkan. Pergilah dari Gua Setan ini. Banyak orang yang membutuhkan pertolongan
dan uluran tanganmu. Ber-jalanlah di jalan yang lurus, jangan sesekali berpaling
ke jalan yang sesat,"
tutur Singo Edan seraya membelai rambut pemuda itu.
"Terima kasih, Eyang.... Sungguh besar jasamu padaku. Entah dengan cara apa aku
yang bodoh dan tiada guna ini
dapat membalasnya."
"Sudah, jangan pikirkan hal itu.
Eyang akan senang, jika kau dapat membantu orang yang memerlukan pertolonganmu.
Pergilah ke arah selatan, di sana akan kau temukan pintu keluar dari gua ini.
Ingat, jangan kembali ke Gua Setan ini," tegas Singo Edan.
"Baik, Eyang. Aku mohon pamit..."
Sena menjura hormat dengan
membungkukkan tubuhnya. Kemudian dengan masih membungkuk, pemuda itu bangkit
dari duduknya, melangkah mundur meninggalkan orang tua yang masih duduk di atas
batu datar. Di bibir orang tua itu tersungging senyum kepuasan. Hatinya merasa tenang, sebab
kini telah ada penggantinya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di muka
bumi. "Semoga Hyang Widhi senantiasa
melindungimu, Cucuku," desis orang tua itu lirih. Matanya pun segera dipejamkan,
seolah berusaha menahan rasa haru yang menyelinap di harinya.
*** Pemuda berbadan tegap serta
berwajah tampan dengan pakaian terbuat dari kulit ular sanca itu masih melangkah
menyusuri lorong-lorong gua, meninggalkan
eyang gurunya yang semakin jauh. Pemuda itu tidak lain adalah Sena Manggala.
Kakinya terus menyelusuri lorong gua, mencari jalan keluar yang ditunjukkan oleh
gurunya. Lama pemuda itu menyelusuri lorong gua, hingga akhirnya matanya melihat sebuah
sinar terang menyeruak masuk ke dalam.
"Hm, tentunya itu sinar dari luar.
Tidak salah lagi, itu memang pintu gua,"
kata Sena sambil mempercepat langkahnya menuju ke arah sumber sinar yang
menerobos masuk. Lorong gua yang berliku, menjadikan sinar itu tidak tembus ke
dalam. Dan tentunya orang lain tidak akan menyangka ada jalan keluar dari lorong
itu. Benar juga dugaannya. Ketika tiba di mulut gua, terlihat laut yang luas
membentang. Dan ketika kepalanya
menengadah ke atas, ternyata pintu gua itu terpayungi batu cadas, sehingga tidak
terlihat dari atas sana.
"Heh! Bagaimana aku bisa ke luar"
Di hadapanku laut, sedang di atasku batu," gumam pemuda itu seperti kebingungan.
Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya cengar-cengir
seperti melihat hal lucu.
"Ah, bodohnya aku! Kenapa aku tidak mencoba dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam?"
Setelah mengangguk-angguk sambil
tersenyum, Sena menyurutkan kakinya tiga langkah ke belakang. Lalu sambil
tertawa, dia melesat laksana terbang. Tubuhnya meluncur lurus di atas permukaan
air laut, lalu berputar ke atas bagai menunggang angin, dan dengan ringan
kakinya dijejakkan di atas batu cadas yang menutupi mulut gua.
"Huh, segar sekali udara di sini.
Hm, inikah dunia bebas?"
Bibirnya kembali cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Kemudian diambilnya suling yang terselip di pinggang. Lama suling itu diamati
seraya menimangnya perlahan.
"Aku harus menjaga suling ini baik-baik," gumam Sena seperti berjanji pada diri
sendiri. Sena kembali menimang-nimang suling itu. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk meniup
suling sekadar menghibur diri.
Disatukan bibirnya pada ujung suling berbentuk kepala naga, kemudian di tiupnya.
Suara suling mengalun merdu,
berkumandang ke seluruh pelosok dan menyelusup di pucuk-pucuk pohon kelapa yang
tumbuh di sekitar daerah itu.
Semakin lama, suara suling itu kian tinggi. Dan....
Darrr! Ledakan terjadi, ketika lengking
suling membentur sebatang pohon kelapa.
Kejadian itu menyentakkan Sena, hingga segera menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya membuka lebar dan mulutnya menganga melihat sesuatu yang dahsyat Pohon
kelapa itu terbakar hangus, kemudian tumbang dengan daun-daunnya yang mengering
hangus. "Oh....! Tidak salahkah yang kulihat?" tanya Sena pada diri sendiri setengah
bergumam. Matanya menyapu ke segenap penjuru tempat itu. Tidak ditemukan adanya
orang lain. Berarti, pohon kelapa besar itu terbakar dan tumbang oleh suara
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sulingnya. "Oh, sungguh dahsyat suara suling ini. Eyang, pemberianmu ini
sungguh-sungguh benda pusaka yang sangat hebat. Pantas kau begitu sungguh-
sungguh berpesan padaku."
Angin Laut Selatan bertiup ramah, mengantar kesejukan. Gelombang laut masih
bergulung, berusaha menggempur batu karang.
Pemuda tampan dengan rompi kulit
ular itu masih mematung setelah
menyelipkan sulingnya pada sabuk kulit ular yang melilit pinggangnya. Dia masih
bingung ke mana harus melangkah. Dunia bebas ini masih sangat asing baginya.
"Ah, bodohnya aku!"
Kembali Sena menepuk keningnya
perlahan, seraya menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
"Bukankah aku punya kaki" Kenapa mesti bingung?"
Usai berkata begitu, kakinya
melangkah mantap meninggalkan Pantai Selatan di mana pintu rahasia Gua Setan
berada. Sena hanya mengikuti kata hati, melangkah tanpa tujuan yang pasti.
*** Sinar matahari pagi membelai
hangat. Sebuah kedai telah dibuka oleh pemiliknya sejak kokok ayam pertama
terdengar. Empat orang lelaki bertampang kasar memperlihatkan kebengisan masuk
ke kedai itu. Tingkah mereka tidak sopan, menandakan kalau keempat lelaki itu
bukan orang baik-baik. Dilihat dari golok yang tergantung di pinggang, jelas
keempat lelaki berwajah bengis itu dari rimba persilatan.
"Sediakan arak empat guci, cepat!"
seru seorang dari mereka. Tangannya
dengan keras menggebrak meja di depannya.
Brak! Pemilik kedai dengan wajah
ketakutan, tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Tubuhnya menggigil, karena rasa
takut tidak alang kepalang.
"Maaf, Aden sekalian minta apa?"
tanya pemilik kedai itu, dengan suara bergetar.
"Goblok! Apa telingamu tuli, hah"!
