Pencarian

Utusan Dari Negeri Leluhur 1

Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur Bagian 1


UTUSAN DARI NEGERI LELUHUR Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari pener-bit. D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Utusan Dari Negeri Leluhur
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel 1 Dingin angin malam terasa menusuk sumsum
tulang. Sesekali terlihat kilat membelah kegelapan malam. Kemudian disusul pula
dengan gelegar petir mengusik suasana yang sangat sepi. Yang
mengherankan justru di atas langit sana tidak
terlihat tanda-tanda akan turunnya hujan. Bah-
kan gumpalan awan pun tidak begitu tebal seba-
gaimana mestinya.
Malam terus berlalu tidak ubahnya bagai
rangkak roda pedati. Sementara suara petir saling susul menyusul, seolah bagai
hendak memporak
porandakan hutan lebat yang terdapat di pinggi-
ran danau Sengguling.
Traaat...! Glegerrr...! Rentetan petir selanjutnya nampak menyam-
bar permukaan air danau Sengguling. Air di da-
lam danau itu bergelombang hebat, bahkan jauh
lebih besar lagi bila dibandingkan dengan gelombang mengganas di laut luar. Lalu
air di dalam danau itu bergejolak tidak ubahnya air panas
yang mendidih. Keadaan seperti itu berlangsung
cukup lama. Bahkan tanpa terasa sekarang air
danau itu membumbung tinggi, seolah ada sesua-
tu yang meronta dan berusaha membebaskan diri
dari dasar danau itu.
Glueerr...! "Harrking...! Bloop... bloop...!" suara jeritan yang sangat keras terdengar.
Lalu dari dalam da-
nau itu segera terlihat seberkas sinar biru terang melesat ke permukaan danau
Sengguling. Selanjutnya terdengar pula suara tawa berkepanjangan tiada henti.
Suara tawa yang membuat sakit gen-dang telinga itu terdengar serak dan berat,
tidak ubahnya bagai suara laki-laki. Namun di lain saat berubah kecil dan merdu
mirip suara gadis cantik. Dan pabila air di atas danau itu kembali ber-golak.
Maka yang terdengar adalah suara raungan binatang buas yang kelaparan.
Ketika sinar biru kehijau-hijauan semakin
menebar memenuhi permukaan danau Senggul-
ing. Di sela-sela hujan petir yang tiada kunjung henti, terlihat sosok tubuh
muncul di permukaan danau itu. Semakin lama ujud sosok berwarna
serba biru itu semakin bertambah jelas. Dan
seandainya saja saat itu ada orang yang sempat
menyaksikan ujud dari sosok berwarna serba biru itu. Dapat dipastikan orang itu
tidak sadarkan di-ri seketika itu juga. Bagaimana tidak" Sosok yang muncul di
permukaan danau Sengguling. Tepatnya bukanlah seorang sosok manusia biasa. Bu-
kan pula binatang buas yang menakutkan. Bah-
kan lebih mengerikan dari sekedar itu. Tubuh
berwarna serba hijau itu lebih tepat bila di katakan sebagai makhluk yang sangat
mengerikan. Tubuhnya dari bagian dada ke bawah berujud
seekor ular yang sangat panjang. Sedangkan dari bagian dada ke atas berujud
kepala seorang gadis yang memiliki kecantikan luar biasa sekali.
Anehnya tubuh yang berujud menyeramkan
itu dapat berubah-ubah seirama dengan gelegar
petir yang membelah di kegelapan malam. Terka-
dang wajah cantik yang tidak ubahnya bagai putri kahyangan itu menjelma menjadi
sesosok wajah laki-laki menyeramkan. Berkumis serta berjam-
bang lebat. Pabila sosok yang dapat berubah-
ubah itu menyeringai. Maka akan terlihatlah dua pasang taring yang sangat
panjang lagi tajam.
Dan pada saat suara petir kembali terdengar, ma-ka ujud laki-laki itu telah
berubah pula menjadi seekor ular naga, bahkan di lain saat telah pula berubah
menjadi bagian kepala binatang buas
yang sangat besar.
Traat... Gleger...! Suara halilintar kembali membelah angkasa
kelam. Ular besar yang menebarkan bau harum
itu pun telah berubah kembali menjadi seorang
gadis yang sangat jelita. Kemudian ketika ada sebuah kekuatan yang tidak
terlihat menghentak-
kan tubuhnya yang dapat berubah-ubah itu. Ma-
ka gadis berwajah rupawan itu nampak melayang
ke udara. Dengan gerakan yang sangat manis,
kedua kakinya beberapa saat setelahnya menda-
rat pula di pinggiran danau Sengguling. Gadis
berkulit serba biru bagai orang yang menderita
keracunan itu nampak menggigil untuk beberapa
saat lamanya. Pandangan matanya nanar mem-
perhatikan keadaan di sekelilingnya dengan perasaan keheranan. Seolah ia merasa
serba asing menghadapi suasana yang terdapat di sekeliling-
nya. Belum lagi rasa heran itu sirna melihat keadaan di sekelilingnya. Kesunyian
malam segera saja terkoyak dengan terdengarnya suara yang lebih keras lagi dengan bunyi petir
yang telah berlalu. "Dasamuka...! Sebagai Panglima perang di Negeri Bunian. Dan
sebagai makhluk lelembut
yang telah meruntuhkan pamor Raja Piton Utara.
(Untuk lebih jelasnya siapa Raja Ular Piton Utara.
