Ular Kobra Dari Utara 2
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara Bagian 2
"Tidak. Hanya...," Sundari tak meneruskan ucapannya. Kemudian kembali
melangkahkan kakinya. Ketika sampai di suatu dataran yang sekelilingnya ditumbuhi pepohonan rindang
dan besar, tiba-tiba....
"Heaaa...!"
"Aist...! Heh"!"
Salah seorang anak buah Guntala menyerang Sawung Rana secara membokong. Namun
pemuda tampan itu tampaknya telah merasakan ketidakberesan itu. Hingga dengan
cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan di tanah.
"He he he...!"
Sementara Sundari pun mendapat perlakuan
kurang sopan dari Guntala. Lelaki setengah tua itu, dengan gerakan cepat menarik
lengan Sundari disusul dengan remasan tangan kanannya ke buah dada gadis cantik
itu. "Akh...!" pekik Sundari sambil menepiskan tangan Guntala. Lalu cepat menjauhi
lelaki tua keladi itu, sambil memasang kuda-kuda.
"He he he...! Ck ck ck...! Kau membuat
kelelakianku tergoda, Cah Ayu. He he he...!" Guntala dengan mata liar memandangi
keindahan tubuh Sundari yang sintal dan sangat menggairahkan itu.
Lidahnya menjulur keluar, membasahi bibirnya sendiri.
"Tua bangka tak tahu diri...!" sungut Sundari dengan muka merah. Mata Sundari
menatap tajam Guntala yang melangkah mendekatinya. Sementara tangan dan kakinya
sudah mengatur kedudukan, memasang kuda-kuda.
"He he he...! Cah Ayu, kau tak usah marah!
Menurutlah, sebelum kau menyesal...," bujuk Guntala, sambil mengusap-usapkan
dadanya. Matanya terus menatap dengan nakal tubuh Sundari.
"Dasar laki-laki cabul...! Heaaat...!"
Sundari yang sudah tak sabar lagi, langsung menyerang Guntala. Dibabatkan
pedangnya ke ulu hati lelaki setengah baya itu. Namun Pemimpin Perguruan Bintang
Mas itu berilmu silat yang cukup tinggi. Terbukti dengan mudah mengelakkan
serangan lawan. Dimiringkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu melompat
mundur. "He he he..., eits! Sabar, Cah Ayu! Kau tampak cantik dan membuatku semakin
bernafsu, jika marah
begitu.... Ayolah!"
Guntala terus meledek, bahkan sekan tak peduli dengan pedang Sundari yang terus
mencecarnya. Dengan merebahkan tubuh dan berguling ke tanah, Guntala mengelakkan serangan
gadis berpakaian merah delima itu.
"Heaaattt...!"
"Eit...! Heaaa...!"
Guntala mulai beraksi. Dengan lincah lelaki tua itu menangkis dan melancarkan
serangan balik ke tubuh lawan. Sundari tersentak melihat serangan balik Guntala
yang cepat. Membuat ia menarik pedangnya ke depan dada. Kemudian menarik napas
sejenak dan kembali membuka serangan.
"Heaaat...!"
"Heits! Hih...!"
Degk! Degk! "Aaakh...!"
Sundari memekik kesakitan, ketika pukulan Guntala bersarang telak di tengkuk dan
punggungnya. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi tengkuknya. Wajah gadis cantik itu
memerah karena marah.
"He he he...! Menyerah sajalah kau, Cah Ayu. He he he...!" ejek Guntala sambil
mendekati Sundari yang masih kesakitan. Namun ketika lelaki setengah baya itu
berada satu tombak di depannya, tanpa diduga Sundari dengan cepat membabatkan
pedangnya. Lelaki tua yang memiliki ilmu silat dua tingkat dari lawannya, dengan
cepat merebahkan badan ke belakang. Sedangkan tangannya coba menangkis serangan
Sundari. "Heaaat...!" Wuttt!
"Aits! Hea...!"
Guntala berjumpalitan ke belakang, ketika Sundari mencecarnya. Lalu kakinya
hinggap pada sebuah batu besar. Dan selamatlah lelaki tua keladi itu. "Hi hi
hi...! Percuma kau melawanku, Manis. Hi hi hi...!"
Guntala mengejek Sundari sambil mengusap-
usap jenggotnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Sundari yang kini berada di bawah, memandang lelaki itu dengan penuh kebencian.
Sementara itu Sawung Rana masih bertarung sengit melawan tiga anak buah Guntala.
"Kurung dia...!" seru salah seorang dari ketiga anak buah Guntala.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Trang! Trang! Pedang Sawung Rana dan golok ketiga lawannya beradu. Mengeluarkan percikan sinar
api. Dengan gesit dan cepat, Sawung Rana menyerang dan menangkis serangan lawan.
Ketiga lawannya sempat tersentak, ketika babatan pedang pemuda berpakaian putih
itu sempat melukai lengan salah seorang dari mereka.
"Heaaa...!"
Wuttt! Crasss! "Aaakh...!"
Pekik Barkala, satu dari ketiga anak buah Guntala.
"Hah..."! Boleh juga ilmu pedang pemuda itu...,"
gumam Wiraksa yang berbadan paling besar.
Matanya membelalak lebar.
"Serang...!" seru Darkapala, orang yang paling tua di antara ketiga anak buah
Guntala. Kumisnya yang tebal menyatu dengan cambang bawuk di pipi.
Melihat lawannya berkelebat menyerang, Sawung Kana pun tak mau tinggal diam.
Secepat itu pula pemuda tampan itu melompat sambil menjulurkan pedang ke depan,
memapaki serangan lawan. Tak terhindarkan, pertarungan semakin seru dan sengit.
Ketiga anak buah Guntala nampak penuh semangat ingin segera menjatuhkan Sawung
Rana. Apalagi Barkala sudah terluka.
"Heaaa...! Mampus kau Anak Muda...!" seru Darkapala sambil membabatkan golok ke
kepala lawan yang sempat lengah. Namun, Sawung Rana masih bisa menangkis dengan
pedang, sebisanya sambil berguling ke samping, menjauhi lawan-lawannya.
Mata Darkapala membelalak, ketika serangannya dapat ditangkis. Hatinya semakin
kesal dan marah.
Mukanya merah. Lalu dengan cepat kembali
menyerang Sawung Rana yang sudah kembali siap menghadapi mereka.
Kini Darkapala dan Wiraksa menyerang ber-
samaan dari dua arah. Keduanya melompat sambil berteriak. Sawung Rana pun
melompat memapaki serangan itu.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Trang! Trang! Wuttt! Wuttt!
Pekikan keras dan denting senjata saling beradu terus terdengar semakin riuh.
Dengan sekuat kemampuannya Sawung Rana terus berusaha
bertahan dari gempuran serangan kedua lawannya yang menyerang secara serentak.
Namun Sawung Rana yang memang ilmu pedangnya belum
sempurna, dan masih satu tingkat di bawah anak buah Guntala tetap menunjukkan
kekerasan hati untuk bertahan. Namun, tiba-tiba....
Swing! Swing! "Hah"! Aaakh...!"
Tanpa diduga sama sekali, Durkapala dan
Wiraksa mengeluarkan senjata rahasia. Beberapa pisau kecil melesat memburu tubuh
Sawung Rana. Bahkan satu di antaranya mengenai tangan kanan Sawung Rana. Pemuda itu memekik
keras. Tubuhnya jatuh bersamaan dengan pedangnya yang terlepas.
Melihat Sawung Rana jatuh dan mulai melemah fisiknya, Darkapala, Wiraksa, dan
Barkala serentak hendak menghabisi nyawanya. Namun tiba-tiba....
"Aaakh...!"
Sesosok bayangan melesat begitu cepat. Bagai seekor elang menyambar mangsa,
melancarkan serangan kilat. Kontan ketiga anak buah Guntala terpekik. Tubuh
mereka terpental lima tombak dari tempatnya, karena terkena serangan cepat dari
sosok bayangan tadi.
"Aha, rupanya ada manusia-manusia kotor di sini.
Hi hi hi...!" ejek seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang tak lain
Sena Manggala atau Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Hukh! Huekh...!"
Ketiga anak buah Guntala muntah darah dan tak mampu bangkit lagi. Dada mereka
membekas telapak tangan kebiruan.
Tak jauh dari situ, Sundari telah berada di tangan Guntala. Tampaknya tubuh
gadis berpakaian merah delima itu tertotok jalan darahnya, hingga terkulai
lemas. Guntala tak membuang kesempatan baik itu.
Segera lelaki tua yang mata keranjang itu menggeluti tubuh Sundari yang sudah
tak berdaya kena totokannya.
Guntala baru saja hendak melepaskan
pakaiannya untuk menggeluti Sundari ketika terdengar suara gelak tawa
menggelegar yang seakan hendak menggetar bumi.
"Hua ha ha...! Hi hi hi...! Rupanya masih ada lagi tikus tua mau melalap laun
muda... Lucu, lucu sekali tua bangka ini...!" ejek Pendekar Gila sambil
bertingkah seperti orang gila.
"Hah..."! Kurang ajar...! Siapa kau, Pemuda Sinting!" bentak Guntala sambil
memberesi celananya. Matanya terbelalak kaget melihat kedatangan pemuda
bertingkah laku gila yang begitu tiba-tiba.
"Ah ah ah! Untuk apa mengetahui siapa aku. Yang jelas aku bukan hantu, atau
seperti kau, Tua Bangka...!" sahut Sena dengan nada mengejek sambil menggaruk-
garuk kepala. Pendekar Gila cepat melesat mendekati Sundari lalu cepat membawanya menjauh dari
Guntala yang masih nampak gugup. Dan setelah berada cukup jauh dari Guntala
segera ditotoknya tubuh gadis itu agar terbebas aliran darahnya.
Tuk! Tuk! "O..., hah"! Siapa kau?" tanya Sundari setelah sadar, melihat Sena yang
cengengesan. Lalu menoleh ke arah Guntala yang siap mau menyerang Sena.
"Cepat, selamatkan kawanmu di sana!" kata Sena, "Nanti baru kita bicara. Akan
kubereskan tua bangka ini."
Seperti tanpa sengaja Sundari menganggukkan kepala, lalu melesat menuju tempat
Sawung Rana yang kesakitan. Tangannya mengucurkan darah.
"Kau..."! Rupanya kau Pendekar Gila! Kebetulan, aku sedang mencari-carimu,
Pemuda Gila...!" dengus Guntala marah melihat Pendekar Gila yang telah
menghalangi niatnya.
"Aha, hi hi hi..., lucu sekali kau ini, Tua Bangka!
Otak kotormu itu perlu dicuci. Ah..., untuk apa kau mencariku..."!" tanya
Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Aku mencarimu hanya akan memberi tahu,
bahwa kau tak lama lagi akan mampus oleh tokoh yang berjuluk Ular Kobra dari
Utara itu! Ha ha ha...!
Dan aku telah mengatakan, bahwa kaulah yang membunuh keponakanku, Dewi Pandagu.
Ha ha ha...!"
Guntala tertawa terbahak-bahak. Hatinya merasa yakin kalau Pendekar Gila pasti
akan mati di tangan Sankher. Namun Sena yang mendengar itu justru bertingkah
seperti monyet, melompat-lompat, sambil menepuk-nepuk pantatnya. Lalu menggaruk-
garuk kepala sambil tertawa-tawa.
"Hi hi hi...! Lucu, lucu sekali! Kau memang tua bangka yang sudah pikun dan
bosan hidup...!" tukas Sena dengan cekikikan.
"Kurang ajar! Heaaattt...!"
Guntala yang sudah tak tahan mendengar ejekan Sena, langsung menyerang. Namun
sebelum Sena bertindak. Tiba-tiba....
"Yeaaattt...!"
Sundari yang benar-benar tak mampu menahan amarah mendahului, menyerang Guntala.
Melihat serangan cepat yang dilakukan gadis berpakaian merah delima itu Guntala
nampak tersentak kaget. Namun dengan gerak cepat lelaki
setengah baya itu mengelakkan serangan pedang Sundari.
Namun serangan cepat Sundari yang disertai amarah dan nafsu itu hanya sia-sia
belaka. Tampaknya Guntala yang berilmu lebih tinggi beberapa tingkat mampu
membaca kemampuan lawan.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! "Aits! Hea...!"
Beberapa kali serangan Sundari dapat dielakkan oleh Guntala dengan melompat ke
kanan dan kiri.
Atau sesekali melenting ke atas.
"Heaaa...!"
Wuttt! "Heh"! Hea...!"
Dugk! "Aaakh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari mulut gadis cantik berambut panjang itu ketika
pukulan tangan kanan Guntala mendarat di tengkuknya. Tubuhnya tersungkur ke
depan lalu jatuh mencium tanah.
Melihat Sundari jatuh, Pendekar Gila langsung melenting melakukan serangan.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' tubuhnya meliuk-liuk laksana menari
dengan tangan sesekali menepuk ke tubuh lawan. Gerakannya kelihatan lamban dan
lemah gemulai, bagaikan tak mengandung tenaga sama sekali.
Hal itu membuat Guntala menganggap remeh
lawan. Lelaki setengah baya itu segera melancarkan serangan dengan membabatkan
pedangnya. Dirinya menyangka gerakan Pendekar Gila yang lamban dan lemah itu tak
akan mampu mengelakkan sabetan pedangnya. Namun betapa terkejut hatinya ketika
menyaksikan apa yang terjadi.
Dugaan Guntala meleset. Pemuda berambut
gondrong dan bertingkah laku seperti orang gila itu sangat mengagumkan. Meski
gerakan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah, ternyata justru dengan
mudahnya mengelak. Hanya dengan menggeser kaki ke samping dan melenturkan tubuh
dengan membungkuk dan mendongak, semua serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan
tiba-tiba.... "Hih...!"
Wuttt! Hampir saja pukulan telapak tangan Pendekar Gila menghantam dada Guntala, kalau
tak segera melompat ke belakang. Betapa terkejutnya Guntala ketika tiba-tiba
tangan Pendekar Gila yang seperti menari itu telah dekat ke tubuhnya. Padahal
dirinya telah menguras ilmu meringankan tubuh, namun tetap saja pendekar muda
itu mampu mengejarnya.
"Hah"! Jurus gila...!" pekik Guntala, kaget.
Wajahnya mendadak pucat. Menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan Sena. Namun
sebagai orang yang telah banyak pengalaman, Guntala tak ingin mengalah begitu
saja. Tubuhnya segera melenting untuk mengelakkan serangan lawan, kemudian
dengan cepat dibukanya jurus andalan yang dinama-kan 'Cakar Naga Merah'.
Karena gerakan yang sangat cepat, tangan
Guntala berubah menjadi banyak. Kuku-kukunya yang panjang dan runcing membentuk
cakar naga, bergerak cepat mengcengkeram dan mencabik ke tubuh Pendekar Gila. Ke
mana Sena bergerak, tangan Guntala terus mengejarnya dengan cakaran-cakaran
maut. "Heaaattt...!"
Wrertt! Wrettt!
Masih dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Pendekar Gila meliuk-liuk ke sana kemari mengelakkan serangan 'Cakar Naga Merah'
Guntala. Mulutnya kadang-kadang cekikikan, atau
cengengesan mengejek lawan.
Melihat tingkah laku konyol pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu
Guntala tampak ternganga.
Karena marah dan kesal, serangannya tak terarah, mulai ngawur. Mengetahui
keadaan lawan itu Pendekar Gila cepat melancarkan serangan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari sambil melontarkan pukulan dengan telapak
tangan. "Heaaa...!"
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plak! Plakkk! "Aaakh...!" Guntala memekik keras, ketika tepukan tangan Pendekar Gila yang
tampak lemah dan tak bertenaga mendarat telak di dadanya. Matanya terbelalak
heran, hampir tak percaya dengan apa yang barusan dialami. Tubuhnya terlontar
deras ke belakang lalu jatuh bergulingan.
"Huekh...!"
Dari mulut Guntala keluar darah segar. Tampaknya pukulan Pendekar Gila telah
menimbulkan luka dalam.
"Hi hi hi...! Kenapa kau, Ki" Ah, itu imbalan bagi orang tua usil...!" mulutnya
cengengesan lalu tertawa cekikikan.
