Pencarian

Seruling Naga Sakti 1

Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti Bagian 1


SULING NAGA SAKTI oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dart penerbit Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode: Suling Naga Sakti
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Semilir angin malam menghembuskan udara yang terasa sangat dingin ketika seorang
wanita cantik tengah membuka pakaian warna merah yang dikenakannya.
Rambutnya yang semula digelung dengan tusuk konde, dilepas hingga terurai. Hal
itu membuat kecantikan Dewi Rukmini kian bertambah nyata.
Tanpa sepengetahuannya, seseorang dengan mata tak berkedip mengintip tubuhnya
yang kuning langsat dan meng-
gairahkan. Lelaki itu berulang kali menelan ludah serta menahan napas dengan
mata jalang. "Ck, ck, ck.... Pantas saja kalau Segoro Wedi sampai mabuk kepayang kepadanya.
Tidak kusangka, kalau sang Dewi benar-benar mempesona," gumamnya dengan gairah
yang bergejolak.
Ketika ia tengah asyik mengintip
tubuh mulus dan mempesona itu, kakinya yang tak mampu menahan getaran birahi
tanpa disengaja membentur sesuatu.
Krak! Kegaduhan kecil itu membuat Dewi
Rukmini yang tengah mengganti pakaian tersentak dan terburu-buru mengenakannya
kembali. Mata cantiknya memandang lekat pada dinding bilik rumahnya, sedangkan
pendengarannya dipasang setajam mungkin.
"Hm, kurang ajar!" rutuk hati Dewi Rukmini setelah menyadari kalau sejak tadi
ada seseorang yang mengintipnya.
Mata Dewi Rukmini memandang tajam, lalu tanpa banyak bicara
tangannya segera
mengibas ka arah dinding rumah di mana orang itu berada.
"Rasakan ini! Heaaa...!"
Wuut! Terdengar desiran angin tajam
menyertai puluhan jarum kecil yang menerobos dinding. Lelaki hidung belang itu
tak mampu lagi mengelak dari ancaman senjata
rahasia yang dilepaskan Dewi
Rukmini. Jlep! Jlep! Jlep...!
"Akh...!"
Jeritan lelaki naas tadi tidak
hanya mengejutkan Citra Yuda yang saat itu sedang menunggu istrinya di luar
kamar, tetapi juga mengejutkan beberapa pengintai lain yang bersembunyi di
sekeliling rumah itu.
"Hm, ada apa ini?" gumam Citra Yuda seraya bangkit dari duduknya.
Pendekar muda dari Perguruan Golok Sakti itu melangkah ke arah kamar di mana
istrinya tengah mengganti pakaian.
"Ada apa, Diajeng" Kudengar tadi ada jeritan di luar?" tanya Citra Yuda setelah
sampai di ambang pintu kamar.
"Mereka telah datang, Kakang,"
sahut Dewi Rukmini dengan wajah geram.
"Maksudmu...?"
"Antek-antek pengkhianat, Segoro Wedi," desis Dewi Rukmini penuh kebencian
terhadap orang yang disebutnya.
"Apa Segoro Wedi masih belum kapok?" gumam Citra Yuda.
Setelah menghela napas pelan,
Pendekar Golok Sakti itu kembali berkata.
"Kalau tahu dia tidak akan jera seperti sekarang ini, dulu dia tidak akan
kuampuni!"
Kedua suami istri itu terdiam,
saling pandang dengan dengusan napas yang memburu. Terlebih Dewi Rukmini yang
merasa telah diperlakukan tak senonoh oleh anak buah Segoro Wedi yang lancang
mengintipnya. "Kali ini tidak akan kubiarkan pengkhianat itu hidup!" dengus Dewi Rukmini
sengit, lalu disambarnya golok miliknya.
Golok sakti itu sebenarnya kembar.
Yang pertama dipegang oleh suaminya, sedangkan yang lain dipegang Dewi Rukmini.
Ilmu golok mereka telah terkenal sejak keduanya bertualang di rimba persilatan
untuk membela kebenaran dan keadilan.
Jangankan ilmu golok yang
mereka miliki dipadukan, sedangkan untuk menghadapi salah satunya saja orang
akan berpikir seratus kali.
Dewi Rukmini menyelipkan goloknya di pinggang, kemudian dengan wajah penuh
kemarahan melangkah meninggalkan kamarnya. Hal itu membuat Citra Yuda terkejut.
Tidak diduganya sama sekali Dewi Rukmini akan begitu berang. Mau tidak mau,
Citra Yuda ikut melangkah ke luar.
"Sabar, Diajeng.... Biar aku saja yang menghadapi mereka. Kau selamatkan saja
anak kita. Kalau aku selamat, aku akan
menyusulmu," tutur Citra Yuda, berusaha menenangkan istrinya. Dia tahu watak
Dewi Rukmini, terlebih terhadap Segoro Wedi yang sangat dibencinya.
"Tidak, Kakang. Dia harus kuhajar!
Berulang kali kita coba menyadarkannya.
Berulang kali pula kita ampuni, tetapi dia tetap saja bandel. Itu sama saja
mencari penyakit!" dengus Dewi Rukmini sengit
Citra Yuda menghela napas pelan.
Dia sadar, kalau Segoro Wedi sangat mencintai istrinya. Bahkan lelaki itu tidak
jera-jeranya berusaha untuk mendapatkan Dewi Rukmini. Dulu, ketika mereka masih
sama-sama di perguruan, Segoro Wedi malah nekat menculik Dewi Rukmini.
Beruntung seorang pendekar sakti telah menolongnya. Lalu setelah mereka menikah,
Segoro Wedi pun tidak juga mau memahami kedudukan Citra Yuda sebagai suami Dewi
Rukmini. Berulang kali Segoro Wedi diberi
pelajaran oleh Citra Yuda dan istrinya, tapi tetap saja orang itu tak mau
mengalah begitu saja. Sesungguhnya Citra Yuda dapat saja menghabisi nyawa Segoro
Wedi saat itu. Berhubung Citra Yuda masih menghargai Segoro
Wedi sebagai adik
seperguruan, masih bisa memaafkannya.
Kini, apakah dia masih bisa memaafkan tindakan Segoro Wedi"
Kedua suami istri yang bergelar
Sepasang Pendekar Golok Sakti itu melangkah dengan mantap. Sorot mata mereka
tajam, memandang ke luar yang masih gelap. Mereka memasang seluruh indera, agar
gerak sekecil apa pun dapat ditangkap.
"Hei! Kalau kalian memang laki-laki, keluarlah!" tantang Dewi Rukmini yang
kelihatannya sudah tidak sabar lagi untuk secepatnya menghajar orang yang
dibenci. Matanya beredar tajam, setajam mata elang yang memburu mangsa. Tangan
kanannya menggenggam gagang golok di pinggang, siap mencabut golok sakti itu
untuk memenggal leher lawan.
"Segoro Wedi, keluarlah! Jangan berlaku pengecut!" seru Citra Yuda.
Seperti juga istrinya, Citra Yuda pun telah slap menyambut kedatangan tamu-tamu
tak diundang. Tangan kanannya ikut meraba gagang golok. Sedangkan matanya
nyalang menyapu kegelapan malam yang lengang.
Tengah keduanya memandang ke
sekeliling pelataran rumah, tiba-tiba terdengar
alunan harpa yang membelah
kesunyian malam. Dentingan harpa itu mulanya terdengar lambat, tapi makin lama
bertambah keras. Bahkan suaranya kini tak beraturan lagi, hingga yang terdengar
hanya nada melengking yang aneh dan memekakkan telinga.
Ting, tong, ting...!
Citra Yuda dan istrinya tersentak kaget, sehingga mata mereka membelalak lebar.
Tapi keduanya cepat sadar kalau dentingan harpa itu bukanlah dentingan
sembarangan. Alunan harpa itu dilepaskan dengan tenaga dalam sempurna yang
menimbulkan hentakan amat keras di telinga.
"Akh...! Cepat tutup saluran telinga mu, Diajeng! Ini bukan denting harpa
sembarangan. Jelas pemetiknya menginginkan kematian kita," kata Citra Yuda
memperingatkan istrinya. Kemudian segera tenaga dalamnya dikerahkan untuk
menutup gendang telinga agar tidak pecah.
"Ohhh...," keluh Dewi Rukmini.
Telinga wanita cantik itu terasa sangat sakit. Dewi Rukmini memang sedikit
terlambat menutup gendang telinganya.
