Pencarian

Tangan Hitam Elang Perak 1

Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-
laka TANGAN HITAM ELANG PERAK Oleh Buce L. Hadi
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit Dilarang mengutip atau
mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Tangan Hitam Elang Perak
1 Arus kali Progo begitu deras membawa sebuah
perahu yang cukup besar dan bagus. Sekeliling perahu itu dihiasi dengan ukiran-
ukiran yang membentuk seperti hiasan-hiasan kerajaan. Pada kepala perahunya
tergambar sebuah kepala burung Elang. Dengan layar
berkembang dihembus angin, perahu itu semakin me-
laju menyusuri sepanjang kali. Salah seorang penum-
pangnya mengatur haluan. Kedua matanya tidak berhenti mengawasi sisi-sisi kali
yang mereka lewati. Dari dalam sebuah ruangan yang ter-dapat pada perahu
tersebut, ke luar seorang perempuan berumur tiga puluhan. Seekor anjing berbulu
hitam mengikuti lang-
kahnya. "Kanda Adinaya..... Sudah sampai di manakah
kita?" kata perempuan itu.
"Masih jauh, istriku... masih jauh sekali..." jawab orang yang berdiri mengatur
haluan. Perempuan
itu mendekatinya.
"Aku ingin secepatnya sampai di desa Gerong-
sewu sebelum hari gelap. Udara di sini dingin sekali....
Kanda sendiri sudah merasakannya, bukan...?"
"Ya... ya.... Memang dingin di sini, tapi selain di perahu ini kita harus tidur
di mana" Pakailah seli-mutku biar kau bisa tidur nyenyak...."
Perempuan itu masuk lagi ke dalam, anjing
berbulu hitam terus mengikutinya.
"Istriku... Apakah si Gerong sudah kau beri
makan?" tanya suaminya dari luar. Gerong yang dimaksud adalah anjing
peliharaannya. "Kau yang lupa makan, Kanda...!" sahut istrinya dari dalam. Senja merambat
pelan, angin makin
kencang berhembus. Suara dedaunan dari pohon-
pohon yang lebat di kedua sisi kali itu bergemeresek.
Suara binatang malam pun mulai terdengar. Sebentar-
sebentar lelaki itu mengusap-usap lengannya yang
nampak menggigil. Keadaan menjadi sunyi. Hanya su-
ara derit haluan yang bergerak ke kanan dan ke kiri mengiringi perjalanan itu.
Mendadak..... "Hoooooooi...! Orang-orang Elang Perak..... Kenapa harus terburu-buru...!"
teriakan nyaring meng-gema dari sebelah kanan pinggir kali.
"Apa kalian tidak takut melintasi kali progo di tengah malam buta begini...?"
terdengar lagi teriakan dari sebelah kiri. Sudah tentu orang yang memegang
haluan itu celingukan. Tanpa rasa takut ia menjawab.
"Ki Sanak.... Kalau kita satu perjalanan, Ki Sanak boleh menumpang di perahuku
ini...." "Tidak disangka orang-orang Elang Perak ber-
budi luhur.... Sejak tadi kami memang sudah mengun-
tit kalian dan bermaksud singgah di perahu kalian...."
Mendengar suara-suara teriak, perempuan
yang sudah pulas tertidur bangun lagi. Dari dalam ia langsung bertanya....
"Kanda.... bicara dengan siapa?"
Gerong menggonggong. Adinaya, suaminya ti-
dak menjawab pertanyaan sang istri. Malah ia melan-
jutkan percakapan dengan orang-orang yang bersem-
bunyi di balik pepohonan.
"Aku tahu Ki Sanak adalah orang-orang yang
berilmu tinggi, kalau hanya ingin menumpang, silah-
kan datang ke sini.... Mengapa harus malu-malu?" ka-ta Adinaya tegas. Tiba-tiba
saja dedaunan yang lebat itu berguncang-guncang. Kemudian dari atas pepohonan
yang cukup tinggi, muncul beberapa sosok bayan-
gan berputar di udara. Lalu dengan mantap hinggap di
atas perahu tersebut. Dari sebelah pinggir kanan dua orang, dari kiri dua orang.
Keempat orang itu berpakaian sama. Mereka nampak seperti prajurit-prajurit
kerajaan. Hanya perawakan mereka saja yang berbeda.
Hal itu dapat dilihat karena mereka tanpa mengenakan baju. Rambut mereka
disanggul ke atas, dan wajah
mereka hampir ditutupi dengan berewok yang menye-
ramkan. Meskipun Adinaya dan istrinya sudah melihat kedatangan tamu-tamunya ini,
mereka bersikap tenang-tenag saja.
"Ah.... kami kira siapa Ki Sanak-Ki Sanak ini....
Rupanya gerombolan begal Singa Kali Progo...." Ternyata Adinaya sudah mengenal
mereka sebelumnya....
"Guk... Guk.... Guk...." Gerong menggonggong lagi. Nampaknya binatang itu tidak
menyukai kehadiran tamu tak diundang.
"Nama besar Singa Kali Progo tidak berarti apa-apa dibanding orang-orang Elang
Perak.... he... he....
he lagi pula.... Maksud kedatangan kami bukan hanya untuk menumpang, saudara
Adinaya.... juga untuk....
he... he... he...."
"Untuk apa, saudara Singa Kali Progo?" tanya Adinaya ingin tahu. Sang istri
sudah tahu gelagat, ma-ka diam-diam ia mengencangkan ikat pinggangnya.
"Kalau bukan karena benda pusaka, mana be-
rani orang-orang Singa Kali Progo mengusik murid-
murid Elang Perak" He.... he... he...."
"Mana ada benda pusaka di sini! Bilang saja kalau kalian mau merampok!....
Jangan banyak basa ba-
si saudara Singa Kali Progo! Kami sudah tahu segala tindak tanduk kalian...
huh!!" Isteri Adinaya geram.
"Aahhh.....Tidak perlu bertengkar, Nyonya....
Kami akan segera pergi kalau sudah mendapatkan
benda pusaka itu...." kata salah seorang kelompok
Singa Kali Progo.
"Sudah kukatakan benda pusaka itu tidak ada
pada kami. Sebaiknya kalian menyingkir...!" bentak perempuan itu.
"Guk...! Guk...! ukk....!" anjing itu menyalak-nyalak keras.
"Ratih....! Bicaralah yang sopan.... Bagaimanapun juga kita harus menghormati
mereka...." Adinaya menengahi.
"Benar kata suami Nyonya.... percuma saja
mengusir kami! Kami tidak akan menyingkir dari sini...
Serahkan dulu pusaka......!"
"Setan Alas.... Heaaaaaaa...!" Ratih main menyerang melancarkan sebuah pukulan
ke wajah orang yang berbicara tadi. Kalau saja orang itu tidak segera mundur, mungkin ia sudah
terjungkal. Tendangannya
memutar namun masih dapat dia tangkis. Seorang dari kelompok begal itu datang
membantu. Kini Ratih harus menghadapi dua orang. Tentu saja Adinaya tidak
tinggal diam melihat pengeroyokan itu. Ia melompat
memotong serangan kelompok begal yang menyerang
istrinya. Namun ia pun diikuti oleh anggota kelompok Singa Kali Progo.
"Saudara Adinaya.... Biarkan saja istri mu ber-main-main dengan kedua saudara
ku... he... he... he....
Kalau kau mau ikut campur, terpaksa kami berdua
akan menghadapimu...."
"Keparat....! Orang-orang Singa Kali Progo me-
mang musti diberantas! Heaaaaaaa....!" Adinaya menghadapi dua orang. Rentangan
tangannya membuat ke-
dua orang bertampang menyeramkan itu jadi gelaga-
pan. Dan teriakan-teriakan terdengar berbarengan
dengan setiap gerakan mereka....
"Splaaaaak....!" Sabetan tangan mereka saling
beradu.... "Desssss...!" Tendangan Adinaya berhasil masuk di lambung salah satu
penyerangnya. Mendapat
tendangan yang sangat keras orang itu hanya terdo-
rong beberapa langkah ke belakang. Sungguh luar bi-
asa.... Kalau saja kelompok itu tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, tentunya
pasangan suami istri yang kosen dari perguruan Elang Perak sudah melempar jatuh
keempat anggota begal Singa Kali Progo itu...
