Titisan Dewi Kwan Im 1
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im Bagian 1
TITISAN DEWI KWAN IM oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Titisan Dewi Kwan Im
128 hal; 12 x 18 cm
1 Suasana pagi di Desa Tambak Rejo tampak ra-
mai. Tidak biasanya sepagi itu banyak orang berlalu la-lang. Kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang per-
silatan. Entah mengapa, Desa Tambak Rejo yang berjarak
sekitar sepuluh mil ke arah utara dari Lembah Lamur
sejak kemarin banyak didatangi orang-orang rimba
persilatan Tampak tiga lelaki melangkah beriringan. Mereka
mengenakan jubah berwarna merah darah. Rambut
yang berwarna merah dibiarkan terurai dengan ikat
kepala berwarna merah darah pula. Ketiga lelaki itu
berwajah jelek dengan hidung pesek dan mata besar.
Dagu mereka dihiasi cambang bauk serta kumis tebal.
Di tangan masing-masing tergenggam cambuk yang
bentuknya serupa. Ketiganya terkenal dengan julukan
Tiga Setan Rambut Api.
Tiga tokoh aliran hitam itu memiliki perawakan
yang hampir sama, berotot dengan tinggi sedang. Wa-
jah mereka garang, menunjukkan keangkuhan.
Yang tertua bernama Untara. Lelaki yang kedua
bernama Undani, dan yang terakhir bernama Umbaka-
ra. Mereka kini tengah melangkah menuju sebuah ke-
dai yang siang itu tampak ramai disinggahi para pen-
gunjung. "Kalian lihat, di sini banyak sekali orang persilatan," kata Untara. Matanya
mengawasi pengunjung kedai yang kebanyakan dari rimba persilatan.
"Benar, Kakang," sahut Undani. Seperti kakaknya, dia pun menyapukan pandangannya
ke seluruh ruang kedai yang penuh oleh para pengunjung. "Nampaknya ada sesuatu yang membuat
mereka datang ke
tempat ini."
Ketika Tiga Setan Rambut Api mengawasi semua
pengunjung kedai, terdengar ucapan seseorang yang
baru masuk ke dalam kedai.
"Aha, rupanya Tiga Setan Rambut Api juga hadir
di tempat ini."
Tiga Setan Rambut Api seketika membalikkan
tubuh dan memandang ke arah suara itu. Begitu juga
dengan pengunjung kedai lain. Seketika mata mereka
memandang Tiga Setan Rambut Api, lalu berganti me-
mandang orang tua berpakaian compang-camping
dengan rambut putih tak teratur serta wajah dihiasi
goresan-goresan kelabu.
Dilihat dari penampilan serta tangan yang meme-
gang tongkat dan tempurung, orang persilatan yang
ada di kedai itu dapat dengan mudah menduga kalau
lelaki tua itu tak lain Pengemis Tempurung Sakti, pemimpin para pengemis dari
wilayah barat. "O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti yang da-
tang. Selamat datang...," sambut Untara sambil menjura hormat, diikuti oleh
kedua saudaranya.
"Aku Undani menyampaikan hormat padamu,
Pengemis Tempurung Sakti," kata Undani sambil
membungkuk "Begitu juga aku," timpal Umbakara.
Pengemis Tempurung Sakti terkekeh-kekeh sam-
bil membelai-belai jenggot putihnya yang panjang. Matanya yang sipit, semakin
bertambah sipit
"Aha, tampaknya banyak orang persilatan ber-
kumpul di sini. Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono si Pedang Iblis, Ki Bardawala
dari Perguruan Cinde Buana dan Sepasang Serigala Merah. Ada apa geran-
gan...?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil melangkah masuk, diikuti oleh
lima anak buahnya yang
semuanya berpakaian compang-camping. Bedanya, ke-
lima pengemis itu hanya membawa tongkat kayu hi-
tam. Mereka tersohor dengan julukan Lima Pengemis
Tongkat Hitam. Yang menguasai wilayah timur bernama Gandra-
na. Pakaiannya penuh dengan tambalan dan berwarna
ungu. Bibirnya tipis dengan mata agak sipit. Hidung-
nya besar dan pesek. Rambutnya lurus terurai dengan
ikat kepala berwarna ungu pula. Wajahnya menggam-
barkan kekasaran.
Yang menguasai daerah selatan bernama Jalan-
tra. Pakaiannya berwarna abu-abu, dan rambutnya di-
gelung ke atas. Berbeda dengan orang pertama, hidung Jalantra mancung. Bibir dan
alis matanya tebal dengan mata agak juling.
Yang ketiga bernama Sampra. Dia Ketua Per-
kumpulan Pengemis daerah utara. Berpakaian jingga
dengan tambalan seperti lainnya. Rambutnya ikal se-
batas bahu. Hidungnya mancung seperti paruh burung
betet Matanya lebar dengan alis mata tipis. Wajahnya nampak sinis jika
tersenyum. Yang keempat dan kelima adalah lelaki kembar
bernama Jantruk dan Jantrik. Pakaian yang mereka
kenakan pun kembar, berwarna merah dadu. Wajah
keduanya hampir serupa. Hidung mereka mancung
dengan alis mata tebal. Sedang bibir mereka tipis.
Hanya rambut yang membedakan satu sama lain. Yang
satu lurus tak teratur, sedangkan yang lain ikal berge-lombang.
Di bibir mereka tersungging senyuman. Wajah
mereka menggambarkan kewibawaan. Meski berpe-
nampilan tak sedap dipandang mata, tapi mereka ada-
lah orang-orang yang dipercaya untuk memimpin para
pengemis. Ilmu mereka pun bukan ilmu sembarangan,
dan patut diperhitungkan.
Pengemis Tempurung Sakti segera mendekati sa-
tu bangku lalu duduk seenaknya, seperti tidak tahu
aturan sebagaimana pengemis lain. Kelima pengemis
lainnya ikut duduk di samping kanan dan kirinya.
"Nampaknya ada sesuatu yang mengundang me-
reka kemari, Ketua," kata Gandrana, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah timur.
Pengemis Tempurung Sakti mengangguk-
anggukkan kepala. Tangannya masih membelai-belai
jenggotnya yang putih dan panjang. Sementara ma-
tanya tetap memandang ke sekelilingnya.
"Nampaknya ada sesuatu yang menarik," gumam Pengemis Tempurung Sakti. "Terbukti
Tiga Setan Rambut Api datang ke tempat ini."
"Aha, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-
getahui apa yang ada di sini...!" seru Umbakara tiba-tiba. "Ya! Mengapa tidak
kita tanyakan saja, ada apa sebenarnya?" usul Undani.
"Benar juga katamu, Undani," timpal Untara.
"Mengapa kita mesti bingung?"
Untara dan kedua adiknya bangkit dari bang-
kunya. Mereka melangkah mantap ke arah Pengemis
Tempurung Sakti. Kemudian dengan menjura, Tiga Se-
tan Rambut Api duduk di hadapan keenam pengemis
itu. "Pengemis Tempurung Sakti, sudikah kau menjelaskan pada kami, kenapa kau
dan lima ketua partai
pengemis sampai datang ke sini...?" tanya Untara. Tindak-tanduk mereka agak
tidak sopan, mencerminkan
watak ketiganya yang berasal dari aliran sesat
"Weh weh weh.... Mengapa jadi terbalik" Justru
kami yang ingin bertanya pada kalian," balas Pengemis Tempurung Sakti. "Apa
tidak mungkin kalau kalian hanya berpura-pura saja?"
Tiga Setan Rambut Api saling pandang karena di-
tuduh Pengemis Tempurung Sakti kalau mereka me-
nyembunyikan sesuatu. Padahal mereka juga belum
tahu sesuatu yang terjadi di tempat itu, sehingga para pendekar rimba persilatan
berdatangan ke tempat itu.
"Hei, mengapa kalian seperti orang bodoh?" tanya Pengemis Tempurung Sakti,
menyentakkan Tiga Setan
Rambut Api. Namun Untara segera berusaha menutupi
ketidakmengertian mereka akan pertanyaan dan seka-
ligus tuduhan dari Pengemis Tempurung Sakti.
"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-
ganggap kami sudah mengetahui masalahnya. Ah,
sangat disayangkan. Kami sebenarnya justru hendak
bertanya," ucapnya setenang mungkin.
Kini giliran keenam ketua perkumpulan pengemis
yang saling pandang. Kening mereka berkerut dan ma-
ta mereka menyipit Pengemis Tempurung Sakti masih
mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Weh, bagaimana ini" Kami pikir kalianlah yang
telah tahu. Tapi mengapa kalian seperti menuduh ka-
mi?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hm.... Bagaimana kalau kita tanyakan pada Ki
Kenjono" Rupanya si Pedang Iblis juga datang," usul Untara.
"Ya, sebaiknya kita tanyakan padanya?" sambut Pengemis Tempurung Sakti.
Pengemis Tempurung Sakti dan Untara bangkit,
kemudian keduanya mendekati meja di sampingnya, di
mana lelaki berpakaian rompi hitam dengan rambut
panjang yang- dibiarkan terlepas tengah menyantap makanannya.
"Oh, nikmat sekali kau makan, Ki?" tegur Pengemis Tempurung Sakti dengan tetap
membelai-belai jenggotnya yang putih.
Lelaki yang tengah makan itu menghentikan ma-
kannya. Kepalanya ditolehkan ke belakang.
"Ah, kukira siapa. Rupanya Pengemis Tempurung
Sakti dan Setan Rambut Api. Hm, apa kalian minta ku
bayari makan" Pesanlah...."
"Keparat!" maki Untara. "Aku menemuimu bukan untuk mengemis seperti Pengemis
Tempurung Sakti,
Kenjono!" "Setan alas! Kalian kira aku tak sanggup mem-
bayar makanan kalian!" dengus Pengemis Tempurung Sakti sengit, merasa dirinya
diremehkan sebagai gembel yang hanya bisa meminta-minta. "Kalau saja aku tidak
punya kepentingan untuk mengetahui hal yang
terjadi di sini, sudah kutampar mulut kalian!"
Ki Kenjono dan Untara saling pandang. Kemu-
dian keduanya tertawa tergelak-gelak, membuat Pen-
gemis Tempurung Sakti makin gusar. Hampir saja
Pengemis Tempurung Sakti yang keras kepala dan pe-
marah itu kembali membentak, kalau saja Untara ti-
dak mendahului.
"Aha, kuharap kau tidak mengumbar marah,
Pengemis Tempurung Sakti. Bukankah kita sama-
sama ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi
di sini?" Pengemis Tempurung Sakti menurut.
"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku?"
tanya Ki Kenjono kemudian.
"Begini, Ki Kenjono. Kami ingin tahu apa yang
terjadi di sini" Mengapa orang-orang berdatangan ke
tempat ini...?" tanya Untara.
"Weh weh weh.... Jadi kalian juga belum tahu?"
"Ya," sahut Pengemis Tempurung Sakti singkat.
"Aha, kalau begitu kita sama. Dan mungkin se-
mua orang yang datang di sini, sama-sama tidak tahu
apa yang mereka tuju. Tapi, bukankah kalian telah
mendapat kabar tentang Titisan Dewi Keberuntungan
yang ada di sekitar Kadipaten Wuwungan ini?" tanya
Ki Kenjono, "Ya," sahut Untara.
"Jadi mereka datang untuk mencari Titisan Dewi
Kwan Im?" tanya Pengemis Tempurung Sakti.
"Tepat!" jawab Ki Kenjono.
"Jadi Lembah Lamur ada di sekitar Kadipaten
Wuwungan ini?" tanya Untara.
"Mungkin, karena hampir semuanya berdatangan
ke tempat ini," sahut Ki Kenjono. "Ah, sudahlah. Aku harus makan dulu."
Tanpa menghiraukan kedua orang itu, Ki Kenjono
yang bersikap angkuh meneruskan makannya. Hal itu
membuat Pengemis Tempurung Sakti dan Untara sal-
ing pandang. Hampir saja mereka marah, kalau saja
mereka tidak ingat bahwa mereka sama-sama sealiran.
Meski begitu, keduanya agak jengkel juga menyaksi-
kan tingkah laku Ki Kenjono yang dianggap terlalu
angkuh. Lalu dengan memandang sinis, keduanya
kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Undani.
"Rupanya semuanya datang ke tempat ini dengan
tujuan yang sama," jawab Untara.
"Mencari Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Umbakara. Suaranya berusaha menegaskan.
"Ya!"
"Hm.... Kalau begitu, kita tidak boleh keduluan mereka," bisik Undani.
"Kita harus mendahului mereka."
"Benar, Kakang. Kita harus segera mencari Lem-
bah Lamur," sambut Umbakara.
"Ya! Kita harus secepatnya mendapatkan Titisan
Dewi Kwan Im itu. Ayo...," ajak Untara berbisik sambil bangkit dari bangkunya,
diikuti oleh kedua adiknya.
*** Pengemis Tempurung Sakti terkekeh, menyaksi-
kan Tiga Setan Rambut Api pergi meninggalkan kedai.
Tampaknya Pengemis Tempurung Sakti dan lima ketua
perkumpulan pengemis membiarkan mereka pergi le-
bih dahulu untuk mencari Titisan Dewi Kwan Im.
"He he he...! Mereka kira akan mudah untuk
mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," seloroh Pengemis Tempurung Sakti. Tangannya
membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
"Ketua, apakah tidak sebaiknya kita susul mere-
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka?" tanya Jalantra, yang merupakan Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan.
"Benar, Ketua. Apakah tidak sebaiknya kita me-
nyusul mereka" Aku takut mereka akan mendahului
kita," tambah Gandrana.
Pengemis Tempurung Sakti menggeleng-
gelengkan kepala sambil tersenyum. Tangannya kem-
bali membelai-belai jenggotnya yang panjang dan ber-
warna putih. "Biarkan saja mereka mendahului. Apakah kalian
kira mereka akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im
yang cantik menjadi istri mereka" Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa
terbahak-bahak, diikuti
oleh kelima ketua pengemis lainnya. Hal itu membuat
para pendekar yang ada di tempat itu memandang me-
reka. Tidak terkecuali Ki Kenjono.
"Pengemis butut! Mengapa kalian mesti tertawa-
tawa"!" bentak Ki Kenjono kesal. Matanya mendelik lebar, memperlihatkan warna
merah bagai gejolak api.
"Iblis bau comberan! Apa hakmu menghentikan
tawa kami!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara.
"Sontoloyo! Kalianlah yang bau kentut! Huh...!"
balas Ki Kenjono tak mau kalah. Kemudian dia mene-
ruskan makannya, tanpa menghiraukan keenam pen-
gemis yang masih menatapnya dengan jengkel.
"Rupanya orang itu perlu dihajar, Ketua," kata Gandrana.
"Aha, memang mulutnya yang busuk itu perlu
dihajar," jawab Pengemis Tempurung Sakti, membuat Ki Kenjono tersentak.
Dengan wajah bengis, Ki Kenjono bangun dari
tempat duduknya. Matanya yang tajam penuh amarah
menantang keenam pengemis yang masih tertawa-
tawa. "Pengemis butut! Rupanya kalian di mana pun selalu menyebalkan! Kalian
harus diajar adat!" maki Ki Kenjono seraya mendengus marah.
"Aha, seharusnya kaulah yang harus diajar adat, Kenjono!" balas Pengemis
Tempurung Sakti.
"Bedebah! Kuhajar kau, Pengemis Butut!
Yeaaa...!"
Srrrt! Ki Kenjono mengeluarkan pedangnya, kemudian
dengan penuh amarah tubuhnya melesat ke arah Pen-
gemis Tempurung Sakti. Namun dengan cepat, Gan-
drana telah menghadangnya dengan membabatkan
tongkat kayu hitam ke pedang lawan.
Trang! Kemarahan Ki Kenjono kian menggila ketika
mengetahui Gandrana memapaki serangannya. Ma-
tanya semakin berkilat tajam. Didahului pekikan
menggelegar, Ki Kenjono kembali membuka serangan
dengan babatan pedang ke arah Ketua Perkumpulan
Pengemis daerah timur itu.
"Yeaaa...!"