Untung saja telinganya tidak sempat pecah
oleh lengking harpa yang memekakkan.
"Bedebah! Siapa yang memetik harpa itu"! Kalau kalian memang laki-laki,
keluarlah!"
Tantangan Dewi Rukmini sia-sia,
karena tidak ada seorang pun yang menyahuti. Yang terdengar tetap denting harpa
yang kian menggila hingga mampu menggigilkan tubuh Sepasang Pendekar Golok
Sakti. "Celaka, Diajeng! kalau kita terus bertahan seperti ini, kita tak akan mampu
melawan. Cabut golokmu! Kita harus menyatukannya!" perintah Citra Yuda yang
merasa sia-sia jika mereka terus menguras tenaga untuk melawan suara harpa itu.
Sret! Sepasang Pendekar Golok Sakti
segera mencabut senjata kembarnya.
Kemudian, keduanya segera menyatukan mata golok dengan cara menyilangkan ke
muka. Dari penyilangan golok itu, terpancar seberkas cahaya sangat terang berwarna
merah dan putih. Cahaya itu terus memancar untuk memapaki suara harpa yang
datang. Glarrr! Tercipta ledakan menggelegar yang memekakkan telinga ketika sinar merah dan
putih yang keluar dari golok itu bertemu dengan suara harpa.
"Akh...!"
Kedua pendekar itu terhuyung dua
tindak ke belakang dengan mata membelalak tegang. Mereka tidak pernah menduga
kalau 'Inti Cahaya Sakti' yang keluar dari golok di tangan mereka akan berbenturan
keras dengan suara yang keluar dari petikan senar harpa itu.
Keduanya saling pandang, kemudian Dewi Rukmini yang berwatak keras dengan sangit
membentak, "Kurang ajar! Kau jangan
bersembunyi terus-menerus, Pengecut!"
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar
sebagai jawaban dari tantangan tadi.
Sepasang Pendekar Golok Sakti kembali terkejut. Keduanya saling pandang,
kemudian mereka kembali mempersiapkan golok sambil memandang ke arah datangnya
suara tawa itu.
Krasak! Dari semak-semak yang ada di
sekitar rumah mereka, berkelebat beberapa orang dengan suara tawa yang
memekakkan telinga.
Mereka berdiri kira-kira dua puluh lima tombak di sekeliling kedua pendekar itu.
Di antaranya, terlihat seseorang dengan sebuah harpa bertengger pada
punggungnya. Mata mereka bersinar liar, pada Sepasang Pendekar Golok Sakti.
"Segoro Wedi...!" seru Dewi Rukmini
ketika mengetahui pembawa harpa itu.
*** Orang yang memanggul harpa tertawa.
Wajahnya yang sesungguhnya tampan, dengan tajam memandang Sepasang Pendekar
Golok Sakti yang juga kakak-kakak seperguruannya. Kemudian, pandangannya
diarahkan pada Dewi Rukmini yang semakin sengit melihat tatap mata nakal itu,
sehingga napasnya turun-naik. Matanya melotot penuh kebencian.
"Segoro Wedi, masih belum jerakah kau"!" tanya Dewi Rukmini dengan bentakan
marah. Ucapan itu tidak menjadikan Segoro Wedi takut. Malah, lelaki berpakaian serba
merah itu tergelak-gelak hingga matanya berlinang air mata.
"Ah, mana mungkin aku jera sebelum mendapatkan Kitab Inti Golok Sakti"!"
Usai berkata demikian, Segoro Wedi memandang taman-temannya sambil tergelak-
gelak. Sehingga teman-temannya turut tertawa.
"Kau benar-benar keras kepala, Wedi! Sudah kukatakan, bahwa kitab itu tidak ada
pada kami! Lagi pula, jangan bermimpi untuk mendapatkan kitab itu!"
bentak Dewi Rukmini gusar. Kemarahannya sudah tidak dapat lagi dibendung.
Dibentak begitu rupa oleh Dewi
Rukmini yang selama ini sangat diidam-idamkan untuk menjadi pendampingnya, tidak
membuat Segoro Wedi marah. Malah lelaki itu tertawa keras kembali, menjadikan
gerombolannya turut tertawa.
"Semakin kau galak, hatiku semakin bertambah penasaran, Dewi. Percuma aku datang
dan menunggu kesempatan seperti ini kalau tidak mendapatkan kitab itu beserta
dirimu," ucap Segoro Wedi sambil tetap tertawa mengejek.
Hal itu tentu saja membuat muka
Dewi Rukmini merah. Begitu juga dengan Citra Yuda yang merasa harga dirinya
diinjak-injak. Betapa ia dianggap sampah yang tidak berarti sama sekali di mata
bekas adik seperguruannya itu.
"Tutup mulutmu, Segoro Wedi!"
bentak Citra Yuda yang nampaknya sudah hilang kesabaran.
"Sudah kukatakan bahwa kitab yang kau maksud tak ada pada kami, namun kau tetap
tak percaya! Kau rupanya mencari gara-gara!"
Tapi Segoro Wedi benar-benar tak
mau peduli dengan dengusan dan bentakan Sepasang Pendekar Golok Sakti yang dulu
adalah kakak seperguruannya.
"He he he.... Sudah lama dendamku menumpuk terhadapmu, Citra Yuda! Kau memang
lebih beruntung dariku! Karena
kepandaianmu bicara, dan sikap yang sok alim, membuat semua ilmu yang seharusnya
untukku, berpindah ke tanganmu! Guru selalu pilih kasih! Apalagi sejak kau
berhasil merayu wanita ini!" ujar Segoro Wedi dengan suara yang ditekan sambil
menunjuk ke arah Dewi Rukmini. "Aku makin dicampakkan olehmu. Kau memang lelaki
yang pintar merayu! Dan sekarang, aku ingin membalas sakit hatiku!".
"Kau memang lelaki tak tahu
diuntung, Segoro Wedi! Semestinya ayahku tak mengampunimu! Kau orang yang tak
beriman!" bentak Dewi Rukmini dengan geram.
"Wajahmu makin menarik kalau sedang marah, Dewi. Ha ha ha...."
"Kurang ajar!" bentak Dewi Rukmini makin geram.
Segoro Wedi segera mengerling pada lima orang rekannya, sebagai isyarat kepada
mereka untuk bersiap-siap.
"Baiklah, kalau memang itu yang kau inginkan. Tapi harus kau ingat, sebelum kau
mati, kau akan merasakan kenikmatan bagaimana bergelut denganku!" ujar Segoro
Wedi dengan suara bergetar.
Mendengar ucapan Segoro Wedi,
kelima kawannya terbahak-bahak. Sepertinya ucapan Segoro Wedi tadi lucu.
Sepasang Pendekar Golok Sakti menggere-takkan gigi mereka karena menahan amarah.
Mata mereka memandangi satu persatu gerombolan Segoro Wedi.
Berdiri paling kiri, seorang lelaki bermuka bengis agak kepucat-pucatan dengan
cambang bauk menutupi mukanya.
Orang ini memegang sebilah pedang, yang membuatnya mendapat julukan Pedang
Akhirat Di sampingnya, berdiri sepasang
lelaki kurus yang berwajah panjang. Di tangan mereka tergenggam rantai baja yang
di ujungnya terdapat bulatan sebesar buah kelapa dengan duri-duri tajam.
Keduanya terkenal dengan julukan Sepasang Hantu dari Kelangit
Di sampingnya lagi, tepatnya di


Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping kanan Segoro Wedi, seorang lelaki berbadan tegap yang menggambarkan
kekokohan dengan wajah tidak kalah seram seperti hantu. Dia bertelanjang dada
dengan perut agak buncit. Alis dan kumisnya tebal. Di tangan orang itu
tergenggam sebatang tongkat berukuran kira-kira dua depa. Orang ini dikenal
sebagai Raja Setan Muka Ular. Di samping mukanya yang panjang seperti muka ular,
kelakuannya pun tidak kalah bengis dengan setan.
Dan satu lagi, seorang lelaki muda berbaju rompi warna biru dengan kumis tipis
menghias di atas bibirnya. Di tangannya tergenggam senjata kapak,
hingga dia lebih terkenal dengan sebutan si Kapak Iblis.
"Diam!" bentak Citra Yuda dengan suaranya yang menggelegar karena disertai
tenaga dalam. Keenam lelaki di hadapannya
seketika menghentikan tawa mereka. Mata keenam lelaki itu melotot buas,
memandang ke arah Citra Yuda.
