Pencarian

Tengkorak Darah 3

Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah Bagian 3


akan bingung dan resah menghadapi kejadian-
kejadian yang aneh dan penuh misteri.
Hujan rintik turun mengiringi duka keluarga is-
tana atas kematian Lingga. Dengan derai air mata yang berbaur dengan derai
hujan, mayat Lingga dikebumi-kan sebagaimana adat kerajaan.
Dyah Ayu masih terseguk-seguk, bahkan bebe-
rapa kali jatuh pingsan, tak kuat menahan kesedihan
yang dialaminya. Mereka baru menikah sebulan yang
lalu. Dalam keadaan yang seharusnya gembira, tiba-
tiba tengkorak darah merenggut Lingga dari pelukan-
nya. Lalu setelah tiga hari menghilang, tiba-tiba Lingga diketemukan telah
menjadi mayat yang sangat mengerikan. "Ibu, mengapa semua ini terjadi" Hu hu
hu...!" "Entahlah, Cah Ayu. Ibu juga tak mengerti," ka-ta ibunda Dyah Ayu sambil memeluk
tubuh anaknya. Tangannya dengan lembut membelai-belai rambut
sang Anak. Wanita cantik jelita yang sangat sayang pada
anaknya itu bertubuh ramping dengan rambut disang-
gul. Wajahnya tampak lembut, tenang, dan penuh ka-
sih. Matanya lentik serta berbibir mungil, meski
usianya sudah menginjak tua. Sabar sekali tingkah lakunya. "Sudahlah, Dyah.
Mungkin semua ini suratan Sang Hyang Widi!" tambah ayahnya, Raja Kerajaan Bumi
Wandra dengan masgul.
"Tapi, Rama, Mengapa harus kita yang meneri-
manya" Mengapa?"
Raja Brah Salagtari menghela napas dalam-
dalam. Dengan air mata berlinang, Raja Brah Salagatri berusaha menjawab
pertanyaan anaknya.
"Sang Hyang Widi tak pandang siapa manusia
itu, Dyah. Kalau dia menghendaki, pasti akan terjadi.
Mungkin hari ini Lingga, besok siapa tahu Ayah."
"Tapi ini bukan kehendak Sang Hyang Widi,
Rama," bantah Dyah Ayu.
"Sudahlah, Cah Ayu. Terimalah semuanya den-
gan hati yang tabah. Serahkan semuanya pada Sang
Hyang Widi. Semoga Dia menerima arwahnya," hibur sang Ibu
Suasana duka masih menyelimuti mereka. Pe-
kuburan kerabat istana kembali sepi dan senyap.
Hanya terdengar desah angin yang bergesek dengan
daun-daun pohon kering. Berderit lirih penuh duka.
Satu persatu mereka meninggalkan pekuburan
itu, masih dengan membawa tangis. Pekuburan pun
benar-benar sepi. Malam merambat datang, dengan
kegelapannya yang terasa semakin mencekam.
Krakkk! Tiba-tiba kuburan tempat Lingga dimakamkan
berbunyi. Ada sesuatu yang terjadi. Bersamaan dengan itu, terdengar suara
berseru sayup-sayup.
"Atas nama tengkorak darah! Bangunlah...!"
Krakkk! Werrr! Angin menderu dengan kencang, seiring dengan
suara pecahnya tanah di kuburan Lingga. Dari kegela-
pan yang mencekam, tampak se sosok tubuh berdiri.
Tangannya terangkat ke atas. Matanya tajam meman-
dang kuburan Lingga yang merekah.
"Bangkitlah! Atas nama tengkorak darah.
Bangkit! Bangkit dari kuburmu! Bunuh Raja Brah Sa-
lagatri! Bunuh...!"
Krakkk! Duarrr!
Ledakan dahsyat menggelegar, memecahkan
kesunyian malam yang dingin, disertai rintik hujan gerimis. Sepasang tangan kaku
dengan kuku-kuku pan-
jang, merayap naik perlahan-tahan. Lalu tampak-lah
kepala Lingga yang mengerikan. Kepala menyeramkan
itu muncul ke permukaan tanah. Matanya berwarna
merah menyala. Kemudian sosok menyeramkan itu
berdiri di atas liang kuburnya. Matanya memandang
sosok wanita yang berdiri di tengah kegelapan.
"Aku bangkit..."
"Kemarilah!" seru wanita dalam kegelapan memerintah.
Sosok mayat hidup itu melangkah mendeka-
tinya. "Apa yang harus kulakukan?" tanya mayat hidup itu dengan suara berat dan serak.
Bau busuk me- nebar di udara malam.
"Hua ha ha...! Bagus! Bagus...! Kau adalah ab-
diku yang setia! Kau akan menjadi penghancur keluar-
ga kerajaan! Bawa anak lelaki Brah Salagatri! Bawa ke tempatku!" perintah wanita
yang berdiri di kegelapan.
"Hanya itu?" tanya mayat hidup.
"Untuk kali ini. Hanya itu!"
"Baik, aku akan melakukannya."
"Bagus! Pergilah segera...!"
Wanita itu menghilang. Kini tinggallah mayat
hidup yang melangkah membelah malam. Desah na-
pasnya yang berat, membuat suasana di sekelilingnya
semakin mencekam. Dentuman langkahnya pun se-
makin membahana, menggetarkan kesunyian.
Mayat hidup itu melangkah menuju istana.
Enam orang penjaga pintu gerbang tersentak,
manakala melihat sesosok menyeramkan menuju ista-
na. Mata mereka membelalak tegang. Sepontan mereka
menjerit ketakutan, membuat orang-orang istana ter-
sentak dan berhamburan lari keluar untuk melihat
apa yang terjadi.
"Mayat hidup...!" seru mereka ketakutan
"Lingga! O, apa yang terjadi denganmu?" tanya Raja Brah Salagatri dengan mata
melotot tegang, menyaksikan mayat menantunya yang baru dikubur sore
tadi, kini bangkit. Mata Lingga bersinar merah menyeramkan.
"Gerrr! Minggir...!" bentak mayat hidup itu sambil menggerakkan tangan.
Wettt! Para penjaga pintu gerbang dicengkeramnya,
kemudian dengan enteng dilemparkan keenam prajurit
itu sampai melayang di udara. Lalu jatuh ke tanah
dengan nyawa melayang.
Menyaksikan kebengisan mayat Lingga, Raja
Brah Salagatri segera memerintah para prajuritnya untuk membunuh mayat itu.
"Bunuh iblis itu...!"
Serentak berpuluh prajurit bergerak maju un-
tuk menyerang. Dengan pedang dan tombak, mereka
menyerang mayat Lingga.
Swing, swing, swing!
Jlep, jlep, jlep!
Puluhan anak panah dan tombak menghujani
tubuh mayat Lingga yang hidup kembali. Beberapa ba-
gian tubuhnya tertembus telak. Bahkan ada yang
sempat menembus hingga bagian belakang tubuh. Tapi
mayat hidup itu bagai tidak merasakan apa-apa. Ma-
lah dicabutnya senjata-senjata yang menghujam di tu-
buhnya. Kemudian dengan penuh amarah, dilempar-
kannya kembali senjata itu ke para prajurit.
"Gerrr! Ini senjata kalian kukembalikan!
Heaaa...!"
Puluhan senjata itu melesat laksana dilontar-
kan tenaga raksasa. Tanpa ampun....
Jlep, jlep, jlep!
"Wuaaa...!"
Puluhan prajurit menjerit setinggi langit. Tubuh
mereka tertembus senjata-senjata yang tadi mereka lepaskan. Raja Brah Salagatri
semakin bertambah cemas
menyaksikan keganasan mayat hidup menantunya.
Dia segera lari masuk ke dalam sambil berseru meme-
rintah prajuritnya untuk membunuh mayat hidup itu.
