Pencarian

Titisan Dewi Kwan Im 2

Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im Bagian 2


kepala. Keningnya berkerut.
"Hilang! Ah, dia menghilang!"
Merasa belum yakin kalau bayangan itu hilang,
Sena berusaha mencarinya. Sekeliling tempat itu dije-lajahinya. Tapi bayangan
itu tetap tak ditemukan, lenyap bagai ditelan bumi.
"Ah ah ah.... Kenapa bersembunyi" Hi hi hi...!"
Sena mengerutkan kening. Tangannya mengga-
ruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekelilingnya,
berusaha meyakinkan bahwa bayangan yang tadi dili-
hatnya benar-benar telah menghilang.
"Hi hi hi.... Aneh, dia menghilang. Hm, siapakah orang itu" Apa mungkin
setan...?" pikir Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus menyapu ke
sekelilingnya, berusaha mencari bayangan itu. "Ah ah ah.... Setan?"
Clrrrt...! Glarrr!
Kilatan lidah petir kembali menyala, membuat
sekeliling tempat itu kembali terang. Dan seketika itu pula, Sena kembali
melihat bayangan hitam itu yang
melangkah beberapa puluh tombak di hadapannya.
"Aha...! Rupanya dia sengaja mempermainkan
ku!" duga Sena berbisik, merasa dirinya dipermainkan.
"Hi hi hi.... Baik kalau begitu."
Tubuh Sena kembali melesat, memburu ke arah
bayangan hitam itu. Namun lagi-lagi bayangan hitam
itu melesat pergi, seakan mengetahui kalau dirinya di-kejar. "Setan! Tunggu....
He he he.... Jangan lari!"
Dengan masih tertawa-tawa, Pendekar Gila beru-
saha mengejar bayangan hitam itu. Namun kembali dia
kehilangan jejak. Bayangan hitam itu hilang begitu sa-ja, seperti dilahap
kegelapan. Tinggal Sena yang menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Keningnya di- tepuk. "Oh! Kenapa dia menghilang"!"
"Auuung...!"
Lolongan anjing hutan dari kejauhan berkuman-
dang. Begitu memelas lolongannya. Tak ubahnya ar-
wah-arwah penasaran yang terhimpit di antara dua
kehidupan, dan sulit untuk menembusnya.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa lucu. Tampangnya seperti orang bodoh. Seluruh panca
inderanya dipu-
satkan menjadi satu, sehingga jika ada gerak sedikit
saja, dia akan dapat menangkapnya. Matanya menya-
pu ke sekeliling tempat itu. Hanya kegelapan mence-
kam yang dilihatnya. Tak ada tanda-tanda bayangan
itu akan kembali muncul.
Kilat kembali menjilati bumi, membuat suasana
di sekeliling tempat itu kembali terang. Pada saat itu pula, bayangan hitam itu
tampak sekali lagi. Dan kini telah berada di depan pintu bangunan tua yang
tinggi itu. "Hi hi hi.... Dia sudah ada di sana," gumam Sena.
"Hm, rupanya dia benar-benar ingin mempermainkan aku! Heh...!"
Sena kembali berkelebat ke arah bangunan tua
itu, memburu bayangan hitam yang tengah berdiri te-
nang. Seakan tidak pernah beranjak dari tempat itu.
"Hi hi hi...! Rupanya kau hendak mempermain-
kan ku, Sobat! Baik kalau kau mau main kucing-
kucingan denganku!" kata Sena agak sewot, merasa dipermainkan oleh bayangan
hitam itu. Dan kini ilmu
lari 'Sapta Bayu' dikerahkannya, berusaha menangkap
bayangan hitam yang begitu cepat menghilang.
Wusss! Tubuh Sena dalam sekejap saja telah melesat
laksana angin. Tahu-tahu tubuhnya telah berada di
dekat bayangan hitam yang hendak lari kembali. Den-
gan cepat, Sena segera menghadangnya.
"Mau lari ke mana kau"!" bentak Sena.
Tangan Pendekar Gila bergerak cepat, berusaha
menangkap bayangan hitam itu. Namun belum juga
tangannya sempat menjamah, tiba-tiba....
"Anak tolol!"
Sena tersentak kaget dibentak begitu rupa. Be-
lum pernah dia dibentak seperti itu. Tapi kini bayangan hitam itu telah berani
membentaknya. Bahkan
bentakannya sangat kasar dengan suara yang mengge-
legar. Tubuh Sena tersurut dua tindak ke belakang.
Keningnya mengerut saat memandang bayangan hitam
yang masih membelakangi tubuhnya.
"Hi hi hi...! Siapakah kau"!" tanya Sena. "Kenapa kau membentak ku?"
"Hua ha ha...! Dasar bocah edan!" maki bayangan hitam itu. "Ketololan mu yang
akan membuatmu celaka!" "Heh"! Hi hi hi...!" Sena menggaruk-garuk kepala.
"Kau...."
Belum juga Sena selesai berkata, lelaki itu mem-
buka jubah hitamnya. Kini nampaklah lelaki yang
mengenakan baju panjang berwarna putih dengan ikat
pinggang merah dan rambut digelung ke atas.
"Aha, Guru rupanya...!" seru Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan mulut
cengengesan. Tubuh lelaki tua itu membalik. Dan nampaklah
wajah Singo Edan.
"Hua ha ha...!" Singo Edan tertawa tergelak-gelak.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti yang di-
lakukan Sena. Hal itu menggelitik Sena untuk turut
tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Kenapa Guru ada di sini?" tanya Se-na seraya menjura hormat
Mata Singo Edan melotot.
"Dasar anak tolol! Rupanya ketololan mu yang
membuatmu tak tahu gelagat!" maki Singo Edan, dengan tingkah laku seperti orang
gila. "Tolol..." Hi hi hi..! Bukan tolol, tapi gila, Guru!"
sahut Sena sambil tertawa bergelak dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Guru dan murid itu tertawa bergelak-gelak. Sea-
kan ingin memuaskan suka hati mereka. Tingkah laku
mereka persis dua orang gila.
Singo Edan lalu melangkah ke dalam bangunan
tua itu, diikuti Sena.
"Ikut aku!" bentak Singo Edan.
"Hi hi hi... Baik, Guru."
Guru dan murid itu menuju ke bangunan tua
yang menyerupai candi itu, lalu masuk ke dalamnya.
Keduanya berhenti di sebuah ruangan yang cukup
luas dalam keadaan gelap gulita.
Keduanya kemudian duduk berhadap-hadapan di
ruangan itu. Singo Edan menggosok-gosok kuku ja-
rinya. Seketika dari kuku jarinya keluar percikan api, yang semakin lama
bertambah besar. Dalam sekejap
ruangan itu menjadi terang.
"Bocah tolol! Tentunya kau lapar, bukan?"
"Lapar" Hi hi hi..! Ya. Aku lapar, Guru," jawab Sena. "Hua ha ha...! Memang dari
dulu hanya makan yang kau pikirkan, Bocah Edan! Kau benar-benar
edan...!" maki Singo Edan. Matanya memandang tajam muridnya yang duduk di
hadapannya. "Ku bawakan kau makanan. Lihatlah...!"
Sena mengikuti telunjuk gurunya. Seketika ma-
tanya membelalak, menyaksikan sesuatu yang terasa
sangat aneh baginya. Tiga buah kepala manusia ter-
tancap dengan bambu!
Sejak kapan guruku berbuat keji" Oh, benarkah
ini guruku yang dulu baik" Tanya Sena dalam hati.
Namun wajahnya seketika kembali seperti semula.
"Ha ha ha...! Lucu sekali. Apakah itu permainan Guru sekarang?"
"Hua ha ha...!" Singo Edan turut tertawa. "Kau rupanya kaget, Bocah Edan?"
"Kaget" Ha ha ha...!" Sena tertawa bergelak-gelak dengan tangan kembali
menggaruk-garuk kepala. "Kaget Guru" Aku hanya heran, sejak kapan Guru memi-
liki permainan seperti ini?"
"Kurang ajar! Sejak kapan kau berani menentang
gurumu, heh"!" sentak Singo Edan marah. Matanya melotot geram. Api yang menyala
dari kuku-kukunya
kian besar. Seakan api itu merupakan lambang dari
jiwa lelaki tua itu.
"Ampun, Guru.... Sebenarnya, tidak sekali pun
aku berani kurang ajar padamu. Tapi...."
