Tujuh Tumbal Perawan 2
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan Bagian 2
yang datang bersama adiknya Ki Tunjung Melur.
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur seketika memperhatikan tingkah laku
Pendekar Gila. Kening keduanya mengerut, apalagi setelah melihat Suling
Naga Sakti terselip di ikat pinggang pemuda berompi kulit ular itu. Tanpa
disadari mata Ki Lurah Sentana terbelalak. Begitu pun Ki Tunjung Melur yang
seolah telah mengenal betul jati diri pemuda gila itu. Dengan suara lirih Kepala
Desa Karang Bale itu berdesis.
"Suling Naga Sakti...!"
Kelima Walang Sakti yang belum mengetahui
siapa pemuda gila itu pun turut terperanjat mendengar nama suling milik pemuda
gila berpakaian rompi kulit ular itu.
"Kisanak, ada hubungan apa kau dengan Singo Edan, Pendekar Gila dari Goa Setan?"
tanya Ki Lurah Sentana dengan mata memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila yang
konyol. "Hi hi hi..., lucu sekali! Dunia ini memang aneh.
Atau memang sudah menjadi peradatan, kalau yang masih muda akan bertingkah ugal-
ugalan?" gumam Sena, seakan tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan kepala
desa itu. Namun nampaknya Ki Sentana memahami tutur kata Pendekar Gila. Hal itu
terlihat dari tatapan mata lelaki tua itu pada Lima Walang Sakti yang serentak
menundukkan kepala.
Mereka berlima seolah-olah merasa bersalah.
"Maafkan atas kesalahan mereka, Kisanak!
Mereka hanya menjalankan tugas, menjaga
keamanan desa ni yang baru saja tertimpa
kemalangan," ujar Ki Sentana membuka percakapan.
Suaranya begitu tenang ian berwibawa. "Kalau boleh kami tahu, ada hubungan apa
Kisanak dengan Singo Edan sahabat kami?"
"Aha, aku murid tunggalnya, Ki," jawab Sena dengan tingkah laku yang masih
konyol. Tangannya kembali manggaruk-garuk kepala.
"Heh..."!"
Tersentak Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur
setelah tahu kalau pemuda bertingkah gila itu murid Singo Edan. Pantas kalau
pemuda ini memiliki Suling Naga Sakti, senjata sakti yang sampai saat ini belum
ada tandingannya.
"Oh, maafkan kami, Tuan Pendekar! Kalau begitu, Tuanlah yang bergelar Pendekar
Gila," ujar Ki Sentana sambil menjura hormat pada Pendekar Gila.
"Ah ah ah, mengapa kau panggil aku Tuan
Pendekar" Lucu sekali! Sangat lucu...!" gumam Sena sambil cengengesan dengan
kepala menggeleng.
"Kalau kau dan guruku bersahabat, maka tak sepantasnya menyebut diriku Tuan
Pendekar. Namaku Sena Manggala."
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur, serta Lima Walang Sakti terperangah
mendengar jawaban Pendekar Gila. Pemuda gila itu ternyata memiliki budi pekerti
yang luhur. "Baiklah, Sena. Kuanggap kebetulan sekali, kau datang ke desa kami," kata Ki
Sentana sambil menarik napas dalam-dalam. Wajahnya seketika berubah muram,
membuat Pendekar Gila mengerutkan kening dan memandang keheranan.
"Aha, kalau boleh aku tahu, apa sebenarnya yang telah menimpa desa ini?" tanya
Pendekar GUa ingin tahu.
"Kalau kau berkenan, singgahlah dulu di rumahku. Nanti akan kuceritakan apa yang
telah terjadi...,"
ajak Ki Lurah Sentana.
"Aha, baiklah. Aku pun sebenarnya ingin melepas lelah," jawab Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala, yang membuat Walang Kerik
tampak jengkel. Hal itu terlihat dari tatapan mata yang sinis, penuh kebencian.
"Huh, bertingkah!" sungut Walang Kerik dalam hati. "Siapa pun kau, aku tak suka!
Hm, tunggu saja saatnya."
Pendekar Gila pun melangkah, mengikuti Ki
Sentana dan Ki Tunjung Melur meninggalkan mulut desa tempat Lima Walang Sakti
masih berdiri. *** 4 Siang itu Ki Lurah Sentana mengajak Pendekar Gila untuk bersantap di rumahnya.
Sambil menyantap makanan, kepala desa itu pun menceritakan
peristiwa yang baru saja dialami di desanya.
Diceritakan bahwa setelah hampir sepuluh tahun Ki Boleng mati di tangan guru
Pendekar Gila, peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap perawan-perawan desa
tak ada lagi. Namun tiba-tiba hari ini, Desa Karang Bale dikejutkan dengan
kematian Watiri secara mengerikan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. Mulutnya nyengir,
seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Setelah itu kembali mengunyah makanan
yang baru saja dimasukkannya ke dalam mulut.
"Aha, aneh sekali," gumam Sena dengan mulut nyengir. "Apakah kau tak mencurigai
seseorang, Ki?"
"Itulah yang sulit, Sena. Kami tak pernah
mencurigai seseorang, karena sejak dulu kami berusaha menunjukkan keramahan dan
itikad baik pada siapa pun yang datang ke desa ini," sahut Ki Sentana setengah
menyesal. Pendekar Gila sesaat terdiam. Tangan kirinya kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian nampak mulutnya yang nyengir, seperti orang tolol sedang kebingungan.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Sena?" tanya Ki Tunjung Melur.
Mendengar pertanyaan itu Pendekar Gila semakin
cengengesan dengan tangan kian cepat menggaruk.
Dirinya pun sedang bingung untuk mencari jejak pertama guna memperkirakan siapa
sebenarnya pelaku dari kejadian yang dialami anak Ki Pardi.
"Huh, tolol sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila sambil menepuk-nepuk keningnya
dengan tangan kiri.
"Ah, kenapa aku bodoh" Hm..., sulit amat...!"
Ki Lurah Sentana dan adiknya tampak tersenyum keheranan melihat tingkah laku
pemuda di hadapan mereka.
"Apakah kau tak memiliki pandangan, Sena?"
tanya Ki Sentana.
Pendekar Gila tercenung diam. Keningnya
mengerut, kemudian mulutnya cengengesan.
"Pandangan" Aha, kau benar kita memang harus memiliki pandangan," sahut Sena.
Kemudian nampak dirinya kembali tercenung, lalu cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur hampir tertawa melihat tingkah
laku Pendekar Gila. Kalau saja mereka tak segera sadar bahwa tamunya Pendekar
Gila, mungkin Ki Lurah pun sudah meninggalkan pemuda yang bertingkah konyol itu.
Pendekar Gila tak meneruskan kata-katanya, melainkan terus menyantap makanannya
dengan lahap. Hal itu membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur tersenyum-senyum.
Mereka senang menyaksikan Pendekar Gila lahap menyantap hidangan yang telah
disajikan. "Aha, aku ada akal!" seru Sena tiba-tiba dengan mulut masih mengunyah
makanannya. Suara keras itu membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur tersentak
kaget. Ki Tunjung Melur dan Ki Sentana kembali
tersenyum sambil menarik napas dalam-dalam.
"Apa itu, Sena?" tanya Ki Sentana.
"Ya, katakanlah! Kami memang sangat meng-
harapkan buah pikirmu, juga bantuanmu," tambah Ki Tunjung Melur.
"Ah ah ah, tanpa kalian minta pun, aku akan berusaha membantu kalian," sahut
Sena, "Kalian teman-teman guruku. Sudah sepantasnya kalau aku turut membantu."
"Terima kasih atas kesediaanmu, Sena," ujar Ki Lurah Sentana.
"Ah, sudahlah, Ki! Kini kita harus berpikir mencari jalan, bagaimana untuk dapat
mengetahui siapa sebenarnya pelaku dari pembunuhan keji itu," usul Pendekar Gila
sambil menyantap makanan.
"Ya ya, kau benar," sahut Ki Tunjung Melur, "Kita memang harus secepatnya
membekuk pelaku keji itu.
Sebelum ada korban lain yang jatuh ke tangannya."
"Aha, tepat sekali. Kurasa, aku harus menyelidiki semuanya," kata Pendekar Gila.
"Kau akan pergi?" tanya Ki Sentana, kaget.
"Begitulah," sahut Pendekar Gila.
"Mengapa harus pergi" Bukankah lebih baik kau tinggal di rumahku?" saran kepala
desa itu berusaha mencegah agar Pendekar Gila tak meninggalkan Desa Karang Bale.
"Ah, terlalu merepotkan, Ki," sahut Pendekar Gila.
"Biarlah aku menyelidiki semuanya dari jauh!
Maksudku agar gerak-gerikku labih bebas."
Ki Sentana terdiam beberapa saat, berusaha mencerna ucapan Pendekar Gila. Memang
benar apa yang dikatakan pemuda itu. Dengan kehadiran Pendekar Gila di Desa
Karang Bale, pelaku
pembunuhan itu tentu akan menahan diri, jika ada rencana untuk berbuat lagi.
Sebab bukan tak
mungkin kalau pelaku itu telah mengenal siapa Pendekar Gila sebenarnya. Seorang
tokoh muda yang namanya telah kesohor di kalangan rimba persilatan.
"Benar katamu, Sena. Kurasa kalau kau berada di sini terus, penjahat itu akan
tahu," tukas Ki Tunjung Melur.
"Ya ya, kau benar. Tetapi, kuharap kau tidak melepaskan begitu saja, Sena,"
harap Ki Sentana.
"Aha, aku akan berusaha, Ki. Ah ah ah, kenyang sekali perutku! Wah, bisa-bisa
aku ketiduran, Ki," ujar Sena berseloroh sambil mengelus-elus perutnya yang
terasa kenyang, setelah menyantap makannya.
"Kalau memang kau ngantuk, tidurlah di sini, Sena!" ujar Ki Sentana menawarkan.
"Aha, terima kasih, Ki. Kau telah berbaik hati padaku. Izinkanlah aku meneruskan
perjalananku dulu," sahut Sena.
"Kau jadi pergi juga, Sena?" tanya Ki Sentana dengan kening mengerut, seakan tak
percaya kalau Pendekar Gila akan meneruskan perjalanannya.
Padahal Desa Karang Bale sedang membutuhkan Pendekar Gila.
"Aha, jangan khawatir, Ki! Kurasa kalian mengerti maksudku," ujar Pendekar Gila.
Kemudian setelah bangun dan memberi hormat pada Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur,
Pendekar Gila melangkah keluar untuk meneruskan perjalanannya.
"Jangan lupa, Sena!"
"Aha, akan kuingat!" sahut Pendekar Gila sambil menoleh pada Ki Sentana.
"Titip salam pada gurumu," ujar Tunjung Melur pura-pura sambil melambaikan
tangan, yang dibalas Pendekar Gila dengan lambaian tangan pula.
Pendekar Gila terus melangkah, seakan tak tahu
ada sepasang mata mengikuti langkah kakinya dengan pandangan penuh kebencian. Di
bibir orang itu, tersungging senyum sinis dan dendam.
"Tunggulah saatnya, Pendekar Gila!" dengus pemilik senyum bengis dengan tatapan
tajam penuh dendam. Sekejap kemudian sesosok bayangan
berkelebat meninggalkan semak belukar tempat dirinya mengintip Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang sebenarnya tahu hanya
tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, dirinya terus melangkah meninggalkan Desa Karang Bale.
"Aha, kurasa orang itu bukan orang baik-baik. Hm, kulihat saja nanti," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Kakinya melangkah cepat, seakan-akan ingin segera meninggalkan Desa
Karang Bale. *** Mentari mulai condong ke barat, menandakan bahwa hari menjelang senja. Empat
orang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan tampak melintasi hutan karet.
Sambil bercanda ria mereka berjalan menuju telaga yang terletak di selatan Desa
Karang Bale. Nampaknya mereka hendak mandi sore. Di perbatasan desa, mereka
bertemu dengan dua jawara pengawal Ki Sentana.
"Mau ke mana, Den Putri?" sapa Ki Barman pada Wirani, anak Ki Lurah Sentana yang
berjalan bersama ketiga gadis temannya.
"Mau ke telaga, Paman," sahut Wirani.
"Hati-hati, Den Putri! Kalau ada apa-apa di telaga,
berteriaklah agar kami cepat mendengar!" saran Ki Sobrah.
"Memangnya kenapa, Paman?"
"Tidak apa-apa. Bukankah Den Putri melihat sendiri kejadian yang dialami anak Ki
Pardi?" tanya Ki Barman setengah mengingatkan.
"Baiklah, Paman. Saya pergi dulu!"
"Ya ya, hati-hati...," kata Ki Sobrah kembali mengingatkan.
Keempat gadis itu menganggukkan kepala,
kemudian meneruskan perjalanan ke telaga.
Sementara Ki Barman dan Ki Sobrah masih
memperhatikan keempatnya yang terus melangkah.
Sepertinya ada sesuatu yang dikhawatirkan kedua jawara desa itu.
Keempat gadis itu terus melangkah sambil terus berbincang-bincang.
"Kasihan ya Watiri" Aku tak menyangka, kalau dia akan mengalami hal semacam
itu," ujar Wirani membuka percakapan. Wajahnya kini menggambarkan kesedihan.
Antara dia dan Watiri memang sangat akrab.
"Iya ya?" sambung gadis berkain kuning. "Coba saja kalau waktu itu dia tak
pulang dahulu, tentunya tak akan terjadi hal seperti itu."
"Namanya saja sudah suratan takdir," selak gadis berpakaian coklat.
"Bagaimanapun juga, kalau yang kuasa menghendaki, kita tak bisa lepas."
"Tapi nampaknya itu bukan kehendak Hyang Widi, Serani. Hyang Widi tak akan
setega itu, melepaskan nyawa manusia dengan menghancurkan raganya,"
bantah Wirani tak setuju dengan pendapat temannya yang mengatakan kematian
Watiri karena sudah kehendak Hyang Widi. "Bukankah kita diciptakan
untuk berusaha?"
"Ya ya ya, kau benar, Wirani. Ah, sudahlah! Jadi merinding bulu kudukku," tukas
Serani berusaha mengakhiri pembicaraan mereka terhadap Watiri.
Ketiga temannya tertawa, melihat Serani takut.
Namun keempatnya menurut diam. Mereka pun terus berjalan. Kini mereka telah
semakin dekat dengan telaga.
Sambil bercanda ria, keempat gadis itu segera menceburkan di ke telaga. Pecahlah
suara tawa mereka. Bermain siram-siraman sambil menikmati hangatnya air telaga
yang bening itu.
Sementara mentari sore mengawasi gadis-gadis cantik itu bahkan menjilati kulit
tubuh-tubuh mulus itu. Mereka tak mempedulikan keadaan di sekitar telaga yang
tampak sunyi. Mereka tak tahu kalau dari balik semak-semak di sekitar telaga
ternyata ada sepasang mata durjana tengah mengawasi. Sepasang mata merah, karena
menahan nafsu yang bergejolak di hatinya.
"Hm, sangat menggairahkan anak Ki Lurah itu,"
gumam pemilik sepasang mata merah membara
sambil terus memandangi tubuh Wirani yang mulus dan menggiurkan.
"Aha, rupanya ada buaya yang mengintai gadis-gadis mandi!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang cukup mengejut-kan pemilik sepasang mata merah
itu. Seketika sesosok tubuh melesat meninggalkan semak-semak di tepian telaga.
"Aaa...!"
Bukan hanya lelaki bertubuh tinggi besar yang kaget, tetapi keempat gadis yang
tengah bersendau gurau di telaga pun terperanjat. Mereka tak
menyangka sejak tadi ada yang mengawasi.
"Tolong...! Tolooong...!" teriak keempat gadis itu.
"Hai, jangan lari!" teriak Pendekar Gila sambil melesat cepat memburu sesosok
tubuh tinggi besar berpakaian abu-abu.
*** Pendekar Gila menduga orang bertubuh tinggi besar dan berpakaian abu-abu itu
pasti punya maksud jahat terhadap gadis-gadis yang sedang mandi. Itulah sebabnya
pendekar muda itu terus mengejarnya.
"Aha, mau lari ke mana kau, Buaya!?" teriak Pendekar Gila sambil terus mengejar
sosok tinggi besar berpakaian abu-abu yang terus melesat meninggalkan telaga.
