Pencarian

Setan Cabul 2

Pendekar Kembar 4 Setan Cabul Bagian 2


tersebut. Bangunan puri itu terdiri dari satu bangunan
utama yang mempunyai tiga lantai bersusun, serta
dua bangunan samping kanan-kiri bangunan utama.
Dari kejauhan puri itu seperti gundukan batu besar
karena warna seluruh bangunannya yang hitam.
Beberapa penjaga ditempatkan di sudut-sudut
atau tempat-tempat tertentu. Di luar benteng puri juga terdapat beberapa penjaga
yang sewaktu-waktu siap
hadapi kedatangan musuh dari berbagai arah. Para
penjaga tersebut sebagian besar adalah kaum wanita
muda yang mengenakan busana tergolong seronok dan
wajah mereka pun cantik-cantik. Jika ada penjaga le-
laki hanya sebagai pengintai-pengintai jarak jauh. Seluruh lelaki yang ada di
tempat itu mempunyai wajah yang tak dapat menarik perhatian kaum wanita.
Tak heran begitu Biang Tawa datang langsung
menjadi pusat perhatian mereka, karena Biang Tawa
membawa seorang pemuda tampan, gagah, dan kekar.
Terlebih setelah Biang Tawa melepaskan totokannya
dan Raka Pura sadar kembali, senyum Raka Pura
membuat beberapa wanita puri tersebut menjadi ter-
paku di tempat karena terpesona, dan ada pula yang
menjerit histeris karena luapan rasa gembiranya.
Ada pula yang sampai menangis tersedu-sedu
hingga beberapa saat lamanya tak bisa berhenti. Setelah diselidiki ternyata
gadis itu menangis karena kehilangan cincin permatanya ketika berdesak-desakan
mendekati Raka Pura tadi.
"Mereka tampak buas-buas terhadap seorang
lelaki," bisik Raka kepada Biang Tawa.
"Ya, memang pada umumnya mereka yang
tinggal di puri adalah wanita-wanita berselera tinggi.
Gairahnya besar, tapi haus akan belaian lelaki."
"Pantas Paman betah tinggal di sini, karena setiap saat pasti berganti-ganti
pelukan wanita."
"Dugaanmu keliru, Raka. Aku sudah dikebiri.
Setiap lelaki yang mengabdi di puri ini selalu dikebiri lebih dulu. Tapi... bagi
yang tampan sepertimu tentu saja tidak akan dikebiri, sehingga dapat memenuhi
selera mereka."
Bejat sekali suasana di sini, Paman!"
"Aku tak bisa lepas dari kekuasaan sang Ketua, karena siapa yang keluar dari
anggota puri akan dibunuh, agar tidak menjadi pengkhianat di kemudian ha-
ri. Aku takut dibunuh oleh sang Ketua, maka mau tak mau aku tetap mengabdi di
puri ini, Raka."
Sebelum Raka bicara lagi, Biang Tawa sudah
lebih dulu membawanya naik ke lantai atas tempat
sang Ketua berada.
"Kita sudah diberi isyarat oleh pengawal utama agar segera menghadap sang Ketua!
Jangan buang-buang waktu, sebab jika sang Ketua jengkel, aku yang kena hukuman!"
Puri itu dulu bernama Puri Cawan Pamujan,
milik seorang pertapa yang bernama Begawan Deksa-
wana. Pertapa sakti itu menurunkan ilmunya pada
saat menjelang kematiannya hampir tiba. Ia sempat
mempunyai tujuh belas murid yang diharapkan men-
jadi pewaris seluruh ilmu aliran sang Begawan.
Tetapi baru separuh ilmu yang dikuasai oleh
para murid, sang Begawan sudah meninggal lebih du-
lu. Akhirnya dari ketujuh belas murid Begawan Dek-
sawana itu sepakat untuk mengangkat salah seorang
sebagai ketua mereka. Namun beberapa saat kemu-
dian, mereka diserang oleh sekelompok perempuan liar yang dipimpin oleh seorang
wanita bertubuh tinggi, tegap, kekar, dan sekal. Wanita tinggi besar itu
berhasil menghimpun kekuatan dan menyerang puri tersebut.
Kekuatan yang tak seimbang membuat ketujuh belas
murid Begawan Deksawana tewas semua, sehingga pu-
ri dikuasai oleh wanita cantik bertubuh tinggi besar yang tak lain adalah Betina
Rimba. Betina Rimba adalah mantan pengawal andalan
Ratu Cumbu Laras yang melarikan diri saat mau dija-
tuhi hukuman mati. Ia bahkan berhasil menyusup ke
Perguruan Elang Bumi dengan pihak Ratu Cumbu La-
ras. Dalam peristiwa itulah, Biang Tawa yang kala itu bernama Pongge, mengenal
Betina Rimba dan menjadi
akrab sekali, karena sahabat Biang Tawa yang berna-
ma Wiraga adalah kekasih Betina Rimba, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode : "Dendam Asmara Liar").' Dalam peristiwa merebut
puri itu, Wiraga tewas di tangan salah seorang murid Begawan Deksawana,
sedangkan Pongge masih hidup dan meneruskan pen-
gabdiannya kepada Betina Rimba. Sedangkan Pergu-
ruan Elang Bumi telah morat-marit dan menjadi be-
rantakan sejak meninggalnya sang guru: Resi Pang-
kayon. Puri tersebut akhirnya diganti nama menjadi
Purl Cawan Mesum, karena Betina Rimba selalu mem-
butuhkan lelaki yang dapat memuaskan gairahnya se-
perti Wiraga, namun sampai saat ini belum pernah
berhasil. Setiap lelaki yang dianggap tak bisa menya-mai kehebatan cumbuan
Wiraga selalu dilemparkan
kepada anak buahnya dan menjadi santapan gadis-
gadis pengikut si Betina Rimba itu.
Biang Tawa ditugaskan mencari Pendekar
Kembar bukan karena untuk dijadikan pemuas gairah
Betina Rimba, namun agaknya perempuan yang punya
ilmu awet cantik dan awet muda pemberian Ratu
Cumbu Laras itu mempunyai maksud-maksud terten-
tu dan hanya beberapa pengawal utamanya yang men-
getahui maksud tersebut.
Betina Rimba sempat terperanjat melihat Biang
Tawa membawa Raka ke hadapannya. Wajah anak
muda itu mengingatkan Betina Rimba pada seraut wa-
jah yang pernah dikenalnya, yaitu wajah Panji Pura.
Hati sang Ketua pun segera menyimpulkan siapa si
Pendekar Kembar itu sebenarnya.
"Kurasa dia adalah anak kembarnya si Panji
Pura! Wajahnya mirip sekali, dan... oh, sebaiknya aku tak bicara tentang Panji
Pura. Lebih baik aku berlagak tidak mengenai Panji Pura daripada akhirnya akan
bikin pusing diriku sendiri."
Dari dulu Betina Rimba selalu tampil cantik
dan rambutnya yang cepak seperti rambut lelaki.
Hanya saja sekarang ia mengenakan logam kuning
emas kecil dengan batu merah di tengahnya yang melilit di kepala.
Ia seorang perempuan berusia lebih dari empat
puluh tahun, tapi masih tampak seperti dua puluh tiga tahun. Selain tinggi,
tegap, dan kekar, ia juga kelihatan montok dan amat menggiurkan lelaki. Mata
indah- nya yang berkesan galak itu justru membangkitkan
khayalan mesum bagi setiap lelaki yang memandang-
nya. Jika dulu ia hanya mengenakan kutang kuning
kecil bertali rantai dan cawat kuning kecil berantai ju-ga, kini perempuan yang
mempunyai banyak bulu di
tubuhnya itu mengenakan jubah merah mengkilap da-
ri bahan kain sejenis satin.
Melihat kecantikan dan kemolekan perempuan
seperti Betina Rimba, pemuda tampan itu tetap tenang dan tak ada kesan tergiur
atau kagum sedikit pun. Sikapnya tetap tenang, kalem, dan tegar.
"Aku mengenal betul siapa ayah kandungmu
sebenarnya, Raka Pura," ujar Betina Rimba setelah Raka berterus terang mengenai
tujuan pengembaraan-nya. "Kuharap kau mau tunjukkan padaku di mana ayah
kandungku itu berada, Betina Rimba!"
"Itu sangat mudah. Tapi kau harus membantu-
ku lebih dulu. Aku sengaja mengutus Biang Tawa un-
tuk mencari Pendekar Kembar, karena aku ingin men-
gikat satu perjanjian dengan kalian."
"Itulah sebabnya aku tak memberontak di sini,
karena aku penasaran ingin mengetahui maksudmu
sebenarnya!"
Betina Rimba berdiri dan tinggalkan tempat
duduknya. Ia dekati Raka Pura dengan pandangan ma-
ta lurus tak berkedip, seakan ingin menembus ke da-
lam bola mata Raka Pura. Pemuda itu tetap berdiri tegak dan tenang sekali.
"Raka Pura, ayahmu yang bernama Panji Pura
itu adalah putra seorang demang yang masih keturu-
nan bangsawan. Tapi sayang keluarganya dibantai ha-
bis oleh Ratu Cumbu Laras, tinggal ayahmu yang se-
lamat, karena pada waktu itu ayahmu berada dalam
pelukan Ratu Cumbu Laras sendiri. Setelah ayahmu
gila, ia kabur dari perguruannya dan menyepi di suatu tempat yang jauh dari
sini. Tapi aku tahu persis di mana tempat itu, karena pada waktu itu aku sempat
bertemu dengan Panji Pura dan melihatnya memban-
gun sebuah gubuk sebagai tempat tinggalnya."
"Di mana gubuk itu berada"!" sergah Raka Pura bagai tak sabar lagi.
"Nanti akan kuberitahukan setelah kau penuhi
syarat kerja sama ini."
"Syarat apa yang harus kulakukan"!"
"Membunuh si Setan Cabul!"
Raka terkesiap begitu mendengar perintah ter-
sebut. Terngiang kembali cerita si Manggara tentang pemerkosaan Setan Cabul
terhadap Cindawarti dan
beberapa cerita keganasan Setan Cabul lainnya terhadap beberapa perempuan yang
menjadi korbannya.