Terdapat dalam Episode Utusan Orang-Orang Se-
sat) Kau harus dapat mempengaruhi titisan bekas Raja Negeri Bunian yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana itu. Dan kau harus pula menarik pemuda
itu ke alam kita, yaitu Alam Gaib! Tetapi andai sa-ja kamu mengalami kesulitan,
paling tidak kau
harus dapat membunuhnya. Karena bagaimana-
pun di suatu saat kelak. Jika saja ayahandanya
telah selesai menjalani tapanya. Maka pemuda itu akan menjadi ancaman yang
sangat besar terhadap kelangsungan tahta yang sekarang berada
dalam genggamanku. Tidak boleh... hal itu tidak terjadi. Bahkan kalau perlu
sampai kapanpun titisan Raja Piton Utara itu tidak boleh mengetahui di mana
letak tapa ayahandanya...!" perintah suara dalam kegaiban itu menekankan.
"Ampun seribu ampun yang mulia Maha Dira-
ja...!" tubuh berbentuk ular dengan wajah berujud seorang gadis berwajah cantik
dan bernama Dasamuka itu membungkukkan kepalanya dalam-
dalam. "Bukankah sampai sekarang hamba masih belum mengetahui di mana pemuda
yang bernama Buang Sengketa itu berada...?"
Mengumandang suara yang terasa mendiri-
kan bulu roma, saat suara tanpa rupa itu tertawa
tergelak-gelak.
"Sebagai Panglima perang di Negeri Alam
Gaib. Sebagai makhluk lelembut yang memiliki
berbagai macam siasat. Mengapa kau sekarang
telah berubah menjadi dungu. Buang Sengketa
hanyalah titisan bekas Raja di Negeri kita. Sebagai titisan sudah barang tentu
tubuhnya masih berujud manusia biasa. Dengan inderamu yang
sangat peka terhadap alam kasar. Tentu tidak ada kesulitan bagimu untuk
menemukannya...!" geram suara gaib itu. Bukan main gemetarnya so-
sok berujud setengah ular dan setengah manusia
itu mendengar suara orang yang sangat dijun-
jungnya itu dalam keadaan marah.
"Maa... maafkan hamba, yang mulia Sangka
Negara. Cuma sejauh ini hamba belum mengeta-
hui sampai di mana kesaktian yang dimiliki oleh pemuda itu. Pula apakah hamba
harus tetap dalam keadaan begini berada di tengah-tengah ke-
hidupan alam manusia?" tanya makhluk lelembut yang bernama Dasamuka itu, takjub.
"Hemm... he... ha... ha...!" suara dalam gaib itu tertawa panjang. Suara tawanya
menggema ke seluruh pelosok rimba, kemudian hilang lenyap di telan ke dalam air danau
Sengguling yang telah
kembali tenang. Setelah suara tawa itu sirna sa-ma sekali. Maka suara dalam gaib
itu pun melan- jutkan. "Kusadari manusia titisan yang bernama Buang Sengketa itu memiliki
kesaktian yang hebat. Karena pada dasarnya, gurunya yang berna-
ma Si Bangkotan Koreng Seribu itu adalah manu-
sia sakti mandraguna. Ia memiliki pukulan yang
tidak dapat dianggap enteng. Di samping sebuah
cambuk yang menyimpan kesaktian luar biasa.
Tapi setiap manusia bagaimanapun hebatnya
pasti memiliki kelemahan. Dan kelemahan itu
terdapat pada hari kelahirannya. Selain itu kau juga pasti memiliki berbagai
macam cara lain untuk menghadapinya. Sedangkan yang lainnya ju-
ga termasuk ujudmu. Kau dapat merubah sosok
tubuhmu menjadi seorang gadis cantik. Atau apa
saja seperti apa yang kau kehendaki...!"
"Baiklah yang mulia Maha Diraja. Sekarang
hamba paham. Dan hamba berjanji akan menja-
lankan perintah dengan sebaik-baiknya...!"
"Ingat. Janji seorang siluman adalah janji ksatria. Kuharap kau tidak akan
mengecewakan aku...!" kata suara dalam kegaiban itu setengah mengancam. Sedangkan sosok
mengerikan yang
bernama Dasamuka itu hanya mengangguk pe-
nuh takjub. Tidak lama setelah itu suara dalam
gaib itu pun lenyap. Sedangkan sosok aneh yang
merupakan Panglima perang di alam lelembut se-
gera merubah dirinya menjadi seorang gadis yang sangat cantik, berpakaian
kembang-kembang.
Dengan rambut tergerai memanjang, sedangkan
di bagian punggungnya menggelantung sebilah
pedang berwarna kuning keemasan. Bila dilihat
sepintas lalu, maka orang akan beranggapan ga-
dis ini tentu seorang pendekar persilatan yang
memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan pe-
nyamarannya yang sangat sesuai itu. Utusan dari Negeri Alam Gaib itu telah siap
melakukan tugas-nya.
2 Dengan langkah lesu. Pemuda berwajah tam-
pan dengan rambut di kuncir itu terus menelusu-
ri jalan lebar yang terdapat di pinggiran desa Te-pus. Siang itu panas matahari
memang benar- benar terasa menyengat batok kepala. Bahkan
pada jalan yang dilalui oleh pemuda berpakaian
merah itu tidak seorangpun yang dijumpainya.
