Pencarian

Singa Jantan Dari Cina 2

Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina Bagian 2


Srrrt! Srrrt! Kebo Pangawon melolos senjatanya yang ber-
bentuk tali baja dengan bola berduri. Sedangkan Karto Songo, melolos senjatanya
yang berbentuk tali baja
dengan tombak runcing.
"Bagus! Kalian bersiaplah!"
"Kunyuk! Kami telah siap! Apa kau kira kami
takut"!" balas Kebo Pangawon membentak. Percuma saja dia mengiba pada lelaki
bercaping itu. Lagi pula, dia belum pernah menjajaki ilmu silatnya.
"Ya! Jangan kira kami takut pada sepak terjang mu! Aku Karto Songo, tak akan
gentar! Heaaa...!"
"Hiaaat..!"
Kebo Pangawon dan Karto Songo dengan cepat
bergerak menyerang. Senjata mereka melesat cepat ke arah Kauw Cien Lung secara
bersamaan. Menusuk dan
melejit ke dada dan wajah lelaki Cina yang berjuluk Singa Jantan itu.
"Heaaa...!"
Tubuh Kauw Cien Lung segera melejit ke atas,
mengelakkan serangan kedua lawannya. Kemudian
dengan cepat tubuhnya bergerak ke depan. Pedang di
tangannya membabat ke arah kedua lawannya secepat
kilat. Wut! "Hait...!"
"Uts...!"
Karto Songo dan Kebo Pangawon dengan cepat
berkelit dan berpencar. Kemudian keduanya balas me-
lakukan serangan. Kebo Pangawon kembali meluncur-
kan bola baja berdurinya ke dada lawan. Karto Songo juga tak mau diam.
Senjatanya dilecutkan ke wajah
lawannya. Srrrt! Wut! Singa Jantan dari Cina itu kembali bergerak
mengelitkan serangan keduanya. Kemudian dengan
cepat tangan kirinya menangkap salah satu senjata
lawan. Tap! Bola besi berduri milik Kebo Pangawon tertang-
kap. Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika
Kebo Pangawon menyentakkan senjatanya. Kemudian
dengan cepat, pedangnya digerakkan ke tubuh lawan.
"Akh...!" Kebo Pangawon tersentak kaget. Matanya membelalak, dan mulutnya
menganga menyak-
sikan gerakan lawan yang sulit diterka itu. Setiap babatan pedang lawan berusaha
dielakkannya, namun
gerakannya kalah cepat.
Wut! Cras! "Aaa...!" Kebo Pangawon melolong, ketika pedang lawan menyayat keningnya.
Tubuhnya meregang
dengan mata melotot, kemudian tersungkur dengan
nyawa melayang. Tubuhnya mengepulkan asap hitam
bagai terbakar.
Menyaksikan Kebo Pangawon tewas, nyali Karto
Songo ciut. Dia ingin lari, namun rasanya percuma.
Tentu lelaki misterius itu akan mengejarnya.
"Kurang ajar! Kau telah membunuh temanku!
Kau harus mampus! Hiaaat..!" Karto Songo memekik keras, kemudian dengan membabi
buta dia kembali
menyerang. Senjatanya bergerak cepat menyambar
dan menusuk ke arah lawan.
"Yeaaah...!"
Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika
rantai bermata tombak milik Karto Songo melesat ke
arahnya. Kemudian dengan ringan, kakinya menginjak
rantai itu, membuat mata Karto Songo membelalak
Senjatanya ditarik sekuat tenaga, berusaha menjatuhkan Singa Jantan dari Cina
itu. "Heaaat..!"
Kauw Cien Lung melesat ke atas, kemudian
dengan gerakan cepat kembali menukik. Saat itu, pe-
dang di tangannya berkelebat ke wajah Karto Songo.
"Heaaat..!"
Cras! "Wuaaa...!" Karto Songo melolong histeris. Tangannya seketika memegangi kening
yang tersayat. Ma-
tanya melotot sekarat. Kemudian ambruk dengan kea-
daan yang sangat mengerikan.
"Hm...," Kauw Cien Lung menggumam. Tangan kirinya menyeka darah pada ujung
pedang. Kemudian
setelah memasukkan pedang ke sarungnya, dia berlalu dari tempat itu.
Malam kembali hening, dicekam kegelapan.
6 Dunia persilatan di tanah Jawa Dwipa khusus-
nya di wilayah tengah semakin tercekam. Kini tidak
hanya para pendekar dari aliran lurus yang merasakan cemas akibat tindakan
lelaki bercaping yang penuh
misteri itu. Dari aliran hitam pun merasakan juga. Terlebih setelah mayat Karto
Songo dan Kebo Pangawon
ditemukan. Keadaan rimba persilatan bagai terpanggang,
membara panas. Belum lagi dengan berita tentang titisan Dewi Kuan Im berupa
seorang dara Cina. Mem-
buat rimba persilatan kian bergolak.
Satu pihak, berusaha mencari jalan keluar un-
tuk menyelesaikan masalah lelaki bercaping yang se-
pak terjangnya terlalu telengas. Di pihak lain, ada yang berusaha mencari gadis
titisan Dewi Kuan Im, dengan harapan akan menjadi pendekar nomor wahid di rimba
persilatan. Pendekar tanpa tanding, yang akan menjadi pendekar di antara para
pendekar. Mei Lie yang menjadi incaran utama orang-
orang rimba persilatan, karena dianggap titisan Dewi Kuan Im, kini masih
mengasingkan diri bersama Nyi
Bangil dan Lira Kanti di tempat yang sepi dan tidak pernah dijamah oleh manusia.
Gadis itu tengah mempelajari jurus-jurus
'Pedang Bidadari' yang sakti, ditemani oleh Nyi Bangil.
Sementara adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama
Lira Kanti seperti biasanya pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan hidup. Di
samping itu, Lira Kanti ber-tugas mencari berita tentang Pendekar Gila, di
samping mengamati perkembangan dunia persilatan.
Sembilan jurus telah dikuasai Mei Lie. Kini
tinggal jurus pamungkas dari semua jurus 'Ilmu Pe-
dang Bidadari'. Jurus 'Pedang Tebasan Batin', sebuah jurus sakti yang mungkin
sampai sejauh ini belum ada yang mampu memecahkannya.
"Hhh...!" Mei Lie nampak duduk bersila di atas sebuah batu di depan air terjun.
Pedang di tangannya kini dilekatkan ke wajah. Matanya terpejam, kemudian
tangannya yang menggenggam pedang digerakkan ke
kanan. Sedangkan di pinggir sungai, seorang wanita
muda dan cantik bertubuh sintal dengan pakaian me-
rah jambu, duduk bersila sambil mengawasi Mei Lie.
Wanita itu tiada lain Nyi Bangil, yang sebenarnya pewaris 'Ilmu Pedang
Bidadari'. Namun karena Mei Lie
yang mampu memecahkan semua jurus-jurus itu, Nyi
Bangil akhirnya menyerahkannya pada adik ang-
katnya. Mata Nyi Bangil tidak berkedip memandang Mei Lie yang tengah melakukan
ujian akhir dari jurus
'Pedang Tebasan Batin'. Orang yang berhasil mengua-
sai jurus itu akan mampu menebas makhluk halus se-
kalipun. Telapak tangan Nyi Bangil saling bertemu. Jari-
jarinya tegak di depan dada. Matanya tiada henti memandang ke arah Mei Lie.
"Hhh...," Mei Lie kembali menggerakkan pedang di tangannya. Kali ini ke arah
depan. Kemudian setelah menarik kembali ke belakang, pedang itu digerakkan
ke arah kiri. Gerakan-gerakan itu dilakukan berulang-ulang.
Dengan napas diatur sedemikian rupa. Matanya terpe-
jam rapat, hingga tidak melihat sekelilingnya.
"Hhh...! Hea...!"
Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan, lalu
diangkat ke atas. Kemudian dengan mata terpejam,
pedangnya dibabatkan ke air di bawahnya.
Wut! Pedang menderu cepat, membabat air. Aneh-
nya, air itu tidak terpercik sedikit pun! Bahkan air laksana terbelah, Bukan itu
saja! Pedang itu ternyata
membabat seekor ikan yang ada di dalam air.
Tidak lama kemudian, nampak seekor ikan mas
tersembul ke permukaan air. Tubuh ikan itu masih
utuh, bagai tidak mengalami apa-apa. Namun ketika
Mei Lie mengambil ikan itu, tubuh ikan mas itu ter-
nyata telah terbelah dua!
"Hebat...!" seru Nyi Bangil tanpa sadar, ketika menyaksikan hasil yang dicapai
Mei Lie. Mei Lie tersenyum. Dilemparkan ikan yang ke-
lihatannya masih utuh itu ke arah Nyi Bangil yang segera menangkapnya.
Nyi Bangil memandang lekat ke arah Mei Lie
yang masih duduk bersila di atas batu dengan pedang tergenggam di tangan. Lalu
dipandanginya lagi ikan di tangannya.
"Kau telah berhasil, Mei Lie! Kau telah berhasil memecahkan jurus pamungkas.
Jurus 'Pedang Tebasan Batin'," kata Nyi Bangil gembira.
"Kurasa semua berkat doa dan dorongan se-
mangat darimu, Kak. Namun aku belum puas, jika aku
belum melakukan yang lebih baik dari itu," kata Mei Lie.
"Lakukanlah pada batu itu, Mei Lie!" perintah Nyi Bangil.
"Baiklah, aku akan mencobanya," jawab Mei Lie.
Kembali Mei Lie memejamkan mata. Kedua tan-
gannya memegang gagang pedang. Pernafasannya di-
atur agar lancar.
"Hhh...," Mei Lie berusaha memusatkan seluruh daya di tubuhnya pada batinnya.
Nyi Bangil kembali memperhatikan Mei Lie den-
gan seksama. Matanya tidak berkedip. Hatinya berha-
rap agar semua yang dilakukan Mei Lie akan berhasil.
"Hhh...!"
Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan. Ke-
mudian ke depan. Dilanjutkan ke kiri, lalu ke depan lagi. Nafasnya terus diatur.
Seluruh panca inderanya dipa-dukan. Kini semuanya benar-benar terpusat ke
batin. "Hhh...! Heaaa...!"
Mei Lie mengangkat pedangnya ke atas, tubuh-
nya berkelebat laksana terbang. Lalu dengan mata masih terpejam, pedangnya
dibabatkan ke batu besar di dalam air terjun.
Wut! Kejadian aneh kembali terjadi. Batu itu bagai
tidak mengalami apa-apa. Padahal pedang di tangan
Mei Lie telah tembus ke dalam. Begitu juga dengan air terjun, tak ada percikan
sedikit pun. Air terjun itu laksana terbelah dua ketika Mei Lie membabatkan pe-
dang. "Heaaa,.!"
