Pencarian

Titisan Dewi Kwan Im 3

Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im Bagian 3


ha...!" "Iblis! Jangan kira kami dapat kau kibuli!" lantang suara Manyar Asti. "Meski
ilmumu setinggi langit, Manyar Kembar dari Bali tak sudi menyerah!"
Singo Edan mendengus. Matanya melotot tajam
pada kedua tokoh dari Bali itu.
"Mei Lie, bunuh mereka!" perintahnya.
Mei Lie menurut bagai budak. Tubuhnya melesat
turun. Dengan Pedang Bidadari di tangan, gadis dari
Cina itu meluruk ke arah Manyar Kembar dari Bali.
"Hiaaa...!"
"Celaka, Kakang! Apa kita harus menurunkan
tangan kejam?"
'Terpaksa, Asti! Heaaat...!"
Dengan pukulan-pukulan sakti milik keduanya,
Manyar Kembar dari Bali menghadapi serangan Mei
Lie. Tubuh mereka melesat ke angkasa dengan cepat,
berusaha memapaki babatan pedang Mei Lie.
Menyaksikan Manyar Kembar dari Bali hendak
memburu ke arah Mei Lie, Tiga Setan Rambut Api tak
mau diam. Mereka serentak mengambil sesuatu dari
balik jubah masing-masing. Lalu ketiganya melontar-
kan benda-benda kecil berwarna putih ke arah Manyar
Kembar dari Bali.
Zing, Zing...! "Kakang, awas!" seru Manyar Asti.
"Keparat! Licik...!" maki Manyar Ngesti.
Kemudian kedua tokoh dari Bali itu bergerak un-
tuk mengelakkan jarum-jarum beracun yang dilem-
parkan Tiga Setan Rambut Api. Perhatian mereka kini
tertuju ke arah jarum-jarum beracun. Hal itu men-
jadikan Mei Lie yang sudah tidak lagi diperhatikan,
dengan leluasa menyerang dari belakang.
"Hiaaa...!"
Wut! Cras! "Aaakh...!" Manyar Asti memekik. Kepalanya terbabat oleh pedang di tangan Mei
Lie. Tubuhnya yang
masih melesat di atas, seketika menukik ke bawah. La-lu jatuh membentur tanah
dengan kepala hancur.
"Asti...!" pekik Manyar Ngesti.
Manyar Ngesti yang diliputi oleh amarah, dengan
kalap melancarkan pukulan-pukulan saktinya. Sinar
biru bergulung-gulung ke arah Mei Lie. Namun dia me-
lupakan jarum-jarum beracun yang semakin dekat ke
arahnya. Tanpa ampun lagi, senjata rahasia beracun
itu menembus tubuhnya.
Cleb, cleb...! "Aaa...!"
Lengkingan kematian seketika terdengar dari mu-
lut Manyar Ngesti. Tubuhnya menukik ke bawah, lalu
jatuh dengan nyawa lepas. Tubuhnya beku membiru
dengan puluhan jarum menancap di punggung serta
pahanya. "Hua ha ha...!"
Lelaki tua yang mengaku-aku sebagai Singo Edan
tertawa senang bukan main. Setelah puas mengumbar
rasa senangnya, tangannya melambai. Saat itu juga,
tubuh Mei Lie dan Tiga Setan Rambut Api melesat ke
kabut di mana Singo Edan berada. Tubuh mereka hi-
lang, bersamaan dengan lenyapnya kabut.
*** Sena Manggala menyeka keringatnya yang bercu-
curan. Terik matahari terasa memanggang tubuhnya.
Sesekali terdengar keluhan dari mulutnya. Tangannya
mengambil sesuatu dari pinggang, sebuah bulu bu-
rung yang dilepas bulu-bulunya hingga tersisa pada
ujungnya saja. Kemudian bulu itu digunakan untuk
mengorek telinganya.
"Hi hi hi...!" Sena meringis-ringis merasakan nikmat Lalu ditariknya kembali
bulu burung itu. Hidungnya mengendus. Setelah menyeka kotoran di bulu
burung itu, dimasukkan kembali bulu burung ke ikat
pinggangnya. Sena menarik napas panjang-panjang. Tubuhnya
masih berdiri mematung. Matanya menyapu ke sekelil-
ing tempat itu. Tempat yang sepi dan senyap di tengah perjalanan ke Lembah
Lamur. Sejak hilangnya Mei Lie, entah mengapa dunia dirasakan sepi sekali.
Padahal telah lama dia dan Mei Lie berpisah. Tapi pertemuan
sesaat itu, memberikan arti bagi dirinya. Arti yang
sangat sulit dilukiskan
"Huh, ke mana aku harus mencarinya?" tanya
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mulutnya masih
nyengir saat matanya menyapu ke sekeliling tempat
itu. Tiba-tiba matanya tertuju ke arah enam orang lelaki berpakaian pengemis.
Keenam lelaki itu juga tengah menuju arah yang menjadi tujuannya, Lembah
Lamur yang gersang dan tandus.
"Hei, ada apa para pengemis itu ke Lembah La-
mur?" tanya Sena dengan kening berkerut. "Ah, mengapa pengemis-pengemis itu
tidak di kota saja" Bu-
kankah di kota mereka bisa mendapat banyak maka-
nan" Mengapa harus ke lembah yang gersang dan se-
pi?" Sena merasa tertarik juga menyaksikan kedatangan para pengemis itu.
Tentunya ada sesuatu di Lem-
bah Lamur, yang membuat para pengemis. berdatan-
gan ke lembah itu. Belum juga Sena memahami apa
yang terjadi, dari arah lain muncul dua orang wanita cantik. Satu di antaranya
adalah seorang wanita cantik yang cukup terkenal sejak lama, Nyi Bangil.
Sedangkan gadis cantik yang berjalan seiring bersamanya,
tentunya adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama
Lira Kanti. "Nyi Bangil! Ah, ada apa pula dia datang ke Lembah Lamur?"
Kini bukan hanya para pengemis, Nyi Bangil dan
adik seperguruannya yang datang. Tapi hampir selu-
ruh pendekar rimba persilatan baik dari aliran lurus maupun sesat datang.
Sepertinya akan terjadi sesuatu di Lembah Lamur.
Di antara para tokoh persilatan itu, hadir bebera-
pa pendekar aliran sesat seperti Lima Pengemis Tong-
kat Hitam dan ketuanya, Pengemis Tempurung Sakti.
Datuk Karang Geni, dan Gonggo Asopari. Sedangkan
dari aliran putih seperti, Ki Ageng Sampar Bayu, Nyi
Bangil dan adik seperguruannya Lira Kanti, Bidadari
Cadar Merah dan gurunya Nyi Kendil, serta suaminya
Prabasangka yang telah sadar dari pengaruh ayahnya
yang berpihak ke aliran putih. Di sana juga hadir Ratih Puri serta suaminya
Kerto Mandra. Dua golongan itu menempati tempat masing-
masing. Aliran sesat menempatkan diri di sebelah ba-
rat. Sedangkan aliran lurus menempatkan diri di ba-
gian timur. Sena mencabut bulu burung dari pinggangnya.
Kemudian dimasukkan ke telinga sebelah kiri. Dengan
mulut nyengir, matanya terus memperhatikan gerak-
gerik orang-orang persilatan.
"Kami tak percaya kalau semua ini Singo Edan
yang melakukannya! Juga mengenai Titisan Dewi
Kwan Im, itu tidak benar!" ujar Ki Ageng Sampar Bayu.
Sena mengerutkan kening mendengar nama gu-
runya disebut-sebut oleh Ki Ageng Sampar Bayu. Tan-
gannya masih mengorek telinganya dengan bulu bu-
rung. Matanya terpejam-pejam, merasakan nikmat ki-
likan itu. "Mungkin saat ini kau tak percaya, Sampar Bayu!
Tapi nanti kau akan melihat sendiri bahwa Singo Edan pelaku semua ini!" sahut
lelaki berjubah hitam.