Kejar-mengejar antara Pendekar Gila dengan lelaki tinggi besar berpakaian abu-
abu pun terus berlangsung. Sena hampir saja mampu mencapai lelaki itu. Namun
tiba-tiba lelaki berambut putin terurai panjang itu melemparkan sesuatu dari
tangannya. Wusss! Glaaar...! Ledakan keras terdengar, disusul kepulan asap tebal berwarna hijau. Melihat asap
tebal itu mengepung dirinya, Pendekar Gila terkejut. Dengan gerakan cepat
tubuhnya melompat menghindar dari sergapan asap beracun itu. Namun ketika
terbebas dari kepungan asap, Pendekar Gila sudah tak melihat lagi lelaki
berpakaian abu-abu yang dikejarnya.
"Ah, tolol sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila dengan mulut cengengesan sambil
menggaruk-garuk
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari ke mana
lelaki berbadan tinggi besar lari. Namun tetap tak ditemukannya lelaki berambut
putih panjang tadi.
Dipasangnya mata dan telinga dengan sikap waspada penuh. Dipusatkan seluruh
kemampuan untuk mengawasi tempat itu. Namun ternyata tak ada suara apapun,
kecuali desau angin menerpa dedaunan dan beberapa kicau burung pulang ke
sarangnya. "Aha, kurasa ada baiknya aku menyelidiki di dalam hutan ini. Siapa tahu ada yang
mencurigakan,"
pikir Sena. Kakinya segera melangkah masuk ke hutan. Mata dan telinganya
dipasang tajam-tajam dan waspada.
Swing! Tiba-tiba, sebuah belati kecil melesat kencang ke arah kepalanya.
"Aits!" dengan cepat Pendekar Gila memiringkan tubuh ke samping kiri,
mengelakkan sambaran pisau itu. Sehingga benda itu hanya beberapa jari melesat
di samping kanan kepalanya.
Jrabs! Pisau itu menancap di batang pohon tak jauh dari tempat Pendekar Gila.
"Edan! Hi hi hi...! Rupanya kau mau main-main, Setan Belang!" teriak Pendekar
Gila seraya melesat ke tempat asal pisau itu. Tubuhnya melesat cepat.
Namun baru beberapa langkah dia berlari, seketika langkahnya terhenti. Di
hadapannya berdiri dengan garang sesosok serigala hitam bertubuh sangat besar.
Serigala itu luar biasa besarnya. Matanya yang merah kehitaman mencorong tajam
memperlihatkan kebuasan.
"Auuu...! Grrr...! Aaauuung...!"
Pendekar Gila kaget dan keheranan melihat
kehadiran serigala besar yang secara tiba-tiba.
Dengan kening berkerut dan mata terus mengawasi makhluk aneh itu, Pendekar Gila
melangkah mundur beberapa tindak. Hatinya kembali tersentak kaget ketika
serigala hitam itu mengeluarkan suara keras menggelegar dan memekakkan telinga.
Tampak gigi-giginya yang runcing ketika moncongnya terbuka.
"Aauuu...! Grrr..! Aaauuu...!"
"Aha rupanya kau hendak main-main denganku, Raja Hutan" Hi hi hi...!" Pendekar
Gila cekikikan dengan kaki masih melangkah mundur. Matanya masih menatap tajam
kepada serigala itu. Binatang buas itu terus membuka mulutnya yang mengeluarkan
cairan bening, lidahnya menjulur-julur seolah-olah menjanjikan kematian bagi
siapa pun yang berani melawannya.
Merasa mendapat tantangan dari Pendekar Gila, binatang itu tampak kian marah.
Kepalanya yang besar digetar-getarkan, hingga air liur dari mulutnya terciprat
ke rerumputan. Kemudian, dengan cepat tiba-tiba serigala hitam itu melompat
menyerang Pendekar Gila. Kedua kaki depan, dengan kuku-kukunya yang tajam siap
menerkam kepala pemuda itu. Dan moncongnya pun membuka lebar, memperlihatkan
gigi-giginya yang runcing.
"Aits! Hea...!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke
samping. Dilebarkan kaki kirinya, sementara kaki kanannya ditekuk. Lalu dengan
cepat, tangan kanannya menghantam perut serigala yang melompat di samping
tubuhnya. "Hih...!"
Begk! "Auuu! Grrr...!"
Serigala besar itu menggeram sengit. Tubuhnya terpental ke depan, karena terkena
hantaman tangan Pendekar Gila. Setelah bergulingan, dengan penuh amarah serigala
besar itu kembali berdiri siap menerkam. Mulutnya dibuka, menunjukkan gigi-
giginya yang runcing. Sedang sepasang matanya yang merah kehitaman menyorot
tajam mangsanya.
"Auuu! Grrr...! Aauuu...!"
"Aha, rupanya kau kuat juga, Kawan! Hi hi hi...!
Baiklah kalau kau mau main-main denganku,"
gumam Sena sambil cengengsan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dengan cepat
Pendekar Gila membuka jurusnya yang bernama 'Kera Gila Menari Mencengkeram
Mangsa'. Gerak-gerik
tubuhnya seperti seekor kera gila, menari-nari dengan kedua tangan bergerak
mencengkeram dan
mencakar. "Auuu! Grrr..! Aaauuu...!"
Dengan penuh amarah, serigala besar itu kembali melompat. Namun dengan gerakan
aneh, Pendekar Gila segera meliukkan tubuh. Tingkah lakunya persis seperti
seekor kera. "Hi hi hi...! Nguk.... Nguk" Sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk
pantat, Pendekar Gila mengejek lawannya. Hal itu membuat serigala besar itu
bertambah marah. Dengan menggeram keras, binatang itu melompat hendak
mencengkeram Pendekar Gila.
"Auuu...! Grrr! Auuu...!"
Wrrr! "Aits! Hi hi hi...! Tak kena, Binatang Tolol!" ejek Pendekar Gila dengan tingkah
lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan, tangannya bergerak-gerak
seperti seekor kera yang kegirangan dengan kaki berjingkrakan.
Serigala besar itu tampaknya sangat marah
melihat tingkah laku Pendekar Gila. Sepertinya binatang buas itu, ada yang
memerintah atau dalam pengaruh sihir. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan
gerak-geriknya yang mirip makhluk berakal. Binatang itu seakan menaruh dendam
dan rasa benci terhadap Pendekar Gila.
"Aha, kurasa ada yang menyuruh kau, Binatang Tolol! Baiklah, aku akan
meladenimu," tantang Pendekar Gila sambil membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat'. "Grrr...! Auuu...!"
Binatang besar itu melompat dengan cakaran kuku-kukunya yang tajam. Namun dengan
cepat, Pendekar Gila melompat pula ke samping. Tangannya bergerak menepuk ke
kepala binatang besar dan ganas itu.
"Heaaa!"
Plak! "Auuu...! Grrr!"
Serigala itu seketika melolong keras kesakitan.
Tubuhnya terpental ke belakang. Kepalanya hancur, terhantam telapak tangan
Pendekar Gila. Binatang itu terus melayang, dan baru berhenti ketika menghantam
pohon, dan jaruh dengan menimbulkan suara gedebum yang sangat keras.
Buggg! Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Kepalanya digeleng-gelengkan. Seakan dirinya merasa tak tega untuk membunuh
binatang itu. Namun jika tak dibunuh, dialah yang menjadi mangsa binatang buas itu.
"Ah, kasihan sekali kau, Binatang malang!
Tuanmu memang jahat, menyuruhmu menghantar nyawa. Ah ah ah, tuanmu itu pengecut
sekali," gumam Sena. Matanya menatap bangkai serigala yang tubuhnya hancur. Kemudian
dengan menggeleng kepala, Pendekar Gila segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Mentari telah tenggelam di bumi sebelah barat, menjadikan keadaan di sekitar
Desa Karang Bale gelap. Di telaga yang tadi tampak beberapa gadis-gadis Desa
Karang Bale, kini telah sepi. Hanya air telaga yang masih mengerucuk dari
pancuran. *** 5 Malam terus merayap dengan kegelapan yang
menyelimuti bumi. Suasana Desa Karang Bale nampak sepi. Pintu rumah-rumah
penduduk sudah tertutup. Warga Desa Karang Bale dicekam rasa takut. Terutama
mereka yang memiliki anak perawan.
Mereka takut kalau anaknya diculik seperti yang terjadi pada Watiri, anak Ki
Pardi. Namun meski rumah-rumah penduduk nampak sepi, di pos-pos ronda, beberapa
warga desa nampak melakukan penjagaan.
Setiap gardu, nampak lima orang berjaga-jaga.
Kegiatan itu memang diperintah kepala desa mereka, agar tak terulang kembali
kejadian yang menimpa keluarga Ki Pardi. Bahkan anak-anak gadis, sejak sore
telah dilarang keluar dari rumah.
Malam semakin larut, dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang. Rasa kantuk
pun mulai menyerang para petugas ronda. Namun mereka tetap berusaha untuk melek,
agar tidak tertidur dalam nienjalankan ronda.
"Huah, kenapa mataku ngantuk sekali?" keluh Walang Keket.
"Ya, aku pun merasakan hal itu," sambung
Walang Kadut. Kelima Walang Sakti seketika merasakan hawa kantuk yang tak terkira. Namun salah
seorang di antara mereka, ada yang nampaknya berpura-pura mengantuk. Walang
Kerik memang berpura-pura mengantuk.
Sebenarnya lelaki itu belum mengantuk sama sekali, nampaknya ada sesuatu yang
hendak direncanakannya.
Satu persatu, keempat saudara seperguruannya pun tertidur lelap tak tahan
diserang kantuk. Walang Kerik tampak tersenyum penuh kemenangan. Dengan tenang,
dirinya melangkah meninggalkan gardu tempat keempat saudara seperguruannya
tertidur. "Pendekar Gila, kini terimalah pembalasanku!"
dengus Walang Kerik penuh dendam. Rupanya
kejadian siang tadi, masih terus melekat di dalam dadanya. Dirinya merasa
dipermalukan di depan orang oleh Pendekar Gila.
Dengan langkah mantap, Walang Kerik menuju sebuah rumah seorang saudagar.
Matanya memandang ke sekelilingnya, berusaha meyakinkan diri kalau malam itu tak seorang
pun yang melihat perbuatannya.
Sesaat Walang Kerik menyelinap di semak-
semak. Matanya terus memperhatikan rumah
Juragan Kanca. Kemudian setelah tak nampak tanda-tanda adanya tanggapan pemilik
rumah, Walang Kerik keluar. Kemudian dengan menggunakan golok, dicongkelnya
pintu rumah Juragan Kanca.
Ternyata tadi Walang Kerik melemparkan tanah yang telah dijampi-jampi dengan
ilmu sirep 'Siti Silem'
yang membuat penghuni rumah terlelap dalam tidurnya. Dengan bebas, Walang Kerik
pun segera bergerak menggasak harta milik Juragan Kanca tanpa ada seorang pun
yang memergoki.
*** Sementara itu, sesosok bayangan tinggi besar berkelebat cepat dengan tenangnya.
Bayangan abu-abu itu, sepertinya tak mengalami kesulitan sedikit pun untuk masuk
ke Desa Karang Bale. Bahkan sambil tertawa terbahak-bahak terus melangkah menuju
sebuah rumah penduduk.
"Hua ha ha...! Orang-orang bodoh! Mereka kira Datuk Raja Beracun tak akan mampu
masuk ke Desa Karang Bale," ujar sosok bayangan itu yang ternyata Datuk Raja
Beracun. Langkah kakinya lebar-lebar, menuju rumah Ki Palongan.
Desa Karang Bale bagaikan tertidur. Tak ada seorang pun yang masih terjaga.
Semua warga desa terkena ajian sirep yang dilancarkan Datuk Raja Beracun. Bahkan
Walang Kerik yang semula hendak bermaksud jahat terhadap Pendekar Gila, kini
nampak tertidur pulas di bawah sebatang pohon asam yang tumbuh di tepi jalan.
Datuk Raja Beracun terus melangkah menyelusuri jalanan Desa Karang Bale dengan
aman. Di bibirnya tersungging senyum, ketika melihat seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun dengan pakaian seorang pesilat berwarna biru
mengkilap tertidur pulas. Di sampingnya tergeletak barang-barang berharga.
"Maling tolol!" gumam Datuk Raja Beracun. "Hm, tapi kurasa dia orang Desa Karang
Bale juga. Biar lebih baik nanti kubawa saja."
Setelah memperhatikan Walang Kerik sesaat, lelaki bertubuh tinggi besar itu
meneruskan langkahnya. Tak lama kemudian, Datuk Raja Beracun telah sampai di
rumah yang dituju. Perlahan Datuk Raja Beracun mengintai lewat celah bilik rumah
itu. Bibirnya tersenyum, menyaksikan seorang gadis
tertidur dengan pakaian tersingkap. Sehingga pahanya nampak terbuka, mengundang
rangsang kelelakiannya.
"Hm," gumam Datuk Raja Beracun tersenyum.
Perlahan-lahan kuku jarinya yang panjang, men-congkel daun jendela kamar itu.
Kemudian dengan tenang, Datuk Raja Beracun melangkahi jendela kamar Serani.
Sementara gadis itu masih tertidur dengan pulas. Pahanya yang terbuka,
menjadikan mata Datuk Raja Beracun yang merah melotot tak berkedip. Beberapa
kali lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu harus menelan ludah.
Dengan senyum terulas di bibir, perlahan-lahan Datuk Raja Beracun mengangkat
tubuh Serani. Kemudian dengan cepat, melesat meninggalkan rumah Ki Palongan. Namun tiba-
tiba.... "Aha, rupanya kau iblisnya!" terdengar suara sapaan keras dari arah barat.
Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular yang
tingkah lakunya seperti orang gila. Mulutnya cengengesan, sedangkan tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Datuk Raja Beracun tersentak kaget. Matanya yang merah, menatap dengan tajam
pada Pendekar Gila. "Bocah Gila, kau selalu ikut campur urusanku!"
bentak Datuk Raja Beracun geram. Gigi-giginya saling bergemeratukan menahan
marah. Matanya yang merah membara, tampak semakin garang bagaikan mengandung
bara api. "Hi hi hi..., lucu sekali! Bagaimana aku tak ikut campur, Iblis Cabul"! Tentunya
kaulah yang telah membunuh salah seorang gadis desa ini serta memperkosanya,"
tukas Pendekar Gila dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Apa urusanmu!" bentak Datuk Raja Beracun sengit.
"Aha ha ha, bukankah sudah kukatakan, aku tak suka dengan perbuatanmu!" balas
Sena tak mau kalah.
"Hm, kalau begitu kau harus mampus! Hea...!"
dengan penuh amarah, Datuk Raja Beracun segera menyerang Pendekar Gila. Dirinya
menyangka kalau Pendekar Gila, tak ubahnya orang-orang gila yang sering
dilihatnya. Itu sebabnya Datuk Raja Beracun menyerang dengan tak sepenuhnya.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan
cepat Pendekar Gila bergerak menghindar. Diguna-kannya jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, kemudian setelah lepas dari
serangan lawan, Pendekar Gila menepuk-kan tangannya.
"Hats! He...!"
Wrt! "Heh"!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget dengan mata semakin melebar. Kumisnya
yang tebal, tampak naik turun karena keheranan bercampur geram menyaksikan
kejadian aneh. Gerakan liukan dan tepukan yang dilakukan pemuda gila itu,
kelihatan pelan dan lemah. Namun kalau saja Datuk Raja Beracun tak segera
melompat, niscaya dadanya akan jebol terkena tepukan itu.
"Hm, rupanya pemuda ini bukan sembarangan
gila. Dari gerak-geriknya, mengingatkan aku pada seorang pendekar yang puluhan
tahun pernah malang-melintang tak terkalahkan. Hm, ada
hubungan apa dia dengan Pendekar Gila dari Goa Setan itu?" tanya Datuk Raja
Beracun dalam hati
dengan tatapan mata tajam pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Bocah Gila, siapa gurumu!" bentak Datuk Raja Beracun.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Mengapa kau mesti bertanya tentang guruku"
Hm, kalau guruku yang melihat perbuatanmu, maka guruku tak akan mengampunimu!"
balas Pendekar Gila membentak keras. Namun tingkahnya masih tetap gila.
Cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sombong! Kau kira gurumu akan berani meng-hadapiku!" dengus Datuk Raja Beracun
pongah. "Tak ada yang berani menghadapi Datuk Raja Beracun di rimba persilatan!"
"Aha, kurasa kaulah orang yang paling sombong, Datuk Iblis! Baiklah, kukatakan
padamu bahwa aku murid Singo Edan atau cucu murid Pendekar Gila dari Goa Setan!"
ujar Sena tegas. Hal itu membuat mata Datuk Raja Beracun membelalak kaget.