"Diam!" bentak Singo Edan. Sena menurut
"Ketahuilah olehmu, kepala itu adalah kepala
mereka yang berani menentang ku!" tegas Singo Edan, semakin membuat Sena
tercengang. Dia benar-benar
merasa aneh dengan tingkah laku dan kata-kata gu-
runya. Tapi sebagai seorang murid yang berbakti, Sena tak mampu membantah. Hanya
dalam hatinya saja
yang masih diliputi ketidakmengertian.
Plok, plok, plok!
Singo Edan bertepuk tiga kali.
Dan sesaat kemudian, dari dalam candi muncul
tujuh wanita cantik jelita dengan pakaian yang minim.
Hanya pada bagian dada dan bawah pusar saja yang
ditutupi. Itu pun sangat minim sekali. Hal itu mem-
buat Sena kian kebingungan, tak mengerti maksud da-
ri gurunya. Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nam-
pak cengengesan, menyaksikan pemandangan yang
membuat matanya membelalak. Rasa herannya sema-
kin menjadi-jadi, semakin tidak mengerti dengan mak-
sud gurunya. *** "Bawakan bocah gila ini makanan!" perintah Singo Edan pada ketujuh gadis cantik
berpakaian minim
yang lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Kemudian ketujuh gadis cantik itu menjura hormat,
sebelum melangkah meninggalkan tempat itu.
"Guru...."
"Diamlah!" potong Singo Edan. "Bukankah kau lapar"! Jangan sekali-kali berani
menentang ku, jika kau tak ingin seperti ketiga lelaki itu."
Sena kembali menurut. Bukannya dia takut ke-
palanya dipenggal, namun dia diam karena harus
menghormati lelaki tua di hadapannya. Sebagai orang
yang berjasa mengajarkannya ilmu kedigdayaan.
Plok, plok, plok!
Singo Edan kembali bertepuk tiga kali. Saat itu
pula, ketujuh gadis-gadis cantik berpakaian minim keluar. Di tangan mereka,
terdapat makanan-makanan
lezat yang mengundang selera. Nasi putih yang masih
panas. Ikan bakar. Sambal lengkap dengan lalap petai.
Serta sayur-mayur lainnya. Tidak ketinggalan buah-
buahan segar. Mata Sena membelalak lebar, tak percaya dengan
apa yang dilihatnya. Matanya dikucek-kucek, namun
semuanya masih tetap ada. Gadis-gadis cantik berpa-
kaian minim dengan makanan-makanan lezat, masih
dilihatnya. O, bukan mimpi. Ah, sejak kapan Guru bertabiat
begini" Tanya Sena dalam hati. Hatinya masih diliputi ketidakmengertian atas
sikap gurunya yang begitu
aneh. Meski dia tahu gurunya juga aneh seperti di-
rinya, namun keanehannya kini di luar kebiasaan.
Singo Edan adalah pendekar yang tidak pernah
berhubungan dengan wanita. Bagaimana mungkin kini
memiliki dayang-dayang cantik" Hal lain, Singo Edan
tak pernah memenggal kepala manusia. Tapi kini tiga
orang telah terpenggal kepalanya. Itu yang tidak dapat dipercaya Sena.
"Ayo makan," perintah Singo Edan.
"Guru, aku masih belum mengerti," tukas Sena.
"Hm.... Ada apa lagi...?"
Sena menghela napas berat. Matanya meman-
dang tujuh dayang cantik jelita yang duduk di samping kanan dan kiri gurunya.
Kemudian pandangannya
kembali ke arah kepala-kepala yang terpenggal itu. Terakhir pandangannya tertuju
ke makanan lezat yang
mengundang selera.
"Guru, kau telah begitu baik padaku. Tapi..., bagaimana mungkin aku harus
lancang mendahuluimu?"
tanya Sena yang merasa ragu akan makanan-makanan
yang terlihat lezat itu.
"Ha ha ha...!" Singo Edan tertawa terbahak-bahak. Matanya memandang genit ke
arah dayang- dayang cantik yang duduk di kanan-kirinya. Dibalas
pula oleh ketujuh gadis cantik itu dengan genit. "Rupanya kau sekarang sudah
kurang ajar pada gurumu,
heh"!"
Akhirnya, sambil menggaruk-garuk kepala dan
cengengesan, Sena menurut. Diambilnya makanan
yang ada di depannya. Dicicipinya makanan itu. Lezat juga rasanya. Jauh lebih
lezat dari makanan yang biasa dimakannya. Aneh, makanan ini enak sekali! Kata
Sena dalam hati.
"He, mengapa tidak dimakan semuanya?" tanya Singo Edan dengan raut wajah tak
senang. "Bukan begitu, Guru. Bukankah Guru sendiri
yang mengajarkan padaku, bahwa aku harus waspada.
Guru juga mengatakan, aku tidak boleh percaya pada
siapa pun, termasuk Guru sendiri...?" jawab Sena be-ralasan. Padahal hatinya
merasakan sesuatu yang ti-
dak beres pada diri gurunya. Itu sebabnya dia tidak
berani berlaku sembrono. Terlebih makanan di hada-
pannya sangat merangsang selera. Seakan ada bumbu
lain pada makanan itu.
"Ha ha ha...! Benar apa yang kau katakan," kata Singo Edan sambil tertawa
nyaring. "Baiklah, aku akan mendahuluinya."
Singo Edan segera mengambil makanan itu. Ke-
mudian menyantapnya sampai habis dengan terse-
nyum-senyum. Sedangkan Sena memperhatikan den-
gan seksama. Meski dia kebal terhadap racun apa pun, namun Sena tidak berani
gegabah. Racun Kabut Ungu
adalah ciptaan gurunya. Tentunya Singo Edan pun
memiliki racun yang melebihi Racun Kabut Ungu.
"Kau lihat, aku tak apa-apa. Makanlah, tentunya kau lapar," perintah Singo Edan.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian makanan itu diambilnya. Lalu dimakan
sampai habis. Tak ada akibat apa-apa pada dirinya.
"Ha ha ha...! Bagus! Itu tandanya kau murid yang paling setia dan berbakti!"
kata Singo Edan sambil tertawa-tawa.
Sena turut tertawa. Namun tiba-tiba tubuhnya
terasa membara. Keringat dingin bercucuran. Matanya
membelalak, merasakan sakit yang tiada taranya. Pada saat itu, telinganya


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar jeritan Mei Lie. Sepertinya gadis itu memanggil-manggil namanya dan
me- minta tolong padanya.
"Sena...! Tolong aku...!"
"Mei Lie, di mana kau"!"
Dalam keadaan tubuh didera panas hebat, Sena
berusaha bangun. Namun tubuhnya seketika lemas.
Tulang-belulangnya bagai dilolosi dari tubuh. Hal itu membuat matanya kini
memandang tajam pada lelaki
yang persis gurunya.
"Hua ha ha...! Akhirnya kau akan mampus juga,
Pendekar Gila! Hua ha ha...!" lelaki tua yang dari tubuh, suara, serta wajahnya
persis dengan Singo Edan
terbahak-bahak menyaksikan Pendekar Gila kini ber-
kelojotan dengan tubuh bagai membara.
"Kau"! Siapa kau sebenarnya"!" bentak Sena sambil berusaha memulihkan
kekuatannya. Tapi racun yang telah dimakannya teramat kuat mencengke-
ram tubuhnya. "Hua ha ha...! Siapa pun aku, kau tak perlu tahu!
Yang pasti, kau harus mampus!" lelaki yang penampi-lannya persis Singo Edan kini
mengangkat kedua tan-
gannya. Dan dari telapak tangannya, terpancar sinar merah kehitam-hitaman.
"Sena...! Tolong aku...!"
Suara Mei Lie masih saja terdengar, memanggil-
manggil Sena yang dalam keadaan kritis. Terlebih tangan lelaki di hadapannya
semakin dekat ke arah kepa-
la Sena yang kini masih bergelinjangan.
"Mampuslah kau! Yeaaa...!"
Sesaat lagi, nyawa Pendekar Gila akan melayang.
Kepalanya akan hancur dihantam oleh pukulan maut
lelaki itu. Sebelum semuanya terjadi, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat
menyambar tubuh Pendekar Gila sambil menangkis pukulan tangan lelaki itu.
Blarrr! Ledakan terdengar menggelegar, dibarengi oleh
keluhan lelaki yang mirip Singo Edan. Tubuh lelaki itu terdorong ke belakang.