Lelaki ini bernama Datuk Karang Geni. Dan me-
rupakan ketua tokoh aliran hitam yang bengis dan ke-
jam. Rambutnya panjang terurai dengan ikat kepala
warna hitam pula. Wajahnya dihiasi oleh cambang
bauk lebat. Giginya ada yang ompong di sisi kanan dan kiri atas. Matanya nakal
jika memandang ke perempuan cantik.
"Hm, jangan menuduh tanpa bukti, Karang Geni!"
dengus Nyi Bangil. "Aku tahu siapa Singo Edan, guru dari Pendekar Gila. Dia tak
mungkin berlaku keji!"
"He he he..,!"
Datuk Karang Geni tertawa terkekeh-kekeh. Ma-
tanya memandang nakal ke arah Nyi Bangil yang can-
tik dan bertubuh sintal. Kemudian matanya meman-
dang Pengemis Tempurung Sakti yang juga tersenyum.
"Cah ayu, sebaiknya kau tidak usah ikut campur
dengan semua ini. Lebih baik kau mau menjadi istri-
ku," kata Datuk Karang Geni masih dengan senyum dan pandangan nakal ke arah Nyi
Bangil. "Cuih! Tak sudi aku denganmu, Datuk Sesat!"
dengus Nyi Bangil.
"He he he...! Semakin kau marah, semakin cantik saja. Bukan begitu Pengemis
Tempurung Sakti?" kata Datuk Karang Geni dengan mata mengerling pada Pengemis
Tempurung Sakti.
"Tutup mulutmu, Iblis! Kurasa, kaulah yang telah menyebarkan desas-desus ini.
Padahal kau sendiri bi-ang dari semua kejadian di Lembah Lamur Ini!" bentak Nyi
Bangil dengan berani.
"Wuah! Lancang sekali mulutmu, Nyi! Berani be-
nar kau berlaku kurang ajar pada ketua kami!" maki Jalantra, Ketua Perkumpulan
Pengemis Daerah Selatan. "Kalau saja kami diperkenankan, sudah kurobek mulutmu!"
sambut Gandrana, Ketua Perkumpulan
Pengemis Daerah Timur.
"Huh, apakah kalian kira kami takut!" ujar Lira Kanti kesal, melihat kakak
seperguruannya diremehkan. "Menghadapi pengemis busuk macam kalian,
pantang bagi kami sebagai pewaris Pedang Bidadari
untuk mengalah!"
Suasana di Lembah Lamur semakin terasa pa-
nas. Masing-masing aliran saling menyalahkan. Aliran sesat menuduh bahwa
tindakan Titisan Dewi Kwan Im
alias Mei Lie yang membunuh semua orang-orang per-
silatan. Dan Singo Edan adalah dalang dari semua ke-
jadian itu. Para pendekar aliran lurus tak mau menerima
tuduhan itu. Bahkan mereka balik menuduh kalau ali-
ran sesatlah yang telah membuat rencana busuk itu.
Dengan kedok Singo Edan dan Mei Lie, mereka beru-
saha menjatuhkan aliran putih.
"Apakah kau mempunyai bukti kuat kalau Singo
Edan dan Titisan Dewi Kwan Im pelaku semua ini?"
tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
"Memang tidak. Namun dilihat dari kematian me-
reka, hanya Titisan Dewi Kwan Im yang memiliki Pe-
dang Bidadari. Bukankah salah seorang anggotamu
mengatakan begitu?" kata Datuk Karang Geni balik bertanya, sekaligus menuduh Nyi
Bangil. Ki Sampar Bayu memandang Nyi Bangil.
"Benar begitu, Nyi?"
"Benar, Ketua. Tapi kurasa bukan dia pelakunya.
Tentunya ada orang yang memanfaatkan dia," jawab Nyi Bangil.
"Kalau begitu, sudah pasti gadis Cina itu yang
melakukannya!" seru Jantruk, Ketua Perkumpulan
Pengemis Daerah Barat
"Kita serang saja!" seru Jantrik, kembaran dari Ketua Perkumpulan Pengemis
Daerah Barat Pertarungan antara dua golongan itu nampaknya
tidak akan dapat dicegah lagi. Anggota aliran hitam telah siap melakukan
serangan. Sedangkan anggota ali-
ran putih juga telah siap menghadapinya.
"Serang saja!" kembali tokoh-tokoh aliran hitam berseru, semakin menambah panas
suasana di Lembah Lamur.
"Jelas dari aliran putih yang melakukan semua
ini!" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Utara.
"Seraaang...!"
Anggota aliran hitam kini menyerbu, berusaha
menyerang anggota aliran putih yang juga telah ber-
hamburan untuk bertarung.
"Yeaaat..!"
"Hadang mereka...!" seru salah seorang dari aliran putih memerintahkan.
"Serbu...!"
Perang benar-benar akan terjadi. Dan tentunya
pertumpahan darah di Lembah Lamur yang tandus
dan gersang akan terjadi pula. Warna merah akan
memulas daratan itu dan anyir darah akan menyesaki
udaranya. Tapi ketika kedua kekuatan itu nyaris ber-
temu, tiba-tiba...
"Tunggu! Hentikan semuanya...!"
8 Semua yang hendak menyerang, seketika meng-
hentikan langkahnya. Mata mereka kini memandang
ke arah pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular
yang berkelebat ke arah mereka. Pemuda yang tak lain Pendekar Gila, menapakkan
kakinya di tengah-tengah
dua kekuatan yang siap bertarung.
"Pendekar Gila...!"
"Hm.... Sampai kapan pun kalian tak akan per-
nah bisa tenang. Kalian telah ditipu oleh seseorang!"
kata Sena. "Kalian akan saling tuduh dan saling bantai, karena mengikuti hawa
nafsu belaka! Jika sudah
saling bantai, apa yang akan kalian dapat?"
Sena kali ini menunjukkan sikapnya yang tegas,
tidak bertingkah laku aneh seperti orang gila. Matanya menyapu tajam ke
sekeliling tempat itu laksana mata
elang. Puluhan tokoh sakti itu bagai terkena sihir, mereka terdiam mendengar
penuturan Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, gurumu telah membunuh secara
keji para pendekar dan tokoh dari aliran kami. Seha-
rusnya aliran putih berterima kasih pada kami yang telah berusaha memberitahukan
mereka tentang sepak
terjang gurumu dan gadis Cina yang telah banyak ma-
kan korban!" seru Pengemis Tempurung Sakti.
"Hm.... Enak sekali kau berkata, Pengemis La-
puk!" maki Bidadari Cadar Merah. "Seharusnya kau berpikir dulu sebelum bicara!"
"Benar! Jangan asal tuduh sembarangan!" timpal Prabasangka, suami Bidadari Cadar
Merah yang telah
sadar akan kekeliruan dan kesalahannya (Untuk men-
getahui lebih jelas tentang tokoh ini, silakan baca serial Pendekar Gila dalam


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

episode "Duel di Puncak La-wu"). "Kalianlah yang tak tahu aturan! Sudah jelas
pelakunya adalah Singo Edan dan gadis Cina itu, masih
saja kalian membelanya!" dengus Gandrana.
"Cukup!" seru Pendekar Gila tegas. "Kurasa kalian telah diadu domba. Bahkan
termasuk aku. Hampir
saja aku membunuh guruku sendiri. Kuakui, sungguh
hebat orang yang telah menyamar sebagai guruku.
Sampai aku tertipu olehnya."
"Tidak mungkin! Jelas dia Singo Edan!" selak Datuk Karang Geni. "Kau muridnya,
tentu saja kau membelanya!"
"Ya! Itu sudah pasti," sambut Pengemis Tempurung Sakti.
"Diam!" bentak Pendekar Gila marah. Wajahnya kini nampak bersinar merah membara,
membuat semuanya terdiam. Mereka tahu bagaimana jika Pende-
kar Gila benar-benar telah marah. "Kukatakan pada kalian, jika memang dia guruku
aku tak akan mem-biarkannya! Aku yang akan membunuhnya!"
