Pencarian

Kutukan Berdarah 1

Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah Bagian 1


KUTUKAN BERDARAH Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Firman Raharja Serial Pendekar Gila
dalam episode: Kutukan Berdarah
128 hal ; 12 x 18 cm
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Padepokan Goa Naga yang terletak di lereng
Gunung Bromo, meskipun cukup besar, bentuk ban-
gunannya tampak sederhana. Dindingnya terbuat dari
kayu, yang mungkin berasal dari pepohonan di sekitar
lereng gunung itu.
Padepokan itu hanya dihuni dua orang, guru
dan murid. Sang Guru yang bernama Ki Pramanu be-
rusia sekitar tujuh puluh tahun. Sedangkan murid sa-
tu-satunya berusia sekitar dua puluh lima tahun, ber-
nama Sugali. Saat itu, di dalam padepokan, Ki Pramanu ten-
gah duduk menjalani semadi. Lelaki tua berkumis dan
berjenggot panjang itu, nampak duduk bersila di atas
sebuah batu datar. Matanya terpejam rapat Tampak-
nya kakek berjubah merah itu, benar-benar memu-
satkan hati dan pikirannya. Hikmat dan begitu tenang.
Ketika Ki Pramanu sedang khusyuk semadi,
Sugali masuk. Kedatangan sang Murid membuat Ki
Pramanu menghentikan semadinya.
"Ada apa, Gali" Kulihat wajahmu gelisah. Aku
tahu hatimu tak tenang," gumam Ki Pramanu seraya menatap wajah Sugali.
"Hhh...! Aku akan mencari Pendekar Gila,
Guru," jawab Sugali dengan dada naik turun, seperti tengah menahan kemarahan.
Dendamnya pada Pendekar Gila berkobar-kobar laksana api. Dendam seorang
anak yang ingin menunjukkan bakti kepada kedua
orang-tuanya. Tak mampu dilupakan kematian orang-
tuanya di tangan seorang pendekar pembela kebena-
ran dan keadilan yang tak lain Sena Manggala atau
Pendekar Gila. Ki Pramanu masih terdiam, belum memberi
tanggapan. Matanya memperhatikan wajah Sugali yang
gelisah. "Dia telah membunuh kedua orangtua ku."
"Hm... aku tahu, Sugali. Namun apa kau telah
tahu masalah sebenarnya...?" tanya Ki Pramanu. Lelaki tua itu seakan menyatakan
ketidaksetujuannya ter-
hadap rencana sang Murid. Dirinya tahu benar siapa
Sena Manggala sebenarnya. Lebih dari itu, Ki Pramanu
tahu benar apa sebenarnya yang telah terjadi pada ke-
dua orangtua Sugali.
"Sudah, Guru," dengus Sugali penuh amarah,
yang membuat Ki Pramanu hanya mampu mendesah
panjang. Sebenarnya sang Guru tak menghendaki murid
satu-satunya itu harus bermusuhan dengan Pendekar
Gila. Namun nampaknya keadaan menghendaki lain.
Sugali memang anak sepasang tokoh beraliran sesat.
Ayahnya bernama Prikada. Sedangkan sang Ibu yang
juga sealiran dengan suaminya bernama Dripadi.
"Tapi kedua orangtua mu yang salah dalam hal
ini, Sugali."
"Memang kedua orangtua ku yang salah," Suga-li menghela napas berat
"Nah, mengapa engkau mesti memperuncing
permasalahan...?" tanya Ki Pramanu.
"Sebagai seorang anak yang berbakti, tentunya
aku harus membela kedua orangtua ku," ujar Sugali masih dengan perasaan marah.
"Walau itu tindakan yang salah?" tanya Ki Pramanu. "Ya!" tegas Sugali.
"Oooh...!" sang Guru mendesah panjang. Digelengkan kepala, seakan hendak
membuang beban be-
rat dalam benaknya. "Sungguh kau tak memikirkan
akibatnya, Gali!" ujar Ki Pramanu.
"Aku sudah memikirkannya, Guru," sahut Su-
gali ketus. "Aku sudah mempersiapkan segala akibatnya yang bakal terjadi...."
"Heh, kau memang pemberani! Tetapi kebera-
nianmu tidak pada tempatnya," gumam Ki Pramanu.
"Seharusnya kau bersyukur, ayah dan ibumu dapat
mati dengan sempurna. Kalau tanpa bantuan Pende-
kar Gila, kedua orangtua mu akan menjadi hamba se-
tan untuk selamanya!"
"Guru membela dia?" tanya Sugali dengan nada tak suka.
Ki Pramanu kembali menarik napas panjang.
Ucapan sang Murid seakan menusuk tajam, menghu-
jam di lubuk hatinya. Kini lelaki tua itu, merasa seperti dalam keadaan yang
serba salah. Padahal dirinya
memperingatkan sang Murid, karena tak ingin Sugali
menjadi korban Pendekar Gila. Cukup kedua orangtu-
anya saja yang menjadi korban.
Sebenarnya Ki Pramanu pun menyimpan den-
dam terhadap Pendekar Gila. Namun bila dirasa, den-
dam tak akan pernah habis. Dendam kesumat seperti
itu hanya akan menyebabkan pertumpahan darah. Bi-
la ingat dan sadar akan hal itu, maka lelaki tua itu
pun segera menguburkannya dalam-dalam.
Kini, Ki Pramanu kembali diingatkan pada ma-
salah adik seperguruannya, yang mati di tangan Pen-
dekar Gila. Namun, seperti kedua orangtua Sugali,
adiknya pun merupakan tokoh aliran sesat. Ya, Datuk
Raja Beracun adalah orang sesat. Maka sewajarnyalah
kalau Pendekar Gila menumpasnya.
Bukan dirinya merasa takut terhadap pendekar
muda itu, tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang
akan diperolehnya, melainkan kebinasaan yang sia-sia.
Ilmu pendekar itu sangat tinggi. Jangankan tokoh se-
perti dirinya. Para datuk dan siluman pun akan bin-
gung bila harus menghadapi Pendekar Gila, apalagi ka-
lau pendekar yang bertingkah laku seperti orang gila itu telah mengeluarkan
senjatanya, berupa suling.
"Aku bukan membelanya, Gali," ujar Ki Prama-nu dengan suara lemah. Dirinya sadar
kalau Sugali bukan anak-anak lagi. Muridnya kini telah dewasa.
Berhak menentukan sendiri jalan hidupnya. Namun,
bila sang Murid salah melangkah, apakah harus ber-
diam diri begitu saja" Guru macam apakah dia" "Aku hanya ingin mengingatkan
padamu, siapa sebenarnya
Pendekar Gila."
Sugali terdiam mendengar ucapan Ki Pramanu.
Seakan ucapan sang Guru menyentakkan dirinya un-
tuk kembali berpikir. Memang kalau dipikir benar-
benar, kedua orangtuanya yang salah dalam hal ini.
Kedua orangtuanya yang telah menyebabkan Pendekar
Gila melakukan tindakan itu. Karena bila tidak, ben-
cana akan mengancam kehidupan manusia.
Kedua orangtuanya telah bersekutu dengan Bu-
to Ijo, iblis yang mampu memberi kehidupan. Buto Ijo
itu dapat memberi kekayaan untuk mencukupi bagi
kehidupan pemujanya.
Sebuah persekutuan dengan iblis yang saling
keterkaitan. Kedudukan orangtua Sugali harus selalu
menyediakan korban yang disebut tumbal untuk sang
Buto. Sementara orangtuanya pun mendapatkan imba-
lan berupa harta kekayaan yang datang sendiri bila telah mempersembahkan tumbal.
Bila hal itu berjalan terus-menerus, kekayaan
orangtua Sugali makin menumpuk. Sementara manu-
sia akan makin berkurang, dibunuh sebagai tumbal
persembahan bagi Buto Ijo.
Kalau saja Sugali berpikir jauh, bukankah
adiknya sendiri telah dijadikan tumbal pertama" Tum-
bal untuk menentukan kuat tidaknya Prikada dan Dri-
padi menghadapi ujian. Tumbal inilah yang akhirnya
menyebabkan kedua orangtua Sugali itu kuat dan ta-
han terhadap jeritan kematian para tetangga atau
anak-anaknya ketika dimangsa sang Buto Ijo.