Sedangkan ketujuh gadis yang
menjadi dayangnya berpentalan dengan keadaan yang
mengerikan. Wajah mereka hancur, terkena tenaga
hantaman dua kekuatan dahsyat.
"Ukh...! Setan alas! Siapa kau..."!" bentak lelaki mirip Singo Edan seraya
bangkit dan mengejar bayangan putih yang telah membawa tubuh Pendekar Gila.
Namun bayangan putih itu telah menghilang dalam
kegelapan. Dengan mencaci maki dan merutuk, lelaki tua itu
berkelebat pergi. Tubuhnya terbungkus oleh kabut
tebal, kemudian lenyap dalam sekejap.
5 Orang berjubah putih yang menyambar tubuh
Pendekar Gila terus berlari cepat Begitu cepatnya berlari, sampai-sampai kakinya
tak menginjak tanah. Dia melesat cepat laksana terbang. Tidak begitu lama,
sampailah orang itu di pesisir pantai laut selatan.
Orang itu menghentikan langkahnya. Matanya
menyapu ke sekelilingnya, seakan meyakinkan diri ka-
lau tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah ya-
kin tak ada seorang pun yang melihat, dengan me-
manggul tubuh Pendekar Gila tubuhnya melenting ke
atas. "Hih!"
Tubuh orang itu bersalto di atas lautan, kemu-
dian dengan ringan melesat masuk ke dalam karang
besar yang menonjol di lautan. Dan kakinya mendarat
ringan di depan sebuah goa.
Orang itu menghela napas seraya memandang
wajah Pendekar Gila yang memerah. Kemudian dengan
ringan, kakinya melangkah masuk ke dalam goa yang
tak lain Goa Setan. Dan tentunya orang berjubah putih itu adalah Singo Edan.
Guru Pendekar Gila!
"Hm...," Singo Edan menggumam. Kakinya terus melangkah ke dalam goa. Sesekali
dipandanginya wajah Sena yang kian membara. "Racun jahat!"
Singo Edan berhenti di sebuah ruangan lebar.
Tempat tersebut dulu digunakan untuk tidur Sena
Manggala. Di situ terdapat sebuah batu panjang dan
cukup lebar berbentuk datar. Batu itulah yang biasa-
nya dipakai Sena untuk tidur ketika masih berada di
Goa Setan. Tubuh Sena direbahkan di atas batu itu. Setelah
memandangi tubuh muridnya, Singo Edan melangkah
keluar. Dia kini menuju ruangan yang digunakan un-
tuk menyimpan racun dan obat-obatan.
"Racun Sambuk Nyawa bukanlah racun semba-
rangan. Ah, mengapa aku tidak ingat kalau racun itu
masih ada?" keluh Singo Edan, menyesali keteledorannya. "Kalau saja racun itu
kuketahui masih ada, tentunya Sena tidak mengalami hal seperti ini."
Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Lalu tan-
gannya menepuk-nepuk kening. Matanya mencari ra-
cun-racun yang ada di ruangan itu.
"Huh! Mengapa racun itu kembali muncul" Bu-
kankah racun itu telah musnah bersamaan dengan
musnahnya tukang sihir itu?" tanya Singo Edan pada diri sendiri. Nadanya masih
menyesali keteledorannya, sehingga muridnya harus mengalami hal yang tak pernah
diduga sama sekali.
Singo Edan terus mencari obat yang bisa mena-
warkan Racun Sambuk Nyawa. Matanya terus me-
mandangi satu persatu botol-botol obat dan racun tersebut. Namun tidak juga
ditemukannya. "Hm.... Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi"
Bukankah Dewi Pemuja Setan telah musnah?" kening Singo Edan berkerut, memikirkan
keanehan itu. Inga-tannya kembali melayang pada masa mudanya, ketika
dia masih malang-melintang di rimba persilatan. Berkelana menumpas
keangkaramurkaan.
Suatu hari ketika dia tengah berkelana, Singo
Edan singgah di sebuah desa. Di situ, didengarnya tentang Dewi Pemuja Setan.
Ilmu-ilmunya tinggi, terlebih dalam hal ilmu sihir. Dia bisa menjelma menjadi
makhluk apa pun yang dikehendakinya.
Di samping ilmu sihirnya yang hebat, wanita itu
memiliki ilmu racun yang ganas bernama Sambuk
Nyawa. Orang yang terkena racunnya, akan mengalami
kematian yang mengerikan. Tubuhnya akan menjadi
mayat yang mengerikan. Bengkak-bengkak, kemudian
pecah dengan mengeluarkan nanah. Hal itu terjadi be-
rangsur-angsur. Hingga korbannya benar-benar tersik-
sa hebat Keduanya bertemu, kemudian bertarung. Singo
Edan tak pernah menyangka, kalau Dewi Pemuja Se-
tan yang katanya telah berumur tujuh puluh lima ta-
hun itu ternyata masih cantik jelita. Bahkan keliha-
tannya masih muda belia, lebih muda dari usianya
yang saat itu berumur dua puluh dua tahun.
Keduanya bertarung dengan ilmu-ilmu tinggi.
Dewi Pemuja Setan mengeluarkan ilmu-ilmu sihirnya.
Namun dengan Suling Naga Sakti, Singo Edan mampu
mengatasinya. Sampai akhirnya, Singo Edan diserang
dengan Racun Sambuk Nyawa. Hampir saja Singo
Edan mengalami kematian. Tapi tanpa diduga, di per-
jalanan pulang dalam keadaan luka, kakinya digigit
seekor ular berwarna putih.
Setelah digigit ular itu, anehnya Racun Sambuk
Nyawa lenyap. Singo segera memotong tubuh ular pu-
tih yang bernama Sandra Dewa, lalu mereguk darah-
nya sampai habis. Rupanya ular itu adalah obat pena-
war dari Racun Sambuk Nyawa yang diambil dari ular
merah yang bernama Wiraga Kala.
Singo Edan pun kembali mencari Dewi Pemuja
Setan. Keduanya kembali bertarung, sampai akhirnya
Dewi Drugadi atau Dewi Pemuja Setan dapat dikalah-
kan. Tubuh wanita itu hancur terkena hantaman sinar
yang keluar dan sepasang mata naga di pangkal Suling Naga Sakti.
"Ah ah ah...!" Singo Edan menepuk-nepuk keningnya. "Bukankah hanya ada satu obat
yang mampu menawarkan Racun Sambuk Nyawa?"
Dengan tingkah laku seperti orang gila, Singo
Edan melangkah keluar dari ruangan itu.
"Aku harus mencari ular putih itu," bisik Singo Edan seraya menggaruk-garuk
kepala. "Tapi, apa ular itu ada" Menurut kabar, ular itu muncul setiap setengah
abad sekali."
Singo Edan menggaruk-garuk kepala. Kemudian
bagaikan orang gila, jari tangannya dihitung.
"Ya ya ya...! Tentunya ular itu memang ada sekarang. Aku harus mencarinya," ujar
Singo Edan seraya melangkah ke ruang di mana tubuh Sena tergeletak.
Saat itu tubuh Sena kian merah membara. Per-
tanda Racun Sambuk Nyawa mulai bekerja.
"Hm.... Aku harus menghentikan jalan darahnya!"
Jari Singo Edan segera menotok beberapa bagian
tubuh muridnya untuk menghentikan jalan darah.
Dan hasilnya memang baik. Sinar merah yang memba-
ra di tubuh Sena sedikit memudar. Kini tinggal wajahnya saja yang masih membara,
namun tidak separah
sebelumnya. "Hm.... Bagus! Kini aku harus segera mencari
ular itu. Aku harus ke puncak Gunung Candraka."
Setelah memandangi kembali tubuh Sena yang
masih tergeletak pingsan, tubuh Singo Edan melesat
meninggalkan tempat itu. Dia harus mencari ular pe-
nawar racun yang mengeram dalam tubuh muridnya.
Tidak lama kemudian, Singo Edan telah kembali.
Di tangannya tergenggam seekor ular berwarna putih
yang masih hidup. Ular itu tak mau menggigit tubuh
Singo Edan. Seakan tahu kalau tubuh lelaki tua itu telah kebal terhadap
racunnya. Singo Edan mendekati tubuh Sena yang masih
terbaring tanpa daya. Kemudian mulut ular putih itu
didekatkan ke perut Sena. Sedangkan tangan kirinya
menotok jalan darah di tubuh Sena.
Tep, tep, tep! "Hm, semoga aku berhasil," gumamnya sambil mendekatkan mulut ular putih itu.
