Pencarian

Siluman Harimau Kumbang 1

Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang Bagian 1


SILUMAN HARIMAU
KUMBANG Oleh D. Affandi
Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
D. Affandi Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam Episode 013:
Siluman Harimau Kumbang
1 Batu Siwak sesungguhnya masih merupakan
anak Gunung Singkang Lelembut. Dikatakan anak gu-
nung adalah karena kemunculannya di permukaan
bumi ini setelah ratusan tahun kemudian. Dilihat se-
pintas lalu kedua gunung yang menjulang ke angkasa
dengan ketinggian ribuan meter ini. Nampak seperti
gunung kembar saja layaknya. Namun walaupun ke-
munculan Gunung Batu Siwak setelah kemudiannya.
Tetapi kalangan persilatan lebih mengenal gunung itu daripada induknya Gunung
Singkang. Apa pun yang dikenal oleh kaum persilatan ten-
tang Gunung Batu Siwak selama puluhan tahun, ada-
lah karena gunung ini menyimpan seribu satu macam
misteri yang selama ini belum pernah terungkap.
Lereng Gunung Batu Siwak yang sangat curam
kemudian diakhiri sebuah lembah memanjang. Hampir
setiap tahunnya sering dilanda guncangan gempa yang
sangat hebat. Pemandangan di sekitar lembah hanya-
lah rengkahan batu gunung dan juga tanah-tanah
yang menganga lebar yang tak terukur kedalamannya.
Tak satu makhluk hidup pun yang tinggal di
sana, kalaupun ada kebanyakan tak akan dapat ber-
tahan lama menghadapi keganasan alam yang tak per-
nah ramah. Walaupun Gunung Batu Siwak dikenal se-
bagai daerah yang terkenal angker dan menyimpan se-
ribu satu macam misteri. Tapi bukan berarti tak seo-
rang pun yang berani memasuki daerah itu. Banyak
orang-orang pemberani atau sekedar nekat dengan di-
dasari rasa penasaran, berkeliaran di sana.
Sebegitu jauh, selain rasa penasaran dan kein-
gintahuan mereka tidak terjawabkan namun juga me-
reka tak pernah kembali. Tak seorang pun yang berani melakukan pencaharian
kerabatnya, perguruan maupun saudara dekat mereka. Mereka hanya mampu
berharap dan berdoa, semoga mereka-mereka yang hi-
lang itu suatu saat akan kembali ke dalam pangkuan
keluarga. Penantian yang sia-sia!
Rasa penasaran ini kiranya tidak bisa terhenti
dengan hilangnya orang-orang terdahulu. Terbukti pa-
gi itu nampak sosok tubuh berkelebat ringan menjarah daerah itu.
Gerakannya yang sedemikian cepat, lincah dan
gesit menandakan bahwa laki-laki berpakaian bangsa-
wan itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai taraf yang sangat sempurna. Bagai terbawa hembusan angin saja, laki-
laki itu kemudian telah
menghilang dari pandangan mata.
Sementara itu jauh tertinggal di belakangnya
nampak puluhan orang dengan senjata terhunus, se-
dang melakukan pengejaran. Orang-orang berpakaian
seragam hijau dengan simbol kepala burung walet me-
rah itu terus melakukan pengejaran terhadap laki-laki berpakaian bangsawan yang
tak terlihat dari pandangan mereka. Pada saat itu mendadak terdengar benta-
kan. "Hentikan...!"
Bagai dikomando secara serentak orang berse-
ragam hijau itu pun menghentikan larinya. Kemudian
mereka menoleh! Maka nampaklah oleh mereka seo-
rang penunggang kuda tak jauh di belakang mereka.
Melihat dari warna pakaian yang dipakainya
tak salah kalau laki-laki berbadan tinggi kurus ini merupakan pemimpin dari
Perguruan Walet Merah.
Saat itu si penunggang kuda putih memandang
lurus pada jalan yang dilewati oleh si laki-laki berpa-
kaian bangsawan tadi. Begitu cepat Rajenta menghi-
lang dalam pengejaran itu. Padahal lima orang mu-
ridnya adalah merupakan murid-murid kelas satu
yang ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat
yang tinggi. Saat itu salah seorang muridnya dengan sikap hormat menegur:
"Guru...! Mengapa guru menghentikan kami...?"
Pimpinan Walet Merah yang bernama Jali Saji-
wa itu kemudian berucap pelan namun penuh peringa-
tan: "Orang itu telah memasuki Lembah Gunung
Siwak, sekarang kita telah berada di perbatasannya.
Lebih baik kita tak usah ke sana. Aku yakin dia pasti tak bakal dapat keluar
hidup-hidup dari sana." kata Luga Kencana ketua pemimpin Partai Perguruan Walet
Merah, merasa sangat yakin sekali.
"Tapi, Ketua! Orang itu telah membunuh sekian
banyak orang dari perguruan kita. Masakan kita harus membiarkannya lolos begitu
saja?" protes yang lainnya. "Hei... kalian pada tolol semua" Rajenta telah
minggat menyongsong ajal mengapa kita harus memburunya" Lembah Gunung Batu Siwak
pasti akan mengubur hidup-hidup Rajenta. Dan kematiannya tak
perlu kita fikirkan...!"
"Mari kita kembali ke perguruan...!" sambungnya pula setelah beberapa saat
setelah murid-murid
Walet Merah hanya diam saja.
Tak lama kemudian dengan didahului oleh ke-
tuanya yang menunggang kuda. Murid-murid dari Per-
guruan Walet merah mengikutinya dari belakang den-
gan hanya berjalan kaki saja.
Sementara itu Rajenta yang sudah terlalu jauh
memasuki Lembah Gunung Batu Siwak masih belum
menghentikan kecepatan ilmu larinya yang sangat luar biasa. Sambil menghindari
rengkahan-rengkahan tanah yang menganga lebar dan tak terukur dalamnya,
tubuh laki-laki berpakaian bangsawan itu terus mele-
sat bagaikan meteor.
Begitulah yang dia lakukan secara terus mene-
rus. Sampai saat kemudian secara tiba-tiba dia meng-
hentikan langkah. Kedua matanya membelalak tak
percaya. Di depan Rajenta nampak sebuah rengkahan
yang sangat luar biasa lebarnya. Mungkin lebih dari
lima belas tombak lebarnya, atau bahkan lebih. Reng-
kahan tanah yang miring dengan jurang yang sangat
dalam dan gelap di bagian dasarnya tak mungkin un-
tuk dilalui dengan sekali lompatan saja.
Namun apabila dia memandang ke seberang
rengkahan tanah yang menganga lebar itu. Hatinya le-
bih tergetar lagi. Sebuah Patung Harimau Kumbang
atau tepatnya sebuah arca dan tulang belulang berse-
rakan bekas kerangka mayat manusia. Itulah yang di-
lihat saat itu.
Pandangan matanya lebih dia pertajam lagi.
Mengherankan, sungguhpun tanah-tanah di sekeliling
sudah berlongsoran tiada berketentuan. Tapi mengapa
area itu tidak roboh terkena guncangan gempa yang
sering terjadi di daerah itu. Padahal setiap orang tahu bahwa hampir setiap
tahun sekali daerah itu selalu di-guncang gempa bumi yang sangat hebat. Dan
patung Arca Harimau Kumbang itu seperti tak pernah terusik
dengan kejadian alam yang sering beruntun terjadi di tempat itu. Seolah ada
tangan-tangan gaib yang mempertahankan keberadaannya. Dan apabila dia melihat
tulang-tulang berserakan di sekeliling arca itu, Rajenta semakin bertambah heran
dan diliputi rasa ketidak
mengertian. Mereka tewas tiada yang menguburkan-
nya. Hal itu sudah lumrah dan dapat dimaklumi, na-
mun apa yang menyebabkan mereka tewas" Itulah
yang tidak dimengerti oleh Rajenta. Dia bergidik sendiri. Namun rasa penasaran
membuat dia mulai memi-
kirkan jalan lain untuk dapat sampai ke sana. Tak ayal lagi dia mulai
mengitarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Mengerikan!
Mendadak Lembah Gunung Batu Siwak terasa
tergetar, selanjutnya terdengar suara bergemuruh ba-
gai tanah di lereng bukit yang hendak longsor. Rajenta terkesiap, tubuhnya
gemetar dan mulai terguncang keras. Bahkan saat itu matanya sudah terpejam,
siap- siap untuk menerima kematian.
Namun setelah menunggu sekian lamanya, dia
merasakan tak ada batu gunung yang menimpa kepa-
lanya, tidak juga longsoran tanah yang mengubur tu-
buhnya dalam suasana takut mencekam. Sebaliknya
dia merasakan tanah tempat dia berpijak bergerak ce-
pat ke satu arah. Seolah di bawahnya ada kekuatan
yang sangat dahsyat berusaha menggeser tanah itu
dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Sampai sejauh itu Rajenta masih belum berani
membuka matanya yang terpejam. Hanya dengan pe-
rasaan sajalah dia melihat apa yang sedang terjadi.
Padahal andai saja saat itu dia melihat kejadian yang sesungguhnya, sudah barang
tentu dia akan dibuat
terbelalak atau bahkan mungkin kaku pingsan karena
tak kuat melihat pemandangan yang sangat ganjil.
Kejadian yang sesungguhnya saat itu, Arca Ha-
rimau Kumbang yang diam tegak bagaikan patung,
nampak mengerjap-ngerjapkan matanya. Pada bagian
tubuhnya bergetar seolah tersentak dan menggeliat
terjaga dari sebuah tidur yang teramat panjang. Mata Arca Harimau Kumbang itu
menatap tajam pada Ra-
jenta yang masih tetap memejamkan matanya. Sepa-
sang mata arca yang sangat tajam dan menyimpan ke-
buasan itu terus memandang ke arah bumi tempat Ra-
jenta berada. Sinar merah mengkilap tersebut seperti menyimpan sebuah kekuatan
gaib. Menggeser lebih
cepat lagi tanah yang terpisah membentuk sebuah ju-
rang. Semakin lama tebing-tebing rengkahan itu se-
makin mendekat sesamanya, sehingga pada saat yang
tak terukur kecepatannya.
"Bum!"
Tebing yang satu dengan tebing rengkahan
lainnya menyatu kini. Dengan hati diliputi keingintahuan Rajenta buka kedua
matanya. Jarak antara dia
dengan Arca Harimau Kumbang hanya tinggal dua
tombak saja. Sangat mengherankan dan sekaligus
membuat nyalinya menciut. Rasa keheranan itu ke-
mudian telah memaksanya untuk berani memandang
para Arca Harimau Kumbang yang saat itu juga sedang
menatap tajam padanya.
"Serr!"