Padahal desa yang terdapat di pinggiran desa itu termasuk sebuah desa yang
sangat padat penduduk. Ataukah karena panas yang luar biasa itu,
sehingga mereka malas meninggalkan rumahnya"
Dalam hati pemuda tampan yang tidak lain Pen-
dekar Hina Kelana adanya, merasakan ada sesua-
tu yang tidak wajar pada musim kemarau di ta-
hun ini. Tetapi ia sendiri masih belum mengeta-
hui apa penyebabnya. Dalam suasana panas yang
tiada tertahankan itu, Pendekar Hina Kelana alias Buang Sengketa tiba-tiba saja
menghentikan langkahnya. Kemudian terlihat sepasang matanya
menyipit memandang ke satu arah.
"Hemm. Musim kemarau tahun ini memang
benar-benar lebih gila dari biasanya. Di mana-
mana kulihat sungai kering. Masa bodoh! Seka-
rang aku memerlukan warung. Selain itu aku pun
sangat haus sekali. Ah... agaknya di depan sana ada warung yang memadai untuk
sekedar melepaskan lelah. Baiknya aku cepat-cepat ke sana...!"
batin Buang Sengketa. Kemudian tanpa menghi-
raukan suasana di sekelilingnya, pemuda ini pun
kembali mengayunkan langkah. Hanya dalam
waktu yang sangat singkat pemuda itu telah
sampai di sana. Dan pemuda itu tak dapat mena-
han senyumnya ketika membaca tulisan yang
terdapat di depan pintu masuk warung tersebut.
Tapi sebentar kemudian sikapnya telah berubah
biasa kembali. Pemuda keturunan Raja di Negeri Alam Gaib
ini selanjutnya mengambil tempat di sudut ruan-
gan. Sesaat ia memperhatikan keadaan di dalam
ruangan itu. Ia sempat menghitung pengunjung
warung itu jumlahnya tidak lebih dari sebelas
orang. Diantara mereka terdapat beberapa orang
laki-laki bertampang kasar bersenjatakan pedang bergagang sejengkal dan berukir
kepala burung nuri. Namun hanya sekilas saja pemuda itu
memperhatikan mereka. Selanjutnya dengan si-
kap sopan ia melambaikan tangannya ke arah
pemilik warung yang nampak baru saja selesai
melayani pengunjung lainnya. Dengan perasaan
enggan pemilik warung itu datang menghampiri.
Buang Sengketa sebenarnya merasa heran den-
gan sikap dan sambutan pemilik warung itu. Tapi karena terdorong oleh perasaan
lapar dan haus luar biasa. Maka si pemuda bersikap tidak perdu-li. "Tuan mau pesan apa...?"
tanya pemilik warung itu mendahului. Sikapnya kaku, wajahnya
tidak sedikitpun membersitkan keramah-
tamahan. "Tolong sediakan nasi berikut lauk pauknya.
Jangan lupa bawakan tiga kendi arak yang masih
baru...!" pesan Buang Sengketa tanpa sempat memperhatikan bagaimana raut muka
pemilik warung saat itu.
"Silahkan tuan menunggu sebentar...!" kata laki-laki tua itu dengan sikapnya
yang tidak berobah sama sekali. Seperginya laki-laki pemilik warung tersebut.
Buang Sengketa kembali memper-
hatikan mereka yang berada di dalam ruangan itu dengan seksama. Tapi ia tidak
menemukan adanya sesuatu yang mencurigakan pada para


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengunjung itu. Bahkan mereka-mereka itu den-
gan sikap acuh terus melahap hidangannya mas-
ing-masing. Si pemuda merasa jengah sendiri.
"Heran. Aku tidak melihat adanya tanda-tanda yang sangat mencurigakan di tempat
ini. Bahkan sikap merekapun tidak menunjukkan keanehan.
Hanya saja mereka sangat acuh pada orang lain.
Tapi mengapa perasaanku semakin tidak enak.
Hemm...!" Buang Sengketa menggumam seorang diri. Dan entah mengapa tiba-tiba
saja alis matanya nampak berkerut. Lalu terdengar helaan
nafasnya yang sangat berat.
"Akhir-akhir ini perasaanku memang selalu
tidak enak. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi di depan sana. Semuanya
kuserahkan sepenuhnya pada Sang Hyang Widi Wasa...!" batinnya lagi dengan
tatapan hampa. Dan tanpa disadarinya
pemilik warung itu cukup lama hanya untuk me-
nyediakan makanan dan minuman yang dipesan
oleh Buang Sengketa. Seandainya saja saat itu
pikiran si pemuda tidak sedang terpecah-pecah.
Tentu ia dapat merasakan keganjilan ini. Tapi ka-
rena pemuda ini memang sedang dalam keadaan
tidak enak perasaan. Maka ketika pemilik warung itu datang setengah jam kemudian
membawa makanan yang di pesan olehnya, Buang Sengketa
terlihat biasa-biasa saja. Bahkan wajahnya pun tidak menyiratkan kecurigaan apa-
apa. "Silahkan dinikmati, tuan...!" kata laki-laki tua itu setelah meletakkan seluruh
pesanan Buang Sengketa. Tak lama kemudian pemilik wa-
rung itu pun segera meninggalkan si pemuda, lalu menghilang di belakang pintu
dapur. Pendekar ki-ta ini karena sangat lapar sekali, tanpa merasa curiga mulai
menyantap hidangan yang terletak di atas meja. Tidak seorang pun yang perduli
melihat cara si pemuda menikmati hidangannya itu.
Hanya dalam waktu yang singkat, sepiring
nasi berikut lauk pauknya di tambah lagi dengan tiga guci arak telah amblas ke
dalam perut pemuda itu. Di luar sepengetahuan Buang Sengketa.