Seketika itu juga
ular putih yang mencium bau racun lawan langsung
menggigit perut Pendekar Gila.
Crab! Ular putih itu mendesis-desis. Dengan ganas di-
gigitnya perut Sena. Bisanya masuk ke dalam tubuh
Sena bersamaan dengan taringnya yang runcing.
Keanehan terjadi. Ular putih itu menggelepar-
gelepar sekarat. Sedangkan tubuh Sena mengepulkan
asap hitam. Pertanda kalau kedua racun itu tengah
berusaha saling mengalahkan dalam tubuh Sena.
Ular putih itu terkulai lemas. Sedangkan tubuh
Sena kini bersinar terang.
"Hua ha ha...! Aku berhasil!" seru Singo Edan girang, menyaksikan Racun Sambuk
Nyawa telah mus-
nah. Bahkan tubuh muridnya akan kebal terhadap se-
gala racun bila meminum darah ular putih itu.
Singo Edan melangkah, meninggalkan tubuh Se-
na yang masih tak bergeming. Tidak lama kemudian,
dia kembali ke tempat itu dengan membawa pisau.
Tuk! Singo Edan menotok urat leher Sena, membuat
mulut pemuda tampan itu membuka. Saat itu juga,
Singo Edan segera menyayat tubuh ular putih yang
lemas itu, lalu meneteskan darahnya ke dalam mulut
Sena. "Hm.... Kini semuanya telah beres," gumam Singo Edan. Dia bergegas
meninggalkan tempat itu, untuk
menunggu sampai muridnya siuman.
Benar juga! Tidak lama kemudian, Sena Siuman.
Tubuhnya nampak menggeliat, berusaha melemaskan
otot-ototnya yang kaku.
"Oh! Racun itu hilang. Ah, tenagaku pulih!" seru Sena girang. Tubuhnya segera
melompat bangkit. Ma-
tanya menyapu ke sekeliling tempat itu. "Goa Setan"
Ah, bagaimana mungkin aku di sini" Bukankah tadi
aku berada di candi?"
Sena masih kebingungan. Hatinya seketika dili-
puti oleh amarah. Api amarah itu membakar jiwanya,
mana kala benaknya ingat kembali akan perbuatan
gurunya di candi itu. Sang Guru yang dihormati dan
dijunjung tinggi petuahnya telah tega meracuninya.
"Keparat! Aku harus membalas semuanya! Hm....
Kini aku tak peduli siapa pun dia. Meski dia guruku, tapi dia telah menyakiti
ku!" Sena bergegas keluar dari ruangan itu. Dia hen-
dak mencari Singo Edan yang dianggapnya telah ber-
buat keji. Malah hampir saja dia binasa.
"Mau ke mana" Tubuhmu masih lemah." Baru
beberapa langkah Sena keluar, tiba-tiba terdengar sua-ra Singo Edan.
Amarah Sena meledak, setelah mengetahui gu-
runya berada di tempat itu juga. Namun, Sena menjadi agak heran. Dia tak
mengerti, mengapa gurunya seperti itu" Tadi meracuni dan bahkan hendak membu-
nuhnya. Mengapa kini seakan membiarkan dirinya
berbuat leluasa"
"Kau masih lemah. Kau perlu istirahat," tegur Singo Edan kembali.
"Persetan dengan omongan mu!" dengus Sena, sengit.
"Sena. Tak baik kau berkata begitu," kata Singo Edan masih dengan suara tenang.
Kaki Sena melangkah ke tempat gurunya biasa
berada. Kini keduanya berhadap-hadapan. Tapi Singo
Edan masih duduk tenang di atas batu yang biasa di-
pergunakannya. "Kau telah mencoba membunuhku! Huh, begitu-
kah watak seorang guru"!" dengus Sena sinis, dilanda-
si oleh kemarahan. "Kau begitu kuhormati! Petuah mu sangat ku agungkan. Namun
ternyata kini kau keji!
Kau kejam! Tidak kusangka kalau aku memiliki guru
yang sesat!"
"Sena...!" seru Singo Edan.
"Bertobatlah pada Hyang Widhi, sebelum kukirim
kau ke akhirat! Dosamu telah terlalu banyak!" ujar Se-na dengan suara masih
tinggi, masih diburu oleh ama-
rah. "Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan padamu... "
"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang
Widhi, agar perbuatanmu diampuni! Heaaa...!"
Sena segera menerjang dengan cepat Bukan lagi
jurus pembuka 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang digunakan, melainkan jurus 'Si
Gila Melebur Gunung


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karang'. Tangannya bagai sepasang tangan milik dewa, menghantam dan menyambar
tubuh Singo Edan.
"Uts..!"
Bukkk! Singo Edan yang tahu kalau muridnya salah pa-
ham, sama sekali tidak mau membalas. Dia hanya me-
nangkis serangan-serangan yang dilancarkan Sena.
Tingkah keduanya persis orang gila yang bercanda da-
lam lingkaran maut. Namun justru gerakan-gerakan
itu yang sangat dahsyat dan berbahaya.
"Sena, hentikanlah! Kau salah paham, Anak-
ku...," bujuk Singo Edan, masih berusaha menyadarkan muridnya.
"Salah paham" Ha ha ha...! Rupanya nyalimu te-
lah ciut! Tidak kusangka, orang yang selama ini ku
agung-agungkan ternyata tidak lebih dari iblis bertubuh manusia! Heaaa...!"
Sena terns melancarkan jurus-jurus gilanya. Jurus-
jurus yang sangat dahsyat. Namun begitu, Singo Edan
yang juga amat menguasai jurus-jurus itu jelas tak
mengalami kerepotan. Kalau mau, tentunya Singo
Edan mampu menghentikan semuanya. Tapi Singo
Edan tidak melakukannya. Kalau dilakukannya, tentu
Sena akan semakin yakin kalau dia yang telah mera-
cuninya. "Rupanya kau telah dikuasai oleh iblis! Hingga
kau semakin sombong dan takabur. Lupa akan kekua-
saan Hyang Widhi!" dengus Sena marah, menyaksikan Singo Edan tak juga mau balas
menyerang. "Sena, lakukanlah apa yang kau inginkan! Kau
tak akan percaya kalau aku menjelaskannya. Untuk
itulah, sebagai pendekar yang berpegang teguh atas
kebenaran dan keadilan, aku rela mati di tanganmu.
Tangan muridku sendiri! Nah, lakukanlah! Cabut Sul-
ing Naga Sakti, sebab hanya senjata itulah yang mam-
pu membunuhku!" seru Singo Edan.
"Sena, dengarlah. Aku akan menjelaskan...."
"Persetan denganmu! Berdoalah pada Hyang Wid-hi, agar perbuatanmu diampuni!
Heaaa...!"
"Uts...!"
Bukkk! Singo Edan tahu kalau muridnya salah paham,
maka serangannya hanya ditangkis dan tidak dibalas!
Sena tersentak seraya melompat mundur dua
tindak. Matanya menatap tajam wajah gurunya yang
masih tersenyum. Tangannya memegang Suling Naga
Sakti yang terselip di pinggangnya.
"Kau ragu, Sena" Kalau begitu, lakukanlah den-
gan jurus maut mu yang dahsyat. Yang kau dapatkan
di hutan dari seekor kera. Bukankah jurus 'Tamparan
Sukma' yang kau kuasai, jauh lebih dahsyat diban-
dingkan dengan jurus-jurus gila" Ayo, lakukanlah!"
tantang Singo Edan, menyaksikan muridnya kini
hanya terdiam. Nampaknya Sena dilanda kebimban-
gan. Singo Edan tertawa terbahak-bahak.
"Kau takut Sena?"
"Tidak...!"
"Mengapa tidak kau lakukan?" tanya Singo Edan.
"Baik! Jangan menyesal kalau aku membunuhmu!
Maaf...!" Usai berkata demikian, Sena segera memperaga-
kan jurus 'Tamparan Sukma'nya. Singo Edan tak ber-
geming dari tempatnya berdiri. Bahkan mulutnya ma-
sih tersenyum. Matanya masih memandangi gerakan-
gerakan yang dilakukan muridnya.
"Heaaa...!"
Sena bergerak hendak menyerang. Namun saat
itu juga, sebuah bayangan berkelebat menghadang ge-
rakannya. Bayangan itu segera memapaki jurus yang
dilakukan Sena.
"Nguk!"
Desss! "Ukh...!"
Sena mengeluh pendek. Matanya seketika mem-
belalak, menyaksikan siapa yang telah menghadang
jurus 'Tamparan Sukma'nya. Ternyata seekor kera.