Cepat sediakan empat guci arak, juga makanan yang enak!" bentak orang yang tadi
menggebrak meja.
"Ba..., baik," jawab pemilik kedai semakin bertambah ketakutan.
Lalu, tanpa banyak tanya lagi dia tergopoh-gopoh berlalu. Tidak lama kemudian,
bersama seorang pelayan, laki-laki tua itu membawa empat guci arak serta
makanan-makanan lezat
"Cepat..!" bentak orang itu lagi tak sabar.
"I..., iya, Den," sahut pemilik kedai.
Dengan tubuh gemetar ditaruhnya
empat guci arak di meja. Sedangkan pelayannya menaruh makanan-makanan permintaan
keempat lelaki kasar itu.
Keempat lelaki kasar itu terbahak-bahak melihat wajah pucat pasi pemilik kedai
yang masih berdiri di samping mereka dengan tubuh gemetaran.
"Heh, kenapa kau masih di sini?"
tanya orang kedua dari mereka. Nada suaranya tidak sekasar orang pertama.
"Maaf, Den.... Barangkali masih ada yang dipesan?" tanya pemilik kedai, mencoba
tersenyum meski terlihat kaku.
"Apa"! Pesan..." Siapa yang pesan"!
Apakah kau belum tahu siapa aku" Kau belum tahu kami, ya" Dengar, kami adalah
Empat Iblis dari Kranggeng, anak buah Segoro Wedi!" tutur orang pertama dengan
suara keras, seakan ingin menyombongkan diri dengan menyebut Segoro Wedi sebagai
tokoh sesat yang sangat ditakuti.
"Ampunilah hamba yang buta ini...,"
ujar orang tua pemilik kedai setelah mendengar penuturan tadi.
"Baik, pergi cepat! Jangan sampai aku muak!"
Tanpa diperintah dua kali, orang
tua itu berlalu meninggalkan mereka.
Bukan hanya pemilik kedai yang
ketakutan setelah tahu siapa keempat lelaki beringas dan kasar itu. Para
pengunjung kedai juga begitu. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu dengan
terburu-buru. Di wajah mereka terlukis rasa takut luar biasa.
Semakin pongah saja keempat lelaki bertampang beringas dan kasar itu, merasa
kalau semua orang takut kepada mereka.
Dengan tertawa-tawa, mereka menyantap makanan. Tapi tawa mereka seketika
terhenti ketika dari luar terdengar tawa yang mampu menggetarkan hati mereka.
"He he he.... Ha ha ha...! Lucu..., lucu sekali. Iblis-iblis sekarang
bergentayangan! Ah, dunia ini aneh
sekali," ujar sebuah suara, dibarengi dengan munculnya seorang pemuda tampan
berompi kulit ular. Pemuda itu tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
sesekali menggeleng. Sedangkan mulutnya cengengesan persis orang gila.
"Bocah edan! Siapa kau"! Lancang sekali ucapanmu! Apakah kau tidak tahu kami,
hah"!" bentak salah seorang dari Empat Iblis dari Kranggeng. Wajahnya yang
beringas semakin bertambah beringas karena marah. Tapi pemuda yang dibentak
bukan takut, malah semakin memperkeras tawanya sambil menggaruk-garuk kepala.
"He he he.....Bukankah tadi kau mengatakan kalian berempat iblis?" balik pemuda
itu dengan maksud mengejek.
Tangannya terus menggaruk-garuk kepala serta mulutnya cengengesan. Kemudian
dengan tingkah laku seperti orang gila, pemuda yang ternyata Sena Manggala itu
kembali berkata, "Ah, lucu.... Seharusnya orang seusia kalian belum pikun.
Tapi... Yah, mungkin inilah dunia. Ternyata iblis pun bisa pikun...,"
Merah membara wajah Empat Iblis
dari Kranggeng mendengar ocehan pemuda gila itu. Salah seorang dari mereka
melontarkan paha ayam ke arah si pemuda, disertai tenaga dalam penuh.
"Nih untukmu, terimalah! Lalu pergi dari sini, jangan sampai kesabaran kami
hilang!" Paha ayam yang masih utuh itu
melesat seperti mata anak panah ke arah si pemuda. Tapi dengan enteng, Sena
menangkapnya. Hal itu membuat Empat Iblis dari Kranggeng cukup terkejut. Sedang
pemuda itu dengan santai menggeragoti daging ayam.
"Terima kasih, kau baik sekali.
Terimalah tulang ini. He he he...!" ujar Sena setelah paha ayam itu tinggal
tulang. Tulang ayam itu melesat cepat,
mengejutkan Empat iblis dari Kranggeng.
Mata mereka menegang, tidak menyangka lemparan pemuda itu sangat kuat. Mau tidak
mau mereka merundukkan kepala agar tidak terkena sambaran tulang itu Wesss!
Tulang itu meluncur tepat di atas rambut mereka, lalu akhirnya tertanam dalam
pada sebatang pohon yang ada di samping kedai. Semakin terbuka lebar mata
keempat lelaki beringas itu menyaksikan pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa
itu. Namun kepongahan rupanya membuat
mereka buta pada ilmu pemuda yang jauh berada di atas mereka. Didahului
bentakan, Empat Iblis dari Kranggeng mencabut golok dan menyerang pemuda yang
masih tertawa cekikikan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Kurang ajar! Rupanya kau perlu dihajar!"
Sena agak terkejut mendapat
serangan begitu cepat dari keempat lelaki yang menamakan dirinya Empat Iblis
dari Kranggeng itu. Ia memang belum banyak pengalaman dalam rimba persilatan
yang penuh kelicikan dan tipu daya. Tapi nalurinya menuntun agar serangan itu
dielakkannya. Dengan satu lentingan indah,
dimentahkannya serangan ganas itu.
Menyebabkan golok para penyerang beradu di tempat kosong.
Trang! Sena kembali cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala, lalu pantatnya
ditepuk berulang kali.
"Kenapa kalian mengeroyokku" Wah, celaka! Kalian benar-benar orang jahat!"
"Kurang ajar! Kurencah tubuhmu, Bocah Sinting!" dengus orang pertama dari Empat
Iblis dari Kranggeng. Lalu dengan penuh amarah tubuhnya melesat untuk memburu
pemuda itu, diikuti oleh ketiga temannya.
"Heaaa...!"
6 Semua orang yang menyaksikan pemuda itu dikeroyok oleh Empat Iblis dari
Kranggeng turut tegang. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda tampan yang
bertingkah seperti orang gila itu akan menjadi korban keberingasan dan kekejaman
mereka. Namun untuk membantu pemuda itu, mereka tidak berani. Mereka tahu, siapa Empat
Iblis dari Kranggeng, terlebih dengan Segoro Wedi.