Dari balik dapur sana sepasang mata nampak
memperhatikan setiap gerak geriknya dengan ta-
tapan penuh kelicikan. Sementara itu Buang
Sengketa sendiri mulai merasakan adanya sesua-
tu yang tidak beres dalam makanan yang telah
habis di santapnya tadi. Mula-mula pemuda itu
merasakan pandangan matanya yang mengabur,
sedangkan kepalanya terasa pula mulai berde-
nyut-denyut. Si pemuda lama-kelamaan merasa-
kan kepalanya semakin bertambah berat. Dan ra-
sa mengantuk tiba-tiba menyerangnya sedemi-
kian hebat. Pendekar Hina Kelana merasa terkejut bukan alang kepalang ketika
merasakan keane-
han-keanehan itu. Dengan cepat ia segera menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk mengusir penga-
ruh obat yang telah bercampur dengan makanan
yang disantapnya. Namun sejauh itu ia merasa
tidak mampu mengusir hawa aneh yang terus
berputar di bagian perutnya.
"Keparaat... pemilik warung ini rupanya telah membubuhi makanan yang kupesan
dengan obat penghilang ingatan. Rasanya dugaanku ini tidak
keliru, Ya... pastilah serbuk penghilang ingatan.
Kalau begitu orang-orang acuh setengah gila itu pastilah telah memakan hidangan-
hidangan terkutuk itu sehingga membuat mereka pada lupa
ingatan...! Hem... aku harus mencoba mengerah-
kan seluruh hawa murni yang kumiliki. Kalau ti-
dak, mungkin pemilik warung celaka itu memiliki tujuan tertentu terhadap setiap
orang yang hadir di warungnya...!" batin pemuda itu. Sementara rasa kantuk terus
menyerangnya tanpa ampun.
Dengan kedua mata terpejam. Buang Sengke-
ta kembali mengerahkan seluruh hawa murni
yang dimilikinya. Mula-mula pemuda itu berusa-
ha mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya
ke seluruh bagian perutnya. Rupanya obat peng-
hilang ingatan itu ternyata memiliki kekuatan di luar perhitungan Buang
Sengketa. Sehingga setelah mengerahkan tenaga dalamnya secara beru-
lang-ulang. Barulah beberapa saat setelah itu, secara perlahan pemuda itu mulai
mampu mengu- sir pengaruh obat penghilang ingatan itu dari dalam tubuhnya. Keringat dingin
membasahi seku-
jur tubuh Buang Sengketa. Sebenarnya ia merasa
sangat terkejut sekali mendapat cobaan yang ti-
dak pernah disangka-sangkanya itu. Menurutnya
siapapun yang telah melakukan perbuatan seperti itu, pastilah bukan orang
sembarangan. Melihat
apa yang pernah terjadi dengan dirinya. Juga
termasuk pada orang-orang yang berada di dalam
ruangan itu. Pendekar Hina Kelana mulai dapat
menarik kesimpulan, orang tersebut pastilah
mempunyai niat yang sangat buruk.
Dengan nanar, pendekar berwajah tampan itu
melirik ke arah bagian dapur. Namun ia tidak melihat pemilik warung itu di sana.
Sementara para pendatang yang memenuhi seisi ruangan itu telah bergerak pula
meninggalkan tempat itu satu demi satu. Sebagaimana halnya yang terjadi pada
Pendekar Hina Kelana tadi, maka orang yang jumlah-
nya belasan orang itu telah berubah menjadi
orang yang hilang ingatan. Tingkah mereka yang
aneh, serta gelak suara tawa yang sumbang ter-
dengar semakin bertambah menjauh dari warung
itu. Buang Sengketa nampak tercenung lama se-
kali. Ketika ia teringat akan sesuatu, maka dengan suara serak dan berat ia pun
memanggil pe- milik warung. "Pak tua... cobalah kemari sebentar...!" si pemuda menunggu untuk beberapa saat
lamanya. Tapi pemilik warung itu tidak juga muncul seba-
gaimana yang diharapkannya.
"Bapak pemilik warung...!" teriak Buang dengan suara sedikit keras, menahan
kesal. Dari arah bagian depan warung, orang yang di panggil-panggilnya itu muncul. Dengan
tergopoh-gopoh ia
menghampiri. "Tu... tuan memanggil saya...?" tanyanya dengan suara terbata-bata.
Si pemuda tidak menyahut. Sebaliknya di-
pandanginya laki-laki tua itu dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya yang
nampak gemetaran. "Tuan memanggil saya...?" ulang laki-laki itu.
Nada suaranya menampakkan ketidak sabaran
hatinya. "Hemm... Pak tua..." Apa yang telah kau lakukan dengan makanan yang kau
hidangkan pa- daku...?" tanya pemuda itu dengan pandangan menyelidik. Mendapat pertanyaan
seperti itu. La-ki-laki berusia enam puluh tahun itu semakin
bertambah ketakutan sekali. Bahkan wajahnya
pun nampak berubah pucat.
"Apa yang tu... tuan maksudkan" Saya tidak mengerti sama sekali...!" jawab laki-
laki itu dengan wajah tertunduk.
Buang dapat merasakan ada sesuatu yang di
sembunyikan oleh orang itu.
"Pak tua! Kau jangan berpura-pura bodoh.
Kau telah membubuhkan sesuatu pada semua
makanan yang dipesan oleh orang-orang yang da-
tang ke warungmu ini, termasuk makanan yang
kau berikan padaku. Apakah kau masih mau me-
nutup-nutupi?"