"Kau..."! Mengapa kau menghalangi niatku, Ka-
wan"! Dia jahat! Dia telah membunuh orang dengan
keji. Dia telah melanggar sumpahnya untuk tidak main perempuan. Dia juga telah
meracuni ku. Uhuk...!"
Sena terbatuk-batuk. Tenaganya yang belum pu-
lih benar, membuat tubuhnya belum kuat. Hanya ka-
rena amarah saja, membuatnya memaksakan diri un-
tuk bangkit. Tubuh Sena terhuyung-huyung, dan
kembali jatuh pingsan.
Entah sudah berapa lama Sena tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, tubuhnya telah berada di atas pem-
baringan semula. Di kanan dan kirinya, Singo Edan
dan Kera Sakti menungguinya.
"Kawan, mengapa kau membela orang yang ja-
hat?" tanya Sena pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk...!"
Kera Sakti menggeleng-gelengkan kepala. Kemu-
dian dengan bahasa isyarat, Kera Sakti mengatakan
kalau Sena justru yang telah salah sangka. Singo Edan tetap seperti dulu. Tetap
gurunya yang bijaksana.
Bahkan Kera Sakti menjelaskan, bahwa Singo Edan
yang membawa Sena ke Goa Setan.
"Guru.... Ampunilah saya. Hukumlah saya yang
telah lancang dan berdosa," ratap Sena, menyesali per-buatannya yang telah
lancang terhadap sang Guru.
Singo Edan tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Lucu sekali kau, Bocah Gila! Hua ha ha...! Men-
gapa kau meratap seperti itu, Bocah Edan! Kau tidak
salah. Bangunlah! Kebetulan sahabatku datang kema-
ri," kata Singo Edan.
Sena segera bangun. Lalu menyembah dan men-
cium kaki gurunya. Kemudian setelah Singo Edan
memegang pundaknya dan menyuruhnya berdiri, Sena
pun menurut dan berdiri.
"Kita ngobrol-ngobrol. Bagaimana, Sahabat?"
tanya Singo Edan pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk...!"
Kera Sakti mengangguk-angguk. Lalu mereka
bertiga melangkah ke tempat Sena dan gurunya berta-
rung. Singo Edan duduk di tempat biasa. Sementara
Sena dan Kera Sakti duduk bersila di bawah.
"Dengarlah baik-baik olehmu, Sena," tutur Singo Edan. Kemudian dia pun
menceritakan siapa sebenarnya Kera Sakti itu, juga hubungannya dengan mereka
yang mewarisi ilmu Pendekar Gila dari Goa Setan.
Kera Sakti itu adalah sahabat baik dari Pendekar
Gila terdahulu. Asalnya, orangtua sekaligus guru dari Kera Sakti, dikeroyok oleh
manusia. Sepasang kera itu dikeroyok oleh orang-orang rimba hitam karena
dianggap menjadi penghalang sepak terjang mereka. Hampir
saja kedua orangtua Kera Sakti binasa. Saat itu datang Ki Amba Dewa atau
Pendekar Gila dari Goa Setan yang
menolong mereka dan mengalahkan para tokoh rimba
hitam. "Nah, sejak saat itulah Eyang Guru bersahabat
dengan kedua orangtua Kera Sakti. Bukan begitu, Kera Sakti?" tanya Singo Edan.
"Nguk, nguk...!"
Kera Sakti mengangguk-angguk.
"Itu sebabnya dia menolongmu, Sena. Sekarang
kalian dengarlah tentang apa yang telah menimpa Se-
na." Kembali Singo Edan menceritakan tentang Dewi
Drugani atau Dewi Pemuja Setan. Secara singkat Singo Edan menceritakan semuanya.
"Aku heran, bagaimana mungkin racun itu ada
lagi" Padahal Dewi Pemuja Setan telah lenyap puluhan tahun silam."
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan menyelidi-
kinya, Guru."
"Ya! Berangkatlah. Doa ku akan selalu mengiringi mu," kata Singo Edan.
Setelah menjura, Sena beranjak pergi meninggal-
kan tempat itu untuk meneruskan petualangannya
yang sempat tertunda akibat kelalaiannya.
Kera Sakti pun meninggalkan Goa Setan, selang
beberapa saat setelah kepergian Sena (Mengenai Kera
Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Duel di Puncak Lawu").
6 Lembah Lamur pagi itu masih diselimuti kabut
tebal. Dari arah utara, nampak tiga lelaki berambut
merah melangkah menuju lembah itu. Dilihat dari
warna rambut dan jubahnya, jelas ketiga lelaki itu adalah Tiga Setan Rambut Api.
Seperti tujuan orang-orang persilatan lainnya, Ti-
ga Setan Rambut Api juga bermaksud mencari Titisan
Dewi Kwan Im, yang menurut kabar berada di Lembah
Lamur. Ketika Tiga Setan Rambut Api melangkah menuju
ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba berkelebat dua
bayangan. Seorang berjubah putih dan berwajah persis dengan Singo Edan.
Sedangkan satu lagi seorang gadis cantik berkulit kuning langsat seperti orang
Cina. Di pundak gadis itu tersandang sebilah pedang yang ga-
gangnya terbuat dari emas.
Melihat kehadiran gadis cantik berbaju putih ter-
sebut, seketika Tiga Setan Rambut Api membelalakkan
mata. "Dewi Kwan Im...!"
"Hua ha ha...! Rupanya mata kalian masih belum
buta, Tiga Setan Rambut Api," kata lelaki berwajah Singo Edan. Nada suaranya
menunjukkan kesombongan. "Apa yang kalian lihat memang benar. Dialah Titisan
Dewi Kwan Im. Dan akulah yang memilikinya."
Tiga Setan Rambut Api membelalakkan mata,
mendengar ucapan lelaki tua yang berdiri sekitar sepuluh tombak di depan mereka.
Kemudian ketiganya sal-
ing pandang dengan kening berkerut
"Bukankah dia Singo Edan?" tanya Untara.
"Ya!" sahut kedua adiknya.
"Hm, bagaimana mungkin Singo Edan punya niat
untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Untara bergumam. Matanya masih
memandang lekat pa-
da lelaki tua yang persis dengan Singo Edan, kemu-
dian beralih pada gadis cantik di sampingnya.
"Hua ha ha...! Apa yang kalian bingungkan?"
tanya lelaki tua yang wajahnya persis Singo Edan.
"Kusarankan pada kalian, lebih baik kalian bergabung denganku!"
"Hm...," Untara bergumam. Matanya mengerling pada kedua adiknya yang
menganggukkan kepala.
"Aha, sungguh tidak kuduga kalau Singo Edan ru-
panya masih saja tergiur oleh hal duniawi. Ternyata
sumpahmu untuk tidak menikah hanya omong ko-
song!" "Hua ha ha...! Kau salah, Untara. Bagaimanapun juga, aku lelaki normal.
Lagi pula, aku pun ingin menjadi orang yang tak tertandingi. Bukankah dengan
memiliki Titisan Dewi Kwan Im, keberuntungan ada
padaku?" Tiga Setan Rambut Api kembali saling pandang
mendengar penuturan Singo Edan. Kening mereka se-
makin berkerut. Mereka benar-benar tidak mengerti,
bagaimana mungkin Singo Edan bisa berubah" Yang
mereka ketahui, Singo Edan adalah tokoh aliran lurus yang gigih menumpas
kejahatan. Mana mungkin secepat itu berubah" Mungkinkah selama menghilang Sin-
go Edan telah mengubah pikirannya"
Tiga Setan Rambut Api benar-benar tak habis pi-
kir. Bagaimanapun juga, mereka telah mendengar na-
ma besar Singo Edan. Begitu juga dengan sepak ter-
jangnya puluhan tahun yang silam. Kalau kini tiba-
tiba berubah, rasanya sangat aneh sekali.
"Hm.... Kau benar, Singo Edan. Memang setiap
manusia memiliki ambisi. Kami tahu siapa kau. Na-
mun begitu, kami pun tak mau kehilangan Titisan De-
wi Kwan Im," kata Untara setelah lama merenung, mencoba menyibak keanehan Singo
Edan. "Jadi kalian ingin mengambilnya dariku?"
"Ya!" sahut Untara.