"Kenapa tak kau bunuh, Tuan Pendekar...?" tanya Sundari yang telah berdiri di
samping kanan Sena.
"Aha, aku tak bisa membunuh lawan yang sudah terluka," jawab Sena masih
menggaruk-garuk kepala dan mulut cengengesan.
Sundari semakin heran melihat tingkah Sena.
Gadis itu, tanpa sengaja melihat Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang
Sena. "Heh"!" desis Sundari dengan membelalak,
"Kisanak..., apakah kau Pendekar Gila itu...?"
Belum sempat Sena memberikan jawaban
terdengar suara seperti mengerang dari mulut Guntala.
"Pendekar Gila, bunuh saja aku! Bunuhlah... huk, huk, huk!"
"O..., jadi kaulah Pendekar Gila yang kucari itu.
Alangkah bahagia aku dan Kakang Sawung Rana...!"
ujar Sundari dengan tersenyum, penuh rasa gembira,
"Kakang Sawung Rana...!"
Sundari berlari menuju kekasihnya yang masih duduk menahan sakit yang mulai
reda. Sementara Sena tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil cengengesan.
Sundari memberi tahu Sawung Rana, kalau yang menyelamatkan mereka, tak lain
Pendekar Gila. Sawung Rana tampak nampak gembira.
"Pemuda Gila bunuh saja aku...," rintih Guntala lagi.
"Hi hi hi...! Tidak, aku malah akan menyembuh-kanmu. Tapi dengan syarat, cepat
pergi dari tempat ini bersama anak buahmu. Dan jangan coba-coba ganggu atau ikut
campur urusanku dengan lelaki aneh itu!" ujar Sena sambil mengangkat tubuh
Guntala yang mengalami luka dalam akibat pukulan-nya.
Guntala yang mendengar dan melihat Pendekar Gila berlaku begitu pada dirinya,
merasa malu. Karena kejahatannya dibalas dengan rasa belas kasih.
"Cepat perintahkan anak buahmu pergi. Juga
kau!" kata Sena lagi, sambil menggaruk-garuk kepala.
"Baik, baik," jawab Guntala sambil membungkuk ketakutan! "Hei! Darkapala,
Wiraksa, dan Kau Barkala! Ayo pergi!" perintahnya pada ketiga anak buahnya.
Sambil menahan rasa sakit ketiga anak buah Guntala mengikuti pimpinannya
meninggalkan tempat itu.
"Tuan Pendekar..., kami berdua mengucapkan terima kasih. Kalau Tuan Pendekar
tidak menolong kami, entah bagaimana nasib kami," ucap Sawung Rana dengan lemah.
Matanya menatap wajah
Pendekar Gila. "Benar. Mungkin lelaki tua itu akan dapat merenggut kegadisanku...," tambah
Sundari dengan nada sedih dan cemas.
"Aha, sudahlah, jangan kalian pikirkan! Aku memang wajib menolong orang yang
lemah," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "O, ya... bagaimana ceritanya
sampai kalian diperdaya mereka?"
tanyanya kemudian.
Sawung Rana kemudian menceritakan semuanya dari awal. Dari mulai seorang murid
Perguruan Elang Sakti memberi tahu kalau Ki Putih Maesaireng, paman Sundari
dibunuh lelaki yang mengaku sebagai Ular Kobra dari Utara. Sampai akhirnya
mereka ingin mencari Pendekar Gila untuk minta bantuan. Namun di tengah jalan
mereka bertemu dengan Guntala dan anak buahnya yang mengaku juga mencari
Pendekar Gila, guna menangkap penjahat bersenjata tongkat berkepala ular.
"Aha, lucu sekali! Tapi kalian tak usah
memanggilku dengan sebutan Tuan Pendekar. Aku orang biasa seperti kalian.
Panggil saja aku Sena!"
kata Sena menggaruk-garuk kepala.
Sawung Rana dan Sundari tersenyum. Lalu saling pandang.
"Sekarang kami berdua makin lega dan tak
merasa cemas. Tapi kenapa lelaki itu kau lepas begitu saja?"
"Bagaimana kalau mereka kembali melakukan perbuatan buruk" Atau mungkin mereka
mempunyai siasat untuk menjebak kita...?" tambah Sundari kemudian.
"Hi hi hi...! Aku tak peduli. Itu terserah mereka,"
jawab Sena dengan acuh. Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Sawung Rana dan Sundari bergeleng kepala, kemudian menghela napas panjang.
Keduanya merasa heran melihat ketenangan Pendekar Gila. Tak ada rasa khawatir
atau takut. "Sekarang cepat kita pergi, mencari lelaki aneh itu!" ajak Sena pada Sundari dan
Sawung Rana. "Hm... Sena! Bagaimana kalau kita melihat keadaan perguruan pamanku dulu" Siapa
tahu di sana kita mendapatkan petunjuk," ucap Sundari dengan nada memohon.
Sena menggaruk-garuk kepala. Ia berpikir
sejenak, lalu dipandanginya Sundari dan Sawung Rana.
"Sebenarnya aku sudah datang ke tempat
Perguruan Elang Sakti. Aku telah menguburkan Ki Putih Maesaireng. Maafkan, aku
datang terlambat, ketika si Ular Kobra telah membunuhnya," kata Sena menjelaskan
pada Sundari. Sundari mengerutkan kening dan menghela
napas panjang. "Terima kasih, kau telah mengurus dan mengubur
pamanku. Tapi aku tetap ingin melihatnya. Rasanya aku merasa berdosa, jika tak
melihat makamnya....
Kini aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Paman Putih Maesaireng adalah satu-
satunya harapanku...,"
tutur Sundari dengan nada sedih. Tanpa terasa, air mata menetes membasahi
pipinya yang halus.
Sena menggaruk-garuk kepala, lalu mengangguk-angguk memahami perasaan gadis itu.
Sawung Rana memegangi bahu kekasihnya yang masih terisak dengan tangisnya.
"Baiklah, aku akan mengantar kalian...," kata Sena kemudian.
Sundari merasa lega dan senang. Pergilah
mereka meninggalkan tempat itu, menuju Perguruan Elang Sakti.
*** 5 Banyak tokoh dari kalangan persilatan yang marah dan bersumpah akan membunuh
Sankher si Ular Kobra dari Utara, karena telah banyak memakan korban. Selain itu
tokoh dari India itu menantang dan menghina para pendekar di Jawadwipa.
Pendekar Gila merupakan tokoh yang menjadi incaran utama si Ular Kobra dari
Utara. Siang itu Sena dan dua kawan barunya, Sawung Rana dan Sundari hendak
meninggalkan Perguruan Elang Sakti, setelah mengunjungi kuburan Ki Putih
Maesaireng. Namun ketika ketiganya sampai di pintu keluar perguruan, dari jauh
terlihat empat orang lelaki berjalan menuju mereka, keempat orang itu nampak
terburu-buru. Sena, Sundari, dan Sawung Rana saling pandang.
Mereka merasa cemas melihat kedatangan tiga lelaki yang tampaknya para pendekar.
Hal itu terlihat dari pakaian mereka.
"Sena..., kami beruntung dapat menemukan kau di sini!" seru lelaki berjubah
putih, dengan pakaian dalam warna kuning. Rambutnya ditutupi blangkon warna
putih pula. Ki Rahsewu dari Perguruan Cempaka Ungu.
"Dan kami juga punya tujuan akan melihat
keadaan Ki Putih Maesaireng, yang dikabarkan telah mati dibunuh si Ular Kobra
dari Utara itu...," kata Suryawijaya kemudian. Lelaki berambut putih panjang,
dengan kain pengikat yang menutupi kepalanya.
"Sebaiknya kita merundingkan maksud kita
secepatnya...," sela Ki Kuncara, orang yang paling tua di antara keempat
pendekar aliran putih itu. "Apa Kisanak tak keberatan, kami meminjam tempat ini,
untuk kami...?" tanya Ki Kuncara pada Sundari.
"Tidak, Ki. Saya malah merasa senang. Mari, silakan..., mari...!" jawab Sundari
dengan ramah. Mereka kembali melangkah menuju teras
Perguruan Elang Sakti. Tampaknya ada sesuatu hal yang penting harus dibicarakan.
Yang jelas mereka ingin membicarakan soal Sankher atau si Ular Kobra dari Utara
yang membabi buta, membunuh orang-orang tak berdosa, serta menantang semua
pendekar yang ada di Jawadwipa ini.
Mereka duduk di lantai beralaskan tikar, di teras rumah Ki Putih Maesaireng.
Sundari dan Sawung Rana pun ikut berkumpul mendengarkan
perundingan itu.
Ki Kuncara, mulai membuka permasalahannya.
Lelaki tua itu memberikan pendapat dan rencana, serta kehebatan ilmu silat si
Ular Kobra dari Utara.
Sena yang mendengar cerita Ki Kuncara hanya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
cengar-cengir. "Tokoh aneh itu kalau lama-lama kita biarkan, akan semakin ganas. Menurut hemat
saya, kita harus menangkap dan bila perlu membunuhnya. Setimpal dengan perbuatan
kejinya. Dia telah menginjak-injak wibawa dan harga diri para pendekar di tanah
Jawadwipa ini. Termasuk, kau, Sena...," kata Ki Kuncara menegaskan. Wajahnya
yang sedikit keriput memperlihatkan perasaan bencinya terhadap Sankher.
Semua terdiam, tapi mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki Kuncara.
Sena sendiri masih menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Ah ah ah..., tak ada masalah bagiku, Ki. Hi hi...
akan kuhadapi orang itu. Hanya kuharap kalian berhati-hati jangan gegabah
menghadapinya," ujar Sena kemudian. Mulutnya cengengesan sambil memandangi wajah
keempat pendekar itu.
"Kenapa, Sena...?"
"Aku dengar ia membunuh lawan dengan
tongkatnya. Kurasa tongkat itu tidak sembarangan.
Senjata itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
Mungkin juga tongkat itu bisa berubah menjadi senjata yang lebih hebat...,"
tutur Sena menjelaskan.
"Bagaimana kau tahu...?"
"Ah..., itu hanya firasatku saja. Terserah pada kalian, percaya atau tidak...,"
jawab Sena. Kemudian menggaruk-garuk kepala, sambil cengar-cengir.
"Aku sependapat dengan apa yang dikatakan Sena. Kita memang harus menyusun
kekuatan, merencanakan dengan tepat, untuk menaklukkan dan menangkap orang itu,"
usul Rahsewu dengan penuh semangat.
"Ya! Kita semua bertanggung jawab atas semua ini. Maka dari itu, saya harap kita
bisa bersatu,"
tambah Ki Kuncara.
"Biarlah aku sendiri yang melaksanakan tugas ini.
Karena si Ular Kobra dari Utara itu mencari dan menantangku secara pribadi,"
sela Sena dengan tegas. Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Semua nampak lega mendengar jawaban Sena.
Kemudian mereka semua saling berjabat tangan.
Tangan-tangan mereka menjadi satu, saling jabat dengan erat. Melambangkan
kesatuan dan kebersamaan. "Kalau kalian tidak keberatan, kami berdua juga ingin bergabung untuk menangkap
lelaki itu...," kata Sawung Rana tiba-tiba, setelah mereka selesai berjabat
tangan. "Hm...," Ki Kuncara manggut-manggut sambil mengusap-usap jenggotnya. "Kami
sangat senang mendengarnya. Tapi ingat, jangan ceroboh. Sebaiknya kalian berdua
bergabung dengan aku dan lainnya!"
"Terima kasih, Ki...," jawab Sawung Rana sambil menjura. Ia nampak senang. "Kami
berdua rela mati.
Dan kami mengakuinya, bahwa ilmu silat yang kami miliki masih belum sempurna..."
Dengan jujur Sawung Rana mengutarakan
keadaan dirinya. Mereka yang mendengar merasa haru. Namun juga bangga mendengar
kejujuran pemuda seperti Sawung Rana itu.
*** Di siang yang panas dengan matahari menyinari daerah perbukitan tampak seorang
lelaki bertubuh gagah berjubah hitam dengan kepala tertutup kain sorban wama
merah hati. Lelaki yang tak lain Sankher atau si Ular Kobra dari Utara melangkah
ringan di atas jalan terjal berbatu-batu.
Sankher terus menyusuri jalan terjal perbukitan itu. Tongkat di tangan kanannya
yang telah banyak memakan korban terlihat angker. Sebuah tongkat sakti yang
mempunyai keampuhan yang luar biasa.
Siapa pun yang terkena, dalam sesaat akan mengalami kematian secara mengerikan.
Kepala pecah dan seketika membiru sekujur tubuhnya.
Matanya dengan tajam mengawasi sekeliling
daerah yang dilewati. Langkahnya mantap dan pasti.
Tangan kanannya yang menggenggam tongkat terayu mantap, mengiringi langkah
kakinya. "Hei, kau. Tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat
langkah Sankher terhenti. Kemudian perlahan tubuhnya berbalik, menghadap ke
pemilik suara. Mata Sankher menatap tajam dan galak pada pemilik suara yang ternyata seorang
lelaki berambut putih, panjang. Tubuhnya yang tinggi dan agak kurus terbalut
pakaian longgar wama hijau muda. Dan di kepalanya terikat kain hitam.
Lelaki itu tak lain Suryawijaya. Lelaki berusia empat puluh tahunan ini tidak
sendirian. Dari arah lain muncul dua orang murid utamanya, yang berpakaian serba
merah. Keduanya merupakan Kembar Juling. Karena mata mereka juling.
"Hm...!" Sankher mendengus sinis menatap
ketiga orang yang menghadangnya. "Siapa kalian"!
Berani menghentikan langkahku"!" tanya Sankher kemudian dengan suara berat
"Ha ha ha...! Orang sinting, kaukah Ular Kobra dari Utara..."!" tanya
Suryawijaya dengan nada sinis.
Sankher tak langsung menjawab. Hanya matanya yang bicara. Menatap tajam wajah
Suryawijaya dan kedua Kembar Juling. Tangannya masih bersedekap di depan dada.
"Hei...! Apakah kau bisu"! Jawab...!" bentak Suryawijaya yang sudah tak tahan
menahan marah. Karena ia yakin benar, lelaki yang saat ini berhadapan dengannya, adalah orang
yang dicari. "Kalau benar, kalian mau apa..."!" Sankher balas bertanya, "Aku tak ada urusan
dengan kalian."
"Benar. Tapi aku ditugaskan untuk menghentikan
sepak terjangmu yang tak terpuji itu. Membunuh seenaknya orang-orang dan para
pendekar tanah Jawadwipa ini."
"Hm...! Kau bicara seenaknya. Kalau aku tak mau, kalian mau apa?" sahut Sankher
lalu tertawa. Mata Suryawijaya membelalak mendengar
ucapan Sankher yang mengejek dan meremeh-
kannya. Begitu pun kedua Kembar Juling, ikut marah.
Mata mereka menatap tajam lelaki asing di hadapannya.
"Kau sungguh sombong Kisanak. Aku minta sekali lagi, kau mau meninggalkan tanah
Jawadwipa ini. Sebelum kami menangkapmu...!" kata Suryawijaya dengan geram.
"Sebelum aku mencincang Pendekar Gila aku tak akan pergi...!" jawab Sankher
tegas. Usai berkata begitu, Sankher membalikkan tubuh tanpa menghiraukan Suryawijaya
dan kedua muridnya. Kemudian dengan seenaknya melangkah
meninggalkan tempat itu, sambil tertawa-tawa mengejek.
Bukan main geram dan marahnya Suryawijaya dan Kembar Juling, melihat tindakan
Sankher yang sama sekali tidak menggubris mereka.
"Kurang ajar! Berhenti kau, Pembunuh...!" bentak Suryawijaya.
Sankher tak mau berhenti. Kakinya terus
melangkah dengan mantap. Seakan benar-benar tak menghiraukan kemarahan ketiga
orang tadi. "Orang ini perlu dikasih pelajaran! Hei...! Kau kira kami takut denganmu"!
Heaaa...!"
Suryawijaya melesat cepat untuk mengejar
Sankher, diikuti kedua murid utamanya.
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Tubuh ketiganya langsung menghadang ke depan si Ular Kobra dari Utara, yang
masih tenang. Matanya yang bagai mata elang saat itu memandang tajam wajah
Suryawijaya dan kedua anak buahnya.