Bila mengingat itu semua, seketika Sugali me-
nangis. Menangis meratapi kesesatan yang dilakukan
orangtuanya, "Tapi mereka melakukan juga karena aku,"
gumam Sugali dalam hati. "Ya, karena akulah kedua orangtua ku harus menyimpang
dari keadaan sebenarnya. Aku memang yang menginginkan kedua
orangtua ku kaya. Aku malu, bila mendengar segala
cemooh dari tetangga yang tak menginginkan diriku
main dengan anak-anaknya karena aku miskin.
Oooh...!" "Sepertinya engkau mengenang sesuatu, Gali?"
tanya sang Guru yang melihat perubahan di wajah
muridnya. "Apa yang tengah engkau pikirkan?"
Sugali tersentak kaget. Dengan secara tak sen-
gaja matanya menatap wajah tua di hadapannya. Wa-
jah lelaki tua yang seakan mengandung ribuan goresan
pengalaman hidup, baik yang senang maupun susah.
Seraut wajah gurunya, yang terselubung dengan ke-
misteriusan. Sampai sekarang pun sebenarnya Sugali belum
mengenal siapa dan dari mana Ki Pramanu. Nama
sang Guru, seakan tiada melekat. Aneh memang. Se-
lama lima tahun dirinya berguru pada lelaki tua renta berambut serba putih itu,
tapi tak pernah sekalipun
mengetahui siapa sebenarnya sang Guru. Sepertinya
sang Guru sengaja selalu menyembunyikan jati di-
rinya. Atau barangkali Ki Pramanu menyimpan rasa
takut sehingga menyembunyikan jati dirinya. Namun,
takut pada siapa gurunya" Bukankah lelaki tua itu be-
rilmu tinggi"
"Guru, apakah aku bersalah jika membela
orangtua ku?" tanya Sugali. "Apakah salah jika aku mendendam pada orang yang
telah membinasakan kedua orangtua ku?"
Ki Pramanu kembali tercenung diam. Hatinya
menjerit, mendengar pertanyaan Sugali. Dirinya men-
dadak merasa bersalah, telah mengangkat manusia
pendendam dan picik sebagai murid. Seorang anak
yang telah tega menjerumuskan kedua orangtuanya,
untuk melangkah di jalan yang salah. Jalan yang se-
sat. Manusia angkuh yang hanya mementingkan diri
sendiri, walaupun harus mengorbankan saudaranya
sendiri. "Ooo...!" keluh Ki Pramanu dalam hati. Tak dis-adari, wajahnya kini
nampak muram. Segala ingatan
pada Datuk Raja Beracun kembali melintas, menguak
kalbu untuk mengenang kembali kejadian yang me-
nimpa adik seperguruannya itu.
Adik seperguruannya pun sesat, karena menu-
ruti hasratnya. Datuk Raja Beracun, akhirnya mati di
tangan Pendekar Gila setelah malang-melintang di
rimba persilatan, sebagai datuk sesat yang banyak
membuat keonaran.
"Ya, kau memang salah. Kesalahan pada tinda-
kanmu yang hanya menuruti nafsu setan belaka," ujar Ki Pramanu dengan tegas.
"Kalau saja dulu kau tak merengek-rengek agar kedua orangtua mu kaya, tentu
keadaannya tak seperti ini. Hhh...! Nasi sudah menjadi bubur. Segalanya kini
kuserahkan kepadamu. Kaulah
yang berhak menentukan. Aku tak bisa membantu-
mu." Sugali terpaku diam, tak dapat berkata apa-apa. Harapan agar sang Guru
bersedia membela dan
membantunya menghadapi Pendekar Gila, seketika
pupus. Meski begitu Sugali bertekad harus menghada-
pi Pendekar Gila. Dirinya harus membalas dendam
terhadap Pendekar Gila yang telah membunuh kedua
orangtuanya. *** Lama guru dan murid itu terdiam dengan piki-
ran masing-masing. Sugali masih berusaha merenung-
kan kata-kata yang tadi diucapkan Ki Pramanu. Ha-
tinya masih bertanya-tanya, "Mungkinkah sang Guru akan membiarkan diriku
bertarung dengan Pendekar
Gila" Nampaknya Ki Pramanu sendiri enggan, bahkan
ada rasa takut untuk berhadapan dengan Pendekar Gi-
la." "Mengapa guru sepertinya takut pada Pendekar
Gila?" tanya Sugali dalam hati, merasa heran karena gurunya seperti takut pada
Pendekar Gila. "Apakah Guru mengizinkan ku mencari dia?"
tanya Sugali. "Apakah Guru mengizinkan aku menuntut ba-
las terhadap Pendekar Gila?" ulang Sugali mene-
gaskan. "Tidak!" sahut Ki Pramanu tegas.
"Kenapa...?" Sugali menatap wajah lelaki tua itu penuh keheranan.
Untuk sekian kalinya, Ki Pramanu menarik na-
pas panjang. Berat rasanya untuk menjawab perta-
nyaan sang Murid. Dirinya serba terjepit. Ke mana ia
melangkah, jelas akan mendapatkan kesalahan. Mem-
bela muridnya, jelas dan pasti akan menghadapi kesa-
lahan besar yang berbuntut harus berhadapan dengan
Pendekar Gila. Bila diam saja, apa artinya seorang
guru yang membiarkan sang Murid harus menghadapi
segala masalah hidupnya sendiri.
"Bagaimana, Guru?" desak Sugali.
"Apakah tak ada jalan lain, Sugali?"
"Tidak ada."
"Hm...!" gumam Ki Pramanu. "Rupanya kau hanya berpikir pada satu jalan, Muridku.
Aku kira, ada jalan lain agar kita tak harus bentrok dengannya."
"Yang Guru maksudkan, kita damai?" tukas
Sugali. "Ya!" jawab Ki Pramanu.
"Ah...!"
"Kenapa, Gali?"
"Tidak! Aku tidak mau!"


Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu apa yang kau mau, Gali?"
"Kematian! Dia atau aku yang harus mati," Sugali menyeringai, seolah-olah tengah
memberikan tan-
da pada sang Guru, bahwa dirinya telah siap menang-
gung akibat. "Ah...!" pekik Ki Pramanu kaget.
"Rupanya Guru takut menghadapinya," sindir
Sugali dengan nada sinis. "Hm, tak kusangka kalau guruku sepengecut itu!"
"Sugali! Lancang kau bicara!" bentak Ki Pramanu marah.
Sugali hanya mencibirkan mulut, seakan me-
mang benar-benar ingin mengejek gurunya yang pena-
kut. Sugali sungguh tak menyangka kalau gurunya se-
pengecut itu. Ki Pramanu yang telah dianggapnya
orang paling sakti, ternyata takut menghadapi Pende-
kar Gila. "Aku bicara benar, Guru! Kalau Guru memang
tak mau dianggap pengecut, tentunya Guru mau
membantuku."
"Bukankah selama lima tahun aku telah mem-
bantumu"!" bentak Ki Pramanu geram.
"Mendidik maksudmu?" Sugali kembali menci-
bir. "Ya...!"
"Itu sudah kewajiban. Seorang guru wajib men-
didik muridnya!" Sugali nampak ngotot bicara, tak mempedulikan dengan siapa
dirinya berbicara.
Ki Pramanu tersentak kaget mendengar ucapan
muridnya yang sangat keterlaluan. Hatinya kini terba-
kar amarah yang dinyalakan muridnya. Mata lelaki itu
menatap tajam wajah Sugali, seakan-akan hendak
menelan bulat-bulat tubuh sang Murid. Nafasnya
mendesah berat, terasa sesak di dalam dada. Sebagai
seorang guru, jelas dirinya tak mau menerima hinaan
seperti itu dari sang Murid
"Bagaimana" Apa engkau masih memungkiri?"
tanya Sugali, dengan senyum sinis.
Makin terasa menyesak dada Ki Pramanu men-
dengar ucapan Sugali.
"Murid celaka! Kau tak ubahnya seperti iblis!"
dengus Ki Pramanu marah.
"Kaulah yang celaka, Orang Tua!" bentak Sugali tak mau kalah.
"Sekali lagi kau berkata begitu, maka tak se-
gan-segan aku menghajarmu, Gali!" ancam Ki Prama-nu.
Ki Pramanu benar-benar marah mendengar
ucapan muridnya yang dirasa sangat menjengkelkan.
"Kalau engkau mau menghajarku, lakukanlah
bila berani!" tentang Sugali.
"Iblis!" rutuk Ki Pramanu semakin marah.
"Hm, kau tak berani bukan?" ujar Sugali sinis, melihat gurunya yang sudah
mengangkat tangan namun diurungkan.
