Pencarian

Tapis Ledok Membara 2

Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara Bagian 2


urusan orang. Sekarang aku tidak segan-segan lagi membunuhmu. Aku punya cara
yang lebih adil" Gada Rencah menarik
kerah baju Wintara. Lalu
menyeretnya dengan kasar. Membawanya ke suatu tempat. Wintara terlentang pasrah
terseret. Tangannya menggapai-gapai mencari pegangan. Tapi Gada Rencah
menyeretnya dengan langkah yang cepat.
Membuat tubuhnya makin terbarut dengan hamparan tanah berbatu.
Mang Bayan menyaksikan kejadian itu dari semak-semak. Ia tidak tahu apa yang
mesti diperbuat. Mana mungkin ia berani menghadapi Gada Rencah yang begitu
hebat. Sedangkan Mang Bayan sendiri tidak memiliki ilmu apa pun. Selama ini saja
ia selalu mengandalkan Wintara
majikannya. Dan sekarang majikannya dalam bahaya. Ia mengutuki dirinya, karena
tidak mampu berbuat apa-apa.
Bukan hanya Mang Bayan yang menyaksikan kejadian itu. Hampir semua
orang-orang yang tadi mengikuti ucapara pemakaman Darman datang ke situ melihat.
Mereka pun sama halnya dengan Mang Bayan.
Tak dapat berbuat banyak. Perasaan ngeri dan ketakutan membuat mereka tidak
berani mendekat.
Tiba-tiba seorang perempuan berlari menyusul ke mana Gada Rencah menyeret
Wintara. "Warsih.... Jangan!" teriak dari salah
seorang yang bersembunyi
ketakutan. Perempuan itu tidak
memperdulikan peringatan itu. Ia terus berlari mendekati Gada Rencah. Setelah
mendekat, ia memutar menghalangi langkah Gada Rencah....
"Jangan bunuh dia! Jangan bunuh!"
Warsih langsung berlutut memohon.
"Kasihanilah dia, Jangan... jangan dibunuh"
Gada Rencah malah mendorong tubuh perempuan itu sampai bergulingan.
Kemudian meneruskan langkahnya. Wintara yang setengah sadar mendengar suara
Warsih. Ia dapat melihat Warsih berlari menyusul dengan pandangan kabur.
Gada Rencah menghentikan langkah-
nya. Ia berdiri di pinggiran tebing.
Kira-kira sepuluh meter ke bawah, terdapat sebuah sungai dengan air yang
mengalir deras. Ia tersenyum sinis.
Wintara terbaring di bawahnya.
Warsih menarik-narik lengan Gada
Rencah sambil berlutut memohon. Gada Rencah acuh menatap perempuan itu.
"Kasihanilah dia.
Biarkan dia hidup" Gada Rencah melotot lebar. Warsih ketakutan. Tahu-tahu....
"Dues!"
Tinjunya menghantam kepala Warsih.
Perempuan itu tak berkutik, tubuhnya ambruk di samping Wintara. Lalu Gada Rencah
mengangkat tubuh Wintara, ia menatap nanar.
"Berusahalah melawan nasib, sobat.
Kalau masih ada umur panjang, kau boleh mencari diriku. Nah, pergilah!" Dengan
sekuat tenaga Gada Rencah melemparkan tubuh Wintara.
Tubuh lunglai itu
melayang ke udara. Sebelum jatuh ke dasar sungai, tubuhnya membentur cabang
pohon yang telah mengering.
"Kraaak!"
Cabang pohon itu patah dan jatuh
bersamaan dengan tubuh Wintara. Arus sungai yang deras menyambutnya. Gada Rencah
memandang puas. Ia beranjak meninggalkan Warsih yang berbaring di tepi tebing.
Orang-orang yang menyaksikan
peristiwa itu langsung menyingkir ketika Gada Rencah kembali melewati kedai Ki
Dulang Sungkar. Langkah-langkahnya yang tenang menjauh dari tempat itu. Setelah
Gada Rencah berlalu jauh, barulah mereka merasa lega. Satu demi satu mulai
berani menampakkan diri. Mang Bayan masih terlolong mengingat peristiwa tadi.
"Cepat lihat keadaan Warsih di sana.
Jangan-jangan orang itu telah
membunuhnya pula" kata salah seorang lelaki, maka beberapa orang menghambur ke
arah tebing. Sisanya masih di situ mengerubungi Mang Bayan.
"Sebaiknya Mang Bayan cepat pulang ke Karang Hampar. Beritahukan pada orang tua
Wintara" Ada yang memberi saran.
"Betul, Mang. Biar urusan ini ditangani oleh orang tuanya"
Mang Bayan bingung. Tapi akhirnya ia pergi juga, pulang ke Karang Hampar.
Beberapa orang yang tadi menuju
tebing kembali, seseorang nampak memapah tubuh Warsih.
"Warsih tewas, Kang. Kepalanya remuk. Sungguh terlalu orang itu!"
"Innalillahi Wa Inna
Illaihi rojiun. Bagaimana dengan Wintara"
Mengapa kalian tidak membawanya
sekalian?"
"Kami tidak menemukannya. Entahlah!
Mungkin orang itu membuangnya ke
sungai." "Kalian sudah mencarinya...?"
"Belum! Siapa yang berani turun ke sungai yang angker itu...?"
* * * Nyi Nilam Suti menggelosoh pingsan dalam pelukan suaminya ketika mendengar kabar
dari Mang Bayan. Kyai Sempar. suaminya tidak percaya dengan
pendengarannya. Darahnya naik mendengar putra tunggalnya tewas. Apalagi kalau
kejadian itu terjadi di Tapis Ledok.
Tidak mungkin nya. Orang-orang Tapis Ledok cukup segan padanya, kenapa sekarang
anaknya harus tewas di sana"
"Siapa pelakunya, Bayan" Siapa?"
tanya Kyai Sempar murka.
"Apakah orang-orang Tapis Ledok yang melakukannya" Siapa?"
"Bu-bu-bukan orang-orang Tapis Ledok. Tapi...." Mang Bayan ketakutan.
"Katakan, Bayan. Siapa orang itu?"
Kyai Sempar meletakkan tubuh istrinya di bangku kayu.
"Seorang tukang pukul Ki Sapta Nrenggana"
"Ki Sapta Nrenggana. Dia harus membayar hutang nyawa ini" Kyai Sempar bergegas
keluar. Bayan memandanginya.
Ia sudah dapat menebak ke mana Kyai Sempar pergi. Ke mana lagi kalau bukan ke
Tapis Ledok! Untuk membuat perhitungan dengan Ki Sapta Nrenggana. Mang Bayan
berlari menyusul.
"Hati-hati, Tuan. Orang itu begitu hebat. Ki Dulang Sungkar saja tewas di
tangannya" kata Mang Bayan menjelaskan.
Kyai Sempar diam saja, langkahnya dipercepat. Pandangannya yang lurus ke depan
seakan tidak sabar. Lelaki
setengah baya ini masih nampak kekar dan tegar, meskipun rambutnya hampir
memutih. Garis-garis wajahnya menggam-barkan suatu kemarahan yang luar biasa.
Kelopak matanya tidak berkedip barang sekejap pun. Selama dalam perjalanannya ke
Tapis Ledok, ia sudah membayangkan apa yang bakal terjadi di sana. Paling tidak
ia harus mengumbar amarahnya terhadap orang-orang bayaran Ki Sapta Nrenggana.
Walaupun dia sendiri harus mengorbankan nyawanya. Bahkan sampai titik darah
penghabisan. Jarak Karang Hampar ke Tapis Ledok tidaklah begitu jauh. Ia hanya berjalan
lurus mengikuti alur jalan yang cuma satu-satu menuju ke sana. Semua orang-orang
yang kebetulan berpapasan
dengannya, langsung menyingkir. Siapa pun tidak ada yang berani menyapa. Mereka
tahu Kyai Sempar tengah dilanda amarah.
Ketika Kyai Sempar memasuki desa Tapis Ledok, para penduduk kampung situ
beringsut masuk ke dalam rumah. Ada juga yang berani menatap kedatangannya. Kyai
Sempar tidak perduli. Ia terus melangkah dengan cepat. Kalau orang-orang kampung
bersikap demikian terhadapnya, itu bukan berarti mereka memusuhi Kyai Sempar
atau pun takut. Tetapi mereka segan. Apalagi dalam suasana seperti ini. Kyai
Sempar sendiri sudah memahami sikap mereka.
Darikejauhan ia melihat satu
kerumunan di rumah Warsih. Beberapa orang nampak sibuk di luar dan masuk gubuk
itu. Benar apa yang diceritakan Mang Bayan tadi, tentunya mereka sibuk mengurusi
mayat Warsih. Kyai Sempar tidak bermaksud
singgah, maka ia segera menikung ke sebelah kiri memotong jalan. Karena ia tahu
betul, kehadirannya akan membawa kesan lain terhadap orang-orang itu.
Lagi pula ia ingin cepat-cepat persoalan ini selesai dan memang perlu membuat
perhitungan dengan Ki Sapta Nrenggana.
Nyawa anaknya bukanlah selembar benang.
Ki Sapta Nrenggana mesti membayar mahal.
Ditatapnya bangunan megah yang berdiri kokoh. Bagian luar bangunan itu
dikelilingi tembok batu setinggi dua meter. Ditengahnya terdapat pintu besar
tertutup ra-pat. Tanpa basa-basi lagi Kyai Sempar menendang pintu itu....
"Braaaak!"
Dularata yang berada di halaman
depan bukan main kagetnya. Ia langsung bangkit dari kursinya. Beberapa orang
perempuan berlarian ke dalam.
"Suruh keluar Ki Sapta Nrenggana.
Aku tua renta Kyai Sempar akan berurusan dengannya"
"Apa salahnya bila berhadapan
denganku" Bukankah sama saja?" Dularata berkacak pinggang di hadapan Kyai
Sempar. "Memang! Karena Ki Sapta Nrenggana berikut anjing-anjing piaraannya akan
kuhabiskan hari ini juga!" jawabnya cepat. Dularata tercengang mendengar
perkataan orang tua itu. Ia berjalan maju. Baru saja ia berjalan beberapa
langkah, Kyai Sempar sudah menerjang.
"Deeees!"
Dularata terpental, Ia kelojotan
tak dapat berdiri lagi.
"Aku yakin bukan kau yang membunuh anakku! Tetap diamlah di situ. Setelah aku
membereskan Ki Sapta Nrenggana, kau pun akan kukirim ke akherat!" Sambil berkata
demikian Kyai Sempar melangkah menuju pintu gedung yang sudah terbuka.
Sekalipun dalam keadaan marah, Kyai Sempar tidak berani lancang memasuki gedung
itu. "Ki Sapta Nrenggana. Keluarlah!"
teriaknya lantang. Ia berdiri tegang di hadapan pintu.
"Ayo keluar dari persembunyianmu, Ki. Aku Kyai Sempar meminta tebusan nyawa
anakku. Keluar!" teriaknya lagi.
Tiba-tiba sebuah benda runcing
putih mengkilat melesat cepat. Sebuah pedang! Kyai Sempar bergeser sedikit.
"Wes!"