Tokoh yang terakhir, akhir-akhir
ini sangat ditakuti, baik oleh tokoh rimba persilatan atau oleh tokoh
kebanyakan. Dia ditakuti karena
kekejamannya. Belum ada tokoh rimba persilatan yang mampu menghadang sepak
terjangnya. Semua yang mencoba
menghalangi, tak ada yang dibiarkan hidup. Mereka dibantai bagai binatang tak
berharga. Kini seorang pemuda berani
menghadapi Empat Iblis dari Kranggeng, itu berarti secara tak langsung telah
menantang pimpinan mereka.
"Benar-benar nekat pemuda gila itu.
Apakah dia tidak takut terhadap Segoro Wedi?" gumam pemilik kedai yang masih
menyaksikan jalannya pertarungan antara Sena melawan Empat Iblis dari Kranggeng,
begundal Segoro Wedi.
"Namanya saja pemuda gila. Mana ada sih, orang gila yang takut?" sambung
temannya. "Iya, ya.... Tapi kasihan juga dia; semuda itu sudah gila," kata pemilik kedai
seraya menghela napas. "Semoga pemuda gila itu bisa menang. Muak rasanya aku
melihat tingkah laku bajingan-bajingan itu."
"Benar! Mereka bukan hanya kejam, tapi juga menculik gadis dan memperkosanya.
Tindakan mereka benar-benar seperti iblis!" rutuk teman bicaranya.
Apa yang diharapkan kedua orang itu menjadi kenyataan. Pemuda tampan yang
tindak-tanduknya seperti orang gila itu kini mampu menguasai keadaan. Bahkan
kini dia mendesak Empat Iblis dari Kranggeng dengan jurus-jurus yang aneh.
Jurus-jurus yang menyerupai orang gila tengah menari-nari dan sesekali tampak
menepuk gemulai itu, ternyata mampu membuat keempat lawannya kewalahan.
Semua orang yang melihat
pertarungan itu pun membelalakkan mata dengan mulut berdecak kagum melihat
gerakan pemuda aneh itu.
Gerakannya memang kelihatan lambat, namun sesungguhnya sangat dahsyat dan cepat,
karena disertai tenaga dalam serta ilmu meringankan tubuh yang sempurna.
Berkali-kali pemuda itu terkepung
serangan golok Empat Iblis dari
Kranggeng. Tapi berkali-kali pula pemuda itu mematahkan serangan lawan, hanya
dengan jurus-jurus yang terlihat sangat lemah dan lucu.
Kalau orang yang tidak mengerti
ilmu silat, mungkin melihat gerakan pemuda itu hanyalah sebuah gerakan main-
main. Untuk apa tangannya menepuk" Untuk apa tubuhnya meliuk-liuk seperti
menari" Padahal dia dalam ancaman maut keempat lawan yang menyerang bertubi-tubi.
Tapi bagi yang tahu ilmu silat,
justru akan berpikir seribu kali untuk menghadapi gerakan aneh pemuda itu.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', salah satu jurus langka yang pernah
menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun silam milik seorang pendekar gila
yang bernama Singo Edan.
Dan selama itu pula, belum ada yang mengalahkannya.
Kini jurus itu kembali muncul,
lewat seorang pemuda bau kencur yang aneh. Kalau saja Empat Iblis dari Kranggeng
tahu, tentunya mereka akan berpikir berulang kali untuk menghadapi jurus itu.
"Bocah edan! Rupanya kau memiliki ilmu juga, heh"!" bentak orang pertama dari
Empat Iblis dari Kranggeng. "Jangan bangga dulu, Bocah! Kalau sejak tadi kau
bisa mematahkan serangan kami, maka kali ini nyawamu akan hilang. Terimalah
jurus 'Empat Golok Iblis Membelah Bumi'.
Heaaa...!"
Empat Iblis dari Kranggeng
merangsek cepat. Mula-mula mereka mengangkat golok masing-masing ke atas kepala.
Kemudian menebaskan ke muka, disusul dengan tebasan ke samping kiri dan kanan.
Gerakan mereka serempak, sehingga rasanya sangat sulit bagi Sena untuk dapat
melepaskan diri dari serangan itu.
"Celaka...! O, matilah aku...,"
keluh pemuda itu sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya tetap cengengesan,
layaknya orang gila.
"Belah tubuhmu, Bocah Edan...!"
Empat bilah golok di tangan lawan mengarah dari atas ke kepalanya. Sena
tersentak merasakan angin tebasan. Segera nalurinya memerintah agar dia
mengelak. Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan Benang', pemuda itu mencoba
menyelamatkan diri dari maut Sebuah gerakan aneh seperti
melepaskan lilitan benang yang menjerat tubuh, ternyata mampu menyelamatkan
nyawanya. Kini dengan menggerakkan tangan, pemuda itu malah menghantamkan
cengkeraman ke selangkangan salah seorang dari pengeroyoknya.
Crak! "Akh...!" jerit orang itu sambil melepaskan goloknya dari genggaman lalu beralih
memegangi kemaluannya yang pecah.
Orang itu melotot sesaat, kemudian terjerembab dengan tubuh bergelinjang sekarat
lalu mati. Ketiga temannya tersentak. Tubuh
mereka tegang menyaksikan kematian salah seorang teman mereka. Kemarahan mereka
kian membeludak. Kemudian dengan
mendengus, ketiganya kembali menyerang ke arah Sena dengan membabi buta.
Hal itu sebenarnya sangat mengun-
tungkan bagi Sena karena mereka tak mempedulikan keselamatan diri sendiri.
Dada mereka dipenuhi nafsu untuk segera membinasakan pemuda gila yang telah
membunuh salah satu temannya.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!"
"Heaaa...!"
Pemuda gila itu menggaruk-garuk
kepala. Setelah cengengesan, sekali lagi pantatnya ditepuk, yang membuat
pengeroyoknya semakin marah dan langsung menggebrak dengan babatan golok.
"Mampus kau...!" bentak orang kedua dari Empat Iblis dari Kranggeng.
Golok itu melesat cepat ke arah
Sena, namun dengan gerakan aneh tubuhnya berhasil luput dari serangan. Malah
tanpa diduga, tangannya menepak ke kening si
penyerang. Plak! "Akh...!" jerit orang itu. Tubuhnya meluncur deras ke belakang dengan tangan
memegangi keningnya yang hancur. Tulang tengkorak kepalanya pecah, sehingga dari
mata, hidung, dan telinganya mengalir darah segar. Untuk sesaat tubuh orang itu
mengejang, kemudian lunglai tanpa nyawa.
Sena bertepuk tangan sambil
berjingkrak-jingkrak seperti monyet.
