Pencarian

Goa Mulut Naga 2

Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga Bagian 2


pernah kurasakan. Oouh,
teruskanlah... aku suka, Sayang. Aku
suka, dan... aaow" Tandu Sangrai memekik keras dan meremat rambut Soka kuat-kuat
karena lidah Soka semakin liar dan nakal.
Mengobrak-abrik 'mahkota' yang menjadi sumber kenikmatannya itu.
"Begitu indahnya," pikir Tandu Sangrai. "Begitu hangatnya dia, tak pernah
kudapatkan yang sehangat ini dari pria mana pun. Ooh... rupanya inilah
tanda perdamaian darinya. Beginilah
caranya menyuruhku melupakan pertarungan di sela senja tadi"
Oooh... tak ingin aku bermusuhan lagi
dengannya. Tak ingin
aku bertarung dengannya, kecuali pertarungan senikmat ini!"
Perempuan itu semakin memekik-mekik
karena Soka Pura pandai mengantarkan ke puncak kemesraan beberapa kali.
Perempuan itu bagai ingin mengulang dan
mengulangnya terus tanpa peduli malam
kian sepi dan udara dingin makin
menggigilkan tubuh. Toh nyatanya kedua tubuh mereka sama-sama bermandi peluh
bagai diguyur air hujan.
* * * 4 KICAU burung masih terdengar sebagai
sisa pagi yang cerah. Perawan Hutan baru saja keluar dari rumah mendiang Ki
Mandura. la sempat kebingungan saat
mengetahui Raka tidak ada di balai
tempatnya tidur. Perawan Hutan menyangka ditinggalkan oleh Raka. Namun begitu
mendengar suara pekik tertahan disamping rumah. Perawan Hutan yakin bahwa Raka
tidak pergi meninggalkannya.
Gadis berompi cekak itu sengaja
berdiri dibawah pohon sambil menopangkan salah satu tangannya ke pohon itu.
Pandangan matanya tertuju ke tanah datar berumput pendek. Raka ada di sana,
berlatih Jurus-Jurus silatnya yang
memeras keringat hingga la terpaksa
membuka baju. Badannya yang berkulit sawo matang Itu tampak kekar dan berotot.
dadanya bidang tanpa bekas luka sedikit pun.
Raka tahu, ia sedang dipandangi
Perawan Hutan. Tapi ia tidak peduli dan tetap lanjutkan latihannya. Namun la
tidak tahu kalau saat itu ia sedang
diperdebatkan oleh batin si gadis cantik berdada sekal itu.
"Tak kusangka ia pemuda yang dingin dan pemalu. Lagaknya ketika bertemu di
pantai, meluncurkan rayuan gombal biar aku terpikat. Setelah hatiku bisa
menerima kehadirannya, ternyata ia tidak segagah dugaanku."
Perawan Hutan terbayang adegan tadi
malam, ketika ia memancing kemesraan
dengan kata-kata. Ternyata Raka hanya
menanggapinya dengan senyum-senyum saja, bahkan tampak menyembunyikan rasa
malunya di balik senyum itu.
"Kau pernah punya kekasih?"
"Belum," jawab Raka pelan sambil tersenyum tipis, tak berani menatap lawan
bicaranya. "Tak ingin punya kekasih?"
"Hmmm... masih belum kepingin
celaka," jawabnya sambil tertawa pelan.
"Kenapa sakit kepala?"
"Punya kekasih hanya akan bikin
kepala Jadi sering sakit karena
memikirkan ulahnya."
"Tidak semua gadis begitu."
"Memang. Tapi kalau kebetulan aku dapat kekasih yang seperti itu, tekor
kan"!"
Perawan Hutan tersenyum geli. Cantik
sekali jika tersenyum. Tanpa senyum saja cantik, hanya saja agak berkesan galak,
tapi dengan tersenyum kecantikan Itu
makin bertambah memukau. Sayangnya Raka tak mau melontarkan pujian itu selain
hanya terucap dalam hatinya. Bahkan Raka
berusaha untuk tidak menatap Perawan
Hutan terlalu lama, karena ada sesuatu yang ditakutkan mekar di dalam hati
sebelum mendapat izin menyandang gelar Pendekar Kembar.
Raka memang bertekad untuk tidak
Jatuh hati kepada seorang gadis sebelum ia dan adiknya mendapat gelar sebagai
Pendekar Kembar. Sedangkan gelar itu,
kata ayah angkatnya, akan diberikan
kepadanya dan Soka setelah mereka
berhasil dapatkan Pedang Mata Malaikat.
Berbeda dengan Soka, si kembar yang
satu itu tak pernah pedulikan gelar
pendekar. Jika ia merasa suka dengan
seorang gadis, jalinan cinta pun akan
dilakukan. Baginya, pendekar atau bukan sama saja haknya, yaitu sama-sama boleh
jatuh cinta. Sang adik memang lebih
konyol dari sang kakak.
Karenanya Perawan Hutan sempat heran
melihat sikap Raka yang dingin tanpa mau menyentuh tubuhnya. Bahkan ketika
Perawan Hutan sengaja mengambil minuman di meja seberang dan duduk kembali
dengan lebih merapat lagi ke badan Raka, pemuda itu justru berlagak menengok
keadaan di luar rumah, seakan mengharap kedatangan Soka.
Setelah itu ia duduk kembali di bangku depan si gadis.
Perawan Hutan tahu, Raka tak mau
berdekatan. Hatinya sempat merasa malu
dan dongkol, tapi ia mencoba untuk tetap tenang serta bersikap biasa-biasa saja
biar tak diketahui maksud aslinya.
"Tidurlah dulu, biar aku yang
menunggu adikmu pulang," kata Perawan Hutan.
"Kau saja yang tidur, menunggu adikku pulang adalah kewajiban seorang kakak."
Perawan Hutan angkat bahu. "Terserah.
Kalau begitu aku tidur lebih dulu. O,
ya... di mana aku harus tidur?"
"Di balai saja. Biar aku yang tidur di bangku panjang itu."
"Kau saja yang di balai, biar aku yang di bangku panjang."
"Jangan! Kau wanita, aku harus
mengalah. Ayahku sering ajarkan hal itu padaku."
"Kalau begitu kita sama-sama tidur di balai saja, pancing Perawan Hutan.
"Aku tak pernah tidur bersama
perempuan. Tak akan bisa tidur jika
begitu. Sebaiknya aku tidur di bangku
panjang saja...."
Dari situlah Perawan Hutan tahu,
bahwa pemuda yang bersamanya tidak
sepanas dugaannya, tidak pula senakal
tingkahnya ketika di pantai. Perawan
Hutan berusaha melupakan sikap dingin
Raka, tapi ketika ia bangun tidur, sikap dingin itu terbayang lagi dalam
ingatannya. Bahkan pada saat itu ia
memperhatikan pemuda itu berlatih
kecepatan gerak tangan dan kaki, bayangan itu muncul kembali dalam ingatannya.
"Lama-lama ia pasti akan menyadari bahwa batinnya akan membutuhkan sentuhan dan
kehangatan seorang perempuan," ujar Perawan Hutan dalam hati.
Raka berseru dengan napas. terengah-
engah, "Lemparkan batu di dekat kakimu itu!"
Perawan Hutan melirik batu sebesar
kepala babi yang ada tak jauh darinya
itu. la tahu maksud
Raka, ingin menghancurkan batu yang melayang entah dengan cara bagaimana. Maka Perawan Hutan
pun segera melemparkan batu sebesar
kepala babi itu.
Batu tersebut tidak dilemparkan
dengan tangan, melainkan dengan hentakan kaki. Kaki kanan gadis itu dihentakkan
ke tanah samping batu.
Dunk...! Seketika itu pula batu sebesar kepala
babi melesat ke arah kepala Raka.
Wess...! Raka sedikit melompat, lalu batu
besar yang mengarah ke dadanya itu
digepak dengan kedua tangan dari kanan kiri.
Prakk...! Blukk... Batu itu jatuh dalam keadaan masih
utuh. Perawan Hutan mencibir saat Raka meliriknya. Gadis itu segera dekati Raka
yang masih membayangkan kehebatan si
gadis saat melemparkan batu dengan
hentakan kaki ke tanah tadi.
Tenagamu kurang dicurahkan ke telapak
tangan kiri. Kulihat tadi gerakan telapak tangan kirimu tak bertenaga penuh,
maka batu ini tak bisa pecah dalam satu
geprakan," kata Perawan Hutan.
Raka hanya sunggingkan senyum kalem.
Tapi akhirnya berkata dengan pelan,
"Mungkin benar penilaianmu, tangan kiriku memang lemah. Tap! adikku
mempunyai tangan kiri yang lebih kuat
dari tangan kanannya. Dia memang kidal!"
Perawan Hutan segera membungkuk
mengambil batu Itu, "Kurasa kau perlu perhatikan caraku memecahkan batu ini
dengan...."
Kata-kata itu terhenti seketika,
karena ketika kedua tangan Perawan Hutan ingin mengangkat batu tersebut,
ternyata batu itu sudah menjadi gumpalan pasir
hitam yang lembut.
Pruuss...! Dan saat itu wajah Perawan Hutan
mendongak memandang Raka, yang dipandang hanya tersenyum tipis dan melangkah
meninggalkannya.
"Gila! Ternyata batu ini sudah pecah sejak tadi"!" ujar Perawan Hutan dalam
hatinya. la tak tahu bahwa jurus 'Tapak Sunyi' mempunyai daya penghancur dari
dalam benda yang dipukul menuju luar,
bukan bagian luar dulu yang hancur baru dalamnya, melainkan kebalikan dari hukum
alam tersebut. "Mau ke mana kau"!" tanya Perawan Hutan setelah melihat Raka selesai mandi di
sumur belakang rumah dan mengenakan pakaian rapi baju putih tak berlengan dan
celana putih dengan ikat pinggang kain merah.
"Aku mau mencari adikku di sekitar tempat ini saja!"
"Aku ikut!" tegas Perawan Hutan.
"Jaga rumah saja!"
"Rumah tak perlu dijaga. Kau yang perlu dijaga!"
Raka hanya bisa tertegun sejenak,
setelah itu baru tertawa sendiri. Tawanya disembunyikan ke arah lain, dan
Perawan Hutan dihinggapi seribu bunga indah
melihat tawa seperti itu. Karena
berikutnya Raka tak banyak komentar lagi, Perawan Hutan dibiarkan melangkah
mengiringi pemuda tampan itu.
