Pencarian

Setan Cabul 1

Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada penerbit di
bawah lindungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak se-
bagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit.
1 SEKELEBAT bayangan tiba-tiba melintas di
tengah pertarungan. Wuuuut...! Bayangan itu me-
nyambar seorang pemuda berusia sekitar tujuh belas
tahun. Baju coklat si pemuda berhasil dicengkeram
dengan satu tangan dan tubuhnya bagaikan dibawa
terbang oleh bayangan hijau itu.
Dalam sekejap si pemuda berbaju coklat celana
merah itu sudah berada di atas gundukan tanah be-
rumput tipis. Tubuhnya yang kurus masih ditenteng
oleh tangan kekar seorang lelaki berpakaian serba hijau. Pemuda belia itu
tergantung kakinya, tapi punggung bajunya tetap tercengkeram oleh tangan si pe-
nyambarnya. "Bocah konyol! Apakah kau tak tahu kalau ilmu
mu belum ada se kuku hitamnya dibanding perem-
puan itu, hah"!" bentak si penyambar dengan mata mendelik geram. Rambutnya yang
panjang meriap sampai punggung itu dibiarkan dipermainkan angin,
membuat tampangnya menjadi tambah beringas. Me-
nyeramkan. Pemuda yang ditenteng melirik ke arah yang
menentengnya. Ia menjadi semakin gugup dan gelaga-
pan tak bisa bicara, karena ia tahu yang menenteng-
nya saat itu adalah si Setan Cabul.
Tokoh berkumis lebat yang badannya sedang-
sedang saja sebagai lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu,
belakangan ini cukup dikenal di kalangan dunia persilatan karena kekejamannya.
Ia bukan saja berilmu tinggi, namun juga setengah gila; gemar memperkosa lawan
jenisnya dan selalu membuat cacat
si korban, Kemunculannya yang sewaktu-waktu dan
tempat tinggalnya yang tak diketahui itu membuatnya mirip setan. Tindakannya
yang gemar memperkosa perempuan itu dipadu dengan kemunculannya yang mis-
terius itulah yang membuatnya dikenal dengan nama
si Setan Cabul.
"Kalau kau masih tetap melawannya, sama saja
mati sia-sia. Jika maumu begitu, lebih baik dadamu
ku jebol untuk ku ambil jantungnya!"
"Ja... ja... jangan! Ak... aku masih butuh jantung dan... dan dada Juga...,"
pemuda berbaju coklat itu semakin ketakutan.
Perempuan yang tadi bertarung melawan si
pemuda segera serukan kata dengan suara lantang,
menampakkan sikapnya yang tak punya rasa takut
sedikit pun dengan si Setan Cabul. Padahal para pe-
rempuan lainnya, jika bertemu dengan si Setan Cabul akan lari terbirit-birit,
bila perlu kencing di celana, itu pun bila pakai celana. Tak ada perempuan yang
berani beradu pandangan mata dengan si Setan Cabul, selain perempuan berilmu,
seperti halnya si perempuan mu-da berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Lepaskan tikus cilik itu dan jangan campuri
urusan ku, Setan Cabul! Kau akan kehilangan kepala
sekarang juga jika tidak mau melepaskan lawanku
itu!" Bruuukkk...! Setan Cabul benar-benar mele-
paskan cengkeramannya. Pemuda bertubuh kurus itu
jatuh terpuruk di tanah bagai tak bertulang lagi. Ia bukan takut kepada
perempuan berbaju kuning itu,
melainkan takut dibuat cacat oleh si Setan Cabul.
"Cepat pulang, dan jangan coba-coba bertaruh
nyawa dengan iblis betina itu!" perintahnya kepada si pemuda. Maka pemuda itu
pun segera bergegas pergi
dengan tersungkur-sungkur karena kakinya bagai tak
bertulang. Pemuda itu penasaran, lalu ia bersembunyi di balik pohon Jauh. Ia
ingin tahu apa yang akan dilakukan si Setan Cabul dengan perempuan yang kena-
kan pakaian ketat warna kuning hingga membentuk
lekuk-lekuk tubuhnya.
Agaknya si Setan Cabul tidak bermaksud men-
celakai pemuda itu. Terbukti setelah mendengar se-
ruan lantang perempuan bertubuh sekal dengan ram-
but sebahu itu, si Setan Cabul langsung lepaskan pemuda itu dan melompat turun
dari gundukan tanah
yang membukit itu.
Wuuuut...! Jleeeg...!
Matanya memandang dengan angker. Suara ge-
ramnya terdengar bagai ingin merontokkan jantung. Ia melangkah dekati perempuan
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu.
"Terlalu berani bicaramu padaku, Cindawarti!"
Perempuan berwajah cantik dengan dada sekal itu
hanya membatin dengan. rasa heran, "Dari mana dia tahu namaku" Rupanya dia sudah
mengenaliku sebelum aku jumpa dengannya di sini"!
Si Setan Cabul berkelebat menerjang secara
mendadak. Wuuuut...! Cindawarti terkejut mendapat
terjangan itu. Tak punya kesempatan untuk menghin-
dar. Maka ia segera lakukan lompatan kecil dan kedua
tangannya disentakkan ke depan. Kedua tangan itu
beradu dengan kedua telapak tangan si Setan Cabul.
Blaaarrr...! Cindawarti melayang ke belakang bagai dilem-
parkan dengan tenaga cukup besar. Ia jatuh terbanting dengan punggung membentur
akar pohon yang me-nonjol keras seperti batu. Brruuk...!
"Aaakh...!" erangnya kesakitan, namun segera bangkit karena si Setan Cabul
bergegas menyerangnya lagi. Sreeet...! Cindawarti tak mau main-main, merasa tak
perlu menjajal ilmunya si Setan Cabul, karena ilmu si Setan Cabul tak pantas
dijajal, kecuali orang yang sudah bosan hidup dan ingin percepat kematiannya.
Perempuan itu segera kibaskan pedangnya ke
arah perut si Setan Cabul.
Weees...! Traaang...
Cindawarti sempat terperanjat melihat pedang-
nya ditangkis dengan telapak tangan kiri si Setan Cabul. Rupanya tangan itu
dapat menjadi sekeras baja, sehingga pedang setajam itu tak mampu memotong
telapak tangan tersebut. Bahkan suara beradunya seper-ti suara pedang beradu
dengan besi baja.
Namun Cindawarti tak mau lengah sedikit pun.
Ia ingin tunjukkan bahwa ia pun bisa membuat lawan
tak punya kesempatan lakukan serangan lagi. Tangan
kiri Cindawarti menyentak ke depan dengan semua ja-
rinya lurus merapat.
Suuut, claaap...!
Seberkas sinar merah seperti bintang menghan-
tam wajah si Setan Cabul. Hanya saja, sinar merah mirip bintang itu segera
ditangkis oleh si Setan Cabul menggunakan telapak tangan yang satunya lagi.
Zuuurb...! Duaaar...!
Manusia berwajah beringas itu tersentak mun-
dur saat terjadinya ledakan cukup lumayan itu. Na-
mun ia tak sampai jatuh, hanya sedikit limbung, lalu tegak kembali dan siap
lepaskan pukulan jarak jauhnya. Ternyata ia tak secepat dugaan lawannya dalam
melepaskan pukulan jarak jauh. Setan Cabul sempat
hentikan gerakan sebentar dan serukan kata kepada
Cindawarti. "Boleh juga kekuatan tenaga dalammu, Cinda-
warti! Pantas jika kau dijadikan utusan yang dipercaya oleh ratu mu!"
"Dari mana kau tahu namaku dan tugasku"!"
sentak Cindawarti dengan penasaran.
"Hah, kau pikir telingaku sudah tuli dan mata-
ku buta"! Kudengarkan percakapan mu saat di kedai
tadi, dan kuikuti kau dari kejauhan sana. Begitu kau menyebut nama Ratu Cumbu
Laras sebagai ratu mu,
maka aku tertarik untuk melihat seberapa tinggi ilmu dari utusan Cumbu Laras!
Ternyata tak lebih besar da-ri sebutir upil ku! Huah, hah, hah, hah...!"
Cindawarti menggeram jengkel. Rupanya tadi
percakapannya dengan pemilik kedai ada yang menya-
dapnya, dan orang yang menyebalkan itu tak lain adalah si Setan Cabul sendiri.
Karenanya, perempuan
sekal itu segera menggeram dan melesat dalam satu
jurus pedang yang berbahaya.
"Hiaaat...!"
Pedang itu hampir saja kenai leher si Setan Ca-
bul kalau kepala tidak buru-buru mengayun ke ba-
wah. Weess...! Setan Cabul cepat sodokkan tangannya ke pe-
rut lawan. Dees...! "Heeeekh...!"
Jurus 'Totok Mesum' kenai perut Cindawarti.
Perempuan muda itu langsung jatuh terpuruk bagai
tak bertulang lagi. Tapi ia masih sadar, masih bisa mengerang dan memekik
walaupun terdengar cukup
pelan. Gerakannya masih ada, tapi lemah sekali.
"Hah, hah, hah, hah...!" Setan Cabul tertawa liar. "Kini giliran mu melayaniku,
Cindawarti! Hahh, hah, hah, hah...!"
Si Setan Cabul segera menyeret kaki Cindawarti
ke balik kerimbunan semak. Sepasang mata anak mu-
da yang tadi mencoba menyerang Cindawarti itu masih membelalak lebar menatap
adegan tersebut. Bahkan ia bergegas pindah ke tempat yang lebih dekat lagi agar
dapat melihat dengan jelas. Sekalipun jantung berde-tak cepat dan tubuh
gemetaran, si pemuda berbaju
coklat itu merasa rugi kalau tak sampai melihat adegan berikutnya dari jarak
dekat. "Lepaskan...! Lepaskan aku, Binatang..!"
Cindawarti meronta dan bermaksud teriakan
kata, tapi totokan itu membuat suaranya bagaikan
terbenam dalam air. Serak dan lirih sekali.
"Tubuhmu elok sekali! Ooh... sungguh meng-
gairahkan sekali, Sayang ku. Hah, hah, hah, hah...!"
"Jang... jangan...! Oouh, ooh...!" Setan Cabul merobek pakaian Cindawarti dengan
kuku jari tangannya yang
tak panjang namun cukup runcing. Breeet...! Maka
koyaklah pakaian bagian depan dari batas dada sam-
pai ke perut. Dengan suara tawa yang berhamburan, si Setan Cabul semakin ganas.
Pakaian itu dirobek lebih lebar lagi.
Wreeek...! "Aaa...!" jerit Cindawarti, namun tetap tak bisa
keras. Kini tubuh Cindawarti tergolek dengan gera-
kan-gerakan lamban. Kulit tubuhnya tampak mulus di
antara robekan pakaiannya. Tangan si Setan Cabul
merayap di permukaan perut si perempuan, kemudian
naik ke atas dan menjelajahi kedua bukit sekal di da-da. Sesekali tangan itu
meremas, dan jika suara Cindawarti meratap lirih.