Perkelahian hebat tak terelakkan lagi. Selain
suara-suara teriakan mereka maupun suara bera-
dunya pukulan.... Suara gonggongan Gerong ikut me-
ramaikan suasana di atas perahu yang melaju terus
mengikuti arus kali. Ranti cepat menepis di saat penyerangnya melancarkan
tinjunya, lalu dengan telapak tangannya yang setengah memutar Ranti dapat
menangkap lengan kiri itu. Kemudian lengan kiri Ranti langsung menghajar
tenggorokan manusia berewok
menyeramkan sampai berteriak kesakitan. Dua seran-
gan lagi datang. Kali ini dari arah yang berlainan.
"Hraaaaa....! Heaaaaaat....!" Ranti melompat menghindar. Tapi begitu ia turun,
sebuah hantaman
mengenai bagian belakang.
"Arggggg...! Ranti memekik kesakitan. Tubuh
Ranti berputar berusaha membalas sepakan itu...
"Hiaaaa....! Plaaak....!" Serangan yang begitu dahsyatpun masih juga dapat
dihindari oleh anggota begal Singa Kali Progo.
Adinaya betul-betul khawatir terhadap istrinya.
Ingin sebenarnya ia membantu. Tapi lawan-lawan yang ia hadapi semakin gencar
melancarkan jurus-jurus
maut yang mematikan, Adinaya sendiri hampir kewa-
lahan menghadapinya. Gerong masih terus menggong-
gong. Manakala kedua tuannya sibuk bertempur.
Kalau hanya berkelit, Adinaya maupun Ratih
masih dapat mengelakan serangan-serangan yang di-
lancarkan oleh gerombolan Singa Kali Progo yang terdiri dari empat orang itu.
Tapi lantaran para penyerangnya memiliki kemampuan yang hampir setaraf, pasan-
gan suami istri itu harus kerja keras mengatasinya.
Gerong melompat menubruk, serta menggigit
salah seorang yang menyerang Ratih.
"WUAA....!!" Orang itu menjerit kalap. Lengannya yang kekar reflek mencengkram
leher Gerong. "Kaiii-ing....! Praaaaak...!" kakinya menginjak hancur kepala Gerong. Sesaat
Gerong kelojotan,
kemudian diam tak berkutik.
"Gerooooong...." Ratih memekik.
"Batok kepala kalian akan sama hancurnya se-
perti anjing ini. Tapi gerombolan Singa Kali Progo masih bisa berbaik hati....
itu pun kalau kalian mau menyerahkan pusaka itu...." kata orang berewok itu
dengan menyeringai.
"Sungguh besar nyali kalian berani berkata be-
gitu terhadap orang-orang Elang Perak. Betul-betul tidak tahu aturan. Itu
berarti kalian telah menggali lo-bang untuk kuburan kalian sendiri. Majulah.
Telah terlanjur kita bentrok, mengapa tidak kita teruskan sampai titik darah
penghabisan." kata Adinaya menahan amarah.
Istrinya, Ratih sudah bersiap-siap dengan ju-
rus-jurus andalannya. Begitu pula dengan gerombolan Singa Kali Progo. Mereka
tidak kalah sigapnya mengeluarkan jurus-jurus yang ampuh. Keempat berewok itu
berjumpalitan mengelilingi pasangan suami istri dari perguruan Elang Perak.
Diselingi dengan beberapa pukulan yang datang secara mendadak ke arah Adinaya
maupun Ratih. Adinaya memutar lengannya lalu ia hentakkan
ke muka. "Jebereeet....!" Pukulan itu beradu. Lengannya terasa berdenyut. Matanya yang
selalu awas dapat melirik serangan yang datang dari belakang. Secepatnya ia
merunduk sambil mendorong kakinya,
"Wessssss...!" Serangan itu meleset. Gerombolan Singa Kali Progo memang bukan
lawan yang sem-
barangan. Kalau serangan tadi lolos, maka menyusul
lagi serangan baru. Selalu saja begitu.
Ratih mulai terdesak. Dua orang lawannya me-
nyerang secara bertubi-tubi. Bergerak dan atas dan bawah. Ratih betul-betul
tidak dapat membalas serangan itu. Dapat menangkis atau menghindarinya saja
sudah bagus. Ia hanya mundur-mundur sambil men-
gibas-ngibaskan kedua tangannya. "Plaak! Plak!" Jotosan itu dapat ditepis oleh
Ratih. Tapi, "Dess...!" Ratih tidak dapat menghindari tendangan itu.... Keras sekali tubuhnya
terbanting. Teriakan amarah Adinaya menggelegar.... "Hreaaaaaa....!"
Tinjunya menerobos mengenai tubuh salah satu la-
wannya yang berbadan besar. Lalu kakinya dengan ce-
pat menendang. "Plak! Hiaaaat...! Plaaaaaaak...!" Tendangan beruntun itu masih
dapat ditangkis.
"Ternyata kepandaian murid-murid per-guruan
Elang Perak hanya sebegini-begini saja. Mana" Apa
masih ada jurus-jurus yang lain?" kata salah seorang lawannya mengejek.
Mendengar perkataan yang begitu
nyelekit, Adinaya menjadi gusar bukan kepalang. Tangannya terkembang ke atas,
mengepak-ngepak bagai
sepasang sayap. Lalu jari-jari tangannya bergerak ka-ku membentuk cakar Elang.
Cakaran-cakaran itu ber-
kelebat ke sana ke mari. "Wus! Wus! Wus...!" Mendapat serangan yang begitu,
orang-orang Singa Kali Progo
menjatuhkan diri menyusup maju menghadapi caka-
ran-cakaran itu. Salah seorang dari mereka melompat.
"Bret... Bret... Bret!" Tubuh yang telanjang dada itu tergores oleh cakaran-
cakaran Adinaya. Jelas luka-luka itu mengeluarkan darah. Tapi ia malah maju se-
makin dekat. "Bret... Bret!" Kembali cakar Adinaya melukai dadanya. Di luar
dugaan orang itu langsung menubruk membekuk Adinaya. Tenaganya dikerahkan
agar Adinaya tak da-pat lepas. Adinaya meronta-ronta.
Dalam keadaan seperti itu orang-orang Singa Kali Pro-go dengan mudah dapat
melancarkan serangan.
"Dueeesss....!" Sebuah jotosan menghantam keras di kepala Adinaya. "Bug!
Desss!!" Tendangan dan pukulan tak dapat
dihindarinya. "Kanda...!" Ratih memekik melihat suami nya keteter. Bagaimanapun juga Ratih
tidak dapat membantu suaminya. Karena ia sendiri terlalu sibuk men-gurusi lawan-
lawannya. Rasa khawatir selalu ada dalam pikiran Ratih. Makanya dalam setiap
gerakannya menjadi lamban, mungkin dikarenakan pikirannya
yang bercabang dua. Sampai-sampai serangan yang
begitu cepat tak bisa dihindarinya lagi. "Buuug!" Dua jotosan sekaligus
menghantam dada Ratih. Kontan na-fasnya menjadi sesak. Pandangannya nanar.
Sebelah tangannya memegangi dada-nya yang terasa sakit.
Tanpa terasa darah keluar dari mulutnya. "Ohkkk...!"


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang berewok itu tertawa menyeringai. Tahutahu satu pukulan lagi melayang
ke perut Ratih.. Tubuh ramping itu terpental membentur tiang layar.
Sekali hentak, Adinaya berhasil melepaskan diri
dari bekukan lawannya. Meski-
pun tubuhnya sudah hancur memar, tenaga-
nya yang masih tersisa mengokohkan diri-nya berdiri
tegak setegar batu karang. Ke-empat manusia menye-
ramkan yang berdiri di depannya hanya memandang.
"Kau lihat di sana itu, saudara Adinaya.... Is-trimu yang cerewet sudah kubikin
mampus dengan tu-
lang rusuk yang remuk...! Apakah kau juga masih ke-
ras kepala..." Serahkan saja pusaka itu kepada ka-
mi...!" "Keparaaaaattttt!" Bunuh saja aku sekalian!
