Pencarian

Ular Kobra Dari Utara 1

Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara Bagian 1


ULAR KOBRA DARI UTARA
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Firman R Serial Pendekar Gila
dalam episode 27:
Ular Kobra dari Utara
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Pagi itu keadaan sangat cerah. Langit biru bening, tanpa setitik mega.
Dari kejauhan nampak seorang lelaki
menunggang kuda putih, dengan pakaian seperti orang dari India. Kepalanya diikat
dengan sorban warna merah hati, layaknya orang-orang India. Lelaki itu memacu
kudanya memasuki Desa Kanginan. Desa itu biasa sebagai persinggahan orang-orang
dari luar daerah. Atau orang jauh. Karena desa itu cukup ramai dan makmur,
subur. Matanya menatap lurus ke arah desa yang
nampak mulai ramai oleh kesibukan para penduduk maupun pendatang. Setelah puas
mengawasi keadaan, lelaki dari India yang dikenal dengan Sankher atau 'Ular Kobra dari
Utara' kembali menggerakkan kudanya yang besar dan kekar itu memasuki Desa
Kanginan. Di sepanjang jalan utama, Sankher terus
memasang matanya memandangi sekeliling keadaan desa dengan tajam. Tampaknya ada
sesuatu yang dicari. Kemudian dihentikan kudanya di depan sebuah kedai. Lelaki
berjubah hitam itu segera melompat turun lalu melangkah menghampiri salah
seorang yang baru saja keluar dari kedai itu.
Lelaki berpakaian lurik dan mengenakan
blangkon itu berhenti ketika Sankher mencegat langkahnya.
"Tentunya Tuan dari jauh. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya lelaki berusia
sekitar empat puluh tahunan, dan bertubuh agak gemuk itu.
Bibirnya tersenyum dengan mata masih
memperhatikan wajah Sankher.
"Hm...," Sankher yang berikat kepala sorban merah menggumam. Matanya yang tajam,
memandangi lelaki di hadapannya. Kemudian dengan suara kaku bertanya, "Di mana
Perguruan Bintang Mas" Ke arah mana aku harus pergi?"
Lelaki berpakaian lurik coklat tua itu mengerutkan kening, mendengar pertanyaan
lelaki India itu.
Ditatapnya wajah lelaki gagah di hadapannya, berusaha mengetahui apa maksud
lelaki dari India itu. Kemudian tampak lelaki berblangkon itu menghela napas.
"Tak begitu jauh lagi dari sini, Tuan. Di balik lembah itu," ujar lelaki Jawa
itu sambil menunjuk,
"Tapi kalau boleh aku tahu, untuk apa Tuan menanyakan Perguruan Bintang Mas?"
"Itu bukan urusanmu! Kuminta jangan banyak tanya lagi!" sahut Sankher seraya
menatap tajam wajah lelaki berpakaian lurik itu.
"Aku hanya tanya, apa salahnya"!" ujar lelaki Jawa itu dengan nada rendah dan
tersenyum ramah.
Srrrttt! Tiba-tiba dengan geram, Sankher menarik tongkat berkepala ular kobra dan
mengarahkan pada lelaki Jawa itu.
Lelaki berpakaian lurik itu tersentak kaget, karena tak menduga orang yang
semula bertanya itu hendak menyerangnya. Dengan cepat lelaki Jawa itu
menghindarkan serangan Sankher. Namun tongkat itu bergerak lebih cepat.
Hingga..., Pletakkk! "Akh...!" lelaki berpakaian lurik coklat itu
memekik keras, ketika tongkat berkepala ular kobra menghantam keningnya. Sesaat
matanya melotot kemudian ambruk tanpa nyawa.
Seketika ramailah suasana di depan kedai itu.
Para pengunjung yang tengah bersantap, ber-hamburan keluar. Dengan penuh amarah
para warga desa yang mengetahui bahwa Ki Sarepan tewas langsung menyerbu lelaki
India itu. Namun tampaknya lelaki berjubah hitam itu bukan orang sembarangan.
Dalam beberapa gebrakan saja para warga dan anak buah Ki Sarepan telah tewas
dengan kepala retak oleh pukulan tongkat berkepala ular.
"Hhh...," Sankher mendengus. Matanya menatap tajam ke sekeliling. Tampak orang-
orang Desa Kanginan telah berkumpul menatap dirinya penuh kebencian. Namun
nampaknya tak seorang pun dari mereka yang berani melawan, atau maju. Mereka tak
ingin mati sia-sia seperti Ki Sarepan, kepala ronda Desa Kanginan itu.
Dengan tenang Sankher melangkah meninggalkan orang-orang itu. Tanpa menghiraukan
sama sekali tatapan kebencian warga desa, lelaki berjubah hitam itu langsung
melompat ke punggung kuda, lalu menggebahnya. Kuda besar dan kekar itu pun
melesat meninggalkan kerumunan orang di depan kedai.
Seketika warga Desa Kanginan gempar, setelah mendengar kematian Ki Sarepan dan
delapan anak buahnya di depan kedai.
"Hm..., ilmu orang itu cukup hebat!" gumam salah seorang penduduk desa.
"Benar! Tongkatnya kurasa bukan sembarangan tongkat. Tongkat sakti."
"Kita tak bisa berdiam saja. Kita harus segera
memberitahu pada Kanjeng Adipati."
Dengan masih membicarakan tentang lelaki
misterius itu, mereka mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan di depan kedai.
*** Seluruh penduduk desa ramai membicarakan
kematian Ki Sarepan dan delapan anak buahnya di tangan lelaki dari India. Dari
arah timur tampak sesosok tubuh berjalan memasuki batas Desa Kanginan.
"Sepertinya ada kejadian di sana. Ah, aku ingin melihatnya," ujar pemuda
berpakaian terbuat dari rompi kulit ular, yang tak lain Sena Manggala. Sambil
menggaruk-garuk kepala kakinya melangkah dengan cepat menuju tempat para warga
tengah sibuk mengangkati mayat-mayat itu.
Sena Manggala yang juga dikenal dengan julukan Pendekar Gila mengerutkan kening
sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandangi orang-orang di depan kedai
itu. Kepalanya tampak menggeleng-geleng sambil cengengesan.
"Ah ah ah...! Kisanak, apa yang telah terjadi?"
tanya Sena dengan kening masih mengerut. Matanya memandangi sembilan mayat yang
sama keadaan-nya, retak di bagian kening.
"Baru saja terjadi malapetaka mengerikan.
Seorang lelaki aneh berjubah hitam membunuh mereka," sahut salah seorang
penduduk desa. "Lelaki dari India itu seperti orang gila!" sambung yang lainnya.
"Orang gila...?" tanya Sena mengerutkan kening.
Tangannya menggaruk-garuk kepala, "Mengapa
Kisanak mengatakan seperti orang gila?"
"Bagaimana tidak?" tukas lelaki yang berkumis tebal dan bertubuh kekar sambil
melangkah maju,
"Orang asing itu, tiba-tiba menghantamkan tongkat saktinya ke kepala Ki Sarepan
dan kedelapan anak buahnya! Hingga mereka tewas seperti itu..."
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening
mendengar penuturan orang-orang desa, yang menceritakan tentang lelaki berjubah
hitam. "Lelaki dari India?" gumam Sena. Tangannya menggaruk-garuk kepala sedangkan
matanya tak henti memandangi para penduduk yang mengangkati mayat-mayat itu.
"Ah ah ah...! Mengapa lelaki aneh dari India itu membunuh Ki Sarepan?" tanya
Sena seraya menggaruk-garuk kepala, "Apakah antara keduanya telah terjadi keributan?"
Lelaki berbadan agak kekar berkumis tebal itu menggelengkan kepala, lalu
menghela napas panjang seraya memandangi wajah Sena.
"Yang kulihat Ki Sarepan menegur lelaki asing itu dengan ramah," sahut lelaki
berbadan tegap dan berkumis tebal itu.
"Mungkin Kisanak mendengar, apa yang
ditanyakan orang asing itu?"
Lelaki berbadan tegap itu menatap Sena lagi, sepertinya menyelidik, siapa Sena
sebenarnya. Lelaki itu mula-mula ragu menjelaskan duduk persoalannya.