"Kalau nanti bertemu adikku, kita langsung saja berangkat ke Gua Mulut
Naga!" "Aku setuju."
"Kalau adikku menanyakan keikutanmu, akan kujawab yang sebenarnya
tentang bunga keramat itu. Kau juga harus
menjawab apa adanya."
"Ya, aku paham!"
"Apa kau juga paham kalau kita sedang diikuti oleh seseorang?" Raka berbisik
tapi tetap kalem.
"Maksudmu?" Perawan Hutan berkerut dahi.
"Sejak tadi kudengar suara langkah orang dibelakang kita. Langkah itu
sesekali terhenti dan sepertinya
bersembunyi di balik pohon."
Tangan gadis itu dicekal Raka saat si
gadis ingin menengok ke belakang
membuktikan ucapan Raka. Secepatnya Raka pun berbisik lagi dengan pandangan mata
seakan lurus ke depan.
"Jangan menengok ke belakang. Dia akan tahu kalau sedang kita bicarakan."
Perawan Hutan sedikit tegang, rasa
penasarannya membuat matanya berusaha
melirik ke belakang dengan kepala
berpaling ke kiri, seakan memandang!
sebuah pohon yang tumbuh dengan cabang aneh.
"Tetaplah tenang dan memandang ke depan. Ada dua pohon besar berseberangan
disana," bisik Raka. "Begitu kita sampai di sana, kau segera menyelinap dipohon
yang kiri dan aku di pohon yang kanan.
Kita tunggu pemunculan penguntit kita itu!"
"Jangan-jangan adikmu sendiri?"
"Bukan! Langkah adikku kukenali
betul." Percakapan kasak-kusuk terhenti.
Zlap, zlap...! Perawan Hutan lebih dulu melompat ke
kiri dan bersembunyi di balik pohon. Raka Pura melompat ke kanan dengan cepat
dan berlindung di balik pohon besar. Rasa
penasaran membuat mereka sedikit tegang menunggu si penguntit melintasi tempat
Itu. Kejap berikut, sekelebat bayangan
biru melesat cepat melintasi jalanan di antara dua pohon tersebut. Perawan Hutan
berkelebat juga menerjang bayangan biru itu tanpa memberi isyarat lebih dulu
kepada Raka. Wuuut, breess...!
"Aahk...!" pekik bayangan biru itu, ia segera terlempar karena terjangan
Perawan Hutan. Raka tak menyangka
terjangan itu membuat si
penguntit terlempar cukup jauh, sekitar berjarak lima belas langkah dari tempat terjadinya
terjangan tadi.
Raka Pura segera berkelebat menyusul
tubuh si penguntit yang melayang terlalu jauh itu.
Wuzzz...! Begitu Raka tiba di tempat orang
berpakaian biru itu, Perawan Hutan segera
sampai juga di tempat tersebut.
"Arya Semirang!" geram Perawan Hutan dengan mata mengecil memancarkan dendam.
Ternyata si penguntit itu adalah Arya
Semirang, mantan kekasihnya yang dianggap berskandal dengan Luhmini. Pemuda
berpakaian biru tua itu segera bangkit dengan sedikit menyeringai memegangi
pinggangnya. "Siapa dia, Perawan Hutan?" tanya Raka dalam suara bernada ketus, matanya
memandang tajam kepada Arya Semirang.


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia manusia terkutuk!" jawab Perawan Hutan. Lalu, gadis itu berseru menyentak
kepada Arya Semirang.
"Apa maksudmu mengikutiku, hah"! Kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi!
Aku muak kau ikuti begitu!"
"Kau telah membunuh Luhmini semalam!"
geram Arya Semirang. "la kutemukan tewas dengan luka bekas tebasan pedang di
dada dan punggungnya. Siapa lagi pembunuhnya jika bukan kau, Anggiri!" sambil
menuding kuat ke arah Perawan Hutan.
"Hmm!" Anggiri mencibir sinis. "Kalau aku yang membunuhnya, tidak akan cukup
kutebas dada dan punggungnya saja. Pasti sudah kurajang habis dari kepala sampai
kaki!!" "Jangan mengelak tuduhanku, Anggiri!
Aku yakin pasti kau pelakunya. Kau
membunuh Luhmini karena kau cemburu dan
sakit hati padanya. Kau tak ingin Luhmini memilikiku dan aku menerima cintanya!"
"Kurobek mulut busukmu jika sekali lagi menuduhku begitu, Arya!"
"Kau tak akan mampu merobeknya karena sebelum kau berbuat aku sudah lebih dulu
mencabut nyawamu, Perawan Hutan!"
Raka Pura buru-buru berkata sebelum
Anggiri berseru kembali.
"Maaf, semalam Perawan Hutan ada
bersamaku. Dia tidak lakukan pembunuhan kepada siapa pun!"
Arya Semirang tampak berang sekali
kepada Raka, ia menuding dengan kasar.
"Babi hutan! Aku tidak bicara
denganmu! Pergilah sana mencari mangsa buat isi perutmu!"
Ucapan itu menyengat ubun-ubun Raka,
membakar hati dan mendidihkan darah. Tapi Raka berusaha kendalikan luapan
kemarahannya itu dengan senyum berkesan kalem. Hanya saja, Perawan Hutan tak
bisa diam saja mendengar Raka dimaki
sedemikian kasarnya. Perawan Hutan segera maju selangkah, kemudian tubuhnya
memutar cepat sekali dengan kaki melayang ke
wajah Arya Semirang.
Wess, plook...!
Arya Semirang terlempar ke samping,
mulutnya memuncratkan darah segar.
Perawan Hutan segera hampiri pemuda kekar yang terlempar melintir hingga
berjarak lima langkah dari tempatnya berdiri tadi.
Namun sebelumnya Perawan Hutan berkata kepada Raka Pura.
"Tetap di sini! Aku akan selesaikan sendiri urusan pribadi ini!"
Raka angkat bahu dan manggut-manggut,
ia pun menepi dan bersandar pada sebatang pohon tinggi.
Perawan Hutan benar-benar marah atas
penghinaan Arya Semirang kepada Raka.
Tendangannya berkali-kali kenai wajah dan dada Arya Semirang. Pemuda Itu
ternyata tidak begitu tangkas. Ilmunya pun tak
seberapa tinggi. la sering gagal hindari pukulan dan tendangan Perawan Hutan
yang menurut Raka mempunyai kecepatan tinggi dan bertenaga besar Itu.
Tetapi pada satu kesempatan, Arya
Semirang terlempar akibat sodokan telapak tangan Anggiri di dadanya. Pemuda itu
jatuh tersungkur tak jauh dari Raka Pura.
la bangkit dengan menggeliat, dan tiba-tiba sekali tangannya berkelebat
melemparkan sesuatu ke arah Raka.
Wees...! Craass...! "Aaahk...!"
Raka Pura sudah berusaha menghindar,
tapi ia terlambat sedikit.
Ternyata sebilah pisau terbang yang dilemparkan Arya Semirang berhasil menggores ke
lengan kiri Raka Pura. Pisau itu sendiri
menancap di batang pohon belakang Raka.
Sekalipun hanya tergores sedikit,
namun pisau terbang itu mengandung racun tinggi. Tubuh Raka segera terhuyung-
huyung sambil mendekap lukanya.
"Jahanam kau, Semirang! Heeaah...!"
Perawan Hutan semakin murka.
Pedangnya dicabut dan disabetkan ke tubuh Arya Semirang.
Wees, craas...!
Gerakan pedang yang sangat cepat dan
tak terlihat itu telah melukai punggung Arya Semirang, membuat pemuda itu
terjungkal ke depan. Namun ia masih bisa bertahan dan segera bangkit sambil
mencabut pedangnya sendiri.
"Habislah nyawamu manusia tengik!
Hiaaat...!"
Trang, trak...!
Arya Semirang menahan tebasan pedang
Anggiri dalam keadaan berlutut satu kaki.
Tapi tebasan pedang itu begitu kuat dan akibatnya pedang Arya Semirang sendiri
patah terpotong menjadi dua bagian
setelah benturan dua benda itu
memercikkan bunga api dan letupan kecil.
"Oooh...! Aku tak sanggup hadapi
ilmunya! Pedangku sudah patah begini,
sama saja aku menjemput ajalku sendiri jika tetap melawannya. la benar-benar
ingin membunuhku!" pikir pemuda berbaju biru itu. Maka ia pun segera larikan
diri. Blaass...! "Mau lari ke mana kau, Jahanaaam...!"
teriak Perawan Hutan dengan murka sekali, karena pada saat itu ia sempat melirik
Raka Pura jatuh terduduk sambil
keringatnya bercucuran.
Perawan Hutan segera mengejar Arya
Semirang dengan jurus 'Kabut Jantan'-nya yang mirip orang menghilang itu.
Zaapp...! Arya Semirang hanya punya kelincahan
gerak dalam berlari, namun tak secepat si Perawan Hutan. Kelincahan geraknya itu
membuat Perawan Hutan berkali-kali salah arah. Bahkan agaknya Arya Semirang
menguasai liku-liku tempat tersebut,
sehingga dalam beberapa saat kemudian
Perawan Hutan sudah sulit menemukan
jejaknya. Arya Semirang bagaikan lenyap ditelan bumi!, padahal ia masuk ke dalam
gua kecil seperti lorong dan bersembunyi di sana.
Raka Pura segera pergunakan jurus
'Sambung Nyawa'-nya, karena luka di
lengan itu mengandung racun melumpuhkan seluruh urat dan membusukkan daging
dalam waktu singkat. Tapi berkat penguasaan
ilmu 'Sambung Nyawa', maka racun itu bisa ditangkal dan luka itu pun mulai
merapat kembali. Sebelum Perawan Hutan muncul
menemuinya, luka itu telah lenyap tanpa
bekas dan tubuh Raka segera segar
kembali. Tetapi ternyata Perawan Hutan masih
penasaran terhadap mantan kekasihnya Itu.
Hasrat untuk membunuh Arya Semirang
begitu besar, karena hatinya terasa
semakin terluka begitu melihat Raka Pura dilukai oleh pisau terbangnya Arya
Semirang. la mencari buronannya ke mana-mana hingga tak terasa sudah semakin
jauh dari tempat Raka menunggu.
"Kasihan dia! Dia butuh pertolongan secepatnya! Setahuku pisau si keparat itu
mempunyai racun berbahaya. Oh, aku harus kembali padanya!" sambil raut wajah
Raka terbayang di pelupuk mata Perawan Hutan.