"Percuma kau berkata begitu! Kami tak akan
mempercayainya. Gurumu sebagai bukti, bahwa orang
aliran putih sesungguhnya licik!" tuduh Datuk Karang Geni. "Keji! Kalianlah yang
licik! Kalian hanya bisa mencari kambing hitam!" selak Ki Ageng Sampar Bayu.
"Phuah! Rupanya kalian harus disingkirkan! Ser-
buuu...!" seru Datuk Karang Geni, yang seketika dilaksanakan oleh anggota-
anggotanya. "Seraaang...!" Ki Ageng Sampar Bayu tak mau tinggal diam. Dia tidak ingin mati
sia-sia diserang oleh orang-orang dari aliran hitam.
"Hentikan...!"
Pendekar Gila berusaha mencegah terjadinya per-
tumpahan darah yang sia-sia. Namun golongan hitam
rupanya tidak mau dicegah lagi. Pertempuran besar
antar golongan pun terjadi.
Trang! "Hiaaat...!"
"Hait..!"
Trang! Jleb! "Wuaaa...!"
Keriuhan karena beradunya senjata yang dite-
ruskan oleh pekikan kematian, seketika membahana.
Darah mulai membasahi tanah Lembah Lamur yang
tandus. Pendekar Gila yang tidak mau mati sia-sia, kini
harus mempertahankan diri dari gempuran-gempuran
orang-orang aliran sesat yang menyerangnya. Dengan
masih mengandalkan tangan kosong, tubuhnya segera
berkelebat untuk mementahkan serangan lima orang
pengemis sakti. Tubuhnya meliuk-liuk dan sesekali
menepuk ke arah lawan.
Lima Pengemis Tongkat Hitam terus mengepung
Pendekar Gila. Tongkat hitam di tangan mereka, berge-
rak menyerang dengan sabetan dan tusukan ke tubuh
Pendekar Gila yang meliuk-liuk laksana menari dengan mengerahkan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'.
"Heaaa...!"
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Sena. Tangannya menepuk ke arah dada lawan
dengan gerakan aneh,
setelah berhasil mengelakkan sabetan tongkat hitam
lawan. Jalantra yang merupakan Ketua Perkumpulan
Pengemis daerah selatan tersentak kaget. Sama sekali tidak disangka kalau
pukulan Pendekar Gila yang
lamban dan lemah ternyata mampu mengejar gerak
tubuhnya. Dicobanya untuk menangkis dengan tong-
kat hitamnya. "Hih!"
"Heaaa...!" teriak Jalantara, Ketua Perkumpulan Pengemis Sakti sambil
mengayunkan tongkatnya.
"Uts! Ini untukmu, Sobat!" seru Pendekar Gila.
Tangannya menepuk ke arah dada lawan dengan gerakan aneh, setelah berhasil
mengelakkan sabetan tongkat hitam Jalantara.
Pendekar Gila yang melihat gerakan lawan, den-
gan cepat menarik tepukan tangannya. Kakinya me-
nendang ke belakang dengan tubuh membungkuk.
Kemudian tangannya direntangkan ke samping. Dan
kakinya melayang ke wajah lawan.
Des! Des...! "Ngk!"
"Ukh...!"
Dua orang terkena tendangan dan sapuan tan-
gannya. Kedua pengemis itu terhuyung-huyung ke be-
lakang. Dari mulut mereka meleleh darah segar. Mata
mereka melotot, tak percaya melihat gerakan yang di-
lakukan Pendekar Gila. Gerakan yang kelihatannya
lamban dan lemah tadi ternyata mampu menghantam
tubuh mereka. Di sisi lain, pertarungan semakin sem. Jeritan-
jeritan kematian susul-menyusul. Darah telah banyak
tertumpah. Namun begitu, belum ada salah satu dari
kedua golongan itu yang mau mengalah. Mereka masihterus bertarung, berusaha mengalahkan lawan.
Dari aliran putih tiga orang pendekar telah tewas.
Mereka tergeletak di tanah dengan darah melumuri
pakaian dan tubuhnya. Sedangkan di pihak aliran hi-
tam empat orang telah menemui ajal..
Ki Ageng Sampar Bayu yang berhadapan dengan
Datuk Karang Geni pun masih gencar bertukar seran-
gan. Kedua orang tua pemimpin golongan itu mengelu-
arkan jurus-jurus tingkat tinggi. Kancah pertempuran
mereka terpisah dari kelompoknya.
"Hiaaat..!"
"Yeaaah...!"
Dua tokoh utama persilatan itu berkelebat laksa-
na terbang, kemudian saling serang dengan jurus-
jurus sakti. Api berkobar dari tubuh Datuk Karang
Geni, sedangkan dari tubuh Ki Ageng Sampar Bayu
menderu-deru angin kencang.
Suasana semakin membara. Pertarungan kian
seru, meski korban telah banyak berjatuhan. Nampak-
nya pertarungan besar itu tak akan selesai sampai salah satu golongan mengalah.
Padahal korban kini
membengkak menjadi dua belas orang. Tujuh dari ali-
ran hitam, sedang sisanya dari aliran putih.
Pendekar Gila masih dikeroyok oleh lima Penge-
mis Tongkat Hitam. Dengan jurus 'Kera Gila Melempar
Batu', Sena menyerang ke arah para pengeroyok yang
telah mendapat hantaman darinya.
"Yeaaa...!"
Tangan Pendekar Gila bergerak susul-menyusul
bagaikan melempar. Gerakan melempar itu menghasil-
kan deru angin kencang yang menyapu ke arah lima
pengemis itu. Membuat mereka bagaikan dilempar ba-
tu. "Jurus edan!" maki Gandrana. "Cepat kita gunakan 'Tameng Sakti'!" seru
Jalantra. Seruan itu segera disambut oleh keempat rekan-
nya. Mereka segera membentuk sebuah gerakan me-
lingkar sambil berlari. Tangan mereka bergerak me-
mukul atau menyabetkan tongkat hitam yang dijadi-
kan senjata. "Heaaa!"
Wut! Wusss...! Pendekar Gila meliukkan tubuhnya untuk men-
gelakkan serangan yang dilancarkan kelima pengemis
itu. Tangannya bergerak menyambar kaki lawan, se-
dangkan tubuhnya sedikit dibungkukkan, mengelak-
kan pukulan dan sambaran tongkat hitam lawan.
"Heaaa!"
Pendekar Gila melenting ke atas, kemudian ber-
salto beberapa kali. Lalu dengan cepat tangannya
mencabut Suling Naga Sakti. Saat menukik ke bawah,
tangannya bergerak menghantamkan Suling Naga Sak-
ti ke arah putaran lawan.
Wut! Pyar! Perisai yang dibuat oleh kelima pengemis itu se-
ketika hancur. Tubuh mereka berpelantingan ke sana
kemari. Mata mereka membelalak, menyaksikan Suling
Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
Sementara Pendekar Gila-hanya cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, membuat kelima
pengemis itu semakin marah.
"Aku membantu kalian!" seru Pengemis Tempurung Sakti sambil melemparkan
tempurungnya ke
arah Pendekar Gila.
Wut! "Uts!"
Pendekar Gila segera mendoyongkan tubuh ke
samping untuk mengelakkan sambaran tempurung
sakti yang melesat ke arahnya. Lalu dengan cepat, Suling Naga Sakti dihantamkan
ke tempurung yang hen-
dak balik ke arah tuannya.
Wut! Prak! Tempurung milik Pengemis Tempurung Sakti se-
ketika pecah, terhantam Suling Naga Sakti.
Tep! Pengemis Tempurung Sakti terkejut, menyaksi-
kan tempurungnya kembali dalam keadaan tak ka-
ruan. Kemarahannya tiba di ubun-ubun. Didahului
pekikan keras, tubuhnya melesat ke arah Pendekar Gi-
la. "Kau telah memecahkan tempurung ku! Maka
kepalamu harus pecah di tanganku! Yeaaa...!"
