Pencarian

Tengkorak Darah 2

Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah Bagian 2


berusaha mengingat-ingat setiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh pa-ra
korban penculikan.
"Kami rasa tidak," sahut Ki Lurah Jaran Lanang, akhirnya.
"Anehnya, yang diculik lelaki tampan dan ga-
gah," sambung Pabean.
"Hm, aneh. Untuk apa mereka itu?" gumam Mei Lie sambil memasukkan pedang kembali
ke dalam warangkanya. Suasana di tempat itu seketika gelap kem-
bali. Warga desa baru tersentak kaget, setelah tahu kalau yang membuat suasana
di tempat itu menjadi
terang ternyata sebilah pedang. Mata mereka membe-
lalak, mulut mereka berdecak kagum. Tak henti-hen-
tinya mereka memandang wajah Mei Lie, lalu bergan-
tian ke Pendekar Gila yang masih acuh sambil cen-
gengesan. "Ki dan Nisanak. Kalau boleh kami tahu, siapa-
kah kalian" Bagaimanapun juga, kalian telah meno-
longku," kata Ki Lurah Jaran Lanang.
Belum juga Sena dan Mei Lie menjawab, Pa-
bean telah mendahului.
"Mereka adalah Pendekar Gila dan Bidadari
Pencabut Nyawa."
Semuanya tersentak mendengar nama yang ba-
ru saja disebutkan Pabean. Mereka memang sering
mendengar nama keduanya, tapi baru kali ini mereka
melihat orangnya.
"O, terimalah salah hormat kami," hatur Ki Lurah Jaran Lanang sambil menjura
hormat. "Ah, sudahlah. Tak perlu dipersoalkan. Kini kita harus memikirkan bagaimana kita
dapat menemukan
tempat siluman itu. Biasanya ada seseorang yang
mengundang para siluman untuk membuat kerusu-
han," tutur Sena, mengembalikan pembicaraan.
Semuanya membisu, tak seorang pun dapat
memecahkan masalah yang diajukan Sena. Mereka ti-
dak tahu dari mana siluman tengkorak menyeramkan
itu berasal. "Bagaimana kalau kita mencarinya di sekeliling
desa?" usul Mei Lie menyerahkan.
"Setuju saja! Tapi, apa mungkin mereka berada
di sekitar desa ini?" tanya Ki Lurah Jaran Lanang, agak ragu.
"Mengenai itu, aku tak tahu. Yang pasti, kita
harus berusaha mencari," tukas Mei Lie.
"Aha, benar juga pendapatmu, Mei Lie. Nah,
bagaimana?" sambung Pendekar Gila.
"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berusa-
ha mencari," tambah Pabean.
"Aha, tidakkah kita harus memakai obor"
Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.
Penduduk bergegas mencari obor. Setelah se-
mua keperluan yang diperlukan selesai, mereka pun
dipecah menjadi empat kelompok. Satu ke utara, satu
ke selatan, sedang yang lain ke barat dan ke timur.
Suasana di dua desa itu seketika terang benderang,
karena banyak obor yang menyala menerangi malam
yang semula gelap-gulita.
Tidak hanya obor, kentongan pun turut serta.
Bunyi kentongan terdengar sahut-menyahut. Suasana
kedua desa menjadi ramai.
Namun sampai seluruh desa itu mereka kelilin-
gi, tidak juga mereka temukan tanda-tanda yang men-
curigakan. Hal itu mengakibatkan semuanya terheran-
heran serta bingung, harus berbuat apa lagi agar dapat menemukan warga Desa Sela
Kapilu yang diculik.
"Tak ada. Hm, sulit sekali...," keluh Pabean.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kita seperti main petak umpet dengan para siluman,"
seloroh Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie menyapukan pandangannya ke sekelil-
ing tempat di mana mereka berada kini. Namun tidak
juga ditemukannya tanda-tanda yang mencurigakan.
Lalu mereka memutuskan untuk meneruskan penca-
rian di tempat lain. Namun belum juga Mei Lie, Sena
serta yang lain pergi, tiba-tiba terdengar suara ancaman seorang wanita yang
memenuhi udara.
"Ingat baik-baik Pendekar Gila dan kau Dewi
Pencabut Nyawa! Kalian telah ikut campur dalam uru-
san ini! Kalian akan mendapatkan balasannya! Tunggu
saja nanti! Kalian telah membunuh sepuluh anak bua-
hku!" Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, seperti tak takut sama sekali dengan
ancaman yang baru saja
didengarnya. Bahkan dengan suara lantang Sena balas
berkata.... "Ha ha ha...! Siluman jelek! Jangan kira aku takut menghadapimu! Ayo, keluarlah!
Biar ku jitak pan-
tatmu! Hua ha ha...!" Tubuh Sena berguncang-
guncang karena tawanya yang terpingkal-pingkal. Ke-
mudian dengan konyol Sena menunggingkan pantat-
nya sambil berseru, "Nih, kentut busukku! Pruttt...!"
Sena kembali tertawa terbahak-bahak seraya
melompat-lompat tak ubahnya seekor monyet. Hal itu
membuat semua penduduk yang berada di tempat itu
terbengong-bengong. Heran bercampur kagum atas
keberanian pemuda tersebut
"Kurang ajar! Tunggulah saatnya nanti, Pende-
kar Gila!" Kembali terdengar ancaman seorang wanita.
"Hua ha ha! Lucu sekali kau, Siluman! Seha-
rusnya aku yang mengancammu. Karena kau telah be-
rani melanggar ketentuan Sang Hyang Widi. Kau lebih
berani melanggar garis alam!" dengus Sena setelah itu tertawa tergelak-gelak
kembali. Dengan berjingkrak-jingkrak pantatnya ditunggingkan lagi. "Nih
kentutku. Pruttt..!"
Wesss! Tiba-tiba angin bertiup kencang laksana ser-
buan badai, menjadikan semua warga desa tersentak
kaget. Angin besar itu datang dari arah selatan.
"Aha, rupanya kau mau bercanda denganku,
Siluman Jelek"! Baik. Ayo kita main-main petak um-
pet!" Sena segera melangkah mundur. Tangannya bergerak memerintah semua warga
untuk tiarap. "Kalian mundurlah. Mei Lie, jaga mereka."
"Baik, Kakang."
Setelah warga mundur, Sena segera menyatu-
kan telapak tangannya di depan dada. Kemudian di-
angkatnya kedua telapak tangan ke atas, lalu digerakkan melebar ke samping.
Setelah menarik napas da-
lam-dalam, Sena membalas serangan angin topan yang
datang entah dari mana.
"'Inti Bayu'. Heaaa...!" dihembuskan tenaga dalamnya melalui kedua telapak
tangan. Saat itu, se-
rangkum angin besar menderu kencang laksana pra-
hara. Angin 'Inti Bayu' bergerak menerjang angin la-
wan. Wesss! Jlegar! Ledakan dahsyat seketika menggelegar, ketika
dua angin besar bertemu. Bahkan tanah tempat kedua
angin itu beradu, seketika berhamburan hingga mem-
bentuk sumur lebar.
Suasana kembali lagi, tak ada lagi ancaman
yang terdengar. Dan tidak juga hembusan angin meng-
gila. "Hm," gumam Sena tak jelas. Matanya kembali menyapu ke atas, "Kurasa,
malam ini dia sedikit kapok. Tapi penjagaan harus senantiasa ketat. Biar ba-
gaimana, siluman tak pernah puas."
"Apa yang kau sarankan, akan kami laksana-
kan," jawab Pabean.
Malam itu juga, beberapa penduduk berjaga-
jaga. Mereka tidak ingin kecolongan dengan kedatan-
gan siluman tengkorak darah ke desa mereka.
Malam semakin sepi, menyelimuti Desa Kara-
pan dan Desa Sela Kapilu. Membawa rasa dingin yang
menusuk tulang sungsum.
*** Sementara itu, di alam siluman yang tidak ter-
jangkau penglihatan manusia, Siluman Tengkorak Da-
rah tampak berlari-lari dengan bibir melelehkan darah.