"Selama ini, aku tidak pernah berurusan dengan kalian berlima. Tapi rupanya
kalian ingin berurusan denganku.
Baik, aku sebagai pewaris 'Ilmu Golok Sakti' tidak akan membiarkan kehormatanku
diinjak." "Bagus!" ejek si Kapak Iblis.
Dilihat dari pandangan matanya, pemuda beraliran sesat ini sangat merendahkan
lawan yang ada di hadapannya. Kemudian tanpa dapat dicegah, tubuhnya melesat
disertai bentakan menggelegar.
"Jangan banyak bacot! Hadapilah sepasang kapak iblisku. Hiaaa...!"
Si Kapak Iblis dengan cepat
membabatkan kapaknya ke arah Citra Yuda yang masih berdiri di samping istrinya.
Pemuda ini nampaknya sangat bernafsu sekali untuk segera menjatuhkan Citra Yuda
yang selama ini diagung-agungkan di dunia persilatan. Karena itu, gerakan ilmu
silat si Kapak Iblis nampak membabi buta, menyerang tanpa perhitungan yang
matang. Citra Yuda yang tidak mau memandang enteng lawannya dengan cepat mendorong tubuh
istrinya ke samping. Sedangkan dia sendiri dengan cepat berkelit ke kiri sambil
menarik kaki kanannya untuk mendekati lawan. Lalu dengan gerakan cepat, kaki
kanannya menendang ke arah kemaluan lawan.
"Seranganmu terlalu mentah, Kawan.
Terimalah ini.... Heaaat!"
Si Kapak Iblis terbelalak kaget
melihat serangan cepat yang dilancarkan oleh Citra Yuda. Untuk mundur, jelas ia
malu. Maka dengan nekat kembali kapak di tangannya dibabatkan ke bawah, di mana
kaki Citra Yuda meluncur. Namun, ternyata serangan kaki Citra Yuda hanya
pancingan belaka. Terbukti pendekar itu segera menarik kakinya dengan cepat,
lalu melontarkan pukulan dengan tangan kirinya ke arah dada lawan.
"Celaka...!" pekik si Kapak Iblis.
Kembali si Kapak Iblis merasa kaget dengan serangan cepat itu. Serangan lawan
berusaha dielakkan dengan menggeser kaki ke samping. Tapi....
Desss! "Uhk...!"
2 Sebuah pukulan mendarat telak di
pundak sebelah kanan si Kapak Iblis.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi pundaknya yang terasa
sakit. Citra Yuda kembali berdiri dengan tenang. Hanya matanya yang menyorot tajam
menyapu wajah-wajah keenam lawannya yang berdiri dengan mata membelalak
menyaksikan Kapak Iblis dapat dengan mudah dipecundangi oleh Citra Yuda.
Tiba-tiba.... "Serang dia! Biar aku menyerang Dewi Rukmini!" perintah Segoro Wedi pada kelima
rekannya yang segera melesat menyerang Citra Yuda. Dia sendiri segera meloncat
untuk menghadapi Dewi Rukmini.
"Jangan sampai keduanya menyatukan golok mereka!" serunya lagi.
"Kubunuh kau, Segoro Wedi...!"
bentak Dewi Rukmini sengit.
Kemudian tanpa banyak berkata lagi, Dewi Rukmini segera menyerang dengan
tebasan-tebasan golok. Serangannya begitu gencar, membuat golok di tangannya
bagai menghilang. Ke mana pun Segoro Wedi menghindar, golok di tangan Dewi
Rukmini mengejarnya. Keadaan itu membuat Segoro Wedi agak kerepotan juga.
"Hebat..! Rupanya ilmu golokmu
semakin lama semakin bertambah maju, Dewi...," puji Segoro Wedi sambil tertawa
terkekeh, membuat perempuan itu semakin bertambah panas. Karena ia tahu kalau
ucapan Segoro Wedi hanyalah sebuah ejekan kepadanya.
"Jangan banyak bacot! Terima seranganku ini...!" Dewi Rukmini semakin
mempercepat serangannya. Golok di tangan kanannya berkelebat cepat, menimbulkan
sinar putih keperakan yang bergulung cepat mengejar Segoro Wedi.
Menghadapi serangan gencar dari
Dewi Rukmini, Segoro Wedi yang tidak memakai senjata mau tak mau harus
mengeluarkan ilmu peringan tubuhnya untuk berkelit ke sana kemari.
Sebuah sodokan gagang golok Dewi
Rukmini yang merangsek ke arah dada Segoro Wedi dengan cepat, disusul oleh
tendangan kaki kanan ke arah lambung lawan. Sungguh perpaduan gerak yang luar
biasa dan berbahaya. Kalau saja Segoro Wedi lengah, mungkin nyawanya akan segera
terbang! Kembali Segoro Wedi berkelit ke
samping, kemudian tangannya bergerak mengebut ke arah kaki lawan yang hendak
menendang ke lambungnya. Gerakannya tak kalah cepat, sehingga menjadikan lawan
agak kaget menghadapinya. Dewi Rukmini tidak menyangka kalau serangan balasan
lawan begitu cepat dan tidak terduga. Dia berusaha menarik kembali kakinya,
sedangkan tangannya yang menyodok dengan gagang golok, kini diputar dengan
cepat, sehingga mata goloklah yang menyerang ke arah Segoro Wedi.
"Uts! Hebat..!" puji Segoro Wedi dengan senyum sinis menyaksikan bagaimana lawan
menggerakkan goloknya begitu rupa.
Sehingga kalau dia lengah, mata golok yang tajam akan membelah tubuhnya menjadi
dua. Tubuhnya ditarik ke belakang dua tindak, kemudian tangannya bergerak cepat
ke arah buah dada lawan.
Gerakan tangan Segoro Wedi yang
kurang ajar itu membuat mata Dewi Rukmini membelalak kaget. Segera tangan
kanannya diputar untuk membabatkan golok pada tangan kiri Segoro Wedi yang
hendak menjamah buah dadanya. Tapi, rupanya serangan yang dilancarkan Segoro
Wedi hanyalah pancingan belaka. Terbukti ketika golok lawan menyerang, dengan
cepat tangannya ditarik ke belakang. Lalu dengan tangan kanannya, Segoro Wedi
menghantam tangan Dewi Rukmini yang menggenggam golok.
Takkk! "Akh...!" Dewi Rukmini mengaduh.
Pergelangan tangan kanannya terasa sakit akibat berbenturan dengan tangan Segoro
Wedi. Tubuh wanita itu melompat ke
belakang, sedangkan goloknya terjatuh ke tanah.
Segoro Wedi terbahak-bahak menyaksikan bagaimana Dewi Rukmini kelihatan tegang
setelah golok di tangannya jatuh.
Kakinya melangkah perlahan ke arah Dewi Rukmini yang makin ketakutan. Dia tahu,
tentunya Segoro Wedi akan berbuat kurang ajar kepadanya. Kekurangajaran itu
sudah berulang kali dilakukan Segoro Wedi, tapi semua dapat digagalkan oleh
Citra Yuda. Tapi kini Segoro Wedi tidak seorang diri, melainkan dengan kelima rekannya yang
tengah mengeroyok Citra Yuda. Mana mungkin Citra Yuda dapat menolongnya" Dia
sendiri tengah sibuk menghadapi keroyokan teman-teman Segoro Wedi dan belum
tentu menang. Tak ada lagi yang bisa menolong Dewi Rukmini dari rasa takut
terhadap tindakan yang bakal dilakukan Segoro Wedi terhadapnya.
"Kini tidak ada lagi yang bisa menolongmu, Dewi. Kau harus mau melayani ku
sekarang juga...," kata Segoro Wedi sambil terkekeh senang. Sudah terbayang
dalam benaknya, bagaimana mulus dan indahnya tubuh wanita yang tengah ketakutan
di hadapannya. Tubuh dan kecantikan wanita itulah yang senantiasa menggoda,
hingga ia selalu berharap dapat memilikinya.
"Tidak! Jangan kau kira akan dapat
menikmati tubuhku, Segoro Wedi! Kalaupun bisa, aku sudah menjadi mayat sebelum
hal itu dapat kau lakukan," ancam Dewi Rukmini seraya melangkah mundur berusaha
meninggalkan Segoro Wedi. Ia hendak masuk ke dalam rumah untuk mencari senjata
yang dapat dijadikan pelindung dirinya.
"Hm, mungkinkah itu?" sinis suara Segoro Wedi. "Tak akan kubiarkan kau
melakukannya sebelum kudapatkan tubuhmu."
