Pencarian

Tangan Hitam Elang Perak 2

Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak Bagian 2


gan terbang itu hanya melewati beberapa senti di
samping. Wagun hinggap di tanah dengan kedua kaki
yang terentang. Dungkil datang menyambut dengan
sambaran kaki memutar di bagian bawah.
"Wessss...!" Wagun bergulingan menghindari serangan itu.
Sambali cepat merunduk ketika Sampor melan-
carkan tendangan memutar. Tendangan itu bergerak
secepat kilat, untuk menangkisnya saja sulit. Apalagi membalasnya" Buru-buru
Sambali menjauh. Tapi ia
mengambil langkah yang salah. Di belakangnya telah
berdiri Dawuk dengan senyum menyeramkan. Sudah
tentu Sambali menjadi sasaran empuk. Sebuah han-
taman keras bersarang di bagian belakang kepalanya.
"Dessss!" Sambali terhuyung. Sempor yang sedari tadi susah merobohkan Sambali,
sekarang ia me-
rasa ada kesempatan. Dua tinjunya sekaligus maju
menggedor dada Sambali. Tubuh Sambali terjungkal,
darah menyembur dari mulutnya. Berewok Dawuk
bergerak-gerak ketika ia tertawa ngakak melihat tubuh Sambali yang hampir tidak
bisa bangun. "Ha... ha... ha... ha... ha...!" Sekali Dawuk melompat, tubuhnya sudah berada di
udara. Menukik ke
bawah dengan sebuah tendangan yang terarah kepada
Sambali. Telapak kaki yang disertai tenaga dalam itu mematahkan tulang leher
Sambali. Wagun melihat Sambali tergeletak kaku, ma-
kanya ia cepat mengerahkan tenaga menyingkirkan
lawannya. Sebelah tangannya memutar menyabet ke-
pala Dungkil, kemudian berbalik ke arah perut.
"Jeegg!" Tubuh Dungkil terdorong. Cepat Wagun melompat ke arah Dawuk yang masih
menginjak leher Sambali. Terjangannya secepat angin. Kedua tangannya terentang dengan
jari-jari yang membentuk cakar Elang. Lalu menyambar menyilang menyerang Da-
wuk. Sebelah cakar itu berhasil menyambar.
"Breeeet!" Punggung Dawuk berdarah, ia langsung melangkah mundur sambil menepis-
nepis sam- baran-sambaran cakar Elang yang dilancarkan oleh
Wagun. Dawuk menendang. Wagun juga menendang.
"Deessss!" Tendangan mereka beradu. Keduanya terpental. Wagun masih sanggup
berdiri meski pun terhuyung, Dawuk terpeleset jatuh. Melihat itu
Wagun melesat terbang menjurus ke arah Dawuk den-
gan kedua cakaran yang siap menyambar.
"Buuug!" Meskipun Dawuk berada di bawah-
nya, ia dapat melancarkan tendangan keras. Wagun
terbanting. Langsung disambut oleh ketiga anak buah Dawuk. Beberapa jotosan
sempat bersarang di muka
dan dadanya. Gelagapan sekali Wagun menerima han-
taman-hantaman itu.
"Desss!" Sebuah tendangan lagi membuat Wagun benar-benar terjatuh mencium tanah.
Pandan- gannya jadi suram, samar-samar ia melihat Dawuk
berdiri tertawa menyeringai. Ia bermaksud bangkit.
"Bug!" Hantaman Dungkil membuatnya jatuh
terduduk. Sempor menjambak krah baju Wagun sam-
pai terangkat. Dawuk langsung memberi hantaman-
hantaman yang beruntun di dada Wagun. Yang terak-
hir tendangan geledek Dawuk melontarkan tubuh Wa-
gun. Kain kerah dalam genggaman Sempor tertinggal.
Wagun kelojotan, sesaat kemudian ia diam tak berku-
tik. "Buang mayat mereka ke kali!" perintah Dawuk.
"Ganduli tubuh mereka dengan batu besar." katanya lagi. Ketiganya menyeret dua
mayat itu ke pinggir kali.
Di situ mereka menelanjangi mayat Wagun dan Sam-
bali. Pakaian itu untuk mengikat batu besar yang dis-atukan dengan tubuh-tubuh
yang sudah tak bernya-
wa. Sempor agak kesulitan mengikat batu pada tubuh
Sambali, karena batu yang dipilihnya terlampau besar.
Dungkil datang membantu dengan mengganti batu
yang lebih kecil, maka selesailah pekerjaan itu. Kembali mereka menyeret kedua
mayat itu lebih dekat ke
pinggir kali. Dengan menendangi mayat-mayat itu me-
reka berusaha menjatuhkan kedua mayat itu, sampai
akhirnya.... "Byuuuuuur! Jbyuuurrr!" Keduanya tenggelam ke dasar kali. Dari kejauhan Dawuk
puas dengan pekerjaan ketiga orang anak buahnya. Ketiganya meng-
hambur menemui Dawuk yang sejak tadi menunggu
mereka. "Hampir saja kita celaka. Untung saja kita bisa membereskannya dengan cepat...."
desah Dawuk ketika para anak buahnya tiba.
"Itu karena mulut Kang Dawuk yang kurang
hati-hati kalau bicara...! Hampir saja kita ketahuan be-langnya!" kata Dungkil
anggota nomer tiga pada urutan Singa Kali Progo.
"Sudah! Tidak perlu dipermasalahkan... Seka-
rang kita menyingkir dari sini, paling tidak kita pergi ke Gerongsewu. Tidak
dapat pusaka Elang tidak apa-apa. Tapi setidak-tidaknya kita bisa mengacaukan
pertemuan partai-partai besar. Sudah terlanjur, kenapa mesti tanggung-
tanggung.,.." usul Dawuk. Ketiga anak buahnya manggut-manggut.
"Aku rasa tidak sedikit orang-orang golongan
hitam yang bakal datang ke sana...." Kuwusura anggota keempat yang jarang bicara
ini memberikan penjelasan. . "Dengan maksud yang sama, kita bisa bergabung.
Kalau seluruh orang-orang golongan hitam ber-
gabung, partai besar Elang bakal hancur..." kata Dungkil semangat. Pikiran Dawuk
jadi terang mendengar ucapan Dungkil.
"Jangan banyak bicara lagi. Ayo kita berang-
kat...." Dawuk berlari. Janggutnya yang sepanjang da-da berkibar-kibar melawan
angin. Sempor, Dungkil
dan Kuwusura mengikutinya dari belakang. Mereka
menelusuri pinggiran kali yang ditumbuhi pepohonan
lebat. Kadang-kadang juga mereka harus melompati
semak-semak belukar yang setinggi pusar bergerom-
hol. Keempat manusia begal Singa Kali Progo saling
mendahului berkejaran, Dawuk masih tetap di depan
memimpin. Di depannya menghadang beberapa pohon
besar berderet, Dawuk membelok, tidak langsung me-
nerobos. "Kang Dawuk! Kenapa memilih ke jalan be-
sar...!" teriak Sempor setelah melihat Dawuk pemimpinnya menikung.
"Melalui pesisir kali akan memakan waktu la-
ma...!" jawab Dawuk lantang agar dapat di dengar oleh ketiga anak buahnya.
Larinya makin cepat. Begitu juga dengan orang-orang yang mengikutinya. Memang
betul! Bila menempuh sepanjang pesisir kali mereka
akan banyak menemui rintangan. Selain pohon-pohon
besar yang tumbuh tidak beraturan. Semak-semak
yang ada di mana-mana, ada juga batu-batu kali yang menonjol membentuk sebuah
bukit kecil menghadang.
Sedangkan tempat yang mereka tuju masih sangat
jauh sekali. Tidak cukup memakan waktu satu hari.
Itulah sebabnya orang-orang Elang Perak memilih ja-
lan perairan kali Progo.
Dari hutan belukar mereka menembus sampai
kehamparan alang-alang. Dawuk masih terus berlari,
tidak perduli hamparan alang-alang menghalanginya.