Tangannya sesekali menggaruk-garuk kepala, atau menepuk-nepuk pantat sambil
tertawa-tawa girang. Seakan apa yang terjadi hanya kejadian lucu yang
mengundang tawanya. Hal itu membuat sisa pengeroyoknya semakin murka. Satu orang
kembali melesat sambil membabatkan goloknya. Orang inilah yang sangat bengis di
antara mereka. "Kurencah tubuhmu, Bocah Edan...!
Heaaa...!"
Golok di tangannya ganas mengancam kepala pemuda tampan itu. Sebentar lagi,
kepala Sena akan menjadi sasaran empuk.
Orang-orang yang menyaksikan
pertarungan itu menjadi bergidik ngeri.
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi dugaan mereka meleset, dalam sekejap pemuda itu menggeserkan kakinya dengan
melebar ke samping. Kemudian, mendorong miring tubuhnya ke arah kaki yang
melebar. Tangan lawan yang menggenggam golok melesat cepat di sampingnya. Secepat itu
pula, tangan Sena mencengkeram per-gelangan tangan lawan, lalu tubuh lawan yang
tengah melesat dibantingnya dengan kuat
Bugkh! "Akh...!"
Orang itu menjerit. Tulang
punggungnya langsung remuk akibat bantingan tadi. Sesaat mata orang itu mendelik
bagai hendak melompat keluar.
Kemudian diam tak berkutik dengan mulut bersimbah darah.
Seorang lawannya yang masih hidup seketika ciut nyalinya menyaksikan bagaimana
ketiga rekannya mati. Lelaki berwajah kasar itu mendadak pucat pasti, dan serta
merta meminta ampun pada pemuda itu.
"Ampunilah aku, Anak Muda,"
ratapnya mengiba.
Pemuda tampan itu tertawa, seakan menganggap hal itu lucu. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepalanya yang digeleng-gelengkan perlahan.
"Lucu... Baru kali ini aku melihat hal yang amat lucu. Tadi kau menunjukkan
kebengisanmu. Mengapa kini kau seperti tikus pikun?" ujar Sena kembali terbahak
bahak. "Dunia ini memang aneh,... Ada kalanya orang yang mengaku waras,
bertindak seperti orang tak waras. Tapi sebaliknya, orang yang dianggap tak
waras, malah bertingkah bagaikan orang waras. Ah, benar-benar lucu...."
Semua tertegun menyaksikan tingkah laku pemuda itu yang dengan seenak perutnya
berlalu sambil bernyanyi meninggalkan semua orang. Termasuk seorang lawan yang
terpaku bengong.
"Pendekar Gila...!" gumam lelaki kasar itu, sambil menatap punggung Sena yang
makin lama makin jauh.
Sementara itu kasak-kusuk merambat di sekitar arena pertarungan, bagai satu
upacara untuk kepergian Sena Manggala.
"Ternyata pemuda gila itu seorang pendekar. Pendekar Gila! Dari mana dia
datang?" gumam pemilik kedai dengan nada kagum setelah menyadari siapa
sesungguhnya pemuda gila yang telah mampu mengalahkan keempat tangan kanan
Segoro Wedi. "Ck, ck, ck...!" decak temannya.
"Hebat! Baru kali ini aku melihat Pendekar Gila yang sering kudengar.
Ternyata orangnya masih muda."
"Bukankah Pendekar Gila hidup pada puluhan tahun yang silam?" tanya yang lainnya
terheran-heran.
"Mungkin dia muridnya," sahut temannya.
Sejak itulah, orang-orang membica-
rakan pemuda gila itu. Tidak hanya rakyat biasa, tapi tokoh-tokoh rimba
persilatan pun mulai membicarakan kehadiran seorang pemuda yang berulah gila-
gilaan. Tetapi ilmu silatnya sangat sakti. Dan, setiap Sena Manggala muncul
mereka menyebutnya Pendekar Gila.
*** Segoro Wedi tengah berkumpul di
ruangan besar dengan ketujuh kaki tangannya, termasuk seorang wanita cantik
bernama Nyi Bangil yang baru saja menjadi anggota. Seperti saat ini, ruangan itu
dipakai mereka untuk berembuk menentukan langkah yang akan mereka lakukan
selanjutnya. Ada dua pengikut baru Segoro Wedi.
Salah satunya Nyi Bangil, wanita cantik menggairahkan yang sesungguhnya
mencintai Segoro Wedi. Hingga karena cintanya, wanita itu rela mengabdi pada
Segoro Wedi. Tapi selama ini, cintanya
dipermainkan oleh Segoro Wedi. Dia hanya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki
berjubah merah yang kini duduk di singgasana kepemimpinan.
Berulang kali Nyi Bangil meminta pertanggungjawaban dari sang Pemimpin, tetapi
semuanya tiada guna. Segoro Wedi selalu berjanji dan berjanji. Malah
sering berbuat kasar jika dia terlalu mendesaknya. Hal itulah yang membuat
wanita cantik bertubuh sintal itu menyimpan dendam cinta di hatinya. Tapi apa
dayanya saat itu"
Segoro Wedi terlalu kuat baginya.
Apalagi dengan kelima begundalnya. Hingga akhirnya dia hanya mampu menerima
nasib, sambil menunggu datangnya penolong yang akan membebaskannya dari belenggu
cinta. Seorang lagi adalah lelaki bertubuh ceking bermata sayu. Mungkin hal itu
disebabkan karena dia selalu meminum tuak. Ke mana-mana, selalu dibawanya guci
berisi tuak. Hingga dia dijuluki Tuak Iblis.
"Sahabat-sahabat sekalian, sengaja kuundang kalian karena aku ada rencana,"
kata Segoro Wedi membuka pertemuan dengan ketujuh kaki tangannya. "Tentunya
kalian telah tahu, setiap rencana yang aku ungkapkan adalah rencana besar."
"Benar, Ketua...," sahut Pedang Akhirat.
Segoro Wedi bangun dari
singgasananya, lalu berdiri tegak sambil menopang tangan kanan yang mengelus
jenggot dengan tangan kiri. Tatapan matanya tajam serta lurus ke muka.
"Kalian tahu apa rencanaku?"
tanyanya tiba-tiba.
"Menyerang sebuah perguruan,
Ketua...?" tanya Sepasang Hantu dari Kelangit hampir bersamaan. Segoro Wedi
menggelengkan kepalanya. "Bukan itu.
Semua perguruan di wilayah ini telah kita taklukkan...," jawab Segoro Wedi.
"Rasa-rasanya, kedudukan kita telah kuat"
"Mungkin Ketua hendak menyerang kadipaten?" tanya Raja Setan Muka Ular.
"Tidak perlu, Raja Setan Muka Ular.
Bagaimanapun juga, adipati masih ada hubungan saudara denganku. Lagi pula, untuk
apa merebut kadipaten" Kalau kedudukanku kini jauh lebih enak dan lebih
berpengaruh?" ujar Segoro Wedi sambil melepas tawa terkekeh, menjadikan keenam
rekan lelakinya turut tertawa.