"Bedebah! Kau berani menentangku, Gali?"
"Huh, kaulah yang mendahului."
Ki Pramanu tak mampu menahan amarah. Na-
fasnya makin memburu. Marah dan kesal melanda ha-
tinya. Mata tuanya kini nampak memerah, seakan
hendak menghujam ke dalam kalbu Sugali
"Minggat kau dari sini!" seru Ki Pramanu, melihat Sugali masih tersenyum
mencibirkan bibir.
"Kau yang harus minggat!"
Tak kalah geram, Sugali membentak Ki Prama-
nu. Kini, kedua murid dan guru itu telah sama-sama
berdiri. Di wajah mereka tergambar ketegangan. Mata
ke-duanya saling menatap tajam, seakan tak seorang
pun yang mau mengalah untuk mengakhiri perselisi-
han itu. Sugali merasa dirinya telah mampu dan men-
jadi seorang pendekar. Kini berani merendahkan gu-
runya yang telah lima tahun mendidik dan membim-
bingnya sebagai anak dan murid.
"Apa hakmu, Anak Iblis!" bentak Ki Pramanu
geram. "Kalau tak minggat secepatnya, jangan salahkan aku menghajarmu, Orang
Tua!" ancam Sugali.
Gusar dan marah hati Ki Pramanu mendengar
ucapan muridnya yang kurang ajar itu. Sebagai seo-
rang guru, apalagi sebagai orang tua, jelas dirinya tak mau diperlakukan sekasar
itu. Perlakuan yang dirasakan telah menginjak-injak kehormatan sekaligus harga
dirinya. "Setan! Kalau aku tak mau, kau mau apa, Murid Durhaka?"
Sugali tersenyum sinis. Matanya yang merah
menatap tajam Ki Pramanu.
"Tua bangka cerewet! Kalau kau tetap tak mau,
maka kematian untukmu!"
Tersentak Ki Pramanu ketika melihat Sugali
mencabut pedang yang tergantung di dinding padepo-
kan. Pedang Dewa Naga miliknya yang merupakan pe-
dang pusaka itu, kini tengah ditimang-timbang di tan-
gan Sugali. "Kau...!" pekik Ki Pramanu dengan mata mem-
belalak kaget, melihat muridnya telah memegang Pe-
dang Dewa Naga.
"Ya! Kau boleh memilih, menurut denganku
atau selembar nyawa tuamu harus melayang dari ra-
gamu yang telah bau tanah"!" ancam Sugali dengan tersenyum sinis.
Ki Pramanu menyurut mundur, ketika Pedang
Dewa Naga diacungkan ke tubuhnya. Matanya nampak
membeliak. Mata tua itu sepertinya menyiratkan rasa
takut yang teramat sangat. Bayang-bayang kematian
akibat Pedang Dewa Naga kembali tergambar di pelu-
puk matanya. Kalau sudah keluar dari warangkanya,
Pedang Dewa Naga itu mau tak mau harus merenggut
nyawa. Ki Pramanu terus menyurut mundur, ketika
Pedang Dewa Naga di tangan Sugali semakin diarah-
kan ke tubuhnya. Di telinganya terdengar seruan seo-
rang lelaki tua yang jelas-jelas dikenalnya. Suara itu seperti mengejeknya.
Pemilik suara itu tak lain Daeng Susukan, Pendekar Tanah Toraja. Seorang daeng
aliran lurus, yang dibunuhnya ketika dirinya masih bera-
liran sesat "Pramanu, bukankah pembalasan itu akhirnya
datang" Beruntung kini engkau telah lurus. Kalau tidak, niscaya engkau akan
menjadi orang celaka di alam kematian. Alam tempatku kini berada. Terimalah
segalanya Pramanu. Karena semua harus berjalan dengan semestinya. Hukum karma
akan selalu berbicara. Dulu aku mati di Pedang Dewa Naga milikku. Kini kau pun
mengalami hal yang serupa," suara itu terus terngiang-ngiang di telinga Ki
Pramanu. Ucapan Daeng Susukan
itu telah mengingatkan kembali tentang hukum karma
di dunia ini. Ki Pramanu makin ketakutan. Dia semakin
mundur, setapak demi setapak menjauhi Pedang Dewa
Naga di tangan Sugali. Kemudian, setelah sampai di
pintu, dengan cepat lelaki tua itu melompat dan berlari keluar dari
padepokannya. "Mau lari ke mana, Tua Bangka"!" seru Sugali.
Dengan Pedang Dewa Naga masih di tangan, Sugali te-
rus mengejar gurunya. "Ke mana pun kau lari aku
akan mengejarmu!"
Ki Pramanu terus berlari tanpa menghiraukan
ucapan Sugali. Rasa takut terus membayang di wajah-
nya. Apalagi suara Daeng Susukan terus terngiang-
ngiang di telinganya. Pendekar dari Tanah Toraja itu
seakan-akan terus mengejarnya. Karena rasa takut itu, Ki Pramanu tak
memperhatikan di depannya. Sebuah
batu sebesar kepala terbentur kakinya. Seketika tubuh lelaki tua berjubah merah
itu tersuruk dan jatuh.
Blukkk! "Aduh...!"
"Hua ha ha...! Kini kematianmu sudah di am-
bang pintu, Tua Bangka!" seru Sugali sambil tertawa terbahak-bahak.
Sugali melangkah mendekati tubuh Ki Pramanu
yang masih tergeletak di tanah. Di bibirnya masih tersungging senyum sinis.
Pedang Dewa Naga diangkat
tinggi-tinggi, siap menghujam ke tubuh Ki Pramanu.
Namun, pedang itu terus menggantung, seakan ada
sesuatu kebimbangan di hati Sugali.
"Jangan lakukan, Gali!" seru sebuah suara
yang ada di dalam hatinya, "Kau akan menyesal jika melakukannya! Dia gurumu,
yang telah berjasa padamu!" "Bodoh, jika kau tak melakukannya!" seru suara lain.
"Kalau dia masih hidup, senantiasa akan menjadi penghalang niatmu! Lakukanlah
agar kau bebas dari-nya! Dengan Pedang Dewa Naga, kau akan menja-
di tokoh sakti!"
Sugali nampak masih bimbang. Terlebih ketika
menyaksikan gurunya ketakutan, meratap agar dirinya
tak melakukan pembunuhan terhadapnya. Namun bi-
sikan iblis untuk membunuh, terus menggelitik batin
Sugali. Melihat muridnya masih dalam kebimbangan,
Ki Pramanu tak menyia-nyiakan kesempatan. Lelaki
tua berjenggot putih itu segera bangkit berdiri, kemudian dengan cepat bergerak
menyerang Sugali.
"Mampuslah, Murid Durhaka! Hea...!"
Sugali yang tak menyangka kalau gurunya
akan menyerang, tersentak kaget. Dirinya berusaha
berkelit dari serangan Ki Pramanu. Namun gerakannya
terlambat. Tanpa ampun lagi, sebuah pukulan keras
yang dilancarkan lelaki tua berjubah merah itu menda-
rat telak di bawah pundak sebelah kirinya.
Degk! "Ukh...!" keluh Sugali dengan tubuh terhuyung-huyung mundur. Mulutnya meringis
kesakitan. Ma- tanya terbelalak menatap Ki Pramanu. Dari sela bibir-
nya, meleleh darah segar. "Keparat! Kubunuh kau, Tua Bangka Keparat! Hea...!"
Dengan amarah yang meluap-luap, Sugali sege-
ra membabatkan Pedang Dewa Naga ke tubuh Ki Pra-
manu. Wrt! "Aits! Heg...!"
Dengan cepat Ki Pramanu melompat ke bela-
kang, mengelakkan sabetan pedang di tangan murid-
nya. Kaki kanannya ditekuk, sedangkan kaki kiri ber-
gerak cepat menendang ke dada Sugali.
Wrt! "Yeaaa...!"
Melihat gurunya menyerang, Sugali yang sudah
marah segera merangsek. Pedang Dewa Naga di tan-
gannya bergerak menusuk, kemudian membabat. Se-
mentara tangan kiri dan kaki kanannya pun tak ting-
gal diam, turut melakukan serangan dengan pukulan
dan tendangan. "Hea!"
Pertarungan antara guru dan murid itu sema-
kin seru. Keduanya tak ingin menyia-nyiakan waktu.
Mereka saling mengeluarkan jurus-jurus andalan,
yang bernama 'Belitan Naga'.
"Hea!"
"Yea!"