Langkahnya yang sangat cepat menimbulkan suara
bergemerisik. Beberapa puluh meter lagi ia sudah
sampai pada jalanan besar. Tapi sengaja ia menghentikan larinya. Dari kejauhan
Dawuk melihat sesosok
bayangan putih menyusuri jalan besar yang terbentang di matanya. Seorang
perempuan muda berjalan terburu-buru. Sesuatu yang terselip di pinggangnya
bersinar menyilaukan tertimpa sinar matahari. Ternyata benda yang terselip pada
ikat pinggang yang berwarna kuning adalah sebilah pedang, pedang pendek.
Sekarang Dawuk tidak lagi berlari, ia malah merunduk menyama-
kan tinggi tubuhnya dengan alang-alang yang meng-
hampar luas. Sambil merunduk ia berjalan cepat, Keti-
ga anak buahnya yang mengikuti di belakang jadi terheran-heran melihat sikap
Dawuk. Ketika tiga anak
buahnya hampir mendekati, Dawuk memberi aba-aba
agar mereka segera ikut merunduk. Serempak mereka
me: runduk, meskipun dengan susah payah mereka
mendekat pemimpinnya. Dawuk masih memperhatikan
gerak gerik gadis itu. Lekuk-lekuk tubuh ramping itu membuat mata Dawuk makin
terbeliak. * * * 5 "Kita akan merampok!" jelas Dawuk setengah merunduk sambil menyibakkan alang-
alang yang mengganggu penglihatannya.
"Merampok" Apa tidak salah mencari mangsa"
Perempuan itu tidak membawa apa-apa, mana mung-
kin ia membawa harta..." Dungkil ikut memperhatikan langkah-langkah seorang
perempuan yang hampir
mendekat. "Goblok...! Yang kumaksud bukan merampok
harta.... Tapi...." Dawuk kesal.
"He... he... he... he.... Sekian lama mendekam dalam hutan, pengap rasanya.
Masakah kita tidak mau menghibur diri" He... he... he...." Sempor dapat mengerti
maksud Dawuk. "Ayam betina di depan mata....
Tunggu apa lagi...." katanya lagi.
Sesekali perempuan muda itu menyeka kerin-
gat yang meleleh di keningnya. Panas terik matahari betul-betul menguras
keringat. Angin memang berhembus, walau perlahan. Cukup menghibur perjala-
nan gadis itu. Rambutnya yang bagai ekor kuda bergerak mengikuti setiap
langkahnya. Sebentar-sebentar ia membetulkan letak pedang pendek yang terselip
dalam ikat pinggang. Tiba-tiba saja alang-alang di samping-nya tersibak, dari
balik alang-alang itu muncul empat orang berewok. Langsung menghadang. Gadis itu
tersentak mundur, jari-jemarinya yang lentik siap menarik gagang pedang pendek.
Pandangannya tidak berke-
dip. Ia yakin sekali, kalau keempat orang itu tentu akan bermaksud tidak baik.
Melihat tampang keempat
orang itu saja sudah menyebalkan. Apalagi raut wajah Dawuk dan Sempor,
barangkali tikus pun akan lari
melihatnya. "Menyingkirlah...! Jangan menghalangi jalan-
ku...!" hardik perempuan muda itu. Orang-orang yang menghadangnya malah
mendekat. "Nona yang cantik. Nampaknya perjalanan No-
na masih sangat jauh, kami punya tempat peristirahatan yang baik dan teduh.
He... he... he...." Dawuk me-rayu. Sempor berjalan mengelilingi gadis itu.
Dungkil dan Kurusuwa memandangi paras yang cantik menga-gumkan.
"Ada urusan apa sehingga kalian menghalangi
jalanku" Menyingkirlah...! Aku tidak perlu istirahat.
Dan aku tidak butuh kalian temani...." tukas gadis itu sengit, jemarinya erat
menggenggam gagang pedang.
Tangan Sempor yang kasar mencolek pundaknya, ta-
pi..... "Splaaak!" Cepat dia menepis.
"Jangan coba-coba menyentuh diriku, dan jan-
gan sampai aku yang muda ini terpaksa berbuat ku-
rang ajar...!" Gadis itu makin sengit. Pedang pendek keluar dari sarungnya.
Terhunus ke arah Sempor. Dawuk mendorong tubuh Sempor, lalu....
"Wueeeeeh.... Ayam betina ini cukup galak juga.
Orang galak biasanya akan ramah bila berada di atas tempat tidur...." Dawuk
mengejek. "Kurang ajar.!" Pedang pendek berkelebat menyambar muka Dawuk. Kalau saja Dawuk
tidak cepat mundur mulutnya sudah robek. Sempor yang berada
dekat situ langsung menepak lengan yang menggeng-
gam pedang. Gadis itu membalasnya dengan sebuah
tendangan. "Buuug!" Sempor terhuyung. Pedang pendek
menjurus lagi terarah ke perut Sempor, rupanya gadis ini tidak main-main lagi.
Melihat keadaan yang mendesak, Dungkil mengalihkan serangan itu dengan ten-
dangan yang melintas mendesak dada. Cepat, gadis itu mengibaskan lengan kirinya.
Maka tendangan yang
mengarah ke dadanya meleset. Kuwusura menerjang,
sebuah babatan pedang hampir saja menggores di
punggungnya. Tapi dengan gerakan yang sangat cepat
ia sempat melancarkan sebuah jotosan.
"Akh...!" Gadis itu memekik. Dirasakan ngilu menyengat tulang rusuk. Baru kali
ini ia mendapatkan pukulan yang demikian hebat. Tapi mana mau ia mengalah,
sekalipun lawannya itu berjumlah empat orang.
Dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, gadis itu me-
nyerang membabi buta pada keempat manusia bere-
wok. Dungkil setengah memutar tubuhnya, maka tu-
sukan pedang pendek luput. Semakin geram. Gadis itu menarik pedangnya lalu
digantikan dengan sebuah
tendangan keras ke depan.
"Buug!" Dungkil terguling. Dawuk melompat mengganti posisi Dungkil. Ia pun tidak
luput dari sambaran-sambaran pedang pendek.
"Wesss! Wesssss!" Susah payah Dawuk meng-
hindarinya. Sempor cepat datang membantu. Tendan-
gan terbang melesat, teriakan Sempor nyaring.
"Heaaaaa!" Gadis itu merunduk sambil membabatkan pedangnya ke atas.
"Breeeet!" Paha Sempor tergores. Untung saja tidak begitu dalam. Sewaktu pedang
pendek membabat
paha Sempor, Sempor berhasil pula melancarkan pu-
kulan pada lengan yang menggenggam pedang. Gadis
itu pun kesakitan, terbukti lengannya bergetar. Sempor masih dapat berdiri
walaupun sebelah tangannya
memegangi paha yang terluka itu. Dawuk melompat,
terbang dengan kedua tangan yang siap menghantam.
Gadis itu menyambut dengan babatan pedang yang
bergerak lemah. Ternyata tendangan Dawuk lebih dulu menghantam pergelangan
tangan, sampai pedang pendek yang tergenggam erat terlepas. Lalu kedua tangan
yang tadi siap menghantam menarik baju putih yang
dikenakan. Gadis itu menepak kuat cengkraman Da-
wuk. "Breeeeek!" Cengkraman Dawuk terlepas berikut sobekan kain putih. Gadis itu
menyadari kalau bagian dadanya terbuka lebar, buru-buru ia menutupi
dengan sebelah tangannya.
"Manusia-manusia terkutuk! Aku akan menga-
du jiwa dengan kalian...!" Dia menyerang Dawuk dengan sebelah tangan. Dawuk
hanya tertawa menyerin-
gai.... "Ha... ha... ha.... Hari ini empat begal Singa Kali Progo akan pesta
besar..." Dawuk menghindari serangan-serangan itu.
"Keparat...!" Gadis itu memekik hebat. Dari arah belakang Dungkil maju
menyerang, tapi cepat gadis itu membalikkan tubuhnya. Sebelah lengannya tadi
menutupi bagian dadanya berkelebat. Melihat buah
dada yang putih mulus, Dungkil terbeliak.