Perlahan kakinya melangkah mundur beberapa tindak, setelah mendengar siapa
sebenarnya pemuda gila di
hadapannya. "Heh"! Kau..."!"
"Hua ha ha...! Kurasa kau harus segera sadar, Datuk Iblis! Lepaskan gadis itu,
lalu ikut aku!" ajak Pendekar Gila.
"Cuih! Walau kau cucu murid Pendekar Gila dari Goa Setan, aku Datuk Raja Beracun
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak akan mundur! Hea...!"
Dengan masih memanggul tubuh Serani, Datuk Raja Beracun menyerang Pendekar Gila.
Tangannya yang berkuku panjang hitam mengandung racun, bergerak mencakar dan
menusuk dada serta wajah Pendekar Gila.
Wrt! "Uts! Aha, kau memang manusia jorok, Datuk Iblis! Sampai kuku-kuku saja tak kau
urus!" ledek Pendekar Gila dengan harapan Datuk Raja Beracun akan marah sekali,
sehingga dia akan terus mengulur waktu sampai semua warga Desa Karang Bale
terjaga. "Cuih! Jangan banyak mulut! Terimalah jurus
'Sengatan Kala'ku ini! Hea...!" meski dengan tangan satu, Datuk Raja Beracun
terus bergerak menyerang Pendekar Gila. Namun dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' Pendekar Gila terus bergerak meliuk ke sana ke mari menghindari
serangan kemarahan Datuk Raja Beracun.
"Cuih! Sayang aku tak ada waktu untukmu, Bocah Gila! Terimalah ini!" bersamaan
dengan habisnya kata-kata itu, tangan Datuk Raja Beracun melemparkan tiga buah
benda ke arah Pendekar Gila.
Wrt Wrt! Wrt! "Uts!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat dan ber-jumpalitan beberapa kali ke belakang
menghindari serangan rahasia itu itu.
Dar! Dar! Glarrr! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar. Dan seketika di sekitar tempat Pendekar
Gila berada tertutup asap merah yang pekat dan mengandung racun.
"Uh! Hea...!" Pendekar Gila segera menarik napas dalam-dalam, kemudian
diangkatnya kedua tangan ke atas. Lalu ditarik dan diletakkan di pinggang.
Kemudian dengan cepat, didorongkan kedua telapak tangan mengerahkan ajian 'Inti
Bayu' ke arah kabut
tebal yang menyelimuti sekelilingnya.
Wus! Angin kencang bergulung-gulung seketika keluar dari kedua telapak tangannya.
Dalam sekejap kabut merah beracun telah tersapu bersih. Namun kembali Pendekar
Gila tak menemukan Datuk Raja Beracun.
"Ah, setan! Dia lepas lagi!" geram Sena. Dua kali dia mengalami kegagalan
mengejar Datuk Raja Beracun. "Hi hi hi..., tolol sekali aku ini!"
Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila melangkah meninggalkan tempat itu. Namun baru saja dia
melangkah, dia bertemu dengan Ki Tunjung Melur dan Ki Lurah Sentana.
"Oh, kau rupanya, Sena. Tadi kudengar ada
pertarungan. Kaukah yang bertarung?" tanya Ki Sentana.
"Aha, aku memang bodoh, Ki. Aku tak dapat
menangkap pelakunya. Dia berhasil lolos," geram Sena. Namun mulutnya masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Hanya sorot mata yang memperlihatkan
kalau dirinya sedang kesal dan marah.
"Jadi...?" tanya Ki Tunjung Melur. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Kemudian kembali pada tingkah lakunya yang konyol. Bibirnya tersenyum-senyum,
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kalian kenal Datuk Raja Beracun?" tanya Sena.
"Datuk Raja Beracun"!" desis Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur hampir
bersamaan. Mata keduanya membelalak lebar, sepertinya kaget mendengar sebutan
itu. "Aha, benar. Apakah kalian kenal?" tanya Sena
menegaskan. "Tidak. Selama ini, kami tak pernah mendengar seorang datuk berada di desa ini,"
jawab Ki Lurah Sentana yang menjadikan Pendekar Gila nyengir dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, sulit. Bagaimanapun aku harus bisa menangkapnya. Mungkin kalau
tertangkap, kalian akan mengenalnya," ujar Sena dengan nada agak menyesal.
"Tapi kau harus hati-hati, Sena. Datuk bukanlah orang sembarangan," ujar Ki
Tunjung Melur mengingatkan.
"Aha, benar. Tetapi sehebat apa pun seorang datuk, jika melangkah di jalan
sesat, Hyang Widi tak akan merestui," ujar Sena setengah berfilsafat
"Ya ya, kau benar," sahut Ki Sentana. "Oh ya, apakah dia juga membawa gadis?"
"Benar, Ki. Gadis anak pemilik rumah itu," jawab Sena sambil menunjuk rumah
keluarga Ki Palongan.
"Hah"!"
Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur terbelalak.
"Ayo kita ke sana!" ajak Ki Sentana.
Mereka pun segera berlari ke rumah Ki Palongan.
Di situ Ki Sentana menemukan bekas ledakan. Hal itu terlihat dari semburatan
tanah. Namun mereka tahu, tentunya bekas ledakan itu dilakukan Datuk Raja
Beracun untuk menghindar dari kejaran Pendekar Gila.
Malam itu pula, Desa Karang Bale gempar
dengan hilangnya Serani. Warga desa yang baru terjaga akibat ajian sirep 'Mega
Mendung' yang ditebarkan Datuk Raja Beracun, berbondong-bondong datang ke tempat
kejadian. *** Esok paginya, belum juga selesai masalah
hilangnya Serani, mereka digemparkan dengan diketemukannya Walang Kerik mencuri
di rumah Juragan Kanca. Hal itu menjadikan Ki Sentana, Ki Tunjung Melur dan
Pendekar Gila tersentak kaget.
Mereka yang mendapat laporan dari warga segera berangkat ke balai desa.
Sementara Walang Kerik telah berada di sana bersama beberapa warga yang
membawanya. Betapa gusar dan marahnya Ki Lurah Sentana, merasa nama baiknya sebagai Kepala
Desa Karang Bale dicemarkan oleh Walang Kerik.
"Kau tahu, apa akibat dari perbuatanmu, Walang Kerik"!" bentak Ki Lurah Sentana
di balai desa. Walang Kerik tidak menyahut. Dirinya hanya menundukkan kepala, tak berani
bertatap mata dengan Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur.
"Dengan tindakanmu, seorang gadis hilang. Dan kau sudah tahu, apa yang bakal
terjadi!" bentak Ki Tunjung Melur geram. Matanya menatap tajam pada Walang Kerik
yang masih menunduk, tak berani beradu pandang.
"Memalukan!" dengus Ki Lurah Sentana.
"Maafkan saya, Ki. Sebenarnya bukan maksud saya melakukan hal tercela itu," ujar
Walang Kerik penuh rasa sesal. Kepalanya masih menunduk dalam.
"Hm, apa sebenarnya alasanmu melakukan
tindakan tercela itu, Walang Kerik"!" bentak Ki Tunjung Melur ingin tahu,
mengapa anak buahnya tiba-tiba berlaku pengecut dan melakukan tindakan tak
terpuji. Lama Walang Kerik tak menyahuti pertanyaan Ki Tunjung Melur. Perlahan-lahan
wajahnya ditengadahkan, kemudian melirik wajah Pendekar Gila yang berdiri di
samping Ki Sentana.
"Saya..., saya ingin mencelakakan Pendekar Gila.
Dengan mencuri, lalu mengatakan bahwa Pendekar Gila yang melakukannya...," jawab
Walang Kerik yang membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur serta keempat saudara
seperguruannya terbelalak kaget.
Bahkan Walang Kejer dengan mendengus,
melangkah maju mendekati adik seperguruannya itu.
Tangannya meraba gagang golok.
"Daripada hidup, lebih baik kau mati saja, Walang Kerik! Kurasa kau pun telah
meracuni kami semalam, sehingga kami tertidur!"
Srt! "Tunggu!" tiba-tiba Pendekar Gila berseru, menghentikan apa yang hendak
dilakukan Walang Kejer. "Kurasa tak baik jika kita saling bantai.
Bukankah kita sedang menghadapi masalah yang cukup berat?"
"Tapi dia benar-benar telah membuat muka kami tercoreng, Tuan Pendekar," kilah
Walang Kejer. "Aha, tidak juga, Kisanak. Kalau Hyang Widi mau mengampuni hambanya yang
bersalah, mengapa kita sebagai sesama manusia tidak?" ujar Pendekar Gila yang
menjadikan semua orang yang ada di balai desa bengong.
Mereka tak percaya kalau pemuda gila itu mampu berpikir jernih bahkan mengandung
filsafat. Seakan pemuda itu bukan pemuda gila. Mereka semua mulai sadar, bahwa
pemuda itu berilmu tinggi. Berpikiran bijaksana dan sopan sikapnya. Meskipun
kadangkala tampak menjengkelkan.
Pendekar Gila melangkah mendekati Walang
Kerik. Dengan bibir masih cengengesan, dipegangnya pundak Walang Kerik.
"Aha, kau tak bersalah, Kisanak. Hawa nafsu telah mempengaruhimu," tutur Sena
dengan perasaan penuh persahabatan. Hal itu menjadikan Walang Kerik terkesima, tak
percaya kalau Pendekar Gila akan sebaik itu.
"Kau mau memaafkan aku, Tuan Pendekar?"
tanya Walang Kerik.
"Aha, mengapa tidak" Sebagai hamba Hyang
Widi, sepantasnyalah kita saling memaafkan," sahut Sena seraya menepuk-nepuk
pundak Walang Kerik.
Di bibirnya masih mengurai senyum, berusaha meyakinkan Walang Kerik.
Dengan malu-malu, Walang Kerik menjura hormat pada Pendekar Gila.
"Kau sungguh baik, Tuan. Betapa kerdilnya aku ini, yang tak mau melihat
kedamaian di hadapanku,"
desah Walang Kerik sambil memeluk Pendekar Gila.
"Sekiranya aku harus dihukum, aku siap."
"Aha, tak perlu itu terjadi. Bukankah milik Juragan Kanca masih utuh?" tanya
Sena. "Masih. Memang aku tak bermaksud mencuri,"
jawab Walang Kerik.
"Aha, kalau begitu tak ada masalah. Kini tinggal meminta maaf pada Juragan
Kanca." Nampaknya Juragan Kanca yang berada di balai desa, memaafkan tindakan Walang
Kerik. Sehingga Walang Kerik pun dibebaskan.
"Kita kini menghadapi masalah yang rumit. Maka itu, kita harus menggalang
persatuan dan berwaspada!" kata Ki Lurah Sentana menegaskan.
Pendekar Gila memang telah tahu siapa pelakunya,
tapi di mana tempatnya kita belum tahu."
"Kita cari saja!" seru warga desa.
"Ke mana...?" tanya Ki Tunjung Melur.
Semua warga diam. Mereka tak tahu, harus dari mana mencari Datuk Raja Beracun.
Sedangkan kalau ketemu pun, mereka tak mungkin dapat mengalahkan Datuk Raja
Beracun. Tentunya Datuk itu bergelar Raja Beracun, karena memiliki ilmu racun
yang sangat hebat
"Aha, biarlah aku yang akan berusaha mencarinya!" Sena mengusulkan. "Kurasa,
kini tinggal bagaimana memperkuat keamanan Desa Karang Bale ini. "
"Baiklah kalau begitu. Memang kita harus bisa secepatnya menghentikan sepak
terjang Datuk Raja Beracun," sambut Ki Lurah Sentana.
"Aha, kalau begitu aku mohon pamit."
"Hati-hati, Sena! Kami berdoa untukmu. Semoga kau selalu dalam lindungan Hyang
Widi, sehingga kita bisa bertemu lagi," ucap Ki Tunjung Melur.
Pendekar Gila tampak menjura hormat pada
kepala desa dan seluruh warga yang ada di balai desa itu kemudian melangkah
keluar. Setelah sampai di halaman balai desa, tiba-tiba secepat kilat Pendekar
Gila melesat meninggalkan tempat itu.
Mata orang-orang yang berada di balai desa terbelalak kaget menyaksikan
kepergian pemuda itu.
Mereka menggeleng-geleng kepala karena kagum.
Sebagian dari mereka bahkan ada yang tak sempat melihat gerakan Pendekar Gila.
"Hah! Gila! Manusia apa dia?" gumam yang lain.
"Wuah, dia manusia atau siluman?" tanya yang lain.
"Malaikat kali tuh," sahut rekannya.
Semua benar-benar terperangah, menyaksikan
bagaimana pemuda bertingkah gila itu melesat bagaikan angin. Sehingga dalam
sekejap saja telah menghilang. Bukan hanya para warga, tetapi Ki Lurah Sentana
dan Ki Tunjung Melur serta Lima Walang Sakti turut menggeleng-gelengkan kepala.
"Benar-benar bukan pendekar sembarangan,"
gumam Ki Sentana dengan terkagum-kagum.
"Untung dia mau memaafkanmu, Walang Kerik.
Kalau saja dia tak mau, entah sudah menjadi apa kau," jumam Ki Tunjung Melur
seraya menarik napas dalam-dalam.
"Saudara-saudara, seperti apa yang dikatakan Pendekar Gila, kita harus
meningkatkan keamanan desa kita!" kata Ki Lurah Sentana. "Kita harus
meningkatkan kewaspadaan!"
"Setuju...!" sahut Warga.
"Kita juga harus menyelidiki orang-orang yang pantas kita curigai," kata Ki
Tunjung Melur menambahkan.
"Setuju...!" seru warga penuh semangat
*** 6 Pagi dengan sinar mataharinya yang terasa hangat, menyelimuti Desa Serotan.
Kicau burung yang riang, menambah keindahan suasana pagi. Ditingkahi pula
desiran angin yang meniup dedaunan, menghembuskan hawa sejuk.
Pagi itu, Pendekar Gila nampak sedang me-
langkah di jalan utama Desa Serotan untuk meneruskan perjalanan dalam rangka
mencari Datuk Raja Beracun. Sambil bersenandung kecil, Sena terus melangkahkan
kakinya. "Ah, ke mana aku mencari datuk iblis itu?"
gumam Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dua hari
sudah dia berusaha mencari tempat persembunyian Datuk Raja Beracun. Tetapi tak
juga dapat menemukannya.
Padahal hampir semua bukit dan pegunungan telah didaki. Beberapa desa telah
dilalui sambil bertanya pada kepala desa mengenai Datuk Raja Beracun.
Namun anehnya semua tak ada yang mengenai.
Pagi ini, dia telah sampai di Desa Serotan, desa kelima yang menjadi
persinggahannya, selama mencari Datuk Raja Beracun. Kalau di Desa Serotan dia
tak menemukan persembunyian Datuk Raja Beracun, entah di mana lagi harus
mencari. Pendekar Gila terus melangkah menyelusuri
jalanan yang membelah Desa Serotan, ketika tiba-tiba matanya melihat orang-orang
berkerumun. Nampaknya ada sesuatu yang menjadi perhatian orang-orang itu.
"Heh, ada apa di sana?" gumam Sena dengan
kening mengerut. Matanya menyipit, memperhatikan kerumunan orang yang tampaknya
tengah melihat sesuatu. Hatinya tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang
terjadi. Pendekar Gila bergegas melangkah mendekati kerumunan orang di bawah sebatang
pohon ara di depan sebuah kedai.
"Aha, Kisanak. Kalau boleh kutahu, ada apa gerangan?" tanya Sena pada seorang
lelaki muda berpakaian petani yang baru saja keluar dari kerumunan.
"Seorang gadis diketemukan mati dengan
keadaan mengerikan," sahut lelaki muda petani dengan wajah meringis, setelah
melihat keadaan gadis yang disebutnya.
"Maksud Kisanak?" tanya Sena ingin tahu.
"Ada seseorang yang telah menculik gadis desa ini, lalu menaruh mayat seorang
gadis dari desa lain yang keadaannya sangat mengerikan," tutur lelaki muda
berusia sekitar tiga puluh tahun itu dengan tubuh bergidik.
"Aha, terima kasih."
Setelah mengangguk, Pendekar Gila pun segera menuju tempat kerumunan. Dengan
menyeruak di sela-sela kerumunan orang, dia berusaha
membuktikan sendiri.
"Hah"!"
Mata Pendekar Gila membeliak dengan mulut
ternganga lebar, setelah mengetahui siapa mayat itu.
Meskipun dadanya berantakan dan kepalanya
terpisah dari leher, Pendekar Gila masih mampu mengenalinya. Mayat itu ternyata
gadis Desa Karang Bale yang tak lain Serani.