"Aaaakh...! Manggara...! Manggara, toloong... tolong aku, Manggara! Ooh, ooh,
ooh, ouuh...!"
Ratapan itu justru seperti perempuan menge-
rang ditikam rasa nikmat. Suara ratapan dan gerakan lamban membuat gairah si
Setan Cabul kian berkobar-kobar. Suara tawa dan geram rasa geregetan semakin
berhamburan bersama dengus napas tak teratur.
"Hhggrm... hhggrmm...! Hangat sekali kau,
Saang...! Ooh, kencang sekali ini. Hiah, hah, hah, hah...!" Si Setan Cabul mulai
menggerayangi dada dengan mulutnya. Sesekali lidahnya menyapu permukaan
dada itu, sesekali memagut kencang. Nyuut...!
"Aooww...!" Cindawarti memekik lirih seperti orang diterkam rasa nikmat yang
luar biasa. Hal itu membuat si Setan Cabul kian mengganas kan kecu-pannya.
"Hmmrr.... Hummmmr...! Sedap sekali...! Ke-
hangatannya sampai menyentuh pucuk-pucuk asmara
ku, Cindawarti. Huummgrr...! Nyum, nyum, nyum,
nyum...! Hmmm, aaaahhh...!"
Cindawarti meronta terus. Pada dasarnya ia tak
sudi melayani gairah si Setan Cabul. Tapi dalam keadaan sekujur tubuhnya lemas,
Cindawarti hanya bisa
bergerak-gerak lambat, justru mirip ayunan kenikma-
tan. Sementara itu, si Setan Cabul merusak seluruh
pakaian Cindawarti dengan kasar. Wreek, breet,
breet...! "Aaaahhh, hah, hah, hah...! Uuhmmm...!"
"Aaaow...!" Cindawarti memekik keras kesakitan karena bawah dada kirinya digigit
oleh si Setan Cabul. Jeritan itu membuat Setan Cabul tertawa kegi-rangan. Kedua
tangannya meremas ke mana saja,
mengamuk dengan buasnya sambil meluncurkan ke-
cupan, pagutan dan sapuan lidah ke sekujur tubuh
Cindawarti. Plaaak...!
"Buka...!" bentaknya sambil menepak paha perempuan itu. Plaaak...!
"Ayo, buka! Ada tamu mau masuki Hah, hah,
hah, hah...! Uuhhmm...!Hmmm, ahh... hhhmmm,
aaah... hhmmm, aaah...!"
Setan Cabul menggila. Kecupan dan pagutan
mulutnya merajalela di 'mahkota' Cindawarti. Perem-
puan itu menggelinjang, sulit dibedakan antara meron-ta dan bergoyang.
"Haaaaahhhh...!"
Si Setan Cabul berteriak keras dalam erangan
ketika, 'sang tamu' benar-benar menerobos benteng
pertahanan Cindawarti. Lalu dengan liar dan kasar sekali si Setan Cabul mengayuh
dayung untuk perahu
cintanya. Ia memaksa Cindawarti ikut mengarungi sa-
mudera kenikmatan. Tubuh lemas itu tergolek tanpa
daya lagi. Dibolak balik tetap saja tampak molek dan mulus. Sementara itu si
Setan Cabul menikmatinya
dengan gila-gilaan. Remasan kukunya di tubuh mulus
itu meninggalkan bekas merah berdarah. Tubuh mulus
itu menjadi rusak karena cakaran.
"Hahhk... hhaakh... hhaaakh...!" si Setan Cabul menyentak-nyentak dengan kuat,
dan akhirnya berteriak liar tanpa tanggung-tanggung.
"Heeeaaahhhh...!"
"Oooooh...!" suara Cindawarti tak seimbang, bahkan nyaris tertutup oleh suara
keras si Setan Cabul manakala puncak keindahannya telah tercapai.
Ia benar-benar lelaki yang liar, kasar, buas, ga-
nas, dan gila! Tak peduli lawan jenisnya tanpa daya la-gi, ia masih meluncurkan
perahu cintanya ke samude-
ra kenikmatan, karena ingin mencapai puncak keinda-
han kedua kalinya. Sedangkan dalam melampiaskan
keindahannya itu cengkeraman kuku dan gigitan-
gigitan yang dilakukan si Setan Cabul bukan lagi beri-rama mesra, melainkan
lebih cenderung kejam dan
buas. Beberapa bagian tubuh yang digigit sempat
koyak dan berdarah. Hal itu membuat si Setan Cabul menjadi lebih beringas lagi.
"Ooh, nikmat sekali perahu cinta mu, Cinda-
warti! Nikmat sekali ayunan asmara mu tadi, hah, hah, hah, hah...!"
Cindawarti hanya bisa merintih dalam tangis-
nya. Ia bukan sebagai perempuan tangkas dan berilmu lagi, melainkan sebagai
perempuan tanpa daya yang


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak mampu melawan kekerasan sedikit pun.
Sedangkan di balik semak pohon bawah pohon
besar itu, mata si pemuda berbaju coklat tak bisa berkedip menyaksikan adegan
gila-gilaan tersebut. Lututnya benar-benar tak bisa dipakai berdiri, sehingga
lutut itu kini menempel di tanah. Nafasnya tak beraturan lagi, sehingga daun-
daun semak tertiup tanpa irama.
"Kasihan juga si Cindawarti! Gagal menda-
patkan Kitab Guntur Bayangan, sekarang malahan
mendapatkan pusaka perusak mahkota. Hmmm...
seandainya aku tadi menuruti perintahnya, menun-
jukkan di mana Guru berada dan membantu mencuri
kitab itu dari Guru, mungkin ia tak akan diperkosa
oleh si Setan Cabul!" ujar pemuda itu dalam hati.
Pemuda yang tadi namanya disebut-sebut da-
lam ratapan Cindawarti sebagai Manggara itu, akhir-
nya mendekap mulutnya sendiri dengan kedua tangan
dan matanya terpejam kuat-kuat ketika si Setan Cabul sudah merasa puas menikmati
kehangatan tubuh Cindawarti. la mencabut pedang Cindawarti sendiri dan
sambil berkata keras-keras.
"Sampaikan salamku kepada Ratu Cumbu La-
ras! Katakan bahwa aku ingin memberinya kenikma-
tan seperti tadi di tempat mana saja dan kapan saja!
Sebagai tanda bahwa aku benar-benar ingin memua-
skan gairahnya sepuas gairah yang telah kau rasakan ini, maka telapak tanganmu
akan ku sambung lagi setelah ratu mu benar-benar puas berada dalam cum-
buan hangat ku! Hiaahh...!"
Craass...! "Aaaaa...!"
Cindawarti menjerit tak bisa keras, dan saat
itulah Manggara pejamkan mata kuat-kuat, sambil
menahan jerit. * ** 2 KEKEJAMAN si Setan Cabul menjadi bahan
pembicaraan dari kedai ke kedai, dari mulut ke mulut, hingga sampai ke telinga
sepasang pemuda kembar;
Raka Pura dan Soka Pura. Mereka adalah anak angkat
si Pawang Badai yang telah mendapatkan gelar Pende-
kar Kembar dari Gunung Merana sejak mendapatkan
pusaka Pedang Tangan Malaikat, (Baca serial Pendekar Kembar dalam Episode: "Gua
Mulut Naga").
Kehadiran dua pemuda kembar yang sama-
sama mengenakan baju buntung warna putih dan ce-
lana warna putih pula yang dililit ikat pinggang kain merah itu menjadi pusat
perhatian para pengunjung
kedai. Wajah tampan mereka yang sama persis dan
postur tubuh yang sama-sama gagah dan kekar mem-
buat para pengunjung merasa bingung membedakan
mana kakak dan yang mana adiknya.
Bahkan beberapa orang dari pengunjung kedai
itu merasa tertarik dengan senjata si Pendekar Kembar yang berupa pedang
bersarung kristal berukir dengan gagang kristal pula. Bahkan jika pedang itu
dicabut, maka mereka akan merasa kagum melihat mata pedang yang terbuat dari
kaca kristal mengagumkan. Lebih mengagumkan lagi jika pedang itu digunakan oleh
si Pendekar Kembar, maka orang akan terbengong-bengong melihat ketajaman pedang
kristal itu. Sepertinya mudah pecah, tapi kenyataannya pedang itu bisa dipakai
untuk memotong besi baja setebal apa pun.
Eyang Mangkuranda alias si Dewa sudah wafat
beberapa tahun yang lalu itu sering hadir dalam mimpi kedua pemuda kembar itu
dan menurunkan jurus-jurus pedang berkekuatan dahsyat. karena kedua pe-
muda kembar itu telah menjadi murid si Dewa Kencan
walau sang tokoh tua itu hanya hadir dalam mimpi
atau penglihatan gaib mereka selama ini.
"Seperti yang pernah kukatakan pada kalian
dulu," ujar si Dewa Kencan yang hadir dalam penglihatan gaib kedua anak kembar
itu, sewaktu mereka be-
lum turun dari gunung untuk yang kedua kalinya.
".... Kedua Pedang Tangan Malaikat itu adalah milik mendiang ayahku dan mendiang
paman ku. Mereka adalah saudara kembar seperti kalian. Dan aku
diutus untuk sampaikan pesan pada kalian mengenai
kedua pedang itu."
"Kami siap menerima pesan dan menjalankan-
nya, Eyang Guru," kata Raka Pura dengan penuh hor-mat. Bayangan sosok tua
berjenggot panjang dan ju-
bah putih bintik-bintik merah itu mengangguk-
anggukkan kepala sambil sunggingkan senyum.
"Kalian hanya boleh pergunakan pedang itu jika dalam keadaan sangat terpaksa,"
katanya. "Pedang itu adalah nyawa kalian. Jadi jaga dan rawat baik-baik
pedang itu seperti kalian menjaga dan merawat nyawa kalian." "Baik, Eyang Guru.
Kami akan penuhi pesan itu!" "Kehebatan pedang ini apa saja, Guru?" tanya Soka
Pura, sang adik.
"Selain dapat memotong baja, juga dapat me-
motong kepala tanpa permisi. Angin tebasannya dapat merobekkan perut Lawan dalam
jarak tiga langkah da-ri tempat kalian berdiri, itu jika kalian gunakan jurus
'Nenek Petir' yang pernah kuajarkan pada kalian tempo hari...," kata Eyang Guru
Dewa Kencan. Lalu, ia menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan kehebatan
atau kesaktian Pedang Tangan Malaikat tersebut.