Jantung terasa bagai terhenti dari denyutnya,
area itu bagaimana mungkin bisa memandang pa-
danya sebagaimana makhluk hidup adanya" Selanjut-
nya terdengar pula suara auman yang terasa mengge-
tarkan seisi lembah. Menggoyahkan lutut Rajenta yang terpana dalam ketakutan
yang teramat sangat. Auman
panjang itu kemudian terhenti. Lalu menggema suara
seorang laki-laki yang tidak terlihat keberadaannya.
"Ha... ha... ha...! Selamat datang di Lembah Harimau Kumbang, Rajenta...! Kau
merupakan orang
yang beruntung untuk bergabung dengan kami!"
Rajenta terdiam di tempatnya berpijak. Dia me-
rasa heran mengapa suara itu dapat mengenali na-
manya. Dan yang lebih mengejutkan lagi ketika suara
itu kembali berkata:
"Siapakah anda orang tua yang mulia...?" tanya Rajenta harap-harap cemas. Suara
serak macam auman harimau itu kembali tertawa ganda. Sesaat sete-
lah suara tawanya terhenti. Maka terdengar pula uca-
pannya kembali.
"Aku merupakan majikan Lembah Gunung Ba-
tu Siwak yang ganas ini, Rajenta. Sudah sangat lama
aku memerlukan kehadiran orang-orang sepertimu...!"
Rajenta melengak, dia tidak tahu apa maksud
dari ucapan suara itu.
"Aku tidak tahu apa maksudmu?"
"Rajenta, bukankah kau bekas seorang bang-
sawan yang kini telah jatuh melarat! Engkau seorang
bekas saudagar, tapi seluruh harta mu telah digarong habis oleh para iblis dari
Lembah Weling. Anak istrimu telah pula mereka culik. Tidak cukup sampai di situ,
berbagai perguruan yang ada malah memburumu, karena menganggap engkaulah dalang
pencurian Arca Emas Harimau Kumbang yang menjadi lambang persa-
tuan dari kaum bergolongan lurus...!" Suara itu berkata secara panjang lebar.
Sehingga membuat Rajenta
terpana dengan mulut menganga lebar. Rajenta benar-
benar merasa sangat heran, bagaimana mungkin suara
yang belum pernah dikenalnya itu bisa tahu sedemi-
kian banyak apa yang telah menimpa diri dan keluar-
ganya. "Tapi aku sendiri merasa tak pernah menjadi tukang tadah Arca Harimau
Kumbang yang sangat
menghebohkan itu. Sungguh, orang tua, aku tak per-
nah melakukannya. Bahkan aku sendiri merasa heran
bahwa area itu kini telah berada di sini dengan bentuk yang lebih besar lagi."
"He... he... he...! Yang kau lihat memang benda
yang sama, Rajenta. Tetapi di depanmu itu bukan are-
ca yang hilang itu. Arca raksasa Harimau Kumbang
yang kau saksikan itu sesungguhnya jalan menuju
pintu masuk memasuki ruangan istana di bawah ta-
nah. Mulut arca itu akan membuka apabila kau mau
menekan bagian matanya sebelah kanan...!"
"Tetapi begitu mudahkah kau mengizinkan aku
masuk" Lalu untuk apa...?" tanya Rajenta merasa bingung dalam ketidak
mengertiannya. "Rajenta! Dari sekian banyak dari mereka yang
pernah memasuki daerah terlarang ini. Hanya kau seo-
rang yang kubiarkan hidup"! Aku menaruh harapan
padamu. Dengan maksud agar kau dapat mencari Area
Harimau Kumbang yang telah hilang itu...!"
"Aku masih belum mengerti apa yang kau in-


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ginkan, Orang tua yang mulia!" kata Rajenta semakin bertambah bingung.
"Rajenta, Rajenta! Tahukah kau bahwa Arca
Harimau Kumbang itu andai sampai jatuh ke tangan
orang-orang sesat, maka malapetaka yang sangat be-
sar tak mungkin dapat menimbulkan malapetaka di
mana-mana. Siapa pun yang menguasai arca itu se-
waktu-waktu dapat merubah ujudnya menjadi Silu-
man Harimau Kumbang yang sangat ganas!" menukas suara serak macam auman harimau
itu menjelaskan.
Rajenta tertegun, sama sekali dia tiada me-
nyangka kalau area tersebut dapat menyebarkan ma-
lapetaka. Namun dia juga merasa masih ragu dengan
keterangan yang diberikan oleh suara tersebut.
"Orang tua, dari mana engkau bisa tahu bahwa
arca tersebut dapat menyebarkan maut di mana-
mana?" Terdengar suara mengekeh mengikuti ucapannya yang semakin bertambah serak
saja. "Mengapa aku tak tahu" Sebab dari lembah in-
ilah arca itu berasal, ratusan tahun yang lalu area itu pernah dicuri oleh
seorang tokoh sesat, sehingga
membuat kutuk buyut guruku menjadikan daerah ini
dilanda malapetaka, karena murid-muridnya tak ada
yang berhasil membawa pulang arca yang telah hilang
itu...!" Akhirnya mengertilah Rajenta, kiranya Arca Harimau Kumbang yang telah
membuat berantakan ru-
mah tangganya itu rupanya berasal dari Lembah Gu-
nung Batu Siwak. Dia terhenyak, mendadak teringat
pula olehnya pada anak istrinya yang dengan cara
paksa dibawa lari oleh Jali Sarjiwa dan orang-orangnya ke Lembah Weling. Saat
itu Rajenta yang memiliki kepandaian sangat tinggi saja dapat dikalahkan oleh
pa-ra iblis dari Lembah Weling. Bahkan kalau tidak melarikan diri dia sudah tak
tahu bagaimana nasibnya. Walaupun saat itu dia merasa tak sampai hati untuk me-
ninggalkan istri dan anaknya, namun bukan berarti
dia merupakan seorang laki-laki yang tiada memiliki
tanggung jawab. Baginya alangkah baiknya dia menye-
lamatkan diri terlebih dahulu, baru kemudian setelah segala bekal ilmu silat
yang dimiliki benar-benar di atas lawannya, maka di situ Rajenta mulai
mengadakan perhitungan. Tapi dia juga harus mulai belajar sesuatu yang tak
pernah dimilikinya selama ini. Menda-
dak dia kembali memandang pada Area Harimau
Kumbang dan kembali berkata:
"O... orang tua yang mulia! Bolehkah aku men-
jadi murid di sini...?" tanya Rajenta dengan suara gemetar. Suara tanpa rupa itu
kembali tergelak-gelak.
"Kau terlalu banyak disakiti orang, Rajenta!
Engkau bukan saja hanya sekedar menjadi seorang
murid, tapi juga kujadikan seekor Siluman Harimau
Kumbang yang handal."
"Ja... jadi aku akan kau jadikan seorang silu-
man selamanya, ah... mungkinkah aku sanggup me-
nurutmu?" tanya Rajenta setengah meragu.
"Tidak, Rajenta! Hanya dalam waktu-waktu ter-
tentu saja kau dapat merubah ujud mu. Setelah kau
menjadi siluman. Tak seorang pun yang dapat menga-
lahkan kau...!" menyambung suara tanpa rupa itu kembali.
"Sekarang kau berjalanlah menuju Istana Indah
di bawah tanah. Tekan bagian mata sebelah kanan
Area Harimau Kumbang...!" perintah suara itu. Rajenta tak berniat membantah.
Dengan langkah mantap, akhirnya mendekati Area Harimau Kumbang. Lalu sete-
lah menekan bagian mata kanan area itu, maka tak
lama setelahnya bagian mulut itu menganga, dari sana Rajenta melangkahkan kaki
kembali. Semakin ke dalam dan terus ke dalam.
* * * 2 Cahaya lampu minyak yang menerangi seisi
warung itu hanya kelihatan remang-remang saja. Sua-
sana di sekeliling warung dan deretan desa nelayan
Sungai Sembilang sunyi mencekam. Tiada terlihat ca-
haya rembulan maupun kerlip bintang-bintang di ang-
kasa lepas. Langit mendung, walaupun hujan belum
juga turun. Setidak-tidaknya sampai saat itu.
Suasana di dalam warung nampak lebih men-
cekam lagi, tiada terdengar orang yang bicara walau
barang sepatah kata pun. Sungguhpun saat itu nam-
pak beberapa orang sedang melewatkan makan ma-
lamnya di tempat itu.
Sementara itu pemilik warung yang boleh dibi-
lang cukup lumayan, kelihatan duduk terpaku di bela-
kang gerobak yang berisi makanan dagangannya. Wa-
jah menunduk, menandakan bahwa dia merasa sangat
ketakutan sekali.
Sesekali matanya melirik pada dua orang ber-
topi lebar yang mirip topinya para nelayan. Dua orang berwajah angker itu terus
meneguk tuak yang berada
di dalam bumbung di depan mereka. Sudah berpuluh-
puluh bumbung tuak itu mereka teguk, sejauh itu ma-
sih belum kelihatan adanya tanda ingin mabuk. Hanya
mata mereka saja yang semakin merah. Bicaranya ka-
cau, mengatakan sesuatu yang tak jelas.
Kedua orang itu terus tenggelam dalam im-
piannya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang bera-
da di warung itu.
Siapakah dua tokoh misterius berumur empat
puluhan dengan sebilah pedang panjang yang mengge-
lantung di pinggangnya masing-masing itu" Rimba
persilatan mengenal mereka dengan julukan si Kembar
Pedang Dewa dari Pulau Bawean. Tokoh sesat yang
sering berkelana dengan sepak terjangnya yang dapat
membuat lawan maupun kawan terasa takluk pa-
danya. Mereka memang sering berada di daerah Ne-
layan Sungai Sembilang. Justru karena mereka sering
mendengar desas desus adanya Arca Harimau Kum-
bang yang sangat menghebohkan itu. Jauh-jauh mere-
ka datang menyeberang laut dari tempat kediaman me-
reka di Pulau Bawean. Pada saat lain mereka berhasrat untuk memiliki arca itu
namun sejauh itu masih belum juga dapat keterangan di tangan siapakah Arca
Harimau Kumbang itu berada. Hal itulah yang mem-
buat mereka semakin bertambah penasaran. Arca Ha-
rimau Kumbang adalah lambang persatuan kaum go-
longan lurus, dan yang ada di hati mereka, andai saja mereka dapat menguasai
arca itu. Bukan tidak mustahil semua kaum golongan putih berada dan tunduk di
bawah pengaruh mereka.
Sementara itu tidak begitu jauh dari warung
tempat si Kembar Pedang Dewa sedang duduk mere-
nung sambil menikmati tuaknya. Nampak seorang pe-
muda dengan pakaian merah, namun sudah kumuh
berjalan melenggang menuju ke arah warung.