"Ah ah ah, benar-benar biadab! Iblis keparat..!"
Sena memaki-maki sendiri. Hal itu menarik perhatian orang-orang yang tengah
ramai melihat mayatnya.
Orang-orang Desa Serotan mengerutkan kening, menyaksikan tingkah laku aneh
pemuda itu. "Pemuda gila, mau apa dia?" sungut seorang lelaki berbadan tinggi tegap dengan
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muka garang. Sepertinya lelaki berusia sekitar lima puluh tahun ini, tak suka dengan tutur
kata Pendekar Gila dan sikapnya.
"Bocah gila, pergi sana!" bentak teman lelaki tinggi tegap itu mengusir Pendekar
Gila yang justru tertawa cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, galak sekali kau, Ki," ujar Pendekar Gila masih cengengesan.
"Huh, kau tak ada gunanya!"
Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan tubuh gempal serta kepala
botak itu berusaha mendorong tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena
menggeser kakinya melebar ke samping. Sehingga dorongan tangan orang itu hanya
mengenai angin.
Lelaki berpakaian kuning itu terhuyung hampir jatuh karena dorongannya tak
mengenai sasaran.
Betapa marahnya dia karena melihat pemuda itu mampu menghindari dorongannya.
"Kurang ajar! Rupanya kau bukan orang gila sembarangan!" bentak lelaki tinggi
besar marah, melihat pemuda gila itu mampu mempermainkan temannya. "Rupanya kau
datang ke Desa Serotan mau membuat keributan!"
"Aha, kurasa sebaliknya, Ki. Kalian berdualah yang hendak mengail di air keruh,"
tukas Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat kemarahan kedua lelaki berwajah jarang itu semakin
memuncak. "Kurang ajar! Rupanya kau harus berkenalan dulu dengan Sepasang Banteng Kuning!"
dengus lelaki tinggi tegap beralis tebal.
"Aha, cocok sekali nama kalian banteng. Ah ah ah, tak tahunya kalian memang
seperti banteng dungu," ejek Sena sengaja memancing kemarahan kedua orang yang
mengaku sebagai Sepasang
Banteng Kuning. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah Gila!" geram lelaki berbadan
gempal dan agak pendek. Matanya membelalak marah. Sambil
mendengus keras, giginya saling beradu karena menahan amarah.
"Aha, kurasa justru kalian yang perlu dihajar,"
sahut Sena seraya tertawa cekikikan, yang membuat Sepasang Banteng Kuning
bertambah marah.
"Bedebah! Kuremukkan kepalamu, Bocah Gila!"
Lelaki tinggi besar itu melesat menyerang dengan menghantamkan pukulan yang
dinamakan 'Banteng Menanduk'.
"Remuk kepalamu! Heaaa...!"
"Uts! Hi hi hi...! Belum, Banteng Tolol!" sahut Sena sambil berkelit dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
diikuti gerakan kedua kakinya yang kadang melebar, menekuk, atau menyilang
dengan tubuh agak
merendah. Sementara tangannya tak tinggal diam, melakukan tamparan dengan
telapak tangan ke dada lawan.
Wrt! "Heh"!"
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget bukan kepalang menghadapi
serangan aneh yang dilakukan lawannya. Matanya terbelalak keheranan seakan tak
percaya pada gerakan lawan yang baru saja dilihatnya. Gerakan meliuk dan menepuk
yang dilakukan Pendekar Gila, nampaknya sangat pelan dan lemah. Namun pukulan-
pukulan itu ternyata mengandung kekuatan dahsyat yang berbahaya.
"Ilmu gila!" seru lelaki berbadan gempal yang juga terkejut bukan main
menyaksikan jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Gila. Belum pernah ditemukannya
jurus aneh seperti yang sekarang disaksikan.
"Celaka! Dia bukan orang sembarangan, Wungul,"
ujar lelaki tinggi besar pada temannya.
"Ya. Gerakannya nampak aneh. Sepintas
kelihatan pelan dan tak bertenaga, Pulut," sahut Wungul. "Kita harus berhati-
hati! Siapa tahu dia yang dimaksud oleh datuk."
"Maksudmu Pendekar Gila?" tanya Pulut.
"Ya. Kulihat dari tadi gerak-geraiknya sama dengan yang dikatakan datuk," jawab
Wungul berbisik. Sedangkan matanya masih memperhatikan gerak-gerik Pendekar Gila
yang konyol, sepertinya hendak menyelidiki pemuda itu.
"Kau benar, Wungul. Hm, kita harus segera pergi.
Pemuda itu menurut datuk, bukan lawan kita," bisik Pulut mengingatkan temannya.
"Tapi..."
"Ayolah!" ajak Pulut.
"Celaka kalau kita pergi, karena pemuda gila ini tentu mengikuti kita. Bahaya,
ini tak boleh terjadi.
Datuk sudah berpesan tak seorang pun boleh tahu tempat persembunyiannya...."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Pulut
"Tak ada lain, menyingkirkannya atau kita yang tersingkir dari dunia," sahut
Wungul yang membuat Pulut menghela napas berat. Dia menyadari, menghadapi pemuda
gila itu bukan hal yang mudah.
Mungkin ilmu mereka masih jauh di bawah lawan yang masih muda belia itu.
"Itu gila!" rungut Pulut. "Ilmu kita tak sebanding dengan ilmunya!"
"Tapi tak ada jalan lain."
"Itu sama saja kita bunuh diri," Pulut masih bersungut-sungut, tak setuju dengan
apa yang diusulkan temannya. Bagaimanapun dia merasa kalau ilmu mereka tak
berarti jika dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Pendekar Gila. Jangankan
mereka, Datuk Raja Beracun pun mungkin harus berpikir tujuh kali untuk
menghadapi pemuda gila ini.
"Ya, kau memang benar. Tapi tak ada cara lain."
"Bodoh! Pakai otakmu, Wungul! Lebih baik kita pergi ke mana saja, asal pemuda
ini tak mengejar kita. Meskipun mengejar, dia tak akan tahu di mana datuk
berada," kata Pulut.
"Baiklah. Ayo kita pergi!" ajak Wungul.
Tanpa menghiraukan bagaimana tanggapan
orang-orang yang ada di tempat itu, Wungul dan Pulut segera melesat kabur
meninggalkan Pendekar Gila.
"Aha, kedua orang itu sangat mencurigakan,"
gumam Sena. "Kudengar tadi mereka menyebut datuk. Hm, kurasa Datuk Raja Beracun
yang disebutnya."
Pendekar Gila yang tadi menggunakan ajian
'Penyadap Rungu', tahu apa yang mereka bisikkan.
Namun mulutnya sejak tadi hanya cengengesan, berpura-pura tak tahu apa yang
mereka bicarakan.
"Aha, aku harus mengejar mereka," gumam Sena, kemudian secepat kilat tubuhnya
melesat meninggalkan Desa Serotan menuju selatan, arah yang dituju Sepasang Banteng
Kuning. *** Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap saja Pendekar Gila dapat memburu
kedua orang suruhan Datuk Raja Beracun. Bahkan mampu mendahului di depan mereka.
Sepasang Banteng Kuning terus berlari. Namun tiba-tiba keduanya tersentak dan
berhenti, ketika di hadapan mereka telah berdiri Pendekar Gila. Pemuda
berpakaian rompi dari kulit ular itu berdiri membelakangi Sepasang Banteng
Kuning. "Heh"!"
"Hah..."!"
Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget dan saling pandang. Keduanya sungguh tak
mengira, kalau Pendekar Gila telah sampai di tempat itu.
Padahal Hutan Barok telah jauh dari Desa Serotan.
Bagaimana mungkin pemuda gila ini tahu-tahu telah berada di Hutan Barok" Pikir
keduanya keheranan.
Padahal mereka telah mengerahkan tenaga dalam-nya untuk berlari secepat mungkin.
"Hua ha ha...! Selamat bertemu kembali,
Kisanak!" sapa Pendekar Gila sambil membalikkan tubuh dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Mulutnya cengengesan, semakin membuat Sepasang Banteng Kuning membelalakkan
mata. "Ah"!"
"Uh..."!"
"Aha, mengapa wajah kalian pucat" Apa kalian
sedang sakit" Ah ah ah, kasihan...!" seloroh Pendekar Gila sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Sepasang Banteng Kuning tampak semakin
tegang menghadapi Pendekar Gila. Keduanya tahu ilmu yang dimiliki pemuda itu
jauh lebih tinggi dari mereka. dari ilmu meringankan tubuh yang
dikerahkan untuk mengejar, kedua lelaki berpakaian serba kuning itu dapat
mengetahui kehebatan lawan.
Betapa tidak! Mereka tak melihat pemuda itu mengejar. Namun tiba-tiba saja telah
menghadang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Wungul?" tanya Pulut berbisik.
"Tak ada jalan lain," sahut Wungul dengan suara mendesis.
"Kita lawan dia?" tanya Pulut memasukan.
"Ya! Tapi kita harus memanggil teman-teman kita.
Yang jelas kita tak akan mampu menghadapinya,"
usul Wungul. Kemudian tiba-tiba Wungul mengeluarkan suara mirip lolongan
serigala. Begitu juga dengan Pulut.
"Auuu..!"
"Auuu...!"
Pendekar Gila tersentak kaget mendengar
lolongan keras yang keluar dari mulut Sepasang Banteng Kuning. Namun kemudian
kembali bertingkah konyol. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Ah ah ah, baru kali ini kulihat kerbau bisa melolong seperti serigala," gumam
Pendekar Gila yang tertawa-tawa, merasa lucu melihat tingkah kedua orang itu.
"Auuu...!"
Srakkk! Dari dalam hutan, tiba-tiba muncul lima ekor
serigala besar menuju tempat Sepasang Banteng Kuning dan Pendekar Gila berada.
Pendekar Gila terkejut, tak menyangka kalau lolongan kedua lelaki tinggi besar
itu dapat mengundang lima ekor serigala besar.
"Aha, rupanya kalian bangsa binatang juga. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil
tertawa cekikikan.
"Auuu! Serang dia...!"
Tiba-tiba Pulut berseru sambil mengarahkan telunjuknya menuding Pendekar Gila.
Seketika itu pula, kelima serigala itu berlompatan mengepung Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kaki-kaki kelima serigala itu
mencakar-cakar tanah rerumputan, dengan lidah terjulur. Cairan bening pun
menetes dari mulut mereka.
"Aha, rupanya kalian binatang-binatang tolol yang mau diperdaya manusia-manusia
durjana," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan.
"Auuu! Grrr...!"
Lima serigala besar-besar itu terus mengerubungi Pendekar Gila. Mata kelima
binatang buas itu, sepertinya menaruh kebencian pada calon mangsa mereka. Namun
pemuda berompi kulit ular itu tampak masih tenang. Bahkan mulutnya terus
cengengesan. "Hi hi hi...! Nguk, nguk!" Pendekar Gila mulai meledek dengan tingkah lakunya
yang seperti kera.
"Bunuh dia...!" seru Wungul sambil menuding Pendekar Gila.
"Ghrrr...!"
"Auuu..."
Kelima binatang buas itu dengan ganas dan
penuh amarah bergerak menyerang. Namun dengan
cepat Pendekar Gila melenting ke atas, mengelakkan serangan kelima serigala itu.
Wsss! "Hop!" dengan enaknya, Pendekar Gila langsung hinggap di atas cabang sebatang
pohon. "Hi hi hi...!
Ayo, siapa yang mau mengejarku, naiklah!"
"Auuu...!"
Kelima serigala itu nampak kebingungan. Mereka tampak semakin garang. Suara
lolongan dan erangan keras terdengar bersahut-sahutan. Serigala-serigala itu
melompat-lompat dan memutari pohon tempat Pendekar Gila bertengger. Dengan lidah
terjulur dan mengeluarkan cairan, mereka meraung-raung dan melolong keras.
Seakan-akan tak sabar untuk segera memangsa Pendekar Gila.
"Pengecut! Turun kau, Pendekar Gila"!" teriak Pulut menantang.
"Aha, baiklah!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat turun.
Namun tubuhnya langsung melayang ke tempat Pulut dan Wungul. Dicabutnya Suling
Naga Sakti dan langsung dikibaskan ke kepala Sepasang Banteng Kuning.
Wrt! "Heh"!"
"Hah"!"
Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget, ketika Suling Naga Sakti dikibaskan ke
arah mereka. Dalam pandangan mereka, suling itu berbentuk seekor ular naga besar
yang menyeramkan. Mulutnya menganga lebar, siap memangsa kedua lelaki berpakaian
kuning "Wua, tidaaak...!" Sepasang Banteng Kuning menjerit ketakutan dengan mata
membeliak. Keduanya lari tunggang-langgang sambil menjerit-jerit. Hal
itu membuat Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Kelima serigala besar itu pun langsung kabur setelah kedua tuannya pergi.
"Ah ah ah..., dunia ini semakin aneh saja!"
gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala dan melangkah meninggalkan Hutan
Barok untuk mengikuti kedua orang yang diduga utusan Datuk Raja Beracun.
*** 7 Malam berselimut dengan sepi. Kegelapan
bagaikan sebuah kelambu hitam raksasa yang mengurung bumi. Lolongan anjing hutan
beberapa kali terdengar dari kejauhan, semakin mencekam suasana malam. Sementara
angin yang berhembus meniupkan hawa dingin menusuk tulang sumsum.
Di sebuah goa, yang terletak di Gunung Welirang, saat itu nampak seorang gadis
cantik terbaring di atas sebuah batu persegi berukuran lebar satu depa dengan
panjang dua depa. Tubuh gadis itu dalam keadaan setengah telanjang. Tangan dan
kakinya terbentang, dan masing-masing terikat pada sudut batu besar itu. Di atas
kepala gadis berambut panjang itu tergantung sebilah golok besar dan tajam.
Cahaya yang berasal dari api obor membuat mata golok besar itu berkilauan.
Gadis cantik itu kelihatan masih dalam keadaan pingsan. Tubuhnya masih
terbelenggu oleh totokan Datuk Raja Beracun yang menculiknya.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut gadis cantik itu.
Perlahan-lahan matanya membuka.
"Oh, di mana aku" Mengapa kedua tangan dan kakiku diikat begini?"
Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu
mengerjapkan mata, lalu memperhatikan ke
sekeliling ruangan goa itu. Matanya semakin membelalak, setelah menyadari kalau
dirinya kini berada di dalam sebuah goa yang sangat asing baginya. Goa itu sepi,
bagaikan tak ada penghuninya.
"Siapa yang membawaku ke tempat ini?" tanya gadis cantik itu mencoba mengingat-
ingat apa yang telah dialaminya. Pikirannya hanya ingat kalau sore itu dia
sedang mandi, ketika tiba-tiba seseorang menotok bagian tubuhnya. Setelah itu,
dia tak ingat apa-apa lagi. Dan kini tahu-tahu, tubuhnya telah berada di dalam
sebuah goa, yang sangat sepi dan menyeramkan.
Gadis cantik anak Desa Serotan itu masih
berusaha mengenali goa tempat dirinya berada saat ini. Namun tetap tak tahu, di
mana dia berada.
"Oh, mungkinkah Kang Salim yang membawaku
kemari?" gumam gadis itu mencoba menerka-nerka.
"Mungkin Kang Salim sengaja membawaku pergi, agar kedua orangtuaku merestui
hubungan kami."
Gadis cantik bernama Jariah itu kembali teringat akan kata-kata kekasihnya.
Salim mengatakan akan membawanya pergi, kalau kedua orangtua Jariah tak
mengizinkan hubungan mereka. Itu pula yang membuat Jariah menduga-duga kalau
Salim-lah yang telah membawanya ke goa itu. Namun, mengapa Salim mesti mengikat
tangan dan kakinya begitu rupa" Dan golok itu" Golok di atas kepalanya yang
sangat tajam itu, untuk apa..."
Bulu kuduk Jariah bergidik merasa takut
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyaksikan golok tajam di atas kepalanya. Dia tak tahu untuk apa golok itu.
Siapa sebenarnya yang membawanya ke goa yang sangat sepi dan nampak menyeramkan
itu. Belum juga Jariah mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, tiba-tiba
dari dalam goa terdengar suara gelak tawa yang membuatnya tersentak. Gadis itu
seketika memandang ke arah asal suara tawa itu. "Hua ha ha...!"
Pendekar Sadis 9 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Sepak Terjang Hui Sing 2
yang datang bersama adiknya Ki Tunjung Melur.