Jika sama-sama bertangan kosong, Ki Pramanu
mampu mengimbangi serangan muridnya. Bahkan
mungkin dapat mengalahkannya dalam waktu tak ter-
lalu lama. Namun kini Sugali memegang Pedang Dewa
Naga, yang memiliki kekuatan tersendiri bagi peme-
gangnya. Pedang itu seakan mampu menambah keku-
atan daya serang pemegangnya. Terbukti Ki Pramanu
kelihatan mulai terdesak, karena tebasan dan tusukan
yang dilancarkan Sugali.
"Hea!"
"Celaka! Dia benar-benar ingin membunuhku,"
keluh Ki Pramanu sambil berusaha mengelitkan sabe-
tan-sabetan Pedang Dewa Naga yang mampu mengelu-
arkan hawa panas.
Wrt! Wuttt! "Aits!" Ki Pramanu melompat mundur, menge-
lakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Kemudian
dengan sebisanya, Ki Pramanu balas menyerang lewat
tendangan kaki kanannya ke dada lawan, "Hea!"
"Mampuslah, Tua Bangka Keparat! Hea...!" setelah berhasil mengelitkan tendangan
gurunya, dengan
beringas dan diliputi hawa membunuh, Sugali kembali
menyerang. Pedang Dewa Naga di tangan kanannya
menyambar-nyambar laksana seekor ular naga yang
berusaha mematuk mangsanya. Dari setiap samba-
rannya, keluar angin panas yang menderu-deru.
"Hah"! Celaka...!" Ki Pramanu kembali dike-
jutkan serangan beruntun dan cepat, yang dilancarkan
muridnya. Dirinya berusaha menghindari sabetan dan
tusukan pedang Sugali. Namun ke mana tubuhnya
bergerak mengelak, Sugali terus memburunya. Seakan
pemuda itu tak ingin melepaskan gurunya begitu saja.
"Mampuslah kau, Orang Tua Tolol! Hea...!" Sugali dengan segenap tenaganya
memburu tubuh Ki
Pramanu. Pedang di tangannya bergerak cepat, mene-
bas dan menusuk.
"Aits! Hyang Widi, haruskah aku mati di tangan
murid durhaka ini"!" desis Ki Pramanu sambil terus berusaha mengelakkan babatan
pedang Sugali yang
memburu cepat ke tubuhnya.
"Hea!"
Wuttt! Wrt! Sugali terus merangsek dengan jurus 'Naga
Mengamuk Mengarungi Samudera'. Pedang di tangan-
nya bergerak cepat, memburu dengan babatan dan tu-
sukan maut. Kedahsyatan serangan itu membuat hati
Ki Pramanu semakin bertambah kecut. Apalagi piki-
ran-nya terus dibayangi suara Daeng Susukan, yang
seperti tertawa kegirangan menyaksikan kutukannya
bakal terjadi. "Pramanu...! Kini tiba saatnya bagimu, menerima hukuman atas perbuatanmu dulu!"
terdengar suara Daeng Susukan yang membuat Ki Pramanu bertambah
tegang. "Hea!"
Sugali terus memburu dengan pedangnya,
mendesak ke tubuh Ki Pramanu. Hal itu membuat le-
laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu kian terjepit. Sehingga ketika
Sugali kembali melancarkan se-
rangan, Ki Pramanu telah terpojok. Tubuhnya mem-


Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentur tebing batu tinggi yang ada di tempat itu.
"Uuuh, matilah aku...!"'keluh Ki Pramanu dengan menatap ngeri Pedang Dewa Naga
yang melesat ke
tubuhnya. "Mampuslah kau, Orang Tua! Hea...!"
Tidak...! Jangan...!"
Bagaikan kesetanan, Sugali terus memburu
dengan tusukan pedangnya ke tubuh Ki Pramanu yang
terkulai ke bawah ketakutan. Dan....
Wrt! Crab! "Akh...!" Ki Pramanu menjerit setinggi langit, ketika Pedang Dewa Naga menghujam
punggungnya, tembus sampai ke dada. Darah menyembur keluar, ke-
tika Sugali mencabut pedang itu. "Kau..., kau benar-benar iblis, Sugali! Kelak
kau akan menyesal! Mukamu
akan hancur oleh Pendekar Gila...! Kau..., kau akan
hidup dengan muka yang hancur. Sampai akhirnya,
kau akan mati di tangan seorang wanita jago pe-
dang...." Tubuh Ki Pramanu terkulai dengan nyawa me-
layang. Darah yang keluar dari dadanya membasahi
jubah merah lelaki tua itu.
Sugali sesaat terdiam, memandangi tubuh gu-
runya yang telah binasa. Kemudian disekanya darah
yang membasahi Pedang Dewa Naga dengan pakaian
gurunya. Lalu setelah memasukkan pedang itu ke wa-
rangka, pemuda bengis berpakaian merah lengan pan-
jang itu melangkah meninggalkan mayat gurunya. Tu-
juannya hanya satu, mencari teman guna melawan
Pendekar Gila. *** 2 Selang beberapa waktu kemudian, dari arah
timur nampak dua sosok manusia melangkah menuju
tempat tubuh Ki Pramanu tergeletak. Sepasang anak
muda itu, tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila
dengan kekasihnya, Mei Lie yang juga berjuluk Bidada-
ri Pencabut Nyawa. Keduanya melewati tempat itu, da-
lam perjalanan menuju Goa Setan tempat kediaman
guru Pendekar Gila.
Pendekar Gila hendak menyerahkan Kitab Ajian
Dewa yang telah didapatnya kembali, setelah puluhan
tahun berada di tangan Kerto Pati. Kitab itu telah dijadikan rebutan kaum rimba
persilatan yang tergabung
dalam Partai Kera Hitam. (Untuk lebih jelasnya, Ikuti serial Pendekar Gila dalam
episode: "Kitab Ajian De-wa"). "Kakang, lihat...!" seru Mei Lie tiba-tiba sambil
menunjuk ke tempat sesosok tubuh tua berjubah merah tergeletak.
Pendekar Gila mengarahkan pandangan ma-
tanya ke tempat yang ditunjuk Mei Lie. Sikapnya yang
semula cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
seketika berhenti. Keningnya mengerut, matanya me-
mandang tajam ke arah yang ditunjuk Mei Lie.
"Orang tua itu sepertinya mati terbunuh, Ka-
kang," tutur Mei Lie.
"Aha, benar, Mei Lie. Ayo kita dekati!" ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei
Lie untuk mendekat
ke tempat tubuh lelaki tua yang di sekitarnya terdapat genangan darah. "Hyang
Jagat Dewa Batara, dia benar-benar terbunuh!"
"Ya! Kejam sekali orang yang membunuhnya,
Kakang," ujar Mei Lie agak geram, turut merasa sedih menyaksikan orang tua
terbunuh dengan punggung
tembus. Kening Pendekar Gila terkerut. Lalu segera
membalikkan tubuh orang tua itu. Seketika matanya
terbelalak kaget, setelah mengenali siapa sebenarnya
orang tua itu. "Ki Pramanu...!" desis Sena kaget sambil memperhatikan wajah mayat itu.
"Kau kenal dengannya, Kakang?" tanya Mei Lie ingin tahu.
"Ya!" jawab Sena sambil menggaruk-garuk ke-
pala. "Dia adalah kakak seperguruan Datuk Raja Beracun." "Siapa Datuk Raja
Beracun, Kakang?" tanya Mei Lie semakin ingin tahu.
"Aha, seorang datuk sesat yang kejam," tutur Sena. Kemudian pemuda berpakaian
rompi dari kulit
ular itu bercerita tentang petualangannya ketika me-
ninggalkan Mei Lie, bahwa ia pernah bertemu dengan
Datuk Raja Beracun. Datuk yang sangat kejam dan
bengis. Datuk itu suka menculik anak perawan, yang
katanya untuk menambah kesaktiannya. Datuk Raja
Beracun dendam pada sang Guru, yang telah menga-
lahkannya. Dengan darah tujuh perawan, Datuk Raja
Beracun akan sakti. Dan setelah sakti nanti, dia akan mencari Pendekar dari Goa
Setan. Akhirnya Pendekar Gila bertemu dengan Datuk
Raja Beracun. Keduanya bertarung, sampai akhirnya
Datuk Raja Beracun kalah. Namun dasar Datuk Raja
Beracun pengkhianat. Dirinya mengingkari janji. Da-
tuk itu kembali membuat onar, menculik anak gadis.