Namun setelah Sena mendesak, lelaki berbadan tegap itu mulai menceritakan semua,
dari saat kedatangan lelaki berkuda putih, berpakaian khas orang India, sampai
Ki Sarepan menanyakan tujuan-nya. Hingga akhirnya, lelaki aneh dari India itu
bertanya tentang Perguruan Bintang Mas.
"Aha...! Perguruan Bintang Mas..."!" Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Sikapnya itu tentu saja membuat orang-orang heran.
"Ya. Itulah yang aku dengar."
Mendengar keterangan itu Sena hanya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Keningnya berkerut
"Ah ah ah..., ada maksud apa lelaki itu menanyakan Perguruan Bintang Mas. Dan
mengapa ia seenaknya membunuh orang-orang tak bersalah...!"
gumam Sena pelahan. Dihelanya napas panjang, lalu wajahnya memandang jauh ke
depan. "Aku harus segera mencegahnya. Tak boleh
dibiarkan ia bertindak sesukanya. Dilihat dari caranya membunuh, nampaknya dia
bukan orang sembarangan," gumam Sena lagi.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang ke depan. Lalu
cengengesan. Membuat orang-orang di dekatnya mengerutkan kening dan saling pandang. Mereka
heran melihat tingkah Sena yang seperti orang gila itu. Namun mereka tak berani
berucap apa-apa.
"Baiklah, Kisanak. Terima kasih!" ucap Sena sambil menjura. Lalu melangkah pergi
meninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata orang-orang desa, yang penuh
tanda tanya melihat tingkah laku Sena yang seperti orang gila itu.
"Apakah pemuda itu yang disebut Pendekar Gila dari Goa Setan?" gumam salah
seorang warga desa.
"Mungkin juga," sahut lelaki bertubuh tegap.
"Kalau memang pemuda itu Pendekar Gila, aku merasa senang. Karena aku yakin,
pendekar itu akan mencari dan melenyapkan lelaki asing yang tak mengenal
perikemanusiaan itu!"
"Ya Mudah-mudahan lelaki asing itu mati oleh Pendekar Gila!" sambung salah
seorang lelaki berkumis tipis, yang berada di sisi kiri lelaki berbadan tegap.
Semua orang mengutuk lelaki asing dan India itu.
Lalu mereka bubar, kembali ke tempatnya.
*** 2 Siang itu di Perguruan Bintang Mas tampak lima orang pemuda sedang berlatih
tanding. Mereka rupanya para penerus Perguruan Bintang Mas, yang dulu dipimpin
Dewi Pandagu. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode "Singa Jantan dari Cina").
Seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan memperhatikan kelima pemuda itu
berlatih tanding.
Wajahnya yang agak kurus dihiasi jenggot hitam lebat, serta kumis tipis. Dilihat
dari bentuk tubuh dan ketenangannya, lelaki itu memiliki ilmu silat yang tak
dapat diremehkan. Pancaran matanya tajam dan penuh wibawa.
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum. Hatinya merasa puas
melihat kelima murid andalannya yang mulai matang. Lelaki yang dikenal dengan
nama Guntala itu terus mengangguk-anggukkan kepala. Tak lama kemudian dirinya
segera memberi isyarat dengan bertepuk tiga kali.
Plok! Plok! Plok!
Kelima muridnya seketika menghentikan latih tanding mereka. Keringat membasahi
seluruh tubuh kelima pemuda gagah itu. Mereka berlatih selama setengah hari
penuh, sejak hari masih pagi. Namun di wajah kelima pemuda yang bertelanjang
dada, dengan ikat kepala warna hitam itu tak memperlihatkan keletihan. Kelima
pemuda itu lalu menjura bersama di depan Guntala.
"Bagus. Aku bangga dan puas melihat kalian
semakin hari bertambah semangat. Tapi masih perlu waktu lama kalian melatih
diri. Sebab dengan hanya beberapa bulan, tak cukup ilmu kalian untuk melawan
Pendekar Gila. Aku memang berniat melawannya. Tapi aku butuh kalian."
Guntala sejenak menghentikan kata-katanya.
Dipandanginya dengan tajam kelima murid itu.
Kemudian menghela napas dalam-dalam.
"Memang kematian Dewi Pandagu bukan
Pendekar Gila yang membunuhnya. Namun karena dialah Dewi Pandagu, yang
kemenakanku sendiri mati di tangan orang-orang licik seperti Kerto Songo dan
Kebo Pengawon!" Guntala nampak geram. Giginya gemeretak, menahan marah. "Sayang,
sampai saat ini aku merasa belum mampu menghadapi Pendekar Gila. Aku perlu orang
berilmu setaraf dengan Pendekar Gila...! untuk membuat perhitungan
dengannya...."
Baru saja Guntala selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda
menuju tempat Perguruan Bintang Mas. Guntala segera menoleh ke pintu gerbang.
Demikian juga kelima muridnya.
Guntala segera menoleh ke pintu gerbang. Demikian juga kelima muridnya. Guntala
membelalak kaget, ketika dilihat ada seorang lelaki berpakaian jubah hitam
menghentikan kudanya empat tombak di hadapannya.
Lelaki asing yang tak lain Sankher itu menatap tajam Guntala dan kelima
muridnya, yang telah siap siaga. Mereka langsung mengepung lelaki yang duduk di
punggung kuda itu. Sankher tersenyum sinis. Lalu dengan gerakan yang sangat
ringan, tubuhnya melompat turun dari punggung kuda. Kemudian melangkah mantap
menghampiri Guntara yang masih
terkesima, memandangi tamu tak diundang itu. Mata keduanya saling pandang,
ketika Sankher menghentikan langkahnya, dan berhenti di depan Guntala.
"Kau..."!" gumam Guntala setelah melihat lebih jelas. Dan mulai mengenali wajah
tamunya itu, "Sankher..."!"
Sankher hanya tersenyum sinis. Matanya masih menatap tajam wajah Guntala yang
kemudian menghambur ke tubuhnya. Guntala memegang erat bahu Sankher.
"Tak kusangka kau datang ke negeri Jawadwipa ini...!" seru Guntala dengan sangat
gembira. Namun Sankher tampak tersenyum hambar. Hal itu membuat Guntala
mengerutkan kening, tak mengerti.
Sejenak suasana hening. Hanya mata kedua
lelaki itu kini yang bicara. Kelima murid Guntala telah siap siaga, kalau-kalau
akan terjadi perkelahian.
Karena mereka tidak mengenal, siapa lelaki berpakaian jubah seperti orang India
itu. "Sankher, sebaiknya kita bicara di dalam. Mari, silakan...!" ajak Guntala sambil
bergerak ke samping memberikan jalan pada Sankher. Lelaki berjubah hitam itu
diam saja, tapi lalu melangkah menuju bangunan utama Perguruan Bintang Mas.
Sementara Guntala memberi isyarat pada salah seorang muridnya untuk mengurus
kuda Sankher. *** "Kematian Dewi Pandagu, membuat aku sedih
dan sakit," ujar Guntala dengan wajah sedih. Duduk berhadapan dengan Sankher
yang sejak tadi hanya diam mendengar cerita Gundala. "Semua ini salahku.
Karena aku terlalu percaya akan kekuatan ilmu
kemenakanku itu. Dan kebetulan beberapa bulan sebelum kejadian, aku bertengkar
mulut dengan Dewi Pandagu. Karena aku tak setuju, Dewi Pandagu dekat dengan
Pendekar Gila...!"
Mendengar nama Pendekar Gila, Sankher tersentak. Matanya membelalak lebar.
"Siapa Pendekar Gila itu?" tanya Sankher dengan suara berat.
"Pendekar yang sangat disegani dan berilmu tinggi. Tak ada pendekar lain, baik
dari aliran putih maupun hitam, yang mampu menandingi ilmunya,"
jawab Guntala tegas.
"Huh...!" dengus Sankher dengan geram. Telapak tangannya mengepal kuat-kuat.
Giginya beradu, gemeretak, menandakan hatinya sangat marah.
"Aku sudah lama menunggu saat yang baik untuk melawan Pendekar Gila dari Goa
Setan itu. Namun sampai saat ini aku merasa belum mampu melawannya," kata
Guntala dengan suara penuh kesal.
"Paman Guntala bisa membantu aku mencari


Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang gila itu?"