"Keluarkan semua ilmu pedang bututmu!" tantang Gandrana seraya mengelakkan
tebasan dan baba-
tan pedang lawan. Kemudian dengan cepat tangannya
menggerakkan tongkat kayu hitam. Seketika, tongkat
itu menjadi baling-baling, bergerak membentuk perisai sekaligus menjadi senjata
yang sangat berbahaya.
"Heaaa...!"
Wut, wut! Tring, trang...!
Dentingan beradunya dua senjata itu terdengar
susul-menyusul. Diikuti oleh gerakan keduanya yang
menyerang dan mengelak. Tangan kiri mereka yang ti-
dak memegang senjata tak mau diam, turut bergerak
menyerang dan menangkis dengan kebutan-
kebutannya. "Beri dia pelajaran, Gandrana!" seru Pengemis Tempurung Sakti sambil terus
memperhatikan jalan-nya pertarungan antara anggotanya yang memegang
pimpinan di wilayah timur melawan Kejono. Kemudian
Pengemis Tempurung Sakti tertawa bergelak-gelak, di-
ikuti oleh empat anggotanya yang lain.
Ki Kenjono semakin marah karena ditertawakan
oleh para pengemis. Serangannya semakin diting-
katkan. Pedangnya bergerak kian cepat, membabat
dan menusuk ke tubuh lawannya.
"Yeaaah...!"
Ki Kenjono benar-benar bernafsu untuk secepat-
nya menjatuhkan lawan. Pedangnya bergerak semakin
cepat, tidak ubahnya baling-baling maut yang setiap
saat dapat merenggut nyawa lawannya.
Menyaksikan serangan lawan yang cepat dan
mematikan, tidak membuat Gandrana gentar. Justru
dengan serangan lawan seperti itu, dia semakin mudah melihat kelemahan-kelemahan
serangan yang dilancarkan lawannya.
Dengan sedikit berkelit, Gandrana mampu men-
gelakkan serangan lawan yang dirasuki amarah. Ke-
mudian dengan cepat, balas menyerang dengan tidak
kalah gencar. Tongkat kayu hitam di tangannya me-
mukul dan menusuk lawan secara bertubi-tubi.
"Yeaaat..!"
Wut, wut..! Tongkat kayu hitam di tangan Gandrana kini ti-
dak ubahnya sebilah pedang tajam yang terbuat dari
logam pilihan. Angin serangannya menimbulkan deru
yang dahsyat menghambur ke arah lawan.
"Uts...! Setan!" maki Ki Kenjono kaget, mendapatkan serangan balik yang tidak
diduganya. Kalau sa-ja tidak cepat-cepat mengelak, tentu tubuhnya akan
menjadi korban dari sabetan dan tusukan tongkat
kayu hitam di tangan lawannya.
"Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan
Gandrana mampu mendesak Ki Kenjono. Hal itu membuktikan kalau
Perkumpulan Pengemis bukanlah perkumpulan yang
rendah, namun harus diperhitungkan di rimba persila-
tan. Serangan yang dilancarkan oleh Gandrana sema-
kin membuat Ki Kenjono kewalahan. Nampaknya ilmu
pedang yang selama ini dirasa cukup tangguh, tiada
arti sama sekali menghadapi jurus-jurus 'Tongkat
Kayu Hitam' yang dilancarkan Gandrana. Bahkan be-
berapa kali, Ki Kenjono hampir kecolongan oleh sabe-
tan-sabetan tongkat itu.
Kelima pengemis yang lain tertawa riuh rendah
menyaksikan bagaimana Ki Kenjono atau lebih dikenal
dengan sebutan Pedang Iblis, kini mengalami ketegan-
gan. Wajahnya pucat pasti, menyadari serangan-
serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran.
Bahkan kini dia yang terdesak oleh lawan.
"Percuma mulutmu besar, Kenjono! Kalau ilmu-
mu hanya kelas pasaran...! Ha ha ha...!" seru Pengemis Tempurung Sakti diikuti
oleh gelak tawa.
Ucapan itu tentu saja membuat Ki Kenjono ber-
tambah marah. Namun menyadari kedudukannya saat
itu, Ki Kenjono tak mampu berbuat apa-apa. Jangan-
kan untuk melawan Pengemis Tempurung Sakti, me-
lawan anak buahnya saja dia sudah terdesak.
"Huh...! Memang aku saat ini kalah! Tapi setelah aku mendapatkan Titisan Dewi
Kwan Im, kepala kalian
akan kupenggal satu persatu!"
Usai berkata demikian, tanpa rasa malu sedikit
pun Ki Kenjono segera melesat ke belakang. Kemudian
dengan cepat meninggalkan kedai. Hal itu semakin
membuat gerombolan pengemis itu tertawa bergelak-
gelak. "Ha ha ha...!"
"Kalian lihat sendiri, bagaimana Perkumpulan
Pengemis kini bukan kumpulan orang gembel. Per-
kumpulan Pengemis kini menjadi perkumpulan yang
akan disegani oleh para pendekar rimba persilatan!
Tak akan ada yang berani mencari penyakit dengan
Perkumpulan Pengemis...," kata Pengemis Tempurung Sakti. Nadanya agak pongah dan
sombong. Seakan-akan hanya dia dan anak buahnya saja yang memiliki
ilmu tinggi. Selesai berkata begitu, Pengemis Tempurung
Sakti segera mengajak kelima anak buahnya berlalu
meninggalkan kedai.
"Pengemis gembel sombong...!" dengus para pendekar. Kesal juga mereka dengan
tingkah laku dan ke-
sombongan para pengemis itu. Terlebih pada Pengemis
Tempurung Sakti. Kalau saja mereka memiliki ilmu
yang tinggi, tentunya mereka akan melabrak para pen-
gemis itu. Sepeninggal Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono,
dan para pengemis, kedai kembali tenang. Bahkan kini satu persatu para pendekar
meninggalkannya, untuk
meneruskan mencari Titisan Dewi Kwan Im yang me-
reka dengar berada di Lembah Lamur.
2 Angin malam yang dingin berhembus kencang,
menerobos belukar, pucuk pepohonan dan rerumpu-
tan. Semak alang-alang merunduk-runduk tanpa daya,
ditampar derasnya angin.
Di saat suasana malam seperti ini, tampak seo-
rang pemuda berwajah tampan dengan pakaian rompi
kulit ular, tengah menyelusuri jalan yang gelap dan
sepi. Seakan-akan pemuda tampan itu tak peduli den-
gan keadaan cuaca yang tak ramah. Wajahnya tampak
menunduk penuh penyesalan.
Pemuda yang tak lain Sena atau Pendekar Gila
itu baru saja berkunjung ke Perguruan Bintang Emas
untuk membuktikan kebenaran cerita tentang kema-
tian Dewi Pandagu. Sesampainya di sana, berita yang
disampaikan dua lelaki di kedai itu ternyata benar.
Dewi Pandagu, wanita cantik yang telah membuatnya
hanyut dalam arus asmara, telah tewas.
Hati Pendekar Gila remuk redam menyaksikan
mayat Dewi Pandagu. Belum lagi peristiwa penculikan
Mei Lie yang diculik entah oleh siapa. Lelaki yang men-culik Mei Lie sangat
misterius. Datang begitu cepat
dengan pakaian yang sama dengan pakaian Kauw Cien
Lung (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gi-la dalam episode "Singa
Jantan dari Cina").
Kalau saja saat itu Sena tidak tengah bertarung
dengan Kauw Cien Lung, tentunya dia akan mengejar
lelaki misterius itu.
"Setan!" maki Sena kesal. Kakinya menendang
sebuah batu kecil yang ada di depannya.
Wut! Batu itu melesat jauh, bagai dilempar dengan ke-
kuatan penuh. Sena menghela napas. Matanya menyapu ke se-
kelilingnya yang sepi dan senyap. Sebuah lembah yang dikepung perbukitan, dengan
angin yang bertiup kencang laksana hembusan napas beribu mambang ma-
lam. "Huk huk huuuk...!"
Samar-samar telinga Sena menangkap suara
aneh itu. Bulu kuduknya meremang. Langkahnya se-
ketika terhenti. Matanya menyapu ke sekelilingnya
dengan tajam, berusaha mencari asal suara menye-
ramkan yang baru saja didengarnya.
"Huk huk huuuk...!"
Suara itu kembali terdengar. Suaranya persis se-
perti suara burung hantu. Namun Sena merasa yakin
kalau itu bukan suara burung hantu. Dia telah biasa bergelut dengan kegelapan
malam di dalam hutan. Sedikit banyak, telinganya telah akrab dengan suara burung
hantu yang sebenarnya.
"Suara apa itu...?" desis Sena. Suaranya agak ke-lu, karena perasaannya
tercekam. Bulu kuduknya me-
remang kembali.
Meski ketegangan menyelimuti jiwanya, namun
entah mengapa Sena tetap berdiri di situ. Matanya masih mengamati dalam remang
cahaya bulan. Seper-
tinya, Sena ingin menyaksikan apa yang akan terjadi di hadapannya dan meyakinkan
suara yang baru saja didengarnya.
Ketika mata Sena menyapu tempat itu, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan putih. Begitu cepatnya
bayangan itu berkelebat, sampai-sampai tubuh Sena
tersentak. "Hei, siapa dia?" tanyanya pada diri sendiri. Kemudian tanpa banyak kata lagi,
tubuhnya melesat ce-
pat untuk mengejar bayangan putih yang sempat dili-
hatnya sekilas.
Bayangan putih itu berkelebat ke arah bukit di
sebelah selatan, kemudian menghilang di balik bukit
"Berhenti...!" seru Sena sambil terus berlari. Namun bayangan putih itu rupanya
telah lebih dahulu
menghilang. Karena begitu cepatnya menghilang, sam-
pai Sena tak mampu mengejarnya.
"Edan!" umpat Sena jengkel. Pandangannya dis-apukan ke sekeliling tempat itu.
Namun tetap saja tidak ditemukan siapa pun di tempat itu. Padahal dia
yakin kalau bayangan putih itu berlari ke tempatnya
kini berdiri. Kalau bersembunyi rasanya tidak mung-
kin. Di sekeliling tempat itu tak ada sesuatu pun yang bisa digunakan untuk
bersembunyi. Sena mengerutkan kening. Matanya masih men-
gamati sekitarnya yang semakin mencekam. Bulu ku-
duknya lagi-lagi meremang, setelah dia tidak berhasil menemukan bayangan putih
tadi. "Huk huk huuuk...!"
Suara menyeramkan itu kembali terdengar. Se-
pertinya suara itu ada di dekatnya. Sena menajamkan
telinga dan matanya, berusaha meyakinkan dari mana
asal suara menyeramkan itu.
"Hm.... Aku yakin bukan hantu. Jelas sekali itu suara manusia," desis Sena. Tapi
matanya belum juga menemukan tanda-tanda kalau bayangan putih itu
akan muncul kembali.
Angin lembah semakin keras berhembus, mem-
bawa hawa dingin yang terasa menggigit. Dikawal oleh suara menyeramkan yang
kembali terdengar.
"Aku harus hati-hati. Mungkin orang itu memiliki ilmu yang tinggi," gumam Sena
dengan mata berkilat
penuh kewaspadaan.
Wusss! Angin semakin berhembus kencang, bertemu di
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah-tengah lembah, kemudian bergulung-gulung
membentuk pusaran yang besar dan kencang.
"Uh!"
Sena tersentak kaget. Dengan mata membelalak,
berusaha dihindarinya pusaran angin yang besar itu.
Tubuhnya melompat ke belakang dan bersalto dengan
cepat. Namun pusaran angin itu seperti mengerti kalau lawannya berusaha
mengelak. Angin itu terus bergulung ke arah Sena mengelak.
Wut! "Edan!" maki Sena kaget menyaksikan pusaran angin itu ternyata mengejarnya.
Seakan-akan angin itu memiliki mata. "Kurang ajar! Ini bukan main-main!"
Wusss...! Pusaran angin itu terus mengejar tubuh Pende-
kar Gila, memaksanya bersalto untuk mengelakkan se-
rangan angin besar itu. Walau begitu, hampir saja tubuhnya dapat dihantam
pusaran angin itu.
"Auh...! Kurang ajar! Hampir saja aku kena!" ma-ki Sena sambil terus melenting
kian kemari. Bahkan
kini dia harus menggunakan ilmu peringan tubuh
'Panca Guna' warisan Singo Edan.
Dengan menggunakan ilmu 'Panca Guna', kini
tubuhnya dapat bergerak dengan ringan tanpa men-
ginjak tanah. Tubuhnya bagaikan tak memiliki beban
sedikit pun, tidak ubahnya sehelai bulu yang menari di atas angin.
"Aku harus dapat memecahkan pusaran angin
ini," desis Sena sambil terus mengelitkan sambaran-sambaran pusaran angin yang
keras dan terus mem-
buru. "Heaaa...!"
Tubuh Sena melesat beberapa tombak ke bela-
kang. Kemudian dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Mengaduk Samudera', Pendekar Gila kembali melesat.
Kini dia bertekad menerobos pusaran angin kencang
itu. Tangannya disilangkan di depan, dengan jari-jari membentuk cengkeraman.
Kemudian kedua tangannya
digerakkan seperti mengaduk-aduk samudera.
Wut..! Angin pusaran itu terus memburu maju, siap
menelan tubuh Pendekar Gila yang melesat maju lak-
sana elang dengan kedua tangan siap mengaduk-aduk.
"Yeaaa...!"
Blasss! Tubuh Sena menyeruak ke dalam rongga pusa-
ran angin itu. Tangannya terus bergerak, mengaduk-
aduk pusaran angin yang telah menelan tubuhnya.
Namun pusaran angin itu bagai tak mengalami apa-
apa. Malah semakin keras Pendekar Gila berusaha
menghancurkan, semakin keras pula tubuhnya digu-
lung. "Celaka!" pekik Sena dengan mata membelalak tegang, menyadari kalau semua
pukulannya tak berarti sama sekali. "Oh! Napas ku terasa sesak sekali.
Sepertinya, angin ini menyerap seluruh tenagaku."
Sena kini merasakan otot di persendiannya bagai
direjam. Tubuhnya terus bergulung, mengikuti pusa-
ran angin itu. Namun dia tak mau mengalah begitu sa-
ja. Terus diserangnya pusaran angin itu. Pukulan saktinya segera dikerahkan.
"Pukulan 'Inti Bayu'. Yeaaah...!"
Pukulan 'Inti Bayu' merupakan ajian yang mam-
pu mengeluarkan angin deras dan besar. Bahkan
mampu menerbangkan pohon raksasa sekalipun.
Wusss! Angin bertemu dengan angin. Keduanya berusa-
ha saling mengalahkan. Namun pukulan 'Inti Bayu'
yang dikerahkan Pendekar Gila ternyata tak mampu
menghancurkan pusaran angin itu. Sena semakin ter-
jepit. Nafasnya kian terasa sesak dan tersengal-sengal.
"Celaka! Pukulanku tak berarti...!" rintih Sena.
Pendekar Gila merasakan tulang-tulangnya bagai
remuk, dihimpit dan digulung oleh pusaran angin itu.
Dan tubuhnya terpontang-panting di dalamnya.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" tanya Sena setengah mengeluh. "Ku coba dengan
'Inti Api'. Yeaaah...!"
Tangan Pendekar Gila kini merah membara. Ke-
mudian, nampaklah api melesat ketika Pendekar Gila
menghantamkan tangannya ke arah pusaran angin itu.
Wusss! Dap, dap, dap...!
Api yang meluncur dari tangan Pendekar Gila,
padam seketika. Sepertinya, api yang kekuatannya se-
ratus kali dari api biasa, tak ada gunanya sama sekali.
Pusaran angin itu semakin keras menghimpit tu-
buh Pendekar Gila. Membuatnya kian menderita aki-
bat himpitan itu. Namun begitu, pantang baginya un-
tuk mengalah atau pasrah. Dicabutnya Suling Naga
Sakti. Kemudian dengan meringis menahan sakit, mu-
lutnya segera meniup Suling Naga Sakti.
"Tuiiit, tuiiit..!"
Alunan Suling Naga Sakti tercipta. Mulanya me-
lantun lembut, namun semakin lama semakin me-
lengking keras. Dari kedua mata di kepala naga pada
pangkal suling itu, melesat selarik sinar merah ke pusaran angin.