Kehadiran Pendekar Kembar ke kedai itu bukan
untuk 'nguping' percakapan orang tentang si Setan
Cabul, tapi untuk mencari seorang lelaki yang menjadi ayah kandungnya dan
bernama Panji Pura. Menurut
cerita yang didengar mereka dari si ayah angkat: Pen-
dekar Kembar, ibu kandung mereka memang telah tia-
da, tewas setelah melahirkan. Sedangkan seluruh ke-
luarga Panji Pura dan beberapa tetangga dibantai habis oleh rombongan bertopeng
yang dipimpin oleh Be-
tina Rimba, orang kepercayaan Ratu Cumbu Laras.
Hanya Panji Pura dan seorang penduduk yang lolos
dari pembantai massal itu, karena kala itu Panji Pura justru sedang berada dalam
pelukan mesra si Ratu
Cumbu Laras. Begitu mengetahui nasib keluarganya,
Panji Pura menjadi gila dan lari dari perguruannya entah ke mana, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode perdana: "Dendam Asmara Liar").
Hingga sekarang tak ada orang yang menemu-
kan mayat Panji Pura, sehingga beberapa tokoh di kalangan dunia persilatan
beranggapan bahwa Panji Pura masih hidup. Hanya saja, separah apa kondisi fisik
dan jiwanya yang gila itu, tak seorang pun dapat mem-perkirakan. Oleh sebab itu,
si pemuda tampan kembar wajah itu berkelana mencari sang ayah sejati. Jika telah
tewas, mereka harus menemukan kuburannya, ji-
ka masih hidup mereka harus menemukan kenya-
taannya. Tanpa disengaja suara percakapan para pen-
gunjung itu menarik perhatian si Pendekar Kembar.
Soka Pura bicara kepada kakaknya; Raka Pura dengan
berbisik pelan.
"Sepertinya aku pernah mendengar nama Setan
Cabul." "Kapan kau mendengarnya?"
"Saat kita bertemu dengan Ratih Selayang dan
Nini Sawandupa."
Raka Pura manggut-manggut, seraut wajah
cantik imut-imut milik gadis bernama Ratih Selayang itu melintas dalam benaknya,
(Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode : "Kencan Di Ujung Maut").
"Kita tak perlu terlibat, Soka. Ingat kesepakatan kita semula; cari dulu ayah
kandung kita yang bernama Panji Pura itu, setelah beliau kita temukan, baru kita
menangani masalah lain."
Soka Pura mengatakan sesuatu kepada kakak-
nya, tapi sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba seorang pemuda muncul di kedai
itu dengan napas ngos-
ngosan dan wajah tegang. Pemuda berusia tujuh belas tahun itu mengenakan baju
kuning dan celana merah
dengan pedang di pinggang, Pendekar Kembar merasa
asing dengan pemuda itu, tapi para pengunjung kedai dan pemilik kedai tidak
merasa asing terhadap wajah muda milik Manggara itu.
"Hei, ada apa kau ngos-ngosan seperti dikejar
hantu anjing, Manggara"!" tegur pemilik kedai yang berambut abu-abu itu.
"Setan Cabul, Wak...! Setan Cabul ternyata ca-
bul sekali, Wak Balong!" sambil Manggara dekati Wak Balong, si pemilik kedai
yang berbadan agak gemuk
itu. "Apa maksudmu, Manggara"!" seru pengunjung yang berpakaian hitam.
"Aku melihat sendiri kekejaman si Setan Cabul!
Aku melihatnya saat sedang memperkosa Cindawarti,
lalu memotong telapak tangan perempuan itu!"
Semua wajah tampak terkejut dan menegang
begitu mendengar kata-kata Manggara yang diucapkan
dengan penuh semangat. Kini perhatian Pendekar
Kembar semakin tertuju kepada Manggara, walau ke-
dua pemuda itu masih tetap diam, tak ikut memberi-
kan tanggapan seperti para pengunjung kedai lainnya.
"Mana mungkin dia berani memperkosa Cinda-
warti"! Apakah ia tak tahu kalau Cindawarti adalah
orangnya Ratu Cumbu Laras"!" ujar salah seorang.
"Aku berani sumpah disambar janda sepuluh
biji; apa yang kukatakan bukan main-main. Aku meli-
hat dengan mata kepalaku sendiri!" Manggara ngotot sekali, bahkan ia
menceritakan saat pertarungannya
dengan si Cindawarti.
"Apa urusanmu dengan perempuan itu sehing-
ga kau sampai diserangnya?" tanya Wak Balong.
"Dia memaksaku untuk menemui guruku, dan
memaksaku agar membantunya mencarikan kitab pu-
saka. Karena aku tak mau menunjukkan di mana gu-
ruku berada, dia marah dan menyerangku. Lalu tiba-
tiba si Setan Cabul muncul pada saat keadaan ku terdesak oleh serangan
Cindawarti! Akhirnya si Setan Cabul yang berhadapan dengan Cindawarti...."
"Lalu di mana si Setan Cabul sekarang"!" tanya seorang lelaki berperawakan
gagah, kekar dan berwajah keras. Tampaknya ia sangat serius ajukan perta-
nyaan tadi, sehingga kini ia menjadi pusat perhatian mereka, termasuk si
Pendekar Kembar ikut memperhatikan ke arah lelaki berpakaian serba merah itu.
"Dia pergi ke arah Candi Palagan! Tapi aku tak tahu apakah tujuannya memang
Candi Palagan atau
hanya kebetulan saja arahnya ke sana!"
Lelaki berpakaian serba merah itu segera se-
rahkan sejumlah uang kepada Wak Balong, kemudian
ia segera pergi dengan tampak terburu-buru. Pendekar Kembar hanya memandangi
kepergian si lelaki berpakaian merah itu, sementara beberapa orang lainnya
saling membicarakan lelaki tersebut.
"Mau apa si Kalasura itu?"
"Dia punya dendam kepada si Setan Cabul. Ku
rasa dia akan mengejar si Setan Cabul ke Candi Palagan!"
"Lho", dendam apa" Aku baru mendengar sekarang kalau si Kalasura punya persoalan
dengan si Setan Cabul?"
"Kakaknya si Kalasura adalah salah satu pe-
rempuan yang menjadi korban kekejaman si Setan Ca-
bul!" "Oh, gawat kalau begitu! Kalasura tak tahu ilmunya si Setan Cabul sangat
tinggi. Nyawanya akan
melayang dalam sekejap jika lakukan pertarungan
dengan si Setan Cabul," ujar Wak Balong.
Manggara menyahut, "Aku mau mengikutinya
dan melihat pertarungan itu!"
Setelah menyambar minuman orang lain dan
meneguknya dengan cepat, Manggara segera tinggal-
kan tempat tersebut. Beberapa orang ada yang mengi-
kuti langkah Manggara, mereka juga ingin melihat pertarungan Kalasura dengan
Setan Cabul. Kepergian mereka membuat hati Soka Pura pe-
nasaran. "Bagaimana kalau kita ikut mereka untuk me-
lihat pertarungan tersebut, Raka?"
"Untuk apa kita melihat pertarungan itu" Toh
urusan kita belum selesai, Soka!"
"Aku hanya ingin melihat jurus-jurusnya si Se-
tan Cabul yang terkenal dahsyat itu. Kalau kau tak
mau ikut, tinggallah di sini dulu, nanti aku akan kembali ke sini!"
"Kalau kau pergi aku juga harus ikut pergi! Untuk apa menunggumu di sini bengong
saja" Apa kau
kira aku kekasihmu yang setia menanti kedatangan
mu" Hmm...!" Raka Pura membuat Soka tertawa kecil, lalu mereka pun segera
bergegas ikuti langkah si Kalasura, setelah terlebih dulu, membayar biaya makan-
minum mereka di kedai tersebut.
Pendekar Kembar mengikuti langkah mereka
dari kejauhan. Raka melarang adiknya bergabung den-
gan orang-orang yang mengikuti Kalasura, karena ia
tak mau sang adik dan dirinya terlibat apa pun dengan mereka.
"Kita mengawasi dari kejauhan saja," ujar Raka kepada sang adik yang berwajah
cemberut karena ke-cewa atas larangan kakaknya itu.
Tanpa diketahui oleh kedua pemuda tampan
kembar rupa itu, ternyata ada pihak lain yang diam-
diam memperhatikan langkah mereka saat mereka
berdua melintasi jalanan bawah bukit cadas.
Bukit itu tak seberapa tinggi dan juga tak terla-
lu besar. Selain mudah didaki juga mudah dikelilingi.
Tanaman yang ada di atas bukit cadas itu hanya satu batang pohon jenis jati
berdahan lebar. Selebihnya
hanya rumput dan bebatuan cadas. Beberapa beba-
tuan ada yang ukurannya melebihi tinggi manusia de-
wasa. Sepasang mata yang mengikuti si Pendekar
Kembar itu tiba-tiba melompat dari atas bukit cadas dan bersalto dua kali di
udara. Wuk, wuuk..! Jleg...! Orang itu daratkan ka-
kinya di depan langkah si Pendekar Kembar.
Kehadirannya tidak terlalu mengejutkan kedua
pemuda tampan itu. Mereka berdua. hanya sama-
sama hentikan langkah dan lemparkan pandangan
dengan tajam, penuh waspada. Raka terkesiap pan-
dangi orang tersebut yang ternyata adalah seorang lelaki agak gemuk dan sedikit
pendek. Lelaki itu berusia sekitar lima puluh tahun berpakaian abu-abu. Dengan
rambut pendek, berikat kepala merah dan wajah
berkesan bundar, ia tidak kelihatan sangar tetapi justru kelihatan lucu.
Maaf, Paman..., siapa Paman sebenarnya, se-
hingga sengaja menghentikan langkah kami berdua
ini?" tanya Raka Pura dengan sopan walau tetap mempunyai kecurigaan yang
disembunyikan. "Siapa diriku, itu tak penting," kata orang tersebut. "Yang paling penting
adalah siapa kalian."
Raka dan Soka saling pandang dengan dahi
berkerut. "Anak muda," ujar orang itu lagi,"... apakah benar kau yang berjuluk Pendekar


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembar?" "Memang benar!" jawab Raka.
Soka ikut angkat bicara, "Dari mana Paman ta-
hu kalau kami adalah Pendekar Kembar?"
"Heh, heh. heh...! Apa kau pikir aku buta, tak bisa melihat wajah kalian yang
serupa itu"! Hmmm..., serupa tapi tak sama!"
"Di mana letak ketidaksamaan kami, Paman?"
tanya Soka lagi.
"Letak pedang kalian!" jawab orang itu kepada Soka. "Pedangmu di pinggang kanan,
sedangkan pedang saudaramu ada di pinggang kiri. Dengan begitu
aku bisa membedakan nama kalian masing-masing."
"Kau cukup jeli, Paman," kata Raka.
Orang itu pun segera berkata dengan hembu-
san napas lega.