"Gerrr! Minggir kalian...!"
Wuttt! Tangan mayat hidup bergerak cepat, menyam-
bar tubuh para prajurit yang berusaha menghalan-
ginya. Seketika mereka terlempar ke udara bersama jerit kematian yang menyayat.
"Wuaaa...!"
Bug, bug, bug! Menyaksikan kematian teman-temannya, nyali
para prajurit lainnya mendadak ciut. Mereka segera
menyingkir, ketika mayat hidup itu melangkah mende-
kati mereka. Mayat hidup itu terus melangkah masuk.
Namun tiba-tiba dia dihalangi oleh seorang lelaki tua berjubah ungu. Di tangan
lelaki tua berjubah ungu
yang bernama Ki Gendut Kluntung, tergenggam tom-
bak pendek bermata dua yang dinamakan 'Ki Basupa-
ti', "Minggatlah kau ke alammu! Heaaa...!" Ki Gendut Kluntung yang, keadaan tubuhnya
kurus tidak se-
perti namanya itu, merangsek dengan senjata pusa-
kanya. "Heaaa...!"
"Gerrr! Minggir kau!" bentak mayat hidup sambil bergerak menyerang Ki Gendut
Kluntung. Dia ada-
lah Pendekar Istana Bumi Wandra yang berusia sekitar lima puluh tujuh tahun.
Berambut panjang dengan
bagian atas kepala botak, berhidung pesek dan berma-
ta lebar. Tubuhnya harus berjumpalitan mengelakkan
serangan lawan yang menimbulkan angin panas mem-
bakar. "Edan! ilmu iblis...!" maki Ki Gendut Kluntung dengan mata membelalak,
menyaksikan keganasan
pukulan tangan lawan.
Saat itu, ketika Ki Gendut Kluntung mengelak,
mayat hidup berlari menuju kamar putra Raja Brah
Salagatri yang bernama Citro Buono. Diambilnya pe-
muda tanggung yang menjerit-jerit ketakutan itu.
"Rama, tolooong...!"
"Anakku! Anakkuuu...! Jangan bawah anak-
kuuu!" seru Raja Brah Salagatri, berusaha mencegah mayat hidup. Tapi tubuh mayat
hidup telah menghilang lewat jendela kamar anaknya.
"Iblis! Jangan lari...!" bentak Ki Gendut Kluntung mengejar.
*** 8 Sia-sia saja Ki Gendut Kluntung mengejar, se-
bab mayat hidup itu telah menghilang dalam kegela-
pan entah ke mana. Seperti menyusup ke dasar bumi.
Dengan penuh kekecewaan, Ki Gendut Klun-
tung kembali ke kerajaan. Namun baru beberapa lang-
kah kakinya bergerak, tiba-tiba tanah di sekelilingnya merekah. Bersamaan dengan
itu, dari rekahan tanah
muncul asap putih kehitam-hitaman mengurung tu-
buh Ki Gendut Kluntung.
"Heh, apa itu"!" desis Ki Gendut Kluntung dengan mata membelalak, menyaksikan
sesuatu yang aneh. "Uh, bau kemenyan dan bunga kamboja.
Wesss! Krakkk! Suara asap mengepul disertai derak tanah re-
tak kembali terdengar. Samar-samar, kini tampak pu-
luhan makhluk-makhluk menyeramkan mengelilingi Ki
Gendut Kluntung.
"Hah..."! Mereka dari dalam tanah! Oh, mereka
benar-benar siluman tengkorak darah," desis Ki Gendut Kluntung dengan mata
membelalak tegang. Cepat-
cepat disiapkan senjata pusakanya, tombak pendek Ki
Basupati. "Gerrr! Nguikkk...!"
Serentak makhluk-makhluk menyeramkan
bermuka tengkorak itu menyerbu Ki Gendut Kluntung.
Serangan mereka begitu cepat. Gerakan mereka
bukanlah gerakan ilmu silat, kacau balau. Namun
membahayakan. "Gerrr! Nguikkk!"
"Ayo, hadapi aku...!" tantang Ki Gendut Kluntung sambil menggerakkan Ki Basupati
dengan jurus 'Jalma Bawuna', menjadikan tombak pendek itu mam-
pu mengeluarkan angin yang menderu kencang, me-
nyambar-nyambar ke arah sosok-sosok menyeramkan.
"Nguikkk!"
"Heaa...!"
Meski dikeroyok prajurit tengkorak darah, tapi
Ki Gendut Kluntung rupanya mampu mengatasi se-
rangan-serangan mereka. Bahkan beberapa kali senja-
tanya mampu menghantam kepala dan dada lawan
yang seketika jatuh ambruk dan menghilang.
"Heaaa!"
Tubuh Ki Gendut Kluntung terus bergerak me-
nyerang. Tangannya yang memegang tombak Ki Basu-
pati menyambar lawan-lawannya yang berusaha me-
rangsek. Keampuhan Ki Basupati benar-benar terbuk-
ti. Senjata itu mampu membuat lawan dari bangsa si-
luman darah harus mengalami kebinasaan.
"Nguik! Werrr...!"
Pemimpin Prajurit Tengkorak Darah yang meli-
hat anak buahnya semakin banyak menjadi korban ki-
ni merangsek maju. Tangannya yang hanya tulang be-
lulang itu bergerak menyerang dengan sambaran-sam-
baran yang mengeluarkan hawa panas.
"Uts! Rupanya kau ketuanya! Baik, kita berta-
rung mengadu nyawa! Heaaa...!"
Tubuh Ki Gendut Kluntung terus mencelat kian
kemari, mengelakkan serangan lawan yang datang ber-
tubi-tubi, bagai tidak memberi kesempatan bagi di-
rinya untuk balas menyerang.
"Heaaa!"
Dengan bersalto ke udara, Ki Gendut Kluntung
segera balas melabrak dengan jurus 'Buana Yuda'. Di-
putarnya tombak pendek yang bernama Ki Basupati
dengan kencang, kemudian dengan cepat mata tombak
ditusukkan ke dada lawan.
Rupanya lawan yang dihadapinya benar-benar
bukan tengkorak darah sembarangan. Lawan mampu
mengimbangi serangan yang dilancarkan Ki Gendut
Kluntung. "Heaaa!"
"Nguikkk! Werrr!"


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertarungan dua makhluk berbeda alam itu
berlangsung dengan seru. Masing-masing berusaha
menjatuhkan satu sama lain
Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk
dapat mengalahkan lawannya. Namun ternyata sulit
bagi keduanya untuk dapat mengakhiri pertarungan
itu Serangan Ki Gendut Kluntung kini terlihat ken-
dor. Rupanya tenaganya terkuras saat melakukan se-
rangan. Wajahnya agak tegang, menyaksikan lawan
masih kuat. Malah gempuran serangannya semakin
menjadi-jadi. "Iblis! Dia tidak merasa lelah sedikit pun!" maid Ki Gendut Kluntung. "Celakalah
aku!" Belum juga Ki Gendut Kluntung selesai menca-
ci maki. Pemimpin Tengkorak Darah kembali meng-
gempur dengan pukulan-pukulan mautnya. Dari tan-
gannya membersit sinar biru ke tubuh Ki Gendut
Kluntung. Wesss! "Uts! Celaka...!" pekik Ki Gendut Kluntung
sambil merendahkan tubuhnya untuk mengelak. Sinar
biru yang keluar dari tangan pemimpin tengkorak da-
rah melesat beberapa senti di atas kepalanya.
Belum juga Ki Gendut Kluntung dapat mengua-
sai diri, lawannya telah melancarkan serangan puku-
lan-pukulan mautnya kembali.
"Gerrr! Nguik...!"