"Sebaiknya aku singgah ke warung itu. Sejak
siang tadi perutku sudah berkerukukkan minta diisi.
Mungkin di sana juga ada dendeng ikan lumba-lumba
kesukaan ku!" gumam pemuda berwajah tampan itu
tanpa merubah langkahnya.
Sekejap kemudian dia telah berada di dalam
warung itu, setelahnya dia duduk di sebuah kursi yang terletak di sebelah pintu
depan. Sesaat dia menyapu
pandang pada seisi warung, juga pada beberapa gelin-
tir manusia yang berada dalam ruangan. Manakala
matanya membentur pada sosok si pemilik warung
yang diam merunduk di belakang gerobak makanan,
maka dia segera memanggilnya.
"Bapak pemilik warung...!" Tanpa melanjutkan ucapannya. Si pemuda tampan, atau
Pendekar Hina Kelana melambaikan tangannya. Pemilik warung itu
datang menghampiri. Walaupun sesungguhnya dia me-
rasa enggan karena rasa takut masih menyelimuti ha-
tinya. Sebaliknya walaupun suara Buang Sengketa
sangat lirih, namun cukup didengar oleh dua bertopi
lebar ini. Kedua orang itu memandang kehadiran pe-
muda dari Negeri Bunian sekilasan saja. Pada saat itu
Buang Sengketa tanpa menghiraukan pandangan sinis
si Kembar Pedang Dewa terus menyampaikan apa yang
diinginkannya pada pemilik warung yang sudah berdiri dengan sikap ketakutan di
depannya. "Tuan mau pesan apa...?" tanya pemilik warung yang sudah berusia lanjut ini.
Setengah berbisik, Pendekar Hina Kelana bertanya:
"Dendeng ikan lumba-lumba dan sebumbung
tuak yang sudah lama tersimpan! Ada tidak...?" tanya pemuda itu sopan.
"Semuanya ada, tapi maaf, Tuan... khusus ma-
lam ini kami tak bisa melayani tamu yang manapun
terkecuali kedua orang itu...!" Lirih suara pemilik warung, sementara sudut
matanya melirik pada dua
orang berwajah angker.
Buang Sengketa terdiam, sejurus dia memper-
hatikan pemilik warung yang berdiri menggigil di de-
pannya. Mungkin kedua orang itu telah mengancam
pemilik warung itu, sehingga laki-laki itu dicekam rasa ketakutan yang teramat
sangat. Selanjutnya dengan
suara yang sengaja dikeraskan dia pun berkata:
"Pak tua, apakah kau bisa menunjukkan pada-
ku di mana ada warung lagi selain di tempat ini?"
Maka semakin bertambah menggigillah pemilik
warung itu dibuatnya. Sementara si Kembar Pedang
Dewa sudah memanggil pemilik warung.
"Pak tua. Cepat kau sediakan lagi tuak dan se-
luruh makanan yang tersisa!" perintah salah seorang dari laki-laki kembar itu
setengah marah.
"Maaf, Tuan. Aku harus melayani mereka. Le-
bih baik tuan cari saja sendiri, jangan tuan berlamalama di sini. Orang itu bisa
membahayakan keselama-
tan tuan...!" kata pemilik warung dengan perasaan was-was.
"Pelayan! Apakah kau ingin agar kami menghu-
kum mu. Jangan kau hiraukan gembel itu. Kalau dia
ingin makan beri saja makanan sisa bekas anjingmu di belakang sana, cepat...!"
bentak salah seorang si kembar yang berbadan gemuk pendek.
Saat itu si pemilik warung dengan sangat terge-
sa-gesa segera mengambilkan semua makanan dan
bumbung tuak yang masih tersisa, lalu dengan cepat
pula dia menghidangkan tuak berikut makanannya di
atas meja tempat kedua laki-laki kembar berada.
Pemilik warung itu baru saja bermaksud me-
langkah menghampiri Pendekar Hina Kelana, kala ter-
dengar suara bentakan lagi.
"Hendak ke manakah kau, Tua Bangka"
Kubilang kau ambil makanan bekas sisa anjing
untuknya. Setelah itu usir dia pergi dari hadapan ka-mi." teriak si Kembar
Pedang Dewa mulai gusar.
Saat itu bukan main jengkelnya Pendekar Hina
Kelana demi mendengar ucapan si Kembar yang sangat
menghinanya itu. Namun dia masih berusaha berta-
han dan menahan kedongkolannya.
Selanjutnya dengan nada rendah, namun dipe-
nuhi kemarahan dia berkata pada pemilik warung:
"Lakukanlah apa yang dia inginkan, Pak tua!"
ucapnya sambil menyorot tajam pada laki-laki tua tersebut. "Tapi, Tuan...
makanan sisa itu sudah dua hari.
Bahkan sekarang mungkin sudah menjadi busuk. Anj-
ing milik kami saja tak mungkin mau memakan maka-
nan itu, tetapi...!" Tiba-tiba laki-laki pemilik warung itu menjadi gugup,
sehingga tak mampu meneruskan ka-ta-katanya.
"Pelayan, lakukanlah perintah kami. Mungkin
kucing kurap itu sudah sedemikian laparnya. Maka-
nan sisa anjing pun dia tidak menolak...!" kata salah seorang dari orang-orang
kembar itu sambil terkekeh-kekeh. Buang Sengketa masih tetap diam saja, namun
wajahnya bertambah tegang. Sungguhpun pelayan itu
merasa berat hati untuk mengerjakan apa yang dipe-
rintahkan oleh si kembar. Tapi apa daya, melawan ba-
ginya hanyalah merupakan kematian yang sia-sia. Pe-
milik warung itu akhirnya menghilang di balik pintu.
Buang Sengketa menunggu dengan hati mendongkol.
Sementara itu si Kembar Pedang Dewa dengan
sikap acuh terus meneguk tuaknya bumbung demi
bumbung. Tak sampai sepeminum teh, pemilik warung te-
lah kembali lagi dengan membawa sisa makanan bekas
anjing yang sudah busuk. Buang Sengketa segera me-
nutup jalan nafasnya manakala tercium bau yang san-
gat memualkan perutnya itu.
"Tunggu apa lagi! Kami merasa terhormat un-
tuk mempersilahkan seorang gembel menikmati hidan-
gannya...!" Lagi-lagi terdengar suara yang benar-benar membuat Pendekar dari
Negeri Bunian ini kehilangan
kesabarannya. Akhirnya tanpa bicara sepatah kata pun pemu-
da ini menggebrak mejanya. Nasi bekas yang sudah
hampir menjadi bubur dan terletak di dalam sebuah
waskom itu terlonjak dari atas meja. Selanjutnya dengan sekali sentilan saja,
waskom itu melesat sede-
mikian cepatnya. Kejadian ini tentu tak pernah diduga-duga oleh si Kembar Pedang
Dewa yang sedang enak-
enakkan melahap makanan dan meneguk tuaknya.
Hanya sekedipan mata saja waskom berisi nasi bekas
itu sudah melabrak wajah salah seorang dari orang itu lalu semua isinya menumpah
di wajah si tinggi gemuk.
Karuan saja semua kejadian itu membuat marah si
Kembar Pedang Dewa ini. Lalu sambil membuang sisa-
sisa nasi yang melekat di wajahnya, si tinggi gemuk
segera beranjak menghampiri Pendekar Hina Kelana.
Setindak demi setindak dia melangkah melewati kursi
dan meja. Melintasi ruangan tengah warung yang sa-
mar-samar cahayanya. Begitu sampai di depan Buang
Sengketa orang itu meludah di lantai sebanyak tiga
kali, selanjutnya memandang pada pemuda berpa-
kaian dekil dengan sorot mata diliputi kebencian.
"Bocah gembel! Siapakah engkau ini sehingga
begitu berani melempar ku dengan makanan yang su-
dah busuk menjijikkan...?"
* * * Buang Sengketa terdiam sesaat lamanya, wa-
jahnya menunduk. Namun bukan berarti dia tak tahu
apa yang bakal terjadi selanjutnya. Dia sabar dan tetap sabar sebagaimana


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipesankan oleh gurunya si Bang-kotan Koreng Seribu (dalam episode: Utusan
Orang- orang Sesat). "Bocah sial, kau jawab pertanyaanku atau kau
lebih memilih untuk mampus secepatnya...!" gertak si tinggi gemuk sambil
bertolak pinggang.
"Hemm... sombong sekali bicaramu, Manusia
gembrot. Kau menghinaku sedemikian rupa, seolah
kau sendirilah yang mampu membeli seisi warung ini.
Masih untung nasi busuk itu hanya mengenai mata-
mu, tapi kalau sampai menyumbat mulutmu yang bu-
suk itu. Aku yakin semua orang yang ada di sini pasti menertawaimu...!"
"Celaka kau bocah gembel, punya kepandaian
setahi kuku saja, tapi lagakmu sebakul...!" bentak si
tinggi gemuk lalu menggertakkan rahangnya.
Pendekar Hina Kelana tersenyum sinis, dia
menduga bahwa orang itu merupakan sebangsanya go-
longan sesat yang sangat angkuh. Orang-orang sema-
cam itulah yang paling dia benci selama ini. Dan dia merasa tak perlu memakai
segala peradatan.
"Di mana pun aku berada, tak pernah sekali-
pun aku bertingkah di depan orang lain. Hanya kau
sajalah yang sangat keterlaluan sekali...!"
Melihat perdebatan itu nampaknya si Kembar
Gemuk Pendek sudah tak sabar lagi. Maka tak terta-
hankan lagi kini dia ikut menyela:
"Kakang. Agaknya dia tidak tahu siapa kita!
Baiknya kita beri saja dia pelajaran yang setimpal atas kekurangajarannya...!"
"Mestinya akulah yang paling pantas memberi
pelajaran pada kalian...!" tukas pemuda dari Negeri Bunian itu, sambil garuk-
garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Sialan.... Heh...."
Masih dalam posisinya, si kembar gemuk tinggi
mendorong meja yang berada di depan Pendekar Hina
Kelana. Dia berharap dengan sekali dorong saja pemu-
da gembel pembawa periuk itu segera tergencet. Ka-
laupun tidak mati, setidak-tidaknya tulang iganya
akan remuk berantakan.
Maka ketika dia mendorong meja itu, si tinggi
gemuk sudah mengerahkan tiga seperempat tenaga da-
lamnya. Saat itu pemuda dari Negeri Bunian demi
mengetahui lawannya bermaksud mencelakakan di-
rinya. Dia pun tidak tinggal diam, lalu dengan mene-
kan meja itu memakai sebelah siku kirinya, Buang
Sengketa menahan meja itu demi menghindari agar di-
rinya jangan sampai tergencet.