"Kalau begitu, tepat sekali! Raka dan Soka, itulah nama yang harus kutemukan
secepatnya dan ha-
rus segera kubawa ke Puri Cawan Mesum."
Raka dan Soka sama-sama berkerut dahi per-
tanda merasa asing dengan nama Puri Cawan Mesum
itu. Akhirnya, Raka Pura ajukan tanya kepada orang
berpakaian abu-abu itu.
"Kami tidak punya hubungan apa pun dengan
Puri Cawan Mesum. Mengapa kau ingin membawa
kami ke sana, Paman?"
"Ketua Puri Cawan Mesum ingin bicara dengan
kalian. Bukan ingin bermusuhan. Kuharap kalian jan-
gan punya kecurigaan apa-apa terhadap maksud baik-
ku ini!" "Hal apa yang ingin dibicarakan dengan kami"!
Jelaskan lebih dulu, Paman!" sahut Soka Pura.
"Kalian bisa tanyakan sendiri kepada ketua
nanti!" "Bagaimana kalau kami menolak?" pancing So-ka Pura.
"Aku terpaksa harus menyeret kalian berdua
dengan paksa!"
"Tentu saja kami akan melawanmu, Paman!"
tegas Soka sebelum Raka Pura bicara.
"Kalau begitu aku ingin menjajal kekuatanmu,
Paman! Jika kau unggul, kau boleh membawa kami
menghadapi ketuamu, tapi jika aku yang unggul kau
boleh pergi dan memanggil orang-orang Puri Cawan
Mesum itu!" kata Soka Pura dengan nada mulai bere-mosi. Raka Pura sangat
mencemaskan adiknya, ka-
rena ia tak ingin timbulnya perselisihan dengan pihak lain. Namun agaknya orang
berpakaian abu-abu itu
tak merasa gentar ditantang secara halus oleh Soka
Pura. "Kalau memang begitu kemauanmu, aku akan melayanimu sebatas kemampuanku,
Soka! Bersiaplah
untuk menerima jurus 'Monyet Gembira" ini.
Hiaaah...!"
Orang itu tiba-tiba menyodokkan tangan ka-
nannya dengan dua jari mengeras tegak. Kaki kirinya ditarik ke belakang, kaki
kanannya berjingkat, tangan kirinya bagai menari ke belakang. Gerakannya seperti
orang main balet.
Tetapi Soka Pura segera merasakan ada hawa
padat yang menerjang tubuhnya seketika itu juga.
Wuuuut.,..! Hawa padat itu segera ditangkis dengan
hentakkan telapak tangan kiri ke depan. Suuuut...
Dan tiba-tiba hawa padat itu terasa menghantam telapak tangan kirinya bagai
seekor paruh burung yang
mematuk. Dees...!
"Ooooh..."!" Soka tersentak kaget, karena ia merasakan ada gerakan yang
menggelincir dengan cepat dari telapak tangannya ke seluruh lengan. Sepertinya
telapak tangan itu dimasuki bola kecil yang segera menggelinding sampai pundak,
dari pundak turun
ke bawah mendekati dada kirinya, di situ bola kecil yang berupa hawa padat itu
pecah dalam satu sentakan yang mengejutkan. Duusss...!
"Akh, heh, heh...." Soka Pura tersenyum sambil tertawa pelan. Matanya memandang
Raka dan lawannya secara bergantian. Tubuhnya diam dalam sikap
biasa tanpa ketegangan. Tapi lama-lama tawanya ber-
kepanjangan. "Hah, ha, ha, ha, ha...!"
Raka Pura merasa heran melihat adiknya ter-
tawa. ia jadi bingung sendiri dan bertanya dalam hati,
"Apa yang ditertawakan?"
Orang berpakaian abu-abu itu hanya terkekeh
pelan memperhatikan Soka. Sementara itu, Soka ju-
stru semakin terpingkal-pingkal.
"Huah, hah, ha, ha, ha...."
"Soka!" gertak Raka Pura. "Hentikan tawamu!
Apa yang kau tertawakan, Soka"!"
"Huah, hah, ha, ha", ha, ha...! Hieeh, heh, heh, he, he, he...."
Raka Pura tambah kebingungan melihat adik-
nya tertawa sampai pegangi perut dan terbungkuk-
bungkuk. Orang berpakaian abu-abu ikut-ikutan ter-
tawa karena geli melihat Soka tertawa sedemikian ru-pa. Raka Pura segera dekati
adiknya dan menepuk ke-
ras punggung sang adik. Plok...!
"Hei, sadar! Tak ada yang perlu ditertawakan!"
"Haah, hah, hah, hah, hah...! Heh, heh, heh...!
hiks ihik, hik, hik, hik...!"
"Gendeng ini anak!" gerutu Raka Pura. "Apa yang kau tertawakan sampai segeli
itu, Soka"! Henti-kanlah tawamu!"
Orang berikat kepala merah itu berkata, "Tak
mungkin dia bisa berhenti tertawa, karena saraf ta-
wanya sudah kutotok dengan jurus 'Monyet Gembira'
tadi. Dia akan tertawa dan tertawa terus! Heh, heh, heh...!" Mata sang kakak
terkesiap mendengar ucapan orang itu. Hatinya pun membatin, "Jurus yang aneh!
Adikku bisa mati kaku jika tertawa terus-terusan begini! Harus segera kuhentikan
dengan totokan jurus
'Sambung Nyawa' ku yang biasa untuk pengobatan
itu!" Wut, wut, wut...! Raka Pura segera sentakkan tangannya dengan jari
tengahnya mengeras tegak. Jari itu memancarkan cahaya kemilau ungu, kemudian di-
totokkan ke bawah ketiak Soka Pura. Dees...!
"Heh, heh, heh, hiiik, hik, hik...! Huuuhh, huh, huh, huh...!"
Dalam sekejap bagian di sekitar ketiak Soka
memancarkan cahaya ungu, kemudian cahaya itu se-
gera redup dan hilang sama sekali. Tawa itu mulai pelan, makin lama semakin
pelan, akhirnya Soka jatuh
terduduk di tanah sambil terengah-engah habiskan si-sa tawanya yang tinggal
mengikik bercampur napas
kelelahannya. Tubuh Soka menjadi lemas, seakan ia
telah menguras tenaganya untuk tertawa sebanyak-
banyaknya. Orang berjubah abu-abu sudah hentikan ta-
wanya sejak tadi dan merasa heran melihat totokan ja-ri Raka Pura. Bahkan ia tak
segan-segan berkata dengan suara jelas bagai ditujukan pada dirinya sendiri.
"Luar biasa! Ternyata kau bisa bebaskan pen-
garuh jurus 'Monyet Gembira' ku, Raka"! Sungguh sa-
tu tindakan yang jarang sekali terjadi, bahkan sein-gatku baru sekarang ada
orang bisa melepaskan pen-
garuh totokan jurus 'Monyet Gembira'. Ini benar-benar membuatku kagum dan heran
sekali." Soka Pura sama sekali hentikan tawanya. Tapi
tubuhnya yang lemas itu akhirnya bersandar di pohon sambil duduk melonjorkan
kedua kaki. Ia masih terengah-engah bagai orang habis berlari jauh. Sementara
itu, Raka Pura berdiri di samping adiknya sambil bicara kepada orang yang belum
mau sebutkan namanya
itu. "Aku bisa membalas mu lebih parah dari jurus
'Monyet Gembira' mu, Paman! Jika kau tak meminta
maaf kepada adikku, aku akan lakukan pembalasan
itu!" "Oh, jangan cepat marah dulu, Raka! Tujuanku sama sekali tidak ingin
bermusuhan dengan kalian.
Aku hanya melayani tantangan adikmu tadi. Siapa
yang unggul dalam hal ini menurutmu, Raka?"
"Hmmm...," Raka diam sebentar, akhirnya
mengakui kenyataan yang ada. "Memang kau yang unggul. Adikku terhitung kalah,
karena kau gunakan jurus aneh!"
"Aneh atau tidak, yang jelas aku unggul dan se-suai perjanjian kalian harus ikut
aku ke Puri Cawan
Mesum. Kurasa sebagai sepasang pendekar kalian ti-
dak akan ingkar janji!"
Raka Pura tak bisa membantah lagi, demikian
pula Soka yang mengakui kalah secara aneh melawan
orang itu. Maka mereka pun akhirnya mengikuti orang tersebut, dibawa ke Puri
Cawan Mesum. * ** 3 UTUSAN Puri Cawan Mesum itu akhirnya men-
gaku berjuluk si Biang Tawa. Rupanya orang itu men-
genal nama Pawang Badai, ayah angkat Pendekar
Kembar itu. Sikapnya yang tidak bermusuhan dan ba-
nyak memuji kehebatan ilmunya si Pawang Badai
membuat Raka dan Soka pun tak merasa sedang ber-
sama-sama seorang musuh.
"Sejak aku menjadi murid perguruan yang du-
lu, aku sudah mengenal nama si Pawang Badai dan ce-
rita kehebatan ilmunya sering kudengar. Bahkan gu-
ruku sendiri sering bercerita tentang kehebatan ilmu aliran Dewa Kencan, yaitu
gurunya si Pawang Badai
yang sekarang sudah tiada itu."
"Oh, jadi Paman mengenal nama Eyang Guru
kami; Dewa Kencan itu?"
"Siapa orang di rimba persilatan yang tak men-
genal nama Dewa Kencan, sebab Dewa Kencan adalah
tokoh yang disegani oleh berbagai kalangan, terutama bagi para tokoh aliran
putih," ujar Biang Tawa membuat hati Pendekar Kembar merasa senang karena
eyang guru mereka diakui kehebatan ilmunya.
Dengan maksud coba-coba, Soka ajukan tanya
kepada si Biang Tawa tentang ayahnya.
"Paman Biang Tawa, apakah kau mengenal ba-
nyak nama-nama para tokoh di rimba persilatan ini"!"
"O, tentu. Aku orang yang gemar bergaul, se-
hingga hampir semua tokoh di rimba persilatan ku
kenal, walaupun belum tentu mereka mengenalku."
"Apakah kau juga mengenal nama Panji Pura,
Paman?" Biang Tawa hentikan langkah. Matanya me-
mandang tajam kepada Soka, karena Soka yang aju-
kan tanya. Pendekar Kembar sama-sama merasa heran
melihat cara memandang si Biang Tawa yang tak ber-
kedip dan tanpa senyum itu.
"Dari mana kau tahu nama Panji Pura" Apakah
si Pawang Badai sering bercerita pada kalian tentang Panji Pura?" tanya Biang
Tawa. "Kami adalah anak kembar Panji Pura, Paman."
"Hahhh..."!" Biang Tawa terkejut. Matanya makin dilebarkan dan pandangannya kian
dipertajam. Raka Pura segera menimpali, "Kami sedang
mencari di mana ayah kami berada."