Sambaran pedang itu meleset.
"Siapakah orang yang berani
melempar pedang. Keluar! Tunjukkan rupamu!" Tidak ada jawaban.
"Aku yakin, di balik tubuh Ki Sapta Nrenggana ada terselip kutu busuk
berkepandaian tinggi!"
"Hua.. ha.. ha.. ha.. Sudah tahu begitu, kenapa tidak cepat-cepat merat tua
bangka keropos! Kau hanya mengantar nyawa ke sini!" terdengar jawaban dari
dalam. Jelas bukan suara Ki Sapta Nrenggana. Dari balik dinding muncullah sosok
Ki Sapta Nrenggana.
Meskipun wajahnya pucat, tapi
gerak-geriknya seakan tidak ada rasa takut sedikit pun. Melihat kemunculan Ki
Sapta Nrenggana, Kyai Sempar langsung melompat menerjang. Pada saat itu pula
sosok bayangan cepat berkelebat bagai anak panah. Kyai Sempar yang selalu awas
dapat melihat walaupun hanya selintas.
Maka ia menggerakkan lengan kirinya menghantam sosok yang melesat tadi.
"Blaaaak!"
Hantaman itu tepat mengenai. Sosok itu berjumpalitan di udara, kemudian hinggap
tanpa bersuara di lantai.
Ki Sapta Nrenggana bermaksud
melarikan diri, tapi Kyai Sempar yang gerakannya bagaikan setan menahan.
Bahkan, Sempat menarik lengan Ki Sapta Nrenggana. Di luar dugaan....
"Kreeek!"
Tendangan Kyai Sempar yang keras
mematahkan tulang lengan kiri Ki Sapta Nrenggana.
"Arrrrrrgth...!" Ki Sapta Nrenggana menjerit tidak kepalang tanggung. Lengan
kanannya memegangi bagian lengan kirinya yang terasa sakit.
"Wuaaaa.... Lenganku! Lenganku!"
teriaknya histeris.
Kyai Sempar menghantam sekali lagi dengan tinjunya. Tapi sebelum tinju itu
mengenai Ki Sapta Nrenggana, sosok bayangan tadi melesat menggagalkan serangan
itu. Ki Sapta Nrenggana
berlari. Kini keduanya berhadapan.
"Tidak ku sangka.... macam memang beranakkan macam.... Tapi sayang seekor macan
muda telah tumbang...! Tidak heran kalau macan induk kurat-karet mencari
pembunuh anaknya" kata sosok tegap yang tak lain adalah Gada Rencah.
"Anak muda. kita akan mengadu nyawa"
kata Kyai Sempar.
"Seharusnya memang demikian" jawab Gada Rencah. "Mencabut pohon, lebih baik
dengan akar-akarnya. Bukankah begitu?"
Gada Rencah menyeringai.
Sudah tentu Kyai Sempar merasa
terhina, dengan disertai amarah Kyai Sempar melancarkan serangan.
"Splaaak!"
Gada Rencah dapat menangkis
serangan tersebut! Setelah menangkis, ia melompat ke luar. Kyai Sempar mengikuti
dengan lesatan tubuhnya. Memang cukup leluasa. Di halaman muka gedung itu cukup
luas. Setelah melompat keluar, Gada Rencah bersiap-siap kembali. Dan
ternyata memang benar. Kyai Sempar maju menyerang. Pukulannya yang disertai
tenaga dalam berkelebat memutar di atas kepala Gada Rencah. Ia tidak merunduk.
Gada Rencah dapat menangkisnya dengan sebelah lengan.
"Deeees!"
Kyai Sempar memberi lagi sebuah
pukulan. Gada Rencah cepat melompat keatas.
Kedua tangannya merentang.
Tahu-tahu, kedua telapaknya menghantam punggung Kyai Sempar.
"Des...! Des!"
Hantaman-hantaman itu cukup keras, Kyai Sempar sendiri merasakannya. Maka ia
cepat berbalik sembari mengatur nafas. Sungguh gila! Seorang anak muda
dapat melancarkan serangan terhadap dirinya. Dengan disertai amarah yang
membara, Kyai Sempar melancarkan
pukulannya. Gada Rencah menyambut dengan pukulan andalannya....
"Bluaaar!"
Kyai Sempar memekik hebat. Seluruh persendian jari-jari tangannya terasa ngilu.
Rasa ingin membunuh anak muda itu semakin berhasrat. Maka ia segera menghimpun
seluruh tenaga dalamnya.
Paling tidak, harus ada salah satu yang keluar sebagai pemenang. Dirinya atau
sebaliknya. Gada Rencah lebih berhati-hati
lagi. Ia menatap lawannya masih dapat berdiri te-gak. Meskipun Kyai Sempar sudah
terkena pukulan 'Tinju Pasir Wesi'.
Gada Rencah menganggap sukar untuk melumpuhkan lawannya. Diam-diam
ia menyalurkan tenaga pada kedua telapak tangannya. Dan di saat Kyai Sempar
melompat ke arahnya, Gada Rencah tidak kalah gesit menyambut. Dua sosok tubuh
berjumpalitan di udara, bagai dua ekor Rajawali saling terjang. Pukulan Kyai
Sempar tepat mengenai muka.
"Des!"
Keduanya masih berada di udara, Gada Rencah membalas cepat.
"Der!"
Tinju Gada Rencah menghantam tidak kalah kerasnya di dada Kyai Sempar Kedua-
nya jatuh ke tanah. Posisi mereka tetap berdiri saling menatap. Darah mengalir


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari hidung Gada Rencah. Sementara itu Kyai Sempar menyemburkan darah dari
mulutnya. Melihat itu, Gada Rencah melompat lagi melancarkan tendangan memutar.
"Bug!"
Kyai Sempar terbanting, tubuhnya
membentur tiang pilar. Pandangannya langsung kabur. Mulutnya terbuka seperti
hendak mengatakan sesuatu. Mendadak ia mengejang kaku, kemudian ambruk dengan
nafas terhenti.
* * * 7 Alur sungai itu memanjang menuju ke sebuah jeram. Dari kejauhan sudah terdengar
suara air terjun jatuh menimpa deras bebatuan. Arus sungai itu pun semakin
kencang ketika mendekati jeram. Di kedua sisi sungai banyak ditumbuhi pohon-
pohon besar, membuat kedua sisi itu menjadi gelap dan menyeramkan.
Sesuatu mengambang di permukaan sungai terbawa arus yang demikian kencang.
Sebuah ranting kering yang cukup besar.
Terapung-apung menuju ke arah jeram. Sesuatu ikut terbawa di atas ranting itu.
Sosok. tubuh yang telah membiru dengan
bekas-bekas luka memar. Tubuh seorang lelaki.
Dari arah pepohonan yang gelap sosok tubuh besar berlompatan ke arah jeram
seakan-akan ingin mendahului ranting pohon yang mengapung terbawa arus.
Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh, sosok besar itu terus melompat.
Kadang-kadang sosok besar itu
berayun-ayun dari cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Dengan begitu ia cepat
mencapai jeram. Lalu sosok besar itu turun ke sungai. Meskipun arus itu demikian
kencang, sosok itu berjalan melawan arus menyambut sebatang ranting yang makin
lama makin mendekat.
Jari-jari tangannya yang runcing
bagai mata jarum menahan ranting
tersebut. Kemudian ia meraih tubuh yang tersangkut. Membawanya dengan sebelah
lengan. Jauh sekali perbedaan tubuh mereka. Sosok besar itu, empat kali lebih
besar dari tubuh lelaki yang dibawanya.
Dengan susah payah ia berjalan ke pinggir sungai. Gerakannya sekarang jadi
lamban, mungkin karena ia membawa beban. Dan lagi harus melawan arus yang
demikian kencang nyaris melempar mereka ke dalam jeram.
Ranting kayu tadi sudah tidak nampak lagi. Mungkin sudah jatuh hancur
membentur bebatuan di dasar air terjun.
Dan ketika jari-jari yang runcing itu mencapai akar pohon merambat ke
pinggiran sungai, sosok besar itu mengeluarkan suara yang amat mengerikan.
"Grooooooarr!"
Dengan bantuan akar itu ia dapat
naik ke tepian sungai. Tanpa menoleh ia terus berjalan membawa tubuh yang dingin
tak bergeming ke dalam kegelapan
lebatnya pepohonan.
Telapak kakinya membekas di tanah.
Cukup besar. Dan tidak mirip dengan telapak kaki manusia. Tubuhnya yang nampak
setengah membungkuk menyeruak menerobos semak-semak belukar.
Lengannya yang besar melindungi setiap kali semak berduri menyerempet tubuh
lelaki yang dibawanya.
Jalan yang dipijaknya bukan lagi
tanah, kini mereka harus melalui
hamparan batu sebesar kepala bayi. Itu berarti sudah tidak ada lagi pepohonan
maupun semak belukar, kecuali rerumputan yang menyembul dari celah-celah
hamparan batu. Memang betul tempat itu lebih mirip sebuah lapangan yang
dikelilingi pepohonan yang cukup tinggi.
Di tengah lapangan berbatu, nampak sebuah reruntuhan bekas bangunan megah.
Bentuknya sudah tidak karuan lagi.
Sekeliling bangunan itu berderet
anak-anak tangga. Pada dinding-
dindingnya membekas seperti ukiran-ukiran timbul yang hampir pudar.
Tiang-tiang atapnya masih nampak kekar,
malah atapnya yang sudah sebagian runtuh.
Sosok besar itu berjalan menaiki
anak-anak tangga. Lalu memasuki
reruntuhan bangunan itu. Ia memandangi seluruh ruangan itu, kemudian berjalan
menuju ke suatu tempat yang agak bersih.
Diletakkannya tubuh dingin di atas lantai.
Matahari dapat menembus langsung ke tempat itu. Menembus dari atap bangunan yang
rusak, menggarang tubuh yang terlentang di lantai. Sosok besar itu memandangi
raut wajah lelaki yang terlentang di bawahnya. Sebentar
kemudian ia berjingkat-jingkat. Lalu kepalanya menggeleng perlahan ke samping
kiri dan kanan, kedua bola matanya yang besar bersinar memandang aneh.
Ia melangkah ke sudut ruangan yang agak gelap. Di situ ia merangkak.
Jari-jari tangannya
yang runcing mengorek-ngorek sesuatu yang
bergerumulan di sela-sela tembok bagian bawah. Seperti tumbuhan jamur
sebesar-besar ibu jari. Ia mengumpulkan jamur-jamur yang berjatuhan ke lantai.
Hawa panas merambat pada tubuh yang terlentang di lantai. Dadanya nampak naik
turun meskipun pelan. Sebelah lengannya bergetar. Jari-jari tangannya bergerak-
gerak. Kelopak matanya yang tertutup rapat membuka perlahan. Lelaki itu
mengerang merasakan sekujur tubuhnya
terasa sakit. Mendengar erangan itu sosok besar langsung bangkit berlari
mendekati. Dua telapak tangannya yang besar banyak mengumpulkan jamur.
Pandangan lelaki itu masih kabur.
Meskipun demikian ia dapat melihat sosok hitam besar berdiri di sebelahnya. Lama
kelamaan penglihatannya berangsur pulih. Kedua matanya terbelalak lebar.