Pengemis Tempurung Sakti menyabetkan tongkat
kayu hitamnya ke arah Pendekar Gila. Sabetan yang
dialiri tenaga dalam itu membuat angin sabetannya
menderu keras. "Uts! Hop...!" Pendekar Gila menundukkan tubuh ke bawah, kemudian dengan cepat
tangan kanannya
yang memegang Suling Naga Sakti dihantamkan ke
tongkat lawan. Trak! "Uhhh...!" Pengemis Tempurung Sakti mengeluh.
Tangannya bergetar hebat. Dan tongkat kayunya
patah menjadi dua, membuat matanya membelalak le-
bar. Di saat pertempuran antar dua golongan itu se-
makin menggila dengan korban yang kian banyak, ti-
ba-tiba angin bertiup keras, menyentakkan semua
yang tengah bertarung. Bersamaan dengan tiupan an-
gin yang membadai, dari arah tenggara muncul kabut
tebal berarak ke arah mereka, diiringi gelak tawa yang membahana. Mendengar tawa
itu, mereka sama-sama
tersentak. Terutama tokoh aliran lurus yang mengenal sekali ciri suara tawa itu.
"Singo Edan...!"
*** Belum juga melihat wujudnya, mereka telah dike-
jutkan oleh suara tawanya. Suara tawa yang khas dari penghuni Goa Setan. Yang
namanya cukup ditakuti di
rimba persilatan. Seorang lelaki yang selama pengem-
baraannya puluhan tahun silam, belum ada yang
mampu mengalahkan.
"Hm...," Pendekar Gila menggumam. Jelas sekali dari wajahnya terlihat
ketidakmengertian. Bagaimanapun juga, dia sangat mengenali tawa itu. Tawa yang
juga dimilikinya. Dan hanya ada satu orang yang me-
miliki tawa seperti itu, yaitu Singo Edan.
Mungkinkah itu suara guruku" Tanya Pendekar
Gila dalam hati. Matanya memandang ke arah kabut
yang bergerak semakin dekat ke arah mereka.
Semua orang yang ada di Lembah Lamur, kini
bagai patung. Tubuh mereka terdiam tegak. Kepala
mereka mendongak ke atas pada kabut yang masih te-
rus merayap. "Hua ha ha....! Bagus! Rupanya kalian telah
kumpul!" terdengar suara Singo Edan.
Angin semakin menderu-deru, berusaha menya-
pu orang-orang yang ada di bawahnya. Orang-orang
yang tidak kuat menahan gempuran angin puting be-
liung itu seketika tersapu. Beterbangan terbawa deru angin kencang.
Suasana di Lembah Lamur semakin kacau. Hi-
ruk-pikuk dan jeritan kematian mewarnai tempat itu.
Sedangkan yang berilmu tinggi, kini harus berusaha
menahan gempuran angin puting beliung yang mener-
jang mereka. Pakaian-pakaian yang mereka kenakan
terkoyak-koyak parah.
"Cepat rebahkan tubuh kalian...!" seru Pendekar Gila memerintahkan pada para
pendekar wanita yang
semakin tidak menentu keadaannya.
Angin terus menderu kencang laksana badai.
Lembah Lamur seketika diselimuti oleh gulungan debu
yang menghalangi pandangan mereka.
Melihat kenyataan itu, Pendekar Gila melangkah
maju. Matanya memandang ke arah kabut yang ada di
atas. "Hoi...! Orang pengecut! Kalau kau memang Singo Edan, keluarlah!"
"Hua ha ha...! Rupanya kau masih hidup, Bocah
tolol!" bentak Singo Edan yang belum juga menampakkan wujudnya. "Tapi kini kau
tak akan luput dari kematian!"
"Pengecut! Tunjukkan wujudmu!" tantang Sena dengan suara lantang.
Pendekar Gila bagai tidak peduli dengan angin
kencang membadai yang terus menerpa tubuhnya. Dia
telah mengerahkan ajian 'Sapta Bayu', yang menjadi-
kan tubuhnya mampu menahan hempasan angin ken-
cang. "Hua ha ha...! Rupanya kau tidak kapok juga!
Baik, hadapilah dia dulu...!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan Singo
Edan, dari kabut tebal itu berkelebat sesosok bayan-
gan putih yang cukup mengagetkan Pendekar Gila dan
Nyi Bangil. "Mei Lie...!" seru keduanya hampir bersamaan.
Keduanya hendak maju untuk menyadarkan Mei
Lie, namun gadis cantik dari Cina yang digegerkan sebagai Titisan Dewi Kwan Im
itu seperti tidak mengenali mereka lagi. Pedang Bidadari di tangannya bergerak
cepat ke arah mereka.
Wut! "Nyi Bangil, awas...!" seru Sena mengingatkan sambil melempar tubuh ke belakang.


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyi Bangil yang tidak menduga sama sekali kalau
Mei Lie menyerangnya, tersentak kaget. Dia berusaha
berkelit, namun tebasan pedang Mei Lie teramat cepat.
Maka.... Wut! "Mei Lie..."!"
Crap! "Aaa...!" Nyi Bangil memekik keras ketika pedang di tangan Mei Lie menembus
dadanya sebelah kiri. Matanya membelalak. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang. "Mei Lie, kau..."!"
Tubuh Nyi Bangil semakin lemah, kemudian am-
bruk tanpa nyawa ketika Pedang Bidadari dicabut dari dadanya.
"Kakak..!" jerit Lira Kanti.
Gadis itu hendak memburu ke arah tubuh Nyi
Bangil, tapi dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya.
"Jangan!"
Lira Kanti menghentikan langkahnya. Matanya
terpaku ke tubuh kakaknya yang telah tak bernyawa.
Semua orang yang ada di Lembah Lamur seketika
terpaku. Mereka bagai tak percaya kalau ilmu pedang
gadis Cina yang digegerkan sebagai Titisan Dewi Kwan Im itu ternyata sangat
tinggi. "Hua ha ha...! Bagaimana, Bocah Edan"!"
"Pengecut! Keluarlah! Lepaskan pengaruh mu da-
ri dia!" maki Sena sengit. Tubuhnya masih bergerak, mengelakkan serangan-
serangan yang dilancarkan Mei
Lie. "Bunuh dia! Dia lawanmu, Mei Lie!" seru lelaki tua yang mengaku Singo Edan,
yang kini belum juga
menampakkan wujudnya.
Mei Lie yang dalam kekuasaan pengaruh lelaki
tua yang mengaku Singo Edan itu menurut. Tangan-
nya yang memegang pedang, bergerak cepat menye-
rang Pendekar Gila. Pedang Bidadari yang mengelua-
rkan sinar merah kekuning-kuningan cukup membuat
Pendekar Gila kaget Pedang di tangan Mei Lie memang
bukan pedang sembarangan. Kalau saja Mei Lie ingat
akan jurus 'Pedang Tebasan Batin' pasti akan sulit di-
tandingi. "Mei Lie, ingatlah! Kau dalam pengaruhnya!" seru Sena berusaha mengingatkan.
"Aku Sena, Mei Lie...!"
Mei Lie tak peduli. Matanya tidak berkedip me-
mandang Pendekar Gila. Tangannya terus bergerak
membabatkan pedang dengan cepat.
Wut! "Hua ha ha...! Kusarankan pada kalian, bersu-
judlah padaku! Kalau tidak, kalian akan mengalami
kematian!" ancam Singo Edan.
"Aku sujud!" sambut Datuk Karang Geni.
"Aku ikut sujud!" Pengemis Tempurung Sakti mengikuti.
"Aku juga!"
Kini semua tokoh aliran hitam sujud kepada
orang yang mengaku Singo Edan. Mereka meratap,
meminta ampunan dan mengharap agar Singo Edan
mau menjadikan mereka anak buahnya.