Wusss!" "Celaka! Dia benar-benar bukan manusia!" pekik Ki Gendut Kluntung setengah
mengeluh. Segera di-
rendahkan tubuhnya ke bawah, kemudian dengan ce-
pat berguling ke samping.
Wesss! Sinar biru itu luput beberapa senti di samping
kanannya. Tapi lagi-lagi sebelum Ki Gendut Kluntung
menguasai diri, serangan lawan mencecar lagi.
Wesss! "Modar aku!" keluh Ki Gendut Kluntung, mera-sa mati langkah. Matanya membelalak
tegang. Hara- pannya untuk hidup semakin menipis. Sinar biru itu
semakin dekat ke arahnya. Tinggal menunggu bebera-
pa saat lagi, dia akan mati terhantam pukulan maut
itu. Namun.... Jlegarrr! Ledakan hebat menggelegar, ketika serangkum
sinar merah menderu cepat lalu menghadang sinar bi-
ru. Bersamaan dengan suara ledakan itu, terdengar gelak tawa meriah.
"Hua ha ha...! Rupanya kalian tidak kapok, Si-
luman Busuk!"
Pemimpin tengkorak darah yang tergontai-
gontai kini memalingkan wajah. Dilihatnya seorang
pemuda tampan bertingkah seperti orang gila telah
hadir di tempat itu bersama dengan seorang wanita
cantik. "Gerrr! Nguik! Kakkk!"
*** "Hua ha ha! Kalian memang siluman-siluman
busuk! Mengapa kalian ikut campur urusan manusia!"
bentak Sena sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera.
"Gerrr! Nguik! Gerrrkkk!" seru Pemimpin Tengkorak Darah sambil melambaikan
tangan pada anak
buahnya, yang bergerak serentak mengurung Pendekar
Gila. "Aha, rupanya malam ini kita bisa bermain-main, Mei Lie," celoteh Pendekar
Gila sambil berjingkrak dan menggaruk-garuk kepala.
"Hm, majulah siluman busuk.'" dengus Mei Lie sambil mencabut Pedang Bidadarinya.
Srang! Sinar merah kekuning-kuningan seketika me-
nyinari tempat itu. Hal itu membuat Ki Gendut Klun-
tung dapat melihat dengan jelas orang yang telah me-
nolongnya dan bagaimana rupa makhluk-makhluk
menyeramkan yang mengeroyoknya habis-habisan.
"Pendekar Gila...! O, selamat datang di kera-
jaan. Terima kasih atas pertolonganmu," sambut Ki Gendut Kluntung.
"Aha, sudahlah, Ki! Tak perlu dipermasalahkan.
Kini kita harus main-main dengan tikus tengkorak itu!
Ha ha ha...! Awas serangan!"
Dengan tingkah polah konyol, tubuh Pendekar
Gila segera melompat ke udara, mengelakkan serangan
lawan yang menderu ke arah mereka. Begitu juga den-
gan Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung. Kemudian keti-
ganya balas menyerang dengan cepat
"Aha, rupanya di alam kalian tidak pernah ma-
kan tahu. Nih tahu untuk kalian! Heaaa...!"
Sambil menunggingkan pantat Pendekar Gila
bergerak menggasak lawan-lawannya. Dicabutnya Sul-
ing Naga Sakti. Dengan menggunakan ilmu meringan-
kan tubuh, Sena menyerang kepala lawan.
"Hi hi hi! Enak juga meniti di kepala siluman,
Mei Lie!" seru Pendekar Gila sambil berlari di atas kepala-kepala siluman
tengkorak darah. Sementara itu
tangannya menghantamkan Suling Naga Sakti ke ke-
pala tengkorak darah yang dipijaknya.
Tukkk! Pletakkk! Satu tengkorak darah binasa. Batok kepala
tengkoraknya pecah terkena pukulan Suling Naga Sak-
ti. Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seperti
kegirangan bisa berlari di atas kepala siluman-siluman tengkorak
"Ha ha ha...! Mei Lie, cepat naik! Enak sekali
bisa menginjak kepala siluman!" seru Pendekar Gila sambil tetap menggerakkan
tangannya, memukulkan
Suling Naga Sakti ke kepala lawan.
Pletakkk! Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung pun tak tinggal
diam. Dengan senjata pusaka, keduanya bergerak me-
nyerang. Ki Gendut Kluntung dengan tombak pendek
Ki Basupati mengamuk dengan jurus 'Buana Yuda'.
Senjata di tangannya bergerak buas laksana baling-
baling, menusuk dan memukul tubuh lawan-
lawannya. "Heaaa!"
Wettt! Prak! Setiap kali tombak Ki Basupati bergerak, dua
siluman tengkorak darah mengalami kesirnaan. Tubuh
mereka hilang menjadi asap putih kehitam-hitaman.
Mei Lie tak mau kalah. Dengan Pedang Bidadari
di tangannya, dia pun bergerak lincah menyerang para lawan. Kali ini Mei Lie
tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan jurus 'Pedang Tebasan Batin' andalan-
nya yang terkenal ampuh dan belum ada tandingannya
saat itu "Heaaa!"
Wettt! Pedang Bidadari di tangannya menyambar-
nyambar atau membabat ke tubuh lawan. Setiap kali
pedang di tangan Mei Lie berdesing, kejadian aneh terjadi. Hanya tersentuh oleh
ujung pedang saja, silu-
man-siluman tengkorak darah telah sirna. Tak ada
yang sanggup menghadapi Pedang Bidadari yang me-
nyatu dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa...!"
Mei Lie menyerang semakin garang. Ingatannya
kembali terbayang pada Dewi Pemuja Setan yang telah
memperdayainya (Mengenai Dewi Pemuja Setan, bisa
Anda baca pada serial Pendekar Gila dalam episode
"Titisan Dewi Kuan Im").
Pengalaman pahit yang tersimpan di benaknya
telah begitu mempengaruhi perasaan wanita cantik itu Kebenciannya pada
kemungkaran menggelegar seperti
lahar panas. Meskipun dendam tak akan pernah baik
untuk dirinya, tapi dia sendiri tak mampu lagi meng-
hindari dari kebencian itu.
Mei Lie semakin merangsek garang dengan te-
basan-tebasan pedangnya. Semakin cepat Mei Lie ber-
gerak, semakin banyak tengkorak darah yang raib.
Pertarungan semakin berjalan seru, namun kini
yang lebih mengurung justru ketiga pendekar itu. Me-
reka mampu menekan musuhnya. Korban di pihak si-
luman tengkorak darah semakin banyak berjatuhan.
"Heaaa...!"
Mei Lie terus melabrak dengan babatan-
babatan pedangnya yang sangat ampuh dan sakti.
Korban di pihak tengkorak darah semakin bertambah
banyak. "Ha ha ha! Bagus Mei Lie! Kita memang sedang berperang melawan tikus!
Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa-tawa sambil mengepung di angkasa. Lalu
kakinya menjejak di kepala-kepala siluman tengkorak darah. Disusul dengan
hantaman Suling Naga Sakti-nya
yang membuat lawan seketika ambruk lantas raib.
"Nguik...!"
Pemimpin siluman tengkorak darah tampak
marah. Dia langsung menyerang Pendekar Gila. Tan-
gannya yang hanya tulang belulang menyambar wajah
Pendekar Gila. Namun dengan jurus 'Gila Mabuk Me-
mentung Kendi', dia dapat mengelakkan serangan la-
wan. Dengan cepat dibalasnya dengan pukulan Suling
Naga Saktinya. Wettt! "Hua ha ha...! Ayo Mei Lie, habisi tikus-tikus
itu!" serunya sambil terus merangsek dengan Suling Naga Saktinya ke arah
Pemimpin Tengkorak Darah.
Suling Naga Sakti meliuk-liuk bagai seekor naga mur-
ka yang berusaha mematuk kepala lawan.