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur seketika memperhatikan tingkah laku
Pendekar Gila. Kening keduanya mengerut, apalagi setelah melihat Suling
Naga Sakti terselip di ikat pinggang pemuda berompi kulit ular itu. Tanpa
disadari mata Ki Lurah Sentana terbelalak. Begitu pun Ki Tunjung Melur yang
seolah telah mengenal betul jati diri pemuda gila itu. Dengan suara lirih Kepala
Desa Karang Bale itu berdesis.
"Suling Naga Sakti...!"
Kelima Walang Sakti yang belum mengetahui
siapa pemuda gila itu pun turut terperanjat mendengar nama suling milik pemuda
gila berpakaian rompi kulit ular itu.
"Kisanak, ada hubungan apa kau dengan Singo Edan, Pendekar Gila dari Goa Setan?"
tanya Ki Lurah Sentana dengan mata memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila yang
konyol. "Hi hi hi..., lucu sekali! Dunia ini memang aneh.
Atau memang sudah menjadi peradatan, kalau yang masih muda akan bertingkah ugal-
ugalan?" gumam Sena, seakan tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan kepala
desa itu. Namun nampaknya Ki Sentana memahami tutur kata Pendekar Gila. Hal itu
terlihat dari tatapan mata lelaki tua itu pada Lima Walang Sakti yang serentak
menundukkan kepala.
Mereka berlima seolah-olah merasa bersalah.
"Maafkan atas kesalahan mereka, Kisanak!
Mereka hanya menjalankan tugas, menjaga
keamanan desa ni yang baru saja tertimpa
kemalangan," ujar Ki Sentana membuka percakapan.
Suaranya begitu tenang ian berwibawa. "Kalau boleh kami tahu, ada hubungan apa
Kisanak dengan Singo Edan sahabat kami?"
"Aha, aku murid tunggalnya, Ki," jawab Sena dengan tingkah laku yang masih
konyol. Tangannya kembali manggaruk-garuk kepala.
"Heh..."!"
Tersentak Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur
setelah tahu kalau pemuda bertingkah gila itu murid Singo Edan. Pantas kalau
pemuda ini memiliki Suling Naga Sakti, senjata sakti yang sampai saat ini belum
ada tandingannya.
"Oh, maafkan kami, Tuan Pendekar! Kalau begitu, Tuanlah yang bergelar Pendekar
Gila," ujar Ki Sentana sambil menjura hormat pada Pendekar Gila.
"Ah ah ah, mengapa kau panggil aku Tuan
Pendekar" Lucu sekali! Sangat lucu...!" gumam Sena sambil cengengesan dengan
kepala menggeleng.
"Kalau kau dan guruku bersahabat, maka tak sepantasnya menyebut diriku Tuan
Pendekar. Namaku Sena Manggala."
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur, serta Lima Walang Sakti terperangah
mendengar jawaban Pendekar Gila. Pemuda gila itu ternyata memiliki budi pekerti
yang luhur. "Baiklah, Sena. Kuanggap kebetulan sekali, kau datang ke desa kami," kata Ki
Sentana sambil menarik napas dalam-dalam. Wajahnya seketika berubah muram,
membuat Pendekar Gila mengerutkan kening dan memandang keheranan.
"Aha, kalau boleh aku tahu, apa sebenarnya yang telah menimpa desa ini?" tanya
Pendekar GUa ingin tahu.
"Kalau kau berkenan, singgahlah dulu di rumahku. Nanti akan kuceritakan apa yang
telah terjadi...,"
ajak Ki Lurah Sentana.
"Aha, baiklah. Aku pun sebenarnya ingin melepas lelah," jawab Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala, yang membuat Walang Kerik
tampak jengkel. Hal itu terlihat dari tatapan mata yang sinis, penuh kebencian.
"Huh, bertingkah!" sungut Walang Kerik dalam hati. "Siapa pun kau, aku tak suka!
Hm, tunggu saja saatnya."
Pendekar Gila pun melangkah, mengikuti Ki
Sentana dan Ki Tunjung Melur meninggalkan mulut desa tempat Lima Walang Sakti
masih berdiri. *** 4 Siang itu Ki Lurah Sentana mengajak Pendekar Gila untuk bersantap di rumahnya.
Sambil menyantap makanan, kepala desa itu pun menceritakan
peristiwa yang baru saja dialami di desanya.
Diceritakan bahwa setelah hampir sepuluh tahun Ki Boleng mati di tangan guru
Pendekar Gila, peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap perawan-perawan desa
tak ada lagi. Namun tiba-tiba hari ini, Desa Karang Bale dikejutkan dengan
kematian Watiri secara mengerikan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. Mulutnya nyengir,
seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Setelah itu kembali mengunyah makanan
yang baru saja dimasukkannya ke dalam mulut.
"Aha, aneh sekali," gumam Sena dengan mulut nyengir. "Apakah kau tak mencurigai
seseorang, Ki?"
"Itulah yang sulit, Sena. Kami tak pernah
mencurigai seseorang, karena sejak dulu kami berusaha menunjukkan keramahan dan
itikad baik pada siapa pun yang datang ke desa ini," sahut Ki Sentana setengah
menyesal. Pendekar Gila sesaat terdiam. Tangan kirinya kembali menggaruk-garuk kepala.
Kemudian nampak mulutnya yang nyengir, seperti orang tolol sedang kebingungan.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Sena?" tanya Ki Tunjung Melur.
Mendengar pertanyaan itu Pendekar Gila semakin
cengengesan dengan tangan kian cepat menggaruk.
Dirinya pun sedang bingung untuk mencari jejak pertama guna memperkirakan siapa
sebenarnya pelaku dari kejadian yang dialami anak Ki Pardi.
"Huh, tolol sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila sambil menepuk-nepuk keningnya
dengan tangan kiri.
"Ah, kenapa aku bodoh" Hm..., sulit amat...!"
Ki Lurah Sentana dan adiknya tampak tersenyum keheranan melihat tingkah laku
pemuda di hadapan mereka.
"Apakah kau tak memiliki pandangan, Sena?"
tanya Ki Sentana.
Pendekar Gila tercenung diam. Keningnya
mengerut, kemudian mulutnya cengengesan.
"Pandangan" Aha, kau benar kita memang harus memiliki pandangan," sahut Sena.
Kemudian nampak dirinya kembali tercenung, lalu cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur hampir tertawa melihat tingkah
laku Pendekar Gila. Kalau saja mereka tak segera sadar bahwa tamunya Pendekar
Gila, mungkin Ki Lurah pun sudah meninggalkan pemuda yang bertingkah konyol itu.
Pendekar Gila tak meneruskan kata-katanya, melainkan terus menyantap makanannya
dengan lahap. Hal itu membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur tersenyum-senyum.
Mereka senang menyaksikan Pendekar Gila lahap menyantap hidangan yang telah
disajikan. "Aha, aku ada akal!" seru Sena tiba-tiba dengan mulut masih mengunyah
makanannya. Suara keras itu membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur tersentak
kaget. Ki Tunjung Melur dan Ki Sentana kembali
tersenyum sambil menarik napas dalam-dalam.
"Apa itu, Sena?" tanya Ki Sentana.
"Ya, katakanlah! Kami memang sangat meng-
harapkan buah pikirmu, juga bantuanmu," tambah Ki Tunjung Melur.
"Ah ah ah, tanpa kalian minta pun, aku akan berusaha membantu kalian," sahut
Sena, "Kalian teman-teman guruku. Sudah sepantasnya kalau aku turut membantu."
"Terima kasih atas kesediaanmu, Sena," ujar Ki Lurah Sentana.
"Ah, sudahlah, Ki! Kini kita harus berpikir mencari jalan, bagaimana untuk dapat
mengetahui siapa sebenarnya pelaku dari pembunuhan keji itu," usul Pendekar Gila
sambil menyantap makanan.
"Ya ya, kau benar," sahut Ki Tunjung Melur, "Kita memang harus secepatnya
membekuk pelaku keji itu.
Sebelum ada korban lain yang jatuh ke tangannya."
"Aha, tepat sekali. Kurasa, aku harus menyelidiki semuanya," kata Pendekar Gila.
"Kau akan pergi?" tanya Ki Sentana, kaget.
"Begitulah," sahut Pendekar Gila.
"Mengapa harus pergi" Bukankah lebih baik kau tinggal di rumahku?" saran kepala
desa itu berusaha mencegah agar Pendekar Gila tak meninggalkan Desa Karang Bale.
"Ah, terlalu merepotkan, Ki," sahut Pendekar Gila.
"Biarlah aku menyelidiki semuanya dari jauh!
Maksudku agar gerak-gerikku labih bebas."
Ki Sentana terdiam beberapa saat, berusaha mencerna ucapan Pendekar Gila. Memang
benar apa yang dikatakan pemuda itu. Dengan kehadiran Pendekar Gila di Desa
Karang Bale, pelaku
pembunuhan itu tentu akan menahan diri, jika ada rencana untuk berbuat lagi.
Sebab bukan tak
mungkin kalau pelaku itu telah mengenal siapa Pendekar Gila sebenarnya. Seorang
tokoh muda yang namanya telah kesohor di kalangan rimba persilatan.
"Benar katamu, Sena. Kurasa kalau kau berada di sini terus, penjahat itu akan
tahu," tukas Ki Tunjung Melur.
"Ya ya, kau benar. Tetapi, kuharap kau tidak melepaskan begitu saja, Sena,"
harap Ki Sentana.
"Aha, aku akan berusaha, Ki. Ah ah ah, kenyang sekali perutku! Wah, bisa-bisa
aku ketiduran, Ki," ujar Sena berseloroh sambil mengelus-elus perutnya yang
terasa kenyang, setelah menyantap makannya.
"Kalau memang kau ngantuk, tidurlah di sini, Sena!" ujar Ki Sentana menawarkan.
"Aha, terima kasih, Ki. Kau telah berbaik hati padaku. Izinkanlah aku meneruskan
perjalananku dulu," sahut Sena.
"Kau jadi pergi juga, Sena?" tanya Ki Sentana dengan kening mengerut, seakan tak
percaya kalau Pendekar Gila akan meneruskan perjalanannya.
Padahal Desa Karang Bale sedang membutuhkan Pendekar Gila.
"Aha, jangan khawatir, Ki! Kurasa kalian mengerti maksudku," ujar Pendekar Gila.
Kemudian setelah bangun dan memberi hormat pada Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur,
Pendekar Gila melangkah keluar untuk meneruskan perjalanannya.
"Jangan lupa, Sena!"
"Aha, akan kuingat!" sahut Pendekar Gila sambil menoleh pada Ki Sentana.
"Titip salam pada gurumu," ujar Tunjung Melur pura-pura sambil melambaikan
tangan, yang dibalas Pendekar Gila dengan lambaian tangan pula.
Pendekar Gila terus melangkah, seakan tak tahu
ada sepasang mata mengikuti langkah kakinya dengan pandangan penuh kebencian. Di
bibir orang itu, tersungging senyum sinis dan dendam.
"Tunggulah saatnya, Pendekar Gila!" dengus pemilik senyum bengis dengan tatapan
tajam penuh dendam. Sekejap kemudian sesosok bayangan
berkelebat meninggalkan semak belukar tempat dirinya mengintip Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang sebenarnya tahu hanya
tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dengan tangan menggaruk-
garuk kepala, dirinya terus melangkah meninggalkan Desa Karang Bale.
"Aha, kurasa orang itu bukan orang baik-baik. Hm, kulihat saja nanti," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Kakinya melangkah cepat, seakan-akan ingin segera meninggalkan Desa
Karang Bale. *** Mentari mulai condong ke barat, menandakan bahwa hari menjelang senja. Empat
orang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan tampak melintasi hutan karet.
Sambil bercanda ria mereka berjalan menuju telaga yang terletak di selatan Desa
Karang Bale. Nampaknya mereka hendak mandi sore. Di perbatasan desa, mereka
bertemu dengan dua jawara pengawal Ki Sentana.
"Mau ke mana, Den Putri?" sapa Ki Barman pada Wirani, anak Ki Lurah Sentana yang
berjalan bersama ketiga gadis temannya.
"Mau ke telaga, Paman," sahut Wirani.
"Hati-hati, Den Putri! Kalau ada apa-apa di telaga,
berteriaklah agar kami cepat mendengar!" saran Ki Sobrah.
"Memangnya kenapa, Paman?"
"Tidak apa-apa. Bukankah Den Putri melihat sendiri kejadian yang dialami anak Ki
Pardi?" tanya Ki Barman setengah mengingatkan.
"Baiklah, Paman. Saya pergi dulu!"
"Ya ya, hati-hati...," kata Ki Sobrah kembali mengingatkan.
Keempat gadis itu menganggukkan kepala,
kemudian meneruskan perjalanan ke telaga.
Sementara Ki Barman dan Ki Sobrah masih
memperhatikan keempatnya yang terus melangkah.
Sepertinya ada sesuatu yang dikhawatirkan kedua jawara desa itu.
Keempat gadis itu terus melangkah sambil terus berbincang-bincang.
"Kasihan ya Watiri" Aku tak menyangka, kalau dia akan mengalami hal semacam
itu," ujar Wirani membuka percakapan. Wajahnya kini menggambarkan kesedihan.
Antara dia dan Watiri memang sangat akrab.
"Iya ya?" sambung gadis berkain kuning. "Coba saja kalau waktu itu dia tak
pulang dahulu, tentunya tak akan terjadi hal seperti itu."
"Namanya saja sudah suratan takdir," selak gadis berpakaian coklat.
"Bagaimanapun juga, kalau yang kuasa menghendaki, kita tak bisa lepas."
"Tapi nampaknya itu bukan kehendak Hyang Widi, Serani. Hyang Widi tak akan
setega itu, melepaskan nyawa manusia dengan menghancurkan raganya,"
bantah Wirani tak setuju dengan pendapat temannya yang mengatakan kematian
Watiri karena sudah kehendak Hyang Widi. "Bukankah kita diciptakan
untuk berusaha?"
"Ya ya ya, kau benar, Wirani. Ah, sudahlah! Jadi merinding bulu kudukku," tukas
Serani berusaha mengakhiri pembicaraan mereka terhadap Watiri.
Ketiga temannya tertawa, melihat Serani takut.
Namun keempatnya menurut diam. Mereka pun terus berjalan. Kini mereka telah
semakin dekat dengan telaga.
Sambil bercanda ria, keempat gadis itu segera menceburkan di ke telaga. Pecahlah
suara tawa mereka. Bermain siram-siraman sambil menikmati hangatnya air telaga
yang bening itu.
Sementara mentari sore mengawasi gadis-gadis cantik itu bahkan menjilati kulit
tubuh-tubuh mulus itu. Mereka tak mempedulikan keadaan di sekitar telaga yang
tampak sunyi. Mereka tak tahu kalau dari balik semak-semak di sekitar telaga
ternyata ada sepasang mata durjana tengah mengawasi. Sepasang mata merah, karena
menahan nafsu yang bergejolak di hatinya.
"Hm, sangat menggairahkan anak Ki Lurah itu,"
gumam pemilik sepasang mata merah membara
sambil terus memandangi tubuh Wirani yang mulus dan menggiurkan.
"Aha, rupanya ada buaya yang mengintai gadis-gadis mandi!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang cukup mengejut-kan pemilik sepasang mata merah
itu. Seketika sesosok tubuh melesat meninggalkan semak-semak di tepian telaga.
"Aaa...!"
Bukan hanya lelaki bertubuh tinggi besar yang kaget, tetapi keempat gadis yang
tengah bersendau gurau di telaga pun terperanjat. Mereka tak
menyangka sejak tadi ada yang mengawasi.
"Tolong...! Tolooong...!" teriak keempat gadis itu.
"Hai, jangan lari!" teriak Pendekar Gila sambil melesat cepat memburu sesosok
tubuh tinggi besar berpakaian abu-abu.
*** Pendekar Gila menduga orang bertubuh tinggi besar dan berpakaian abu-abu itu
pasti punya maksud jahat terhadap gadis-gadis yang sedang mandi. Itulah sebabnya
pendekar muda itu terus mengejarnya.
"Aha, mau lari ke mana kau, Buaya!?" teriak Pendekar Gila sambil terus mengejar
sosok tinggi besar berpakaian abu-abu yang terus melesat meninggalkan telaga.