Wusss! Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya
sambil memutarkan arah mata naga di suling itu ke
sekelilingnya, membuat larikan-larikan sinar dari mata naga laksana memotong
pusaran angin itu.
Wusss, wusss...!
Pusaran angin itu semakin lama semakin pelan.
Sampai akhirnya hilang sama sekali. Tubuh Pendekar
Gila terpelanting, lalu jatuh terduduk.
"Hilang...!" seru Sena dengan mata membelalak, menyaksikan pusaran angin itu
hilang dengan sendi-rinya, seakan raib begitu saja. Bahkan angin lembah
yang semula kencang, kini turut menghilang.
Sena masih belum mengerti apa yang sebenarnya
telah terjadi di lembah itu. Juga dengan hilangnya angin yang membentuk pusaran,
serta angin lembah
yang tiba-tiba mereda. Tapi suara menyeramkan yang
didengarnya tadi justru terdengar lagi.
"Huk huk huuuk...!"
Sena seketika tersentak. Matanya menyapu ke
sekelilingnya yang sepi dan mencekam untuk mencari
asal suara yang didengarnya.
"Hm.... Tentunya suara itu sebagai tanda suara
pertama," gumam Sena. Dongkol juga Sena mengha-
dapi semuanya. Belum lagi rasa dukanya hilang kare-
na kematian dan penculikan orang-orang yang dicintai, kini harus pula menghadapi
hal aneh. Suling Naga Sakti diselipkannya di pinggang. La-
lu tubuhnya tak bergeming, menunggu setiap ke-
mungkinan yang bakal terjadi.
"Huk huk huuuk...!"
"Keluarlah! Apa pun wujud mu, aku tak akan la-
ri!" bentak Sena, yang semakin dibuat jengkel oleh suara itu. Hatinya yang
sedang diliputi duka dan sedih, menjadi marah.
Wusss! Kembali terdengar suara angin bertiup keras,
mengejutkan Pendekar Gila. Seketika tubuhnya berba-
lik, lalu memandang arah datangnya suara itu.
Mata Pendekar Gila membelalak. Mulutnya tern-
ganga tanpa sadar, ketika menyaksikan sosok besar
yang berada tiga tombak di hadapannya. Sosok menye-
ramkan yang tingginya melebihi bukit, dengan tubuh
sebatas perut ke bawah diliputi oleh asap tebal ber-
warna gelap. "Oh...! Makhluk apa itu"!" seru Sena dengan ma-ta masih membelalak dan mulut
ternganga. Makhluk itu menyerupai monyet, namun telin-
ganya panjang dengan ujung meruncing. Di kepalanya,
terdapat tanduk yang berkilat tajam dan runcing. Mata makhluk itu besar,
berwarna merah membara laksana
api. Lidahnya juga merah, menjulur panjang. Dengus
nafasnya terdengar keras. Tubuhnya dipenuhi bulu hi-
tam kemerah-merahan. Kuku-kukunya panjang dan
runcing. "Hogm...!"
Makhluk menyeramkan itu mengeluarkan sua-
ranya yang memekakkan telinga.
Kaki Sena melangkah mundur dengan mata ma-
sih memandangi makhluk menyeramkan yang keliha-
tannya siap melakukan serangan terhadapnya.
"Hm.... Apa lagi yang akan terjadi?" gumam Sena sambil terus melangkah mundur.
Dia telah waspada
penuh untuk mengelak, sekaligus membalas serangan
yang akan dilakukan makhluk menyeramkan itu.
Makhluk tinggi besar menyeramkan itu kini me-
nyerang ke arah Pendekar Gila. Sepasang tangannya
yang besar berkuku panjang dan runcing, menyambar
cepat. Sedang dari mulutnya tersembur api yang besar, siap membakar tubuh
Pendekar Gila. Wosss! "Uts!"
Sena segera melenting ke samping dengan bersal-
to beberapa kali untuk mengelakkan sambaran tangan
makhluk menyeramkan itu. Lalu dengan cepat pula,
tubuh Pendekar Gila melesat ke arah makhluk menye-
ramkan itu. Pukulan tenaga dalamnya dikerahkan un-
tuk menghantam wajah makhluk itu.
"Heaaa...!"
Makhluk menyeramkan itu tidak mengelak, sea-
kan membiarkan pukulan tenaga dalam Pendekar Gila
menghantam tubuhnya.
Desss! Mata Pendekar Gila membelalak dengan mulut
menganga mendapatkan kenyataan yang sulit diper-
caya. Pukulan saktinya bagai menghantam angin. Saat
itu pula tangan makhluk menyeramkan itu menyam-
bar ke arah tubuhnya.
Wut! "Uh!"
Beruntung Pendekar Gila masih memiliki kewas-
padaan tajam, sehingga mampu berkelit dari sambaran
tangan makhluk itu. Tubuhnya melenting ke belakang,
bersalto di udara beberapa kali, sebelum kakinya mendarat di tanah dengan
ringan. Matanya memandang ta-
jam pada makhluk menyeramkan yang ada di hada-
pannya, seakan tak percaya pada apa yang telah di-
alami. Wusss! Api membara kembali keluar dari mulut makhluk
menyeramkan itu, menyambar ke arah tubuh Pende-
kar Gila. Sementara, Sena segera membuang tubuhnya
dengan bersalto ke samping, kemudian dengan cepat
balas menyerang.
"Yeaaah!"
Tubuh Pendekar Gila yang sangat kecil diban-
dingkan makhluk menyeramkan itu, melesat cepat
laksana terbang. Tangan kanannya mengepal. Sedang-
kan tangan kirinya diletakkan di depan dada. Lalu
dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Gila me-
lontarkan pukulan saktinya.
"Yeaaa!"
Wut..! Untuk yang kedua kalinya Pendekar Gila tersen-
tak kaget mendapatkan pukulannya tak berarti apa-
apa. Makhluk menyeramkan itu bahkan dengan cepat
membalas. Tangannya menyambar ke tubuh Pendekar
Gila. Plak! "Ukh!" keluh Sena. Tubuhnya terpelanting ke belakang akibat hantaman tangan
makhluk menyeram-
kan itu. Saat itu pula rasa panas menyengat tubuh-
nya. Pendekar Gila meringis, merasakan sakit pada
tubuhnya. Segera dia bangkit sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian kakinya ditarik ke samping setengah menekuk dan tangannya
menghantam ke depan. Itulah jurus 'Tamparan Sukma'. Dengan menggunakan
jurus itu, Pendekar Gila berharap dapat mengalahkan
makhluk menyeramkan itu.
Tubuh Pendekar Gila kembali melesat laksana
terbang. Kemudian tangan kirinya melakukan tampa-
ran ke wajah makhluk menyeramkan yang telah di-
jangkaunya. Blak! "Aaarghhh...!"
Makhluk menyeramkan itu meraung keras, men-
dapat tamparan yang dirasakan hantaman ribuan hali-
lintar yang menggelegar. Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan
sangat lemah dan pelan.
Bahkan dilakukan dengan mata terpejam serta hanya
mengandalkan kekuatan jiwanya. Namun hasilnya
sangat dahsyat Makhluk menyeramkan itu meraung-
raung kesakitan. Kemudian tubuhnya perlahan-lahan
menghilang, berganti dengan kabut tebal yang terbang
bersama angin. "Hhh...," Sena menghela napas panjang. Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya.
"Pendekar Gila, saat ini kau menang! Tapi tunggu pembalasanku...!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang
mengancam Pendekar Gila, sehingga membuatnya ter-
sentak. "Hei, siapa itu! Tunjukkan wujud mu!" bentak Sena. Tapi tak ada sahutan. Lembah
itu kembali sepi, diselimuti kegelapan yang bisu.
Sena menghela napas. Pandangan matanya bere-
dar ke sekeliling tempat itu. Kemudian setelah yakin tak ada apa-apa lagi,
tubuhnya melesat meninggalkan
tempat itu untuk mencari Mei Lie.
3 Kabut tebal menyelimuti sebuah bangunan besar
dan megah yang menyerupai candi. Bangunan tua itu
adalah istana gaib tempat Dewi Pemuja Setan. Bangu-
nan itu berada di dalam gumpalan kabut tebal. Mem-
buat orang persilatan sulit untuk menemukannya.
Di dalam istana, tepatnya di dalam sebuah ruang
kamar yang semuanya berwarna putih, nampak Dewi
Pemuja Setan tengah duduk bersila. Di hadapannya
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdapat dupa yang mengepulkan asap. Di sisi dupa,
terdapat kembang tujuh warna.
Dewi Pemuja Setan memandang ke tempat tidur
yang berwarna putih, dengan kelambu terbuat dari su-
tera putih. Di atas tempat tidur, tergeletak sesosok gadis cantik. Gadis itu
berkulit kuning langsat, dengan rambut digelung dua di atas kepala. Berbaju
putih len- gan panjang, serta bibir tipis dan hidung tidak begitu mancung. Ternyata dia
adalah Mei Lie.
Dewi Pemuja Setan yang setiap kehadirannya se-
nantiasa didahului oleh kabut tebal, nampak berparas cantik jelita. Berbaju
putih seperti jubah, dengan ikat pinggang merah. Rambutnya terurai panjang dan
ber-gelombang. Di kepalanya terdapat sebuah ikat kepala
dengan hiasan tengkorak manusia.
"Hm...," Dewi Pemuja Setan bergumam tidak jelas. "Singo Edan, kali ini kau akan
mendapatkan balasanku! Begitu juga dengan muridmu!"
Dewi Pemuja Setan memejamkan mata. Mulutnya
komat kamit membaca mantera. Tangannya berside-
kap di depan dada. Asap dupa semakin mengepul.
Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Pemuja Setan ter-
getar hebat. "Mei Lie...!" panggilnya lirih.
"Uh," Mei Lie mengeluh.
"Bangunlah, Mei Lie! Bangunlah dari ragamu!"
Roh Mei Lie menurut untuk bangun. Nampak
samar-samar sebuah bayangan keluar dari tubuh Mei
Lie lalu berdiri di hadapan Dewi Pemuja Setan yang
duduk bersila. "Ada apa Sri Ratu memanggilku?" terdengar suara arwah Mei Lie bertanya.
"Tugas untukmu! Bunuh orang yang kini hendak
ke Lembah Lamur!" perintah Dewi Pemuja Setan.
"Baik, Sri Ratu," jawab roh Mei Lie.
"Berangkatlah. Aku akan mengiringi mu dengan
Kabut Iblis! Kita harus bisa membuat semua orang
persilatan membuka mata! Ha ha ha...!" Dewi Pemuja Setan tertawa terbahak-bahak.
Roh Mei Lie melayang keluar, meninggalkan ka-
marnya diikuti oleh Dewi Pemuja Setan yang masih
tertawa terbahak-bahak.
*** Siang itu Lembah Lamur sangat sepi. Angin ber-
tiup kencang, seakan-akan badai hendak datang. Ka-
but tebal menyelimuti sekeliling berubah. Membuat
suasana Lembah Lamur menjadi menyeramkan. Ca-
haya matahari yang memanggang, seakan tidak mam-
pu menembus ketebalan kabut yang menyelimuti lem-
bah itu. Seorang lelaki berlari-lari menuju Lembah Lamur
dari arah utara. Dilihat dari pakaian yang dikenakan serta pedang bergagang
tengkorak manusia kecil, tentunya lelaki itu tiada lain Ki Kenjono.
"He he he...!" Ki Kenjono tertawa tergelak-gelak.
"Rupanya mereka tidak tahu di mana Lembah Lamur berada. Ah, akulah yang paling
beruntung. Aku yang
bakal mendapatkan Dewi Kwan Im."
Ki Kenjono tersenyum-senyum seorang diri, me-
rasa kalau dirinya yang bakal mendapatkan Titisan
Dewi Kwan Im. "Akulah yang akan menjadi orang terhormat dan
tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun juga. Ha ha ha...!" Ki Kenjono kembali
tertawa sambil terus berlari menuju Lembah Lamur. Matanya terus menyapu ke
sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan kalau
hanya dia yang ada di tempat itu.
Saat Ki Kenjono tertawa-tawa sambil terus berlari
ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba dilihatnya seorang
gadis cantik jelita dengan senyum menawan tengah
berdiri memandang ke arahnya seperti mengundang Ki
Kenjono untuk mendekatinya.
Ki Kenjono seketika menghentikan larinya. Mu-
lutnya ternganga, menyaksikan seorang gadis cantik
jelita bak bidadari baru turun dari kahyangan berada di tengah lembah. Senyumnya
sangat mempesona,
membuat kecantikan gadis itu bagai tiada bandingan-
nya. Gadis itu berkulit kuning langsat dengan rambut digelung dua di atas
kepalanya. Matanya agak sipit.
Bibirnya tipis mungil. Hidungnya tidak terlalu man-
cung. Pakaian yang dikenakannya bergaya pakaian ga-
dis Cina, berlengan panjang dengan lebar di ujungnya dan berwarna putih. Panjang
pakaiannya sampai ke
mata kaki. "Oh! Mungkinkah dia Titisan Dewi Kwan Im?"
tanya Ki Kenjono dengan mata tidak berkedip, mema-
ku pandangannya ke arah gadis Cina yang cantik jeli-
ta. "Ya. Mungkin dialah Titisan Dewi Kwan Im."
Ki Kenjono masih terpana tanpa gerak, menyak-
sikan kecantikan gadis itu. Diusapnya kedua matanya
dengan tangan, berusaha meyakinkan penglihatannya.
Namun gadis cantik jelita itu tetap berdiri dengan ang-gun. Gadis cantik jelita
itu tersenyum mengundang.
Matanya yang indah mengerjap-ngerjap seperti mata
kelinci. Bibirnya merah merekah. Benar-benar tak ada cacat celanya.
Ki Kenjono membalas senyuman wanita cantik je-
lita itu. Kakinya melangkah pelan, berusaha meng-
hampiri wanita cantik jelita yang sebagian kakinya diselimuti kabut tebal,
sehingga tidak nampak dari lutut ke bawah.
"Sungguh beruntung aku. Rupanya akulah yang
akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," kata Ki Kenjono dengan senyum mengembang
di bibir. Kakinya melangkah setapak demi setapak menuju Lem-
bah Lamur yang tinggal beberapa tombak saja.
Kabut semakin tebal menyelimuti Lembah Lamur
yang kian mencekam. Meski terik matahari terasa me-
nyengat, namun sinarnya tiada berarti sama sekali,
terhalang gumpalan kabut pekat yang merambah lem-
bah. Ki Kenjono yang dalam kegembiraannya, tak lagi sempat berpikir panjang.
Langkah kakinya semakin
dipercepat. Dan ketika dia masuk ke dalam kabut itu, seketika dirasakannya
sesuatu yang lain.
"Oh, di mana aku" Di mana gadis Titisan Dewi
Kwan Im itu?" gumam Ki Kenjono kebingungan. Matanya menyapu ke sekelilingnya
yang terasa asing. Gadis cantik yang dilihatnya tadi kini tak ada lagi. Matanya
hanya menangkap hutan belantara yang masih
perawan, belum pernah dijamah tangan manusia.
"Mengapa aku ada di sini...?" tanya Ki Kenjono terheran-heran, masih belum
mengerti mengapa tiba-tiba dia telah berada di tempat yang asing. Padahal dia
tadi berada di lembah tanpa satu pun pepohonan.
Yang ada hanya perbukitan yang mengelilingi lembah
tersebut. "Hik hik hik...!"
Terdengar tawa terkikik yang menyeramkan. Su-
ara tawa seorang wanita yang membuat bulu kuduk Ki
Kenjono meremang hebat. Meski dari aliran sesat, na-
mun selama ini baru didengarnya tawa wanita yang
mengikik seperti itu.
Mata Ki Kenjono membelalak tegang dan menya-
pu ke sekelilingnya dengan perasaan tercekam.
"Hik hik hik...!"
Tawa wanita itu kembali terdengar. Bergema di
sekelilingnya. Membuat Ki Kenjono kian tegang. Tan-
gannya kini bergerak ke gagang Pedang Iblisnya, ke-
mudian pedang itu ditarik dari sarungnya.