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Deeess!" Sampai-sampai ia tidak sempat
menghindari pukulan keras ke arah mukanya. Dungkil
menjerit memegangi muka. Hidungnya banyak ke luar
darah. Dawuk dan Sempor tertawa melihatnya. Gadis
itu menutup kembali bagian dadanya. Tapi bagaimana
bisa ia menghadapi keroyokan itu hanya mengandal-
kan sebelah lengannya" Apalagi serangan-serangan
mereka gencar makin kurang ajar. Mula-mula ia hanya mengandalkan sebelah lengan,
tapi lama kelamaan harus terpaksa mengerahkan kedua lengan. Membiarkan
dadanya yang putih halus terbuka lebar. Tanpa pedang pendek keempat manusia
berewok makin mudah menyerang gadis itu. Sempor yang sudah tidak sabaran
melompat maju, gadis itu menyambut dengan tendan-
gan. "Blaak!" Tendangan itu terhempas oleh gerakan Sempor. Tapi tendangan
berikutnya berkelebat menyilang ke atas.
"Beeg!" Sempor sempoyongan, kepalanya terasa pening. Dawuk maju lagi. Kuwusura
menyerang dari belakang. Menghadapi serangan dari dua arah cukup
menyulitkan. Dia bermaksud menyambut serangan
mana yang datang lebih dulu. Tapi yang disergap serangan Dawuk. Karena kalau
tidak segera diatasi,
mungkin tubuhnya sudah terkena dua pukulan sekali-
gus. Dawuk yang tidak pernah tanggung-tanggung
menghajar lawannya masih terus melancarkan seran-
gan beruntun. Gadis itu cepat memutar ke atas tan-
gannya, jotosan Dawuk meleset ke samping. Lolos dari Dawuk kini ia menghadapi
Kuwusura. Sebuah tendangan geledek menghalangi langkah Kuwusura.
Namun cepat ia melompat menghindari tendangan itu.
Dungkil yang hidungnya masih keluar arah maju
menghantam pinggul gadis itu dengan keras. Sempor
malah berhasil menghajar punggungnya. Untuk Sem-
por gadis itu asih dapat membalas. Pukulan karate
menghantam tenggorokan Sempor. Tapi secepat kilat
Kuwusura melayangkan tamparannya.
"Ploookk!" Gadis itu terpelanting hebat.
"Bodoh...! Kalian tak perlu membunuhnya!
Tangkap dia hidup-hidup...!" Perintah Dawuk. Ketiganya berdiri tegar
menyeramkan. Melihat lawan-
lawannya masih nampak segar bugar, gadis yang te-
lanjang dada itu jadi mengkirik. Cepat ia bangkit dan berlari menerobos hamparan
alang-alang. Ia berpikir tidak mungkin dapat mengalahkan mereka, makanya
ia cepat melarikan diri...
"Kejar...! Kejar....! Giring dia ke dalam hutan!
Cepat....!" teriak Dawuk sambil mengejar. Ketiga anak buahnya berlari mengikuti.
Hamparan alang-alang
menyeruak oleh langkah-langkah mereka. Tanpa me-
noleh gadis itu berlari semakin kencang.
* * * Derak roda kereta disertai derap sepatu kuda
membuyarkan debu-debu sekitar jalan itu berterban-
gan. Geletar cemeti sesekali terdengar bercampur he-laan si pengemudi kereta
kuda itu. Penumpangnya
cuma satu orang, dengan si pengemudi jadi dua orang.
Keduanya bergoyang-goyang dalam lajunya kereta.
Wintara duduk diam dengan pandangan lurus ke de-
pan di samping Raden Sintoro Tinggil sibuk mengendalikan kuda-kudanya. Di
hadapannya terlihat bayangan sebuah gunung berwarna kebiruan kemudian warna
hijau menghampar di bawahnya. Pada sisi kanan kiri
jalan itu menghampar pula alang-alang menghijau
menari-nari tertiup oleh angin. Pandangan Wintara tersentak melihat sesuatu yang
aneh di ujung hamparan
yang menghijau setinggi satu meter itu. Sosok bayangan putih berlari kencang
sedang di belakangnya em-
pat orang bertubuh kekar-kekar mengejar. Wintara
mengernyitkan alisnya. lalu...
"Stop, Raden...! Stop dulu!" Wintara menahan lengan Raden Sintoro Tinggil yang
memegang tali kemudi. "Ada apa...?" Raden Sintoro Tinggil menarik tali itu, maka
tak lama kereta itu berhenti. Wintara langsung lompat. "Raden tunggu saja di
sini...!" katanya.
"Jangan ke mana-mana...!" Pesannya sambil lari menyusuri jalanan itu.
Pandangannya masih terus tera-
rah sosok bayangan putih. Sebuah benda sepanjang
dua jengkal bersinar menyilaukan mengganggu pengli-
hatan Wintara. Setelah mengamati benda itu Wintara
memungut nya dari tanah berpasir. Ternyata sebilah pedang pendek. Ingatannya
terlintas sewaktu ia berada di desa Wadaslintang. Di sebuah penginapan. Dan
seorang wanita muda berkepandaian tinggi. Kenapa pe-
dang ini sampai terjatuh di sini tanpa sarung" Pikir Wintara. Lalu siapa pula
sosok bayangan putih yang
berlari kencang bagai angin itu" Siapa pula keempat orang bertubuh kekar yang
mengejarnya" Wintara tidak perduli, dengan menggenggam pedang pendek ia
terus mengikuti ke mana arah orang-orang itu pergi.
Dawuk memasuki daerah hutan pesisir kali
Progo. Pohon-pohon besar tumbuh di mana-mana.
Semak-semak juga tumbuh merimbun tidak beratu-
ran. Dawuk celingukan mencari-cari gadis yang dikejarnya tadi. Ternyata
buruannya telah hilang bersembunyi. Sampai ketiga anak buahnya datang mengham-
piri, Dawuk belum juga menemukan tanda-tanda di
mana adanya gadis itu. Tentu saja mereka tidak akan menemuinya. Tubuh gadis itu
bergelantungan di atas
sebatang ranting pohon yang dirimbuni dedaunan hi-
jau melebat. Nafasnya diatur perlahan manakala
keempat pengejarnya berada di bawahnya. Nampak
Dawuk memberi aba-aba. Dan ketiga anak buahnya
menyebar. Tapi.... "Kkrkrekraaaak...!" Ranting pohon itu tidak cukup kuat menahan beban.
Sudah tentu suara
itu menjadi perhatian keempat manusia berewok yang
berada di bawahnya. Dibarengi suara patahnya rant-
ing, melesat sosok tubuh ramping berjumpalitan ke
bawah. Hinggap begitu baik di tanah bererumputan.
Melihat itu Dawuk menyeringai lebar. Terjangannya
yang cepat membuat gadis itu gelagapan. Tahu-tahu
saja Dawuk sudah memeluk erat tubuhnya. Ketiga
anak buahnya ikut memegangi kedua tangan yang me-
ronta-ronta. Seorang lagi memegangi kedua kakinya.
Dawuk melumati habis jenjang leher gadis yang berada di dalam dekapannya.
Tangannya yang jahil menarik
kasar celana panjangnya sampai robek. Terlihat paha yang putih mulus bergoyang-
goyang meronta-ronta.
"Manusia-manusia bejad! Tidak ada pekerjaan
lainkah selain memperkosa anak gadis orang...?" Suara itu begitu lantang
terdengar. Serempak orang-orang
berewok menoleh ke arah suara itu. Wintara berdiri tenang sambil menggenggam
sebilah pedang pendek.
Dawuk bangun melepaskan dekapannya. Sempor ber-
sama Dungkil masih memegangi tubuh gadis itu. Ku-
wusura juga ikut bangkit memandang bengis pada
orang yang baru datang itu.
"Tampang kalian semua mirip perampok. Ha...
ha... ha.... Mustahil kalau tidak sanggup membeli seorang pelacur. Ha... ha...
ha...." Wintara tertawa terba-
hak-bahak. Kalung hitam bergerak-gerak di lehernya.