Sebenarnya Raka Pura tak ingin terlibat urusan den-
gan si Setan Cabul, karena ia belum temukan ayah
kandungnya. Tetapi karena pertemuan dengan si Setan Cabul merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk
mengetahui di mana ayah kandungnya berada, maka
mau tak mau Raka Pura harus menyetujui perjanjian
yang ditawarkan oleh Betina Rimba itu.
"Sudah banyak anak buahku yang menjadi
korban keganasan si Setan Cabul, sementara pihakku
sendiri ternyata sampai sekarang tak pernah berhasil menangkap atau membunuh si
Setan Cabul. Kuakui,
ia mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Tapi aku yakin, sebagai Pendekar Kembar
yang kudengar memiliki pusaka Pedang Tangan Malaikat...," mata Betina Rimba
melirik ke pedang kristal di pinggang kiri Raka. "...
maka aku yakin kau pasti bisa tumbangkan kekuatan
si Setan Cabul."
"Bagaimana mungkin kau bisa sangat yakin
bahwa pedangku ini punya kekuatan yang dapat me-
numbangkan kekuatan Setan Cabul?"
"Ketika aku berusia lima belas tahun, aku per-
nah mendengar cerita tentang kedahsyatan Pedang
Tangan Malaikat dari kakek buyut ku. Cerita itu sudah lama menghilang dari
ingatanku. Tapi belakangan ini Pedang Tangan Malaikat menjadi bahan pembicaraan
di kalangan tokoh tua, dan aku sempat mendengarnya
dari seorang kenalan yang usianya sudah banyak. Dia adalah pamannya Anggiri, si
Perawan Hutan."
Raka Pura segera terbayang seraut wajah can-
tik milik gadis bernama Anggiri alias si Perawan Hutan. Gadis itulah yang ikut
dalam peristiwa di Gua Mulut Naga. Anggiri mendapatkan Bunga Ratu Jagat, se-
dangkan Raka dan Soka mendapatkan pusaka Pedang
Tangan Malaikat, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga").
Tapi sekarang mereka berpisah dengan Anggiri, sejak Pawang Badai menya-rankan
agar Anggiri menemui gurunya dan memberi-
tahukan tentang apa yang diperolehnya dari Gua Mu-
lut Naga itu. "Apakah kau tidak setuju dengan perjanjian
kerja sama ini, Raka Pura"!" tanya Betina Rimba
menggugah lamunan Raka.
"Selama kau menepati perjanjian ini, aku tak
akan menolaknya, Betina Rimba!"
"Aku tak akan ingkar janji! Bunuh si Setan Ca-
bul itu, dan akan kuberitahukan di mana Panji Pura
berada. Bila perlu akan kuantar sendiri kau ke tempat pengasingan ayah kandungmu
itu." Raka Pura menarik napas. menahan rasa gem-
bira karena akan segera bertemu dengan ayah kan-
dungnya. Wajahnya memancarkan semangat yang ber-
kobar-kobar, hingga kata-katanya pun semakin tegas
dan lebih mantap lagi.
"Baik. Aku setuju dengan perjanjian ini. Dalam waktu tak lama lagi riwayat hidup
si Setan Cabul akan tamat dan tak ada lagi pemerkosa keji yang berkeliaran di
permukaan bumi ini!"
"Bagus! Tapi, kurasa kau tak perlu berangkat
sekarang juga, Raka. Sebentar lagi petang akan tiba.
Kusarankan kau bermalam di puri ku ini, esok pagi
kau bisa berangkat mencari Setan Cabul!"
Raka Pura diam mempertimbangkan keputu-
sannya; haruskah ia bermalam di puri yang penuh
dengan wanita-wanita cantik itu" Apakah tak akan ada gangguan batin jika ia
bermalam di situ, sementara perempuan-perempuan cantik berdada montok dapat
muncul sewaktu-waktu dengan godaan mesranya"
"O, ya... mengapa kau tak datang bersama adik
kembar mu, Raka?" tanya Betina Rimba setelah membawa Raka ke ruang perjamuan.
"Soka Pura, adikku, sedang ada keperluan lain.
Tapi kurasa esok kami pasti akan bertemu."
Sambil menjawab demikian, batin Raka berke-
camuk sendiri. "Ke mana aku harus mencari Soka Pura"! Dia
pasti berhasil menyusul si Dewi Binal. Mungkin dia segera dibawa ke Bukit
Gamping dan bertemu dengan
kakeknya Dewi Binal. Tetapi di mana letak Bukit
Gamping itu" Aku belum pernah ke sana. Hmmm...
kurasa Paman Biang. Tawa mengetahui tempat itu.
Esok akan ku desak agar Paman Biang Tawa mau me-
nunjukkan di mana Bukit Gamping berada."
Seandainya Raka tahu bahwa ia akan menda-
pat tawaran kerja sama seperti itu, maka ia tak akan biarkan Soka Pura, adiknya,
mengejar Dewi Binal. Cukup datang kepada ketua Puri Cawan Mesum, maka
mereka akan mendapat keterangan di mana ayah kan-
dung mereka berada.
"Lalu bagaimana dengan Kitab Guntur Bayan-
gan?" pikir Raka menjelang malam tiba, saat ia duduk di sebuah taman belakang
bangunan utama.
"Sejak aku di sini tak kudengar Betina Rimba
menyinggung-nyinggung tentang Kitab Guntur Bayan-
gan. Apakah sengaja dirahasiakan atau memang tak
pernah ada pembicaraan tentang kitab tersebut" Tapi mengapa Dewi Binal
kelihatannya yakin betul bahwa
kitab itu ada di tangan Betina Rimba"!"
* * *

Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

6 PERJALANAN menuju Bukit Gamping terhalang
petang. Dewi Binal yang berhasil disembuhkan oleh
Soka dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya, kini telah
sehat dan wajahnya menjadi cantik seperti sediakala.
Diam-diam gadis itu sangat bersyukur atas bantuan
Soka Pura dan semakin menyimpan rasa kagum ter-
hadap pemuda tampan itu.
"Aku punya seorang sahabat yang rumahnya
tak jauh dari sini. Kurasa tak ada jeleknya jika kita singgah ke rumahnya untuk
numpang bermalam di
sana," usul Dewi Binal.
"Semasa kau anggap itu hal yang baik, aku ti-
dak keberatan," ujar Soka Pura sambil melangkah dampingi Dewi Binal.
Rumah yang dimaksud Dewi Binal terletak di
lereng bukit. Rumah itu terpencil dan tanpa mempu-
nyai tetangga satu pun. Dibangun menggunakan kayu-
kayu hutan yang ditumpuk-tumpuk dan ditata rapi
hingga menjadi rumah yang kokoh.
Ukuran bagian dalamnya tak seberapa luas, ta-
pi tanah sekelilingnya yang digunakan sebagai hala-
man berpagar bambu itu cukup lebar. Agaknya hala-
man itu sering digunakan sebagai tempat berlatih pukulan-pukulan tangan kosong.
Banyak batu dan kayu-
kayu yang berserakan dalam keadaan hancur pertanda
habis dipakai sebagai sasaran jurus-jurus yang dilatih.
Ketika Soka dan Dewi Binal tiba di rumah itu,
suasana alam sudah semakin remang-remang. Senja
semakin menghilang dan petang mulai datang. Dari celah-celah dinding kayu tampak
biasan sinar lampu
minyak yang menerangi bagian dalam rumah. Tapi
keadaan rumah itu tampak sepi, tak terlihat gerakan seseorang keluar dari rumah,
atau suara-suara percakapan di dalamnya.
"Siapa yang menempati rumah ini?" tanya Soka sebelum mereka masuk ke halaman
rumah tersebut.
"Sumo Gaok!"
"Siapa itu Sumo Gaok"!" Soka sengaja hentikan langkah, mereka bicara dalam nada
lirih karena sudah
berada di halaman rumah tersebut. Pintu pagar bambu tinggi yang tak terkunci itu
membuat mereka mudah
masuk tanpa timbulkan suara.
"Sumo Gaok adalah pelarian dari Pulau Ganda
Mayit yang pernah ditolong oleh kakekku."
Soka Pura tak jadi ajukan tanya lagi, karena
pintu rumah sudah dibuka sebelum mereka sampai di
depannya. Seorang lelaki bertubuh gemuk sekali den-
gan tinggi badan sedang telah muncul di ambang pin-
tu. Lelaki tak berkumis dan tak berjenggot itu mengenakan pakaian serba hitam
dengan baju tidak dikan-
cingkan. Perutnya yang berlemak tampak membeng-
kak seperti perempuan hamil sembilan bulan.
Akibat kegemukannya itu lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun itu seperti mempunyai dua dagu.
Lehernya berkulit tebal dan sepertinya alot jika di-penggal. Ia berambut
panjang, tapi dikonde hingga dari belakang mirip seorang perempuan.
"Sudah kuduga kau akan datang, Dewi! Huh,
huh, huh, huh...!" Sumo Gaok tertawa dengan mulut maju. Bibirnya yang tebal dan
pipinya yang mirip ba-pao ganda itu sangat lucu jika dipakai untuk tertawa atau
cemberut. Matanya yang kecil tampak seperti terpejam jika ia sedang tertawa.
Sumo Gaok menerima kedatangan Soka dan
Dewi Binal dengan ceria dan penuh suasana akrab.
Dalam beberapa kejap saja ia sudah berani lontarkan canda cerianya kepada Soka
Pura. Bagi Soka, keakra-ban Sumo Gaok bagaikan seorang teman yang sudah
lama tak pernah saling jumpa.
"Sangat kebetulan sekali kau datang, Dewi. Le-
bih kebetulan sekali datang bersama pemuda tampan
yang membuat hatimu sejak tadi berdebar-debar...."
"Jangan ngomong sembarangan kau, Gaok!"
hardik Dewi Binal menutupi rasa malunya. Sumo Gaok
hanya tertawa. "Huh, huh, huh, huh...!"
"Dari mana kau tahu kalau hatinya sejak tadi
berdebar-debar?" tanya Soka Pura.