Tak dapat dihindari lagi saling dorong dan sal-
ing tekan itu pun terjadilah. Salah seorang dari Kembar Pedang Dewa ini nampak
terkejut sekali demi me-
lihat usahanya untuk menggencet pemuda tampan
berpakaian kumuh masih belum juga mendatangkan
hasil. Padahal saat berikutnya dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Kampret!" makinya dalam hati.
Namun sungguhpun dia telah mengetahui
bahwa pemuda yang dihadapinya bukanlah orang
sembarangan, tapi mana mau dia mengalah begitu sa-
ja. Tanpa sungkan maupun malu dia pukulkan tan-
gannya mengarah bagian muka Buang Sengketa.
"Wer!"
Satu gelombang berhawa dingin menderu den-
gan begitu cepatnya. Pendekar Hina Kelana tak dapat
berfikir panjang. Cepat-cepat dia buang tubuhnya ke
samping. "Braak!"
Jelas saja pukulan itu mencapai sasaran ko-
song, selanjutnya langsung melabrak meja dan kursi di belakangnya sehingga kursi
dan meja itu hancur berkeping-keping karenanya.
Sementara itu Buang Sengketa setelah meng-
hindari pukulan maut itu langsung bangkit berdiri. La-lu memandang tajam pada si
tinggi gemuk dan si ge-
muk pendek yang saat itu sudah pula berdiri di samp-
ing kambratnya.
"Hemm! Kiranya kau memiliki kepandaian yang
dapat kau andalkan. Agaknya kau ini merupakan
gembongnya pencuri Arca Harimau Kumbang itu?"
menyela si Kembar Gemuk Pendek.
"Jangan-jangan dia sengaja memata-matai kita,
Adi...!" ucap si Kembar Gemuk Tinggi. Buang Sengketa memerah parasnya demi
mendengar ucapan manusia
kembar itu. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa
yang dia dengar dari orang yang lalu lalang bahwa berita menghebohkan tentang
arca itu benar adanya.
"Bangsat Kembar! Bertemu dengan tampang
kalian saja baru kali ini, begitu mudahkah kau melon-tarkan tuduhan yang tiada
beralasan itu padaku...?"
Si Kembar Pedang Dewa tergelak-gelak. Sesaat
mereka saling berpandangan sesamanya. Selanjutnya
dengan penuh kelicikan mereka kembali menoleh pada
Pendekar Hina Kelana. Si Tinggi Gemuk lalu menyela:
"Kucing gembel, di mana pun kemungkinan itu
bisa saja terjadi. Semua orang tahu. Arca Harimau
Kumbang merupakan lambang persatuan kaum persi-
latan golongan lurus. Arca itu sekarang telah lenyap dari Perguruan Walet Merah
yang merupakan pihak
penanggung jawab. Siapa pun yang memiliki area itu
sudah jelas dialah merupakan orang yang paling ber-
kuasa atas segala golongan yang ada. Melihat tampang dan kemampuanmu, nampaknya
engkau lebih pantas
sebagai pencuri arca itu...!"
Buang Sengketa semakin bertambah memerah
saja parasnya, sikap mereka yang mengada-ada benar-
benar tak bisa dia diamkan begitu saja. Lalu dengan
tubuh menggigil karena menahan mar ah. Maka Pen-
dekar Hina Kelana membentak:
"Manusia tidak tahu diri! Selamanya aku tak
pernah menjadi seorang pencuri. Seumur hidup baru
kalian saja yang telah begitu berani menghinaku se-
demikian rupa. Sungguh kalian manusia yang berpiki-
ran picik...!"
"Hua... ha... ha......! Siapa mau percaya pada
bualan seorang gembel pemakan nasi bekas...!"
"Jangan sekali-kali mencoba berbohong di ha-
dapan si Kembar Pedang Dewa...!" Ikut menyela pula si Gemuk Tinggi.
Semakin bertambah dingin tatapan mata Pen-
dekar Hina Kelana, wajahnya berubah kelam membesi.
"Terhadap kunyuk lutung berpedang karatan
siapa takut. Sekali kubilang tidak, selamanya tetap itu yang kukatakan. Kalian
bisa apa...?"
"Heh... berani mati kau menantang kami. Ta-
hukah kau sekali pedang kembar kami keluar dari sa-
rungnya. Dia tak akan mau kembali ke sarangnya se-
belum menghirup darah manusia...!"
"Mengapa tidak darah anjing saja atau darah
kunyuk lutung yang kini tengah meracau di depan-
ku...!" "Keparat! Orang sinting ini benar-benar telah menghina kita, Kakang...!"
ucap si Gemuk Pendek, selanjutnya sudah bersiap-siap pula dengan kuda-
kudanya. "Kalau begitu mari kita cincang tubuhnya ber-
sama-sama".
"Haiiit...!"
Usai dengan ucapannya, maka kedua orang
itupun segera menerjang Pendekar Hina Kelana den-
gan jurus-jurus tangan kosongnya yang sangat hebat
itu. "Manusia muka lutung, kalian benar-benar su-
dah gila...!" maki Buang Sengketa sambil menghindari terjangan-terjangan pihak
lawan yang menggebu-gebu.
* * * 3 Sementara itu pemilik warung yang sudah da-
lam keadaan ketakutan segera bergegas menjauh,
bahkan meninggalkan warungnya dari bagian pintu
belakang. Begitu juga halnya dengan beberapa orang
nelayan yang sedang berada dalam warung itu. Tidak
seorang pun yang tersisa terkecuali mereka yang se-
dang terlibat pertarungan sengit.
Saat itu, si Kembar Pedang Dewa dengan mem-
pergunakan jurus Dewa Kembar Menggila, dengan se-
rentak mereka melancarkan tendangan-tendangan
yang dahsyat mengarah pada bagian lutut rusuk,
maupun bagian kepala Pendekar Hina Kelana. Se-
mentara itu Buang Sengketa dengan mempergunakan
jurus Membendung Samudra Menimba Gelombang te-
rus saja memapaki serangan gencar yang datangnya
bertubi-tubi. Kedua kakinya terus bergerak lincah, sedangkan kedua tangannya
kadang berputar sedemi-
kian cepatnya. Menangkis, melancarkan serangan ba-
lasan dalam keadaan yang tak dapat diduga-duga oleh
pihak lawannya.
Mengetahui lawannya dapat mematahkan se-
rangan-serangan beruntun yang mereka lancarkan.
Dan bahkan beberapa kali serangan balik yang dilan-
carkan lawan hampir mencederai mereka. Maka secara
hampir bersamaan, si Kembar Pedang Dewa ini pun
melompat mundur.
"Kau memang tangguh, Monyet gembel! Siapa-
kah kau yang sebenarnya?" tanya si Tinggi Gemuk dengan hati panas.
"Nama hanya perlu diingat, Monyet lutung! Bu-
kan untuk digembar gemborkan bagai tukang jual obat
di pasar...!" tukas Buang Sengketa dengan sesungging senyumnya yang konyol.
Maka semakin bertambah penasaran dua orang
kembar itu dibuatnya. Lalu si gemuk pendek pun me-
nyela: "Sialan! Kuburmu tak akan dikenal orang apabila kau tak mau menyebutkan
namamu...!" membentak orang itu dengan hidung kembang kempis.
Sesaat Buang Sengketa mendengus, se-
lanjutnya. "He... he... he....! Dulu pernah ada seorang pe-nyair berkata padaku, bahwa nama
itu sesungguhnya
merupakan penjelmaan dari jiwa yang bergelora. Tapi
bagiku nama adalah nama. Kecuali untuk dikenali,
nama itu cuma untuk diingat. Tak perlu aku
memperkenalkan namaku di depan dua ekor monyet lutung yang menjijikkan...!"
Merah padam wajah kedua orang itu, bahkan
gigi-gigi mereka sampai bergeletuk. Kemudian:
"Kau pasti merasa menyesal sampai hari mati-
mu karena kesombonganmu itu!"
"Terimalah pukulan ini! Siaaaa...!"
Dengan sangat kompak si Kembar Pedang Dewa
kirimkan pukulan yang sangat dikenal dengan nama
Dewa Kembar Menyongsong Matahari.
Tak dapat ditawar-tawar lagi dua gelombang
pukulan yang menimbulkan suara menggemuruh dan
berhawa sangat panas menderu sedemikian cepatnya
mengarah pada tubuh si pemuda yang nampak berke-
lebat di tengah-tengah ruangan.
Saat itu Pendekar Hina Kelana dalam gerakan-
nya yang gesit itu masih dapat menyadari adanya ha-
wa pukulan yang sangat panas menyambar. Maka
tanpa membuang waktu lagi Buang Sengketa yang su-
dah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan se-
gera mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke ba-
gian tangan kanannya. Tak pelak lagi tangan pemuda
itu menggetar, selanjutnya dengan disertai satu jeritan tinggi. Pemuda itu
pukulkan tangannya memapaki datangnya pukulan Dewa Kembar Menyongsong Mataha-
ri. Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang menimbul-
kan panas sangat luar biasa itu pun menderu. Melesat sedemikian cepatnya meluruk
dua pukulan yang datangnya dalam waktu yang hampir bersamaan. Tak te-
relakkan dua pukulan yang sama-sama berhawa pa-
nas luar biasa itu pun saling bertemu di atas udara.
"Blam! Blam!"
Terdengar bunyi berdentum yang sangat me-
mekakkan gendang-gendang telinga. Warung yang
menjadi ajang pertarungan nampak tergetar. Segala
barang pecah belah yang mengisi warung tersebut ja-
tuh berantakan di atas lantai tanah. Sementara itu tubuh Pendekar Hina Kelana
terpelanting menabrak
dinding papan. Dinding papan jebol berantakan, se-
hingga membuat Buang Sengketa tercampak ke luar
warung. Darah meleleh dari celah bibir dan hidung pe-
muda ini, dada terasa menyesak serasa bagai remuk.
Secepatnya dia bangkit kembali. Lalu setelah mengatur jalan nafasnya apa yang
dia rasakan menjadi agak
mendingan. Tetapi di luar sangat gelap gulita.
Sementara itu di dalam warung, si Kembar Pe-
dang Dewa yang hanya tergetar saja tubuhnya tanpa
mengalami kekurangan suatu apapun segera membu-
ru Pendekar Hina Kelana yang sudah berada di luar
warung itu. "Gembel ini belum mampus, Kakang...!" teriak si Gemuk Pendek begitu melihat
lawannya sudah ber-
diri tegak di depan mereka.
"Dengan sekali pukul lagi, jiwanya pasti tak
akan dapat diselamatkan...!" sahut si Tinggi Gemuk, lalu bersiap-siap melakukan
pukulan kembali.