Tangannya memegangi dada yang terasa direjam sejuta
duri. "Ukh...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah mengeluh, merasakan sakit di
dadanya akibat benturan
kekuatan tenaga dalamnya melawan Pendekar Gila.
Kakinya terus berlari, lalu masuk ke dalam istana yang dijaga dua pengawal
bermuka tengkorak. Keduanya
segera menjura hormat ketika dia melewati gerbang is-
tana. "Sri Ratu, apa yang terjadi?" tanya pengawal yang berdiri di sebelah kiri.
"Ukh, aku luka dalam," sahut Ratu Siluman
Tengkorak Darah sambil terus berlari masuk ke dalam
istana. "Cepat panggilkan ibu!" perintahnya pada kedua pengawal tadi.
"Sendika Sri Ratu," sahut kedua pengawal itu berbareng. Mereka bergegas mengayun
langkah ke bangunan di samping istana.
Tidak lama kemudian, kedua pengawal itu telah
kembali bersama seorang wanita berusia sekitar enam
puluh tahun. Namun kecantikan wanita itu masih
utuh. Kalau dilihat sepintas usianya masih sekitar dua puluh satu tahun. Dia
adalah ibu dari Ratu Siluman
Tengkorak Darah.
Wajah wanita berkebaya biru dengan rambut
disanggul itu tampak cemas, setelah mendengar penu-
turan kedua siluman tengkorak yang menjadi prajurit-
nya. Kaki wanita berparas cantik yang sangat jauh dibandingkan usia yang
sebenarnya itu, melangkah den-
gan terburu-buru ke istana.
Wanita itu langsung masuk ke dalam kamar
Ratu Siluman Tengkorak Darah. Wajahnya semakin
menampakkan kekhawatiran ketika menyaksikan
anaknya terbaring di ranjang.
"O, kenapa kau, Nak?"
"Aduh, Bu," keluh Ratu Siluman Tengkorak Darah sambil meringis memegangi dadanya
yang terasa sangat sakit. "Kau habis bertarung, Nak?" tanyanya pada gadis cantik jelita yang berpakaian
tipis dan minim.
Hanya buah dada dan kewanitaannya saja yang ditu-
tupi se-carik kain putih. Sedangkan bagian tubuh
lainnya hanya diselimuti oleh jubah berwarna merah
darah tembus pandang, sehingga lekuk tubuhnya yang
elok terlihat jelas. Lekuk tubuhnya sangat menggai-
rahkan bagi setiap lelaki yang melihat.
Gadis cantik itu mengangguk. Mulutnya masih
meringis-ringis, menahan rasa sakit
."Siapa yang melakukannya, Nak?" tanya sang Ibu semakin cemas berbalut amarah.
Matanya berkilat
penuh kegusaran. Tampaknya dia tidak senang atas
kekalahan anaknya.
"Pendekar Gila, Bu"
"Pendekar Gila?" Kening wanita berkebaya biru dengan kain warna coklat tua itu
mengerut. Sepertinya dia pernah mendengar nama yang baru saja disebutkan
anaknya. "Apakah yang kau maksud pemuda berpakaian rompi kulit ular?"
Gadis cantik yang menjadi ratu Siluman Teng-
korak Darah menganggukkan kepala membenarkan.
"Hm, kurang ajar! Dia memang penghalang sa-
tu-satunya bagi kita!" dengus wanita cantik yang sebenarnya berusia enam puluh
tahun itu. Tangannya
memijat dan mengurut sendi-sendi di tubuh sang
Anak, yang menjadikan Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah meringis. "Tahanlah sedikit, Nak."
"Auhhh...!" keluh Ratu Siluman Tengkorak Darah, merasakan rasa sakit yang tak
terkira. Asap mengepul dari dadanya yang luka. Kemudian lambat laun
rasa sakit itu menghilang.
"Nah, kini kau telah sembuh. Hati-hatilah, jan-
gan sampai kau bentrok dengannya lagi. Bila perlu,
rayulah dia. Jika dia menjadi suamimu, maka kau
akan menguasai dunia ini," tutur sang Ibu.
Ratu Siluman Tengkorak Darah tersenyum,
kemudian tubuhnya bangkit.
"Apakah aku boleh menikmati tawanan itu,
Bu?" Sang Ibu rupanya mengerti apa yang diinginkan
oleh anaknya. Dia menyadari, kalau sifat anaknya me-
rupakan titisan sifatnya. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa melarang kemauan
anak satu-satunya yang telah
dewasa. Tentunya birahi anaknya pun sama dengan
birahinya. Sang Ibu tersenyum mengangguk.
"Ambillah lima orang untukmu," katanya ke-
mudian. "Terima kasih, Bu."
Setelah ibunya berlalu, Ratu Siluman Tengko-
rak Darah memanggil prajuritnya.
"Hamba Kanjeng Ratu!"
"Bawa salah satu dari mereka kemari!" perintahnya. "Tapi, Kanjeng Ratu. Bukankah
itu milik Kanjeng Ibunda?" tanya prajurit berusaha mengingatkan.
"Jangan membantah! Ibunda telah mengizin-
kan!" bentak Ratu Siluman Tengkorak Darah dengan mata melotot, menjadikan kedua
prajurit tengkorak
darah menurut. Setelah menyembah, kedua prajurit
itu berlalu meninggalkan kamar ratunya.
Sang Ratu segera membaringkan kembali tu-
buhnya di atas kasur seputih bunga melati dengan
wangi cendana. Dari luar, masuk dua prajuritnya den-
gan membawa seorang lelaki tampan dan gagah yang
diculik oleh prajurit tengkorak darah.
Ratu Siluman Tengkorak Darah menggerakkan
kepala, mengusir kedua prajuritnya untuk pergi. Tan-
pa membantah, kedua prajurit bermuka tengkorak itu
meninggalkan kamar ratunya.
"Ayo Cah Bagus, mendekatlah," rayu Ratu Siluman Tengkorak Darah dengan suara
yang merang- sang. Lelaki muda yang tampan bertubuh setengah
telanjang itu, kini melangkah mendekat. Kemudian


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan buas, lelaki yang diculik dari Desa Sela Kapilu itu menggeluti tubuh Ratu
Siluman Tengkorak Darah.
"Hi hi hi...! Bagus! Teruskan...," rengek sang Ratu sambil mendesis-desis
merasakan kenikmatan
akibat gelutan dan lumatan lelaki muda itu. Matanya
memejam-mejam, napasnya tersengal-sengal.
Keduanya terus bergelut. Satu persatu pakaian
yang dikenakan mereka lepas. Sri Ratu menutup tirai
kelambu tempat tidurnya yang di sudut-sudutnya ter-
gantung tengkorak kepala lelaki.
Lama keduanya saling bergelut, sampai akhir-
nya terdengar jeritan kematian dari lelaki muda itu.
"Aaakh...!"
"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah tertawa puas. Dibukanya tirai
kelambu tempat tidurnya. Saat itu tampak sesuatu yang sangat mengerikan.
Tubuh lelaki gagah dan tampan itu, kini telah berubah menjadi sosok tulang
belulang. "Kini kau adalah abdi-ku! Kau harus menuruti semua perkataan ku."
Manusia tengkorak itu mengangguk, lalu be-
rangsur meninggalkan kamar.
"Hik hik hik...!" Ratu Siluman Tengkorak Darah tertawa melengking.
*** 5 Empat prajurit penjaga pintu gerbang malam
itu tengah melakukan tugas jaga. Seperti hari-hari biasanya, pintu gerbang
Istana Kerajaan Bumi Wandra
di-jaga ketat oleh empat orang prajurit.
Malam turun bersama udara dingin, sepertinya
malam ini cuaca tidak sebaik malam-malam lalu.
Meski setiap malam udara memang dingin, namun ma-
lam ini udara terasa sangat lain. Udara malam ini terasa sangat dingin, sampai
tubuh keempat prajurit jaga menggigil. Padahal mereka telah merokok kawung,
berusaha menghilangkan rasa dingin yang menusuk tu-
lang sum-sumnya.
"Hoaaahhh"!" salah seorang dari keempat prajurit itu menguap lebar, merasa
mengantuk. Selain
dingin suasana malam itu, juga membuat mata menja-
di be-rat "Ngantuk sekali aku...," keluhnya sambil menggeleng-gelengkan kepala,
berusaha mengusir rasa
kantuk yang menyerang matanya.