Kejar-mengejar antara Pendekar Gila dengan lelaki tinggi besar berpakaian abu-
abu pun terus berlangsung. Sena hampir saja mampu mencapai lelaki itu. Namun
tiba-tiba lelaki berambut putin terurai panjang itu melemparkan sesuatu dari
tangannya. Wusss! Glaaar...! Ledakan keras terdengar, disusul kepulan asap tebal berwarna hijau. Melihat asap
tebal itu mengepung dirinya, Pendekar Gila terkejut. Dengan gerakan cepat
tubuhnya melompat menghindar dari sergapan asap beracun itu. Namun ketika
terbebas dari kepungan asap, Pendekar Gila sudah tak melihat lagi lelaki
berpakaian abu-abu yang dikejarnya.
"Ah, tolol sekali aku ini!" gumam Pendekar Gila dengan mulut cengengesan sambil
menggaruk-garuk
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari ke mana
lelaki berbadan tinggi besar lari. Namun tetap tak ditemukannya lelaki berambut
putih panjang tadi.
Dipasangnya mata dan telinga dengan sikap waspada penuh. Dipusatkan seluruh
kemampuan untuk mengawasi tempat itu. Namun ternyata tak ada suara apapun,
kecuali desau angin menerpa dedaunan dan beberapa kicau burung pulang ke
sarangnya. "Aha, kurasa ada baiknya aku menyelidiki di dalam hutan ini. Siapa tahu ada yang
mencurigakan,"
pikir Sena. Kakinya segera melangkah masuk ke hutan. Mata dan telinganya
dipasang tajam-tajam dan waspada.
Swing! Tiba-tiba, sebuah belati kecil melesat kencang ke arah kepalanya.
"Aits!" dengan cepat Pendekar Gila memiringkan tubuh ke samping kiri,
mengelakkan sambaran pisau itu. Sehingga benda itu hanya beberapa jari melesat
di samping kanan kepalanya.
Jrabs! Pisau itu menancap di batang pohon tak jauh dari tempat Pendekar Gila.
"Edan! Hi hi hi...! Rupanya kau mau main-main, Setan Belang!" teriak Pendekar
Gila seraya melesat ke tempat asal pisau itu. Tubuhnya melesat cepat.
Namun baru beberapa langkah dia berlari, seketika langkahnya terhenti. Di
hadapannya berdiri dengan garang sesosok serigala hitam bertubuh sangat besar.
Serigala itu luar biasa besarnya. Matanya yang merah kehitaman mencorong tajam
memperlihatkan kebuasan.
"Auuu...! Grrr...! Aaauuung...!"
Pendekar Gila kaget dan keheranan melihat
kehadiran serigala besar yang secara tiba-tiba.
Dengan kening berkerut dan mata terus mengawasi makhluk aneh itu, Pendekar Gila
melangkah mundur beberapa tindak. Hatinya kembali tersentak kaget ketika
serigala hitam itu mengeluarkan suara keras menggelegar dan memekakkan telinga.
Tampak gigi-giginya yang runcing ketika moncongnya terbuka.
"Aauuu...! Grrr..! Aaauuu...!"
"Aha rupanya kau hendak main-main denganku, Raja Hutan" Hi hi hi...!" Pendekar
Gila cekikikan dengan kaki masih melangkah mundur. Matanya masih menatap tajam
kepada serigala itu. Binatang buas itu terus membuka mulutnya yang mengeluarkan
cairan bening, lidahnya menjulur-julur seolah-olah menjanjikan kematian bagi
siapa pun yang berani melawannya.
Merasa mendapat tantangan dari Pendekar Gila, binatang itu tampak kian marah.
Kepalanya yang besar digetar-getarkan, hingga air liur dari mulutnya terciprat
ke rerumputan. Kemudian, dengan cepat tiba-tiba serigala hitam itu melompat
menyerang Pendekar Gila. Kedua kaki depan, dengan kuku-kukunya yang tajam siap
menerkam kepala pemuda itu. Dan moncongnya pun membuka lebar, memperlihatkan
gigi-giginya yang runcing.
"Aits! Hea...!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke
samping. Dilebarkan kaki kirinya, sementara kaki kanannya ditekuk. Lalu dengan
cepat, tangan kanannya menghantam perut serigala yang melompat di samping
tubuhnya. "Hih...!"
Begk! "Auuu! Grrr...!"
Serigala besar itu menggeram sengit. Tubuhnya terpental ke depan, karena terkena
hantaman tangan Pendekar Gila. Setelah bergulingan, dengan penuh amarah serigala
besar itu kembali berdiri siap menerkam. Mulutnya dibuka, menunjukkan gigi-
giginya yang runcing. Sedang sepasang matanya yang merah kehitaman menyorot
tajam mangsanya.
"Auuu! Grrr...! Aauuu...!"
"Aha, rupanya kau kuat juga, Kawan! Hi hi hi...!
Baiklah kalau kau mau main-main denganku,"
gumam Sena sambil cengengsan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dengan cepat
Pendekar Gila membuka jurusnya yang bernama 'Kera Gila Menari Mencengkeram
Mangsa'. Gerak-gerik
tubuhnya seperti seekor kera gila, menari-nari dengan kedua tangan bergerak
mencengkeram dan
mencakar. "Auuu! Grrr..! Aaauuu...!"
Dengan penuh amarah, serigala besar itu kembali melompat. Namun dengan gerakan
aneh, Pendekar Gila segera meliukkan tubuh. Tingkah lakunya persis seperti
seekor kera. "Hi hi hi...! Nguk.... Nguk" Sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk
pantat, Pendekar Gila mengejek lawannya. Hal itu membuat serigala besar itu
bertambah marah. Dengan menggeram keras, binatang itu melompat hendak
mencengkeram Pendekar Gila.
"Auuu...! Grrr! Auuu...!"
Wrrr! "Aits! Hi hi hi...! Tak kena, Binatang Tolol!" ejek Pendekar Gila dengan tingkah
lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan, tangannya bergerak-gerak
seperti seekor kera yang kegirangan dengan kaki berjingkrakan.
Serigala besar itu tampaknya sangat marah
melihat tingkah laku Pendekar Gila. Sepertinya binatang buas itu, ada yang
memerintah atau dalam pengaruh sihir. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan
gerak-geriknya yang mirip makhluk berakal. Binatang itu seakan menaruh dendam
dan rasa benci terhadap Pendekar Gila.
"Aha, kurasa ada yang menyuruh kau, Binatang Tolol! Baiklah, aku akan
meladenimu," tantang Pendekar Gila sambil membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat'. "Grrr...! Auuu...!"
Binatang besar itu melompat dengan cakaran kuku-kukunya yang tajam. Namun dengan
cepat, Pendekar Gila melompat pula ke samping. Tangannya bergerak menepuk ke
kepala binatang besar dan ganas itu.
"Heaaa!"
Plak! "Auuu...! Grrr!"
Serigala itu seketika melolong keras kesakitan.
Tubuhnya terpental ke belakang. Kepalanya hancur, terhantam telapak tangan
Pendekar Gila. Binatang itu terus melayang, dan baru berhenti ketika menghantam
pohon, dan jaruh dengan menimbulkan suara gedebum yang sangat keras.
Buggg! Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Kepalanya digeleng-gelengkan. Seakan dirinya merasa tak tega untuk membunuh
binatang itu. Namun jika tak dibunuh, dialah yang menjadi mangsa binatang buas itu.
"Ah, kasihan sekali kau, Binatang malang!
Tuanmu memang jahat, menyuruhmu menghantar nyawa. Ah ah ah, tuanmu itu pengecut
sekali," gumam Sena. Matanya menatap bangkai serigala yang tubuhnya hancur. Kemudian
dengan menggeleng kepala, Pendekar Gila segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Mentari telah tenggelam di bumi sebelah barat, menjadikan keadaan di sekitar
Desa Karang Bale gelap. Di telaga yang tadi tampak beberapa gadis-gadis Desa
Karang Bale, kini telah sepi. Hanya air telaga yang masih mengerucuk dari
pancuran. *** 5 Malam terus merayap dengan kegelapan yang
menyelimuti bumi. Suasana Desa Karang Bale nampak sepi. Pintu rumah-rumah
penduduk sudah tertutup. Warga Desa Karang Bale dicekam rasa takut. Terutama
mereka yang memiliki anak perawan.
Mereka takut kalau anaknya diculik seperti yang terjadi pada Watiri, anak Ki
Pardi. Namun meski rumah-rumah penduduk nampak sepi, di pos-pos ronda, beberapa
warga desa nampak melakukan penjagaan.
Setiap gardu, nampak lima orang berjaga-jaga.
Kegiatan itu memang diperintah kepala desa mereka, agar tak terulang kembali
kejadian yang menimpa keluarga Ki Pardi. Bahkan anak-anak gadis, sejak sore
telah dilarang keluar dari rumah.
Malam semakin larut, dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang. Rasa kantuk
pun mulai menyerang para petugas ronda. Namun mereka tetap berusaha untuk melek,
agar tidak tertidur dalam nienjalankan ronda.
"Huah, kenapa mataku ngantuk sekali?" keluh Walang Keket.
"Ya, aku pun merasakan hal itu," sambung
Walang Kadut. Kelima Walang Sakti seketika merasakan hawa kantuk yang tak terkira. Namun salah
seorang di antara mereka, ada yang nampaknya berpura-pura mengantuk. Walang
Kerik memang berpura-pura mengantuk.
Sebenarnya lelaki itu belum mengantuk sama sekali, nampaknya ada sesuatu yang
hendak direncanakannya.
Satu persatu, keempat saudara seperguruannya pun tertidur lelap tak tahan
diserang kantuk. Walang Kerik tampak tersenyum penuh kemenangan. Dengan tenang,
dirinya melangkah meninggalkan gardu tempat keempat saudara seperguruannya
tertidur. "Pendekar Gila, kini terimalah pembalasanku!"
dengus Walang Kerik penuh dendam. Rupanya
kejadian siang tadi, masih terus melekat di dalam dadanya. Dirinya merasa
dipermalukan di depan orang oleh Pendekar Gila.
Dengan langkah mantap, Walang Kerik menuju sebuah rumah seorang saudagar.
Matanya memandang ke sekelilingnya, berusaha meyakinkan diri kalau malam itu tak seorang
pun yang melihat perbuatannya.
Sesaat Walang Kerik menyelinap di semak-
semak. Matanya terus memperhatikan rumah
Juragan Kanca. Kemudian setelah tak nampak tanda-tanda adanya tanggapan pemilik
rumah, Walang Kerik keluar. Kemudian dengan menggunakan golok, dicongkelnya
pintu rumah Juragan Kanca.
Ternyata tadi Walang Kerik melemparkan tanah yang telah dijampi-jampi dengan
ilmu sirep 'Siti Silem'
yang membuat penghuni rumah terlelap dalam tidurnya. Dengan bebas, Walang Kerik
pun segera bergerak menggasak harta milik Juragan Kanca tanpa ada seorang pun
yang memergoki.
*** Sementara itu, sesosok bayangan tinggi besar berkelebat cepat dengan tenangnya.
Bayangan abu-abu itu, sepertinya tak mengalami kesulitan sedikit pun untuk masuk
ke Desa Karang Bale. Bahkan sambil tertawa terbahak-bahak terus melangkah menuju
sebuah rumah penduduk.
"Hua ha ha...! Orang-orang bodoh! Mereka kira Datuk Raja Beracun tak akan mampu
masuk ke Desa Karang Bale," ujar sosok bayangan itu yang ternyata Datuk Raja
Beracun. Langkah kakinya lebar-lebar, menuju rumah Ki Palongan.
Desa Karang Bale bagaikan tertidur. Tak ada seorang pun yang masih terjaga.
Semua warga desa terkena ajian sirep yang dilancarkan Datuk Raja Beracun. Bahkan
Walang Kerik yang semula hendak bermaksud jahat terhadap Pendekar Gila, kini
nampak tertidur pulas di bawah sebatang pohon asam yang tumbuh di tepi jalan.
Datuk Raja Beracun terus melangkah menyelusuri jalanan Desa Karang Bale dengan
aman. Di bibirnya tersungging senyum, ketika melihat seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun dengan pakaian seorang pesilat berwarna biru
mengkilap tertidur pulas. Di sampingnya tergeletak barang-barang berharga.
"Maling tolol!" gumam Datuk Raja Beracun. "Hm, tapi kurasa dia orang Desa Karang
Bale juga. Biar lebih baik nanti kubawa saja."
Setelah memperhatikan Walang Kerik sesaat, lelaki bertubuh tinggi besar itu
meneruskan langkahnya. Tak lama kemudian, Datuk Raja Beracun telah sampai di
rumah yang dituju. Perlahan Datuk Raja Beracun mengintai lewat celah bilik rumah
itu. Bibirnya tersenyum, menyaksikan seorang gadis
tertidur dengan pakaian tersingkap. Sehingga pahanya nampak terbuka, mengundang
rangsang kelelakiannya.
"Hm," gumam Datuk Raja Beracun tersenyum.
Perlahan-lahan kuku jarinya yang panjang, men-congkel daun jendela kamar itu.
Kemudian dengan tenang, Datuk Raja Beracun melangkahi jendela kamar Serani.
Sementara gadis itu masih tertidur dengan pulas. Pahanya yang terbuka,
menjadikan mata Datuk Raja Beracun yang merah melotot tak berkedip. Beberapa
kali lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu harus menelan ludah.
Dengan senyum terulas di bibir, perlahan-lahan Datuk Raja Beracun mengangkat
tubuh Serani. Kemudian dengan cepat, melesat meninggalkan rumah Ki Palongan. Namun tiba-
tiba.... "Aha, rupanya kau iblisnya!" terdengar suara sapaan keras dari arah barat.
Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular yang
tingkah lakunya seperti orang gila. Mulutnya cengengesan, sedangkan tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Datuk Raja Beracun tersentak kaget. Matanya yang merah, menatap dengan tajam
pada Pendekar Gila. "Bocah Gila, kau selalu ikut campur urusanku!"
bentak Datuk Raja Beracun geram. Gigi-giginya saling bergemeratukan menahan
marah. Matanya yang merah membara, tampak semakin garang bagaikan mengandung
bara api. "Hi hi hi..., lucu sekali! Bagaimana aku tak ikut campur, Iblis Cabul"! Tentunya
kaulah yang telah membunuh salah seorang gadis desa ini serta memperkosanya,"
tukas Pendekar Gila dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Apa urusanmu!" bentak Datuk Raja Beracun sengit.
"Aha ha ha, bukankah sudah kukatakan, aku tak suka dengan perbuatanmu!" balas
Sena tak mau kalah.
"Hm, kalau begitu kau harus mampus! Hea...!"
dengan penuh amarah, Datuk Raja Beracun segera menyerang Pendekar Gila. Dirinya
menyangka kalau Pendekar Gila, tak ubahnya orang-orang gila yang sering
dilihatnya. Itu sebabnya Datuk Raja Beracun menyerang dengan tak sepenuhnya.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan
cepat Pendekar Gila bergerak menghindar. Diguna-kannya jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, kemudian setelah lepas dari
serangan lawan, Pendekar Gila menepuk-kan tangannya.
"Hats! He...!"
Wrt! "Heh"!" Datuk Raja Beracun tersentak kaget dengan mata semakin melebar. Kumisnya
yang tebal, tampak naik turun karena keheranan bercampur geram menyaksikan
kejadian aneh. Gerakan liukan dan tepukan yang dilakukan pemuda gila itu,
kelihatan pelan dan lemah. Namun kalau saja Datuk Raja Beracun tak segera
melompat, niscaya dadanya akan jebol terkena tepukan itu.
"Hm, rupanya pemuda ini bukan sembarangan
gila. Dari gerak-geriknya, mengingatkan aku pada seorang pendekar yang puluhan
tahun pernah malang-melintang tak terkalahkan. Hm, ada
hubungan apa dia dengan Pendekar Gila dari Goa Setan itu?" tanya Datuk Raja
Beracun dalam hati
dengan tatapan mata tajam pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Bocah Gila, siapa gurumu!" bentak Datuk Raja Beracun.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Mengapa kau mesti bertanya tentang guruku"
Hm, kalau guruku yang melihat perbuatanmu, maka guruku tak akan mengampunimu!"
balas Pendekar Gila membentak keras. Namun tingkahnya masih tetap gila.
Cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sombong! Kau kira gurumu akan berani meng-hadapiku!" dengus Datuk Raja Beracun
pongah. "Tak ada yang berani menghadapi Datuk Raja Beracun di rimba persilatan!"
"Aha, kurasa kaulah orang yang paling sombong, Datuk Iblis! Baiklah, kukatakan
padamu bahwa aku murid Singo Edan atau cucu murid Pendekar Gila dari Goa Setan!"
ujar Sena tegas. Hal itu membuat mata Datuk Raja Beracun membelalak kaget.