Saat itu Buang Sengketa tanpa berkata sepatah
kata pun cepat-cepat bersiap dengan pukulan si Hina
Kelana Merana. Dari beradunya dua tenaga dalam tadi, nam-
paknya Buang Sengketa mulai menyadari bahwa pu-
kulan Empat Anasir Kehidupan tak akan banyak
membantu untuk secepatnya dapat merobohkan la-
wannya. Maka jalan satu-satunya adalah mengirimkan
serangan balasan dengan pukulan yang mengandung
unsur panas dan dingin. Lalu tanpa menunggu lagi,
Pendekar Hina Kelana segera bergerak mendahului!
"Hiaaat...!"
Tubuhnya berkelebat, saat yang sama dua
kembar itu pun kiranya tidak tinggal diam. Secepat


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendekar itu bergerak, lebih cepat lagi dua tubuh lainnya. "Wuss!"
Pendekar Hina Kelana melepaskan pukulan
mautnya. "Werrr!"
Tak kalah cepat, si kembar itu pun melancar-
kan serangan pamungkas. Bagai saling berlomba dua
pukulan bertenaga sakti ini datang menggebu. Udara
di sekitar tempat itu berobah dingin dan panas.
"Bum! Bum!"
Terdengar bunyi dua letupan berturut-turut,
saat mana tiga pukulan saling bertubrukan. Suara
yang sangat dahsyat itu membangunkan penduduk
yang tinggal di sekitar warung itu. Tapi tak seorang
pun yang berani keluar meninggalkan rumah mereka.
Saat itu terdengar suara raungan berupa jeri-
tan dari mulut dua orang kembar berbadan bongsor
itu. Tubuh keduanya terpelanting jauh, kemudian ter-
sungkur dengan muka mencium tanah. Bumi terasa
berputar, pandangan mata mengabur dan berkunang-
kunang. Namun sungguh luar biasa daya tahan dua
orang kembaran ini. Walaupun saat itu mereka mera-
sakan dadanya bagai remuk. Secepatnya mereka
bangkit. Tetapi mereka terbatuk-batuk, lalu menggelo-goklah darah kental dari
mulut mereka. Dengan cepat
pula mereka telan dua butir pil berwarna kuning. Ba-
rulah setelah menelan pil itu wajah mereka yang pucat telah berubah kembali
seperti sediakala.
Sementara itu Buang Sengketa sendiri menga-
lami luka dalam yang tidak ringan. Dalam dua puku-
lan tadi tubuhnya sempat terpelanting empat tombak.
Sungguhpun dia sempat muntah darah, namun den-
gan mengatur jalan nafas dan mengerahkan hawa
murni dia malah lebih sigap lagi bangkit berdiri.
Tubuh tegak bagaikan area, sepasang mata
menatap tajam pada si Kembar Pedang Dewa. Wajah
pemuda dari Negeri Bunian kini semakin bertambah
kelam membesi, dari sela-sela bibirnya keluar pula
bunyi mendesis bagaikan Ular Piton yang sangat ma-
rah. Dan sekejap kemudian dia pun sudah memben-
tak: "Hemmm! Manusia-manusia sinting, nampak-
nya kalian benar-benar ingin mempertaruhkan nya-
wa...!" "Kami memang menghendaki nyawamu...!" Tak kalah sengitnya orang itu pun
balik pula membentak.
"Ha... ha... ha...! Agaknya kau mulai ketakutan, Gembel penyandang periuk?" Si
Tinggi Gemuk ikut-
ikutan pula menimpali.
"Kalau kau takut melihat ketajaman pedang
kembar kami. Maka goroklah lehermu dengan senja-
tamu sendiri...!"
Bukan main semakin bertambah gusarnya
pendekar keturunan Raja Ular Piton Utara itu demi
mendengar ucapan yang sangat mencemoohnya.
"Bertahun-tahun aku berjalan menyeberangi
lautan, mendaki gunung, lintasi belukar. Berpuluh-
puluh nyawa manusia sesat telah pula melayang di
tanganku dalam kesombongannya. Dan kini ada lagi
monyet tersesat yang menghendaki nyawaku. Sayang
sekali, karena nyawaku tak ada dijual di warung mana pun. Maka aku tak akan
memberikannya...!"
"Bangsat. Jiwa anjingmu tiada harganya di ma-
ta kami." menghardik si Tinggi Tegap. Selanjutnya secara hampir bersamaan mereka
melolos pedang kem-
barnya. "Sriing!" Sring!
Sungguhpun malam itu tak terlihat bulan
maupun bintang di langit. Namun pedang di tangan
mereka tetap mengeluarkan sinar putih berkilauan.
Buang Sengketa terkesiap karenanya, dia meli-
hat bahwa senjata di tangan lawannya bukanlah senja-
ta yang bisa dianggap sembarangan. Tanpa berkata-
kata lagi, pedang di tangan si kembar menderu.
"Shiaaat...! Nguuung...!"
Tubuh Pendekar Hina Kelana melentik manaka-
la pedang itu menerjang ke arah bagian leher dan lambungnya.
Melihat pihak lawan dapat mengelakkan jurus
pedang mereka yang diberi nama Dewa Kembar Me-
nyergap Rajawali. Sudah barang tentu si Kembar Pe-
dang Dewa ini pun menjadi semakin bertambah pena-
saran saja. Namun mereka juga tidak merasa perlu ce-
pat putus asa, sebagai orang yang sudah malang me-
lintang di rimba persilatan selama dua puluh tahun.
Sudah barang tentu mereka sudah kenyang makan
asam garam dunia persilatan. Mereka selalu merasa
yakin dengan kemampuan yang mereka miliki.
Selanjutnya, dengan disertai teriakan mengge-
legar dua kembar ini berusaha mendesak Pendekar
Hina Kelana dengan tusukan maupun babatan pedang
yang sangat berbahaya sekali. Pedang di tangan mere-
ka berkelebat-kelebat menimbulkan suara bercuitan.
Beberapa jurus berikutnya Buang Sengketa sudah ke-
lihatan mulai keteter. Satu kesempatan si gemuk pen-
dek dan si gemuk tinggi secara bersamaan melakukan
serangan dahsyat.
"Nguung!"
"Ih, pedang iblis...!" seru pendekar ini tertahan begitu merasakan pedang di
tangan kembar terus
mengejarnya ke mana pun dia berusaha menghindar.
"Ciaaat! Heiik...!"
"Brebet!"
Buang Sengketa mengeluh pendek begitu ba-
gian bahunya tersambar mata pedang lawannya yang
sangat tajam luar biasa. Dengan terhuyung-huyung
Pendekar Hina Kelana berusaha menghindari babatan
pedang berikutnya yang nyaris menyambar bagian le-
hernya. Darah mengucur deras membasahi bahunya
yang terobek agak dalam. Perih sekali rasanya!
"Heaaat...!" teriak Buang Sengketa yang sudah sangat marah. Lalu dengan
mempergunakan jurus si
Jadah Terbuang, tubuhnya sebentar saja sudah berke-
lebat sedemikian cepat. Membingungkan pihak lawan.
Hanya angin berseliweran saja yang dapat dirasakan
oleh si kembar. Dan suara desisan bagai suara seekor
ular raksasa, hanya itulah yang dapat mereka dengar.
"Jadah! Ilmu siluman...!" maki si kembar penasaran. Buang Sengketa yang sudah
mencapai puncak
kemarahannya itu sudah tiada perduli lagi. Sekali saja kedua tangannya
menyambar. "Bletak! Bletuk!"
Tinju Buang Sengketa menghantam tepat pada
bagian kening lawannya. Kepala mereka langsung ben-
jol sebesar buah mangga. Dan masih untung si kembar
memiliki kekebalan yang cukup dapat diandalkan. An-
dai tidak, sudah barang tentu kepala mereka akan re-
muk terhajar pukulan yang telah teraliri setengah dari tenaga dalam yang
dimiliki oleh Buang Sengketa.
Si kembar merasakan kepala mereka berde-
nyut-denyut sakit, sumpah serapah pun berhamburan
dari mulut mereka.
"Hiaaa...!"
Si kembar bagai setan gila kembali menggebrak
dengan mempergunakan jurus-jurus yang paling san-
gat mereka andalkan.
"Nguung!"
Mendadak menyertai bunyi berdengung bagai
suara auman puluhan ekor harimau yang kelaparan.
Dalam kegelapan itu terlihat nyala sebuah benda yang berwarna merah bagaikan
bara. Maka terkejutlah si
kembar demi melihat apa yang ada dalam genggaman
Pendekar Hina Kelana.
"Golok Buntung! Dia Pendekar Golok Buntung
yang bernama si Hina Kelana itu, Kakang...!" seru si gemuk pendek tanpa sadar.
Mereka benar-benar terperangah, selama ini
mereka hanya mendengar sepak terjang yang sangat
hebat pendekar dari bagian Barat ini. Sama sekali me-
reka tiada menyangka kalau hari ini mereka secara tak terduga telah berbentrokan
dengan pendekar yang
sangat menggemparkan kalangan persilatan ini.
Dalam ketermanguannya, mendadak terdengar
pula pendekar yang sangat disegani semua golongan
itu: "Manusia kembar keturunannya kunyuk lu-
tung...! Kalau kalian masih ingin hidup. Tinggalkanlah sebelah tangan kalian
sebagai penebus kesalahan yang telah kalian lakukan...!"
"Siapa sudi, lebih baik kami mengadu jiwa den-
ganmu...."
"Caiiiit...!"
Kejap selanjutnya terjadilah pertarungan yang
sangat sengit. Golok di tangan Pendekar Hina Kelana
menderu dahsyat, sehingga menampak bayang-bayang
merah saja di tengah-tengah kegelapan itu.
Dengan senjata andalannya itu, maka kini kea-
daan menjadi terbalik. Si Kembar Pedang Dewa seben-
tar saja sudah terdesak hebat.
Nampaknya Buang Sengketa sudah tiada mem-
berinya kesempatan yang banyak. Golok menderu
mengarah pertahanan lawannya yang sangat sarat
dengan kiblatan pedang kembar mereka di tangan.
Golok di tangan Buang Sengketa melesat cepat,
kedua kembar menjadi gugup. Kemudian dengan san-
gat nekad memapaki senjata di tangan lawannya.
"Trang! Trang!"
Terlihat percikan bunga api manakala senjata-
senjata mereka saling berbenturan keras. Tubuh si
kembar bergetar. Dada terasa menyesak bagai remuk.
Sementara pedang di tangan mereka rompal di dua ba-
gian. Buang Sengketa tidak membuang waktu lagi.
"Hiaaat!"
"Craas! Craaas!"
Si Kembar Pedang Dewa keluarkan lolongan se-
tinggi langit. Tangan kanan mereka yang terkutung
memancarkan darah yang luar biasa banyaknya. Se-
lanjutnya dengan membawa lukanya. Si kembar segera
melarikan diri menembus kegelapan malam.