Mei Lie kembali melompat ke belakang dengan
bersalto beberapa kali, kemudian duduk bersila kem-
bali di atas batu semula. Saat itu pula, batu sebesar badan kerbau yang tadi
dibabat oleh pedangnya, hancur berantakan terkena arus air. Batu besar itu
berubah menjadi butiran-butiran kecil!
"Oh, sungguh dahsyat..!" gumam Nyi Bangil dengan mata semakin membelalak,
menyaksikan kejadian yang aneh itu.
Kepala Nyi Bangil menggeleng-geleng. Baru kali
ini disaksikannya kehebatan jurus 'Pedang Tebasan
Batin'. Tidak percuma Mei Lie mempelajarinya dengan tekun. Hampir tiap hari
gadis itu mempelajari 'Ilmu Pedang Bidadari'. Dan hasil dari ketekunannya
akhirnya terwujud. Mei Lie telah mampu menguasai semua
jurus di Kitab Ilmu Pedang Bidadari yang selama ini belum terpecahkan.
"Kau berhasil, Mei Lie! Kau berhasil...!" seru Nyi Bangil girang.
"Benarkah, Kak?" tanya Mei Lie belum percaya.
"Ya! Lihatlah. Batu di belakang air terjun itu, telah hancur menjadi pasir!"
seru Nyi Bangil sambil menunjuk ke arah air terjun.
Mei Lie memandang ke air terjun. Seketika ma-
tanya membuka lebar, manakala melihat di balik air
terjun itu terdapat sebuah goa.
"Goa...," desis Mei Lie masih terpana menyaksikan goa di belakang air terjun.
"Hm.... Rupanya batu besar tadi adalah penutup goa ini."
"Ada apa, Mei Lie?" tanya Nyi Bangil.
"Di balik air terjun ada goa, Kak!" seru Mei Lie, menyahuti.
"Goa...?" tanya Nyi Bangil.
"Ya!"
"Hm.... Mungkinkah itu goa yang dimaksudkan
dalam Kitab Ilmu Pedang Bidadari?" tanya Nyi Bangil.
"Entahlah. Aku akan mencoba masuk, Kak"
"Hati-hatilah!"
Mei Lie melesat cepat. Tangannya menyibak air
terjun yang deras. Kemudian laksana terbang tubuh-
nya melesat masuk ke dalam, meninggalkan Nyi Bangil yang memperhatikannya dengan
was-was. *** Mei Lie mengerutkan kening, setelah masuk ke
dalam goa itu. Ternyata goa itu di dalamnya sangat
luas. Ada rasa tegang menyelimuti hati gadis Cina itu, menyaksikan keadaan goa
yang sangat menyeramkan.
Namun entah mengapa, hatinya merasakan ada sesua-
tu yang menariknya untuk terus menyelusuri goa itu.
"Hm.... Goa apa ini" Dan...."
Belum juga Mei Lie selesai berkata, tiba-tiba
matanya tersentak oleh sinar merah kekuning-
kuningan. Sinar itu datangnya dari dalam goa. Sepertinya ada sesuatu di sana.
Mei Lie semakin tegang. Keningnya kian berke-
rut. Bibirnya dikulum dalam-dalam, berusaha mene-
kan perasaan takut yang melanda jiwanya.
"Sinar apakah itu?" tanyanya lirih.
Kaki Mei Lie kini melangkah bagai ada yang
menyeret. Hatinya berdebar-debar, laksana merasakan getaran dahsyat. Sinar merah
kekuning-kuningan yang memancar itu, seperti menyedot tubuhnya untuk terus
mendekat Dengan perasaan agak tegang, Mei Lie terus
melangkah menyusuri goa. Langkah-langkahnya bagai
detak-detak menuju maut. Matanya membuka lebar,
sesekali menyapu ke sekelilingnya yang menyeramkan.
Kakinya semakin lama semakin jauh melang-
kah dan kian dekat dengan sinar berwarna merah ke-
kuning-kuningan yang kian terang. Sampai akhirnya,
Mei Lie menjadi takjub. Matanya membelalak lebar dan berbinar-binar manakala
melihat dengan jelas sinar
merah kekuning-kuningan itu. Ternyata sinar itu be-


Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasal dari sebilah pedang.
"Pedang...! Oh...," desis Mei Lie. Matanya tidak berkedip memandang pedang yang
menancap di sebuah kotak panjang. Sedangkan sarungnya yang ter-
buat dari kayu cendana dan menebarkan bau harum,
terletak di sampingnya.
Dengan takjub, Mei Lie menjura ke arah pedang
itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya menyeka de-
bu yang menutupi kotak kayu persegi yang besarnya
dua kali ukuran pedang. Sepertinya di kotak kayu itu terdapat sebuah tulisan.
Setelah debu yang menutup dienyahkan, kini
tulisan itu menjadi jelas. Mei Lie membacanya,
Siapa yang telah mampu menguasai 'Ilmu Pe-
dang Bidadari', dialah pewaris pedang ini. Dengan pe-
dang ini, jurus-jurus 'Ilmu Pedang Bidadari' akan semakin sempurna.
Dewi Pedang "Oh! Rupanya ini Pedang Bidadari. Jagat Dewa
Batara, sungguh aku telah beruntung menjadi pewaris
'Ilmu Pedang Bidadari'," bisik Mei Lie, khidmat.
Tangannya kini memegang gagang pedang. Ke-
mudian dicobanya mengangkat pedang itu. Namun pe-
dang itu bagai telah menyatu dengan kayu tempat ter-tancapnya.
"Hei, mengapa pedang ini sulit dicabut?" Mei Lie terheran-heran. Dipandanginya
kembali Pedang Bidadari di hadapannya yang masih mengeluarkan sinar
merah kekuning-kuningan. Dicobanya lagi. Tetap saja gagal. Mei Lie mengerahkan
seluruh tenaganya, berusaha mencabut pedang tersebut. Namun sia-sia! Pe-
dang itu tidak bergeming sedikit pun juga.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" keluh Mei Lie hampir putus asa.
Ditatapnya pedang itu lekat-lekat, berusaha
memahami cara yang baik untuk mencabut pedang
itu. Mungkinkah harus menggunakan batin" Tanya
Mei Lie dalam hati. Ya. Mungkin aku harus memakai
kekuatan batin!
Setelah merasa yakin, Mei Lie segera duduk
bersila di hadapan pedang itu. Matanya dipejamkan.
Nafasnya diatur dengan irama tertentu, lalu segenap panca inderanya disatukan ke
pusat batin. Setelah la-ma melakukan hening diri, dan semuanya telah terpu-
sat di batin, Mei Lie mengulurkan tangan kanannya ke gagang pedang. Kemudian
dengan tenaga batin, Mei
Lie mencabut pedang tersebut.
"Oh, akhirnya aku berhasil!" ucap Mei Lie nyaris memekik girang ketika pedang
itu terlepas dari tan-capannya. Tak jemu-jemu pedang itu dipandangi. Ke-
mudian diambilnya sarung pedang, lalu Pedang Bida-
dari dimasukkan ke dalamnya.
Mei Lie segera menjura setelah menaruh pe-
dang itu di punggungnya. Kemudian Mei Lie melang-
kah meninggalkan goa itu.
*** "Mei Lie...! Cemas aku menunggumu. Apa yang
kau lakukan di dalam?" tanya Nyi Bangil dengan wajah menggambarkan kecemasan,
karena Mei Lie lama sekali di dalam goa.
"Kak! Lihat, apa yang kuperoleh"!"
Mei Lie menarik pedang dari sarungnya. Seketi-
ka sinar merah kekuning-kuningan berpijar, menyen-
takkan Nyi Bangil. Sampai-sampai mata Nyi Bangil melotot. Mulutnya tanpa sadar
menyebut nama pedang
itu. "Pedang Bidadari!"
"Benar, Kak. Pedang ini berada di dalam goa,"
tutur Mei Lie. "Oh, akhirnya kau berhasil, Mei Lie. Kini leng-kaplah apa yang kau miliki.
Dengan Pedang Bidadari di tanganmu, kau akan menjadi jago pedang nomor sa-tu.
Kau pantas berjalan sejajar dengan Pendekar Gila,"
puji Nyi Bangil turut gembira, melihat Mei Lie akhirnya berhasil mendapatkan
semuanya. "Semua berkat doa serta doronganmu, Kak."
Mei Lie segera menjura hormat. Namun dengan
segera Nyi Bangil memegangi pundaknya. Diangkatnya
tubuh Mei Lie, kemudian gadis Cina yang telah diang-
kat menjadi adiknya diminta untuk memandang wa-
jahnya. "Aku bersyukur, kau akhirnya berhasil, Mei Lie.
Kini aku merasa telah terbebas dari tanggung jawab.
Kalau kau memang ingin mencari Sena, aku tak kebe-
ratan. Namun perlu kau ingat, bahwa para pendekar
kini tengah memburumu. Untuk itu, kau harus hati-
hati. Bila perlu, menyamarlah agar tidak kelihatan siapa dirimu," tutur Nyi
Bangil menyarankan.
"Terima kasih, Kak."
"Kita pulang dulu untuk mempersiapkan kebe-
rangkatanmu mengembara. Ayo...," ajak Nyi Bangil sambil membimbing Mei Lie
meninggalkan tempat itu.
Suasana di tempat itu kembali sepi. Hanya ki-
cau burung saja yang terdengar, ditimpali debur air terjun yang tiada henti.
Seakan air terjun itu jalur hidup manusia. Yang selalu memiliki alur kehidupan,
sebagaimana air.
Sinar matahari pagi menerobos lewat celah de-
daunan, menyinari suasana di tempat itu. Angin ber-
tiup semilir, membawa kesejukan dan kedamaian hati.
Alam pun turut berseri.
7 Orang-orang rimba persilatan kian dibuat keta-
kutan oleh lelaki bercaping lebar yang sepak terjangnya kian menjadi-jadi.
Sejauh itu, belum ada yang ta-hu siapa sesungguhnya lelaki bercaping lebar itu.
Dan apa tujuan sebenarnya.
Kini orang-orang persilatan yang dipimpin Ki
Ageng Sampar Bayu mengadakan pertemuan untuk
membahas masalah sepak terjang lelaki bercaping
yang oleh kaum rimba persilatan dijuluki Singa Jantan dari Cina.
Semua orang rimba persilatan aliran lurus, di-
panggil untuk menghadiri pertemuan itu. Di sana, hadir Resi Sarameskari dan
kedua murid utamanya. Ki
Kerto Mandra dengan istrinya Ratih Pun. Juga dari
Perguruan Teratai Putih yang diwakili oleh Suciati dan Anggrojoyo. Dan
perguruan-perguruan aliran lurus
lainnya. Hanya satu orang yang belum hadir di situ, yai-
tu Pendekar Gila.