Mati hidu pun tak akan kuserahkan pusaka itu.... Manusia-manusia busuk...!"
Adinaya tetap berdiri tegar.
"Membunuh seorang yang hampir mampus apa
susahnya...! Jelas-jelas pusaka itu ada di sini, dan kau sendiri hampir
mampus... mengapa masih dipertahan-kan juga...." kata orang yang berdiri paling
depan. Lalu ia mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tentu sa-ja aba-aba itu
dapat di-mengerti oleh ketiga orang
lainnya. Maka secepat kilat ketiga manusia yang men-juluki kelompoknya Singa
Kali Progo memberi hanta-
man berbareng. "Desss...! Desss...! Desss!" Tubuh Adinaya ambruk tak berkutik.
"Geledah seluruh isi perahu ini. Cari pusaka itu sampai dapat...." perintah
orang yang memberi aba-aba tadi. Maka tanpa buang
waktu ketiga orang berewok berpencar menyusup
mencari sesuatu benda yang di anggap nya pusaka.
"Kalau perlu bongkar seluruh perahu mi ..." katanya lagi. Dan ia sendiri
mendekati tubuh Adinaya.
Seluruh pakaiannya digeledah. Tidak ada satu apapun di balik baju yang dikenakan
Adinaya. Matanya melotot marah. Lalu ia melirik ke arah Ratih. Tubuh pe-
rempuan itu pun tidak luput dari penggeledahan. Sa-ma saja, ia tidak menemukan
apa-apa. Sekalipun ia
sudah menelanjangi m ay at perempuan itu. Tak lama
ketiga prang berewok itu ke luar menemui pemimpin-
nya. "Kang Dawuk.... Di dalam perahu tidak |da apa-apa! Kami sudah membongkar
seluruh muatan perahu ini, bahkan seluruh sudut sudah kami cari...."
"Apa kalian betul-betul mencarinya" Brengsek!
Kita sudah dua kali tertipu oleh orang-orang Elang Perak! Kapan sebenarnya
pengiriman pusaka itu ke Ge-
rongsewu" Kapan..," Apa kita harus menunggu di sini terus?" Dawuk marah.
"Kalau begini terus, lama kelamaan bakal keta-
huan siapa yang selalu menjegal orang-orang Elang Perak. Kita-kita akan celaka."
katanya lagi. Lalu ia melompat meninggalkan perahu yang masih tetap me-
laju. Ketiga orang berewok itu mengikuti-nya. Sekali lompat ketiganya sudah
berada di pinggiran kali. Kemudian menyusup dalam semak-semak yang lebat
mengikuti ke mana arah kepergian Dawuk, pemimpin-
nya. * ** 2 Perahu yang dihiasi penuh dengan ukiran, me-
rambat pelan di pinggiran kali Progo. Layarnya masih tetap berkembang karena
hembusan angin begitu kencang bertiup. Namun laju perahu itu seperti tak ter-
kendali Kadang-kadang kepala perahu yang ber-
gambar kepala burung Elang membentur tanah pinggi-
ran kali tersebut.
Di bagian atas perahu nampak begitu beranta-
kan. Nampaknya seperti habis di obrak-abrik oleh se-
seorang. Tidak jauh dari tiang layar tergeletak pula bangkai seekor anjing hitam
dengan kepala remuk.
Dekat haluan terlentang tubuh seorang lelaki dengan nafas yang sebentar-sebentar
terputus. Seluruh tubuh lelaki itu penuh luka memar memerah mulai mem-bengkak.
Orang itu merangkak menyeret tubuhnya
mendekati mayat bugil di dekat tiang layar.
"Ratih.... Ratihhh..." Lelaki itu ambruk di atas mayat bugil istrinya. Tangisnya
hampir tidak kedengaran. Kemudian ia mengangkat wajahnya menatap ke
arah bangkai anjing yang tergeletak tidak jauh dari si-tu. Hanya dengan tiga
kali rangkakan ia sudah mencapai bangkai anjing yang sudah kaku beku. Tangannya
yang gemetar mengelus-elus leher binatang kesayan-
gannya. Ada sesuatu yang melingkar pada leher bina-
tang itu. Seutas tali hitam. Membentuk seuntai kalung.
Bandulannya pun dibungkus dengan kain hitam. En-
tah apa yang terbungkus di dalamnya. Laki-laki itu
menarik dengan sekali sentak. Maka kalung itu sudah berada dalam genggamannya.
"Aaaaaaah.... Untung saja benda ini tidak jatuh ke tangan mereka. Kalau
tidak.... Bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap orang-orang Elang
Perak.... Aaaa-ah...." katanya sambil berusaha bangun dengan berpegangan pada
pinggiran perahu yang penuh ukiran. Hampir ia tidak dapat berdiri. Seluruh
tubuhnya terasa remuk. Untuk berjalan selangkah saja
ia harus menahan sakit yang tidak terkira.
"Paman.... Apa yang terjadi di perahu ini...?"
Bagai disambar petir lelaki itu mendengar suara orang lain di atas perahunya.
Seorang pemuda tanggung ta-hu-tahu berada di hadapannya.
"Manusia busuk! Kau pun ingin pusaka ini,
bukan" Jangan mimpi.... Sebaiknya cepat tinggalkan
perahu ini. Pergi! Pergiiiii...!"
"Paman... Aku...."
"Orang-orang golongan hitam terlalu banyak
basa basi. Toh akhirnya akan terlihat juga maksud dan tujuannya. Untuk apa lagi
kalau bukan karena barang pusaka...." Orang itu menyeruduk. Tangannya yang
menggenggam kalung hitam maju memukul. Anak
muda itu bergeser. Serangannya luput. Maka orang
yang sudah sekarat itu ambruk tak bangun-bangun
lagi. Anak muda ini pun semakin heran.
"Paman...! Paman...!" Diguncang-guncangkan tubuh yang terluka parah itu. Namun
tidak bergeming sedikit pun. Adinaya betul-betul telah mati. Jemari tangannya
erat menggenggam kalung hitam.
"Paman ini menyebut-nyebut barang pusaka...
Dan mengira aku berdiri pada golongan hitam yang
bermaksud merebutnya.... Pusaka.... Pusaka apa?"
Anak muda mi makin heran.
"Siapa sebenarnya mereka ini?" Pikirnya lagi. Ia memeriksa mayat Adinaya.
Seluruh tubuhnya penuh
luka memar mengerikan. Yang menjadi perhatiannya
adalah seuntai kalung hitam yang tergenggam erat.
Semula ia tidak memperdulikannya, mungkin karena
bentuknya kurang menarik. Kalung itu hanya terbuat
dari seutas tali hitam yang berpusat pada sesuatu
yang terbungkus dengan kain hitam yang berwarna hi-
tam pula. Terdorong dengan perasaan ingin tahu, ak-
hirnya anak muda ini memberanikan diri mengambil
kalung hitam dari genggaman mayat yang tak dikenal-
nya. "Kalung jelek seperti inikah yang dimaksudkan benda pusaka" Aneh....! Benda
apa pula yang terbungkus kain hitam ini" Dan apa yang dilihatnya setelah kain
pembungkusnya terbuka.... Tidak ada kejutan
sama sekali! Hanya kepala Elang terbuat dari Perak
sebesar telapak tangan. Ia pun jadi tersenyum...
"Serasi juga kepala Elang perak ini dengan tali hitam... Kalau aku mengenakannya
pasti akan lebih
cocok.... Lebih cocok disebut pengelana daripada sebelumnya. Kupakai saja kalung
ini. Pemiliknya pun su-
dah mati."
Dia betul-betul mengenakan kalung itu di le-
hernya. Dan ia merasa puas sekali. Bagaimana tidak.
Bajunya yang terbuat dari kulit binatang, kini dihiasi dengan kalung berliontin
kepala Burung Elang. Apalagi liontin itu terbuat dari perak. Jarang sekali
pengelana mengenakan barang yang berharga. Walaupun dalam
bentuk perak maupun emas.