Maka gadis itu pun segera kembali ke
tempat Raka terluka tadi.
Tetapi setibanya di sana, Raka sudah
tak ada. Agaknya kedua orang itu saling mencemaskan lawan jenisnya, sehingga
Raka pun bergegas menyusul Perawan Hutan. Raka khawatir gadis itu menemui
halangan yang lebih berbahaya lagi, sehingga Raka perlu membantunya. Karena
mereka sama-sama
mampu bergerak sangat cepat, maka
kesalahan arah telah membuat mereka
saling berjauhan. Anggiri menuju ke
tempat Raka menunggu, Raka mengikuti arah kepergian Anggiri. Padahal arah si
Perawan Hutan saat mengejar Arya Semirang sudah membelok ke kiri dan ke kiri
lagi. "Brengsek! Ke
mana dia" Kusuruh
tunggu disini kenapa harus pergi"
Apakah... apakah seseorang telah
membawanya karena ia
terluka?" pikir
Perawan Hutan dengan hati cemas. la
terpaksa mencari dengan langkah kaki tak secepat tadi.
Raka Pura tiba di tanggul sebuah
sungai berair jernih. Air sungai itu
cukup deras dan agaknya mempunyai
kedalaman yang berbahaya bagi orang yang tak bisa berenang. Langkah Raka Pura
berhenti di situ, karena ia melihat
seorang perempuan mendaki tanggul sungai yang agak tinggi itu.
"Dia..."!" gumamnya dalam hati bernada geram.
Raka Pura memandang tajam kepada
perempuan berjubah hijau yang tak lain adalah si Tandu Sangrai. Raka sengaja tak
pergi dari tempatnya dan bersifat
menghadang perempuan yang telah membunuh Ki Mandura itu.
"Hmmm... lukanya sudah sembuh!
Rupanya ia punya cara hebat tersendiri untuk sembuhkan luka dalam waktu singkat.
Tak ada sisa memar di wajahnya akibat
tendanganku kemarin!" gumam hati Raka Pura.
Perempuan Itu terperanjat begitu
melihat Raka ada di depannya. Senyumnya segera mekar ceria, la tampak kegirangan
sekali, lalu mempercepat langkahnya
dengan tawa berhamburan.
"Edan ini orang"!" pikir Raka.
"Dihadang akan dihajar, kenapa justru kegirangan begitu"!"
"Hik, hik, hik... Aku tahu kau tak akan benar-benar meninggalkan diriku! Aku
tahu kau hanya menggoda hatiku, Sayang!"
Raka Pura terkesima bingung melihat
lawannya langsung melebarkan tangan dan menghambur tawa. Sebelum Raka sadar
terhadap apa yang akan dilakukan
perempuan itu, ternyata ia telah
terkurung oleh pelukan si perempuan
berjubah hijau.
"Hik, hik, hik...! Kau nakal sekali, Sayang. Kau membuatku cemas dan sedih
dengan berlagak meninggalkan diriku saat tidur di bawah pohon itu. Hmmm...!"
Cup, cup, cup, depot...!
Raka Pura gelagapan. Pelukan kuat
membuatnya tak bisa meronta. Akhirnya ia menerima ciuman berkali-kali di sekitar
wajahnya. Bahkan bibirnya pun tersambar kecupan Tandu Sangrai dan dilumat dengan
ganas. Mau tak mau Raka Pura pergunakan
tenaga besar untuk melepaskan pelukan
seorang perempuan.
la berhasil mendorong tubuh Tandu
Sangrai dengan menggunakan jurus silat bertenaga besar, walau bukan tenaga
dalam. Wuuutt...! Brruk...! "Edan!" sentaknya sambil terengah-engah dan mengusap wajah serta bibirnya,
merasa risi terkena ciuman yang membasah itu.
tandu Sangrai jatuh terduduk, hampir
saja menggelinding kembali menuruni
tanggul sungai. Tentu saja sikap kasar itu mengejutkan sekali bagi Tandu Sangrai
yang menyangka Raka Pura adalah Soka.
Semalam ia menyatakan ingin ikut Soka ke mana pun pemuda itu pergi. Tetapi Soka
menolak, tak ingin mengajaknya selama
masih belum menyelesaikan tugas utamanya.
Soka hanya berjanji akan datang menemui Tandu Sangrai sepulangnya dari
selesaikan tugas tersebut. Tetapi Tandu Sangrai
mendesak terus, ia tak ingin ditinggal Soka.
"Kalau kau pergi, ke mana lagi aku akan mendapatkan kemesraan senikmat
cumbuanmu, Soka," ujarnya pada malam itu.
Rupanya Soka tak berhasil membujuk
perempuan yang sudah ketagihan kehangatan dahsyatnya itu. Maka ketika mereka
sama-sama tidur di bawah pohon kemesraan itu, Soka bangun lebih dulu dan
matahari telah meninggi. la berkemas merapikan
pakaiannya, kemudian pergi meninggalkan Tandu Sangrai yang masih tertidur. Saat
Soka menuju ke rumah Ki Mandura itulah, Raka dan
Perawan Hutan berangkat
mencarinya kearah yang berbeda. Tak
mungkin akan berpapasan.
Tandu Sangrai kebingungan ketika
bangun tidur sudah tak melihat Soka di sekelilingnya. la buru-buru mencari ke
rumah Ki Mandura. Tetapi diperjalanan ia bertemu dengan seorang musuh yang
terpaksa membuatnya mengejar orang
tersebut. Pengejaran itulah
yang membawanya ke seberang sungai. la pun
segera melintasi sungai tersebut, karena menurut dugaannya sang buronan ada di
seberang sungai. Pada saat ia mendaki
tanggul sungai itulah ia melihat Soka berdiri memandanginya. Pemuda yang
dianggap sebagai Soka itu adalah Raka
Pura. Tapi karena Tandu Sangrai tahu
bahwa pemuda itu adalah orang yang
menghajarnya kemarin sore, maka ia tetap menganggap sedang di tunggu oleh Soka.
Sebab itulah ia berani berlari memeluk dan menciuminya.
"Sekalipun kau mengumbar ciumanmu, kau tetap saja seorang pembunuh yang
kejam, Tandu Sangrai!" ujar Raka dengan suara lantang karena terbayang kematian
Ki Mandura yang membuat hatinya terpukul sekali itu.
"Mengapa kau berubah sekasar itu, Sayang?" Tandu Sangrai mendekat pelan-
pelan. "Bukankah semalam kau bertindak dengan lembut dan mesra sekali, Sayang?"
"Jangan panggil aku 'sayang'! Namaku Raka Pura, bukan Sayang Pura!" bentak Raka
jengkel sekali.
"Jangan-jangan dia punya penyakit gila kambuhan"!" pikir Tandu Sangrai.
Kecemasannya akan hal itu membuatnya
hentikan langkah.
Sementara itu, Raka Pura membatin
dalam hatinya, "Ini pasti kenalannya si Soka! Kurang ajar betul anak itu, pasti
semalam habis begituan dengan perempuan ini.
Pantas perempuan ini tidak
menganggapku musuhnya dan cengar-cengir seperti kuda sedang kasmaran! iih...!
Merinding lagi tubuhku kalau ingat
diciuminya tadi! Aku harus mencari Soka secepatnya. Kutampar anak itu nanti!
Gara-gara dia aku jadi dihujani ciuman murah seperti tadi!"
Raka segera tinggalkan perempuan itu.
Tandu Sangrai berlari mengejarnya sambil berseru meratap.
"Sokaa...! Soka, tunggu aku! Aku ikut denganmu, Sokaa...!"
Wuuzz.... Wuuzzz...!


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja Tandu Sangrai tak akan
bisa mengejar pemuda Itu, sebab si pemuda menggunakan
jurus 'Jalur Badai' yang mampu berlari secepat hembusan badai yang paling cepat. Raka menuju tempat
pertarungan Perawan Hutan dengan Arya
Semirang. la berharap Perawan Hutan sudah tiba di sana dan ganti menunggunya.
Tetapi kala itu Perawan Hutan
bergegas kembali ke rumah mendiang Ki
Mandura, karena la berharap Raka mencari obat di sana untuk lukanya.
Ketika ia tiba di depan rumah Ki
Mandura, seorang pemuda tampan berpakaian serba putih muncul dari dalam rumah
itu. Pemuda tersebut kaget memandang ke arah Perawan Hutan, sedangkan si Perawan
Hutan sendiri justru hembuskan napas kelegaan.
"Benar juga dugaanku, dia ada di
sini!" ujar Perawan Hutan dalam hatinya.
"Hei, kau..." Kau datang kemari,
Perawan Hutan"!"
Pemuda itu sebenarnya adalah Soka
Pura yang mencoba menengok rumah Ki
Mandura, barangkali kakaknya sudah ada dl sana sejak semalaman. Kembar wajah dan
pakaian itu membuat Perawan Hutan tak bisa membedakan kedua pemuda itu. Soka
sendiri tak tahu bahwa gadis cantik
tersebut sudah kenal akrab dengan kakak kembarnya. Maka ketika Perawan Hutan
mendekatinya, Soka pun menyambut dengan senyum ceria dan tatapan mata berbinar-
binar. "Jangan kemana-mana dulu," kata gadis itu. "Aku capek mencarimu ke mana-mana!"
"Oh, kau... kau mencariku"!" Soka
dekati Perawan Hutan yang segera duduk di bangku panjang didalam rumah tersebut.
"Lain kali kalau kau menghilang
begitu, aku tak mau mencarimu! Bikin hati kesal saja!"
"Hah, hah, hah...! Aku tak tahu kalau kau mencariku! Kusangka kau pergi
karena...." Soka akan membicarakan saat kepergian Perawan Hutan ketika mereka
bertemu di pantai. Tapi tiba-tiba
tangannya ditarik Perawan Hutan dan
lengan kirinya diperiksa.
"Hemmm... siapa yang sembuhkan
lukamu?" "Luka apa" Aku tidak terluka apa-apa"
jawab Soka Pura.
"Sial" sentak gadis itu tampak dongkol, lalu hatinya membatin, "Kalau begitu
tadi ia hanya berpura-pura terluka biar aku semakin marah kepada Arya
Semirang. Hmmm... rupanya secara diam-
diam dia menaruh rasa cemburu juga
padaku. Buktinya dia inginkan aku marah dan menyingkirkan Arya Semirang. O,
oh...! Pemuda seperti ini mengesankan
sekali bagiku. Pura-pura acuh tak acuh padahal butuh!"