"Aku akan membalas segala apa yang telah kau
lakukan, Pendekar Golok Buntung!" Masih terdengar suara sayup-sayup si Tinggi
Gemuk. Buang Sengketa hanya menggeleng saja tanpa
bermaksud melakukan pengejaran.
Selanjutnya sambil memegangi luka di bahunya
dia melangkah pergi menuju ke arah Utara.
* * * 4 Lembah Weling adalah merupakan sebuah lem-
bah yang memiliki pemandangan yang sangat indah.
Subur tanahnya, apa pun yang ditanam di sana akan
tumbuh subur. Seolah alam sangat bersahabat dengan
para penghuninya yang terdiri dari segolongan manu-
sia-manusia sesat.
Selama ini tak seorang pun yang berani datang
ke sana, penghuni lembah yang terkenal telengas dan
dapat membunuh siapa saja tak pernah memberi am-
pun pada siapa pun yang coba-coba berani memasuki
kawasan itu. Biasanya suasana di daerah itu sering terlihat
lengang dan sepi, namun di pagi itu keramaian terlihat di sana. Kesibukan masak
memasak sejak subuh buta
sudah dimulai. Sementara itu para murid Lembah Wel-
ing sedang bersiap-siap mengadakan upacara perka-
winan ketua mereka Jali Sajiwa dengan anak bekas
bangsawan Rajenta yang mereka culik. Yaitu Dewi
Wening Asih yang sangat cantik luar biasa. Sungguh-
pun Dewi Wening Asih menolak keinginan Jali Sajiwa
untuk menjadikan dia sebagai istrinya. Bahkan beru-
lang kali dia berusaha melakukan bunuh diri.
Namun apalah dayanya sebagai seorang wanita.
Usahanya selalu gagal, sebab di seluruh ruangan ka-
marnya terdapat beberapa orang pengawal pribadi Jali Sajiwa. Yang selalu
mengawasi setiap gerak yang dia
lakukan. Tak banyak yang dapat dilakukannya terke-
cuali menangis sepanjang hari. Menangis meratapi na-
sib hidupnya yang begitu malang.
Saat itu di sebuah ruangan penjara bawah ta-
nah, Jali Sajiwa sedang berusaha untuk melunakkan
Nyai Wendah, yaitu ibu kandung Dewi Wening Asih.
"Sudahlah, mengapa kau ingat-ingat suamimu
yang kabur meninggalkanmu itu! Menurut kabar yang
kudengar suamimu telah diburu-buru oleh Perguruan
Walet Merah karena mereka menyangka bahwa sua-
mimu yang telah menjadi tukang tadah pencurian Arca
Harimau Kumbang lambang persatuan kaum persila-
tan golongan lurus. He... he... he...! Mungkin sekarang Rajenta telah mampus
karena ketololannya memasuki
Lembah Gunung Batu Siwak yang sangat berbahaya
itu...!" "Jali Sajiwa manusia rendah. Sampai mati pun aku tetap tak akan
memberimu ijin untuk menikahi
anakku. Aku akan selalu mengutukmu atas tindakan-
mu yang ceroboh, dan bukan tidak mungkin engkau-
lah yang telah mencuri Arca Harimau Kumbang dari
Perguruan Walet Merah...!"
Jali Sajiwa semakin panas hatinya. Dibujuk
dengan jalan baik kiranya Nyai Wendah tak mau kom-
promi, bahkan telah pula menuduhnya dengan perbu-
atan yang tak pernah dia lakukan. Maka dengan kasar
dia pun menyentakkan kerah baju Nyai Wendah secara
kasar. Tubuh wanita malang itu agak terangkat ke
atas. Nafasnya tersengal-sengal karena merasa sulit
untuk bernafas.
"Sial betul engkau ini. Kujadikan mertua kau
tak mau. Kau kira dengan tetap membangkang seperti
itu niatku untuk mengawini anakmu akan kubatalkan!


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hem tidak sama sekali. Bahkan kau pun akan menda-
pat giliran yang paling pertama. He... he... he...!" berkata begitu. Jali Sajiwa
segera menotok jalan suara
dan bagian gerak Nyai Wendah yang masih kelihatan
awet muda dan cantik seperti anaknya. Begitu tangan
Jali Sajiwa melepaskan cengkeramannya. Maka tak
terhindarkan lagi tubuh Nyai Wendah terjengkang ke
lantai. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan Ja-
li Sajiwa pun bergerak menyambar pada bagian dada
Nyai Wendah, "Brebet...!"
Bagian dada Nyai Wendah terobek pakaiannya.
Wanita berumur setengah baya itu menjerit. Namun
tiada suara yang terdengar. Jali Sajiwa tertawa penuh kemenangan.
"Kau haus, membayar mahal atas kekerasan
hatimu, Nyai Wendah. Sungguh pun kau dapat menje-
rit setinggi langit. Namun suamimu yang sudah mam-
pus di Lembah Gunung Batu Siwak tak akan menden-
gar...! He... he... he...!"
Setelah melepas habis seluruh pakaiannya sen-
diri. Tak lama kemudian Jali Sajiwa segera menindih
tubuh molek Nyai Wendah yang tak mampu menjerit,
bergerak apalagi meronta.
Dengan brutal sekali Jali Sajiwa melampiaskan
nafsu binatangnya. Nyai Wendah menangis, namun
hanya lelehan air matanya saja yang menetes deras.
Dia merasa sangat terpukul dengan kejadian itu, ba-
tinnya terguncang.
Tiada suara apa pun yang terdengar di ruangan
penjara bawah tanah tersebut, terkecuali desah nafas tokoh sesat yang memburu.
Hingga beberapa saat setelah segala-galanya pun berakhir. Jali Sajiwa dengan
tubuh bermandi keringat segera mengenakan pakaian-
nya kembali. Sesungging senyum puas membias di bi-
birnya yang dipenuhi oleh jambang dan kumis.
Sesaat saja dia memandang pada Nyai Wendah
yang tiada mengenakan sehelai pakaian pun. Nyai
Wendah memalingkan wajahnya, caci maki pun tak
pernah keluar dari pangkal tenggorokannya yang tertotok.
"Tidurlah kau di sini untuk selama-lamanya,
Perempuan tolol. Pesta perkawinan akan dilangsung-
kan. Kau sendiri dapat merasakan betapa hebatnya
aku... he... he...!" kata Jali Sajiwa sambil ngeloyor pergi.
Saat itu tanpa sepengetahuan Jali Sajiwa mau-
pun murid-murid sesat Lembah Weling. Seorang pe-
muda nampak menyusup memasuki daerah mereka.
Gerak gerik pemuda ini kelihatan sangat hati-hati sekali. Pemuda berkuncir
dengan pakaian kumuh dan
berparas tampan ini. Siapa lagi kalau bukan Buang
Sengketa atau si Pendekar Hina Kelana.
Mengapa pemuda ini sampai kesasar ke Lem-
bah Weling"
Setelah bertarung dengan si Kembar Pedang
Dewa dan berhasil membuntungi tangannya. Semula
dia bermaksud untuk terus menelusuri sepanjang pan-
tai. Dengan tujuan ingin mencari tempat yang pasti
tentang pertapaan ayahandanya. Si Raja Ular Piton
Utara. Namun begitu dia teringat pada Arca Harimau
Kumbang yang telah lenyap dari Perguruan Walet Me-
rah. Lebih jauh dia ingin mengetahui apa sesungguh-
nya yang menjadi keistimewaan arca tersebut sehingga diperebutkan oleh banyak
orang dari berbagai perguruan. Karena langkahnya menuju Utara, maka secara
tidak sengaja dia melewati daerah Lembah Weling yang merupakan jalan pintas
untuk menempuh arah itu.
Namun sesampainya di pinggiran lembah dia
sedikit agak heran melihat keramaian yang luar biasa itu. Lalu rasa penasaran
membuat dia ingin mengetahui apa sesungguhnya yang sedang berlangsung di
lembah itu. Sungguhpun dasar lembah dengan tebingnya
terletak puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya dari
pinggiran lembah. Bahkan jalannya pun tidaklah se-
baik jalan-jalan yang pernah dia lewati. Tapi dengan mempergunakan ilmu
mengentengi tubuh didukung
lagi dengan ajian Sapu Angin, maka dalam waktu seke-
jap saja dia sudah menginjakkan kakinya di atas wu-
wungan rumah tanpa menimbulkan suara sedikitpun
juga. Selanjutnya dia mulai mempergunakan ilmu me-
nyusupkan suara untuk mencuri dengar apa saja yang
terjadi di dalam rumah perguruan yang sangat besar
dan indah itu. Tak lama kemudian Buang Sengketa menden-
gar ada suara beberapa orang sedang bercakap-cakap.
"Bagaimana" Apakah pengantin perempuan
sudah dirias...?" tanya suara laki-laki berat dan serak.
Dialah Jali Sajiwa ketua Perguruan Sesat Lembah Wel-
ing. "Belum, Ketua. Dewi Wening Asih tidak mau di-
rias, dia terus menangis memanggil manggil ibunya...!"
"Hemm. Anak itu keras kepala seperti
ibunya...!"
"Nampaknya dia harus dijebloskan ke penjara
menyusul ibunya, Ketua...?" menimpali salah seorang muridnya.
Jali Sajiwa nampak marah, begitu mendengar
usul salah seorang murid yang bernama Gento itu.
"Goblok! Mau tidak mau, suka tidak suka, bo-
cah itu harus menjadi istriku. Kalau kalian tidak becus semuanya nanti ku hukum.
Bujuk dia dan rias wajahnya sekarang juga...!" perintah Jali Sajiwa berwibawa.
"Tapi, Ketua...!"
"Tapi apa" Masih kurangkah tukang rias pen-
gantin di kamarnya...?"
Dengan perasaan takut-takut salah seorang
murid yang lain menyela: "Tidak, Ketua, bahkan jumlah mereka ada sepuluh orang.
Namun mereka harus
menyembuhkan luka-luka di bagian mata yang banyak
mengeluarkan darah...!"
"Mengapa itu sampai terjadi...?" tanya Jali Sajiwa gusar.
"De.... Dewi Wening Asih mencakari wajah tu-
kang-tukang rias itu bahkan beberapa kali dia berusa-ha membunuh diri...!"
"Goublook...! Percuma saja kalian menjadi mu-
rid-muridku, kalau hanya mengatasi seorang perem-
puan saja tidak becus! Sekarang aku tak mau dengar
apa yang akan kalian katakan. Pengantin perempuan
harus secepatnya didandani, terserah bagai-mana cara kalian membujuknya...!"
bentak Jali Sajiwa lalu masuk
ke dalam kamarnya.