"Hua ha ha...! Kuakui nama besar kalian memang
menakutkan. Tapi Singo Edan bukan anak kecil yang
bisa digertak!" dengus Singo Edan. "Kusarankan, agar kalian cepat bersujud
meminta ampun atas tindakan
kalian yang berani datang ke Lembah Lamur ini, sebe-
lum aku berubah pikiran."
"Kurang ajar! Jangan kira kami takut menghada-
pimu, Singo Edan! Untuk mendapatkan Titisan Dewi
Kwan Im, kami siap bersabung nyawa denganmu!"
dengus Undani. "Ya! Lagi pula, kami memang ingin sekali-sekali mencoba ilmumu!" timpal
Umbakara. Singo Edan tertawa tergelak-gelak mendengar
tantangan yang diucapkan Tiga Setan Rambut Api. Se-
pertinya tantangan mereka bagai tiada arti sama sekali baginya.
"Percuma kalian menantangku. Guru kalian se-
kalipun tak akan mampu menandingi ku!" kata Singo Edan, pongah.
"Tutup mulutmu, Singo Edan! Kuharap kau mau
memberikan gadis itu pada kami! Atau kami terpaksa
menghajarmu!" bentak Untara marah.
"Hua ha ha...! Kalian lucu sekali. Bagaimana
mungkin kalian yang tolol memiliki Titisan Dewi Kwan Im" Hua ha ha...!" Singo
Edan kembali tertawa terbahak-bahak. Kemudian senyumnya mengembang den-
gan sinis. Membuat Tiga Setan Rambut Api semakin
dibakar oleh amarah mendengar ucapan itu.
"Hhh...! Sombong!" rutuk Undani. "Rupanya mulutmu memang harus disobek!"
"Lebih baik kita hajar saja, Kakang," tukas Umbakara.
Singo Edan kembali tertawa.
Amarah Tiga Setan Rambut Api kian membara,
mendengar ucapan Singo Edan serta tawanya yang pe-
nuh ejekan. Ketiganya segera meloloskan cambuk.
Kemudian dengan mendengus, mereka maju serentak.
Ctar! "Yiaaat..!"
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintah lelaki yang berwajah mirip Singo Edan.
Seketika Mei Lie atau Titisan Dewi Kwan Im men-
cabut pedangnya. Pada saat itu pula, sinar merah ke-


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuning-kuningan memancar dari mata pedang, mem-
buat Tiga Setan Rambut Api tersentak.
"Pedang Bidadari...!" seru ketiganya sambil melompat mundur.
"Hua ha ha...! Kalian seperti tikus ketakutan.
Nah, aku kembali menyarankan pada kalian. Lebih
baik kalian ikut denganku, daripada kalian harus
mampus oleh Pedang Bidadari!" seru lelaki berwajah seperti Singo Edan.
Tiga Setan Rambut Api saling pandang. Kemu-
dian mereka memasukkan cambuk ke ikat pinggang
masing-masing. "Baiklah, kami menyerah."
"Bagus! Percuma kalian melawanku," ucap Singo Edan masih dengan suara penuh
kesombongan. "Ikut aku!" Tubuh kelima orang itu pun berkelebat pergi, masuk ke
dalam kabut tebal yang bergulung-gulung.
Dalam sekejap mereka telah menghilang.
*** Selang beberapa saat kemudian, ketika kabut
yang menyelimuti Lembah Lamur telah hilang. Nampak
dua lelaki melangkah ke tempat itu. Keduanya berwa-
jah kembar dan tampan. Pakaian yang dikenakan kun-
ing mengkilat bergaya pakaian Bali. Golok panjang ber-tengger di punggung
mereka. Dilihat dari pakaian ke-
duanya, nampaknya mereka dari golongan atas.
Dua lelaki kembar berkumis tipis itu datang dari
wilayah timur tanah Jawa Dwipa. Mereka pun ten-
tunya telah mendengar berita tentang Titisan Dewi
Kwan Im. Di rimba persilatan, mereka mendapat gelar
Manyar Kembar dari Bali. Yang tertua bernama Ma-
nyar Ngesti dan yang muda bernama Manyar Asti.
"Kau yakin di sini tempatnya, Asti?" tanya Manyar Ngesti.
"Entahlah," sahut Manyar Asti dengan mata menyapu ke sekelilingnya yang sepi.
Tak ada tanda-tanda kehidupan di lembah itu. Satu pohon pun tidak ada.
Yang ada hanya bukit kecil dan debu-debu yang beter-
bangan manakala angin bertiup.
"Hm.... Bagaimana mungkin tempat seperti ini
dikatakan ada orangnya" Tidak masuk akal," gumam Manyar Ngesti. Matanya masih
menyapu ke sekeliling
tempat itu. Namun masih saja tidak ada tanda-tanda
kehidupan. "Bagaimana mungkin Titisan Dewi Kwan Im ada di sini?"
"Hhh...! Kurasa ada misteri di tempat ini, Ka-
kang," desah Manyar Asti.
"Mungkin."
"Lihat, ada kabut!" seru Manyar Asti sambil menunjuk ke arah kabut tebal yang
bam saja datang dari bukit-bukit kecil di sebelah selatan.
"Ya! Hei, kabut itu bergerak kemari!" pekik Manyar Ngesti.
"Sepertinya ada yang menggerakkan, Kakang."
"Benar! Cepat kita hadang dengan pukulan 'Sari
Rogo'!" "Siap, Kakang! Hiaaa...!"
Mereka segera menyatukan satu telapak tangan.
Sedangkan tangan yang lain, kini digerakkan
mengarah ke gulungan kabut yang merayap menuju
mereka. Dari tangan mereka terbersit sinar bergulung-
gulung bagai gelang-gelang terbang berwarna biru.
Lingkaran-lingkaran itu semakin bertambah besar.
Sampai akhirnya bertemu dengan kabut untuk meng-
hadangnya. "Yeaaat..!"
"Waaat..!"
Kedua lelaki kembar itu semakin mengerahkan
tenaga dalamnya, menjadikan lingkaran sinar biru
kian banyak dan kuat. Namun kabut yang datang ter-
nyata lebih kuat
"Celaka! Angin membadai datang!" seru Manyar Ngesti kaget
"Benar, kakang! Apa yang harus kita lakukan?"
tanya Manyar Asti.
"Cepat kita ganti dengan 'Perangkap Buana'."
"Mari, Kakang! Yiaaat..!"
"Heaaat..!"
Tangan mereka kini terlepas satu sama lain. Dis-
ilangkan ke depan, kemudian dengan mengerahkan
tenaga dalam, keduanya menghentakkan telapak tan-
gan ke arah kabut
Srrrt! Larikan-larikan sinar kuning bagai bambu, ke-
luar dari telapak tangan mereka. Larikan-larikan lurus itu lalu memagari kabut
tebal itu. Seperti perangkap raksasa dari bambu.
"Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar Asti, menyaksikan pukulan sakti mereka
dapat menghadang
kabut. Namun tiba-tiba angin kencang menyapu ke
arah mereka dengan keras.
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti.
Mata lelaki berwajah tampan itu membelalak te-
gang, merasakan sesuatu yang tidak pernah didu-
ganya. Selama ini, keduanya belum pernah mengalami
kegagalan seperti itu. Ajian-ajian yang mereka kerahkan, senantiasa mendapatkan
hasil. Tapi kini malah
berantakan. Tak satu pun bisa menghadang kabut
tebal itu. "Ini bukan kabut sembarangan, Asti," desis Manyar Ngesti.
"Sepertinya benar, Kakang!" sahut Manyar Asti.
"Ya! Entah siapa yang memiliki Kabut Gaib itu,"
gumam Manyar Ngesti. "Rupanya benar kalau Titisan Dewi Kwan Im ada di tempat
ini. Ini sebuah halangan
yang dibuat oleh para dewata."
Wusss! Angin kencang menderu ke arah mereka, mem-
buat pakaian yang mereka kenakan tersibak. Bahkan
kain pengikat kepala mereka terbang tertiup angin.
Tubuh mereka gontai, berusaha menahan hembusan
angin yang menderu keras.
Pada saat itu, tiba-tiba dari kepungan kabut ber-
kelebat sebuah bayangan putih. Tangan bayangan itu
menggenggam sebilah pedang bersinar merah kekun-
ing-kuningan. "Heaaat..!"
"Dewi Kwan Im...!" pekik keduanya kaget setelah melihat siapa yang keluar dari
dalam kabut tebal itu.
Seorang gadis cantik dengan kulit kuning langsat
"Awas, Asti...!" seru Manyar Ngesti mengingatkan adiknya, ketika sosok wanita
cantik berkulit kuning
langsat itu membabatkan pedang ke arah mereka.