"Bagus! Kalian memang pengikut ku yang setia!
Bunuh mereka yang bermaksud menentang!" perintah orang yang mengaku Singo Edan.
Dengan cepat seruan
itu segera dilaksanakan olah para tokoh sesat
"Serang...!" seru Datuk Karang Geni.
"Habisi mereka...!" sambut yang lainnya.
Melihat orang-orang dari aliran sesat menyerang,
Ki Ageng Sampar Bayu pun tidak mau tinggal diam.
Segera dia pun berteriak memerintah anak buahnya
untuk menyambut serangan mereka.
"Serbu..!"
"Yeaaat...!"
Pertarungan kembali berlangsung tanpa dapat
dicegah. Bagaimanapun juga, orang-orang dari golon-
gan putih tidak mau mati sia-sia. Tak ada jalan lain bagi mereka kecuali
menghadapi serangan lawan.
Pertarungan yang tertunda sesaat, kini berkobar
kembali. Suara beradunya senjata disusul dengan je-
rit-jerit kematian meramaikan Lembah Lamur.
"Mei Lie, cepat pergi!" terdengar suara Singo Edan memanggil Mei Lie. Bersamaan
dengan itu, dari atas
melesat tiga lelaki berjubah merah. Mereka tak lain Ti-ga Setan Rambut Api.
Mei Lie dengan cepat melesat ke atas, meninggal-
kan Pendekar Gila. Namun rupanya Sena tak mau
membiarkan Mei Lie pergi begitu saja. Tubuhnya sege-
ra melesat ke atas, menyusul tubuh gadis Cina itu.
Tiga Setan Rambut Api yang semula hendak
menghadang Pendekar Gila, hanya mampu terpaku.
Mereka hendak mengejar, namun kabut itu telah ber-
gerak meninggalkan Lembah Lamur. Akhirnya Tiga Se-
tan Rambut Api turut membantu orang-orang aliran
hitam yang tengah bertarung dengan para pendekar
aliran putih. 9 Pendekar Gila yang mengejar Mei Lie, seketika
terperangah menyaksikan keadaan sekelilingnya yang
aneh. Semula dia berada di dalam kabut, namun tiba-
tiba kini dirinya berada dalam hutan lebat yang belum dijamah oleh tangan
manusia. "Hei, di mana aku?" tanya Sena kebingungan, menyaksikan alam sekitarnya yang
terasa demikian
asing. Pendekar Gila menemukan suasana yang sepi,
gelap dan mencekam. Dari kejauhan terdengar suara-
suara menyeramkan yang mampu mendirikan bulu
kuduk. "Sena Manggala...."
Ada suara yang memanggil namanya. Suara seo-
rang laki-laki. Namun jelas itu bukan suara gurunya.
Sena menyapukan pandangan ke sekeliling hutan
itu, berusaha menemukan asal suara yang baru saja
didengarnya. Namun sama sekali tidak terlihat seorang pun di tempat itu.
"Siapakah yang memanggilku?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya
terus beredar dalam keremangan yang menyeluruh. Tiba-tiba ma-
tanya bertumbukan dengan dua pasang mata dari se-
pasang kera yang berdiri di atas cabang pohon.
"Sena...," suara itu kembali terdengar.
"Hei, kaukah yang berbicara?" tanya Sena dengan mulut ternganga. Yang telah
berbicara padanya ternyata seekor monyet berbulu putih. "Kau, bukankah kau Kera
Sakti?" "Aku adalah ayahnya. Sedangkan dia adalah
ibunya," kata kera putih yang duduk di sebelah kiri, seraya menunjuk kera di
sampingnya. "Bukankah kalian telah mati?" tanya Sena masih menggaruk-garuk kepala keheranan.
Bulu kuduknya meremang, menyaksikan keanehan-keanehan yang di-
alami. Tentang kabut aneh yang tiba-tiba berubah
menjadi hutan belantara. Dan hutan itu nampaknya
berada puluhan tahun yang silam.
"Kau salah, Sena. Kami belum mati. Inilah alam kami. Alam kabut. Alam di mana
jiwa-jiwa berada...."
Ucapan kera putih itu semakin membuat Sena
diterpa rasa heran. Bagaimana mungkin semuanya bi-
sa terjadi" Tanyanya dalam hati.
"Tapi aku belum mati. Bagaimana mungkin aku
bisa kemari?" tanya Sena, bimbang.
"Itu mudah, Sena. Kau berilmu tinggi. Kau mam-
pu datang kemari tanpa undangan penghuni alam ini.
Sudahlah, jangan sia-siakan waktumu. Bukankah kau
tengah mengejar Dewi Pemuja Setan?" tanya kera pu-
tih. Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala menden-
gar pertanyaan itu. Dia sungguh bingung dengan per-
tanyaan yang dilontarkan kera putih itu.
"Kau memang belum mengerti, Sena. Baiklah
akan ku jelaskan padamu."
Kera putih kemudian menceritakan siapa se-
sungguhnya lelaki yang menyamar sebagai Singo
Edan, guru Pendekar Gila. Dikatakan pula bahwa se-
benarnya lelaki itu jelmaan Dewi Pemuja Setan yang
telah dikalahkan oleh Singo Edan puluhan tahun yang
silam. Arwahnya telah bersekutu dengan iblis, dan
bangkit kembali atas pertolongan iblis.
Sena mendengarkan dengan seksama setiap
penggalan kisah yang diceritakan oleh kera putih.
"Nah, begitulah ceritanya. Maka itu, berhati-
hatilah. Dia bukan manusia, melainkan iblis. Aku berdoa, semoga Hyang Widhi akan
senantiasa bersama-
mu. Pergilah ke arah selatan, di sana kau akan mene-
mukan sebuah istana yang dihuni oleh wanita-wanita
iblis. Jangan kau terpedaya oleh kecantikan wanita itu.
Sesungguhnya, mereka adalah siluman."
"Terima kasih atas saran yang telah kau berikan, Sahabatku."
"Sampaikan salamku pada gurumu," tutur kera putih sebelum Sena meninggalkan
tempat itu. "Akan kusampaikan. Selamat berpisah!"
Sena pun segera mengikuti petunjuk yang diberi-
kan oleh kera putih. Dengan mengerahkan ilmu lari
'Sapta Bayu', tubuhnya melesat cepat ke arah selatan.
Apa yang dikatakan kera putih tadi ternyata be-
nar. Di selatan, nampak sebuah bangunan besar ber-
diri angker. Bangunan mirip istana itu nampak dijaga oleh dua wanita cantik
berpakaian minim.
Sena menghentikan larinya. Dengan cepat dia
menyelinap di balik pepohonan. Matanya memandang
ke arah bangunan besar yang berdiri megah.
Benarkah gadis-gadis cantik itu siluman" Tanya
Sena dalam hati. Segera mata batinnya digunakan un-
tuk melihat bagaimana rupa gadis-gadis itu sebenar-
nya. Benar juga! Ternyata gadis-gadis itu tiada lain makhluk-makhluk
menyeramkan. Mata mereka lebar
dengan hidung besar berwarna merah. Tubuh mereka
telanjang bulat, dengan lidah yang panjang dan gigi
bertaring. "Hm.... Apa yang dikatakan oleh kera putih ter-
nyata benar," bisik Pendekar Gila. "Bagaimanapun ju-ga, aku harus menyelamatkan
Mei Lie dari cengkera-
man Dewi Pemuja Setan."
Sena mencabut Suling Naga Sakti dari balik ikat
pinggangnya. Kemudian ditiupnya suling itu ke arah
dua wanita cantik jejadian tadi. Suara suling mengalun dengan merdu serta
mendayu-dayu. Tiupan 'Pelayung
Sukma', menjadikan kedua gadis itu seketika terkulai lemas.
"Hm.... Kini tinggal menantang Dewi Pemuja Se-
tan keluar," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan pengerahan tenaga dalam,
Pendekar Gila berseru,
"Dewi Pemuja Setan, keluar kau!"