"Ha ha ha...! Kalian orang-orang bodoh!" dengus Sankher dengan geram.
"Hei, Orang Asing! Berhenti...!" bentak
Suryawijaya. Matanya menatap semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki aneh
yang ada di hadapannya.
"Kalian mau menghalangiku..."! Lebih baik minggir. Percuma kalian menentangku.
Tak usah kalian ikut campur urusanku. Sebaiknya, kalian ikut membantuku untuk
menemukan Pendekar Gila," ujar Sankher setengah mengejek dan sinis.
"Bangsat kau!" maki Suryawijaya marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan
suara ber-gemeretak.
Sankher hanya tersenyum sinis. Matanya yang tajam memandangi ketiga lelaki di
depannya. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat maut
diturunkan pelahan, ke samping. Rupanya Sankher menanggapi tantangan
Suryawijaya. "Hm..., bagus! Kita adu kekuatan," gumam
Suryawijaya geram, "Juling, kalian menyingkirlah dulu!
Biar aku hajar lelaki sombong ini! Yeaaat...!"
Suryawijaya langsung melakukan serangan. Kipas pusaka yang menjadi senjata
andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin deras.
Wut! Wut! Swing! Swing! "Heit...!"
Senjata sebesar jarum keluar dari kipas pusaka Suryawijaya. Menghunjam ke tubuh
Sankher. Lelaki
yang dijuluki Ular Kobra dari Utara itu segera melompat ke atas, sambil bersalto
mengelakkan senjata rahasia sebesar jarum yang jumlahnya ada sepuluh biji itu.
Hanya dengan tangan sebelah kiri, Sankher menangkis senjata-senjata itu.
"Heaaa...! Ayo lawan aku orang sombong...! Mana senjata andalanmu! Heaaa...!"
Serangan Suryawijaya semakin gencar. Bahkan lelaki asing itu ditantang agar
menggunakan tongkatnya. Kipas pusaka di tangan kanannya kembali menderu keras ke
arah lawan. Wuttt! Wuttt! Swing! Swing! "Hea...!"
Sankher mengelak dari serangan lawan. Kali ini ditangkis dengan tongkat
saktinya. Dan jarum-jarum beracun itu mental kembali ke arah Suryawijaya.
Lelaki itu membelalak lebar...
"Hah"!" Suryawijaya tersentak. Tubuhnya
melenting ke atas sambil menangkis jarum beracun yang berbalik ke arahnya.
Sankher tertawa terbahak-bahak. Melihat Suryawijaya kerepotan sendiri,
mengelakkan senjata rahasianya sendiri. Yang tadi dibalik-kan oleh Sankher,
dengan tongkat saktinya.
"Ha ha ha...!"
Hal itu membuat Suryawijaya bertambah marah.
Hatinya malu, karena merasa dilecehkan dan dihina oleh Sankher.
"Bangsat...! Heaaa...!"
Dengan marah Suryawijaya kembali menggebrak dengan kibasan-kibasan kipasnya. Dia
berusaha menekan lawannya agar tidak dapat balas
menyerang. Namun Sankher dengan mudah mengelakkan serangannya.
"Huh...!" gerakan Sankher sangat gesit, meski tak menggunakan senjata. Serangan
yang dilancarkan Suryawijaya yang keras dan cepat, bagai tak ada artinya, selalu
menemui tempat kosong.
Serangan Suryawijaya kian sengit. Kibasan kipas pusakanya menderu, menyapu, dan
menghantam Sankher.
Wuttt! Wuttt! Swing! Swing! Kembali jarum-jarum beracun melesat cepat, bagai anak panah yang terlepas dari
busurnya. Menghujami tubuh Sankher. Namun si Ular Kobra dari Utara itu dengan cepat
tubuhnya melenting ke atas, berjumpalitan. Kemudian tangan dan kakinya balas
menyerang. Gerakan ilmu silatnya begitu cepat dan keras, seakan memiliki
kelincahan yang sulit diterka.
"Kau benar-benar ingin mampus!"
Sankher atau Ular Kobra dari Utara itu
menggerakkan tangan kanan yang menggenggam tongkat saktinya. Dan....
Wrettt! Wrettt!
Bukan main terkejutnya Suryawijaya menyaksikan lelaki asing itu memainkan
tongkatnya. Baru saja lawan mempermainkan tongkatnya, seperti ada kekuatan yang
menyebar. Apalagi jika lawan telah melakukan serangan dengan tongkatnya.
"Hah"! Gawat! Celaka...! Biar aku yang
menghadapinya, Guru...!" seru salah satu dari Kembar Juling.
"Ha ha ha...! Kenapa tak sekalian, kalian bertiga melawanku...?" tantang Sankher
dengan nada sombong. Tongkat sakti berkepala ular kobra telah diletakkan di
depan dadanya. "Kurang ajar! Yeaaa...!"
Suryawijaya cepat menyerang. Kini keduanya kembali bertarung. Ia melancarkan
kibasan kipasnya ke tubuh lawan. Suara menggelegar seketika terdengar dari
kibasan itu. Wrettt! Gletarrr! "Heit...!"
Tubuh Sankher melenting dan bersalto beberapa kali di udara mengelakkan serangan
senjata lawan. Seketika itu pula tongkat saktinya dengan cepat dibabatkan, menyapu ke tubuh
lawan. Gerakan tongkat itu sangat cepat, sulit sekali diikuti mata biasa.
Suryawijaya tersentak kaget Sama sekali ia tidak menduga, kalau gerakan yang
dilancarkan lawan begitu cepat. Namun dengan cepat kipasnya dikibaskan untuk
memapaki serangan lawan.
"Haits! Heaa....!"
Wrets! Jglarrr! "Heh"!"
Kipas Suryawijaya hancur berantakan, ketika beradu dengan tongkat Sankher.
Kejadian itu membuat mata Suryawijaya membelalak tegang.
Terlebih ketika tongkat lawan semakin cepat memburu dirinya.
Wuttt! "Heaaa..."!"
Suryawijaya berusaha mengelakkan serangan tongkat lawan, namun terlambat.
Hantaman tongkat Sankher yang mengarah ke wajahnya jauh lebih cepat. Hingga...,
Wut! Plaakk! "Aaakh...!"
Suryawijaya memekik keras dengan mata melotot lebar. Tubuhya terhuyung-huyung
berlumuran darah dari kepalanya yang pecah. Mulutnya terdengar mengerang-erang
kesakitan. Namun kemudian lelaki berambut putih itu ambruk dan tewas.
"Heh"!"
"Guru...!" seru Kembar Juling bersamaan. Lalu kedua lelaki bermata juling itu,
menatap dengan penuh dendam dan kebencian pada Sankher.
Namun Sankher yang dipandang demikian
dengan tenang menyeka darah di kepala tongkatnya.
Matanya melirik kedua anak buah Suryawijaya yan tampak begitu marah.
"Babi, Kau...! Heaaat...!"
Kembar Juling dengan cepat melancarkan seranan. Keduanya serentak merangsek
lawan, berusaha membalas kematian sang Guru.
"Heaaa...!"
"Kalian rupanya sudah bosan hidup! Heaaa...!"
"Kau tak akan lolos dari kami, Manusia Iblis!
Heaaa...!"
Kembar Juling terus melancarkan serangan
dengan senjata tombak. Keduanya sudah kalap dan menyerang dengan membabi buta.
Si Ular Kobra dari Utara melompat memutar tongkatnya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Plak! "Aaakh...!"
Juling Bawuk memekik keras, dengan mata
melolot lebar. Tubuhnya terpental dengan keadaan yang mengerikan. Kepalanya
pecah dan berlumuran darah. Sesaat lelaki berpakaian serba merah itu
berkelojotan di tanah, kemudian diam tak bergerak.
Mati! Menyaksikan saudaranya tewas, Juling Wulung semakin kalap. Dengan mata gelap
tombaknya kembali disodorkan ke dada lawan. Lalu secepat kilat tombaknya
dipukulkan ke berbagai bagian tubuh Sankher.
"Mampus kau! Hea...! Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! "Aits...! Heaaat...!"
Sankher kembali mencelat ke udara, kemudian tongkat di tangannya cepat
digerakkan. Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Juling Wulung dengan cepat
menyodokkan tombak ke tubuhnya.
"Heaaa...! Jebol perutmu!"
Wuttt! Dugaan Juling Wulung ternyata meleset. Lelaki tinggi berjubah hitam itu dengan
cepat kembali melompat ke atas. Sebelum Juling Wulung sempat melakukan serangan
lagi, tongkat berkepala ular kobra itu telah melesat memukul kepala lawan.
Wut! Takkk! "Ukh!"
Juling Wulung terpekik pendek. Tangannya
memegang luka pukulan di kening. Beberapa saat matanya melotot. Tubuhnya
menegang, kemudian ambruk. Mati!
Sankher menghela napas panjang. Lalu menyeka darah di ujung tongkatnya. Tongkat
hitam itu diciumnya tiga kali, lalu diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Diturunkan kembali dengan perlahan. Kembali menghela napas panjang, sambil
memandangi mayat ketiga lawannya. Sesaat kemudian dengan tenang
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan itu angin bertiup kencang sekali. Ular Kobra dari Utara itu
terus melangkah makin jauh, meneruskan petualangannya mencari Pendekar Gila.
*** Angin sore yang berhembus kencang menerobos
belukar, pucuk pepohonan, dan rerumputan. Semak alang-alang merunduk-runduk
tanpa daya, ditam derasnya angin.
Di saat suasana sore seperti itu, tampak seorang pemuda berwajah tampan
berpakaian rompi kulit ular tengah menyusuri jalan yang sepi. Kakinya melangkah
ke barat dengan tenang, seakan tak menghiraukan kencangnya angin sore itu.
Pemuda tampan berambut godrong yang tak lain si Pendekar Gila itu cengengesan
sendirian. Sesekali tangannya tampak menggaruk garuk kepala.
Dengan langkah mantap Pendekar Gila menyusuri jalan di perbukitan, terus menuju
sebuah hutan. Sejenak dihentikan langkahnya sambil mengamati sekeliling tempat itu. Mulutnya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan.
Kemudian kembali mengayunkan kaki dengan
seenaknya meninggalkan bukit itu.
Ketika Sena menuruni Bukit Krakas, di kejauhan terlihat tiga mayat tergeletak.
Pemuda berambut gondrong itu langsung melesat menggunakan ilmu
'Sapta Kayu'-nya.
"Aha"! Suryawijaya...!" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu
menggeleng-geleng.
Wajahnya nampak bingung dan menyesal. "Aku
terlambat lagi!"
Mata Sena mengawasi ke sekeliling. Kemudian dihadapkan wajahnya ke barat sambil
memusatkan pikiran. Indra keenamnya coba digunakan. Telinganya bergerak-gerak,
seakan mendengar suara-suara kaki yang melangkah, ke tempatnya. Kedua tangannya
perlahan bersedekap di dada. Matanya dipejamkan.
Beberapa saat kemudian wajahnya tampak terkejut.
Lalu matanya kembali memandang jauh, seakan telah melihat suatu kejadian di
tempat lain. "Celaka!" gumam Sena. Lalu tubuhnya melesat dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'-nya.
Dalam sekejap saja tubuhnya telah berada puluhan tombak meninggalkan Bukit
Krakas. Benar, ternyata di Perguruan Elang Sakti telah terjadi pertarungan. Bekas rumah
Ki Putih Maesaireng hancur, porak-poranda. Sena yang baru saja tiba di depan
Perguruan Elang Sakti, tampak tercengang menyaksikan pamandangan itu. Namun
kemudian mulutnya cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah...
benar...! Mengapa aku begitu tolol?" gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri,
telah meninggalkan begitu saja Sundari dan Sawung Rana.
Sena melangkah ke samping pendopo perguruan yang telah hancur. Sesampainya di
situ, ditemu-kannya beberapa sosok tubuh tergeletak tanpa nyawa dan salah
satunya dia kenal, yaitu Sugalingga.
"Ah ah ah... apa yang telah terjadi, Kisanak?"
tanya Sena sambil memegangi kepala Sugalingga yang sudah sekarat. Lelaki itu tak
bisa berkata apa-apa hanya dengan berat ia mengangkat tangan, menunjuk ke barat.
Lalu setelah itu matanya ter-
pejam dan menghembuskan napas terakhir.
Sena menghela napas dalam-dalam. Perlahan ditaruhnya kepala Sugalingga di tanah.
Lalu Sena segera melesat pergi ke arah barat.
"Auuu..., tolong!"
"He he he...! Kau mau lari ke mana, Anak manis?"
Brettt! "Aaakh...!"
Sundari berteriak tertahan, ketika tangan Darkapala melesat cepat di dadanya.
Gadis itu tak sempat mengelitkan serangan, sehingga dadanya berhasil dijamah.
"Kurang ajar...!"
Belum habis rasa ketakutannya, tiba-tiba seorang lelaki menghadangnya.
"He he he...! Kini kau tak akan lolos lagi dariku, Cah Ayu...," kata lelaki
setengah baya yang tak lain Guntala.
"Kau..."!" pekik Sundari ketakutan.
"Hmmm...! Ayolah, kau akan merasakan
nikmatnya surga dunia, Cah Ayu. He he he...!"
Selesai berkata begitu, Guntala mengisyaratkan pada Darkapala, dengan
mengedipkan mata.
Darkapala segera menangkap Sundari yang
bersandar di batang pohon. Dipeganginya tangan gadis itu. Sundari pun tampaknya
tak mampu berbuat banyak.
"Aaakh...! Jangan! Tolong...! Aaa...!" teriak Sundari sejadi-jadinya.
"Diam...!" bentak Guntala dengan geram. Bret!
Brettt! Guntala merobek pakaian Sundari lebih lebar.
Kemudian tangannya segera memeluk tubuh gadis cantik yang tampak meronta-ronta
itu. Namun karena
kedua tangan Sundari dipegangi oleh Darkapala, jelas sulit baginya untuk mampu
menolak perlakuan keji Guntala.
Darkapala terus memegangi tangan Sundari.
Tubuh gadis berpakaian merah delima kini telah tergeletak dengan tangan
direntang secara paksa.
"Terus pegang yang kuat, jangan sampai lepas...!"
ujar Guntala dengan suara hampir tak terdengar, karena menahan nafsu yang
menggebu-gebu. Dengan cepat tangannya memaksa Sundari agar merenggang-kan kedua
pahanya. Namun ketika Guntala hendak melaksanakan perbuatan kejinya, tiba-
tiba.... "Heaaa...!"
Plakkk! Bugk! "Aaa...!"
Sesosok bayangan melesat dan langsung
melancarkan serangan cepat. Tubuh Guntala dan Darkapala seketika terjungkal
dengan mulut meringis menahan rasa sakit.
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah ah ah..., kau memang babi tua yang tak tahu diri! Rupanya kau mencari
mampus...," suara tawa itu ternyata keluar dari mulut seorang pemuda berompi
dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan Sena Manggala, Pendekar Gila.
"Hah..."! Kau...?"
Guntala kaget, dengan cepat dibetulkan
celananya yang sudah terlepas sebagian. Sena memandanginya dengan tajam.
Tampaknya kali ini Pendekar Gila benar-benar kesal. Meskipun wajahnya sesekali
cengengesan seraya menggaruk-garuk kepala, ucapannya tak bisa dianggap bergurau
atau main-main.
"Kau memang Iblis berkedok manusia...! Tua bangka Keparat...!" ujar Pendekar
Gila geram, sambil
nencabut Suling Naga Sakti. "Terimalah ganjaran ini, babi Tua...!"
Wajah Guntala semakin pucat. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya.
Namun lelaki selengah baya itu berusaha membuka jurus. Namun Pendekar Gila lebih
cepat bergerak, melesat sambil bersalto dan menghantamkan Suling Naga Sakti-nya
ke kepala Guntala.
"Heaaa...!"
Krakkk! "Aaakh...!"
Guntala tak sempat mengelak. Mulutnya terpekik keras ketika suling Pendekar Gila
menghantam tubuhnya. Tubuh pimpinan Perguruan Elang Emas itu terpental dan jatuh
ke tanah dengan keadaan mengerikan. Dan tewas seketika.
