Pencarian

Tragedi Berdarah Diponorogo 3

Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo Bagian 3


rompi kuning melesat me-
ninggalkan Desa Ngadireja.
Pendekar Gila menghela napas, sementara itu
tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya merasa
tak habis pikir mengapa Warok Singo Lodra, Warok
Sura Pati, dan Warok Sito Kuta berbuat kejam. Kemu-
dian sambil cengengesan kakinya melangkah mende-
kati Ki Lampit dan para warga Desa Ngadireja.
*** 7 Betapa gusar dan marah ketiga warok sesepuh
Ngadireja, setelah mendengar kabar tentang dua orang anak mereka yang mati di
tangan Pendekar Gila. Bahkan Ranukoya, lelaki muda berpakaian rompi kuning
yang menjadi utusan Warok Gandu Pala melebih-
lebihkan ceritanya. Dikatakan, kalau Pendekar Gila
menantang mereka untuk bertarung.
"Apakah kau tak berdusta, Ranukoya"!" bentak Warok Singo Lodra geram. Matanya
menatap tajam Ranukoya yang duduk bersila dengan menundukkan
kepala. "Ampun Ki Warok. Mana berani saya berdusta?"
kata Ranukoya dengan kepala masih menunduk.
"Bahkan, Pendekar Gila mengatakan jangankan hanya tiga warok Ponorogo. Seluruh
warga Desa Ponorogo
pun dia tak akan gentar."
"Cuh! Setan Laknat!" dengus Warok Sura Pati sengit sambil meludah ke tanah.
"Kurang ajar! Pendekar Gila keparat! Dia telah berani membunuh anakku.
Bahkan lancang menantangku!"
"Hhh! Akan kuremukkan batok kepalanya, se-
bagai balasan atas tindakannya!" Warok Sito Kuta pun
tak kalah sengitnya menggeram. Tangan kanannya
mengepal. Dan matanya memandang lepas ke depan.
Warok Singo Lodra tercenung diam. Pikirannya
kira benar-benar kacau. Baru kemarin putrinya, Sekati kedapatan hamil, Sekati
muntah-muntah ngidam. Ketika ditanya siapa yang telah menghamili, Sekati mengaku
Pendekar Gila yang melakukannya.
Perlahan-lahan, bayangan kejadian kemarin
tergambar kembali dalam benak Warok Singo Lodra.
Dirinya baru saja pulang dari kebun, ketika
langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya mendengar suara Sekati muntah-
muntah. Dengan kening
mengerut, Warok Singo Lodra melangkah mendekati
anaknya yang sedang muntah di samping rumah.
"Sekati, kenapa kau?"
Sekati tersentak kaget. Dengan mata meman-
dang takut, gadis itu bangun dari jongkoknya. Lalu
kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat kare-
na takut. "Anakku, kau tak perlu takut pada ayah. Kata-
kan, apa yang sebenarnya terjadi...?" tanya Warok Singo Lodra dengan suara
pelan, berusaha menenangkan
sang Anak. Sekati langsung menangis. Dipeluknya erat-erat
tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok Singo
Lodra terenyuh dan luluh. Dengan lembut, dibelai-
belainya rambut Sekati.
"Anakku, ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih mem-
belai-belai rambut anaknya.
Perlahan-lahan Sekati mendongak. Ditatapnya
dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih ber-
derai, bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok Singo
Lodra pun luluh-lantak dan merasa kasihan. Dibim-
bingnya sang Anak masuk ke rumah. Kemudian di-
ajaknya duduk. "Ceritakanlah, Anakku!"
"Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati takut. Warok Singo Lodra berusaha
tersenyum. Digeleng-gelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan sang
Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya yang ter-
jadi. "Sekati hamil, Ayah."
"Apa"!" bagaikan disengat kalajengking Warok Singo Lodra terbelalak kaget.
Lelaki tua itu tersentak bangkit dari duduknya. Dengan napas tersengal menahan
perasaan marah dan terkejut mata Warok Singo
Lodra menatap tajam anaknya. Sementara Sekati
hanya mampu menangis dengan menundukkan kepala
dalam-dalam. "Siapa yang menghamili mu, Sekati"
Akan kulabrak dia!"
"Pendekar Gila, Ayah!"
"Hah"!" semakin membelalak mata Warok Singo Lodra, mendengar jawaban anaknya.
Dihelanya napas
dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat. Kedua
tangannya mengepal keras sambil menggemeretakkan
gigi menahan geram.
Warok Singo Lodra melangkah bimbang dengan
hati dilanda amarah. Tangan kanannya masih men-
gepal. Matanya memandang tajam pada anaknya yang
masih menangis sambil menundukkan kepala.
"Kapan hal itu terjadi?" tanya Warok Singo Lodra.
"Tiga bulan yang lalu, Ayah," jawab Sekati dengan masih menangis sambil
menundukkan kepala.
"Kurang ajar! Pendekar Gila keparat!" maid Warok Singo Lodra geram. Napas tuanya
kian memburu, bagaikan harimau marah. Matanya semakin memerah
karena marah, "Sekati, kau tidak berbohong"!"
"Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika berdus-
ta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda itu sambil terisak-isak.
"Pendekar Gila, telah cukup aku menahan
amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu
untuk perbuatan terkutuk! Tak akan kubiarkan kau
mempermainkan wanita! Kau harus bertanggung ja-
wab atas semuanya!" dengus Warok Singo Lodra geram. Warok Singo Lodra menarik
napas dalam- dalam. Bayangan tentang anaknya yang dihamili Pen-
dekar Gila, bagaikan mencambuk amarahnya. Ma-
tanya memerah bagaikan mengandung api. Helaan na-
fasnya sangat keras, menandakan hatinya tengah di-
landa amarah yang meluap-luap.
"Ki Singo, apa kita akan tinggal diam terus-
menerus?" tanya Warok Sura Pati geram. "Anakku dibunuhnya. Bukan itu saja,
Pendekar Gila kini menga-
cau Desa Ngadireja. Warga desa kini dilanda ketaku-
tan. Dan menurut kabar, Pendekar Gila telah menco-
reng nama baik warok."
"Hm, benar! Kita harus segera mencarinya!" sahut Warok Singo Lodra.
"Kita harus memberi pelajaran padanya, Ki!"
ujar Warok Sito Kuta.
"Ya! Jangan kira hanya dia yang sakti! Meski-
pun dia sakti setinggi langit. Warok Singo Lodra tak akan gentar menghadapinya.
Dia harus diberi pelajaran!" dengus Warok Singo Lodra. Matanya yang membara
penuh amarah, memandang lepas ke depan.
Warok Singo Lodra menarik napas dalam-
dalam, berusaha menenangkan perasaan yang gundah
dilanda amarah. Jika ingat semua yang terjadi, hatinya semakin geram saja.
Selama ini dirinya berusaha menahan sabar, tetapi Pendekar Gila semakin melunjak
dan bertambah nekat. Rasa percayanya pada Pendekar
Gila sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadi-
lan, pudar sudah. Kini yang tumbuh dalam jiwanya,
sebuah kemarahan dan dendam kesumat. Apalagi kini
mendengar anak-anak rekannya terbunuh di tangan
Pendekar Gila. Semakin bertambah menggelegak ke-
marahannya. "Kita cari Pendekar Gila sampai ketemu!" dengus Warok Singo Lodra semakin marah
dan sengit. "Kapan kita berangkat, Ki?" tanya Warok Sito Kuta. "Secepatnya," sahut Warok
Singo Lodra. "Baik, Ki. Kami akan mempersiapkan sega-
lanya," ujar kedua warok lainnya.
"Ranukoya, kau boleh pergi!" perintah Warok Singo Lodra.
Ranukoya yang dengan segera menjura hormat,
kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Sedang-
kan Warok Singo Lodra nampak masih mengulum bi-
bir, berusaha menenangkan pikirannya yang tengah
diliputi kemarahan.
*** Sementara di Hutan Palapiring, tempat Warok
Gandu Pala dan para pengikutnya berada, siang itu
nampak semua berkumpul. Di rumah bilik yang bera-
da di dalam Hutan Palapiring, Warok Gandu Pala
nampak gelisah dan marah. Kakinya melangkah mon-
dar-mandir dengan tangan mengepal seperti menahan
geram. Para anak buahnya duduk dengan kepala me-
nunduk, tak seorang pun berani membuka mulut. Se-
muanya terdiam tanpa kata, membiarkan Warok Gan-
du Pala yang tengah dilanda perasaan gelisah.