Mata Dawuk terbelalak melihat liontin kepala Elang
dari perak bergerak-gerak saat Wintara tertawa. Da-
wuk mundur beberapa langkah kembali ke tempat se-
mula. Di luar dugaan jari telunjuknya bergerak cepat menotok peredaran darah
gadis itu membuat tidak sa-darkan diri. Kemudian keduanya mendekati Dawuk
menghadapi pemuda itu. Wintara menyelipkan pedang
pendek di balik ikat pinggangnya. Kuwusura yang me-
rasa terganggu atas kehadiran pemuda itu langsung
menyerang. Hantamannya melesat cepat. Wintara
hanya menyingkir selangkah. Tangan kirinya menyo-
dok keras. "Buuug!" Tubuh Kuwusura terguling. Wintara memandangi tubuh Kuwusura
bergulingan, padahal
hantaman itu tidak begitu keras. Dawuk langsung me-
lotot. Ia memberi aba-aba pada Dungkil dan Sempor
untuk menyerang. Wintara malah maju. Kedua tela-
pak tangannya menjurus ke depan, kemudian dua len-
gannya memutar mematahkan serangan Dungkil mau-
pun Sempor. Dungkil yang semula melancarkan tin-
junya jadi berbalik mundur mendapat balasan ki-
basan tangan Wintara. Sempor yang masih belum ya-
kin akan kehebatan Wintara menyeruduk menyerang.
Serudukannya disertai dengan beberapa pukulan yang
diarahkan pada perut maupun muka. Dengan mudah
Wintara menepis dan menyambutnya dengan sebuah
tendangan. "Beeeeeeg!" Sempor terlempar bergulingan. Wintara masih berdiri menghadapi
mereka. Bibirnya tersenyum ke arah gadis itu. Gadis itu sebenarnya masih
bisa menangkap arti senyuman itu. Hanya saja ia telah terkena totokan dari
Dawuk, sehingga ia tidak dapat bergerak. Gadis itu pun sempat melihat pedang
pendek terselip dalam pinggang Wintara. Dawuk, Dungkil, dan Sempor menyerang serempak.
Belum sempat mereka
melancarkan hantaman, Wintara mencelat ke atas.
Masih dalam keadaan di udara Wintara meng-
hajar sekaligus mereka bertiga dengan sabetan kaki.
Ketiganya bergulingan. Tubuh Dawuk menabrak Sem-
por. Kemudian mereka bangkit lagi.
"Mata kalian buta semua...." bisik Dawuk pada Sempor. Dungkil tidak mengerti.
"Kau lihat kalung yang melingkar di leher bocah itu...." bisiknya lagi. Sebuah
kalung hitam berliontin kepala Elang dari perak.
Dungkil, Sempor maupun Kuwusura tersentak kaget.
Kenapa bisa berada di tangan anak muda itu" Pikir
mereka. "Pusaka sudah ada di depan mata... Langsung
saja kita rebut...." Kuwusura nekad maju. Terjangannya bagai seekor banteng.
Wintara yang sejak tadi
memperhatikan gerak gerik mereka melompat mundur,
kedua kakinya hampir tidak menyentuh tanah. Den-
gan lentingan tubuh yang ringan, tahu-tahu Wintara
sudah berada di belakang Sempor. Lalu sodokan tela-
pak tangannya mendorong tubuh Sempor hingga ter-
pental. "Kalian bertiga kenapa tidak maju sekalian"
Hayo maju! Jangan kasak kusuk macam anjing tu-
mang...." Wintara menantang. Dawuk jadi geram.
"Seraaaaang....!" Dawuk menerjang. Sempor bersama Dungkil juga ikut menerjang.
Mereka bertiga menggempur dengan serangan-serangan dahsyat. Jotosan Dawuk hampir
mengenai kepala, Wintara cepat
menepak. Datang lagi tendangan dari arah kiri. Itu pun nyaris menghantam
perutnya. Sempor menyerang dengan dua pukulan beruntun. Kaki Wintara naik ke
atas menangkis, lalu maju ke depan menghajar pinggang
Dungkil. Terlempar masuk ke dalam semak-semak.
Dawuk melompat dengan teriakan nyaring menyerang,
Sempor melayangkan tinjunya. Tetapi gerakan Wintara lebih cepat lagi, begitu
habis menendang, tubuhnya terus memutar. Loncat menjauh menghindari dua serga-
pan itu. Dawuk dan Sempor seperti sadar dari mim-
pinya. Serempak mereka membalikkan tubuhnya.
Dari dalam semak-semak Dungkil muncul
membantu dua orang temannya. Kemunculan Dungkil
mengejutkan Wintara. Kalau saja Wintara kurang
awas. Tentunya hantaman yang dilancarkan Dungkil
membuatnya terdorong atau terbanting. Kuwusura be-
rusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan sem-
poyongan. Ia melihat ketiga temannya susah payah
menghadapi pemuda itu.
"Plaaaaak!" Wintara berhasil menghajar punggung Dawuk. Sempor membalas dengan
tendangan, tapi meleset menyerempet baju dari kulit binatang
yang dikenakan Wintara. Cepat Wintara menghantam
kaki Sempor dengan pukulan karate. Sempor tergul-
ing. Kuwusura tidak berani maju. Dawuk masih me-
megangi punggungnya yang terasa nyeri.
"Munduuuuur......!" Dawuk memberi perintah.
Seperti biasa, ia lari paling dulu Sempor dan Dungkil langsung berjingkat
menyusul. Kuwusura paling bela-kangan. Wintara berdiri tenang memandangi keempat
orang berewok yang lari terbirit-birit. Apalagi melihat langkah-langkah Kuwusura
yang terpincang-pincang.
* ** 6 Wintara memalingkan wajahnya saat ia melihat
tubuh gadis itu tergeletak telentang di atas tanah be-rumput. Bagaimana tidak.
Kulit dada yang putih mu-
lus terbuka lebar dari balik bajunya yang terkoyak. Tidak pantas seorang
pendekar sejati menatap peman-
dangan semacam itu. Kasihan. Gadis itu betul-betul
tak dapat bergerak. Mengeluarkan suara saja tidak
mampu. Dengan sedikit kikuk Wintara menghampiri
tubuh ramping itu, si gadis menatap dengan sorot ma-ta yang penuh amarah.
Wintara membuang muka lagi.
Jari telunjuk dan jari tengahnya menyatu lurus. Ia
memberanikan diri menyentuh kulit dada dengan ke-
dua jarinya itu. Merayap perlahan sampai pada sela-
sela dua bukit yang menonjol di bagian dada yang putih halus. Wajah gadis itu
merah padam. Di luar du-
gaan Wintara cepat menotok di bagian itu. Si gadis tersentak. Terbebas dari
totokan, telapak tangannya re flek melayang menyambar pipi Wintara. Pedas juga
tamparan itu. Cepat Wintara melompat mundur. Ia
mengerti perasaan gadis itu.
Sebenarnya si gadis pun mengerti apa yang di-
lakukan Wintara terhadap dirinya. Tidak ada maksud
apa-apa selain membebaskan totokan Dawuk. Tampa-
rannya hanya spontanitas yang terpaksa di luar pikirannya. Wajahnya masih merah
padam, tangannya
pun cekatan membetulkan baju yang terkoyak itu.
"Manusia kurang ajar...! Aku sudah berjanji
akan membelah kepalamu. Sekarang malah berani
menunjukkan diri...." kata gadis itu dengan muka yang memerah. Wintara tidak
menyahut. Ia mencabut pedang, pendek dari pinggangnya, kemudian ia melem-
parkannya ke hadapan si gadis itu. Lain berkata...
"Itu milikmu..... Kutemukan tergeletak di ten-
gah jalan...." Wintara beranjak meninggalkan si gadis.
Gadis itu melompat menghadang langkah-langkah
Wintara. Ujung pedang yang tajam dingin menempel di dada Wintara. Wintara tidak
bereaksi.... "Nona.... Anggap saja perselisihan kita di Wa-
daslintang hanya persoalan kecil. Aku pun sudah me-


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lupakannya. Bahkan sudah tidak ingat lagi. Sekarang kita bertemu. Aku mempunyai
kesan bahwa kau adalah seorang pendekar yang sangat hebat...." kata Wintara
tenang. Gadis itu menatap tajam ke wajah Wintara.
Tangannya yang menggenggam pedang di tarik perla-
han. Setelah memasukan pedang pendek ke dalam sa-
rungnya, ia mengambil sesuatu dari balik ikat ping-
gang. Sekeping uang emas.
"Tolong belikan aku pakaian. Dan secepatnya
bawa ke mari...." Selintas Wintara teringat Raden Sintoro Tinggil yang
menunggunya di jalan besar. Ingat pula dengan perbekalan yang dibawa oleh orang
kaya itu. Mustahil kalau Raden Sintoro Tinggil tidak membawa bekal pakaian. Maka....