"Kka... kalian..." Kaa... kalian anaknya Panji Pura"!" "Mengapa Paman menjadi
gugup begitu?"
Untuk sesaat Biang Tawa tidak segera menja-
wab, tapi memperhatikan Pendekar Kembar dengan le-
bih tegas lagi. Beberapa saat kemudian, barulah terdengar suaranya yang sedikit
bergetar dan ragu-ragu.
"Aku... aku kenal betul dengan Panji Pura."
"Sungguhkah kau mengenal ayah kami, Pa-
man?" sergah Raka dengan tampak mulai tegang.
Biang Tawa anggukkan kepala. "Panji Pura...
Panji Pura adalah saudara seperguruanku di masa
itu." Raka menatap Soka, sang adik pun memandang kakaknya dengan tegang.
Biang Tawa berkata lagi, "Aku tahu persis ten-
tang Panji Pura, karena kami sama-sama murid dari
Eyang Resi Pangkayon dari Perguruan Elang Bumi."
"Oh, benar! Aku pernah mendengar nama per-
guruan itu dari ayah angkatku, Paman!" sergah Soka Pura berbinar-binar.
Kemudian si Biang Tawa menceritakan tentang
peristiwa pembantaian massal yang keji itu, sampai
akhirnya membuat Panji Pura menjadi gila dan dipa-
sung oleh sang guru. Tapi suatu hari si Panji Pura dapat lolos dari pasungan dan
melarikan diri entah ke mana. "Aku dan seorang temanku ditugaskan oleh Guru
untuk mencari Panji Pura, tapi tak berhasil," tu-tur Biang Tawa sambil mengenang
masa dua puluh tahun yang lalu. Wajahnya tampak murung, bagai me-
nyimpan keharuan yang membuat hatinya duka.
"Waktu itu, aku mencari Panji Pura bersama
Wiraga yang sekarang telah tewas dalam pertempuran
merebut Puri Cawan Mesum itu. Kurasa, si Pawang
Badai tahu tentang Wiraga dan diriku. Tapi Pawang
Badai tak tahu kalau aku telah mengubah namaku
menjadi Biang Tawa. Dulu aku dikenal dengan nama
Pongge. Tapi sejak ku kuasai jurus 'Monyet Gembira'
dan paling sering kugunakan melumpuhkan lawan,
maka beberapa sahabatku mengusulkan agar namaku
diganti, dan ku pilih nama Biang Tawa yang menurut
mereka lebih cocok dari pada nama Pongge."
Raka dan Soka manggut-manggut, lalu me-
langkah lagi dengan rasa bersahabat lebih akrab dari sebelumnya. Kedua pemuda
yang kini berusia dua pu-
luh tahun itu sama-sama tidak menduga bahwa mere-
ka akan bertemu dengan Pongge, sahabat seperguruan
ayah kandung mereka yang dulu pernah susah payah
mencari Panji Pura bersama Wiraga, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode
perdana : "Dendam Asmara Liar").
Biang Tawa berkata lagi,
"Pantas sejak tadi aku merasa janggal dengan
wajah kalian. Sepertinya aku pernah melihat wajah kalian, tapi di mana" Sekarang
kuingat betul, wajah kalian memang mirip dengan wajah Panji Pura yang
sampai sekarang tak ku ketahui di mana rimbanya
dan bagaimana nasibnya."
Raka Pura ingin ucapkan kata, tapi baru saja
mulutnya terbuka sedikit, tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar mereka dari
arah belakang. Wuuut...! Bruuus...!
Biang Tawa terlempar dan jatuh tersungkur
dengan sangat menyedihkan. Sementara itu, sepasang
Pendekar Kembar saling melompat ke kanan dan ke ki-
ri ketika bayangan itu menerjang Biang Tawa. Namun
mereka berdua segera pasang kuda-kuda dan bersiap


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima serangan berikutnya dari lawan.
"Uuuukh...!" Biang Tawa mengerang sambil berusaha bangkit dari jatuhnya. Pada
saat itu, mata Pendekar Kembar tertuju kepada sesosok tubuh ber-
kulit kuning langsat dan mengenakan jubah tanpa
lengan warna biru muda. Ternyata ia seorang gadis
yang berusia sekitar dua puluh dua tahun, namun
mempunyai kecantikan yang matang dan pandangan
mata yang sedikit jalang.
Gadis berambut panjang diikat ke belakang itu
menatap Soka dan Raka secara bergantian. Gerakan
matanya yang cepat, pukulan Biang Tawa yang berte-
naga dalam cukup besar itu meleset dari perut gadis berjubah biru muda itu.
Wuuut, weees...!
Gadis yang juga mengenakan penutup dada
merah dan kain penutup pinggulnya juga merah tipis
itu segera lakukan lompatan melambung ke atas den-
gan cepat. Weess...! Akibatnya pukulan Biang Tawa mele-
set dari sasaran dan ia sendiri nyaris terkena tendangan kaki gadis itu saat
sedang bergerak turun.
Raka Pura segera lepaskan pukulan tanpa sinar
dari jarak lima langkah ke arah gadis berdada sekal itu. Wuuuut...! Gelombang
pukulan tanpa sinar itulah yang membuat kaki gadis itu tertahan hingga tak jadi
kenai punggung Biang Tawa. Gelombang pukulan tersebut cukup besar.
Wees...! Buuukh...! Pukulan itu membuat gadis
itu akhirnya terpelanting mau jatuh saat daratkan kaki ke bumi.
Ia segera tegang memandang Raka, karena ia
tahu Raka yang melepaskan pukulan tersebut. Ia tam-
pak tak senang usahanya mencelakai Biang Tawa ter-
ganggu oleh ikut campurnya Raka. Karenanya ia sege-
ra berseru dengan suara lantangnya.
"Rupanya kalian adalah si kembar dari Puri
Cawan Mesum"!"
"Salah! Kau keliru, Nona!" sergah Soka Sambil melangkah lebih dekat lagi.
"Kami bukan orang Puri Cawan Mesum! Kakak
ku hanya menyelamatkan Paman Biang Tawa dari ten-
dangan maut mu yang tak beralasan itu!"
"Manusia bodoh!" geram gadis berhidung bangir itu. "Kalian tak tahu persoalan
antara pihakku dengan pihaknya si Biang Tawa ini. Mengapa kalian mau ikut
campur"! Kalian akan menyesal seumur hidup jika
membela pihak Puri Cawan Mesum!"
"Baik, kami tak akan ikut campur," sergah Ra-ka. "Tapi jelaskan dulu alasanmu
menyerang Paman Biang Tawa!"
"Mereka telah mencuri kitab pusaka Guntur
Bayangan' milik kakekku!"
"Kitab Guntur Bayangan"!" gumam Raka tanpa sengaja bersamaan dengan gumam
keheranan Soka Pura. Mereka pun akhirnya beradu pandang dengan
dahi berkerut. "Kalau tak salah kitab itulah yang membuat te-
wasnya Ki Mandura di tangan Tandu Sangrai," bisik Raka kepada Soka Pura.
"Sebenarnya siapa orang yang berhak memiliki
kitab itu?"
"Aku tak tahu," bisik Raka. "Waktu itu Ki Mandura hanya mengatakan bahwa kitab
tersebut adalah
milik kakaknya Ki Mandura, yaitu si Rayap Sewu. Tapi sejak si Rayap Sewu tewas,
kitab itu hilang dan diduga telah dicuri oleh salah satu murid si Rayap Sewu.
Entah siapa yang berhak sebenarnya"!" (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode
: "Gua Mulut Naga").
Suara gadis berbibir menggiurkan itu terdengar
lagi dengan lantang.
"Jika kalian memihak Puri Cawan Mesum, be-
rarti kalian ikut mempertahankan kitab tersebut! Maka aku pun terpaksa tega
membantai kalian, karena kakekku telah mengutus ku untuk membantai semua
orang Puri Cawan Mesum jika kitab itu tak diserahkan kembali kepadaku!"
Baru saja si gadis selesai bicara, tiba-tiba Biang
Tawa yang tadi sedang menahan rasa sakit di tulang
punggungnya akibat terjangan pertama tadi, kini mulai
keraskan kedua jari tangannya dan jari itu pun disentakkan ke depan dengan kaki
kiri terangkat ke bela-
kang dan tangan kiri merentang bagai orang menari
balet. Suuut...! Deees...!
Hawa padat berupa tenaga dalam tanpa sinar
telah melesat dari jari tangan Biang Tawa. Jurus
'Monyet Gembira' dilepaskan kembali, dan jurus itu tepat kenai pinggang kiri
gadis berjubah biru itu. Wajah si gadis pun berubah dari berang menjadi kalem,
dari kalem menjadi tersenyum, dari tersenyum menjadi
mengikik geli, dan akhirnya terpingkal-pingkal sendiri karena saraf tawanya
telah ditotok oleh jurus 'Monyet Gembira' itu. Saraf tawa yang terbuka lebar
akibat totokan membuat si gadis tak mampu menahan hasrat
tertawanya. "Hik, hik, hik...! Hiiii, hi, hi, hi, hi...! Lucu, lucu, aaah, hah, hah, hah,
hah...!" "Ya ampun. Amit-amit, cantik-cantik terta-
wanya kok mirip kuntilanak liar"!" ujar Soka yang ikut tersenyum geli bersama
kakak kembarnya. "Kau pun tadi begitu," ujar sang kakak.
"Jurus aneh itu memang sukar dikendalikan,"
ucap Soka sambil makin tersenyum geli melihat gadis itu terpingkal-pingkal
sampai tubuhnya membungkuk-bungkuk.
"Haaaah, hak, hak, hak, hak...! Ihiiiik, ihik, ihiik, ihik...."
Biang Tawa bersuara dalam senyumannya,
"Mampus, mampuslah situ! Nikmati saja kematian yang penuh tawa itu, Gadis
konyol!" "Paman, siapa gadis itu sebenarnya?" tanya Ra-ka Pura.
"Dia yang berjuluk Dewi Binal, cucunya Tabib
Kubur dari Bukit Gamping. Kudengar Tabib Kubur
pernah mengobati orang gila dengan cara dikubur hi-
dup-hidup dan akhirnya orang gila itu bangkit dari
liang kubur dalam keadaan waras, tapi larikan diri
sambil mencuri kitab pusaka sang Tabib."
"Apakah... apakah orang gila itu adalah ayah
kami; Panji Pura?"
"Aku tak jelas tentang siapa si orang gila itu.
Yang ku tahu, sejak saat itu Tabib Kubur selalu men-curigai setiap orang sebagai
pencuri kitab pusakanya."
"Apakah kitab pusaka itu adalah Kitab Guntur
Bayangan?"