Hanya Nyi Bangil yang diam, dengan wajah agak merengut.
"Memang benar apa yang Ketua katakan," tukas Kapak Iblis, bernada menjilat.
Kemudian setelah melihat ketuanya tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala,
Kapak Iblis melanjutkan kata-katanya. "Kalau boleh kami tahu, rencana apa yang
hendak Ketua sampaikan pada kami dan harus kami laksanakan?"
Segoro Wedi tidak langsung
menjawab, tapi dia kini berjalan ke samping kanan. Matanya menatap ke dinding,
di mana sebuah lukisan seorang wanita cantik bernama Dewi Rukmini terpajang.
Ditatapnya wajah yang cantik
jelita dan membuatnya begitu tergila-gila dalam lukisan itu.
Semua terdiam, tanpa seorang pun
berbicara. Sedangkan Nyi Bangil menjadi geram menyaksikan Segoro Wedi memandangi
lukisan itu. Kau benar-benar bajingan, Segoro Wedi! Kau permainkan aku! Kau
jadikan aku pelampias nafsumu! Huh, tunggulah pembalasanku! Geramnya dalam hati.
Segoro Wedi membalikkan tubuh dan kembali memandang ketujuh kaki tangannya
sambil berkata.
"Apakah kalian telah mendengar bahwa besok akan datang seorang saudagar Cina?"
tanya Segoro Wedi.
"Belum, Ketua...," sahut ketujuh kaki tangannya hampir berbareng, termasuk Nyi
Bangil yang berusaha memendam dendam cinta di harinya.
"Hm apakah kalian tidak menerima laporan tentang hal itu dari Prangga yang
memimpin di laut?" kembali Segoro Wedi bertanya.
"Ampun, Ketua. Prangga sama sekali tidak menceritakan pada kami," sahut ketujuh
kaki tangannya setelah saling pandang sejenak.
Kembali kepala Segoro Wedi
mengangguk-angguk.
Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Hal itu menjadikan ketujuh kaki tangannya
bertanya-tanya dalam hati, sebab mereka merasa heran melihat senyumnya. Selama
ini, ketua mereka tak pernah tersenyum selebar itu. Kalaupun bibirnya tersenyum,
sekadar senyum kecil. Itulah yang menimbulkan tanda tanya di hati mereka.
Ada apa gerangan dengan sang Ketua"
Tak ada seorang pun yang berani
bertanya. Mereka hanya diam membisu dengan menyimpan pertanyaan dalam hati
"Dengar! Besok kapal saudagar itu akan merapat ke pesisir. Untuk itu, kuharap
kalian dapat menanganinya.
Prangga dan anak buahnya tak mampu menghadapi pengawal saudagar yang terdiri
dari sepuluh pendekar muda dari Cina."
"Jadi kami harus menumpas mereka semua, Ketua?" tanya Tuak Iblis, memberanikan
diri. Mata Segoro Wedi langsung melotot pada Tuak Iblis yang segera menundukkan
kepala: "Bodoh! Apakah kau tahu, bahwa di kapal itu ada seorang gadis Cina yang cantik"!
Kalian boleh menumpas semuanya.
Tapi ingat, kalian harus bisa membawa gadis itu hidup-hidup ke hadapanku untuk
kujadikan istri! Mengerti...?"! bentak Segoro Wedi keras, hingga ketujuh kaki
tangannya sampai terlonjak karena kaget
"Mengerti, Ketua...," jawab mereka serentak sambil menundukkan kepala, tak
berani beradu pandang dengan mata bengis Segoro Wedi. Mereka tahu, berani
menentang berarti kematian!
"Besok, siapkan pasukan secukupnya!
Tugas ini aku percayakan pada kalian. Dan ingat, jika sampai gagal maka leher
kalian sebagai gantinya!" ancam Segoro Wedi, membuat bulu kuduk mereka seketika
berdiri. Mereka tahu, ancaman ketuanya tidak main-main.
"Baik, Ketua," sahut mereka.
Tengah mereka rapat, tiba-tiba
masuk seorang lelaki yang mereka kenal dengan tergopoh-gopoh. Lelaki yang tidak
lain salah seorang dari Empat Iblis dari Kranggeng, memperlihatkan wajah pucat.
Hal itu menjadikan Segoro Wedi
mengerutkan kening.
"Ada apa, Wangsana" Kau seperti ketakutan, dan di mana ketiga saudara
seperguruanmu?" tanya Segoro Wedi.
"Ampun, Ketua.... Aku datang untuk melaporkan sesuatu," jawab Wangsana terbata-
bata. Napasnya turun-naik setelah berlari tiada henti.
"Katakanlah!"
Dengan wajah masih ketakutan,
Wangsana pun menceritakan bentrokan antara dia dan ketiga saudara
seperguruannya dengan seorang pemuda gila yang memiliki kesaktian luar biasa.
Sampai mereka mengalami kekalahan.
Bahkan, tiga saudara seperguruannya mati terbunuh. Hanya dia yang selamat dan
sampai di tempat itu.
Mendengar cerita Wangsana, pimpinan dunia hitam itu kelihatan sangat gusar.
Napasnya terdengar mendengus berat
"Kenapa kau tidak sekalian mampus saja bersama mereka, Wangsana"!
Menghadapi pemuda gila saja kalian tidak becus! Kau tidak berguna lagi bagiku.
Pengawal, tangkap orang ini! Pancung di depan, hingga semua melihatnya!"
perintah Segoro Wedi, membuat semua mata
terbelalak kaget
Wangsana menggigil ketakutan.
Mulutnya meratap agar mendapat ampunan dari ketuanya. Bahkan kaki Segoro Wedi
diciuminya dengan merengek-rengek. Tapi semua itu tiada arti. Sekali keputusan
diucapkan, maka hukuman harus
dilaksanakan. "Ketua, ampunilah nyawa hamba....
Ampunilah...."
"Tak ada ampun bagi orang
sepertimu!" dengus Segoro Wedi "Kalian lihai sendiri bukan" Kalau sampai besok
kalian gagal, maka kalian pun akan mengalami hal seperti anjing itu!"
Semua tertunduk tanpa ada yang
berani berbicara. Bahkan ketika pengawal yang bertubuh besar dan kokoh menyeret
tubuh Wangsana, tak seorang pun berani
melihatnya. "Sekarang kalian boleh bubar untuk mempersiapkan apa yang akan kalian lakukan
besok!" perintah Segoro Wedi.
Ketujuh kaki tangannya segera
bangkit lalu menjura hormat Ketika mereka hendak pergi, Segoro Wedi memanggil
salah seorang dari mereka.