Setelah menatap kedua mayat dalam perahu
itu. Ia melompat ke pinggiran kali. Gerakannya sukar diikuti pandangan mata.
Tahu-tahu saja ia berada
jauh dari perahu. Di lihat dari gerakannya, tentulah anak muda itu memiliki ilmu
peringan tubuh yang
sangat luar biasa.
*** Kematian Adinaya dan istrinya menjadi masa-
lah besar bagi kalangan perguruan Elang Perak. Seluruh anggota perguruan yang
merupakan pentolan ber-
kumpul dalam sebuah ruangan yang cukup besar. Ki
Randaka duduk paling menonjol di atas bantalan ber-
lapis sutra merah. Lainnya yang berjumlah kurang lebih empat belas orang duduk
melingkar tanpa alas
bantalan apa-apa..
"Soal kematian Adinaya dan Ratih memang me-
rupakan pukulan berat bagi kita.... Sekarang yang jadi masalah adalah pusaka
Elang yang turut hilang ber-
sama mereka....! Aku khawatir pusaka itu jatuh ke
tangan orang-orang golongan hitam...." kata Ki Randaka.
"Pastilah ini perbuatan kelompok Singa Kali
Progo! Karena mereka penguasa sepanjang kali itu...!"
kata orang yang duduk di sebelah kanannya.
"Ya, pasti...! Siapa lagi kalau bukan perbuatan mereka!" Yang lain ikut
menimpali. "Guru.... Sebaiknya kita cepat mencari gerom-
bolan pengacau itu. Kita ambil kembali pusaka
Elang.... Kalau perlu kita habisi mereka...!"
"Kalian jangan berperasangka buruk dulu ter-
hadap mereka!" bentak Ki Randaka. Suasana pun
menjadi hening kembali. Lalu ia melanjutkan lagi
pembicaraannya.
"Kelompok Singa Kali Progo sudah bertekuk lu-
tut terhadap kita. Mana mungkin mereka berani men-
gusik orang-orang Elang Perak" Kalian masih ingat ketika mereka bersumpah" Dawuk
pemimpin gerombolan
itu bilang, bahwa mereka akan lari menyingkir bila melihat orang-orang Elang
Perak!" "Tapi, Guru..... Siapa yang tidak akan tergiur dengan pusaka Elang itu..."
Mereka bisa saja men-gingkari sumpahnya. Segala perampok seperti mereka
mana pernah betul ucapannya."
"Memang betul apa yang kau ucapkan itu, Adi
Bahruna... tapi mana bisa kita main tuduh seenaknya.
Siapa tahu ada partai lain yang mencegat Adinaya, sehingga kelompok Singa Kali
Progo menjadi kambing hitam." pendapat Ki Randaka.
"Tidak....! Tidak masuk akal! Partai lain mana mungkin berani beroperasi di
daerah kekuasaan orang.
Kalau pun ada tentunya ke empat anggota Singa Kali Progo sudah menjadi mayat."
kata Bahruna yang du-
duk urutan kelima dari sisi kiri Ki Randaka. Ki Randaka terdiam berpikir.
"Lalu bagaimana caranya agar kita bisa mempe-
roleh pusaka Elang itu kembali ke tangan kita?" tanya Ki Randaka ketua Agung
perguruan Elang Perak.
"Satu-satunya jalan, kita harus pergi ke Ge-
rongsewu. Tentunya mereka tengah menunggu-nunggu
pengiriman benda itu. Walaupun mereka percaya, ten-
tunya kita akan kehilangan nama besar."
Para pentolan perguruan Elang Perak tertun-
duk diam. Hanya Bahruna yang berani menatap Ki
Randaka. "Apapun prasangka mereka, kita harus segera
pergi ke Gerongsewu. Setidak-tidaknya kita bisa minta pendapatnya untuk
memecahkan masalah ini. Kalau
kita hanya diam di sini terus, tidak ada gunanya. Pertemuan empat partai besar
tinggal beberapa hari lagi.
Kita harus menjelaskannya kepada para pendekar Ge-
rongsewu dari sekarang."
Ki Randaka berpikir sejenak, apa yang dikata-
kan Bahruna memang benar. Suasana ruangan itu jadi
hening. "Guru..... Kalau boleh saya tahu, sudah berapa kalikah Guru mengikuti
pertemuan dengan para pendekar Gerongsewu...?" tanya orang yang duduk pada
deretan keenam.
"Empat kali...! Minggu depan kita memasuki
pertemuan yang kelima." jawab Ki Randaka cepat.
"Empat kali Guru mengikuti pertemuan, dan
empat kali pula Guru keluar sebagai pemenang. Bu-
kankah itu sudah cukup menjadi ahli waris pusaka
Elang?" kata muridnya lagi.
"Kalau belum lima kali berturut-turut, belum
bisa disebut ahli waris. Atau mendapat julukan Pende-
kar Elang.....Sebab di dalam liontin kepala Elang... ko-non ilmu-ilmu itu pernah
dikuasai oleh seorang pen-
dekar dari aliran lurus. Seorang pendekar yang tak ada tandingannya. Sampai-
sampai semua golongan lurus
maupun jahat ditumpas habis sampai ke akar-
akarnya. Setelah dunia persilatan kembali bersih. Pendekar itu menghilang
mengasingkan diri. Sampai se-
karang. Bahkan orang-orang partai persilatan sudah
melupakan kebesaran nama pendekar itu....." tutur Ki Randaka.
"Kenapa Guru tidak melihat peta itu se-
belumnya?" kata orang yang duduk di sebelahnya.
"Sebagai orang yang berpihak pada golongan
lurus harus bersikap jujur. Kalau aku melihat peta itu tanpa sepengetahuan
partai lain, itu namanya perbuatan curang." Ki Randaka menjelaskan.
Pembicaraan kita sudah terlampau jauh me-
nyimpang. Kembali pada persoalan semula. Kita harus cepat mendapatkan pusaka itu
kembali. Dan harus ki-ta putuskan bahwa besok kita berangkat. Sebagian
mencari keterangan di mana adanya pusaka itu. Seba-
gian lagi pergi ke Gerongsewu...."
"Ya.... Itu usul yang bagus. Aku setuju..!"
Ki Randaka bangkit berdiri lalu berjalan me-
ninggalkan ruangan itu. Empat belas muridnya tetap
diam di situ. Mereka masih membicarakan pusaka
Elang. Bahruna merencanakan pergerakan yang akan
dilakukan besok.
Pusaka Elang telah hilang. Dan hal itu mem-
buat perguruan Elang Perak seperti kehilangan kenda-li. Ki Randaka harus
bertanggung jawab. Sebab benda itu telah resmi menjadi pusaka yang diperebutkan
oleh beberapa partai golongan lurus sejak belasan tahun
yang lalu. Pertemuan partai-partai besar yang selalu di-
adakan di Gerongsewu tentunya tidak akan berlang-
sung tanpa pusaka Elang. Dan itu bukan berarti gagal begitu saja. Partai-partai
yang lain pun akan berpendapat lain terhadap perguruan Elang Perak. Semua itu
tergantung pada Ki Randaka.
"Aku akan memimpin kalian ke Gerongsewu,
dan Bahruna bersama Wikalpa menyusuri sisi kanan
kali Progo untuk mencari gerombolan Singa Kali Pro-
go... Wagun dan Sambali bertugas di sisi kiri dengan tugas yang sama. Yang lain


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebar ke desa-desa
untuk mencari tahu adanya pusaka itu. Kita berkum-
pul pada hari pertemuan...." kata Ki Randaka yang duduk kembali di atas bantalan
berlapis sutra merah.
"Besok pagi-pagi sekali kita harus sudah be-
rangkat." katanya lagi. Setelah itu mereka bergegas ke luar meninggalkan
ruangan. Di luar suasana agak lain, tidak tegang seperti tadi. Percakapan mereka
masih tetap pada pokok persoalan. Hampir semua para pento-
lan Elang Perak membicarakan hal yang sama. Nam-
pak Wagun dan Wikalpa menuju kandang kuda. Wi-
kalpa berjalan ke samping kandang, mengambil se-
buah keranjang yang berisi makanan kuda. Dalam
kandang itu berderet enam belas ekor kuda dengan pe-ralatan yang lengkap.