Wettt! "Nguik!" Pemimpin Tengkorak Darah semakin
terdesak oleh serangan yang dilancarkan Pendekar Gi-
la. Malah kini Pemimpin Tengkorak Darah lebih ba-
nyak mengelak, dibandingkan balas menyerang. Ruang
geraknya bagai dibatasi oleh Pendekar Gila dengan sa-puan Suing Naga Saktinya.
Di sisi lain, Ki Gendut Kluntung dan Mei Lie
pun tak kalah hebat dalam menyerang. Senjata di tan-
gan mereka membuat anak buah tengkorak darah se-
makin jadi bulan-bulanan,
"Heaaa!"
Dengan tetap menggunakan jurus 'Pedang Te-
basan Batin' yang merupakan jurus pamungkas dari
jurus 'Pedang Bidadari', Mei lie terus mencecar lawan.
Keberadaan Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar
terang merah kekuning-kuningan cukup berguna bagi
mereka. Dengan demikian keadaan di tempat itu men-
jadi terang benderang.
Crak! Suara beradu Pedang Bidadari dengan tulang
belulang lawan terdengar. Bersamaan dengan itu, tu-
lang belulangnya rontok kemudian raib menjadi asap.
"Nguik...!"
Pemimpin Tengkorak Darah berseru keras me-
lengking, seperti mengisyaratkan sesuatu pada anak
buahnya. "Aha, mau ke mana kalian, Tikus Busuk!" bentak Pendekar Gila ketika melihat
gerombolan tengko-
rak darah yang hendak menghilang meninggalkan
tempat itu Segera ditiupnya Suling Naga Sakti dengan su-
ara melengking, kemudian mengarahkan kepala naga
di sulingnya ke Pemimpin Tengkorak Darah.
Serttt! Dua larik sinar merah membara yang keluar
dari mata kepala naga meluncur ke arah lawan. Kedua
sinar itu begitu deras, hingga tak dapat dielakkan lagi oleh Pemimpin Tengkorak
Darah. Byarrr! Tubuh Pemimpin Tengkorak Darah yang ter-
hantam dua sinar merah itu seketika meleleh dan le-
bur menjadi cairan hitam.
"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa-tawa sambil
berjingkrak-jingkrak
melihat lawannya meleleh.
Menyaksikan pemimpinnya binasa, sisa-sisa
tengkorak darah berusaha menghilang dari tempat itu, namun dengan cepat Mei Lie
dan Ki Gendut Kluntung
menghalangi mereka.
"Mau lari ke mana siluman!" bentak Mei Lie.
"Heaaa!"
Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung segera menye-
rang sisa-sisa tengkorak darah dengan cepat Pedang
Bidadari di tangannya bergerak cepat, menyambar pa-
ra prajurit tengkorak darah.
Werrt! Crak, crak! Dahsyat sekali Pedang Bidadari di tangan Mei
Lie. Dalam sekali kelebatan, dua tengkorak darah ha-
rus binasa dan raib. Namun Mei Lie tak puas sampai
di situ dan membiarkan yang lainnya hidup. Tubuhnya
kembali bergerak, membantu Ki Gendut Kluntung
menghabisi empat tengkorak darah yang masih hidup.
"Yea!"
"Yea!"
Crak, crak! Pesss! Dalam satu gebrakan, keempat tengkorak da-
rah yang tersisa dibuat habis.
"Hua ha ha...! Akhirnya tikus-tikus sawah itu
habis! Hua ha ha! Kita telah main kucing-kucingan...!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil berjingrak, menyaksikan tengkorak
darah yang berjumlah puluhan itu kini telah hilang.
Wesss! Angin kencang menderu. Awan bergulung-
gulung di angkasa. Lidah petir menyala terang. Saat


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, terdengar suara menggema yang datangnya seperti dari langit
"Pendekar Gila! Kau benar-benar lancang, turut
campur urusanku! Awas, tunggulah pembalasanku!"
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Siluman Betina!
Nih kentutku untukmu! Pruttt..!" Pendekar Gila tertawa terpingkal-pingkal.
"Kurang ajar!" terdengar bentakan lagi
"Aha, kau justru kelebihan ajar! Kau telah lan-
cang mencampuri urusan manusia! Hua ha ha...!" Se-na terus bertingkah konyol.
Berjingkrak-jingkrak laksana monyet "Keluarlah kau! Seperti apa sih muka-mu..."
Tentunya seperti cecurut!"
"Kali ini kau belum kuhajar, Pendekar Gila!
Tunggu pembalasanku nanti!"
"Aha, katakanlah di mana jalan menuju ke
tempatmu! Aku jadi ingin melihat tampangmu yang
seperti tikus sawah. Hua ha ha...!"
"Bedebah! Kulumatkan tubuhmu, Pendekar Gi-
la! Heaaa...!"
Hawa panas sekali menyelimuti tempat itu,
menjadikan ketiganya bagai dipanggang oleh api yang
membara. "Aha, kau ingin mengajak main-main dengan-
ku. Baik, kita main-main!" seru Pendekar Gila, "Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung,
menyingkirlah agak jauh."
Setelah Mei Lie dan Ki Gendut Kluntung me-
nyingkir, Pendekar Gila segera mengerahkan ajian 'Inti Brahma'. Tangannya
disatukan di depan dada, kemudian digosokkan dengan keras. Setelah itu, telapak
tangannya dibuka dan dihantamkan ke arah datang-
nya hawa panas itu.
"Inti Brahma'. Heaaa...!"
Inti api melesat dari tangan Pendekar Gila yang
kini sarat dengan api ke arah hawa panas. Kemudian
dalam jarak sepuluh batang tombak, inti api menghan-
tam sesuatu dan menimbulkan ledakan menggelegar.
Jlegarrr! 'Tobat! Ibu...!" terdengar seruan kepanasan.
Namun ujud dari sosok itu tidak juga nampak.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
berjingkrak, kemudian kembali menghampiri Mei Lie
dan Ki Gendut Kluntung.
'Tuan Pendekar, kami mengharap Tuan sudi
singgah ke istana. Baginda sangat memerlukan sekali pertolongan Tuan," pinta Ki
Gendut Kluntung.
Sena memandang Mei Lie yang mengangguk.
"Baiklah."
Ketiganya pun melangkah meninggalkan tem-
pat yang dekat dengan pekuburan, menuju kerajaan
yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.
*** 9 Pagi tampak mendung. Langit dihampar bergu-
lung-gulung awan pekat. Menutupi mentari hingga si-
narnya tidak berdaya. Suasana Kerajaan Bumi Wandra
semakin kelam. Hilangnya putra mahkota, membuat
Raja Brah Salagatri berduka.
Pagi ini, Raja Brah Salagatri duduk di singga-
sana dengan wajah murung. Roman mukanya menun-
jukkan kesedihan.
Di hadapannya, duduk bersila Pendekar Gila,
Mel Lie, Ki Gendut Kluntung, Ki Gede Mantingan, dan
beberapa pendekar lainnya. Patih Rangga Wuni juga
hadir. "Saudara-saudara sekalian. Korban telah banyak berjatuhan. Tapi sampai
sekarang kita belum ta-
hu siapa sebenarnya dalang dari semua kejadian ini,"
tutur Raja Brah Salagatri dengan suara berbeban.
Semua yang hadir di tempat itu diam, termasuk
Pendekar Gila yang biasanya bertingkah aneh.
"Saudaraku sekalian. Dengan tangan terbuka,
kumohon pendapat kalian. Katakanlah, apa yang ha-
rus kuperbuat" Untuk kedamaian dan kesejahteraan
rakyatku yang kucintai, aku siap berkorban. Bahkan
bila perlu, nyawaku sebagai taruhannya."