"Nyi Bangil, jangan pergi"
Wanita cantik bertubuh sintal yang di hatinya memendam dendam karena cintanya
tak terbalas, menghentikan langkahnya. Sakit sekali hatinya saat itu. Dia tahu,
tentunya Segoro Wedi ingin melampiaskan nafsunya lagi.
Segoro Wedi menghampiri wanita
cantik dan menggairahkan itu. bibirnya tersenyum, kemudian tangannya merangkul
pundak Nyi Bangil.
"Ikutlah aku, Nyi...," ajaknya ramah.
Nyi Bangil tahu kalau keramahan itu hanya ada di saat-saat tubuhnya
dibutuhkan. Setelah itu, dia akan kembali seperti semula. Melihat Nyi Bangil
cemberut Segoro Wedi mengerutkan kening,
"Ada apa, Nyi" Mengapa wajahmu begitu?"
Nyi Bangil menatap tajam ke arah
Segoro Wedi. Sorot matanya menyiratkan kebencian.
"Kapan kau akan menjadikan aku
istri, Segoro Wedi?"
Segoro Wedi tersenyum. Diajaknya
Nyi Bangil melangkah masuk ke dalam kamarnya. Kemudian setelah menutup pintu,
tangan Segoro Wedi membuka pakaian yang dikenakan Nyi Bangil yang berusaha
menolak. "Katakan, kapan...?"
"Jangan mendesakku, Nyi!" bentak Segoro Wedi kasar. Lalu tangannya dengan kasar
merenggut pakaian wanita itu hingga lepas dari tubuhnya.
Nyi Bangil tak dapat berbuat apa-
apa, kecuali menuruti apa yang diinginkan oleh ketuanya. Dendam di hatinya
semakin menganga dalam karena cinta yang tak terbalas.
7 Dari kejauhan tampak sebuah kapal layar melaju menuju pesisir. Kapal itulah yang
tengah dinanti oleh anak buah Segoro Wedi. Kapal yang membawa saudagar kaya dari
dataran Cina dengan gadis cantik jelita.
Beberapa orang tampak berdiri di
atas perahu dengan mata memandang pesisir yang hendak mereka singgahi. Ada
sepuluh orang lebih di atas perahu itu. Dilihat dari sorot mata mereka yang
tajam bagai elang dan pedang yang tergantung di
punggung, sudah dapat dipastikan kalau kesepuluh pemuda tersebut adalah para
pendekar yang mengawal saudagar kaya itu.
Sepuluh pendekar Cina itu terus
mengawasi pesisir di mana sebentar lagi kapal mereka akan merapat. Mereka
kelihatannya waspada, mungkin karena kejadian di laut tempo hari saat kapal
mereka diserang sekelompok bajak laut.
Mereka yakin kalau bajak laut yang masih hidup dan tidak sempat mereka tangkap
telah melapor pada pimpinannya.
Tidak tertutup kemungkinan, kalau kedatangan mereka diawasi oleh kawanan
perompak itu. "Waspadalah, tentunya bajak laut yang tempo hari lolos telah melaporkan pada
pimpinannya. Tidak tertutup
kemungkinan, kedatangan kita diawasi mereka," kata seorang pendekar bertubuh
tinggi tegap dalam bahasa Cina. Tentunya pendekar ini yang menjadi pemimpin dari
sembilan pendekar lainnya.
Di dada pemimpin pendekar dari
daratan Cina itu tertera sebuah lambang seekor naga berwarna hijau dengan
sepasang pedang menyilang. Gambar itu mengandung arti kalau pendekar itu berasal
dari Perguruan Naga Hijau, sebuah perguruan besar di Cina yang banyak
menghasilkan pendekar-pendekar tangguh dan digdaya. Dia adalah kakak perguruan
tertua dari sembilan Pendekar Naga Hijau lain di kapal layar itu.
"Baik, Koko Han Jin. Kami
senantiasa siap menjaga kemungkinan yang akan terjadi. Kami siap mempertaruhkan
nyawa untuk melindungi Koh Lie dan Nona Cin Mei Lie," sahut salah seorang adik
seperguruannya.
"Bagus! Sebagai seorang pendekar, kita harus bisa menjaga nama baik Perguruan
Naga Hijau. Bersiaplah, sebab sebentar lagi kapal akan mendarat..,"
pesan pemimpin rombongan yang bernama Han Jin pada adik seperguruanya.
Mendengar ucapan itu, adik
Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperguruan Han Jin segera memberitahukan pada delapan pemuda lain untuk
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Kapal melaju dengan tenang, semakin lama kian dekat dengan pesisir. Tanpa mereka
ketahui, dari balik semak-semak sekitar pesisir telah siap sekelompok anak buah
Segoro Wedi untuk menunggu kapal itu merapat. Nampaknya mereka sudah tidak sabar
lagi untuk segera menyerang.
Kepungan itu dipimpin oleh tujuh orang kaki tangan Segoro Wedi. Masing-masing
pemimpin menempati tempat yang telah diatur dengan seksama, hingga tidak akan
ada jalan bagi orang-orang Cina itu untuk meloloskan diri. Strategi mereka
benar-benar matang. Terbukti dari cara mereka bersembunyi.
Tiga kelompok yang dipimpin oleh
tiga orang kaki tangan Segoro Wedi yaitu Raja Setan Muka Ular, Kapak Iblis dan
Tuak Iblis, berada paling depan. Mereka akan melakukan serangan pertama.
Sedangkan sekitar dua puluh lima tombak di belakang mereka, telah siap empat
kelompok yang masing-masing dipimpin oleh Sepasang Hantu dari Kelangit, Pedang
Akhirat dan Nyi Bangil.
Jika kelompok terdepan menghadapi bahaya, maka empat kelompok yang ada di
belakangnya akan segera membantu. Sungguh strategi yang hebat. Untuk membuat
strategi itu, tidak tanggung-tanggung Segoro Wedi dan tujuh begundalnya
mengerahkan hampir delapan puluh orang anggota. Dan telah tertanam peringatan di
benak mereka kalau mereka tidak boleh melukai gadis Cina. Mereka harus
mendapatkan gadis itu dalam keadaan hidup dan utuh. Jika gagal, sudah dapat
dibayangkan akibat 'Pukulan Pasir Beracun', sebuah pukulan dahsyat milik ketua
mereka. Mata mereka terus mengawasi kapal layar yang melaju perlahan dan semakin
mendekati pesisir. Mereka tidak tahu kalau para pendekar yang mengawal kapal itu
pun telah siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi.
Sebelum kapal layar itu benar-benar merapat di pesisir, terdengar aba-aba
berkumandang lantang, seakan hendak membelah ombak yang datang di bibir pantai.
"Serbu...!"
Keempat pemimpin yang berada di
barisan belakang tersentak kaget. Mereka tidak menduga sama sekali kalau pasukan
di barisan depan telah mendahului menyerbu sebelum kapal itu merapat ke pesisir.