Suara Sankher berat dan sedikit bergetar, menandakan kemarahan dan dendam di
hatinya. Cerita Guntala sengaja memanasi hati Sankher yang tak lain tunangan Dewi
Pandagu. Dan ternyata berhasil.
Guntala mengatakan, bahwa kematian Dewi
Pandagu tak lain gara-gara Pendekar Gila yang berusaha mendekati Dewi Pandagu.
Guntala sengaja agar Sankher yang diketahui memiliki ilmu tinggi, dan mempunyai
senjata sakti bernama 'Tongkat
Berkepala Kobra' akan binasa mengalahkan
Pendekar Gila. Dan niat Guntala sebenarnya, jika Pendekar Gila bisa dimusnahkan,
dirinya akan membuat siasat lagi untuk membunuh Sankher.
Karena Guntala mempunyai cita-cita akan menguasai dunia persilatan di Jawadwipa
ini. "Aku sangat senang dan berterima kasih pada Hyang Widhi. Kau benar-benar akan
membantu membalas dendamku yang sudah lama pada
Pendekar Gila...," ucap Guntala sambil menepuk-nepuk bahu Sankher, "Kapan kita
akan mulai?"
"Lebih cepat lebih baik," jawab Sankher singkat dan tegas.
Guntala mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa puas dan memegangi
jenggotnya. "Aku setuju dengan caramu. Kalau begitu nanti kita atur semuanya. Aku punya
rencana yang tepat untuk memancing Pendekar Gila agar memburu kita...," ujar
Guntala kemudian.
"Akan kucari Pendekar Gila itu dengan caraku.
Paman jangan ikut campur! Kematian Dewi Pandagu menjadi tanggung jawabku. Dan
aku datang kemari memang untuk membalas dendam atas kematian kekasihku itu,"
kata Sankher dengan suara agak serak dan berat.
Mendengar ucapan Sankher, Guntala mengerutkan kening. Dirinya nampak kurang
senang mendengarnya. Namun tak berani berucap, ia hanya bisa menghela napas
panjang. Nampak kekecewaan ter-gambar di wajahnya yang sudah mulai berkerut.
Menunduk lesu. Karena sebenarnya Guntala kurang senang dengan kehadiran Sankher.
Takut rencana buruknya, untuk menguasai Perguruan Bintang Mas akan diketahui
Sankher. Sankher melihat itu. Lelaki bertubuh tinggi itu bangkit dari duduknya, lalu
melangkah pergi dari padepokan itu. Guntala hanya bisa memandangi
kepergian Sankher yang bekas kekasih Dewi Pandagu, Sankher tetap mencintai
wanita itu. Hal itu bisa dibuktikan pada sikapnya yang selalu marah jika ada
lelaki yang melukai hatinya. Apalagi ketika mendengar berita tentang kematian
Pemimpin Perguruan Bintang Mas itu dari Guntala.
Sankher meninggalkan Perguruan Bintang Mas dengan hati penuh dendam. Si Ular
Kobra dari Utara itu melarikan kudanya dengan cepat ke selatan.
Sepeninggal Sankher, Guntala tampak melangkah ke serambi rumahnya. Matanya
memandang jauh ke depan. "Sankher..., ternyata keangkuhanmu belum juga berubah.
Hhh...! Masih sama seperti yang dulu."
*** Sankher terus menggebah kudanya, seakan ada
sesuatu yang dikejar. Sampai di sebuah perbukitan lelaki berjubah hitam itu
menghentikan lari kudanya.
Dari atas bukit matanya dengan liar memandang ke bawah. Di kejauhan nampak Desa
Babakan. Sankher atau Ular Kobra dari Utara tersenyum sinis. Lalu kembali memacu
kudanya menuruni bukit menuju desa itu. Kuda putih yang ditunggangi nampak
begitu lincah dan cekatan menyusuri jalan terjal berbatu.
Sore itu Desa Babakan nampak seperti biasa.
Para penduduknya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ketika kuda putih
yang ditunggangi lelaki berpakaian seperti orang India memasuki mulut desa para
warga tak begitu menghiraukan. Hanya beberapa lelaki yang bergerombol di sebuah
rumah memandangi sambil berbisik-bisik.
Langkah kaki kuda semakin pelahan menyusuri jalan utama Desa Babakan. Langkah-
langkah kaki kuda itu seakan berirama. Apalagi penunggangnya yang berbadan tinggi, gagah
dengan hidung mancung, menatap lurus ke depan, seperti tak menghiraukan keadaan.
Sesekali matanya menyapu ke sekelilingnya.
Lelaki berjubah hitam bersenjata tongkat berkepala ular kobra itu menghentikan
kudanya di depan sebuah kedai. Siang itu dikedai milik Ki Lambang ramai oleh
pengunjung. Si Ular Kobra dari Utara itu sejenak mengamati keadaan di dalam
kedai. Bau asap rokok kaung sampai keluar, dan sampai pula ke hidung lelaki
berjubah hitam itu.
"Huh...!" dengus Sankher. Sankher melompat turun dengan ringannya. Di tangan
kanannya memegang sebuah tongkat berkepala ular kobra.
Dengan langkah mantap lelaki gagah bercambang tipis itu memasuki kedai Ki
Lambang. Sankher mengambil tempat duduk yang di tengah ruangan. Dengan kasar tangannya
menarik kursi, membuat orang di sekelilingnya terkejut. Seketika mata para
pengunjung kedai menoleh.
Ki Lambang mengerutkan kening. Lelaki setengah baya itu melangkah mendekati
tamunya yang baru datang.
"Tuan mau pesan apa?" tanya Ki Lambang,
berusaha tersenyum ramah.
Sankher tak menjawab. Hanya matanya yang
melirik Ki Lambang. Kedua tangannya ditaruh di atas meja. Dan napasnya ditarik
dalam-dalam. "Cepat buatkan aku makanan yang paling enak!"
pinta Sankher, dengan ucapan yang terdengar kaku.
Wajahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Ki Lambang.
"Baik, Tuan."
Namun ketika Ki Lambang hendak melangkah
untuk mengambil makanan, pundaknya ditahan oleh Sankher.
"Tunggu...!"
"Ada apa, Tuan...?" tanya Ki Lambang agak gugup.
"Di mana tempat Pendekar Gila" Aku harap kau mau menjawab dengan benar!"
Ki Lambang mengerutkan kening. Pertanyaan itu tak segera dijawabnya. Hatinya
malah bertanya heran. Ada hubungan apa antara lelaki asing yang misterius ini
dengan Pendekar Gila" Teman atau lawan" Bermaksud jahat, atau baik?"
"Hei...! Apa kau tuli"! Jawab pertanyaanku!"
bentak Sankher dengan mata melotot. Nadanya sangat marah, karena merasa
pertanyaannya tak digubris.
"Maaf, maaf, Tuan! Ada keperluan apa Tuan mencari Pendekar Gila?"
Ki Lambang balik bertanya. Keningnya masih berkerut, tak mengerti apa yang
sebenarnya dikehendaki lelaki asing itu. Sankher tampak makin kesal, matanya
melotot lebar. "Huh! Jangan banyak tanya!" bentak Sankher, bengis. Tangannya yang kekar
mencengkeram lengan Ki Lambang. "Jangan banyak mulut, jawab pertanyaanku!"
Namun Ki Lambang tetap tak mampu menjawab.
Mulutnya seakan terkunci. Lelaki setengah baya itu masih ketakutan dan heran
dengan pertanyaan-pertanyaan tamunya. Dirinya memang tidak tahu di mana Pendekar
Gila berada. Sebab dia sendiri hanya dengar nama Pendekar Gila yang sangat
kesohor dan disegani itu. Namun belum pemah ketemu sekali pun
dengan pendekar muda yang sepak terjangnya sangat dikagumi baik oleh kalangan
rimba persilatan maupun rakyat biasa.
"Heh...! Kau sengaja memancing kamarahanku, Orang Tua!" bentak Sankher dengan
kasar. Tangannya mendorong tubuh Ki Lambang dengan keras, hingga terjatuh ke
lantai. Kepalanya mem-bentur kaki kursi yang ada di belakangnya.
Brakkk! "Aduh...!" pekik Ki Lambang.