"Uang sebesar itu tidak mungkin akan ada
kembalinya, simpan saja. Dan tunggu aku di sini..."
Wintara beranjak, langkahnya setengah berlari. Ke luar hutan dan menerobos
hamparan alang-alang nan luas.
Kereta kuda masih menunggu di sana. Begitu juga Ra-
den Sintoro Tinggil. Ia masih nangkring di atas kursi kereta. Ia berkedip ketika
dilihatnya Wintara berlari mendekatinya. !
"A-a-ada apa, anak muda...." tanyanya gagap.
"Maaf, Raden.... Apakah Raden membawa pa-
kaian salin?" kata Wintara begitu mendekati kereta
kuda. "Bawa...." jawabnya cepat sambil menoleh ke belakang, pandangannya tertuju
pada sebuah buntalan besar.
"Kalau boleh, saya pinjam dulu satu pasang.
Bukan buat saya, tapi...." Wintara tidak berani meneruskan kata-katanya.
"Aaaah... Buat siapa pun tidak jadi masalah.
Aku tahu! Pasti untuk menolong seseorang. Iya kan"
He... he... he..... Kau boleh ambil sendiri dalam buntalan itu..... Ambillah.."
Maaf. Kata itulah yang keluar dari mulut Win-
tara sebelum membuka buntalan kain yang ada di be-
lakang kereta. Gadis itu masih berdiri menanti kedatangan
Wintara. Sebentar-sebentar ia menoleh ke hamparan
alang-alang. Kedua tangannya melipat di atas dada.
Udara di sekitar hutan memang menyegarkan, kicauan
burung tidak henti-hentinya bersahutan. Sayup-sayup terdengar pula suara riak
air kali Progo. Ia tersentak ketika langkah-langkah Wintara kembali menemuinya.
"Pakailah. Mungkin kebesaran. Karena tubuh
Raden Sintoro Tinggil memang gemuk. Maaf aku tidak
tahu warna kesukaan mu...." Wintara melempar satu pasang pakaian berwarna biru
muda. Gadis itu menangkapnya dengan sebelah lengan. Alisnya menger-
nyit. Raden Sintoro Tinggil" Mengapa kebetulan sekali ia menjumpai orang-orang
yang tadi berada di Wadaslintang" Ah! Masa bodoh... Yang penting sekarang ia
sudah mendapatkan sepasang pakaian.
"Dasar kurang ajar! Tunggu apalagi" Mau lihat
aku tukar pakaian?" Gadis itu setengah membentak.
Wintara jadi salah tingkah.
"Bu-bukan...! Aku tidak bermaksud ke situ.
Aku mau tanya.... Kemanakah tujuan Nona sebenar-
nya" Nona bisa menumpang di kereta Raden Sintoro
Tinggil...." tukas Wintara. Gadis itu melotot.
"Mau tahu urusan orang.... Dasar culas!"
"Kalau begitu.... Aku permisi. Mudah-mudahan
kita bisa bertemu lagi..." Setelah berkata begitu, Wintara bergegas pergi
meninggalkan gadis itu sendirian.
* ** "Kang...! Kang Dawuk.... Tungguuuuu!" Kuwusura berlari menyusul ketiga
sahabatnya. Meski pun
dengan terpincang-pincang larinya cepat sekali. Masih bisa melompat batu-batu
terjal yang menghadang.
"Kangggg... Tungguuuuuuu!"
Dawuk tidak perduli dengan teriakan-teriakan
Kuwusura. Larinya semakin cepat. Dungkil dan Sem-
por setengah mati mengimbangi. Sebenarnya mereka
kasihan melihat Kuwusura yang berlari jauh tertinggal.... "Kang....! Sudah
sejauh ini kita berlari...!" Kenapa belum juga berhenti...!" teriak Dungkil.
"Tidak ada waktu lagi... Kita harus cepat me-
nemui Ki Randaka sekarang juga...! Sebaiknya kalian tidak perlu ikut....! Awasi
saja ke mana perginya pemuda sial itu,...!" jawab Dawuk dari kejauhan. Hebat!
Dawuk pemimpin begal Singa Kali Progo punya renca-
na lain. Ada rasa khawatir yang membebani pikiran
mereka. Takut kalau-kalau KI Randaka tidak akan
menerima kehadirannya. Atau menghajar habis-
habisan. Sebentar saja Dawuk sudah hilang dari pan-
dangan mereka. Menyusuri sepanjang pinggiran kali
lebih mudah untuk menemukan Ki Randaka. Dawuk
berharap masih bisa menemuinya. Makanya larinya
makin cepat laksana kijang. Kadang-kadang pula ia harus meloncat mempercepat
langkahnya. Sekali lom-patannya hampir mencapai sepuluh meter. Berlari dan
melompat. Begitu terus tanpa mengenai lelah. Hatinya cukup tenang ketika dari
jauh ia melihat sebuah perahu dengan layar terkembang. Melaju mengikuti arus
air kali. Saking gembiranya ia tidak memperhatikan
tanah becek yang diinjaknya, ia pun tergelincir hampir nyemplung ke kali. Dawuk
bangun lagi kemudian melanjutkan larinya.
"Ki Randakaaaaaaa.....!" Teriakannya nyaring bergema. Lelaki tua yang berdiri
mengendalikan haluan menoleh mendengar teriakan yang bergema itu. Ia melihat
sosok tubuh berlari kencang berusaha menyusul. Sosok bayangan itu begitu kecil,
sehingga sukar untuk mengenali siapa orang tersebut...
"Wagunkah....?" terkanya dalam hati. Ki Randaka memutar layar agar laju
perahunya sedikit berkurang. Ia sengaja menanti orang yang berusaha me-
nyusulnya. Kalau Wagun atau Sambali kenapa ia ha-
rus tidak memakai baju" Lagipula seluruh muka orang itu nampak hitam pekat dari
kejauhan. Setelah agak
mendekat barulah ia tahu warna hitam pekat itu wa-
jahnya itu berewok yang sangat lebat. Pasti salah satu anggota Singa Kali Progo,
pikir Ki Randaka. Memang
betul. Dawuk terengah-engah dengan keringat mem-
banjiri seluruh tubuhnya, Ki Randaka memandang pe-
nuh keheranan. "Cari mampus! Berani benar kau menghadang
jalanku...."
"Maaf, Ki Randaka.... Izinkanlah aku bicara sebentar saja...."
"Soal apa...?" tanya Ki Randaka.
"Pusaka Elang...." jelas Dawuk dengan nafas ngos-ngosan. Bagai disambar petir Ki
Randaka mendengar ucapan Dawuk.
"Mana pusaka itu...! Mana...!" Ki Randaka gusar.
"Ada pada seorang yang sadis dan kejam.... Aku sendiri melihat saudara Wagun dan
Sambali dibunuh-nya...." "Bangsat! Kraaaak...!" Ki Randaka menghajar hancur kayu
haluan. Sekonyong-konyong tubuhnya
melesat berputar di udara, kemudian hinggap di hadapan Dawuk. Langsung
mencengkeram leher Dawuk.
"Di mana manusia jahanam itu. Cepat.... Kata-
kan!" Ki Randaka murka sekali. Ia mengguncang-
guncangkan leher Dawuk yang hampir tidak bisa ber-
nafas. "Tidak ada yang bisa mengalahkan dia. Kelompok kami pun tidak dapat
mengatasinya...." Suara Dawuk hampir hilang. Cengkeraman Ki Randaka men-
gendur. "Bagaimana kau bisa tahu pusaka Elang ada di tangannya!" Ki Randaka
membentak. "Dikenakannya sebagai kalung dengan seutas
tali hitam!" Jawab Dawuk cepat. Cengkeramannya terlepas. Ki Randaka ingat betul
ketika ia mengikat pusaka Elang dengan tali hitam. Juga membungkus pusaka
itu dengan kain hitam, lalu dengan sengaja ia mengenakannya pada seekor anjing
yang ikut bersama Adi-
naya bersama istrinya membawa pusaka Elang ke Ge-
rongsewu. Pasti orang itu pula yang telah membunuh
Adinaya bersama istrinya, dan sampai tega pula menghancurkan kepala anjing yang
mengenakan kalung itu, Keparat! Gerutu Ki Randaka....