"Sa... saya...! Tidak melakukan apa-apa...!"
belum lagi pemilik warung itu sempat mengakhiri kata-katanya. Tangan pemuda yang
kokoh itu telah menyambar bagian krah baju orang itu. Den-
gan sekali sentak, tubuh pemilik warung yang kurus itu telah terangkat tinggi-
tinggi. "Kau harus mengatakan apa yang telah terjadi di sini! Atau kau bekerja untuk
siapa, heh...!" geram Buang Sengketa. Sementara dengan sengaja
ia telah mendekatkan wajahnya sendiri dengan
wajah orang itu. Laki-laki tua itu merasa kaget bukan main. Tubuhnya yang kurus
kering itu menggapai-gapai. Tapi ia merasa tetap tidak
mampu berbuat sesuatu.
"Saya... tidak tahu dengan pembicaraan
tuan...!" ucap laki-laki itu.
Apa yang baru saja dikatakan oleh laki-laki
itu benar-benar membuat kesabaran si pemuda
benar-benar habis. Dengan mengerahkan sedikit
tenaga dalam yang dimilikinya. Buang Sengketa
semakin mempererat cekalannya. Sekejap saja
pemilik warung itu merasa sulit bernafas.
"Kerk... lep... lepaskan tuan. Baiklah... baiklah... saya akan mengatakan yang
sebenarnya.... "
"Mengapa tidak kau lakukan sejak tadi,
he...?" Buang segera melepaskan cekalannya hingga membuat laki-laki itu jatuh
terduduk. Namun dengan cepat ia telah bangkit kembali.
Dengan perasaan takut-takut, laki-laki itu mem-
perhatikan sekeliling warungnya. Seolah ia mera-sa khawatir apa yang akan
dikatakannya itu di-
dengar oleh orang lain.
"Kau tidak perlu merasa ragu untuk menga-
takan hal yang terjadi di sini. Seandainya kau takut dengan keselamatanmu.
Sedapatnya aku akan melindungimu." Pendekar Hina Kelana seka-
li lagi berusaha meyakinkan pemilik warung itu.
Ada perasaan lega tercermin lewat tatapan
matanya, ketika mendengar kata-kata Buang
Sengketa. Akhirnya tanpa merasa ragu-ragu lagi, dengan suaranya yang lirih, ia
pun berkata, "Saya diperintahkan oleh se...!" sebelum pemilik warung itu sempat
mengatakan segala sesuatunya. Dari
bagian belakang dapur warung itu berhembus
angin yang sangat kencang, bahkan langsung
menghantam tubuh laki-laki tua tersebut. Masih
untung si pemuda dengan cepat dapat menghin-
dar, sehingga ia selamat dari serangan yang tiada terduga-duga itu. Sementara
pemilik warung langsung terjerembab jatuh tanpa mampu menge-
luarkan suara walau barang sedikitpun. Buang
segera memburu laki-laki itu, tapi alangkah terke-jutnya dia begitu mendapatkan
tubuh pemilik wa-
rung itu sudah tidak bernyawa lagi. Melihat keadaan pemilik warung yang membiru
dan agak ke- hitam-hitaman. Sadarlah Buang Sengketa bahwa
laki-laki tua itu mendapat pukulan beracun yang teramat ganas sekali.
"Racun ganas 'Banas Pati'...?" sentaknya dengan mata terbelalak tidak percaya.
"Bagaimana mungkin racun sejenis itu dimiliki oleh kaum persilatan. Bukankah
racun yang sangat mematikan
itu hanya milik makhluk-makhluk di alam gaib
sana" Mungkinkah ini merupakan pertanda tidak
baik bagiku...?" gumam si pemuda sambil memperhatikan keadaan mayat pemilik
warung. Lalu ketika ia teringat sesuatu, maka dengan cepat tubuhnya melesat ke arah bagian
dapur. Dengan te-
liti diperhatikannya segenap ruangan itu. Namun ia tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan di
sana. "Aku yakin kalaupun orang yang telah mela-
kukan pembunuhan keji itu berilmu tinggi mung-
kin tidak semudah itu luput dari pengawasanku.
Sejak tadi aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan di sini. Mungkin ada
baiknya kalau kuca-ri orang itu...!" berkata begitu Buang Sengketa segera
berlalu meninggalkan warung dan pemilik-
nya yang telah tergeletak menjadi mayat.
3 Tiga orang penunggang kuda nampak mema-
cu lari kuda-kuda tunggangan itu dengan kecepa-
tan laksana terbang. Debu mengepul tinggi ke
udara, sementara tiga ekor kuda tunggangan itu
terus mengeluarkan suara meringkik disepanjang
jalan yang mereka lalui. Nampaknya kuda-kuda
itu dalam keadaan kelelahan yang teramat san-
gat. Terbukti di seluruh permukaan kulitnya telah mengeluarkan keringat
bercampur lendir. Bahkan
dari bagian mulut serta hidungnya pun telah pula berbusa. Namun agaknya para
penunggangnya yang berpakaian serba putih dan bersenjata pe-
dang itu tidak perduli dengan keadaan tunggan-
gannya. Beberapa kali pecut di tangan mereka
mendera kuda-kuda tunggangan yang dalam kea-
daan letih itu. Sekilas para penunggang kuda itu terlihat bagai tidak memiliki
perasaan sama seka-
li. Terbukti mereka terus memacu kuda-kuda
tunggangan itu, meskipun mereka tahu binatang
tunggangan itu sudah dalam keadaan kepayahan.