Orang-orang yang tengah makan di sampingnya tersentak dengan mata melotot.
Mereka marah karena makanannya berantakan, dan merasa
terganggu. "Bangsat! Siapa yang berani berbuat kasar pada Ki Lambang"!" maki lelaki
berbadan tegap dan kumis melintang dengan pakaian biru tua lengan panjang. Di
pinggangnya terselip sebatang golok.
Lelaki yang berambut panjang sebatas bahu, dengan blangkon batik warna coklat
bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menarik golok yang terselip di
pinggangnya. Srattt! "Sontoloyo ini perlu dikasih pelajaran! Yeaaa...!"
Lelaki berbadan tegap berkumis melintang yang bernama Subadra membabatkan
goloknya ke tubuh Sankher. Namun dengan gerak cepat yang sulit diikuti mata,
lelaki dari India itu tahu-tahu telah menghantamkan tongkatnya.
Wuttt! Bukkk! "Aaakh...!"
Subadra memekik, ketika punggungnya terpukul tongkat Sankher. Subadra mundur
satu tombak ke belakang, kemudian dengan cepat kembali
menyerang lawan yang masih duduk dengan tenang di tempatnya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Krakkk! "Aaakh...!" Subadra memekik. Matanya mem-
belalak lebar. Sesaat tubuhnya mengejang, lalu ambruk dengan keadaan mengerikan.
Keningnya pecah kena pukulan tongkat sakti berkepala kobra itu. Darah segar
bercampur lendir kuning mengalir dari kepalanya.
Menyaksikan kejadian itu, para pengunjung kedai seketika bertambah benci pada
Sankher, orang asing dari India itu. Mereka memandang penuh kemarahan.
"Kurang ajar! Hei orang asing...! Biadab! Jangan kau pikir bisa bertindak
sesukamu!" bentak Parta, lelaki berumur tiga puluh lima tahunan yang telah
mencabut goloknya, diikuti lima orang lelaki lain.
Srattt! Srattt! "Serang...!" seru Parta yang berpakaian seperti pesilat warna hitam lengan
panjang. Dadanya yang tak tertutup tampak bidang.
"Heaaa...!"
"Habisi orang keparat itu! Bunuh!"
Lima orang temannya melesat maju. Mereka
berbadan tegap dan berkumis tipis. Tiga di antara mereka berjenggot lebat.
Dengan golok yang berkilat seperti meminta guyuran darah, mereka membabat lelaki
asing itu. Namun belum juga bisa menyarangkan serangan, Sankher bergerak secepat kilat.
Tongkat di tangannya berkelebat tanpa dapat diikuti mata.
Wuttt! Prak! Prak! Prakkk!
"Aaa...!"'
Dalam sekali gebrak jeritan kematian memecah suasana siang itu. Tiga orang
dengan kening dibasahi darah, kini meregang nyawa. Mata mereka melotot, menahan
rasa sakit yang tiada terkira. Gigi-gigi mereka saling beradu. Kemudian tubuh
ketiga lelaki itu ambruk bersamaan. Kepala mereka retak.
Mengerikan! Melihat kenyataan tersebut wajah Parta seketika memucat. Kumisnya yang tebal,
kini tiada artinya lagi.
Matanya membelalak tegang. Tubuhnya gemetaran diguncang rasa takut. Begitu pun
dua temannya yang masih hidup. Mereka gemetaran tak mampu
menyembunyikan rasa takut.
Sementara pengunjung lain yang masih duduk di kursi masing-masing bergegas
meninggalkan kedai, setelah meninggalkan uang bayaran di meja. Mereka merasa
ngeri menyaksikan tindakan lelaki misterius itu. Hanya dengan sekali gebrak,
orang-orang persilatan itu tak mampu berkutik. Padahal keempat korbannya
merupakan orang-orang yang ditakuti di Kadipaten Bantulan.
Sankher tersenyum sinis. Tangan kanannya masih memegang tongkat saktinya yang
berlumuran darah.
Disekanya darah itu dengan tangan kiri. Kemudian didekati ketiga lawannya yang
ketakutan. "Katakan, di mana Pendekar Gila berada"!"
bentaknya garang.
"Kami... kami tak tahu di mana Pendekar Gila kini berada, Tuan. Betul, Tuan...!
Ampuni kami!" jawab Parta dengan suara gemetaran, sambil menundukkan kepala.
"Kau rupanya juga ingin bernasib seperti
temanmu itu, ya"!" bentak Sankher lebih keras.
"Sekali lagi aku tanya, di mana Pendekar Gila itu berada"!"
"Tuan...!" salah seorang lelaki kurus dengan hidung mancung betet berseru sambil
mendekat ke depan. Sankher menoleh dan memandang tajam wajah lelaki mengenakan
blangkon hitam, tanpa memakai baju.
"Tuan..., kalau Tuan mau cari Pendekar Gila, sebaiknya Tuan bisa datang ke
Perguruan Elang Sakti."
"Hm! Di mana tempat perguruan itu?" tanya Sankher mengangguk sinis.
"Di balik lembah sana, Tuan," jawab lelaki yang bernama Widura sambil menunjuk
arah barat. "Kalau kau membohongiku, nyawamu melayang!"
ancam Sankher sambil menjulurkan tongkat saktinya ke leher Widura.
Sankher tak banyak bicara. Kakinya melangkah meninggalkan kedai itu. Langkahnya
mantap dan nampak tenang, seakan tak pernah berbuat
kesalahan, atau melakukan sesuatu.
Parta dan kedua temannya hanya memandangi kepergian lelaki itu, dengan perasaan
kesal dan malu.
"Kenapa kau beri tahu pada orang asing itu"
Apakah kau tahu kalau Pendekar Gila berada di Perguruan Elang Sakti?" tanya
Parta dengan mata melotot.
"Aku, aku hanya.... Hm, aku hanya bermaksud agar lelaki asing itu cepat pergi
dari sini," jawab Widura dengan gemetaran.
"Gila kamu! Nanti kalau kebohonganmu itu
terbukti, desa ini akan dibumihanguskan! Ia akan
murka! Bodoh...!" bentak Parta dengan geram lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Widura hanya menunduk dengan mata lembab.
Lelaki kurus dengan kumis tipis dan mata cekung itu masih gemetaran. Seakan-akan
hatinya menyesal dengan kebohongannya pada Sankher.
"Kalau Desa Babakan ini diobrak-abrik lelaki asing itu, kau harus menanggung
akibatnya!" kata Parta lagi dengan marah.
Selesai berkata begitu, Parta dan kedua
temannya keluar dari kedai itu.
*** 3 Sore itu juga Sankher telah sampai di Perguruan Elang Sakti. Ki Putih Maesaireng
terkejut, ketika beberapa anak buahnya berlarian di halaman perguruan dengan
wajah ketakutan, disertai teriakan.
Lelaki berusia enam puluh tahunan itu melompat ke luar dari dalam padepokannya,
diikuti dua orang kepercayaannya, Kanta dan Satya.
Belum sempat Ki Putih Maesaireng dan kedua murid utamanya mencapai halaman
padepokan, telah terdengar jeritan kematian.
"Aaakh...!"
Wuttt! Prak! Prakkk! Beberapa orang murid Perguruan Elang Sakti tergeletak berlumuran darah. Tongkat
sakti berkepala ular kobra milik Sankher menghantam mereka yang berusaha
menghalanginya. Jerit kesakitan dan kematian ada di sana sini.
"Hei orang asing! Apa urusanmu menyakiti murid-muridku..."!" teriak Ki Putih
Maesaireng marah. Lelaki tua itu telah menghadang kuda putih yang
ditunggangi Sankher. Ketika memasuki halaman Perguruan Elang Sakti.
Si Ular Kobra dari Utara hanya mendengus sinis.
Matanya menatap tajam Ki Putih Maesaireng dan kedua pengawalnya. "Aku datang
untuk mencari Pendekar Gila dan akan mencincangnya...!"
Ki Putih Maesaireng mengerutkan kening, sambil menoleh ke Kanta. Kemudian
kembali menatap
Sankher dengan tajam.
"Apa urusanmu ingin bertemu dengan Pendekar Gila?" tanya Ki Putih Maesaireng
penuh selidik. "Jangan banyak tanya! Serahkan Pendekar Gila padaku...!" bentak Sankher.