"Saudara-saudara pendekar.... Sengaja kami
mengundang saudara-saudara ke sini untuk memba-
has masalah Singa Jantan dari Cina yang sepak ter-
jangnya akhir-akhir ini semakin telengas," kata Ki Ageng Sampar Bayu, membuka
pertemuan. Sayang sa-tu orang yang sesungguhnya penting tidak hadir."
"Aha.... Aku telah datang, Ki!"
Tiba-tiba terdengar sahutan seorang pemuda.
Kemudian disusul dengan munculnya seorang lelaki
muda berpakaian rompi kulit ular yang tingkahnya
persis orang gila.
Semua mata seketika mengalihkan pandangan-
nya ke arah Sena yang baru saja hadir. Kehadirannya membuat wajah-wajah para
pendekar agak ceria.
"Selamat datang, Pendekar Gila," sambut semua pendekar seraya menjura hormat,
yang dibalas pula oleh Sena.
"Ah ah ah....! Mengapa kalian begitu menyam-
butku?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku adalah bagian dari kalian. Tak perlu kalian berla-ku hormat padaku, karena
aku belumlah seberapa di-
bandingkan kalian."
"Silakan mengambil tempat, Pendekar Gila," ka-ta Ki Ageng Sampar Bayu,
mempersilakan Sena.
"Terima kasih, Ki," tukas Sena sambil melangkah ke kursi yang masih kosong.
"Baiklah, kita mulai pertemuan ini," ujar Ki Ageng Sampar Bayu. "Kita kembali ke
pokok masalah, tentang Singa Jantan dari Cina yang sepak terjangnya akhir-akhir
ini semakin menjadi-jadi. Juga masalah
geger wanita titisan Dewi Kuan Im. Nah, bagaimana
tanggapan kalian" Silakan yang hendak mengajukan
usul." "Saya, Ketua," Resi Sarameskari mengajukan tangan. "Silakan."
"Menurut hemat saya, tugas ini harus kita bagi.
Bagaimanapun juga, semua adalah tanggung jawab ki-
ta bersama."
"Setuju...!" sambut hadirin.
"Baiklah! Kita bagi tugas. Bagaimana kalau Resi Sarameskari dan Pendekar Gila
mengawasi sepak terjang lelaki misterius itu. Kalau bisa, secepatnya lelaki itu
ditangkap, hidup atau mati. Kalau tidak segera dihentikan, bisa-bisa semua
pendekar akan habis dibantainya," urai Ki Ageng Sampar Bayu.
Semua terdiam seraya mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki Ageng Sampar Bayu.
"Bagaimana, Pendekar Gila" Apa ada yang da-
pat kau sampaikan untuk kami?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
Sena menggaruk-garuk kepala sambil berkata,
"Ya! Ini sangat penting sekali. Bagi siapa pun juga, usahakan jangan sampai
menyentuh korban Singa
Jantan dari Cina itu."
"Kenapa...?"
"Korban telah terkena racun ganas. Siapa pun
yang menyentuhnya, akan mengalami kematian. Tu-
buhnya dalam sekejap akan terbakar," tutur Sena, menjelaskan.
"Apa yang dikatakannya memang benar, Ke-
tua," sahut Resi Sarameskari.
"Hm.... Kalau begitu, orang itu sangat berba-
haya," gumam Ki Ageng Sampar Bayu.
"Ya! Maka, kuharap saudara pendekar sekalian
berhati-hati. Usahakan, jangan sampai terkena pe-
dangnya jika memang bentrok. Kalau memang bisa,
hindari bentrokan," kata Sena, menegaskan.
Semua kembali diam. Hanya kepala mereka
yang mengangguk-angguk, tampaknya memahami
ucapan Sena. Sedangkan Ki Ageng Sampar Bayu
menghela napas. Tatapan matanya kini memandang
lepas ke arah pintu, seakan tengah membuang pera-
saaan gelisahnya. Biar bagaimanapun, sebagai pemim-
pin aliran lurus, dia memikul tanggung jawab yang
sangat berat dengan kehadiran lelaki bercaping itu.
Korban telah banyak berjatuhan. Namun sejauh ini,
belum juga ada yang mampu menandingi kehebatan
ilmu pedangnya yang luar biasa. Yang menjadi perta-
nyaan sekarang adalah, siapa yang pantas untuk
menghadapi lelaki bercaping itu"
"Siapa yang mampu menghadapi Singa Jantan
dari Cina itu?" ungkap Ki Ageng Sampar Bayu, memecahkan kebisuan yang tengah
terjadi. Semua terdiam membisu. Tak ada yang berani
untuk mengutarakan pendapat mereka. Singa Jantan
dari Cina bagai sebuah momok yang menakutkan. La-
ma semua terdiam, sampai akhirnya Sena berkata....
"Aku akan mencobanya."
"Aku juga," sambut Resi Sarameskari.
"Kalau begitu, kini tinggal bagaimana menyeli-
diki masalah berita titisan Dewi Kuan Im," kata Ki Ageng Sampar Bayu.
"Nampaknya, masalah ini juga ada hu-bungannya dengan Singa Jantan dari Cina
itu." "Benar, Ketua," kata Kerto Mandra. "Kurasa, ki-ta harus bisa menjaga ketertiban
dan keamanan. Ten-
tunya orang-orang persilatan akan berusaha menda-
patkan gadis titisan Dewi Kuan Im itu."
"Apa yang kau katakan benar, Ki Kerto Mandra.
Bagaimana kalau kau dan istrimu kutugaskan untuk
menyelidikinya?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
"Kami bersedia, Ki," jawab suami istri itu hampir bersamaan.
"Kalau begitu, semua telah beres. Kini tinggal pelaksanaannya. Kudoakan semoga
kalian senantiasa
dalam lindungan Hyang Widhi. Pertemuan saya tu-
tup...." Semua anggota kini memberi hormat pada lelaki tua berjubah putih yang
menjadi ketua aliran lurus itu. Kemudian satu persatu mereka meninggalkan
tempat pertemuan itu.
Kauw Cien Lung atau yang lebih dikenal seba-
gai Singa Jantan dari Cina melangkah tenang, menye-
lusuri jalan di dalam hutan dalam usahanya mencari
Mei Lie. Langkahnya begitu ringan, bagai melayang di atas rerumputan. Dilihat
dari cara jalannya, jelas me-nunjukkan kalau lelaki bercaping itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah tinggi.
Kauw Cien Lung terus melangkah menyusuri
hutan. Pedang di punggungnya yang telah banyak
memakan korban terlihat angker. Sebilah pedang yang sangat beracun dan
mematikan. Siapa pun yang terkena, dalam sesaat akan mengalami kematian yang
mengerikan. "Kisanak, tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat
langkah Kauw Cien Lung terhenti. Kemudian perlahan
tubuhnya berbalik, menghadap ke pemilik suara.
"Hm...," gumam Kauw Cien Lung ketika melihat tiga orang lelaki berkepala gundul
melangkah ke arahnya. Ketiga lelaki itu tiada lain adalah Resi Sarameskari dan
dua orang murid utamanya. Kaki mereka
masih melangkah menghampiri Kauw Cien Lung.
"Hm.... Mengapa kalian menghentikan langkah-
ku?" tanya Kauw Cien Lung. Tangannya bersidekap di depan dada.
"Kaukah Singa Jantan dari Cina itu?" tanya Re-si Sarameskari.
"Hm.... Benar. Ada apa...?" balik tanya Kauw Cien Lung. "Tentunya antara kita
tak ada masalah, bukan?"
"Memang," sahut Resi Sarameskari. "Memang antara kita tak ada masalah. Namun
kami diutus oleh pemimpin para pendekar tanah Jawa Dwipa untuk
meminta kau segera menghentikan sepak terjang mu
yang telengas itu."
"Ha ha ha...! Lucu sekali. Mengapa seorang pa-
dri harus ikut campur urusan dunia persilatan?" Kauw Cien Lung tertawa tergelak-
gelak, seperti ada sesuatu yang lucu pada diri para penghadangnya. "Bukankah
sebaiknya kalian mengurusi kuil...?"
Mata ketiga padri itu membelalak mendengar
ucapan Kauw Cien Lung yang merendahkan kedudu-
kan mereka. Resi Sarameskari menghela napas. Ma-
tanya memandang tajam lelaki bercaping di hadapan-
nya. "Kisanak, kami memang padri. Namun jika du-
nia dalam keadaan kacau oleh tingkah lakumu, jelas
kami tidak mau tinggal diam. Budha telah mengutus
kami untuk menjaga ketenteraman mayapada ini," tutur Resi Sarameskari.
"Hm...!" gumam Kauw Cien Lung. "Jadi kalian termasuk pendekar?"
"Bisa disebut begitu," sahut Resi Sarameskari.
"Tentunya kalian mendengar berita Dewi Kuan
Im, bukan?"
"Ya."


Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm, bagus! Apakah kalian tahu, di mana Dewi
Kuan Im berada?" tanya Kauw Cien Lung.
"Masalah itu, kami tak tahu. Kami hanya men-
gingatkan padamu bahwa perbuatanmu telah banyak
memakan korban. Untuk itulah, kami mengharap kau
mau menghentikan sepak terjang mu yang kelewat te-
lengas!" tegas Resi Sarameskari.
"Ha ha ha...! Ada seorang padri yang mau ikut
campur urusan dunia persilatan. Jadi maksudmu mau
menghentikan sepak terjangku...?" tanya Kauw Cien Lung. "Ya!" terdengar tegas
suara Resi Sarameskari.
"Haiya.... Baru kali ini aku melihat seorang padri mau ikut campur urusan
persilatan. Sayang sekali, aku tidak mau tanganku belepotan darah padri."
Usai berkata begitu, Kauw Cien Lung memba-
likkan tubuh tanpa menghiraukan Resi Sarameskari
dan kedua muridnya, kemudian dengan seenaknya
melangkah meninggalkan tempat itu.
Geram juga Resi Sarameskari dan kedua murid
utamanya melihat tindakan lelaki bercaping lebar yang tidak menggubris mereka.
"Orang sombong! Berhenti...!" bentak Resi Sa-
rameskari. Kauw Cien Lung tak juga mau berhenti. Ka-
kinya masih saja melangkah dengan seenaknya. Sea-
kan benar-benar tidak menghiraukan kemarahan keti-
ga padri itu. "Sombong! Apakah kau kira dengan sepak ter-
jang mu kami menjadi takut! Kau harus dihentikan!
Heaaa...!"
Usai berkata begitu, tubuh Resi Sarameskari
berkelebat cepat untuk mengejar lelaki bercaping, diikuti oleh kedua murid
utamanya. "Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Tubuh ketiganya langsung menghadang di de-
pan Singa Jantan dari Cina yang masih terlihat te-
nang. Bahkan tangannya bersidekap angkuh. Mungkin
matanya yang tertutup oleh caping lebar saat itu tengah memandang tajam ke arah
mereka. "Mau apa kalian?" tanya Kauw Cien Lung, setengah menantang.