"Kurang ajar! Pendekar Gila telah membuat
anggota kita semakin berkurang!" dengus Warok Gandu Pala sengit. Kemudian
kakinya melangkah menuju
kursi rotan yang ada di ruangan itu. "Ah, tapi biarlah!
Bukankah dengan begitu, ketiga warok tua bangka itu
akan memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?"
Warok Gandu Pala tertawa terkekeh-kekeh, me-
rasa senang setelah mendengar ketiga warok tua yang
juga sesepuh di Desa Ponorogo itu akhirnya dapat juga diadu domba.
Semua anak buahnya mengerutkan kening, tak
mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawa-tawa.
Padahal banyak anak buahnya yang mati di tangan
Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya tidak
memahami jalan pikiran yang telah direncanakan sang
Ketua. "Nanti malam, kita kembali mengadakan gerakan. Bunuh kedua calon lurah
yang masih ada!" perintah Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kalau mereka sudah lenyap semua, bukankah aku
yang akan menduduki kursi kepala desa?"
Semua anak buahnya yang tersisa lima belas
orang itu tertawa mengikuti pimpinannya yang juga
tertawa terbahak-bahak.
"Benar, Ketua! Kalau Ketua menjadi Kepala De-
sa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri, "Bukan begitu teman-teman?"
"Benar!" sahut keempat belas rekannya, terma-suk Sekati yang juga berada di
tempat itu. Gadis itu nampak lebih banyak diam, semenjak hamil. Hal itu
mungkin karena hatinya merasa berdosa, telah mem-
bohongi sang Ayah. Juga terhadap Pendekar Gila yang
telah difitnahnya.
Hati nurani Sekati mulai tergugah. Batinnya
yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa,
semua tindakannya selama ini suatu perbuatan yang
salah. Begitu berani menentang sang Ayah. Juga Pa-
man Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta.
"O, mengapa aku seperti ini" Mengapa harus
menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?"
keluh Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya se-
lama ini. Kini dirinya bagaikan baru terbuka mata hatinya yang selama ini
tertutup kabut gelap. Selama ini, Sekati terpengaruh janji-janji muluk dan
rayuan gom-bal Warok Gandu Pala. Sampai akhirnya, peristiwa itu terjadi. Ketika
semua anak buah tengah menjalankan
perintah tinggallah mereka berdua. Warok Gandu Pala
menggagahinya. Mulanya Sekati berusaha melawan,
tetapi ketika matanya beradu dengan mata Warok
Gandu Pala, tiba-tiba hatinya luluh. Dibiarkan tubuhnya digeluti orang yang
mengaku sebagai pamannya
sendiri. Semenjak itu, Warok Gandu Pala selalu beru-
saha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan aneh-
nya, gadis itu bagaikan tak mampu melawan. Sekati
pasrah, membiarkan kehormatannya direnggut. Mem-
biarkan tubuhnya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki
yang dianggap sebagai paman sendiri, karena sesama
warok seperti ayahnya.
Sampai akhirnya, Sekati hamil. Semula hatinya
sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada
Warok Gandu Pala. Namun tanggapan Warok Gandu
Pala justru membuat hatinya sakit Warok Gandu Pala
menyuruhnya untuk memfitnah Pendekar Gila dan
mengadukan pada ayahnya, kalau kehamilan itu per-
buatan Pendekar Gila.
"O, kasihan Pendekar Gila. Dia tak tahu apa-
apa, terlalu polos, dan tak mengerti apa yang terjadi,"
keluh Sekati dalam hati. Lamunannya terus mengalir,
teringat akan Pendekar Gila yang bertingkah laku ko-
nyol dan persis orang gila. "Mengapa harus dia yang menjadi korban fitnah"
Tentunya ayah tak akan membiarkan pemuda itu. Ayah pasti akan melabrak Pende-
kar Gila."
Sekati tak mempedulikan pertemuan yang ten-
gah berlangsung. Benaknya terus hanyut dalam lamu-
nan, memikirkan apa yang bakal terjadi terhadap Pen-
dekar Gila. Sementara, di sini, Warok Gandu Pala tertawa dengan kemenangannya.
Sudah dapat dibayang-
kan, kalau Pendekar Gila akan bertarung dengan keti-
ga warok itu. Mereka sama-sama sakti. Mereka sama-
sama disegani. Tiga warok itu bersenjata cambuk yang sakti.
Cambuk mereka mampu mengeluarkan api, halilintar,
dan angin yang membadai.
Mustahil kalau Pendekar Gila akan mampu
menandingi ketiga warok sakti itu.
Pikiran Sekati terus bergejolak, seakan tak da-
pat melupakan apa yang bakal terjadi. Pertarungan antara Pendekar Gila melawan
ayah serta kedua paman-
nya, tentu akan berakhir dengan kematian. Mungkin
mereka mati semua, atau mungkin ayah dan paman-
nya yang mati. Atau juga Pendekar Gila yang akan ma-
ti. Sekati merasakan kepalanya sakit sekali. Otak-
nya berdenyut-denyut memikirkan apa yang bakal me-
nimpa Pendekar Gila atau ayah dan kedua pamannya.
Mereka orang-orang sakti. Jika mereka bertempur, ten-tu harus ada yang mati.
"Tidaaakkk...!" tiba-tiba Sekati memekik keras dengan tangan memegangi kepalanya
yang terasa pening. Tubuhnya limbung, kemudian ambruk. Hal itu
membuat semua mata langsung menoleh pada Sekati.
Warok Gandu Pala segera membopong tubuh Sekati,
membawanya masuk ke sebuah kamar. Sementara pa-
ra anak buahnya, hanya mampu terbengong-bengong


Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak mengerti apa yang dialami Sekati.
Warok Gandu Pala pun nampak kebingungan,
tak mengerti apa yang dialami Sekati. Dirinya berusa-ha menyadarkan Sekati dari
pingsannya, tetapi tak
mampu. Gadis itu masih saja pingsan. Keringat men-
galir deras dari tubuh Sekati, sehingga pakaian gadis itu basah kuyup. Hal itu
menyebabkan lekuk tubuh
gadis itu nampak jelas menantang.
Warok Gandu Pala menelan ludah berkali-kali,
melihat pemandangan menggiurkan dan membuat naf-
sunya terbangkit. Nafasnya memburu liar, bagaikan
habis berlari menempuh jarak yang sangat jauh.
"Hm, semakin menggiurkan saja kau, Manis,"
gumam Warok Gandu Pala. Matanya tak berkedip, me-
natap lekat tubuh Sekati yang masih terkulai pingsan.
Warok Gandu Pala benar-benar tak tahan meli-
hat tubuh Sekati. Tubuh yang hamil muda itu, sema-
kin menggiurkan. Lekuk tubuhnya begitu jelas, sema-
kin menambah gairah kelelakiannya.
Tangan Warok Gandu Pala perlahan-lahan mu-
lai merayap meraba-raba sekujur tubuh Sekati. Na-
mun tiba-tiba gadis itu tersentak bangun. Matanya
menatap tajam wajah Warok Gandu Pala, seakan me-
mendam kebencian yang dalam.
"He he he...! Mari kita nikmati sore yang indah ini, Manis! Bukankah sebentar
lagi kau akan menjadi
istri Lurah Gandu Pala. He he he...!" Warok Gandu Pa-la terkekeh-kekeh, sambil
tangannya terus merayapi
sekujur tubuh Sekati.
"Huh!" Sekati menepiskan tangan Warok Gandu Pala dengan kasar. Matanya semakin
tajam menatap wajah Warok Gandu Pala. Lelaki setengah baya itu tersentak kaget, tak menyangka
kalau Sekati akan berani berbuat kasar padanya.
"Kenapa kau, Manis" Mengapa kau galak..?"
tanya Warok Gandu Pala masih berusaha tersenyum.
Tangannya hendak kembali membelai tubuh Sekati, te-
tapi lagi-lagi gadis itu menyentakkan tangan dengan
kasar. "Kau..."! Kau benar-benar lelaki tak tahu diri!"
dengus Sekati geram. Kemudian gadis itu bangkit dari pembaringan. Matanya masih
menatap kian garang
wajah Warok Gandu Pala. Lelaki bertubuh gagah itu
mengernyitkan kening, tak mengerti mengapa tiba-tiba Sekati berubah garang.
Padahal ketika pertama kali
mereka melakukan persetubuhan, gadis itu sangat bi-
nal dan sepertinya menerima dengan senang hati.