Hasratnya untuk mendapatkan tujuh gadis hampir ter-
laksana. Namun, ketika gadis terakhir hendak diper-
sembahkan sebagai korban, Pendekar Gila datang. Ke-
duanya kembali bertarung sampai akhirnya Datuk Ra-
ja Beracun mati.
"Begitu ceritanya, Mei Lie," ujar Sena mengakhiri ceritanya, tentang Datuk Raja
Beracun yang juga
adik Ki Pramanu serta pernah bertarung melawan
Pendekar Gila. Datuk sesat itu bercita-cita ingin menjadi penguasa rimba
persilatan. Dan untuk memenuhi
hasratnya, Datuk Raja Beracun menculik gadis untuk
tumbal ilmunya yang sesat.
Mei Lie terdiam, mendengar penuturan Sena.
Matanya masih memandangi mayat Ki Pramanu yang
keadaannya sangat menyedihkan. Pikirannya mendu-
ga, "Pasti orang tua itu dibunuh dengan pedang, karena lukanya sampai tembus ke
dada. Lukanya pun se-
lebar mata pedang."
"Hm.... Siapa yang telah begitu tega membu-
nuhnya?" gumam Mei Lie bertanya.
Pendekar Gila masih terdiam. Mulutnya cen-
gengesan dengan mata memandangi mayat lelaki tua
itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seakan ingin
berusaha memahami apa yang sebenarnya telah me-
nimpa pemilik Pedang Dewa Naga itu.
"Entahlah, Mei Lie," desah Sena lemah. Diten-gadahkan wajahnya memandang langit,
seakan ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Hidup, mati, jodoh, dan rizki ada
di tangan Hyang Widi. Hi hi hi...! Semua orang akan mendapatkan semuanya,
termasuk kau dan aku, Mei," jawabnya kemudian dengan wajah tampak bersungguh-
sungguh. Mei Lie terpaku diam, mendengar penuturan
kekasihnya. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam,
seakan tengah menghayati ucapan Sena. Memang apa
yang dikatakan pendekar itu benar adanya.
"Ah ah ah, manusia memang aneh!" gumam
Sena. "Kadang kala, manusia itu seperti orang gila. Hi hi hi..! Mereka yang
mengaku sehat, berlaku tak waras. Membunuh, memperkosa, mencuri, dan seba-
gainya." "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie ingin tahu ungkapan yang baru
saja diucapkan Pendekar
Gila. Mata gadis Cina yang sipit itu, memandang den-
gan penuh arti ke wajah pemuda tampan namun ber-
tingkah laku seperti orang gila di depannya. Pemuda
yang senantiasa mengisi lubuk hatinya paling dalam.
Pemuda yang sangat dicintainya, pemuda yang akan
membuat tenang jika berada di sampingnya.
"Hi hi hi., ya, lucu! Lucu sekali perilaku manu-
sia di dunia ini," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan masih menggaruk-
garuk kepala. Pandangannya kini menyapu ke sekeliling Padepokan De-
wa Naga yang tampak sepi. Kemudian matanya tertuju
lekat ke bangunan yang terbuat dari kayu itu. Seper-
tinya ada sesuatu yang menarik hati Pendekar Gila da-
ri bangunan tersebut
Mei Lie turut mengarahkan pandangannya ke
bangunan dari kayu itu. Keningnya mengerut, me-
mandang bangunan padepokan yang seakan turut me-
rasakan kesedihan atas kematian Ki Pramanu....
"Apa yang kau perhatikan, Kakang?" tanyanya.
"Aha, mungkin di dalam padepokan itu, kita
dapat menemukan petunjuk," jawab Sena seraya me-
langkah menuju bangunan padepokan, diikuti Mei lie
yang belum mengerti maksud kekasihnya.
Pendekar Gila membuka pintu padepokan yang
tak terkunci. Matanya menyapu ke dalam padepokan
yang sunyi dan sepi. Hanya sebuah batu persegi ada di dalam bangunan itu, dengan
sebuah benda terbuat da-ri kayu berbentuk kotak. Tak ada sesuatu baginya un-
tuk dapat menemukan jejak kematian Ki Pramanu.
"Bagaimana, Kakang" Apa kau menemukan se-
suatu yang mencurigakan?" tanya Mei Lie dengan kening mengerut, menyaksikan Sena
yang masih cen-
gengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya
masih memandangi sekitar ruangan yang sepi itu.
"Aha, rupanya Ki Pramanu habis ribut, Mei Lie.
Ada seseorang yang datang ke ruangan ini," tutur Sena setelah melihat keadaan
ruangan yang agak teracak,
sepertinya di ruangan itu awal dari keributan.
Pendekar Gila melangkah mendekati peti kayu
yang panjang dan lebarnya sedepa, serta tinggi seten-
gah lengan. Dengan kening mengerut, Sena mengawasi
kotak itu. Lalu membukanya. Di dalam peti kayu itu,
hanya terdapat benda-benda terbuat dari kain. Ten-
tunya pakaian. Sena mengaduk-aduk pakaian itu. Se-
ketika matanya membeliak, melihat selembar daun
lontar. Pendekar Gila mengambil daun lontar itu. Ter-
nyata terdapat tulisan berisi pesan yang keras. Nam-
paknya ketika menulis, orang itu dalam amarah yang
meluap-luap. Mei Lie segera mendekat, kemudian turut
membaca tulisan pada lontar yang kini dipaparkan
oleh Sena. "Ayah dan Ibu! Aku tahu dan telah mendengar, bahwa kematian kalian oleh Pendekar
Gila. Mesti Ayah dan Ibu yang salah, sebagai anak aku tak akan tinggal diam. Aku
akan menuntut balas terhadap Pendekar Gi-la. Nampaknya guru tak merestui, bahkan
guru seperti membela Pendekar Gila. Kalau sampai benar guru
membelanya, aku tak akan segan-segan menyingkirkan dia! Hutang nyawa harus
dibayar dengan nyawa! Hutang pati, harus dibayar dengan pati! Tunggulah
pembalasanku, Pendekar Gila! Tunggulah...!"
Anakmu, Sugali Pendekar Gila dan Mei Lie tercengang, memba-
ca surat itu. Keduanya saling pandang. Kini keduanya
tahu siapa pembunuh Ki Pramanu. Mereka tak habis
pikir, "Mengapa murid Ki Pramanu sampai hati membunuh gurunya. Pendekar Gila pun
tak tahu, siapa se-
benarnya Sugali dan mengapa mendendam padanya?"
"Kakang kenal dengan Sugali?" tanya Mei Lie.
"Hi hi hi...! Lucu sekali...! Mendengar namanya
saja baru kali ini," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Ah ah ah,
dendam.... Dendam adalah setan.
Dendam akan menyeret manusia ke dalam kenistaan."
"Cobalah Kakang ingat siapa yang dimaksud
oleh Sugali dengan orangtuanya...!" ujar Mei Lie, berusaha mengingatkan Sena
pada kejadian yang kini ber-
buntut dengan dendam.
Pendekar Gila terdiam sambil mengerutkan
kening. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya
berusaha mengingat-ingat kejadian apa yang pernah
dialaminya, hingga menyebabkan seorang anak ber-
nama Sugali mendendam padanya. Namun pikirannya
tetap tak ingat dengan kejadian itu. Hatinya juga me-
rasa tak pernah bentrok dengan Sugali.
"Hi hi hi..! Lucu... lucu sekali! Dendam memba-
bi-buta! Ah ah ah, sudahlah...! Kita kebumikan saja, Ki Pramanu. Setelah itu
kita kembali meneruskan perjalanan," ujar Sena pada Mei Lie.
Kemudian keduanya kembali melangkah keluar
untuk mengubur mayat Ki Pramanu.
Setelah mengubur mayat Ki Pramanu, Pendekar
Gila dan Mei Lie memberi penghormatan pada orang
tua itu. Ki Pramanu sendiri pernah menjadi orang se-
sat. Namun, sebelum ajalnya tiba dirinya telah menjadi orang lurus dan bahkan
berusaha mengarahkan sang
Murid. Itu sebabnya Pendekar Gila dan Mei Lie merasa
perlu memberi penghormatan pada orang tua malang
itu. Pendekar Gila dan Mei Lie baru saja hendak
melangkah meninggalkan makam Ki Pramanu, ketika
tiba-tiba terdengar suara tua memanggil namanya.
"Sena...! Pendekar Gila...!"
Pendekar Gila menghentikan langkahnya, ke-
mudian membalikkan tubuh, ke tempat asal suara itu.