"Kerjamu memang molor, To," seloroh temannya yang bernama Dasir.
"Huh, enak saja kau ngomong, Sir. Tidak bi-
asanya aku ngantuk begini," keluh Broto tangannya mengucak-ngucak matanya agar
tidak mengantuk.
Namun matanya masih tetap saja seperti digelayuti sesuatu. "Iya ya. Aku juga
merasakan hal serupa," sela Rukino membela Broto. "Matamu juga ngantuk."
"Wah, payah kalau begini. Tidak ada kopi lagi,"
sambung Jalari.
"Iya, tak ada kopi lagi," tambah Dasir akhirnya, turut mengeluh.
Baru saja keempat penjaga pintu gerbang itu
selesai mengeluh, mata mereka yang semula agak
ngantuk tiba-tiba membelalak lebar, manakala dalam
jarak lima batang tombak di hadapan mereka terden-
gar tanah merekah.
Krak! Belum habis rasa kaget keempat prajurit jaga
itu, mereka kembali dikejutkan oleh munculnya bau
kemenyan dan wangi bunga kamboja.
"Heh, bau apa ini?" tanya Dasir dengan hidung kembang-kempis berusaha memastikan
bau yang baru diciumnya. "Bau kemenyan," desis Broto.
"Heh, bau bunga kamboja," sambung Jalari
dengan bulu kuduk meremang. Matanya tak berkedip
tegang, memandang ke arah suara tanah retak terden-
gar. Saat itu, dari rekahan tanah di hadapan mereka, membubung asap putih
kehitam-hitaman yang bergerak lamban seakan gerakannya hendak mengintai.
"Hai, asap apa itu"!" seru Broto.
Ketiga temannya memandang asap putih kehi-
tam-hitaman yang merayap naik di kegelapan. Kemu-
dian asap putih kehitam-hitaman itu, membentuk ujud
berwarna merah. Ujud itu semakin lama semakin nya-
ta. Mata keempat penjaga pintu gerbang membela-
lak dengan mulut menganga, tatkala menyaksikan so-
sok-sosok menyeramkan terbentuk dari asap putih ke-
hitam-hitaman itu. Tapi keempat prajurit yang men-
talnya sudah terlatih itu segera menyiapkan senjata
berupa tombak yang semula disenderkan di dinding
pintu gerbang. "Siapa kalian"!" bentak Dasir sambil mengarahkan mata tombak ke arah kawanan
siluman teng- korak darah yang kini melangkah maju mendekati me-
reka. "Kurang ajar! Ditanya bukannya menjawab!
Apakah kalian bisu, heh"!" bentak Jalari gusar.
"Ngik! Ngok! Nguk!"
Hanya suara itu yang terdengar dari mulut para
makhluk bermuka tengkorak. Hal itu semakin me-
mancing kemarahan keempat prajurit jaga.
"Rupanya kalian nekat! Jangan salahkan kami
kalau kalian kami bunuh!" ancam Rukino sambil men-
gajukan mata tombak ke arah gerombolan makhluk
ganjil tersebut. Tapi para makhluk bermuka tengkorak itu bagai tidak peduli
dengan ancaman mereka. Makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu malah semakin
maju mendekat, membuat mata keempat prajurit
mendadak membeliak tegang menyaksikan beberapa
wajah menyeramkan di hadapan mereka.
"Setaaan...!" pekik mereka berbarengan.
Mata mereka semakin melotot tegang. Tubuh
mereka gemetar ketakutan. Bulu kuduk mereka me-
remang hebat dengan tengkuk terasa dingin.
Belum juga keempat prajurit jaga itu sadar dari
rasa takutnya, tiba-tiba kawanan makhluk bermuka
tengkorak itu mengarahkan telapak tangannya pada
mereka. Dari telapak tangan makhluk-makhluk men-
gerikan itu, seketika keluar sinar biru yang melesat ke tubuh para prajurit
jaga. Jrottt! "Wuaaa...!"
Mulut keempat prajurit jaga itu memekik keras.
Tubuh mereka seketika gosong. Tubuh mereka meng-
gelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak
dengan nyawa melayang.
"Ngik! Ngok! Nguk!"
Pemimpin kawanan makhluk bermuka tengko-
rak melambaikan tangannya untuk memerintah anak
buahnya agar menerobos masuk.
Brakkk! Gerbang istana dilabrak. Pintu yang terbuat da-
ri kayu jati, hancur berantakan. Suara jebolnya pintu gerbang, seketika
menyentakkan prajurit jaga yang berada di pintu bagian dalam istana. Bergegas
mereka bangkit dari duduknya. Dengan sigap mereka raih sen-
jata. Lalu enam orang prajurit memburu ke arah da-
tangnya suara itu.
Mata mereka membalalak seketika, menyaksi-
kan sosok-sosok menyeramkan yang kini menghampiri
mereka. Keempat prajurit itu berusaha menghalangi
kesepuluh siluman tengkorak darah dengan menga-
rahkan mata tombak ke tubuh lawan. Namun kesepu-
luh makhluk bermuka tengkorak itu bagai tak takut.
Kaki mereka terus melangkah, setapak demi setapak.
"Berhenti!" bentak salah seorang prajurit
Kawanan siluman tengkorak darah tak peduli,
mereka terus saja merambah maju. Tentu saja keenam
prajurit itu menjadi kalap. Mereka menusukkan tom-
baknya ke dada lawan. Tapi....
Trak! "Hah"!"
Mulut mereka menganga, menyaksikan mata
tombak mereka patah menjadi dua. Seakan-akan mata
tombak mereka beradu dengan batu karang yang ko-
koh. "Berhenti!" bentak salah seorang prajurit Kawanan siluman tengkorak darah tak
peduli, mereka terus merambah maju. Keenam prajurit itu menjadi kalap. Mereka segera
menusukkan tombaknya....
Trak! "Hah..."!" Prajurit-prajurit itu terlongong bengong, menyaksikan mata tombak
mereka berpatahan!
Ketakutan seketika menjalari tubuh keenam
prajurit jaga itu, mendapatkan makhluk-makhluk
bermuka tengkorak yang berlumur darah tak mempan
tusukan tombak. Mereka hendak lari untuk memanggil
prajurit yang lain, tapi makhluk-makhluk menyeram-
kan itu telah mendahului mereka.
Makhluk-makhluk menyeramkan itu membuka
jari-jari tangannya yang hanya tulang belulang, kemudian mengarahkan telapak
tangannya yang juga hanya
berupa tulang ke arah keenam prajurit jaga. Dari telapak tangan mereka membersit
sinar biru yang meng-
hantam tubuh para prajurit jaga.
Crot! Desss! "Wuaaa...!" jerit kematian melengking dari mulut korban. Tubuh keenam prajurit
itu sesaat mere-
gang, lalu ambruk kehilangan nyawa.
Suasana istana kerajaan seketika menjadi
gempar karena semua prajurit dan penghuni kerajaan
lainnya terbangun mendengar jerit kematian keenam
prajurit tadi. "Tangkap mereka...!" seru Patih Rangga Wuni memerintah para prajuritnya untuk
menangkap makhluk-makhluk menyeramkan yang ganas. Lelaki ini
berbadan kekar dan bertelanjang dada. Rambutnya di-
gelung ke atas dengan ikat kepala terbuat dari emas, penampilannya tampak gagah.
Apalagi dengan kumis-
nya yang melintang. Dia langsung terkejut melihat
makhluk-makhluk yang baru kali ini dilihatnya selama hidup. Prajurit-prajurit
yang telah bersiaga penuh saat diperintah oleh sang Patih, seketika bergerak
mengepung kesepuluh kawanan siluman tengkorak darah.
"Tangkap mereka! Seraaang...!" kembali Patih Rangga Wuni berseru.
"Heaaa!"
"Cincang mereka!"
Para prajurit bergerak serentak untuk menang-
kap makhluk-makhluk menyeramkan itu. Senjata di
tangan mereka, berkelebat merangsek kawanan silu-
man tengkorak darah yang balas menyerang mereka.