"Heaa... heaa... cepatlah kalian bergerak. Ka-mi sudah tidak tahan merasakan
penyakit yang aneh ini...!" sambil berteriak-teriak begitu. Tangan penunggang kuda yang berada
di bagian paling
depan terus melecuti kuda tunggangannya.
"Hieehh...!" kuda yang berada di bagian paling depan meringkik keras. Kemudian
tersungkur roboh tanpa mampu bangkit kembali. Sementara
penunggangnya yang berpakaian serba putih
nampak bersalto beberapa kali di udara, selan-
jutnya dengan tubuh terhuyung-huyung, menje-
jakkan kakinya di atas permukaan tanah. Detik-
detik selanjutnya dua ekor kuda tunggangan
lainnya pun ikut tersungkur pula menyusul yang
pertama. Binatang tunggangan itu nampak berke-
lojotan, dari mulut serta lubang hidungnya men-
geluarkan cairan seperti busa. Ketiga laki-laki berpakaian serba putih itupun
saling berpandangan sesamanya, setelah sebelumnya memperhati-
kan kuda milik mereka yang sudah tidak berkutik lagi. "Saudara-saudaraku. Tiada
jalan selamat bagi kita...?" kata orang pertama sambil menggaruk-garuk seluruh
kulit tubuhnya yang terasa gatal
sekali. "Kalau begitu kita tidak akan mempunyai kesempatan untuk mencari obat penyakit
terkutuk ini?" jawab yang lainnya sambil melakukan gerakan-gerakan yang tidak jauh
berbeda dengan orang pertama tadi.


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau tidak kita harus meminum darah di
antara kita sendiri...!" kata orang pertama dengan pandangan liar dan, penuh
nafsu membunuh.
"Kakang Baruna...! Tidak salahkah apa yang aku dengar ini?" Sentak dua orang
lainnya. Pemuda yang dipanggil Baruna itu menyeringai
sambil menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Sama sekali tidak salah. Bukankah kau
mendengar sendiri, bahwa penyakit yang kita de-
rita ini hanya dapat disembuhkan pabila kita telah meminum darah orang lain...?"
"Tapi perempuan terkutuk itu tidak mengatakan darah kita dapat menyembuhkan
penyakit ib- lis ini...?" tukas salah seorang dari dua orang lainnya tanpa mampu
menyembunyikan kegusa-rannya.
"Ha... ha... ha...! Kita tidak mempunyai pilihan lain lagi, sobat-sobatku.
Datangnya kematian itu sudah semakin dekat sekali. Kuda-kuda tunggangan kita
sudah pada mati semua. Sedangkan
untuk mencapai desa terdekat dari tempat ini
masih jauh lagi. Salah kita sendiri... kita sudah terlanjur menikmati tubuh
perawan cantik itu. Ki-ta telah terjebak dalam rayuannya. Tidak ada jalan lain,
diantara kita harus rela berkorban untuk kelangsungan hidup yang lainnya...!"
pemuda yang bernama Baruna itu kemudian tertawa mengekeh. Sedangkan dua orang
lainnya nampak sal-
ing berpandangan sesamanya.
"Itu tindakan keji sekali, kakang Baruna. Kakang harus ingat, binatang buas
sekalipun tidak
pernah memakan daging saudaranya sendiri...!"
bantah yang lainnya merasa kurang sependapat
dengan pemuda yang bernama Baruna itu.
"Hekk... kek... kek...! Kita bukan binatang sobat-sobatku. Sudah kukatakan untuk
kesembu- han, pemenang diantara kita semuanya harus
merelakan darahnya untuk kepentingan yang
lainnya...!"
"Apakah dengan meminum darah diantara ki-
ta, penyakit yang kita derita tidak akan kambuh lagi?"
"Kambuh atau sembuh selama-lamanya se-
mua itu tidak menjadi soal. Yang terpenting saat ini aku atau siapa saja sama-
sama membutuhkan
darah untuk menangkal penyakit terkutuk ini.
Aku sudah tidak tahan, gatal... gataal sekali...!'
bersamaan dengan kata-katanya itu Baruna sege-
ra mencabut senjatanya yang berupa sebilah pe-
dang panjang yang mengkilat-kilat karena keta-
jamannya. "Bara... Dirga...! Cepatlah cabut senjata kalian. Diantara kita harus ada yang
menyerahkan darahnya melalui pertarungan yang adil. Cepat-
lah... sheaa...!"
Dengan perasaan tidak sabar dan tanpa me-
nunggu lebih lama lagi, Baruna langsung menye-
rang dua orang lainnya yang bernama Bara dan
Dirga. Karena telah mengetahui apa yang diinginkan oleh kawannya yang satu ini.
Maka baik Bara dan Dirga tentu saja tidak tinggal diam begitu sa-ja. Dengan
gerakan yang ringan mereka menghin-
dari serangan pedang yang dilakukan oleh Baru-
na. Begitu mereka terbebas dari serangan ganas
itu. Maka mereka pun segera pula mencabut pe-
dangnya. Baruna tertawa mengekeh begitu meli-
hat dua orang kawannya mempergunakan senjata
untuk menghadapinya. Karena hal seperti itulah
yang diharapkannya sejak dari tadi. Meskipun
tubuh mereka sedang dalam keadaan tersiksa
akibat penyakit gatal-gatal yang sangat mengerikan itu. Nampaknya Baruna
menyadari siapa
yang menjadi lawannya. Mereka itu tidak lain masih merupakan sahabat-sahabat
baiknya sendiri.