"Aku dapat merasakan sisa getaran nadinya
yang sampai sekarang masih terasa bergetar. Huh,
huh, huh...! Kau pun sejak tadi juga berdebar-debar Soka, karena kau punya
khayalan indah tentang sahabatku si Dewi Binal ini! Huh, huh huh, huh...."
"Ah, bicaramu mulai kacau, Sumo Gaok," ujar Soka sambil tersipu dan palingkan
wajah ke arah lain.
Kata-kata itu diam-diam dicatat dalam ingatan Dewi
Binal, membuat debar-debar di hati Dewi Binal sema-
kin keras. "Kalian tak usah malu-malu padaku. Aku bisa
membaca jalan pikiran kalian, karena ilmu itu belum punah dariku," ujar Sumo
Gaok. "Oleh sebab itu tadi kukatakan; kebetulan sekali, sebab malam ini aku
akan pergi menemui seseorang. Kalian boleh tidur di sini dan anggap saja ini
rumah kalian sendiri."
"Kalau begitu, boleh kujual sewaktu-waktu,
Sumo Gaok?" canda Soka.
"Boleh saja, asal ditukar dengan pedangmu.
Huh, huh, huh, huh...!" Sumo Gaok tertawa sambil melirik pedang kristal di
pinggang kanan Soka.
"Apakah kau tahu kehebatan pedangku ini?"
"Tentu saja aku mengetahuinya, Soka. Salah
satu kehebatan pedangmu itu adalah dapat ditukarkan ketan bakar di kedai-kedai.
Huh, huh, huh, huh...!"
Soka Pura tersenyum masam. Dewi Binal me-
nangkap rasa tersinggung Soka dalam canda itu. Ka-
renanya gadis itu segera berkata kepada Soka.
"Sumo Gaok gemar bercanda. Jangan tersing-
gung dengan candanya tadi."
"O, tidak! Aku tidak tersinggung."
"Huh, huh, huh, huh...! Maafkan aku kalau
menyinggung perasaanmu, aku tidak bermaksud
menghina pedangmu, Soka," sambil Sumo Gaok menepuk-nepuk bahu Soka Pura. "Aku
tahu pedangmu itu pedang sakti, sekalipun aku tak tahu seberapa tinggi
kesaktiannya. Yang jelas, kau pasti berani memperta-ruhkan nyawamu demi
mempertahankan pedang itu."
"Lupakan anggapan Dewi Binal tadi. Aku sama
sekali tidak tersinggung, Sumo Gaok," sambil Soka Pu-ra sunggingkan senyum
berkesan ramah lagi.
"Nah, berbahagialah kalian, karena aku harus
pergi sekarang juga."
"Mau ke mana kau sebenarnya, Gaok"!" tanya Dewi Binal.
"Hanya sekadar jalan-jalan sambil membunuh
si Setan Cabul."
"Hahhh..,"!" Soka Pura dan Dewi Binal terkejut walau Sumo Gaok bicara dengan
santai dan sambil
melangkah ke pintu.
"Gaok! Jangan main-main dengan Setan Cabul!
Ilmunya sangat tinggi! Kau bisa diperkosa dari belakang jika nekat melawannya."
"Huh, huh, huh, huh...! Tenang saja, Dewi. Aku tak akan melawannya jika aku tak
bisa menumbang-kannya dalam tiga jurus."
"Gaok, jangan gila kau! Lebih balk tak usah temui si Setan Cabul!"
"Ooh, nanti aku tak dapat upah, lalu aku harus makan dari mana kalau tak
mendapatkan uang buat
jajan di kedai dan beli perempuan malam. Huh, huh,
huh, huh...!"
Ketika orang gemuk itu melangkah keluar ru-
mah, Dewi Binal buru-buru melesat menghadang
langkah sahabatnya, sementara itu Soka pun segera
menyusul, sehingga mereka kini berada di halaman
depan rumah itu.
"Gaok, siapa yang menyuruhmu membunuh si
Setan Cabul"! Siapa yang akan mengupah mu"!"
"Utusan dari Puri Cawan Mesum datang mene-
muiku sebelum senja tiba tadi!"
"Oh..."!" Dewi Binal dan Soka Pura terkejut.
Tapi orang gemuk itu tidak peduli dengan keterkejutan mereka berdua.
"Hanya aku yang tahu tempat tinggal si Setan
Cabul! Karenanya aku sekarang akan ke sana dan
membunuhnya! Huh, huh, huh...!"
"Bagaimana kalau kau gagal, Sumo?" tanya So-ka Pura.
"Sumo Gaok tak pernah gagal jika melawan
siapa pun. Sebelum gagal, pasti sudah kabur lebih du-lu, huh, huh, huh...!"
Setelah berkata begitu, Sumo Gaok langsung
pergi dengan satu sentakan yang membuatnya melom-
pati pagar halaman rumahnya.
Wuuuut...! Dewi Binal ingin mengejar, tapi So-
ka Pura segera mencekal lengan gadis itu dan mem-
buat langkah si gadis tertahan.
"Percuma saja kau mengejarnya, ia tetap tidak
akan mengubah niatnya!"
"Tapi dia bisa celaka di tangan si Setan Cabul!"
Dewi Binal tampak cemas.
"Dia tak akan celaka. Aku yakin dia bukan saja berbadan besar atau berilmu
tinggi, tapi juga berotak licik. Ia akan gunakan akalnya untuk selamatkan diri
sendiri." Tanpa sadar Dewi Binal ikuti langkah Soka ma-
suk ke dalam rumah. Soka duduk di sebuah bangku
panjang dari kayu jati yang ada di dekat meja, di seberang dipan beralas tikar
pandan. Dewi Binal masih
berdiri di samping pintu yang masih terbuka. ia me-
mandangi kegelapan malam dalam satu renungan pri-
badi. Setelah meletakkan pedang di meja, Soka Pura
merebahkan badan telentang di bangku panjang itu
dengan kedua kaki menapak di tanah di kanan-kiri
bangku. Nafasnya terhembus panjang-panjang bagai
sedang melepaskan kelelahan yang mulai merayapi tu-
buhnya. Tiba-tiba Dewi Binal berkata dari tempatnya
berdiri dengan suara agak keras.
"Kau bilang tadi, Setan Cabul tampak takut ke-
padamu dan segera pergi tak jadi memperkosaku.
Mengapa ia takut padamu, Soka?"
Tanyakan saja kepada si Setan Cabul! Ten-
tunya dia lebih tahu dariku."
Setelah menutup pintu, Dewi Binal dekati Soka
Pura sambil berkata dengan senyum tipis mengembang
di bibirnya yang sensual itu.
"Barangkali wajahmu lebih menyeramkan dari-
pada wajahnya?"
Soka Pura tertawa agak keras, tak menduga si
cantik bermata menggoda itu bisa berkelakar seperti itu. Soka Pura bangkit dan
duduk pandangi Dewi Binal yang berdiri di depannya. Gadis itu akhirnya duduk di
samping Soka Pura saat Soka berkata dengan sisa ta-wa gelinya.
"Canda mu lucu juga. Kenapa tidak sejak tadi
kau mau bercanda begitu?"
"Karena baru sekarang kusadari wajahmu me-
mang lebih mengerikan daripada wajah si Setan Ca-
bul." "Berarti kau tak suka dengan wajahku?" Soka menatap dalam-dalam dengan senyum
menawan. "Justru aku suka wajah yang sangat mengeri-
kan. Maksudnya, mengerikan kalau sampai ditinggal-
kan." "Hah, haa, haaa, ha...!" Soka Pura tak segan-segan lepaskan tawanya. Dewi
Binal tersenyum malu
dan melengos ke samping. Soka Pura mencubit pipi
Dewi Binal karena gemas. Tapi tiba-tiba tangan yang mencubit itu ditangkap
cepat-cepat oleh tangan Dewi Binal. Teeb...! Wajah itu berpaling memandang Soka
dengan tajam. "Jangan ngelunjak!" hardik gadis itu. "Kau boleh bercanda denganku, tapi tak
boleh lakukan keraji-nan tangan!"
"Maaf aku hanya melampiaskan kegemasan ku
saja!" kata Soka dengan tersipu malu, tapi masih nekat juga, karena setelah itu
ia berkata lagi dalam nada lebih pelan dan lebih lembut.
"Tanganku memang tak boleh nakal. Tapi ba-
gaimana dengan bibirku" Bolehkah nakal sedikit"!"
Pandangan mata Dewi Binal masih tertuju na-
nap ke mata Soka Pura. Tangan Soka masih dalam
genggaman tangan itu.
"Tak bolehkah bibirku nakal sedikit?" ulang So ka makin menggoda.
"Aku bukan gadis murahan!"
"Justru karena kau bukan gadis murahan ma-
ka aku gunakan bibirku untuk sedikit nakal padamu.
Apakah aku kurang menghargai mu?"
Senyum Soka semakin mekar berseri menabur-
kan jerat keindahan yang sukar dihindari Dewi Binal.
"Aku takut...," tiba-tiba Dewi Binal berkata lirih.
"Takut"! Takut kepadaku"!"
"Takut kalau menganggapku benar-benar gadis
binal yang liar dan tak tahu malu."
"O, alangkah bodohnya otakku jika aku be-
ranggapan begitu" Tentu saja justru aku menganggap
mu gadis yang bukan sembarang gadis. Aku akan me-
rasa, bahwa kau bukan gadis yang mudah jatuh di pe-
lukan setiap lelaki. Karena buktinya saja aku sampai susah payah memberi
pengertian begini kepadamu.
Biasanya gadis lain tak sesusah ini. Tanpa diberi pengertian sudah mau menerima
kemesraan. Itu namanya
gadis murahan. Sedangkan kau... kau bukan gadis
murahan! Perjuanganku untuk membuatmu paham
dengan isi hatiku sangat sukar."
Genggaman tangan yang mencekal pergelangan
tangan Soka itu mengendur. Kini tangan Soka ditarik sedikit dan ganti meremas
jari-jemari si gadis. Ternyata remasan itu dibalas oleh Dewi Binal dengan kelem-
butan yang terasa menghangat di sekujur tubuh.
Soka memahami arti balasan jari yang meremas
itu. Dewi Binal siap menerima kehadiran bibir Soka.