Darkapala yang melihat Guntala mati secara mengerikan, hendak lari. Namun
Pendekar Gila lebih cepat melesat, menghadangnya.
"Hi hi hi..., hendak lari ke mana kau, Cecurut Kudisan"!"
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil
menimang-nimang Suling Naga Sakti di tangan kirinya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! Dengan cepat Darkapala melesat menyerang
dengan golok panjangnya.
"Aits! He he he...! Kau rupanya senang bermain-main juga, Cecurut!" ejek Sena
sambil meliukkan tubuh menghindari babatan golok Darkapala.
"Ah ah ah...! Kau masih harus banyak berlatih, Kisanak!"
"Huh! Jangan kau kira aku takut, Pendekar Gila.
Heaaa...!"
Darkapala tampaknya tak menyadari siapa yang dihadapi saat itu. Mungkin karena
merasa malu untuk menyerah begitu saja, atau karena sangat marah melihat gurunya
tewas. Tubuhnya melesat melakukan serangan dengan goloknya.
"Ah ah ah...! Sombong juga kau ini, Kisanak.
Terimalah ini! Heaaa...!"
Sambil meliukkan tubuhnya, dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar
Gila melancar pukulan telapak tangan.
Wuttt! "Aaakh...!"
Darkapala terpekik keras ketika tepukan telapak tangan Pendekar Gila mendarat di
dadanya. Tubuhnya tidak terhuyung-huyung melainkan terlontar deras ke belakang, kemudian
jatuh dan bergulingan di tanah. Sesaat Darkapala menggeliat kemudian diam tak
berkutik. Tewas.
Sena menghela napas puas. Lalu ia menolong Sundari yang pingsan. Karena
ketakutan dan lemah.
Dibopongnya tubuh gadis itu setelah dirapikan pakaiannya. Sena mencari tempat
yang agak bersih dan teduh. Dibaringkan tubuh gadis yang malang itu di atas
rerumputan. Kemudian, perlahan tangannya ditempelkan di punggung Sundari yang
masih pingsan. Matanya terpejam sambil menyalurkan hawa murni. Tak lama setelah
itu Sundari tampak menggeliat.
"Uh...! Hah..."!" suaranya masih lemah. Dengan malu Sundari menutupi bagian dada
dengan kedua telapak tangannya.
Sena membalikkan badan, membelakangi
Sundari. "Bagaimana ini bisa terjadi" Di mana Sawung Rana...?" tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
Dirinya tetap membelakangi Sundari.
"Kejadiannya begitu cepat. Sehingga tak ada kesempatan bagiku untuk melawan. Si
Ular Kobra dari Utara tiba-tiba datang. Dia membunuh Sugalingga dan tiga murid
Perguruan Elang Sakti.
Kemudian...."
Sundari tak meneruskan ucapannya, karena terus nenangis. "Hm...! Lalu bagaimana
Guntala bisa sampai di sini...?" tanya Sena ingin tahu.
"Aku tak dapat mengingatnya lagi. Mungkin Guntala di balik semua ini..:. Oh...,"
tutur Sundari di sela suara tangisnya.
Sena diam. Kepalanya tampak menggeleng-
geleng lalu menghela napas dalam-dalam sambil cengengesan.
"Aha, kalau begitu ikut aku mencari Sawung Rana, Ki Kuncara, dan Ki Rah Sewu!
Mudah-mudahan mereka masih hidup. Dan aku harus segera mencari si Ular Kobra
itu...!" ajak Sena dengan mulut cengengesan.
"Terima kasih. Kau telah menolong, menyelamat-kanku untuk kedua kalinya..."
Suara Sundari serak, disertai isak tangisnya.
Sena hanya menggaruk-garuk kepala, "Sudahlah, ayo rapikan pakaianmu!"
Selesai berkata begitu, Sena lalu melangkah.
Sundari sambil menutupi dadanya dengan kedua tangannya, mengikuti di belakang.
*** 6 Dunia persilatan benar-benar kacau-balau, dengan kehadiran Sankher atau si Ular
Kobra dari Utara itu.
Di mana-mana terjadi pembantaian. Sementara itu banyak tokoh dari aliran hitam
yang memanfaatkan keadaan itu. Sehingga banyak tokoh putih yang bingung dan
serba salah. Kian hari sepak-terjang yang dilakukan si Ular Kobra dari Utara itu kian
merejalela. Tak satu pun tokoh persilatan golongan putih yang mampu
menghadapinya. Siapa pun akan tewas dengan keadaan mengerikan kalau berani
menghalangi atau
menantang lelaki yang berasal dari India itu.
Seperti siang itu, ketika angin kencang
menerbangkan debu-debu dan dedaunan di Lembah Merawan, tampak Sankher tengah
menghadapi Ki Kuncara, Pimpinan Perguruan Panca Purba.
"Kisanak..., sebaiknya perbuatanmu itu
dihentikan. Kalau kau pendekar sejati, tak akan membunuh dengan keji. Dan kalau
kau tak mau mendengar saranku, baiklah," ujar Ki Kuncara.
Matanya mengawasi dengan tajam setiap gerakan si Ular Kobra dari Utara.
Namun Sankher tak menjawab. Hanya matanya yang terus menatap tajam lelaki
berusia sekitar lima puluh lima tahun di hadapannya.
"Kenapa kau diam" Apakah kau tuli" Bisu..."!"
bentak Ki Kuncara mulai geram.
"Aku tak punya urusan denganmu. Aku akan
pergi, jika kau mau menunjukkan di mana Pendekar
Gila berada!" jawab Sankher tenang sambil menggerakkan tangan kanannya yang
memegang tongkat.
"Hm..., lalu untuk apa kau mencarinya" Dia sahabatku," kata Ki Kuncara menjawab
dengan tegas. "Bagus! Sampaikan, aku ingin membunuhnya! Dia harus mati di tanganku!"
Membelalak mata Ki Kuncara mendengar ucapan sombong Sankher. Hatinya seketika
bertambah marah terhadap si Ular Kobra dari Utara itu.
"Kau memang tak tahu sopan santun! Hei orang asing, kau tak akan dapat
melawannya, sebelum melangkahi mayatku. Ayo, keluarkan seluruh ilmumu...!"
tantang Ki Kuncara sengit.
Usai berkata begitu, Ki Kuncara segera menarik kaki kirinya dua langkah ke
belakang. Toya panjang di tangan kanannya diputar dengan cepat. Sedangkan tangan
kirinya, dengan jari-jari menyatu menghentak ke depan. Telapak tangannya memukul
ke tubuh Sankher.
Sementara itu, Sankher seperti tak menghiraukan gerakan yang dilakukan Ki
Kuncara. Dirinya tetap tenang memandangi Ki Kuncara yang siap
menyerang. "Hm...!" dengus Sankher. Kemudian tangannya yang memegang tongkat direntangkan
ke samping kanan, lalu ditekuknya ke dada.
Wuttt! Wuttt! Tongkat yang telah merenggut banyak korban itu digerakkannya. Dari ujungnya yang
berbentuk kepala ular memancar sinar kemerahan menyala. Setelah digerakkan ke
samping tongkat sakti itu diputar-putar dengan kecepatan tinggi. Itulah jurus
'Tongkat Iblis', sebuah jurus yang sangat berbahaya dan mematikan!
Ki Kuncara yang sudah mengetahui sepak terjang Sankher, tak mau gegabah.
Gerakannya yang cepat mengubah toya itu menjadi baling-baling yang membentengi
tubuhnya. Kemudian dengan pekikan menggelegar, lelaki tua itu menyerang dengan
jurus yang tak kalah hebat, bernama 'Toya Sakti Pelebur Jiwa'.
Wuttt! Wuttt! "Hiaaa...!"
Sankher segera menggerakkan tongkatnya
dengan cepat, menghantam ke depan dan ke
samping. Sementara tangan kirinya diletakkan di depan dada.
"Hiaaa...!"
Wrettt! Ki Kuncara mulai melabrak. Toya yang kedua ujungnya runcing berdesing memburu
tubuh lawan. Wrettt! Trakkk!
Dengan cepat Sankher menyabetkan tongkat
memapak serangan lawan. Kemudian segera balas menyerang dengan sabetan dari atas
ke bawah. "Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! Ki Kuncara segera melompat cepat ke belakang.
Kemudian meliukkan tubuh dengan cepat, sambil menyapukan toyanya ke tubuh
Sankher dengan jurus
'Sapuan Toya Membelah Karang'.
Wuttt! Trakkk! Deru angin yang ditimbulkan kedua senjata berbentuk tongkat itu terdengar
ditingkahi oleh suara benturan keras. Suasana sunyi di Lembah Merawan seketika
berubah riuh. Teriakan-teriakan keras saling bersahutan mengiringi serangan yang
mereka lakukan. Ki Kuncara tampaknya tak dapat dianggap tokoh sembarangan. Dalam
beberapa gebrakan, jurus-jurus nya mampu menandingi si Ular Kobra dari Utara.
Bahkan tampaknya lelaki tua itu berusaha terus menggempur, dengan maksud tak
ingin lawannya membalas serangan.
Keduanya terus berkelebat serta saling
membabat dan menusukkan senjata masing-masing.
Ki Kuncara yang tak ingin mati konyol, berusaha mengimbangi serangan Sankher.
Toya yang kedua ujungnya runcing dan beracun itu terus digerakkan dengan cepat.
Wut! Wut! Trak! Trak! "Huh! Heaaa...!"
Ki Kuncara telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengimbangi serangan
Sankher. Namun tongkat Sankher yang berhawa maut lebih ganas, membuat lelaki tua
itu tampak mulai lemah.
Serangan-serangannya pun mulai mengendor.
Tubuhnya yang terbalut jubah kuning mulai basah oleh peluh.
"Celaka!" pekik Ki Kuncara dengan mata membelalak lebar. Dikerahkan tenaga dalam
untuk mencoba mengatasi rasa pening yang muncul di kepalanya. Dan dengan cepat
Ki Kuncara menekan sesuatu di toyanya. Hingga....
Srrrttt...! Tiba-tiba ujung toya meluncur begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Swing! Swing! "Hah..."! Heaaa...!"
Sankher tersentak kaget. Tubuhnya melompat mundur sambil bersalto di udara.
Kalau saja gerakannya terlambat, tentu perutnya akan tertembus mata toya yang tiba-tiba
melesat mem-burunya.
Melihat kekagetan lawannya, Ki Kuncara tak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah
menarik toyanya ke depan dada, dia kembali menghentakkan toyanya ke depan sambil
menekan sesuatu pada batang toyanya.
Srttt! Mata toyanya kembali melesat cepat memburu tubuh lawan. Dengan cepat Sankher
melenting ke atas, mengelakkan senjata rahasia itu. Kemudian, dengan ringan
kedua kakinya hinggap pada toya Ki Kuncara yang masih terentang.
"Hah..."!"
Ki Kuncara yang tak menduga Sankher akan
berbuat demikian, tersentak kaget. Dirinya berusaha menarik toya namun Sankher
telah mendahului.
"Heaaa...!"
Wrettt! Si Ular Kobra dari Utara telah bersalto di udara.
Tongkat di tangannya bergerak cepat ke wajah Ketua Perguruan Panca Purba itu.
Ki Kuncara berusaha mengelakkan tebasan
tongkat Sankher. Namun gerakan lelaki berjubah hitam itu jauh lebih cepat
dibanding gerakan meng-elaknya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Plakkk! "Aaakh...!"
Ki Kuncara memekik keras dengan mata
terbelalak lebar. Keningnya retak. Tubuhnya yang berpakaian kuning langsung
berlumuran darah.
Sebelum jatuh terjerembab tubuhnya tampak sempoyongan dengan mulut mengerang
kesakitan. "Huh...!"
Sankher menghela napas puas. Tangan kirinya menyeka darah yang meleleh di
tongkatnya. Kemudian tongkat itu diciumnya. Setelah
memandang mayat Ki Kuncara lelaki berjubah hitam itu melangkah meninggalkan
tempat itu. Sedangkan dua orang murid Ki Kuncara
sebelumnya telah lari ketakutan, ketika melihat sang Guru tewas mengenaskan.
*** "Gila!" gumam Sena, ketika menyaksikan mayat lelaki yang telah menjadi koban
Sankher. "Ki Kuncara, sungguh malang nasibmu!"
Sundari menutup wajahnya sambil membalikkan badan, karena ngeri melihat Ki
Kuncara yang mati mengenaskan.
Sena berjongkok di dekat tubuh Ki Kuncara yang sudah tak bernyawa itu. Anehnya,
meskipun dalam keadaan seperti itu, wajahnya masih cengengesan sambil memandangi
wajah Ki Kuncara yang tertutup darah.
"Bagaimana nasib Kakang Sawung Rana" Di
mana dia sekarang...?" gumam Sundari dengan suara bergetar.
"Ah..., terlambat lagi. Sungguh aku tak mengerti.
Begitu cepat si Ular Kobra itu bertindak," gumam Sena lirih, wajahnya nampak
sedih bercampur kesal.
Setelah lama memandangi tubuh Ki Kuncara, Sena berdiri. Matanya mengawasi ke
sekelilingnya seolah berusaha mencari jejak pelaku pembunuhan
itu. "Mudah-mudahan Sawung Rana dan Ki Rah Sewu masih selamat. Hhh... ke mana
perginya si Ular Kobra itu...?" gerutu Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling tempat itu, namun tetap saja tak
menemukan tanda-tanda, atau jejak Sankher.
"Hi hi hi..., lucu, lucu sekali!" geram Sena cengengesan. "Bagaimana mungkin
tidak ada jejak sedikit pun"!"
Sundari nampak hanya bisa diam diri, tak
bergerak dari tempatnya. Matanya pun memandangi sekeliling tempat itu. Kedua
tangannya tetap menutupi bagian dada.
"Oh, Kakang Sawung Rana di mana kau,
Kakang...?" keluh Sundari tiba-tiba.
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sena semakin cemas dan terus menggaruk-garuk kepala makin cepat. Matanya kembali
memandangi mayat Ki Kuncara yang telah kaku.
Tiba-tiba dari arah timur nampak empat sosok lelaki berlarian ke arahnya.
Ternyata Sawung Rana bersama Rah Sewu dan dua orang muridnya.
"Hah..., Ki Kuncara...!" pekik Ki Rah Sewu dengan wajah sedih.
Sesaat mereka diam. Hanya perasaan masing-masing yang berbicara.
Sawung Rana yang tadi begitu melihat Sundari, langsung menghampiri dan
memeluknya, kini tampak tegang, matanya memandangi mayat Ki Kuncara.
"Kisanak, aku tak bisa lama-lama di tempat ini.
Sebaiknya, kalian jangan tinggalkan tempat ini.
Sawung Rana, jaga Sundari! Jangan kau
meninggalkannya lagi!" kata Sena tegas. Tubuhnya kemudian melesat bagai terbang,
meninggalkan tempat itu. Ki Rah Sewu, Sawung Rana, dan Sundari
memandangi kepergian Sena dengan perasaan cemas.
*** Dunia persilatan semakin tercekam. Keadaan
rimba persilatan tengah terancam mara bahaya. Apa lagi dengan adanya berita
tentang pembunuhan Ki Kuncara, Suryawijaya, dan Sugalingga dari aliran putih
yang berilmu cukup tinggi.
Kini harapan para tokoh-tokoh persilatan hanya Pendekar Gila. Pendekar muda itu
kini memang merasa bertanggung jawab untuk menangkap dan menghentikan kejahatan
Sankher. Hal itu terutama karena si Ular Kobra dari Utara itu menantang dirinya.
Siang itu ketika matahari bersinar cerah tampak Sena tengah berlari cepat
menggunakan ilmu 'Sapta Bayu'-nya. Meskipun jalan yang dilalui berupa jalan
terjal, sesekali harus melompat tebing dan batu-batu kali, dengan tubuhnya terus
melesat. Namun ketika baru saja melompati sebuah sungai kecil tiba-tiba Sena
dikejutkan adanya sesosok bayangan berkelebat di depannya.