Tak banyak yang dapat dilakukan oleh murid-
murid Lembah Weling, terkecuali kembali ke dalam
kamar Dewi Wening Asih yang masih saja memberon-
tak. Buang Sengketa yang sudah sedikit mulai pa-
ham segera mengikuti kepergian pengawal itu tanpa
meninggalkan wuwungan rumah. Selanjutnya sesam-
painya di ruangan lain, Pendekar Hina Kelana sempat
pula mendengar pembicaraan murid-murid yang mem-
beri laporan pada Jali Sajiwa tadi.
"Bagaimana, Nisanak" Apakah Dewi Wening
Asih sudah mau dirias?" tanya Gento dengan suara sangat lirih sekali. Perempuan
setengah tua yang di-panggil nisanak itu mewakili kawan-kawannya mem-
bungkuk hormat, selanjutnya berkata:
"Dengan sangat terpaksa kami menotoknya.
Tapi sekarang semuanya sudah beres hanya tinggal
menunggu pengantin laki-laki saja...!"
"Pengantin laki-laki sudah beres sejak tadi-tadi.
Sebaiknya upacara perkawinan yang sangat terhormat
ini sudah bisa kita mulai...!" berkata begitu Gento dan kawan-kawannya segera
berbalik kemudian menuju ke
sebuah ruangan pribadi Jali Sajiwa.
Saat itu pemuda dari Negeri Bunian tetap me-
nelungkup di atas wuwungan yang di bawahnya meru-
pakan ruangan kamar yang disediakan untuk Dewi
Wening Asih. Nampaknya pemuda itu sangat penasa-
ran. Macam apa kiranya gadis anak bekas bangsawan
yang akan dijadikan istri oleh Ketua Perguruan Lem-
bah Weling yang manusia sesat itu.
Maka dengan sangat hati-hati, dia menyibak-
kan sebuah genteng untuk sekedar melihat suasana di
bawah sana. Begitu genteng di atas wuwungan rumah
itu membuka sedikit, betapa terkejutnya hati Buang
Sengketa. Gadis yang dalam keadaan tertotok itu be-
nar-benar sangat cantik luar biasa. Kecantikannya melebihi bidadari. Kulitnya
putih mulus, dengan wajah
bulat lonjong. "Hemm! Gadis itu cantik luar biasa, namun
agaknya dia banyak menangis dan menderita batin,
sehingga wajahnya agak pucat, sedangkan matanya
pun agak bengkak. Aku tak tahu anak siapakah yang
diculik oleh gembong manusia sesat ini. Namun ada
baiknya aku menyelamatkannya dari cengkeraman
tangan Jali Sajiwa. Dan kalau tak ingin banyak resiko aku harus melakukannya
sejak sekarang. Tapi aku
perlu membereskan pengawal-pengawal itu terlebih
dahulu!" batin Buang Sengketa. Selanjutnya dia sibak-kan beberapa genteng untuk
membuatnya bisa leluasa
dalam bertindak. Tapi sungguhpun apa yang dia ker-
jakan itu sudah sangat berhati-hati, namun beberapa
orang pengawal yang berada di dalam ruangan itu
nampak terkejut. Tanpa diduga-duga mereka melihat
ke atas. Hampir saja suara teriakan terdengar andai
Pendekar Hina Kelana tidak cepat-cepat bertindak.
Dengan mempergunakan genteng pecahan,
Buang Sengketa membungkam mulut pengawal itu.
"Ziiing!"
"Pletak!"
Tiga orang pengawal roboh tanpa mampu
bangkit kembali. Tak membuang-buang waktu tubuh
pemuda itu pun melayang turun.
"Jangan ribut, siapa saja yang berani berteriak, kubunuh...!" ancam pemuda itu.
Selanjutnya melangkah menghampiri Dewi Wening Asih yang tergeletak di
atas ranjang dalam keadaan tertotok.
Secepatnya dia segera menyambar tubuh gadis
itu, lalu dengan sekali lompatan dia sudah berada di atas wuwungan kembali.
Namun pemuda itu dibuat
terkejut begitu melihat belasan murid dari Lembah
Weling sudah mengurungnya sedemikian ketat.
"Maling tengik! Berani mati kau menyantroni
tempat tinggal kami!" membentak salah seorang dari mereka yang bertampang
bengis. Pendekar dari Negeri Bunian itu tersenyum ke-
cut, tapi otaknya juga berfikir cepat. Jumlah mereka sedemikian banyak, bukan
tak mungkin sebentar lagi
Ketua Lembah Weling hadir di situ. Dengan memang-
gul tubuh Dewi Wening Asih di pundaknya, terasa
sangat sulitlah bagi pemuda itu untuk mengatasi la-
wan yang sedemikian banyaknya. Selanjutnya dia ce-
pat-cepat berbisik pada gadis yang berada di pundak
kanannya. "Nona! Tutuplah jalan pendengaranmu, aku
akan melakukan sesuatu!" kata pemuda itu memberi peringatan. Saat itu sungguh-
pun Dewi Wening Asih
tak tahu apa yang akan diperbuat oleh pemuda yang
berusaha melarikan dirinya, namun dia menuruti apa
yang dikatakan oleh Pendekar Hina Kelana.
"Maaf, Sobat. Aku tak punya waktu banyak un-
tuk melayani kalian, janganlah coba-coba menghalangi jalanku...!" berkata
begitu, Buang Sengketa sudah bersiap-siap mengerahkan ajian Pemenggal Roh yang
san- gat dahsyat dan tiada duanya di dunia persilatan.
"Keparat! Kau telah begitu lancang mencoba
membawa kabur calon istri orang. Mampuslah...!" teriak salah seorang dari mereka
sambil menghunuskan
sebilah pedang yang sangat mengkilat. Tajam!
Namun sebelum orang itu dan yang lainnya
bertindak, mendadak Buang Sengketa keluarkan satu
jeritan yang sangat panjang, suara jeritan itu bagaikan
gelegar suara petir. Mengguncangkan rumah dan
isinya, meruntuhkan daun dan ranting-ranting kering.
Lebih tragis lagi dua belas murid Lembah Weling ber-
pelantingan roboh. Dari kuping dan hidung mereka
mengalirkan darah segar. Sedangkan dua orang lain-
nya yang masih dapat bertahan nampak terhuyung-
huyung. Buang Sengketa tanpa memberi kesempatan
cepat kirim dua pukulan telak. Hingga mengakibatkan
tubuh mereka terguling-guling menuruni genteng ru-
mah hingga kemudian terjatuh dengan menimbulkan
bunyi berdebum.
Kesempatan yang hanya sedikit itu pun tak dis-
ia-siakan oleh Buang Sengketa. Dengan memperguna-
kan ajian Sapu Angin tubuh Buang Sengketa pun me-
lesat sedemikian cepat meninggalkan tempat yang san-
gat berbahaya itu.
Saat itu Jali Sajiwa yang sudah bersiap-siap
untuk naik pelaminan demi mendengar suara ribut-
ribut di atas genteng dan terdengarnya bunyi berde-
bum dari sosok tubuh para muridnya segera bergerak
ke luar. "Apa yang terjadi?" tanyanya begitu sampai di depan tubuh anak muridnya
yang tengah menyongsong ajal.
"Ket... ketua... seseorang telah melarikan Dewi Wening Asih, calon pengantin
perempuan...!" kata orang itu dengan suara terputus-putus.
"Keparat! Kalian tolol semua.... Anak-anak, ayo kejar bangsat itu...!" teriaknya
pula pada puluhan murid yang tersisa.
Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu la-
gi, Jali Sajiwa dan murid-muridnya segera melakukan
pengejaran atas diri Buang Sengketa yang sudah tak
terlihat lagi dalam pandangan mata.
5 Sejak hilangnya Arca Harimau Kumbang, maka
Perguruan Walet Merah sebagai pihak yang bertang-
gung jawab atas keamanan arca itu segera menyebar
puluhan mata-mata ke seluruh penjuru riba persila-
tan. Siang itu nampak beberapa orang penunggang


Pendekar Hina Kelana 13 Siluman Harimau Kumbang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda sedang menggebrak lari kudanya bagai orang
yang sedang dikejar-kejar setan. Tubuh mereka nam-
pak terguncang-guncang. Sesekali terdengar pula ring-kik kuda mereka! Debu
mengepul ke udara, peman-
dangan di belakang mereka tak terlihat sama sekali.
Melihat dari sikap mereka ini nampaklah kalau
lima orang penunggang kuda itu baru saja habis mela-
kukan perjalanan yang sangat jauh dan dalam kea-
daan tergesa-gesa.
Sementara itu tidak begitu jauh di depan mere-
ka, nampak pula seorang kakek berpakaian tambal-
tambal dengan celana bututnya sedang berjalan me-
lenggang dengan arah berlawanan. Kakek ini sudah
sangat tua sekali, rambut, kumis dan jenggotnya yang hanya beberapa helai itu
pun sudah memutih.
Di tangan kakek itu tergenggam pula sebuah
tongkat berkepala naga dan berwarna merah. Dunia
persilatan mengenalnya sebagai Gembel Pengemis dari
Pulau Naga. Selama malang melintang dalam dunia
persilatan kakek renta ini terkenal sebagai s-sepuh tokoh sesat yang sangat
keji. Dengan tongkat mautnya yang berkepala naga
merah yang sewaktu-waktu dapat menyemburkan uap
beracun, dia dapat membunuh lawan-lawannya tanpa
bersusah payah turun tangan.
Saat itu tanpa menghiraukan orang-orang ber-
kuda yang berlari cepat di depannya, dia terus saja
mengayunkan langkahnya. Dalam gemuruh derap ku-
da itu, mendadak terdengar suara bentakan salah seo-
rang dari penunggangnya.
"Minggir...!" teriak salah seorang dari mereka.
Yang dibentak bagai tak mendengar saja terus berjalan sambil menundukkan
kepalanya. Mau tak mau orang-orang yang berada di atas punggung kuda itu cepat-
cepat menarik kendali kuda tunggangan masing-
masing. "Sialan kau, Orang tua pikun! Cepat minggir kami mau lewat...!"
Gembel Pengemis dari Pulau Naga ini pun hen-
tikan langkahnya, sejenak dia memandang tajam pada
lima orang penunggang kuda itu. Pelan saja dia berka-ta, namun suaranya yang
disertai tenaga dalam mem-
buat para penunggang kuda itu pun sangat terkejut
bukan alang kepalang.
"Jalan masih begitu luas. Lagipula jalan ini bukan milik bapak moyangmu! Mengapa
pula kalian ma-
lah mengganggu perjalananku...?" tanya si Gembel Pengemis.