Tangan kirinya dengan cepat mendorong tubuh Ma-
nyar Asti. Sedangkan tangan kanannya segera menca-
but golok panjang di punggungnya.
Srrrt! Trang! "Hiaaat..!"
Manyar Ngesti berusaha membalas serangan la-
wan seraya memiringkan tubuh. Golok panjangnya di-
babatkan dengan cepat.
Menyaksikan kakaknya menyerang, segera Ma-
nyar Asti ikut mencabut goloknya. Didahului pekikan
menggelegar, Manyar Asti menyerbu ke arah gadis can-
tik dari Cina yang dianggap oleh mereka sebagai Titisan Dewi Kwan Im.
"Aha, rupanya Titisan Dewi Kwan Im sendiri yang menemui kami! Kakang, beruntung
sekali kita rupanya. Jangan sampai dia celaka. Kita harus menang-
kapnya hidup-hidup," ujar Manyar Asti sambil berge-
rak melakukan serangan. Tangannya berusaha meno-
tok tubuh gadis cantik dari Cina itu. Namun gadis
yang diserang dengan cepat memutar pedangnya ke
tangan lawan. "Heaaat!"
Wut! "Uts...!" Manyar Asti cepat menarik tangannya.
Kurang cepat sedikit saja, tentu tangan Manyar Asti
akan terbabat oleh pedang lawan. "Celaka! Dia dalam keadaan tak sadar, Kakang!
Rupanya ada seseorang
yang mempengaruhinya!"
"Benar! Rupanya kita telah tertipu oleh cerita mereka! Dia bukan Titisan Dewi
Kwan Im!" "Ya! Awas, Kakang!"
Wut! Hampir saja pedang di tangan gadis cantik dari
Cina itu membabat tubuh Manyar Ngesti. Untunglah
Manyar Ngesti segera mengelakkannya.
"Gadis ini tak mungkin kita tundukkan, Kakang.
Yang bekerja pada otaknya, bukan kehendaknya. Tapi
kehendak orang yang mempengaruhinya!"
"Benar!"
Keduanya kini tidak mau main-main lagi, setelah
tahu kalau gadis Cina itu dalam keadaan terpengaruh.
Manyar Ngesti dan Manyar Asti dengan cepat memba-
batkan golok ke arah lawan.
"Yiaaat...!"
Trang! Prak! Manyar Ngesti tersentak kaget, ketika goloknya
terbabat pedang di tangan gadis Cina itu. Goloknya seketika patah menjadi dua,
tak mampu menahan baba-
tan pedang di tangan lawan.
"Celaka...!" pekik Manyar Ngesti kaget, ketika pedang lawan kini bergerak cepat
ke arahnya. Tentu pe-
dang lawan akan membabat wajahnya, kalau saja tu-
buhnya tidak segera berkelit ke samping.
Gadis Cina itu terus melabrak. Gerakannya
mungkin tidak sehebat para pendekar pedang. Namun
pedang di tangannya bagai menambah kehebatan bagi
siapa saja yang memegangnya. Dan itu yang membuat
gadis Cina yang tak lain Mei Lie, bergerak begitu lincah, cepat dan mematikan.
Sangat bertentangan sekali dengan jurus 'Pedang Bidadari' yang dipelajarinya.
"Hiaaa...!"
Wut, wut, wut...!
Pedang bidadari bergerak cepat laksana angin,
membabat dan menusuk ke arah dua orang lawan
yang kini dalam keadaan terdesak.
"Celaka, Kakang! Dia benar-benar kerasukan!"
keluh Manyar Asti.
"Ya! Kita harus bisa mematahkan serangannya!
Kita gunakan saja aji 'Sari Rogo'."
Setelah mengelak beberapa tombak ke belakang,
keduanya segera membuka ajian 'Sari Rogo' yang me-
reka kuasai. Setelah melihat lawan hendak kembali
menyerang, mereka segera melontarkan ajian tersebut
"Yiaaa...!"
"Heaaat..!"
Larikan sinar biru bergulung-gulung keluar dari
tangan mereka. Sinar biru itu kembali membelit tubuh Mei Lie. Seketika tubuh
gadis itu bagai dibelenggu oleh sinar biru.
"Ha ha ha...! Kita berhasil, Kakang!" seru Manyar Asti senang, menyaksikan ajian
mereka dapat membe-lenggu tubuh Mei Lie, sehingga gadis Cina itu tak
mampu lagi bergerak.
"Kita bawa saja dia pergi dari sini," usul Manyar Ngesti.
'Ya! Kurasa dia tidak bersalah. Kita harus meno-
longnya," sambut Manyar Asti.
Keduanya hendak membawa pergi tubuh Mei Lie
dengan mengerahkan tenaga dalam mereka agar be-
lenggu yang membelit tubuh Mei Lie tak lepas. Tapi belum juga mereka beranjak
pergi, tiba-tiba....
"Lepaskan dia!"
Kepala lelaki kembar itu langsung menengok ke
belakang. Kini nampak tiga lelaki berjubah merah.
Rambut mereka pun berwarna merah bagai api. Ten-
tunya ketiga lelaki ini tiada lain dari Tiga Setan Rambut Api.
"Tiga Setan Rambut Api. Hm.... Apa urusan ka-
lian dengan gadis ini, sehingga kalian mencampuri
urusan kami?" tanya Manyar Ngesti tak senang. Terlebih setelah tahu siapa
mereka. Tiga lelaki dari aliran sesat tersebut merupakan musuh masyarakat.
Kejahatan mereka telah menjadi momok yang menakutkan.
"Aha, beruntung sekali kami menemukan kalian
di sini!" dengus Manyar Asti. "Kebetulan sekali. Dari jauh kami datang mencari
kalian. Tidak disangka, akhirnya kami bisa menemukan kalian di sini!"
Tiga Setan Rambut Api tersenyum sinis, menyak-
sikan kedua lawannya. Seakan ketiganya menganggap
kedua lawan bukan orang-orang yang harus ditakuti.
Terlebih karena Singo Edan bersama mereka. Siapa
pun tokoh rimba persilatan, akan berpikir seratus kali untuk menghadapi Singo
Edan. "Manyar Kembar! Kuperingatkan pada kalian
agar melepaskan gadis itu. Kemudian segeralah me-
nyembah!" bentak Untara dengan mata melotot marah, pertanda marah.
Manyar Kembar dari Bali tertawa terbahak-bahak
mendengar perintah Untara yang dianggapnya som-
bong. "Setan laknat! Berani sekali kalian mengancam
kami! Kalianlah yang harus menyerah untuk kami hu-
kum!" balas Manyar Asti tak mau kalah. Meski mereka belum pernah bertarung,
namun Manyar Asti merasa
yakin dapat menunaikan tugas para pendekar aliran
putih untuk menangkap Tiga Setan Rambut Api.
"Kurang ajar! Rupanya kalian berdua mencari
mampus!" maki Undani. "Jangan salahkan kalau tangan kami akan memecahkan batok
kepala kalian!"
"Hm.... Apa tidak sebaliknya?" ujar Manyar Ngesti sinis. "Mungkin kepala
kalianlah yang akan kami pe-cahkan!"
"Bedebah! Ku rencah kepala kalian! Hiaaat..!
"Yeaaah...!"
Srrrt, srrrt, srrrt!
Tiga Setan Rambut Api menarik cambuknya. Ke-
mudian dilecutkan ke udara.
Ctarrr! 7 Cambuk di tangan Tiga Setan Rambut Api mele-
cut ke arah Manyar Kembar dari Bali. Menimbulkan
percikan-percikan api dengan suara yang menggelegar
melebihi halilintar. Itulah jurus 'Lecutan Ekor Naga Api Menghantam Bukit'.
Melihat Tiga Setan Rambut Api telah menyerang,
dengan cepat Manyar Kembar dari Bali berkelit Kemu-
dian disusul oleh serangan pukulan dan babatan golok mereka.
Dengan menggunakan jurus 'Sepasang Manyar


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyambar Walang', Manyar Kembar dari Bali balas
menyerang. Golok di tangan mereka menukik laksana
paruh dan membabat laksana sayap burung manyar.
"Hiaaat..!"
Pertarungan dua melawan tiga dalam sekejap
berjalan dengan cepat. Masing-masing berusaha men-
galahkan lawan. Namun begitu, Manyar Kembar dari
Bali bukanlah tokoh aliran putih sembarangan. Ilmu
mereka bukan ilmu pasaran. Meski satu orang tidak
lagi memakai golok, namun kekompakan mereka da-
lam menyerang masih cukup tangguh.