Mendengar seruan dari pemimpin
mereka, serentak pasukan pada lapisan terdepan yang terdiri dari tiga puluh
orang, berlompatan keluar dari persembunyian mereka.
Para pendekar Cina yang berada di atas kapal tersentak kaget. Beruntung mereka
telah waspada, hingga mereka tidak panik menghadapinya. Dengan sigap, sepuluh
pendekar Cina itu menghadang di tepian kapal yang tentunya akan dijadikan jalan
bagi penyerang untuk naik.
"Kita sambut mereka di atas!"
Terdengar perintah dari Han Jin
yang merupakan pemimpin para pendekar Cina. Dengan tubuh tegang dan mata tak
berkedip, mata mereka mengawasi serbuan orang-orang yang masih terus berlari
menuju ke arah kapal dan segera melompat
ke laut yang bergelombang setelah mereka tiba di bibir pantai. Sebab, jarak
kapal dengan pantai memang masih sekitar dua puluh lima tombak. Hal itu
menguntungkan bagi para pendekar Cina. Dengan
mengarungi laut berarti tenaga mereka akan terkuras. Jadi ketika tiba di kapal,
tenaga mereka akan tinggal separuh.
Nafsu mereka yang terlalu menggebu, membuat mereka luput memperhitungkan hal
itu. Mereka terus merenangi laut dan berusaha sampai di kapal.
Ketika mereka tiba di kapal, segera sepuluh pendekar Cina menghadang mereka.
Pedang di tangan sepuluh pendekar dari Cina berkelebat cepat untuk membabat
penyerang yang berusaha naik ke atas kapal.
"Hadang...! Jangan sampai ada yang bisa naik!" teriak Han Jin sambil mengayunkan
pedang sedemikian rupa.
Gerakannya begitu cepat dan lincah, sehingga pedang di tangannya hanya terlihat
sebagai kilatan cahaya perak mengelilingi tubuhnya. Setiap kali penyerang
berusaha naik, dengan cepat pedang di tangannya bergerak membabat ke arah tubuh
lawan. Cras! "Akh...!"
Terdengar jeritan melengking
tinggi, disusul dengan melayangnya tubuh
korban jatuh ke laut. Sesaat tubuh itu menghilang di bawah permukaan air laut
yang tiba-tiba berwarna merah, kemudian muncul kembali ke permukaan dengan
keadaan tak bernyawa.
Begitu juga yang dilakukan sembilan pendekar Cina lain, mereka dengan mudah
menghalau penyerang. Pedang di tangan mereka laksana malaikat pencabut nyawa
yang haus darah, menciptakan kelebatan maut yang senantiasa membawa korban. Tapi
hal itu tidak menjadikan nyali anak buah Segoro Wedi ciut, bahkan mereka semakin
buas dan beringas. Mereka berusaha naik ke atas kapal, walau kematian siap
menghadang mereka.
Pembantaian terhadap para penyerang membuat tiga pemimpin mereka menjadi sengit.
Ketiganya kini ikut melesat cepat ke arah kapal yang semakin mendekati pesisir.
Hingga mereka tidak terlalu membuang tenaga dengan mengarungi laut untuk sampai
di kapal itu. "Bangsat! Kalian harus mampus...!"
maki Kapak Iblis murka.
Tokoh sesat bersenjatakan sepasang kapak itu tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan senjata yang sudah terkenal haus darah manusia. Disertai dengusan
sebagai tanda kemarahan yang tak
terbendung lagi, Kapak Iblis memburu ke arah Han Jin. Sepasang kapaknya bergerak
dengan ganas, menimbulkan suara dengungan yang memekakkan telinga.
Han Jin tersentak mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung dia tetap waspada,
sehingga dengan memiringkan tubuhnya ke samping, serangan itu dapat
dihindarinya. Kemudian, tanpa berpikir panjang, pendekar dari Cina itu balas
menyerang dengan menusukkan pedangnya ke tubuh lawan yang meluruk ke depan.
Kapak Iblis tersentak kaget, hampir saja pedang di tangan lawan menghunjam ulu
hatinya, kalau saja ia tidak cepat berkelit dengan memutar tubuh. Sementara
tangan yang memegang sepasang kapak turut bergerak menangkis tusukan.
Tring! Dua buah senjata beradu keras.
Memercikkan pijaran api di udara. Lalu kedua pemilik senjata itu dengan cepat
melompat ke belakang. Wajah Kapak Iblis berubah pucat ketika tangannya tergetar
akibat benturan senjata tadi. Dia sadar kalau lawannya bukan orang sembarangan.
Tenaga dalam lawan ternyata berada dua tingkat di atasnya. Benar-benar tidak
terduga oleh Kapak Iblis, kalau lawannya yang masih kelihatan muda itu memiliki
tenaga dalam hebat. Namun, bagaimana mungkin dia harus mengakui keunggulan lawan
di depan anak buah dan
gerombolannya" Hendak ditaruh di mana
mukanya" Sesaat mata kedua orang itu saling berpandangan. Nampak ketenangan di wajah Han
Jin. Sepertinya, dia tidak merasakan apa-apa atas benturan senjatanya dengan
senjata lawan. Hal itu membuat Kapak Iblis semakin penasaran bercampur marah.
Dia mendengus, kemudian kembali
menyerang. "Heaaa...!"
*** Sepasang senjata di tangan Kapak
Iblis bergerak dengan cepat ke arah Han Jin, yang dengan tenang mundur sambil
mengelitkan badan ke kiri dan kanan. Lalu dengan cepat dia balik menyerang
dengan tusukan serta babatan pedang yang mengarah ke bagian tubuh yang
mematikan. Kapak Iblis yang sudah tahu
kehebatan tenaga dalam lawannya berusaha menghindari bentrokan senjata. Matanya
membelalak kaget, menyaksikan serangan lawan yang datang begitu cepat dan
mengarah ke bagian tubuhnya.
"Celaka...!" pekik Kapak iblis. Dia tidak menyangka kalau lawan yang semula
dianggap enteng ternyata memiliki serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Kalau tidak hati-hati, dalam beberapa gebrakan saja dia akan menerima
kekalahan. Han Jin yang melihat lawannya agak kerepotan, tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Dengan tusukan dan tebasan pedang yang cepat, dia terus menyerang Kapak Iblis.
"Gila...! Benar-benar gila...!"
maki Kapak Iblis sambil berusaha
berkelit. Serangan-serangan itu terus mencecarnya. Seakan-akan tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menarik napas.
Han Jin terus memberondong dengan kombinasi pukulan, tendangan, serta tusukan
pedangnya. Membuat Kapak Iblis kian kewalahan. Dia hanya mampu
menghindar dari serangan, tanpa berani untuk mengadu senjata kembali. Tapi hal
itulah yang menjadikan kedudukannya semakin terjepit.