Matanya seketika membelalak, menyaksikan
dari kuburan Ki Pramanu muncul sebuah bayangan le-
laki tua itu. "Ki Pramanu...!" desis kedua pendekar muda itu hampir bersamaan.
Kedua pendekar itu segera menjura hormat,
menyaksikan arwah Ki Pramanu.
"Terima kasih, kalian telah mengubur ragaku.
Aku hanya ingin memberi pesan pada kalian," tutur arwah Ki Pramanu dengan suara
datar dan pelan.
"Aha, pesan apakah itu, Ki?" tanya Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang
konyol. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengenge-
san. Sedangkan Mei Lie, terdiam dengan mata menatap
bayangan arwah Ki Pramanu.
"Hati-hatilah! Ku restui kalian sebagai pasan-
gan yang diberkati oleh Hyang Widi," ujar Ki Pramanu sambil mengangkat tangan
kanannya dengan telapak
terbuka. "Pendekar Gila, masih ingatkah kau pada dua orang suami-istri yang
bersekutu dengan Buto Ijo?"
Pendekar Gila terdiam dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. Keningnya mengerut, berusaha
mengingat-ingat kejadian yang pernah dialami dengan
sepasang suami-istri yang memuja Buto Ijo.


Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aha, yang kau maksud Ki Prikada dan Nyi Dri-
padi?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengenge-
san, setelah ingat tentang kedua orang tua itu.
"Benar, Pendekar Gila," sahut Ki Pramanu. "Ki-ni anak mereka mencarimu."
Pendekar Gila terdiam. Ingatannya kembali
menerawang pada kejadian yang menghubungkan
dengan apa yang dikatakan arwah Ki Pramanu.
Tiga bulan yang lalu, dia memang pernah ben-
trok dengan Ki Prikada dan istrinya, Nyi Dripadi. Ke-
dua suami-istri itu, telah banyak memakan korban un-
tuk tumbal persembahan. Banyak anak-anak kecil
yang dijadikan korban. Mendengar berita itu, Pendekar Gila akhirnya datang ke
Desa Tambak Sari. Dan dirinya pun bentrok dengan raksasa-raksasa siluman
milik Ki Prikada dan istrinya. Dengan Suling Naga Sak-ti, Pendekar Gila mampu
memusnahkan siluman Buto
Ijo. Namun, sebagai akibatnya yang mati justru kedua
orangtua Sugali.
"Aha, jadi Sugali itu anak mereka, Ki?" tanya Sena ingin memastikan.
"Benar, Pendekar Gila. Hati-hatilah, Pendekar!
Semoga kalian senantiasa dilindungi oleh Hyang Widi!"
usai berkata begitu, arwah Ki Pramanu menghilang.
Pendekar Gila dan Mei Lie kembali menyembah,
lalu keduanya meninggalkan Padepokan Dewa Naga.
Angin sore berhembus, menerpa dedaunan yang geme-
risik. Mentari merangkak turun untuk kembali ke-
peraduannya. *** Suasana malam melingkupi bumi, dengan an-
gin dinginnya yang berhembus pelan. Seorang lelaki
muda berwajah tampan tapi matanya mencerminkan
kebengisan, melangkah melintasi Hutan Parang Pasi-
sir. Pemuda berbadan tegap dengan dada bidang itu,
bagaikan tak takut melangkah di kegelapan malam da-
lam hutan yang kelihatan angker. Matanya yang tajam,
menatap lurus ke depan.
Krek! "Hm, ada juga kecoa busuk yang berani meng-
gangguku!" geram Sugali dalam hati. Langkahnya berhenti, kemudian mengawasi
tempat ke sekeliling den-
gan tajam. Telinganya pun di pasang dengan tajam,
sehingga suara sekecil apa pun akan didengarnya.
Pemuda berpakaian lengan panjang warna me-
rah itu, terus mengawasi sekelilingnya dengan mata tajam. Telinganya yang tadi
mendengar suara ranting
kering patah, terus dipasang, berusaha mendengar su-
ara di sekelilingnya yang sepi.
"Hm, mungkinkah binatang hutan?" tanya Su-
gali dalam hati dengan mata dan telinga masih dipa-
sang tajam. "Kurasa bukan. Jelas itu suara kaki manusia menginjak ranting
kering. Tak mungkin binatang
berbuat begitu. Kalau binatang tak akan berhenti begi-tu saja. Tapi ini tidak.
Jelas ini manusia!"
Kresek! Kresek!
Suara itu kembali terdengar dari kanan dan ki-
rinya. Hal itu membuat Sugali semakin yakin, kalau
yang sedang mengintainya pasti manusia. Tangannya
segera meraba gagang Pedang Dewa Naga. Pedang ber-
gagang kepala naga itu, seakan memberi keyakinan
padanya dan rasa percaya diri.
Srt! "Kalau kalian manusia, keluarlah!" seru Sugali menantang. Pedang Dewa Naga yang
mengeluarkan sinar hijau, kini telah tergenggam di tangannya. Dari
mata pedang itu, keluar sinar hijau yang menerangi
sekelilingnya. "Hea...!"
"Yea...!"
Dari balik rimbun pepohonan dan semak-
semak, tiba-tiba berlompatan lima sosok tubuh. Wajah
sosok-sosok bertubuh tinggi dan tegap itu ditutup ke-
dok warna-warni. Pakaian mereka masing-masing ber-
beda. "Siapa kalian"!" bentak Sugali dengan mata memandangi satu persatu kelima
orang yang berdiri ti-ga tombak di hadapannya.
Lelaki yang berkedok hitam melangkah dua
tindak ke depan. Lalu terdengar suara tawa membaha-
na keluar dari mulutnya yang tertutup kedok.
"Seharusnya kami yang bertanya, bukan kau,
Tikus!" bentak lelaki berkedok hitam dengan mata tajam menatap Sugali yang
tersenyum kecut. "Siapa
kau"! Dan untuk apa kau masuk Hutan Parang Pasisir
ini"!" "Namaku Sugali. Aku ingin lewat untuk menuju pulau karang," sahut Sugali
dengan tanpa rasa takut sedikit pun. Dengan Pedang Dewa Naga di tangannya,
Sugali merasa percaya diri. Pedang di tangannya bu-
kanlah pedang sembarangan, melainkan pedang pusa-
ka. Hal itu dapat dirasakan dari getarannya. Getaran
yang menuntutnya untuk membunuh.
"Untuk apa kau ke pulau karang"!" tanya Ke-
dok Biru. "Itu urusanku. Bukan urusan kalian!" sahut
Sugali gusar. Matanya merah membara, terpengaruh
kekuatan Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tan-
gan. "Kurang ajar! Berani kau lancang di daerah kekuasaan kami, Anak Muda"!"
bentak Kedok Coklat marah. "Rupanya kau belum kenal dengan Lima Hantu Berkedok!"
"Huh! Kalian kira aku anak kecil, yang bisa di-
gertak"!" bentak Sugali sengit. "Jangankan hanya ka-
lian, Pendekar Gila pun aku tak takut!"
"Sombong! Aku ingin tahu, sampai di mana
ucapanmu, Anak Sombong!" dengus Kedok Ungu. "Serang dia...!"
"Hea...!"
Kelima Hantu Berkedok serentak mencabut
senjata mereka yang beraneka ragam. Kedok Hitam
memegang senjata berupa ranting kayu kecil dengan
ujung bercabang tiga. Kedok Biru bersenjatakan se-
buah gading gajah yang aneh. Gading gajah itu juga
bercabang dua. Kedok Coklat dengan senjatanya beru-
pa bulatan gerigi yang diikat dengan sebuah tali pan-
jang. Kedok Ungu dan Kedok Kuning, bersenjatakan
pedang bergerigi dan golok bercabang dua.
"Hea...!"
Dari lima arah, mereka menggebrak Sugali den-
gan senjata masing-masing. Nampaknya Lima Hantu
Berkedok merupakan orang-orang yang haus darah.
Sehingga tak segan-segan menyerang dengan ganas.
Sugali merundukkan kepala dengan cepat. Ke-
mudian secara cepat tangannya memutar Pedang De-
wa Naga dengan jurus 'Dewa Naga Menebar Maut'
"Hea!"
Pedang Dewa Naga di tangan Sugali berputar
begitu cepat memapaki senjata kelima lawannya, yang
menderu ke tubuhnya.
Wrt! Trang! Trang! Trang...!
Prak! Prak! Prak...!