Bahkan perbuatan-perbuatan selanjutnya, Sekatilah
yang memintanya.
"Sekati, kenapa kau"!" bentak Warok Gandu
Pala seraya menatap tajam wajah Sekati.
"Huh, Lelaki bejat! Lelaki tak tahu diri! Kau adu ayahku dengan Pendekar Gila!
Pengkhianat! Licik..!"
maki Sekati sengit. Mendengar makian Sekati, Warok
Gandu Pala tentu saja tak dapat menahan amarahnya.
"Kurang ajar! Lancang sekali kau berkata begi-
tu, Sekati!" bentak Warok Gandu Pala sengit. Tangannya diangkat tinggi-tinggi,
siap menampar pipi Sekati.
"Lakukan! Ayo lakukan...!" tantang Sekati bagaikan tak takut sedikit pun. Bahkan
kini diajukan mukanya dan menyuruh agar Warok Gandu Pala me-
namparnya. Matanya yang semakin garang menatap
penuh kebencian ke wajah Warok Gandu Pala yang
tertegun, tak menyangka kalau Sekati akan berani be-
gitu. "Hhh, kalau saja aku tak ingat siapa kau. Kurobek mulutmu!" dengus Warok
Gandu Pala geram. Di-tariknya napas dalam-dalam, berusaha menenangkan
gejolak amarahnya yang meluap-luap dalam dada. Se-
lama ini, belum pernah ada seorang wanita pun yang
begitu berani menantangnya.
"Robek! Ayo lakukan...!" tantang Sekati semakin garang, dengan mata tajam
menatap wajah Warok
Gandu Pala. Warok Gandu Pala mendengus, kemudian tan-
pa menghiraukan Sekati, segera melangkah ke luar
meninggalkan gadis itu yang seketika menangis. Sekati sepertinya menyesali semua
yang telah terjadi atas dirinya. Malam datang dengan kegelapan yang menye-
limuti Desa Ponorogo. Suasana sunyi dan sepi terasa
mencekam. Apalagi kini ketiga warok yang ditakuti dan disegani di Desa Ponorogo
pergi mencari Pendekar Gi-la.
Rumah Ki Banjar Guling dan Ki Jali, nampak
sepi. Mereka sepertinya tak berani mengadakan kera-
maian di malam hari, setelah mengetahui kalau ketiga warok sedang mencari
Pendekar Gila. Mereka tak mau
menanggung beban, kalau-kalau Pendekar Gila akan
datang dan membuat keonaran.
Sementara itu segerombolan lelaki berpakaian
serba hitam tampak bergerak dari arah selatan. Mere-
ka terdiri dari tiga belas orang. Tujuh membelok ke
arah barat, sedangkan enam orang lagi membelok ke
arah timur. Nampaknya mereka hendak menuju ru-
mah Ki Banjar Guling dan Ki Jali.
Tujuh orang dipimpin Sumogara sedangkan
enam orang dipimpin Sumogiri. Mereka seperti bi-
asanya, mendapatkan tugas dari Warok Gandu Pala,
untuk menyingkirkan calon kepala desa yang kini tinggal dua orang lagi.
Pemilihan kepala desa tinggal dua hari lagi,
sangat mendesak Kalau kedua orang itu tidak segera
dihabisi dan disingkirkan, tentunya akan merepotkan
Warok Gandu Pala dan akan mempersulitnya untuk
menjadi kepala desa.
Enam orang yang dipimpin Sumogiri telah
mendekat ke rumah Ki Jali. Begitu sampai mereka se-
gera mengepung rumah itu. Sementara itu Sumogiri te-
lah berdiri di depan pintu.
Tok! Tok! Tok! "Ki Jali...! Buka pintu...!" seru Sumogiri berusaha membangunkan Ki Jali dari
tidurnya. Tak ada jawaban. Rupanya penghuni rumah itu
telah terlelap dalam tidur. Bahkan lampu di dalam
rumah tak menyala, mungkin sengaja dimatikan.
"Ki Jali, buka pintu!" kembali Sumogiri berusaha membangunkan penghuni rumah.
Namun ternyata tak juga ada sahutan dari dalam rumah. Keadaan di
rumah itu masih tetap sepi, tak ada suara jawaban da-ri dalam.
Sumogiri mendengus geram, karena belum juga
ada jawaban dari dalam rumah.
"Kurang ajar! Rupanya kau minta dikasari, Ki!"
dengan geram didobraknya pintu rumah Ki Jali.
Brak! Sumogiri segera masuk. Tetapi baru saja dia
melangkah tiga langkah, sebuah pukulan keras meng-
hantam dadanya. Seketika tubuh Sumogiri terpental
deras ke belakang hingga keluar rumah.
"Hukkk!"
Tubuh Sumogiri terbanting ke tanah, menjadi-
kan kelima rekannya seketika berlarian ke arah Sumo-
giri. Mereka membelalak kaget, melihat pimpinannya
terjatuh bagaikan dilemparkan dari dalam rumah.
"Kenapa, Giri?" tanya salah seorang rekannya dengan kening mengerut, menyaksikan
pimpinannya terjatuh. "Kurang ajar! Rupanya di dalam ada orang yang
mau menjual lagak di depan anak buah Pendekar Gi-
la!" dengus Sumogiri seraya bangun dari jatuhnya.
"Hua ha ha...! Lucu... lucu sekali. Ada juga kecoa busuk yang mengaku-aku
sebagai anak buah Pen-
dekar Gila. Aha, hebat sekali ucapanmu, Kecoa Bu-
suk!" bentak seorang pemuda dari dalam rumah Ki Jali sambil tertawa terbahak-
bahak. Kemudian dari dalam,
nampak sesosok tubuh pemuda berpakaian rompi ku-
lit ular dengan mulut cengengesan. Tangan pemuda
tampan berambut gondrong agak ikal itu menggaruk-
garuk kepala. "Pendekar Gila...!" pekik keenam orang anak buah Warok Gandu Pala dengan mata
membelalak kaget, setelah melihat siapa pemuda itu.
*** 8 Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak dengan
tingkah lakunya yang masih seperti orang gila. Tan-
gannya menggaruk-garuk kepala, dengan mulut cen-
gengesan. Hal itu membuat keenam orang anak buah
Warok Gandu Pala semakin membelalakkan mata, tak
percaya kalau Pendekar Gila yang sedang dicari-cari
Warok Singo Lodra dan kedua warok lainnya berada di
rumah Ki Jali. "Hi hi hi...! Lucu sekali, ada kecoa-kecoa busuk macam kalian yang mengaku anak
buah Pendekar Gi-la," gumam Pendekar Gila sambil melangkah mendekati keenam
kawanan berpakaian hitam yang telah men-
cabut pedang. Mereka kini siaga, sepertinya siap untuk melakukan penyerangan.
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut cam-
pur dengan urusan kami!" bentak Sumogiri dengan mata garang, menatap tajam pada
Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya. "Aha, sayang sekali! Sayang sekali kalau itu permintaan kalian.
Bagaimanapun, kalian telah mencemarkan nama baikku. Ah ah ah, siapa sebenarnya
yang memerintah kalian berbuat seperti itu?" tanya Pendekar Gila dengan masih
cengengesan sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Cuih! Jangan bertingkah di Ponorogo, Pende-
kar Gila! Apa kau tak tahu, kalau kau akan mengha-
dapi Tiga Warok Sakti dari Ponorogo jika berani turut campur dengan urusan
kami!" sentak Sumogiri. Dirinya pun telah siap dengan pedang di tangan, untuk
menyerang Pendekar Gila.
"Aha, benarkah tiga warok yang mengutus ka-
lian?" tanya Pendekar Gila sepertinya belum yakin.
"Ya! Maka itu, kuharap kau jangan jual lagak di sini!" dengus Sumogiri sengit.
Matanya menatap semakin tajam pada Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Hi hi hi...! Tadi kalian mengaku anak buahku. Mengapa
sekarang kalian
mengaku sebagai anak buah Tiga Warok Sakti dari Po-
norogo?" gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya masih
cengengesan kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya
semakin konyol dan gila.
"Jangan banyak omong! Serang dia...!" perintah Sumogiri sambil menggerakkan
tangannya, memerintah pada kelima temannya untuk menyerang.
"Yea!"
"Hea!"