Ki Kenjono kini mempersiapkan Pedang Iblisnya
untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Ma-
tanya masih menyapu ke sekelilingnya yang asing. Su-
asana di tempat itu terasa kian memompa degup jan-
tungnya. Suara-suara aneh, terdengar susul-
menyusul. Bagaikan panggilan dari alam kematian.
"Hih!" Ki Kenjono mengibaskan tubuhnya ketika bulu kuduknya bertambah meremang.
Dan ketika kepalanya menengok ke belakang, seketika matanya
membelalak lebar hampir keluar. Cepat-cepat tubuh-
nya melompat ke belakang untuk mengelakkan samba-
ran tangan besar berbulu lebat menyeramkan.
"Hogrrrh...!"
Dengus napas makhluk itu sangat menyeramkan.
Apalagi tubuhnya yang tinggi besar, hitam, dan berbu-lu lebat. Matanya merah
membara laksana api neraka.
Taringnya mencuat keluar dari mulutnya, menghias
sudut-sudut bibirnya hingga tampak bertambah me-
nyeramkan. Di atas kepalanya mencuat pula sepasang
tanduk seruncing mata tombak. Meski wajahnya tam-
pak seperti kera, namun sulit sekali makhluk itu disebut hewan. Lebih tepat jika
disebut mambang atau
sejenisnya. "Uh, makhluk apakah ini?" keluh Ki Kenjono dengan mata masih membelalak,
menyaksikan makhluk menyeramkan yang berdiri sepuluh tombak di
depannya. "Hogrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kembali menggeram,
kemudian tangannya bergerak menyambar ke arah Ki
Kenjono. Angin sambarannya sangat keras, menyen-
takkan Ki Kenjono.
"Edan!" umpat Ki Kenjono sambil melompat mengelakkan sambaran tangan makhluk
menyeramkan itu. Kemudian dengan cepat, pedangnya dibabatkan.
Wut! Tepat sekali pedang di tangan Ki Kenjono mem-
babat tangan makhluk menyeramkan itu, namun pe-
dang itu bagai tak berarti. Makhluk menyeramkan itu
tidak luka sedikit pun. Bahkan nampak bertambah be-
ringas. "Edan! Benar-benar setan!" maki Ki Kenjono sambil menghindari sambaran tangan
makhluk yang sebagian tubuhnya terbungkus kabut tebal. Yang tam-
pak hanya bagian perut hingga kepalanya saja.
Ki Kenjono terus bersalto, berusaha mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan makhluk menye-
ramkan yang berwajah kera, namun memiliki taring
dan tanduk. Dengus napas makhluk itu laksana angin
kencang yang menyapu tubuh Ki Kenjono.
"Uts! Ilmu sihir!" umpat Ki Kenjono setelah beberapa kali menyabetkan pedang ke
tubuh makhluk itu,
namun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Pedangnya
laksana membabat angin belaka. Hal itulah yang
membuat dia merasa yakin kalau makhluk menyeram-
kan itu tak lain hanya ciptaan dari ilmu sihir.
Tangan makhluk menyeramkan itu kini mencoba
mencengkeram tubuh Ki Kenjono. Namun Ki Kenjono
terus berkelit dengan melepas pukulan saktinya.
Wesss! Selarik sinar terbersit keluar dari telapak tangan
Ki Kenjono, lalu menghantam tubuh makhluk menye-
ramkan itu. Namun tetap saja makhluk itu tidak men-
galami apa-apa. Malah wajahnya semakin garang be-
rapi-api. Tangannya bergantian menyabet tubuh Ki
Kenjono, membuat lelaki itu kewalahan.
"Gila! Bisa-bisa tenagaku habis!" rutuk Ki Kenjono. Keringat semakin membasahi
pakaiannya. Puku-
lan-pukulan sakti yang dihantamkan ke arah makhluk
menyeramkan itu rupanya telah menguras tenaga da-
lamnya. Tapi makhluk menyeramkan itu bagai karang
kokoh yang tak bergeming ditampar ombak.
"Hogrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kini menyerang den-
gan kuku-kukunya yang hitam dan panjang. Menceng-
keram ke arah Ki Kenjono yang semakin kewalahan.
"Uts!"
Beberapa kali Ki Kenjono dibuat pontang-panting
ke sana kemari untuk mengelakkan sambaran-
sambaran tangan makhluk itu. Pedang Iblis di tangan-
nya tak berarti sama sekali. Makhluk itu semakin ga-
nas dan menyerang dengan membabi-buta. Geraman-
geramannya membuat suasana di sekitar tempat itu
menjadi bergetar.
*** "Hik hik hik...!".
Pada saat nyawanya dihadapkan pada gerbang
kematian, Ki Kenjono kembali mendengar suara tawa
wanita yang ganjil tadi. Tawa melengking itu mengge-
ma di sekelilingnya. Bersamaan dengan itu berkelebat sebuah bayangan putih.
"Dewi Kwan Im!" seru Ki Kenjono dengan mata membelalak, menyaksikan sosok wanita
cantik berkelebat ke arahnya. Di tangan wanita itu tergenggam sebilah pedang
yang memancarkan cahaya merah ke-
kuning-kuningan.
"Hik hik hik...!"
Wanita cantik jelita itu kembali tertawa-tawa. Pe-
dang di tangannya seketika berkelebat cepat, memba-
bat ke arah tubuh Ki Kenjono.
Cras! "Uhk! Aaakh...!" Ki Kenjono melolong panjang, tidak mampu mengelakkan serangan
yang dilancarkan
gadis cantik itu. Matanya membelalak lebar. Wajahnya kini tersayat hingga
mengucurkan darah. Sebuah luka
bekas babatan, menganga dari atas ke bawah wajah-
nya. Ki Kenjono seketika meregang, kemudian ambruk
tanpa nyawa. "Hik hik hik...!"
Wanita cantik itu kembali tertawa terkikik, lalu
dengan cepat tangannya mencengkeram tubuh Ki Ken-
jono. Bersamaan dengan itu, makhluk menyeramkan
yang tadi menyerang Ki Kenjono lenyap begitu saja.
Wanita cantik itu pun berkelebat sambil memba-
wa tubuh Ki Kenjono, dan menghilang dalam kegela-
pan hutan. Seketika itu juga, kabut bergulung dengan cepat. Berarak pergi,
membawa semua misteri yang
ada. Suasana Lembah Lamur kembali hening dan se-
pi, menyimpan sejuta tanda tanya. Kini keadaan nam-
pak kembali seperti semula. Sebuah lembah yang ger-
sang dan sepi. Dan debu-debunya beterbangan tersapu
angin. Mentari telah condong ke arah barat, menanda-
kan hari menjelang sore. Angin bertiup sepoi-sepoi, sehingga suasana di sekitar
tempat itu menjadi sejuk.
Saat itu, tiga orang laki-laki dengan pakaian In-
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia tampak melangkah menuju Lembah Lamur. Keti-
ganya berhidung mancung dengan kumis tebal melin-
tang. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki gemuk
berpakaian kulit kambing. Wajah pemimpin mereka
yang bernama Amal Meshk, nampak bengis. Cambang
bauk kasar menghiasi wajahnya. Alis mata dan bibir-
nya tebal. Lelaki gemuk itu sengaja datang dari daratan In-
dia. Dia adalah Ketua Perguruan Samarakasta, sebuah
perguruan besar di tanah India. Tentunya kedatangan
mereka berkaitan erat dengan berita tentang Titisan
Dewi Kwan Im. Di belakang lelaki gemuk itu, berjalan dua lelaki
bertubuh gempal. Wajah kedua lelaki ini pun dipenuhi cambang bauk yang kasar,
membuat kesan wajah mereka terlihat bengis pula. Pakaian keduanya juga ter-
buat dari kulit kambing berwarna belang. Di tangan
orang sebelah kin, tergenggam sebuah lambang dari
perguruan mereka dengan gambar seekor elang hitam.
"Masih jauhkah Lembah Lamur, Ketua?" tanya Rabindra, orang yang berjalan di
sebelah kanan belakang sang Ketua.
"Hm.... Kurasa tidak. Bukankah orang itu me-
nunjukkan di sekitar sini," guman sang Ketua yang bernama Amal Meshk atau Elang
Hitam. Matanya memandang ke depan, pada sebuah lembah yang mem-
bentang, sepi dan gersang. Di sana debu beterbangan
tertiup angin. Saat kaki mereka melangkah ke arah Lembah
Lamur, tiba-tiba angin bertiup kencang. Hal itu mem-
buat Amal Meshk dan anak buahnya tersentak. Mere-
ka membelalakkan mata, memandang kaget ke arah
Lembah Lamur. "Hei, lihat! Angin itu datangnya dari bukit! Ah, aneh sekali. Seakan ada yang
mendatangkan angin
itu!" seru Amal Meshk sambil melangkah mundur, berusaha menahan tubuhnya yang
gemuk dari sapuan
angin lembah yang kencang.
Wusss! Angin lembah semakin kencang, menderu-deru
ke arah mereka. Angin itu seperti sengaja ditujukan
kepada mereka, hingga hembusannya hanya ke arah
mereka saja. "Awas...! Jelas ini ada yang sengaja mengarahkan angin ke arah kita...!" seru
Amal Meshk, mengingatkan anak buahnya agar berhati-hati.
Wusss! "Celaka! Angin ini benar-benar bukan angin
alam! Angin ini sengaja dibuat oleh seseorang untuk
menghalangi niat kita...!" seru Amal Meshk. "Kajit Singh, cepat kau bertindak!"
Lelaki yang memegang panji segera bertindak.
Dengan teriakan yang menggelegar, Kajit Singh melesat
"Yeaaah...!"
Tangan Kajit Singh bergerak cepat, saling silang
dan kemudian mengibas. Dari gerakan tangannya, ke-
luar angin yang begitu cepat. Semakin cepat tangan
Kajit Singh bergerak, semakin cepat pula angin ber-
hembus. Perlahan-lahan angin yang menderu ke arah me-
reka dapat diatasi. Kini angin yang keluar dari tangan Kajit Singh, terus
menekan angin yang datangnya dari bukit. Pada saat itu, tiba-tiba berkelebat
sebuah bayangan putih. Begitu cepat bayangan itu berkelebat sampai-sampai mereka tidak
dapat melihat dengan
pasti bagaimana rupanya.
Kajit Singh tersentak kaget. Matanya membela-
lak. Dia berusaha menghindar, namun ternyata baba-
tan pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-
kuningan di tangan bayangan putih itu lebih cepat
membabat wajah Kajit Singh.
Cras! "Aaa...!"
Kajit Singh memekik keras. Tangannya seketika
menutupi wajahnya yang terbabat pedang. Darah de-
ras keluar membanjiri wajahnya. Sesaat tubuhnya me-
regang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Amal Meshk tersentak kaget, menyaksikan seo-
rang anak buahnya dapat dirobohkan oleh bayangan
putih yang belum jelas siapa orangnya.
"Kajit...!"
Amal Meshk hendak lari mendekati tubuh Kajit
Singh, namun angin kembali berhembus kencang.
"Angin keparat!" maid Amal Meshk marah. Dengan beringas, tangannya bergerak,
menyapu deru an-
gin yang menyerang ke arahnya. "Yeaaat...!"
Amal Meshk yang sudah marah tak lagi menghi-
raukan apa yang bakal terjadi. Tubuhnya terus berke-
lebat sambil menggerak-gerakkan tangan.
"Keluarlah kau! Hadapi Amal Meshk!" bentak Amal Meshk penuh kemarahan, menantang
bayangan putih yang tiba-tiba saja menjadi malaikat maut bagi Kajit Singh.
Wusss! Angin kembali menderu kencang. Pada saat itu,
sebuah sosok bayangan putih yang memegang pedang
bersinar merah kekuning-kuningan kembali muncul.
Bayangan itu berkelebat cepat, kemudian tangannya
bergerak membabatkan pedang ke arah Amal Meshk.
Amal Meshk tersentak. Tubuhnya menyurut
mundur, kemudian segera mengelakkan babatan pe-
dang itu. Tangannya dengan sigap mencabut senja-
tanya yang berbentuk cakar elang. Kemudian dengan
membuat jurus 'Elang Hitam Mengepak Sayap Men-
cengkeram Mangsa', Amal Meshk balas menyerang.
"Kau...!"
Amal Meshk terperanjat ketika melihat wajah
bayangan putih itu. Namun hanya itu yang keluar dari mulutnya. Matanya
membelalak, menyaksikan sinar
terang yang terpancar dari pedang dan tubuh bayan-
gan putih itu. Setelah itu, pedang bersinar merah kekuning-kuningan telah
menebas wajahnya.
"Aaa...!" Amal Meshk memekik. Di wajahnya
nampak sayatan pedang dari atas sampai ke bawah,
seakan membelah wajahnya. Matanya melotot tubuh-
nya mengejang sebelum ambruk tanpa nyawa. Begitu
juga dengan seorang anak buahnya yang lain.
Suasana Lembah Lamur kembali sepi, hanya ti-
upan angin yang menderu kencang dan sesosok
bayangan putih yang masih berada di lembah itu. Se-
dangkan ketiga orang India itu telah bergelimpangan
menjadi mayat "Hik hik hik...!"
Bayangan putih itu tertawa, lalu melesat dengan
membawa tiga tubuh yang menjadi korbannya. Kemu-
dian, menghilang dalam gulungan kabut yang tebal.
4 Sena Manggala tampak tengah melangkah me-
nyelusuri gelapnya malam dalam usaha mencari tem-
pat beristirahat. Seharian kakinya telah melangkah
untuk mencari berita tentang Mei Lie yang diculik entah oleh siapa. Namun sampai
sejauh itu, berita ten-
tang gadis itu belum juga didapatkan.
"Mei Lie, di manakah kau berada" Ah, telah jauh sekali aku berjalan mencarimu.
Bahkan entah di mana
aku kini berada. Mungkin aku telah sampai di perba-
tasan wilayah tengah dan timur," desis Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya tersenyum hampa.
Kaki Sena terus melangkah menyelusuri jalan,
sampai akhirnya dia tiba di dekat sebuah bangunan
tua. Malam telah larut dengan kegelapan yang menye-
limuti bumi. Udara terasa sangat dingin, menusuk tu-
lang sumsum. Kabut bergerak perlahan, melengkapi
kegelapan malam yang semakin mencekam.
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan dari kejauhan terdengar
mendirikan bulu kuduk yang mendengarnya. Namun
Sena tak menghiraukan. Dia malah tertawa cekikikan.
Tingkah lakunya seperti orang gila atau terlihat seperti kera kebingungan.
Bangunan tua menjulang tinggi dengan megah.
Meski dalam kegelapan, namun mata Sena mampu
melihat kemegahan bangunan itu.
Mata Sena menatap puncak bangunan sekaligus
menatap langit yang gelap. Malam itu tiada satu pun
bintang terlihat, terlebih bulan. Langit hanya dipadati oleh arakan mega
berwarna pekat "Hi hi hi.... Malam gelap. Ah..., gulita," gumam Sena sambil cengengesan dengan
tangan masih menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa tergelak-gelak.
Angin berhembus semakin dingin, dibarengi oleh
kabut yang kian mencekam.
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan terdengar sayup-sayup.
Sinar lidah petir berkilat, membuat suasana di sekeliling tempat itu untuk
sementara tenang. Saat itulah
matanya melihat sesosok tubuh berjalan terhuyung-
huyung. Nampak orang itu tengah terluka dalam.
"Hei, siapakah itu"!" tegur Sena setengah berteriak. "Hi hi hi.... Rupanya aku
tidak sendiri?"
Orang itu berkelebat cepat ketika mendengar te-
guran Sena. Hal itu membuat semakin membuat Sena
penasaran. "Lho, kenapa lari"! Eit, tunggu! Hi hi hi...!"
Sambil tertawa terkikik-kikik, Sena berkelebat
mengejar. Namun bayangan itu seketika menghilang
seakan raib begitu saja, membuat mata Pendekar Gila
membelalak. Tangannya kembali menggaruk-garuk
Lencana Pembunuh Naga 3 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Pahlawan Dan Kaisar 1
TITISAN DEWI KWAN IM oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Titisan Dewi Kwan Im
128 hal; 12 x 18 cm
1 Suasana pagi di Desa Tambak Rejo tampak ra-
mai. Tidak biasanya sepagi itu banyak orang berlalu la-lang. Kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang per-
silatan. Entah mengapa, Desa Tambak Rejo yang berjarak
sekitar sepuluh mil ke arah utara dari Lembah Lamur
sejak kemarin banyak didatangi orang-orang rimba
persilatan Tampak tiga lelaki melangkah beriringan. Mereka
mengenakan jubah berwarna merah darah. Rambut
yang berwarna merah dibiarkan terurai dengan ikat
kepala berwarna merah darah pula. Ketiga lelaki itu
berwajah jelek dengan hidung pesek dan mata besar.