Soka tadi sudah temukan kuburan baru
di belakang rumah. la yakin kakaknya yang menguburkan jenazah Ki Mandura, tapi
ia belum tahu siapa yang membunuh Ki
Mandura. la ragu ingin ajukan tanya
kepada Perawan Hutan tentang kuburan itu, karena la menganggap Perawan Hutan tak
pernah datang ke pondok itu. Maka ia pun ajukan pertanyaan lain sambil duduknya
makin merapat dengan tubuh Perawan Hutan.
"Apakah kau benar-benar capek?"
"Ya. Mau apa kalau benar-benar
capek?" sentak Perawan Hutan menampakkan sisa kedongkolannya, namun juga
memancing keberanian pemuda itu. Tapi karena yang dipancing bukan pemuda tadi
malam, maka tentu saja pancingan itu seperti gayung bersambut.
"Bagaimana kalau kupijat kakimu?"
"Hmmm!" Perawan Hutan mencibir, namun hatinya mulai berdebar-debar.
"Pijat saja punggungku!" kata gadis itu. Soka Pura segera melakukannya dengan
wajah ceria dan kegirangan.
"Aneh. Tiba-tiba saja dia bersemangat dan cukup berani melakukan hal-hal
seperti ini?" pikir Perawan Hutan.
"Apakah keberaniannya menyentuh tubuhku jika sudah terluka kulitnya" Kalau
begitu, sewaktu-waktu aku membutuhkan
sentuhannya, aku harus melukai kulit
tubuhnya dulu!"
Pijatan demi pijatan menghadirkan
debar-debar keindahan bagi keduanya. Soka Pura yang konyol Itu pandangi tengkuk
putih berbulu samar-samar seperti sisa rambut kepala. Tapi ia yakin bulu samar-
samar itu adalah bulu roma yang tergolong lebat.
Pandangan matanya Itu menghadirkan
hasrat untuk mengusap tengkuk itu.
Akhirnya dengan berlagak memijat tengkuk pelan-pelan, Soka meraba bulu halus di
kulit sekitar leher dan pundak.
"Dia diam saja. Pasti dia tak
keberatan jika kucium tengkuknya," pikir Soka. Maka tanpa permisi lagi, tengkuk
itu dikecup pelan memakai bibirnya.
Cup...! "Ahhmm...!" Perawan Hutan menggeram lirih, tapi kepalanya segera miring ke
kanan, seakan menyodorkan lehernya. Maka kecupan bibir Soka pun merayap ke leher
tersebut. Menyapukan lidahnya yang menari lincah sambil sesekali memagut leher
Itu. "Oouh...!" keluhan Perawan Hutan mulai terdengar keras dan panjang. Tangan gadis
itu pun meraih kepala Soka dan
mengusap-usap rambutnya. Akhirnya si
gadis tak tahan hanya menerima kehangatan di leher.
Kepalanya meliuk.dan akhirnya wajah
mereka bertemu. Bibir gadis itu merekah setelah berbisik dengan dada berdebur-
debur dibakar gairah.
"Kecup bibirku, Soka... kecuplah...
uhmmm...!"
Soka memagut bibir itu. Perawan Hutan
meremas rambut Soka, menahan gejolak
batin yang dihujam seribu kenikmatan.
Lidah gadis itu pun meronta dan akhirnya bibir Soka yang dilumatnya dengan
ganas. "Oouh, aaah...! Sokaaa...," desahnya ketika Soka Pura menjalarkan kecupannya ke
leher dan membuat gadis itu terpaksa mendongakkan kepala.
"Sesaat kemudian, Soka hentikan
ciuman dan berkata dengan suara mendesah,
"Kita pindah ke balai bambu itu?"
"Terserah...," jawab Perawan Hutan dengan mata telah menjadi sayu penuh
gairah bercumbu.
"Tapi bagaimana dengan kepergian ke Gua Mulut Naga" Harus ditunda dulu?"
"Hmm... ya, menunggu kakakku
pulang...," jawab Soka tak menyadari dari mana gadis itu tahu bahwa ia akan
menuju ke gua tersebut. Sementara itu, Perawan Hutan terperanjat begitu
mendengar kata-kata Soka 'menunggu kakakku pulang' itu.
"Maksudmu, menunggu adikmu pulang?"
Perawan Hutan meyakinkan keraguannya.
"Kakakku!" tegas Soka sambil menarik tangan Anggiri agar ke balai-balai bambu.
"Yang kita tunggu kakakku, aku adiknya!"
"Ooh..."!" Perawan Hutan memekik dan terbelalak lebar-lebar.
"Apakah... apakah kalian anak
kembar?" "Ya! Raka adalah kakakku, dan aku adiknya. Tapi... tak enak bersama Raka.
Kau tak akan mendapatkan kemesraan
seperti ini. Dia dingin terhadap
perempuan mana pun!"'
"Celaka!" Perawan Hutan terperanjat tegang, bahkan sempat sentakkan tangannya
agar terlepas dari genggaman Soka, lalu segera mundur beberapa langkah.
"Hei, kenapa
kau jadi memandang
tegang begitu"!" |
Sebelum pertanyaan itu terjawab,
mereka melihat kemunculan Raka yang
sedang menuju ke pekarangan depan.
* * * 5 GUA Mulut Naga terletak dilereng
gunung. Dalam peta wasiat yang dibuat
oleh mendiang Resi Garba, tempat tersebut diberi gambar kilatan
cahaya petir. Menurut mendiang Ki Mandura, kilatan
petir dalam peta tersebut menunjukkan
letak Gunung Tadah Petir.
Gunung yang menjulang tinggi melebihi
Gunung Merana itu terletak tepat di
tengah-tengah tanah Jawa. Perawan Hutan mengaku pernah ke Gunung Tadah Petir
untuk mengunjungi seorang bibi yang kini telah meninggal. Oleh sebab itu, Raka
dan Soka merasa tidak ada ruginya membawa
gadis cantik yang selalu membangkitkan semangat perjalanan mereka itu.
"Kacau kalau begini. Keduanya serupa persis dan sulit dibedakan!" gerutu gadis
itu sepanjang perjalanan menuju Gua Mulut Naga. la berjalan di tengah, antara
Soka Pura dan Raka Pura. Kadang jika keadaan berubah sebentar, ia sempat
bingung, siapa yang mengajaknya bicara, Raka atau Soka. Karena pemuda kembar itu
mempunyai nada suara yang sama pula. Yang membuat beda adalah kekonyolan Soka.
Tapi jika Soka dalam keadaan serius, Perawan Hutan sering dibuat bingung
membedakan mereka berdua.
"Seperti kata Nini Sawandupa padaku,"
ujar Raka. "Perjalanan menuju ke gua Itu selalu saja menemui gangguan. Gangguan
itu menurutnya adalah pelajaran hidup
yang perlu kita renungi dan kita pahami."
"Apakah termasuk bertemu dengan
Perawan Hutan adalah pelajaran tentang hidup"!" tanya Soka dengan konyol,
sementara si Perawan Hutan cepat-cepat buang muka, sembunyikan senyumnya yang
takut membuatnya dinilai seperti gadis ganjen.
"Semua langkah kita punya makna
sendiri-sendiri, tentunya termasuk
pertemuan kita dengan Perawan Hutan ini!"
kata Raka dengan serius. "Ki Mandura
mengatakan padaku, Gua Mulut Naga hanya bisa dicapai oleh orang berilmu tinggi
dan benar-benar sudah dewasa. Sedangkan Nini Sawandupa bicara padaku, bahwa
perjalanan menuju gua itu akan membuat kita menjadi dewasa jika kita bisa
mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa yang kita jumpai di perjalanan."
Perawan Hutan ingin menimpali, tetapi
niatnya terpaksa ditunda karena ada
sesuatu yang membuat langkah mereka
terhenti secara mendadak. Sesuatu yang menghambat langkah itu adalah kemunculan
seorang pengemis tua yang membawa tongkat dengan badan kurus dan bungkuk.
Pengemis tua yang berambut putih dan
berjenggot putih dengan wajah pucat itu tiba-tiba saja muncul di perjalanan
depan mereka tanpa diketahui dari mana asalnya.
Soka yang pertama kali melihat keberadaan pengemis tua di bawah pohon tersebut.
Setelah Soka memberi tahu, barulah
Raka dan Anggiri memperhatikan pengemis tua itu.
"Dari mana pengemis itu munculnya?"
"Tak tahu. Tiba-tiba saja ketika
mataku memandang ke depan orang Itu sudah ada."
"Apakah benar dia seorang pengemis?"
gumam Perawan Hutan pelan, seperti
diliputi kebimbangan yang meresahkan.
"Dilihat dari pakaiannya yang
compang-camping dan bertambal-tambal,
jelas ia seorang pengemis. Lihat saja
tempurung yang dibawanya, bukankah itu tempat untuk menampung pemberian setiap
orang?" kata Soka Pura sambil tetap memperlambat langkah seperti yang lain.
Pengemis berpakaian dasar putih
dengan kain tambalannya aneka warna Itu segera mengulurkan tangannya yang
memegangi tempurung pada saat tiga anak muda itu lewat dl depannya. Mereka
berpura-pura tidak memperhatikan dan
tetap berjalan. Namun si pengemis tua
yang diperkirakan sudah berusia delapan puluh tahun lebih itu berlari tertatih-
tatih sambil memohon pemberian sedekah dari tiga anak muda tersebut.
"Tuan muda, Tuan muda... tolong beri aku sekadarnya untuk makan hari ini, Tuan
muda...! Nona cantik, beri aku serelanya saja Nona...."
"Aku tak tega," bisik Raka kepada Perawan Hutan.
"Aku juga tak tega," balas si gadis.
"Aku menyimpan beberapa keping uang,"
bisik Soka. "Uang ini kuambil dari bawah bantal di rumah Ki Mandura."
"Hei, apakah kau tak tahu kalau
mengambil barang orang lain itu namanya mencuri?" hardik kakaknya sambil
hentikan langkah.
"Siapa pemilik uang itu" Kau pikir Ki
Mandura masih membutuhkannya" Kecuali
jika Ki Mandura masih hidup, maka uang ini memang ada pemiliknya. Tapi sekarang
Ki Mandura sudah dibunuh oleh Tandu
Sangrai, maka uang ini menjadi uang tak bertuan!" kilah Soka Pura yang sudah
mendengar cerita kematian Ki Mandura dari kakaknya sebelum mereka berangkat.