Di luar halaman nampak begitu sepi. Tidak se-
perti biasanya. Sudah dua hari orang-orang Elang Perak tidak melakukan kegiatan,
mungkin karena masih
dalam suasana berkabung. Ki Randaka sendiri selalu
mengurung diri di dalam kamar pribadinya. Kecuali
hari ini ia bisa berkumpul dengan murid-muridnya
yang dianggapnya bisa memecahkan persoalan.
Langkahnya makin cepat ketika Ki Randaka
mendekati kamar pribadi. Pintu kamar Itu selalu ter-
kunci. Lagipula tidak ada orang lain yang berani masuk ke situ. Selain dirinya.
Tanpa menoleh ia bermaksud membuka pintu, desiran angin dapat dirasakan-
nya. Bukan angin biasa.
"Wueesss:..!" Ki Randaka bergeser cepat.
"Creeeep...!" Sebatang anak panah menancap pada pintu itu. Sebuah gulungan
kertas melingkar pada batang anak panah. Cepat Ki Randaka menoleh ke arah
dari mana anak panah itu melesat. Sesosok tubuh
memegang busur berlompatan dari atas sebuah pohon
yang ada di luar pagar. Ki Randaka tidak bermaksud
mengejar, karena tidak mungkin ia bisa menda-
patkannya. Maka dengan tenang ia meraih anak panah
itu. Anak panah itu tidak berarti apa-apa dibanding gulungan keras yang melekat
di situ. Sudah pasti se-pucuk surat. Ki Randaka langsung membuka dan
membacanya. "Orang-orang Elang Perak tidak akan sampai ke Gerongsewu. Dan pusaka Elang akan
jatuh ke tangan kami...."
Begitu isi surat itu. Ki Randaka meremas kertas
itu. Amarahnya memuncak. Tapi ia tetap berusaha
menguasai diri. Seperti tidak terjadi apa-apa ia memasuki kamar pribadinya.
Sebenarnya Bahruna dapat melihat kejadian
itu, tapi ia tidak berani menghampiri Ki Randaka yang telah hanyut dengan sejuta
beban di atas pundaknya.
Sebatang anak panah berani menerobos perguruan
Elang Perak. Berarti suatu penghinaan. Partai Elang Perak berdiri paling atas
dari daftar seluruh golongan lurus, tapi kenapa masih ada juga partai lain yang
berani mengusik dalam keadaan yang terpojok seperti
ini. Bahruna tidak habis pikir. Sengaja ia merahasia-kan kejadian yang barusan
dilihatnya. * ** Satu-satunya desa yang paling ramai kala itu
tak lain, desa Wadaslintang. Hampir kebanyakan
orang-orang yang berada di situ para pendatang dari desa-desa lain. Orang-Orang
desa Wadaslintang meng-gunakan situasi yang menguntungkan dengan berda-
gang atau membuka penginapan. Setiap harinya pen-
ginapan-penginapan di situ selalu dipenuhi oleh para pendatang. Orang yang
berlalu lalang pun hampir sukar dihitung dengan jari. Kebanyakan dari mereka
berjalan kaki. Hanya para pembesar saja mengendarai kereta kuda. Untuk mencari
penginapan, sudah tentu
para pembesar itu memilih tempat yang lebih bagus.
Paling tidak keamanannya terjamin. Sebuah pengina-
pan bertingkat sudah mulai dipenuhi para pengun-
jung. Seorang pelayan menyambut ramah tamunya
yang baru turun dari kereta kuda, orang itu berperawakan gemuk. Pakaiannya pun
begitu bagus. Penam-
pilannya seperti seorang ningrat. Dengan setengah merunduk, pelayan itu
mengantar masuk ke dalam pen-
ginapan bertingkat itu.
* * * 3 Perempuan muda yang duduk di sudut ruan-
gan tetap tenang menghadapi hidangannya di atas me-
ja. Ia tidak perduli sama sekali dengan kehadiran seorang lelaki gemuk yang
mengambil tempat pada meja
kedua di hadapan perempuan muda itu. Pelayan yang
ramah itu masih terus mengikuti orang kaya yang su-
dah duduk menghadapi sebuah meja.
"Tuan... Tuan pesan makanan apa?" Kata pelayan itu dengan setengah membungkuk.
"He... he... he... Masa kau lupa dengan selera-ku, apa kau bingung karena
terlalu banyak tamu di si-ni" He... he... he..."
"Oh, iya ya.... Saya lupa, Tuan. Wuah rupanya
saya sudah pikun. Habis terlalu banyak langganan di sini. Jadi lupa dah...."
Lalu pelayan itu bergegas ke dapur untuk mengambil pesanan yang paling disukai
tamunya. Sambil menunggu hidangan, laki-laki gemuk
itu mengarahkan pandangannya pada perempuan yang
duduk di hadapannya. Merasa diperhatikan ia mengangkat wajahnya membalas tatapan
itu, kemudian kembali menyantap hidangannya. Laki-laki gemuk itu
tersenyum. Tak lama datang lagi seorang pengunjung.
Kali ini seorang lelaki muda bertubuh tegap ber-
pakaian bulu binatang. Di lehernya melingkar seuntai kalung hitam berliontin
kepala Elang dari perak. Sebelum ia mengambil tempat duduk, ia memberi hormat
pada lelaki gemuk dan perempuan muda. Lelaki ge-
muk itu menganggukan kepala, tapi perempuan itu
acuh. Seakan tidak mengetahui kehadiran pemuda
yang baru datang. Meja sang dipilihnya dekat sekali dengan perempuan yang duduk
di sebelah kirinya. Kini giliran anak muda itu yang menjadi perhatian si lelaki
gemuk. Pandangannya tertuju pada kalung hitam. Matanya sebentar mengernyit
setelah melihat liontin kepala Elang sebesar telapak tangan. Jantungnya seakan
berdebar melihat liontin yang bergerak-gerak di leher pemuda itu.
"Ini, Tuan.... Hidangannya. Maaf kalau terlalu
lama." Pelayan yang tadi ke dapur datang lagi membawa sebuah nampan berisi
sepiring nasi, sayur, ayam
goreng berikut sepundi arak. Ia meletakkan hidangan itu dengan hati-hati sekali.
Lalu mata pelayan itu melihat tamu baru. Seorang pemuda. Maka ia mendekati
menyapa... "Aden juga mau makan, bukan" Pesan apa?"
Anak muda itu tidak langsung menjawab, ia
merogoh saku baju kulitnya. Dikeluarkannya sekeping uang logaman.
"Maaf, Pak... uang saya hanya segini. Apakah
masih bisa makan di sini?" kata pemuda itu pelan sambil menyodorkan sekeping
uang logam. "Bi... bisa.... Tapi...."
"Kalau sekiranya uang ini tidak mencukupi, tak apa, saya akan keluar saja..." Ia
bermaksud bangkit.
"Pelayan... Sini...." Lelaki gemuk itu memanggil.
Si pelayan menghampiri tamu yang kaya ini.
Lalu lelaki gemuk membisikkan sesuatu. Pelayan itu
nampak manggut-manggut, kemudian ia bergegas me-
nuju dapur. Sepeninggal pelayan...
"Anak muda, kenapa berkecil hati" Duduklah
kembali, sekali-sekali menikmati hidangan di sini, pasti akan merasa puas. Biar
aku yang bayar... simpan saja uang itu...."
"Ah... Terima kasih! Siapa Tuan yang baik hati ini" Saya Wintara hanya seorang
pengelana.... Memang tidak sepantasnya datang ke tepat mewah ini...." Pemuda itu
duduk lagi. "Jangan terlalu merendah, anak muda ... Seo-
rang pengelana memiliki jiwa yang besar dibanding
dengan orang-orang seperti saya. Saya Raden Sintoro Tinggil banyak mendengar
pengalaman-pengalaman
yang hebat dari mulut para pengelana seperti anda....
"Ah itu pun terlalu berlebihan memberi penda-
pat...." tukas anak muda itu.