Segoro Wedi tertawa keras. Lalu
kakinya kembali melangkah perlahan, menghampiri Dewi Rukmini yang bertambah
takut dan tegang. Mata wanita itu menyorot tajam penuh kebencian ke arah Segoro
Wedi yang cengengesan dengan sesekali menjulurkan tangan untuk meraih tangan
Dewi Rukmini. "Jangan macam-macam, Segoro Wedi!
Aku adalah istri Citra Yuda, kakak seperguruanmu!" sentak Dewi Rukmini berusaha
menyadarkan Segoro Wedi dari keinginan kotor yang membeludak.
Mata lelaki itu merah dibakar api nafsu yang membara. Sekian tahun niat nista
itu dipendamnya. Kini api nafsu itu berkobar kembali, setelah dia merasa yakin
akan kemampuannya mendapatkan tubuh Dewi Rukmini.
"Aku tidak macam-macam, Dewi! Kalau saja kalian mau menyerahkan kitab itu dan
sekaligus dirimu..."
"Tak tahu malu! Orang macam kau tak pantas memiliki kitab itu! Lagi pula, kitab
itu tidak ada pada kami!" bentak Dewi Rukmini, sebelum ucapan Segoro Wedi
selesai. Segoro Wedi menyeringai di bentak begitu rupa. Matanya yang merah terbakar,
masih memandang tajam pada Dewi Rukmini.
Napasnya mendengus-dengus, bagai diburu oleh nafsu dan dendam mendalam.
"He he he.... Kalian memang pintar!
Sebenarnya kitab dan kau adalah milikku,"
tutur Segoro Wedi seenaknya.
"Cihhh! Tak tahu malu...!" bentak Dewi Rukmini "Bicaramu makin menjijikkan,
Segoro Wedi. Kau kira aku perempuan apa?"
Keduanya terus melangkah masuk ke dalam rumah, hingga mereka berdua saja yang
ada di dalamnya. Justru itu yang diharapkan Segoro Wedi. Dengan begitu, apa pun
yang akan dilakukannya terhadap Dewi Rukmini,
tidak akan ada yang
mengganggu. Melihat keadaan yang makin tidak
menguntungkan, Dewi Rukmini segera mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap
untuk melawan Segoro Wedi yang sudah kerasukan setan.
Dewi Rukmini secepat kilat
menyerang Segoro Wedi dengan pukulan jarak jauh secara beruntun. Kemudian,
disusul dengan lompatan ke arah Segoro
Wedi, lalu menendang dada laki-laki itu.
Desss! Segoro Wedi terhuyung lima depa ke belakang. Matanya terbelalak gusar pada Dewi
Rukmini. Sejenak laki-laki itu merasakan sakit pada dadanya. Tapi, cepat dapat
disembuhkannya. Lagi-lagi bibirnya tersenyum mengejek.
"He he he.... Ternyata ilmumu masih seperti dulu! Kau perlu tahu, Dewi.
Segoro Wedi yang sekarang bukan Segoro Wedi yang dulu!"
Selesai berkata begitu, dengan
sekali lompat Segoro Wedi sudah berada di depan Dewi Rukmini.
Melihat hal itu, Dewi Rukmini
segera mundur dengan kuda-kuda. Kemudian, secepat kilat diserangnya Segoro Wedi.
Terjadilah perkelahian yang cukup seru.
Keduanya saling serang dengan mengeluarkan jurus-jurus andalan. Terkadang
keduanya melenting ke udara disertai beradunya tangan dan pukulan.
Nampak sekali Segoro Wedi lebih
unggul dibanding Dewi Rukmini, sampai akhirnya Segoro Wedi sempat memasukkan
pukulan ke dada Dewi Rukmini.
"Akh!" pekik Dewi Rukmini. Tubuhnya terhuyung beberapa tombak ke belakang sambil
memegangi dadanya.
Segoro Wedi menyeringai. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Maka dengan
gerakan cepat dia melompat memeluk tubuh Dewi Rukmini.
"Hup...!"
"Auh, tidak...!" Dewi Rukmini kembali memekik
seraya menghindari
sergapan Segoro Wedi. Kaki kanannya memang mampu digeser agak melebar, tapi
tetap saja tangan Segoro Wedi dapat menjambret pakaiannya.
Breeet! Pakaian yang dikenakan Dewi Rukmini robek di dadanya, sehingga bagian dadanya
tampak jelas terlihat. Hal itu membuat Segoro Wedi menelan ludahnya berulang
kali. Sedangkan Dewi Rukmini berusaha menutupinya dengan kedua tangan.
Dewi Rukmini menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mata masih memandang tegang
ke arah Segoro Wedi yang kian kerasukan setan. Tubuhnya kembali menerkam Dewi
Rukmini. Dan tanpa dapat dihindari lagi, tubuh Dewi Rukmini disergap dengan buas
oleh Segoro Wedi.
"Lepaskan! Lepaskan aku, Pengecut!"
jerit Dewi Rukmini sambil terus berontak untuk dapat melepaskan dekapan kokoh
tangan Segoro Wedi yang kian beringas dan terus menciumi wajahnya.
Kegaduhan itu rupanya membangunkan seorang bocah berusia sekitar sepuluh tahun
yang tengah tidur di kamarnya.
Bocah kecil itu melangkah keluar untuk
melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya. Betapa terkejutnya bocah itu
ketika menyaksikan ibunya dalam dekapan seorang lelaki berpakaian serba merah
dengan harpa di punggungnya.
*** Darah bocah yang bernama Sena
Manggala itu mendidih menyaksikan ibunya meronta-ronta dalam pelukan lelaki
asing yang hendak memperkosanya. Naluri untuk menolong ibunya muncul seketika.
Dengan memekik laksana seekor anak kucing, bocah itu menerkam ke arah Segoro
Wedi. Sementara, Segoro Wedi yang tengah asyik menggumuli Dewi Rukmini tidak menyadari
serangan itu. Tubuh Sena melompat ke atas tubuh Segoro Wedi, kemudian menggigit
tengkuknya dengan geram.
"Auh! Kurang ajar...! Bocah setan!
Kubunuh kau...!"
Sambil berkata begitu, tangan kanan Segoro Wedi memukul tubuh bocah itu. Tak
ayal lagi, mulut mungil itu langsung menjerit setelah terkena pukulan.
Kemudian tubuhnya terpelanting deras hingga membentur bilik rumahnya yang
langsung jebol.
Begitu kuat pukulan Segoro Wedi,
sampai-sampai tubuh Sena terus berguling-
guling ke luar, dan baru berhenti ketika membentur sebongkah
batu yang cukup
besar. "Uhhh...!" keluh Sena ketika tubuhnya terasa sakit akibat pukulan Segoro Wedi.
Meski kepalanya terasa agak pening, dia terus berusaha bangkit.
Bayangan ibunya dalam dekapan lelaki itu membuat semangatnya tak padam. Dengan
agak tertatih-tatih, bocah kecil itu berusaha bangun. Tapi baru saja tubuhnya
hendak bangkit, tiba-tiba telinganya mendengar kegaduhan di depan rumahnya.
"Heh! Sepertinya ada orang
bertarung. Kedengarannya seseorang sedang dikeroyok...."
Naluri Sena kemudian membimbingnya untuk melihat apa yang sebenarnya tengah
terjadi di halaman depan rumahnya.
Betapa terkejutnya bocah kecil itu setelah menyaksikan apa yang tengah terjadi.
Ayahnya tengah dikeroyok oleh lima orang bersenjata lengkap di tangan masing-
masing. Sena kebingungan menyaksikan
pertarungan itu. Tetapi kembali nalurinya memerintahkan agar dia membantu sang
Ayah yang dikeroyok lima orang jahat itu.
Tanpa pikir panjang, bocah kecil itu segera melompat menyerang salah satu
pengeroyok, lalu dengan geram digigitnya tangan orang itu kuat-kuat.
"Auh...! Bocah kurang ajar! Kubunuh kau...!" maki Raja Setan Muka Ular geram
sambil memegangi tangannya yang tergigit oleh bocah itu. Matanya memandang
bengis penuh kemarahan pada bocah kecil yang tadi menggigitnya.
Melihat anaknya ada di dalam kancah pertarungan, seluruh otot Citra Yuda semakin
tegang. Dia sendiri kini dalam keadaan terjepit, apalagi harus
melindungi anaknya" Celaka. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Sena, aku belum
tentu bisa menyelamatkannya. Sedangkan aku sendiri kini dalam keroyokan, keluh
Citra Yuda dalam hati.


Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sena! Cepat tinggalkan tempat ini!" seru Citra Yuda sambil menangkis serangan
yang dilancarkan keempat lawannya.
"Tapi, Ayah.... Ibu harus di tolong," sahut Sena hendak lari ke dalam rumah
ketika telinganya mendengar jeritan sang Ibu yang berusaha melepaskan diri dari
kebuasan Segoro Wedi.
"Sena, Jangan nekat! Selamatkan dirimu, cepat..!" seru Citra Yuda semakin panik.
Dia takut kalau-kalau anaknya akan mendapat celaka jika tidak segera pergi dari
tempat itu. Dia sadar, tentunya Segoro Wedi dan kelima rekannya tidak akan
membiarkan anaknya hidup.
Sementara, Sena tampak masih
kebingungan. Jeritan ibunya seakan mengharap agar dia menolong. Sementara
ayahnya terus menyuruhnya segera pergi meninggalkan tempat itu. Saat bocah kecil
itu kebingungan, tiba-tiba terdengar seruan sang Ayah.
"Sena, awas...!"
Bocah kecil itu tersentak kaget
ketika melihat Raja Setan Muka Ular menendang ke arahnya. Sena berusaha
mengelakkan tendangan itu. tapi
terlambat. Tendangan yang dilancarkan oleh Raja Setan Muka Ular sangat cepat,
sehingga dia tidak mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, tubuh bocah kecil itu harus
menerimanya. Bugk! "Akh...!" Sena menjerit bersamaan tubuhnya yang melayang bagai kayu kering
terkena tendangan Raja Setan Muka Ular.
Tubuh kecil itu berguling-guling, lalu berhenti saat membentur pohon.
Daya tahan tubuh bocah kecil itu
sungguh luar biasa. Kalau orang lain, tentu tulangnya akan langsung patah
terkena tendangan Raja Setan Muka Ular.
Tapi Sena tidak! Dia hanya merasakan sekujur tubuhnya panas bagai terpanggang.
Bocah itu mengeluh lirih. Kemudian dengan tertatih-tatih tubuh kecilnya berusaha
bangkit. Badannya terasa sangat sakit. Dia kembali teringat akan ibunya
yang tengah dalam dekapan seorang lelaki dengan
sebuah harpa di punggungnya.
Tentunya lelaki itu hendak memperkosa wanita yang amat yang dicintai dalam
hidupnya. Untuk itu dia harus menolong.
Namun, dia juga teringat ayahnya yang menyuruh agar segera pergi meninggalkan
tempat itu. "Ayah, Ibu.... Semoga kalian selamat. Oh, aku tak ada gunanya sama sekali. Aku
tak mampu menolong kalian,"
keluh Sena seraya melangkah meninggalkan tempat itu. Dia kini menuruti apa yang
dikatakan oleh ayahnya. Dia memang harus menyelamatkan diri. Mereka bukan
tandingannya. Ayah dan ibunya yang pendekar saja tak mampu berbuat apa-apa, apa-
lagi dia yang cuma anak kecil dan tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat Dengan
merasakan sakit serta panas di tubuhnya akibat tendangan Raja Setan Muka Ular,
kaki bocah kecil itu terus melangkah semakin jauh dari tempat di mana ayah dan
ibunya tengah menghadapi orang-orang jahat
Kaki kecil itu terus melangkah,
menyelusuri jalanan gelap dan lengang.
Mungkin karena badannya sakit akibat tendangan Raja Setan Muka Ular, membuat
tubuh bocah itu gontai. Kepalanya terasa berat. Bumi yang dipijaknya seperti
berputar, hingga bocah kecil itu tak
mampu lagi mempertahankan diri untuk tetap tegak. Dia tidak sadar, saat kakinya
telah berada di bibir lereng sebuah gunung.
"Akh...!"
Sena kembali mengeluh saat tubuhnya terpelanting, lalu bergulingan ke bawah.
Tubuhnya terus meluncur turun tanpa dapat tertahan. Kesadarannya menjadi samar-
samar, hingga dia pasrah menerima apa pun yang terjadi. Tubuhnya dibiarkan
berguling ke bawah lereng, di mana sebuah gua berada.
Tubuh kecil itu terus berguling,
semakin lama semakin bertambah dekat pada mulut gua yang seakan siap menerima
tubuhnya yang kecil. Benar juga! Tubuh Sena akhirnya masuk ke dalam gua.
Anehnya, setelah tubuh Sena masuk, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak.
Sebuah batu besar bergerak menutup pintu gua. Mulut gua itu tiba-tiba
menghilang, berganti dengan dinding batu cadas yang kokoh. Tak akan ada orang
yang tahu kalau di balik batu cadas yang kokoh itu terdapat sebuah gua yang
dinamakan Gua Setan.
"Ukh...,"
Sena kembali mengeluh
lirih. Semuanya terlihat gelap gulita.
Matanya berusaha mengetahui di mana dia sekarang berada, tapi kepalanya masih
terasa sakit. Begitu juga dengan sekujur tubuhnya, hingga bocah kecil itu
kembali terkulai pingsan.
3 Pertarungan Citra Yuda melawan
kelima begundal Segoro Wedi masih berlangsung seru. Dilihat dari perkem-
bangannya, jelas menunjukkan Citra Yuda semakin terdesak hebat oleh kelima
lawannya yang semakin bernafsu untuk secepatnya menjatuhkan lawan mereka.
Meski begitu, Citra Yuda tidak mau mengalah begitu saja. Selama hayat masih
dikandung badan, ia akan tetap melawan sampai titik darah penghabisan. Itulah
jiwa ksatria sejati.
Golok Sakti di tangan Citra Yuda
bergerak cepat, memapak serangan lawan yang datang
silih berganti. Sesekali
tangannya menyodokkan golok ke arah lawan yang menyerang, tapi lawannya yang
lain telah mendahului dari belakang. Mau tak mau Citra Yuda mengurung
serangannya. Sambil membalikkan tubuh, ditangkisnya serangan lawan.
"Heaaa...!"
Senjata rantai berujung bola
berduri di tangan Sepasang Hantu dari Kelangit mendesing di alas kepalanya.
Cepat-cepat Citra Yuda merundukkan tubuh
ke bawah untuk menghindar dari sabetan ganas salah satu rantai. Kemudian dengan
cepat pula goloknya ditebaskan ke arah rantai yang lain.
Rantai milik Kelangit Sepuh dapat dielakkan, sedangkan milik Kelangit Anom
berbentur dengan golok di tangannya, menimbulkan suara keras yang memekakkan
telinga. Trang! Ki Kelangit Anom terkejut, tangannya langsung terasa bergetar
akibat benturan tadi. Tidak disangkanya kalau ilmu tenaga dalam lawan berada dua
tingkat di atasnya. Kalau saja dia hanya seorang diri, sudah barang tentu dengan
cepat dapat dipecundangi lawan. Diam-diam, Kelangit Anom merasa kagum terhadap
lawannya. Kemudian, tubuh Citra Yuda diserbu serangan lain dari samping. Serangan itu
dilancarkan oleh Pedang Akhirat dan Kapak Iblis yang tidak kalah cepat dan ganas
dibanding dengan serangan dua lawan sebelumnya. Bahkan, senjata mereka yang
berbentuk pedang dan kapak nampaknya jauh lebih berbahaya. Gerakan senjata
mereka sangat cepat, menimbulkan suara laksana dengung ribuan tawon.
Kedua orang itu menggebrak dengan tebasan sepasang senjata mereka ke arah
lambung dan pinggang lawan. Hal itu
menjadikan Citra Yuda harus bergerak lebih cepat untuk mengelitkan serangan
mereka. Lalu dengan tak kalah cepatnya, goloknya dibabatkan ke arah salah
seorang lawan setelah mengelakkan serangan yang lain.
Trang! Benturan golok di tangan Citra Yuda dengan senjata di tangan Pedang Akhirat
terjadi, menimbulkan percikan api sekaligus keluhan dari mulut Pedang Akhirat.
Tangannya yang memegang pedang terasa nyeri, bahkan pedangnya sampai bergetar
hebat "Hebat! Kau benar-benar hebat, Citra Yuda. Tapi kami berlima tidak akan kalah
olehmu," dengus Pedang Akhirat sambil menyeringai akibat benturan itu.
Kemudian dengan menggerakkan tangan ke atas, Pedang Akhirat kembali menyerang
dibantu oleh keempat rekannya.
"Heaaa...!"