Dagu mereka dihiasi cambang bauk serta kumis tebal.
Di tangan masing-masing tergenggam cambuk yang
bentuknya serupa. Ketiganya terkenal dengan julukan
Tiga Setan Rambut Api.
Tiga tokoh aliran hitam itu memiliki perawakan
yang hampir sama, berotot dengan tinggi sedang. Wa-
jah mereka garang, menunjukkan keangkuhan.
Yang tertua bernama Untara. Lelaki yang kedua
bernama Undani, dan yang terakhir bernama Umbaka-
ra. Mereka kini tengah melangkah menuju sebuah ke-
dai yang siang itu tampak ramai disinggahi para pen-
gunjung. "Kalian lihat, di sini banyak sekali orang persilatan," kata Untara. Matanya
mengawasi pengunjung kedai yang kebanyakan dari rimba persilatan.
"Benar, Kakang," sahut Undani. Seperti kakaknya, dia pun menyapukan pandangannya
ke seluruh ruang kedai yang penuh oleh para pengunjung. "Nampaknya ada sesuatu yang membuat
mereka datang ke
tempat ini."
Ketika Tiga Setan Rambut Api mengawasi semua
pengunjung kedai, terdengar ucapan seseorang yang
baru masuk ke dalam kedai.
"Aha, rupanya Tiga Setan Rambut Api juga hadir
di tempat ini."
Tiga Setan Rambut Api seketika membalikkan
tubuh dan memandang ke arah suara itu. Begitu juga
dengan pengunjung kedai lain. Seketika mata mereka
memandang Tiga Setan Rambut Api, lalu berganti me-
mandang orang tua berpakaian compang-camping
dengan rambut putih tak teratur serta wajah dihiasi
goresan-goresan kelabu.
Dilihat dari penampilan serta tangan yang meme-
gang tongkat dan tempurung, orang persilatan yang
ada di kedai itu dapat dengan mudah menduga kalau
lelaki tua itu tak lain Pengemis Tempurung Sakti, pemimpin para pengemis dari
wilayah barat. "O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti yang da-
tang. Selamat datang...," sambut Untara sambil menjura hormat, diikuti oleh
kedua saudaranya.
"Aku Undani menyampaikan hormat padamu,
Pengemis Tempurung Sakti," kata Undani sambil
membungkuk "Begitu juga aku," timpal Umbakara.
Pengemis Tempurung Sakti terkekeh-kekeh sam-
bil membelai-belai jenggot putihnya yang panjang. Matanya yang sipit, semakin
bertambah sipit
"Aha, tampaknya banyak orang persilatan ber-
kumpul di sini. Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono si Pedang Iblis, Ki Bardawala
dari Perguruan Cinde Buana dan Sepasang Serigala Merah. Ada apa geran-
gan...?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil melangkah masuk, diikuti oleh
lima anak buahnya yang
semuanya berpakaian compang-camping. Bedanya, ke-
lima pengemis itu hanya membawa tongkat kayu hi-
tam. Mereka tersohor dengan julukan Lima Pengemis
Tongkat Hitam. Yang menguasai wilayah timur bernama Gandra-
na. Pakaiannya penuh dengan tambalan dan berwarna
ungu. Bibirnya tipis dengan mata agak sipit. Hidung-
nya besar dan pesek. Rambutnya lurus terurai dengan
ikat kepala berwarna ungu pula. Wajahnya menggam-
barkan kekasaran.
Yang menguasai daerah selatan bernama Jalan-
tra. Pakaiannya berwarna abu-abu, dan rambutnya di-
gelung ke atas. Berbeda dengan orang pertama, hidung Jalantra mancung. Bibir dan
alis matanya tebal dengan mata agak juling.
Yang ketiga bernama Sampra. Dia Ketua Per-
kumpulan Pengemis daerah utara. Berpakaian jingga
dengan tambalan seperti lainnya. Rambutnya ikal se-
batas bahu. Hidungnya mancung seperti paruh burung
betet Matanya lebar dengan alis mata tipis. Wajahnya nampak sinis jika
tersenyum. Yang keempat dan kelima adalah lelaki kembar
bernama Jantruk dan Jantrik. Pakaian yang mereka
kenakan pun kembar, berwarna merah dadu. Wajah
keduanya hampir serupa. Hidung mereka mancung
dengan alis mata tebal. Sedang bibir mereka tipis.
Hanya rambut yang membedakan satu sama lain. Yang
satu lurus tak teratur, sedangkan yang lain ikal berge-lombang.
Di bibir mereka tersungging senyuman. Wajah
mereka menggambarkan kewibawaan. Meski berpe-
nampilan tak sedap dipandang mata, tapi mereka ada-
lah orang-orang yang dipercaya untuk memimpin para
pengemis. Ilmu mereka pun bukan ilmu sembarangan,
dan patut diperhitungkan.
Pengemis Tempurung Sakti segera mendekati sa-
tu bangku lalu duduk seenaknya, seperti tidak tahu
aturan sebagaimana pengemis lain. Kelima pengemis
lainnya ikut duduk di samping kanan dan kirinya.
"Nampaknya ada sesuatu yang mengundang me-
reka kemari, Ketua," kata Gandrana, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah timur.
Pengemis Tempurung Sakti mengangguk-
anggukkan kepala. Tangannya masih membelai-belai
jenggotnya yang putih dan panjang. Sementara ma-
tanya tetap memandang ke sekelilingnya.
"Nampaknya ada sesuatu yang menarik," gumam Pengemis Tempurung Sakti. "Terbukti
Tiga Setan Rambut Api datang ke tempat ini."
"Aha, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-
getahui apa yang ada di sini...!" seru Umbakara tiba-tiba. "Ya! Mengapa tidak
kita tanyakan saja, ada apa sebenarnya?" usul Undani.
"Benar juga katamu, Undani," timpal Untara.
"Mengapa kita mesti bingung?"
Untara dan kedua adiknya bangkit dari bang-
kunya. Mereka melangkah mantap ke arah Pengemis
Tempurung Sakti. Kemudian dengan menjura, Tiga Se-
tan Rambut Api duduk di hadapan keenam pengemis
itu. "Pengemis Tempurung Sakti, sudikah kau menjelaskan pada kami, kenapa kau
dan lima ketua partai
pengemis sampai datang ke sini...?" tanya Untara. Tindak-tanduk mereka agak
tidak sopan, mencerminkan
watak ketiganya yang berasal dari aliran sesat
"Weh weh weh.... Mengapa jadi terbalik" Justru
kami yang ingin bertanya pada kalian," balas Pengemis Tempurung Sakti. "Apa
tidak mungkin kalau kalian hanya berpura-pura saja?"
Tiga Setan Rambut Api saling pandang karena di-
tuduh Pengemis Tempurung Sakti kalau mereka me-
nyembunyikan sesuatu. Padahal mereka juga belum
tahu sesuatu yang terjadi di tempat itu, sehingga para pendekar rimba persilatan
berdatangan ke tempat itu.
"Hei, mengapa kalian seperti orang bodoh?" tanya Pengemis Tempurung Sakti,
menyentakkan Tiga Setan
Rambut Api. Namun Untara segera berusaha menutupi
ketidakmengertian mereka akan pertanyaan dan seka-
ligus tuduhan dari Pengemis Tempurung Sakti.
"O, rupanya Pengemis Tempurung Sakti men-
ganggap kami sudah mengetahui masalahnya. Ah,
sangat disayangkan. Kami sebenarnya justru hendak
bertanya," ucapnya setenang mungkin.
Kini giliran keenam ketua perkumpulan pengemis
yang saling pandang. Kening mereka berkerut dan ma-
ta mereka menyipit Pengemis Tempurung Sakti masih
mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Weh, bagaimana ini" Kami pikir kalianlah yang
telah tahu. Tapi mengapa kalian seperti menuduh ka-
mi?" tanya Pengemis Tempurung Sakti sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Hm.... Bagaimana kalau kita tanyakan pada Ki
Kenjono" Rupanya si Pedang Iblis juga datang," usul Untara.
"Ya, sebaiknya kita tanyakan padanya?" sambut Pengemis Tempurung Sakti.
Pengemis Tempurung Sakti dan Untara bangkit,
kemudian keduanya mendekati meja di sampingnya, di
mana lelaki berpakaian rompi hitam dengan rambut
panjang yang- dibiarkan terlepas tengah menyantap makanannya.
"Oh, nikmat sekali kau makan, Ki?" tegur Pengemis Tempurung Sakti dengan tetap
membelai-belai jenggotnya yang putih.
Lelaki yang tengah makan itu menghentikan ma-
kannya. Kepalanya ditolehkan ke belakang.
"Ah, kukira siapa. Rupanya Pengemis Tempurung
Sakti dan Setan Rambut Api. Hm, apa kalian minta ku
bayari makan" Pesanlah...."
"Keparat!" maki Untara. "Aku menemuimu bukan untuk mengemis seperti Pengemis
Tempurung Sakti,
Kenjono!" "Setan alas! Kalian kira aku tak sanggup mem-
bayar makanan kalian!" dengus Pengemis Tempurung Sakti sengit, merasa dirinya
diremehkan sebagai gembel yang hanya bisa meminta-minta. "Kalau saja aku tidak
punya kepentingan untuk mengetahui hal yang
terjadi di sini, sudah kutampar mulut kalian!"
Ki Kenjono dan Untara saling pandang. Kemu-
dian keduanya tertawa tergelak-gelak, membuat Pen-
gemis Tempurung Sakti makin gusar. Hampir saja
Pengemis Tempurung Sakti yang keras kepala dan pe-
marah itu kembali membentak, kalau saja Untara ti-
dak mendahului.
"Aha, kuharap kau tidak mengumbar marah,
Pengemis Tempurung Sakti. Bukankah kita sama-
sama ingin tahu, apa sebenarnya yang tengah terjadi
di sini?" Pengemis Tempurung Sakti menurut.
"Apa yang hendak kalian tanyakan padaku?"
tanya Ki Kenjono kemudian.
"Begini, Ki Kenjono. Kami ingin tahu apa yang
terjadi di sini" Mengapa orang-orang berdatangan ke
tempat ini...?" tanya Untara.
"Weh weh weh.... Jadi kalian juga belum tahu?"
"Ya," sahut Pengemis Tempurung Sakti singkat.
"Aha, kalau begitu kita sama. Dan mungkin se-
mua orang yang datang di sini, sama-sama tidak tahu
apa yang mereka tuju. Tapi, bukankah kalian telah
mendapat kabar tentang Titisan Dewi Keberuntungan
yang ada di sekitar Kadipaten Wuwungan ini?" tanya
Ki Kenjono, "Ya," sahut Untara.
"Jadi mereka datang untuk mencari Titisan Dewi
Kwan Im?" tanya Pengemis Tempurung Sakti.
"Tepat!" jawab Ki Kenjono.
"Jadi Lembah Lamur ada di sekitar Kadipaten
Wuwungan ini?" tanya Untara.
"Mungkin, karena hampir semuanya berdatangan
ke tempat ini," sahut Ki Kenjono. "Ah, sudahlah. Aku harus makan dulu."
Tanpa menghiraukan kedua orang itu, Ki Kenjono
yang bersikap angkuh meneruskan makannya. Hal itu
membuat Pengemis Tempurung Sakti dan Untara sal-
ing pandang. Hampir saja mereka marah, kalau saja
mereka tidak ingat bahwa mereka sama-sama sealiran.
Meski begitu, keduanya agak jengkel juga menyaksi-
kan tingkah laku Ki Kenjono yang dianggap terlalu
angkuh. Lalu dengan memandang sinis, keduanya
kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Bagaimana, Kakang?" tanya Undani.
"Rupanya semuanya datang ke tempat ini dengan
tujuan yang sama," jawab Untara.
"Mencari Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Umbakara. Suaranya berusaha menegaskan.
"Ya!"
"Hm.... Kalau begitu, kita tidak boleh keduluan mereka," bisik Undani.
"Kita harus mendahului mereka."
"Benar, Kakang. Kita harus segera mencari Lem-
bah Lamur," sambut Umbakara.
"Ya! Kita harus secepatnya mendapatkan Titisan
Dewi Kwan Im itu. Ayo...," ajak Untara berbisik sambil bangkit dari bangkunya,
diikuti oleh kedua adiknya.
*** Pengemis Tempurung Sakti terkekeh, menyaksi-
kan Tiga Setan Rambut Api pergi meninggalkan kedai.
Tampaknya Pengemis Tempurung Sakti dan lima ketua
perkumpulan pengemis membiarkan mereka pergi le-
bih dahulu untuk mencari Titisan Dewi Kwan Im.
"He he he...! Mereka kira akan mudah untuk
mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," seloroh Pengemis Tempurung Sakti. Tangannya
membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
"Ketua, apakah tidak sebaiknya kita susul mere-
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ka?" tanya Jalantra, yang merupakan Ketua Perkumpulan Pengemis daerah selatan.
"Benar, Ketua. Apakah tidak sebaiknya kita me-
nyusul mereka" Aku takut mereka akan mendahului
kita," tambah Gandrana.
Pengemis Tempurung Sakti menggeleng-
gelengkan kepala sambil tersenyum. Tangannya kem-
bali membelai-belai jenggotnya yang panjang dan ber-
warna putih. "Biarkan saja mereka mendahului. Apakah kalian
kira mereka akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im
yang cantik menjadi istri mereka" Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa
terbahak-bahak, diikuti
oleh kelima ketua pengemis lainnya. Hal itu membuat
para pendekar yang ada di tempat itu memandang me-
reka. Tidak terkecuali Ki Kenjono.
"Pengemis butut! Mengapa kalian mesti tertawa-
tawa"!" bentak Ki Kenjono kesal. Matanya mendelik lebar, memperlihatkan warna
merah bagai gejolak api.
"Iblis bau comberan! Apa hakmu menghentikan
tawa kami!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis daerah utara.
"Sontoloyo! Kalianlah yang bau kentut! Huh...!"
balas Ki Kenjono tak mau kalah. Kemudian dia mene-
ruskan makannya, tanpa menghiraukan keenam pen-
gemis yang masih menatapnya dengan jengkel.
"Rupanya orang itu perlu dihajar, Ketua," kata Gandrana.
"Aha, memang mulutnya yang busuk itu perlu
dihajar," jawab Pengemis Tempurung Sakti, membuat Ki Kenjono tersentak.
Dengan wajah bengis, Ki Kenjono bangun dari
tempat duduknya. Matanya yang tajam penuh amarah
menantang keenam pengemis yang masih tertawa-
tawa. "Pengemis butut! Rupanya kalian di mana pun selalu menyebalkan! Kalian
harus diajar adat!" maki Ki Kenjono seraya mendengus marah.
"Aha, seharusnya kaulah yang harus diajar adat, Kenjono!" balas Pengemis
Tempurung Sakti.
"Bedebah! Kuhajar kau, Pengemis Butut!
Yeaaa...!"
Srrrt! Ki Kenjono mengeluarkan pedangnya, kemudian
dengan penuh amarah tubuhnya melesat ke arah Pen-
gemis Tempurung Sakti. Namun dengan cepat, Gan-
drana telah menghadangnya dengan membabatkan
tongkat kayu hitam ke pedang lawan.
Trang! Kemarahan Ki Kenjono kian menggila ketika
mengetahui Gandrana memapaki serangannya. Ma-
tanya semakin berkilat tajam. Didahului pekikan
menggelegar, Ki Kenjono kembali membuka serangan
dengan babatan pedang ke arah Ketua Perkumpulan
Pengemis daerah timur itu.
"Yeaaa...!"
"Keluarkan semua ilmu pedang bututmu!" tantang Gandrana seraya mengelakkan
tebasan dan baba-
tan pedang lawan. Kemudian dengan cepat tangannya
menggerakkan tongkat kayu hitam. Seketika, tongkat
itu menjadi baling-baling, bergerak membentuk perisai sekaligus menjadi senjata
yang sangat berbahaya.