"Nguik!"
Setiap gerakan tangan dan kaki makhluk-
makhluk tengkorak itu mendapatkan hasil. Nyawa pra-
jurit yang terdekat menjadi korban.
Brettt! "Wuaaa!"
Pertarungan sengit antara para prajurit kera-
jaan melawan makhluk-makhluk tengkorak darah itu
bergejolak seru. Beberapa prajurit berusaha menye-
rang dengan membabatkan pedang. Tapi apa yang ter-
jadi..." Trakkk!
Trakkk! Pedang di tangan para prajurit patah seperti
sebatang kayu kering tak mampu memenggal kepala
siluman tengkorak darah. Bahkan makhluk bermuka
tengkorak itu semakin ganas menyerang.
"Serang terus...!" perintah Patih Rangga Wuni berusaha memberi semangat para
prajuritnya. Tapi serangan para Prajurit Kerajaan Bumi Wandra yang ter-
kenal unggul dalam bertempur, kini bagai serbuan ge-
rombolan lalat menghadapi sepuluh siluman tengkorak
darah. Senjata mereka yang terkenal mampu memburu
nyawa, terpatah jika berbenturan dengan tangan atau
tubuh lawan. Menyaksikan hal itu, Pari Rangga Wuni segera
mencabut keris pusakanya. Kemudian dengan geram
tubuhnya melompat menerjang musuh. Ditusukkan
keris 'Ki Gimring'nya ke tubuh lawan. Namun kejadian aneh terjadi. Keris pusaka
'Ki Gimring' di tangan Patih Rangga Wuni kini menghujam terus di dada salah satu
siluman. Patih Rangga Wuni terperanjat kaget. Dia beru-
saha menarik keris pusakanya. Namun semakin keras
dia menarik, semakin kuat pula kerisnya tersedot.
"Celaka! Ilmu apa yang digunakan oleh mak-
hluk-makhluk ini?" gumam Patih Rangga Wuni dengan tegang. Segera dilepaskannya
keris pusaka itu. Tubuhnya bersalto ke belakang, kemudian dengan cepat
dia mengirimkan serangan dengan pukulan sakti
'Semburan Naga'.
"Heaaa!"
Wesss! Jledarrr! Satu siluman terkena ajian 'Semburan Naga'
yang dilontarkan Patih Rangga Wuni. Makhluk bermu-
ka tengkorak itu ambruk. Tubuhnya mengepulkan
asap, lalu menghilang tanpa bekas.
Menyaksikan salah satu temannya binasa, pe-
mimpin makhluk-makhluk bermuka tengkorak itu
mengeluarkan suara aneh. Terdengar seperti siulan,
namun melengking keras.
"Nguiiikkk...!"
Bersamaan dengan itu, bersemburan asap pu-
tih kehitam-hitaman dari dalam tanah. Kemudian
nampaklah ujud-ujud menyeramkan berupa siluman
tengkorak darah. Jumlah mereka semakin banyak,
membuat para prajurit kerepotan.
Patih Rangga Wuni yang menyaksikan jumlah
makhluk itu bertambah banyak segera menyerang
dengan pukulan-pukulan sakti 'Semburan Naga'. Den-
gan tubuh berkelebat kian kemari, tangan Patih Rang-
ga Wuni memuntahkan pukulan demi pukulan sak-
tinya. "Heaaa! Heaaa...!"
Jlegarrr! *** Meski banyak juga korban di pihak lawan sete-
lah Patih Rangga Wuni melancarkan serangan dengan


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Semburan Naga', namun tenaga dalamnya terkuras
juga. Hal itu jelas mempengaruhi penyerangannya. Tu-
buh Patih Rangga Wuni kini kelihatan agak lemah da-
lam menyerang. Makin jarang dia melakukan serangan
dengan ajian 'Semburan Naga'. Kini dia lebih sering
mengelakkan serangan-serangan lawan.
Pertarungan di halaman istana itu berjalan cu-
kup alot. Korban di kedua belah pihak telah berjatu-
han. Jumlah korban yang paling banyak diderita di pihak kerajaan. Korban di
pihak kerajaan empat kali lipat dari korban di pihak makhluk bermuka tengkorak.
Belum juga pertarungan benar-benar tuntas,
dari dalam istana terdengar jeritan anak raja yang
meminta tolong.
"Tolong...! Tolooong...!" jerit Dyah Ayu Sawang Sari, putri raja tersebut.
Patih Rangga Wuni yang sedang berusaha
menghalau lawan-lawannya, tentu saja terkejut. Tu-
buhnya melompat meninggalkan arena pertempuran,
lalu berkelebat masuk ke dalam istana. Dilihatnya se-
sosok makhluk bermuka tengkorak darah tengah
membopong tubuh seorang lelaki muda yang menjadi
suami Dyah Ayu Sawang Sari.
"Berhenti...!" bentak Patih Rangga Wuni.
Wesss! Siluman yang tertangkap basah segera melan-
carkan serangan dengan pukulan maut yang mengelu-
arkan sinar biru ke arah Patih Rangga Wuni.
"Hop! Yeaaa...!" Patih Rangga Wuni bersalto di udara, mengelakkan serangan
lawan. Sinar biru itu terus melesat, kemudian menghantam tiang penyangga
istana. Jlegarrr!
Krak! Bummm! Tiang itu kontan hancur, terhantam pukulan
maut yang dilontarkan makhluk berwajah tengkorak.
Hampir saja tiang itu mengenai tubuh Patih Rangga
Wuni, kalau tubuhnya tidak segera mencelat menge-
lak. Namun setelah Patih Rangga Wuni dapat mengua-
sai diri, matanya tidak melihat lagi makhluk yang
membawa tubuh suami Dyah Ayu Sawang Sari.
"Bedebah! Ke mana perginya makhluk jahanam
itu"!" umpat Patih Rangga Wuni marah. Tubuhnya segera mencelat keluar, namun di
luar tidak ditemukan-
nya gerombolan tengkorak darah lagi. Yang ada hanya
gelimpangan mayat prajurit kerajaan dan sisa-sisa prajurit yang mematung dalam
keadaan tertotok
"Kurang ajar!" maid Patih Rangga Wuni gusar, menyaksikan para prajuritnya banyak
yang gugur, termasuk beberapa senapati dan hulubalang. Tinggal
beberapa prajurit dan senapati yang masih hidup. Me-
reka pun dalam keadaan tak berdaya.
"Paman Patih, apa yang terjadi"!" tanya Raja Brah Salagatri dengan wajah cemas,
menyaksikan ba-
nyak sekali prajuritnya yang mati. Belum lagi dengan anaknya yang menangis
menyebut-nyebut nama suaminya. Ketika terjadi kejadian itu, sang Raja yang
bijaksana dan sangat arif dalam memimpin tengah terti-
dur di ruang dalam istana. Tepatnya berada di sebelah selatan alun-alun istana
tempat pertempuran berlangsung. Hingga tidak tahu kejadian yang meletus di sa-
na. Sang Raja yang saat itu sempat terjaga segera lari ke alun-alun, ketika
sayup-sayup didengarnya jeritan-jeritan kematian.
"Ampun, Baginda. Barusan saja terjadi perta-
rungan. Serombongan manusia tengkorak menyerbu,"
tutur Patih Rangga Wuni setelah menyembah.
"Manusia tengkorak"!" pekik Raja Brah Salagatri dengan mata membelalak.
"Benar, Baginda."
"Lalu apa yang terjadi?"
Patih Rangga Wuni menceritakan semua keja-
dian yang baru saja berlalu, tentang kerajaan yang
diserang gerombolan tengkorak darah. Tengkorak da-
rah itu kebal terhadap segala jenis senjata. Bahkan keris milik Patih Rangga
Wuni yang bernama 'Ki Gimring'
tak mampu mengalahkan mereka. Malah keris itu dite-
lan tubuh salah satu tengkorak darah.
"Begitulah ceritanya, Baginda. Mereka bukan
manusia biasa, mungkin juga siluman. Sebab hamba
rasa, tak mungkin manusia seperti itu dapat hidup."