"Kalau begitu berikan uang itu semua kepada pengemis tua itu!" perintah Raka.
"Aku setuju," sela Perawan Hutan.
"Kita masih bisa mencari uang, karena masih muda, tapi dia tidak bisa bekerja
apa-apa lagi! Berikan saja uang itu,
Soka!" Pengemis yang tertatih-tatih itu
berhenti di samping Raka dan menyodorkan tempurungnya. Sebaris keluh dan kesah
dipakai alasan untuk meminta uang. Tapi keluh dan kesan itu memang mengharukan
hati mereka bertiga.
"Pak tua, kami punya uang dari
seseorang yang telah tiada. Ambillah dan pergunakan sebaik mungkin, Pak Tua!"
ujar Soka sambil keluarkan beberapa keping
uang hingga ia tampak tak memiliki uang lagi.
"Hen, heh, heh... banyak sekali ini, Nak"! Wow... hoh, hoh, hoh... aku bisa
menjadi kaya kalau setiap hari kau beri uang sebanyak ini."
"Iya, kau bisa kaya, tapi aku bisa
miskin kalau tiap hari harus memberimu uang sebanyak ini, Pak tua!" ujar Soka
bersungut-sungut.
"Kami harus teruskan perjalanan, Pak tua," sahut Raka. "Pergunakan uang itu
sebaik mungkin, seperti saran adikku
tadi." "Baa... baik, baik... terima kasih banyak, Anak muda! Terima kasih banyak!
Semoga Yang Maha Kuasa memberi kalian berkah dan keselamatan sepanjang
masa...." Mereka segera meninggalkan pengemis
tua itu. Si pengemis tua terkekeh
kegirangan sambil menghitung jumlah uang pemberian Soka tadi.
Perjalanan mereka diteruskan sambil
membicarakan tentang suasa di Gunung
Tadah Petir yang pernah dikunjungi
Perawan Hutan. Menurut gadis itu, di kaki gunung itu ada desa yang dihuni oleh


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang yang punya kelainan pada
tubuhnya, jari tangannya berjumlah dua belas, lubang hidungnya hanya satu dan
sebagainya. Desa itu bernama Desa
Teganya. "Apakah mendiang bibimu dulu tinggal di Desa Teganya?"
"Ya," jawab Perawan Hutan.
"Kalau begitu bibimu juga punya
kelainan pada tubuhnya?"
"Benar. Mendiang bibi adalah seorang
perempuan yang mempunyai daun telinga
selebar daun melinjo. Tapi pada umumnya mereka berhati mulia, gemar menolong dan
ramah terhadap siapa saja."
Perjalanan mereka terhenti kembali,
demikian pula percakapan mereka. Kali ini Raka yang melihat seorang pengemis
berdiri bagai menghadang langkah mereka di bawah pohon yang akan mereka lewati.
"Hei, bukankah yang di sana itu
pengemis tua yang tadi itu"!"
"Oh, sepertinya memang begitu"!"
gumam Soka Pura.
Perawan Hutan bergumam, "Bukankah ia tak mampu berjalan cepat" Mengapa
sekarang ia sudah ada di depan sana
mendahului kita?"
"Firasatku mengatakan, dia bukan
sekadar pengemis biasa," kata Raka Pura dengan pelan, seakan bicara pada diri
sendiri. "Hati-hati
saja!" ujar Anggiri
mengingatkan. Pada saat mereka sudah dekat,
pengemis tua itu sengaja menghadang di tengah jalan sambil berjalan menyongsong
mereka. Tongkatnya digunakan untuk
menjaga keseimbangan tubuh pada saat
melangkah, tempurungnya diacungkan ke
depan, siap untuk menerima pemberian dari mereka. Mau tak mau langkah mereka
berhenti total dan membiarkan pengemis
tua itu mendekatinya.
"Anak muda, berilah aku makanan apa pun sebagai pengisi perutku," pintanya
dengan suara gemetar. "Sudah tujuh hari aku tak makan apa-apa, Anak muda."
Soka berkata, "Pak tua, kami sudah tidak memiliki apa-apa yang bisa kami
berikan padamu. Uangku sudah kuberikan padamu saat di sana tadi."
"Aku... aku belum menerima apa-apa darimu, Anak muda."
"Jangan bohong, Pak tua!" selah Perawan Hutan. "Kami tadi sudah bertemu denganmu
di sana, dan kau telah
mendapatkan uang cukup banyak dari kami."
"Tid... tidak. Bukan aku! Aku belum pernah bertemu denganmu, Nak. Sejak tujuh
hari yang lalu, baru sekarang ada orang melewati jalanan ini, Nak."
Mereka bertiga pandangi si pengemis
tua yang berambut putih digulung dengan jenggot, kumis dan alis putih itu.
Mereka melihat ada kejujuran di raut wajahnya yang sudah berkeriput itu. Bola
matanya yang kecil memancarkan kesungguhan dalam bicaranya. Tapi mereka melihat
pakaian dasar putih model biksu bertambal kain warna-warni adalah pakaian si
pengemis yang tadi.
"Pak tua, kami benar-benar tak punya apa-apa lagi. Kami tak bisa memberimu,"
tutur Soka dengan sopan.
Pengemis tua itu garuk-garuk kepala
dengan wajah kecewa.
"Kalau begitu, maukah kau
menggendongku sampai di sungai seberang sana?"
"Menggendongmu"!"
"Kalian memang tak punya uang dan makanan, tapi kalian masih punya tenaga.
Aku tak mau jika harus berjalan sampai ke sungai karena perutku lapar sekali dan
badanku menjadi lemas. Aku akan mencari ikan disungai sana sebagai pengisi
perutku, Anak muda. Tolonglah bawa aku ke sana!" Raka dan Soka saling
berpandangan, lalu kedua pemuda itu menatap Perawan Hutan yang juga bingung-
bingung geli mendengar permintaan si pengemis tua itu.
Akhirnya, Raka segera berkata, baiklah, kau akan kugendong sampai ke sungai yang
kau maksud. Naiklah ke punggungku, Pak
"Terima kasih...., terima kasih...,"
pengemis tua bertongkat coklat dan
bertempurung tampak kegirangan. Lalu ia pun naik kepunggung Raka,
sementara tongkat dan tempurungnya dibawa oleh
Soka. "Sekarang sepertinya ganti aku yang mirip pengemis, ya?" bisiknya dengan konyol
kepada Perawan Hutan. Gadis itu hanya menahan senyum sambil buang muka kearah
lain. "Kalian mau ke mana, Nak?" tanya
pengemis tua dari atas gendongan Raka.
"Tujuan kami mau ke Gunung jadah Petir, Pak tua!" Jawab Raka Pura dengan suara
berat. Rupanya ia mulai lelah
menggendong pengemis Itu, namun ia masih dapat menahan beban kurus itu menuju
sungai yang dimaksud si pengemis tua
tadi. "Mau apa kalian pergi ke Gunung Tadah Petir?"
"Aku ingin mengambil Bunga Pucuk Dara yang ada disekitar Gua Mulut Naga," jawab
Perawan Hutan dengan polos sekali.
"Kedua sahabat kembarku ini punya maksud sendiri."
"Maksud apa?"
"Mengikuti perintah guru kami, Pak tua," jawab Soka yang berjalan disebelah kiri
Raka, sedangkan Perawan Hutan di
sebelah kanannya.
"Apa perintah guru kalian?"
"Mengambil sepasang pusaka didalam gua itu" jawab Raka membuat Perawan Hutan
berkerut dahi, karena baru sekarang ia mendengar tentang pusaka tersebut dari
mulut Raka. Sebelumnya, baik Raka maupun Soka menyembunyikan niat
mereka sebenarnya ke gua tersebut. Tapi
menghadapi pertanyaan si pengemis tua
itu, sepertinya mereka tak bisa menahan rahasia apa pun. Mulut bagaikan bicara
dengan sendirinya. Hal itu disadari oleh
mereka dan membuat mereka merasa heran sendiri.
"Apakah di sana ada pusaka" Setahuku tidak ada, Nak."
"Ada ataupun tidak, yang penting kami harus turuti perintah guru, Kek," ujar
Soka. "Heh, heh, heh... kalian dibohongi oleh guru kalian. Jangan mau ke sana!
Kudengar disekitar Gua Mulut Naga banyak bahaya yang menunggu mangsa,
lumpur hidup, tanaman penghisap darah, serangan beracun dan sebagainya."
"Kalau toh kami harus mati disana, kami akan mati dengan ikhlas karena telah
memenuhi perintah guru kami, Kek," ujar Soka dengan semangat.
"Pak tua, di mana sungai yang kau maksud itu?" tanya Raka dengan napas terengah-
engah. "Sebentar lagi
akan sampai. Berjalanlah terus sesuai petunjukku,
Nak." Raka Pura benar-benar tampak
kecapekan. Keringatnya mengalir deras, wajahnya memerah seperti menggendong
beban yang sangat berat. Soka dan Perawan Hutan tak tega melihat Raka keberatan
beban. Maka Soka pun berbisik kepada Raka setelah serahkan tongkat dan tempurung
itu kepada Perawan Hutan.
"Biar aku yang ganti menggendongnya,
Raka. Kau tampak lelah sekali."
Kakek pengemis Itu diturunkan
sebentar, lalu pindah ke punggung Soka.
Pada awalnya Soka merasa tidak membawa beban apa-apa. Langkahnya ringan-ringan
saja. Tetapi makin lama la merasa seperti menggendong beban berat. Soka diam
saja dan masih mampu bertahan.
"Masih jauhkah sungai yang kau maksud itu, Kek?" tanya Perawan Hutan, karena ia
kasihan melihat Soka tampak semakin
terbeban. Bahkan langkah Soka pun menjadi pelan bagai menggendong seekor kerbau.
"Sudah dekat. Tinggal membelok ke kiri dan menuruni lereng kita akan sampai
sungai." "Kalau begitu, biarlah aku yang
menggantikan dia. Dia sudah kecapekan, Kek," ujar Perawan Hutan. Dalam hatinya
Soka bersyukur. Maka pengemis yang
berbadan kurus bagai tulang terbungkus kulit itu pindah ke punggung Perawan
Hutan! "Kau pun ingin mengambil pusaka
juga?" Tidak, Kek. Aku ingin memiliki Bunga
Pucuk Dara, seperti yang kukatakan tadi."