Sesaat melihat jelas sosok bayangan di sampingnya. Seekor Beruang berbulu coklat
kehitaman! Spontan ia kaget dan menyeret mundur dirinya. Sosok besar yang
ternyata seekor beruang hanya diam memandang Mulutnya menyeringai
menampakkan gigi-gigi serta taring yang putih berkilat. Lelaki itu semakin
takut. Ia terus mundur sampai
punggungnya menyentuh tembok. Beruang itu melangkah maju. Menghadapi binatang
buas sebesar itu tidak mungkin bisa, apalagi keadaannya sudah begitu parah.
Ia meraih apa saja yang ada di situ, dan melemparkan ke arah beruang yang tetap
berjalan mendekati. Lelaki itu kaget sekali ketika ia meraih sekali lagi,
ternyata ia baru dapat melihat. Semua yang dilemparkan tadi adalah beberapa
tulang tengkorak. Cukup besar. Tentunya bukan tengkorak manusia. Dan memang
banyak menghampar tulang belulang di lantai bangunan itu.
Keadaan tubuhnya makin lemah, ia sudah tidak dapat lagi bergerak, manakala
beruang itu sudah berada dekat. Semakin dekat menghampiri. Tiba-tiba mahluk
menyeramkan itu menghentikan langkahnya. Ia merunduk melepaskan jamur-jamur di
samping lelaki yang ketakutan. Dengan aneh, beruang itu memberikan isyarat agar
jamur-jamur itu segera dimakan.
Berkali-kali beruang memberikan isyarat yang sama.. Tapi lelaki ini belum juga
mengerti. Beruang itu merunduk mengambil sebuah
jamur, lalu ia sendiri
memakannya. Lelaki itu diam melihat tingkah laku si beruang, Ia baru mengerti
kalau beruang itu menginginkan perbuatan yang sama. Memakan jamur. Apa
maksudnya"
Apakah setelah ia memakan jamur-jamur itu, barulah beruang itu akan melahap
dirinya" Ia berpikir terus" Aneh juga!
Seekor binatang buas, sebelum memangsa korbannya terlebih dahulu diberi makan.
Lucu! Apakah kebiasaan beruang memang demikian"
Lelaki itu merasa lega, karena
mahluk menyeramkan itu berjalan mundur.
Langkah-langkahnya yang berat menuju ke sudut ruangan gelap. Lalu ia duduk di
situ. Ia memberi isyarat lagi. Dengan memberanikan diri lelaki itu meraih
beberapa buah jamur. Memakannya atau tidak hasilnya sama saja. Beruang keparat
itu pada akhirnya pasti akan mencabik-cabik tubuhnya dan kemudian melahapnya,
kata lelaki itu dalam hati.
Maka dengan sekali suap empat buah jamur
sekaligus dikunyahnya. Melihat itu si Beruang berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Suara raungan aneh memenuhi ruangan itu. Tapi....
"Arkhhhhhhhh...!"
Tiba-tiba saja lelaki itu
kelojotan. Tubuhnya menggelepar-gelepar di lantai. Seakan-akan ada sesuatu yang
bergelora dalam badannya. Seluruh tubuh mengeluarkan keringat sebesar-besar biji
jagung. Beruang itu tetap
berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tubuh yang telah dibanjiri oleh keringat itu
bergetar hebat sambil terus
berkelojotan. Sesaat kemudian masa krisis itu telah lewat, nafasnya
terengah-engah saling memburu, ia tidak merasakan getaran itu lagi. Hawa panas
pun telah hilang. Beruang itu datang mendekat. Dan begitu lelaki itu berusaha
bangkit. Lengan Beruang menyambar menarik tubuhnya. Menyeret ke suatu tempat,
meskipun ia meronta-ronta cengkraman Beruang semakin kuat.
Ruangan itu sangat gelap, tapi masih dapat dilihat.
Betapa kotor dan
semrawutnya ruangan tersebut. Tulang-tulang tengkorak berserakan di
mana-mana, juga bau busuk sangat
menyengat hidung. Laki-laki itu yakin sekali kalau tulang-tulang tengkorak itu
bukanlah tulang belulang manusia. Karena nampak tulang-tulang itu begitu besar..
Lagi pula masih ada tersisa bekas kulit
berbulu lebat yang menempel pada
tulang-tulang tersebut. Jadi ia
memastikan tempat itu adalah kuburan para beruang.
Ia tidak sempat memikirkan itu lagi.
Karena dengan tiba-tiba tubuhnya terbanting keras. Beruang itu menyingkirkan
tumpukan tulang belulang di hadapannya.
Kaki serta kedua lengannya
bergerak-gerak membersihkan tempat itu.. Pada lantai itu terdapat batu lantai
berwarna paling lain. Juga paling menonjol ke luar. Beruang itu menarik keluar
batu lantai yang menonjol.
Sebentar saja batu itu terangkat ke atas.
Maka terlihatlah sebuah lubang menuju ke ruangan bawah. Si Beruang menarik
kembali tubuh lelaki itu, kali ini ia membawanya menyusuri tangga batu yang
terdapat dalam lubang. Dan bukan main terkejutnya. Seluruh ruangan itu nampak
terang benderang oleh cahaya api yang terdapat di tengah ruangan dinding batu
itu seluruhnya dipenuhi dengan
ukiran-ukiran yang sangat menakjubkan.
Beruang itu langsung membawanya ke suatu tempat. Ia melemparkan lelaki itu
sampai tersungkur. Kepalanya terasa pening. Ketika wajahnya terangkat. Ia hampir
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang kakek dengan rambut serta
janggut panjang memutih, duduk bersila di atas sebuah batu pualam hijau.
Wajah kakek itu demikian tenang,
garis-garis lekuk yang semestinya keriput tidak ada sama sekali. Tubuh yang
putih licin bagai plastik itu terbungkus oleh kain hijau. Laki-laki yang baru
datang masih terheran-heran memandang.
Apalagi setelah melihat beruang di sebelahnya mendekati kakek itu dan langsung
merunduk seperti seseorang yang sedang bersujud menyembah. Laki-laki itu jadi
ikut-ikutan menyembah.
"Maaf, Kek.... Bukan maksudku sengaja mengganggu tempat pertapaan ini.
Sungguh... Aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku harus berada di sini. Semua
ini gara-gara dia" Wintara bersujud, tangannya menunjuk ke arah beruang yang
masih bersujud pula.
"Seandainya kakek merasa terganggu.
Kakek boleh menghukum saya. Itu lebih baik, daripada menjadi isi perut
binatang itu. Sekali lagi saya memohon.
Ampunilah saya. Saya bersedia menerima hukuman apa pun"
"Groaaaaaaar...!"
Terdengar suara yang amat
mengerikan. Laki-laki itu langsung mengangkat wajahnya. Di atas batu pualam hijau sudah
tidak ada lagi kakek yang duduk bersila.
Sungguh aneh! Ke mana perginya" Lelaki itu mendengar suara langkah kaki yang
demikian berat. Cepat ia berlari, ia mengira beruang itu telah membawa untuk
disantap. Maka ia langsung berlari menuju ke arah suara yang menyeramkan tadi.
Benar saja! Ia melihat jelas tubuh kakek kurus itu berada dalam dekapannya.
Pastilah beruang itu telah mengoyak tubuhnya, secepat kilat lelaki itu melompat
melancarkan sebuah tendangan.
Dan begitu tendangan itu mengenai bagian belakang tubuh beruang, lelaki itu
memekik hebat. Beruang itu tidak
bergeser sedikit pun. Malah lelaki itu yang terlempar jauh. Sungguh luar biasa.
Lelaki itu sendiri mendadak kaget.
Dari mana ia mendapatkan tenaga untuk bangkit berdiri, dan sampai sanggup
melancarkan sebuah tendangan"
Sebelumnya dari itu, ia tidak lebih bagaikan sebatang tonggak yang tak berguna.
Sekarang betul-betul dirasakan aneh! Ia melihat luka-lukanya masih membekas,
bahkan ada yang masih
mengeluarkan darah. Kenapa semua itu tidak dirasakannya sama sekali" Ia
memandangi sekeliling ruangan bawah tanah, Nampak bergerombol tumbuhan jamur
melekat di dinding-dinding batu.
Mungkinkah semua ini karena pengaruh jamur-jamur yang dimakannya tadi" Kalau
benar, tentunya beruang itu tidak ada maksud jahat terhadap dirinya. Tapi ia
berbalik mikir, apa sebenarnya yang diinginkan beruang itu. Maka ia terus
mengikuti langkah-langkah si Beruang. Ia memasuki sebuah ruangan lagi. Di situ
tersedia sebuah peti mati dari Kayu Jati yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran.
Hati-hati sekali beruang itu memasukan tubuh kakek yang bersila di atas batu
pualam hijau. Di dalam peti mati kakek itu seperti tidur layaknya. Beruang itu
mengangkat penutup peti mati.
Ia berusaha menutup, tapi percuma. Posisi kakek itu tetap bersila kaku, penutup
peti itu tidak dapat menutup rapat.
Melihat itu lelaki yang membuntuti langsung datang membantu. Beruang itu
merangkul punggungnya. Sekarang orang itu tidak takut lagi. Ia sudah
betul-betul mengerti apa yang akan diperbuat si Beruang itu. Dan ia pun melihat
posisi kakek itu tetap bersila, sekalipun tubuh renta itu telah
terbaring dalam sebuah peti mati.
Perlahan lelaki itu mengusap kedua kaki yang kaku bersila, ia membacakan
serentetan mantra sambil mengelus-elus perlahan. Lalu dengan perlahan pula ia
menarik kaki kakek itu sekaligus. Maka kedua kaki yang semula bersila kaku, kini
lemas terjulur ke depan. Beruang itu langsung menutup peti mati, nampak begitu
berat. Kedua lengannya yang besar bergetar mengangkat penutup peti yang terbuat
dari batu. Tanpa diperintah lagi, lelaki itu datang membantu.
Mendapat tenaga tambahan barulah peti itu dapat tertutup rapat sebagaimana
mestinya. Beruang itu berjingkrak-jingkrak.
Sebelah lengannya memeluk tubuh lelaki itu. Ia membawanya mengelilingi peti
mati. Dan menunjukkan sesuatu yang tergambar pada sekeliling peti mati marmer.
Lelaki itu memperhatikan
beberapa gambaran timbul.
Gambaran-gambaran itu seperti
gerakan-gerakan seseorang yang telah memperagakan jurus-jurus maut secara
berurutan. Tahulah ia sekarang. Kakek itu telah meninggalkan beberapa jurus ilmu
silat yang langka di dalam ruangan bawah tanah. Di luar kesadarannya lelaki itu
mulai mengikuti beberapa gerakan.
"Groaaaar! Groaaaaar!"
Beruang itu berjingkrak-jingkrak
kegirangan tanda setuju.
* * * Lengan kiri Ki Sapta Nrenggana masih membengkak terbungkus kain yang
menyerong kepundaknya. Padahal sudah dua minggu ia mengobatinya secara rutin.