Perlahan kakinya melangkah mundur beberapa tindak, setelah mendengar siapa
sebenarnya pemuda gila di
hadapannya. "Heh"! Kau..."!"
"Hua ha ha...! Kurasa kau harus segera sadar, Datuk Iblis! Lepaskan gadis itu,
lalu ikut aku!" ajak Pendekar Gila.
"Cuih! Walau kau cucu murid Pendekar Gila dari Goa Setan, aku Datuk Raja Beracun
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak akan mundur! Hea...!"
Dengan masih memanggul tubuh Serani, Datuk Raja Beracun menyerang Pendekar Gila.
Tangannya yang berkuku panjang hitam mengandung racun, bergerak mencakar dan
menusuk dada serta wajah Pendekar Gila.
Wrt! "Uts! Aha, kau memang manusia jorok, Datuk Iblis! Sampai kuku-kuku saja tak kau
urus!" ledek Pendekar Gila dengan harapan Datuk Raja Beracun akan marah sekali,
sehingga dia akan terus mengulur waktu sampai semua warga Desa Karang Bale
terjaga. "Cuih! Jangan banyak mulut! Terimalah jurus
'Sengatan Kala'ku ini! Hea...!" meski dengan tangan satu, Datuk Raja Beracun
terus bergerak menyerang Pendekar Gila. Namun dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' Pendekar Gila terus bergerak meliuk ke sana ke mari menghindari
serangan kemarahan Datuk Raja Beracun.
"Cuih! Sayang aku tak ada waktu untukmu, Bocah Gila! Terimalah ini!" bersamaan
dengan habisnya kata-kata itu, tangan Datuk Raja Beracun melemparkan tiga buah
benda ke arah Pendekar Gila.
Wrt Wrt! Wrt! "Uts!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat dan ber-jumpalitan beberapa kali ke belakang
menghindari serangan rahasia itu itu.
Dar! Dar! Glarrr! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar. Dan seketika di sekitar tempat Pendekar
Gila berada tertutup asap merah yang pekat dan mengandung racun.
"Uh! Hea...!" Pendekar Gila segera menarik napas dalam-dalam, kemudian
diangkatnya kedua tangan ke atas. Lalu ditarik dan diletakkan di pinggang.
Kemudian dengan cepat, didorongkan kedua telapak tangan mengerahkan ajian 'Inti
Bayu' ke arah kabut
tebal yang menyelimuti sekelilingnya.
Wus! Angin kencang bergulung-gulung seketika keluar dari kedua telapak tangannya.
Dalam sekejap kabut merah beracun telah tersapu bersih. Namun kembali Pendekar
Gila tak menemukan Datuk Raja Beracun.
"Ah, setan! Dia lepas lagi!" geram Sena. Dua kali dia mengalami kegagalan
mengejar Datuk Raja Beracun. "Hi hi hi..., tolol sekali aku ini!"
Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila melangkah meninggalkan tempat itu. Namun baru saja dia
melangkah, dia bertemu dengan Ki Tunjung Melur dan Ki Lurah Sentana.
"Oh, kau rupanya, Sena. Tadi kudengar ada
pertarungan. Kaukah yang bertarung?" tanya Ki Sentana.
"Aha, aku memang bodoh, Ki. Aku tak dapat
menangkap pelakunya. Dia berhasil lolos," geram Sena. Namun mulutnya masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Hanya sorot mata yang memperlihatkan
kalau dirinya sedang kesal dan marah.
"Jadi...?" tanya Ki Tunjung Melur. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Kemudian kembali pada tingkah lakunya yang konyol. Bibirnya tersenyum-senyum,
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Kalian kenal Datuk Raja Beracun?" tanya Sena.
"Datuk Raja Beracun"!" desis Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur hampir
bersamaan. Mata keduanya membelalak lebar, sepertinya kaget mendengar sebutan
itu. "Aha, benar. Apakah kalian kenal?" tanya Sena
menegaskan. "Tidak. Selama ini, kami tak pernah mendengar seorang datuk berada di desa ini,"
jawab Ki Lurah Sentana yang menjadikan Pendekar Gila nyengir dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah, sulit. Bagaimanapun aku harus bisa menangkapnya. Mungkin kalau
tertangkap, kalian akan mengenalnya," ujar Sena dengan nada agak menyesal.
"Tapi kau harus hati-hati, Sena. Datuk bukanlah orang sembarangan," ujar Ki
Tunjung Melur mengingatkan.
"Aha, benar. Tetapi sehebat apa pun seorang datuk, jika melangkah di jalan
sesat, Hyang Widi tak akan merestui," ujar Sena setengah berfilsafat
"Ya ya, kau benar," sahut Ki Sentana. "Oh ya, apakah dia juga membawa gadis?"
"Benar, Ki. Gadis anak pemilik rumah itu," jawab Sena sambil menunjuk rumah
keluarga Ki Palongan.
"Hah"!"
Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur terbelalak.
"Ayo kita ke sana!" ajak Ki Sentana.
Mereka pun segera berlari ke rumah Ki Palongan.
Di situ Ki Sentana menemukan bekas ledakan. Hal itu terlihat dari semburatan
tanah. Namun mereka tahu, tentunya bekas ledakan itu dilakukan Datuk Raja
Beracun untuk menghindar dari kejaran Pendekar Gila.
Malam itu pula, Desa Karang Bale gempar
dengan hilangnya Serani. Warga desa yang baru terjaga akibat ajian sirep 'Mega
Mendung' yang ditebarkan Datuk Raja Beracun, berbondong-bondong datang ke tempat
kejadian. *** Esok paginya, belum juga selesai masalah
hilangnya Serani, mereka digemparkan dengan diketemukannya Walang Kerik mencuri
di rumah Juragan Kanca. Hal itu menjadikan Ki Sentana, Ki Tunjung Melur dan
Pendekar Gila tersentak kaget.
Mereka yang mendapat laporan dari warga segera berangkat ke balai desa.
Sementara Walang Kerik telah berada di sana bersama beberapa warga yang
membawanya. Betapa gusar dan marahnya Ki Lurah Sentana, merasa nama baiknya sebagai Kepala
Desa Karang Bale dicemarkan oleh Walang Kerik.
"Kau tahu, apa akibat dari perbuatanmu, Walang Kerik"!" bentak Ki Lurah Sentana
di balai desa. Walang Kerik tidak menyahut. Dirinya hanya menundukkan kepala, tak berani
bertatap mata dengan Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur.
"Dengan tindakanmu, seorang gadis hilang. Dan kau sudah tahu, apa yang bakal
terjadi!" bentak Ki Tunjung Melur geram. Matanya menatap tajam pada Walang Kerik
yang masih menunduk, tak berani beradu pandang.
"Memalukan!" dengus Ki Lurah Sentana.
"Maafkan saya, Ki. Sebenarnya bukan maksud saya melakukan hal tercela itu," ujar
Walang Kerik penuh rasa sesal. Kepalanya masih menunduk dalam.
"Hm, apa sebenarnya alasanmu melakukan
tindakan tercela itu, Walang Kerik"!" bentak Ki Tunjung Melur ingin tahu,
mengapa anak buahnya tiba-tiba berlaku pengecut dan melakukan tindakan tak
terpuji. Lama Walang Kerik tak menyahuti pertanyaan Ki Tunjung Melur. Perlahan-lahan
wajahnya ditengadahkan, kemudian melirik wajah Pendekar Gila yang berdiri di
samping Ki Sentana.
"Saya..., saya ingin mencelakakan Pendekar Gila.
Dengan mencuri, lalu mengatakan bahwa Pendekar Gila yang melakukannya...," jawab
Walang Kerik yang membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur serta keempat saudara
seperguruannya terbelalak kaget.
Bahkan Walang Kejer dengan mendengus,
melangkah maju mendekati adik seperguruannya itu.
Tangannya meraba gagang golok.
"Daripada hidup, lebih baik kau mati saja, Walang Kerik! Kurasa kau pun telah
meracuni kami semalam, sehingga kami tertidur!"
Srt! "Tunggu!" tiba-tiba Pendekar Gila berseru, menghentikan apa yang hendak
dilakukan Walang Kejer. "Kurasa tak baik jika kita saling bantai.
Bukankah kita sedang menghadapi masalah yang cukup berat?"
"Tapi dia benar-benar telah membuat muka kami tercoreng, Tuan Pendekar," kilah
Walang Kejer. "Aha, tidak juga, Kisanak. Kalau Hyang Widi mau mengampuni hambanya yang
bersalah, mengapa kita sebagai sesama manusia tidak?" ujar Pendekar Gila yang
menjadikan semua orang yang ada di balai desa bengong.
Mereka tak percaya kalau pemuda gila itu mampu berpikir jernih bahkan mengandung
filsafat. Seakan pemuda itu bukan pemuda gila. Mereka semua mulai sadar, bahwa
pemuda itu berilmu tinggi. Berpikiran bijaksana dan sopan sikapnya. Meskipun
kadangkala tampak menjengkelkan.
Pendekar Gila melangkah mendekati Walang
Kerik. Dengan bibir masih cengengesan, dipegangnya pundak Walang Kerik.
"Aha, kau tak bersalah, Kisanak. Hawa nafsu telah mempengaruhimu," tutur Sena
dengan perasaan penuh persahabatan. Hal itu menjadikan Walang Kerik terkesima, tak
percaya kalau Pendekar Gila akan sebaik itu.
"Kau mau memaafkan aku, Tuan Pendekar?"
tanya Walang Kerik.
"Aha, mengapa tidak" Sebagai hamba Hyang
Widi, sepantasnyalah kita saling memaafkan," sahut Sena seraya menepuk-nepuk
pundak Walang Kerik.
Di bibirnya masih mengurai senyum, berusaha meyakinkan Walang Kerik.
Dengan malu-malu, Walang Kerik menjura hormat pada Pendekar Gila.
"Kau sungguh baik, Tuan. Betapa kerdilnya aku ini, yang tak mau melihat
kedamaian di hadapanku,"
desah Walang Kerik sambil memeluk Pendekar Gila.
"Sekiranya aku harus dihukum, aku siap."
"Aha, tak perlu itu terjadi. Bukankah milik Juragan Kanca masih utuh?" tanya
Sena. "Masih. Memang aku tak bermaksud mencuri,"
jawab Walang Kerik.
"Aha, kalau begitu tak ada masalah. Kini tinggal meminta maaf pada Juragan
Kanca." Nampaknya Juragan Kanca yang berada di balai desa, memaafkan tindakan Walang
Kerik. Sehingga Walang Kerik pun dibebaskan.
"Kita kini menghadapi masalah yang rumit. Maka itu, kita harus menggalang
persatuan dan berwaspada!" kata Ki Lurah Sentana menegaskan.
Pendekar Gila memang telah tahu siapa pelakunya,
tapi di mana tempatnya kita belum tahu."
"Kita cari saja!" seru warga desa.
"Ke mana...?" tanya Ki Tunjung Melur.
Semua warga diam. Mereka tak tahu, harus dari mana mencari Datuk Raja Beracun.
Sedangkan kalau ketemu pun, mereka tak mungkin dapat mengalahkan Datuk Raja
Beracun. Tentunya Datuk itu bergelar Raja Beracun, karena memiliki ilmu racun
yang sangat hebat
"Aha, biarlah aku yang akan berusaha mencarinya!" Sena mengusulkan. "Kurasa,
kini tinggal bagaimana memperkuat keamanan Desa Karang Bale ini. "
"Baiklah kalau begitu. Memang kita harus bisa secepatnya menghentikan sepak
terjang Datuk Raja Beracun," sambut Ki Lurah Sentana.
"Aha, kalau begitu aku mohon pamit."
"Hati-hati, Sena! Kami berdoa untukmu. Semoga kau selalu dalam lindungan Hyang
Widi, sehingga kita bisa bertemu lagi," ucap Ki Tunjung Melur.
Pendekar Gila tampak menjura hormat pada
kepala desa dan seluruh warga yang ada di balai desa itu kemudian melangkah
keluar. Setelah sampai di halaman balai desa, tiba-tiba secepat kilat Pendekar
Gila melesat meninggalkan tempat itu.
Mata orang-orang yang berada di balai desa terbelalak kaget menyaksikan
kepergian pemuda itu.
Mereka menggeleng-geleng kepala karena kagum.
Sebagian dari mereka bahkan ada yang tak sempat melihat gerakan Pendekar Gila.
"Hah! Gila! Manusia apa dia?" gumam yang lain.
"Wuah, dia manusia atau siluman?" tanya yang lain.
"Malaikat kali tuh," sahut rekannya.
Semua benar-benar terperangah, menyaksikan
bagaimana pemuda bertingkah gila itu melesat bagaikan angin. Sehingga dalam
sekejap saja telah menghilang. Bukan hanya para warga, tetapi Ki Lurah Sentana
dan Ki Tunjung Melur serta Lima Walang Sakti turut menggeleng-gelengkan kepala.
"Benar-benar bukan pendekar sembarangan,"
gumam Ki Sentana dengan terkagum-kagum.
"Untung dia mau memaafkanmu, Walang Kerik.
Kalau saja dia tak mau, entah sudah menjadi apa kau," jumam Ki Tunjung Melur
seraya menarik napas dalam-dalam.
"Saudara-saudara, seperti apa yang dikatakan Pendekar Gila, kita harus
meningkatkan keamanan desa kita!" kata Ki Lurah Sentana. "Kita harus
meningkatkan kewaspadaan!"
"Setuju...!" sahut Warga.
"Kita juga harus menyelidiki orang-orang yang pantas kita curigai," kata Ki
Tunjung Melur menambahkan.
"Setuju...!" seru warga penuh semangat
*** 6 Pagi dengan sinar mataharinya yang terasa hangat, menyelimuti Desa Serotan.
Kicau burung yang riang, menambah keindahan suasana pagi. Ditingkahi pula
desiran angin yang meniup dedaunan, menghembuskan hawa sejuk.
Pagi itu, Pendekar Gila nampak sedang me-
langkah di jalan utama Desa Serotan untuk meneruskan perjalanan dalam rangka
mencari Datuk Raja Beracun. Sambil bersenandung kecil, Sena terus melangkahkan
kakinya. "Ah, ke mana aku mencari datuk iblis itu?"
gumam Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dua hari
sudah dia berusaha mencari tempat persembunyian Datuk Raja Beracun. Tetapi tak
juga dapat menemukannya.
Padahal hampir semua bukit dan pegunungan telah didaki. Beberapa desa telah
dilalui sambil bertanya pada kepala desa mengenai Datuk Raja Beracun.
Namun anehnya semua tak ada yang mengenai.
Pagi ini, dia telah sampai di Desa Serotan, desa kelima yang menjadi
persinggahannya, selama mencari Datuk Raja Beracun. Kalau di Desa Serotan dia
tak menemukan persembunyian Datuk Raja Beracun, entah di mana lagi harus
mencari. Pendekar Gila terus melangkah menyelusuri
jalanan yang membelah Desa Serotan, ketika tiba-tiba matanya melihat orang-orang
berkerumun. Nampaknya ada sesuatu yang menjadi perhatian orang-orang itu.
"Heh, ada apa di sana?" gumam Sena dengan
kening mengerut. Matanya menyipit, memperhatikan kerumunan orang yang tampaknya
tengah melihat sesuatu. Hatinya tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang
terjadi. Pendekar Gila bergegas melangkah mendekati kerumunan orang di bawah sebatang
pohon ara di depan sebuah kedai.
"Aha, Kisanak. Kalau boleh kutahu, ada apa gerangan?" tanya Sena pada seorang
lelaki muda berpakaian petani yang baru saja keluar dari kerumunan.
"Seorang gadis diketemukan mati dengan
keadaan mengerikan," sahut lelaki muda petani dengan wajah meringis, setelah
melihat keadaan gadis yang disebutnya.
"Maksud Kisanak?" tanya Sena ingin tahu.
"Ada seseorang yang telah menculik gadis desa ini, lalu menaruh mayat seorang
gadis dari desa lain yang keadaannya sangat mengerikan," tutur lelaki muda
berusia sekitar tiga puluh tahun itu dengan tubuh bergidik.
"Aha, terima kasih."
Setelah mengangguk, Pendekar Gila pun segera menuju tempat kerumunan. Dengan
menyeruak di sela-sela kerumunan orang, dia berusaha
membuktikan sendiri.
"Hah"!"
Mata Pendekar Gila membeliak dengan mulut
ternganga lebar, setelah mengetahui siapa mayat itu.
Meskipun dadanya berantakan dan kepalanya
terpisah dari leher, Pendekar Gila masih mampu mengenalinya. Mayat itu ternyata
gadis Desa Karang Bale yang tak lain Serani.