"O, iya. Hampir saja aku lupa dengan tujuanmu tadi. Tapi... menurutku Bunga
Pucuk Dara tidak ada."
"Dari mana kau tahu?" tanya Perawan Hutan.
"Dari mulut kemulut para pengelana,"
jawab si kakek pengemis itu. "Beberapa tahun yang lalu aku pernah mendengar
bunga itu sudah tak akan bisa tumbuh
lagi. Karena bunga itu telah dikutuk oleh seorang petapa yang gemar berkeliaran
dari gua ke gua, mencari ilmu dan wangsit dari dewata".
Raka berbisik kepada adiknya,
"Mungkin yang dimaksud adalah Resi
Garba?" "Mungkin saja!" jawab Soka sambil meringis. "Berat sekali kakek itu, ya?"
"Iya. Makin lama aku merasa seperti menggendong batu yang
beratnya bukan main," ujar Raka dalam bisikan.
"Tapi mengapa tidak sejak tadi dia minta digendong oleh kita?"
"Dia bukan pengemis yang tadi
Karenanya aku merasa bersedia
menggendongnya"
"Dari mana kau tahu?"
"Pengemis yang tadi bertongkat hitam dan tempurungnya berwarna coklat.
Pengemis yang ini bertongkat coklat dan tempurungnya hitam begini, kan?" sambil
Raka tunjukkan tongkat dan tempurung yang dibawanya."
"Astaga! Benar juga katamu, Raka!"
ujar Soka dengan terperangah.
Suara Anggiri terdengar mulai
memberat, "Mengapa petapa itu mengutuk
bunga tersebut?"
"Karena petapa itu melihat sendiri bunga tersebut menjadi bahan pertumpahan
darah oleh beberapa orang. Banyak orang yang mati karena ingin memiliki bunga
itu. Karenanya, si petapa mengutuk bunga itu hingga tak bisa tumbuh lagi.
Maksudnya supaya tidak timbulkan korban bagi umat manusia dimuka bumi ini."
"Perawan Hutan tampak kecewa.
Biasanya ia tak mudah percaya dengan
omongan siapa pun tentang bunga tersebut.
la memang pernah mendengar ucapan seorang tokoh tua yang mengatakan bahwa bunga
itu sudah tak akan tumbuh lagi. Tapi ia tak pernah percaya. Herannya, sekarang
ia menjadi percaya betul dengan ucapan si pengemis itu.
"Perawan Hutan tampak mulai kecapekan Keringatnya semakin deras, langkahnya
mulai lamban. Gantikanlah ia!" Kata Soka.
Maka, sang kakak pun menggantikan Perawan Hutan. Pengemis itu pindah lagi ke
punggung Raka. |
Entah berapa jauh sudah mereka
menempuh perjalanan dengan menggendong si pengemis secara bergantian. Yang jelas
tubuh mereka sama-sama bermandi keringat, karena tubuh pengemis tua itu makin
lama semakin bertambah berat. Begitu beratnya tubuh si pengemis kurus itu,
sampai-sampai mereka bertiga menggunakan bantuan
tenaga dalam untuk menggendongnya.
"Nah, itu dia sungainya, Nak". ujar si pengemis sambil menunjuk ke arah
depan. Mereka memandang sungai kecil yang airnya sangat sedikit dan sangat
dangkal. Sungai kering itu menyerupai
sebuah selokan dengan banyak bebatuan di kanan-kirinya.
"Ya,ampuun"! Sungai kecil begitukah yang kau maksud, Kek?"
"Ya. Tapi sebentar lagi sungai itu banyak airnya," jawab si pengemis seenaknya
saja. Soka menghempaskan napas dengan hati sedikit kesal karena merasa sia-sia
membawa si pengemis ke sungai
sekecil dan sedangkal Itu.
Pengemis tua itu minta diturunkan
dari gendongan. Ketiga anak muda itu
sama-sama duduk melemas diatas batu
besar. Si pengemis kegirangan, melangkah pelan-pelan mendekati tempat yang,
dialiri air ditengah sungai kering itu.
"Hei, Nak... airnya jernih dan sejuk.
Cucilah mukamu dengan air ini biar
kelelahanmu hilang" ujar si pengemis sambil menyendokkan tempurungnya ke dalam
air, lalu ia meminum air dalam tempurung tersebut.
Raka mendahului mencuci muka dengan
air sungai itu, yang lain pun segera
mengikuti. Bahkan perawan Hutan membasahi rambutnya dengan air sungai Itu.
"Air ini benar-benar sejuk dan
menyegarkan badan. Aku ingin sekali mandi di sini seandainya airnya tak dangkal
dan cukup banyak," ujar Perawan Hutan yang merasakan
kelelahannya segera hilang setelah membasahi kepalanya dengan air sungai.
"Raka..." sentak Soka dengan suara mengejutkan sang kakak yang sedang
mencuci muka dengan membungkuk. Perawan Hutan pun terkejut mendengar suara Soka
tadi, maka ia pun ikut memandang ke arah Soka.
"Ada apa kau memanggilku sekeras itu, Soka?"
Wajah sang adik yang basah air sungai
tampak tegang. "Kemana pengemis tua tadi?"
"Hahh..."!" Raka terkejut, lalu cepat berpaling ke belakangnya, karena pengemis
itu tadi ada di belakangnya, mencuci
wajahnya Juga. "Aneh! Tak mungkin dia lari ke semak-semak sana!" ujar Perawan Hutan yang ikut
memandang ke sana-sini.
"Dia menghilang" gumam Raka dengan suara lirih. Lalu, mencoba memeriksa
dibalik batu-batu besar yang ada ditepian sungai tersebut. Ternyata si pengemis
tua itu tak ditemukan jejaknya.
"Hei, kita telah sampai!" seru Perawan Hutan dengan suara keras
menandakan ketegangannya. Wajah gadis itu tampak diliputi perasaan heran. Raka
dan Soka memperhatikan sambil dekati si gadis melihat arah kanan-kiri.
"Apa maksudmu 'sudah sampai' itu?"
tanyanya. "Aku ingat...!" jawabnya penuh semangat. Aku ingat tempat ini pernah kulalui
waktu aku ingin menuju ke Desa Teganya. Lihat gunung itu!" seraya menuding ke
satu arah. Sebuah gunung menjulang tinggi tegap
dengan bagian atapnya seakan menembus langit. Itulah ciri-ciri Gunung Tadah


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petir seperti yang diceritakan oleh Ki Mandura kepada Raka Pura.
"Mana mungkin kita sudah sampai di kaki Gunung Tadah Petir"!" gumam Soka penuh
keheranan. "Bukankah katamu tadi, perjalanan kita akan memakan waktu tiga
malam"! Sekarang kita berjalan belum ada satu malam, baru setengah hari!"
"Memang mestinya begitu!" jawab Perawan hutan. "Tapi... tapi aku ingat tempat
ini adalah tempat di kaki Gunung Tadah Petir! Bentuk gunungnyapun seperti itu!"
Raka segera ikut bicara, "Jika benar tempat ini kaki Gunung Tadah Petir, lalu di
mana Desa Teganya Itu?"
"Di sana! Sangat dekat dari sini.
Kita coba ke sana saja!"
Maka mereka pun bergegas ke arah yang
dimaksud Perawan Hutan. Mereka sangat
penasaran dan ingin buktikan apakah
mereka sudah berada dl kaki Gunung Tadah Petir atau di tempat lain yang mirip
kaki Gunung Tadah Petir.
* * * 6 TERNYATA mereka benar-benar memasuki
Desa Teganya yang berpenduduk ramah dan mempunyai kelainan pada anggota tubuh
mereka. Bahkan beberapa orang dari
penduduk desa itu masih ada yang
mengenali Perawan Hutan sebagai keponakan mendiang tetangga mereka, yaitu
bibinya Perawan Hutan. Hal itu membuktikan bahwa mereka benar-benar telah berada
dikaki Gunung Tadah Petir.
"Kurasa pengemis tua itu yang membawa kita kemari," ujar Perawan Hutan.
"Berarti dia tokoh sakti yang
berpura-pura menjadi pengemis?"
"Kira-kira begitu," jawab Perawan Hutan sambil memandang salah satu dari si
kembar yang tak diketahui dengan jelas apakah Soka atau Raka.
"Peristiwa
aneh tadi merupakan
pelajaran juga bagi kita, bahwa memberi dengan ikhlas, menolong dengan rela,
ternyata mempunyai keberuntungan sendiri bagi kita," ujar Raka sambil mereka
mulai mendaki lereng Gunung Tadah Petir.
Sambungnya lagi, "Keberuntungan itu jika kita pikirkan tak akan datang, tapi
jika tidak kita pikirkan akan datang
dengan sendirinya."
"Maksudmu, menolong tanpa pamrih itu lebih
baik daripada menolong dengan
pamrih?" tanya Soka. Sang kakak
membenarkan sambil anggukkan kepala.
"Jangan singgung-singgung kata
'pamrih'," ujar Perawan Hutan dengan serius, sedikit cemberut.
"Mengapa tak boleh?"
"Pamrih itu nama mendiang Ibuku.
Pamrih Suliah."
Raka dan Soka sama-sama sembunyikan
tawa, walau sebenarnya mereka ingin
terbahak karena geli mendengar nama
mendiang ibu Perawan Hutan. Tawa dalam senyum dikulum itu akhirnya reda dengan
cepat, karena tiba-tiba langkah mereka terhenti oleh sesuatu yang mengejutkan.
Sesuatu yang mengejutkan itu adalah
sesosok mayat yang tergeletak di bawah pohon dengan darah kering berceceran di
sekitarnya. Mayat itu adalah mayat
seorang lelaki berkepala gundul yang
agaknya tewas karena suatu pertarungan.
Dada lelaki itu koyak lebar bagai terkena tebasan pedang lawannya. Mereka segera
jauhi mayat itu sambil menutup hidung, sebab mayat tersebut telah membusuk.
"Sepertinya mayat itu sudah dua tiga hari tergeletak disana" ujar Soka setelah
meludah. "Tinggalkan saja, tak perlu kita bahas lagi" kata Raka sambil mengawali
melangkah lagi.
Beberapa saat kemudian, langkah
mereka terhenti kembali oleh dua sosok mayat yang tergeletak di semak-semak,
tampak kakinya saja. Mayat itu pun sudah membusuk dan berbelatung. Mereka segera
meninggalkan mayat tersebut, mendaki
lereng yang mulai berhutan lebat itu.