"Menghentikan sepak terjang mu yang biadab!"
dengus Resi Sarameskari tegas. Matanya memandang
semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki di hadapannya.
"Ha ha ha...! Percuma kalian menghalangiku!"
ujar Kauw Cien Lung sinis. "Lebih baik kalian pulang ke kuil saja. Tak perlu
kalian ikut campur urusanku!"
"Kurang ajar! Rupanya kau harus diajar adat!"
maki Resi Sarameskari marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan suara
bergemeletuk. "Terserah kau saja, Padri! Aku sudah menya-
rankan agar kalian tidak ikut campur urusanku. Na-
mun jika kau masih saja membandel, tak ada pilihan
lain," Kauw Cien Lung akhirnya menanggapi tantangan
Resi Sarameskari.
"Kalian menyingkirlah dulu. Biar lelaki som-
bong ini ku ajar adat! Yeaat...!" Resi Sarameskari segera bergerak menyerang.
Tasbih yang menjadi senjata
andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin
keras. Wut! Cletar!
"Haiya...!"
Kauw Cien Lung segera melompat ke atas,
mengelakkan sabetan tasbih Resi Sarameskari. Nam-
paknya dia tidak ingin menggunakan pedang. Buk-
tinya, dia hanya menyerang dan menangkis dengan
kedua tangan. "Keluarkan senjatamu, Orang Sombong!
Heaaa...!"
Serangan Resi Sarameskari semakin sengit.
Bahkan lelaki bercaping lebar itu ditantang agar mengeluarkan pedangnya. Tasbih
di tangannya kembali
menderu keras ke arah lawan.
Wut! Cletar! "Ups...! Sebenarnya aku pantang bertarung
denganmu, Padri! Maka, aku tak akan mengeluarkan
pedang," sahut Kauw Cien Lung.
Hal itu membuat Resi Sarameskari bertambah
marah. Dia menganggap kata-kata Singa Jantan dari
Cina itu sebagai sebuah hinaan yang sangat meren-
dahkannya. "Kurang ajar! Rupanya kau semakin sombong!
Heaaat...!"
Dengan penuh amarah, Resi Sarameskari kem-
bali menggebrak dengan sabetan-sabetan tasbihnya.
Dia berusaha menekan lawannya agar tidak dapat ba-
las menyerang. Namun lelaki bercaping lebar itu den-
gan mudah mengelakkan serangannya.
"Hiaaa...!" gerakan Kauw Cien Lung sangat gesit, meski tidak menggunakan
senjata. Serangan yang dilancarkan Resi Sarameskari yang keras dan cepat,
bagaikan tak ada artinya, selalu menemui tempat ko-
song. "Padri, lebih baik kau pulang. Jangan sampai aku menurunkan tangan jahat
padamu!" bentak Kauw Cien Lung dengan tubuh masih bergerak untuk mengelakkan
serangan yang dilancarkan Resi Sarameskari.
"Setan! Apa kau kira aku anak kecil yang bisa
ditakut-takuti"! Keluarkan pedangmu, hadapi aku!
Heaaa...!"
Serangan Resi Sarameskari kian sengit. Sabe-
tan-sabetan tasbihnya menggelegar, menyapu dan
menghantam ke arah Singa Jantan dari Cina itu.
Wut, wut..! Cletar! Kauw Cien Lung terus mengelak Tubuhnya ber-
jumpalitan di udara. Kemudian tangan dan kakinya
balas menyerang. Gerakan ilmu silatnya begitu cepat dan keras, seakan memiliki
kelincahan yang sulit diterka. "Kau benar-benar memaksaku, Padri! Baiklah, aku
akan menghadapimu sebagai seorang pendekar!"
Usai berkata demikian, Singa Jantan dari Cina
itu menggerakkan tangan kanannya ke gagang pedang.
Dan.... Srrrt! Kaget juga Resi Sarameskari menyaksikan lela-
ki bercaping itu menarik pedang dari sarungnya. Saat lawan menarik pedang saja
seperti ada kekuatan yang menyebar. Apalagi jika lawan telah melakukan serangan
dengan pedangnya.
"Celaka! Guru, biar kami yang menghada-
pinya.'" seru Resi Bramaweda.
"Benar, Guru. Biarkan kami yang menghada-
pinya!" sambung Resi Bragaskita, merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan
mendapat celaka jika meng-
hadapi lelaki bercaping lebar itu.
"Ha ha ha...! Mengapa tidak sekalian saja"!"
tantang Kauw Cien Lung dengan nada sombong. Tan-
gan kanannya yang telah memegang pedang, kini dige-
rakkan ke samping. Kemudian pedangnya ditarik kem-
bali ke depan. "Bedebah! Apa kau kira akan mampu membu-
nuhku, Orang Sombong"! Yeaaa...!"
"Bersiaplah, Padri! Hiaaa...!"
Keduanya kembali bergerak. Resi Sarameskari
melancarkan sabetan senjatanya yang berupa tasbih
ke arah lawan. Suara sabetan itu menggelegar, laksana suara halilintar.
Wut! Cletar! "Haiya...!"
Kauw Cien Lung yang di negerinya berjuluk
Houw San atau Singa Jantan itu mencelat ke atas. Tubuhnya bersalto beberapa
saat. Tangan kanannya yang memegang pedang, kini digerakkan dengan cepat,
membabat ke arah lawan. Gerakan pedang itu sangat
cepat, sulit sekali diikuti oleh mata.
Resi Sarameskari tersentak kaget. Sama sekali
tidak diduganya kalau gerakan yang dilancarkan lawan begitu cepat. Dia berusaha
menangkis serangan itu
dengan tasbih ke atas. Maka tanpa bisa dihindari lagi, dua senjata dahsyat pun
beradu di udara.
Glarrr! Trak! Tasbih di tangan Resi Sarameskari hancur le-
bur ketika beradu dengan pedang Kauw Cien Lung.
Hal ini membuat mata Resi Sarameskari membelalak
tegang. Terlebih ketika pedang lawan semakin deras
mengarah ke wajahnya.
"Oh...!" Resi Sarameskari berusaha mengelakkan serangan pedang lawan, namun
terlambat. Sabe-
tan pedang Kauw Cien Lung yang menuju ke wajahnya
jauh lebih cepat. Hingga....
Wut! Cras! "Aaakh..!"
Resi Sarameskari memekik keras dengan mata
melotot lebar. Tubuhnya langsung ambruk dengan
keadaan yang mengerikan. Dan setelah mengejang se-
saat, Resi Sarameskari diam tak bergerak lagi. Mati!
"Guru...!" seru Resi Bramaweda dan Resi Bragaskita bersamaan. Hampir saja mereka
menubruk tu- buh gurunya, namun mereka segera mengingat pesan
Pendekar Gila. Kini keduanya memandang lelaki ber-
caping yang tengah menyeka darah di ujung pedang-
nya dengan tangan kiri.
"Bangsat! Kau harus mampus! Heaaat..!" Resi Bramaweda dengan cepat melancarkan
serangan. Begitu pula dengan Resi Bragaskita. Keduanya serentak
menggempur Kauw Cien Lung, berusaha membalas
kematian guru mereka.
"Heaaa...!"
"Percuma kalian melawanku! Yiaaa...!"
"Kami akan mengadu nyawa denganmu, Iblis!
Yeaaa...!"
Resi Bramaweda dan Resi Bragaskita terus me-
lancarkan serangan dengan toyanya. Keduanya sudah
kalap dan menyerang dengan membabi buta.
Kauw Cien Lung memutar pedangnya. Tubuh-
nya mencelat ke atas. Sambil bersalto, pedang di tangannya membabat lawan.
Wut! Cras! "Akh...!"
Resi Bramaweda menjerit tertahan. Matanya
melotot tegang. Tubuhnya mengejang sesaat, kemu-
dian tidak bergerak sama sekali dengan keadaan men-
gerikan. Menyaksikan saudara seperguruannya tewas,
Resi Bragaskita kian kalap. Dengan mata gelap,
toyanya kembali disodokkan ke dada lawan. Lalu secepat mungkin toyanya berusaha
memukul bergantian
dengan kedua ujungnya.
"Pecah kepalamu, Iblis! Heaaa...!"
Wut! "Uts...! Yiaaa...!"
Singa Jantan dari Cina itu kembali mencelat ke
udara, kemudian pedang di tangannya cepat digerak-
kan. Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Resi Bra-
gaskita dengan cepat menyodokkan toya ke tubuhnya.
"Heaaa...! Tembus perutmu!"
Wut! Dugaan Resi Bragaskita ternyata meleset. Ter-
nyata lelaki bercaping itu dengan cepat kembali melompat ke atas. Sebelum Resi
Bragaskita sempat melakukan serangan lagi, lawannya telah menyerang. Pe-
dang maut di tangan Kauw Cien Lung dengan cepat
membabat wajah Resi Bragaskara.
Wut! Cras! "Ukh...!" Resi Bragaskita mengeluh pendek.
Tangannya memegangi luka tebasan di keningnya. Be-
berapa saat matanya melotot. Tubuhnya menegang,
kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
Kauw Cien Lung menyeka darah di ujung pe-
dangnya. Kemudian, pedang bersinar putih kebiru-
biruan itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Setelah memandangi mayat ketiga resi itu, dengan tenang kakinya melangkah
meninggalkan tempat itu.
8 Pagi itu Pendekar Gila tengah melintasi hutan
untuk mencari jejak Singa Jantan dari Cina. Tidak diduganya kalau di hutan itu
ditemuinya Nyi Bangil yang tengah melakukan latihan jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'
di dekat air terjun. Kejadian tak terduga itu sangat menggembirakan keduanya.
Terlebih Nyi Bangil, yang
merasa telah ditolong oleh Pendekar Gila.
"Sena...!"
"Nyi Bangil...!"
"Oh! Tidak kusangka kalau kita akan bertemu
kembali, Sena," kata Nyi Bangil.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-
garuk kepala. "Di mana Mei Lie, Nyi?" tanyanya langsung.
"Dia kini bukan Mei Lie yang dulu kau kenal,
Sena," sahut Nyi Bangil setelah terdiam sesaat.
"Di mana dia?" tanya Sena seperti tak sabar.
"Sebentar, sabar dulu. Bagaimana kalau kita ke gubukku?" ajak Nyi Bangil. "Kita
ngobrol-ngobrol di sana. Ayo...."
Sambil menggaruk-garuk kepala, akhirnya Se-
na mengikuti ajakan Nyi Bangil. Keduanya meninggal-
kan tempat itu.
Sesampainya di sebuah gubuk tempat tinggal
Nyi Bangil dan Mei Lie serta Lira Kanti, Nyi Bangil mengajak Sena masuk. Setelah
keduanya duduk ber-hadapan, Nyi Bangil berkata....