Mendengar bentakan itu Ki Putih Maesaireng marah. Begitu pula Kanta dan Satya.
Kedua orang andalan Perguruan Elang Sakti itu segera mengeluarkan keris
berukuran panjang.


Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Ular Kobra dari Utara melihat itu hanya tersenyum sinis. Dengan tongkat
saktinya lelaki berjubah hitam itu menuding Ki Putih Maesaireng.
"Kau lebih baik serahkan Pendekar Gila itu, atau nyawamu kucabik-cabik dengan
tongkatku ini!"
"Kurang ajar! Kalau saja Pendekar Gila ada di sini, kau akan menerima nasib yang
sama dengan orang-orang yang kau bunuh itu!" kata Ki Putih Maesaireng geram.
"Serang...!"
"Heaaa...!"
Secepat angin Kanta dan Satya melesat terbang bagai burung elang. Kemudian
menukik ke tubuh Sankher yang masih duduk di punggung kudanya.
Melihat dua lelaki berpakaian serba kuning dengan ikat pinggang hitam itu
menyerang, Sankher tidak tinggal diam. Lelaki berjubah seperti orang India itu
dengan tenang menyambut serangan Kanta dan Satya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Trak! Trakkk! Tongkat berkepala ular kobra di tangan Sankher memapak keris kedua murid utama
Ki Putih Maesaireng. "Heaaa...!"
Dugk! Dugk! "Aaah...!"
Terdengar pekikan Kanta dan Satya. Rupanya ketika kedua orang andalan Ki Putih
Maesaireng itu menusukkan keris ke arah kepala lawan, dengan gerakan cepat, yang
sukar dilihat dengan mata biasa Sankher telah mendahului dengan serangan balik.
Tak pelak lagi pinggang Kanta dan Satya terkena pukulan tongkat sakti lelaki
asing itu. Tubuh Kanta dan Satya terguling di tanah. Namun kedua lelaki andalan Ki Putih
Maesaireng itu kembali bangkit, walaupun sambil memegangi pinggang masing-
masing. Kemudian keduanya langsung mempersiapkan
jurus andalannya, 'Elang Mengejar Mangsa'. Sankher melompat dari atas kudanya,
lalu dengan tenang menghadapi kedua lawannya.
"Heaaa...!"
Kanta dan Satya serentak melakukan serangan dengan jurus andalannya. Namun
lelaki dari daratan India itu dengan gesit mengelakkan, semua serangan yang
dilancarkan kedua lawan.
Tongkat di tangan Sankher bergerak cepat, memburu kepala lawan.
"Heaaa...!"
Wuttt! Plak! Plakkk! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Pekikan kematian terdengar dari kedua orang andalan Ki Putih Maesaireng. Kedua
lelaki berpakaian kuning itu ambruk dan tertelungkup ke tanah. Darah segar
mengalir keluar dari kepala mereka.
"Hah..."!"
Ki Putih Maesaireng marah melihat kedua orang andalannya dikalahkan oleh lelaki
berkuda putih itu dalam beberapa gebrakan. Padahal ilmu silat yang dimiliki
Kanta dan Satya cukup handal. Dengan diliputi kemarahan, pimpinan Perguruan
Elang Sakti itu melesat melakukan serangan.
"Heaaa...!"
Lelaki tua berjenggot putih itu merentangkan kedua tangan, membentuk sebuah
sayap lebar. Kemudian dengan cepat tangan kanannya menghantam ke dada lawan. Disusul pula
sambaran tangan kiri ke kepala lawan. Sedangkan sepasang kakinya bergerak cepat
secara bergantian, mencecar kaki lawan.
Melihat serangan lawan yang begitu cepat, Sankher tak mau menganggap enteng.
"Hm..., lumayan juga ilmu silat lelaki tua ini," gumamnya dalam hati.
Tongkat di tangannya diputar cepat, membentuk baling-baling. Begitu cepatnya
putaran itu hingga yang nampak hanyalah warna hitam yang membungkus tubuh Ki
Putih Maesaireng.
Melihat Ki Putih Maesaireng tampak kesulitan menghadapi orang asing itu, maka
tanpa diperintah, tujuh belas murid Perguruan Elang Sakti langsung bergerak
maju. Dengan golok terhunus, mereka mengepung kedua orang yang masih bertarung
itu. Sankher dan Ki Putih Maesaireng terus bertarung.
Keduanya saling menunjukkan ilmu silat yang mereka miliki. Tak percuma Ki Putih
Maesaireng mendapat kepercayaan memangku jabatan sebagai Pemimpin perguruan
Elang Sakti. Terbukti lebih dari sepuluh jurus lelaki berjubah hijau itu masih
mampu menghadapi Ular Kobra dari Utara. Sejauh itu pun pertarungan masih tampak
seimbang. Baik Ki Putih Maesaireng maupun lelaki berjubah hitam ini masih
memperlihatkan ketangguhan masing-masing.
Namun belakangan Ki Putih Maesaireng semakin kesal, setelah mendapati
serangannya selalu dapat dikandaskan oleh Ular Kobra dari Utara. Tangannya
kembali merentang, kemudian diangkat lurus, dilanjutkan dengan menekuknya di
samping dada. Itulah jurus 'Elang Sakti', salah satu jurus andalan Ki Putih Maesaireng.
Tangan kirinya dihentakkan ke depan, sedangkan tangan kanan bergerak menyapu.
Kedua kakinya tak tinggal diam. Kaki kanan menendang ke arah pinggang lawan,
disusul kaki kiri bergerak menyapu kaki lawan. Itulah jurus 'Elang Sakti
Menyambar Mangsa', yang terkenal ganas dan mematikan.
"Hiaaat...!"
Sankher tersentak melihat jurus yang dilancarkan Ki Putih Maesaireng. Gerakan
lelaki tua berjenggot dan berambut putih itu sangat cepat. Rasanya sulit baginya
untuk mengelak. Namun si Ular Kobra dari Utara itu bukanlah tokoh sembarangan.
Percuma jauh-jauh dari negeri asalnya datang ke Jawadwipa, kalau dengan mudah
dapat dipencundangi Pemimpin Perguruan Elang Sakti.
Sankher menggeser kakinya dua langkah ke
samping. Kemudian dengan cepat tongkat berkepala ular di tangannya dikebutkan ke
tubuh Ki Putih Maesaireng. Sementara itu tangan kirinya menepuk keras ke tulang
rusuk lawan. Namun Ki Putih Maesaireng masih bisa mengelak ke samping kiri.
Sankher memburu dengan menyapu kaki lawannya.
Ki Putih Maesaireng melompat dan bersalto ke udara.
Sankher dengan cepat menebaskan tongkatnya, ketika tubuh lawan kembali mendarat.
Hingga.... "Heyaaa!..!"
Prakkk! "Aaakh...!"
Pekik panjang keluar dari mulut Ki Putih
Maesaireng, ketika pukulan senjata lawan mendarat telak di tubuhnya. Sambil
kesakitan tubuhnya yang terbalut pakaian hijau melintir lalu ambruk dengan
keadaan mengerikan. Tubuh lelaki tua itu terbelah dua. Darah segar seketika
bercucuran membasahi tanah di halaman Perguruan Elang Sakti.
"Seraaang...!" teriak beberapa murid yang merasa tak tega melihat sang Guru
terkapar berlumur darah.
"Heaaa...!"
"Serang...!"
Tujuh belas murid Perguruan Elang Sakti
menyerbu dan mengurung si Ular Kobra dari Utara.
Namun dengan cepat dan gesit lelaki berjubah hitam itu bergerak memapaki
serangan. Dalam beberapa gebrakan saja lima pengeroyoknya tewas dengan kepala
pecah. Bagai kesetanan si Ular Kobra dari Utara menghabisi murid-murid Perguruan
Elang Sakti. Sampai akhirnya, tinggal tiga orang yang masih hidup. Sankher sengaja tak
membunuh mereka.
"Katakan pada Pendekar Gila dan semua
pendekar di Jawadwipa ini, bahwa aku Ular Kobra dari Utara menantang dan ingin
membunuh mereka...!"
seru Sankher dengan suara bergema, mantap.
Selesai berkata begitu, kakinya melangkah meninggalkan Perguruan Elang Sakti.