"Gila..."!" gumam Soka sambil menutup hidungnya saat mereka terhenti kembali.
Kali Ini mereka temukan lima sosok mayat yang membusuk dan berbelatung juga.
"Apakah mereka orang-orang yang
menjadi korban berebut Bunga Pucuk Dara?"
ujar Perawan Hutan seperti bicara pada diri sendiri.
"Entahlah! Yang jelas tempat ini
dipenuhi oleh mayat yang berserakan. Dan mereka pada umumnya adalah korban
pertarungan," kata Raka sambil pandangi senjata-senjata yang tergeletak di
samping mayat-mayat itu.
Semakin tinggi lereng yang didaki,
semakin banyak mayat yang ditemukan oleh mereka. Bahkan yang telah menjadi
kerangka pun tak sedikit. Udara di
sekitar lereng Itu sudah tak sehat lagi.
Ke mana-mana bau bangkai busuk yang
memualkan perut.
Namun sekalipun mereka menemukan
pemandangan yang mengerikan, toh tekad mereka tetap bulat dan semangat mereka
tetap tinggi. Gua Mulut Naga tetap mereka cari sesuai petunjuk dalam peta yang
kini dibawa oleh Raka Pura itu. Dalam peta
tersebut terdapat gambar sepasang pohon beringin. Menurut penjelasan Nini
Sawandupa, gua keramat itu terletak di antara kedua pohon beringin tersebut.
Maka, mereka pun memperhatikan tiap pohon yang ada di sekitar lereng gunung itu.
Mereka mencari dua pohon beringin yang tumbuh bersebelahan.
Beberapa saat kemudian, Soka
menemukan sebatang pohon beringin putih, batang dan daunnya berwarna putih.
"Raka, itu dia pohon beringinnya!"
"O, ya...! Tapi mengapa hanya satu, mestinya ada dua!" ujar Raka sambil mereka
hampiri pohon beringin putih Itu.
"Tunggu!" cetus Perawan Hutan. "Ada mayat di bawah pohon beringin itu. Dan...
sepertinya aku mengenali mayat tersebut!"
Mereka pun memeriksa mayat yang
tergeletak tak jauh dari pohon beringin
putih itu. Mayat tersebut agaknya masih baru. la terluka tusukan besar di ulu
hatinya, seperti habis ditusuk dengan
pedang hingga tembus ke punggung.
"Kau mengenal mayat perempuan tua ini"!"
"Ya, aku mengenalnya!" jawab Perawan Hutan. "Ini mayat Nyai Pangesti!"
"Siapa Nyai Pangesti itu?" tanya Soka.
"Gurunya si Tandu Sangrai!"
"O, ya..."!" Raka terperanjat.
Keadaan hutan disekitar tempat
ditemukannya mayat Nyai Pangesti sudah lain dengan hutan di kaki gunung tadi. Di
situ, hutan dalam keadaan rusak. Banyak pohon yang tumbang dan pecah pertanda
terkena pukulan tenaga dalam dan menjadi sasaran jurus-jurus dahsyat. Tapi dari
pohon-pohon yang tumbang, mereka tidak menemukan pohon beringin putih. Berarti
pohon beringin putih yang masih tumbuh kokoh itu bukan patokan menuju Gua Mulut
Naga. Tiba-tiba Soka Pura berseru dari sisi
lain. "Raka, lihatlah mayat ini...!"
Rupanya Soka telah menemukan mayat
seseorang yang mereka kenali. Mayat itu dalam keadaan jebol dadanya, tergeletak
dalam keadaan masih menggenggam kipas
hitam. Mayat perempuan itu sangat
mengejutkan Raka, karena Raka tahu bahwa
mayat itu adalah mayat si Peri Kenanga, ketua dan penguasa Kuil Darah Perawan,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Kencan Di Ujung Maut").
"Hampir saja dia menemukan gua itu lebih dulu dari kita," ujar Raka kepada adik
kembarnya. Tiba-tiba Perawan Hutan berseru,
"Lihat di sebelah sana! Bukankah itu pohon beringin putih juga"!"
Mereka bergegas hampiri pohon yang
dimaksud Perawan Hutan. Ternyata pohon itu memang pohon beringin putih. Hanya
saja, jaraknya terlalu jauh dari pohon beringin yang pertama.
"Berarti di sekitar jarak kedua pohon inilah letak Gua Mulut Naga" kata Soka
Pura sambil memandang ke arah lereng yang lebih atas lagi.
Mereka pun segera lakukan pencarian
dengan lebih teliti lagi. Sesekali
langkah mereka harus berhenti karena
menemukan mayat korban pertarungan dalam memperebutkan Bunga Pucuk Dara.
"Berarti bunga itu masih bisa
tumbuh"!" kata Anggiri seperti bicara pada diri sendiri. "Buktinya mereka rela
mati di sini. Pasti mereka memperebutkan bunga tersebut!"
Sebelum Raka mengomentari kata-kata
Perawan Hutan, tiba-tiba mereka mendengar suara rintihan kecil dari balik semak-
semak. Rintihan itu seperti orang sedang sekarat yang tersengal-sengal. Mereka
segera mencari si pemilik rintihan itu.
Tak berapa lama mereka temukan seorang lelaki pendek berusia sekitar empat puluh
tahun. Lelaki itu dalam keadaan terluka sangat parah dan wajahnya sudah seputih
kertas karena kekurangan darah. Perutnya robek lebar, kedua kakinya hitam
hangus, dan kepalanya pun bocor berlumur darah.
Tak satu pun dari mereka bertiga yang
mengenali lelaki pendek itu. Namun ketika mereka memeriksa lebih dekat lagi,
lelaki yang sedang sekarat membuka mata sedikit, kemudian mulutnya bergerak-
gerak pelan yang membuat mereka bertiga segera
mendekatkan telinga untuk mendengarkan perkataan orang tersebut.
"Ja... ngan... dekati... gua itu...."
"Kenapa?" tanya Raka.
"Pen... penjaganya... ga... galak, saaa... sadis, dan ber... berilmu
tinggi." "Siapa penjaga gua itu"!" tanya Soka yang sama-sama mengerti gua yang dimaksud
adalah Gua Mulut Naga.
"Sssee... seeeorang... seorang
mmmanu... manusia dari... batu... yang...
yang kkh...!" kepala orang itu terkulai, artinya nyawa orang itu sudah tak betah
mendiami raga yang rusak. Meski orang itu hembuskan napas terakhir sebelum
selesai bicara, tapi mereka mengerti maksudnya.
Gua Mulut Naga dijaga oleh seorang yang berilmu tinggi dan kejam. Mereka pun
dapat menyimpulkan bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan disana sini adalah para
korban yang bertarung dengan penjaga gua tersebut.
"Jalan terus, Soka! Kita hadapi si penjaga gua itu!" ujar Raka memberi semangat
pada adik kembarnya. Perawan
Hutan pun menjadi tambah semangat lagi.
"Soka, mengapa
orang tadi tidak
segera kau tolong dengan ilmu
pengobatanmu?" tanya Perawan Hutan.
"Sudah terlalu parah. Firasatku
mengatakan, sudah waktunya ia kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa."
"Firasatku pun begitu, maka..."
Ucapan sang kakak terputus tiba-tiba,
karena matanya memandang sesuatu yang
amat menegangkan. Pandangan mata yang
terbelalak itu diikuti oleh pandangan mata Soka dan Perawan Hutan.
"Ooh... itu dia! Pasti itulah yang dinamakan Gua Mulut Naga!" ujar Soka berseri-
seri. Kini mereka sudah berada didepan
sebuah gua berbatu-batu. Pintu masuk gua cukup lebar, bagian atasnya terdapat
bebatuan yang bertumpuk-tumpuk hingga
membentuk kepala naga yang sedang membuka mulutnya, badan naga seperti tertimbun
kebesaran gunung tersebut.
"Perawan Hutan, kau jaga diluar gua.
Aku dan Soka akan masuk ke dalam gua itu dan...."
"Ggrrrh...!" tiba-tiba terdengar suara geram yang besar dan menggetarkan tanah
tempat mereka berpijak. Perawan
Hutan segera mencabut pedangnya.
Sreet...! Wuuuut...! Ia melambung ke atas dan hinggap di
dahan pohon. Matanya memandang sekeliling dengan liar dan ganas. Ia mencari si
pemilik suara geram itu.
Ternyata pemilik suara geram tersebut
muncul dari dalam Gua Mulut Naga. la
bergerak cepat dalam satu lompatan
panjang bagaikan bayangan hitam menerjang Raka dan Soka.
Weesss...! "Awaass...!" seru Perawan Hutan. Raka dan Soka segera melompat, masing-masing
kekanan dan kekiri. Dengan begitu,
terjangan bayangan hitam itu tak mengenai mereka namun menabrak sebatang pohon
lurus yang batangnya sebesar pilar
istana. Bruuus, kraaak...!
Brruuukk...! Pohon itu tumbang seketika, hancur di
pertengahan batang yang ditabrak bayang hitam itu. Bayang hitam jatuh berdebam,
lalu segera berdiri dan berpaling
menghadap Raka dan Soka. Kedua pemuda itu sempat terbengong melihat orang
bertubuh tinggi, besar, tanpa baju, hanya
mengenakan cawat berlumut. Tubuhnya
berkulit sangat tebal dan sosok
penampilannya menyerupai seonggok batu gunung. Semua kulit tubuhnya serba keras
dan berlumut samar-samar. Dialah yang
dimaksud Manusia Batu oleh orang yang
meninggal di depan mereka tadi.
"Grrrh...!" si Manusia Batu menggeram lagi, memperlihatkan
mulutnya yang bergerak kaku dengan gigi hitam berlumut.
Kepalanya tak berambut, namun mempunyai tanaman sejenis lumut batu. la memang
sosok makhluk yang menyeramkan bagi siapa saja.
"Soka, biar kuserang dulu dia!" seru Raka,
kemudian segera melompat dan
melepaskan jurus 'Kobra Liar'. Pukulan tanpa sinar itu biasanya mampu merobek
perut lawan. Wuutt, crrok...!
Ternyata pukulan 'Kobra Liar' tak
mampu merobek perut si Manusia Batu.
Sebaliknya si makhluk aneh Itu
mengibaskan tangannya dan tubuh Raka
terhantam kibasan itu dengan keras.
Burrk...! "Aaow...!" Raka memekik, tubuhnya terpelanting dan jatuh dalam hempasan
keras. Bluuhk...! Kerasnya kibasan tangan itu membuat
tulang dada Raka bagaikan patah semua.