"Ketahuilah olehmu, Sena. Mei Lie sebenarnya
ingin mencarimu. Sejak pertama kalian bertemu, kura-sa gadis itu memendam
perasaan yang lain terhadap-
mu." Sena tersenyum malu-malu. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, Nyi Bangil bisa saja. Mana mungkin gadis
secantik Mei Lie mencintaiku yang gila ini?"
Nyi Bangil masih tersenyum. Matanya menatap
lekat wajah pemuda di hadapannya. Sungguh tampan
wajah itu. Setiap wanita tentu akan tertarik dan jatuh cinta pada Sena. Di


Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping itu, dia berilmu tinggi, ramah, dan tidak sombong. Sosok lelaki gagah
perkasa dan setia, terlukis pada wajah Sena.
"Mungkin kau tak percaya, Sena. Namun aku
yang sama-sama wanita, mengetahuinya. Itu pula yang mungkin memacu semangatnya
untuk mempelajari
'Ilmu Pedang Bidadari' warisan guruku."
Nyi Bangil terdiam. Matanya tak lepas meman-
dang pemuda tampan di hadapannya. Sedangkan Sena
tak berkata apa-apa. Kepalanya semakin menunduk
dalam-dalam. Hatinya membenarkan ucapan Nyi Ban-
gil. Dia juga merasakan getar perasaan itu pada diri Mei Lie. Karena itulah kini
dia mencarinya. Dia ingin sekali bertemu, kemudian bisa berjalan bersama Mei
Lie. "Sena, kau tak mungkin membohongi dirimu sendiri. Kau pun merasakan hal itu
bukan?" duga Nyi Bangil, membuat Sena menundukkan kepala kian da-
lam. Sena menghela napas dalam-dalam. Kemudian
kepalanya diangkat perlahan, lalu memandang Nyi
Bangil yang masih tersenyum. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala.
"Kuakui, memang apa yang kau katakan benar,
Nyi. Itu sebabnya aku datang," ucap Sena akhirnya, mengakui kebenaran dugaan Nyi
Bangil. Nyi Bangil semakin melebarkan senyumnya.
"Di mana dia sekarang, Nyi?" desak Sena seperti tidak sabar untuk segera
bertemu. "Kau tak sabar, Sena...," sindir Nyi Bangil.
Sena tersenyum. Tangannya kembali mengga-
ruk-garuk kepala. Ditariknya napas panjang-panjang, kemudian dihembuskannya.
"Baiklah, aku akan menceritakan padamu. Mei
Lie sekarang telah pergi meninggalkan tempat ini untuk mencarimu. Sekaligus
mencari lelaki bercaping lebar, yang menurut Mei Lie bernama Kauw Cien Lung
atau Houw San."
"Mei Lie mengenalnya?" tanya Sena sambil
mengerutkan kening.
"Ya! Lelaki berilmu tinggi itu dari dulu memang mengejar-ngejar Mei Lie agar
dapat memperistri nya."
"Ah...!" Sena menghempas nafasnya saat mendengar penuturan Nyi Bangil yang kini
tersenyum me- nyaksikan tingkahnya.
"Apa yang dikatakan orang-orang persilatan
memang benar. Mei Lie memang bukan gadis biasa.
Dia adalah titisan Dewi Kuan Im," lanjut Nyi Bangil.
"Kau yakin?" tanya Sena agak terkejut.
"Ya!" sahut Nyi Bangil pasti.
"Dari mana kau yakin, Nyi...?" tanya Sena ingin tahu.
Nyi Bangil tidak langsung menjawab. Di bibir-
nya masih tersungging senyuman. Dihelanya napas
dalam-dalam. Matanya masih lekat memandang wajah
Sena. "Mulanya aku pun tak percaya desas-desus itu.
Namun ketika Mei Lie membuka pakaiannya, kulihat
di bawah pusarnya memang terdapat gambar bunga
Wijaya Kesuma. Bunga itu adalah perlambang Dewi
Kuan Im." Mata Sena seketika membelalak, mendengar
penuturan Nyi Bangil. Tangannya kembali menggaruk-
garuk kepala. "Lalu untuk apa dia mencari Houw San?" tanyanya, penasaran.
"Untuk menghentikan sepak terjang lelaki itu,
sekaligus hendak mengatakan agar Kauw Cien Lung
tidak usah lagi mencarinya."
"Tapi...," wajah Sena nampak cemas.
"Kenapa, Sena?" tanya Nyi Bangil. "Seperti kau tak percaya pada kemampuan Mei
Lie?" Sena menggaruk-garuk kepala. Wajahnya ma-
sih terlihat tegang. Dia tahu siapa lelaki bercaping lebar yang bernama Kauw
Cien Lung. Sepak terjangnya
sangat telengas. Telah banyak korban yang berjatuhan di mata pedangnya.
"Kau tahu siapa Houw San itu, Nyi?" tanya Se-na.
"Ya. Dia lelaki kejam yang telah banyak mema-
kan korban."
"Nah, bagaimana mungkin Mei Lie mencarinya"
Oh, aku mencemaskannya, Nyi...."
Nyi Bangil semakin melebarkan senyum. Kepa-
lanya digeleng-gelengkan sambil membenarkan du-
duknya dan menghela napas.
"Kau meragukan 'Ilmu Pedang Bidadari', Sena?"
"O, tidak. Aku hanya meragukan pengalaman-
nya, Nyi. Itu yang aku cemaskan. Dia belum berpengalaman dalam rimba persilatan
yang ganas, penuh den-
gan kecurangan dan kekejian," tutur Sena.
Nyi Bangil tersentak. Tiba-tiba dia menyadari
sesuatu yang tak terpikir olehnya. Matanya meman-
dang Sena dengan cemas. Ucapan pemuda itu memang
benar. Dalam ilmu silat, bisa saja Mei Lie berada di atas Houw San. Tapi dalam
kelicikan dan pengalaman, tentu Mei Lie berada jauh di bawah Houw San.
"Kau benar, Sena. Hm, mengapa aku sebodoh
itu membiarkan dia pergi seorang diri mencarimu?"
sesal Nyi Bangil.
"Ke arah mana Mei Lie pergi, Nyi?" tanya Sena.
"Entahlah. Dia hanya berkata hendak menca-
rimu dulu, sebelum mencari Kauw Cien Lung," tutur Nyi Bangil.
"Bagaimana pakaian yang dikenakannya?"
"Dia mengenakan pakaian lelaki berlengan pan-
jang warna putih, serta celana warna putih pula. Rambutnya juga digelung seperti
lelaki." "Jadi dia telah merubah penampilannya menja-
di sosok pendekar?" ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Kalau begitu, aku
harus secepatnya mencari dia. Aku mohon pamit, Nyi."
"Kudoakan, semoga kau selalu dalam lindun-
gan Hyang Widhi," kata Nyi Bangil setelah balas menjura, kemudian diiringinya
Sena melangkah mening-
galkan tempat itu. "Semoga kalian menjadi pasangan yang diberkati oleh Hyang
Widhi...."
*** Slang itu matahari bersinar terlalu panas, sea-
kan hendak memanggang wajah bumi, dengan terik-
nya. Semilir angin siang terkalahkan oleh panasnya
matahari. Hal itu yang membuat Sena mengambil ke-
putusan untuk beristirahat di kedai, sekaligus mengisi perutnya yang kosong.
Usai menyantap makanannya, Sena bersandar
pada tiang penyangga kedai. Angin siang berhembus
lembut, membuat matanya mengantuk. Perlahan-
lahan matanya dipejamkan, menikmati kesejukan an-
gin yang berhembus di permukaan kulitnya.
Baru saja matanya terpejam, tiba-tiba Sena ter-
sentak oleh percakapan dua orang pengunjung kedai
yang menceritakan tentang Dewi Pandagu.
"Bayangkan, Dewi Pandagu kemarin ditemukan
telah mati. Mungkin Karto Songo dan Kebo Pangawon
yang membunuhnya," tutur orang yang bercelana biru sebatas lutut dan berbaju
warna hitam. Sehelai sarung terikat di pinggangnya. Kepalanya diikat secarik
kain batuk warna coklat muda berhias putih. Tubuhnya
gempal dan pendek.
"Apakah tidak mungkin lelaki bercaping yang
membunuhnya, sekaligus membunuh Karto Songo dan
Kebo Pangawon?" tanya lelaki bertubuh kurus dan berpakaian petani. Celananya
hitam sebatas betis dan bajunya hitam berlengan panjang.
"Kurasa tidak. Kalau korban lelaki bercaping,
sudah barang tentu di keningnya terdapat sayatan pedang. Tapi Dewi Pandagu
tubuhnya terbakar. Dadanya
hancur, seperti terkena pukulan."
Sena tersentak bangun dari sandarannya, sete-
lah mendengar penuturan dua orang itu. Segera di-
hampirinya kedua lelaki itu.
"Selamat siang, Kisanak," sapa Sena sopan.
Kedua lelaki itu menoleh lalu memandang Sena
yang tersenyum.
"Boleh aku ikut duduk?"
"O, silakan," jawab keduanya hampir berbareng. "Namaku Sena," ucapnya
memperkenalkan diri.
"Saya Jajang dan teman saya Enggono," sambut Jajang sambil menyalami Sena.
"Bolehkah aku bertanya, Ki Jajang?"
"Oh, silakan. Tentang apa....?"
"Dewi Pandagu. Benarkah dia tewas...?"
Suara Sena terdengar sangat cemas. Bagaima-
napun juga, antara dia dan Dewi Pandagu terdapat
hubungan batin yang kuat. Dia pun telah berjanji akan memperistri wanita itu.
"Benar. Memangnya ada apa...?"
"Ah, tidak. Terima kasih," ucap Sena.
Setelah membayar semua makanannya, Sena
meninggalkan kedai itu. Hal itu membuat kedua orang yang ditanya oleh Sena
mengerutkan kening. Mereka
memandang heran pada Sena yang berlalu dari kedai
itu. Dengan mengerahkan ilmu larinya Sena beru-
saha membuktikan kebenaran cerita kedua orang tadi.
Hatinya berdetak gelisah. Wajahnya membara laksana
terbakar api. Itu pertanda kalau dirinya dalam kungkungan rasa cemas dan marah.
Dan jika dia benar-
benar telah marah, tubuhnya akan mengeluarkan ca-
haya merah membara.
"Kalau benar Dewi Pandagu mati, semua ini ka-
rena Houw San. Kalau saja lelaki bercaping lebar itu tidak datang, tentunya
orang-orang dari aliran hitam tidak berani unjuk gigi!" dengus Sena sambil terus
berlari, agar secepatnya dapat sampai di Perguruan Bin-
tang Emas. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh Sena me-
lesat cepat. Pekikannya menggelegar, sebagai tanda kalau dia tengah mengerahkan
ilmu lari 'Sapta Bayu'
tingkat terakhir. Membuat kecepatan tubuhnya laksa-
na gerakan tujuh angin. Dalam sekejap saja tubuhnya menghilang. Yang tampak
hanya kelebatan bayangan-nya saja.