"Kurang ajar! Siapa yang berani menggangguku!"
bentak Dewi Pemuja Setan marah. Dari dalam bangu-
nan, muncul seorang lelaki berwajah persis dengan
Singo Edan. "Kau"!"
"Ya! Aku datang untuk membuat perhitungan
denganmu, Dewi Pemuja Setan! Kau telah merusak
nama baik guruku. Bahkan kau telah berusaha mem-
bunuhku!" dengus Pendekar Gila lantang.
"Hua ha ha...! Rupanya kau datang untuk men-
gantar nyawa, Bocah Tolol! Mengapa tidak sekalian sa-ja gurumu"!" tantang Dewi
Pemuja Setan pongah.
Pendekar Gila mendengus. Matanya memandang
tajam ke arah lelaki yang serupa dengan Singo Edan.
Iblis yang telah menipunya, sampai dia hampir saja
bertarung dengan gurunya.
"Dewi Pemuja Setan, rupanya kau belum kapok!
Setelah kekalahanmu oleh guruku, kau bermaksud
memfitnah! Pengecut..!" bentak Sena gusar. "Lepaskan Mei Lie!"
"Hua ha ha...! Jangan bermimpi, Bocah Tolol!
Kau akan terkubur di alam ini! Bersiaplah! Hiaaat...!"
"Heaaa...!"
Didahului pekikan menggelegar, tubuh keduanya
melesat ke udara. Lalu dengan cepat mereka mengelu-
arkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Pendekar Gila dengan jurus pembuka Si
Gila Menari Menepuk La-lat,
berusaha melabrak Dewi Pemuja Setan. Tubuhnya me-
liuk-liuk, dan sesekali menepuk ke tubuh lawan.
"Cuih! Ilmu kuno!" ejek Dewi Pemuja Setan.
Kemudian Dewi Pemuja Setan pun menggerakkan
kedua tangannya, membentuk silang dengan jari-jari
mencakar. Ditariknya tangan kanan yang ada di depan
ke samping, kemudian dihentakkan ke depan. Sedang-
kan tangan kirinya kini mencengkeram ke mata lawan.
Itulah jurus 'Sangkala Putung Tingkat Pertama'. Se-
buah jurus sakti yang terdiri dari sepuluh tingkatan.
Wut! Tangan Dewi Pemuja Setan bergerak saling ber-
lawanan. Kalau yang kiri dari atas, maka yang kanan
dari bawah. Begitu juga jika menyerang dari samping.
Gerakan tangannya begitu cepat, menimbulkan deru
angin yang kencang.
"Uts...!" Sena tersentak. Segera wajahnya dibuang ke samping, sehingga serangan
Dewi Pemuja Setan luput. Namun tangan kanannya, kini meluncur deras ke
arah perut Pendekar Gila segera berkelit ke samping, kemu-
dian dengan cepat balas menyerang dengan tamparan
tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya berusaha
menangkis cengkeraman tangan kanan lawan.
"Heaaa...!"
Plak! Bentrokan terjadi. Tubuh mereka langsung ber-
jumpalitan ke belakang. Dengan mendengus, kedua-
nya kembali menyerang. Kali ini Dewi Pemuja Setan
mengeluarkan jurus 'Sangkala Putung Tingkat Kedua'.
Gerakannya semakin cepat. Kakinya turut menyapu
ganas. Menyaksikan lawan mengeluarkan jurus yang se-
tingkat lebih tinggi dari jurus semula, Sena pun segera mengeluarkan jurus 'Si
Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar cepat, bagaikan meronta dari lilitan
tali yang membelit tubuh. Tangannya bergerak miring,


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam dan mencakar ke wajah lawan.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Dewi Pemuja Setan terus menyerang dengan
cengkeraman dan pukulan telapak tangannya. Tubuh-
nya bergerak cepat dalam gerakan berputar seperti
gasing. Kakinya menyapu teratur. Sedangkan tangan-
nya susul-menyusul melakukan serangan.
Jurus-jurus yang mereka keluarkan adalah ju-
rus-jurus yang berlawanan. Kalau Pendekar Gila me-
nyapu kaki lawan dengan gerakan ke arah dalam, se-
dangkan Dewi Pemuja Setan menyapu kaki lawan ke
arah luar. Begitu pula dengan serangan tangan, serta putaran tubuh mereka.
Semuanya berlawanan arah.
Tap! Trak! Derak akibat beradunya tangan dan kaki terden-
gar. Diikuti oleh gerakan-gerakan kepala dan tubuh
saat mengelak. Sebuah pertarungan yang dahsyat den-
gan menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi.
"Heaaa...!"
Dewi Pemuja Setan menyorongkan tangannya ke
wajah lawan, hingga menyentakkan Pendekar Gila. Se-
gera Sena memiringkan kepala ke samping kanan.
Tangannya dengan sigap menangkap tangan lawan,
disusul dengan cakaran tangan kiri.
Tap! "Hiaaa...!"
Tangan Pendekar Gila merangsek maju ke wajah
lawan, sedangkan tangan yang lain berusaha menang-
kis dan menangkap tangan lawan yang menyerang. Ta-
rik-menarik tangan terjadi, disusul oleh sapuan kaki keduanya yang bertubi-tubi.
Pendekar Gila mengerahkan tenaga murni lalu
mendorong tubuh lawan dengan keras. Begitu juga
dengan Dewi Pemuja Setan, dia pun mendorong tubuh
lawannya dengan keras pula. Akibatnya, tubuh mereka
terlontar jauh ke belakang.
"Heaaa...!"
"Yiaaat..!"
Tubuh keduanya bersalto di udara beberapa saat
sebelum menjejakkan kaki ke tanah. Mata mereka sal-
ing pandang, diikuti oleh dengus napas keras dan
memburu. Keduanya masih mengawasi gerak-gerik lawan
masing-masing dengan sudut mata. Kaki mereka me-
langkah teratur dengan tangan bergerak membuka ju-
rus. Kemudian, didahului pekikan menggelegar, tubuh
keduanya kembali melesat
"Yeaaa...!"
"Hiaaa...!"
Tubuh mereka sama-sama melesat ke atas, ke-
mudian bertemu di udara untuk saling menyerang. Te-
lapak tangan mereka memukul keras, sedangkan kaki
mereka berusaha menendang kaki lawan. Pertarungan
di udara terjadi. Tubuh keduanya melayang dalam ke-
cepatan tinggi.
Pendekar Gila terus menyerang dengan kibasan
tangannya dengan jurus 'Si Gila Menyibak Samudera'.
Tangannya seperti menyibak. Memukul ke dada lawan.
Sedangkan kakinya menendang bergantian.
Trap! "Yeaaa...!"
Dewi Pemuja Setan yang mengeluarkan jurus
'Sangkal Putung Tingkat Ketujuh', tidak kalah gesit dalam mengelak dan
menyerang. Tangannya kini menghi-
tam, mengeluarkan asap yang panas. Lalu bergerak
memukul dengan telapak tangan ke dada lawan. Dis-
usul dengan tebasan tangan kiri ke kepala Pendekar
Gila. "Yeaaa!"
Pendekar Gila cepat memiringkan kepala ke
samping kiri, serta melompat ke belakang. Lalu dengan cepat tangannya menghantam
ke tulang rusuk rawan
dengan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Yeaaat..!"
Wut! Deru angin yang keluar dari tangan Pendekar Gi-
la laksana prahara menghantam ke dada lawan, se-
hingga menyentakkan Dewi Pemuja Setan.
Dewi Pemuja Setan berusaha mengelakkan han-
taman keras itu. Namun rupanya pukulan Pendekar
Gila yang tak terduga-duga, harus mendarat telak di
dadanya. Sampai terdengar suara keras dari mulut
Dewi Pemuja Setan.
Degk! "Hugh...!"