Pelayan tadi kembali datang. Ia membawa se-
buah nampan lagi dan meletakkan hidangan yang se-
rupa dengan lelaki gemuk yang menamakan dirinya
Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro Tinggil menyilakan dengan telapak
tangannya. Lalu ia pun menyantap makanan yang sejak tadi. Setelah membalas
dengan senyuman, anak muda yang bernama Wintara mulai
ikut menyantap hidangan itu. Ruangan makan di pen-
ginapan itu makin lama makin penuh. Hampir setiap
meja berisi pengunjung. Beberapa pelayan nampak si-
buk berjalan ke sana ke mari melayani para pengun-
jung yang mulai membanjir.
Sesekali Raden Sintoro Tinggil melirik ke arah
Wintara. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya,
yang membuat selera makannya berkurang. Sementara
kalung hitam berliontin kepala Elang terayun-ayun
bergerak di saat Wintara menyantap lahap makannya.
Perempuan muda itu telah selesai makan. Ia
meneguk habis air minumnya. Ketika ia berdiri terlihat sebilah pedang pendek
terselip di pinggangnya yang
ramping. Tangannya melambai memanggil pelayan.
"Nona.... Biar saja saya yang bayar sekalian.
Kebetulan saya akan menginap di sini. Dan membawa
uang lebih...." Raden Sintoro Tinggil memotong langkah pelayan yang melayani
mereka. "Maaf, Raden Sintoro Tinggil.... Aku bukan pengelana macam anak muda itu...."
cetusnya. "Pelayan...." Kembali ia memanggil.
Mendengar ucapan itu Wintara menoleh. Pe-
rempuan itu membalasnya dengan tatapan menan-
tang. Setan! Wintara malah nyengir. Raden Sintoro
Tinggil diam saja.
"Hebat... Perempuan semuda ini punya uang
begitu banyak.... Dari mana" Jangan-jangan...." kata Wintara terputus.
"Apa!" Perempuan itu melompat sambil mencabut pedang pendek. Ujung pedang itu
cepat menempel di tenggorokan Wintara.
"Teruskan kata-katamu..... Kalau saja kurang
enak kudengar, pedang ini akan menembus tulang le-
hermu...." bentak perempuan itu keras. Tentu saja menjadi perhatian para
pengunjung yang ada di situ.
"Jangan-jangan minta uang pada keka-
sihnya...." Wintara melanjutkan pembicaraannya.
"Huh...!" Pedang pendek berputar, tahu-tahu sudah menancap pada ayam goreng yang
berada dalam genggaman Wintara. Sekali sentak, daging ayam
itu terlempar ke luar. Bersamaan dengan itu tubuh
Wintara melesat bagai terbang. Menangkap daging
yang hampir jatuh ke tanah. Perempuan itu ikut me-
lompat, dengan beberapa kali lentingan ia sudah bera-da di luar penginapan.
Wintara asyik menggerogoti
daging ayam sambil nangkring di atas balok untuk
tambatan kuda. "Pengelana rakus! Mau unjuk gigi di hadapan-
ku... rasakan ini!! Hreaaaaa..." Pedang pendek berkelebat tajam menusuk. Wintara
menangkis dengan se-
buah tendangan. "Plaaak...!" Lalu ia melompat lagi menjauhi serangan-serangan
perempuan muda itu.
Ayam gorengnya telah habis, Wintara membuang sisa
tulangnya ke tanah. Seluruh orang-orang yang berada di tempat itu keluar
menyaksikan perkelahian itu. Mereka kagum dengan jurus-jurus yang di keluarkan
oleh dua pendekar muda. Dalam pertarungan itu Wintara
tidak pernah menyerang, dia lebih banyak menghindar
atau kalau perlu hanya menangkis. Sebagai seorang
pengelana tentunya ia membekali dirinya dengan ke-
pandaian ilmu silat. Tapi pengelana yang satu ini betul-betul lain daripada yang
lain. Melihat dari gerakannya saja orang sudah tahu kalau ia memiliki ilmu yang
tidak boleh dianggap remeh. Begitu juga perempuan
muda ini. Gerakan yang sangat gesit terlihat seperti seorang bidadari yang
tengah menari-nari. Sebilah pedang pendek berputar-putar ke kanan dan ke kiri
me- nyerang Wintara. Babatan-babatan itu menyerupai se-
rentetan sinar putih kebiruan. Meskipun dahsyatnya serangan itu, Wintara masih
dapat menghindar serta
menangkis. Sebenarnya usia perempuan muda itu
jauh lebih muda dibanding pengelana sakti. Apalagi
Wintara belum mengenalnya. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Dia sendiri pun
terheran-heran, gadis semuda ini memiliki ilmu silat yang jarang dimiliki
pendekar mana pun.
"Perempuan sombong.... Kalau aku mau me-
ringkusmu, sudah dari tadi kulakukan...." teriak Wintara menyadarkan. Tapi
perempuan itu tidak
memperdulikan ucapan Wintara. Malah "Hreaaaaa...!
Siuuuut...!" Dengan kedua genggaman tangannya pedang itu menjurus deras.
Serangan tersebut tidak ada artinya sama sekali. Ia pun tidak akan berlama-lama
menghadapi perempuan muda itu. Sekali ia menepak-kan tangannya... "Plaak...!"
pedang pendek itu terlepas dari kedua genggamannya. Bukan main kagetnya. Kedua
telapak tangannya terasa kesemutan. Gadis itu
memekik pelan. Wintara membalikkan tubuh bermak-
sud kembali ke dalam penginapan bertingkat itu.
Membiarkan perempuan muda berdiri sendirian di
luar. Tentu saja ia merasa dibuat malu. Maka dengan penasaran ia menubruk lagi.
Mendapat serangan yang
mendadak, Wintara bergerak cepat mengibaskan len-
gannya ke belakang. "Weeeessss! Jplaaaak!" Perempuan muda itu terbanting ke
belakang. Sebentar ke-
mudian ia bangkit memungut pedang pendek miliknya.
Sambil mengacungkan pedangnya.
"Pengelana busuk! Hari ini kau boleh merasa
bangga atas kemenanganmu. Ingat...! Suatu hari ke-
lak, kepalamu bakal terbelah dua dengan pedang
ini...!" sumpahnya. Lalu ia berlari menerobos kerumu-nan orang banyak yang tadi
menonton perkelahian
mereka. Wintara mendengar. Tapi langkahnya terus
berjalan memasuki gedung penginapan. Ditemui orang
gemuk yang bernama Raden Sintoro Tinggil. Lelaki gemuk itu sudah ada di depan
pintu menyambut Winta-
ra. "Sungguh luar biasa kepandaian ilmu silatmu,
Wintara... Betul-betul pengelana sakti.... Semua orang yang berada di sini
mengira kau akan kalah oleh perempuan tadi, bagaimana tidak" Jurus-jurus pedang-
nya begitu hebat! Gerakannya pun sukar diduga...."
puji Raden Sintoro Tinggil. Ia merangkul Wintara kembali ke tempat duduknya
semula. "Sebenarnya perempuan itulah yang hebat....
Bukan saya. Nasib saya sedang beruntung. Jadi keme-


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nangan ini saya anggap tidak mutlak...." sela Wintara.
Raden Sintoro Tinggil diam sebentar, lalu....
"Kalau anda tertarik saya ada usul. Maukah
anda ikut saya ke Gerongsewu... Yaah sekedar men-
gawal. Saya khawatir akan ada orang-orang jahat
mengganggu perjalanan nanti...." kata Raden Sintoro Tinggil. "Ke Gerongsewu"
Bukankah Tuan hendak
menginap di sini?" Wintara heran. Raden Sintoro Tinggil nampak kikuk mendengar
ucapan Wintara.
"Be.... Benar.... Saya memang bermaksud men-
ginap di sini beberapa malam. Tapi tujuan saya tetap ke Gerongsewu! Bertemu
dengan orang hebat seperti
anda, pikiran saya berubah. Kalau anda mau menga-
wal, saya bersedia membayar mahal...."
"Kalau cuma sekedar mengawal, Tuan tidak
perlu membayar. Saya akan ikut dengan Tuan.... Ang-
gap saja sebagai balas jasa untuk hidangan yang nikmat ini...."