Lukanya memang cukup parah. Persehdian sikutnya remuk, kalaupun sembuh tentunya
ia tidak dapat menggerakkan sebelah lengan. Ia masih ingat betul peristiwa
tersebut. Rasa sakitnya pun masih membayang terus. Sehingga ia tidak dapat
melakukan apa-apa di rumah sebesar itu.
Untung saja Gada Rencah bermaksud menetap lama di situ. Ki Sapta Nrenggana
sendiri yang mengangkat Gada Rencah menjadi pengawal pribadinya. Dularata
memanggil orang-orang sekampungnya untuk bekerja pada Ki Sapta Nrenggana.
Maladewi tersekap dalam sebuah


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamar yang bersih dan dipenuhi aroma wewangian. Setiap hari tersedia makanan
yang cukup mewah, namun jarang sekali ia memakannya. Kecuali lapar betul.
Pintu kamar terbuka, Maladewi tidak menoleh. Pastilah seorang pelayan yang akan
memberi makan malam untuknya.
Dugaannya meleset! Ternyata orang yang masuk ke dalam kamar itu tidak lain Ki
Sapta Nrenggana dengan lengan kiri terbalut menggantung di dada. Senyumnya
menyeringai, ia melangkah mendekati.
Maladewi langsung bangkit menyingkir.
"Jangan begitu, Dewi. Ini malam pertama kita...."
"Pergi! Jangan dekati aku. Pergi!"
Ki Sapta Nrenggana makin dekat. Ia langsung memeluk tubuh elok itu.
Maladewi mendorong berusaha lari
"Aaaaarght!" Ki Sapta Nrenggara berteriak. Sewaktu Maladewi mendorong ternyata
lukanya tersentuh keras.
Dularata dan Gada Rencah yang
mendengar teriakan itu langsung menyusup ke dalam kamar. Maladewi yang bermaksud
lari terhalang oleh kedua orang itu. Ia gelagapan ketika Dularata mendadak
membekuknya. * * * 8 "Ikat dia...!" Ki Sapta Nrenggana meringis menahan sakit. Lukanya
berdenyut. Dularata membawa Maladewi ke samping tempat tidur, lalu membantingnya
dengan kasar. "Ikat kedua tangan dan kakinya, Dularata.... Ikat yang kencang!"
perintah Ki Sapta Nrenggana.... Gada Rencah diam saja berdiri memandangi gadis
yang meronta-ronta di atas
ranjang. Dularata keluar kamar.
Maladewi beringsut ke pojokan
ranjang menatap takut.
"Kau tidak bisa menolak keinginanku lagi, Dewi. Kau bakal jadi istriku!
Kenapa mesti takut" Diam sayang He...
he... he...he...." Ki sapta Nrenggana mendekati. Maladewi langsung menendang,
untunglah Ki Sapta Nrenggana cepat bangkit dari tempat itu. Dularata kembali
lagi memasuki kamar dengan membawa beberapa utas tali sebesar telunjuk.
"Rupanya sengaja agar aku berbuat kasar. Bangsat! Ikat!" kata Ki Sapta Nrenggana
marah. Dularata langsung membekap menubruk. Maladewi meronta-ronta. Namun tenaga
Dularata lebih bestir. Dalam sergapan itu Maladewi tidak mampu bergerak.
Dularata berhasil
mengikat kedua pergelangan tangannya merentang pada tiang-tiang ranjang.
"Kaki! Kakinya juga diikat!"
Dularata menyusur ke bawah. Untuk mengikat kedua kakinya ia mendapat kesulitan.
Kedua kaki itu meronta-ronta menendang. Kain Maladewi tersingkap, maka
terlihatlah kemulusan yang luar biasa. Ki Sapta Nrenggana menelan ludah.
Cepat-cepat ia membantu memegangi kaki Maladewi dengan sebelah tangannya. Maka
Dularata dapat lebih mudah mengikat kedua kaki Maladewi satu persatu.
"He.. he.. he.. he.. " Ki Sapta Nrenggana memandangi tubuh terlentang mengang-
ang di atas ranjang itu.
Maladewi terus meronta-ronta, tapi tali-tali pengikat itu begitu kuat.
"Kalian berdua keluarlah" kata Ki Sapta Nrenggana menatap Gada Rencah dari
Dularata. Keduanya berbalik
meninggalkan kamar. Ki Sapta langsung mengunci pintu dari dalam. Senyumnya buas
terarah pada Maladewi.
Telapak tangan kanannya mengelus-
elus pipi Maladewi. Terasa halus sekali.
Pandangannya liar menyusuri seluruh tubuh itu. Maladewi meronta lagi.
Telapak tangan itu turun ke bagian dada.
Menyusup ke balik baju. Ia menyentuh benda kenyal berputing, meremasnya.
"Keparat! Lepaskan aku! Lepaskan!"
Gadis itu terlentang menjerit-jerit.
Mendadak Ki Sapta Nrenggana menarik baju
kebaya itu. Maka tersembullah dua gundukan daging bergoyang-goyang.
"Iblis terkutuk. Bunuh saja aku!"
Dadanya tersengal-sengal membuat Ki Sapta Nrenggana semakin berani. Kain
pembungkus tubuhnya mengendur. Lelaki itu semakin mudah membukanya.
"Aaaaahh.... Waaaa.... Waaaa...!"
Maladewi meronta-ronta kali ini lebih hebat, ranjang itu berderak-derak seakan
mau terbalik. Tanpa selembar benang pun, tubuh Maladewi terlentang dengan kedua
kaki mengangkang lebar terikat. Ki Sapta Nrenggana melepaskan ikat pinggangnya.
Tiba-tiba.... "Braaaak!"
Pintu kamar terbuka lebar!
Seseorang memasuki kamar itu.
"Gada Renca! Mau apa kau!" Ki Sapta Nrenggana membentak.
"Aku menginginkan gadis itu
sekarang Ki! Sekali ini saja." kata Gada Rencah tenang. Ki Sapta Nrenggana
melotot. "Apa...?"
Gada Rencah mendekati Ki Sapta
Nrenggana, ia mencekik lehernya dengan sebelah lengan.
"Tanpa aku, mana bisa kau
mendapatkan gadis itu, Ki" Apakah aku yang telah bersusah payah tidak boleh
menikmatinya?"
"Kau bawahanku Gada Rencah. Gadis itu milikku. Lagipula aku telah membayar mahal
untukmu" "Hentikan ocehanmu Ki Sapta
Nrenggana. Aku hanya menginginkannya sekali ini saja. Atau aku harus
mematahkan sebelah lenganmu lagi?"
Ki Sapta Nrenggana diam, ia tidak berani melawan. Dia hanya diam dengan rona
muka yang memerah. Kekesalannya hampir meledak di dalam jantung. Sungguh berani.
Seorang bawahan atau seorang pengawal bertindak seperti itu.
"Kau boleh tetap di sini. Atau lebih baik ke luar, Ki" Gada Rencah membuka
pakaiannya. Kemudian berjalan ke samping ranjang.
"Jangan.... Jangannnnn." Gadis itu berusaha berontak. Gada Rencah tidak perduli.
Ia terus naik ke atas ranjang, langsung menunggangi seekor kuda betina yang
meronta-ronta dengan disertai jeritan jeritan histeris.
* * * Udara dalam sebuah ruangan bawah tanah masih tetap pengap. Bau busuk menyebar
menyengat hidung. Sebuah peti mati dari batu marmer tergeletak di tengah ruangan
itu. Banyak kulit-kulit binatang tergantung di dinding
menghiasi, membuat kesan ruangan itu semakin pengap. Dua tahun yang lalu
kulit-kulit binatang itu tidak ada sama sekali. Mungkin lelaki muda yang
terkurung di situ sengaja
mengumpulkannya.
Sekarang lelaki muda itu duduk
berhadapan dengan seekor beruang yang nampak duduk lesu. Lelaki itu mengunyah
beberapa buah jamur sambil memandangi sahabatnya yang empat kali lebih besar
dari tubuhnya. "Akhir-akhir ini kau selalu murung.
Ada apa" Bukankah kau yang menginginkan aku harus bersamamu di sini. Semua
jurus-jurus yang tergambar pada peti mati itu telah habis kupelajari.
Seharusnya kau bergembira" kata lelaki muda itu sambil bangkit berdiri. Bajunya
yang telah koyak bergerak-gerak setiap ia melangkah. Beruang itu tetap diam,
tidak mau menjawab walaupun dengan bahasanya. Lelaki itu mendekat
mengelus-elus bulu yang berwarna coklat kehitaman. Dari kedua kelopak mata
binatang itu yang sayu mengeluarkan beberapa tetes air mata. Lalu lengannya yang
besar bergerak mendorong tubuh lelaki itu. Kemudian memberikan bahasa isyarat.
Lelaki itu mengernyitkan alis.
"Apa" Kau mengusirku" Apa-apaan kau ini. Kita sudah bersumpah sehidup semati.
Sekarang kau mengusirku. Tidak!
Aku tidak mau pergi!"
"Wes...! Wes...!" Beruang itu melemparkan tulang-tulang tengkorak yang berada di
situ. "Praaaak...!"
Kedua tulang itu hancur bersamaan oleh kibasan lengan lelaki itu. Si Beruang
bangkit, dengan sekali lompatan ia menyambar salah satu kulit yang tergantung.
Lalu dilemparkannya lagi ke arah si pemuda yang tidak mengerti melihat
tindakannya. Lelaki muda itu langsung menyambar. Kemudian ia melihat lengan
beruang tersebut bergerak-gerak memberi isyarat.
"Oooooo.... Aku harus mengganti bajuku yang telah koyak dengan kulit ini"
Baik, Aku turuti kemauanmu" katanya setelah melihat isyarat itu.
Beruang itu maju mendorong-dorong ke luar lelaki muda itu. Sungguh aneh!
Apa maksudnya. Lelaki itu berjalan mundur, ia berdiri memandangi
gerak-gerik si Beruang. Tiba-tiba.
"Grek.... Grek.... Gregeeeeek...!"
Pintu batu ruangan itu tertutup
hampir mengunci si Beruang dalam ruangan peti mati, cepat lelaki itu melompat
bermaksud menarik agar beruang itu tidak terkunci. Tapi....
"Desss!"
Sengaja beruang itu menendang.
Tubuh lelaki itu terpental jauh. Dan pintu itu telah tertutup rapat mengurung
beruang yang berada di dalamnya.
Terdengar suara raungan yang sangat panjang melengking. Tak lama setelah raungan
itu berhenti, seluruh tempat itu bergetar. Seluruh ruangan bawah tanah
bergemuruh. Pasir-pasir dan batu-batu mulai berjatuhan, hampir saja sebongkah
batu menimpa lelaki itu.
"Gila.... Seluruh ruangan ini akan ambruk" Baru saja ia berkata demikian, sebuah
tiang retak kemudian patah jatuh berdebum di lantai. Ruangan itu jadi gelap,
karena api yang menyala di ruangan tengah telah tertimbun pasir dan
puing-puing batu. Lelaki muda itu langsung melompat ke arah tangga. Ia belum
juga pergi dari situ. Merasa keberatan meninggalkan beruang yang terkurung.
"Grauuuuuuuuuung!"
Terdengar lagi raungan panjang.