Mata Dewi Pemuja Setan melotot. Tubuhnya ter-
pental ke belakang. Tapi anehnya, tubuh Dewi Pemuja
Setan tidak mengalami apa-apa. Seakan pukulan sakti
itu tak berarti sama sekali. Padahal pukulan dari jurus
'Si Gila Melebur Gunung Karang", mampu menghan-
curkan gunung karang menjadi debu.
Kini bukan Dewi Pemuja Setan yang kaget, justru
Pendekar Gila terperangah menyaksikan lawannya ti-
dak mempan oleh pukulan sakti yang dilancarkannya.
"Hua ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Pende-
kar Gila!" tantang Dewi Pemuja Setan, sombong.
Kemudian dengan mendengus marah Dewi Pemu-
ja Setan berkelebat menyerang. Dewi Pemuja Setan
kali ini menggebrak dengan jurus 'Sangkal Putung
Tingkat Sepuluh', yang merupakan jurus terakhir dari rangkaian jurus 'Sangkal
Putung'. Pendekar Gila tersentak dari keterpanaannya.
Dengan cepat serangan itu dielakkannya. Tubuhnya
dibuang ke samping kanan, berusaha mengelakkan
hantaman lawan. Namun pukulan tangan Dewi Pemuja
Setan ternyata sempat menyerempet pundak kirinya.
Jrat! "Ukh...!" Pendekar Gila segera berguling sambil mengeluh, merasakan pundak
kirinya panas bagai terbakar. Kulitnya agak melepuh. "Setan!"
Melihat Pendekar Gila dapat dilukai, Dewi Pemu-
ja Setan semakin bernafsu untuk segera menghabi-
sinya. Dengan pekikan menggelegar, dia kembali me-
nyerang dengan jurus pamungkasnya.
"Yiaaat..!"
Melihat lawan telah melesat ke arahnya, Pende-
kar Gila yang masih berguling dengan cepat mengi-
baskan kaki kanannya ke selangkangan lawan. Mem-
buat lawan yang masih berada di atas tak mampu lagi
mengelakkan tendangan itu. Tanpa ampun lagi....
Jrot! "Ukh...!" Dewi Pemuja Setan memekik keras, tu-
buhnya terlempar ke belakang. Tangannya memegangi
selangkangan yang terasa hancur akibat tendangan
Pendekar Gila. "Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu!
Hgrrr...!"
Dewi Pemuja Setan menggeram keras. Tangannya
menyatu di atas kepala. Perlahan-lahan tubuhnya dis-
elimuti oleh asap tebal yang bergulung-gulung. Kemu-
dian asap hitam bergulung-gulung itu membentuk wu-
jud tinggi besar. Mulanya nampak samar, lalu semakin jelas dan bertambah jelas.
Kini nampaklah sesosok
makhluk hitam bertubuh tinggi besar yang menyeram-
kan telah berdiri di hadapan Pendekar Gila.
"Hogrrr...!"
Makhluk itu menggeram. Wajahnya yang seperti
kera tampak demikian menyeramkan. Terlebih dengan
mata lebar dan taring yang mencuat. Telinganya pan-
jang dan meruncing ke atas. Di samping telinganya
terdapat tanduk yang berkilat. Sekujur tubuhnya di-
tumbuhi rambut hitam kemerah-merahan. Kuku-
kukunya panjang dan runcing.
"Jagat Dewa Batara, makhluk ini yang malam itu
pernah bertarung denganku," desis Sena. Dengan masih menahan sakit pada pundak
kirinya yang melepuh,
Pendekar Gila berusaha bangkit
Wut! Tangan makhluk menyeramkan itu menyambar
deras ke tubuh Pendekar Gila.
"Uts!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke samp-
ing, mengelakkan serangan makhluk itu. Namun tak
urung, tubuhnya tersambar tangan makhluk menye-
ramkan itu. Plak! "Akh...!"
Tubuh Pendekar Gila melayang beberapa tombak
ke samping. Sesaat dia berguling-guling di tanah, kemudian segera bangkit ketika
tangan makhluk menye-
ramkan itu hendak mencengkeram tubuhnya kembali.
Crab! Kuku panjang menyeramkan itu menghunjam
dalam di tanah. Karena dalamnya, tercipta lubang be-
sar yang menyerupai galian sumur yang dalam, ketika
tangan itu ditarik.
Mata Pendekar Gila membelalak. Hatinya bergidik
saat membayangkan tubuhnya menjadi sasaran hun-
jaman tangan makhluk menyeramkan itu. Tentu tu-
buhnya hancur lebur, karena tidak lebih besar diban-
dingkan telapak tangan makhluk menyeramkan itu.
"Hgrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kembali mengayun-
kan tangannya, berusaha menghancurkan tubuh Pen-
dekar Gila. Namun Sena yang sudah merasakan sakit
yang luar biasa akibat tamparan tangan besar itu dengan cepat berkelit. Disusul
oleh serangan pukulan saktinya ke wajah lawan.
Wusss...! Selarik sinar merah membara keluar dari telapak
tangan Pendekar Gila, dan langsung melesat ke wajah
makhluk menyeramkan itu.
Jrot! Sinar api itu menghantam wajah lawannya yang
menyeramkan. Namun makhluk itu bagai tak menga-
lami apa-apa. Bahkan dia semakin kalap. Tangannya
silih berganti menyambar dan menghantam tubuh
Pendekar Gila. Wut! "Edan!" maki Pendekar Gila seraya melompat ke samping dengan mengerahkan tenaga
dalam, hingga lompatannya melesat cepat. Lalu dia bersalto beberapa kali, sebelum balas
menyerang dengan pukulan sakti.
"Ini untukmu, Iblis...! 'Inti Bayu'! Heaaa...!"
Angin menderu kencang laksana badai, berusaha
menyapu tubuh tinggi besar yang menyeramkan itu.
Pohon-pohon tumbang. Daun-daun beterbangan. Na-
mun makhluk menyeramkan itu masih saja berdiri
dengan tegar. "Hgrrr! Kuhancurkan tubuhmu! Hogrrr...!"
Makhluk menyeramkan itu kembali bergerak
hendak mencengkeram tubuh Pendekar Gila yang den-
gan cepat mengelak ke samping. Saat itu pula, dia teringat akan cerita gurunya
ketika bertarung dengan
Dewi Pemuja Setan.
"Hanya dengan Suling Naga Sakti, dia dapat dikalahkan."
Ingat akan kata-kata gurunya, dengan cepat Pen-
dekar Gila melolos Suling Naga Sakti dari pinggangnya.
Kemudian dengan cepat pula suling itu ditiup dengan
posisi kepala naga mengarah ke mata makhluk menye-
ramkan itu. Wusss! Bersamaan dengan alunan suling, dari kedua
mata naga di pangkal suling melesat dua berkas sinar merah ke mata makhluk
menyeramkan itu.
Crat! "Aaargh...!"
Makhluk menyeramkan itu meraung-raung ke-
ras, ketika sinar merah dari sepasang mata di pangkal Suling Naga Sakti
menghantam matanya.
Pendekar Gila tidak mau berhenti sampai di situ,
kini mulut naga di pangkal suling diarahkan ke tubuh makhluk menyeramkan yang
masih meraung-raung
itu. Ditiupnya suling sekali lagi. Seketika itu juga, dari mulut naga di pangkal
suling keluar semburan api
membara. Dan langsung membakar tubuh makhluk
menyeramkan itu.
"Aaarghhhh...!"
Makhluk menyeramkan itu menggelepar-gelepar
saat tubuhnya terbakar oleh api yang keluar dari Suling Naga Sakti. Perlahan-
lahan tubuh makhluk menye-
ramkan itu bergulung-gulung menjadi asap hitam.
Saat itu juga, Pendekar Gila merasakan guncangan yang
sangat keras. Seperti tengah terjadi gempa bumi dah-
syat. Dalam keadaan seperti itu, Sena menyadari kalau istana iblis itu akan
segera hancur. Bergegas ilmu me-ringankan tubuhnya dikerahkan, dan langsung
masuk ke istana untuk mencari Mei Lie.