Ketika Sena berlari menuju Perguruan Bintang
Emas untuk membuktikan cerita dua lelaki di kedai, pendengarannya yang tajam
tiba-tiba mendengar suara bentrokan pedang yang ditingkahi teriakan-teriakan
pertempuran. Trang! "Hiaa!"
"Hait..!"
Trang, trang! Dentingan pedang itu begitu keras, diikuti pe-
kikan-pekikan nyaring. Disusul dengan deru babatan
pedang yang menggila. Ditilik dari suaranya, tentu
orang-orang yang bertarung itu memiliki ilmu pedang yang tinggi.
"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam Sena. Segera larinya dihentikan Dengan
tangan menggaruk-garuk kepala, dia memandang ke sekeliling, berusaha mencari
asal keributan itu.
"Heaaa..!"
Wut wut! "Yiaaat!"
Sena memasang telinganya tajam-tajam, agar
dapat menentukan di mana pertarungan itu berlang-
sung. "Ah, ada di sebelah selatan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian kakinya di-
langkahkan dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh, agar tidak terdengar oleh orang yang bertarung.
Setelah suara orang bertarung itu semakin dekat, Sena segera melompat ke atas
pohon. Ditujukan pandangannya ke sebuah tempat
yang agak lebar, di mana dua orang tampak tengah
bertarung. Seketika matanya membelalak, ketika melihat seorang lelaki bercaping
lebar dengan baju bergaya pesilat Cina tengah bertarung dengan seorang wanita
yang berpakaian lelaki berwarna putih.
"Mei Lie...!" desis Sena sambil menggaruk-garuk kepala, ketika mengenal wajah
wanita itu. Tubuh Sena segera berkelebat turun. kemudian
dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga Sakti.
Selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Gila
menghantamkan Suling Naga Sakti ke arah pedang le-
laki bercaping yang tengah menyerang Mei Lie.
Trang! "Ukh..!" lelaki bercaping lebar yang tidak lain Kauw Cien Lung atau Houw San itu
tersentak kaget.
Segera kakinya menyurut mundur sambil menarik pe-
dangnya. Begitu pula yang dilakukan Mei Lie.
"Sena.,!" seru Mei Lie setelah mengenal siapa orang yang telah menolongnya.
"Mei Lie...!" seru Sena gembira. Bibirnya men-gulas senyum lepas.
Merasa mendapat kesempatan baik, Houw San
dengan cepat bergerak, berusaha mencekal tubuh Mei
Lie. Namun Sena yang tidak ingin gadis pujaan hatinya celaka, cepat memapak
tangan lawan dengan Suling
Naga Sakti. "Yiaaat.!"
"Hiaaa...!"
Melihat pemuda berbaju rompi kulit ular me-
nyerang dengan Suling Naga Sakti, Kauw Cien Lung
yang semula hendak melakukan totokan ke arah Mei
Lie, mengurungkan niatnya. Tangannya ditarik kemba-
li, kemudian dengan cepat membabatkan pedang ke
arah lawan dengan jurus 'Pedang Menangkal Naga' dan diteruskan dengan jurus
'Tusukan Pedang Menembus
Batu Karang'. "Hiaaa...!"
Wut! Trak! Pendekar Gila melenting ke atas, membuat ba-
batan pedang lawan luput. Kemudian dengan cepat
memukul lawan dengan Suling Naga Sakti.
"Mei Lie.!" desis Sena ketika mengenali wanita yang sedang bertarung itu.
Tubuh Pendekar Gila pun segera berkelebat tu-
run sambil mencabut sulingnya. Kemudian, Suling Naga Saktinya dihantamkan ke
arah pedang Kauw Cien Lung yang tengah menyerang Mei Lie.
Trang! "Heeaaaa...!"
Tangan kanan Pendekar Gila yang memegang
Suling Naga Sakti, memukul dan membabat ke tubuh
lawan. Sedangkan tangan kirinya menepuk ke dada
lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Itulah
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus
pembuka jurus-jurus gila.
Kemudian, dengan menggunakan jurus 'Kera
Gila Mencakar dan Memukul Lawan', Pendekar Gila te-


Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rus merangsek lawan. Namun begitu, lawan yang di-
hadapinya juga tidak mau mengalah begitu saja.
Houw San dengan pedang beracun di tangan-
nya, terus bergerak mengelakkan setiap babatan Suling Naga Sakti dan tepukan
tangan lawan. Bahkan se-
sekali balas menyerang dengan sabetan pedang.
"Makan ini! Heaaa...!"
Sena kembali menyodokkan Suling Naga Sakti
ke dada lawan. Kemudian disusul dengan tepukan
tangan kiri. Sementara kedua kakinya tak mau tinggal diam, bergerak menyapu dan
menendang kaki lawan.
Kauw Cien Lung yang dikenal berjuluk Singa
Jantan dari Cina dengan cepat melangkah ke bela-
kang. Lalu sambil mendengus, dibalasnya dengan ba-
batan pedang ke arah Pendekar Gila. Sedangkan tan-
gan kirinya, mencengkeram dengan jari-jari yang kaku.
Tidak ubahnya seperti kuku-kuku singa.
"Hiaaa...!"
Wut! Pendekar Gila segera meliukkan tubuh, menge-
lak-kan babatan pedang lawan. Kemudian setelah
mampu mengelakkan babatan pedang, Pendekar Gila
kembali balas menyerang dengan sabetan Suling Naga
Sakti. "Heaaa...!"
Trang! Keduanya mundur ke belakang beberapa tin-
dak. Sesaat keduanya saling pandang, berusaha men-
gamati gerak-gerik lawan masing-masing. Pendekar Gi-la me-nyeringai dengan
tangan menggaruk-garuk ke-
pala. Sedangkan Houw San kini memperhatikan den-
gan seksama tingkah laku Pendekar Gila.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya Kauw Cien Lung, dengan dengusannya
yang keras. Pedang panjang yang berwarna putih kebiru-biruan ter-
hunus di depan tubuhnya.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Kaukah orang yang selama ini telah banyak
melakukan kekejian" Membunuh para pendekar?"
tanya Sena, balik bertanya.
"Ya!"
"Hm, aku datang untuk menghentikan sepak
terjang mu yang terlalu telengas," ucap Sena dengan suara tegas. "Tindakanmu
terlalu biadab. Terlebih kau bukan orang Jawa Dwipa."
"Hm...," Kauw Cien Lung menggumam perla-
han. "Bagus! Sengaja aku datang dari jauh, untuk me-nyingkirkanmu, Pendekar
Gila! Jangan bermimpi kau
akan dapat memperoleh Mei Lie!"
Pendekar Gila kembali tertawa cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Lucu sekali kau, Kisanak! Memaksakan ke-
hendak pada orang yang tidak menyukaimu! Dosamu
telah terlalu banyak. Nampaknya sulit untuk diampu-
ni," dengus Sena.
"Kurang ajar! Kau harus mampus! Hiaaa...!"
9 Kauw Cien Lung menggerakkan pedang ke
samping kanan dengan gerakan membuka. Kemudian
digerakkan kembali ke arah depan, dilanjutkan ke
samping kiri. Lalu pedangnya diputar cepat. Didahului pekikan menggelegar, Kauw Cien Lung kembali melakukan serangan dengan jurus
'Singa Jantan Mener-
kam Mangsa'. Pedangnya bergerak cepat, naik ke atas kemudian ditebaskan lurus ke
depan. "Heaaa...!"
Menyaksikan lawan telah menyerang dengan
jurus lain, Pendekar Gila pun tak tinggal diam. Dia segera membuka jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat' diteruskan dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.
"Ciaaat...!"
Wut! Pedang di tangan Kauw Cien Lung membabat
cepat ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat meliukkan tubuh ke samping.
Sambil memiringkan tubuh
ke depan, tangan Sena menyodokkan Suling Naga Sak-
ti ke arah lawan.
"Yeaaa...!"
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk cepat, gera-
kannya seperti orang menari. Sesekali tangan kanan-
nya yang memegang Suling Naga Sakti, menyodok ke
arah lawan. Disusul dengan pukulan telapak tangan
kirinya. Mendapat serangan aneh begitu rupa, Kauw
Cien Lung segera melangkah dua tindak ke belakang.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya memba-
batkan pedang ke arah lawan.
Wut, wut! Mau tak mau, Pendekar Gila yang sudah meli-
hat keganasan pedang lawan dari korban-korbannya
segera berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping, la-lu balas menyerang dengan
sodokan Suling Naga Sak-
ti. Sedangkan tangan kirinya bergerak mencakar ke
wajah lawan yang tertutup caping lebar. Nampaknya
Pendekar Gila berusaha membuka caping yang dike-
nakan lawan. "Uts...!"
Wut! Rupanya Kauw Cien Lung mengerti apa yang
hendak dilakukan Pendekar Gila. Dengan cepat tu-
buhnya menyurut ke belakang untuk mengelakkan ca-
karan tangan Pendekar Gila. Kemudian dengan cepat
dia balik menyerang dengan tusukan pedang ke dada
Pendekar Gila. "Edan!" maki Sena kaget, saat merasakan hawa dingin yang keluar dari tusukan
pedang lawan. Kalau saja Pendekar Gila tidak segera menge-
lak, sudah pasti dadanya akan tertembus pedang be-
racun itu. Meskipun racun yang ada pada pedang la-
wan tidak akan membuatnya tewas, namun tusukan
pedang itu tentunya sangat berbahaya.
Cepat Pendekar Gila bersalto ke samping. Ke-
mudian dengan cepat Suling Naga Sakti dibabatkan ke arah pedang lawan yang terus
mencecar ke arahnya.
"Hih...!"
Trang! Dua senjata sakti saling bertemu dan mencip-
takan percikan api. Kemudian tubuh keduanya me-
lompat ke belakang, dengan senjata siap kembali di
depan tubuh masing-masing.
Mata keduanya saling pandang. Kaki mereka
bergerak dengan aturan-aturan yang telah mereka pe-
lajari. Pendekar Gila merentangkan kaki kanannya ke samping. Kaki kirinya agak
ditekuk. Sementara Suling Naga Sakti disilangkan di depan dada. Dengan jari-jari
tangan merapat, tangan kirinya ditempelkan di ulu ha-ti.
Kauw Cien Lung menarik mundur kaki kanan-
nya. Sedangkan kaki kirinya agak ditekuk membentuk
siku. Pedang di tangan kanannya digerakkan ke samp-
ing kanan. Sedangkan tangan kirinya yang membentuk
cakar, diletakkan di dada sebelah kiri. Pedangnya diputar-putar dengan cepat,
lalu ditusuk ke depan.
"Yiaaat...!"
"Heaaa....!"