Sebagai kaum persilatan golongan putih dan ter-
jebak dalam perangkap perempuan iblis yang ba-
ru mereka kenal. Tentu saja dalam hati kecilnya merasa tidak tega menghabisi
kawan sendiri tanpa perlawanan dari mereka. Itulah sebabnya keti-ka dua orang
kawannya mencabut senjatanya.
Pemuda yang bernama Baruna itu merasa berse-
mangat untuk segera menyudahi kawannya sen-
diri. Kenyataannya mereka merupakan kaum per-
silatan yang telah banyak makan asam dan ber-
pengalaman dalam hal ilmu olah kanuragan. Ten-
tu saja bagi mereka masing-masing tidak dapat
begitu saja menjatuhkan lawan dengan mudah.
Mereka memiliki jurus-jurus silat yang sama.
Bahkan permainan pedang mereka pun berasal
dari sumber yang sama pula. Hanya dengan men-
gandalkan kecepatan sajalah agaknya mereka ba-
ru dapat menjatuhkan lawan yang sebenarnya
masih merupakan kawan dekat mereka sendiri.
"Hiaat...!" dengan mempergunakan ilmu me-
ringankan tubuh Baruna berusaha mendesak Ba-
ra dan Dirga. Tetapi meskipun dua orang ini me-
rupakan adik seperguruannya sendiri. Tetapi
menghadapi keduanya dalam waktu yang bersa-
maan adalah merupakan sebuah kenyataan yang
tidak mudah. Berulang kali serangan-serangan
yang dibangun oleh Baruna dapat dikandaskan
oleh Bara dan Dirga. Bahkan sebaliknya sekarang kedua saudara seperguruannya itu
kelihatan mulai melakukan pengeroyokan terhadap Baruna.
Menghadapi tekanan dari dua orang lawan
yang hampir seimbang dengan kepandaiannya
sendiri. Tentu bagi Baruna menjadi masalah ter-
sendiri yang harus cepat di cari jalan keluarnya.
Terlebih-lebih lagi saat itu penyakit gatal-gatal di seluruh tubuhnya semakin
menjadi-jadi. Setelah
pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh jurus. Baruna segera mengerahkan
ilmu pedang andalannya yang diberi nama 'Kilat Pedang
Menghadang Bencana' yang sangat dikenal kare-
na kecepatannya. Melihat perubahan jurus pe-
dang yang dimainkan Baruna dengan tiba-tiba
itu. Baik Bara maupun Dirga nampak terkesima.
Mereka sama-sama menyadari apa yang dilaku-
kan oleh Baruna merupakan jurus pedang terhe-
bat yang pernah diwariskan oleh guru mereka.
Merasa tidak punya jalan lain. Bara dan Dirga
langsung memutar pedangnya membentuk perisai
diri yang sangat kokoh. Berulang kali pedang di tangan mereka saling berbenturan
sehingga menimbulkan percikan bunga api. Tapi Baruna yang
sudah dikendalikan nafsu setan itu sudah tidak
memperdulikan semua itu. Dengan kecepatan
yang sulit untuk diduga-duga Baruna melakukan
satu tendangan mengarah pada bagian perut Ba-
ra, sedangkan tusukan pedangnya mengarah pa-
da bagian darah leher Dirga.
"Hiaat...!" tubuh Dirga berkelit menghindar sambil memutar pedang di tangannya
dengan sebat. Traang...! Traaang...!
"Uaaah...!"
Baruna mengeluarkan teriakan melengking
tinggi manakala ia berusaha menghindari seran-
gan balik Dirga. Namun hal yang terjadi pada saat yang sama Bara menusukkan
pedangnya mengarah pada bagian perutnya. Dengan langkah ter-
huyung-huyung Baruna terus mendekap perut-
nya yang mengeluarkan banyak darah. Bara dan
Dirga saling berpandangan.
"Sekarang saatnyalah kita meminum darah
kawan kita sendiri. Adik Bara! Ayo, kita tampung darah kakang Baruna, sebelum
darah itu tertum-pah ke bumi...!" ajak Dirga.
Serta merta pemuda berpakaian serba putih
itu memburu ke arah Baruna yang sudah jatuh
terhempas dalam keadaan tidak berdaya. Tidak
jauh bedanya dengan binatang buas. Dirga segera menghirup darah kawannya sendiri
yang terus merembas tiada henti. Sementara itu pemuda
yang bernama Bara, rupanya merasa tidak tega
menghirup darah kawannya sendiri. Nampak
hanya memandangi kawannya dengan pandangan
tiada berkedip sedikitpun.
Namun beberapa saat kemudian Bara menje-
rit-jerit setinggi langit. Tubuhnya menggelepar di atas tanah. Sedangkan kedua
tangannya terus
bergerak cepat menggaruk-garuk di sana sini.
Keanehan yang terjadi atas diri Bara ini rupanya tidak luput dari perhatian
Dirga yang baru saja selesai menghirup darah Baruna yang telah terdiam dalam
keadaan tewas. "Adik Bara... apa yang terjadi dengan diri-mu?" sentaknya penuh kejut.
"Gatal... gatal sekali. Ouhgk... tobaat...!" teriak Bara terus menggelepar-
gelepar tanpa henti.