"Itu pun aku tak jelas, Soka. Dan aku tak tahu kalau Dewi Binal diperintahkan
menyerang pihakku,
sementara aku sendiri tak pernah dengar Kitab Guntur Bayangan ada di Puri Cawan
Mesum! Sebaiknya kalian
segera ikut aku, menghadap ketua Puri Cawan Mesum
supaya...."
Belum selesai si Biang Tawa lanjutkan kata-
katanya, mendadak tubuh Dewi Binal yang terhuyung-
huyung sambil hamburkan tawa tak bisa di hentikan
itu lenyap dalam satu kelebatan cepat. Seseorang telah menyambarnya dan
membawanya lari. Hal itu membuat Raka dan Soka sangat terkejut. Lebih terkejut
lagi setelah mereka mendengar Biang Tawa berkata dengan
nada menyentak kaget.
"Hei..."! itu dia si Setan Cabul!"
"Setan Cabul"!" gumam Soka lirih sekali. Lalu ia segera berkata kepada kakaknya.
"Raka, tetaplah di sini, aku akan merebut Dewi Binal dari tangan si Setan Cabul!
Kurasa Dewi Binal bisa jelaskan siapa orang gila yang pernah disembuhkan oleh
kakeknya itu! Ayah kita atau bukan"!"
"Tak perlu, Soka. Sebab...."
Wuuuuz...! Tanpa pedulikan ucapan sang ka-
kak belum selesai, Soka Pura segera gunakan jurus
'Jalur Badai' yang mempunyai kecepatan berlari melebihi hembusan badai paling
cepat. Raka Pura mengge-
ragap sebentar, lalu bergegas untuk menyusul adik-
nya. Hanya saja, secara tiba-tiba dan sangat di luar dugaan, punggungnya ditotok
oleh tangan Biang Tawa
yang membuat seluruh uratnya menjadi lemas, tulang-
tulangnya terasa remuk semua.
Deeeb..! Tubuh yang terkulai itu segera diteri-
ma oleh Biang Tawa, kemudian dipanggul ke pundak
dan dibawanya pergi ke Puri Cawan Mesum.
"Salah satu dari kalian harus menghadap sang
Ketua, biar aku tak kena hukuman!" ujar Biang Tawa bagaikan bicara pada diri
sendiri sambil membawa lari tubuh kekar yang dipanggulnya memakai kekuatan
tenaga dalam hingga tampak seperti menyampirkan sa-
rung basah di pundak.
Soka Pura menggerutu sendiri dalam pengeja-
rannya. "Sialan! Jika benar orang yang menyambar Dewi Binal itu adalah si Setan
Cabul, berarti dia mempunyai kemampuan gerak sama cepatnya dengan ge-
rakan jurus 'Jalur Badai' ku"! Sampai sekarang aku
masih belum bisa menyusulnya. Tapi aku tak akan
kehilangan arah karena suara tawa si Dewi Binal ma-
sih terdengar terus. Uh, edan betul gerakan si Setan Cabul itu! Kalasura dan
orang-orang yang mengikutinya menyangka si Setan Cabul bergerak ke arah
Candi Palagan. Tapi ternyata Setan Cabul ada di daerah ini! Apakah jalan ini
adalah jalan menuju Candi Palagan juga"!"
Suara tawa yang terkikik-kikik tanpa bisa di-
kendalikan lagi itu telah menjadi sasaran arah pelarian Soka Pura. Dalam
tekadnya, Soka Pura harus bisa selamatkan gadis itu, karena ia berharap gadis
itu dapat berikan keterangan tentang orang gila yang disembuhkan kakeknya dengan cara
dikubur itu. Karenanya,
meski sampai beberapa saat orang yang menyambar
Dewi Binal itu belum bisa terkejar, namun Soka tak
mau berhenti sampai di situ saja. ia memburunya te-
rus sambil sesekali pertajam pendengarannya untuk
mendengarkan arah suara tawa terpingkal-pingkal itu.
Pengejaran dilakukan hingga di kaki sebuah
bukit. Di sana suara itu terdengar tak bergerak ke ma-na-mana lagi. Soka Pura
merasa lega, karena dia yakin bahwa si penyambar Dewi Binal telah hentikan pela-
riannya. Dalam waktu sekejap, Soka pun akhirnya tiba di kaki bukit itu dan
temukan si Dewi Binal yang sedang dibaringkan dl tanah berumput oleh seorang le-
laki berpakaian hijau kumal, wajah beringas, kumis
lebat, mata liar. Soka Pura langsung saja membentak tokoh berambut panjang acak-
acakan itu. "Hentikan tindakanmu, Setan Cabul!"
Wajah beringas segera berpaling pandangi Soka
Pura dengan seringai menyeramkan.
"Grrrhmm...!" Setan Cabul menggeram. Posi-sinya yang tadi merangkak di atas
tubuh Dewi Binal, kini telah bangkit dengan kedua tangan mengeraskan jarinya
bagai ingin menyerang dengan Jurus cakar
mautnya. Sementara itu, Soka Pura tampak tenang
dan penuh waspada. Tak ada rasa takut sedikit pun
pada pemuda itu. Sedangkan Dewi Binal masih ter-
pingkal-pingkal di rerumputan dengan berbagai gaya dan tingkah yang sebenarnya
memang menggelikan
itu. "Setan Cabul! Tinggalkan gadis itu atau kukirim kau ke liang kubur"!" ujar Soka
dengan lantang dan tegas. Setan Cabul semakin menggeram ganas dan
menampakkan wajah liarnya.
* ** 4 SETAN CABUL tidak segera bertindak. Matanya
yang liar hanya memandang dengan lebih tajam lagi.
Suara geramnya terdengar sesekali sambil ia melang-
kah menjauhi Dewi Binal. Padahal Soka Pura sudah
slap hadapi serangan Setan Cabul. Kedua tangannya
telah terangkat sebatas dada. Pukulan tenaga dalam
disalurkan ke telapak tangan kirinya, sewaktu-waktu dapat dilepaskan untuk
menghantam dada atau kepala
si Setan Cabul.
Tetapi orang angker itu akhirnya Justru henti-
kan langkah dan, hentikan suara geramannya. Ma-
tanya memandang tak berkedip dengan dahi berkerut.
Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk
menyerang pemuda tampan itu. Soka Pura sendiri me-
rasa aneh melihat sikap diamnya si Setan Cabul, na-
mun ia sengaja tak bicara apa pun sebelum Setan Ca-
bul ucapkan kata.
"Siapa kau, hmmmr..."!" "Pertanyaan yang ba-gus! Untung kau bertanya siapa
diriku, jika tidak kau akan terkejut, melihat tubuhmu pecah di tanganku,
Setan Cabul!"
"Sebutkan siapa dirimu, Jahanam!" bentak Setan Cabul dengan suara keras, ia
tampak tak sabar menahan murka dalam hatinya.
Soka menjawab dengan tenang dan menurun-
kan kedua tangannya yang sudah siap lepaskan puku-
lan itu. Bahkan ia sempat tersenyum tipis dengan ma-
ta melirik Dewi Binal sekejap.
"Perlu kau ingat dalam otakmu, aku adalah So-
ka Pura, murid mendiang Eyang Guru Dewi Kencan!
Akulah yang bergelar Pendekar Kembar dari Gunung
Merana!" Setan Cabul tampak melebarkan mata walau
sedikit. Ia kelihatan gusar sambil melangkah mundur pelan-pelan. Soka melihat
rona ketakutan muncul di
wajah beringas itu.
"Apakah... apakah kau memang anak kem-
bar"!" "Benar, aku dan kakakku; Raka Pura adalah anak kembar! Sebab itulah kami
berjuluk Pendekar
Kembar. Oleh karena itu, kusarankan padamu agar
jangan ganggu gadis itu jika kau ingin panjang umur, banyak rezeki, enteng jodoh
dan disayang mertua!"
Setan Cabul melangkah mundur lagi sambil se-
sekali matanya melirik ke arah pedang kristal di pinggang kanan Soka Pura.
Sementara itu, Dewi Binal ma-
sih hamburkan tawa hingga mengecil dan nyaris tak
terdengar lagi. Tapi tubuhnya yang meringkuk masih
terguncang-guncang sebagai tanda tawanya masih
ada. "Bocah ingusan, lain kali kita bertemu dalam satu pertarungan beradu
nyawa!" Tiba-tiba saja si Setan Cabul berkata demikian, dan setelah itu ia
melesat pergi bagai menghilang ditelan bumi. Laaap...!
Tahu-tahu Soka Pura melihat si Setan Cabul
sudah berada di tempat yang amat jauh dan masih te-
tap berlari menjauhi kaki bukit tersebut.
"Aneh!" gumam hati Soka Pura. "Mengapa ia tampak takut sekali berhadapan
denganku"! Rupanya
nama Pendekar Kembar punya kekuatan gaib sendiri
yang membuat lawan menjadi ciut nyali. Oh, hebat se-
kali nama Pendekar Kembar itu!"
Memang tak habis pikir jika si Setan Cabul
sampai meninggalkan lawannya dalam keadaan keta-


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kutan begitu. Padahal lawannya hanya bocah kemarin
sore ukurannya. Padahal pula, jika ia sudah punya
niat memperkosa seorang perempuan, maka siapa pun
yang menghalangi hasratnya itu pasti akan disingkirkan, baik disingkirkan
orangnya atau disingkirkan
nyawanya. Tapi kali ini ternyata Setan Cabul hanya bi-sa memendam kemarahannya
walau Si Pendekar
Kembar termasuk penghalang hasrat memperkosanya.
Akhirnya Soka tak mau pikirkan lagi kejangga-
lan itu. Ia cenderung memperhatikan nasib si gadis
cantik yang terkulai lemas dengan wajah merah sambil masih menghamburkan tawa
tanpa suara. Napas gadis
itu sudah tersengal-sengal, sehingga tawanya sendiri pun terputus-putus. Tawa
itu sukar dihentikan jika
Soka Pura tidak segera menotoknya dengan jurus
Sambung Nyawa', seperti yang dilakukan Raka kepa-
danya tadi. Jurus 'Sambung Nyawa' bukan saja mele-
paskan pengaruh totokan jurus 'Monyet Gembira' saja, namun juga memulihkan
kekuatan dan tenaga yang
telah hilang akibat terkuras oleh tawa tak wajar itu.
Dewi Binal akhirnya sadar siapa orang yang menolong menghentikan tawanya tadi.
"Kau...," gumamnya lirih sambil mata indahnya yang berkesan sedikit nakal itu
memandang tak berkedip kepada Soka Pura. Yang dipandang sengaja pa-
merkan senyum dengan sikap berdiri santai, lengan
kanannya bersandar di pohon, kedua jempol tangan-
nya diselipkan di ikat pinggang kain merah. Dalam
keadaan seperti itu, pemuda berambut panjang tanpa
ikat kepala itu tampak semakin menawan dan meng-
goda hati setiap wanita.