Baginda Raja Brah Salagatri tercenung, benak-
nya berusaha mencerna cerita Rangga Wuni. Rasanya
cerita itu sangat aneh. Namun melihat korban dan
menilai kejujuran Patih Rangga Wuni, mau tidak mau
baginda raja harus mempercayai juga kata-katanya.
"Rama.... O, Kangmas Lingga diculik setan,"
isak Dyah Ayu, membuat Baginda Raja Brah Salagatri
semakin percaya pada cerita patihnya.
"Hm, bencana apa yang tengah melanda kera-
jaan?" gumam baginda raja lirih.
Mata baginda raja memandang mayat-mayat
prajuritnya. Tubuh mereka bergelimpangan dalam
keadaan yang mengenaskan, dikerubuti oleh binatang-
binatang berbisa. Sangat menjijikkan sekali!
"Kau yakin mereka bukan manusia, Paman Pa-
tih?" tanyanya, seakan ingin lebih yakin lagi.
"Ampun, Baginda. Hamba rasa mereka bukan
manusia. Seperti yang hamba katakan, mereka tengko-
rak hidup. Tubuh mereka hanya tulang belulang...,"
tutur Patih Rangga Wuni.
"Benar, Rama. Apa yang dikatakan oleh Paman
Patih Rangga Wuni memang benar," sambung Dyah
Ayu di sela isak tangisnya. "Mereka menyeramkan. Tubuh mereka hanya tulang
belulang belaka. Sangat me-
nakutkan, Rama. Dan mereka menculik Kangmas
Lingga." Raja Brah Salagatri termangu diam. Matanya memandang ngeri ke mayat-
mayat prajuritnya yang
dikerumuni binatang-binatang berbisa yang entah da-
tang dari mana. Ada juga mayat prajuritnya yang ha-
ngus terbakar, seakan baru dipanggang di atas jilatan api.
"Hm, seumurku, baru kali ini aku melihat silu-
man ikut campur dalam urusan manusia," gumam Ra-ja Brah Salagatri masgul.
"Mengapa kita yang diserang" Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan,
Paman Patih"
"Ampun, Baginda. Kalau boleh hamba tahu,
apa yang mencurigakan menurut perkiraan Baginda?"
tanya Patih Rangga Wuni
Lelaki tua berusia sekitar enam puluh serta
berpakaian warna keemasan, bertubuh sedang dengan
penampilan tenang itu terdiam. Dihelanya napas pan-
jang-panjang, berusaha membuang kesedihan yang
menghujam dada.
"Besok kuperintahkan padamu untuk mengun-
dang para pendekar dan para sesepuh istana untuk
mengadakan rapat. Sebar juga pengumuman untuk
mencari tahu tentang manusia tengkorak darah itu."
"Aku yakin ada maksud tersembunyi di balik
kejadian ini."
"Daulat, Baginda. Segala titah Baginda, akan
hamba junjung tinggi dan laksanakan," jawab Patih Rangga Wuni sambil menyembah.
"Bagaimana dengan Kangmas Lingga, Rama?"
tanya Dyah Ayu dengan muka cemas.
"Tenanglah, Nduk. Kuharap para pendekar da-
pat membantu kita membuka tabir misteri kejadian
ini," gumam sang Raja sambil membimbing anaknya masuk, diikuti oleh Patih Rangga
Wuni. Suasana duka menyelimuti Kerajaan Bumi
Wandra. *** 6 Pagi lahir kembali, dikawal angin yang berhem-
bus sejuk. Langit terlihat ramah, tanpa awan kelabu
yang menutupi. Pasar Ngaplak yang merupakan pasar
ter-besar di wilayah Kerajaan Bumi Wandra pagi itu
tampak banyak pengunjungnya. Rupanya ada sesuatu
yang mendorong orang-orang berdatangan ke pasar
itu. Di sudut pasar, pada sebuah penyangga ban-
gunan pasar terdapat sebuah pengumuman dari kera-
jaan. Itu pula yang membuat para pedagang maupun
yang hendak berbelanja berkerumun di sana. Mereka
ingin mengetahui apa isi pengumuman tersebut
Bukan hanya pedagang dan orang-orang yang
hendak berbelanja di pasar itu yang berkerumun
membaca pengumuman dari kerajaan. Penduduk di
sekitar Pasar Ngaplak pun turut datang. Mereka sama-
sama ingin mengetahui isi pengumuman yang diedar-
kan oleh raja. Barang siapa yang dapat memberikan keteran-
gan tentang manusia tengkorak atau menangkap pe-
mimpinnya, raja akan memberi hadiah seratus keping uang emas.
Patih Kerajaan Rangga Wuni "Wah, hadiahnya banyak sekali! Tentunya ba-
ginda sangat murka terhadap manusia bermuka teng-
korak," ujar seorang penjual di pasar itu setelah membaca pengumuman.
"Wah, kalau aku bisa menangkap mereka, ten-
tu aku akan kaya raya. Aku bisa menjadi saudagar,"
celoteh yang lainnya.
"Hanya pemuda tampan dan gagah serta beril-
mu tinggi saja yang bisa menangkap mereka," sela seorang wanita cantik
berkerudung biru dari kebaya biru pula serta kain batik coklat tua, menyentakkan
semua orang di tempat itu yang langsung memandangnya
dengan tatapan penuh tanya.
"Kok Nyai tahu" Apa Nyai pernah melihat mere-
ka?" tanya seorang lelaki yang biasa berjualan di pasar.
"Ya, bukannya tahu. Tapi siapa sih yang bisa
menangkap mereka" Orang-orang kerajaan saja tak
dapat berbuat apa-apa," sahut wanita cantik tadi. Kemudian dia berlalu begitu
saja dari tempat itu, diikuti oleh pemandangan seluruh orang yang terkesima
kecantikan wanita itu.
Setelah wanita cantik itu berlalu jauh, barulah
mereka berdecak kagum atas kecantikannya.
"Ck ck ck! Perempuan kok bahenol amat..."
"Iya ya" Istri siapa ya" Cantik sekali."
"Wah, baru kali ini kulihat wanita cantik dan
sebahenol dia," sambung yang lain.
Orang-orang di pasar itu yang semula membi-
carakan masalah pengumuman sang Raja, kini malah
beralih membicarakan wanita berkerudung biru yang
cantik jelita. Wanita yang memiliki kecantikan sem-
purna. "Wah, kalau aku bisa menangkap manusia
bermuka tengkorak, ingin rasanya aku mencari wanita
cantik tadi. Kujadikan dia istriku," gumam Dakir, penjual tempe yang giginya
mancung ke depan.
"Mana dia mau sama kamu, Kir...!" seloroh
Parmin. "Loh, namanya saja kaya. Siapa sih yang tidak mau sama orang kaya?"
kelit Dakir dengan membu-sungkan dada.
"Huh, lagakmu saja yang sok berani. Baru ke-
temu kucing saja kamu lari...!"
Suasana pagi itu diisi oleh gumaman khayal
tentang hadiah dari sang Raja dan wanita cantik ber-
kerudung biru yang tadi berada di pasar itu.
*** Sementara itu, tidak begitu jauh dari pasar
Ngaplak, tampak dua sejoli melangkah masuk ke da-
lam sebuah kedai yang telah banyak pengunjungnya.
Lelaki tampan dan wanita cantik jelita itu, tidak lain Sena, si Pendekar Gila
dan Mei Lie, si Bidadari Pencabut Nyawa.
Baru saja kedua pendekar muda itu duduk,
suasana di luar kedai seketika menjadi riuh dengan
kehadiran dua orang prajurit istana yang sedang me-
masang pengumuman di pohon ara yang besar. Lang-
sung saja semuanya bergerak mendekati pohon ara
tempat kedua prajurit kerajaan memasang pengumu-
man. "Pengumuman dari baginda yang mulia Raja Brah Salagatri!" seru salah
seorang prajurit yang tidak memasang pengumuman. "Diumumkan bagi siapa saja yang
bisa menangkap atau memberi petunjuk tentang
keberadaan manusia tengkorak akan diberi hadiah se-
ratus keping uang emas dari raja!"
Bisik-bisik pun terdengar di sana-sini. Mereka
pada umumnya ingin sekali mengikuti pengumuman
itu, menangkap tengkorak darah yang sudah banyak
menculik pemuda-pemuda tampan dan gagah.