Keduanya kembali melesat untuk melakukan
serangan. Senjata di tangan masing-masing saling menusuk dan membabat. Sedangkan
tangan kiri mereka
bergerak memukul dan menangkis. Kaki mereka pun
tidak tinggal diam, menyapu dan menendang ke tubuh
lawan. Dua senjata sakti itu kembali berkelebat, saling berusaha mengincar satu
sama lain. Kauw Cien Lung membabatkan pedang ke arah
Pendekar Gila. Tubuhnya mencelat ke atas, kedua ka-
kinya menendang keras ke arah dada lawan.
Wut! "Heaaa...!"
Mendapat serangan cepat dan membahayakan,
Pendekar Gila memutar Suling Naga Saktinya untuk
menangkis babatan pedang lawan. Kemudian dengan
mendoyongkan tubuh ke samping kanan, tangan ki-
rinya memukul ke arah lawan.
Trang! "Heaaa...!"
Wut! Trang...! Dua senjata sakti itu kerap kali beradu, sehing-
ga menimbulkan percikan api. Kedua orang yang ber-
tarung itu bagai telah kerasukan. Semakin lama gerakan mereka kian cepat. Kini
bukan hanya mengguna-
kan tenaga luar saja. Nampaknya mereka telah menge-
rahkan tenaga dalam dan menyalurkannya pada tan-
gan kanan masing-masing.
"Yiaaat..!"
Dua sosok tubuh dengan senjata sakti terus
berkelebat. Keduanya kini melupakan keadaan Mei Lie yang semakin jauh mereka
tinggalkan. Mereka terus
melancarkan jurus-jurus ilmu silat yang mereka kua-
sai. Dan tampaknya kedua orang itu seimbang. Sama-
sama gesit dan lincah. Tubuh mereka berkelebat lak-
sana menghilang.
"Heaaa...!"
"Ciaaat...!"
Kembali mereka melesat. Tangan kanan yang
memegang senjata bergerak cepat. Keduanya berusaha
untuk memenangkan pertarungan tersebut.
Wut! Trang! Tak ada lagi kata-kata yang mereka keluarkan.
Mulut mereka bagai terkunci rapat. Yang kini terdengar hanya pekikan saat
melakukan serangan yang di-
ikuti oleh gerakan jurus silat tingkat tinggi.
Sekeliling arena pertarungan itu rusak oleh ba-
batan dan tebasan senjata keduanya. Banyak pohon-
pohon yang tumbang, atau hancur terkena pukulan
dan babatan senjata di tangan kedua orang yang terus bertukar serangan.
Pendekar Gila dengan mengerahkan jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang', bergerak cepat. Tangan kirinya bertubi-tubi
menghantam lawan, dan sesekali berusaha menyambar caping lawannya.
Kauw Cien Lung atau Singa Jantan dari Cina
pun tidak mau tinggal diam. Dengan cepat pedangnya
bergerak, menutup gerakan tangan Pendekar Gila yang hendak membuka capingnya.
Disusul dengan hantaman tangan dan tendangan kakinya. Bahkan pedang-
nya berkelebat dengan cepat.
"Sena, tolong...!"
Tengah pertarungan berjalan seru, tiba-tiba
terdengar teriakan keras Mei Lie. Keduanya terkejut dan seketika menghentikan
pertarungan. "Mei Lie...!" pekik keduanya berbareng. Kemudian tubuh mereka langsung
berkelebat cepat ke arah suara Mei Lie.
"Kurang ajar! Siapa kau..."!" bentak Pendekar Gila, berusaha mengejar sesosok
tubuh yang membawa Mei Lie yang tertotok di pundaknya.
"Kurang ajar! Hei, jangan lari...!" seru Kauw Cien Lung sambil berlari mengejar.
Singa Jantan dari Cina ini ternyata tidak mau
tinggal diam begitu saja. Terlebih saat dilihatnya pen-culik Mei Lie mengenakan
pakaian dan caping yang
sama dengannya. Pendekar Gila dan Kauw Cien Lung
terus mengejar lelaki misterius yang menculik Mei Lie.
"Berhenti...!" seru Sena, kemudian dengan cepat dikirimkannya pukulan sakti
'Inti Bayu' ke arah lelaki yang berpenampilan mirip Kauw Cien Lung itu.
Wusss! Angin kencang berderu, mengarah ke tubuh le-
laki berkulit coklat tua dengan caping lebar. Namun dengan cepat, lelaki
misterius itu mencabut pedangnya yang juga sama dengan pedang Kauw Cien Lung,
lalu membabat serangan Pendekar Gila.
Desss! Dahsyat sekali!
Angin pukulan 'Inti Bayu' yang dilancarkan
Pendekar Gila dapat dimusnahkan oleh pedang di tan-
gan lelaki itu. Hal itu membuat Pendekar Gila membelalakkan mata, tak percaya
kalau pukulan saktinya
dapat dimusnahkan begitu saja oleh lelaki misterius itu.
Sementara, lelaki misterius itu tiba-tiba meng-
hilang dari pandangan Pendekar Gila dan Kauw Cien
Lung. Keduanya terpukau saling pandang.
"Siapa dia?" tanya Sena.
"Haiya..., mana aku tahu," jawab Kauw Cien Lung. "Huh, kau ingin berusaha
menutupinya! Kau yang menyebabkan semua ini terjadi! Heaaa...!"
Pendekar Gila yang merasa penyebab semua-
nya adalah Kauw Cien Lung, tanpa banyak kata lagi
segera menyerang. Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang',
Pendekar Gila melabrak
Kauw Cien Lung.
"Uts...!"
Kauw Cien Lung tersentak, segera pukulan
yang dilancarkan Pendekar Gila dielakkannya. Kemu-
dian dengan cepat balas menyerang dengan jotosan ke dada Pendekar Gila.
Pertarungan yang sempat tertunda dengan ke-
datangan lelaki misterius itu, kini kembali berlanjut
Pendekar Gila bergerak aneh. Gerakannya seperti lamban dan lemah. Namun
kenyataannya sangat berba-
haya dengan serangan yang senantiasa menggunakan
telapak tangan. Tangan kanan disilangkan dengan
tangan kiri, kemudian direntang sambil menghentak
ke depan. "Heaaa...!"
Kauw Cien Lung yang diserang begitu cepat,
dengan segera mengelak. Kemudian dengan jari-jari
tangan membentuk cakar, Kauw Cien Lung balas me-
nyerang. Tangannya mencakar beruntun dari arah ba-
wah ke atas tubuh lawan. Gerakannya persis seperti
amukan seekor singa jantan. Itulah jurus 'Singa Jantan Mengoyak Mangsa', sebuah
jurus cepat dan mem-
bahayakan. "Heaaa...!"


Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dilihat dari gerakan tangan mereka yang me-
nyerang dan menangkis, terlihat ada kesamaan pada
kedua jurus itu. Bedanya kalau Pendekar Gila mela-
kukan serangan dengan pukulan telapak tangan yang
mengeluarkan angin keras, seperti hendak melebur ba-tu karang. Sedangkan Kauw
Cien Lung menyerang
dengan cakaran, tidak ubahnya seperti singa.
"Dosamu telah menumpuk, Sobat! Heaaa...!"
*** Pendekar Gila terus menyerang dengan jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya disilangkan, kemudian direntangkan
keluar. Dilanjutkan den-
gan pukulan telapak tangan ke depan, yang menim-
bulkan angin pukulan keras.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk. Kelihatannya
gerakan itu sangat lamban. Namun Kauw Cien Lung
jadi sangat kaget, ketika tak diduganya serangan lawan telah dekat ke tubuhnya.
Kalau saja Kauw Cien
Lung tidak segera menyadari, niscaya tubuhnya akan
terhantam pukulan maut Pendekar Gila.
"Uts! Haiya...!"
Kauw Cien Lung dengan cepat membentuk per-
tahanan dengan menekuk tangan kiri, disusul dengan
cakaran ke dada lawan. Sedangkan kedua kakinya
bergerak menendang dan menyapu.
Tangan keduanya saling bertemu, berusaha
menyerang dan menangkis. Begitu juga dengan kaki
mereka, bergerak menyerang atau menangkis serangan
lawan. "Heaaa...!"
Pendekar Gila terus berusaha menekan. Puku-
lan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga, me-
nyentak keras. Kalau saja Kauw Cien Lung lengah, sudah pasti dia akan menjadi
korban pukulan maut Pen-
dekar Gila. Kauw Cien Lung dengan cepat menangkis se-
rangan lawan. Kemudian tangan kirinya melancarkan
cakaran. Pada saat lawan menyerang, Pendekar Gila me-
lihat ada kesempatan. Dia tak menyia-nyiakannya. Segera tubuhnya dicondongkan ke
samping kanan, ke-
mudian tangan kirinya ditarik ke belakang. Dibarengi dengan tarikan tangan kiri,
tangan kanan Pendekar Gi-la lalu menyambar caping lawan. Sedangkan tubuhnya
menghentak ke atas
Wut! "Lepas...!" seru Sena sambil menarik caping yang dikenakan Kauw Cien Lung. Dan
caping itu pun lepas dari kepala Kauw Cien Lung.
Kini nampaklah wajah sesungguhnya dari lelaki
yang mengenakan caping itu. Wajahnya tampak rusak,
bekas luka bakar. Sampai-sampai Pendekar Gila bergidik menyaksikannya.
"Hmhhh...!" Kauw Cien Lung menggeram ma-
rah, merasa aibnya telah diketahui oleh Pendekar Gila.
Matanya yang merah, semakin membara. Nafasnya
mendengus penuh amarah. Bersamaan dengan itu,
wajahnya perlahan-lahan berubah menjadi wajah sin-
ga! Rambutnya yang panjang, berubah warna menjadi
kuning. Kauw Cien Lung kembali menggeram. Tangan-
nya seketika berubah menjadi kaki depan singa. Ke-
mudian didahului gerakan marah, singa jejadian itu
melesat menyerang.
"Ghrrr! Aummm...!"
Singa itu berkelebat ke arah Pendekar Gila.
Tangannya tak beda dengan kaki singa, berusaha
mencabik-cabik tubuh Pendekar Gila.
"Uts...! Ilmu siluman!" maki Pendekar Gila seraya berkelit mengelakkan cakaran
kuku-kuku tajam
lawan. Tubuhnya dimiringkan ke samping, lalu dirun-
dukkan ke bawah. Membuat serangan lawan melesat
di atas tubuhnya dan menancap di batang pohon
Crab! Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila
yang melihat kesempatan baik itu segera mengirimkan tendangan ke tubuh lawan
yang kuku-kukunya masih
menancap di pohon.
"Hiaaa...!"
Bugk! "Aummm...!" singa jejadian itu mengaum keras, tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. Keadaan pohon yang menjadi sasarannya san-
gat mengerikan. Pohon itu hangus terbakar. Daunnya
berguguran. Jika saja pohon itu manusia, tentunya
akan mengalami hal yang lebih mengerikan.