Dengan tenang ia memacu kuda putihnya menginjak-injak mayat yang berserakan di
halaman perguruan itu.
Setelah kepergian 'tamu' berpakaian ala India itu,
ketiga orang yang masih hidup mendekati mayat Ki Putih Maesaireng. Mereka
bermaksud membawa mayat sang Pemimpin ke dalam. Namun, tiba-tiba mereka
dikejutkan munculnya seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Ketiga murid
Perguruan Bang Sakti saling mengerutkan kening, melihat sikap pemuda tampan
berambut gondrong itu.
Pemuda tampan berpakaian rompi dari kulit ular yang tak lain Sena Manggala
tampak cengegesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ada malapetaka apa gerangan, Kisanak...?"
tanya Sena begitu dekat dengan ketiga orang yang berjongkok di dekat mayat Ki
Putih Maesaireng.
"Seorang lelaki aneh telah membunuh Ki Putih Maesaireng dan kedua orang
pengawalnya, serta lima belas teman kami," ujar lelaki muda yang bernama Kasnan.
"Betul, Tuan. Lelaki yang mengaku sebagai si Ular Kobra dari Utara itu dengan
ganas membunuh orang-orang perguruan kami. Tanpa mengenal belas kasihan!" tambah
pemuda yang ada di samping kiri Kasnan. Lelaki ini sama dengan teman-temannya
yang lain mengenakan pakaian hijau.
"Ah ah ah...! Apa urusannya..., eh... apa dia orang gila?" tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kami kurang begitu jelas. Tapi kami dengar, lelaki yang bersenjata tongkat ular
itu menentang pendekar-pendekar tanah Jawadwipa ini. Bahkan juga bersumpah ingin
membunuh Pendekar Gila...," ujar Kasnan menegaskan.
Mendengar namanya disebut, Sena mengerutkan kening dan makin menggaruk-garuk
kepala. Kemudian tertawa-tawa sendiri, seperti orang kurang waras.
"Aneh"! Salah apa aku pada orang aneh itu"
Bertemu pun belum pernah..."! Kenapa dia ingin menantangku..."!" Sena bertanya-
tanya dalam hati.
"Apakah Kisanak mengenal lelaki aneh itu?"
tanya Kasnan lagi.
Sena hanya menggelengkan kepala, dan terus cengegesan.
"Setelah Desa Kanginan dan Babakan. Kini
Perguruan Elang Sakti. Aku harus cepat memburu manusia gila itu!" gumam Sena
lirih. Sena lalu berjongkok, membalikkan tubuh Ki Putih Maesaireng. Diusapnya wajah
lelaki tua itu yang penuh dengan darah. Pemuda berambut gondrong yang lebih
kesohor dengan julukan si Pendekar Gila itu tampak menyesali dirinya. Sena tahu
bahwa Ki Putih Maesaireng merupakan tokoh lurus beraliran putih.
"Sebaiknya kita cepat menguburkan Ki Putih Maesaireng dan yang lainnya!" saran
Sena pada Kasnan dan kedua temannya.
Sena dengan ketiga orang itu mulai
mengumpulkan mayat-mayat itu, untuk dikuburkan.
*** Sena pagi itu masih berada di Perguruan Elang Sakti, karena malam tadi menginap
di perguruan itu.
Maksudnya ingin menunggu kedatangan si Ular Kobra dari Utara. Karena Sena
memperkirakan pembunuh berdarah dingin itu akan kembali. Namun ternyata tidak.
"Aha! Sebaiknya kalian bertiga jaga perguruan ini.
Jangan ditinggalkan! Mungkin sewaktu-waktu aku datang, untuk melihat keadaan di
sini," ujar Sena
sebelum pergi. "Tapi, siapakah Tuan sebenarnya?" tanya Kasnan ingin tahu.
"Ah ah ah... Tak perlu tahu. Yang jelas aku akan mencari lelaki pembunuh keji
itu sampai dapat. Aku hanya orang biasa seperti kalian," tutur Pendekar Gila
sambil menggaruk-garuk kepala dan cengegesan.
"Terima kasih, Tuan...," kata Kasnan sambil menjura, diikuti kedua temannya.
Ketiga murid Perguruan Elang Sakti itu tampaknya dapat membaca penampilan Sena
sebagai seorang pendekar.
Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Lalu melangkah pergi meninggalkan Perguruan Elang Sakti.
Kasnan dan kedua temannya memandangi
kepergian Sena dengan berbagai perasaan.
"Pemuda gagah itu tingkahnya seperti orang gila.
Apakah dia yang bernama Pendekar Gila dari Goa Setan itu...?" gumam Kasnan.
Hembusan angin pagi bertiup sejuk, diwarnai nyanyian riang burung menyambut
kehadiran matahari menyinari bumi mayapada. Embun-embun belum semuanya pupus
dari rerumputan dan daun pohon. Namun tiba-tiba....
"Heaaat...!"
"Ceaaat...!"
Tampak sepasang muda-mudi tengah terlibat pertarungan. Yang seorang lelaki
berusia dua puluh lima tahunan. Rambutnya yang panjang melewati bahu diikat
Tubuhnya yang kekar dan berisi terbungkus pakaian silat warna putih dengan ikat
pinggang merah. Sedang yang satu lagi seorang gadis yang usianya tak jauh
berpaut. Pakaiannya yang merah delima sangat serasi dengan kulitnya yang
kuning langsat.
Kedua muda-mudi itu tampak melesat dengan ringan ke atas. Kemudian tubuh
keduanya saling bersalto. Sesekali menyerang dan menangkis serangan lawan,
diiringi teriakan-teriakan melengking memecah suasana pagi di sekitar air terjun
itu. Wuttt, wuttt! Trangngng! "Hiaaa...!"
"Yeaaat..!"
Setelah saling menyerang, dengan cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang.
Tubuh keduanya berjumpalitan di udara beberapa kali, sebelum akhirnya mendarat
di atas sebuah batu licin.
Trap! Keduanya saling pandang. Pedang di tangan mereka disilangkan di depan dada.
Secara bersamaan tangan kiri mereka digerakkan ke depan, membuka suatu jurus. Sedangkan
kaki yang menginjak batu, digeser sedikit ke samping. Menjadikan tubuh mereka
kini dalam posisi miring.
"Kau sudah semakin cepat menggunakan
pedangmu, Sundari...," seru sang Pemuda memuji gadis cantik berpakaian merah
delima yang ternyata bernama Sundari.
"Tapi aku masih belum puas, Kakang. Aku ingin teruskan latihan ini sampai aku
betul-betul puas...!"
sahut Sundari sambil memandangi Sawung Rana, kekasihnya.
"Heaaat..!"
Sundari menebaskan pedangnya ke arah Sawung Rana. Pemuda itu cepat melompat dan
bersalto dua kali, kemudian mendaratkan kaki jauh di hadapan Sundari. Di tepi
air terjun. Sundari melompat mem-
buru Sawung Rana. Keduanya kini kembali saling serang dan tangkis.
Tubuh Sundari melesat sambil bersalto di udara laksana seekor burung elang
kelaparan. Tangan kirinya bergerak lincah melakukan pukulan dan tangkisan.
Sedangkan tangan kanan menebaskan pedang dengan cepat.
"Hiaaat...!"
Wuttt! Wuttt! Srat! Srattt! Pedang di tangan Sundari menebas air terjun di sampingnya. Namun air itu masih
saja terpercik, pertanda gerakannya belum sempurna.
"Heaaat...!" Sawung Rana pun melesat, lalu bersalto di udara dengan tangan kiri
memukul ke depan. Kemudian disusul dengan tebasan pedang ke air terjun itu.
Wuttt..! Prattt!
Air terjun masih terpercik, menandakan gerakannya pun belum sempurna. Namun
Sawung Rana tak puas begitu saja. Setelah bersalto mundur di udara, tubuhnya
kembali mencelat dan membabatkan pedang ke air terjun.
"Heaaa...!"
Wuttt! Kali ini air terjun itu tidak terpercik sedikit pun, membuat mata Sundari
membelalak. Mulutnya menganga tanpa sadar, menyaksikan hasil yang telah
diperoleh sang Kekasih.
Tubuh Sawung Rana bersalto ke belakang sambil memukulkan tangan kirinya ke
depan. Kemudian kakinya kembali hinggap di atas batu di kolam air terjun itu.