Raden Sintoro Tinggil senang mendengar kepu-
tusan Wintara. "Terima kasih.... Terima kasih...." Ia menepuk-nepuk dada Wintara
kegirangan. Beberapa
kali tepukannya menyentuh liontin kepala Elang dari perak.... Tiba-tiba Wintara
memekik" "Awaaaas....!" Sebatang anak panah menghun-jam deras ke arah tubuh Raden Sintoro
Tinggil. Tapi sebelum anak panah itu menancap pada sasaran, Wintara dapat
menangkapnya. Tidak sempat lagi mereka
melihat dari mana anak panah itu berasal. Wintara
berlari ke luar. Orang-orang yang ada di sekitar situ keheranan melihat Wintara
celingukan mengawasi rumah-rumah penduduk yang berderet memanjang. Ba-
ru disadarinya ada segulungan kertas melingkar pada batang anak panah itu.
"Serahkan Pusaka Elang itu pada kami...!" Begi-tulah tulisan yang tertera dalam
gulungan kertas. Teringat ia pada seuntai kalung hitam yang melingkar di
lehernya. Kalung itukah yang di maksud" Aneh-aneh
saja! Menginginkan benda pusaka, tapi tidak mau me-
nampakkan diri. Kalau saja benda ini miliknya mau
saja ia menyerahkannya. Karena ia sendiri merasa
benda yang melingkar di leher bukan miliknya. Ia mendapatkan benda itu dari
tangan seseorang yang telah menjadi mayat. Sudah pasti ada pihak lain yang men-
ginginkan benda ini. Wintara meremas gulungan ker-
tas itu. Sampai sekecil mungkin, kemudian ia menyen-tilkannya jauh-jauh. Barulah
ia tahu sekarang, kalung hitam yang berliontin kepala Elang ternyata benda
pusaka. Sudah pasti ia bakal menghadapi pihak-pihak lain, mungkin juga seluruh
rimba persilatan yang
menginginkan pusaka tersebut. Yang jelas.... Sekarang ia harus menahan benda itu
dulu, jangan sampai benda itu jatuh ke tangan orang yang bukan haknya.
Raden Sintoro Tinggil ke luar menemui Wintara.
Kelihatan lelaki gemuk itu gemetar. Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri ia
berjalan cepat menarik tubuh Wintara. Dirasakan lengan Raden Sintoro Tinggil
begitu dingin. "Kau lihat sendiri, Wintara.... Belum apa-apa
sudah ada orang yang bermaksud membunuhku. Ce-
pat saja kita pergi dari tempat ini...." kata Raden Sintoro Tinggil ketakutan.
Wintara tersenyum. Sudah wajar kalau ia begitu gugup dan gemetar. Karena tadi
sebatang anak panah nyaris menembus di perutnya yang
gendut. "Kenapa harus berangkat sekarang?"
"Lebih cepat lebih bagus.... Di Wadaslintang
sudah tidak aman lagi...." sergahnya sambil melangkah menuju kereta kuda
miliknya. Wintara mengikuti langkah itu. Tanpa diperintah ia sudah naik dan
duduk di samping Raden Sintoro Tinggil yang mengendalikan
dua ekor kuda. Kereta mereka berada pada jalan yang lebar dan tidak begitu
ramai, Randen Sintoro tinggal menghela kuda-kudanya. "Hea...! Heaaa...! Ctar...!
Ctaar...!" Dua kali sabetan cemeti membuat kuda-kuda itu berlari kencang.
Ternyata Raden Sintoro Tinggil pandai mengendarai kereta kuda. Terbukti kuda-
kudanya menurut tanpa dipecuti lagi. Selama dalam
perjalanan itu, Wintara mengelus-elus liontin kepala Elang. Kepada siapa ia
harus mengembalikan benda
ini, pikirnya.... Apakah kedua mayat yang kutemukan di perahu rusak beberapa
hari yang lalu itu pemiliknya..." Kalau benar, mengapa mereka mati dengan pu-
saka tergenggam di tangan" Mereka ber-kelahi dengan siapa" Sampai terluka parah
begitu.... Bunuh diri" Jelas tidak mungkin...! Wintara menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal. Tangannya menggenggam erat liontin kepala Elang...
"Kenapa dengan kalung bagus itu?" teguran Raden Sintoro Tinggil membuyarkan
pikiran Wintara.
Ia jadi terperangah.
"Ah... tidak. Aku bermaksud hendak member-
sihkannya. Sudah lama tidak digosok...." Pintar Wintara mencari jawaban.
"Aku tertarik juga dengan kalung itu, sean-
dainya hendak kau jual..... Aku berani membayar berapa pun yang kau pinta...
"Heaaaaa!" Raden Sintoro Tinggil menghela kedua kudanya yang mulai berlari
pelan. Wintara meno-
leh. "Maaf Tuan... Tidak akan saya jual...."
"Ahhhh sayang sekali...." Raden Sintoro Tinggil kecewa. Kereta kuda ke luar dari
daerah perbatasan de-sa Wadaslintang, larinya begitu cepat dan semakin
menjauh. Setelah menikung barulah kereta kuda itu
tidak nampak lagi, karena terhalang oleh pepohonan
dan semak-semak yang tinggi merimbun. Namun ma-
sih saja terdengar deru roda kereta menggilas tanah berbatu disertai dengan
gletar-gletar cemeti yang makin lama makin halus menghilang.
* * * 4 "Singa Kali Progo...!" Ki Randaka berteriak lantang. Ia berdiri di atas sebuah
perahu yang melaju cepat menyusuri sepanjang kali itu. Kedua kakinya mengangkang
lebar. Matanya nyalang mengawasi hutan
belukar yang terdapat pada kedua sisi kali.
"Singa Kali Progo...!" teriakannya makin lantang, menggetarkan seluruh dedaunan
dan riaknya air.
"Keluar Singa Kali Progo! Keluar...!!! Datanglah kalian ke mari...!" Ki Randaka
gemas. "Bukannya kami tidak menghormati.... Tapi
kami sudah berjanji tidak akan menunjukkan diri di
hadapan orang-orang Elang Perak...!" terdengar jawaban dari balik hutan di sisi
kiri. Ki Randaka berbalik menghadap di mana suara itu berasal.
"Ke marilah saudara-saudara Singa Kali Pro-
go...! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada ka-
lian.... Cepat ke mari...!"
"Begitu pentingkah...?" terdengar lagi suara dari balik pepohonan. Suara itu
makin dekat, hanya saja
orang yang berbicara tidak berani menampakkan diri.
Tapi Ki Randaka yakin, orang-orang yang dimaksud
berada di hadapannya.
"Ke marilah...! Mulai sekarang kucabut sumpah
kalian...!"
Maka bertebaran lah empat sosok tubuh dari
balik pepohonan. Setelah berjumpalitan di udara
keempatnya hinggap di atas perahu yang ditumpangi
Ki Randaka. Wajah keempatnya nampak begitu menye-
ramkan. Mereka rata-rata berewok sampai sebatas da-
da. "Dawuk.... Kau sebagai pimpinan gerombolan
Singa Kali Progo harus berkata jujur padaku..... Kalian telah menguasai
sepanjang perairan kali Progo ini, bukan...?" tanya Ki Randaka dengan tatapan
yang penuh curiga. "Betul.... Sepanjang kali ini memang kami yang menguasai...."
jawab Dawuk tegas. Tiga orang temannya diam berdiri tetap menghadap.
"Betulkah kalian tidak tahu atas kematian dua
orang murid dari perguruan Elang Perak" Ayo jawab!"
Ki Randaka membentak.
"Astaga....! Dua orang murid perguruan Elang
Perak memang pernah kami lihat melintasi perairan ini dengan sebuah perahu...
Tapi perihal kematian dua
orang itu kami betul-betul tidak tahu. Mana berani
kami mengusik orang-orang Elang Perak...." jelas Dawuk. "Baru melihatnya saja
kami sudah lari...." katanya pula.