Sena sangat kaget bercampur gembira, ketika mengetahui orang yang telah ada di
Bangau Sakti 28 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Memburu Iblis 2
"Tidak. Hanya...," Sundari tak meneruskan ucapannya. Kemudian kembali
melangkahkan kakinya. Ketika sampai di suatu dataran yang sekelilingnya ditumbuhi pepohonan rindang
dan besar, tiba-tiba....
"Heaaa...!"
"Aist...! Heh"!"
Salah seorang anak buah Guntala menyerang Sawung Rana secara membokong. Namun
pemuda tampan itu tampaknya telah merasakan ketidakberesan itu. Hingga dengan
cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan di tanah.
"He he he...!"
Sementara Sundari pun mendapat perlakuan
kurang sopan dari Guntala. Lelaki setengah tua itu, dengan gerakan cepat menarik
lengan Sundari disusul dengan remasan tangan kanannya ke buah dada gadis cantik
itu. "Akh...!" pekik Sundari sambil menepiskan tangan Guntala. Lalu cepat menjauhi
lelaki tua keladi itu, sambil memasang kuda-kuda.
"He he he...! Ck ck ck...! Kau membuat
kelelakianku tergoda, Cah Ayu. He he he...!" Guntala dengan mata liar memandangi
keindahan tubuh Sundari yang sintal dan sangat menggairahkan itu.
Lidahnya menjulur keluar, membasahi bibirnya sendiri.
"Tua bangka tak tahu diri...!" sungut Sundari dengan muka merah. Mata Sundari
menatap tajam Guntala yang melangkah mendekatinya. Sementara tangan dan kakinya
sudah mengatur kedudukan, memasang kuda-kuda.
"He he he...! Cah Ayu, kau tak usah marah!
Menurutlah, sebelum kau menyesal...," bujuk Guntala, sambil mengusap-usapkan
dadanya. Matanya terus menatap dengan nakal tubuh Sundari.
"Dasar laki-laki cabul...! Heaaat...!"
Sundari yang sudah tak sabar lagi, langsung menyerang Guntala. Dibabatkan
pedangnya ke ulu hati lelaki setengah baya itu. Namun Pemimpin Perguruan Bintang
Mas itu berilmu silat yang cukup tinggi. Terbukti dengan mudah mengelakkan
serangan lawan. Dimiringkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu melompat
mundur. "He he he..., eits! Sabar, Cah Ayu! Kau tampak cantik dan membuatku semakin
bernafsu, jika marah
begitu.... Ayolah!"
Guntala terus meledek, bahkan sekan tak peduli dengan pedang Sundari yang terus
mencecarnya. Dengan merebahkan tubuh dan berguling ke tanah, Guntala mengelakkan serangan
gadis berpakaian merah delima itu.
"Heaaattt...!"
"Eit...! Heaaa...!"
Guntala mulai beraksi. Dengan lincah lelaki tua itu menangkis dan melancarkan
serangan balik ke tubuh lawan. Sundari tersentak melihat serangan balik Guntala
yang cepat. Membuat ia menarik pedangnya ke depan dada. Kemudian menarik napas
sejenak dan kembali membuka serangan.
"Heaaat...!"
"Heits! Hih...!"
Degk! Degk! "Aaakh...!"
Sundari memekik kesakitan, ketika pukulan Guntala bersarang telak di tengkuk dan
punggungnya. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi tengkuknya. Wajah gadis cantik itu
memerah karena marah.
"He he he...! Menyerah sajalah kau, Cah Ayu. He he he...!" ejek Guntala sambil
mendekati Sundari yang masih kesakitan. Namun ketika lelaki setengah baya itu
berada satu tombak di depannya, tanpa diduga Sundari dengan cepat membabatkan
pedangnya. Lelaki tua yang memiliki ilmu silat dua tingkat dari lawannya, dengan
cepat merebahkan badan ke belakang. Sedangkan tangannya coba menangkis serangan
Sundari. "Heaaat...!" Wuttt!
"Aits! Hea...!"
Guntala berjumpalitan ke belakang, ketika Sundari mencecarnya. Lalu kakinya
hinggap pada sebuah batu besar. Dan selamatlah lelaki tua keladi itu. "Hi hi
hi...! Percuma kau melawanku, Manis. Hi hi hi...!"
Guntala mengejek Sundari sambil mengusap-
usap jenggotnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Sundari yang kini berada di bawah, memandang lelaki itu dengan penuh kebencian.
Sementara itu Sawung Rana masih bertarung sengit melawan tiga anak buah Guntala.
"Kurung dia...!" seru salah seorang dari ketiga anak buah Guntala.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Trang! Trang! Pedang Sawung Rana dan golok ketiga lawannya beradu. Mengeluarkan percikan sinar
api. Dengan gesit dan cepat, Sawung Rana menyerang dan menangkis serangan lawan.
Ketiga lawannya sempat tersentak, ketika babatan pedang pemuda berpakaian putih
itu sempat melukai lengan salah seorang dari mereka.
"Heaaa...!"
Wuttt! Crasss! "Aaakh...!"
Pekik Barkala, satu dari ketiga anak buah Guntala.
"Hah..."! Boleh juga ilmu pedang pemuda itu...,"
gumam Wiraksa yang berbadan paling besar.
Matanya membelalak lebar.
"Serang...!" seru Darkapala, orang yang paling tua di antara ketiga anak buah
Guntala. Kumisnya yang tebal menyatu dengan cambang bawuk di pipi.
Melihat lawannya berkelebat menyerang, Sawung Kana pun tak mau tinggal diam.
Secepat itu pula pemuda tampan itu melompat sambil menjulurkan pedang ke depan,
memapaki serangan lawan. Tak terhindarkan, pertarungan semakin seru dan sengit.
Ketiga anak buah Guntala nampak penuh semangat ingin segera menjatuhkan Sawung
Rana. Apalagi Barkala sudah terluka.
"Heaaa...! Mampus kau Anak Muda...!" seru Darkapala sambil membabatkan golok ke
kepala lawan yang sempat lengah. Namun, Sawung Rana masih bisa menangkis dengan
pedang, sebisanya sambil berguling ke samping, menjauhi lawan-lawannya.
Mata Darkapala membelalak, ketika serangannya dapat ditangkis. Hatinya semakin
kesal dan marah.
Mukanya merah. Lalu dengan cepat kembali
menyerang Sawung Rana yang sudah kembali siap menghadapi mereka.
Kini Darkapala dan Wiraksa menyerang ber-
samaan dari dua arah. Keduanya melompat sambil berteriak. Sawung Rana pun
melompat memapaki serangan itu.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Trang! Trang! Wuttt! Wuttt!
Pekikan keras dan denting senjata saling beradu terus terdengar semakin riuh.
Dengan sekuat kemampuannya Sawung Rana terus berusaha
bertahan dari gempuran serangan kedua lawannya yang menyerang secara serentak.
Namun Sawung Rana yang memang ilmu pedangnya belum
sempurna, dan masih satu tingkat di bawah anak buah Guntala tetap menunjukkan
kekerasan hati untuk bertahan. Namun, tiba-tiba....
Swing! Swing! "Hah"! Aaakh...!"
Tanpa diduga sama sekali, Durkapala dan
Wiraksa mengeluarkan senjata rahasia. Beberapa pisau kecil melesat memburu tubuh
Sawung Rana. Bahkan satu di antaranya mengenai tangan kanan Sawung Rana. Pemuda itu memekik
keras. Tubuhnya jatuh bersamaan dengan pedangnya yang terlepas.
Melihat Sawung Rana jatuh dan mulai melemah fisiknya, Darkapala, Wiraksa, dan
Barkala serentak hendak menghabisi nyawanya. Namun tiba-tiba....
"Aaakh...!"
Sesosok bayangan melesat begitu cepat. Bagai seekor elang menyambar mangsa,
melancarkan serangan kilat. Kontan ketiga anak buah Guntala terpekik. Tubuh
mereka terpental lima tombak dari tempatnya, karena terkena serangan cepat dari
sosok bayangan tadi.
"Aha, rupanya ada manusia-manusia kotor di sini.
Hi hi hi...!" ejek seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang tak lain
Sena Manggala atau Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Hukh! Huekh...!"
Ketiga anak buah Guntala muntah darah dan tak mampu bangkit lagi. Dada mereka
membekas telapak tangan kebiruan.
Tak jauh dari situ, Sundari telah berada di tangan Guntala. Tampaknya tubuh
gadis berpakaian merah delima itu tertotok jalan darahnya, hingga terkulai
lemas. Guntala tak membuang kesempatan baik itu.
Segera lelaki tua yang mata keranjang itu menggeluti tubuh Sundari yang sudah
tak berdaya kena totokannya.
Guntala baru saja hendak melepaskan
pakaiannya untuk menggeluti Sundari ketika terdengar suara gelak tawa
menggelegar yang seakan hendak menggetar bumi.
"Hua ha ha...! Hi hi hi...! Rupanya masih ada lagi tikus tua mau melalap laun
muda... Lucu, lucu sekali tua bangka ini...!" ejek Pendekar Gila sambil
bertingkah seperti orang gila.
"Hah..."! Kurang ajar...! Siapa kau, Pemuda Sinting!" bentak Guntala sambil
memberesi celananya. Matanya terbelalak kaget melihat kedatangan pemuda
bertingkah laku gila yang begitu tiba-tiba.
"Ah ah ah! Untuk apa mengetahui siapa aku. Yang jelas aku bukan hantu, atau
seperti kau, Tua Bangka...!" sahut Sena dengan nada mengejek sambil menggaruk-
garuk kepala. Pendekar Gila cepat melesat mendekati Sundari lalu cepat membawanya menjauh dari
Guntala yang masih nampak gugup. Dan setelah berada cukup jauh dari Guntala
segera ditotoknya tubuh gadis itu agar terbebas aliran darahnya.
Tuk! Tuk! "O..., hah"! Siapa kau?" tanya Sundari setelah sadar, melihat Sena yang
cengengesan. Lalu menoleh ke arah Guntala yang siap mau menyerang Sena.
"Cepat, selamatkan kawanmu di sana!" kata Sena, "Nanti baru kita bicara. Akan
kubereskan tua bangka ini."
Seperti tanpa sengaja Sundari menganggukkan kepala, lalu melesat menuju tempat
Sawung Rana yang kesakitan. Tangannya mengucurkan darah.
"Kau..."! Rupanya kau Pendekar Gila! Kebetulan, aku sedang mencari-carimu,
Pemuda Gila...!" dengus Guntala marah melihat Pendekar Gila yang telah
menghalangi niatnya.
"Aha, hi hi hi..., lucu sekali kau ini, Tua Bangka!
Otak kotormu itu perlu dicuci. Ah..., untuk apa kau mencariku..."!" tanya
Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Aku mencarimu hanya akan memberi tahu,
bahwa kau tak lama lagi akan mampus oleh tokoh yang berjuluk Ular Kobra dari
Utara itu! Ha ha ha...!
Dan aku telah mengatakan, bahwa kaulah yang membunuh keponakanku, Dewi Pandagu.
Ha ha ha...!"
Guntala tertawa terbahak-bahak. Hatinya merasa yakin kalau Pendekar Gila pasti
akan mati di tangan Sankher. Namun Sena yang mendengar itu justru bertingkah
seperti monyet, melompat-lompat, sambil menepuk-nepuk pantatnya. Lalu menggaruk-
garuk kepala sambil tertawa-tawa.
"Hi hi hi...! Lucu, lucu sekali! Kau memang tua bangka yang sudah pikun dan
bosan hidup...!" tukas Sena dengan cekikikan.
"Kurang ajar! Heaaattt...!"
Guntala yang sudah tak tahan mendengar ejekan Sena, langsung menyerang. Namun
sebelum Sena bertindak. Tiba-tiba....
"Yeaaattt...!"
Sundari yang benar-benar tak mampu menahan amarah mendahului, menyerang Guntala.
Melihat serangan cepat yang dilakukan gadis berpakaian merah delima itu Guntala
nampak tersentak kaget. Namun dengan gerak cepat lelaki
setengah baya itu mengelakkan serangan pedang Sundari.
Namun serangan cepat Sundari yang disertai amarah dan nafsu itu hanya sia-sia
belaka. Tampaknya Guntala yang berilmu lebih tinggi beberapa tingkat mampu
membaca kemampuan lawan.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! "Aits! Hea...!"
Beberapa kali serangan Sundari dapat dielakkan oleh Guntala dengan melompat ke
kanan dan kiri.
Atau sesekali melenting ke atas.
"Heaaa...!"
Wuttt! "Heh"! Hea...!"
Dugk! "Aaakh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari mulut gadis cantik berambut panjang itu ketika
pukulan tangan kanan Guntala mendarat di tengkuknya. Tubuhnya tersungkur ke
depan lalu jatuh mencium tanah.
Melihat Sundari jatuh, Pendekar Gila langsung melenting melakukan serangan.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' tubuhnya meliuk-liuk laksana menari
dengan tangan sesekali menepuk ke tubuh lawan. Gerakannya kelihatan lamban dan
lemah gemulai, bagaikan tak mengandung tenaga sama sekali.
Hal itu membuat Guntala menganggap remeh
lawan. Lelaki setengah baya itu segera melancarkan serangan dengan membabatkan
pedangnya. Dirinya menyangka gerakan Pendekar Gila yang lamban dan lemah itu tak
akan mampu mengelakkan sabetan pedangnya. Namun betapa terkejut hatinya ketika
menyaksikan apa yang terjadi.
Dugaan Guntala meleset. Pemuda berambut
gondrong dan bertingkah laku seperti orang gila itu sangat mengagumkan. Meski
gerakan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah, ternyata justru dengan
mudahnya mengelak. Hanya dengan menggeser kaki ke samping dan melenturkan tubuh
dengan membungkuk dan mendongak, semua serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan
tiba-tiba.... "Hih...!"
Wuttt! Hampir saja pukulan telapak tangan Pendekar Gila menghantam dada Guntala, kalau
tak segera melompat ke belakang. Betapa terkejutnya Guntala ketika tiba-tiba
tangan Pendekar Gila yang seperti menari itu telah dekat ke tubuhnya. Padahal
dirinya telah menguras ilmu meringankan tubuh, namun tetap saja pendekar muda
itu mampu mengejarnya.
"Hah"! Jurus gila...!" pekik Guntala, kaget.
Wajahnya mendadak pucat. Menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan Sena. Namun
sebagai orang yang telah banyak pengalaman, Guntala tak ingin mengalah begitu
saja. Tubuhnya segera melenting untuk mengelakkan serangan lawan, kemudian
dengan cepat dibukanya jurus andalan yang dinama-kan 'Cakar Naga Merah'.
Karena gerakan yang sangat cepat, tangan
Guntala berubah menjadi banyak. Kuku-kukunya yang panjang dan runcing membentuk
cakar naga, bergerak cepat mengcengkeram dan mencabik ke tubuh Pendekar Gila. Ke
mana Sena bergerak, tangan Guntala terus mengejarnya dengan cakaran-cakaran
maut. "Heaaattt...!"
Wrertt! Wrettt!
Masih dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Pendekar Gila meliuk-liuk ke sana kemari mengelakkan serangan 'Cakar Naga Merah'
Guntala. Mulutnya kadang-kadang cekikikan, atau
cengengesan mengejek lawan.
Melihat tingkah laku konyol pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu
Guntala tampak ternganga.
Karena marah dan kesal, serangannya tak terarah, mulai ngawur. Mengetahui
keadaan lawan itu Pendekar Gila cepat melancarkan serangan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari sambil melontarkan pukulan dengan telapak
tangan. "Heaaa...!"
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plak! Plakkk! "Aaakh...!" Guntala memekik keras, ketika tepukan tangan Pendekar Gila yang
tampak lemah dan tak bertenaga mendarat telak di dadanya. Matanya terbelalak
heran, hampir tak percaya dengan apa yang barusan dialami. Tubuhnya terlontar
deras ke belakang lalu jatuh bergulingan.
"Huekh...!"
Dari mulut Guntala keluar darah segar. Tampaknya pukulan Pendekar Gila telah
menimbulkan luka dalam.
"Hi hi hi...! Kenapa kau, Ki" Ah, itu imbalan bagi orang tua usil...!" mulutnya
cengengesan lalu tertawa cekikikan.
"Kenapa tak kau bunuh, Tuan Pendekar...?" tanya Sundari yang telah berdiri di
samping kanan Sena.