Dengan tersenyum pedangnya kembali dimasukkan ke dalam sarung.
"Kau telah berhasil, Kakang...!" seru Sundari ikut gembira.


Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Kau pun sudah mulai berhasil, Dimas," sahut Sawung Rana dengan napas
sedikit terengah-engah.
"Bagaimana" Apakah Dimas mau melanjutkan...?"
Sundari menggelengkan kepala. Lalu melompat mendekati Sawung Rana.
"Kalau begitu kita kembali ke pondok. Kau nampak kelelahan," ujar Sawung Rana
kemudian. Ia mengajak Sundari pergi dari tempat itu.
Tiba-tiba wajah Sundari nampak berubah sedih.
Sawung Rana heran. Melihat kekasihnya tiba-tiba saja menampakkan kesedihan.
"Ada apa kiranya, Dimas" Apa yang sedang Dimas risaukan...?" tanya Sawung Rana
ingin tahu. "Entahlah, Kakang. Tiba-tiba aku teringat pamanku Ki Putih Maesaireng," jawab
Sundari lemah. "Mungkin pamanmu juga sedang teringat
padamu, Dimas," sahut Sawung Rana coba
menyenangkan hati kekasihnya. "Kalau perlu besok kita bisa menjenguk pamanmu.
Bagaimana...?"
Sundari menatap Sawung Rana, hatinya merasa lega dengan ajakan sang Kekasih.
"Apa kau benar-benar akan mengajakku, Kang?"
tanya Sundari dengan senyum manis.
Sawung Rana merangkul kekasihnya dengan
lembut. Keduanya kemudian meneruskan langkah menuju pondok mereka, yang ada di
atas bukit dekat air terjun itu.
Baru saja kedua muda-mudi itu sampai di
pelataran pondok yang terbuat dari daun pandan kering, tiba-tiba terdengar
teriakan orang minta tolong.
"Tolooong...!"
Seketika Sawung Rana dan Sundari menoleh ke belakang dan memandang ke asal suara
teriakan itu. Seorang lelaki berpakaian rompi hijau berlari menyongsong mereka, tapi jatuh
tersandung batu.
Sawung Rana cepat menghampiri lelaki itu. Ternyata Kasnan, murid Perguruan Elang
Sakti. "Kang Kasnan..."!" pekik Sundari setelah
mengenali lelaki itu.
"Ada apa, Kang?" tanya Sawung Rana sambil memegangi Kasnan.
"Orang itu membakar Perguruan Elang Sakti.... la kembali membunuh orang-orang
perguruan lainnya...!" tutur Kasnan dengan napas tersengal-sengal.
"Siapa orang yang kau maksud itu, Kang...?"
tanya Sawung Rana, penuh harap.
"Siapa" Apa yang telah terjadi dengan Paman Putih Maesaireng..."!" tambah
Sundari cemas sekali.
"Ampun...! Saya terlambat memberitahukan berita ini," kata Kasnan dengan
tersendat-sendat.
"Berita apa?" tanya Sundari makin cemas.
"Ki Putih mati. Dibunuh lelaki aneh itu...," kata Kasnan menjelaskan.
"Hah"! Oh...! Paman...!"
Sundari sangat terpukul hatinya mendengar berita itu. Dirinya semakin sedih dan
menangis. "Ternyata firasatku benar, Kakang," ucap Sundari sambul menangis. Lalu Sundari
bergerak ingin pergi.
Sawung Rana cepat mencegahnya.
"Dimas.... Sabarlah! Mari kita rundingkan bersama. Aku yakin orang aneh itu
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi," ujar Sawung Rana coba meredakan amarah
kekasihnya. "Bagaimana mungkin aku harus bersabar,
Kakang" Belum sempat aku membalas jasa-jasa paman yang telah merawatku, sejak
kedua orang tuaku meninggal. Aku merasa berdosa...," ucap Sundari denga nada
sedih. "Aku mengerti, Dimas. Tapi kita harus berpikir panjang. Sebab yang akan kita
hadapi tentunya bukan orang sembarangan. Buktinya, pamanmu yang memiliki ilmu
silat yang di atas kita, dapat ditaklukkan," Sawung Rana coba mengingatkan
Sundari. "Benar," sambung Kasnan, "Lelaki aneh itu juga menantang semua pendekar yang ada
di Jawadwipa ini. Termasuk Pendekar Gila dari Goa Setan."
"Hah"!" Sawung Rana tersentak. Mengerutkan kening. Demikian pula dengan Sundari.
Keduanya saling pandang.
"Setelah kematian Ki Putih Maesaireng, datang seorang pendekar muda, yang
tingkahnya seperti orang gila. Pemuda itu menolong kami menguburkan mayat-mayat,
termasuk jasad Ki Putih Maesaireng...,"
jelas Kasnan kemudian. "Apakah Tuan mengenal pemuda yang bertingkah seperti
orang gila itu?"
tanyanya penasaran.
"Ya.... Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan,"
jawab Sawung Rana sambil menganggukkan kepala.
"Sudah aku duga...," gumam Kasnan lirih.
Sawung Rana berpikir sejenak sambil memegangi kening. Ia lalu menoleh ke wajah
Sundari yang masih bersedih.
"Dimas, sebaiknya kita cari Pendekar Gila, untuk melawan laki-laki aneh itu.
Kita berdua tak mungkin dapat mengalahkannya. Tapi kalau memang kita bertemu
dengan lelaki itu. Apa boleh buat," ucap Sawung Kana.
"Terserah Kakang," jawab Sundari lemah.
"O, ya. Tadi Kang Kasnan tampak ketakutan. Apa lelaki itu mengejarmu, Kang?"
tanya Sawung Rana kemudian.
"Betul, Tuan. Tapi sempat dihadang oleh orang-orang Desa Babakan yang marah.
Karena terbunuhnya orang-orang desa itu," tutur Kasnan.
"Kalau tidak mungkin saya sudah mati...."
"Hmmm!"
Sawung Rana menghela napas panjang, lalu
berpaling ke arah Sundari yang ada di sebelah kirinya.
"Dimas, sebaiknya kita cepat pergi. Sebelum orang itu menemukan kita di sini."
Lalu Sawung Rana mengajak Sundari pergi dari pondok itu.
"Kang Kasnan sebaiknya tinggal saja di pondok kami!" kata Sawung Rana sebelum
pergi. "Baik, Tuan."
Sawung Rana dan Sundari melesat pergi
meninggalkan pondok itu. Keduanya seperti sepasang elang melesat bagai terbang
menuju perbukitan.
*** 4 Semilir angin pagi menerpa dedaunan di Bukit Lawa.
Tampak sepasang muda-mudi yang tak lain Sawung Rana dan Sundari tengah melesat
melintasi jalan tanah di antara perbukitan hijau. Dilihat dari gerakan mereka
yang cepat dan gesit, jelas keduanya sama-sama mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Mereka bagai dua ekor kijang melompat-lompat di atas batu dan tanah keras. Tak
lama kemudian keduanya berhenti di puncak bukit Mata mereka memandang ke
perbukitan itu. Seakan merasa khawatir kalau-kalau ada orang yang mengikuti
mereka. Sawung Rana dan Sundari hendak menuju
Perguruan Elang Sakti untuk melihat keadaan perguruan yang telah diporak-
porandakan si Ular Kobra dari Utara.
"Kita tak jauh lagi dari Perguruan Elang Sakti, Dimas. Waspadalah!" kata Sawung
Rana sambil terus melangkah di samping Sundari.
Sundari hanya menganggukkan kepala pelahan.
Matanya memandangi sekeliling tempat itu dengan tajam. Pendengarannya pun
dipasang untuk menangkap suara apa saja di sekitar tempat itu.
"Kakang, aku merasakan sesuatu di belakang kita," bisik Sundari sambil menoleh
ke wajah Sawung Rana.
"Hm...!" Sawung Rana hanya bergumam pendek.
Suasana di perbukitan itu memang sunyi dan sepi.
Yang terdengar hanya suara desah angin dan
kicau burung. Pasangan muda-mudi itu terus melangkah menuruni jalan terjal
berbatu-batu. Dan ketika sampai di sebuah tempat datar tiba-tiba....