"Tidak beruang! Aku tidak bisa meninggalkanmu tertimbun di sini!"
"Grauuuuuuuuuung!"
Seluruh dinding ruangan bawah
ambruk berjatuhan membuat lantai ruangan itu penuh dengan batu-batu. Dari atas
pun demikian atap-atap runtuh nyaris
menimbun dirinya.
Dengan terpaksa sekali lelaki muda itu berlari menjajaki anak tangga yang menuju
ke atas. Lengannya yang memegang kulit berbulu memutar melindung dirinya dari
percikan-pereikan batu. Sampai di atas, reruntuhan bangunan itu bergetar.
Cepat ia melompat ke luar. Melewati sisa-sisa tulang belulang dan
puing-puing batu. Dan ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Reruntuhan
gedung megah itu ambruk melesak ke dalam tanah. Yang tertinggal hanyalah
sederetan anak tangga setengah melingkar pada reruntuhan itu. Lelaki itu menarik
nafas panjang kemudian menghembuskan. Ia tidak sudah sadar lagi ketika melihat
pakaiannya yang koyak tidak melekat di tubuhnya. Mungkin terlepas waktu ia
menyelamatkan diri dari re runtuhan.
Teringat akan kulit beruang dalam genggamannya, cukup besar dan kuat bila ia
menggunakannya sebagai penutup tubuhnya dari hawa dingin maupun panas.
* * * Batu perbatasan sebuah desa berdiri tegak di kedua sisi jalan. Di kedua batu itu
tertera tulisan KARANG HAMPAR.
Meskipun huruf relief hampir sebagian rontok, tapi masih jelas terbaca.
Rumah-rumah penduduk banyak
berkelompok-kelompok. Para penduduknya sibuk menyusun padi di lumbUng.
Anak-anak kecil berlarian saling kejar bermain. Ada juga para ibu yang nampak
sedang menampi beras. Seorang lelaki tua tengah membelah kayu bakar, melihat
seorang pemuda berjalan melaluinya. Anak muda berperawakan kekar mengenakan
pakaian bulu berwarna coklat kehitaman.
Rambutnya gondrong sebatas pundak. Ia berjalan terus, sekalipun kehadirannya di
desa itu telah menjadi perhatian orang-orang kampung.
Langkahnya yang tenang menuju ke sa-tu tempat. Menyusuri jalan berkelok,
melewati sebuah parit dengan jembatan dari batang pohon kelapa. Kemudian
menembus sebuah perkebunan.
Sebuah rumah besar berdiri sunyi.
Sebagian rumah itu telah hancur. Nampak seperti terbakar. Masih kelihatan sisa-
sisa arang pada tiang-tiang kayu.
Genting-genting sudah banyak berjatuhan di tanah, di halaman rumah banyak
ditumbuhi rumput-rumput liar. Pemuda itu menatap dengan pandangan tajam. Kedua
telapak tangannya mengepal keras, ketika melihat dua gundukan tanah di samping
rumah. Dua gundukan tanah disertai masing-masing sebuah nisan.
"Gada Rencah. Pastilah dia yang melakukan ini semua. Tunggulah! Kita akan
berhadapan lagi. " katanya dengan nada pelan. Lalu ia berlalu meninggalkan
tempat itu. Tatapannya seperti kosong ke depan. Tidak diperdulikannya orang-
orang yang memperhatikan. Ia terus lewat dan berlalu menembus ke jalan lurus
yang menghubungkan ke desa Tapis Ledok.
Dari kejauhan desa tersebut sudah nampak, rumah-rumah penduduk nampak seperti
titik-titik yang berwarna- warni. Pepohonan yang menghijau nampak berderet membatasi.
Dari dulu desa Tapis Ledok memang selalu ramai, dari pasar, tempat
perjudian maupun tempat pelacuran ada di situ. Siang malam desa itu selalu saja
banyak didatangi para pendatang. Seperti halnya pada siang itu. Warung Bi
Wikurnah ramai didatangi oleh para pelanggannya.
Hampir bangku-bangku panjang yang mengelilingi meja berisi dagangan penuh.
Birdun duduk paling tengah, sebelah kakinya naik ke atas bangku.
"Aku yakin, ayam jago Ki Sapta Nrenggana menang lagi. Aku berani pegang" kata
Birdun sombong. Tangannya menyambar gelas berisi kopi. Lalu meneguknya sedikit.
"Siapa yang berani melawan ayam miliknya, Kang. Semua orang tahu, Si Kliwon
sudah menang bertarung sebanyak delapan belas kali. Kang Birdun kan tahu
sendiri. Ayam ki Sarwih yang hebatnya bagaimana pun dibuatnya terkapar
bermandi darah. Iya nggak?" kata salah seorang yang berada di situ.
"Tapi katanya hari ini Ki Sapta Nrenggana akan mengadu dengan ayam milik Ki
Johar.. Ki Johar tidak perlu bertaruh.
Asal jago Ki Johar menang, Ki Sapta Nrenggana berani membayar dengan
sekantong uang" yang lain menimpali.
"Aku tetap pegang ayam jago Ki Sapta Nrenggana. " kata Birdun mantap.
"Kau berani bertaruh" Aku berani membayar sepuluh kali lipat" kata Birdun lagi.
Orang-orang yang mendengar ucapan itu bermkir. Seseorang menyeletuk.
"Baiklah. Aku pegang jago milik Ki Johar"
"Boleh! Jika kau menang, kau akan mendapat sepuluh kali lipat dari uang
taruhanmu"
Sosok tubuh kerempeng dengan
gemetaran menuju warung itu. Telapak tangannya terjulur ke depan seperti
meminta. Suaranya hampir tidak keluar.
Birdun yang mengetahui datangnya
pengemis itu langsung menoleh.
"Rasanya aku ampir bosan
membelikanmu makanan. Apakah tida ada pekerjaan lain selain mengemis?" Birdun
mendongkol. "Kalau terus-terusan begini, aku bisa babak belur" katanya lagi. Bi
Wikunah yang sedang sibuk melayani para tamunya melihat juga kedatangan pengemis
itu. "Sudah, Dun. Kali ini kau tidak usah membelikan makanan. Biar bibi saja yang
memberi. Kau tidak perlu mengeluarkan uang" kata Bi Wikunah. Ia mengemasi
sebungkus nasi. Pengemis bertubuh kerempeng itu hanya menunduk dengan telapak
tangan yang masih terjulur. Bi Wikunah telah selesai membungkus nasi ia
bermaksud memberikan bungkusan itu. Tapi Birdun langsung menyambar mengambil
bungkusan itu dari tangan bi Wikunah.
"Biar saya yang memberikannya, Bi"
kata Birdun. Birdun tetap duduk di bangku, ia sengaja menjatuhkan bungkusan nasi
itu di bawah kakinya. Tubuh
kerempeng yang gemetaran langsung menubruk membuka bungkusan yang berisi nasi
berikut lauk-pauk. Bagai orang yang kelaparan ia melahap makanan itu. Birdun
menyeringai. Tahu-tahu sebelah kakinya menginjak batang leher lelaki kerempeng itu sampai
mukanya mencium tanah. Sekaligus Birdun menyiram kepala itu dengan kopi.
"Traaaang!"


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Arghhhht...!"
Birdun menjerit. Telapak tangannya yang memegang gelas kopi terasa tertimpa
sesuatu. Gelas yang telah kosong itu jatuh.
"Ternyata masih banyak
anjing-anjing yang tidak berperasaan di kampung ini" ucapan itu jelas terdengar.
Birdun sendiri sudah dapat melihat seorang pemuda berambut gondrong berdiri
tegak di depan warung. Pemuda yang mengenakan pakaian kulit binatang membantu
pengemis itu bangkit berdiri.
Birdun keluar dari bangku. Ia langsung melancarkan serangan ke arah pemuda itu.
"Plak!"
Pemuda itu menepak, lalu
tendangannya menyambar....
"Bug!"
Menghantam keras, membuat Birdun
terguling tak dapat bangkit lagi.
"Den Wintara...." katanya seakan tak percaya.
"Syukurlah kau masih mengenaliku, Mang Bayan... Tak apa-apa, Birdun hanya
pingsan. Dia memang harus mendapat pelajaran seperti itu...." kata pemuda itu
kepada si pengemis. Mendengar kata
'Den Wintara' orang-orang yang berada dalam waning langsung belingsatan.
* * * 9 Sebenarnya Ki Johar tidak mau
menurunkan ayam jagonya ke arena
persabungan. Tapi Ki Sapta Nrenggana memaksa, bahkan ia berjanji akan memberi
uang sekantong bila ayamnya bisa
mengalahkan si Kliwon. Sekalipun Ki Johar tidak perlu mengeluarkan uang taruhan.
Ki Johar sendiri tahu, kalau saja ia menolak. Mungkin akan terjadi sesuatu
terhadap dirinya.
Sekeliling arena persabungan telah dipenuhi oleh para pengunjung yang juga akan
ikut bertaruh. Ki Sapta Nrenggana bersama Dularata duduk paling depan.
Nampak Ki Sapta Nrenggana mengelus-elus leher si Kliwon. Ki Johar sedikit
gemetar memasuki arena. Ia telah selesai
memasang kedua pisau kecil di kedua kaki
jagonya. Seorang wasit menerima ayam itu. Tak lama pun
Ki Sapta Nrenggana menyerahkan
ayamnya. Dua buah pisau tajam berkilat terikat kuat pada pergelangan kaki si
Kliwon. Dua orang lelaki datang memasuki
arena membantu. Masing-masing membawa seekor ayam itu ke arah sudut yang
berlawanan. Maka para pencandu sabung ayam bersorak riuh. Semuanya sudah siap
bertaruh. Kebanyakan dari mereka
memegang ayam Ki Sapta Nrenggana. Hanya beberapa orang saja yang terpaksa
menjagoi milik Ki Johar.
"Lepas...!" kata wasit memberi aba-aba.
Maka kedua ayam itu saling mener-
jang. Bulu-bulu leher mereka meregang, kemudian.
"Jbreeeet!"
Kliwon menghantam lebih dulu.
Pa-ruhnya menghantam punggung lawannya.
Jago Ki Johar nampak berlari mundur.
Suasana tempat itu jadi ramai. Sekali lagi Kliwon maju melancarkan hantaman
dengan sebelah kaki.
"Jbreeeet!"
Jalu pisau mengenai pagian paha.
Untung cuma tergores. meskipun demikian darah tetap mengalir. Ki Sapta Nrenggana
nampak tersenyum puas. Ki Johar sudah yakin, jagonya akan terkapar di arena itu.
Kliwon nampak beringas. Kedua kakinya yang kekar siap lagi menghantam. Jago Ki
Johar berjalan minggir-minggir mengelilingi arena. Dan saat Kliwon datang
menyerang, jago Ki Johar yang sudah terluka itu melompat tinggi. Lalu kedua
cakarnya jatuh menginjak punggung Kliwon.
"Beg!"
Kliwon tersungkur, ia bangkit lagi mem-balas serangan. Terjangannya
bagaikan seekor burung rajawali.