Singa jejadian itu kembali menggeram, kemu-
dian bergerak lagi untuk menyerang Pendekar Gila
dengan cakaran kuku-kukunya.
"Uh...! Heaaa!" Pendekar Gila segera meliukkan tubuh ke bawah, mengelakkan
serangan lawan. Kemudian dengan cepat menggulingkan tubuh ke samp-
ing. Kaki kirinya menendang ke tubuh lawan.
"Aum...!"
Manusia singa yang melihat tendangan kaki
Pendekar Gila, segera menyambarkan tangannya ke
bawah. Memaksa Pendekar Gila menarik kembali ka-
kinya dengan cepat. Setelah itu tubuhnya melenting ke udara. Melihat lawan
melayang di udara, manusia singa itu bertambah marah. Segera diambilnya pedang
yang tadi diletakkannya di tanah. Lalu, diburunya tubuh lawan. Sebentar
kemudian, pedangnya dibabatkan
ke tubuh Pendekar Gila yang masih berada di udara.
Wut! "Uts! Celaka...!" pekik Sena kaget, ketika melihat pedang lawan telah dekat ke
arahnya. Sulit ba-
ginya untuk dapat mengelakkan tusukan pedang itu.
Dengan tak hilang akal, Pendekar Gila segera menca-
but Suling Naga Saktinya. Kemudian dengan gerakan
cepat dibabatkannya ke pedang lawan, disertai tenaga dalam penuh.
Wut! Trang! Pedang lawan terdorong ke arah tuannya. Saat
itu juga, Pendekar Gila menjejakkan kaki ke dada lawan yang kala itu masih
kaget. Akibatnya, manusia
singa itu tak mampu mengelakkan serangan lawan.
Degk! "Ghrrr...!" manusia singa itu menggeram. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Matanya
memandang tajam penuh amarah pada Pendekar Gila yang kini
meniup sulingnya.
Suara Suling Naga Sakti melengking keras,
membuat singa jejadian itu meraung keras, saat merasakan telinganya seakan
ditusuk ribuan jarum.
"Ghrrr! Auuum...!"
Setelah mengaum keras, singa jelmaan Kauw
Cien Lung itu melesat dengan pedangnya. Pedangnya
dibabatkan ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat mengelit ke samping sambil
memutar Suling Naga Sakti dan menangkis serangan lawan.
Trang! Tubuhnya keduanya melompat ke belakang.
Kemudian didahului pekikan menggelegar, mereka
kembali meluruk dengan senjata masing-masing.
"Ghrrr! Auuum...!"
"Heaaa...!"
Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu dengan ge-
rakan cepat melenting ke udara seraya menusukkan
pedang. Sehingga kedudukan mata pedangnya kini be-
rada tepat di atas kepala Pendekar Gila.
Melihat lawan menyerang dari atas, Pendekar
Gila tak mau diam begitu saja. Dengan cepat tubuhnya dirundukkan. Kepalanya
dimiringkan ke samping, suling di tangan kanannya dihantamkan ke atas. Dipapa-
kinya serangan pedang lawan dengan Suling Naga Sak-
ti. Sedangkan tangan kirinya dengan cepat memukul
ke atas. "Heaaa...!"
Trang! Manusia singa tersentak menyaksikan pukulan
tangan kiri Pendekar Gila. Dia berusaha memapaki
pukulan itu dengan tangan kiri. Namun gerakannya
terlambat. Tangan kiri Pendekar Gila lebih dulu menghajar dadanya.
Degk! "Aummm...!"
Tubuh manusia singa itu terlontar lagi ke atas,
melayang di udara dan berjumpalitan beberapa kali
sebelum kakinya menjejak tanah. Tangan kirinya me-
megangi dada yang terasa sakit akibat pukulan Pendekar Gila. Matanya semakin
buas, memandang tajam
Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan. "Ghrrr! Pendekar Gila, jangan kau sangka aku
sudah kalah! Aku akan mengadu nyawa denganmu!
Ghrrr...!"
"Ha ha ha...! Tampangmu lucu, Kawan! Dari
mana kau dapatkan topeng singa itu?" ledek Pendekar Gila. "Sayang sekali....
Kalau saja aku ada waktu, ingin rasanya aku membawamu ke tempat ramai. Kau bisa
mendatangkan uang sebagai tontonan yang sangat
menarik. Ha ha ha...!"
Semakin bertambah marah saja manusia singa
mendengar ejekan Pendekar Gila. Kembali mulutnya
menggeram, kemudian dengan raungan keras dia
kembali menyerang.
"Ghrrr! Aummm...!"
Melihat lawannya marah, tawa Pendekar Gila
malah semakin meledak. Kemudian dengan mengelua-
rkan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Pendekar Gila berkelit mengelakkan
serangan lawan. Lalu memba-lasnya dengan pukulan-pukulan dengan gerakan me-
lempar. "Ha ha ha...! Kau semakin bertambah lucu,
Kawan!" Dengan sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila te-
rus bergerak menyerang dan mengelakkan serangan
lawan. Gerak-geriknya seperti kera kegirangan. Tan-
gannya bergerak seperti melempar, namun gerakan
melempar itu mampu membuat manusia singa agak
kewalahan. Tebasan pedangnya dengan mudah dielak-
kan lawan. Bahkan kalau kurang hati-hati, Suling Na-ga Sakti di tangan Pendekar
Gila akan menghajar tu-
buhnya. "Ghrrr...! Kurobek mulutmu, Pendekar Gila!"
Aummm...! Singa jejadian itu terus melancarkan babatan
serta tusukan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila. Se-
sekali tangan kirinya mencakar ke arah Pendekar Gila.
"Hop, apa tidak sebaliknya, Sobat!" kata Pendekar Gila sambil mengelitkan
babatan pedang serta cakaran tangan kiri lawan yang berkuku panjang dan
runcing. Kemudian dengan cepat dia balas menyerang
dengan sodokan Suling Naga Sakti dan hantaman tan-
gan kiri ke dada lawan.
Puluhan jurus telah mereka kerahkan. Nam-
paknya belum ada tanda-tanda siapa yang bakal me-
menangkan pertarungan itu. Manusia singa itu begitu kuat dan ganas. Meskipun
beberapa kali terkena pukulan, tapi tampaknya pukulan-pukulan Pendekar Gi-
la tak berarti sama sekali. Malah manusia singa itu semakin ganas dalam
melakukan serangan.
Tangan kirinya mencakar-cakar ke wajah dan
dada Pendekar Gila. Sedangkan pedang beracunnya,
berkelebat membabat dan menusuk tubuh Pendekar
Gila. Hal itu membuat Pendekar Gila harus mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh. Pendekar Gila meliuk-
liuk untuk mengelakkan serangan-serangan lawan. Se-
telah itu, balas menyerang dengan Suling Naga Sakti dan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'.
Entah sudah berapa jurus mereka keluarkan,
ketika tiba-tiba manusia singa kembali menggeram
dengan suara yang mampu merobohkan daun pepoho-
nan. Tubuhnya mencelat ke udara dan bersalto bebe-
rapa kali. Dengan tubuh menukik, pedangnya dite-
baskan ke tubuh Pendekar Gila.
"Ghrrr! Aummm...!"
Melihat lawan menukik dan siap melakukan se-
rangan, dengan cepat kaki kanan Pendekar Gila me-
langkah ke belakang. Kaki kirinya ditekuk membentuk siku. Kemudian tangan
kanannya memutarkan Suling
Naga Sakti. Sedangkan tangan kirinya memukul deras
ke atas. "Heaaa...!"
Trang! Des! Dua kekuatan bertenaga tingkat tinggi pun be-
radu. Tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung mencelat
ke belakang dan bersalto di udara. Pada saat itu, Pendekar Gila segera
menggenjotkan kakinya. Tubuhnya
melesat laksana terbang ke udara. Saat itu pula, di-tiupnya Suling Naga Sakti
dengan kepala naga di
pangkalnya diarahkan ke tubuh manusia singa yang
masih mengapung di udara.
Suara suling melengking keras. Saat itu, dari
mulut kepala naga di suling itu melesat selarik sinar merah ke arah tubuh
manusia singa. Srrrt..! Manusia singa tersentak kaget, menyaksikan
selarik sinar merah yang keluar dari mulut kepala na-ga di suling Pendekar Gila.
Dia berusaha mengelakkan
larikan sinar merah itu, namun kedudukannya tidak
menguntungkan. Segera pedangnya diputar untuk
memapaki sinar merah itu.
Wut! Crat! Pedang itu langsung meleleh, bagai terkena pa-
nas yang sangat tinggi. Mata manusia singa itu mem-
belalak. Cepat-cepat dibuangnya pedang yang terus
meleleh itu. Kalau tidak, tubuhnya pasti akan turut meleleh seperti pedang
miliknya. "Ghrrr! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Aummm...!"
Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu semakin
buas. Tubuhnya melompat hendak menerkam Pende-


Pendekar Gila 6 Singa Jantan Dari Cina di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kar Gila. Jari tangannya mengembang membentuk ca-
kar dengan kuku-kuku yang tajam, siap mengoyak-
ngoyak tubuh lawan.
Pendekar Gila kembali meniup Suling Naga
Saktinya dengan suara melengking. Saat itu juga dari mata kepala naga di
sulingnya meluncur dua larik sinar kecil ke arah tubuh manusia singa yang masih
melesat. Tanpa ampun lagi....
Crat, crat! "Aummm...! Aaargh...!"
Lengkingan kematian keluar dari mulut singa
jelmaan Kauw Cien Lung, ketika sepasang sinar kecil berwarna merah membara itu
menghantam tubuhnya.
Seketika tubuhnya meleleh, tak beda dengan keadaan
lilin yang dilalap api.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Suling
Naga Saktinya diselipkan di pinggang. Dengan tangan masih menggaruk-garuk
kepala, dipandanginya lele-han tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung. Kemudian
setelah menghela napas, tubuhnya berkelebat mening-
galkan tempat itu untuk mengejar orang misterius
yang telah membawa tubuh Mei Lie.
Bagaimana nasib Mei Lie selanjutnya" Siapa
orang yang berpenampilan sama dengan Kauw Cien
Lung" Lalu, apa maksudnya berbuat itu" Apakah Sena
akan bertemu Mei Lie lagi" Lalu bagaimana pula den-
gan Dewi Pandagu yang telah mati di tangan dua orang dari rimba hitam" Untuk
mengetahuinya, ikutilah pe-tualangan Pendekar Gila selanjutnya dalam episode
"Titisan Dewi Kuan Im" .
SELESAI TERIMA KASIH UNTUK SOBAT CULAN ODE
ATAS BANTUANNYA MELENGKAPI HALAMAN
YANG HILANG. Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Kisah Membunuh Naga 43 Pendekar Wanita Buta Serial Tujuh Manusia Harimau (7) Karya Motinggo Busye Pengelana Rimba Persilatan 14
^