"Aha, aku tak bisa membunuh lawan yang sudah terluka," jawab Sena masih
menggaruk-garuk kepala dan mulut cengengesan.
Sundari semakin heran melihat tingkah Sena.
Gadis itu, tanpa sengaja melihat Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang
Sena. "Heh"!" desis Sundari dengan membelalak,
"Kisanak..., apakah kau Pendekar Gila itu...?"
Belum sempat Sena memberikan jawaban
terdengar suara seperti mengerang dari mulut Guntala.
"Pendekar Gila, bunuh saja aku! Bunuhlah... huk, huk, huk!"
"O..., jadi kaulah Pendekar Gila yang kucari itu.
Alangkah bahagia aku dan Kakang Sawung Rana...!"
ujar Sundari dengan tersenyum, penuh rasa gembira,
"Kakang Sawung Rana...!"
Sundari berlari menuju kekasihnya yang masih duduk menahan sakit yang mulai
reda. Sementara Sena tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil cengengesan.
Sundari memberi tahu Sawung Rana, kalau yang menyelamatkan mereka, tak lain
Pendekar Gila. Sawung Rana tampak nampak gembira.
"Pemuda Gila bunuh saja aku...," rintih Guntala lagi.
"Hi hi hi...! Tidak, aku malah akan menyembuh-kanmu. Tapi dengan syarat, cepat
pergi dari tempat ini bersama anak buahmu. Dan jangan coba-coba ganggu atau ikut
campur urusanku dengan lelaki aneh itu!" ujar Sena sambil mengangkat tubuh
Guntala yang mengalami luka dalam akibat pukulan-nya.
Guntala yang mendengar dan melihat Pendekar Gila berlaku begitu pada dirinya,
merasa malu. Karena kejahatannya dibalas dengan rasa belas kasih.
"Cepat perintahkan anak buahmu pergi. Juga
kau!" kata Sena lagi, sambil menggaruk-garuk kepala.
"Baik, baik," jawab Guntala sambil membungkuk ketakutan! "Hei! Darkapala,
Wiraksa, dan Kau Barkala! Ayo pergi!" perintahnya pada ketiga anak buahnya.
Sambil menahan rasa sakit ketiga anak buah Guntala mengikuti pimpinannya
meninggalkan tempat itu.
"Tuan Pendekar..., kami berdua mengucapkan terima kasih. Kalau Tuan Pendekar
tidak menolong kami, entah bagaimana nasib kami," ucap Sawung Rana dengan lemah.
Matanya menatap wajah
Pendekar Gila. "Benar. Mungkin lelaki tua itu akan dapat merenggut kegadisanku...," tambah
Sundari dengan nada sedih dan cemas.
"Aha, sudahlah, jangan kalian pikirkan! Aku memang wajib menolong orang yang
lemah," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "O, ya... bagaimana ceritanya
sampai kalian diperdaya mereka?"
tanyanya kemudian.
Sawung Rana kemudian menceritakan semuanya dari awal. Dari mulai seorang murid
Perguruan Elang Sakti memberi tahu kalau Ki Putih Maesaireng, paman Sundari
dibunuh lelaki yang mengaku sebagai Ular Kobra dari Utara. Sampai akhirnya
mereka ingin mencari Pendekar Gila untuk minta bantuan. Namun di tengah jalan
mereka bertemu dengan Guntala dan anak buahnya yang mengaku juga mencari
Pendekar Gila, guna menangkap penjahat bersenjata tongkat berkepala ular.
"Aha, lucu sekali! Tapi kalian tak usah
memanggilku dengan sebutan Tuan Pendekar. Aku orang biasa seperti kalian.
Panggil saja aku Sena!"
kata Sena menggaruk-garuk kepala.
Sawung Rana dan Sundari tersenyum. Lalu saling pandang.
"Sekarang kami berdua makin lega dan tak
merasa cemas. Tapi kenapa lelaki itu kau lepas begitu saja?"
"Bagaimana kalau mereka kembali melakukan perbuatan buruk" Atau mungkin mereka
mempunyai siasat untuk menjebak kita...?" tambah Sundari kemudian.
"Hi hi hi...! Aku tak peduli. Itu terserah mereka,"
jawab Sena dengan acuh. Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Sawung Rana dan Sundari bergeleng kepala, kemudian menghela napas panjang.
Keduanya merasa heran melihat ketenangan Pendekar Gila. Tak ada rasa khawatir
atau takut. "Sekarang cepat kita pergi, mencari lelaki aneh itu!" ajak Sena pada Sundari dan
Sawung Rana. "Hm... Sena! Bagaimana kalau kita melihat keadaan perguruan pamanku dulu" Siapa
tahu di sana kita mendapatkan petunjuk," ucap Sundari dengan nada memohon.
Sena menggaruk-garuk kepala. Ia berpikir
sejenak, lalu dipandanginya Sundari dan Sawung Rana.
"Sebenarnya aku sudah datang ke tempat
Perguruan Elang Sakti. Aku telah menguburkan Ki Putih Maesaireng. Maafkan, aku
datang terlambat, ketika si Ular Kobra telah membunuhnya," kata Sena menjelaskan
pada Sundari. Sundari mengerutkan kening dan menghela
napas panjang. "Terima kasih, kau telah mengurus dan mengubur
pamanku. Tapi aku tetap ingin melihatnya. Rasanya aku merasa berdosa, jika tak
melihat makamnya....
Kini aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Paman Putih Maesaireng adalah satu-
satunya harapanku...,"
tutur Sundari dengan nada sedih. Tanpa terasa, air mata menetes membasahi
pipinya yang halus.
Sena menggaruk-garuk kepala, lalu mengangguk-angguk memahami perasaan gadis itu.
Sawung Rana memegangi bahu kekasihnya yang masih terisak dengan tangisnya.
"Baiklah, aku akan mengantar kalian...," kata Sena kemudian.
Sundari merasa lega dan senang. Pergilah
mereka meninggalkan tempat itu, menuju Perguruan Elang Sakti.
*** 5 Banyak tokoh dari kalangan persilatan yang marah dan bersumpah akan membunuh
Sankher si Ular Kobra dari Utara, karena telah banyak memakan korban. Selain itu
tokoh dari India itu menantang dan menghina para pendekar di Jawadwipa.
Pendekar Gila merupakan tokoh yang menjadi incaran utama si Ular Kobra dari
Utara. Siang itu Sena dan dua kawan barunya, Sawung Rana dan Sundari hendak
meninggalkan Perguruan Elang Sakti, setelah mengunjungi kuburan Ki Putih
Maesaireng. Namun ketika ketiganya sampai di pintu keluar perguruan, dari jauh
terlihat empat orang lelaki berjalan menuju mereka, keempat orang itu nampak
terburu-buru. Sena, Sundari, dan Sawung Rana saling pandang.
Mereka merasa cemas melihat kedatangan tiga lelaki yang tampaknya para pendekar.
Hal itu terlihat dari pakaian mereka.
"Sena..., kami beruntung dapat menemukan kau di sini!" seru lelaki berjubah
putih, dengan pakaian dalam warna kuning. Rambutnya ditutupi blangkon warna
putih pula. Ki Rahsewu dari Perguruan Cempaka Ungu.
"Dan kami juga punya tujuan akan melihat
keadaan Ki Putih Maesaireng, yang dikabarkan telah mati dibunuh si Ular Kobra
dari Utara itu...," kata Suryawijaya kemudian. Lelaki berambut putih panjang,
dengan kain pengikat yang menutupi kepalanya.
"Sebaiknya kita merundingkan maksud kita
secepatnya...," sela Ki Kuncara, orang yang paling tua di antara keempat
pendekar aliran putih itu. "Apa Kisanak tak keberatan, kami meminjam tempat ini,
untuk kami...?" tanya Ki Kuncara pada Sundari.
"Tidak, Ki. Saya malah merasa senang. Mari, silakan..., mari...!" jawab Sundari
dengan ramah. Mereka kembali melangkah menuju teras
Perguruan Elang Sakti. Tampaknya ada sesuatu hal yang penting harus dibicarakan.
Yang jelas mereka ingin membicarakan soal Sankher atau si Ular Kobra dari Utara
yang membabi buta, membunuh orang-orang tak berdosa, serta menantang semua
pendekar yang ada di Jawadwipa ini.
Mereka duduk di lantai beralaskan tikar, di teras rumah Ki Putih Maesaireng.
Sundari dan Sawung Rana pun ikut berkumpul mendengarkan
perundingan itu.
Ki Kuncara, mulai membuka permasalahannya.
Lelaki tua itu memberikan pendapat dan rencana, serta kehebatan ilmu silat si
Ular Kobra dari Utara.
Sena yang mendengar cerita Ki Kuncara hanya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
cengar-cengir. "Tokoh aneh itu kalau lama-lama kita biarkan, akan semakin ganas. Menurut hemat
saya, kita harus menangkap dan bila perlu membunuhnya. Setimpal dengan perbuatan
kejinya. Dia telah menginjak-injak wibawa dan harga diri para pendekar di tanah
Jawadwipa ini. Termasuk, kau, Sena...," kata Ki Kuncara menegaskan. Wajahnya
yang sedikit keriput memperlihatkan perasaan bencinya terhadap Sankher.
Semua terdiam, tapi mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki Kuncara.
Sena sendiri masih menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Ah ah ah..., tak ada masalah bagiku, Ki. Hi hi...
akan kuhadapi orang itu. Hanya kuharap kalian berhati-hati jangan gegabah
menghadapinya," ujar Sena kemudian. Mulutnya cengengesan sambil memandangi wajah
keempat pendekar itu.
"Kenapa, Sena...?"
"Aku dengar ia membunuh lawan dengan
tongkatnya. Kurasa tongkat itu tidak sembarangan.
Senjata itu memiliki kekuatan yang luar biasa.
Mungkin juga tongkat itu bisa berubah menjadi senjata yang lebih hebat...,"
tutur Sena menjelaskan.
"Bagaimana kau tahu...?"
"Ah..., itu hanya firasatku saja. Terserah pada kalian, percaya atau tidak...,"
jawab Sena. Kemudian menggaruk-garuk kepala, sambil cengar-cengir.
"Aku sependapat dengan apa yang dikatakan Sena. Kita memang harus menyusun
kekuatan, merencanakan dengan tepat, untuk menaklukkan dan menangkap orang itu,"
usul Rahsewu dengan penuh semangat.
"Ya! Kita semua bertanggung jawab atas semua ini. Maka dari itu, saya harap kita
bisa bersatu,"
tambah Ki Kuncara.
"Biarlah aku sendiri yang melaksanakan tugas ini.
Karena si Ular Kobra dari Utara itu mencari dan menantangku secara pribadi,"
sela Sena dengan tegas. Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Semua nampak lega mendengar jawaban Sena.
Kemudian mereka semua saling berjabat tangan.
Tangan-tangan mereka menjadi satu, saling jabat dengan erat. Melambangkan
kesatuan dan kebersamaan. "Kalau kalian tidak keberatan, kami berdua juga ingin bergabung untuk menangkap
lelaki itu...," kata Sawung Rana tiba-tiba, setelah mereka selesai berjabat
tangan. "Hm...," Ki Kuncara manggut-manggut sambil mengusap-usap jenggotnya. "Kami
sangat senang mendengarnya. Tapi ingat, jangan ceroboh. Sebaiknya kalian berdua
bergabung dengan aku dan lainnya!"
"Terima kasih, Ki...," jawab Sawung Rana sambil menjura. Ia nampak senang. "Kami
berdua rela mati.
Dan kami mengakuinya, bahwa ilmu silat yang kami miliki masih belum sempurna..."
Dengan jujur Sawung Rana mengutarakan
keadaan dirinya. Mereka yang mendengar merasa haru. Namun juga bangga mendengar
kejujuran pemuda seperti Sawung Rana itu.
*** Di siang yang panas dengan matahari menyinari daerah perbukitan tampak seorang
lelaki bertubuh gagah berjubah hitam dengan kepala tertutup kain sorban wama
merah hati. Lelaki yang tak lain Sankher atau si Ular Kobra dari Utara melangkah
ringan di atas jalan terjal berbatu-batu.
Sankher terus menyusuri jalan terjal perbukitan itu. Tongkat di tangan kanannya
yang telah banyak memakan korban terlihat angker. Sebuah tongkat sakti yang
mempunyai keampuhan yang luar biasa.
Siapa pun yang terkena, dalam sesaat akan mengalami kematian secara mengerikan.
Kepala pecah dan seketika membiru sekujur tubuhnya.
Matanya dengan tajam mengawasi sekeliling
daerah yang dilewati. Langkahnya mantap dan pasti.
Tangan kanannya yang menggenggam tongkat terayu mantap, mengiringi langkah
kakinya. "Hei, kau. Tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat
langkah Sankher terhenti. Kemudian perlahan tubuhnya berbalik, menghadap ke
pemilik suara. Mata Sankher menatap tajam dan galak pada pemilik suara yang ternyata seorang
lelaki berambut putih, panjang. Tubuhnya yang tinggi dan agak kurus terbalut
pakaian longgar wama hijau muda. Dan di kepalanya terikat kain hitam.
Lelaki itu tak lain Suryawijaya. Lelaki berusia empat puluh tahunan ini tidak
sendirian. Dari arah lain muncul dua orang murid utamanya, yang berpakaian serba
merah. Keduanya merupakan Kembar Juling. Karena mata mereka juling.
"Hm...!" Sankher mendengus sinis menatap
ketiga orang yang menghadangnya. "Siapa kalian"!
Berani menghentikan langkahku"!" tanya Sankher kemudian dengan suara berat
"Ha ha ha...! Orang sinting, kaukah Ular Kobra dari Utara..."!" tanya
Suryawijaya dengan nada sinis.
Sankher tak langsung menjawab. Hanya matanya yang bicara. Menatap tajam wajah
Suryawijaya dan kedua Kembar Juling. Tangannya masih bersedekap di depan dada.
"Hei...! Apakah kau bisu"! Jawab...!" bentak Suryawijaya yang sudah tak tahan
menahan marah. Karena ia yakin benar, lelaki yang saat ini berhadapan dengannya, adalah orang
yang dicari. "Kalau benar, kalian mau apa..."!" Sankher balas bertanya, "Aku tak ada urusan
dengan kalian."
"Benar. Tapi aku ditugaskan untuk menghentikan
sepak terjangmu yang tak terpuji itu. Membunuh seenaknya orang-orang dan para
pendekar tanah Jawadwipa ini."
"Hm...! Kau bicara seenaknya. Kalau aku tak mau, kalian mau apa?" sahut Sankher
lalu tertawa. Mata Suryawijaya membelalak mendengar
ucapan Sankher yang mengejek dan meremeh-
kannya. Begitu pun kedua Kembar Juling, ikut marah.
Mata mereka menatap tajam lelaki asing di hadapannya.
"Kau sungguh sombong Kisanak. Aku minta sekali lagi, kau mau meninggalkan tanah
Jawadwipa ini. Sebelum kami menangkapmu...!" kata Suryawijaya dengan geram.
"Sebelum aku mencincang Pendekar Gila aku tak akan pergi...!" jawab Sankher
tegas. Usai berkata begitu, Sankher membalikkan tubuh tanpa menghiraukan Suryawijaya
dan kedua muridnya. Kemudian dengan seenaknya melangkah
meninggalkan tempat itu, sambil tertawa-tawa mengejek.
Bukan main geram dan marahnya Suryawijaya dan Kembar Juling, melihat tindakan
Sankher yang sama sekali tidak menggubris mereka.
"Kurang ajar! Berhenti kau, Pembunuh...!" bentak Suryawijaya.
Sankher tak mau berhenti. Kakinya terus
melangkah dengan mantap. Seakan benar-benar tak menghiraukan kemarahan ketiga
orang tadi. "Orang ini perlu dikasih pelajaran! Hei...! Kau kira kami takut denganmu"!
Heaaa...!"
Suryawijaya melesat cepat untuk mengejar
Sankher, diikuti kedua murid utamanya.
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Tubuh ketiganya langsung menghadang ke depan si Ular Kobra dari Utara, yang
masih tenang. Matanya yang bagai mata elang saat itu memandang tajam wajah
Suryawijaya dan kedua anak buahnya.