"Antar aku ke sana...! Orang itu harus bertanggung jawab atas kematian orang-
orang Elang Perak.
Dan pusaka Elang harus kembali berada dalam tan-
ganku...."
"Tenang... Tenang.... Tiga anak buahku tengah menguntit perjalanannya...." kata
Dawuk menenang-kan suasana. Dawuk berjalan di depan, keringatnya
masih membanjir di sekujur tubuhnya. Wajah yang di-
tumbuhi janggut yang lebat mencereng terkena sinar
matahari. * ** Bulan bersinar penuh menerangi desa terpencil
yang jauh dari Wadaslintang. Beberapa gubuk terdapat di situ dengan jarak yang
berjauhan terhalang semak-semak. Sebuah jalanan selebar hampir tiga meter
menghubungi dari gubuk ke gubuk. Desa yang sunyi
sepi, dengan keheningan malam yang diterangi rembu-
lan. Padahal hari masih sore, tapi para penduduknya jarang ada yang keluar.
Sebuah kereta kuda tertambat di samping gu-
buk yang diterangi lampu obor. Di depan gubuk itu
terdapat sebuah balai. Di atasnya terbaring sosok tubuh gemuk seorang lelaki.
Nampaknya telah tertidur
pulas. Di halaman gubuk banyak bertumpuk batu-
batu kali yang besarnya tidak beraturan. Seorang lelaki muda duduk pada tumpukan
batu tersebut. Sambil
menatap ke langit memandangi bulan yang bergeser
sedikit demi sedikit. Ia menghirup udara malam da-
lam-dalam. Pemilik gubuk ke luar membawa sepiring ma-
kanan dan meletakkan di atas balai yang cukup besar,
lalu ia ke luar menemui pemuda itu.
"Den.... Dimakan dulu singkong rebusnya.
Maklum saja, Aki tidak punya apa-apa...." Pemilik gubuk menyentuh baju bulu
pemuda yang duduk di atas
bebatuan. Pemuda itu tersenyum, ia mengikuti lang-
kah orang tua si pemilik gubuk. Sampai di teras gu-
buk, ia membangunkan lelaki gemuk yang tertidur pu-
las di atas balai. Lelaki gemuk itu menggeliat.
"Raden.... Kopinya hampir dingin sebaiknya di-
minum saja..... Biar tidak ngantuk...."
Orang yang disebut Raden menguap lebar. Ma-
tanya masih sepat. Lesu ia menyambar gelas berisi ko-pi yang sejak tadi berada
di atas balai. Dihirupnya sampai tinggal tiga perapat gelas.....Ahhhhhh....
Nikmat meskipun sudah terlanjur dingin. Tiba-tiba....
"Hieeeeeeeee...!" Dua ekor kuda yang ter-
tambat di samping gubuk meringkik nyaring. Ketiga
orang berada dalam teras gubuk tersentak. Pemuda itu lari ke samping. Kuda-kuda
itu diam kembali setelah dielus-elus. Lalu mengawasi sekitar tempat itu. Gam-
pang saja! Karena malam itu terang bulan. Pemuda itu melihat sosok tubuh ramping
berjalan perlahan dengan langkah-langkah yang gagah. Hm... Gadis itu la-
gi.... Pikirnya.
"Nona, sudah tiga kali ini kita bertemu.... Pastilah tujuan kita sama, Nona
ingin ke Gerongsewu, bu-
kan....?" Pemuda itu langsung menegur. Tapi wanita muda itu terus melangkah.
"Kalau bakal ketemu di sini, menyesal aku ti-
dak mengajakmu menumpang di kereta milik Raden
Sintoro Tinggil...."
Gadis itu tetap acuh. Kata-kata pemuda itu ti-
dak dihiraukan sama sekali. Ia melangkah terus menu-ju gubuk yang masih terang.
Ia melihat dua orang lela-
ki. Yang satu pendek gemuk yang pernah ditemuinya
di Wadaslintang, satu lagi bertubuh kurus. Pakaiannya pun nampak lusuh dan
kumal, Pastilah ia pemilik gubuk ini, pikirnya. Tanpa menoleh ke arah Raden
Sinto-ro Tinggil ia mendekati pemilik gubuk.
"Maaf, Ki.... Malam ini aku bermaksud menum-
pang beristirahat di sini...." kata gadis itu tanpa ragu-ragu. Orang tua itu
tidak langsung menjawab. Ia sendiri hampir tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Seorang gadis cantik berpakaian serba biru muda,
bermaksud beristirahat di gubuknya. Baru kali ini ia kedatangan tamu-tamu yang
sangat ganjil. Apakah ini alamat akan mendapat rezeki"
"Aki tidak perlu repot-repot melayani saya, cukup saya beristirahat di luar...."
kata gadis itu lagi.
"Ah.... Mana bisa begitu.... Pantangan bagi seorang perempuan tidur di luar...."
sergah Raden Sintoro Tinggil. "Terima kasih atas pinjaman sepasang baju ini,
Raden.... Kapan-kapan akan saya kembalikan..." jawab gadis itu lain. Raden
Sintoro Tinggil menunduk malu.
Pemilik gubuk memandang keduanya. Wintara sudah
ada di situ. "Benar kata Raden Sintoro Tinggil itu, Nona....
Gubuk ini memang kecil, tapi sepuluh orang macam
Nona masih bisa menampung." kata pemilik gubuk itu.
"Justru kalau nona tidur di luar, saya tidak akan men-gijinkannya...." katanya
lagi. Gadis itu tersenyum. Ia mengambil sekeping uang emas dari balik bajunya.
La-lu... "Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.
Ambillah ini sebagai oleh-oleh dari saya. Ayo..." Gadis itu menarik lengan kurus
si pemilik gubuk, lalu meletakkan uang emas itu ke dalam telapak tangan yang
gemetar. Seperti terbangun dari mimpi orang tua itu membuka telapak tangan yang
semula tergenggam.
Matanya melotot menatap kepingan uang logam ber-
warna keemasan.
"Aduuuh.... Orang-orang desa ini tidak percaya saya memiliki uang sebanyak ini,
Nona...." Pemilik gubuk malah ketakutan "Saya tidak bisa meneri-
manya...." katanya lagi sambil mengembalikan uang emas itu.
"Kenapa musti bingung-bingung. Aki bagikan
saja orang-orang kampung sini, tentunya mereka akan senang. Dan katakan pada
mereka bahwa Aki menemukan uang itu. Kan beres..."
Orang tua kurus itu mengangguk-angguk per-
lahan. Lalu ia masuk ke dalam menaruh uang logam
itu. Si gadis hanya mengawasinya, sebentar kemudian ia ke luar dengan kedua
tangan melipat di dada. Pandangannya menatap ke atas. Wintara melangkah per-
lahan mengikuti gadis itu yang sudah berdiri dekat
tumpukan-tumpukan batu kali. Berat sekali ia menge-
luarkan kata-kata.
"Janggal rasanya kalau kita tidak saling berke-nalan, Nona... Namaku Wintara....
Siapakah kiranya
Nona ini" Aku sampai di sini hanya mengantar Raden
Sintoro Tinggil ke Gerongsewu. Nona juga mau ke sa-
na, kan?" kata Wintara memberanikan diri.
"Pintar juga akalmu.... merasa punya ke-
beranian tinggi, pura-pura mengantarkannya. Padahal ingin menguras seluruh isi
kantong Raden Sintoro
Tinggil yang terkenal banyak uang...." jawab Gadis itu.
Wintara hanya senyum mendengarnya, lalu....
"Bukan aku yang menawarkan mengantar Ra-
den Sintoro Tinggil, tapi dia sendiri yang meminta. Malah tadinya ia ingin
membayar mahal tapi dengan tulus
aku menolak...." jelas Wintara. Gadis itu menoleh.
"Begitu berani kau pergi ke Gerongsewu dengan


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memamerkan pusaka Elang, betul-betul tidak tahu
penyakit...."
Wintara kaget setengah mati, jantungnya bagai
disiram air panas. Ternyata gadis yang selama ini tiga kali bertemu, tahu adanya
pusaka yang melingkar di
leher Wintara. Wintara langsung mengusap benda itu.
"Apakah kau juga ingin merebut pusaka ini.