"Memang kalau tidak segera dibasmi, bisa-bisa
lelaki tampan di kerajaan ini akan habis," celoteh seorang warga.
"Benar! Kita harus secepatnya membasmi teng-
korak darah! Kalau tidak, maka lelaki muda dan tam-
pan akan habis!" sambung yang lainnya.
"Basmi tengkorak darah...!"
"Hancurkaaan...!"
Kemarahan penduduk yang sudah mendengar
kekejian sepak terjang tengkorak darah seketika me-
luap. Mereka berteriak-teriak untuk membasmi gerom-
bolan tengkorak darah yang telah meresahkan pendu-
duk di Kerajaan Bumi Wandra.
"Tenang saudara-saudara. Tenang...!" seru pra-
jurit yang membacakan pengumuman. "Ada dua pen-
gumuman lagi yang harus kalian dengarkan."
"Katakanlah, kami ingin segera mendengar!" se-ru warga.
"Apakah ada yang tertangkap?" tanya yang lain.
"Cincang saja! Preteli tulang-tulangnya!"
"Kasihkan pada kucing dan anjing biar digero-
goti...!" Betapa menggebu amarah warga. Mereka tampaknya tidak sabar lagi untuk
mengetahui apa yang telah terjadi.
"Berita kedua mengenai berita duka!" kata prajurit yang menjadikan semua warga
terdiam. "Dengar oleh kalian baik-baik. Kemarin malam, istana kerajaan telah
diserang oleh kawanan tengkorak darah. Mereka
banyak membunuh prajurit dengan cara yang sangat
keji! Cara iblis! Bukan hanya itu, suami Putri Dyah
Ayu diculik. Sampai sekarang belum diketahui berada
di mana...."
Semua warga membelalakkan mata mendengar
isi pengumuman duka cita itu. Wajah mereka terlihat
marah. Mungkin kalau di situ ada salah satu tengko-
rak darah, mereka akan langsung menyerang dan


Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempreteli tulang belulangnya.
"Berita yang kedua. Jika di antara kalian ada-
lah seorang pendekar, Baginda berharap agar sudi da-
tang ke istana...!"
Semua terdiam saling pandang, berusaha ber-
tanya-tanya siapa di antara mereka yang merupakan
pendekar. Sedangkan Pendekar Gila dan Bidadari Pen-
cabut Nyawa nampak masih tenang menyantap maka-
nannya. Seakan mereka tidak menghiraukan pengu-
muman itu. "Ki dan Nisanak, dilihat dari pakaian yang ka-
lian kenakan, tentunya kalian dari rimba persilatan,"
tegur pemilik kedai setelah menghampiri keduanya.
Sena tersenyum bodoh. Tangan kirinya meng-
garuk-garuk kepala. Dipandanginya pemilik kedai yang tadi berkata, membuat
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu tersenyum.
"Aha, pantaskah kami menjadi pendekar, Ki" Hi
hi hi..! Lucu sekali kalau kami ini pendekar," oceh Se-na sambil tertawa
cekikikan. Pemilik kedai menge-
rutkan kening melihat tingkah pemuda tampan be-
rambut ikal gondrong dengan pakaian rompi kulit ular yang seperti orang gila.
Mei Lie menyikut kekasihnya agar diam. Sena
menurut diam, meski sempat menggerutu.
"Kakang, tampaknya gerombolan siluman itu
telah menjarah kerajaan," bisik Mei Lie.
"Ya! Aku heran, mengapa istana juga dijarah"
Tengkorak darah benar-benar cari penyakit," gumam Sena setengah berbisik.
"Jadi kalian benar dari rimba persilatan...?"
tanya pemilik kedai.
"Aha, benar katamu, Ki. Tapi kami bukan pen-
dekar," sangkal Sena semakin bertingkah konyol. Lagi-lagi pemilik kedai yang
bernama Ki Sanip mengerutkan kening. Tampaknya lelaki itu bingung dengan ucapan
pemuda tampan di depannya.
"Maksud Kisanak...?" tanya Ki Sanip belum jelas.
"Hi hi hi...! Kau kebingungan, Ki. Ah ah ah, begini. Kami memang dari dunia
persilatan, tapi kami
bukan pendekar. Kami hanya seorang pengelana saja,"
jawab Sena, berpura-pura.
"Ah, rupanya Kisanak hanya merendahkan diri.
Tak mungkin orang persilatan berkelana kalau bukan
seorang pendekar."
"Ah, mengapa begitu, Ki?" tanya Sena. "Apakah
tidak boleh kalau orang yang bukan pendekar berkela-
na untuk mencari pengalaman?"
"Ya, boleh saja. Namun rimba persilatan ini ga-
nas, Kisanak. Jika macan buas, tapi manusia lebih
buas. Macan tidak akan memangsa jenisnya sendiri.
Tapi manusia, tega membunuh manusia lain," tutur Ki Sanip, bijak.
"Hi hi hi...! Ah ah ah, kau sungguh hebat, Ki.
Petuahmu lebih sakti dari ilmu kedigdayaan. Tanpa petuah yang baik, orang sakti
akan menjadi sesat. Bukan begitu, Ki...?" tambah Sena turut berpetuah, membuat
Ki Sanip semakin heran dengan pemuda bertingkah gi-la itu. Tingkahnya memang
seperti orang gila, tetapi pengalaman dan pikirannya seperti orang sehat. Bahkan
seperti seorang pendekar yang digdaya.
Siapa sebenarnya pemuda gondrong ini" Tin-
dak-tanduknya seperti orang gila. Namun cara bicara
dan tata kramanya seperti orang berpendidikan tinggi dan berilmu, gumam Ki Sanip
dalam hati. Matanya
masih menatap wajah Sena dengan seksama, seperti
berusaha meyakinkan siapa sebenarnya pemuda tam-
pan yang terkadang tertawa sendiri, lalu cengengesan, atau tersenyum-senyum
bodoh. Ketika Sena dan Mei Lie tengah ngobrol dengan
Ki Sanip, dari luar masuk seorang lelaki tinggi besar berkepala botak. Wajahnya
amat garang. Kumis tebal
yang panjang melintang menghiasi atas bibirnya. Alis mata lelaki tinggi besar
itu lebar. Di tangannya terdapat dua golok besar. Hidungnya mancung. Pakaian le-
laki itu terbuat dari kulit serigala berwarna belang kuning kecoklatan. Umurnya
kurang lebih empat puluh tahun.
Lelaki tinggi besar yang memeluk sepasang go-
lok besar seketika bertingkah sopan, ketika dilihatnya dua orang yang tengah
makan di kedai itu.
"Oho, rupanya Pendekar Gila hadir di sini," ka-ta lelaki yang bergelar Serigala
Merah Golok Kembar itu sambil menjura hormat "Terimalah salam dari Serigala
Merah." Ki Sanip tersentak, setelah mendengar Serigala
Merah menyebut nama pemuda tampan yang kini ter-
tawa tergelak-gelak
"Jadi, dia Pendekar Gila?" gumam Ki Sanip dalam hati dengan mata membelalak.
"Pantas..., pantas...." Pendekar Gila bangkit dari bangkunya, diikuti oleh Mei
Lie. Mereka membalas juraan Serigala Merah
yang cukup terperangah, melihat gadis yang duduk
bersama Sena. "Oho, rupanya Bidadari Pencabut Nyawa pun
hadir di sini. Maaf, mata tuaku kurang dapat melihat dengan baik."
"Ah, tidak mengapa, Kisanak. Silakan duduk.
Mari kita makan bersama," ajak Mei Lie dengan penuh wibawa.
Ki Sanip semakin terkejut, setelah tahu bahwa
gadis Cina itu juga seorang pendekar yang namanya
akhir-akhir ini menjadi buah bibir. Julukannya cukup membuat para tokoh rimba
hitam harus berpikir puluhan kali untuk menghadapinya. Apalagi dengan Pe-
dang Pusaka Bidadari yang ampuh, sulit bagi para
pendekar pedang untuk bisa menandinginya.