"Ha ha ha...! Kalian orang-orang bodoh!" dengus Sankher dengan geram.
"Hei, Orang Asing! Berhenti...!" bentak
Suryawijaya. Matanya menatap semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki aneh
yang ada di hadapannya.
"Kalian mau menghalangiku..."! Lebih baik minggir. Percuma kalian menentangku.
Tak usah kalian ikut campur urusanku. Sebaiknya, kalian ikut membantuku untuk
menemukan Pendekar Gila," ujar Sankher setengah mengejek dan sinis.
"Bangsat kau!" maki Suryawijaya marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan
suara ber-gemeretak.
Sankher hanya tersenyum sinis. Matanya yang tajam memandangi ketiga lelaki di
depannya. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat maut
diturunkan pelahan, ke samping. Rupanya Sankher menanggapi tantangan
Suryawijaya. "Hm..., bagus! Kita adu kekuatan," gumam
Suryawijaya geram, "Juling, kalian menyingkirlah dulu!
Biar aku hajar lelaki sombong ini! Yeaaat...!"
Suryawijaya langsung melakukan serangan. Kipas pusaka yang menjadi senjata
andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin deras.
Wut! Wut! Swing! Swing! "Heit...!"
Senjata sebesar jarum keluar dari kipas pusaka Suryawijaya. Menghunjam ke tubuh
Sankher. Lelaki
yang dijuluki Ular Kobra dari Utara itu segera melompat ke atas, sambil bersalto
mengelakkan senjata rahasia sebesar jarum yang jumlahnya ada sepuluh biji itu.
Hanya dengan tangan sebelah kiri, Sankher menangkis senjata-senjata itu.
"Heaaa...! Ayo lawan aku orang sombong...! Mana senjata andalanmu! Heaaa...!"
Serangan Suryawijaya semakin gencar. Bahkan lelaki asing itu ditantang agar
menggunakan tongkatnya. Kipas pusaka di tangan kanannya kembali menderu keras ke
arah lawan. Wuttt! Wuttt! Swing! Swing! "Hea...!"
Sankher mengelak dari serangan lawan. Kali ini ditangkis dengan tongkat
saktinya. Dan jarum-jarum beracun itu mental kembali ke arah Suryawijaya.
Lelaki itu membelalak lebar...
"Hah"!" Suryawijaya tersentak. Tubuhnya
melenting ke atas sambil menangkis jarum beracun yang berbalik ke arahnya.
Sankher tertawa terbahak-bahak. Melihat Suryawijaya kerepotan sendiri,
mengelakkan senjata rahasianya sendiri. Yang tadi dibalik-kan oleh Sankher,
dengan tongkat saktinya.
"Ha ha ha...!"
Hal itu membuat Suryawijaya bertambah marah.
Hatinya malu, karena merasa dilecehkan dan dihina oleh Sankher.
"Bangsat...! Heaaa...!"
Dengan marah Suryawijaya kembali menggebrak dengan kibasan-kibasan kipasnya. Dia
berusaha menekan lawannya agar tidak dapat balas
menyerang. Namun Sankher dengan mudah mengelakkan serangannya.
"Huh...!" gerakan Sankher sangat gesit, meski tak menggunakan senjata. Serangan
yang dilancarkan Suryawijaya yang keras dan cepat, bagai tak ada artinya, selalu
menemui tempat kosong.
Serangan Suryawijaya kian sengit. Kibasan kipas pusakanya menderu, menyapu, dan
menghantam Sankher.
Wuttt! Wuttt! Swing! Swing! Kembali jarum-jarum beracun melesat cepat, bagai anak panah yang terlepas dari
busurnya. Menghujami tubuh Sankher. Namun si Ular Kobra dari Utara itu dengan cepat
tubuhnya melenting ke atas, berjumpalitan. Kemudian tangan dan kakinya balas
menyerang. Gerakan ilmu silatnya begitu cepat dan keras, seakan memiliki
kelincahan yang sulit diterka.
"Kau benar-benar ingin mampus!"
Sankher atau Ular Kobra dari Utara itu
menggerakkan tangan kanan yang menggenggam tongkat saktinya. Dan....
Wrettt! Wrettt!
Bukan main terkejutnya Suryawijaya menyaksikan lelaki asing itu memainkan
tongkatnya. Baru saja lawan mempermainkan tongkatnya, seperti ada kekuatan yang
menyebar. Apalagi jika lawan telah melakukan serangan dengan tongkatnya.
"Hah"! Gawat! Celaka...! Biar aku yang
menghadapinya, Guru...!" seru salah satu dari Kembar Juling.
"Ha ha ha...! Kenapa tak sekalian, kalian bertiga melawanku...?" tantang Sankher
dengan nada sombong. Tongkat sakti berkepala ular kobra telah diletakkan di
depan dadanya. "Kurang ajar! Yeaaa...!"
Suryawijaya cepat menyerang. Kini keduanya kembali bertarung. Ia melancarkan
kibasan kipasnya ke tubuh lawan. Suara menggelegar seketika terdengar dari
kibasan itu. Wrettt! Gletarrr! "Heit...!"
Tubuh Sankher melenting dan bersalto beberapa kali di udara mengelakkan serangan
senjata lawan. Seketika itu pula tongkat saktinya dengan cepat dibabatkan, menyapu ke tubuh
lawan. Gerakan tongkat itu sangat cepat, sulit sekali diikuti mata biasa.
Suryawijaya tersentak kaget Sama sekali ia tidak menduga, kalau gerakan yang
dilancarkan lawan begitu cepat. Namun dengan cepat kipasnya dikibaskan untuk
memapaki serangan lawan.
"Haits! Heaa....!"
Wrets! Jglarrr! "Heh"!"
Kipas Suryawijaya hancur berantakan, ketika beradu dengan tongkat Sankher.
Kejadian itu membuat mata Suryawijaya membelalak tegang.
Terlebih ketika tongkat lawan semakin cepat memburu dirinya.
Wuttt! "Heaaa..."!"
Suryawijaya berusaha mengelakkan serangan tongkat lawan, namun terlambat.
Hantaman tongkat Sankher yang mengarah ke wajahnya jauh lebih cepat. Hingga...,
Wut! Plaakk! "Aaakh...!"
Suryawijaya memekik keras dengan mata melotot lebar. Tubuhya terhuyung-huyung
berlumuran darah dari kepalanya yang pecah. Mulutnya terdengar mengerang-erang
kesakitan. Namun kemudian lelaki berambut putih itu ambruk dan tewas.
"Heh"!"
"Guru...!" seru Kembar Juling bersamaan. Lalu kedua lelaki bermata juling itu,
menatap dengan penuh dendam dan kebencian pada Sankher.
Namun Sankher yang dipandang demikian
dengan tenang menyeka darah di kepala tongkatnya.
Matanya melirik kedua anak buah Suryawijaya yan tampak begitu marah.
"Babi, Kau...! Heaaat...!"
Kembar Juling dengan cepat melancarkan seranan. Keduanya serentak merangsek
lawan, berusaha membalas kematian sang Guru.
"Heaaa...!"
"Kalian rupanya sudah bosan hidup! Heaaa...!"
"Kau tak akan lolos dari kami, Manusia Iblis!
Heaaa...!"
Kembar Juling terus melancarkan serangan
dengan senjata tombak. Keduanya sudah kalap dan menyerang dengan membabi buta.
Si Ular Kobra dari Utara melompat memutar tongkatnya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Plak! "Aaakh...!"
Juling Bawuk memekik keras, dengan mata
melolot lebar. Tubuhnya terpental dengan keadaan yang mengerikan. Kepalanya
pecah dan berlumuran darah. Sesaat lelaki berpakaian serba merah itu
berkelojotan di tanah, kemudian diam tak bergerak.
Mati! Menyaksikan saudaranya tewas, Juling Wulung semakin kalap. Dengan mata gelap
tombaknya kembali disodorkan ke dada lawan. Lalu secepat kilat tombaknya
dipukulkan ke berbagai bagian tubuh Sankher.
"Mampus kau! Hea...! Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! "Aits...! Heaaat...!"
Sankher kembali mencelat ke udara, kemudian tongkat di tangannya cepat
digerakkan. Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Juling Wulung dengan cepat
menyodokkan tombak ke tubuhnya.
"Heaaa...! Jebol perutmu!"
Wuttt! Dugaan Juling Wulung ternyata meleset. Lelaki tinggi berjubah hitam itu dengan
cepat kembali melompat ke atas. Sebelum Juling Wulung sempat melakukan serangan
lagi, tongkat berkepala ular kobra itu telah melesat memukul kepala lawan.
Wut! Takkk! "Ukh!"
Juling Wulung terpekik pendek. Tangannya
memegang luka pukulan di kening. Beberapa saat matanya melotot. Tubuhnya
menegang, kemudian ambruk. Mati!
Sankher menghela napas panjang. Lalu menyeka darah di ujung tongkatnya. Tongkat
hitam itu diciumnya tiga kali, lalu diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Diturunkan kembali dengan perlahan. Kembali menghela napas panjang, sambil
memandangi mayat ketiga lawannya. Sesaat kemudian dengan tenang
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Bersamaan dengan itu angin bertiup kencang sekali. Ular Kobra dari Utara itu
terus melangkah makin jauh, meneruskan petualangannya mencari Pendekar Gila.
*** Angin sore yang berhembus kencang menerobos
belukar, pucuk pepohonan, dan rerumputan. Semak alang-alang merunduk-runduk
tanpa daya, ditam derasnya angin.
Di saat suasana sore seperti itu, tampak seorang pemuda berwajah tampan
berpakaian rompi kulit ular tengah menyusuri jalan yang sepi. Kakinya melangkah
ke barat dengan tenang, seakan tak menghiraukan kencangnya angin sore itu.
Pemuda tampan berambut godrong yang tak lain si Pendekar Gila itu cengengesan
sendirian. Sesekali tangannya tampak menggaruk garuk kepala.
Dengan langkah mantap Pendekar Gila menyusuri jalan di perbukitan, terus menuju
sebuah hutan. Sejenak dihentikan langkahnya sambil mengamati sekeliling tempat itu. Mulutnya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan.
Kemudian kembali mengayunkan kaki dengan
seenaknya meninggalkan bukit itu.
Ketika Sena menuruni Bukit Krakas, di kejauhan terlihat tiga mayat tergeletak.
Pemuda berambut gondrong itu langsung melesat menggunakan ilmu
'Sapta Kayu'-nya.
"Aha"! Suryawijaya...!" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu
menggeleng-geleng.
Wajahnya nampak bingung dan menyesal. "Aku
terlambat lagi!"
Mata Sena mengawasi ke sekeliling. Kemudian dihadapkan wajahnya ke barat sambil
memusatkan pikiran. Indra keenamnya coba digunakan. Telinganya bergerak-gerak,
seakan mendengar suara-suara kaki yang melangkah, ke tempatnya. Kedua tangannya
perlahan bersedekap di dada. Matanya dipejamkan.
Beberapa saat kemudian wajahnya tampak terkejut.
Lalu matanya kembali memandang jauh, seakan telah melihat suatu kejadian di
tempat lain. "Celaka!" gumam Sena. Lalu tubuhnya melesat dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'-nya.
Dalam sekejap saja tubuhnya telah berada puluhan tombak meninggalkan Bukit
Krakas. Benar, ternyata di Perguruan Elang Sakti telah terjadi pertarungan. Bekas rumah
Ki Putih Maesaireng hancur, porak-poranda. Sena yang baru saja tiba di depan
Perguruan Elang Sakti, tampak tercengang menyaksikan pamandangan itu. Namun
kemudian mulutnya cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah...
benar...! Mengapa aku begitu tolol?" gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri,
telah meninggalkan begitu saja Sundari dan Sawung Rana.
Sena melangkah ke samping pendopo perguruan yang telah hancur. Sesampainya di
situ, ditemu-kannya beberapa sosok tubuh tergeletak tanpa nyawa dan salah
satunya dia kenal, yaitu Sugalingga.
"Ah ah ah... apa yang telah terjadi, Kisanak?"
tanya Sena sambil memegangi kepala Sugalingga yang sudah sekarat. Lelaki itu tak
bisa berkata apa-apa hanya dengan berat ia mengangkat tangan, menunjuk ke barat.
Lalu setelah itu matanya ter-
pejam dan menghembuskan napas terakhir.
Sena menghela napas dalam-dalam. Perlahan ditaruhnya kepala Sugalingga di tanah.
Lalu Sena segera melesat pergi ke arah barat.
"Auuu..., tolong!"
"He he he...! Kau mau lari ke mana, Anak manis?"
Brettt! "Aaakh...!"
Sundari berteriak tertahan, ketika tangan Darkapala melesat cepat di dadanya.
Gadis itu tak sempat mengelitkan serangan, sehingga dadanya berhasil dijamah.
"Kurang ajar...!"
Belum habis rasa ketakutannya, tiba-tiba seorang lelaki menghadangnya.
"He he he...! Kini kau tak akan lolos lagi dariku, Cah Ayu...," kata lelaki
setengah baya yang tak lain Guntala.
"Kau..."!" pekik Sundari ketakutan.
"Hmmm...! Ayolah, kau akan merasakan
nikmatnya surga dunia, Cah Ayu. He he he...!"
Selesai berkata begitu, Guntala mengisyaratkan pada Darkapala, dengan
mengedipkan mata.
Darkapala segera menangkap Sundari yang
bersandar di batang pohon. Dipeganginya tangan gadis itu. Sundari pun tampaknya
tak mampu berbuat banyak.
"Aaakh...! Jangan! Tolong...! Aaa...!" teriak Sundari sejadi-jadinya.
"Diam...!" bentak Guntala dengan geram. Bret!
Brettt! Guntala merobek pakaian Sundari lebih lebar.
Kemudian tangannya segera memeluk tubuh gadis cantik yang tampak meronta-ronta
itu. Namun karena
kedua tangan Sundari dipegangi oleh Darkapala, jelas sulit baginya untuk mampu
menolak perlakuan keji Guntala.
Darkapala terus memegangi tangan Sundari.
Tubuh gadis berpakaian merah delima kini telah tergeletak dengan tangan
direntang secara paksa.
"Terus pegang yang kuat, jangan sampai lepas...!"
ujar Guntala dengan suara hampir tak terdengar, karena menahan nafsu yang
menggebu-gebu. Dengan cepat tangannya memaksa Sundari agar merenggang-kan kedua
pahanya. Namun ketika Guntala hendak melaksanakan perbuatan kejinya, tiba-
tiba.... "Heaaa...!"
Plakkk! Bugk! "Aaa...!"
Sesosok bayangan melesat dan langsung
melancarkan serangan cepat. Tubuh Guntala dan Darkapala seketika terjungkal
dengan mulut meringis menahan rasa sakit.
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah ah ah..., kau memang babi tua yang tak tahu diri! Rupanya kau mencari
mampus...," suara tawa itu ternyata keluar dari mulut seorang pemuda berompi
dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan Sena Manggala, Pendekar Gila.
"Hah..."! Kau...?"
Guntala kaget, dengan cepat dibetulkan
celananya yang sudah terlepas sebagian. Sena memandanginya dengan tajam.
Tampaknya kali ini Pendekar Gila benar-benar kesal. Meskipun wajahnya sesekali
cengengesan seraya menggaruk-garuk kepala, ucapannya tak bisa dianggap bergurau
atau main-main.
"Kau memang Iblis berkedok manusia...! Tua bangka Keparat...!" ujar Pendekar
Gila geram, sambil
nencabut Suling Naga Sakti. "Terimalah ganjaran ini, babi Tua...!"
Wajah Guntala semakin pucat. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya.
Namun lelaki selengah baya itu berusaha membuka jurus. Namun Pendekar Gila lebih
cepat bergerak, melesat sambil bersalto dan menghantamkan Suling Naga Sakti-nya
ke kepala Guntala.
"Heaaa...!"
Krakkk! "Aaakh...!"
Guntala tak sempat mengelak. Mulutnya terpekik keras ketika suling Pendekar Gila
menghantam tubuhnya. Tubuh pimpinan Perguruan Elang Emas itu terpental dan jatuh
ke tanah dengan keadaan mengerikan. Dan tewas seketika.