Senjata di tangan mereka bergerak cepat, berusaha mengurung tubuh Citra Yuda.
Namun begitu, Citra Yuda nampaknya tidak gentar sedikit pun menghadapi kurungan
kelima lawannya. Matanya tajam menatap setiap gerakan kelima orang lawannya yang
terus mengurung sambil memutar senjata masing-masing.
Citra Yuda cepat bergerak memutar, menyapu kepungan lawan sambil menebaskan
golok di tangannya sedemikian rupa, sehingga menciptakan sebuah benteng yang
akan melindungi tubuhnya dari setiap serangan lawan. Golok sakti di tangannya
pun bagai menghilang, berubah menjadi cahaya putih keperakan yang menutupi
tubuhnya. "Serang...!"
Kembali terdengar seruan Pedang
Akhirat memerintahkan kepada keempat rekannya yang langsung menyerang
berbareng ke arah Citra Yuda. Serangan mereka sangat cepat diperkuat pula oleh
tenaga dalam yang mereka kerahkan.
"Heaaa...!"
Tongkat di tangan Raja Setan Muka Ular bergerak memukul ke arah kepala lawannya,
hingga menimbulkan suara menderu keras.
"Pecah batok kepalamu....'"
Citra Yuda tersentak, segera
kakinya melompat ke belakang sambil membabatkan goloknya ke arah ayunan tongkat
lawan, sedangkan tangan kakinya bergerak menghempaskan pukulan untuk menangkis
serangan pedang.
Trak! "Hah..."!"
Mata Raja Setan Muka Ular melotot tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Tongkat di tangannya yang terbuat dari kayu langka itu ternyata bisa dibabat
putus oleh golok Citra Yuda. Raja Setan Muka Ular melompat mundur, lalu sesaat
tertegun menyaksikan kejadian yang baru dialaminya. Celaka! Kalau dibiarkan
terus-menerus, bisa-bisa kami tak mampu menghadapinya, keluh Raja Setan Muka
Ular dalam hati.
Ternyata bukan hanya Raja Setan
Muka Ular saja yang kaget, Pedang Akhirat pun melompat dua tindak ke belakang.
Dia tidak menduga kalau serangan pedangnya dapat dipatahkan oleh Citra Yuda
dengan pukulan. Malah kembali tangannya terasa linu akibat benturan pukulan
lawan dengan pedangnya.
Sementara itu, Segoro Wedi berusaha melampiaskan nafsunya pada Dewi Rukmini yang
tetap berontak untuk melepaskan diri. Namun berontakan Dewi Rukmini justru
membuat Segoro Wedi bertambah nafsu.
"Lepaskan!" jerit Dewi Rukmini dengan nada suara bergetar. Pakaian telah
sebagian lepas dari tubuhnya, sehingga tubuh bagian atas benar-benar terbuka.
"Semakin kau berontak, semakin membuat gairahku kian menggebu, Manis..,"
Segoro Wedi terkekeh, kemudian tangannya kembali bergerak merenggut pakaian yang
dikenakan oleh Dewi Rukmini.
Setelah tubuh wanita cantik itu
polos tak tertutup oleh sehelai benang
pun, dengan gerak cepat Segoro Wedi menotok jalan darah wanita itu. Membuat Dewi
Rukmini tak mampu lagi bergerak.
Hanya suaranya yang
masih terdengar
mencaci-maki. "Pengecut! Laknat... Lepaskan totokan mu. Tak sudi aku melayanimu, Iblis!"
Segoro Wedi tertawa terbahak-bahak, lalu membopong keluar tubuh Dewi Rukmini.
Kemudian diletakkannya tubuh wanita itu di rerumputan, tak jauh dari arena
pertarungan Citra Yuda melawan para begundal Segoro Wedi. Lalu dengan nafsu yang
memuncak, tubuh Dewi Rukmini digelutinya.
Hal itu membuat Citra Yuda yang
sedang bertarung menghadapi kelima lawannya seketika terpecah perhatiannya.
Kemarahannya kian menjadi, menyaksikan bagaimana Segoro Wedi memperkosa istrinya
dengan buas. "Bangsat! Kubunuh kau, Segoro Wedi...!"
Dengan dada penuh amarah, Citra
Yuda membabatkan goloknya ke arah lawan-lawannya. Kemudian tubuhnya mencelat
meninggalkan kelima lawannya memburu ke arah Segoro Wedi yang masih menggeluti
tubuh istrinya.
"Kubunuh kau. Hiaaat..!" Citra Yuda dengan penuh amarah menebaskan goloknya
ke arah tubuh Segoro Wedi. Namun dengan cepat Segoro Wedi membuang tubuhnya ke
samping. Hingga tanpa ampun lagi, tubuh Dewi Rukminilah yang menjadi sasarannya.
"Kakang...! Akh...!" pekik Dewi Rukmini ketika golok suaminya menghunjam di
lambung sebelah kiri. Darah muncrat keluar dari luka di mana golok Citra Yuda
masih menghunjam.
"Dewi.... Oh, maafkan aku...,"
Citra Yuda segera memeluk tubuh istrinya yang bermandi darah. Hingga dia tidak
dapat lagi memperhatikan keenam lawannya.
Dia masih terisak menangisi kejadian itu, sehingga ketika kelima lawannya
menyerang, dia tidak dapat lagi mengelak.
Terlebih ketika Segoro Wedi menghajarnya dengan pukulan maut 'Pasir Baja'nya
yang mengandung racun jahat
"Citra Yuda, terimalah kematianmu!
Hiaaa...!"
Deggg! "Aaakh...!" Citra Yuda menjerit sejadi-jadinya, ketika pukulan Segoro Wedi
menghantam tubuhnya. Matanya mendelik, memandang ke arah Segoro Wedi dan teman-
temannya yang tergelak-gelak
"Bajingan! Pengecut...! Kubunuh kalian...!"
Citra Yuda berusaha bangkit untuk menyerang. Namun baru beberapa langkah,
tubuhnya telah ambruk. Dari mulutnya
melelehkan darah segar kehitaman.
Melihat suaminya mati, Dewi Rukmini yang masih merasakan sakit, dengan cepat
mengambil golok suaminya. Lalu
dihunjamkan golok itu ke dadanya.
"Kakang...," Dewi Rukmini berusaha menggenggam tangan suaminya. Setelah dapat,
dia pun terkulai tanpa nyawa dengan dada tertembus golok sang Suami.
"Dewi...!" Segoro Wedi berusaha mencegah, tapi terlambat. Semuanya telah
terjadi. Dipandanginya dua sosok mayat bekas kakak seperguruan yang ada di
hadapannya. Dihelanya napas pelan, kemudian dengan suara lirih Segoro Wedi
bertanya pada temannya. "Di mana anak mereka?"
"Mungkin sudah mampus, Wedi," sahut Raja Setan Muka Ular.
"Mati...?"
"Ya. Tadi kutendang karena
menggigit tanganku. Lihat, lukanya masih ada," kata Raja Setan Muka Ular sembari
menunjukkan luka bekas gigitan di tangannya.
"Syukurlah kalau begitu, jadi kita tidak usah repot-repot mencarinya," kata
Segoro Wedi dengan helaan napas. Tapi kemudian dia kembali bertanya. "Kau yakin
bocah itu telah mampus?"
"Ya!"
"Sekarang cari kitab itu...!"
perintahnya. Kelima temannya segera menerobos
masuk ke rumah dan mengobrak-abrik isi rumah itu. Namun mereka tidak menemukan
apa yang dicari.
"Tak ada," lapor Raja Setan Muka Ular.
"Hhh...!" Segoro Wedi menghela napas. "Bakar saja rumah ini!"
*** Pagi lamat-lamat datang, menyibak kegelapan malam dengan sinarnya yang terang.
Kokok ayam bersahut-sahutan, menyambut tersembulnya mentari dari kaki langit.
Burung-burung berkicau dengan riang, bagai bernyanyi bersama sambil bercanda.
Semilir angin pagi bertiup, perlahan mengusir kabut yang
menggelantung di pucuk-pucuk pepohonan.
Di dalam sebuah gua yang tertutup oleh batu cadas, seorang bocah kecil berusia
sekitar sepuluh tahun tergeletak pingsan. Bocah yang tidak lain adalah Sena
Manggala itu tidak mengetahui kalau ayah dan ibunya telah meninggal oleh
keroyokan Segoro Wedi dan begundalnya.
"Uhhh...," keluh Sena lirih.