"Kucing kurap!" gerutu hati Dewi Binal. "Dia membuat hatiku berdebar-debar
terus. Sialan! Sulit
sekali bersikap tegas dan galak di depannya."
Sekalipun hati berkata demikian, namun Dewi
Binal tetap berusaha bersikap tegar dan tak mau mu-
rah senyum kepada pemuda gagah itu. Ia menjaga
harga dirinya agar tak dinilai sebagai gadis murahan, walaupun nanti jika sudah
menjadi akrab ia akan sangat murah senyum dan murah cium.
"Mengapa kau menolongku dari pukulan jaha-
nam orang Puri Cawan Mesum itu"!"
Soka Pura menjawab dengan seenaknya.
"Iseng-iseng saja! Daripada tak ada kerjaan,
eeeh... coba-coba menotok tubuhmu agar jadi patung, ternyata malah menghentikan
tawamu." "Hmmmm!" Dewi Binal mencibir tak percaya.
"Samar-samar kulihat bayangan Si Setan Cabul
pergi dari Sini. Apakah benar dia si Setan Cabul?"
"Entah ya...!" sambil Soka sentakkan kedua pundaknya. "Aku orang baru di sini
jadi belum kenal siapa-siapa. Mungkin saja orang tadi adalah Setan Cabul, tapi
mungkin juga dia Setan Ngibul!" senyum Soka dilebarkan sebagai tanda hatinya
digelitik rasa geli oleh jawabannya sendiri.
Dewi Binal sebenarnya ingin tertawa, tapi kare-
na merasa pertanyaannya dipermainkan, maka justru
yang tumbuh di hatinya adalah rasa kesal dan ingin
menampar Soka Pura. Wajahnya kian dibuat ketus
dan seangkuh mungkin, agar pemuda itu tidak mere-
mehkan tiap pertanyaannya. Tapi dalam hatinya ia
bertanya pada diri sendiri dengan nada kagum.
"Siapa pemuda ini sebenarnya, sehingga si Se-
tan Cabul tak berani berhadapan dengannya"! Menu-
rutku, orang yang menyambar ku dan membawaku
sampai di sini adalah si Setan Cabul. Mungkin dia
mau memperkosaku seperti para korban lainnya, tapi
niatnya menjadi urung setelah kemunculan si tampan
yang konyol ini!"
Soka Pura mencabut sehelai ilalang dan dipakai
untuk mainan tangannya secara iseng. Namun pada
saat itu ia ajukan tanya kepada Dewi Binal tanpa memandangi orangnya.
"Apakah benar kau cucunya Tabib kubur dari
Bukit Gamping"!"
"Siapa kau sebenarnya, sehingga mengetahui
nama kakekku"!"
Soka tertawa pendek. "Hmmm...! Kau ini di-
tanya belum menjawab sudah ganti bertanya" Apakah
kau tak paham dengan bahasa yang kugunakan ini"'
Apakah aku harus memakai bahasa monyet purba?"
"Aku bukan jenis monyet purba, Setan!" bentak si gadis dengan tambah jengkel.
"Biang Tawa menjelaskan padaku tentang diri-
mu," kata Soka serius. "Aku tertarik untuk mengetahui orang gila yang
disembuhkan oleh kakekmu itu. Maukah kau menceritakan tentang orang gila itu,
Dewi Binal"!" "Jelaskan dulu siapa dirimu!"
"Aku dan kakakku adalah Pendekar Kembar.
Dia bernama Raka dan aku Soka!"
Dewi Binal pandangi sambil manggut-manggut.
Lalu terdengar suara ajukan tanya dalam nada tegas.
"Apa perlunya kau mengetahui orang gila yang
disembuhkan kakekku itu"!"
"Hmmmm... hmmm..., benarkah dia mencuri
kitab pusaka dari kakekmu?" Soka sengaja menutupi maksud sebenarnya, karena ia
tak ingin terlalu mem-
buka pribadinya di depan gadis yang baru dikenalnya.
"Semula kami menyangka begitu. Tapi belakan-
gan kami dengar kitab pusaka itu ada di tangan ketua Puri Cawan Mesum. Jadi kami
harus merebut kitab itu secepatnya sebelum isi kitab telanjur dipelajari oleh
orang-orang Puri Cawan Mesum?"
"O, begitu...?" Soka menggumam datar dan
angguk-anggukkan kepala. Setelah diam beberapa
saat, ia pun perdengarkan suaranya kembali dengan
nada bersungguh-sungguh.
"Aku ingin bertemu dengan kakekmu. Maukah
kau membawaku bertemu dengan beliau?"
"Aku harus merebut kitab pusaka itu dulu!"
"Itu soal mudah. Aku akan membantumu jika
benar kakekmu yang berhak memegang kitab terse-
but." Dewi Binal pertimbangkan keputusannya. Ia pandangi Soka tanpa berkedip
dengan batin berkeca-muk sendiri. Soka Pura masih bermain daun ilalang
sambil sesekali melirik Dewi Binal yang berbelahan
dada mengundang selera itu.
"Aku bersedia membawamu kepada kakekku,
tapi ada syarat yang harus kau penuhi," kata Dewi Binal secara tiba-tiba.
"Apa syaratnya"!"
"Dua syarat yang harus kau penuhi itu adalah:
pertama, kau harus membantuku merebut kembali Ki-
tab Guntur Bayangan itu. Kedua...."
Belum habis bicara, Dewi Binal terpaksa ditarik
tangannya oleh Soka Pura. Tarikan kuat membuat De-
wi Binal bagaikan jatuh dalam pelukan pemuda itu.
Tetapi tangan kiri pemuda itu segera berkelebat dalam jarak dua jengkal dari
kepala Dewi Binal.
Wuuuut, jleeep...!
Daun ilalang yang dipegang tangan kiri Soka
menjadi korban hujaman sebatang jarum warna me-
rah. Rupanya mata tajam Soka Pura melihat gerakan
jarum yang melesat dengan sangat cepat ke arah kepa-la Dewi Binal. Dengan
gerakan yang sukar dipercaya, jarum itu berhasil ditangkis Soka Pura dengan
menggunakan ilalang. Jarum tersebut menancap di perten-
gahan daun ilalang, tepat di bagian galih daun yang keras itu. Tentu saja tenaga
dalam Soka segera tersa-lur ke daun tersebut, sehingga jarum merah itu tidak
bisa menembus lolos dari pertengahan daun.
Dewi Binal nyaris marah karena tarikan tangan
Soka yang membuatnya seakan jatuh dalam pelukan
pemuda itu. Tapi begitu melihat sebatang jarum merah menancap pada daun ilalang,
kemarahan Dewi Binal
beralih ke orang lain, yaitu ke pemilik senjata rahasia dalam bentuk jarum merah
itu. "Seseorang ingin membunuhmu" ujar Seka Pu-ra dengan mata memandang ke sana-sini.
Lincah dan tajam sekali."
"Keparat...!" geram Dewi Binal dengan pandangan mata nanar. Daun ilalang diambil
dari tangan So-ka, jarumnya diperhatikan beberapa saat ilalang itu ti-ba-tiba
menjadi layu dan mulai akan mengering seba-
gai tanda bahwa jarum merah itu mengandung racun
yang cukup ganas.
"Aku tahu si pemilik jarum merah ini!" ujar De-wi Binal sambil memisahkan diri
dari Soka dalam jarak tiga langkah ke sampingnya.
Kemudian gadis itu berseru dengan lantang dan
penuh keberanian.
"Keluar kau, Rahmini!"
Hidung gadis itu segera mengendus-endus se-
perti mencari aroma wangi yang mencurigakan. Soka
Pura pun ikut-ikutan menghirup udara melalui hi-
dung, lalu ia mencium bau wangi cendana secara sa-
mar-samar. "Kau mencium bau wangi kayu cendana?"
tanya Dewi Binal.
"Memang aku sedang menikmati kewangian-
nya!" "Pemilik jarum merah inilah yang mempunyai pedang berbau wangi kayu
cendana!" "Siapa orang tersebut, Dewi Binal"!"
"Nanti akan ku kenalkan kepadamu, mungkin
setelah menjadi bangkai!"
Dewi Binal berseru lagi sambil pandangi sekeli-
lingnya, terutama arah datangnya jarum merah tadi.
"Keluar dari persembunyianmu, Perempuan
busuk! Jika kau masih penasaran melawanku, kita
bertarung sampai salah satu dari kita ada yang tewas!
Jika kau setuju, kau pasti keluar dari persembu-
nyianmu. Tapi jika kau tidak setuju, kuanggap kau telah pergi, pulang ke
perguruanmu dan mintalah kepa-
da gurumu untuk ditempatkan di bagian dapur saja!
Percuma kau hadir di rimba persilatan jika menjadi perempuan pengecut, Rahmini!"
Soka Pura tidak bertindak apa-apa kecuali
hanya memandang dan mengawasi setiap semak-
semak. Ia hanya bersikap menjaga dan mengawasi se-
tiap semak-semak. Ia hanya bersikap menjaga kesela-
matan Dewi Binal, karena ia tak ingin gadis itu celaka sebelum membawanya ke
Bukit Gamping dan memper-temukan dengan Tabib Kubur.
Dewi Binal jengkel, lalu melepaskan pukulan
jarak jauhnya yang memancarkan sinar kuning me-
nyerupai bintang dari telapak tangan kirinya.
Claaap...! Duaaar...!
Semak-semak di bawah pohon dihantamnya
dengan pukulan bersinar kuning itu. Pohon tersebut
retak dan nyaris terbelah menjadi dua bagian. Dari balik pohon itulah segera
muncul sekelebat bayangan
yang menghampiri pohon sebelahnya. Bayangan berge-
rak cepat itu bagai menjejak pohon tersebut, lalu tubuhnya meluncur lebih cepat
lagi ke arah Dewi Binal.
Wuuuut...! Dewi Binal melompat menghindari terjangan
bayangan tersebut sambil lepaskan sinar kuningnya
lagi. Claaap...! Duaaarr...!
Sinar kuning itu tidak mengenal bayangan ter-
sebut, melainkan mengenai tanah berbatu. Tanah itu
segera menyebar ke udara dan bekas hantaman sinar
kuning membentuk cekungan lebar berasap tipis.
Tak jauh dari cekungan lebar itu kini berdiri
sesosok tubuh sekal berpinggul meliuk penuh undan-
gan bercumbu. Pinggul itu milik seorang perempuan
cantik berjubah hijau muda dengan kain dalamnya
warna merah tua. Rambutnya disanggul rapi sehingga
kulit lehernya tampak kuning mulus menggemaskan.
Bahkan matanya yang sayu menatap Soka Pura dan
membuat Soka Pura terperangah kaget begitu menge-
nali si perempuan berdada montok itu tak lain adalah Tandu Sangrai, si pembunuh
Ki Mandura yang juga
memburu Kitab Guntur Bayangan, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode : "Gua Mulut Naga").