Sayapnya menghantam sembari kakinya yang disertai jalu pisau menghajar sebelah
muka lawannya. Jago Ki Johar terbanting bergulingan. Ki Johar cemas. Apalagi
melihat jagonya lama
tidak bangkit-bangkit.
Kliwon melompat, kedua kakinya
sekali-gus menghantam. Jago ki Johar yang masih rebah di tanah langsung
menyambut. Kedua kakinya bergerak cepat.
Kliwon memekik. Dada serta temboloknya tertembus jalu-jalu pisau. Kliwon
bergoseran di tanah, Jago Ki Johar nampak mengerahkan seluruh tenaganya. Membuat
Kliwon tidak dapat terlepas dari
tikaman-tikaman jalu. Semua orang mengeluh kecewa. Ki Sapta Nrenggana melotot.
"Kliwon tewas! Kliwon tewas!"
teriak wasit. Memang betul... Setelah berkelojotan ia tidak berkutik lagi.
Jago Ki Johar berjalan limbung
melepaskan tikaman-tikaman jalu pisau yang menembus dalam. Para pencandu sabung
ayam seakan tidak percaya. Kliwon yang sudah berpengalaman menang delapan belas
kali jatuh di tangan jago Ki Johar.
Sungguh luar biasa jago Ki Johar itu.
Beberapa orang nampak kegirangan
menerima uang taruhan, bagaimana tidak.
Mereka berani membayar sepuluh kali lipat untuk ayam Ki Johar. Hampir semuanya
menjagoi Kliwon. Dan sekarang mereka betul-betul kena batunya.
Ki Johar memasuki arena dengan
ketakutan. Ia langsung mengambil ayam jagonya yang sudah berlumur darah di
bagian mukanya. Dan Ki Johar tidak bermaksud menuntut sekantong uang dari
perjanjian Ki Sapta Nrenggana. Ia tidak berani. Ia tahu betul siapa dia. Kalau
saja ia berani meminta, itu sama saja membangunkan macan tidur. Maka ia
melangkah saja menyingkir dari arena.
Mendadak sebuah cengkraman menarik tubuhnya. Ki Johar berbalik. Dularata
langsung menarik ayam jago dari pelukan Ki Johar. Ia sendiri tidak dapat
menahannya. Dan ia begitu kaget melihat Dularata membanting jago miliknya,
bahkan kakinya dengan sangat kencang menginjak ayam itu. Jago Ki Johar
kelepekan. Semua isi perutnya keluar dari liang anus. Ki Johar langsung menubruk
ayam yang sudah remuk itu, tapi.
"Dues!" Dularata menendang tubuh Ki Johar. Tentu saja tubuh itu terbanting ke
belakang. Ki Johar meringis menahan sakit. Orang-orang yang berada di situ
menatap ngeri, mereka tidak ada yang berani menolong Ki Johar. Mereka takut akan
mengalami nasib yang sama. Sekali lagi Dularata maju.
"Jangan, Tuan. Jangan. Saya tidak bermaksud meminta perjanjian itu Tidak.
Saya rela ayam saya mati. Jangan. Jangan bunuh saya" Ki Johar menangis. Dularata
terus maju matanya jalang menakutkan.
"Tunggu...!" Sebuah teriakan membuat langkah Dularata terhenti sekaligus menoleh
ke arah suara itu.
Sosok tubuh melompat masuk ke dalam arena sabung. Dularata menatap seorang
pemuda memakai baju kulit binatang berdiri seperti menantang.
"Aku rasa peraturan sabung ayam tidak demikian. Tidak berakhir dengan
pertumpahan darah. Kalau sudah kalah, ya sudah. Apakah ini peraturan Ki Sapta
Nrenggana?" kata pemuda itu yang menatap tajam ke arah Ki Sapta Nrenggana.
Merasa ditatap sedemikian rupa Ki Sapta
Nrenggana jadi salah tingkah.
"Anak muda. Pergilah dari sini! Aku tidak bermaksud membunuh dua orang di sini!"
kata Dularata sengit. Dari mana pemuda asing ini mengenali majikannya"
Siapa sebenarnya dia. Dularata maju ke depan beberapa langkah.
"Mau bunuh boleh! Tapi bayar dulu uang ganti rugi jago Ki Johar, itu baru
namanya adil" kata pemuda itu tenang. Dularata menoleh ke arah Ki Sapta
Nrenggana, majikannya memberi isyarat dengan anggukkan kepala. Maka Dularata
langsung mengerahkan tinjunya.
"Mampus kau pemuda usil...!"
Pemuda itu merunduk, tinju Dularata meleset. Masih dalam keadaan merunduk,
pemuda ini yang ternyata tidak lain adalah Wintara memutar lengannya.
"Plak!"
Tinju itu beradu. Dularata
terpelanting hebat. Wintara nyengir.
Sungguh dahsyat! Lengan Dularata seperti terasa patah. Tapi ia berusaha
menyembunyikan rasa sakitnya. Ia
melompat lagi. Tendangannya bergerak cepat. Wintara melesat ke atas, tubuhnya
berjumpalitan di udara, tahu-tahu sebelah tangannya menghantam keras bagian
punggung. "Arghhhh! "Dularata ambruk.
Darahnya menyembur. Ki Sapta Nrenggana tersentak kaget. Dularata
merangkang bangkit. Belum Dularata berdiri benar, Wintara melancarkan tendangan
memutar. "Dueees!"
Dularata terlempar ke luar dari
arena sabung ayam. Menimpa beberapa orang yang ada di situ. Lalu orang-orang itu
segera berlarian menyingkir.
Tubuh Dularata tergeletak kaku.
Matanya melotot lebar tak bergeming.
Dularata tewas dengan mengerikan.
Melihat itu Ki Sapta Nrenggana
merungkut, suaranya yang gemetar keluar.
"Ba-ba-baik, Ba-baik.... A-Aku akan mengganti ayam itu" Ki Sapta melemparkan
sekantong uang. Lalu ia bermaksud berdiri melangkah.
"Tunriggu! Bagaimana dengan uang taruhannya?" kata Wintara tegas.
"Oh.... I-i-iya.... A-a-aku
lupa..." Ki Sapta Nrenggana merogoh lagi saku bajunya. Ia mengeluarkan sekantong
uang, dan melem-parkannya pada Ki Johar.
Ki Johar tidak berani mengambil dua kantong uang yang tergeletak di tanah.
"Ambillah uang itu, Ki. Uang-uang itu sudah menjadi hakmu. Ambillah. " Wintara
mengambil dua kantong uang itu, lalu memberikannya pada Ki Johar. Ia gemetar
menerimanya. "Dua tahun belakangan ini rasanya ada yang lain. Kenapa dengan tangan kirimu
itu, Ki. Dari tadi kulihat tidak banyak bergerak" tanya Wintara. Ki Sapta
Nrenggana gelagapan. Lalu dengan gemetar pula ia menjawab
"Pa-pa-patah. Lengan kiriku
pa-pa-tah...."
"Apakah Gada Rencah yang mematahkan lenganmu?"
Bagai tersambar petir Ki Sapta
Nrenggana mendengar pertanyaan itu, mukanya pucat pasi.
"Bu-bukan.... Bu-bukan Gada
Rencah.... Te-te-tapi se-se-seorang Kyai... Ka-ka-kalu tidak sa-salah Ki-Ki-Kyai
Sempar namanya...."
Tibat-tiba saja Wintara melesat
cepat ke samping Ki Sapta Nrenggana.
"Kalau begitu, aku pun punya tugas yang sama seperti Kyai Sempar. Untuk
mematahkan sebelah lenganmu lagi, Ki"
Wintara langsung meraih lengan kanan Ki Sapta Nrenggana. "Dari alam baka sana ia
mengutusku demikian" kata Wintara lagi.
"Ja-ja-jangan...." Ki Sapta Nrenggana ketakutan, cengkraman Wintara makin kuat.
"Kau boleh tidak mengenaliku, Ki.
Dua tahun memang cukup lama. Wajar kalau kau tidak mengenaliku lagi. Beberapa
tahun yang lalu kita pernah bertaruh di sini. Masih ingat" Apakah kau lupa juga
ketika merebut Maladewi dari tangan Ki Dulang Sungkar" Aku yakin kau masih
ingat" "Hah"! K-kk-kau.... Kau..." Ki Sapta Nrenggana memandang tak percaya.
"Aku Wintara!"
Semua orang yang masih ada di situ terbelalak. Ternyata Wintara masih hidup.
Mereka teringat pada dua tahun yang lalu, peristiwa tragis yang terjadi di Tapis
Ledok ini. Siapa yang percaya
akan kehadirannya. Dua tahun cukup membuat perubahan-perubahan pada diri
Wintara. Dari rambut, pakaiannya. Juga tubuhnya yang jauh lebih kekar dan besar.
Sudah tentu kedatangannya untuk menuntut balas. Mereka yakin.! Yah pasti akan
terulang peristiwa dua tahun yang lalu.
Di desa ini. "Di mana Maladewi sekarang"
pertanyaan itu cukup pelan, tapi begitu menggelegar di jantung Ki Sapta
Nrenggana. "Cepat jawab!" Wintara memuntir lengan Ki Sapta Nrenggana, orang itu pun memekik
hebat. "Cepat katakan di mana dia, Ki"
"A-ada.. Maladewi ada.. Di-d-di-dia bersama Gada Rencah...!"
"Kebetulan! Aku pun memang sedang mencari dia. Antar aku ke sana, Ki"
Wintara mendorong tubuh Ki Sapta
Nrenggana. Langkahnya tersaruk-saruk karena Wintara masih mencengkram keras
lengannya. Mereka meninggalkan tempat itu, Mang Bayan mengikutinya dengan
langkah yang gemetaran. Arena itu menjadi penuh. Semua orang mengerubungi mayat
Dularata. Ki Johar bangkit sambil menggenggam dua kantong uang, beberapa orang
me-mapahnya mengantarkan pulang.
Ada juga yang bergegas mengikuti ke mana kepergian Wintara. Tapi mereka hanya
mengikuti dari kejauhan.
Wintara menghajar punggung Ki Sapta Nrenggana di saat ia berjalan pelan.
Mendapat hajaran itu, Ki Sapta Nrenggana mempercepat langkahnya. Ia tidak mau
mendapat hajaran-hajaran seperti kerbau dungu yang dicambuk. Dan pada saat
mereka melintas jalan becek, Ki Sapta Nrenggana terpeleset. Wintara langsung
menarik keras lengan kanannya yang belum lepas dari cengkraman. Sudah tentu ia
merasa amat kesakitan.
"Bangun...!" Wintara menyeret kuat-kuat. Ki Sapta Nrenggana yang sudah kepa-
yahan begitu lambat berdiri. Dengan langkah cepat Wintara menyeretnya.
* * * Pintu gerbang pada pagar tembok yang mengelilingi bangunan megah itu memang
sudah terbuka. Tiga orang nampak duduk di sudut
teras, dua orang perempuan
menemani mereka. Di halaman muka dua orang berdiri. Salah seorang dari mereka
tengah menyulut rokok. Suasana memang sepi. Hanya cekikikan para perempuan yang
berada di sudut teras terdengar renyah.