"Ah ah ah, benar-benar biadab! Iblis keparat..!"
Sena memaki-maki sendiri. Hal itu menarik perhatian orang-orang yang tengah
ramai melihat mayatnya.
Orang-orang Desa Serotan mengerutkan kening, menyaksikan tingkah laku aneh
pemuda itu. "Pemuda gila, mau apa dia?" sungut seorang lelaki berbadan tinggi tegap dengan
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muka garang. Sepertinya lelaki berusia sekitar lima puluh tahun ini, tak suka dengan tutur
kata Pendekar Gila dan sikapnya.
"Bocah gila, pergi sana!" bentak teman lelaki tinggi tegap itu mengusir Pendekar
Gila yang justru tertawa cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aha, galak sekali kau, Ki," ujar Pendekar Gila masih cengengesan.
"Huh, kau tak ada gunanya!"
Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan tubuh gempal serta kepala
botak itu berusaha mendorong tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena
menggeser kakinya melebar ke samping. Sehingga dorongan tangan orang itu hanya
mengenai angin.
Lelaki berpakaian kuning itu terhuyung hampir jatuh karena dorongannya tak
mengenai sasaran.
Betapa marahnya dia karena melihat pemuda itu mampu menghindari dorongannya.
"Kurang ajar! Rupanya kau bukan orang gila sembarangan!" bentak lelaki tinggi
besar marah, melihat pemuda gila itu mampu mempermainkan temannya. "Rupanya kau
datang ke Desa Serotan mau membuat keributan!"
"Aha, kurasa sebaliknya, Ki. Kalian berdualah yang hendak mengail di air keruh,"
tukas Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat kemarahan kedua lelaki berwajah jarang itu semakin
memuncak. "Kurang ajar! Rupanya kau harus berkenalan dulu dengan Sepasang Banteng Kuning!"
dengus lelaki tinggi tegap beralis tebal.
"Aha, cocok sekali nama kalian banteng. Ah ah ah, tak tahunya kalian memang
seperti banteng dungu," ejek Sena sengaja memancing kemarahan kedua orang yang
mengaku sebagai Sepasang
Banteng Kuning. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Kurang ajar! Kau memang harus dihajar, Bocah Gila!" geram lelaki berbadan
gempal dan agak pendek. Matanya membelalak marah. Sambil
mendengus keras, giginya saling beradu karena menahan amarah.
"Aha, kurasa justru kalian yang perlu dihajar,"
sahut Sena seraya tertawa cekikikan, yang membuat Sepasang Banteng Kuning
bertambah marah.
"Bedebah! Kuremukkan kepalamu, Bocah Gila!"
Lelaki tinggi besar itu melesat menyerang dengan menghantamkan pukulan yang
dinamakan 'Banteng Menanduk'.
"Remuk kepalamu! Heaaa...!"
"Uts! Hi hi hi...! Belum, Banteng Tolol!" sahut Sena sambil berkelit dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
diikuti gerakan kedua kakinya yang kadang melebar, menekuk, atau menyilang
dengan tubuh agak
merendah. Sementara tangannya tak tinggal diam, melakukan tamparan dengan
telapak tangan ke dada lawan.
Wrt! "Heh"!"
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget bukan kepalang menghadapi
serangan aneh yang dilakukan lawannya. Matanya terbelalak keheranan seakan tak
percaya pada gerakan lawan yang baru saja dilihatnya. Gerakan meliuk dan menepuk
yang dilakukan Pendekar Gila, nampaknya sangat pelan dan lemah. Namun pukulan-
pukulan itu ternyata mengandung kekuatan dahsyat yang berbahaya.
"Ilmu gila!" seru lelaki berbadan gempal yang juga terkejut bukan main
menyaksikan jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Gila. Belum pernah ditemukannya
jurus aneh seperti yang sekarang disaksikan.
"Celaka! Dia bukan orang sembarangan, Wungul,"
ujar lelaki tinggi besar pada temannya.
"Ya. Gerakannya nampak aneh. Sepintas
kelihatan pelan dan tak bertenaga, Pulut," sahut Wungul. "Kita harus berhati-
hati! Siapa tahu dia yang dimaksud oleh datuk."
"Maksudmu Pendekar Gila?" tanya Pulut.
"Ya. Kulihat dari tadi gerak-geraiknya sama dengan yang dikatakan datuk," jawab
Wungul berbisik. Sedangkan matanya masih memperhatikan gerak-gerik Pendekar Gila
yang konyol, sepertinya hendak menyelidiki pemuda itu.
"Kau benar, Wungul. Hm, kita harus segera pergi.
Pemuda itu menurut datuk, bukan lawan kita," bisik Pulut mengingatkan temannya.
"Tapi..."
"Ayolah!" ajak Pulut.
"Celaka kalau kita pergi, karena pemuda gila ini tentu mengikuti kita. Bahaya,
ini tak boleh terjadi.
Datuk sudah berpesan tak seorang pun boleh tahu tempat persembunyiannya...."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Pulut
"Tak ada lain, menyingkirkannya atau kita yang tersingkir dari dunia," sahut
Wungul yang membuat Pulut menghela napas berat. Dia menyadari, menghadapi pemuda
gila itu bukan hal yang mudah.
Mungkin ilmu mereka masih jauh di bawah lawan yang masih muda belia itu.
"Itu gila!" rungut Pulut. "Ilmu kita tak sebanding dengan ilmunya!"
"Tapi tak ada jalan lain."
"Itu sama saja kita bunuh diri," Pulut masih bersungut-sungut, tak setuju dengan
apa yang diusulkan temannya. Bagaimanapun dia merasa kalau ilmu mereka tak
berarti jika dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Pendekar Gila. Jangankan
mereka, Datuk Raja Beracun pun mungkin harus berpikir tujuh kali untuk
menghadapi pemuda gila ini.
"Ya, kau memang benar. Tapi tak ada cara lain."
"Bodoh! Pakai otakmu, Wungul! Lebih baik kita pergi ke mana saja, asal pemuda
ini tak mengejar kita. Meskipun mengejar, dia tak akan tahu di mana datuk
berada," kata Pulut.
"Baiklah. Ayo kita pergi!" ajak Wungul.
Tanpa menghiraukan bagaimana tanggapan
orang-orang yang ada di tempat itu, Wungul dan Pulut segera melesat kabur
meninggalkan Pendekar Gila.
"Aha, kedua orang itu sangat mencurigakan,"
gumam Sena. "Kudengar tadi mereka menyebut datuk. Hm, kurasa Datuk Raja Beracun
yang disebutnya."
Pendekar Gila yang tadi menggunakan ajian
'Penyadap Rungu', tahu apa yang mereka bisikkan.
Namun mulutnya sejak tadi hanya cengengesan, berpura-pura tak tahu apa yang
mereka bicarakan.
"Aha, aku harus mengejar mereka," gumam Sena, kemudian secepat kilat tubuhnya
melesat meninggalkan Desa Serotan menuju selatan, arah yang dituju Sepasang Banteng
Kuning. *** Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap saja Pendekar Gila dapat memburu
kedua orang suruhan Datuk Raja Beracun. Bahkan mampu mendahului di depan mereka.
Sepasang Banteng Kuning terus berlari. Namun tiba-tiba keduanya tersentak dan
berhenti, ketika di hadapan mereka telah berdiri Pendekar Gila. Pemuda
berpakaian rompi dari kulit ular itu berdiri membelakangi Sepasang Banteng
Kuning. "Heh"!"
"Hah..."!"
Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget dan saling pandang. Keduanya sungguh tak
mengira, kalau Pendekar Gila telah sampai di tempat itu.
Padahal Hutan Barok telah jauh dari Desa Serotan.
Bagaimana mungkin pemuda gila ini tahu-tahu telah berada di Hutan Barok" Pikir
keduanya keheranan.
Padahal mereka telah mengerahkan tenaga dalam-nya untuk berlari secepat mungkin.
"Hua ha ha...! Selamat bertemu kembali,
Kisanak!" sapa Pendekar Gila sambil membalikkan tubuh dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Mulutnya cengengesan, semakin membuat Sepasang Banteng Kuning membelalakkan
mata. "Ah"!"
"Uh..."!"
"Aha, mengapa wajah kalian pucat" Apa kalian
sedang sakit" Ah ah ah, kasihan...!" seloroh Pendekar Gila sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Sepasang Banteng Kuning tampak semakin
tegang menghadapi Pendekar Gila. Keduanya tahu ilmu yang dimiliki pemuda itu
jauh lebih tinggi dari mereka. dari ilmu meringankan tubuh yang
dikerahkan untuk mengejar, kedua lelaki berpakaian serba kuning itu dapat
mengetahui kehebatan lawan.
Betapa tidak! Mereka tak melihat pemuda itu mengejar. Namun tiba-tiba saja telah
menghadang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Wungul?" tanya Pulut berbisik.
"Tak ada jalan lain," sahut Wungul dengan suara mendesis.
"Kita lawan dia?" tanya Pulut memasukan.
"Ya! Tapi kita harus memanggil teman-teman kita.
Yang jelas kita tak akan mampu menghadapinya,"
usul Wungul. Kemudian tiba-tiba Wungul mengeluarkan suara mirip lolongan
serigala. Begitu juga dengan Pulut.
"Auuu..!"
"Auuu...!"
Pendekar Gila tersentak kaget mendengar
lolongan keras yang keluar dari mulut Sepasang Banteng Kuning. Namun kemudian
kembali bertingkah konyol. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Ah ah ah, baru kali ini kulihat kerbau bisa melolong seperti serigala," gumam
Pendekar Gila yang tertawa-tawa, merasa lucu melihat tingkah kedua orang itu.
"Auuu...!"
Srakkk! Dari dalam hutan, tiba-tiba muncul lima ekor
serigala besar menuju tempat Sepasang Banteng Kuning dan Pendekar Gila berada.
Pendekar Gila terkejut, tak menyangka kalau lolongan kedua lelaki tinggi besar
itu dapat mengundang lima ekor serigala besar.
"Aha, rupanya kalian bangsa binatang juga. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil
tertawa cekikikan.
"Auuu! Serang dia...!"
Tiba-tiba Pulut berseru sambil mengarahkan telunjuknya menuding Pendekar Gila.
Seketika itu pula, kelima serigala itu berlompatan mengepung Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kaki-kaki kelima serigala itu
mencakar-cakar tanah rerumputan, dengan lidah terjulur. Cairan bening pun
menetes dari mulut mereka.
"Aha, rupanya kalian binatang-binatang tolol yang mau diperdaya manusia-manusia
durjana," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan.
"Auuu! Grrr...!"
Lima serigala besar-besar itu terus mengerubungi Pendekar Gila. Mata kelima
binatang buas itu, sepertinya menaruh kebencian pada calon mangsa mereka. Namun
pemuda berompi kulit ular itu tampak masih tenang. Bahkan mulutnya terus
cengengesan. "Hi hi hi...! Nguk, nguk!" Pendekar Gila mulai meledek dengan tingkah lakunya
yang seperti kera.
"Bunuh dia...!" seru Wungul sambil menuding Pendekar Gila.
"Ghrrr...!"
"Auuu..."
Kelima binatang buas itu dengan ganas dan
penuh amarah bergerak menyerang. Namun dengan
cepat Pendekar Gila melenting ke atas, mengelakkan serangan kelima serigala itu.
Wsss! "Hop!" dengan enaknya, Pendekar Gila langsung hinggap di atas cabang sebatang
pohon. "Hi hi hi...!
Ayo, siapa yang mau mengejarku, naiklah!"
"Auuu...!"
Kelima serigala itu nampak kebingungan. Mereka tampak semakin garang. Suara
lolongan dan erangan keras terdengar bersahut-sahutan. Serigala-serigala itu
melompat-lompat dan memutari pohon tempat Pendekar Gila bertengger. Dengan lidah
terjulur dan mengeluarkan cairan, mereka meraung-raung dan melolong keras.
Seakan-akan tak sabar untuk segera memangsa Pendekar Gila.
"Pengecut! Turun kau, Pendekar Gila"!" teriak Pulut menantang.
"Aha, baiklah!"
Dengan cepat Pendekar Gila melompat turun.
Namun tubuhnya langsung melayang ke tempat Pulut dan Wungul. Dicabutnya Suling
Naga Sakti dan langsung dikibaskan ke kepala Sepasang Banteng Kuning.
Wrt! "Heh"!"
"Hah"!"
Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget, ketika Suling Naga Sakti dikibaskan ke
arah mereka. Dalam pandangan mereka, suling itu berbentuk seekor ular naga besar
yang menyeramkan. Mulutnya menganga lebar, siap memangsa kedua lelaki berpakaian
kuning "Wua, tidaaak...!" Sepasang Banteng Kuning menjerit ketakutan dengan mata
membeliak. Keduanya lari tunggang-langgang sambil menjerit-jerit. Hal
itu membuat Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Kelima serigala besar itu pun langsung kabur setelah kedua tuannya pergi.
"Ah ah ah..., dunia ini semakin aneh saja!"
gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala dan melangkah meninggalkan Hutan
Barok untuk mengikuti kedua orang yang diduga utusan Datuk Raja Beracun.
*** 7 Malam berselimut dengan sepi. Kegelapan
bagaikan sebuah kelambu hitam raksasa yang mengurung bumi. Lolongan anjing hutan
beberapa kali terdengar dari kejauhan, semakin mencekam suasana malam. Sementara
angin yang berhembus meniupkan hawa dingin menusuk tulang sumsum.
Di sebuah goa, yang terletak di Gunung Welirang, saat itu nampak seorang gadis
cantik terbaring di atas sebuah batu persegi berukuran lebar satu depa dengan
panjang dua depa. Tubuh gadis itu dalam keadaan setengah telanjang. Tangan dan
kakinya terbentang, dan masing-masing terikat pada sudut batu besar itu. Di atas
kepala gadis berambut panjang itu tergantung sebilah golok besar dan tajam.
Cahaya yang berasal dari api obor membuat mata golok besar itu berkilauan.
Gadis cantik itu kelihatan masih dalam keadaan pingsan. Tubuhnya masih
terbelenggu oleh totokan Datuk Raja Beracun yang menculiknya.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut gadis cantik itu.
Perlahan-lahan matanya membuka.
"Oh, di mana aku" Mengapa kedua tangan dan kakiku diikat begini?"
Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu
mengerjapkan mata, lalu memperhatikan ke
sekeliling ruangan goa itu. Matanya semakin membelalak, setelah menyadari kalau
dirinya kini berada di dalam sebuah goa yang sangat asing baginya. Goa itu sepi,
bagaikan tak ada penghuninya.
"Siapa yang membawaku ke tempat ini?" tanya gadis cantik itu mencoba mengingat-
ingat apa yang telah dialaminya. Pikirannya hanya ingat kalau sore itu dia
sedang mandi, ketika tiba-tiba seseorang menotok bagian tubuhnya. Setelah itu,
dia tak ingat apa-apa lagi. Dan kini tahu-tahu, tubuhnya telah berada di dalam
sebuah goa, yang sangat sepi dan menyeramkan.
Gadis cantik anak Desa Serotan itu masih
berusaha mengenali goa tempat dirinya berada saat ini. Namun tetap tak tahu, di
mana dia berada.
"Oh, mungkinkah Kang Salim yang membawaku
kemari?" gumam gadis itu mencoba menerka-nerka.
"Mungkin Kang Salim sengaja membawaku pergi, agar kedua orangtuaku merestui
hubungan kami."
Gadis cantik bernama Jariah itu kembali teringat akan kata-kata kekasihnya.
Salim mengatakan akan membawanya pergi, kalau kedua orangtua Jariah tak
mengizinkan hubungan mereka. Itu pula yang membuat Jariah menduga-duga kalau
Salim-lah yang telah membawanya ke goa itu. Namun, mengapa Salim mesti mengikat
tangan dan kakinya begitu rupa" Dan golok itu" Golok di atas kepalanya yang
sangat tajam itu, untuk apa..."
Bulu kuduk Jariah bergidik merasa takut
Pendekar Gila 24 Tujuh Tumbal Perawan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyaksikan golok tajam di atas kepalanya. Dia tak tahu untuk apa golok itu.
Siapa sebenarnya yang membawanya ke goa yang sangat sepi dan nampak menyeramkan
itu. Belum juga Jariah mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, tiba-tiba
dari dalam goa terdengar suara gelak tawa yang membuatnya tersentak. Gadis itu
seketika memandang ke arah asal suara tawa itu. "Hua ha ha...!"
Pendekar Sadis 9 Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Sepak Terjang Hui Sing 2