Gempuran-gempuran yang dilancarkan oleh Han Jin kian cepat dan deras pada setiap
titik kematian. Tangan, kaki, serta pedangnya silih berganti menyerang, seakan
tidak ada ruang bagi Kapak Iblis untuk mengelak dan balik menyerang.
Kapak Iblis mencoba membuka benteng serangan lawan dengan menyodorkan satu
serangan. Tapi hampir saja dia menjadi korban ketika pedang lawan dengan tiba-
tiba melesat ke arah tubuhnya. Setelah itu tak ada lagi kesempatan baginya untuk
bisa menghindar dari serangan beruntun
itu. Sebab dia baru saja melakukan salto, sementara kakinya belum sempat
menginjak lantai kapal. Mungkin ini saat
kematianku, keluh Kapak Iblis dalam hati.
Pedang di tangan Han Jin sekejap
lagi akan melubangi ulu hatinya, ketika sebuah benturan terjadi tiba-tiba,
hingga menyelamatkan nyawa Kapak Iblis dari kematian.
Trang! Han Jin menarik mundur serangannya, matanya memandang ke arah orang yang telah
menggagalkan serangan tadi. Orang tersebut kini terhuyung ke belakang dengan
mulut meringis sambil memegangi tangan yang terasa ngilu. Sedangkan pedang yang
tadi digunakan untuk
menangkis, kini terpental jauh. Orang itu yang tidak lain Raja Setan Muka Ular
membelalakkan mata. Dia tidak menyangka kalau kejadiannya begitu tak terduga.
Raja Setan Muka Ular yang tadinya menyangka kalau pendekar muda itu ilmunya
belum seberapa, kini harus membuka mata dan mengakui kalau tenaga dalamnya masih
di bawah pemuda bermata sipit itu.
"Kalian mencari mampus!" dengus Han Jin gusar, kemudian tanpa banyak kata lagi
dia berkelebat melabrak dua orang yang menjadi lawannya dengan serangan cepat
dan sulit diduga.
"Awas...!" pekik Kapak Iblis dengan
mata membelalak menyaksikan serangan yang begitu
mendadak dan cepat.
Tangannya mendorong Raja Setan Muka Ular, sedangkan tubuhnya dengan cepat dibuang ke kiri
untuk mengelakkan tusukan pedang lawan.
Ternyata dugaannya meleset, pendekar muda itu menarik serangan pedangnya,
kemudian dengan gerakan yang sulit diduga kakinya menendang ke arah lambung
Kapak Iblis. Deg! Tak ampun lagi, tendangan yang
disertai tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di lambung Kapak Iblis,
mendorong tubuhnya hingga terpental keluar dari kapal lalu jatuh ke laut
Hal itu menjadikan Raja Setan Muka Ular seketika terkejut. Sulit
sekali diikutinya gerakan yang dilakukan pendekar muda dari Cina itu. Belum juga hilang
rasa kaget di hati Raja Setan Muka Ular, tiba-tiba dia dikejutkan oleh serangan
cepat yang dilakukan oleh pendekar muda itu. Sebuah tusukan pedang melesat ke
arah ulu hatinya. Mau tak mau Raja Satan Muka Ular segera menjatuhkan diri untuk
menggelakkan tusukan itu. Tangannya yang masih agak sakit langsung digerakkan, memukul ke arah
selangkangan lawan yang dengan cepat memapaskan pedangnya ke bawah.
"Celaka!" pekik Raja Setan Muka Ular perlahan.
Raja Setan Muka Ular berusaha
menarik pukulannya, tapi tebasan pedang lawan ternyata jauh lebih cepat
dibanding gerakannya. Tanpa ampun lagi, pedang lawan menebas tangan kanannya.
Cras! "Aaa...!"
Pekik kesakitan pun keluar dari
mulut Raja Setan Muka Ular. Disusul sebuah tendangan cepat menghantam dadanya.
Tak ayal lagi, tubuh Raja Setan Muka Ular pun terpental keluar dari kapal dan
jatuh ke air. Empat begundal Segoro Wedi yang
masih bersembunyi di semak-semak
tersentak menyaksikan dua orang temannya dapat dikalahkan. Kini yang tersisa di
kapal itu hanya Tuak Iblis dan beberapa anak buahnya.
"Keparat! Kalau didiamkan terus, korban akan semakin banyak di pihak kita.
Nampaknya Tuak Iblis pun tak mampu berbuat banyak menghadapi serangan pendekar-
pendekar Cina itu. Kite bantu dia," kata Pedang Akhirat "Kalian serang sembilan
pendekar lainnya. Bantu Tuak Iblis. Kami berempat akan mengeroyok pendekar itu.
Serbu...!"
Mendengar aba-aba itu, lebih dari lima puluh orang dengan spontan
berlompatan keluar dari persembunyian mereka diikuti oleh empat pimpinan
mereka. Dengan semangat tinggi mereka menyerbu ke arah kapal.
Seperti telah direncanakan, sekitar lima puluh orang anak buah itu segera
membantu Tuak Iblis menghadapi sembilan pendekar dari Cina itu. Sedangkan empat
pemimpin mereka kini mengurung pemimpin pendekar muda dari Cina yang sudah
diketahui berilmu tinggi.
Pertarungan yang tadinya tidak
seimbang kini bertambah seru, karena banyak para penyerang mengalami kematian.
Bahkan dua orang pemimpin mereka entah bagaimana nasibnya. Semangat para
penyerang yang tadinya telah melemah, kembali berkobar. Mereka dengan berani
mencoba merangsek sembilan pendekar muda dari Cina, walau untuk itu mereka harus
mengorbankan nyawa. Sebab, sembilan pendekar muda dari Cina itu ternyata bukan
lawan enteng. Ilmu mereka semuanya setara, membuat gerakan mereka terlihat
demikian kompak dan cepat
Kegaduhan di atas kapal itu rupanya mengejutkan orang yang berada di bawah.
Termasuk saudagar Cina yang bernama Koh Lie dan anaknya, Cin Mei Lie. Ayah dan
anak itu segera naik untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan, betapa
kagetnya mereka ketika menyaksikan para pengawal tengah bersabung nyawa.
"Oh! Apa yang terjadi. Ayah...?"
tanya gadis cantik jelita berkulit kuning langsat itu. Di matanya terbayang
kengerian menyaksikan pertarungan yang memakan korban hingga berserakan di atas
kapal. Sang Ayah tak dapat menjawab. Dia tidak tahu pasti apa yang tengah terjadi.
Saat itu, terdengar suara perintah dari pendekar muda yang tengah dikeroyok oleh
Keris Maut 2 Tangan Berbisa Karya Khu Lung Tangan Geledek 5