Semua tergugu mendengar penuturan baginda
raja yang teramat menyentuh perasaan masing-
masing. "Ayo, katakanlah.... Apa yang seharusnya kulakukan?" ulang Baginda Raja
Brah Salagatri mengharap.
Ki Gede Mantingan menyembah.
"Katakanlah, Ki Gede."
"Ampun, Baginda Yang Mulia. Jika apa yang
akan hamba sampaikan salah, sudi kiranya Baginda
memaafkannya."
'Tak apa. Katakanlah."
Sesaat Ki Gede Mantingan menghela napas.
Kemudian setelah menyembah lagi, Ki Gede Mantingan
pun menuturkan apa yang telah dia lakukan selama
ini. "Semalam hamba mendapatkan wangsit, Ba-
ginda." "Wangsit apa, Ki Gede" Katakanlah," pinta Baginda Raja Brah Salagatri:
Ki Gede Mantingan menelan ludah. Sepertinya
dia agak berat untuk menceritakan hal yang dilihatnya dalam wangsitnya. Namun
setelah berpikir bahwa semua itu untuk kepentingan rakyat, akhirnya Ki Gede
Mantingan bertutur juga.
'Ketika hamba tengah bersemadi, tiba-tiba
hamba didatangi oleh leluhur hamba. Hamba bertanya,
apa yang sebenarnya terjadi di Kerajaan Bumi Wandra
ini..." Leluhur hamba pun memberikan gambaran."
Ki Gede Mantingan pun menceritakan apa yang
digambarkan oleh leluhurnya.
"Tiga puluh tahun yang silam, hiduplah seo-
rang kembang desa yang sangat cantik jelita bernama
Rubiati. Kecantikan Rubiati membuat semua lelaki in-
gin sekali meminangnya. Namun semuanya ditolak,
karena tidak ada yang cocok di hati gadis itu."
Tersentak semua orang yang ada di situ terma-
suk Sena, Mei Lie, Raja Brah Salagatri sendiri. Terlebih Sena dan Mei Lie yang
tidak menyangka kalau Raja
Brah Salagatri ada sangkut pautnya dengan masalah
tengkorak darah. Keduanya saling pandang, kemudian
menatap Raja Brah Salagatri yang hanya tertunduk
dalam-dalam. "Rubiati akhirnya jatuh cinta dan menaruh ha-
rapan pada seorang pemuda tampan putra mahkota
yang bernama Brah Salagatri. Keduanya saling men-
cintai dan berjanji sehidup semati. Hubungan kedua-
nya terus berjalan dengan penuh kasih dan sayang.
Sampai suatu ketika, Rubiati hamil. Sejak kehamilan-
nya itu sang Kekasih yang sudah berjanji akan meni-
kahinya tak pernah muncul-muncul"
"Perut Rubiati semakin membesar. Karena ma-
lu, dia pun nekat bunuh diri di Telaga Panca Warna.
Namun rupanya bangsa siluman yang menghuni telaga
itu menerima sumpahnya. Karena sebelum bunuh diri
Rubiati sempat bersumpah, dia ingin tetap hidup un-
tuk membalas sakit hatinya. Dia tidak sudi mati dan
menghentikan teror jika belum bisa bersama Brah Sa-
lagatri. Sumpah Rubiati diterima oleh Raja Siluman
Tengkorak Darah. Ketika dia ditelan Telaga Panca
Warna, tubuhnya diterima oleh Raja Siluman Tengko-
rak Darah. Kemudian dibawa ke kerajaan siluman itu."
"Rubiati yang sudah berikrar akan menuntut
balas akhirnya menerima lamaran Raja Siluman Teng-
korak Darah. Dengan bantuan ilmu Siluman Tengko-
rak Darah, bayi Rubiati yang sudah sekarat bisa dihi-dupkan kembali. Hari demi
hari, Rubiati dididik oleh Raja Siluman Tengkorak Darah. Berbagai ilmu
diturunkan olehnya. Baik ilmu ketatanegaraan maupun
ilmu kesaktian. Semuanya diturunkan oleh Raja Silu-
man Tengkorak Darah pada Rubiati."
"Nampaknya ilmu Raja Siluman Tengkorak Da-
rah merupakan nyawa bagi dirinya. Setelah ilmunya
diturunkan pada Rubiati, Raja Siluman Tengkorak Da-
rah pun mangkat, berubah menjadi serakan tulang be-
lulang. Sejak saat itu, Rubiati mengambil alih kepe-
mimpinan. Anaknya diangkat sebagai ratu pajangan,
ratu yang hanya memerintah atas persetujuan ibun-
danya. Sedangkan kekuasaan mutlak sebenarnya ada
di tangan Rubiati. Rubiati hanya menurunkan ilmu-
ilmu tertentu pada anaknya. Kalau semua diturunkan,
dirinya akan mengalami hal seperti Raja Siluman
Tengkorak Darah dan terbuang dari alamnya."
"Jadi semuanya berada di tangan Rubiati. Di-
alah yang berkuasa atas kerajaan siluman itu."
"Begitulah apa yang hamba dapatkan dari
wangsit itu, Baginda," kata Ki Gede Mantingan mengakhiri ceritanya.
Baginda Raja Brah Salagatri sesaat terdiam. In-
gatannya seketika melayang pada kejadian tiga puluh
tahun yang silam. Saat dirinya masih muda dan se-
dang bersemarak cinta kasih di hatinya. Ingatan akan Rubiati kembali menyeruak.
Tanpa terasa, air mata Baginda Raja Brah Sala-
gatri meleleh. Lalu dengan terisak baginda bersabda,
"Apa yang kau ceritakan memang benar, Ki Gede. Memang aku yang salah. O, sungguh
nista diriku ini."
Semua terdiam, tak ada yang berani membuka
kata. Begitu pula dengan Sena dan Ki Gede Mantingan
Semua turut terhanyut oleh perasaan sedih yang di-
alami Baginda Raja Brah Salagatri.
"Ki Gede, aku memang pernah mengucapkan
sumpah sehidup semati dengannya. Oh, kini aku baru
sadar, kalau semua adalah karena kesalahanku."
Semua masih terdiam, tak ada yang berani
membuka kata. "Kini saatnya aku harus menepati janji. Ki Gede Mantingan, apakah kau tahu jalan
menuju ke alam siluman?" tanya Raja Brah Salagatri.
"Ampun, Baginda. Hendak apa Baginda mena-
nyakan jalan ke alam siluman?" tanya Ki Gede Mantingan, belum mengerti.
"Aku hendak ke sana. Menepati janji, sekaligus
meminta agar dia menghentikan semuanya," jawab Baginda Raja Brah Salagatri.
"Apa tidak sebaiknya Baginda mengutus seseo-
rang?" "Tidak, Ki Gede. Aku hanya minta dikawal olehmu, Pendekar Gila dan Nona
Mie Lie. Kalau memang aku tak dapat kembali ke dunia, kalianlah yang
akan mengabarkannya pada rakyat"
Semua menghela napas panjang mendengar
penuturan dan tekad bulat Baginda Raja Brah Salaga-
tri. Mereka sama-sama trenyuh mengetahui raja mere-
ka begitu arif dan bijaksana. Untuk kepentingan ra-
kyat, dia rela mengorbankan jiwa dan raga.
"Kalau memang itu sudah menjadi keputusan
padaku, maka hamba tak dapat menentang. Nanti
sore, ketika matahari hendak tenggelam, kita akan ke sana," ucap Ki Gede.
"Baiklah kalau begitu," jawab sang Raja pasti.
*** Sore yang ditunggu datang. Empat orang tam-
pak berjalan menelusuri Hutan Gandra Siluman, di
mana Telaga Panca Warna berada. Keempat orang ter-
sebut adalah Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede
Mantingan, Sena, Mei Lie. Mereka terus melangkah
menelusuri hutan yang terkenal angker. Namun mere-
ka bagai tak peduli dengan suara-suara yang berisik
dan mendirikan bulu kuduk mereka.