Tanpa diperintah kedua kalinya, kelima anak
buah Sumogiri langsung merangsek dan menyerang
Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka, bergerak ce-
pat. Mereka langsung mengepung Pendekar Gila, den-
gan serangan-serangan tusukan dan tebasan pedang
mereka. Wrt! Wrt! "Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera merundukkan tubuh
untuk mengelak. Kemudian bergerak meliuk-liuk seperti penari. Lalu disusul
dengan tepukan telapak tangan kiri ke dada la-
wan, dibarengi kaki kanannya menendang ke belakang
dan samping. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Pen-
dekar Gila bergerak laksana menari. Tubuhnya meliuk-
liuk, diikuti dengan tendangan kaki dan tepukan tan-
gannya lurus ke dada lawan. Hal itu membuat keenam
lawannya tersentak kaget, karena tak menyangka ka-
lau gerakan lemah lembut dan gemulai yang dilakukan
Pendekar Gila mampu mengelitkan serangan mereka.
Bahkan tepukan tangan yang kelihatan main-main cu-
kup menyentakkan keenam lawannya.
"Heh"! Ilmu siluman...!" pekik Sumogiri dengan mata membelalak kaget,
menyaksikan bagaimana Pendekar Gila bergerak seperti orang menari. Dirinya
berusaha merangsek dengan tebasan pedangnya. Na-
mun, dengan enaknya Pendekar Gila bergerak meng-
hindar. Kemudian tangannya menepuk ke salah seo-
rang anak buahnya yang ada di depan. Sedangkan ka-
ki kirinya, menendang ke belakang.
Plak! "Akh...!" lawan yang terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila, seketika
mencelat ke belakang.
Tubuhnya bagaikan didorong dengan keras, hingga
melesat cepat Brak! "Akh...!" tubuh orang itu membentur gapura di
depan rumah Ki Jali. Gapura itu roboh, bersamaan
dengan remuknya kepala orang tersebut
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Kau berani menantang pimpinan-pimpinan kami, Tiga
Warok dari Ponorogo!" dengus Sumogiri sambil meng-gebrak serangan dengan babatan
pedang ke arah kepa-
la. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tu-
buh mengelak. Sedangkan kakinya menjejak ke arah
dada lawan yang ada di sampingnya sambil melakukan
serangan ke tubuh lawan.
"Hi hi hi...! Ini bagianmu, Kecoa Busuk! Hea...!"
Gerakan yang dilakukan Pendekar Gila mem-
buat lawan yang diserang tersentak kaget. Lelaki berpakaian hitam itu berusaha
membabatkan pedang gu-
na menangkis tendangan lawan, tetapi ternyata kaki
Pendekar Gila lebih dulu menghantam dadanya.
Degk! "Wua...!" pekikan keras terdengar ketika lelaki berpakaian hitam itu terhantam
tendangan Pendekar
Gila. Tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mu-
lutnya menyemburkan darah segar hingga penutup
kepalanya lepas. Tubuh itu menghantam jendela ru-
mah Ki Jati hingga menerobos masuk, lalu terbanting
di tanah dan tewas. Kemudian ambruk tanpa nyawa.
Menyaksikan dua orang kawannya mati dalam
keadaan mengerikan Sumogiri bertambah marah. Pa-
dahal Pendekar Gila bam mengeluarkan satu jurus, be-
lum jurus-jurus gila lainnya yang lebih dahsyat
"Bunuh dia...!" teriak Sumogiri, sepertinya tak peduli lagi kalau keadaan
seperti itu akan dapat mengundang warga Desa Ponorogo jika mendengar se-


Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruannya. "Hea!" ketiga anak buah Sumogiri bergerak terus menyerang Pendekar Gila dengan
tebasan-tebasan
pedangnya, dibantu Sumogiri sendiri yang semakin be-
ringas melakukan serangan dengan tusukan dan baba-
tan pedang. "Hi hi hi...!"
Dengan masih tertawa tawa, Pendekar Gila
kembali berkelebat mengelakkan serangan-serangan
keempat lawannya yang ganas. Kini tubuhnya berpu-
tar cepat ke arah kiri. Dengan menggunakan jurus
'Gila Melepas Lilitan Benang' Pendekar Gila bergerak menyerang keempat lawannya.
"Hi hi hi...! Kenapa kalian bengong" Ini hadiah untuk kalian!"
Wrt! Plak! Plak! "Akh!"
Dua kali tamparan keras mendarat di wajah
dua orang yang seketika mental ke belakang. Kepala
mereka bagaikan dipelintir. Dari mulut keduanya me-
nyemburkan darah segar. Sesaat kedua tubuh berpu-
tar cepat, kemudian ambruk tanpa nyawa.
Sumogiri semakin geram. Dirinya dan seorang
temannya terus membabatkan pedangnya itu ke tubuh
Pendekar Gila yang masih berputar cepat laksana gas-
ing, dengan tangannya turut bergerak menampar dan
menghantam. Sulit bagi Sumogiri dan seorang rekannya un-
tuk dapat menyerang, karena tubuh lawan bagai
menghilang. Keduanya hanya terbengong-bengong,
menyaksikan gerakan lawan yang aneh. Sehingga keti-
ka Pendekar Gila kembali menampar, Sumogiri dan re-
kannya tak dapat mengelakkan serangannya.
Plak! Plak! "Akh...!"
"Wua...!"
Sumogiri dan rekannya memekik, ketika tam-
paran keras menghantam wajah mereka. Tubuh kedu-
anya berputar cepat dengan mulut menyemburkan da-
rah. Mata mereka melotot, kemudian ambruk dan ma-
ti. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, me-
nyaksikan keenam lawannya telah mati. Tingkah la-
kunya yang seperti gila, semakin menjadi-jadi. Diam-
bilnya bulu burung yang diselipkan di ikat pinggang, kemudian dengan tenang
mengorek telinga. Mulutnya
cengengesan, merasa geli.
"Hi hi hi...! Ha ha ha...!"
Lalu sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila me-
ninggalkan rumah Ki Jali. Dari dalam rumah, Ki Jali
dan istri muncul. Keduanya hanya terperangah, tak
tahu apa yang telah terjadi. Keduanya tak menyangka, kalau ucapan pemuda gila
itu benar. Bahwa rumahnya
akan didatangi para begundal.
"Nyi, lihat! Bukankah itu mayat warga Desa Po-
norogo?" tanya Ki Jali seakan belum percaya dengan penglihatannya.
"Benar, Ki. O, rupanya ada orang yang sengaja
memerintah mereka membunuh calon kepala desa, Ki.
Beruntung pemuda gila itu memberi tahu pada kita, "
gumam istri Ki Jali.
"Siapa pemuda gila itu ya, Nyi?" tanya Ki Jali berusaha mereka-reka, "Mungkinkah
dia yang disebut Pendekar Gila?"
"Mungkin, Ki."
"Kalau begitu, orang-orang ini tentu bukan
utusannya. O, tak kusangka, ada orang yang tega me-
nyebar fitnah padanya. Padahal dia pemuda baik.
Sayang dia gila...!" gumam Ki Jali sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dihelanya
napas dalam-dalam, sea-
kan ingin membuang beban jiwanya. "Kalau saja tak ada Pendekar Gila, tentunya
kita sudah mati seperti
calon kepala desa lainnya, Nyi."
"Benar, Ki. O, kasihan sekali Pendekar Gila.
Tentunya dia akan berhadapan dengan Ketiga Warok
Sakti, " keluh Nyi Jali seakan menyesali kejadian yang telah membuat nama
Pendekar Gila tercemar. Sehingga Tiga Warok Sati itu kini mencarinya.
"Kita ikuti dia, Nyai...," ajak Ki Jali, "Bagaimanapun, kita harus mencegah
terjadinya pertarungan
antara ketiga warok itu dengan Pendekar Gila."
"Tapi ke mana kita harus mencarinya, Ki?"
Ki Jali hanya mampu mematung diam, tanpa
tahu harus berbuat apa. Di wajahnya, tergambar ba-
gaimana nantinya kalau Pendekar Gila sampai berte-
mu dengan Tiga Warok Sakti dari Ponorogo yang se-
dang mencarinya.
"Semoga saja orang yang telah menyebar fitnah
cepat tertangkap! Sehingga Tiga Warok Sakti tak jadi bertarung dengan Pendekar
Gila," gumam Ki Jali.