Serigala Merah pun duduk bersama kedua
pendekar muda yang cukup disegani baik oleh kawan
maupun lawan. Ki Sanip segera mengambil makanan untuk Se-
rigala Merah. Ketiga pendekar itu pun menyantap makanan
sambil membicarakan masalah yang telah terjadi di
rimba persilatan wilayah timur. Malah mereka kini
membicarakan masalah tengkorak darah yang telah
berani menjarah istana.
"Bagaimana menurutmu dengan masalah ini,
Tuan Pendekar?" tanya Serigala Merah ingin tahu tanggapan Sena.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala
sesaat "Aha, bagaimana aku menjelaskannya" Hi hi hi...! Kau ini lucu sekali,
Sobat. Mana aku tahu masalah ini?" sahut Sena sambil cengengesan.
"Ya ya, aku tahu. Tapi aku baru saja membaca
pengumuman itu. Di situ dijelaskan, bagi siapa saja
yang dapat menangkap tengkorak darah akan menda-
patkan hadiah seratus keping uang emas. Apa kau ti-
dak berminat mengikuti sayembara itu."
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Setelah melirik Mei Lie yang hanya tersenyum, Sena menjawab.
"Ah, kurasa tidak, Sobat. Apakah kau berkenan
mengikutinya?" balik Sena bertanya.
"Ya! Aku ingin mengikutinya," jawab Serigala Merah. "Dapatkah kau memberi
penjelasan apa yang seharusnya kulakukan?" pinta Serigala Merah.
Sena kembali tertawa cekikikan.
"Aha, kurasa aku hanya bisa berkata kau harus
berhati-hati, Sobat. Yang akan kau hadapi bukan ma-
nusia seperti kita."
"Jadi...?" alis Serigala Merah terangkat
"Para tengkorak darah adalah gerombolan si-
luman," jawab Mei Lie, mendahului kekasihnya.
"Siluman"!"
"Ya, begitulah. Mereka bukanlah manusia, tapi
siluman," ulang Mei Lie menegaskan.
"Hm." Serigala Merah bergumam tak jelas. Matanya kini menerawang keluar. "Kalau
memang tengko- rak darah adalah siluman. Tentu sangat sulit bagi manusia untuk mengalahkannya,"
nilai Serigala Merah.
"Kisanak, ada baiknya kau mencoba. Tapi se-
perti yang kukatakan tadi, hati-hatilah. Percayakan
semua jiwa dan ragamu pada Sang Hyang Widi. Hanya
dia yang menentukan hidup dan mati makhluk di du-
nia ini," tutur Sena berusaha menasihati.
"Jadi menurutmu aku bisa mengikuti sayemba-
ra itu?" "Aha, semua orang bisa, Sobat. Kau, aku, Bidadari Pencabut Nyawa, dan
lain-lainnya, bisa mengikuti.
Semua kini tergantung dari nasib dan kehendak Sang
Hyang Widi. Jika nasib kita baik atas kehendak Sang
Hyang Widi, tentu kita akan menang...," tutur Pendekar Gila. Kemudian dia
menambahkan.... "Bagaimanapun juga, suatu saat aku harus mengikuti, Sobat. Se-
cara langsung maupun tak langsung, aku pasti akan
turut berusaha memberantas segala macam bentuk
kejahatan dan keangkaramurkaan di muka bumi ini."
"Ya ya, aku mengerti," sahut Srigala Merah.
"Kalau begitu aku bisa mengikuti sayembara itu?"
"Ya ya, kami berdoa, semoga engkau dalam lin-
dungan Sang Hyang Widi," kata Mei Lie.
"Terima kasih. Dengan dorongan semangat dari
kalian, tekadku semakin bulat," hatur Serigala Merah.
"Kita makan dulu, Sobat," ajak Sena.
Ketiganya kembali menyantap makanan mere-
ka. Setelah selesai, Serigala Merah membayar semua
makanan yang telah mereka pesan. Kemudian mereka
keluar meninggalkan kedai itu.
"Hendak ke arah mana tujuan kalian?" tanya Serigala Merah.
"Ah, entahlah, Sobat. Kami hanya mengikuti
langkah kaki kami. Ke mana angin bertiup, ke sana
kami menuju," jawab Sena.
"Kalau begitu kita berpisah dulu. Semoga kita
dapat bertemu di lain waktu. Permisi...," Serigala Merah menjura hormat, dan
dibalas oleh Pendekar Gila
dan Bidadari Pencabut Nyawa (Mengenai julukan Mei
Lie sebagai Bidadari Pencabut Nyawa, silakan anda
ikuti serial Pendekar Gila dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im" dan "Pedang
Pencabut Nyawa").
Kedua pendekar muda itu sesaat mematung di
tempat yang berjarak sekitar dua puluh lima batang
tombak dari kedai. Mata mereka memandang ke seke-
liling yang nampak asri dengan barisan tumbuhan hi-
jau. "Hendak ke mana kita, Kakang?" tanya Mei Lie.
"Aha, kenapa kau bertanya" Bukankah kita se-
dang bertualang" Ke mana angin berhembus, ke sana
pula kita melangkah," jawab Sena berseloroh, membuat Mei Lie gemas.
"Kau nakal, Kakang. Selalu saja menggodaku!"
sungut Mei Lie manja.
"Karena aku suka menggodamu. Apa tak bo-
leh...?" "Hm...," Mei Lie bergumam, sedang matanya menatap penuh arti ke wajah
tampan Sena yang saat
itu tersenyum. "Kakang...."
"Hm, ada apa?" tanya Sena sambil menengok ke gadis pujaannya.
"Lama kita berpisah. Saat itu, ingin rasanya
aku bertemu denganmu. Tapi setelah bertemu, kau
nakal. Kau suka menggodaku," kata Mei Lie dengan suara manja.
Sena tertawa ngakak.
"Kalau tidak menggoda, lalu harus bagaimana?"
tanya Sena berpura-pura tidak tahu.
Mei Lie terdiam, tersipu-sipu malu. Sena me-
langkah mendekati kekasih hatinya. Dipegangnya
pundak Mei Lie dengan lembut. Kemudian dibelainya
rambut Mei Lie.
"Kita berangkat, Mei Lie?" ajak Sena.
"Kakang belum mengatakan padaku," desak
Mei Lie cemberut.
"Tentang apa?"
"Ketika kita berpisah," jawab Mei Lie.
"Aha, kurasa kau telah mengerti, Mei Lie. Se-
perti hatimu, aku pun merasakan hal yang serupa...,"
jawab Sena dengan suara meyakinkan, membuat Mei
Lie tersenyum. Dengan iringan angin yang bertiup lembut, ke-
duanya pun melangkah untuk meneruskan perjalanan
mereka. *** 7 Suasana Istana Kerajaan Siluman Tengkorak
Darah nampak sibuk. Mereka hendak mengadakan
pesta. Seluruh siluman tengkorak darah, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Umbul-umbul berbaris
sepanjang jalan alam siluman. Benar-benar hendak
melaksanakan satu acara besar.
Di ruangan lebar yang biasanya digunakan un-
tuk pertemuan, duduk di singgasana seorang wanita
muda yang cantik berpakaian minim. Wanita cantik
yang ternyata Ratu Siluman Tengkorak Darah, duduk
dengan penuh keanggunan. Matanya yang lentik, me-
mandang tajam pada para punggawa kerajaan yang
berupa tengkorak darah juga. Para punggawa, hulu-
balang dan patih kerajaan duduk di ruangan lebar itu Sulit untuk membedakan mana
yang prajurit, mana yang hulubalang dan mana yang patih serta tu-
menggung. Semuanya bermuka tengkorak menyeram-
kan. Hanya ada pembeda bagi mereka, yaitu darah
yang melumuri muka tengkorak
Patih kerajaan memiliki banyak lumuran darah
di muka. Bahkan menutupi semua mukanya. Panglima
perang dan para hulubalang serta tumenggung pun
memiliki ciri lain. Darah yang menutupi muka mereka
lebih sedikit daripada patih.
Begitulah seterusnya. Semakin rendah pang-
katnya, semakin pucat wajah tengkorak itu.