Maka pemuda itu tak segan-segan mendekatkan wa-
jahnya pelan-pelan. Ternyata Dewi Binal justru memejamkan mata samar-samar dan
menggigit bibirnya
sendiri. Soka diguncang oleh debar-debar harapan. Ia merasa ditantang dengan
isyarat pejaman mata itu.
Maka ciuman pertama pun menempel di pipi gadis itu
dengan lembut sekali. Cup...!
Ternyata si gadis semakin meremas jemari tan-
gan Soka. Itu pun dianggap sebagai pertanda bahwa si gadis tak menuntut lebih
dari sekadar ciuman pipi.
Maka bibir Soka pun merayap ke bibir si gadis.


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibir itu disapu dengan lidahnya samar-samar.
Seeeeet...! Darah pun bagai mengalir dengan deras.
Siiiirr...! Sentuhan bibir yang hangat membuat Dewi Bi-
nal tak mampu menahan gengsi. Akhirnya bibir Soka
dipagutnya pelan-pelan. Pagutan itu terasa membakar gairah Soka, sehingga Soka
pun membalasnya. Akhirnya mereka saling melumat bibir dengan napas mem-
buru. Tangan Soka dibiarkan merayap ke mana-
mana, sementara tangan Dewi Binal pun menelusuri
tubuh Soka. Bahkan ikat pinggang Soka berhasil dilepaskan, baju putih tanpa
lengan itu tak terkancing la-gi. Kedua tangan Dewi Binal menelusup masuk dan
melingkar dalam pelukan. Tangan gadis itu merayap
ke atas meremas punggung ketika lumatan bibir Soka
bertambah ganas.
"Ssss, ahhh...!" Dewi Binal mendesah. Matanya memandang sangat sayu. Ia
membiarkan jubahnya
yang tak berlengan dilepaskan oleh Soka. Bahkan
membiarkan penutup dadanya dinaikkan ke atas, se-
hingga kedua gumpalan di dadanya itu saling bertonjo-lan dengan ujung-ujungnya
yang ranum tegak penuh
tantangan. Mulanya Soka Pura hanya meraba pelan dan
samar-samar sehingga sentuhannya sangat mendebar-
kan. Tapi erangan Dewi Binal semakin panjang, bah-
kan seperti suara merengek memohon sesuatu. Maka
Soka Pura pun berlutut dan mendekatkan mulut ke
ujung dada itu. Lidah pun menyapu pelan dan samar-
samar. "Oouh...!" Dewi Binal merengek terang-terangan. Tangannya mulai meremas
rambut belakang Soka
sambil sedikit menekan kepala pemuda itu agar lebih terbenam lagi ke dadanya.
Maka mulut Soka pun me-
lebar dan bukit itu disambarnya bagai umpan yang tak boleh dilewatkan begitu
saja. Seeet...!
"Aaaow...!" Dewi Binal memekik lirih ditikam kenikmatan. "Soka... uuh, hangat
sekali, Soka. Ooh, ooh... jangan keras-keras, jangan... yah, begitu. Begitu
terasa sangat nikmat dan, aaah... Soka, tangan mu...
tangan mu nakal, Soka. Ooh..'. teruskan, jangan berhenti. Teruskan tanganmu,
ohhh...!" Malam semakin kelam. Hembusan angin bagai-
kan tiupan romantika yang membuat api asmara me-
reka semakin membara. Kobaran api asmara itu mem-
bakar seluruh gairah Dewi Binal hingga si gadis tak kehilangan gengsi dan tak
punya rasa sungkan lagi. Ia telah dibuat mabuk oleh cumbuan Soka Pura yang
makin lama terasa semakin menerbangkan jiwa.
"Indah...?" bisik Soka saat mereka beradu pandang sejenak.
"Indah sekali, Soka," jawab Dewi Binal sambil meremas-remas kehangatan yang ada
pada diri Soka dan telah dilepaskan dari sangkamya.
"Kau ingin lebih dari ini"."
Gadis itu anggukkan kepala.
"Kau pernah melakukannya?" Dewi Binal bertanya lirih. Soka menjawab dengan lirih
pula. "Belum. Kau sendiri pernah melakukannya?"
Dewi Binal hanya mengangguk, tak mampu
menjawab karena mulutnya segera berdesis memberi
tanda bahwa batinnya tak bisa lagi menahan tuntutan keindahan yang lebih tinggi.
Maka gadis itu pun segera berbaring di bangku
panjang itu dengan kedua kaki berada di kanan-kiri
bangku. Dalam keadaan seperti itu, Soka Pura seperti melihat bayi baru lahir
yang perlu dimandikan. Maka Soka pun menjadi seekor kucing yang memandikan
anaknya. "Oouh, pouh, Sokaa... aduuh, nikmat sekali,
Soka. Kau pandai sekali me... me... ouuh, Soka... la-kukanlah sekarang, Soka.
Lakukan sekarang, oouh...!"
Pekikan dan erangan gadis itu membuat cum-
buan Soka bertambah galak. Ia senang mendengar jerit dan pekik sang gadis yang
menandakan hadirnya seju-ta kenikmatan.
Soka Pura pun akhirnya menuruti keinginan si
gadis tanpa mempedulikan tempat. Si gadis mampu
menempatkan diri sedemikian rupa, sehingga mereka
pun mulai berlayar ke samudera cinta yang penuh gairah membara. Keringat Soka
bercucuran karena men-
dayung perahu cintanya, membawa Dewi Binal me-
lambung ke puncak kemesraan.
"Soka... oh, ulangi lagi, Sayang... aku suka sekali, aku ingin mencapai ke sana
lagi, ooouh... terus, teruskan Soka... oouh, yaaah...!"
Malam yang sepi menjadi malam yang penuh
jeritan, pekikan, dan erangan berturut-turut. Sang malam hanya tersenyum dan
membiarkan udara dingin
semakin memacu kemesraan mereka yang tak pernah
merasa bosan, "Pantas si Tandu Sangrai tampak cemburu pa-
daku, rupanya ia ingin mendapatkan kenikmatan se-
besar ini darinya. Oouh aku pun tak ingin membiarkan keindahan ini diberikan
kepada perempuan lain!" ucap hati Dewi Binal dengan tetap penuh semangat
berlayar ke lautan cinta.
* ** 7 KALAU saja Raka mau melakukannya, maka
malam itu ia pun bisa memperoleh keindahan seperti
yang diperoleh adik kembarnya bersama Dewi Binal.
Tapi sayang sekali Raka tidak sepanas Soka, sehingga ajakan bercumbu Betina
Rimba berhasil ditolaknya.
"Aku tak akan bisa bergairah sebelum dapat se-
lesaikan tugasku, yaitu membunuh Setan Cabul," ujar Raka dalam siasat
penolakannya. Dengan begitu hati
Betina Rimba tidak merasa tersinggung atau terlukai.
Ia justru merasa bangga mendengar tekad Raka seperti itu.
Malam itu Raka juga sempat menanyakan ten-
tang kitab Guntur Bayangan. Tetapi Betina Rimba ju-
stru sunggingkan senyum tipis berkesan geli.
"Kitab itu sebenarnya tak ada padaku. Tapi aku sengaja menyebar omongan bahwa
kitab itu ada di
tanganku."
"Dengan maksud apa kau menyebar omongan
seperti itu?"
"Supaya orang-orang tidak mencari ke tempat
di mana kitab itu sebenarnya berada."
"Jadi kau tahu di mana kitab itu berada?"
"Aku memang tahu di mana kitab itu berada.
Tapi aku tak sanggup mengambilnya. Kitab itu ada di tangan seseorang."
"Kau pernah melihat orang itu membawa Kitab
Guntur Bayangan?"
"Tidak. Tapi aku pernah bertarung dengannya
dan nyaris mati karena dia menggunakan jurus dalam
Kitab Guntur Bayangan itu," jawab Betina Rimba sambil masih duduk di tepi
pembaringan dalam jarak ku-
rang dari sejengkal dari Raka Pura.
"Siapa pemegang kitab itu sebenarnya?"
"Aku tak bisa mengatakan padamu sebelum tu-
gasmu selesai," jawab Betina Rimba. "Aku sendiri men-gincar kitab tersebut. Tapi
karena penjagaannya sangat kuat, maka aku harus menggunakan siasat mena-
rik perhatian para pemburu kitab tersebut kemari."
Siasat itu memang jitu. Raka Pura mengakui
kehebatan siasat Betina Rimba. Sementara orang-
orang beranggapan kitab itu ada di Puri Cawan Me-
sum, namun sebenarnya kitab itu ada di suatu tempat yang hanya diketahui oleh
pemiliknya dan Betina Rimba sendiri.
Bagi Betina Rimba, menumbangkan para pem-
buru kitab lebih mudah daripada menumbangkan si
pemilik kitab. Karenanya, ia selalu siap menghadapi siapa pun yang ingin merebut
Kitab Guntur Bayangan, dan ia pun bersikap seolah-olah mempertahankan kitab
tersebut. Sekalipun dengan berbagai bujukan, Raka Pura
tak berhasil jatuh dalam pelukan Betina Rimba. Hal
itu membuat Betina Rimba menaruh simpati lebih da-
lam kepada Raka Pura, karena ia menjadi penasaran
sekali terhadap pemuda yang satu itu.
Raka Pura akhirnya berangkat ke Bukit Gamp-
ing untuk menemui adiknya yang diperkirakan berada
di rumah Tabib Kubur. Ketua puri tersebut mengizin-
kan Biang Tawa mendampingi Raka Pura sekaligus
menjadi pemandu langkah menuju ke Bukit Gamping.