"Kisanak, tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat
langkah Sawung Rana dan Sundari terhenti.
Kemudian perlahan tubuh mereka berbalik,
menghadap ke orang yang menegurnya.
Empat orang lelaki telah berdiri di belakang pasangan muda-mudi yang berpakaian
putih dan merah delima itu.
Satu dari keempat lelaki itu tak lain Guntala, Pemimpin Perguruan Bintang Mas
yang diam-diam mengikuti sepak terjang Sankher. Dengan sinis Guntala memandang
tajam wajah Sawung Rana dan Sundari.
"Ada keperluan apa, Kisanak menghentikan
langkah kami?" tanya Sawung Rana. Tangan kanannya tampak memegang pedang.
"Ha ha ha...!" Guntala tertawa, "Kalian tentu ingin mencari orang asing yang
aneh itu, bukan?"
Sawung Rana dan Sundari mengerutkan kening, keduanya lalu saling pandang.
Keduanya heran, karena lelaki yang tak dikenalnya mengetahui tujuan mereka.
"Bagaimana Kisanak bisa tahu?" tanya Sawung Rana menyeledik.
"Ha ha ha...! Aku orang serba tahu. Mungkin aku bisa membantu kalian berdua,
untuk menemukan orang asing itu. Ha ha ha...!" Guntala tertawa sambil mengelus-
elus jenggotnya yang hitam lebat. Matanya melirik nakal ke arah buah dada
Sundari yang nampak menonjol di balik pakaian silatnya.
Sundari membelalakkan mata, ketika tahu
dadanya sedikit terbuka. Gadis itu cepat merapikan pakaiannya, "Bajingan! Lelaki
tua tak tahu diri, huh!"
rungut Sundari dalam hati.
"Tapi kami belum pernah mengenalmu, Kisanak.
Bagaimana kami mempercayaimu?" sahut Sawung Rana tegas. "Lagi pula aku tak
membutuhkan bantuanmu. Maaf...!"
"He he he! Kalian akan menyesal. Kau berdua akan mati seperti pendekar-pendekar
lainnya. Sayang kalau kalian yang masih muda-muda ini harus mati begitu cepat,"
ujar Guntala mencoba membujuk Sawung Rana dan Sundari.
Sawung Rana mengerutkan kening, lalu saling pandang dengan Sundari. Keduanya
nampak berpikir dan menimbang kebenaran ucapan Guntala.
"Kenapa Kisanak mau membantuku?" tanya
Sawung Rana agak mendesak.
"Hm.... Bukankah kita hidup harus saling
menolong" Dan kau harus tahu, bahwa aku juga ingin melenyapkan lelaki aneh itu,"
kata Guntala mencoba meyakinkan Sawung Rana.
Sawung Rana mengangguk-anggukkan kepala.
Seakan hatinya membenarkan ucapan Guntala.
Namun, Sundari merasakan ketidakberesan lelaki tua di hadapannya itu. Perasaan
kewanitaannya lebih tajam.
"Kakang...!" seru Sundari.
"Ada apa, Dimas?"
"Sebaiknya Kakang tidak menerima bantuan
lelaki itu. Aku..."
Ucapan Sundari yang pelan, seperti berbisik itu tak berlanjut, karena Sawung
Rana cepat menukas.
"Kisanak, aku sangat berterima kasih atas maksud baikmu. Namun, aku belum bisa
mem- percayaimu."
Sundari merasa lega mendengar ucapan
kekasihnya. Gadis itu menghela napas panjang.
"He he he...! Aku tak dapat memaksa kalian. Tapi, ingat! Kalian akan menyesal.
Lelaki si Ular Kobra itu akan menghabisi kalian!" ujar Guntala dengan suara
ditekan berat. "Dan, kalau kalian bertemu dengan Pendekar Gila, tolong sampaikan
pesanku. Paman Dewi Pandagu kirim salam!"
Mendengar ucapan Guntala yang seakan menjadi sahabat Pendekar Gila, membuat
Sawung Rana dan Sundari jadi mengerutkan kening. Keduanya saling pandang.
"Hm, maaf Kisanak! Apa Pendekar Gila pernah menemuimu...?" tanya Sawung Rana,
yang mulai termakan tipu muslihat Guntala. Dan pemuda yang masih hijau dalam
dunia persilatan itu, memang masih labil dan mudah percaya. Apalagi dirinya
belum paham benar tentang hubungan Pendekar Gila dan Dewi Pandaku. Hanya Sundari
yang sedikit pernah mendengar berita tentang bekas Pemimpin
Perguruan Bintang Mas itu dari pamannya, Ki Putih Maesaireng. Itu pun hanya
sedikit. "Terus terang saja, sebenarnya aku ingin bertemu Pendekar Gila dari Goa Setan,
untuk menangkap dan segera melenyapkan si Ular Kobra dari Utara!"
tambah Guntala dengan wajah menggambarkan kecemasan.
Sawung Rana dan Sundari makin termakan tipu muslihat Guntala. Sundari yang
semula mencurigai maksud buruk Guntala, kini justru meminta maaf.
"Kisanak, maafkan kalau tadi kami kurang ramah, pada Kisanak...," ucap Sundari
kemudian. Tentu saja dengan senyum tersungging di wajahnya.
"Tak apa-apa. Wajar kalau wanita seperti kau mempunyai kecurigaan demikian
terhadap orang seperti aku ini," jawab Guntala diiringi senyum yang dibuat-buat.
Sejenak mereka diam. Hanya perasaan masing-masing yang sedang bergolak.
"Kisanak, sebaiknya kita tak perlu lama-lama lagi.
Kalau Kisanak berdua tak keberatan, bagaimana kalau kita rundingkan rencana
melenyapkan si Ular Kobra dari Utara itu di pondok kami," ajak Guntala tiba-tiba
memecah keheningan.
"Baiklah...," wajab Sawung Rana setelah minta persetujuan Sundari.
Maka mereka segera pergi meninggalkan Bukit Lawa yang angker itu. Sawung Rana
dan Sundari berjalan paling depan. Di samping Sundari tampak Guntala yang sejak
tadi tergiur kemontokan tubuh gadis itu. Sedangkan tiga orang anak buah Guntala
mengiringi di belakang. Ketiganya mengenakan pakaian serba hitam dengan dada
terbuka. Ikat kepala mereka pun sama, hitam. Wajah mereka tidak menampakkan
kebengisan. Biasa-biasa saja. Hanya kumis tebal melintang di atas bibir mereka.
"Tak jauh lagi. Di balik lembah itu pondok kami...,"
ujar Guntala dengan suara agak serak. Matanya terus melirik ke dada Sundari yang
montok. Pimpinan Perguruan Bintang Mas itu sengaja tidak membawa Sawung Rana dan Sundari
ke tempat perguruannya, karena takut diketahui siapa dia sebenarnya. Karena itu
Guntala membawa Sundari dan Sawung Rana ke pondok yang biasa
digunakannya sebagai persembunyian, bila
menghadapi sesuatu masalah. Seperti ketika dirinya meninggalkan Dewi Pandagu,
setelah bertengkar
pendapat dengan keponakannya itu.
Guntala memang mempunyai sifat buruk. Senang mempermainkan wanita, bahkan pernah
bermaksud menguasai Perguruan Bintang Mas, yang dipimpin Dewi Pandagu.
"Masih jauh, Kisanak...?" tanya Sundari mulai cemas.
"Tidak, tidak jauh lagi. Setelah kita menuruni lembah, sudah tak jauh," jawab
Guntala diiringi senyum hambar. Matanya tak henti-henti melirik buah dada
Sundari. Tampaknya gadis itu belum merasakan kalau dirinya sedang diperhatikan.
Jalanan yang dilalui semakin sunyi dan terasa angker. Jauh dari pemukiman
penduduk. Batu-batu cadas tampak di sana-sini. Hati Sundari semakin cemas.
Sejenak gadis berpakaian merah delima itu menghentikan langkah.
"Ada apa, Dimas?" tanya Sawung Rana heran.
Sundari tak menjawab. Gadis cantik itu hanya menghela napas panjang.
"Ada sesuatu Kisanak...?" tanya Guntala berpura-pura merasa khawatir.
Makam Bunga Mawar 19 Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Imam Tanpa Bayangan 6
^