Suara berdentang dan bergemeretak terdengar
keras ketika Pedang Dewa Naga membentur senjata-
senjata Lima Hantu Berkedok.
"Heh"!"
"Heh"!"
Kelima Hantu Berkedok tersentak kaget sambil
melompat mundur, ketika dirasakan senjata mereka
patah terbabat pedang di tangan Sugali. Mata kelima
lelaki bertubuh tegap itu terbelalak kaget, tak percaya pada apa yang telah
terjadi. Selama ini, senjata mereka belum pernah dapat dipatahkan seperti
sekarang ini. Bahkan dengan senjata tajam apa pun. Baru kali ini,
mereka merasa bertemu senjata yang memiliki kekua-
tan luar biasa.
"Hua ha ha...! Sudah kukatakan, jangankan ka-
lian. Pendekar Gila pun belum tentu dapat mengalah-
kan aku!" seru Sugali sombong.
Kelima lawannya terdiam. Mereka sating pan-
dang dengan perasaan takut menyaksikan kehebatan
pedang di tangan Sugali.
"Kini, bersiaplah kalian untuk mati!" dengus Sugali, yang membuat Lima Hantu
Berkedok tersentak
kaget. Keringat dingin keluar dari kening mereka.
"Ampun..., ampunilah kami! Kami siap men-
gabdi padamu," pinta mereka sambil berlutut mencium tanah. Mereka mengaku kalah,
meratap ketakutan.
Hal itu membuat Sugali yang memang tengah mencari
kawan untuk melawan Pendekar Gila tersenyum se-
nang. "Bagus! Memang aku ingin teman seperti kalian! Sejak saat ini, kalian
harus memanggilku Ketua!
Mengerti"!" bentak Sugali sambil menyarungkan kembali Pedang Dewa Naganya.
"Kami mengerti...," sahut kelimanya bersama.
"Hm, bagus! Kalian dengar baik-baik! Mulai se-
karang hutan ini menjadi markas kita. Dan aku adalah
pimpinan kalian!"
"Baik, Ketua," sahut kelimanya serentak.
"Di mana tempat kalian?" tanya Sugali semakin bertambah pongah, setelah dapat
mengalahkan dan
menaklukkan Lima Hantu Berkedok.
"Mari, kami tunjukkan...!" kata Kedok Hitam sambil melangkah mengajak Sugali
yang kini menjadi
ketua mereka. Sugali pun menurut, mengikuti kelima
anak buahnya yang baru. Di hatinya, semakin terta-
nam dendam pada Pendekar Gila.
Tidak lama kemudian, Sugali dan anak buah-
nya telah sampai di markas Lima Hantu Berkedok. Se-
buah bangunan terbuat dari papan, dengan keadaan
yang agak kotor. Nampaknya selama itu, Lima Hantu
Berkedok tak mengurus tempat tersebut
"Ini tempat kami, Ketua," kata Kedok Hitam.
"Hm!" gumam Sugali dengan mata memperhati-
kan bangunan dari papan. Kepalanya mengangguk-
angguk, seakan merasa senang. "Bagus! Tapi besok, kuperintahkan pada kalian
untuk membersihkannya.
Aku akan mencari Datuk Raja Karang. Dia akan kua-
jak bekerja sama."
"Baik, Ketua...!" jawab kelimanya serentak.
Sugali dengan diikuti kelima anak buahnya
yang baru kini melangkah memasuki bangunan mar-
kas itu. Seketika dari dalam, muncul lima orang gadis cantik jelita. Hal itu
membuat Sugali mengerutkan
kening. Wajahnya menoleh pada kelima anak buahnya.
"Siapa mereka?" tanyanya.
"Ampun, Ketua! Mereka pelayan kami," jawab
Kedok Hitam. "Pelayan...?" tanya Sugali keheranan. "Pelayan secantik mereka" Hai, katakan
siapa mereka"!"
"Ampun Ketua, mereka...."
Belum habis ucapan Kedok Hitam, Sugali telah
memotongnya. "Aku tahu. Tentunya mereka pemuas nafsu ka-
lian!" "Benar, Ketua...," sahut kelimanya takut-takut
"Bagus! Mulai sekarang, kalian jangan berani
mengganggu mereka. Kini mereka menjadi pelayanku,
mengerti"!" bentak Sugali tegas.
"Mengerti, Ketua," sahut kelimanya bareng.
Sugali tertawa terbahak-bahak. Kemudian tan-
gannya direntangkan. Diajaknya kelima gadis cantik
yang hanya memakai kain sebatas dada itu ke dalam
sebuah kamar. Kemudian dengan keras ditutupnya
pintu kamar. Tinggallah Lima Hantu Berkedok yang
hanya saling pandang dengan wajah menggambarkan
kejengkelan. Namun untuk melawan, mereka tak be-
rani. Kelima lelaki berkedok itu hanya bisa memejam-
kan mata, ketika terdengar rintih dan erangan dari dalam kamar.
*** 3 Angin pagi menghembuskan hawa sejuk, me-
nerpa dedaunan. Ombak laut pun turut bergerak,
menggulung dan menepiskan sampah yang ada di Laut
Selatan. Pagi itu, Sugali nampak melangkah ke selatan menuju tempat kediaman
Datuk Raja Karang. Di Pulau
Karang Sundulan, Datuk Raja Karang bersembunyi
dari keramaian setelah terjadinya peristiwa di Lembah Lamur. (Untuk lebih
jelasnya, ikuti serial Pendekar Gi-la dalam episode: "Titisan Dewi Kawan Im").
Saat itu Sugali sampai di Desa Gedang Gajah
yang terletak di tepi Laut Selatan. Sejenak matanya
memandang ke laut yang membentang luas, berusaha
mencari Pulau Karang Sundulan yang dihuni Datuk
Raja Karang. Namun dia tak melihat adanya pulau ka-
rang di laut itu.
"Hm, di manakah tempat Datuk Raja Karang?"
gumam Sugali sambil terus memandang ke lautan.
Namun tetap dirinya tak melihat pulau karang yang di-
jadikan markas Datuk Raja Karang.
Sugali terus menyapukan pandangannya ke
laut, berusaha mencari pulau karang yang dimaksud
orang-orangnya sebagai tempat persembunyian Datuk
Raja Karang. Kini pandangannya diarahkan ke arah
barat daya. Tiba-tiba mulutnya tersenyum, ketika ma-
tanya melihat sebuah pulau karang di tengah-tengah
lautan. "Hm, tentunya pulau itu tempatnya," gumam Sugali. Kemudian dia pun
berlari ke barat. Sesaat Sugali terdiam. Dirinya nampak bingung untuk menyebe-
rangi lautan yang luas itu. "Hm, bagaimana aku harus menyeberangi lautan yang
luas ini?"
Belum juga Sugali menemukan cara untuk me-
nyeberangi laut, tiba-tiba dari Pulau Karang Sundulan terdengar suara gelak tawa
membahana. Gelak tawa
itu, mampu menimbulkan angin yang kencang dan te-
rasa memekakkan telinga.
"Hua ha ha...! Hua ha ha...!"
Sugali tersentak kaget ketika dirasakan telin-
ganya sakit dan berdenyut keras. Sungguh tak disang-
ka, kalau suara tawa itu akan mampu membuat gen-
dang telinganya terasa sakit. Bahkan pohon kelapa
yang tumbuh di sekitar pesisir, bagaikan diterpa angin badai. Banyak buah kelapa
yang berjatuhan. Daun-daunnya berserakan, berterbangan tertiup angin yang
ditimbulkan suara tawa penghuni Pulau Karang Sun-


Pendekar Gila 22 Kutukan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulan itu. "Ukh!" Sugali memekik. Dirinya berusaha bertahan dari suara tawa yang terus
mendesak gendang
telinganya. Dikerahkan tenaga dalamnya, untuk melin-
dungi suara menggelegar itu. Namun suara tawa itu
ternyata lebih kuat dari tenaga dalamnya.
"Eh! Uh...!"
"Hua ha ha...! Bagaimana, Anak Muda"! Masih-
kah kau belum percaya kehebatanku"!" terdengar suara Datuk Raja Karang berseru
dari kejauhan. Rupanya
Datuk Raja Karang telah mengetahui kedatangan Su-
gali. Bahkan maksud kedatangannya.
"Aku percaya!" sahut Sugali. "Itu sebabnya aku datang, untuk mengajakmu bersama-
sama menghadapi Pendekar Gila!"