Suasana ke dalam semakin gelap. Mei Lie sege-
ra mencabut Pedang Bidadarinya. Seketika suasana di
dalam hutan itu berubah menjadi terang benderang.
Hal itu membuat langkah mereka agak lancar.
Tidak lama kemudian, keempatnya telah sam-
pai di telaga yang mereka tuju. Seperti namanya, air telaga itu memiliki lima
warna yang tak berubah. Kuning, merah, hijau, dan putih. Sangat indah sekali
pemandangan di telaga itu.
Ki Gede Mantingan berdiri dengan kepala agak
mendongak. Kedua tangannya saling menyatu. Mulut-
nya membaca mantra-mantra.
Tiba-tiba air telaga bergemuruh riuh, bagai
mendidih. Bersamaan dengan itu, dari dalam telaga
muncul seekor ikan besar bermata emas.
"Apa yang kalian inginkan sehingga memang-
gilku?" tanya ikan itu, sebagaimana layaknya manusia bercakap-cakap. Hal itu
tentu saja menyentakkan Se-na dan Mei Lie. Sena hampir tertawa ngakak, menyak-
sikan keanehan ikan besar itu. Beruntung dia dapat
menahannya, setelah ingat kalau mereka tengah mela-
kukan upacara gaib.
Baginda Raja Brah Salagatri, Ki Gede Mantin-
gan, Pendekar Gila, dan Mei Lie telah berada di tepi Telaga Panca Warna. Satu
telaga yang sangat indah. Ki Gede Mantingan segera membaca mantra-mantra. Tiba-
tiba air telaga di depan mereka bergemuruh riuh. Dan bersamaan dengan itu, dari
dalam telaga muncul seekor ikan raksasa bermata emas!
"Ki Tawes, sengaja aku mengundangmu, karena
aku memerlukan pertolonganmu," mulai Ki Gede Mantingan. "Apa yang harus
kulakukan?" tanya ikan raksasa itu.
"Kami ingin ke Kerajaan Siluman Tengkorak
Darah." "Untuk apa?"
"Kami ingin bertemu dengan Ratu Tengkorak
Darah." Ikan raksasa itu sesaat terdiam, kemudian tubuhnya bergerak-gerak tanda
mengerti. "Baiklah. Masuklah kalian ke dalam mulutku,"
perintahnya, menyentakkan Sena, Mei Lie, dan Raja
Brah Salagatri.
"Masuklah. Ki Tawes adalah sahabat leluhur-
ku," ujar Ki Gede Mantingan.
Antara ikan tawes raksasa dengan Ki Gede
Mantingan seperti telah terjalin ikatan batin. Hal itu bermula dari guru Ki Gede
Mantingan bernama Ki
Gede Prasutra. Yang sakti mandra guna, gurunya me-
nolong Ki Tawes dari kematian akibat kekeringan air
yang disebabkan oleh peperangan antara Siluman
Tawes dengan Siluman Yuyu Ireng.
Ki Gede Prasutra yang melihat Ki Tawes sebagai
raja segala ikan dalam keadaan sekarat, segera meno-
longnya. Dimintanya hujan pada Sang Hyang Widi.
Rupanya doa Ki Gede Prasutra terkabul, hingga sela-
matlah Ki Tawes dari kematian.
Merasa ditolong dan diselamatkan oleh Ki Gede
Prasutra, Ki Tawes pun berjanji akan tetap menjalin
hubungan baik dengan pewaris dan keturunan Ki Gede


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prasutra. Malah Ki Tawes berjanji akan mengerahkan
seluruh tentaranya jika diminta bantuan oleh pewaris
ilmu Ki Gede Prasutra atau keturunannya.
Pendekar Gila, Mei Lie, Raja Brah Salagatri ser-
ta Ki Gede Mantingan akhirnya masuk ke dalam mulut
ikan raksasa itu. Ikan itu menutup mulutnya, kemu-
dian menyelam ke dalam Telaga Panca Warna.
Entah berapa lama mereka berada di dalam
mulut ikan raksasa yang dapat dimasuki oleh empat
orang. Mereka keluar ketika mulut ikan raksasa itu
membuka. "Kalian sudah sampai, keluarlah."
Keempatnya turun.
Kini mereka melihat sebuah istana megah ber-
diri di atas bukit Pintu gerbang istana itu bergambar tengkorak berwarna merah
darah. "Itulah Istana Tengkorak Darah," kata ikan raksasa itu.
"Terima kasih, Ki Tawes."
"Kapan kalian kembali?" tanya Ki Tawes. "Biar aku menunggu."
"Entahlah, Ki. Kalau tidak mengalami kesuli-
tan, mungkin lusa. Tapi kalau mengalami kesulitan,
aku tak tahu kapan dan apa kami akan tetap hidup,"
tutur Ki Gede Mantingan setengah mendesah.
"Kalau begitu, jika kalian ingin kembali panggil saja aku dengan menjentikkan
tangan kalian tiga kali."
"Terima kasih."
"Selamat berjuang."
Ikan raksasa itu kembali menyelam dan meng-
hilang dari pandangan mereka.
Mereka lalu melangkah menyelusuri jalan yang
terbuat dari emas dan intan menuju Istana Tengkorak
Darah. Sesampainya di pintu gerbang, mereka diha-
dang oleh dua prajurit tengkorak darah.
"Mau apa kalian kemari"!" tanya salah satu tengkorak, menyentakkan Sena maupun
Mei Lie. Ka- rena ketika bertempur, tengkorak darah tidak bisa bercakap-cakap seperti
manusia. Kenapa kini bisa berbi-
cara" Ki Gede Mantingan yang melihat kekagetan Se-
na dan Mei Lie dengan berbisik menjelaskan, "Kita berada di alam siluman. Itu
sebabnya kita tahu bahasa
mereka." "Aha, tolol sekali aku," gumam Sena, muncul kembali kekonyolannya.
"Kami hendak bertemu dengan Ibunda Ratu,"
jawab Ki Gede Mantingan.
Makhluk tengkorak darah memperhatikan me-
reka satu persatu. Setelah merasa yakin salah satu siluman itu berlalu
meninggalkan tempat itu.
"Tunggulah sebentar!" kata tengkorak darah yang masih berada di situ.
Tidak lama kemudian, dari dalam istana mun-
cul seorang wanita cantik berkebaya biru dengan ke-
rudung biru. Wanita cantik itu membelalakkan mata
dengan garang, ketika memandang Baginda Raja Brah
Salagatri. "Kau"! Untuk apa kau datang ke sini"! Belum
puaskah kau menyakiti aku ketika aku masih menjadi
manusia"!" bentaknya, membuat Baginda Raja Brah Salagatri tersentak. Dia sama
sekali tidak ingat dan tidak kenal siapa wanita muda dan cantik yang mem-
bentaknya, kalau saja wanita yang ternyata Rubiati itu tidak menghardiknya
begitu rupa. "Rubiati, kaukah itu?"
"Ya! Masih belum cukup puaskah kau menyik-
saku" Kini kau datang kembali dengan Pendekar Gila
dan Bidadari Pencabut Nyawa. Apa kau ingin meng-
hancurkan istanaku"! Membunuh semua prajurit-pra-
juritku"!"
Lidah Baginda Raja Brah Salagatri kelu dituduh
dengan cercaan begitu rupa. Dia kembali tak me-
nyangka, kalau Rubiati telah mengenal pemuda tam-
pan berpakaian rompi kulit ular yang bersamanya. Ju-
ga gadis Cina yang menyandang Pedang Bidadari di
punggungnya. "Nyi Dewi Rubiati," kata Ki Gede Mantingan menengahi suasana yang panas itu.