"Aku pun berharap begitu, Ki. Kasihan Pende-
kar Gila! Dia sangat baik. Kalau dia jahat, mana mau menasihati kita agar
bersembunyi?" gumam Nyi Jali sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kedua suami istri calon lurah itu, hanya mam-
pu memandang ke timur, arah yang dituju Pendekar
Gila. Ada perasaan kasihan dan iba membayang di wa-
jah keduanya, jika teringat bagaimana kalau sampai
antara ketiga warok itu bertemu dengan Pendekar Gila.
Mereka tak habis pikir dan bertanya-tanya da-
lam hati. Apa mungkin, pendekar yang baik hati dan
suka menolong itu menghamili anak Warok Singo Lo-
dra" Rasanya tak masuk akal. Namun, keduanya tak
dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya rakyat biasa,
yang tak mampu mencegah pertarungan orang-orang
sakti itu. *** Pendekar Gila masih menyelusuri jalanan yang
membelah Desa Ponorogo, ketika dari arah timur nam-
pak tiga orang warok melangkah dengan tergesa-gesa.
Di wajah mereka, tergambar kemarahan. Rupanya ke-
tiganya pun baru saja membantai tujuh orang anak
buah Warok Gandu Pala yang telah membunuh Ki
Banjar Guling. Tiga lelaki tua sakti dengan senjata cambuk
yang kini masih di tangannya, melangkah semakin ce-
pat. Sepertinya mereka tak sabar lagi, untuk segera
bertemu dengan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Aha, kalian nampaknya tergesa-
gesa. Seakan ada sesuatu yang ingin kalian laku-
kan...!" seru Pendekar Gila sambil tertawa terbahak-bahak. Dengan jari
kelingking, mengorek telinga sebelah kiri, seraya menggetar-getarkan kepalanya
karena geli. Ketiga Warok Sakti tersentak, mendengar se-ruan itu. Mata mereka
membelalak lebar, antara kaget dan marah setelah tahu siapa yang telah
menghadang mereka. "Kebetulan sekali. Akhirnya kau yang kami
tunggu muncul juga, Pendekar Gila!" dengus Warok Singo Lodra dengan muka
mencerminkan kemarahan.
Matanya yang tua dan tertutup alis putih, menatap tajam ke wajah Pendekar Gila.
"Aha, begitu pula denganku. Kebetulan sekali,
akhirnya aku dapat bertemu dengan kalian!" balas Pendekar Gila masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
Ketiga Warok Sakti itu mengerutkan kening,
mendengar ucapan Pendekar Gila. Sepertinya Pende-
kar Gila juga tengah mencari mereka.
"Pendekar Gila, kau harus bertanggung jawab
atas hamilnya anakku!" seru Warok Singo Lodra den-
gan geram. Cambuk di tangan kanannya, dimain-
mainkan ke telapak tangan kirinya. Matanya menatap
tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Pen-
dekar Gila terdiam dengan mata mendelik kaget, men-
dengar tuduhan yang baru saja dilontarkan Warok
Singo Lodra. "Kau benar-benar terkutuk, Pendekar Gila! Kau
bunuh anakku. Kau kotori nama baik warok!" dengus Warok Sura Pati tak kalah
marahnya. "Ya! Kau bunuh calon kepala desa. Kau benar-
benar laknat! Telah lancang dan berani memakai nama
warok untuk perbuatan-perbuatan burukmu!" sambut Warok Sito Kuta.
"Mungkin kalau hanya hamilnya anakku dan
kematian kedua anak rekanku, belum seberapa. Tetapi
pembunuhan terhadap calon kepala desa dan meram-
pok di Desa Ngadireja, sungguh perbuatan yang me-
malukan! Begitukah perbuatan seorang pendekar yang
dikenal sebagai penegak kebenaran dan keadilan"!"
bentak Warok Singo Lodra. Pendekar Gila semakin
mengerutkan kening. Dirinya baru saja hendak menu-
duh ketiga warok itu dengan tuduhan-tuduhan yang
dilontarkan ketiganya.
"Hi hi hi...! Kalian lucu sekali. Mengapa kalian orang-orang tua bertingkah
aneh" Seharusnya akulah
yang menuduh kalian telah melakukan kekejian itu"!"
ujar Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala den-
gan tertawa cekikikan.
"Cuih! Jangan berlagak bodoh, Pendekar Gila!"
dengus Warok Singo Lodra geram, semakin bertambah
marah mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Telah banyak bukti, yang menunjukkan kalau
semua perbuatan terkutuk itu kau pelakunya!"
"Hua ha ha... hi hi hi...! Lucu sekali. Kalian
menuduhku begitu. Apakah kalian kira aku pun tak
punya bukti, yang memberatkan kalian?" tanya Pendekar Gila dengan tertawa
terbahak-bahak sambil meng-
garuk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kau kira mudah untuk lari dari
tanggung jawabmu, Pendekar Gila!" bentak Warok Su-ra Pati semakin marah,
mendengar ucapan Pendekar
Gila. "Aha, kalian pun jangan kira akan mudah melempar batu sembunyi tangan.
Baru saja di rumah Ki
Jali gerombolan kalian hampir membunuh Ki Jali.
Apakah kalian mau mungkir...?" tanya Pendekar Gila sambil cengengesan. Ucapan
itu membuat mata ketiga
warok semakin membelalak kaget. Ketiganya saling
pandang dengan kening mengerut, sepertinya tak per-
caya kalau di rumah Ki Jali pun terjadi hal yang seru-pa dengan kejadian di
rumah Ki Banjar Guling.
"Rupanya di rumah Ki Jali pun habis terjadi
pembunuhan, Sura," bisik Warok Singo Lodra.
"Hm, apakah tidak mungkin memang dia pela-
kunya?" tanya Warok Sura Pati berbisik
"Mungkin juga. Hm, kita tak boleh lengah. Dia
bukan pemuda gila sembarangan," gumam Warok Sin-go Lodra mengingatkan kedua
temannya. "Pendekar Gila, kami kira tak ada lagi ampunan
bagimu. Kau telah banyak berbuat dosa," kata Warok Sito Kuta sambil melepas
'Cambuk Braja Indra' di tangan kirinya. Begitu juga dengan kedua rekannya. Keti-
ga Warok Sakti itu, tak ingin gegabah menghadapi
Pendekar Gila. "Bersiaplah untuk mati, Pendekar Gila!" dengus Warok Sura Pati.
"Hi hi hi...! Rupanya kalian memang pelaku-
pelaku utama dari semuanya. Aha, kukira dengan be-
gini, kalian ingin lepas dari tanggung jawab! Baik, un-
tuk kebenaran dan keadilan, aku layani tantangan ka-
lian," sambut Pendekar Gila sambil melolos Suling Na-ga Saktinya dari ikat
pinggang. Wuttt! Wuttt! Tiga Warok Bercambuk Sakti kini memutar
cambuk mereka ke atas, siap melakukan serangan.
Sedangkan Pendekar Gila, kini dengan tenang meniup
Suling Naga Saktinya. Suara Suling Naga Sakti, men-
galun merdu. Namun sebenarnya alunan suara suling
itu hanya ditujukan untuk menangkal suara putaran
cambuk yang sangat memekakkan telinga.
"Hea!"
"Remuk tubuhmu, Pendekar Gila!" seru Warok Singo Lodra sambil melecutkan 'Cambuk
Braja Ge-ni'nya yang seketika berubah menjadi api.
Cletar! "Uts! He he he...!" Pendekar Gila segera melompat ke samping, mengelakkan cambuk
Warok Singo Lodra dengan jurus 'Dewa Mabuk Membelenggu Suk-
ma'. Gerakannya yang seperti orang mabuk, membuat
ketiga lawannya merasa yakin akan dapat mencambuk
tubuhnya. Dari arah kiri, Warok Sura Pati menya-
betkan cambuknya yang bernama 'Cambuk Braja
Bayu'. Wsss! Cletar! Angin menderu kencang laksana membadai,
menyerang ke tubuh lawan. Dengan cepat, Pendekar
Gila bersalto. Kemudian segera berputar sambil me-
musatkan 'Inti Bayu'-nya ke kedua telapak tangan. La-lu dengan tenaga dalam
kuat, dihempaskan kedua te-
lapak tangan ke arah angin yang menderu.
"Hea!"
Wsss! Jlegar! Ledakan dahsyat terdengar, membuat suasana
di tempat itu bagaikan diguncang gempa. Pepohonan
bertumbangan terhempas angin kencang. Tanah ber-
hamburan dan beterbangan terhantam dua kekuatan
angin yang dahsyat. Baik Pendekar Gila maupun Wa-
rok Sura Pati, melompat dua tombak ke belakang. Ma-
ta mereka saling pandang dengan tajam. Lalu Pende-
kar Gila tertawa terbahak-bahak, sedangkan Warok
Sura Pati menggumam sengit!