Perlahan-lahan matanya membuka. Ia terkejut menyaksikan dirinya berada di dalam
sebuah ruangan yang terbuat dari
batu. "Di manakah aku?" tanyanya sambil terus memperhatikan sekelilingnya yang terasa


Pendekar Gila 1 Seruling Naga Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asing. Anehnya, meski ruangan itu terbuat dari batu, ia tidak merasa kedinginan.
Justru hawa di dalam ruangan itu hangat
Sena berusaha bangun dengan
tertatih-tatih meski tubuhnya dirasakan masih agak linu. Benaknya masih
menggambarkan tendangan lelaki berwajah menyeramkan yang membuat tubuhnya terasa
remuk. Lalu tubuhnya menggelinding ke bawah lereng, dan masuk ke dalam gua ini.
Setelah mampu bangun, bocah kecil itu mencoba menajamkan pandangannya ke
sekeliling gua. Matanya membelalak tiba-tiba ketika melihat dinding gua di kanan
dan kirinya terdapat gambar-gambar jurus silat yang aneh. Jurus-jurus itu mirip
dengan gerakan orang gila.
"Hai, gambar apa ini" Seperti gambar orang gila sedang menari," gumam bocah
kecil itu sambil mendekati dinding batu untuk mengamati gambar-gambar yang ada
di sana. Keningnya mengerut, ketika lebih jelas lagi memperhatikan gambar-gambar
itu. "Gambar-gambar yang aneh. Jika hanya gerakan orang gila, mengapa mesti ada
aturannya?" gumamnya saat melihat aturan dan cara yang tertulis, untuk
melakukan gerakan dari gambar-gambar itu.
Sena kembali tertegun. Otaknya
mencoba mencerna gambar-gambar aneh itu.
Bocah kecil itu menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Pikirannya
berusaha keras menebak maksud gambar yang ditemukannya. Lama dia memperhatikan,
hingga tanpa disadari, tubuhnya telah meniru-niru salah satu gerakan yang ada
dalam gambar di dinding gua.
"Hei, kenapa aku meniru-niru gerakan gambar itu?" tanya Sena tertegun-tegun
setelah menyadari kalau tubuhnya bergerak mengikuti salah satu gambar yang ada
di dinding gua.
Bocah kecil itu terus memandangi
satu persatu gambar-gambar tersebut.
Sementara hatinya terus pula bertanya-tanya.
Tiba-tiba matanya menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Sebuah batu berwarna
ungu bulat menempel di satu bagian dinding.
"Hm, batu apakah itu" Coba aku dekati," pikir Sena seraya melangkah ke arah batu
berwarna ungu itu. Dipandanginya batu ungu bulat sebesar uang perak tersebut.
Kemudian dengan perasaan ingin tahu, tangannya meraba batu itu.
Srak! Sena tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja dinding gua di hadapannya yang
tadi tertutup, membuka. Mata bocah itu membelalak lebar dan mulutnya menganga.
Belum juga hilang rasa kaget bocah itu, dari mulut ruangan yang kini terbuka
tiba-tiba berhembus asap tebal berwarna ungu yang bergulung-gulung menyelimuti
seluruh ruangan di mana bocah kecil itu berada. Hal itu membuat Sena kelabakan.
Tangannya mengibas-ngibas untuk menghalau asap ungu yang terus mengalir ke
arahnya. Ketika asap ungu itu semakin padat mengurungnya, mau tak mau asap ungu itu
terhisap juga. "Uhk...!" Sena terbatuk-batuk kecil akibat asap ungu yang menerobos
tenggorokannya. Semakin lama semakin banyak menghisapnya.
Sena tidak tahu, kalau asap ungu
itu sesungguhnya adalah racun yang belum ada tandingannya. Racun itu sangat
dahsyat. Siapa pun yang menghisapnya, akan lumpuh dan mati! Anehnya, bocah itu
justru tidak merasakan kelumpuhan. Hanya kepalanya terasa sangat pening. Semakin
banyak asap ungu beracun itu dihisapnya, semakin terasa pusing kepalanya.
Tubuhnya sendiri merasakan kehangatan yang lain, yang perlahan-lahan berubah
menjadi sejuk. Bocah itu terheran-heran. Otaknya berusaha memahami apa yang terjadi.
Namun, kepalanya terasa semakin berat dan
matanya mengantuk sekali. Bumi yang dipijaknya seakan berputar dengan cepat.
Setelah banyak menghisap asap beracun, kepalanya terasa amat berat.
Dan, Sena melihat gambar-gambar di dinding gua seperti bergerak-gerak.
"Hi hi hi.... Ha ha ha..... Lucu!
Lucu sekali!"
Bocah kecil itu terus tertawa-tawa, dan tidak menyadari dirinya malah bergerak-
gerak mengikuti jurus-jurus gila yang tertera di dinding tembok!
Sena masih berusaha bertahan.
Dicobanya untuk membuka mata selebar mungkin. Tiba-tiba semuanya kelihatan lucu.
Gambar-gambar yang ada dinding gua seperti bergerak-gerak, membuat Sena tertawa
nyaring menyaksikan semua itu.
Kemudian tanpa sadar tubuhnya bergerak, mengikuti gambar-gambar yang terlihat
bergerak sendiri.
"Hi hi hi... Ha ha ha.... Lucu!
Lucu sekali!"
Sena terus tertawa-tawa dengan
tubuh bergerak lentur kian kemari. Bocah kecil itu benar-benar tidak sadar kalau
dirinya tengah mengikuti sekaligus mempelajari jurus-jurus gila yang tertera di
dinding tembok.
Lama Sena mengikuti gerakan-gerakan gambar di dinding gua. Keringat bersem-bulan
dari pori-pori tubuhnya. Tapi bocah kecil itu sendiri tak peduli, terus
diikutinya gerakan-gerakan itu. Kepalanya yang pening tak dihiraukan.
Pandangannya yang aneh tidak juga mempengaruhinya. Dia terus bergerak dan
bergerak. Setelah jurus-jurus yang berada di dinding di ikuti seluruhnya, baru
tubuhnya terkulai kecapaian.
4 Entah berapa lama Sena terkulai
pingsan, tanpa tahu di mana dirinya kini.
Ketika matanya membuka, didapati dirinya telah berada di atas sebuah batu datar
dengan lebar sekitar dua depa dan panjang dua setengah depa. Mata bocah kecil
itu mengawasi sekelilingnya dengan pandangan nanar.
"Di manakah aku...?" tanyanya lirih pada diri sendiri.
Setelah pandangannya mulai jelas, kembali didapatinya gambar-gambar pada kanan
dan kiri dinding gua. Sena yakin kalau dirinya kini berada di tempat yang
berbeda dari sebelumnya, karena gambar yang ditangkap matanya pun berbeda. Meski
begitu tetap terlihat bergerak lucu, memperagakan gerakan-gerakan yang aneh
seperti jurus-jurus silat.
Mata bocah kecil itu terus
memandangi setiap gambar di dinding gua yang terus bergerak ganjil, sehingga
membuatnya kembali tertawa nyaring. Tiba-tiba semangatnya muncul. Entah apa
penyebabnya. Mungkin gambar di dinding gua yang seperti bergerak memperagakan
gerakan-gerakan ilmu silat. Atau karena pengaruh Racun Kabut Ungu"
Tubuhnya segera bangkit. Rasa letih setelah mengikuti gerakan-gerakan di
dinding gua sebelumnya, hilang seketika.
Bocah kecil itu turun dari batu datar, lalu dengan tertawa-tawa diikutinya
gerakan-gerakan gambar di dinding gua.
"Eh! Kenapa aku kembali mengikuti-nya" Oh, tapi gambar-gambar itu dapat bergerak
dan lucu sekali. Hi hi hi... Ha ha ha...! Baik, aku pun senang dengan kalian.
Aku suka sekali dengan kalian,"
kata Sena sambil terus mengikuti gerakan-gerakan yang ada di dinding gua.
Rasa letih yang sempat datang,
begitu saja hilang melihat lucunya gerakan-gerakan yang tergambar di dinding
gua. "Heat..!"
Sambil tertawa, tangan dan kakinya terus bergerak mengikuti jurus-jurus aneh
yang ada di dinding. Sesekali kepalanya digaruk, lalu kembali tertawa-tawa
senang, seperti mendapat teman bermain.