Jika Raka berangkat ke Bukit Gamping diawali
dari terbitnya matahari, maka Soka bersama Dewi Bi-
nal berangkat ke Bukit Gamping pada saat matahari
sudah mendekati pertengahan jarak edarnya. Mereka
meninggalkan rumah Sumo Gaok ketika hari sudah
siang, karena pagi hari mereka mengulangi pelayaran cinta kembali. Dewi Binal
sudah tak kenal malu lagi terhadap Soka, sehingga ia membakar gairah Soka pa-da
saat mereka mandi di pancuran, tak jauh dari ru-
mah Sumo Gaok. Pada saat itu, Sumo Gaok sendiri sedang terte-
gun bengong memandang pertarungan yang mengeri-
kan dari balik pohon. Pertarungan itu melibatkan seorang lelaki berpakaian hijau
lusuh, berambut panjang acak-acakan, wajahnya menyeramkan dan berkesan
beringas, berkumis lebat dan cambangnya tak beratu-
ran. Tokoh berkulit gelap itu tak lain adalah si Setan Cabul yang sedang
bertarung melawan seorang lelaki
berusia tiga puluhan, bertubuh tinggi, tegap, rambut panjang berombak,
mengenakan ikat kepala warna hijau. Lelaki berpakaian serba merah itu tak lain
adalah Kalasura yang menuntut balas atas kematian kakak
perempuannya yang diperkosa dan dibunuh oleh Setan
Cabul. Sejak berangkat dari kedai dan diikuti oleh
Manggara serta beberapa orang lainnya, ternyata baru sekarang Kalasura berhasil
menemukan si Setan Cabul. Maka pertarungan pun tak dapat dihindari lagi.
Kalasura mencoba menyerang dari belakang dengan
kapaknya. Kapak itu dihantamkan ke kepala Setan
Cabul. Weeess...!
Tapi di luar dugaan, Setan Cabul cepat balik-
kan badan dan lepaskan pukulan bercahaya hijau dari telapak tangannya. Cahaya
hijau itu berbentuk bintang jatuh yang melesat dengan cepat dan sukar di-
hindari Kalasura.
Claaap...! Duaaar...! "Aaakh...!" Kalasura memekik keras, karena pangkal pundaknya terhantam sinar
hijau itu. Tanpa
menunggu dua-tiga kejap lagi, pangkal, pundak itu pecah dan lengan kiri Kalasura
putus seketika itu juga.
Manggara dan beberapa orang yang mengintai
pertarungan itu menjadi merinding melihat tangan kiri Kalasura tergeletak
ditanah dengan berlumuran darah.
Tubuh Kalasura sendiri begitu terhantam cahaya hijau langsung terpental ke
belakang dan mengerang-erang di kejauhan sana.
Sumo Gaok masih sempat berkata dalam ha-
tinya, "Hmmm..., orang berpakaian merah itu kurang waspada dan terlalu
menganggap remeh. Ia tak tahu
bahwa si Setan Cabul punya jurus-jurus jebakan yang cukup membahayakan lawannya.
Aku harus hati-hati
menghadapi lagak si Setan Cabul yang seperti orang
lengah itu."
Kalasura sendiri menjadi semakin murka sete-
lah kehilangan tangan kirinya. Hasrat membunuhnya
bertambah meluap-luap, sehingga dengan cepat ia
berdiri dan melemparkan kapaknya dalam posisi mir-
ing. Wuuung...!
Kapak itu terbang dengan cepat dan meman-
carkan sinar merah di sekitarnya. Gerakan terbangnya yang memutar mirip sekali
bentuk piringan bersinar
merah. "Terimalah pembalasanku ini, Jahanam...!" Kalasura masih sempat berteriak
meluapkan emosinya.
Tetapi sebelum kapak bercahaya merah itu
mendekatinya, Setan Cabul segera melepaskan sinar
berbentuk bola kecil berwarna hijau kekuning-
kuningan. Claaap...! Sinar tersebut segera menghan-
tam kapak bercahaya merah itu.
Blaam, blegaaarrr...!
Kapak itu pecah seketika, kepingannya menye-
bar ke mana-mana. Tanah dan alam sekeliling mereka
terasa terguncang akibat ledakan dahsyat tadi. Bahkan dua batang pohon di
sekitar terjadinya benturan kapak dengan sinarnya si Setan Cabul itu menjadi
pecah terbelah-belah beberapa bagian. Keadaan itu menunjuk-
kan betapa dahsyatnya sinar hijau kekuningan tadi
dan sangat membahayakan nyawa sang lawan.
Manggara dan beberapa orang lainnya hanya
bisa tertegun bengong dan berdecak dalam hati men-
gagumi kedahsyatan ilmu si Setan Cabul tersebut.
Bahkan dua orang yang mengikuti Kalasura dari kedai itu sempat gemetaran dan
lututnya sukar dipakai berdiri, sehingga ia berpegangan batang pohon kuat-kuat.
Sumo Gaok menggumam dalam hati, "Sinar hi-
jau kekuningan adalah sinar berbahaya. Aku harus
menghindari sinar itu dan tak perlu menangkisnya!"
Setan Cabul segera hampiri lawannya dengan
serukan kata keras-keras.
"Sekarang juga kau akan menyusul kakak pe-
rempuanmu; si Culaswati yang menjadi perempuan
liar dan bergabung dengan pihak Kuil Darah Perawan
yang kini telah kukirim ke neraka itu! Memang se-
layaknya dia mati daripada memperbudak setiap lelaki untuk dijadikan pemuas
gairahnya!"
"Bangsat kau, Setan Cabul! Heeeaaah...!"
Kalasura nekat menyerang walau hanya dengan
satu tangan. Tubuhnya meluncur di udara dengan jari-jari tangan mulai kepulkan
asap tipis, pertanda seluruh tenaga dalamnya dipusatkan ke tangan tersebut.
Tetapi Jaraknya yang cukup jauh dengan Setan
Cabul membuat Setan Cabul punya kesempatan meno-
lak kehadiran tubuh Kalasura. Ia menolak kehadiran
lawannya dengan melepaskan pukulan jarak jauhnya
yang berupa sinar merah mirip mata tombak. Slaaap.. !
Sinar itu keluar dari ujung jari telunjuk yang dituding-kan lurus ke arah
Kalasura. Melihat sinar merah melesat mendekatinya, Ka-
lasura segera rentangkan telapak tangannya dan me-
nahan sinar tersebut dengan tangan menjadi biru le-
gam. Desss...! Sinar itu menghantam telapak tangan
Kalasura. Kurang dari sekejap, terdengar suara ledakan yang menggelegar.
Blaaarrr...! Pohon-pohon bergetar, tanah pun ikut bergetar,


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tubuh Kalasura bukan bergetar saja, melainkan
terpental melambung di udara,
"Aaaa...!" jeritan Kalasura bagai memenuhi alam sekitar tempat itu. Semua mata
para penonton yang bersembunyi menatap tubuh Kalasura yang mirip
boneka dari kain terlempar di udara tanpa keseimbangan tubuh. Para pengamat
tersembunyi itu tak me-
nyangka, tubuh itu akan meledak di udara setelah Setan Cabul kirimkan pukulan
sinar merah seperti tadi sekali lagi.
Claaap...! Blaaarrr...! Sumo Gaok pejamkan mata, tak berani me-
mandang nasib Kalasura.
"Ooh...! Mengerikan sekali!" gumamnya dalam hati. Kalasura pecah menjadi
serpihan yang tak bisa dikumpulkan secara utuh lagi. Tak seorang pun dapat
mengenai wajah serpihan daging sebesar potongan
daging sate itu adalah jenazah Kalasura yang mestinya dimakamkan. Dari kepala
sampai kaki, tak ada yang
bisa dikenali sebagai tubuh Kalasura jika orang itu tidak melihat sendiri
pertarungan yang mengerikan ter-
sebut. Sumo Gaok yang masih tetap ingin menghadapi Setan Cabul segera membatin,
"Goblok sekali orang itu! Mestinya sinar merah tadi tak usah ditahan dengan
tangannya. Nanti aku tidak akan mau menahan
sinar merah itu. Lebih baik ku hindari saja sambil lepaskan pukulan jarak jauh
yang langsung menghan-
tam jantung si Setan Cabul!"
Sumo Gaok ternyata tak sempat tidur. Sema-
lam ia sibuk memburu bayangan si Setan Cabul. Kare-
na sebelum ia sampai di gua tempat tinggal Setan Cabul yang diketahuinya
beberapa waktu yang lalu tanpa disengaja itu, ternyata ia telah melihat
kelebatan bayangan yang mencurigakan.
Firasatnya mengatakan bahwa bayangan itu
adalah si Setan Cabul. Rasa penasaran membuat Su-
mo Gaok mengikuti arah kepergian bayangan tersebut.
Bahkan ia sempat melihat si Setan Cabul memperkosa
seorang perempuan dan mematahkan kedua kaki pe-
rempuan itu. Sumo Gaok sengaja tak menolong perempuan
itu, sebab ia tahu perempuan itu adalah pengikut Ratu Cumbu Laras yang
belakangan ini juga bernafsu untuk memiliki Kitab Guntur Bayangan, sehingga
siapa pun yang dicurigai jika tidak memberikan kitab itu langsung dibunuhnya. Sumo Gaok
pernah melihat perem-
puan yang diperkosa Setan Cabul itu membunuh seo-
rang tokoh tua yang sedang dalam keadaan sakit, ka-
rena tokoh tua itu tidak menyerahkan kitab pusaka
tersebut. Kala itu Sumo Gaok tak bisa ikut campur ju-ga karena ia tak mau
berurusan dengan Ratu Cumbu
Laras yang sering didengar kabarnya sebagai ratu berilmu tinggi dan selalu
dibantu oleh kekuatan iblis yang menamakan dirinya Dewa Seribu Laknat.
Pertarungan yang menewaskan Kalasura itu te-
lah usai. Para penonton gelap tetap bersembunyi di
tempat masing-masing, karena takut diketahui oleh si Setan Cabul.
"Sekaranglah saatnya aku tampil menjadi pe-
nantang si Setan Cabul!" ujar hati Sumo Gaok.
Ia bermaksud menerjang Setan Cabul dari be-
lakang, karena pada saat itu Setan Cabul ingin tinggalkan tempat tersebut. Namun
baru saja Sumo Gaok
kumpulkan tenaganya di kaki dan tangan, tiba-tiba Setan Cabul sudah diserang
oleh pihak lain dengan dihu-jani sinar-sinar merah sebesar lidi dalam jumlah
puluhan sinar. Sinar-sinar merah itu datang dari atas pohon bercabang tiga.
Sraaap, craap, craap, craaap...!
Setan Cabul sendiri terkejut dan segera bersalto
ke belakang, plik-plak beberapa kali dengan cepat.
Plak, plak, plak, plak! Serbuan sinar merah itu menghantam tanah tempat Setan
Cabul tadi berdiri.