"Kini giliranku, Pendekar Gila! Hea...!" Warok Sura Pati memutar 'Cambuk Braja
Indra'-nya. Seketika suara menggelegar laksana petir disertai kilatan-kilatan
keluar dari cambuk itu.
Melihat serangan lawan, dengan cepat Pende-
kar Gila kembali meniup Suling Naga Saktinya. Kini
suara suling itu bukan lagi mengalun merdu, melain-
kan melengking keras. Sepasang mata Suling Naga
Sakti, di arahkan ke ujung cambuk Warok Sito Kuta.


Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari sepasang mata Naga Sakti, melesat sepasang si-
nar merah memapaki kilatan petir dari ujung cambuk
Slats! Srt! Crak! Jlegar...!
Ledakan kembali terdengar, diikuti suasana
malam yang berubah menjadi panas membara. De-
daunan layu. Angin malam laksana terhenti. Warok Si-
to Kuta terdorong mundur dengan mata membelalak
tegang, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang ma-
sih nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kau memang hebat, Pendekar Gi-
la! Tetapi kau tak akan kami biarkan. Hadapi kami sekaligus!" dengus Warok Singo
Lodra geram sambil memutar cambuknya.
Hampir saja pertarungan itu terjadi, tetapi dari
arah selatan Desa Ponorogo terdengar teriakan seorang wanita yang membuat ketiga
warok itu menghentikan
putaran cambuk mereka.
"Hentikan...! Jangan teruskan...!"
Baik Pendekar Gila dan Ketiga Warok Sakti, se-
ketika menoleh ke arah datangnya suara wanita itu.
Mata mereka membelalak, setelah tahu siapa yang da-
tang. Terlebih-lebih Ketiga Warok Sakti.
"Sekati...! Dari mana kau"!" tanya Warok Singo Lodra kaget, setelah melihat
anaknya yang datang
sambil menangis.
"Jangan teruskan, Ayah. Maafkan Sekati. Sebe-
narnya bukan Pendekar Gila yang melakukan semua-
nya, " ujar Sekati sambil menangis. Mendengar ucapan Sekati itu, Tiga Warok
Sakti semakin membelalakan
mata. Mereka semakin bingung, apa sebenarnya yang
telah terjadi pada Sekati.
"Apa maksudmu, Sekati?" bentak Warok Singo Lodra. "Jangan kau membuatku marah!"
"Maafkan Sekati, Ayah. Selama ini, Sekati telah gelap mata. Selama ini, Sekati
telah terpengaruh Paman Gandu Pala," desah Sekati di sela isak tangisnya.
Ketiga Warok Sakti itu kembali saling pandang tak
mengerti. Kemudian ketiganya menatap wajah Pende-
kar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. "Katakan apa yang terjadi, Sekati!" bentak Warok Singo Lodra geram, tak sabar
lagi untuk segera
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Ponorogo.
Dengan masih menangis, akhirnya Sekati men-
ceritakan semuanya. Tentang kehamilannya yang se-
sungguhnya atas perbuatan Warok Gandu Pala. Juga
tentang rencana Warok Gandu Pala mengadu domba
antara Pendekar Gila dengan Tiga Warok Sakti itu, ser-ta pembunuhan-pembunuhan
terhadap calon kepala
desa "Semua, Paman Gandu Pala yang merencana-
kan, Ayah. Oh, Sekati tak tahu, mengapa Sekati begitu terpengaruh. Aku pasrah,
waktu Paman Gandu Pala
merenggut semua milikku," tangis gadis itu semakin mengisak sedih. "Bunuhlah
aku, Ayah! Bunuhlah
anakmu yang tiada arti lagi ini!"
Warok Singo Lodra dan kedua rekannya hanya
mampu menggeram sengit, setelah tahu siapa sebe-
narnya dalang malapetaka ini. Ketiganya benar-benar
merasa malu pada Pendekar Gila, yang telah mereka
tuduh dengan keji.
"Gandu Pala, Keparat! Kuhancurkan kepala-
mu!" dengus Warok Singo Lodra seraya mengepalkan tangan kirinya ke atas.
Kemudian tanpa menghiraukan
semuanya, Warok Singo Lodra melangkah ke selatan
ke tempat yang ditunjukkan anaknya.
Melihat Warok Singo Lodra melangkah pergi,
kedua warok lainnya dan Pendekar Gila serta Sekati
mengikutinya. *** 9 Saat menjelang pagi suasana di Hutan Palapir-
ing masih remang-remang. Dari kejauhan suara kokok
ayam jantan terdengar. Angin malam menjelang pagi,
menghembuskan hawa dingin sekali, hingga terasa
menusuk tulang sumsum. Di sebuah rumah terbuat
dari bilik, nampak Warok Gandu Pala dengan ditemani
seorang pengawal tengah kebingungan. Hal itu karena
sampai menjelang pagi, Sumogiri dan Sumogara serta
rekan-rekannya belum ada yang pulang. Ditambah la-
gi, dengan lolosnya Sekati dari tempat itu, semakin
membuat hatinya cemas.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Ranukoya!
Apa Pendekar Gila dapat mengalahkan ketiga warok
itu?" tanya Warok Gandu Pala pada Ranukoya yang masih duduk bersila, menunggu
perintah dari pimpinannya.
"Kurasa, mereka akan mati, Ketua," jawab Ranukoya.
"Hua ha ha...! Bagus! Itu yang kuharapkan! Ka-
lau mereka mati, bukankah kita akan...," belum juga habis ucapan Warok Gandu
Pala, tiba-tiba dari luar
terdengar suara gelak tawa menggelegar yang sangat
dikenali Warok Gandu Pala.
"Hua ha ha...! Sayang sekali, keinginanmu tak
tercapai, Warok Keparat!" seru Pendekar Gila dari luar.
Warok Gandu Pala tersentak kaget dengan mata terbe-
lalak. Sedang Ranukoya terjingkat dari duduknya den-
gan mata membeliak pula.
"Pendekar Gila...!" pekik keduanya hampir bersamaan.
"Dia masih hidup," desis Warok Gandu Pala.
"Hi hi hi., ha ha ha...! Bukan hanya aku yang
masih hidup, Gandu Pala. Warok Singo Lodra, Warok
Sura Pati, dan Warok Sito Kuta, semua dalam keadaan
selamat. Aha, keluarlah! Kedokmu telah terbongkar...!"
seru Pendekar Gila. Suaranya menggema seperti ber-
putar-putar di sekitarnya.
"Gandu Pala Keparat! Keluar kau...!" teriak Warok Singo Lodra geram tak sabar
lagi ingin melabrak
Warok Gandu Pala yang telah mengotori nama warok.
Apalagi jika ingat kehamilan anaknya yang karena
perbuatan Warok Gandu Pala, semakin marah Warok
Singo Lodra. "Gandu Pala, keluar kau, Bajingan! Atau
'Cambuk Braja Bayu'-ku akan menyapu hutan ini!"
ancam Warok Sura Pati. Cambuk di tangan kanannya
diputar dengan cepat ke udara, menimbulkan angin
puting beliung membadai yang menjadikan dedaunan
beterbangan. "Kau telah terkepung, Gandu Pala! Kami harap
kau menyerah!" seru Warok Sito Kuta. Tangannya pun telah memutar 'Cambuk Braja
India'-nya, yang menjadikan petir menggelegar disertai kilatan-kilatan cahaya
perak. "Aha, apakah kau ingin dipanggang hidup-hidup di dalam gubuk itu, Warok
Murtad!" seru Pendekar Gila. Tangannya memegang Suling Naga Sakti.
Suling itu dimain-mainkan di tangan kirinya. Sedang-
kan tangan kanannya, menggaruk-garuk kepala.
Rumah gubuk dari bilik, tempat Warok Gandu
Pala berada memang telah terkepung dari empat pen-
juru. Pendekar Gila berada di belakang rumah dengan
jarak sepuluh tombak Warok Singo Lodra di depan, se-
dangkan Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta mas-
ing-masing di samping rumah.
Nampaknya tak ada lagi jalan bagi Warok Gan-
du Pala untuk dapat lari dari rumah itu. Semua arah
telah dikepung keempat orang sakti yang telah siap
dengan senjata masing-masing.