Mulutnya pun semburkan darah walau tak banyak. Raka tak mampu berdiri lagi, ia
seperti dijatuhi batu keras dan besar
dari suatu ketinggian. Napasnya terasa berat dan sesak sekali.
Melihat kakaknya terluka bagian
dalamnya, Soka Pura segera menyerang
Manusia Batu dengan jurus 'Cakar
Matahari', yaitu sinar putih menyerupai mata pisau yang melesat dari tangan yang


Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyentak ke depan dalam bentuk cakar
beruang. Claaap...! Criing, blaaar...!
Sinar putih menyerupai pisau runcing
itu tidak bisa menembus tubuh si Manusia Batu. Padahal
biasanya bisa untuk
menembus dua pohon sekaligus.
"Grrraaoow...!"
Manusia Batu ganti menyerang Soka
dengan lompatan cepatnya.
Wuuutt...! Soka diam ditempat dan melepaskan
jurus bersinar merah dalam bentuk seperti lempengan bergerigi yang memutar cepat
memercikkan bunga api.
Zaaarrk...! Ziiuurrrb...! Jurus 'Mata Bumi' yang bersinar merah
itu kenai dada si Manusia Batu, namun
padam seketika, bahkan meledak pun tidak.
Sedangkan tubuh Manusia Batu tetap
melayang menerjang Soka Pura.
Brruus...! "Aaahk...!"
Soka terlempar sejauh
tujuh langkah dan terbanting menyedihkan disana. Pada saat itu pula, Perawan
Hutan meluncur dari atas pohon bagai seekor
kelelawar tanpa sayap.
Wuuss...! Pedangnya ditebaskan beberapa kali ke
kepala si Manusia Batu.
Tring, tring, trang...!
Setiap tebasan pedang kenai kepala
Manusia Batu, namun hanya memercikkan
bunga api tanpa membuat Manusia Batu
terluka sedikit pun. Bahkan ia segera
sentakkan tangan kanannya yang besar itu ke arah Perawan Hutan. Pada waktu itu,
Perawan Hutan menjejak pohon dan gerakan layangnya kembali dekati si Manusia
Batu. Wuuk, claap...!
Sinar merah seperti bola api sebesar
genggaman orang dewasa telah melesat dari telapak tangan si Manusia Batu. Sinar
itu akan menghantam tubuh Perawan Hutan. Tapi gadis itu segera tebaskan
pedangnya dengan cepat tiga kali.
Zing, zing, zing...!
Tebasan itu mengeluarkan asap tebal
seperti kabut dingin. Kabut itulah yang akhirnya menjadi sasaran sinar merah
dari Manusia Batu.
Zuubbs...! Blegaaarr...! Ledakan dahsyat terjadi, Perawan
Hutan terlempar kuat dan membentur pohon dengan keras.
Brrruuk...! "Uuuhk...!" ia mengerang kesakitan dalam keadaan terkulai di bawah pohon.
"Soka! Serang dia bersama dengan
jurus 'Tapa Sunyi' kita!" seru Raka, Soka pun anggukkan kepala.
Maka tubuh kedua pemuda kembar itu
melayang cepat menuju Manusia Batu yang ingin hampiri Perawan Hutan. Raka
melayang dari arah kiri, Soka dari arah belakang.
Wuuutt...! Lalu masing-ma-sing tangan mereka
menggebrak kepala Manusia Batu bagai
bertepuk. Hal itu dilakukan mereka secara bersamaan.
Prrook...! "Haaggrrh...!"
Manusia Batu memekik keras-keras,
menggetarkan pepohonan dan membuat daun-daun berguguran. Tubuhnya oleng ke sana-
sini dengan kepala masih utuh.
Perawan Hutan segera bangkit dan
kerahkan tenaga untuk menerjang Manusia
Batu dengan tendangannya.
Ia memekik keras-keras sebagai luapan murkanya.
"Heeaaahh...!"
Tapi baru mendapat dua langkah ia
harus segera hentikan rencananya. Karena pada saat itu tubuh Manusia Batu telah
terpuruk, hancur menjadi pasir hitam dari kepala sampai telapak kaki.
Zrraaaks...! Perawan Hutan hanya bisa terbengong
kecewa memandang! tumpukan pasir yang
bercampur dengan darah kehitam-hitaman.
Itulah jenazah si Manusia Batu yang sukar ditumbangkan oleh beberapa tokoh
tingkat tinggi, namun akhirnya hancur di tangan si kembar Raka dan Soka.
"Perawan Hutan, carilah bunga yang kau maksud, aku dan Soka akan masuk ke dalam
gua!" "Hati-hatilah kalian!"
Blaas, blaas...!
Si kembar melesat masuk ke dalam Gua
Mulut Naga. Gua itu dalam keadaan gelap.
Bagian depan memang agak terang karena mendapat biasan sinar matahari, tapi
bagian dalamnya gelap pekat, Raka dan
Soka terpaksa keluar kembali, mencari
kayu dan ilalang kering untuk digunakan sebagai obat darurat.
Ketika mereka masuk ke dalam gua
lagi, ternyata keadaan gua telah berubah menjadi terang benderang. Setiap
dinding dan bebatuannya seperti kristal-kristal yang diberi lampu sorot dari
belakangnya. Cahaya yang memancar adalah cahaya putih tidak menyilaukan.
Raka dan Soka tertegun bengong,
akhirnya membuang obor tersebut keluar gua.
"Gua ini mempunyai lorong menuju ke bawah, Raka! Tampaknya lorong itu
berliku-liku!"
"Karena itulah dinamakan Gua Mulut Naga," ujar Raka sambil pandangi keadaan
dinding dengan terheran-heran.
"Dari mana datangnya cahaya ini"!"
"Entahlah," jawab Soka. "Barangkali ini sebuah keajaiban yang sulit dipahami,
sehingga gua ini dikatakan sebagai gua keramat!"
Mereka menyusuri lorong gua yang
menurun terus dan berliku-liku.
Dindingnya masih tetap memancarkan cahaya terang seperti kristal penutup lampu
sorot. Tiba-tiba langkah mereka terhenti dan
wajah mereka menjadi tegang sekali. Mereka sudah mencapai jalanan yang datar dan lebar, menyerupai sebuah ruangan
tanpa pilar. Ruangan itu juga berdinding terang, sehingga mereka dapat melihat
dengan jelas ke tengah ruangan tersebut.
Di sana telah berdiri dua orang kakek
berambut putih digulung, jenggot, kumis,
dan alisnya juga putih. Mereka mengenakan baju tambal-tambal dan menggenggam
tongkat serta tempurung. Mereka adalah pengemis tua yang tadi menghadang di
perjalanan. "Gila! Bagaimana mereka bisa tiba di sini lebih dulu dari kita?" gumam Soka
sangat heran. "Perhatikan wajah dan pakaian
mereka.... Mereka adalah pengemis kembar yang sulit dibedakan satu dengan
lainnya, kecuali lewat warna tongkat dan tempurung mereka!" bisik Raka dengan
hati berdebar-debar.
Kedua pengemis itu memandang mereka
dengan senyum wibawa dan pandangan mata penuh kharisma. Raka dan Soka merasa
takut mendekati mereka, sehingga langkah kedua pemuda itu pun. terhenti di ujung
lorong. Mereka berlutut satu kaki dengan kepala sedikit tertunduk penuh hormat.
Tiba-tiba salah satu dari pengemis
tua itu berseru,
"Selamat datang, Pendekar Kembar!
Kalian memang murid-murid
yang patuh kepada guru dan berjiwa besar."
Pengemis yang tadi minta digendong
sampai sungai itu ikut berkata pula.
"Apa yang kalian cari sudah kami
siapkan di sini.
Memang kami menunggu kedatangan
kalian! Ambillah sepasang Pedang Tangan
Malaikat, pergunakan untuk kebajikan!"
Pengemis yang satu berkata lagi, "Dan kami mempunyai hadiah untuk sahabat
wanita kalian itu...."
"Setangkai bunga yang bernama Bunga Ratu Jagat, yang akan membuatnya menjadi
seorang ratu sampai akhir hayatnya tiba nanti. Ia akan disegani oleh setiap
orang, dan dikagumi oleh siapa pun!"
sahut pengemis satunya lagi.
"Hadiah ini kami berikan untuknya sebagai upah kebajikannya selama dalam
perjalanan kemari, dan sebagai ganti
Bunga Pucuk Dara yang tak akan mekar lagi itu!"
Bluuub...! Tiba-tiba kedua pengemis tua itu
lenyap dalam bentuk gumpalan asap tebal.
Ketika asap itu menipis, tampaklah dua pedang tergeletak di tanah dan setangkai
bunga seperti teratai susun berwarna
ungu. Kedua pedang berbentuk indah dengan sarung pedangnya putih berkilauan
mirip kaca itulah yang disebut sepasang Pedang Tangan Malaikat, jelmaan dari
tongkat kedua pengemis. Sedangkan bunga mirip
teratai susun warna ungu itulah yang
dinamakan Bunga Ratu Jagat, jelmaan dari dua tempurung kedua pengemis tadi.
Raka dan Soka segera mengambil kedua
pusaka tersebut serta Bunga Ratu Jagat, kemudian mereka segera tinggalkan tempat
itu dengan hati girang dan rasa bangga yang tiada taranya.
"Kudengar mereka menyebut kita
Pendekar Kembar!" kata Soka. "Bagaimana Jika kita pakai julukan itu saja"!"
"Kurasa memang itulah julukan kita nanti! Pendekar Kembar!"
Perawan Hutan sangat gembira menerima
Bunga Ratu Jagat. Wajahnya yang cantik tampak berseri-seri ketika mendengar
keistimewaan bunga tersebut. Ia terpaksa ikut pulang si Pendekar Kembar ke
Gunung Merana untuk berkenalan dengan si Pawang Badai dan Nyi Padmi, orangtua
angkat Pendekar Kembar itu.
Setelah mendengar cerita Raka dan
Soka tentang kedua pengemis tersebut,
Pawang Badai pun jelaskan, bahwa kedua pengemis kembar itulah jelmaan roh ayah
dan paman Eyang Guru Dewa Kencan yang
bernama Suralaya dan Eyang Surapati.
SELESAI Segera terbit!!!
"SETAN CABUL"
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
Pedang Asmara 17 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Kaki Tiga Menjangan 30
^