"Heaaa...!"
Wut, wut! Tring, trang...!
Dentingan beradunya dua senjata itu terdengar
susul-menyusul. Diikuti oleh gerakan keduanya yang
menyerang dan mengelak. Tangan kiri mereka yang ti-
dak memegang senjata tak mau diam, turut bergerak
menyerang dan menangkis dengan kebutan-
kebutannya. "Beri dia pelajaran, Gandrana!" seru Pengemis Tempurung Sakti sambil terus
memperhatikan jalan-nya pertarungan antara anggotanya yang memegang
pimpinan di wilayah timur melawan Kejono. Kemudian
Pengemis Tempurung Sakti tertawa bergelak-gelak, di-
ikuti oleh empat anggotanya yang lain.
Ki Kenjono semakin marah karena ditertawakan
oleh para pengemis. Serangannya semakin diting-
katkan. Pedangnya bergerak kian cepat, membabat
dan menusuk ke tubuh lawannya.
"Yeaaah...!"
Ki Kenjono benar-benar bernafsu untuk secepat-
nya menjatuhkan lawan. Pedangnya bergerak semakin
cepat, tidak ubahnya baling-baling maut yang setiap
saat dapat merenggut nyawa lawannya.
Menyaksikan serangan lawan yang cepat dan
mematikan, tidak membuat Gandrana gentar. Justru
dengan serangan lawan seperti itu, dia semakin mudah melihat kelemahan-kelemahan
serangan yang dilancarkan lawannya.
Dengan sedikit berkelit, Gandrana mampu men-
gelakkan serangan lawan yang dirasuki amarah. Ke-
mudian dengan cepat, balas menyerang dengan tidak
kalah gencar. Tongkat kayu hitam di tangannya me-
mukul dan menusuk lawan secara bertubi-tubi.
"Yeaaat..!"
Wut, wut..! Tongkat kayu hitam di tangan Gandrana kini ti-
dak ubahnya sebilah pedang tajam yang terbuat dari
logam pilihan. Angin serangannya menimbulkan deru
yang dahsyat menghambur ke arah lawan.
"Uts...! Setan!" maki Ki Kenjono kaget, mendapatkan serangan balik yang tidak
diduganya. Kalau sa-ja tidak cepat-cepat mengelak, tentu tubuhnya akan
menjadi korban dari sabetan dan tusukan tongkat
kayu hitam di tangan lawannya.
"Ha ha ha...!" Pengemis Tempurung Sakti tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan
Gandrana mampu mendesak Ki Kenjono. Hal itu membuktikan kalau
Perkumpulan Pengemis bukanlah perkumpulan yang
rendah, namun harus diperhitungkan di rimba persila-
tan. Serangan yang dilancarkan oleh Gandrana sema-
kin membuat Ki Kenjono kewalahan. Nampaknya ilmu
pedang yang selama ini dirasa cukup tangguh, tiada
arti sama sekali menghadapi jurus-jurus 'Tongkat
Kayu Hitam' yang dilancarkan Gandrana. Bahkan be-
berapa kali, Ki Kenjono hampir kecolongan oleh sabe-
tan-sabetan tongkat itu.
Kelima pengemis yang lain tertawa riuh rendah
menyaksikan bagaimana Ki Kenjono atau lebih dikenal
dengan sebutan Pedang Iblis, kini mengalami ketegan-
gan. Wajahnya pucat pasti, menyadari serangan-
serangannya tak satu pun yang mengenai sasaran.
Bahkan kini dia yang terdesak oleh lawan.
"Percuma mulutmu besar, Kenjono! Kalau ilmu-
mu hanya kelas pasaran...! Ha ha ha...!" seru Pengemis Tempurung Sakti diikuti
oleh gelak tawa.
Ucapan itu tentu saja membuat Ki Kenjono ber-
tambah marah. Namun menyadari kedudukannya saat
itu, Ki Kenjono tak mampu berbuat apa-apa. Jangan-
kan untuk melawan Pengemis Tempurung Sakti, me-
lawan anak buahnya saja dia sudah terdesak.
"Huh...! Memang aku saat ini kalah! Tapi setelah aku mendapatkan Titisan Dewi
Kwan Im, kepala kalian
akan kupenggal satu persatu!"
Usai berkata demikian, tanpa rasa malu sedikit
pun Ki Kenjono segera melesat ke belakang. Kemudian
dengan cepat meninggalkan kedai. Hal itu semakin
membuat gerombolan pengemis itu tertawa bergelak-
gelak. "Ha ha ha...!"
"Kalian lihat sendiri, bagaimana Perkumpulan
Pengemis kini bukan kumpulan orang gembel. Per-
kumpulan Pengemis kini menjadi perkumpulan yang
akan disegani oleh para pendekar rimba persilatan!
Tak akan ada yang berani mencari penyakit dengan
Perkumpulan Pengemis...," kata Pengemis Tempurung Sakti. Nadanya agak pongah dan
sombong. Seakan-akan hanya dia dan anak buahnya saja yang memiliki
ilmu tinggi. Selesai berkata begitu, Pengemis Tempurung
Sakti segera mengajak kelima anak buahnya berlalu
meninggalkan kedai.
"Pengemis gembel sombong...!" dengus para pendekar. Kesal juga mereka dengan
tingkah laku dan ke-
sombongan para pengemis itu. Terlebih pada Pengemis
Tempurung Sakti. Kalau saja mereka memiliki ilmu
yang tinggi, tentunya mereka akan melabrak para pen-
gemis itu. Sepeninggal Tiga Setan Rambut Api, Ki Kenjono,
dan para pengemis, kedai kembali tenang. Bahkan kini satu persatu para pendekar
meninggalkannya, untuk
meneruskan mencari Titisan Dewi Kwan Im yang me-
reka dengar berada di Lembah Lamur.
2 Angin malam yang dingin berhembus kencang,
menerobos belukar, pucuk pepohonan dan rerumpu-
tan. Semak alang-alang merunduk-runduk tanpa daya,
ditampar derasnya angin.
Di saat suasana malam seperti ini, tampak seo-
rang pemuda berwajah tampan dengan pakaian rompi
kulit ular, tengah menyelusuri jalan yang gelap dan
sepi. Seakan-akan pemuda tampan itu tak peduli den-
gan keadaan cuaca yang tak ramah. Wajahnya tampak
menunduk penuh penyesalan.
Pemuda yang tak lain Sena atau Pendekar Gila
itu baru saja berkunjung ke Perguruan Bintang Emas
untuk membuktikan kebenaran cerita tentang kema-
tian Dewi Pandagu. Sesampainya di sana, berita yang
disampaikan dua lelaki di kedai itu ternyata benar.
Dewi Pandagu, wanita cantik yang telah membuatnya
hanyut dalam arus asmara, telah tewas.
Hati Pendekar Gila remuk redam menyaksikan
mayat Dewi Pandagu. Belum lagi peristiwa penculikan
Mei Lie yang diculik entah oleh siapa. Lelaki yang men-culik Mei Lie sangat
misterius. Datang begitu cepat
dengan pakaian yang sama dengan pakaian Kauw Cien
Lung (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gi-la dalam episode "Singa
Jantan dari Cina").
Kalau saja saat itu Sena tidak tengah bertarung
dengan Kauw Cien Lung, tentunya dia akan mengejar
lelaki misterius itu.
"Setan!" maki Sena kesal. Kakinya menendang
sebuah batu kecil yang ada di depannya.
Wut! Batu itu melesat jauh, bagai dilempar dengan ke-
kuatan penuh. Sena menghela napas. Matanya menyapu ke se-
kelilingnya yang sepi dan senyap. Sebuah lembah yang dikepung perbukitan, dengan
angin yang bertiup kencang laksana hembusan napas beribu mambang ma-
lam. "Huk huk huuuk...!"
Samar-samar telinga Sena menangkap suara
aneh itu. Bulu kuduknya meremang. Langkahnya se-
ketika terhenti. Matanya menyapu ke sekelilingnya
dengan tajam, berusaha mencari asal suara menye-
ramkan yang baru saja didengarnya.
"Huk huk huuuk...!"
Suara itu kembali terdengar. Suaranya persis se-
perti suara burung hantu. Namun Sena merasa yakin
kalau itu bukan suara burung hantu. Dia telah biasa bergelut dengan kegelapan
malam di dalam hutan. Sedikit banyak, telinganya telah akrab dengan suara burung
hantu yang sebenarnya.
"Suara apa itu...?" desis Sena. Suaranya agak ke-lu, karena perasaannya
tercekam. Bulu kuduknya me-
remang kembali.
Meski ketegangan menyelimuti jiwanya, namun
entah mengapa Sena tetap berdiri di situ. Matanya masih mengamati dalam remang
cahaya bulan. Seper-
tinya, Sena ingin menyaksikan apa yang akan terjadi di hadapannya dan meyakinkan
suara yang baru saja didengarnya.
Ketika mata Sena menyapu tempat itu, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan putih. Begitu cepatnya
bayangan itu berkelebat, sampai-sampai tubuh Sena
tersentak. "Hei, siapa dia?" tanyanya pada diri sendiri. Kemudian tanpa banyak kata lagi,
tubuhnya melesat ce-
pat untuk mengejar bayangan putih yang sempat dili-
hatnya sekilas.
Bayangan putih itu berkelebat ke arah bukit di
sebelah selatan, kemudian menghilang di balik bukit
"Berhenti...!" seru Sena sambil terus berlari. Namun bayangan putih itu rupanya
telah lebih dahulu
menghilang. Karena begitu cepatnya menghilang, sam-
pai Sena tak mampu mengejarnya.
"Edan!" umpat Sena jengkel. Pandangannya dis-apukan ke sekeliling tempat itu.
Namun tetap saja tidak ditemukan siapa pun di tempat itu. Padahal dia
yakin kalau bayangan putih itu berlari ke tempatnya
kini berdiri. Kalau bersembunyi rasanya tidak mung-
kin. Di sekeliling tempat itu tak ada sesuatu pun yang bisa digunakan untuk
bersembunyi. Sena mengerutkan kening. Matanya masih men-
gamati sekitarnya yang semakin mencekam. Bulu ku-
duknya lagi-lagi meremang, setelah dia tidak berhasil menemukan bayangan putih
tadi. "Huk huk huuuk...!"
Suara menyeramkan itu kembali terdengar. Se-
pertinya suara itu ada di dekatnya. Sena menajamkan
telinga dan matanya, berusaha meyakinkan dari mana
asal suara menyeramkan itu.
"Hm.... Aku yakin bukan hantu. Jelas sekali itu suara manusia," desis Sena. Tapi
matanya belum juga menemukan tanda-tanda kalau bayangan putih itu
akan muncul kembali.
Angin lembah semakin keras berhembus, mem-
bawa hawa dingin yang terasa menggigit. Dikawal oleh suara menyeramkan yang
kembali terdengar.
"Aku harus hati-hati. Mungkin orang itu memiliki ilmu yang tinggi," gumam Sena
dengan mata berkilat
penuh kewaspadaan.
Wusss! Angin semakin berhembus kencang, bertemu di
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah-tengah lembah, kemudian bergulung-gulung
membentuk pusaran yang besar dan kencang.
"Uh!"
Sena tersentak kaget. Dengan mata membelalak,
berusaha dihindarinya pusaran angin yang besar itu.
Tubuhnya melompat ke belakang dan bersalto dengan
cepat. Namun pusaran angin itu seperti mengerti kalau lawannya berusaha
mengelak. Angin itu terus bergulung ke arah Sena mengelak.
Wut! "Edan!" maki Sena kaget menyaksikan pusaran angin itu ternyata mengejarnya.
Seakan-akan angin itu memiliki mata. "Kurang ajar! Ini bukan main-main!"
Wusss...! Pusaran angin itu terus mengejar tubuh Pende-
kar Gila, memaksanya bersalto untuk mengelakkan se-
rangan angin besar itu. Walau begitu, hampir saja tubuhnya dapat dihantam
pusaran angin itu.
"Auh...! Kurang ajar! Hampir saja aku kena!" ma-ki Sena sambil terus melenting
kian kemari. Bahkan
kini dia harus menggunakan ilmu peringan tubuh
'Panca Guna' warisan Singo Edan.
Dengan menggunakan ilmu 'Panca Guna', kini
tubuhnya dapat bergerak dengan ringan tanpa men-
ginjak tanah. Tubuhnya bagaikan tak memiliki beban
sedikit pun, tidak ubahnya sehelai bulu yang menari di atas angin.
"Aku harus dapat memecahkan pusaran angin
ini," desis Sena sambil terus mengelitkan sambaran-sambaran pusaran angin yang
keras dan terus mem-
buru. "Heaaa...!"
Tubuh Sena melesat beberapa tombak ke bela-
kang. Kemudian dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Mengaduk Samudera', Pendekar Gila kembali melesat.
Kini dia bertekad menerobos pusaran angin kencang
itu. Tangannya disilangkan di depan, dengan jari-jari membentuk cengkeraman.
Kemudian kedua tangannya
digerakkan seperti mengaduk-aduk samudera.
Wut..! Angin pusaran itu terus memburu maju, siap
menelan tubuh Pendekar Gila yang melesat maju lak-
sana elang dengan kedua tangan siap mengaduk-aduk.
"Yeaaa...!"
Blasss! Tubuh Sena menyeruak ke dalam rongga pusa-
ran angin itu. Tangannya terus bergerak, mengaduk-
aduk pusaran angin yang telah menelan tubuhnya.
Namun pusaran angin itu bagai tak mengalami apa-
apa. Malah semakin keras Pendekar Gila berusaha
menghancurkan, semakin keras pula tubuhnya digu-
lung. "Celaka!" pekik Sena dengan mata membelalak tegang, menyadari kalau semua
pukulannya tak berarti sama sekali. "Oh! Napas ku terasa sesak sekali.
Sepertinya, angin ini menyerap seluruh tenagaku."
Sena kini merasakan otot di persendiannya bagai
direjam. Tubuhnya terus bergulung, mengikuti pusa-
ran angin itu. Namun dia tak mau mengalah begitu sa-
ja. Terus diserangnya pusaran angin itu. Pukulan saktinya segera dikerahkan.
"Pukulan 'Inti Bayu'. Yeaaah...!"
Pukulan 'Inti Bayu' merupakan ajian yang mam-
pu mengeluarkan angin deras dan besar. Bahkan
mampu menerbangkan pohon raksasa sekalipun.
Wusss! Angin bertemu dengan angin. Keduanya berusa-
ha saling mengalahkan. Namun pukulan 'Inti Bayu'
yang dikerahkan Pendekar Gila ternyata tak mampu
menghancurkan pusaran angin itu. Sena semakin ter-
jepit. Nafasnya kian terasa sesak dan tersengal-sengal.
"Celaka! Pukulanku tak berarti...!" rintih Sena.
Pendekar Gila merasakan tulang-tulangnya bagai
remuk, dihimpit dan digulung oleh pusaran angin itu.
Dan tubuhnya terpontang-panting di dalamnya.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" tanya Sena setengah mengeluh. "Ku coba dengan
'Inti Api'. Yeaaah...!"
Tangan Pendekar Gila kini merah membara. Ke-
mudian, nampaklah api melesat ketika Pendekar Gila
menghantamkan tangannya ke arah pusaran angin itu.
Wusss! Dap, dap, dap...!
Api yang meluncur dari tangan Pendekar Gila,
padam seketika. Sepertinya, api yang kekuatannya se-
ratus kali dari api biasa, tak ada gunanya sama sekali.
Pusaran angin itu semakin keras menghimpit tu-
buh Pendekar Gila. Membuatnya kian menderita aki-
bat himpitan itu. Namun begitu, pantang baginya un-
tuk mengalah atau pasrah. Dicabutnya Suling Naga
Sakti. Kemudian dengan meringis menahan sakit, mu-
lutnya segera meniup Suling Naga Sakti.
"Tuiiit, tuiiit..!"
Alunan Suling Naga Sakti tercipta. Mulanya me-
lantun lembut, namun semakin lama semakin me-
lengking keras. Dari kedua mata di kepala naga pada
pangkal suling itu, melesat selarik sinar merah ke pusaran angin.