Bluuub...! Gleeerrr...! Bum! bagaikan dilanda
gelap. Tanah itu retak sepanjang delapan langkah,
membentuk celah bercabang-cabang. Seakan bumi di-
buat retak oleh sinar-sinar merah sebesar lidi itu. Asap mengepul dari celah-
celah retakan tanah yang menghi-tam, bahkan beberapa batu kecil berubah menjadi
ba- ra api yang tentunya sangat panas.
"Gila! Ilmunya siapa yang bisa bikin tanah menjadi seperti kerak neraka ini"!"
gumam Sumo Gaok.
Matanya yang kecil segera memandang ke arah pohon
bercabang tiga. Pada saat itu, pohon tersebut sedang diserang oleh Setan Cabul
dengan sinar hijau kekuningan yang tadi digunakan dalam melawan Kalasura.
Claap, wuuus...!
Blaarrr...! Pohon tersebut langsung pecah terbelah-belah
dari atas ke bawah. Namun sebelum pohon itu terhan-
tam sinar hijau kekuningan, sekelebat bayangan me-
lompat tinggalkan pohon tersebut dalam gerakan ber-
salto beberapa kali di udara.
Wuk, wuk, wuk .!
Jleeg...! Sumo Gaok terkejut, karena ternyata bayangan
yang melesat dari atas pohon itu adalah seorang wani-ta cantik berjubah merah
jambu, rambutnya di urai
panjang dan mengenakan mahkota kecil di kepalanya.
Sumo Gaok mengenal wanita cantik bermata sayu
yang selalu berpakaian menantang
gairah lelaki; kutang hijau kecil dan kain penu-
tup 'mahkota'-nya juga hijau kecil, seakan hanya menutup apa yang perlu ditutup
saja itu. Wanita tersebut tak lain adalah Ratu Cumbu Laras sendiri.
Rupanya ia sengaja mencari Setan Cabul sete-
lah tadi malam anak buahnya menjadi korban lagi. Ia sengaja tak memerintahkan
pengawalnya atau anak
buahnya, karena beberapa anak buahnya yang sudah
menjadi korban keganasan Setan Cabul dianggap se-
bagai tantangan yang merendahkan harga dirinya, se-
hingga ia merasa perlu turun tangan sendiri.
Sekalipun demikian, ternyata beberapa pen-
gawal dan anak buahnya secara diam-diam mengikuti
langkah sang Ratu dengan nilai kesetiaan tersendiri.
Delapan orang anak buah Ratu Cumbu Laras segera
berjaga-jaga di delapan penjuru, seakan mengepung
Setan Cabul yang kini sedang berhadapan dengan Ra-
tu Cumbu Laras.
"Akhirnya kau muncul juga, Perempuan Iblis!"
geram Setan Cabul dengan mata memandang menye-
ramkan. Bola mata itu menjadi semburat merah, sea-
kan memantulkan cahaya api dendam dan murka yang
berkobar-kobar. Ratu Cumbu Laras masih bersikap
tenang, tap! kedua matanya memandang dengan jeli
dan tajam. "Sudah waktunya aku turun tangan untuk
membantai mu, Biadab! Dua puluh anak buahku telah
kau jadikan korban kebinatanganmu, sekarang wak-
tunya kau pulang ke neraka dan menjadi abdinya jun-
junganku; Dewa Seribu Laknat!" seru Ratu Cumbu Laras dengan lantang, sehingga
semua orang menden-
garnya, termasuk Sumo Gaok.
Bertepatan dengan itu, dua sosok bayangan
melesat mendekati Sumo Gaok. Lelaki gemuk itu terkejut dan nyaris berteriak jika
mulutnya tidak segera di-bungkam oleh tangan seorang gadis cantik yang tak
lain adalah Dewi Binal. Tentu saja pemuda yang ber-
sama gadis itu adalah Soka Pura.
"Kucing gering! Kusangka tangan si Setan Ca-
bul muncul sendiri membungkam mulutku!" gerutu Sumo Gaok dengan suara pelan.
Dewi Binal nyengir
bersama Soka. Tapi pemuda tampan itu segera berbi-
sik pula kepada Sumo Gaok.
"Setan Cabul ada di sana, mengapa kau di sini"
Bagaimana kau akan bisa menangkap atau membu-
nuhnya?" "Kuberi kesempatan kepada yang lain dulu,"
jawab Sumo Gaok membuat Dewi Binal mencibir, me-
remehkan nyali si gemuk itu.
* * * 8 SETAN CABUL dan Ratu Cumbu Laras saling
mengumbar tantangan. Saat itu seorang anak buah
Ratu Cumbu Laras ingin menyerang Setan Cabul dari
arah belakang dengan lemparan pisau terbangnya.
Zuuut...! Dengan cepat tangan Setan Cabul berkelebat ke
atas pundaknya sambil badannya dimiringkan ke ka-
nan, pandangannya tetap tertuju pada Ratu Cumbu
Laras. Rupanya tangan itu bagaikan mempunyai mata
sendiri, sehingga dalam waktu singkat jari-jari tangan tersebut telah berhasil
menjepit pisau yang dilemparkan dari belakang.
Teeeb...! Seketika itu juga Setan Cabul memutar tubuh-
nya dengan cepat sekali, nyaris tak terlihat gerakannya. Tahu-tahu ia sudah
menghadap ke arah Ratu
Cumbu Laras lagi, tapi pisau di tangannya telah melesat dan menancap tepat di
leher pelemparnya.
Juurb.! "Aaakh...!" orang itu tak bisa memekik, hanya bisa mendelik dan limbung sesaat,
kemudian tumbang
ke tanah tanpa nyawa lagi. Sejak itu Ratu Cumbu La-
ras memberi isyarat kepada ketujuh anak buahnya un-
tuk tidak lakukan serangan demi mengirit nyawa me-
reka. Mereka segera mundur beberapa langkah dan
memberi kesempatan kepada sang Ratu untuk hadapi
si Setan Cabul sendiri.
"Gila! Gerakannya cepat sekali!" gumam Sumo Gaok. "Agaknya... agaknya lebih baik
aku menjadi penonton saja daripada tumbang tanpa nyawa seperti
gadis anak buah Ratu Cumbu Laras itu!"
"Itulah sebabnya aku mencemaskan dirimu ke-
tika kau nekat berangkat mencari si Setan Cabul," bi-
sik Dewi Binal. Gadis itu tiba-tiba berkata kepada Soka Pura. "Hei, lihat...
siapa yang ada di balik pohon seberang sana"!"
Ternyata yang dimaksud Dewi Binal adalah Ra-
ka dan Biang Tawa yang berdiri di belakang Manggara.
"Oh, kakakku sudah ada di sana?" gumam So-ka dengan nada senang.
"O, jadi kau manusia kembar"!" ujar Sumo
Gaok. "Katamu kau punya ketajaman indera dan bisa membaca pikiran orang?"
"Jika sedang beruntung memang begitu," jawab Sumo Gaok sambil mau tertawa, tapi
mulutnya buru-buru ditutup dengan tangan Dewi Binal seperti tadi.
Tawa orang gemuk itu pun tak jadi keluar. Soka Pura segera mengajak Dewi Binal
memutar ke seberang untuk bergabung dengan Raka Pura dan Biang Tawa.
Dewi Binal sendiri tak keberatan, karena ia melihat Manggara dan ingin memberi
peringatan kepada murid
si Tabib Kubur itu agar menjauhi arena pertarungan
tersebut. Sumo Gaok akhirnya ikut memutar dan ber-
gabung dengan Raka Pura supaya mendapat teman
berkasak-kusuk.
"Soka..."! Oh, kebetulan sekali kita bertemu di sini!" ujar Raka dengan girang
pula Sementara itu, Biang Tawa dan Dewi Binal saling adu pandan dengan
sinis. Raka membisikkan rencananya untuk membu-
nuh Setan Cabul. Dan jelaskan secara singkat kerja
samanya dengan Betina Rimba; si Ketua Puri Cawan
Mesum itu. "Kalau begitu, kita serang sekarang saja si Setan Cabul, biar Betina Rimba
segera memberi tahu di
mana tempat ayah kita mengasingkan diri."
"Jangan sekarang! Kita tunggu sampai perem-
puan itu tumbang di tangan Setan Cabul!"
Ucapan Raka itu didengar oleh Biang Tawa, dan
Biang Tawa segera ikut bicara secara bisik-bisik, tapi didengar oleh Pendekar
Kembar. "Perempuan itulah yang bernama Ratu Cumbu
Laras, yang membantai habis seluruh keluarga ayah
kalian!" "Ooh..."!" Pendekar Kembar terkejut dan kedua wajah serupa itu menjadi
sama-sama tegang. Bara
dendam pun mulai berkobar di dalam hati Pendekar
Kembar. "Jangan buru-buru bertindak. Biarkan si Setan
Cabul menghancurkan perempuan itu," saran Biang Tawa. Lalu, mereka tak sempat
berkasak-kusuk lagi
karena Setan Cabul dan Ratu Cumbu Laras mulai sal-
ing lepaskan pukulan jarak jauhnya.
Claap, claap...! Blegaarr...!
Sinar hijau kekuningan dari tangan Setan Ca-
bul beradu di pertengahan jarak dengan sinar putih-
nya Ratu Cumbu Laras. Tabrakan kedua sinar itu tim-
bulkan ledakan yang mengguncang bumi dan mem-
buat daun-daun pohon serta beberapa rantingnya ber-
guguran. Ratu Cumbu Laras tersentak mundur, demi-
kian juga si Setan Cabul. Tapi keduanya masih sama-
sama tangguh dan segera lepaskan pukulan tenaga da-
lamnya. Selarik sinar merah keluar dari telapak tangan Ratu Cumbu Laras.
Claaap...! Tap! selarik sinar hijau pun keluar
dari telapak tangan Setan Cabul.
Claaap...! Kedua sinar yang melesat tanpa pu-
tus itu saling bertemu di pertengahan jarak, memer-
cikkan bunga api yang berpijar-pijar. Mereka saling ke-rahkan tenaga dalam
melalui sinar-sinar tersebut.