Tanpa diketahuinya, sejak bocah itu berada di dalam gua, seorang lelaki tua
berambut serta berjenggot panjang warna putih, duduk di atas sebuah batu datar
berukuran satu tombak kali satu tombak sambil memperhatikannya. Dilihat dari
sorot matanya, lelaki itu merasa kagum pada bocah kecil yang masih mengikut
gerakan-gerakan di dinding gua sambil tertawa-tawa. Sepertinya bocah kecil itu
tidak merasakan lelah barang sedikit pun.
"Hm, bocah ini benar-benar hebat Racun Kabut Ungu yang selama ini tak ada yang
mampu menahan, seakan tiada artinya sama sekali."
Orang tua itu menggelengkan
kepalanya, sambil sesekali manggut-manggut. Diperhatikannya lekat-lekat tubuh
Sena dengan pandangan tajam.
"Kulihat tulang tubuhnya pun sangat rapi dan kokoh.... Hyang Jagat Dewa Batara,
mungkin bocah inilah yang dimaksud dalam mimpiku. Seorang bocah yang memiliki
daya tahan tubuh yang sempurna. Hm, semoga apa yang kuharapkan selama ini akan
menjadi kenyataan," gumam orang tua itu sambil terus memperhatikan tingkah laku
Sena yang tiada hentinya mengikuti gerakan-gerakan gambar di dinding gua sambil
tertawa-tawa. "He! Hi hi hi..! Aneh sekali gerakan ini. Tapi aku senang. Akan kuikuti kalian,
Gambar-gambar Aneh!"
ceracau bocah kecil itu sambil
memperagakan gerakan-gerakan tangan dan kakinya yang ringan.
Bocah kecil itu terus melakukan
gerakan-gerakan seperti tergambar di dinding. Gerakan bagai orang gila!
Sesekali tangannya bergerak menimpuk, lalu menepuk. Itulah jurus 'Kera Gila
Melempar Batu', sebuah jurus gila yang dahsyat dan ampuh.
Sesaat Sena menghentikan gerakan
untuk menarik napas sambil memperhatikan gambar-gambar berikutnya. Lalu kembali
lagi mengikuti gerakan-gerakan ilmu silat itu dengan penuh semangat sambil terus
tertawa-tawa. Keringat makin membasahi seluruh tubuhnya. Tapi bocah itu tetap
tak peduli. Sementara, orang tua yang terus
memperhatikan tingkah laku Sena,
tercengang menyaksikan bagaimana bocah kecil itu melakukan gerakan 'Kera Gila
Melempar Batu'. Begitu cepatnya si bocah menyerap gambar di dinding, sehingga
mampu melakukan gerakan itu. Padahal jurus yang kini tengah dilakukan olehnya
adalah salah satu jurus yang sulit untuk dipelajari. Orang lain paling tidak
harus mempelajarinya dalam waktu tiga hari, itu pun kalau berlatih terus menerus
tanpa istirahat.
Orang tua itu berdecak kagum tanpa sadar. Belum pernah selama ini dilihatnya
seorang manusia mampu mempelajari jurus-jurus gila dalam waktu yang singkat.
"Hebat! Sungguh hebat...!" pekik orang tua itu dengan mata membelalak
menyaksikan keluarbiasaan yang terjadi di depan matanya.
Makin tersentak hati orang tua itu melihat bocah kecil itu menghentikan jurus
yang telah dilakukannya. Dikiranya
bocah kecil itu akan kelelahan dan tertidur, tapi ternyata tidak. Kini bocah
kecil itu mengalihkan pandangannya ke dinding yang lain, di mana tertera jurus-
jurus yang lebih sulit
Sesaat bocah kecil itu memakukan
pandangannya ke gambar-gambar yang dalam penglihatannya bergerak-gerak bagai
sedang memperagakan jurus. Sekali lagi, bocah itu tertawa-tawa senang.
"Oh, begitu..." Baik, kurasa aku bisa. Hi hi hi..."
Kembali tubuhnya bergerak mengikuti gerakan-gerakan gambar di dinding.
Orang tua yang memperhatikannya
dari jauh semakin melebarkan matanya mendengar ucapan si bocah yang menganggap
gerakan-gerakan yang tengah dilakukannya sebagai permainan yang menyenangkan.
Dengan tertawa-tawa Sena mengikuti gerakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat',
sebuah jurus yang lebih tinggi dibanding jurus sebelumnya. Tubuh kecilnya kini
laksana menari-nari dengan lemah gemulai. Sementara tangannya sesekali menepuk.
Tak diingatnya lagi kegetiran hidup yang baru ia telan dengan meninggalkan kedua
orangtuanya dalam keadaan di ujung tanduk. Tidak ada lagi pertanyaan tentang
nasib ayah dan ibunya dalam benak Sena.
Perasaannya begitu terhibur dengan gambar
yang bergerak lucu di matanya.
"Jagat Dewa Batara, apakah mataku tak salah lihat?" gumam orang tua itu dengan
mata memperlihatkan ketidak-percayaan pada apa yang dilihatnya saat itu. "Tidak!
Aku tidak bermimpi. Ini kenyataan. Bocah itu sungguh luar biasa.
Aneh! bagaimana mungkin jurus sesulit itu bisa cepat dikuasainya?"
Dengan mata berbinar takjub, orang tua itu menyaksikan Sena mampu melakukan
gerakan-gerakan yang amat sulit.
Jangankan orang lain, dulu dia sendiri mempelajari jurus itu paling cepat
sehari. Tapi bocah kecil itu malah sekejap, seperti pernah mempelajarinya
terlebih dahulu. Ingin rasanya bocah itu dihampirinya, tapi dia tidak ingin
mengganggu luapan rasa senang si bocah.
Sementara itu, Sena terlihat
menghentikan gerakannya, setelah dirasa jurus-jurus itu sudah dihafalnya.
Kemudian tubuhnya dibalikkan, memandang ke arah lain. Sesaat matanya memandang
tajam ke satu deret gambar baru.
"Baik, kalau itu yang kalian maksudkan. Aku pun merasa bisa. Hi hi hi.... Lihat,
aku akan mengikuti kalian."
Sena terkikik, lalu tangan serta
kakinya bergerak mengikuti gerakan gambar-gambar di dinding yang menari.
Gerakan yang kini diikutinya adalah jurus
'Si Gila Membelah Awan'. Kalau saja bocah kecil ini mempunyai tenaga dalam yang
sempurna, gua itu bisa dibuat hancur berantakan.
"Hah..."!"
Orang tua yang masih
memperhatikannya dari kejauhan lagi-lagi tercengang menyaksikan bocah kecil itu
melakukan gerakan 'Si Gila Membelah Awan', sebuah jurus yang dahsyat luar biasa
bila disertai tenaga dalam.
"Benar-benar bocah aneh. Hm, tidak sia-sia selama lima puluh tahun lebih aku
menanti," gumam orang tua itu.
Setelah melakukan jurus-jurus yang ada di dinding gua, Sena tampak berdiri
mematung. Kepalanya terasa pening.
Setelah tertawa, bocah kecil itu kembali terkulai jatuh. Dia tidak pingsan, tapi
tertidur kelelahan.
*** Orang tua penghuni Gua Setan
tersenyum-senyum, kemudian melangkah menghampiri tubuh si bocah yang tertidur
menggeletak di tanah begitu saja.
Dipegangnya dada si bocah, denyut jantungnya sangat beraturan, seperti tidak
merasakan lelah.
"Hebat..!" puji orang tua penghuni Gua Setan tanpa sadar sambil menggeleng-
geleng lemah. "Daya tahan tubuh bocah ini benar-benar hebat. Mungkinkah karena
pengaruh Racun Kabut Ungu" Hm, kurasa itu hanya sebagian saja. Mungkin ada hal
lain yang mempengaruhi ketahanan tubuhnya hingga daya tahan tubuh bocah ini
sangat kuat."
Orang tua itu kemudian membopong
tubuh Sena ke atas batu datar tempat ia tertidur tadi. Kembali mata tuanya
menatap tubuh bocah kecil itu penuh perhatian, tanpa sejengkal pun terlewati.
"Hm. Bocah inilah yang ada dalam mimpiku. Semuanya sama, tak ada
bedanya...," ucapnya perlahan namun penuh keyakinan. Jarinya memijit beberapa
bagian tubuh Sena untuk membuka jalan darah di tubuhnya.
"Uhhh..."
Sena menggeliat. Perlahan-lahan
matanya membuka, lalu samar-samar matanya melihat seorang lelaki tua berjubah
putih dengan wajah dihiasi jenggot dan kumis yang juga putih. Wajah orang tua
Pengelana Rimba Persilatan 1 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Pusaka Pulau Es 2
^