Wusss! Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya
sambil memutarkan arah mata naga di suling itu ke
sekelilingnya, membuat larikan-larikan sinar dari mata naga laksana memotong
pusaran angin itu.
Wusss, wusss...!
Pusaran angin itu semakin lama semakin pelan.
Sampai akhirnya hilang sama sekali. Tubuh Pendekar
Gila terpelanting, lalu jatuh terduduk.
"Hilang...!" seru Sena dengan mata membelalak, menyaksikan pusaran angin itu
hilang dengan sendi-rinya, seakan raib begitu saja. Bahkan angin lembah
yang semula kencang, kini turut menghilang.
Sena masih belum mengerti apa yang sebenarnya
telah terjadi di lembah itu. Juga dengan hilangnya angin yang membentuk pusaran,
serta angin lembah
yang tiba-tiba mereda. Tapi suara menyeramkan yang
didengarnya tadi justru terdengar lagi.
"Huk huk huuuk...!"
Sena seketika tersentak. Matanya menyapu ke
sekelilingnya yang sepi dan mencekam untuk mencari
asal suara yang didengarnya.
"Hm.... Tentunya suara itu sebagai tanda suara
pertama," gumam Sena. Dongkol juga Sena mengha-
dapi semuanya. Belum lagi rasa dukanya hilang kare-
na kematian dan penculikan orang-orang yang dicintai, kini harus pula menghadapi
hal aneh. Suling Naga Sakti diselipkannya di pinggang. La-
lu tubuhnya tak bergeming, menunggu setiap ke-
mungkinan yang bakal terjadi.
"Huk huk huuuk...!"
"Keluarlah! Apa pun wujud mu, aku tak akan la-
ri!" bentak Sena, yang semakin dibuat jengkel oleh suara itu. Hatinya yang
sedang diliputi duka dan sedih, menjadi marah.
Wusss! Kembali terdengar suara angin bertiup keras,
mengejutkan Pendekar Gila. Seketika tubuhnya berba-
lik, lalu memandang arah datangnya suara itu.
Mata Pendekar Gila membelalak. Mulutnya tern-
ganga tanpa sadar, ketika menyaksikan sosok besar
yang berada tiga tombak di hadapannya. Sosok menye-
ramkan yang tingginya melebihi bukit, dengan tubuh
sebatas perut ke bawah diliputi oleh asap tebal ber-
warna gelap. "Oh...! Makhluk apa itu"!" seru Sena dengan ma-ta masih membelalak dan mulut
ternganga. Makhluk itu menyerupai monyet, namun telin-
ganya panjang dengan ujung meruncing. Di kepalanya,
terdapat tanduk yang berkilat tajam dan runcing. Mata makhluk itu besar,
berwarna merah membara laksana
api. Lidahnya juga merah, menjulur panjang. Dengus
nafasnya terdengar keras. Tubuhnya dipenuhi bulu hi-
tam kemerah-merahan. Kuku-kukunya panjang dan
runcing. "Hogm...!"
Makhluk menyeramkan itu mengeluarkan sua-
ranya yang memekakkan telinga.
Kaki Sena melangkah mundur dengan mata ma-
sih memandangi makhluk menyeramkan yang keliha-
tannya siap melakukan serangan terhadapnya.
"Hm.... Apa lagi yang akan terjadi?" gumam Sena sambil terus melangkah mundur.
Dia telah waspada
penuh untuk mengelak, sekaligus membalas serangan
yang akan dilakukan makhluk menyeramkan itu.
Makhluk tinggi besar menyeramkan itu kini me-
nyerang ke arah Pendekar Gila. Sepasang tangannya
yang besar berkuku panjang dan runcing, menyambar
cepat. Sedang dari mulutnya tersembur api yang besar, siap membakar tubuh
Pendekar Gila. Wosss! "Uts!"
Sena segera melenting ke samping dengan bersal-
to beberapa kali untuk mengelakkan sambaran tangan
makhluk menyeramkan itu. Lalu dengan cepat pula,
tubuh Pendekar Gila melesat ke arah makhluk menye-
ramkan itu. Pukulan tenaga dalamnya dikerahkan un-
tuk menghantam wajah makhluk itu.
"Heaaa...!"
Makhluk menyeramkan itu tidak mengelak, sea-
kan membiarkan pukulan tenaga dalam Pendekar Gila
menghantam tubuhnya.
Desss! Mata Pendekar Gila membelalak dengan mulut
menganga mendapatkan kenyataan yang sulit diper-
caya. Pukulan saktinya bagai menghantam angin. Saat
itu pula tangan makhluk menyeramkan itu menyam-
bar ke arah tubuhnya.
Wut! "Uh!"
Beruntung Pendekar Gila masih memiliki kewas-
padaan tajam, sehingga mampu berkelit dari sambaran
tangan makhluk itu. Tubuhnya melenting ke belakang,
bersalto di udara beberapa kali, sebelum kakinya mendarat di tanah dengan
ringan. Matanya memandang ta-
jam pada makhluk menyeramkan yang ada di hada-
pannya, seakan tak percaya pada apa yang telah di-
alami. Wusss! Api membara kembali keluar dari mulut makhluk
menyeramkan itu, menyambar ke arah tubuh Pende-
kar Gila. Sementara, Sena segera membuang tubuhnya
dengan bersalto ke samping, kemudian dengan cepat
balas menyerang.
"Yeaaah!"
Tubuh Pendekar Gila yang sangat kecil diban-
dingkan makhluk menyeramkan itu, melesat cepat
laksana terbang. Tangan kanannya mengepal. Sedang-
kan tangan kirinya diletakkan di depan dada. Lalu
dengan mengerahkan tenaga dalam, Pendekar Gila me-
lontarkan pukulan saktinya.
"Yeaaa!"
Wut..! Untuk yang kedua kalinya Pendekar Gila tersen-
tak kaget mendapatkan pukulannya tak berarti apa-
apa. Makhluk menyeramkan itu bahkan dengan cepat
membalas. Tangannya menyambar ke tubuh Pendekar
Gila. Plak! "Ukh!" keluh Sena. Tubuhnya terpelanting ke belakang akibat hantaman tangan
makhluk menyeram-
kan itu. Saat itu pula rasa panas menyengat tubuh-
nya. Pendekar Gila meringis, merasakan sakit pada
tubuhnya. Segera dia bangkit sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian kakinya ditarik ke samping setengah menekuk dan tangannya
menghantam ke depan. Itulah jurus 'Tamparan Sukma'. Dengan menggunakan
jurus itu, Pendekar Gila berharap dapat mengalahkan
makhluk menyeramkan itu.
Tubuh Pendekar Gila kembali melesat laksana
terbang. Kemudian tangan kirinya melakukan tampa-
ran ke wajah makhluk menyeramkan yang telah di-
jangkaunya. Blak! "Aaarghhh...!"
Makhluk menyeramkan itu meraung keras, men-
dapat tamparan yang dirasakan hantaman ribuan hali-
lintar yang menggelegar. Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan
sangat lemah dan pelan.
Bahkan dilakukan dengan mata terpejam serta hanya
mengandalkan kekuatan jiwanya. Namun hasilnya
sangat dahsyat Makhluk menyeramkan itu meraung-
raung kesakitan. Kemudian tubuhnya perlahan-lahan
menghilang, berganti dengan kabut tebal yang terbang
bersama angin. "Hhh...," Sena menghela napas panjang. Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya.
"Pendekar Gila, saat ini kau menang! Tapi tunggu pembalasanku...!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang
mengancam Pendekar Gila, sehingga membuatnya ter-
sentak. "Hei, siapa itu! Tunjukkan wujud mu!" bentak Sena. Tapi tak ada sahutan. Lembah
itu kembali sepi, diselimuti kegelapan yang bisu.
Sena menghela napas. Pandangan matanya bere-
dar ke sekeliling tempat itu. Kemudian setelah yakin tak ada apa-apa lagi,
tubuhnya melesat meninggalkan
tempat itu untuk mencari Mei Lie.
3 Kabut tebal menyelimuti sebuah bangunan besar
dan megah yang menyerupai candi. Bangunan tua itu
adalah istana gaib tempat Dewi Pemuja Setan. Bangu-
nan itu berada di dalam gumpalan kabut tebal. Mem-
buat orang persilatan sulit untuk menemukannya.
Di dalam istana, tepatnya di dalam sebuah ruang
kamar yang semuanya berwarna putih, nampak Dewi
Pemuja Setan tengah duduk bersila. Di hadapannya
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terdapat dupa yang mengepulkan asap. Di sisi dupa,
terdapat kembang tujuh warna.
Dewi Pemuja Setan memandang ke tempat tidur
yang berwarna putih, dengan kelambu terbuat dari su-
tera putih. Di atas tempat tidur, tergeletak sesosok gadis cantik. Gadis itu
berkulit kuning langsat, dengan rambut digelung dua di atas kepala. Berbaju
putih len- gan panjang, serta bibir tipis dan hidung tidak begitu mancung. Ternyata dia
adalah Mei Lie.
Dewi Pemuja Setan yang setiap kehadirannya se-
nantiasa didahului oleh kabut tebal, nampak berparas cantik jelita. Berbaju
putih seperti jubah, dengan ikat pinggang merah. Rambutnya terurai panjang dan
ber-gelombang. Di kepalanya terdapat sebuah ikat kepala
dengan hiasan tengkorak manusia.
"Hm...," Dewi Pemuja Setan bergumam tidak jelas. "Singo Edan, kali ini kau akan
mendapatkan balasanku! Begitu juga dengan muridmu!"
Dewi Pemuja Setan memejamkan mata. Mulutnya
komat kamit membaca mantera. Tangannya berside-
kap di depan dada. Asap dupa semakin mengepul.
Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Pemuja Setan ter-
getar hebat. "Mei Lie...!" panggilnya lirih.
"Uh," Mei Lie mengeluh.
"Bangunlah, Mei Lie! Bangunlah dari ragamu!"
Roh Mei Lie menurut untuk bangun. Nampak
samar-samar sebuah bayangan keluar dari tubuh Mei
Lie lalu berdiri di hadapan Dewi Pemuja Setan yang
duduk bersila. "Ada apa Sri Ratu memanggilku?" terdengar suara arwah Mei Lie bertanya.
"Tugas untukmu! Bunuh orang yang kini hendak
ke Lembah Lamur!" perintah Dewi Pemuja Setan.
"Baik, Sri Ratu," jawab roh Mei Lie.
"Berangkatlah. Aku akan mengiringi mu dengan
Kabut Iblis! Kita harus bisa membuat semua orang
persilatan membuka mata! Ha ha ha...!" Dewi Pemuja Setan tertawa terbahak-bahak.
Roh Mei Lie melayang keluar, meninggalkan ka-
marnya diikuti oleh Dewi Pemuja Setan yang masih
tertawa terbahak-bahak.
*** Siang itu Lembah Lamur sangat sepi. Angin ber-
tiup kencang, seakan-akan badai hendak datang. Ka-
but tebal menyelimuti sekeliling berubah. Membuat
suasana Lembah Lamur menjadi menyeramkan. Ca-
haya matahari yang memanggang, seakan tidak mam-
pu menembus ketebalan kabut yang menyelimuti lem-
bah itu. Seorang lelaki berlari-lari menuju Lembah Lamur
dari arah utara. Dilihat dari pakaian yang dikenakan serta pedang bergagang
tengkorak manusia kecil, tentunya lelaki itu tiada lain Ki Kenjono.
"He he he...!" Ki Kenjono tertawa tergelak-gelak.
"Rupanya mereka tidak tahu di mana Lembah Lamur berada. Ah, akulah yang paling
beruntung. Aku yang
bakal mendapatkan Dewi Kwan Im."
Ki Kenjono tersenyum-senyum seorang diri, me-
rasa kalau dirinya yang bakal mendapatkan Titisan
Dewi Kwan Im. "Akulah yang akan menjadi orang terhormat dan
tak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun juga. Ha ha ha...!" Ki Kenjono kembali
tertawa sambil terus berlari menuju Lembah Lamur. Matanya terus menyapu ke
sekeliling tempat itu, berusaha meyakinkan kalau
hanya dia yang ada di tempat itu.
Saat Ki Kenjono tertawa-tawa sambil terus berlari
ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba dilihatnya seorang
gadis cantik jelita dengan senyum menawan tengah
berdiri memandang ke arahnya seperti mengundang Ki
Kenjono untuk mendekatinya.
Ki Kenjono seketika menghentikan larinya. Mu-
lutnya ternganga, menyaksikan seorang gadis cantik
jelita bak bidadari baru turun dari kahyangan berada di tengah lembah. Senyumnya
sangat mempesona,
membuat kecantikan gadis itu bagai tiada bandingan-
nya. Gadis itu berkulit kuning langsat dengan rambut digelung dua di atas
kepalanya. Matanya agak sipit.
Bibirnya tipis mungil. Hidungnya tidak terlalu man-
cung. Pakaian yang dikenakannya bergaya pakaian ga-
dis Cina, berlengan panjang dengan lebar di ujungnya dan berwarna putih. Panjang
pakaiannya sampai ke
mata kaki. "Oh! Mungkinkah dia Titisan Dewi Kwan Im?"
tanya Ki Kenjono dengan mata tidak berkedip, mema-
ku pandangannya ke arah gadis Cina yang cantik jeli-
ta. "Ya. Mungkin dialah Titisan Dewi Kwan Im."
Ki Kenjono masih terpana tanpa gerak, menyak-
sikan kecantikan gadis itu. Diusapnya kedua matanya
dengan tangan, berusaha meyakinkan penglihatannya.
Namun gadis cantik jelita itu tetap berdiri dengan ang-gun. Gadis cantik jelita
itu tersenyum mengundang.
Matanya yang indah mengerjap-ngerjap seperti mata
kelinci. Bibirnya merah merekah. Benar-benar tak ada cacat celanya.
Ki Kenjono membalas senyuman wanita cantik je-
lita itu. Kakinya melangkah pelan, berusaha meng-
hampiri wanita cantik jelita yang sebagian kakinya diselimuti kabut tebal,
sehingga tidak nampak dari lutut ke bawah.
"Sungguh beruntung aku. Rupanya akulah yang
akan mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im," kata Ki Kenjono dengan senyum mengembang
di bibir. Kakinya melangkah setapak demi setapak menuju Lem-
bah Lamur yang tinggal beberapa tombak saja.
Kabut semakin tebal menyelimuti Lembah Lamur
yang kian mencekam. Meski terik matahari terasa me-
nyengat, namun sinarnya tiada berarti sama sekali,
terhalang gumpalan kabut pekat yang merambah lem-
bah. Ki Kenjono yang dalam kegembiraannya, tak lagi sempat berpikir panjang.
Langkah kakinya semakin
dipercepat. Dan ketika dia masuk ke dalam kabut itu, seketika dirasakannya
sesuatu yang lain.
"Oh, di mana aku" Di mana gadis Titisan Dewi
Kwan Im itu?" gumam Ki Kenjono kebingungan. Matanya menyapu ke sekelilingnya
yang terasa asing. Gadis cantik yang dilihatnya tadi kini tak ada lagi. Matanya
hanya menangkap hutan belantara yang masih
perawan, belum pernah dijamah tangan manusia.
"Mengapa aku ada di sini...?" tanya Ki Kenjono terheran-heran, masih belum
mengerti mengapa tiba-tiba dia telah berada di tempat yang asing. Padahal dia
tadi berada di lembah tanpa satu pun pepohonan.
Yang ada hanya perbukitan yang mengelilingi lembah
tersebut. "Hik hik hik...!"
Terdengar tawa terkikik yang menyeramkan. Su-
ara tawa seorang wanita yang membuat bulu kuduk Ki
Kenjono meremang hebat. Meski dari aliran sesat, na-
mun selama ini baru didengarnya tawa wanita yang
mengikik seperti itu.
Mata Ki Kenjono membelalak tegang dan menya-
pu ke sekelilingnya dengan perasaan tercekam.
"Hik hik hik...!"
Tawa wanita itu kembali terdengar. Bergema di
sekelilingnya. Membuat Ki Kenjono kian tegang. Tan-
gannya kini bergerak ke gagang Pedang Iblisnya, ke-
mudian pedang itu ditarik dari sarungnya.