Sudah banyak orang yang menginginkannya...." kata Wintara polos.
"Aku tidak tertarik dengan segala benda pusa-
ka. Buat apa" Kalau nantinya menjadi malapetaka. Betul! Aku akan ke
Gerongsewu... Hanya untuk mencari
seorang pembunuh...." Kata gadis itu lirih.
"Pembunuh...?"
"Yah. Pembunuh Ayahku...." jawabnya cepat.
"Salah seorang dari orang-orang yang akan mengikuti pertemuan adalah pembunuh
Ayahku!" katanya lagi.
"Siapakah nama Ayahmu. Itu pun kalau boleh
kutahu...." tanya Wintara.
"Kau akan mati berdiri bila mendengarnya...."
"Katakanlah...."
"Lungo Paksi!" jelas sekali sebutan nama itu.
Astaga, Ternyata gadis cantik ini putri seorang tokoh kosen yang termasyur dalam
rimba persilatan. Pantas.... Pantas... Ia pun memiliki ilmu yang tinggi pula
seperti ayahnya. Hanya sayang ia masih terlalu muda.
"E-e Nona...."
"Jangan pangil aku dengan sebutan itu lagi.
Namaku Tari Wening Asih.... Atau Tari Wening sing-
katnya...."
Tari Wening Asih.... Tari Wening.... Wening
Asih.... Tari.... Ah apa kira-kira yang cocok untuk se-
butan gadis secantik itu" Wintara masih mencari-cari.
"Mereka mengkhianati Ayahku. Dengan tudu-
han telah bersekongkol pada orang-orang yang berdiri di deretan aliran hitam.
Sekali pun benar, mereka tidak perlu membunuhnya dengan cara keji. Paling ti-
dak menghukumnya secara adilnya hukum persilatan
aliran lurus. Mereka menyeretnya sampai ke Gerong-
sewu. Salah seorang dari mereka telah menewaskan
Ayahku dengan sebuah pukulan Telapak Tangan Hi-
tam. Selain itu, tidak ada lagi tanda-tanda bekas pukulan atau pun pembunuh
Ayahku. Beberapa hari lagi
mereka akan berkumpul di Gerongsewu, untuk mengi-
kuti pertemuan yang diadakan tiap tiga tahun sekali..."
"Pertemuan..." Pertemuan untuk mengadu ke-
pandaian ilmu....?" tanya Wintara ingin tahu. Hampir saja kedua tangannya
menyentuh tubuh gadis itu yang berdiri membelakanginya. Untung saja Wintara
cepat sadar dari ketololannya.
* * * 7 "Wuaaaaaa...! Toloooooong...! Tolooooong...!"
Raden Sintoro Tinggil menjerit-jerit histeris. Pemilik gubuk cepat ke luar.
Begitu juga Wintara dan Tari
Wening Asih, keduanya segera melompat ke arah teriakan itu. Nampak Raden Sintoro
Tinggil setengah ter-
tidur meronta-ronta. Lengan kanannya terangkat me-
nempel pada dinding kayu. Sebatang anak panah me-
nembus lengan baju sampai ke dinding kayu.
"Lenganku...! Lenganku....!"
Wintara menarik anak panah itu, cukup keras
juga menembus ke dinding kayu. Sebatang anak pa-
nah yang sama seperti yang didapat di desa Wadaslintang. Sebelum mencabutnya
Wintara sudah melihat
gulungan kertas mengelilingi batang anak panah itu.
Wintara tidak memperdulikan Raden Sintoro Tinggil
maupun orang lain yang berada di situ sekalipun pada Tari Wening Asih. Ia
langsung membaca isi surat itu....
Serahkan pusaka Elang pada kami.
Jangan coba-coba menolak, bila kepala kalian
ingin menggelinding ke tanah...
Wintara diam lalu menyerahkan kertas itu pada
Tari Wening Asih yang segera langsung membacanya.
Raden Sintoro Tinggil masih gemetaran ketakutan. Sekalipun yang ditembus batang
anak panah itu hanya
lengan bajunya. Pemilik gubuk juga nampak ketakutan
"Tenang... tenang, Ki.... Aki tidak perlu takut.
Lagipula Aki tidak akan terlihat dalam urusan ini...."
kata Tari Wening Asih membujuk.
"Bagaimana Aki bisa tenang, Non.... Coba saja
lihat.... Orang kaya itu hampir saja dia terbunuh di si-ni...." kata si pemilik
gubuk gemetar. "Percayalah.... Kami akan melindungi Aki juga
orang kaya itu." Tari Wening Asih menunjuk ke arah lelaki gemuk yang duduk
merungkut. Anak panah masih dalam genggaman Wintara,
ia ke luar gubuk dengan perasaan yang tidak habis pikir. Wintara menuju pada
tumpukan batu kali, lalu ia duduk di pinggirannya. Sebenarnya ia ingin
menyerahkan pusaka itu pada si pemanah misterius. Tapi
apakah betul orang itu pemiliknya" Bagaimana kalau
bukan" Tentunya akan lebih parah lagi.... Wintara ti-
dak takut pada ancaman yang tertulis dalam gulungan kertas yang barusan
dibacanya. Jangankan hanya sebuah ancaman, tantangan pun pasti akan ia hadapi.
Tapi ini soal lain. Soal pusaka. Wintara sendiri tidak tahu milik siapa pusaka
yang tergantung di lehernya ini. Ini yang membuat Wintara tak habis pikir. Dan
merasa terlibat. Dua kali Raden Sintoro Tinggil nyaris membuang nyawa. Kenapa
harus sasarannya Raden
Sintoro Tinggil" Bukan kepada dirinya yang mengena-
kan kalung hitam berliontin kepala Elang sebesar telapak tangan. Kenapa" Dan
berkali-kali hanya nyaris
merenggut nyawa Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro Tinggil hanya seorang
saudagar kaya yang tidak tahu apa-apa soal pusaka Elang. Kenapa ia harus
terlibat. Apakah lantaran ia dekat dengan Wintara...." Wintara makin tidak mengerti. Ada
penyesalan sewaktu ia
mengambil kalung hitam dari orang yang sudah tak
bernyawa. Yang ditemukannya di pinggiran kali Progo.
"Win...." Terdengar suara halus menegurnya.
Wintara tahu itu suara Tari Wening Asih. Tapi Wintara tetap tidak mau menoleh.
Ia semakin hanyut dalam pikiran yang datang bertubi-tubi merumit. Wintara me-
mejamkan matanya. Dirasakannya jemari lentik Tari
Wening Asih. Wintara tetap tidak menoleh.
"Aku tidak tahu pusaka ini milik siapa...! Aku hanya menemukannya di pinggiran
Kali Progo pada
seorang yang sudah tidak bernyawa....!" Wintara setengah berteriak. Tari Wening
Asih memandangi wajah
Wintara. "Menemukan secara tidak sengaja. Itu sudah
berarti pusaka itu telah menjadi milikmu mutlak!" kata Tari Wening Asih. Baru
dirasakan oleh Wintara kata-kata yang begitu lembut keluar dari mulut seorang
wanita yang diduganya tinggi hati.
"Tapi pusaka ini bukan milikku yang se-
mestinya. Aku tidak tahu ke mana pusaka Elang ini
mesti kubawa dan kuberikan pada siapa...?" kata Wintara dengan nada menyesali.
"Baru kali ini kulihat seorang pendekar kesatria bertingkah cengeng. Baru
menghadapi surat ancaman
saja, sudah belingsatan...."
Mendengar ucapan itu, Wintara langsung me-
matah belahkan anak panah yang tergenggam. Wintara
tidak tersinggung atas kata-kata Tari Wening Asih. Ta-pi Wintara berpendapat
gadis cantik itu justru tidak tahu apa yang ia pikirkan saat itu. Patahan-
patahan anak panah itu dilemparkan demikian kencang semba-rangan, tapi.....
Beberapa jeritan terdengar panjang. Dari se-
mak-semak yang merimbun bergulingan tiga sosok tu-
buh memegang busur berkelojotan dan kemudian ka-
ku tak berkutik. Masing-masing kepalanya menancap
sebuah bekas patahan-patahan batang anak panah
yang barusan dilemparkan oleh Wintara. Wintara sen-
diri jadi terpana menyaksikannya. Tari Wening Asih
lain lagi. Ia segera memperhatikan seluruh semak-
semak merimbun yang berada di situ. Segerombolan
semak bergoyang. Tari Wening Asih melompat ke atas
gundukan pada tumpukan batu-batu kali. Secepat ki-
lat ia menendang batu yang paling menonjol.