"Kedatangan kami kemari, semata-mata hanya mengantar Baginda untuk
meminta maaf padamu. Kami tidak bermaksud menye-
rang." "Lalu mengapa membawa Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa"!" tanya
Rubiati masih tak mau melemah.
"Aha, maafkan kami, Nyi Dewi. Bukan maksud
kami berlaku kurang ajar datang ke tempatmu. Seba-
gai seorang raja, patutlah bagi Baginda Raja untuk
mendapat pengawalan, bukan" Nah, itu sebabnya aku
dan Bidadari Pencabut Nyawa ke tempatmu."
"Huh...!" dengus Rubiati. Matanya memandang tajam pada Baginda Raja Brah
Salagatri. "Alam kita sudah berbeda jauh, Kakang. Kau begitu kejam dan
tega menelantarkan aku serta anakmu! Kini kau kem-
bali datang, membuat hatiku semakin teriris sakit"
"Diajeng, aku telah bersumpah sehidup semati
denganmu. Kini aku datang untuk menepati sumpah-
ku. Aku ingin bersamamu, asalkan kau mau menghen-
tikan semuanya. Kau mau menghentikan tindakanmu
yang banyak menjatuhkan korban," mohon Baginda
Raja Brah Salagatri.
"Benarkah kau ingin bersamaku, Kakang"!"
"Ya!"
"O, aku gembira sekali, Kakang. Mari, masuk-
lah dulu," ajak Rubiati.
Keempat manusia itu pun menurut masuk ke
pelataran istana. Kemudian mereka pun masuk ke da-
lam istana yang sangat megah dan bagus. Di sana sini terpasang hiasan dan emas,
intan, dan mutiara yang
gemerlapan. "Silakan duduk. Sebentar...," kata Rubiati sambil berlalu meninggalkan tamu-
tamu. Dari dalam, muncul seorang gadis berpakaian
sangat minim yang cantik jelita. Saking minimnya pa-
kaian yang dikenakan gadis itu, sampai hanya kema-
luan dan buah dadanya saja yang tertutup. Sedangkan
yang lainnya dibiarkan terbuka.
"Anakku...!" seru Raja Brah Salagatri melihat gadis cantik itu.
"Ha ha ha...! Kau mengaku ayahku" Hua ha
ha...! Aku tak punya Ayah sepertimu! Ayah yang tidak bertanggung jawab! Selama
hidupku, aku hanya dibe-sarkan oleh ibu dan eyang," dengus Resmi Sekar Wanti
"Tapi, kau anakku. Kau darah dagingku, Anak-
ku," kata Raja Brah Salagatri.
"Ha ha ha...! Aku tak butuh Ayah. Aku hanya
butuh pemuda rambut gondrong itu. Cah Bagus, ikut-
lah aku," rayu Resmi Wanti atau Ratu Siluman Tengkorak Darah. Matanya mengerling
manja pada Sena
yang seketika terpengaruh.
Perlahan-lahan Sena bangun dari duduknya,
melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti yang terse-
nyum manja sambil melenggak-lenggokkan tubuhnya
dengan lemah gemulai. Dan rupanya lenggak-lenggok
tubuhnya itu membuat Sena terperangah. Dari lenggo-
kan tubuhnya, keluar aroma wanita yang merangsang
hidung. "Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie berusaha me-nyadarkan Sena dari
pengaruh sihir yang keluar dari
tubuh Resmi Sekar Wanti. Namun tampaknya Sena
benar-benar tak menggubris seruan Mei Lie. Kakinya
terus melangkah mendekati Resmi Sekar Wanti.
"Ayo, Cah Bagus. Bukankah kau menginginkan
kehangatan?" kata Resmi Sekar Wanti.
"Sena, sadarlah!" seru Ki Gede Mantingan me-nyadarkan Sena.
"Kakang Sena, sadarlah! Bedebah! Kau benar-
benar iblis!" Mei Lie tak dapat lagi menahan amarahnya. Dicabutnya Pedang
Bidadari dari warangkanya.
Srettt! Bukan hanya Mei Lie, Ki Gede Mantingan pun
bangkit dari duduknya. Dia segera mengeluarkan sen-
jata berupa tasbih.
"Celaka, Baginda. Kita telah masuk perangkap.
Tak ada yang bisa berbuat untuk menolong Sena. Li-
hat, semua prajurit tengkorak darah telah mengepung
kita," ucapnya setelah menyadari keadaan sekeliling mereka.
Mata Raja Brah Salagatri membelalak, menyak-
sikan pasukan prajurit tengkorak darah telah menge-
pung mereka. "Bangsat! Penipu...!" maki Raja Brah Salagatri marah. "Hua ha ha...!" Memakilah
sepuas kalian, sebelum kalian mampus di Istana Tengkorak Darah!" terdengar suara
Rubiati. "Celaka! Kita telah terjebak!" seru Mei Lie. Dadanya turun naik, menandakan
amarahnya meluap-
luap "Kubunuh kalian! Heaaa...!"
Dengan Pedang Bidadari yang disertai jurus
'Pedang Tebasan Batin', Mei Lie yang sudah kalap se-
gera melesat menyerang prajurit tengkorak darah. Pe-
dangnya bergerak cepat, membabat barisan lawan.
Menyaksikan Mei Lie telah menyerang dan pra-
jurit tengkorak darah merangsek. Ki Gede Mantingan
dan Raja Brah Salagatri tak tinggal diam. Keduanya
segera membantu Mei Lie, menyerang ke arah pra-
jurit-prajurit tengkorak darah.
"Kakang Sena, sadarlah...!" teriak Mei Lie sambil terus bergerak merangsek para
lawan yang berusa-
ha menghalangi langkahnya mengejar Sena ke dalam
kamar, di bawah pengaruh Resmi Sekar Wanti. Ama-
rah dan rasa cemburu beraduk menjadi satu di dada
Bidadari Pencabut Nyawa. Itu sebabnya dia mengamuk
bagai banteng terluka. Kelebatan pedangnya membuat
prajurit-prajurit tengkorak darah banyak yang mati.
Pertempuran tiga pendekar melawan ratusan
prajurit tengkorak darah itu berlangsung seru. Keti-
ganya terus berusaha membabat habis barisan lawan
yang berusaha menyerang.
Mei Lie dengan Pedang Bidadarinya semakin
mengamuk membabi-buta. Pedang Bidadari di tangan-
nya bergerak cepat, membabat lawan-lawannya yang
bermaksud menghalangi langkahnya mengejar Pende-
kar Gila. Satu persatu prajurit yang bermaksud mengha-
langinya dapat dibantai. Dan setapak demi setapak,
tubuhnya dapat terus maju menuju kamar Resmi Se-
kar Wanti. Mei Lie segera melesat masuk ke dalam
kamar itu, mendobrak pintu kamar tempat Pendekar
Gila dan Resmi Sekar Wanti berada.
Brakkk! "Iblis! Kubunuh kau! Heaaa...!" Mei Lie yang sudah mata gelap langsung melabrak
Resmi Sekar Wanti yang tengah memeluk Pendekar Gila.
"Kakang, wanita itu hendak membunuhku! Bu-
nuh dia...!" perintah Resmi Sekar Wanti pada Sena.
Sena membalikkan tubuh dan langsung meng-
hadang Mei Lie yang tersentak kaget, menyaksikan ke-
kasihnya kini bagai kerbau dungu yang mau diperin-
tah. "Kakang Sena, aku Mei Lie! Sadarlah, Kakang!"
"Bunuh dia, Kakang! Dialah yang hendak
membunuhku!" sangkal Resmi Sekar Wanti tak kalah kerasnya.
Sena benar-benar bagai kehilangan akal. Lang-
sung diserangnya Mei Lie. Hal itu jelas mempengaruhi Mei Lie. Gerakannya jadi
canggung. Pedang Bidadari di tangannya hanya dipegang, tidak digunakannya.