Ki Kenjono kini mempersiapkan Pedang Iblisnya
untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Ma-
tanya masih menyapu ke sekelilingnya yang asing. Su-
asana di tempat itu terasa kian memompa degup jan-
tungnya. Suara-suara aneh, terdengar susul-
menyusul. Bagaikan panggilan dari alam kematian.
"Hih!" Ki Kenjono mengibaskan tubuhnya ketika bulu kuduknya bertambah meremang.
Dan ketika kepalanya menengok ke belakang, seketika matanya
membelalak lebar hampir keluar. Cepat-cepat tubuh-
nya melompat ke belakang untuk mengelakkan samba-
ran tangan besar berbulu lebat menyeramkan.
"Hogrrrh...!"
Dengus napas makhluk itu sangat menyeramkan.
Apalagi tubuhnya yang tinggi besar, hitam, dan berbu-lu lebat. Matanya merah
membara laksana api neraka.
Taringnya mencuat keluar dari mulutnya, menghias
sudut-sudut bibirnya hingga tampak bertambah me-
nyeramkan. Di atas kepalanya mencuat pula sepasang
tanduk seruncing mata tombak. Meski wajahnya tam-
pak seperti kera, namun sulit sekali makhluk itu disebut hewan. Lebih tepat jika
disebut mambang atau
sejenisnya. "Uh, makhluk apakah ini?" keluh Ki Kenjono dengan mata masih membelalak,
menyaksikan makhluk menyeramkan yang berdiri sepuluh tombak di
depannya. "Hogrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kembali menggeram,
kemudian tangannya bergerak menyambar ke arah Ki
Kenjono. Angin sambarannya sangat keras, menyen-
takkan Ki Kenjono.
"Edan!" umpat Ki Kenjono sambil melompat mengelakkan sambaran tangan makhluk
menyeramkan itu. Kemudian dengan cepat, pedangnya dibabatkan.
Wut! Tepat sekali pedang di tangan Ki Kenjono mem-
babat tangan makhluk menyeramkan itu, namun pe-
dang itu bagai tak berarti. Makhluk menyeramkan itu
tidak luka sedikit pun. Bahkan nampak bertambah be-
ringas. "Edan! Benar-benar setan!" maki Ki Kenjono sambil menghindari sambaran tangan
makhluk yang sebagian tubuhnya terbungkus kabut tebal. Yang tam-
pak hanya bagian perut hingga kepalanya saja.
Ki Kenjono terus bersalto, berusaha mengelakkan
serangan-serangan yang dilancarkan makhluk menye-
ramkan yang berwajah kera, namun memiliki taring
dan tanduk. Dengus napas makhluk itu laksana angin
kencang yang menyapu tubuh Ki Kenjono.
"Uts! Ilmu sihir!" umpat Ki Kenjono setelah beberapa kali menyabetkan pedang ke
tubuh makhluk itu,
namun tidak mendapatkan hasil apa-apa. Pedangnya
laksana membabat angin belaka. Hal itulah yang
membuat dia merasa yakin kalau makhluk menyeram-
kan itu tak lain hanya ciptaan dari ilmu sihir.
Tangan makhluk menyeramkan itu kini mencoba
mencengkeram tubuh Ki Kenjono. Namun Ki Kenjono
terus berkelit dengan melepas pukulan saktinya.
Wesss! Selarik sinar terbersit keluar dari telapak tangan
Ki Kenjono, lalu menghantam tubuh makhluk menye-
ramkan itu. Namun tetap saja makhluk itu tidak men-
galami apa-apa. Malah wajahnya semakin garang be-
rapi-api. Tangannya bergantian menyabet tubuh Ki
Kenjono, membuat lelaki itu kewalahan.
"Gila! Bisa-bisa tenagaku habis!" rutuk Ki Kenjono. Keringat semakin membasahi
pakaiannya. Puku-
lan-pukulan sakti yang dihantamkan ke arah makhluk
menyeramkan itu rupanya telah menguras tenaga da-
lamnya. Tapi makhluk menyeramkan itu bagai karang
kokoh yang tak bergeming ditampar ombak.
"Hogrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kini menyerang den-
gan kuku-kukunya yang hitam dan panjang. Menceng-
keram ke arah Ki Kenjono yang semakin kewalahan.
"Uts!"
Beberapa kali Ki Kenjono dibuat pontang-panting
ke sana kemari untuk mengelakkan sambaran-
sambaran tangan makhluk itu. Pedang Iblis di tangan-
nya tak berarti sama sekali. Makhluk itu semakin ga-
nas dan menyerang dengan membabi-buta. Geraman-
geramannya membuat suasana di sekitar tempat itu
menjadi bergetar.
*** "Hik hik hik...!".
Pada saat nyawanya dihadapkan pada gerbang
kematian, Ki Kenjono kembali mendengar suara tawa
wanita yang ganjil tadi. Tawa melengking itu mengge-
ma di sekelilingnya. Bersamaan dengan itu berkelebat sebuah bayangan putih.
"Dewi Kwan Im!" seru Ki Kenjono dengan mata membelalak, menyaksikan sosok wanita
cantik berkelebat ke arahnya. Di tangan wanita itu tergenggam sebilah pedang
yang memancarkan cahaya merah ke-
kuning-kuningan.
"Hik hik hik...!"
Wanita cantik jelita itu kembali tertawa-tawa. Pe-
dang di tangannya seketika berkelebat cepat, memba-
bat ke arah tubuh Ki Kenjono.
Cras! "Uhk! Aaakh...!" Ki Kenjono melolong panjang, tidak mampu mengelakkan serangan
yang dilancarkan
gadis cantik itu. Matanya membelalak lebar. Wajahnya kini tersayat hingga
mengucurkan darah. Sebuah luka
bekas babatan, menganga dari atas ke bawah wajah-
nya. Ki Kenjono seketika meregang, kemudian ambruk
tanpa nyawa. "Hik hik hik...!"
Wanita cantik itu kembali tertawa terkikik, lalu
dengan cepat tangannya mencengkeram tubuh Ki Ken-
jono. Bersamaan dengan itu, makhluk menyeramkan
yang tadi menyerang Ki Kenjono lenyap begitu saja.
Wanita cantik itu pun berkelebat sambil memba-
wa tubuh Ki Kenjono, dan menghilang dalam kegela-
pan hutan. Seketika itu juga, kabut bergulung dengan cepat. Berarak pergi,
membawa semua misteri yang
ada. Suasana Lembah Lamur kembali hening dan se-
pi, menyimpan sejuta tanda tanya. Kini keadaan nam-
pak kembali seperti semula. Sebuah lembah yang ger-
sang dan sepi. Dan debu-debunya beterbangan tersapu
angin. Mentari telah condong ke arah barat, menanda-
kan hari menjelang sore. Angin bertiup sepoi-sepoi, sehingga suasana di sekitar
tempat itu menjadi sejuk.
Saat itu, tiga orang laki-laki dengan pakaian In-
Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia tampak melangkah menuju Lembah Lamur. Keti-
ganya berhidung mancung dengan kumis tebal melin-
tang. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki gemuk
berpakaian kulit kambing. Wajah pemimpin mereka
yang bernama Amal Meshk, nampak bengis. Cambang
bauk kasar menghiasi wajahnya. Alis mata dan bibir-
nya tebal. Lelaki gemuk itu sengaja datang dari daratan In-
dia. Dia adalah Ketua Perguruan Samarakasta, sebuah
perguruan besar di tanah India. Tentunya kedatangan
mereka berkaitan erat dengan berita tentang Titisan
Dewi Kwan Im. Di belakang lelaki gemuk itu, berjalan dua lelaki
bertubuh gempal. Wajah kedua lelaki ini pun dipenuhi cambang bauk yang kasar,
membuat kesan wajah mereka terlihat bengis pula. Pakaian keduanya juga ter-
buat dari kulit kambing berwarna belang. Di tangan
orang sebelah kin, tergenggam sebuah lambang dari
perguruan mereka dengan gambar seekor elang hitam.
"Masih jauhkah Lembah Lamur, Ketua?" tanya Rabindra, orang yang berjalan di
sebelah kanan belakang sang Ketua.
"Hm.... Kurasa tidak. Bukankah orang itu me-
nunjukkan di sekitar sini," guman sang Ketua yang bernama Amal Meshk atau Elang
Hitam. Matanya memandang ke depan, pada sebuah lembah yang mem-
bentang, sepi dan gersang. Di sana debu beterbangan
tertiup angin. Saat kaki mereka melangkah ke arah Lembah
Lamur, tiba-tiba angin bertiup kencang. Hal itu mem-
buat Amal Meshk dan anak buahnya tersentak. Mere-
ka membelalakkan mata, memandang kaget ke arah
Lembah Lamur. "Hei, lihat! Angin itu datangnya dari bukit! Ah, aneh sekali. Seakan ada yang
mendatangkan angin
itu!" seru Amal Meshk sambil melangkah mundur, berusaha menahan tubuhnya yang
gemuk dari sapuan
angin lembah yang kencang.
Wusss! Angin lembah semakin kencang, menderu-deru
ke arah mereka. Angin itu seperti sengaja ditujukan
kepada mereka, hingga hembusannya hanya ke arah
mereka saja. "Awas...! Jelas ini ada yang sengaja mengarahkan angin ke arah kita...!" seru
Amal Meshk, mengingatkan anak buahnya agar berhati-hati.
Wusss! "Celaka! Angin ini benar-benar bukan angin
alam! Angin ini sengaja dibuat oleh seseorang untuk
menghalangi niat kita...!" seru Amal Meshk. "Kajit Singh, cepat kau bertindak!"
Lelaki yang memegang panji segera bertindak.
Dengan teriakan yang menggelegar, Kajit Singh melesat
"Yeaaah...!"
Tangan Kajit Singh bergerak cepat, saling silang
dan kemudian mengibas. Dari gerakan tangannya, ke-
luar angin yang begitu cepat. Semakin cepat tangan
Kajit Singh bergerak, semakin cepat pula angin ber-
hembus. Perlahan-lahan angin yang menderu ke arah me-
reka dapat diatasi. Kini angin yang keluar dari tangan Kajit Singh, terus
menekan angin yang datangnya dari bukit. Pada saat itu, tiba-tiba berkelebat
sebuah bayangan putih. Begitu cepat bayangan itu berkelebat sampai-sampai mereka tidak
dapat melihat dengan
pasti bagaimana rupanya.
Kajit Singh tersentak kaget. Matanya membela-
lak. Dia berusaha menghindar, namun ternyata baba-
tan pedang yang mengeluarkan sinar merah kekuning-
kuningan di tangan bayangan putih itu lebih cepat
membabat wajah Kajit Singh.
Cras! "Aaa...!"
Kajit Singh memekik keras. Tangannya seketika
menutupi wajahnya yang terbabat pedang. Darah de-
ras keluar membanjiri wajahnya. Sesaat tubuhnya me-
regang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Amal Meshk tersentak kaget, menyaksikan seo-
rang anak buahnya dapat dirobohkan oleh bayangan
putih yang belum jelas siapa orangnya.
"Kajit...!"
Amal Meshk hendak lari mendekati tubuh Kajit
Singh, namun angin kembali berhembus kencang.
"Angin keparat!" maid Amal Meshk marah. Dengan beringas, tangannya bergerak,
menyapu deru an-
gin yang menyerang ke arahnya. "Yeaaat...!"
Amal Meshk yang sudah marah tak lagi menghi-
raukan apa yang bakal terjadi. Tubuhnya terus berke-
lebat sambil menggerak-gerakkan tangan.
"Keluarlah kau! Hadapi Amal Meshk!" bentak Amal Meshk penuh kemarahan, menantang
bayangan putih yang tiba-tiba saja menjadi malaikat maut bagi Kajit Singh.
Wusss! Angin kembali menderu kencang. Pada saat itu,
sebuah sosok bayangan putih yang memegang pedang
bersinar merah kekuning-kuningan kembali muncul.
Bayangan itu berkelebat cepat, kemudian tangannya
bergerak membabatkan pedang ke arah Amal Meshk.
Amal Meshk tersentak. Tubuhnya menyurut
mundur, kemudian segera mengelakkan babatan pe-
dang itu. Tangannya dengan sigap mencabut senja-
tanya yang berbentuk cakar elang. Kemudian dengan
membuat jurus 'Elang Hitam Mengepak Sayap Men-
cengkeram Mangsa', Amal Meshk balas menyerang.
"Kau...!"
Amal Meshk terperanjat ketika melihat wajah
bayangan putih itu. Namun hanya itu yang keluar dari mulutnya. Matanya
membelalak, menyaksikan sinar
terang yang terpancar dari pedang dan tubuh bayan-
gan putih itu. Setelah itu, pedang bersinar merah kekuning-kuningan telah
menebas wajahnya.
"Aaa...!" Amal Meshk memekik. Di wajahnya
nampak sayatan pedang dari atas sampai ke bawah,
seakan membelah wajahnya. Matanya melotot tubuh-
nya mengejang sebelum ambruk tanpa nyawa. Begitu
juga dengan seorang anak buahnya yang lain.
Suasana Lembah Lamur kembali sepi, hanya ti-
upan angin yang menderu kencang dan sesosok
bayangan putih yang masih berada di lembah itu. Se-
dangkan ketiga orang India itu telah bergelimpangan
menjadi mayat "Hik hik hik...!"
Bayangan putih itu tertawa, lalu melesat dengan
membawa tiga tubuh yang menjadi korbannya. Kemu-
dian, menghilang dalam gulungan kabut yang tebal.
4 Sena Manggala tampak tengah melangkah me-
nyelusuri gelapnya malam dalam usaha mencari tem-
pat beristirahat. Seharian kakinya telah melangkah
untuk mencari berita tentang Mei Lie yang diculik entah oleh siapa. Namun sampai
sejauh itu, berita ten-
tang gadis itu belum juga didapatkan.
"Mei Lie, di manakah kau berada" Ah, telah jauh sekali aku berjalan mencarimu.
Bahkan entah di mana
aku kini berada. Mungkin aku telah sampai di perba-
tasan wilayah tengah dan timur," desis Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya tersenyum hampa.
Kaki Sena terus melangkah menyelusuri jalan,
sampai akhirnya dia tiba di dekat sebuah bangunan
tua. Malam telah larut dengan kegelapan yang menye-
limuti bumi. Udara terasa sangat dingin, menusuk tu-
lang sumsum. Kabut bergerak perlahan, melengkapi
kegelapan malam yang semakin mencekam.
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan dari kejauhan terdengar
mendirikan bulu kuduk yang mendengarnya. Namun
Sena tak menghiraukan. Dia malah tertawa cekikikan.
Tingkah lakunya seperti orang gila atau terlihat seperti kera kebingungan.
Bangunan tua menjulang tinggi dengan megah.
Meski dalam kegelapan, namun mata Sena mampu
melihat kemegahan bangunan itu.
Mata Sena menatap puncak bangunan sekaligus
menatap langit yang gelap. Malam itu tiada satu pun
bintang terlihat, terlebih bulan. Langit hanya dipadati oleh arakan mega
berwarna pekat "Hi hi hi.... Malam gelap. Ah..., gulita," gumam Sena sambil cengengesan dengan
tangan masih menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa tergelak-gelak.
Angin berhembus semakin dingin, dibarengi oleh
kabut yang kian mencekam.
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan terdengar sayup-sayup.
Sinar lidah petir berkilat, membuat suasana di sekeliling tempat itu untuk
sementara tenang. Saat itulah
matanya melihat sesosok tubuh berjalan terhuyung-
huyung. Nampak orang itu tengah terluka dalam.
"Hei, siapakah itu"!" tegur Sena setengah berteriak. "Hi hi hi.... Rupanya aku
tidak sendiri?"
Orang itu berkelebat cepat ketika mendengar te-
guran Sena. Hal itu membuat semakin membuat Sena
penasaran. "Lho, kenapa lari"! Eit, tunggu! Hi hi hi...!"
Sambil tertawa terkikik-kikik, Sena berkelebat
mengejar. Namun bayangan itu seketika menghilang
seakan raib begitu saja, membuat mata Pendekar Gila
membelalak. Tangannya kembali menggaruk-garuk
Lencana Pembunuh Naga 3 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Pahlawan Dan Kaisar 1