Mereka tidak menyadari kalau di
depan pintu gerbang telah berdiri Ki Sapta Nrenggana dengan wajah yang seperti
menahan sakit. Wintara berdiri di belakangnya siap memuntir lengan Ki Sapta
Nrenggana. Ia mendorong masuk ke
dalam halaman gedung. Dua orang yang berdiri di halaman tersentak kaget, mereka
langsung menghambur mengepung Wintara.
"Anak muda! Sungguh berani kau bertindak seperti ini terhadap Ki Sapta
Nrenggana. Cari mampus! Lepaskan dia!"
Wintara tidak menjawab, malah kakinya menyambar ke atas. Menghantam orang yang
berbicara tadi sampai bergulingan.
Seorang lagi langsung maju. Wintara menarik lengan Ki Sapta Nrenggana ke
samping, sambil melancarkan sebuah pukulan keras bersarang di dada
penyerangnya "Buuuug...! Wuaaaaa!"
Orang itu menjerit, tubuhnya
mencelat ke belakang.
Tiga orang di sudut teras langsung bangkit mendengar teriakan itu. Dan mereka
dapat melihat majikannya dalam keadaan terancam di bawah cengkraman seorang
pemuda. Ketiganya menatap
garang.Wintara,terus mendorong maju tubuh Ki Sapta Nrenggana ke dalam. Namun
ketiga orang ini bermaksud menghalangi.
Mai ah seorang di antaranya menarik Ki Sapta Nrenggana.
"Plak!"
Wintara menepis lengan itu. Lalu
memutar melancarkan tinjunya.
"Des!"
Orang itu terhuyung ke belakang. Dua orang datang lagi menyerang. Mereka
berusaha melepaskan Ki Sapta Nrenggana dari cengkraman Wintara.


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Arghhhhh!"
Ki Sapta Nrenggana menjerit.
Lengannya terasa sakit, karena Wintara memuntir lebih keras lagi. Lengan kirinya
yang sudah patah mati tidak berfungsi.
Dua orang itu berhenti menyerang.
Salah seorang yang tadi terhuyung sudah bangkit.
"Suruh keluar Gada Rencah! Cepat!
Kalau tidak ingin majikan kalian
menjerit terus menerus!" perintah Wintara.
"Panggil dia! Panggil Gada Rencah!"
teriak Ki Sapta Nrenggana.
"Aku ada di sini, Ki" Jawab seseorang dengan suara dingin.
Wintara langsung menatap ke arah
suara itu. Gada Rencah telah berdiri di tengah-tengah pintu gedung. Ia masih
saja tetap seperti dulu. Tidak berubah.
Dari dalam keluar seorang perempuan muda. Perempuan itu langsung berdiri di
belakang Gada Rencah. Wintara
mengendorkan cengkramannya pada lengan Ki Sapta Nrenggana. Seakan ada getaran
yang sangat hebat dalam dirinya ketika melihat perempuan itu.
"Maladewi.
Kaukah Maladewi?"
kata-kata itu keluar di luar
kesadarannya. Merasa cengkraman Wintara
mengendor, Ki Sapta Nrenggana lari meloloskan diri. Tapi cepat Wintara meraih
lengan itu lagi, mencengkram lebih kuat. Bersamaan dengan itu, Wintara menendang
tubuh Ki Sapta Nrenggana. "Deees! Waaaaaaaaark...!"
Lengan kanannya tertinggal dalam cengkraman Wintara. Sedangkan tubuhnya jatuh
berkelojotan bagai ayam
disembelih. Semuanya menatap ngeri.
Terlebih-lebih perempuan yang berdiri di belakang Gada Rencah. Kedua matanya
terpejam menyaksikan kengerian itu.
Tentu saja ketiga orang yang tadi bermaksud menyerang tidak tinggal diam.
Kini ketiganya menghambur mengepung dari segala arah. Wintara melompat
menghadapi penyerang-penyerang itu satu demi satu.
Kakinya berkelebat menyambar
"Des!"
Satu orang jatuh dengan tulang leher patah.
"Weeees!"
Serentetan serangan datang dari
belakang. Wintara membalikkan tubuhnya.
"Bug!"
Sebuah hantaman mengenai di dada
Wintara. Tapi ia cepat membalas dengan mendorong kedua telapak tangannya ke
depan. "Blaaaar!"
Penyerang itu terjungkal dengan
tulang-tulang dada remuk.
Tingga seorang lagi yang nampak
ragu-ragu maju.
"Silahkan. Jangan bertindak seperti seorang pengecut!" Wintara berdiri tenang.
Orang itu melompat, kedua lengannya menghantam menyilang. Sambil merunduk,
Wintara memutar lengannya ke atas.
Deeees!" Tepat mengenai kepala orang itu. Dan jatuh di samping tubuh Ki Sapta Nrenggana
yang kehilangan lengan kanannya.
Tubuhnya telah banjir dengan darah. Ia mengerang kesakitan.
Wintara menatap tajam ke arah Gada Rencah yang berdiri dengan kedua lengan
menyilang di dada. Perempuan muda yang berada di belakangnya sudah tidak nampak
lagi. * * * 10 "Menyesal dulu aku tidak
membunuhmu, anak muda. " kata Gada Rencah, mengenali Wintara. Malah
sekarang Wintara nampak lebih angker.
"Sekarang pun kau masih punya kesempatan. Mari Gada Rencah! Kita perhitung-kan
hutang darah itu" jawab Wintara berani.
Gada Rencah melangkah maju. Kini
keduanya berhadapan saling tatap.
"Ya! Sekarang aku betul-betul akan melumatkanmu, bocah keparat!" Gada Rencah
melompat sebelah tangannya menyambar. Sebelumnya Wintara sudah melompat ke
belakang terlebih dulu.
Tubuhnya melintir, beberapa serangan Gada Rencah dapat dielakkan. Sungguh hebat.
Wintara hampir kewalahan
menghadapinya. Terdengar dua kali berturut-turut benturan lengan mereka.
Gada Rencah begitu marah melihat se-angan-serangannya tidak satu pun mengena.
Kini malah Wintara balas menyerang. Begitu tendangan Wintara memutar menyambar
perut, Gada Rencah melesat ke atas berputar melintasi bagian kepala.
"Bug!"
Sebelah kakinya menghantam keras.
Pinggang Wintara terasa ngilu. Tapi cepat ia membalikkan tubuhnya sembari
menepis sebuah jotosan yang nyaris menghantam mukanya.
Wintara sudah tahu kalau Gada Rencah memiliki pukulan 'Tinju Pasir Wesi'.
Untuk itulah sengaja ia tidak mendekat.
Tapi selama ia bertempur, Gada Rencah belum juga mengeluarkan tinju mautnya itu.
Apakah semua ini hanya siasat"
Padahal kurang lebih Wintara sudah menghadapi sepuluh jurus. Dirasakannya
pula benturan-benturan keras di saat hantaman-hantaman mereka beradu. Bukan
main. Wintara sendiri merasa hantaman Gada Rencah lebih kuat dan disertai tenaga
penuh. Lengannya terasa
berdenyut-denyut.
Dengan sekali hentakan, tubuh
Wintara melesat ke atas dan hinggap pada cabang pohon yang berada di halaman
itu. Gada Rencah segera menyusul. Lesatan tubuhnya lebih cepat. Mengarah dengan tinju
yang siap dilancarkan. Melihat Gada Rencah demikian garangnya, Wintara melompat
berpindah ke cabang yang lain.
Gada Rencah yang sudah terlanjur
melancarkan serangan, tidak dapat menarik tinjunya lagi.
"Blaaaaar!"
Cabang pohon di mana tadi Wintara hinggap patah berderak, kemudian jatuh ke
tanah. Hantamannya masih membekas pada patahan cabang.
Wintara cepat turun dari cabang itu.
Kedua kakinya hinggap tanpa bersuara.
Gada Rencah melotot, ia merasa
dipermainkan. Maka ia pun melesat turun bagai seekor rajawali menyambar mangsa.
Wintara bergulingan di tanah menghindari sergapan itu. Setelah menjauh baru ia
melompat bangkit. Tapi...
"Beg!"
Baru saja ia bangkit, tendangan Gada Rencah yang mengarah cepat, merobohkan
tubuhnya lagi. Tentu saja Gada Rencah
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Dua tinjunya sekaligus menghantam.
Wintara bergulir menghindar.
"Derr!"
Hantaman itu melesak ke tanah. Belum sempat Gada Rencah menarik kedua lengannya,
kaki kiri Wintara menyambar.
"Des!"
Tepat menghantam puiiggung. Gada
Rencah tersungkur ke depan. Mendapat hantaman semacam itu wajah Gada Rencah
memerah. Ia bangkit lagi menerjang.
Terjangannya begitu cepat, Wintara tidak sempat menghindar. Tahu-tahu....
"Blaaaaar!"
Wintara memekik. Tubuhnya terlempar membentur batang pohon. Darah menyembur dari
mulutnya. Gaga Rencah menyerigai menyeramkan. Kedua matanya nyalang menatap
Wintara yang berusaha bangun sembari mengusap darah dengan lengan.
"Begitulah seharusnya. Dari tadi saja mengeluarkan Tinju Pasir Wesi'mu, Gada
Rencah. Biar perhitungan kita cepat selesai" kata Wintara.
"Itu berarti kau ingin cepat-cepat mampus!" bentak Gada Rencah.
"Atau malah sebaliknya!" Wintara mengejek.
"Bangsat!" Gada Rencah murka.
"Weeees!"
Tendangannya bergerak cepat.
"Plaaak!"
Wintara menepis tendangan yang
demikian keras, tak urung tubuhnya pun terhuyung. Sekali lagi tangan kiri Gada
Rencah melayang, dalam keadaan terhuyung Wintara menyambut hantaman itu.
"Des!"
Wintara cepat merunduk. Lalu dengan cepat ia melancarkan tinju ke arah perut.
Bersamaan dengan itu Gada Rencah
menendang ke atas. Maka keduanya
terpental. Gada Rencah memegangi
perutnya mundur beberapa langkah.
Wintara malah lebih parah. Setelah mental, tubuhnya masih bergulingan tak
terkendali. Gada Rencah mengira, pastilah
lawannya itu sekarat setelah mendapat tendangan di bagian dagu. Maka sengaja ia
tidak menyerang lagi. Di luar dugaan, tubuh Wintara yang tadi bergulingan tiba-
tiba saja mencelat ke atas.
Kemudian hinggap di tanah dengan
gerakan-gerakan aneh. Belum pernah Gada Rencah melihat kembang-kembang jurus
seperti itu. Ia pun kaget luar biasa ketika mendadak Wintara menerjang. Dalam
kewaspadaannya, Gada Rencah menyambut dengan sebuah hantaman.
"Deeees!"
Tepat mengenai pundak. Wintara pun sempat pula melancarkan pukulannya ke samping
muka. Lalu sekali lagi telapak tangan Wintara memutar menampar keras
kuping. Gada Rencah terhuyung, kemudian ia jatuh bergulingan sambil menjerit.
"Arghhhh!" Kedua tangan memegangi kupingnya. Tubuhnya berkelojotan hebat.
Wintara sendiri sudah tidak dapat menyerang lagi. Ia masih merasakan sakit
akibat hantaman tadi yang bersarang di pundaknya.