"Gandu Pala, keluar kau!" Warok Sito Kuta
kembali berseru. Namun nampaknya Warok Gandu Pa-
la tak menggubrisnya. Dirinya masih berada di dalam
gubuk. "Gandu Pala, kalau kau tak segera keluar. Jangan salahkan kalau kami
menghancurkan gubuk ber-
sama tubuhmu!"
Tak ada sahutan. Sehingga Ketiga Warok Sakti
menjadi geram. Dengan cepat, mereka menghantam-
kan cambuk saktinya ke gubuk.
Cletar! Cletar! "Akh...!" dari dalam gubuk terdengar jeritan seseorang. Gubuk pun seketika
terbakar, kemudian ter-
sapu angin puting beliung setelah hancur menjadi de-
bu akibat hantaman 'Cambuk Braja Indra'.
"Hua ha ha...! Apakah kalian kira mudah mem-
bunuhku"!" ejek suara Warok Gandu Pala yang belum tampak sosoknya. Hal itu
membuat keempat orang
yang mengepungnya tersentak. Mereka mengira kalau
suara kematian tadi, terdengar dari mulut Warok Gan-
du Pala. Tetapi kini nampaknya Warok Gandu Pala
masih hidup. "Dia masih hidup. Hm, di mana dia...?" gumam Warok Singo Lodra agak kaget,
karena tak menyangka
Warok Gandu Pala akan kebal terhadap hantaman ke-
tiga cambuk sakti mereka.
"Hi hi hi...! Ilmu iblis" Aha, kiranya kau bukan manusia, Gandu Pala," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Meski yang ada di hadapannya hanya asap hitam ber-
gulung, tetapi melalui bisikan batin yang diterima dari Naga Sakti, dirinya tahu
kalau asap hitam itu merupakan wujud Warok Gandu Pala.
Ketiga Warok Sakti dengan cambuk saktinya,
tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Gila. Me-
reka sama sekali tak tahu, kalau Warok Gandu Pala
masih ada di tempat itu. Karena yang mereka lihat,
hanyalah asap hitam bergulung bekas bakaran gubuk.
"Aha, meski kau rubah wujudmu menjadi asap
sekalipun, tetap saja percuma, Gandu Pala. Hi hi hi:..!"
Pendekar Gila kembali tertawa cekikikan. "Kau memang harus dimusnahkan, Gandu
Pala. Hi hi hi...!"
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut cam-
pur urusan ini, kalau kau tak ingin nyawamu kuca-
but!" bentak Warok Gandu Pala mengancam, yang
menjadikan Pendekar Gila semakin tertawa terbahak-
bahak. Menganggap ucapan Warok Gandu Pala sangat
lucu. "Hua ha ha...! Lucu sekali ucapanmu, Gandu Pala! Kau bukanlah Hyang Widhi
yang bisa menentu-kan hidup dan matinya seseorang. Ah ah ah, lucu se-
kali...!" gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Ketiga Warok Sakti hanya mampu bengong. Me-
reka benar-benar kaget, menyaksikan Warok Gandu
Pala telah menghilang dan kini berubah menjadi asap
hitam. "Bedebah! Kalian memang harus mati! Hea...!"
Wsss! Asap hitam jelmaan Warok Gandu Pala bergu-
lung cepat laksana gasing, serta menebarkan bau bu-
suk bangkai yang menyengat. Asap itu semakin mem-
besar. Makin lama, semakin besar. Dari dalam asap hitam itu, keluar ribuan
tangan-tangan menyeramkan
yang menyerang keempat lawannya.
Prak! "Akh...!"
Warok Singo Lodra dan kedua orang rekannya
tersentak kaget. Tubuh mereka terhuyung-huyung,
terkena tamparan tangan-tangan menyeramkan yang
keluar dari asap hitam itu. Mata mereka membelalak
lebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari se-la bibir mereka, meleleh
darah. "Hi hi hi...! Kau semakin bertambah lucu, Gan-
du Pala! Hanya bocah cilik saja yang takut pada per-
mainan sihirmu! Hea...!" dengan jurus 'Gila Terbang Me-nyambar Mangsa' Pendekar
Gila melesat mengelakkan serangan lawan. Kemudian sambil menukik
tangannya menyodokkan Suling Naga Sakti ke bawah.
Wrt! Wsss! Warok Gandu Pala segera mempercepat puta-
ran tubuhnya yang masih berbentuk asap hitam, be-
rusaha mengelakkan sodokan Suling Naga Sakti. Teta-
pi suling itu tiba-tiba bagaikan hidup. Suling Naga
Sakti memanjang lalu meliuk-liuk dengan kepala naga
besar yang terus memburu lawan.
Crak! Bret! Suara keras disertai percikan cahaya terdengar,
ketika kepala Naga Sakti menghantam sesuatu dalam
gulungan asap hitam. Saat itu pula, sesosok tubuh
mencelat keluar dari gulungan asap hitam. Tubuh itu
langsung menempel di pohon, lalu bergerak naik den-
gan punggungnya. Melihat kejadian itu ketiga warok
terbelalak keheranan bercampur kagum.
"Pendekar Gila, kau memang hebat! Tapi aku
belum kalah! Tunggulah pembalasanku!" ancam Warok Gandu Pala sambil terus
merayap naik ke atas dengan
punggungnya. Kemudian sampai di atas, Warok Gandu
Pala hendak melesat pergi, tapi Warok Singo Lodra secepat kilat bersama kedua
rekannya melecutkan cam-
buk mereka ke tubuh Warok Gandu Pala yang me-
layang. Jlegar!
Jlegar! "Akh...!" Warok Gandu Pala terpekik keras ketika tiga cambuk sakti menghantam
tubuhnya yang ten-
gah melayang. Sekejap saja tubuh Warok Gandu Pala
terbanting di tanah dan hancur berantakan. Ketiga
Warok Bercambuk Sakti tersenyum, melihat tubuh
Warok Gandu Pala hancur berantakan. Namun tiba-
tiba mereka tersentak dengan mata terbelalak, ketika tubuh Warok Gandu Pala yang
hancur tiba-tiba bergerak berkumpul satu sama lainnya. Lalu sempalan-
sempal-an tubuh itu, kembali membentuk wujud Wa-
rok Gandu Pala.
"Hua ha ha...! Warok Gandu Pala tak akan ma-
ti! Hua ha ha...!" seru Warok Gandu Pala sambil melompat bangun. Kemudian
bergerak menyerang dengan
pukulan ke arah tiga warok yang tadi menyerangnya.
"Hea...!" Wusss!
Ketiga Warok Bercambuk Sakti yang tak men-
duga akan mendapat serangan begitu cepat, tersentak
kaget. Selarik sinar ungu yang keluar dari telapak tangan Warok Gandu Pala,
melesat begitu cepat,


Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Celaka!" pekik Warok Singo Lodra dengan mata membelalak tegang, menyaksikan
sinar ungu meluncur cepat memburu mereka. "Awas...! Hea...!"
Ketiganya segera bersalto ke samping, sedang-
kan Warok Singo Lodra melompat ke atas.
Jlegar! Tanah yang terhantam sinar ungu, hancur dan
berhamburan ke atas. Pepohonan tumbang, bahkan
hampir saja menjatuhi tubuh ketiga warok itu.
Melihat ketiga lawannya dapat lolos dari seran-
gannya, Warok Gandu Pala semakin beringas. Dirinya
kembali menyerang dengan ajian 'Seketi Iblis Neraka'.
Sinar ungu terus melesat menggempur Tiga Warok
Bercambuk Sakti, yang kewalahan menghindar ke sa-
na kemari. "Mampus kalian! Hea...!"
Wusss! Jlegar! "Hua ha ha...! Lucu sekali...! Ah ah ah, permainan anak-anak kau tunjukan, Gandu
Pala! Hi hi hi...!
Permainan kentut busuk!" ejek Pendekar Gila sambil menunggingkan pantatnya,
menggoda Warok Gandu
Pala. Kemudian dari mulutnya terdengar suara kentut,
"Brut..! Hua ha ha!"
Melihat tingkah laku konyol Pendekar Gila, hi-
langlah kesabaran Warok Gandu Pala. Meskipun di-
rinya tahu siapa sebenarnya tokoh muda yang gila itu.
Namun kemarahan yang memuncak telah membuat-
nya mata gelap. Dengan menggeram keras, Warok
Gandu Pala menghantamkan ajiannya menyerang
Pendekar Gila yang masih nungging meledeknya.