"Iblis betina kau!" geram Dewi Binal sambil me-nuding perempuan cantik yang
menyandang pedang di
pinggang. Kayu sarung pedang itulah yang menyebar-
kan wewangian aroma cendana sejak tadi. Karenanya,
Dewi Binal yang sudah mengenali jenis senjata rahasia si Tandu Sangrai semakin
yakin bahwa ia akan berha-
dapan dengan Tandu Sangrai karena mencium bau
cendana. Kini Dewi Binal mencabut pedangnya dengan
wajah berang. Tandu Sangrai yang bernama asli Rah-
mini itu dihampirinya dengan penuh nafsu untuk
membunuh. Tandu Sangrai tenang-tenang saja. Bah-
kan ia sunggingkan senyum tipis kepada Soka sambil
melirik ke arah Dewi Binal.
"Cegah gadis ingusan itu agar tidak mati dalam tiga langkah lagi, Soka!"
Serta-merta Soka mengangkat tangannya dan
berseru, "Tahan, Dewi...!" Ia pun bergegas menghadang langkah Dewi Binal.
"Apa maksudmu menahanku, hah"!" bentak
Dewi Binal. "Apakah kau kuda pemuas gairah si Iblis betina itu, Soka"!"
"Maksudku... maksudku bukan begitu, Dewi!
Hmmm... aku akan selesaikan masalah ini. Aku di pi-
hakmu!" bisik Soka lirih.
Dewi Binal hembuskan napas kesal, tapi ia tak
berani menyingkirkan Soka dan menyerang Tandu
Sangrai. Mendengar bisikan Soka tadi, Dewi Binal
menjadi percaya kepada pemuda tersebut dan seakan
menyerahkan pertikaian itu kepada si pemuda. Karena terbukti, Soka Pura segera
hadapi Tandu Sangrai dengan sikap sebagai wakil dari Dewi Binal.
"Apa maumu sebenarnya, Tandu Sangrai"!"
"Aku akan melumpuhkan gadis itu biar kakek
nya menyerahkan kitab pusaka milik guruku!"
"Maksudmu, Kitab Guntur Bayangan?"
"Benar! Hak pemegang kitab itu ada di tangan
guruku, karena guruku adalah murid seperguruan
dengan mendiang Eyang Rayap Sewu! Hanya pergu-
ruan aliran kami yang berhak memiliki kitab tersebut!"
"Kau salah duga. Kitab itu tidak ada di tangan kakeknya Dewi Binal, melainkan di
tangan ketua Puri Cawan Mesum!"
"Tidak mungkin!" bantah Tandu Sangrai. "Kitab itu masih tetap ada di tangan
Tabib Kubur. Tapi sengaja dikabarkan hilang supaya tak ada orang yang mem-
buru kitab itu kepadanya."


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mulut busuk!" sentak Dewi Binal. "Kakekku tidak punya kelicikan seperti itu!
Hanya otak iblismu yang bisa mengatur siasat seperti itu, Perempuan Lacur!"
"Hei, terlalu kasar bicaramu, Gadis ingusan!"
ujar Tandu Sangrai dengan sinis tapi kalem. Ia berkata pula kepada Soka Pura.
"Ingatkan kepada gadis itu agar hati-hati bicara dengan Tandu Sangrai, Soka!
Jika ia bicara seenaknya begitu, bukan mulutnya saja yang bisa kurobek dari
sini, tapi nyawanya pun bisa ku cabut dengan kelingk-ing ku!" Soka Pura
tersenyum sinis. "Itu tak mungkin kau lakukan selama masih ada aku di sini,
Tandu Sangrai!" Perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh ta-
hun yang sempat tergila-gila oleh kemesraan Soka itu kini memandang dengan mata
mengecil seperti menahan kebencian kepada Soka. Bicaranya pun semakin
bernada lebih ketus lagi.
"Kau di pihak si cabo kencur itu, Soka"!"
"Jika kau beranggapan begitu, aku tidak kebe-
ratan," jawab Soka yang memang sudah kurang simpati lagi kepada Tandu Sangrai,
terutama sejak Soka ta-hu bahwa orang yang membunuh Ki Mandura adalah
Tandu Sangrai sendiri.
Jawaban Soka itu cukup menyakitkan di hati
Tandu Sangrai. Sebab dalam hatinya ia berharap agar Soka masih seperti yang
dulu; bergairah padanya dan bersemangat dalam bercumbu. Begitu menyadari sikap
Soka sudah berubah, Tandu Sangrai pun mulai berka-
ta ketus kepada pemuda tampan yang doyan keme-
sraan itu. "Jika kau memang berada di pihaknya, berarti
kau adalah musuhku dan orang yang harus kule-
nyapkan, Soka!"
"Aku sangsi, apakah kau bisa melakukan uca-
panmu itu atau tidak, Tandu Sangrai!"
"Kalau begitu kau perlu menjajal jurusku ini,
Sayang! Hiaaaah...!".
Tiba-tiba tangan kanan Tandu Sangrai menyen-
tak ke depan dengan kaki ke belakang dan merendah.
Sentakan tangan ke depan keluarkan sinar merah
yang melesat menghantam dada Soka Pura. Claaap...!
Tetapi Soka Pura tidak kalah sigap. Sinar me-
rah itu diadu dengan jurus 'Cakar Matahari', berupa sinar putih berbentuk pisau
runcing yang keluar dari tangan kirinya pada saat tangan itu disentakkan ke
depan membentuk cakar tengkurap.
Claaap...! Blegaaar...! Ledakan dahsyat terjadi saat kedua sinar itu
beradu di pertengahan jarak. Keduanya sama-sama
tersentak ke belakang karena hentakan gelombang le-
dak yang sangat kuat dan berudara panas itu. Tandu
Sangrai terjungkal tanpa ampun lagi, sedangkan Soka Pura terpelanting nyaris
jatuh jika tidak segera berpegangan pada pohon.
Pada saat Tandu Sangrai jatuh terjungkal, Dewi
Binal yang sudah sejak tadi mencabut pedangnya itu
segera menerjang ke arah perempuan itu.
Wuuut...! Pedangnya ditebaskan dari atas ke
samping bawah. Wuuuus...!
Tandu Sangrai cepat sentakkan lengannya
hingga tubuhnya berguling ke samping. Dengan begitu tebasan pedang Dewi Binal
meleset dari sasaran. Tandu Sangrai cepat-cepat cabut pedangnya sendiri.
Sriiing...! Aroma cendana kian menyebar mewangi.
Tapi pedang itu ternyata tidak selembut bau
wewangiannya. Pedang itu berkelebat menebas kepala
Dewi Binal. Satu tebasan menghadirkan dua bahaya,
yaitu bahaya ketajaman pedang itu sendiri dan bahaya serbuk beracun yang
menyebar dari tepian mata pedang tersebut.
Wuuuurs...! Pedang tersebut memang lolos dari
leher dan kepala Dewi Binal. Tetapi serbuk racun yang menyebar terhirup napas
Dewi Binal melalui hidung.
Seeerb...! Racun itu segera bekerja dengan ga-
nas. Wajah cantik Dewi Binal mulai berasap dan terasa sangat panas. Dewi Binal
memekik keras. "Aaauh...!" Tangannya menutup wajah sambil terbungkuk-bungkuk.
Keadaan terbungkuk begitu membuat Tandu
Sangrai dapat memenggal leher Dewi Binal dengan
mudah. Maka pedangnya pun berkelebat ke arah teng-
kuk kepala Dewi Binal.
Wuuut...! Traaaang...! Pedang itu terpental bersama pemegangnya,
karena Soka Pura buru-buru melepaskan jurus 'Mata
Bumi', berupa sinar merah seperti piringan yang me-
mutar cepat memercikkan bunga api, keluar dari telapak tangannya.
Craaalp...! Wuuuurs...! Duaarr...!
Pedang beraroma cendana itu bukan saja ikut
terpental bersama pemiliknya, namun hancur berkep-
ing-keping begitu jatuh ke tanah bersama pemiliknya.
Karena sinar merah seperti piringan berputar itu tidak kenai tubuh Tandu
Sangrai, melainkan kenai mata pedang tersebut, maka yang hancur hanya mata
pedang itu sedangkan Tandu Sangrai hanya terkena bias ca-
haya merah dari ledakan tadi. Bias cahaya merah itu membakar pakaian perempuan
tersebut bagian depan.
Sedangkan mulut perempuan itu sendiri menyembur-
kan darah segar pertanda bagian dalamnya terluka parah. "Jahanam kauuu...!"
geram Tandu Sangrai begitu melihat pedang andalannya hancur berkeping-
keping. Tubuhnya yang mulai terbungkus api segera
berguling-guling di semak-semak dan api pun berhasil dipadamkan.
"Ingat, Soka...! Selama ini aku mencari-cari mu hingga melupakan tentang kitab
tersebut, tapi begitu kutemukan dirimu, kerinduan ku kau hancurkan dengan cara
seperti ini. Kini yang ada dalam hatiku adalah kebencian dan dendam padamu!"
Soka Pura diam saja, memandang iba kepada
perempuan jubah hijau yang tampak menitikkan air
mata. Perempuan yang merasa sulit bernapas itu be-
rusaha berkata lagi,
"Kita akan bertemu sekali lagi untuk tentukan
siapa yang mati di antara kita!"
Setelah lontarkan ancaman seperti itu, Tandu
Sangrai segera larikan diri dengan sempoyongan. Se-
benarnya Soka bisa saja mengejarnya, dan dengan
mudah membunuh perempuan itu. Tapi ia sengaja
membiarkan Tandu Sangrai pergi karena tak tega un-
tuk membunuhnya.
Kini ia lebih tertarik menolong Dewi Binal yang
meraung-raung dengan wajah menjadi hangus menye-
ramkan. Wajah cantik itu kini menjadi seperti arang yang makin lama makin
kering, hingga bagian lehernya pup mulai ikut hangus pula.
"Celaka! Kalau tidak segera kutolong bisa mati menjadi arang gadis ini!" ujar
Soka dalam hati dengan cemas. Ia segera membawa Dewi Binal ke tempat teduh dan
membaringkannya di sana.
"Aku tak kuat... aku tak kuat, oooh...! Pa-
naas...!" rintih Dewi Binal menyedihkan sekali.
* * * 5 PURI CAWAN MESUM terletak di kedalaman
hutan yang seolah-olah dibelah oleh sungai dangkal
berair jernih. Bangunan puri itu sendiri termasuk berada di tepi sungai
Pendekar Bayangan Malaikat 10 Pendekar Lembah Naga Serial Pendekar Muka Buruk Karya Tjan I D Perkampungan Misterius 2
^