Lima orang penunggang kuda itu pun saling
berpandangan sesamanya. Mereka berfikir bahwa apa
yang baru saja diucapkan oleh Gembel Pengemis ada-
lah sesuatu yang mereka anggap sangat keterlaluan
sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa melewati jalan lainnya kalau di kanan kiri
mereka merupakan sebuah
jurang yang menganga.
Ini merupakan keadaan yang sangat keterla-
luan sekali. Kalau tak boleh dibilang merupakan satu penghinaan yang sangat
memalukan. "Tua gembel, kau sangat keterlaluan sekali. Ba-
gaimana mungkin kami bisa lewati jalan lain sedang-
kan di kanan kiri jalan ini merupakan jurang yang tak terukur dalamnya...?"
Gembel pengemis tergelak-gelak bagai tawa seo-
rang bocah kecil. Lalu lanjutnya:
"Siapa mau perduli, mampus pun kalian ber-
sama kuda-kuda itu aku tidak perduli...!" kata Gembel Pengemis acuh. Hal ini
benar-benar menimbulkan kemarahan para penunggang kuda itu.
"Kuperintahkan padamu, Orang tua. Minggirlah
kalau kau tak ingin mati terinjak-injak kuda kami...!"
Dalam pada itu salah seorang dari mereka
mendadak berseru:
"Kawan-kawan, lihatlah dalam buntalan yang
berada di punggung gembel ini. Bukankah dia mem-
bawa Arca Harimau Kumbang yang telah hilang dari
perguruan kita..."!"
Ucapan salah seorang dari penunggang kuda
yang berkepala botak plontos itu membuat terkejut
yang lain-lainnya. Serentak mereka memandang ke ba-
gian punggung kakek tua renta, ternyata memang be-
nar adanya bahwa di bagian punggung Gembel Pe-
ngemis dari Teluk Naga ini terdapat sebuah benda
yang terbungkus selembar kain butut. Benda yang ter-
bungkus itu tidak tertutup keseluruhannya sehingga
sebagian masih terlihat. Tak salah itulah Arca Harimau Kumbang yang terbuat dari
emas murni. "Bangsat! Kiranya kamulah orang yang telah
mencuri Arca Harimau Kumbang lambang persatuan
dari kaum persilatan golongan lurus. Cepat serahkan
area itu, semoga kaum persilatan golongan kami mau
mengampuni jiwamu yang keropok itu!" bentak salah seorang lainnya dengan
kemarahan yang tertahan-tahan.
Gembel Pengemis dari Pulau Naga itu pun ter-
tawa mencemooh. Satu demi satu dipandanginya ma-
ta-mata dari Perguruan Walet Merah. Sekali dia melu-
dah di tanah, selanjutnya dia menyambung kembali.
"Bocah-bocah kemarin sore, mampu berbuat
apakah kau padaku" Jangankan kalian yang hanya ti-
kus-tikus curut menjijikkan. Andai pun seluruh kaum
persilatan yang mengaku bergolongan lurus itu maju
di hadapanku. Hanya dengan beberapa jurus saja aku
pasti akan mengirim mereka ke neraka...!" ejek Gembel Pengemis dari Pulau Naga
lalu leletkan lidah.
Maka tak terbendung lagilah amarah kelima
murid dari Perguruan Walet Merah ini dibuatnya. Se-
lanjutnya tanpa dikomando lagi mereka melompat dari
punggung kuda-nya masing-masing.
"Cring! Cring!"
Dengan sekali sentak, senjata-senjata mereka
pun telah tergenggam di tangannya masing-masing.
"Gembel kropok, mulutmu sombong sekali. Ha-
dapilah kami...!" Serentak mereka berteriak, lalu menyerang si Gembel Pengemis
dengan jurus-jurus Pe-
dang Walet Merahnya.
Sebaliknya Gembel Pengemis nampak tenang-
tenang saja, lalu berseru mengancam.
"Orang-orang sengsara, celakalah nasib kalian
karena telah bertemu dengan Dedengkot Iblis dari Pu-
lau Naga. Ah... sayang sekali, kalian haru mati dalam keadaan begini muda.
Cepatlah kerahkan kemampuan
kalian, andai tidak empat jurus di depan nyawa kalian pasti tidak akan tertolong
lagi...!" "Bet! Bet!"
Sambaran mata pedanglah sebagai jawaban-
nya. Tetapi dengan sangat mudah sekali si Gembel
Pengemis dari Pulau Naga mengkelit terjangan pedang
yang datangnya bertubi-tubi. Masih dengan terkekeh-
kekeh Gembel Pengemis terus berjingkrak-kan kian ke
mari, sungguhpun murid-murid dari Walet Merah be-
rusaha sedapat mungkin untuk mengadakan tekanan-
tekanan pada Gembel Pengemis, biar pun mereka telah
memainkan jurus Pedang Walet Merah Menyambar
Ikan yang terkenal sangat hebat karena variasi jurus-jurusnya yang beragam,
namun tetap saja mereka be-
lum berhasil mendesak Gembong Iblis dari Pulau Naga
tersebut. Semakin lama mereka bertarung, semakin ber-
tambah hebatlah gerakan-gerakan menghindar Gembel
Pengemis. Sungguhpun saat itu Gembel Pengemis ma-
sih belum melancarkan serangan balasan.
"Cukup...!" Gembel Pengemis dari Pulau Naga dorongkan tangannya ke segala
penjuru, hingga membuat tubuh mereka tertahan bahkan terhuyung bebe-
rapa tindak ke belakang.
Sungguhpun Gembel Pengemis hanya terlihat
bagai melambaikan tangannya saja, namun hal itu cu-
kup membuka mata murid-murid Perguruan Walet Me-
rah, bahwasanya saat itu mereka sedang berhadapan
dengan tokoh sesat yang memiliki kepandaian yang
tiada terukur. Namun untuk mundur bagi mereka adalah me-
rupakan pantangan yang sangat menyakitkan. Terle-
bih-lebih mereka sudah mengetahui bahwa arca yang
hilang itu kini berada di tangan kakek tua berpakaian tambal-tambal.
"He... he... he...! Kukira sudah cukup kuberi
waktu untuk kalian bermain-main sekejap. Sekarang
sudah waktunya bagi kalian untuk segera berangkat
ke liang kubur. Bersiap-siaplah...!"
"Hiaaat!"
Dengan mempergunakan setengah dari seluruh
kemampuan yang dimilikinya, Gembel Pengemis segera
bergebrak. Tendangan-tendangan maupun pukulan-
pukulan gencar datang bertubi-tubi. Sehingga dalam
waktu sekejap saja kelima orang murid-murid dari
Perguruan Walet Merah ini dibuat kalang kabut untuk
mempertahankan diri.
"Shaaa...! Ha... ha... ha...! Dua jurus di muka kalian benar-benar akan
mengalami nasib celaka...!"
teriak Gembel Pengemis sambil memperhebat serangan
mautnya. Saat itu secara serentak serangan pedang
datang menggebu, mengurung tubuh Gembel Penge-
mis. "Ngung! Ngung!"
Sambaran pedang menderu hingga me-
nimbulkan suara bersiuran. Gembel Pengemis menge-
butkan tongkatnya mengawasi sambaran pedang la-
wan yang tiada mengenal ampun.
"Traak! Traang! Trang!"
Terlihat percikan bunga api berpijar saat senja-
ta di tangan mereka menghantam tongkat di tangan si
Gembel Pengemis. Bukan saja tangan mereka kesemu-
tan dan tergetar hebat. Tetapi juga pedang mereka
berpentalan terlepas dari tangan masing-masing. Maka tak dapat dibayangkan
betapa terkejutnya murid-murid dari Partai Perguruan Walet Merah dibuatnya.
Wajah mereka nampak pucat pasi, tubuh gemetaran
menahan sakit yang teramat sangat di bagian dada.
Gembel Pengemis tertawa ngakak. Dia nampak
puas sekali dapat mempermainkan lawannya. Namun
tawanya mendadak berubah total menjadi sesungging
senyum sadis dan hawa membunuh yang meledak-
ledak, Dari niat semula untuk menghabisi mereka
dengan cara menyemburkan uap beracun yang terletak
di bagian kepala Naga Merah di pangkal tongkatnya.
Kini berubah pendirian. Sekali ini dia ingin mencoba kebenaran tentang isi
sebuah kitab tipis yang berada di bagian tersembunyi di mulut Arca Harimau
Kumbang itu. Dia telah mempelajari isi kitab tersebut dengan baik dan sekarang
sudah tibalah masanya untuk
mengetahui kebenaran tentang Siluman Harimau
Kumbang tersebut.
Sejenak dia memandang pada calon korbannya
yang masih berdiri terlolong-lolong di tempatnya.
Selanjutnya dia pun berkata pelan tetapi mem-
buat bulu kuduk lawan-lawannya meremang berdiri.
"Orang-orang malang, betapa kalian me-
rupakan manusia-manusia pertama yang akan menja-
di bahan percobaan Siluman Harimau Kumbang...
berdoalah selagi kalian masih bisa berdoa...!" berkata begitu Gembel Pengemis
jatuhkan diri bagai orang
yang sedang bersujud, tanpa diketahui oleh lawan-
lawannya Gembel Pengemis mulai melafalkan kalimat-
kalimat yang terdapat dalam Kitab Arca Harimau
Kumbang. Sementara itu murid-murid dari Perguruan Wa-
let Merah dengan atau tanpa mempergunakan senjata,
kembali mengeroyok Gembong Iblis dari Pulau Naga
itu. Dikeroyok sedemikian rupa gembong dari Pulau
Naga ini tiada bergeming sedikitpun juga.
Bahkan perubahan perlahan pun terjadilah.
Mula-mula di sekujur tubuh Gembel Pengemis tumbuh
bulu-bulu halus yang semakin lama semakin bertam-
bah lebat. Lama-kelamaan pada bagian kepalanya be-
rubah menjadi ekor, dan bagian kaki berubah pula
menjadi kepala Harimau Kumbang.
Selanjutnya dengan diawali satu auman yang
sangat keras. Maka tubuh Gembong Pengemis melesat
ke udara. Tiga kali dia berjumpalitan dan begitu ka-
kinya telah kembali menapak ke bumi. Maka secara to-
tal Gembel Pengemis telah berubah ujudnya menjadi
seekor Siluman Harimau Kumbang.
"Grauuuung! Grrrrrr!"
Buas dan liar ujud dari harimau siluman itu,
sepasang matanya menyorot tajam pada kelima orang
murid dari Perguruan Walet Merah. Menciut nyali me-
reka, lalu dengan suara gemetar salah seorang di anta-ra mereka membentak gusar.
"Gembel gila manusia siluman! Kau benar-
Kekaisaran Rajawali Emas 3 Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Pendekar Setia 1
^