Sampai beberapa saat tak ada yang tumbang. Keringat mereka sama-sama bercucuran,
tubuh mereka sama-sama bergetar, namun keduanya masih sama-sama
ingin mendesak sinar lawannya dan menghancurkan
lawan dengan sinar masing-masing.
Keadaan menegangkan bagi para penonton itu
akhirnya terputus karena tangan kiri Setan Cabul berkelebat bagai melemparkan
sesuatu. Suuut...! Tak ada sinar dan tak ada suara. Hanya saja,
Ratu Cumbu Laras segera melompat tinggi-tinggi dan
bersalto di udara sambil lepaskan sinar merahnya. Ti-ba-tiba pohon di
belakangnya hancur tanpa suara le-
dakan kecuali derak kayu-kayu yang hangus bagaikan
disambar petir.
Rupanya perempuan yang dari dulu tetap awet
cantik dan awet muda karena punya aji pengawet ke-


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantikan itu merasakan adanya gelombang panas yang
mempunyai getaran peledak sangat besar. Sebelum ge-
lombang panas itu menyentuhnya, ia buru-buru
menghindar dengan satu sentakan melambung ke
atas. Setan Cabul mengejarnya dengan kibasan tan-
gan kirinya lagi, sementara sinar hijaunya juga telah redup kembali.
Sut...! Ia seperti melemparkan sesuatu ke arah
Ratu Cumbu Laras. Gelombang panas dan getaran
daya ledak tinggi dirasakan mendekatinya, maka sang Ratu pun segera sentakkan
kakinya yang ingin menda-rat ke bumi itu. Kaki keluarkan tenaga padat tanpa
warna sehingga mampu menyentak di tanah dalam ke-
tinggian jarak sekitar satu tombak lebih sedikit.
Deeb...! Tahu-tahu tubuh sekal dan montok itu
melesat ke arah lain sambil bersalto lagi dengan cepat.
Wuk, wuk...! Krrak, bruuussk...!
Sebatang pohon besar menjadi sasaran puku-
lan tak terlihat itu. Pohon tersebut pecah sebagian dan menjadi hitam hangus
bagai habis disambar petir. Semua mata yang melihatnya tertegun heran dan terka-
gum-kagum terhadap jurus tak bersuara dan tak terlihat wujudnya itu.
Sementara itu, dalam keadaan masih melam-
bung turun, Ratu Cumbu Laras segera melepaskan
pukulan bersinar merah patah-patah ke arah kepala
Setan Cabul. Tapi sinar merah patah-patah segera
hancur karena dihantam oleh sinar hijau kekuningan
dari tangan Setan Cabul.
Clap, clap...! Blaaar...!
Setan Cabul terpelanting oleh gelombang leda-
kan yang cukup berbahaya bagi gendang telinganya
itu. Ia hanya jatuh berlutut, lalu segera rentangkan kedua tangan dengan jari
membentuk cakar. Sedangkan Ratu Cumbu Laras segera mengambil sikap kuda-
kuda begitu kedua kakinya menapak di tanah. Kedua-
nya saling pandang dengan napas terengah engah.
Saat si Setan Cabul berdiri pelan-pelan dengan
tangan siap menghantamkan pukulannya lagi itu, tiba-tiba Ratu Cumbu Laras
berseru dengan geram.
"Rupanya kau telah menguasai jurus 'Guntur
Bayangan' itu, Keparat! Berarti kaulah yang sekarang memiliki pusaka Kitab
Guntur Bayangan!"
"Memang aku!" tegas Setan Cabul. Beberapa penonton di sekeliling tempat itu
menjadi terkejut, karena mereka tidak menyangka bahwa kitab yang ba-
nyak diburu orang itu ternyata ada di tangan si Setan Cabul. Namun mereka tak
berani kasak-kusuk, karena
mereka ingin dengarkan lanjutan kata-kata Setan Ca-
bul itu. "Ku pelajari jurus itu khusus untuk hancurkan kejahatan mu, Untari!"
Setan Cabul sebutkan nama asli Ratu Cumbu Laras sebagai tanda bahwa ia telah
cukup lama mengenal Ratu Cumbu Laras.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga mengetahui
nama asli ku, hah"!" bentak Ratu Cumbu Laras.
"Akulah korban yang keluarganya kau bantai
semua." Pendekar Kembar mulai berdebar-debar men-
dengar ucapan Setan Cabul. Mereka saling berpandan-
gan dengan wajah tegang. Tak satu pun berani berka-
ta-kata. Setan Cabul sambung ucapannya lagi.
"Akulah orang yang menjadi gila sejak terlepas dari pelukan mu dan menyimpan
dendam sebesar gunung padamu, Untari! Sekalipun kau tak menga-
kuinya, tapi firasat ku tak pernah meleset, pasti kau orang yang membantai
keluargaku, karena kau mem-butuhkan bayi kembar ku yang baru lahir itu untuk
dikorbankan sebagai tumbal iblis Dewa Seribu Lak-
nat!" Wajah Raka dan Soka mulai pucat. Seluruh tubuhnya gemetar. Pernafasannya
terasa sesak. Ratu
Cumbu Laras pun perdengarkan suaranya yang berge-
tar. "Ooh..."! Ja... jadi kau adalah Panji Pura"!"
"Ya, aku Panji Pura!" tegas Setan Cabul yang lebih mengejutkan setiap orang yang
ada di sekitar tempat itu. Rasa terkejut yang paling besar ada di dalam hati Pendekar kembar.
Tapi sebelum mereka ber-
tindak, ternyata mereka harus menahan diri lebih du-
lu, karena Ratu Cumbu Laras segera serukan kata.
"Persetan dengan siapa dirimu!" kata-kata itu sengaja dilontarkan dengan keras-
keras untuk hilang-kan rasa duka mengenang masa lalunya.
"Jika kau memang Panji Pura, maka seharus-
nya kau berurusan dengan si Betina Rimba, karena
Betina Rimba adalah ketua pasukan bertopeng yang
kerjanya membantai seluruh keluargamu atas perintah dan tindakan si Betina
Rimba!" "Hahhh..."!" Raka dan Soka makin lebarkan mata dan nafasnya menjadi sangat berat
karena koba-ran api dendam semakin meluap-luap.
Setan Cabul yang ternyata adalah Panji Pura,
ayah kandung Pendekar Kembar itu segera berseru
dengan lebih murka lagi.
"Kaulah yang bertanggung jawab atas pemban-
taian itu, Untari! Karena Betina Rimba bertindak atas perintahmu! Dan sekarang
sudah waktunya kau menebus kekejamanmu itu! Heeeaaah...!"
Wes, wes, wes...!
Tangan si Setan Cabul berkelebat silih berganti.
Sepertinya tak melepaskan pukulan apa pun, tapi se-
benarnya ia menggunakan jurus 'Guntur Bayangan'
yang tanpa rupa dan tanpa suara itu. Amukan si Setan Cabul membuat beberapa anak
buah Ratu Cumbu Laras tiba-tiba pecah dalam keadaan hangus bagai dis-
ambar petir, pohon-pohon pun terbelah dan menjadi
arang, demikian pula beberapa batu yang berada di
sekitar tempat itu menjadi hancur dan kepulkan asap berarang. Mereka dan benda-
benda itu hancur tanpa
suara letupan sedikit pun, membuat Ratu Cumbu La-
ras terpaksa gunakan jurus 'Perisai Baja Gaib'-nya.
Dengan sentakan kaki ke tanah, tiba-tiba dari
dalam tanah memancar cahaya biru yang mengelilingi
Ratu Cumbu Laras membentuk lapisan seperti kaca
tembus pandang. Dalam keadaan begitu, sang Ratu
tak bisa ditembus oleh jurus 'Guntur Bayangan' atau senjata dan pukulan apa pun.
Tetapi dari balik cahaya biru itu Ia masih bisa lepaskan pukulan mautnya ke
arah lawan dengan sangat mudahnya.
Craaap, craap, craaap...!
Sinar merah seperti lidi keluar dari pucuk-
pucuk jari sang Ratu. Sinar merah patah-patah itu
menyerang si Setan Cabul secara bertubi-tubi. Ke ma-na pun si Setan Cabul
menghindar, sinar merah pa-
tah-patah yang jumlahnya lebih dari sepuluh larik itu dilancarkan terus-menerus,
sehingga si Setan Cabul
kewalahan. Sambil hindari sinar tersebut, Setan Cabul te-
tap lepaskan jurus 'Guntur Bayangan' yang membuat
ledakan berkali-kali jika bertabrakan dengan sinar merah patah-patah itu.
Duaar, blaar, blegar, gleer...!
"Aaaakh...!"
Setan Cabul memekik bertepatan dengan mele-
satnya dua bayang putih yang menerjang Ratu Cumbu
Laras. Wuuuut, wuuut...! Blaarrr...!
Cahaya biru yang mengurung Ratu Cumbu La-
ras itu pecah bagaikan kaca menyebar dan lenyap di
udara. Ratu Cumbu Laras terpental terkena tendangan dari kanan-kiri. Namun ia
segera bangkit dan menatap dua penyerangnya yang ternyata adalah Pendekar
Kembar; Soka Pura dan Raka Pura.
Ratu Cumbu Laras menggeram penuh murka.
"Keparat kau bocah-bocah ingusan! Minggat
kau yang jauh, jangan campuri urusan orang tua!"
Soka Pura berseru, "Kami adalah bayi yang kau
incar untuk dijadikan tumbal pada waktu itu! Aku dan kakakku layak menuntut
kematianmu untuk menebus
kematian para leluhur ku! Hadapilah aku; Soka Pura, putra Panji Pura!"
"Aku si Raka Pura juga menuntut balas pada-
mu atas nama keluarga Eyang Demang Yasaguna!"
"Ku hancurkan mulut lancang mu, Jahanam!
Heeeaahh...!"
Ratu Cumbu Laras sentakkan kedua tangannya
ke arah kanan-kiri. Tiba-tiba dari dalam tubuhnya melesat dua bayangan hitam
yang berbentuk seperti di-
rinya sendiri. Wees, wees...! Dua bayangan hitam itu segera menerjang Raka Pura
dan Soka Pura bagaikan
sepasang makhluk ganas yang sukar dikendalikan.