"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hea...!"
Wusss! "He he he...!" sambil terkekeh, Pendekar Gila segera berdiri dan langsung
mengerahkan pukulan tenaga dalamnya dengan ajian 'Inti Bayu'. Seketika selarik
sinar ungu, yang melesat memburunya, dihadang
angin kencang membadai dari pukulan 'Inti Bayu'.
Namun Pendekar Gila tersentak kaget, ketika pukulan
'Inti Bayu'-nya ternyata tak mampu mengatasi sinar
biru dari Warok Gandu Pala.
"Eit! Celaka...!" dengan cepat Pendekar Gila bersalto ke samping kanan
mengelakkan serangan itu.
Sehingga... Glarrr...! Brakkk...! Ledakan keras menggelegar terdengar meme-
kakkan telinga, ketika beberapa batang pohon besar
terhantam sinar biru itu. Pohon-pohon itu tumbang
dan hangus bagai terbakar.
Suasana Hutan Palapiring di pagi buta itu men-
jadi riuh. Keadaan morat-marit karena beberapa pohon hancur dan bertumbangan.
Binatang-binatang liar
penghuni hutan itu berlarian karena ketakutan.
"Hi hi hi...! Belum, Gandu Pala. Aku belum ma-
ti," ledek Pendekar Gila dengan cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk
kepala. Tentu saja Warok
Gandu Pala bertambah marah bukan kepalang.
"Cuih! Kali ini kau harus mati! Hea...!"
"Hi hi hi!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera memasang kuda-kuda
yang kokoh. Kemudian dengan cepat ditiupnya Suling Naga Sakti, lalu
dihadapkan kepala Naga Sakti dengan sinar ungu yang
melesat ke tubuhnya. Dari tiupan yang melengking itu, keluarlah sinar merah
membara yang besar dari mulut
Naga Sakti. Sinar merah itu langsung menerjang sinar ungu yang dilancarkan Warok
Gandu Pala. Wusss! Srt! Sinar merah yang keluar dari mulut Naga Sakti,
terus mendorong sinar ungu. Menggiring sinar ungu
balik ke asalnya. Hal itu membuat Warok Gandu Pala
terbelalak kaget.
"Celaka!" pekik Warok Gandu Pala. Kemudian dengan cepat tubuhnya melompat ke
samping mengelakkan serangan balik itu. Namun bersamaan dengan
itu, Tiga Warok Bercambuk Sakti menghantamkan
cambuk secara bergantian.
Jlegar! Jlegarrr...!
"Akh...!" Warok Gandu Pala memekik. Tubuh-
nya hancur lebur menjadi debu. Namun keanehan
kembali terjadi. Debu itu tiba-tiba menyatu, lalu membentuk sosok tubuh manusia.
"Heh"!" sentak Warok Singo Lodra dengan mata terbelalak
"Hah"!"
"Ilmu Iblis! Kita hajar lagi!" ajak Warok Sito Ku-ta sambil menghantamkan
cambuknya ke tubuh Wa-
rok Gandu Pala yang hendak membentuk lagi, diikuti
oleh kedua rekannya.
Wrt! Wrertt! Jlegar! Berkali-kali Tiga Warok Bercambuk Sakti
menghantamkan cambuk. Beberapa kali pula tubuh
Warok Gandu Pala hancur menjadi debu. Namun kem-
bali utuh seperti sedia kala. Sampai akhirnya, Ketiga Warok Sakti itu kelelahan
karena tenaga dalam mereka terkuras habis.
"Hua ha ha...! Tak akan mungkin kalian mam-
pu membunuhku! Hua ha ha...!" ujar Warok Gandu
Pala sambil tertawa terbahak-bahak.
"Hi hi hi...! Ha ha ha...!" Pendekar Gila turut tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala, "Lucu sekali...! Kau memang pintar melucu, Gandu Pala.
Hi hi hi...!"
"Kurang ajar...! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Hea...!" dengan penuh amarah, Warok Gandu Pala menyerang Pendekar Gila.
Dibiarkannya Tiga Warok Ber-
cambuk Sakti yang kehabisan tenaga setelah berkali-
kali menyerangnya. Tujuannya kini menghabisi Pende-
kar Gila, karena jika tokoh ini masih hidup, dirinya akan sulit untuk membunuh
Tiga Warok Bercambuk
Sakti. Tetapi jika Pendekar Gila sudah dapat dibinasakan, maka untuk membunuh
ketiga warok tua itu ba-
gaikan membalik telapak tangan belaka.
Dengan ajian 'Kapila Putung' tubuh Warok
Gandu Pala melesat laksana terbang. Tangannya seba-
tas siku, membara merah. Wajahnya pun memerah
bagaikan terbakar api. Sehingga di tengah gelapnya
malam menjelang subuh itu tubuh Warok Gandu Pala
tampak seperti gumpalan bara api melayang di udara.
Melihat lawan telah mengeluarkan ajian pe-
mungkasnya, Pendekar Gila tak tinggal diam. Menggu-
nakan Suling Naga Sakti yang dipadukan dengan jurus
pamungkas 'Tamparan Sukma'. Tubuhnya melesat ke
atas memapaki serangan lawan. Ditiupnya Suling Naga
Sakti dengan suara melengking. Kemudian ketika tu-
buhnya telah berada dekat dengan Warok Gandu Pala,
dengan cepat Pendekar Gila melakukan sebuah tampa-
ran pelan. "Hea!"
"Yea!"
"Jlegar!"
"Akh...!" lolongan panjang terdengar dari mulut Warok Gandu Pala. Tubuhnya
terpecah menjadi dua,
bagaikan dibelah golok tajam.
Melihat tubuh Warok Gandu Pala melayang ke
bawah, dengan cepat Pendekar Gila melesat mengejar.
Tangannya segera menangkap belahan tubuh Warok
Gandu Pala yang sebelah kiri, sedangkan yang sebelah kanan dibiarkan jatuh ke
tanah. "Ki Singo, cepat kalian kubur belahan itu! Yang ini biar kubawa!" seru Pendekar
Gila sambil menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
Tiga Warok Bercambuk Sakti yang belum pulih
benar kekuatan tubuh mereka, tidak segera beranjak
melakukan perintah itu. Mereka seperti belum menger-
ti maksud Pendekar Gila.
"Aha, masihkah kalian belum sadar, kalau dia
memiliki ajian 'Panca Sena'" Ajian yang dimiliki Rah-wana, jika tubuhnya
menyentuh tanah, akan hidup la-
gi," ujar Pendekar Gila yang memahami kebingungan mereka bertiga. Tangan terus
memegangi bagian tubuh
Warok Gandu Pala sebelah kiri.
Ketiga Warok Bercambuk Sakti membelalakkan
mata. Kemudian tanpa diperintah lagi, Warok Sito Ku-
ta melecutkan cambuknya ke tanah. Seketika itu, lu-
bang besar terbentuk dari hantaman cambuk itu. Ke-
mudian ketiga warok itu dengan cepat memendam ba-
gian tubuh Warok Gandu Pala.
"Aha, kurasa aku pun harus segera membuang
bangkai ini ke laut, Ki. Semoga Desa Ponorogo menjadi tenang dan damai. Pilihlah
kepala desa yang baik!"
usai berkata begitu Pendekar Gila melesat meninggal-
kan Ketiga Warok Bercambuk Sakti. Ketiganya diam
mematung menyaksikan kepergian Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, tunggu...!" Sekati yang sejak tadi bersembunyi, berusaha
mengejar. Namun Pendekar Gila telah melesat cepat meninggalkannya. "Sebenarnya,
aku ingin minta maaf padanya, Ayah,"
"Sudahlah, Anakku. Bagaimanapun kita me-
mang harus bersyukur karena semuanya telah berak-
hir. Biarlah bayi yang kau kandung itu tumbuh. Kelak dia jika lahir, didiklah
dengan baik! Kalau mungkin, biarlah Pendekar Gila yang mendidiknya," tutur Warok
Singo Lodra. "Ayah...!" Sekati menangis sambil memeluk tubuh ayahnya.
Pagi telah datang. Sinar matahari menerobos di
balik rimbun pepohonan. Tiga Warok Bercambuk Sakti
dan Sekati melangkah meninggalkan Hutan Palapiring.
Mereka menuju utara, kembali ke Desa Ponorogo.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Lauw Pang Vs Hang Ie 2 Kedele Maut Karya Khu Lung Tanah Kutukan 1
^