"Mei Lie...!" panggil Sena dengan gejolak rasa cemas. "Mei Lie...!"
Dicarinya Mei Lie di dalam istana. Sampai akhir-
nya dia melihat Mei Lie tengah terbaring di sebuah
tempat tidur dengan tangan dan kaki terikat. Cepat
Pendekar Gila membuka ikatan tali itu. Saat itu pula, guncangan semakin keras.
Bahkan ditambah dengan
ledakan-ledakan yang menggelegar. Tubuh Pendekar
Gila bersama Mei Lie yang berada di pelukannya, terlempar ke atas. Beruntung,
Pendekar Gila sempat
mengambil Pedang Bidadari di sisi Mei Lie.
Glarrr..! "Ah...!"
Tubuh Pendekar Gila terus meluncur ke atas ber-
sama tubuh Mei Lie. Lalu Pendekar Gila tidak ingat
apa-apa lagi. Sekelilingnya terasa sangat gelap.


Pendekar Gila 7 Titisan Dewi Kwan Im di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Entah berapa lama keduanya pingsan. Ketika
Pendekar Gila membuka mata, dia tengah terbaring di
sebuah lapangan berumput. Di sampingnya, tergeletak
tubuh Mei Lie. "Hei, di mana aku?" tanya Sena dengan kening berkerut "Mei Lie...!"
Didekatinya tubuh Mei Lie. Kemudian perlahan
tangannya membelai rambut gadis cantik yang telah
memikat hatinya. Lama ditatapnya wajah gadis itu le-
kat-lekat. Bibirnya nampak merekah indah, mengun-
dangnya untuk mengecup. Perlahan-lahan Pendekar
Gila mendekatkan wajahnya.
"Mei Lie...," desis Sena.
Diciumnya bibir mungil Mei Lie dengan lembut
membuat gadis itu siuman. Mulanya Mei Lie hendak
berteriak, namun ketika melihat lelaki yang mencium-
nya, Mei Lie malah terdiam. Bahkan matanya kembali
dipejamkan, dan bibirnya semakin dibuka lebar.
"Sena...," desah Mei Lie sambil membalas ciuman Sena Manggala.
Untuk sesaat, keduanya larut dalam belaian ka-
sih dan kerinduan.
Angin sore berhembus perlahan, membelai ramah
rambut kedua insan yang sedang diliputi kerinduan.
Suasana di tempat itu seketika hening.
"Sena, jangan tinggalkan aku," ujar Mei Lie sambil memeluk tubuh Sena. Kepalanya
diletakkan di dada bidang Sena yang menyimpan kedamaian. "Tidak, Mei Lie.
Aku...." Pendekar Gila tidak meneruskan kata-katanya.
Tangannya yang semula membelai rambut Mei Lie, kini
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie
mendongakkan kepala, menatap wajah pemuda itu.
"Ada apa, Sena" Mengapa kau tidak meneruskan
kata-katamu?"
Sena tersenyum-senyum sambil menggaruk-
garuk kepala. Setelah menyelipkan Suling Naga Sakti
di pinggangnya, Sena mengajak Mei Lie bangun.
"Mei Lie, lihatlah gunung yang membiru itu."
Mei Lie memandang ke arah gunung yang tampak
menjulang tinggi. Kemudian dengan perasaan tak
mengerti, pandangannya dialihkan pada Sena.
"Ada apa dengan gunung itu, Sena?"
"Dia tinggi, bukan?"
"Ya!"
"Gunung itu memang tinggi, Mei Lie. Tapi..., ta-hukah kau bahwa angan ku jauh
lebih tinggi diban-
dingkan gunung itu?"
Mei Lie menggelengkan kepala. Kepolosannya
masih belum memahami kata-kata kiasan yang di-
ucapkan Sena. Matanya kini kembali memandang Se-
na. "Mei Lie, aku mencintaimu," bisik Sena lembut.
"Oh! Benarkah, Sena?" tanya Mei Lie sambil me-rebahkan kepalanya kembali ke dada
Sena. Tidak tera-
sa, air matanya berlinang.
"Kau menangis, Mei Lie. Kenapa...?" tanya Sena sambil menengadahkan kepala Mei
Lie agar dapat me-mandangnya. Kemudian tangannya dengan lembut
menyeka air mata gadis itu.
"Lama sekali aku memimpikan semuanya, Sena.
Baru kali ini aku mendengarnya. Mulanya aku tak be-
rani berharap dapat mendampingimu. Biarkanlah aku
mengabdi padamu, Sena...," pinta Mei Lie, lirih.
Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku bukan dewa, Mei Lie. Hanya dewalah yang
patut mendapat pengabdian. Ah, sudahlah. Kita harus
segera ke Lembah Lamur untuk menghentikan perta-
rungan," tukas Sena.
"Lembah Lamur...?" tanya Mei Lie.
"Benar. Ayo...," ajak Sena.
Setelah Mei Lie menaruh Pedang Bidadari di
punggung, keduanya melesat meninggalkan tempat itu
menuju Lembah Lamur, di mana dua golongan tengah
bertarung Kedua pendekar muda itu rupanya terlambat. Di
Lembah Lamur kini hanya tersisa keheningan dan de-
sah angin yang berlalu tanpa peduli. Sementara berpuluh mayat bergelimpangan
memenuhi tanah datar
yang tandus. Kebanyakan yang menjadi korban adalah
orang-orang dari aliran lurus. Sedangkan dati aliran hitam yang kelihatan hanya
tiga orang pengemis, serta beberapa puluh anggota. Sedangkan Pengemis Tempurung
Sakti, dua Ketua Perkumpulan Pengemis, Tiga
Setan Rambut Api, Datuk Karang Geni entah ke mana.
Tentunya mereka telah pergi.
"Nyi Bangil, Lira Kanti.... Oh, mengapa mereka
harus mati, Sena?" tanya Mei Lie sambil menangis.
Hatinya benar-benar tergiris menyaksikan kea-
daan Nyi Bangil dan Lira Kanti. "Tidak! Tidak mungkin...!" Mei Lie menangis
sambil memeluk tubuh Sena yang terdiam kelu. Sulit bagi Sena untuk menjelaskan
semuanya. "Mengapa aku tega membunuhnya" Oh, semua
ini gara-gara orang-orang rimba hitam, Sena. Aku ha-
rus membalas perbuatan mereka! Aku harus memba-
las...!" "Mei Lie, tenanglah. Dendam tak baik bagi kita.
Semua sudah menjadi suratan Hyang Widhi. Sudah-
lah, kau jangan terlalu memikirkannya," bujuk Sena.
"Tidak, Sena. Aku masih berdosa jika belum me-
nemukan mereka!"
Usai berkata begitu, secara tiba-tiba Mei Lie me-
lesat pergi, meninggalkan Sena.
"Mei Lie, tunggu...!"
Sena yang merasa cemas akan keselamatan Mei
Lie, segera mengejar. Namun Mei Lie yang pikirannya
kacau setelah menyaksikan Nyi Bangil tewas, melesat
bagai angin meninggalkan Sena. Dalam kesendirian-
nya, Sena terpaku menerawang masa-masa yang berla-
lu tanpa dapat dipahaminya.
Nah, bagaimana selanjutnya. Apakah Sena akan
bisa menjadi satu dengan Mei Lie" Apa yang akan di-
hadapi Mei Lie selanjutnya" Siapakah yang telah
membantai orang-orang persilatan dari aliran lurus"
Mampukah Mei Lie membalas sakit hatinya pada
orang-orang rimba hitam"
Jika Anda ingin tahu bagaimana nasib Mei Lie,
silakan ikuti serial Pendekar Gila selanjutnya dalam episode "Pedang Penyebar
Maut". SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Lembah Naga 6 Pohon Kramat Karya Khu Lung Senopati Pamungkas 13
^