Darkapala yang melihat Guntala mati secara mengerikan, hendak lari. Namun
Pendekar Gila lebih cepat melesat, menghadangnya.
"Hi hi hi..., hendak lari ke mana kau, Cecurut Kudisan"!"
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil
menimang-nimang Suling Naga Sakti di tangan kirinya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! Dengan cepat Darkapala melesat menyerang
dengan golok panjangnya.
"Aits! He he he...! Kau rupanya senang bermain-main juga, Cecurut!" ejek Sena
sambil meliukkan tubuh menghindari babatan golok Darkapala.
"Ah ah ah...! Kau masih harus banyak berlatih, Kisanak!"
"Huh! Jangan kau kira aku takut, Pendekar Gila.
Heaaa...!"
Darkapala tampaknya tak menyadari siapa yang dihadapi saat itu. Mungkin karena
merasa malu untuk menyerah begitu saja, atau karena sangat marah melihat gurunya
tewas. Tubuhnya melesat melakukan serangan dengan goloknya.
"Ah ah ah...! Sombong juga kau ini, Kisanak.
Terimalah ini! Heaaa...!"
Sambil meliukkan tubuhnya, dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar
Gila melancar pukulan telapak tangan.
Wuttt! "Aaakh...!"
Darkapala terpekik keras ketika tepukan telapak tangan Pendekar Gila mendarat di
dadanya. Tubuhnya tidak terhuyung-huyung melainkan terlontar deras ke belakang, kemudian
jatuh dan bergulingan di tanah. Sesaat Darkapala menggeliat kemudian diam tak
berkutik. Tewas.
Sena menghela napas puas. Lalu ia menolong Sundari yang pingsan. Karena
ketakutan dan lemah.
Dibopongnya tubuh gadis itu setelah dirapikan pakaiannya. Sena mencari tempat
yang agak bersih dan teduh. Dibaringkan tubuh gadis yang malang itu di atas
rerumputan. Kemudian, perlahan tangannya ditempelkan di punggung Sundari yang
masih pingsan. Matanya terpejam sambil menyalurkan hawa murni. Tak lama setelah
itu Sundari tampak menggeliat.
"Uh...! Hah..."!" suaranya masih lemah. Dengan malu Sundari menutupi bagian dada
dengan kedua telapak tangannya.
Sena membalikkan badan, membelakangi
Sundari. "Bagaimana ini bisa terjadi" Di mana Sawung Rana...?" tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
Dirinya tetap membelakangi Sundari.
"Kejadiannya begitu cepat. Sehingga tak ada kesempatan bagiku untuk melawan. Si
Ular Kobra dari Utara tiba-tiba datang. Dia membunuh Sugalingga dan tiga murid
Perguruan Elang Sakti.
Kemudian...."
Sundari tak meneruskan ucapannya, karena terus nenangis. "Hm...! Lalu bagaimana
Guntala bisa sampai di sini...?" tanya Sena ingin tahu.
"Aku tak dapat mengingatnya lagi. Mungkin Guntala di balik semua ini..:. Oh...,"
tutur Sundari di sela suara tangisnya.
Sena diam. Kepalanya tampak menggeleng-
geleng lalu menghela napas dalam-dalam sambil cengengesan.
"Aha, kalau begitu ikut aku mencari Sawung Rana, Ki Kuncara, dan Ki Rah Sewu!
Mudah-mudahan mereka masih hidup. Dan aku harus segera mencari si Ular Kobra
itu...!" ajak Sena dengan mulut cengengesan.
"Terima kasih. Kau telah menolong, menyelamat-kanku untuk kedua kalinya..."
Suara Sundari serak, disertai isak tangisnya.
Sena hanya menggaruk-garuk kepala, "Sudahlah, ayo rapikan pakaianmu!"
Selesai berkata begitu, Sena lalu melangkah.
Sundari sambil menutupi dadanya dengan kedua tangannya, mengikuti di belakang.
*** 6 Dunia persilatan benar-benar kacau-balau, dengan kehadiran Sankher atau si Ular
Kobra dari Utara itu.
Di mana-mana terjadi pembantaian. Sementara itu banyak tokoh dari aliran hitam
yang memanfaatkan keadaan itu. Sehingga banyak tokoh putih yang bingung dan
serba salah. Kian hari sepak-terjang yang dilakukan si Ular Kobra dari Utara itu kian
merejalela. Tak satu pun tokoh persilatan golongan putih yang mampu
menghadapinya. Siapa pun akan tewas dengan keadaan mengerikan kalau berani
menghalangi atau
menantang lelaki yang berasal dari India itu.
Seperti siang itu, ketika angin kencang
menerbangkan debu-debu dan dedaunan di Lembah Merawan, tampak Sankher tengah
menghadapi Ki Kuncara, Pimpinan Perguruan Panca Purba.
"Kisanak..., sebaiknya perbuatanmu itu
dihentikan. Kalau kau pendekar sejati, tak akan membunuh dengan keji. Dan kalau
kau tak mau mendengar saranku, baiklah," ujar Ki Kuncara.
Matanya mengawasi dengan tajam setiap gerakan si Ular Kobra dari Utara.
Namun Sankher tak menjawab. Hanya matanya yang terus menatap tajam lelaki
berusia sekitar lima puluh lima tahun di hadapannya.
"Kenapa kau diam" Apakah kau tuli" Bisu..."!"
bentak Ki Kuncara mulai geram.
"Aku tak punya urusan denganmu. Aku akan
pergi, jika kau mau menunjukkan di mana Pendekar
Gila berada!" jawab Sankher tenang sambil menggerakkan tangan kanannya yang
memegang tongkat.
"Hm..., lalu untuk apa kau mencarinya" Dia sahabatku," kata Ki Kuncara menjawab
dengan tegas. "Bagus! Sampaikan, aku ingin membunuhnya! Dia harus mati di tanganku!"
Membelalak mata Ki Kuncara mendengar ucapan sombong Sankher. Hatinya seketika
bertambah marah terhadap si Ular Kobra dari Utara itu.
"Kau memang tak tahu sopan santun! Hei orang asing, kau tak akan dapat
melawannya, sebelum melangkahi mayatku. Ayo, keluarkan seluruh ilmumu...!"
tantang Ki Kuncara sengit.
Usai berkata begitu, Ki Kuncara segera menarik kaki kirinya dua langkah ke
belakang. Toya panjang di tangan kanannya diputar dengan cepat. Sedangkan tangan
kirinya, dengan jari-jari menyatu menghentak ke depan. Telapak tangannya memukul
ke tubuh Sankher.
Sementara itu, Sankher seperti tak menghiraukan gerakan yang dilakukan Ki
Kuncara. Dirinya tetap tenang memandangi Ki Kuncara yang siap
menyerang. "Hm...!" dengus Sankher. Kemudian tangannya yang memegang tongkat direntangkan
ke samping kanan, lalu ditekuknya ke dada.
Wuttt! Wuttt! Tongkat yang telah merenggut banyak korban itu digerakkannya. Dari ujungnya yang
berbentuk kepala ular memancar sinar kemerahan menyala. Setelah digerakkan ke
samping tongkat sakti itu diputar-putar dengan kecepatan tinggi. Itulah jurus
'Tongkat Iblis', sebuah jurus yang sangat berbahaya dan mematikan!
Ki Kuncara yang sudah mengetahui sepak terjang Sankher, tak mau gegabah.
Gerakannya yang cepat mengubah toya itu menjadi baling-baling yang membentengi
tubuhnya. Kemudian dengan pekikan menggelegar, lelaki tua itu menyerang dengan
jurus yang tak kalah hebat, bernama 'Toya Sakti Pelebur Jiwa'.
Wuttt! Wuttt! "Hiaaa...!"
Sankher segera menggerakkan tongkatnya
dengan cepat, menghantam ke depan dan ke
samping. Sementara tangan kirinya diletakkan di depan dada.
"Hiaaa...!"
Wrettt! Ki Kuncara mulai melabrak. Toya yang kedua ujungnya runcing berdesing memburu
tubuh lawan. Wrettt! Trakkk!
Dengan cepat Sankher menyabetkan tongkat
memapak serangan lawan. Kemudian segera balas menyerang dengan sabetan dari atas
ke bawah. "Heaaa...!"
Wuttt! Wuttt! Ki Kuncara segera melompat cepat ke belakang.
Kemudian meliukkan tubuh dengan cepat, sambil menyapukan toyanya ke tubuh
Sankher dengan jurus
'Sapuan Toya Membelah Karang'.
Wuttt! Trakkk! Deru angin yang ditimbulkan kedua senjata berbentuk tongkat itu terdengar
ditingkahi oleh suara benturan keras. Suasana sunyi di Lembah Merawan seketika
berubah riuh. Teriakan-teriakan keras saling bersahutan mengiringi serangan yang
mereka lakukan. Ki Kuncara tampaknya tak dapat dianggap tokoh sembarangan. Dalam
beberapa gebrakan, jurus-jurus nya mampu menandingi si Ular Kobra dari Utara.
Bahkan tampaknya lelaki tua itu berusaha terus menggempur, dengan maksud tak
ingin lawannya membalas serangan.
Keduanya terus berkelebat serta saling
membabat dan menusukkan senjata masing-masing.
Ki Kuncara yang tak ingin mati konyol, berusaha mengimbangi serangan Sankher.
Toya yang kedua ujungnya runcing dan beracun itu terus digerakkan dengan cepat.
Wut! Wut! Trak! Trak! "Huh! Heaaa...!"
Ki Kuncara telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengimbangi serangan
Sankher. Namun tongkat Sankher yang berhawa maut lebih ganas, membuat lelaki tua
itu tampak mulai lemah.
Serangan-serangannya pun mulai mengendor.
Tubuhnya yang terbalut jubah kuning mulai basah oleh peluh.
"Celaka!" pekik Ki Kuncara dengan mata membelalak lebar. Dikerahkan tenaga dalam
untuk mencoba mengatasi rasa pening yang muncul di kepalanya. Dan dengan cepat
Ki Kuncara menekan sesuatu di toyanya. Hingga....
Srrrttt...! Tiba-tiba ujung toya meluncur begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Swing! Swing! "Hah..."! Heaaa...!"
Sankher tersentak kaget. Tubuhnya melompat mundur sambil bersalto di udara.
Kalau saja gerakannya terlambat, tentu perutnya akan tertembus mata toya yang tiba-tiba
melesat mem-burunya.
Melihat kekagetan lawannya, Ki Kuncara tak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah
menarik toyanya ke depan dada, dia kembali menghentakkan toyanya ke depan sambil
menekan sesuatu pada batang toyanya.
Srttt! Mata toyanya kembali melesat cepat memburu tubuh lawan. Dengan cepat Sankher
melenting ke atas, mengelakkan senjata rahasia itu. Kemudian, dengan ringan
kedua kakinya hinggap pada toya Ki Kuncara yang masih terentang.
"Hah..."!"
Ki Kuncara yang tak menduga Sankher akan
berbuat demikian, tersentak kaget. Dirinya berusaha menarik toya namun Sankher
telah mendahului.
"Heaaa...!"
Wrettt! Si Ular Kobra dari Utara telah bersalto di udara.
Tongkat di tangannya bergerak cepat ke wajah Ketua Perguruan Panca Purba itu.
Ki Kuncara berusaha mengelakkan tebasan
tongkat Sankher. Namun gerakan lelaki berjubah hitam itu jauh lebih cepat
dibanding gerakan meng-elaknya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Plakkk! "Aaakh...!"
Ki Kuncara memekik keras dengan mata
terbelalak lebar. Keningnya retak. Tubuhnya yang berpakaian kuning langsung
berlumuran darah.
Sebelum jatuh terjerembab tubuhnya tampak sempoyongan dengan mulut mengerang
kesakitan. "Huh...!"
Sankher menghela napas puas. Tangan kirinya menyeka darah yang meleleh di
tongkatnya. Kemudian tongkat itu diciumnya. Setelah
memandang mayat Ki Kuncara lelaki berjubah hitam itu melangkah meninggalkan
tempat itu. Sedangkan dua orang murid Ki Kuncara
sebelumnya telah lari ketakutan, ketika melihat sang Guru tewas mengenaskan.
*** "Gila!" gumam Sena, ketika menyaksikan mayat lelaki yang telah menjadi koban
Sankher. "Ki Kuncara, sungguh malang nasibmu!"
Sundari menutup wajahnya sambil membalikkan badan, karena ngeri melihat Ki
Kuncara yang mati mengenaskan.
Sena berjongkok di dekat tubuh Ki Kuncara yang sudah tak bernyawa itu. Anehnya,
meskipun dalam keadaan seperti itu, wajahnya masih cengengesan sambil memandangi
wajah Ki Kuncara yang tertutup darah.
"Bagaimana nasib Kakang Sawung Rana" Di
mana dia sekarang...?" gumam Sundari dengan suara bergetar.
"Ah..., terlambat lagi. Sungguh aku tak mengerti.
Begitu cepat si Ular Kobra itu bertindak," gumam Sena lirih, wajahnya nampak
sedih bercampur kesal.
Setelah lama memandangi tubuh Ki Kuncara, Sena berdiri. Matanya mengawasi ke
sekelilingnya seolah berusaha mencari jejak pelaku pembunuhan
itu. "Mudah-mudahan Sawung Rana dan Ki Rah Sewu masih selamat. Hhh... ke mana
perginya si Ular Kobra itu...?" gerutu Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling tempat itu, namun tetap saja tak
menemukan tanda-tanda, atau jejak Sankher.
"Hi hi hi..., lucu, lucu sekali!" geram Sena cengengesan. "Bagaimana mungkin
tidak ada jejak sedikit pun"!"
Sundari nampak hanya bisa diam diri, tak
bergerak dari tempatnya. Matanya pun memandangi sekeliling tempat itu. Kedua
tangannya tetap menutupi bagian dada.
"Oh, Kakang Sawung Rana di mana kau,
Kakang...?" keluh Sundari tiba-tiba.
Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sena semakin cemas dan terus menggaruk-garuk kepala makin cepat. Matanya kembali
memandangi mayat Ki Kuncara yang telah kaku.
Tiba-tiba dari arah timur nampak empat sosok lelaki berlarian ke arahnya.
Ternyata Sawung Rana bersama Rah Sewu dan dua orang muridnya.
"Hah..., Ki Kuncara...!" pekik Ki Rah Sewu dengan wajah sedih.
Sesaat mereka diam. Hanya perasaan masing-masing yang berbicara.
Sawung Rana yang tadi begitu melihat Sundari, langsung menghampiri dan
memeluknya, kini tampak tegang, matanya memandangi mayat Ki Kuncara.
"Kisanak, aku tak bisa lama-lama di tempat ini.
Sebaiknya, kalian jangan tinggalkan tempat ini.
Sawung Rana, jaga Sundari! Jangan kau
meninggalkannya lagi!" kata Sena tegas. Tubuhnya kemudian melesat bagai terbang,
meninggalkan tempat itu. Ki Rah Sewu, Sawung Rana, dan Sundari
memandangi kepergian Sena dengan perasaan cemas.
*** Dunia persilatan semakin tercekam. Keadaan
rimba persilatan tengah terancam mara bahaya. Apa lagi dengan adanya berita
tentang pembunuhan Ki Kuncara, Suryawijaya, dan Sugalingga dari aliran putih
yang berilmu cukup tinggi.
Kini harapan para tokoh-tokoh persilatan hanya Pendekar Gila. Pendekar muda itu
kini memang merasa bertanggung jawab untuk menangkap dan menghentikan kejahatan
Sankher. Hal itu terutama karena si Ular Kobra dari Utara itu menantang dirinya.
Siang itu ketika matahari bersinar cerah tampak Sena tengah berlari cepat
menggunakan ilmu 'Sapta Bayu'-nya. Meskipun jalan yang dilalui berupa jalan
terjal, sesekali harus melompat tebing dan batu-batu kali, dengan tubuhnya terus
melesat. Namun ketika baru saja melompati sebuah sungai kecil tiba-tiba Sena
dikejutkan adanya sesosok bayangan berkelebat di depannya.
Sena sangat kaget bercampur gembira, ketika mengetahui orang yang telah ada di
Bangau Sakti 28 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Memburu Iblis 2