"Hua ha ha...! Bagus! Memang itu yang kuha-
rapkan. Kau memang pemberani, Anak Muda! Tidak
seperti gurumu yang pengecut!" seru Datuk Raja Karang dari tempat kediamannya.
"Gurumu memang tia-da gunanya. Dia memang pantas kau singkirkan!"
"Seperti dirinya tak pengecut saja," rutuk Sugali dalam hati, setelah mendengar
kata-kata Datuk Raja
Karang. "Buktinya kau bersembunyi dari kejaran Pendekar Gila!"
"Anak muda, kenapa kau masih di situ" Kema-
rilah...!" seru Datuk Raja Karang.
"Aku tak tahu bagaimana untuk menyeberang
ke tempatmu!" seru Sugali.
"Hua ha ha...! Tolol! Kau memang pemberani,
tetapi tolol! Gunakan otakmu! Cari ranting kayu! Bu-
kankah kau memiliki tenaga dalam" Atau gunakan pe-
dang di punggungmu!" seru Datuk Raja Karang mem-
beritahukan bagaimana caranya untuk dapat menga-
rungi lautan yang luas itu.
Kening Sugali mengerut, mendengar seruan Da-
tuk Raja Karang. Kemudian tangannya menarik Pe-
dang Dewa Naga. Dipandangi pedang itu sesaat. Na-
mun belum mengerti, bagaimana caranya mengguna-
kan pedang pusaka itu untuk menyeberangi lautan.
"Anak muda, kau pemberani tapi tolol. Menga-
pa kau hanya memandangi pedang pusaka itu" Lem-
parkan pedang pusakamu ke laut, maka kau akan da-
pat menyeberangi lautan ini!" seru Datuk Raja Karang memberitahukan kegunaan
pedang itu. Sugali menurut Dilemparkan Pedang Dewa Na-
ga ke lautan. Seketika itu pula, terjadi sebuah keanehan. Air laut bagaikan
membeku. Seakan-akan be-
rubah menjadi daratan yang terbuat dari air.
"Heh"!" Sugali terperangah menyaksikan kejadian aneh itu. Tak pernah dirinya
menyangka kalau
Pedang Dewa Naga ternyata sehebat itu. Lama sekali
Sugali terkesima, menyaksikan keanehan itu. Hatinya
baru tersentak sadar, ketika terdengar seruan Datuk
Raja Karang. "Bocah tolol! Jangan hanya mematung di situ,
kemarilah cepat!" serunya. "Waktumu hanya sebentar.
Seperminum teh, air itu akan kembali cair!"
Mendengar seruan itu, Sugali segera mengambil
pedangnya. Kemudian dengan menggunakan ilmu la-
rinya yang bernama 'Turangga Sekti', Sugali melesat
menuju Pulau Karang Sundulan. Tidak lama kemu-
dian, pemuda berpakaian merah itu telah sampai di
tepi pulau karang. Tiba-tiba....
Srt! Srt! Srt! Puluhan senjata rahasia melesat dari dalam ta-
nah, menyerang Sugali.
"Heh"!" dengan masih kaget, Sugali segera melenting dan bersalto di udara,
mengelakkan serangan
senjata-senjata maut itu. Pedang Dewa Naga diba-
batkan memapak puluhan senjata rahasia yang hen-
dak menyerangnya. "Hea...!"
Wrt wrt wrttt..!
Trak! Trak! Trak!
Puluhan senjata rahasia terpotong-potong, ter-
kena sambaran Pedang Dewa Naga. Senjata-senjata
rahasia itu berpentalan ke tanah.
"Hebat! Hebat..!" seru Datuk Raja Karang yang tahu-tahu telah berada di hadapan
Sugali. Lelaki tua
berjubah hitam dengan rambut terurai lepas berwarna
hitam keputihan itu bertepuk tangan. Dari mulutnya
terdengar suara tawanya yang lepas.
Sugali segera bersalto, kemudian mendarat
dengan ringan tiga tombak di hadapan lelaki tua ber-
muka garang dan bercambang bauk tebal itu. Lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu, tersenyum-
senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Terimalah hormatku, Datuk!" ujar Sugali sambil menjura.
"Tak usah pakai peradatan, Anak Muda! Kata-
kan, apa maksudmu yang sebenarnya!" pinta Datuk
Raja Karang. "Bukankah Datuk sudah tahu?" tanya Sugali
sambil menyarungkan pedang pusakanya ke warang-
ka. "He he he...! Jadi kau benar-benar ingin mem-
balas kematian kedua orangtua mu pada Pendekar Gi-
la?" tanya Datuk Raja Karang.
"Begitulah!"
"Hm, bagus! Itu baru seorang anak yang baik.
Lalu apa keperluanmu datang ke tempatku?" tanya
sang Datuk lagi, seakan merasa belum jelas.
"Aku memerlukan bantuanmu, untuk mengha-
dapi Pendekar Gila," sahut Sugali dengan wajah penuh dendam. Matanya berkilat
tajam, seakan menyimpan
bara api. Tangannya mengepal, seakan hendak mere-
mukkan kepala Pendekar Gila.
"He he he...! Bagus..., bagus! Kau memang te-
pat datang ke tempatku. Baiklah kalau itu keinginan-
mu, Anak Muda. Aku memang mengharapkan bisa
menghadapi Pendekar Gila. Selama ini, aku telah
memperdalam ilmu-ilmuku, yang sengaja kuper-
siapkan untuk menghadapinya," dengus Datuk Raja
Karang dengan senyum sinis. "Dengan ajian 'Betara Karang', Pendekar Gila tak
akan mampu mengalahkan
aku!" Datuk Raja Karang menggeram. Tangannya
mengepal keras. Kemudian terdengar suara tawanya
yang membahana. Diikuti oleh Sugali. Sehingga Pulau
Karang Sundulan yang biasanya sepi, seketika bagai-
kan hendak pecah karena suara tawa kedua tokoh itu.
"Anak Muda, kau harus tahu. Selama kau men-
jalin persahabatan denganku, kau harus mengikuti
apa yang kukatakan...," ujar Datuk Raja Karang setelah diam dari tawanya.
"Apa itu, Datuk?"
"Pertama, kau harus mencarikan aku wanita."
"Akan ku carikan," jawab Sugali.
"Kedua, kau harus membuat keonaran dengan
merampok. Dengan cara itu, kita memancing Pendekar
Gila, sekaligus dapat menumpuk kekayaan. Kelak
akan kita gunakan kekayaan itu untuk mendirikan
suatu perkumpulan besar. Perkumpulan yang tak
akan terkalahkan siapa pun...," ujar Datuk Raja Karang menyampaikan gagasan
cita-citanya. "Akan kulakukan," sahut Sugali.
"Dan yang terakhir. Jika Pendekar Gila telah
dapat kita binasakan, aku menjadi Raja Diraja. Kau
harus mengakui, kalau aku rajamu. Raja rimba persi-
latan!" lanjut Datuk Raja Karang dengan tegas.
"Baik, aku akan menuruti," tegas pula jawaban Sugali. "Kapan akan kita mulai?"
"Hari ini juga! Siapkan gadis itu...!" perintah Datuk Raja Karang. Mata Sugali
membelalak. Bagaimana mungkin dia harus mempersiapkan permintaan
sang Datuk dalam waktu singkat, hanya sehari" Ra-
sanya tak masuk di akal. Mencari seorang gadis, bu-
kanlah pekerjaan yang enteng. Lebih enteng merampok
atau membunuh manusia. "Bagaimana, Anak Muda"
Apa kau sanggup"!"
"Aku sanggup!" jawab Sugali.
"Bagus! Laksanakan segera! Kemudian bawalah
gadis itu kemari!" perintah Datuk Raja Karang.
"Baiklah."
Usai menjura, Sugali pun melangkah mening-
galkan Datuk Raja Karang. Dilemparkan pedangnya ke
air laut yang seketika membeku diam. Kemudian sete-
lah mengambil Pedang Dewa Naga, tubuhnya melesat
meninggalkan Pulau Karang Sundulan, diikuti tatapan
mata Datuk Raja Karang. Lelaki tua berjubah hitam itu menyunggingkan senyum
penuh kepuasan.
*** Siang panasnya terasa sangat menyengat. Ma-
tahari yang terik seakan hendak membakar bumi. An-
gin berhembus kencang, seakan-akan hendak menya-
pu semua yang ada di bumi ini. Daun-daun kering
berguguran, turut berterbangan terkena tiupan angin
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 6 Pahlawan Padang Rumput Karya Liang Yu Sheng Semerah Darah 2
^