Seorang perempuan muda berlari ke luar dengan pedang terhunus. Kedua matanya
membelalak lebar. Wintara yakin perempuan itu adalah Maladewi. Yaaah, Maladewi!
Bagi Wintara, dua tahun belum cukup untuk melupakannya. Perempuan itu terus
berlari ke arah Gada Rencah yang sudah bangkit berdiri. Lalu dengan sadis ia
membabatkan pedangnya berkali-kali di tubuh Gada Rencah.
"Craaak! Craaaak! Craaak! Craaak!"
Babatan-babatan pedang mengoyakkan pakaian Gada Rencah. Orang itu sendiri masih
berdiri tegar. Tidak setetes darah pun yang keluar dari tubuhnya. Gada Rencah
menggeram, pakaiannya yang terkoyak dihempaskannya. Peremuan itu ketakutan.
Lengannya yang memegang pedang gemetar. Wintara cepat melompat, tapi Gada Rencah
menendang lebih
dulu.... "Bug!"
Wintara ngusruk! Mulutnya menyembur darah lagi.
Gada Rencah menarik tubuh perempuan itu. Lalu tinjunya dilepaskan keras
menghantam wajah yang penuh ketakutan.
"Des!"
"Dewiiiiiii...." Wintara memekik.
Terlihat jelas wajah perempuan itu mengucurkan darah. Sekali lagi tinju Gada
Rencah menghantam. Kali ini di bagian dada. Kontan tubuh ramping itu mencelat.
Wintara melompat menyambar.
Maka tubuh perempuan itu jatuh ke dalam pelukkannya.
"Dewi...! Dewi...! Dewiiiii!"
Wintara mengguncang-guncang tubuh itu.
"Aku mendengar seruanmu, Win. Aku dengar. Ohkk... Maafkan aku" Wintara
merebahkan tubuh Maladewi. Wintara memeluk erat.
"Aku sendiri tidak percaya kalau kau masih hidup" Kedua kelopak mata Maladewi
sayu, Wintara memeluknya semakin erat.
"Kau masih ingat dengan apa yang kau ucapkan dulu" Kau boleh kehilangan jasad
dan jiwaku. Ta-ta-tapi kau tidak boleh kehilangan namaku. K-k-kau masih ingat?"
kata-kata Maladewi makin hanyut perlahan.
"Tidak, Dewi! Kau tidak boleh mati.
Kau tidak boleh meninggalkan aku!"
"Win.... Aku su-su-su-dah ti-tidak tahan l-la-lag...?" Wajah Maladewi jatuh ke
dada Wintara. Matanya tertutup rapat.
Ram-butnya berderai tertiup angin.
Wintara mengangkat wajahnya. Tatapannya
geram mengarah pada Gada Rencah yang masih berdiri menantang. Lengan kekarnya
meraih pedang dalam genggaman Maladewi.
Lalu ia berdiri menuding dengan pedang itu.
"Manusia busuk.
Sekalipun kau memiliki ilmu kebal, Aku tidak gentar.!"
kata Wintara mengambil langkah-langkah jurusnya.
"Manusia yang mau mampus biasanya memang banyak omong. Majulah! Karena kau
memang musti mampus" Gada Rencah melangkah maju. Disambut dengan babatan pedang.
"Bret!"
Jelas sekali mata pedang itu
menyambar dada. Wintara merasakan mata pedangnya menyentuh benda keras. Sebilah
pedang tidak begitu ampuh dibanding dengan tangan kosong. Memang betul, Gada
Rencah lebih kewalahan menghadapi Wintara tanpa bersenjata. Sekalipun Gada
Rencak menguasai ilmu kebal, Wintara berpendapat pasti ada kelemahannya.
Hanya saja ia belum menemukan. Selama ini pula Wintara menggempur menjejaki
setiap jengkal tubuh Gada Rencah.
Meski menyadari kehebatan pukulan
'Tinju Pasir Wesi', Wintara sudah tidak perduli lagi. Dan di saat Gada Rencah
menghantam, "Des...!"
Tulang iga Wintara terasa copot.
Tubuhnya mundur terdorong. Gada Rencah
melesat kembali melancarkan dua tinjunya berturut-turut Wintara memutar
lengannya. "Splaaak!"
Pukulan-pukulan itu bergulir
melesat. Pedangnya yang masih digenggam membersit. Menghantam kedua lengan Gada
Rencah. Lalu dengan cepat Wintara mendorong tendangannya ke samping kiri.
"Des!"
Gada Rencah memekik. Pinggangnya
berdenyut. Ia mulai mengakui kehebatan pemuda itu. Dua tahun lamanya telah
merubah keadaan lawannya memiliki daya tahan yang sangat luar biasa. Yang lebih
heran lagi, pemuda yang mengenakan kulit binatang ini jauh lebih tangkas
dibanding dua tahun yang lalu.
Di saat Wintara melancarkan
tendangan memutar ke atas, Gada Rencah segera merunduk, kedua telapak tangannya
cepat me-nutup telinga. Selintas Wintara teringat ketika ia menampar keras
sebelah telinganya. Gada Rencah ambruk bergulingan.
Kenapa baru sekarang
Wintara menyadari. Sudah pasti di situlah letak kelemahannya. Wintara menarik
nafas panjang, kemudian ia melompat dengan babatan-babatan pedangnya.
"Bwet...! Bwet...! Bwet...!"
Gada Rencah menyambut dengan mengi-baskan kedua lengannya. Maka
babatan-babatan pedang itu menyentuh
lengan-lengan Gada Rencah yang keras membatu. Malah sebelah lengannya
berhasil menggenggam bilah pedang yang tajamnya bukan main.
Sekuat tenaga Wintara menariknya, tapi telapak tangan Gada Rencah
mencengkeram erat batang pedang lebih kuat menekuk.


Pendekar Kelana Sakti 1 Tapis Ledok Membara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Trak!"
Pedang dalam genggaman Wintara
patah dua. Tendangan Wintara keras terarah. Gada Rencah melancarkan pukulan
'Tinju Pasir Wesi' mengarah pada kaki Wintara yang masih melesat memutar.
Sebelumnya hantaman itu mengena, Wintara menarik kakinya. Sebelah kakinya yang
masih menginjak tanah menghentak membuat tubuh Wintara melesat ke atas. Gada
Rencah cukup terperangah, ia tidak sempat meninju ke atas. Sebab Wintara telah
melancarkan kedua kakinya menghantam telinga kanan dan kiri Gada Rencah.
"Waaaaaaaaaark!" pekikannya dahsyat sekali. Wintara yang masih berada di atas
langsung menukik bagai sebatang tonggak.
"Breeeeees!"
Pedangnya yang penggal menembus ke pusar menerobos ke tulang belakang. Lalu
keduanya bergulingan, Wintara berguling dua kali, kemudian ia bersalto langsung
berdiri tegak. Gada Rencah bergoseran di tanah. Darahnya telah membanjir di
sekujur tubuhnya yang telanjang dada.
Debu-debu bersatu dengan keringat yang mulai membanjir pula. Gada Rencah terus
berteriak penuh kesakitan.
"Waaaaaaaaaark!"
Wintara sendiri menatap ngeri. Dan saat Gada Rencah bangkit lagi dengan mata
melotot, Wintara siap melancarkan
serangan. Tapi tidak, Gada Rencah ambruk lagi dengan nafas yang terputus.
Ki Sapta Nrenggana masih mengerang kesakitan. Sebelah pangkal lengannya yang
kutung tergenang darah. Ia tidak dapat bangun. Lengan kirinya yang mati akibat
tendangan Kyai Sempar pada dua tahun yang lalu membuatnya lumpuh. Ia pun takut
sekali memandang Wintara yang berdiri menatap sinis. Sebenarnya bisa saja
Wintara langsung membunuh, tapi kelihatan keadaan Ki Sapta Nrenggana sudah
demikian parah, Wintara jadi terenyuh. Ia menjadi tidak tega. Maka ia sengaja
mengampuninya dan berjalan ke arah di mana tubuh Maladewi terkapar.
Mang Bayan yang sedari tadi
menyaksikan pertarungan itu di balik pintu gerbang bersama orang-orang kampung
lainnya berlari masuk. Ia menemukan yang masih menatap tubuh kaku terbaring
pucat. Wintara sendiri
menyadari akan kehadiran Mang Bayan.
Orang-orang kampung Tapis Ledok
tidak ada yang berani mendekat. Mereka hanya menyaksikan dari jauh berderet di
belakang. "Mang.... Tolong urus mayat Maladewi. Juga orang-orang itu. Kubur mereka
sebagaimana mestinya" kata Wintara, pandangannya masih tertuju pada paras yang
cantik mempesona.
"I-I-Iya, Den. Biar nanti mamang minta bantuan pada orang-orang kampung,
kebetulan mereka ada di sini semua" kata Mang Bayan terbawa arus kesedihan.
"Setelah itu kembalilah pulang ke Karang Hampar. Uruslah rumah seperti du-lu,
sayang kalau tidak dirawat. Rumah itu untukmu, Mang" kata Wintara setengah
membisik. "Den Wintara tidak kembali ke Karang Hampar?" tanya Mang Bayan.
Wintara menggeleng, lengannya
memeluk pundak Mang Bayan.
"Sebuah rumah sudah tidak berarti lagi bagiku, Mang. Selama dua tahun lebih
pengaruh lingkungan alam bebas telah menempa hidupku. Dan ternyata aku menyukai
adanya kebebasan. Aku khawatir di desa-desa lain masih ada suasana yang
terbelenggu dengan kezaliman. Untuk itu, aku mengemban tugas menumbangkan semua
kebatilan maupun kezaliman.
Mudah- mudahan saja aku sanggup"
"Den Wintara hendak berkelana" Itu berbahaya sekali, Den" kata Mang Bayan.
"Aku akan berusaha menghadapi semua rintangan-rintangan itu, Mang"
Banyak orang kampung berdatangan
mendekat. Mereka mengangkat satu persatu
mayat-mayat itu dengan perasaan jijik.
Mang Bayan memapah tubuh Maladewi.
Ki Sapta Nrenggana merintih-rintih memohon pertolongan, tapi tak satu orang pun
yang mau perduli. Ia baru merasakan beta pa pahit dan busuk dirinya. Apalagi ia
tidak dapat mengangkat dirinya sendiri.
Mang Bayan berjalan paling depan. Ia menoleh ke belakang. Mencari sesuatu.
Orang yang berada di belakangnya pun mengikuti menoleh ke belakang. Tiba-tiba
Mang Bayan berbalik melangkah.
Teman-temannya jadi terheran-heran. Ia kembali memasuki halaman gedung itu.
Mereka baru menyadari, seseorang
telah raib menghilang di antara mereka.
Yaaaah... Wintara sudah tidak
nampak lagi. Maka tempat itu menjadi riuh seketika. Mang Bayan menghela nafas.
Wintara... Pendekar Kelana... Pendekar Kelana... Pengelana Sakti mengelana...
Menghadapi resiko yang penuh bahaya...
Katanya dalam hati.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kisah Si Pedang Terbang 1 Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long Pedang Medali Naga 21
^