Gerakan cepatnya membuat Raka terkena cakaran pa-
da lengannya dan Soka terjungkal karena mendapat
tendangan kuat di pundak kanannya.
"Ggrrrh...!" "Grroohw...!!"
Kedua makhluk hitam yang mirip bayangan itu
mengerang dan bergerak terus menyerang Pendekar
Kembar dengan ganas.
Namun kedua anak kembar itu segera menca-
but Pedang Tangan Malaikat dari sarungnya.
Sraaaang, srraaaang...!
"Hiaaahh...!"
"Heeeaaah...!"
Raka Pura dan Soka Pura segera mengibaskan
pedang kristal yang memancarkan cahaya ungu itu.
Satu kali tebasan membuat bayangan hitam jelmaan
Ratu Cumbu Laras menjadi lenyap terhantam sinar
ungu yang keluar dari ujung pedang mereka.
Blaar, blaar...!
Ratu Cumbu Laras terkejut, para penonton ge-
lap terperangah kagum melihat kilatan cahaya ungu
dari kedua pedang Pendekar Kembar itu ternyata tidak hanya berhenti sebatas
melenyapkan dua bayangan hitam tadi, tapi juga meluncur lurus ke arah Ratu Cum-
bu Laras. Rasa kaget sang Ratu yang hanya sekejap itu-
lah yang dimanfaatkan oleh kedua sinar ungu dari Pedang Tangan Malaikat,
sehingga sang Ratu pun berha-
sil ditembus oleh kedua sinar ungu yang menggumpal
menjadi satu saat tiba di depan dada sang Ratu.
Blegaaarrr...! Suara ledakan kali ini adalah ledakan yang pal-
ing dahsyat dari semua ledakan tadi. Pendekar Kembar tetap berdiri dengan pedang
terangkat ke atas dan tetap memancarkan cahaya ungu bagai petir berlonca-
tan. Sementara itu, tubuh Ratu Cumbu Laras masih
berdiri tegak tanpa luka sedikit pun. Wajahnya me-
mancarkan senyum tipis yang membuat Sumo Gaok
sangat heran. "Edan! Sudan terkena sinar ungu yang menim-
bulkan daya ledak begitu kuat, tapi dia masih tetap utuh dan tak terkoyak
sedikit pun"! Bahkan pakaiannya pun tak ada yang robek atau hangus seujung
rambut pun"! Benar-benar perempuan tahan gebukan
Ratu itu!"
Bukan hanya Sumo Gaok yang berpikiran begi-
tu, tapi Dewi Binal, Manggara, Biang Tawa, dan beberapa orang lainnya juga
bergumam dalam hati seperti Sumo Gaok. Para penonton pertarungan ternyata
menjadi semakin banyak karena suara ledakan sejak tadi menarik perhatian para
tokoh dari berbagai aliran. Hadir pula di situ, seorang lelaki tua berjubah
coklat yang dikenal dengan nama Tabib Kubur, kakek Dewi Binal
dan gurunya si Manggara. Tokoh itu rupanya sudah
sejak tadi berada di atas sebatang pohon tinggi, berdiri di sela-sela dedaunan
pohon dengan menggunakan jurus peringan tubuh yang sangat dikuasai.
Mereka semakin tercengang ketika menyadari
bahwa Ratu Cumbu Laras yang berdiri dengan senyum
tipis itu ternyata sudah tidak bernyawa sejak tadi. Kulit tubuhnya makin lama
tampak membiru dan lama-
lama menjadi hitam bagaikan arang. Pakaiannya pun
berhamburan karena telah menjadi abu sejak tadi.
Sang Ratu akhirnya tumbang dalam keadaan
remuk seperti seonggok arang. Kekuatan kedua Pe-
dang Tangan Malaikat itu ternyata menjadi sangat
dahsyat jika disatukan dan tak ada yang bisa menan-
dinginya. "Uuukh...! Aaakh.. aaanakku...!" terdengar suara Setan Cabul yang terluka parah
pada bagian da-
danya. Dada itu membusuk karena terkena sinar me-
rah patah-patah tadi.
"Ayaaah...!" seru Raka Pura segera hampiri Setan Cabul. Seruan Raka membuat Soka
Pura pun mengikutinya dan kini kedua anak kembar itu sudah
berada di samping Setan Cabul yang terkapar bersan-
dar pohon. "Raka, gunakan jurus 'Sambung Nyawa' untuk
sembuhkan luka ayah kita!"
"Tak... tak perlu, Anakku...! Tak perlu...," suara Setan Cabul terputus-putus di
sela nafasnya yang
memberat. Ia memegangi kedua tangan Pendekar
Kembar yang berada di kanan-kirinya. Sedangkan Su-
mo Gaok, Dewi Binal, Tabib Kubur, dan yang lainnya
segera mengerumun di tempat itu.
"Aaak... aku sudah waktunya untuk pergi...,"
ucap Panji Pura alias si Setan Cabul.
"Ayah, kami sanggup memulihkan kesehatan
mu, Ayah!" ujar Raka dengan wajah sendu.
"Tid... tidak, Anakku. Aku... merasa lebih baik menyusul ibumu. Bee... beginilah
caraku menebus do-saku yang sangat... ku sesali."
Wajah-wajah pengerumun tampak ikut berdu-
ka. Tak satu pun ada yang berani bicara. Semua per-
hatian terpusat pada Setan Cabul. Mereka hanya ber-
kecamuk dalam batin karena tak menyangka bahwa
Kitab Guntur Bayangan ternyata telah berhasil dicuri dan dipelajari oleh Setan
Cabul. "Anakku... aku sudah cukup gembira dapat
bertemu dengan kalian. Kematianku terasa akan da-
mai, karena aku telah mendengar kalian memanggilku
'Ayah'. Aku.., memang sudah telanjur... rusak. Biarlah aku pergi, dan... kalian
tetaplah berada dalam aliran putih. Tap... tapi perlu kalian ketahui, kulakukan
kekejaman ini hanya semata-mata ingin membalas den-
dam kepada perempuan-perempuan yang... yang ber-
jiwa iblis. Mereka yang kujadikan korban adalah... pa-ra perempuan sesat,
seperti anak buah si... Ratu
Cumbu Laras itu.... Karena, aku menjadi seperti ini karena diracuni oleh...
kemesraan perempuan sesat
itu. Sampaikan maaf ku... kepada cucu si Tabib Ku-
bur, karena... karena ia mirip salah seorang anak buah Ratu Cumbu Laras,
sehingga hampir saja menjadi...
korbanku. Aku... oh, aku tak kuat lagi, Anakku...."
"Ayah, bertahanlah!"


Pendekar Kembar 4 Setan Cabul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami akan sembuhkan lukamu, Ayah! Berta-
hanlah...!"
"Seee... selamat tinggal... Anakku... Pendekar Kembar... sampaikan salamku
kepada guru kalian
dan... dan...." Setan Cabul pun tak mampu teruskan ucapannya. Napas terakhir
terhembus panjang, dan ia terkulai lemas tanpa nyawa lagi.
"Ayaaaah...!" teriak Raka dan Soka sambil me-meluk jenazah ayah kandung mereka.
Suasana haru meliputi mereka yang mengeru-
mun. Mereka tundukkan kepala sebagai penahan du-
ka. Tapi dalam keheningan duka itu, Biang Tawa sem-
pat berucap dalam hatinya.
"Kutukan Nyai Sekap Madu benar-benar terja-
di. Ratu itu akhirnya mati di tangan anak kembar, yaitu si Pendekar Kembar,
putra Panji Pura...," sambil ia mengenang peristiwa pertarungan antara Nyai
Sedap Madu dengan Ratu Cumbu Laras, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode perdana : "Dendam Asmara Liar"). Setelah memakamkan
jenazah Panji Pura alias si Setan Cabul, kedua anak kembar itu mendapat pen-
jelasan dari Tabib Kubur tentang si orang gila yang disembuhkan oleh sang Tabib.
Ternyata orang gila itu adalah Panji Pura sendiri. Tekanan batin dan penyesa-
lannya telah mengubah jiwa Panji Pura menjadi liar
dan ganas terhadap perempuan pengumbar gairah.
Bahkan penampilan Panji Pura pun
berubah menjadi ganas dan buas. Ia mencuri
Kitab Guntur Bayangan tanpa diduga-duga oleh Tabib
Kubur, karena menurut Tabib Kubur, mungkin kitab
itu ditemukan Panji Pura secara tak sengaja di dalam kotak besi yang ditanam
dalam tanah. Sumo Gaok yang mengetahui gua tempat ting-
gal Setan Cabul segera membawa mereka ke sana dan
ternyata kitab tersebut memang ada di dalam gua itu.
Kitab Guntur Bayangan segera diambil oleh Tabib Ku-
bur yang sebenarnya adalah kakak sepupu dari men-
diang Eyang Rayap Sewu, termasuk kakak sepupunya
mendiang Ki Mandura. Kitab itu segera dimusnahkan
oleh Tabib Kubur agar tidak menjadi biang bencana la-
gi bagi kedamaian di muka bumi.
"Kalian mau ke mana lagi?" tanya Dewi Binal kepada Raka.
"Kami akan hancurkan Puri Cawan Mesum, ka-
rena Betina Rimba itulah pelaku pembantaian keluar-
ga kami!" Biang Tawa segera berkata, "Aku setuju, dan
aku ada di pihakmu. Selama ini aku sama sekali tak
tahu kalau berada di bawah kekuasaan sang pemban-
tai keji itu!"
Pendekar Kembar pun segera berangkat ting-
galkan Tabib Kubur dan Dewi Binal. Tetapi secara di-am-diam Dewi Binal menyusul
Pendekar Kembar dan
Biang Tawa, karena di dalam hati Dewi Binal telah te-rukir keindahan cinta yang
tercipta lewat cumbuan
mesra Soka Pura. Gadis itu merasa sulit berjauhan
dengan Soka Pura. Sementara ia sendiri tak tahu, apakah Soka Pura juga merasa
sulit berpisah dari dirinya"
SELESAI Segera terbit!!
GAIRAH SANG PEMBANTAI
E-Book by Abu Keisel - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Alap Alap Laut Kidul 5 Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 18
^