"Lalu siapa yang membunuh Adinaya dan is-
trinya..." Siapa pula yang membawa lari pusaka
Elang" Jelas-jelas perahu mereka terdampar di perairan sini. Masihkah kalian
tidak mengetahuinya?" tanya Ki Randaka dengan nada marah.
"Ketua agung Elang Perak.... Bagaimana kami
harus mengakuinya..." Dibunuh di sini pun kami re-
la.... Mungkin ini kesalahan kami...." Dawuk berlutut di hadapan Ki Randaka,
tiga orang berewok lainnya
ikut berlutut di belakang Dawuk. "Silahkan ketua agung Elang Perak menghukum
kami..... Atau bunuh saja kami berempat.... Kami pa-
srah...." kata Dawuk. Ki Randaka menatap pada keempat orang yang berlutut di
hadapannya. Mukanya me-
rah padam. Kalau Ki Randaka mau menghajar kepala
mereka satu demi satu, mudah saja ia melakukannya.
Keempat batok kepala itu sudah siap diremukkan. Ta-
pi Ki Randaka bukan orang yang kejam seperti yang ki-ta bayangkan.
"Bangun! Dan pergi dari sini.... Cari tahu sampai dapat di mana Pusaka Elang
berada. Kalau tidak
berhasil, aku tidak akan mengampuni kalian...." Suara Ki Randaka angker.
Tanpa berani menoleh keempat anggota Singa
Kali Progo itu mundur perlahan. Lalu keempat orang berewok itu melompat bareng
menyeberang ke pinggir kali. Ki Randaka masih tetap berdiri tegak terbawa perahu
yang melaju menyusuri sepanjang kali Progo. Da-ri balik celah-celah dedaunan,
empat manusia berewok mengawasi kepergian perahu itu. Ternyata mereka tidak
langsung pergi ketika Ki Randaka mengusirnya.
Mereka hanya pura-pura pergi, lalu kembali lagi. Dawuk mengepalkan tinjunya.
"Setan....! Tua bangka keparat itu mestinya di-bikin mampus! Dia pikir hanya
dirinya yang memiliki kehebatan.... Heh! Benar-benar bangsat!" gerutunya.
"Kalian dengar tadi, mereka telah kehilangan Pusaka Elang.... Kurasa itu hanya
suatu alasan saja...!" katanya lagi.
"Benar, Kang.... Ketika mencegat Adinaya, pu-
saka Elang tidak ada padanya. Apakah ini hanya satu tipuan belaka?" kata Sempor
anggota nomer dua dari urutan kelompok begal Singa Kali Progo.
"Bukan! Ini bukan tipuan! Yang jelas kita yang kurang teliti sewaktu mengobrak-
abrik perahu itu!"
Dungkil anggota nomer tiga memberi pendapat lain.
"Itu berarti pusaka Elang telah jatuh ke tangan orang lain. Ahhhhh.... Jadi
kacau semua! Ka-
cauuuuuuuu...!" Dawuk geregetan. Ingin rasanya me-nampar pipi ketiga anak
buahnya. "Harapan untuk memiliki pusaka Elang pupus sudah. Itu semua karena
ketololan kalian!" Amarah Dawuk meluap lagi. Dengan kesal ia menendangi batang
pohon yang sangat
besar. "Kita sudah kehilangan pusaka itu.... Kita sudah kehilangan kesempatan
besar!!!!" teriak Dawuk makin jadi. Tapi begitu Dawuk ingin membuka mulutnya
lagi suaranya tidak sempat keluar.... Dua orang laki-laki telah berdiri di situ,
kehadiran dua orang itu membuat kedua mata Dawuk terbelalak. Ketiga anggota
Singa Kali Progo sempat kaget juga melihat kedua orang yang berdiri di
hadapannya. "Baru kutahu sekarang siapa yang telah men-
coreng nama besar Elang Perak. Ternyata keempat
mahluk hina ini. Ayo Dawuk! Berteriaklah! Berteriak seperti tadi. Kenapa diam?"
kata salah satu dari kedua orang itu. Kedua orang itu adalah Wagun dan Sambali
yang memergoki sekaligus mendengar percakapan mereka. Sudah tentu keempat
anggota Singa Kali Progo
jadi blingsatan menghadapi mereka. Bukan karena ta-
kut. Bukan juga karena Wagun dan Sambali dari per-
guruan Elang Perak! Tapi karena percakapan dari ke-
lompok Singa Kali Progo yang sudah terlanjur ketelepasan bicara yang sempat
didengar oleh Sambali mau-
pun Wagun. Apa-lagi mereka dari perguruan Elang Pe-
rak! "Sekarang juga.... gerombolan Singa Kali Progo musti dilenyapkan. Sekalipun
kalian tidak mendapatkan pusaka Elang, tapi kalian membunuh dua sau-
dara perguruan kami dengan maksud yang sama. Yai-
tu bermaksud merebut pusaka dari tangan kekuasaan
perguruan Elang Perak!" Wagun berkata polos. Tapi
kata-kata itu justru menggedor jantung Dawuk. Da-
wuk yang sudah terpojok, tak dapat berkata apa-apa
lagi. Setelah matanya melirik ke sana ke mari, Dawuk memberi aba-aba dengan
anggukan kepala. Ketiganya
mengerti apa yang di inginkan Dawuk. Maka. Tiga
orang berewok itu maju melancarkan pukulan.
Wagun melompat maju menghadapi serangan-
serangan itu. Sambali juga ikut ambil bagian. Ia memilih lawan yang paling
seram. Dua pukulannya dihan-
tamkan menyilang, tapi hanya dengan sebuah tendan-
gan ke atas serangan Sambali gagal mengenai sasaran.
Menyadari akan kehebatan lawannya, Sambali menge-
luarkan jurus-jurus andalannya. Lima jari tangannya mekar menerobos hampir
mengenai pipi Sempor. Sempor membalas dengan rentangan tangan yang sangat
cepat. "Cplaak...!" Kedua tangan itu beradu. Sambali terdorong mundur.
Wagun lebih repot lagi. Kedua lawannya menye-
rang bergantian. Kalau menghadapi hanya seorang la-
wan mungkin perkelahian itu tidak akan berlangsung
lama. Menghadapi orang-orang Singa Kali Progo yang
memiliki ilmu tidak rendah, Wagun mesti menguras
tenaga. Dawuk sebagai pimpinan begal Singa Kali Progo sengaja tidak turun
tangan. Ia hanya berdiri tenang melihat perkelahian Itu. Ketiga anak buahnya
nampak begitu gigih menggempur pertahanan Wagun dan
Sambali. Dari situ Dawuk sudah dapat mengukur ke-
kuatan kedua orang dari perguruan Elang Perak.
"Kalian harus menebus nyawa dua orang sau-
dara kami...!" teriak Sambali. Tinjunya melayang...
"Plaaak...!" Sambil melompat Sempor menangkis. Dan sebelum tubuhnya hinggap di
tanah, tendan- gannya menerobos.
"Bug...!" Sambali tidak dapat menghindari. Bagaimana ia bisa menghindar,
andaikata bisa serangan Dungkil yang lebih dahsyat pasti sudah mengenai pada
bagian yang mematikan. Sambali mundur mendekati
Wagun. Mereka berdua gabung menghadapi tiga ang-
gota Singa Kali Progo.
Hasilnya sama saja, mereka berdua malah ke-
walahan menghadapi lawan sebanyak tiga orang. Ten-
dangan mau pun pukulan terus dilancarkan oleh
Sambali. Wagun tidak kalah hebat, tinjunya yang be-
runtun berhasil memojokkan lawannya. Kemudian ia
kembali lagi membantu Sambali.
"Plaaak...!" Salah satu serangan dapat dipatah-kan. Dua orang berewok menggeram
sengit sambil me-
nerjang. Mendapat serangan seperti itu Wagun cepat-
cepat mundur. Lalu menghentakkan kedua kakinya,
sehingga tubuhnya terlempar ke atas. Masih dalam
keadaan berputar di udara, serentetan tendangan terbang menjurus ke arahnya.
Menyadari adanya seran-
gan itu Wagun membalikkan tubuhnya. Maka tendan-


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Naga Dari Selatan 1 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Jeratan Ilmu Iblis 1
^