"Hiaaat...!"
Ctar! Tiga Setan Rambut Api terns mengumbar seran-
gan dengan lecutan-lecutan cambuknya yang mengge-
legar laksana halilintar. Di lain pihak, ternyata Manyar Kembar dari Bali memang
sepasang pendekar yang
cukup tangguh. Keduanya dengan mudah mengelak-
kan serangan cambuk lawan. Bahkan dengan cepat
balas menyerang dengan babatan golok dan hantaman
tangan. "Kita harus cepat membereskan mereka, Ka-
kang," kata Umbakara.
"Benar! Kalau tidak, tentunya Singo Edan akan
marah pada kita," sambung Undani.
Manyar Kembar dari Bali langsung tersentak
mendengar nama Singo Edan disebut oleh Tiga Setan
Rambut Api. Keduanya sesaat menghentikan serangan
dan saling pandang dengan heran.
"Apakah omongan mereka benar, Kakang?" tanya Manyar Asti.
"Entahlah. Rasanya mustahil kalau Singo Edan
menjadi dalang semuanya."
"Tapi, mereka kelihatannya sungguh-sungguh.
Mereka tampak takut," ungkap Manyar Asti masih
bimbang. "Kalau benar Singo Edan yang mendalangi semua ini. Jelas dunia bisa
hancur. Siapa orang yang mampu mengalahkannya?"
Kecut juga nyali Manyar Kembar dari Bali setelah
mendengar nama Singo Edan disebut. Bagaimanapun
juga, nama besar Singo Edan pernah mereka dengar.
Jangankan dia, muridnya saja sulit dicari tandingan-
nya. Tapi Pendekar Gila adalah penegak kebenaran
dan keadilan. Bagaimana mungkin Singo Edan justru
memihak kejahatan! Bahkan kini mendalangi kejadian
yang telah banyak makan korban" Itu yang tidak dapat diterima oleh pikiran kedua
tokoh dari Bali ini.
"Bisa saja mereka hanya menggertak kita, Asti.
Bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk akal kalau
Singo Edan membela mereka dan mendalangi semua
ini," tukas Manyar Ngesti, meyakinkan diri mereka.
"Hm, mungkin juga."
"Sudahlah, jangan dipikirkan. Yang pasti, kita
harus segera menangkap mereka."
"Mari, Kakang. Heaaat..!"
"Yiaaat..!"
Manyar Kembar dari Bali kembali menggebrak.
Manyar Asti membabatkan golok panjangnya ke arah
lawan. Sedangkan Manyar Ngesti memukul dengan
tangan kosong, menendang dan mencengkeram lawan.
Tiga Setan Rambut Api yang mendapat serangan
cepat, tak mau diam. Ketiganya segera memutar cam-
buk di atas kepala, kemudian dilecutkan ke arah dua
lawannya. Jurus yang digunakan oleh Tiga Setan Rambut
Api ini bernama 'Pecut Buana Api'. Gerakan melingkar di atas kepala bernama
'Gelang Geni' sedangkan lecu-tannya bernama 'Ekor Naga Melebur Gunung'. Sebuah
gabungan jurus yang nampaknya sangat dahsyat
Ctarrr! "Yeaaat...!"
Pertarungan kembali berjalan seru. Masing-
masing mengerahkan kemampuannya untuk dapat
menandingi ilmu lawan. Gerakan mereka nampak lin-
cah dalam berkelit dan menyerang. Meski begitu, nam-
paknya ilmu Manyar Kembar dari Bali masih berada
satu tingkat di atas Tiga Setan Rambut Api. Terbukti setelah tiga tokoh sesat
itu menyerang gencar dengan sabetan-sabetan goloknya, mereka tidak mengalami
kesulitan sedikit pun.
"Uts! Heaaa...!"
"Lepas kepalamu, Setan Jelek!"
Manyar Kembar dari Bali balas menyerang den-
gan jurus gabungan. Manyar Asti dengan jurus 'Belah
Buana Yudha'. Sedangkan Manyar Ngesti dengan jurus
andalannya, 'Manyar Menukik Mematuk Mangsa' dis-
ambung dengan jurus mengelak dan yang dinamakan
'Manyar Merunduk Menjejak Bumi'. Setelah mampu
mengelak, kini keduanya menambah daya serang. Go-
lok di tangan Manyar Asti bagai menghilang dalam me-
lakukan serangan. Sedangkan tangan dan kaki Manyar
Ngesti seperti berjumlah banyak.
Seperti nama mereka, gerakan-gerakan mereka
sangat lincah dan cepat bagai sepasang burung ma-
nyar yang tengah membuat sarang, mematuk ke sana
kemari. Mencakar ke sana kemari, serta menghantam
dengan kepakan-kepakan sayap yang cepat dan keras.
"Hiaaat...!"
Ctarrr! Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung
serangan keduanya dengan cambuk. Namun kedua
lawan ternyata cukup lincah. Manyar Kembar dari Bali melesat ke samping untuk
mengelak, kemudian memburu ke arah lawan dengan pukulan dan tusukan go-
lok. Tiga Setan Rambut Api tersentak kaget. Keti-
ganya tidak menyangka kalau kedua lawan rupanya
berilmu tinggi. Namun begitu, mereka tidak mau men-
galah begitu saja. Terlebih jika ingat akan Singo Edan.
Jelas mereka akan mendapat hukuman jika Singo
Edan tahu mereka dapat dikalahkan oleh Manyar
Kembar dari Bali.
"Uts! Hiaaat..!"
Ctar Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung
serangan kedua lawannya yang dahsyat dengan lecu-
tan cambuknya. Lagi-lagi lecutan cambuk mereka ba-
gai tiada arti. Karena dengan mudah Manyar Kembar
dari Balik berkelit. Bahkan serangan kedua tokoh dari Bali itu semakin cepat
membuat Tiga Setan Rambut
Api kewalahan. "Akhirnya kalian akan kami tangkap, Setan!"
dengus Manyar Ngesti sambil bergerak cepat, berusaha menotok dua lelaki dari
Tiga Setan Rambut Api. Begitu pula dengan Manyar Asti. Dia pun tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Namun belum juga mereka
dapat melakukan totokan, tiba-tiba....
"Hua ha ha...!"
Manyar Kembar dari Bali menarik tangannya,
kemudian tubuh mereka melompat ke belakang. Mata
mereka membelalak tatkala mendengar tawa yang
membahana. Jelas tawa itu milik Singo Edan. Meski
mereka belum pernah bertemu dengan Singo Edan, ta-
pi gum mereka telah memberi gambaran bagaimana
rupa dan tawa khas tokoh sakti itu.
"Singo Edan...!"
"Dia benar-benar datang, Kakang!"
Mata Manyar Kembar dari Bali kini mencari asal
suara itu. Seketika keduanya memandang ke arah ka-
but tebal yang berarak menuju mereka. Dari dalam
kabut melesat dua sosok tubuh berpakaian putih.
Seorang lelaki tua yang dikenal oleh mereka se-
bagai Singo Edan. Dan seorang lagi gadis cantik dari Cina.
"Kakang, bukankah gadis itu telah kita belenggu tadi?" "Ya! Kapan dia bebas?"
Manyar kembar dari Bali masih terlongong ben-
gong menyaksikan gadis cantik dari Cina itu telah ter-bebas dari belenggu ajian
'Sari Rogo' mereka. Tangannya memegang pedang sakti yang bersinar merah ke-
kuning-kuningan. Seperti siap untuk membunuh dua
tokoh dari Bali itu.
"Hua ha ha...! Rupanya masih ada juga orang
yang berani menantang Singo Edan!" kata Singo Edan dengan sinis.
'Persetan! Kau bukan Singo Edan! Kau iblis yang
telah berusaha mengelabui orang-orang persilatan!" se-ru Manyar Ngesti, merasa
yakin kalau lelaki berjubah putih yang perawakan dan wajahnya sama dengan
Singo Edan itu sebenarnya bukan Singo Edan.
"Kurang ajar! Kalian tentunya buta!" maki Singo Edan. "Aku Singo Edan. Akulah
orang yang paling sakti di jagat ini! Tak akan ada yang menandingi ku. Hua ha
Pendekar Riang 3 Ikat Pinggang Kemala Sabuk Kencana Karya Khu Lung Kampung Setan 10
^