Ada juga ciri lain dari para tengkorak darah,
yaitu pada lengan bajunya. Kalau patih lengan bajunya terdapat bunga kamboja
sebanyak empat kuntum.
Panglima perang tiga, hulubalang dua kuntum, se-
dangkan tumenggung satu dan prajurit tak ada.
"Paman Patih, hari ini ibunda hendak melaku-
kan upacara usia yang ke enam puluh lima tahun. Un-
tuk itu, aku titahkan pada Paman Patih agar menjaga
istana dengan ketat. Jangan sampai ada bangsa lain yang masuk dan membuat
kekacauan. Kalau ada, kuperintahkan membunuhnya!"
"Sendika Kanjeng Ratu," jawab Patih Tengkorak Darah. "Kini kalian boleh bubar,
jangan sekali-sekali menggangguku," kata Ratu Siluman Tengkorak Darah.
"Sendika, Sri Ratu." Setelah melakukan sembah, para prajurit dan pembesar istana
pun mundur

Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari hadapan ratu mereka yang kini bangkit dari sing-gasananya, melangkah masuk
ke dalam kamar yang
telah tersedia seorang lelaki muda yang gagah, berparas tampan, serta bersih.
Lelaki muda itu ternyata Lingga, suami Dyah
Ayu yang diculik. Lingga yang sudah terpengaruh oleh ilmu sihir Ratu Siluman
Tengkorak Darah kini bagai
lupa segalanya. Tubuhnya terbaring telanjang di atas tempat tidur.
Dari luar, masuk Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah. Bibir sang Ratu mengurai senyum. Saat itu pula, Lingga segera bangkit.
Bibir lelaki tampan itu men-gembangkan senyum. Tampaknya dia benar-benar se-
nang melihat kedatangan Ratu Siluman Tengkorak Da-
rah. "Anak bagus, rupanya kau telah lama menung-gu," desis Ratu Siluman
Tengkorak Darah sambil men-gulurkan tangannya, yang disambut oleh Lingga den-
gan pelukan mesra. Tidak hanya sampai di situ, Lingga kemudian menciumi seluruh
wajah Ratu Siluman
Tengkorak Darah, lalu merambah turun ke leher Ratu
Siluman Tengkorak Darah yang jenjang dan menan-
tang. Lingga yang sudah terbius pengaruh sihir Ratu Siluman Tengkorak Darah,
benar-benar lupa segalanya. Bahkan istri tercintanya kini tak ada lagi di ke-
dalaman hatinya, yang ada hanya nafsu liar yang
mendidih. Lama kemudian membisu. Hanya desah-
desah napas jalang saja yang terdengar. Sampai akhirnya.... "Aaakh...!"
Tiba-tiba Lingga mengejang. Matanya melotot
menahan sekarat. Sedangkan Ratu Siluman Tengkorak
Darah tertawa cekikikan. Seakan senang menyaksikan
bagaimana Lingga bergelinjang menghadapi maut
"Aaakh!"
"Hik hik hik...!" Kau puas, Cah Bagus! Kini ayahku akan melihat bagaimana
pembalasan ibu! Hua
ha ha...!"
"Akh, ampun...!" jerit Lingga terus menggeliat-geliat kesakitan. Bagian bawah
tubuhnya bagai ada
yang menggigit. Bahkan kini seperti putus. Darah me-
nyembur dari kemaluan Lingga yang putus. Sedangkan
dari kemaluan Ratu Siluman Tengkorak Darah, tam-
pak seekor binatang berbentuk ular tengah melumat
kemaluan Lingga.
Lingga menggelepar-gelepar sekarat, kemudian
terkulai dengan nyawa melayang.
"Hua ha ha...! Ayah, lihat pembalasan ibu! Li-
hat! Kau telah menyia-nyiakan aku dan ibu! Kini kau
lihatlah semua!" tawa Ratu Siluman Tengkorak Darah menggelegar, disertai
gemuruhnya angin yang memba-dai. Entah siapa yang disebut sebagai ayahnya.
"Prajurit!"
Dua orang prajurit bergegas masuk, kemudian
menyembah. "Hamba Kanjeng Ratu...."
"Bawa tubuh lelaki ini, buang ke alam manusia
di dekat istana!" perintah Ratu Siluman Tengkorak Darah. "Sendika, Sri Ratu."
Kedua orang prajurit yang bermuka tengkorak
itu segera mengangkat mayat Lingga keluar mening-
galkan kamar ratu mereka yang masih tertawa.
*** "Mayat..! Mayaaat..!"
Seorang prajurit yang sedang bertugas mengeli-
lingi tembok istana menjerit-jerit, ketika menyaksikan sesosok tubuh tanpa
pakaian dikerumuni oleh binatang-binatang berbisa menjijikkan. Rupanya mayat
Lingga yang mengalami kematian mengerikan dibuang
di tempat itu. "Mayat! Mayat Den Lingga...!"
Sepontan semua penghuni istana termasuk
sang Raja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mata
mereka serentak membelalak, menyaksikan mayat
Lingga tiba-tiba telah tergolek di buritan istana dalam keadaan mengerikan.
"Kangmas Lingga...!"
Dyah Ayu yang melihat suaminya telah mati da-
lam keadaan mengenaskan seketika menjerit histeris.
Tubuhnya gontai, lalu pingsan tak kuat menerima
guncangan batin.
Patih Rangga Wuni dan Baginda Raja Brah Sa-
lagatri menghela napas dalam-dalam.
Kematian yang sama dialami oleh para prajurit
kerajaan tiga hari lalu. Tapi mayat Lingga kini lebih mengerikan, karena
kemaluannya hilang. Seperti digi-git oleh binatang berbisa, yang menjadikan
tubuhnya membiru. "Ini keterlaluan!" dengus baginda raja geram.
"Kita harus segera meringkus pelaku semua ini. Aku tak peduli itu bangsa siluman
atau manusia!"
Patih Rangga Wuni terdiam. Sulit baginya un-
tuk mengutarakan kata-kata. Bagaimanapun juga, dia
harus berpikir beratus kali untuk bisa menjawab se-
mua misteri ini. Kalau benar pelakunya siluman, apa
dasarnya sehingga bangsa siluman begitu dendam ter-
hadap Kerajaan Bumi Wandra"
"Patih, kau harus memanggil para pendekar
untuk datang ke istana secepatnya. Aku tak ingin korban semakin banyak
berjatuhan. Kita harus segera
menghentikan semuanya!" dengus baginda raja marah.
"Sendika, Yang Mulia. Hamba akan segera men-
jalankan tugas."
"Lakukanlah sekarang juga."
"Sendika, Yang Mulia."
Patih Rangga Wuni segera menyembah, kemu-
dian tubuhnya pun berlalu meninggalkan buritan ista-
na di mana raja dan kerabat istana masih berdiri di
tempat itu. Sore telah menjelang. Sebentar lagi kegelapan
malam akan segera merambah. Matahari terpulas le-
lah. Suasana duka menyelimuti kerabat istana. Mereka tak pernah tahu apa yang
telah terjadi belakangan ini.
Semua masih gelap, menjadi tabir misteri yang sulit
untuk dikuak. Orang-orang istana tampak sibuk mengurus
mayat Lingga. Wajah mereka dirundung duka yang da-
lam atas kematian menantu baginda raja. Mereka tidak tahu, mengapa mesti
keluarga raja yang menjadi korban. Padahal baginda raja sangat arif dan
bijaksana memimpin kerajaan. Tak pernah sekalipun baginda
berlaku tidak adil dan kasar, yang akan membuat
orang dendam. Mereka tak tahu. Semua orang tak tahu, kalau
ada sesuatu yang terjadi di balik semua itu. Dendam
seorang wanita dan anaknya yang merasa disia-siakan.
Dendam yang membuat keduanya bersumpah untuk
mengabdi di alam kegelapan.
Dendam itu kini terwujud, setelah diterimanya
kedua ibu dan anak menjadi bangsa siluman, bangsa
kegelapan. Dengan cara mengorbankan jiwa dan raga
mereka. Kalau saja semuanya tahu, tentu semua tak
Pedang Golok Yang Menggetarkan 21 Si Pemanah Gadis Karya Gilang Sumur Perut Setan 1
^