"Kakang, aku Mei Lie! Ingatlah...!" seru Mei Lie sambil terus berusaha
mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Kini tubuh Mei Lie melesat
ke belakang, keluar dari kamar itu.
"Kakang, sudah! Bukankah kita hendak me-
nikmati keindahan ini?" ajak Resmi Sekar Wanti. "Tu-tuplah pintunya, Kakang."
Sena menurut menutup pintu. Kemudian den-
gan tenang dia melangkah mendekati Resmi Sekar
Wanti. "Ayolah cah bagus," rayu Resmi Sekar Wanti manja. Sena benar-benar telah
lupa segalanya. Kakinya melangkah ke arah Resmi Sekar Wanti yang ten-
gah berbaring dengan tubuh polos. Namun ketika
langkahnya hampir tiba di tempat tidur, tiba-tiba dari mata naga di pangkal
Suling Naga Sakti, melesat sinar putih ke mata Sena.
Crettt! Sena tersentak, dia bagai baru tersadar dari
mimpinya. Matanya membelalak garang. Napasnya
mendengus penuh amarah, karena merasa telah di-
permainkan. "Kakang, sadarlah!" seru Mei Lie dari luar.
"Kenapa, Cah Bagus! Ayolah!" ajak Resmi Sekar Wanti dengan suara manja, tanpa
menyadari kalau
pengaruh sihirnya telah sirna dari diri Sena.
"Kurang ajar! Rupanya kau benar-benar iblis!
Heaaa...!" Sena yang marah karena merasa dipermainkan dengan garang menyerang.
Hal itu menyentakkan
Resmi Sekar Wanti. Ratu Siluman Tengkorak Darah
segera berkelit ke samping.
"Rupanya kau pun ingin mampus, Pendekar Gi-
la! Heaaa...!" lengkingnya murka.
Resmi Sekar Wanti balas menyerang. Dia tidak
lagi menghiraukan keadaannya yang tidak tertutup
sehelai benang pun. Diserangnya Pendekar Gila den-
gan jurus-jurus maut.
Sena segera mengelak, kemudian dengan cepat
dia mencabut Suling Naga Saktinya. Diserangnya
Resmi Sekar Wanti dengan Suling Naga Sakti. Hal itu
menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Darah tersentak
kaget, menyaksikan senjata keramat itu telah berada
di tangan Sena.
"Ibu, tolooong...!"
Ratu Siluman Tengkorak Darah lari keluar, be-
rusaha meminta tolong ibunya. Namun di luar Mei Lie
telah menghadangnya. Resmi Sekar Wanti semakin ka-
lang kabut, ketika melihat Pedang Bidadari berkeredep di tangan Mei Lie.
"Kubunuh kau iblis! Heaaa...!"
Mei Lie yang dirasuki cemburu atas perbuatan
Resmi Sekar Wanti, kini tidak sungkan-sungkan lagi
menyerang dengan jurus 'Pedang Tebasan Batin'nya.
Pedang Bidadari menderu keras ke tubuh Resmi Sekar
Wanti. Wettt! "Uts! Celaka!" pekik Resmi Sekar Wanti sambil mengelak, kemudian melompat


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat
itu. "Mau lari ke mana, Iblis!" bentak Mei Lie berusaha mengejar. Namun, tiba-tiba
langkahnya terhenti, ketika dari tempatnya menghilangnya Resmi Sekar
Wantai muncul sesosok mayat hidup berbau busuk.
Mayat hidup itu langsung menyerang Mei Lie.
"Grrr! Kubunuh kau!"
"Uts! Heaaa...!"
Setelah mengelitkan serangan mayat hidup, Mei
Lie segera menebaskan Pedang Bidadarinya ke tubuh
mayat hidup dengan jurus inti 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa!"
Wettt! Crasss! Lebur seketika tubuh mayat hidup itu terkena
babatan pedang Bidadari di tangan Mei Lie.
Dari dalam kamar, Pendekar Gila yang juga su-
dah marah keluar. Melihat tubuh Mei Lie mengejar,
Pendekar Gila mengikutinya. Kedua pendekar muda
itu kini mengejar ibu dan anak yang berusaha mening-
galkan istana. "Mei Lie, Sena, tunggu...!" seru Ki Gede Mantingan sambil turut mengejar.
Bersamaan dengan tubuh
Ki Gede Mantingan melompat, bangunan Istana Teng-
korak Darah seketika meledak. Tubuh para prajurit
tengkorak darah dan Baginda Raja Brah Salagatri tu-
rut tertimbun. Sementara itu, dua wanita siluman terus berlari
ke arah Telaga Panca Warna. Pendekar Gila, Mei Lie,
dan Ki Gede Mantingan mengejar di belakang.
"Mau lari ke mana kalian, Iblis! Terimalah ke-
matian kalian! Heaaa...!" Sena segera meniup Suling Naga Saktinya, kemudian
mengerahkan kepala naga di
pangkal suling ke arah kedua siluman yang tengah
berlari. Suara suling melengking. Bersamaan dengan
itu, dari mata naga melesat dua larik sinar merah
membara ke arah tubuh kedua siluman itu.
Croot! Jrattt! "Tobaaat..!" Rubiati memekik keras, tubuhnya meleleh bagai lilin terbakar.
Mendapatkan ibunya mati, Resmi Sekar Wanti
menjadi kalap. Dengan menggeram, kini ujudnya be-
rubah menjadi sosok menyeramkan. Sosok tengkorak
darah. "Grrr! Kubunuh kalian! Grrr...!"
Melihat lawan menyerang, Mei Lie segera berke-
lebat memapak dengan Pedang Bidadarinya dengan ju-
rus 'Pedang Tebasan Batin' Mei Lie membabatkan pe-
dangnya ke tengkorak darah jelmaan Resmi Sekar
Wanti. "Heaaa!"
Wettt! Crasss! "Tobaaat..!" tulang belulang tengkorak itu run-tuh terkena sabetan Pedang
Bidadari. Sesaat terlihat serakan tulang itu utuh. Namun setelah angin bertiup,
tulang belulang itu bertaburan menjadi serpihan halus.
Jlegarrr! Ledakan maha dahsyat menggelegar, melontar-
kan tubuh ketiganya. Ketiga pendekar itu tak ingat
apa-apa lagi. Setelah membuka mata, ketiganya tahu-
tahu berada di tepi Telaga Panca Warna. Hari telah
menjelang pagi. Di dalam telaga, Ki Tawes masih me-
nemani. "Untunglah kalian selamat. Kalian kini telah
kembali ke alam manusia. Alam nyata," kata Ki Tawes.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki," hatur Ki Gede Mantingan.
"Ah, lupakanlah. Antara leluhurmu dan lelu-
hurku telah terjadi ikatan persaudaraan. Sayang, ba-
ginda tak dapat diselamatkan."
"Semoga semuanya berakhir," gumam Mei Lie.
"Terima kasih kuucapkan padamu, Ki. Semoga
kita dapat dipertemukan lagi," kata Sena. Kemudian ketiganya meninggalkan Telaga
Panca Warna. "Semoga kalian senantiasa dalam lindungan
Sang Hyang Widi!" seru Ki Tawes di kejauhan, melepas kepergian mereka.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
berjingkrak-jingkrak seperti kera, menikmati suatu
kemenangan atas keangkaramurkaan. Sedangkan ma-
ta Mei Lie melotot, sedetik kemudian mereka tertawa
ceria, sebagaimana nyanyian riang burung-burung
menyambut datangnya pagi dalam tata warna semesta.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Rahasia Kunci Wasiat 7 Pendekar Seribu Diri Karya Aone Memburu Manusia Harimau 2
^