"Weeessss!" Batu itu melesat ke arah semak-semak yang bergoyang tadi. Sesosok
tubuh keluar dari situ dengan jeritan yang hebat. Busur panah terlempar.
Sedangkan pemiliknya sudah terkapar dengan ke-
pala hancur. "Kita sudah terkurung...." bisik Tari Wening Asih. Sudah tentu bisikannya
tertuju pada Wintara.
Wintara memandang ke arah gubuk. Raden Sintoro
Tinggil sudah tidak ada di situ. Mungkin ia telah masuk ke dalam gubuk.
Syukurlah di dalam gubuk ten-
tunya ia akan aman.
Tari Wening Asih menendangi setiap batu da-
lam tumpukan itu. Semua tendangannya terarah pada
semak-semak yang ada di situ. Namun tidak ada jeri-
tan satu pun dari hasil tendangan-tendangan batu itu.
Sungguh tenaganya terbuang percuma. Tapi ia cukup
puas. Itu berarti pasukan pemanah sudah tidak ada
lagi di sekitar situ. Wintara berlari memasuki gubuk itu. Perlahan ia membuka
pintu kamar. Dilihatnya Raden Sintoro Tinggil sudah tertidur lelap bersama
pemilik gubuk dalam satu balai. Wintara menghela nafas, kekhawatirannya sirna.
Selagi Wintara masuk ke dalam gubuk, Tari Wening Asih berjaga di luar. Benar-
benar sunyi..... Tapi bukan berarti mereka masih bisa beristirahat dengan
tenang. Satu detik saja mereka
lengah, barangkali serangan semacam tadi akan da-
tang lagi. "Benar katamu, Tari...." kata Wintara sambil ke luar kamar. Tari Wening Asih
menoleh ke arah suara
itu. "Aku khawatir Raden Sintoro Tinggil dan pemi-
lik gubuk ini akan menjadi korban...." Sambungnya la-gi. Ia menghampiri gadis
itu. "Kenapa musti takut" Kalau tadi pasukan pe-
manah mau membunuh mereka, tentunya mereka su-
dah menyerang dari tadi...." Pendapat gadis itu. Lalu keduanya terdiam. Masing-
masing dalam kebisuan-nya. Suasana makin sunyi. Bulan di atas sana masih
menerangi desa terpencil itu, meski dengan sinar yang redup. Berjalan merambat
menelusuri sang waktu...
* * * Sinar matahari menyilaukan mata Tari Wening
Asih yang tertidur memeluki kedua lututnya di atas
balai. Tubuhnya bersandar pada dinding kayu. Telin-
ganya dibisingkan oleh suara batu-batuan yang beradu sangat keras. Cepat ia
menoleh keluar. Nampak Wintara mengumpulkan kembali batu-batu kali yang beran-
takan bekas semalam. Dengan malas Tari Wening Asih
menggeliat bangun.
"Tadinya aku yang akan membereskan batu-
batu itu. Ah.... Kenapa aku jadi terlambat bangun...."
kata gadis itu sekedar basa basi.
"Sekarang sudah beres....! Mau apalagi....?" jawab Wintara sambil mengumbar
senyum. "Paling tidak mengucapkan terima kasih...."
Gadis itu menggeliat lagi melemaskan seluruh otot-
ototnya. Kemudian ia ke luar dari teras gubuk.
"Bagaimana dengan Raden Sintoro Tinggil....
Apakah dia sudah bangun...?" tanya Wintara sambil meletakkan batu yang terakhir.
"Entahlah.... Sejak aku bangun dengkurnya
masih kedengaran." jawab Tari Wening Asih sambil melangkah ke samping gubuk. Ia
menuju surau. Air
pancuran terdengar gemericik. Wintara membetulkan
letak batu yang hampir menutupi empat mayat terse-
but dengan tikar bekas alas balai. Sudah dari tadi ia menunggu pemilik gubuk itu
keluar. Maksudnya agar
minta pertolongan pada orang-orang kampung untuk
menguburkan mayat-mayat itu sebagai mana mes-
tinya. Biasanya orang-orang kampung bangun lebih
awal sebelum matahari terbit. Aneh.... Apakah mereka tidak mempunyai kesibukan
sehari-hari.... Paling tidaknya mereka ke sawah atau mengambil air. Ini Ti-
dak! Pintu gubuk berderit, lalu terkuak lebar. Mun-
cul Raden Sintoro Tinggil dengan muka masam. Ia
mengucek-ucek matanya yang masih terasa perih ka-
rena kurang tidur. Tak lama kemudian pemilik gubuk
ke luar menyusul. Tenang pikiran Wintara, ia langsung menemui pemilik gubuk itu.
"Ki, tolong minta bantuan pada orang-orang se-
kitar sini untuk menguburkan empat mayat itu...." ka-ta Wintara sambil
menunjukkan ke tumpukkan batu-
batu kali. Raden Sintoro Tinggi dan pemilik gubuk melihat empat mayat terbujur
kaku ditutupi dengan se-
lembar tikar. "Se-se-semalam ada serangan lagi...?" kata pemilik gubuk itu.
"Semuanya pasukan pemanah.... Entah dari
partai mana...!" kata Wintara tegas. Pemilik gubuk jadi kikuk. Tapi ia melangkah
dengan ragu-ragu meninggalkan gubuknya untuk meminta bantuan. Desa ter-
pencil itu hanya terdapat beberapa gubuk. Semuanya dapat dihitung dengan jari.
Jaraknya berjauhan. Ada kira-kira tiga puluh meter. Setengah berlari orang tua
itu menuju salah satu gubuk yang paling dekat dengan gubuknya. Dari kejauhan
nampak gubuk yang di-tujunya begitu sepi.
"Go.... Wanggo....! Aih... apa sudah pada be-
rangkat ke sawah..... Go..... Wanggo....."
Orang itu memperhatikan keadaan muka gu-
buk. Pintunya memang terbuka sejak tadi. Makanya ia masuk saja. Baru ia
melangkahi pintu, mata serta mulutnya terbuka lebar. Teriakannya parau terdengar
menyeruak. "Arghhhhhht...!" Bagai terpaku ia tidak bisa bergerak. Di hadapannya telah
bermayat Wanggo be-serta istri dan sanak saudaranya. Berikut kedua anak-
nya yang masih kecil-kecil. Wanggo terlentang menindih mayat istrinya dengan
empat batang anak panah
menembus di bagian punggung dan perut. Istrinya
sendiri mati dengan rongga mata yang hancur tertem-
bus anak panah. Salah seorang saudara lelaki Wanggo kepalanya hilang. Dua
anaknya yang masih kecil-kecil mati berpelukan dengan mulut berlumuran darah.
Hampir seluruh ruangan itu berhamburan anak-anak
panah. Orang tua itu bergidik, kedua kakinya gemetar.
Susah sekali ia beranjak dari situ. Setelah ia tersadar barulah ia melangkah
mundur. Kemudian berlari dengan muka yang pucat biru. Kedua langkahnya ter-
saruk-saruk menyusuri jalan itu lagi. Jalan yang penuh bertebaran dengan batu-
batu kerikil tajam.
Tiga orang telah berdiri dekat tumpukan batu.


Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menatap aneh pada orang tua yang berlari-lari mendekati mereka. Seraut wajah
pucat dan penuh ketaku-
tan.. "Mereka.... Mereka.... Mereka tewas.... Se.....
Arghhhhhhhht!" Teriakannya terputus. Orang tua itu jatuh tersungkur. Pada
punggungnya tertancap sebatang anak panah. Ketiga orang yang berdiri di samping
tumpukan batu mundur keheranan. Wintara dan Tari
Wening Asih langsung memeriksa pemilik gubuk yang
sudah terkapar tak bernyawa.
"Keparat... Rupanya desa ini telah terkurung
oleh pasukan-pasukan pemanah...!" Tari Wening Asih mengawasi seluruh pohon-pohon
Istana Tanpa Bayangan 2 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Tanah Semenanjung 7
^