"Sudah kukatakan padamu bahwa kita harus
meminum darah kakang Baruna! Tapi kau tetap
tidak mau mengindahkan perkataan ku...!" tukas Dirga tanpa merasa mampu untuk
berbuat sesuatu. "Kakang Dirga. Aku merasa lebih baik mati daripada harus
meminum darah saudara seperguruan kita sendiri...!" bantah Bara, sedangkan
tangannya tiada henti-hentinya menggaruk-garuk
di sana sini. "Dan sekarang kau telah merasakan akibat-
nya, bukan...!" kata Dirga tanpa maksud menge-jek saudaranya yang sedang dalam
keadaan seka- rat itu. "Kau... kau benar, kakang. Tapi aku menginginkan kematian yang lebih cepat. Aku
tidak ingin tubuhku tersiksa seperti ini...!"
"Apa yang harus kita lakukan?" Dirga rupanya merasa semakin tidak tega melihat
adik seperguruannya ini. Tidak mengherankan kalau
akhirnya ia menjadi kebingungan sendiri.
"Bunuh... hbnuhlah aku, kakang! Percepat-
lah kematianku, agar diriku tidak tersiksa lebih lama lagi...!" rintih Bara,
Pada saat itu di sekujur tubuhnya mulai ber-
munculan benjolan-benjolan sebesar telur burung puyuh. Benjolan-benjolan itu
semakin bertambah
besar dan berkembang cepat memenuhi seluruh
permukaan kulit tubuhnya.
"Wuaarhgk... tidak tahan... mengapa kau
hanya diam saja kakang. Cepatlah lakukan apa
yang kuminta."
Bagaimana pun Dirga merupakan orang yang
paling menyayangi Bara. Sudah barang tentu ia
merasa tidak sanggup memenuhi permintaan adik
seperguruannya. Lain halnya ketika ia membu-
nuh Baruna. Semua itu terdorong oleh rasa ingin membela diri. Kalaupun akhirnya
ia berhasil dan langsung menghirup darah kakang seperguruannya sendiri. Semua
semata-mata hanya ingin
membuktikan ancaman penyakit yang sedang
menyerang mereka, kenyataannya perempuan
berwajah jelita berhati iblis itu memang tidak
berbohong. Setelah meminum darah Baruna, ter-
nyata penyakit gatal-gatal yang menyiksa dirinya sudah tidak menggejala lagi.
Mungkin nasibnya
tidak jauh beda dengan apa yang dialami oleh Ba-ra andai dia tidak meminum darah
saudara se- perguruannya sendiri tadi.
"Aku tidak sanggup melakukannya, adikku.
Aku merasa tidak tega... karena... karena aku
sangat menyayangimu...!" desah Dirga. Tanpa di
sadarinya air matanya pun menetes. Wajahnya
tertunduk lesu. Nampaknya ia merasa tidak be-
rani memperhatikan adik seperguruan, apalagi
saat itu benjolan-benjolan di tubuhnya telah berubah bertambah besar.
Top... bloop... bloop...!
"Tobaat... agrrhk...!"
Ketika benjolan-benjolan sebesar telur angsa
itu meletus dan memperdengarkan bunyi mele-
tup-letup. Tidak ayal lagi tubuh Bara terus menggelepar-gelepar bagai kerbau
disembelih. Darah
kotor bercampur dengan nanah yang meleleh tia-
da henti menebarkan aroma busuk yang sangat
menusuk indera penciuman. Bahkan tidak lama
setelah itu, dari benjolan-benjolan yang tidak terhitung jumlahnya itu, nampak
merayap binatang-
binatang kecil yang berbentuk bulat memanjang.
Melihat keganjilan-keganjilan itu, tentu saja Dirga semakin membelalakkan
matanya tidak percaya.
"Bara...!" pekiknya tertahan. Secara replek ia mendekati tubuh yang menebarkan
bau busuk itu. Setelah jaraknya dekat. Dengan jelas ia dapat melihat, bahwa binatang yang
berserabutan keluar dari bekas luka-luka benjolan dan berwarna kuning keemasan
itu tidak lain merupakan ujud
dari ular-ular berbisa yang sangat mematikan sekali. "Ahgkk...!" Dirga langsung
mendekap wajahnya dengan mempergunakan kedua telapak tan-
gannya. Sama sekali ia tidak menduga karena ke-
cerobohan mereka sendiri akan membawa akibat
separah itu. "Kakang... cepatlah menjauh. Tinggalkan diriku, ular-ular yang sama juga akan
memangsa mu jika kau tidak mendapat darah lagi dalam waktu
sepekan mendatang. Cepat kau tinggalkan aku
yang sudah di ambang ajal ini...!" kata Bara dengan suara patah-patah.
Dirga sebenarnya semenjak melihat ular-ular
berwarna keemasan itu mulai merasakan reaksi
yang terjadi di dalam tubuhnya. Ia merasakan seluruh pembuluh darahnya bergerak-
gerak. Seolah di dalam pembuluh darahnya itu ada makhluk
hidup yang berusaha mencari jalan ke luar. Itulah sebabnya ketika mendapat
peringatan Bara, hingga kemudian Bara pun tewas beberapa saat sete-
lahnya. Dirga dengan tergopoh-gopoh segera me-
ninggalkan tempat itu.
4 Dunia persilatan menjadi gempar dengan
munculnya wabah penyakit yang sangat aneh itu.
Korban demi korban bergelimpangan dan rata-
rata dari setiap korban yang tewas di sekujur tubuhnya berlubang-lubang disertai
cairan nanah yang menebarkan bau sangat busuk sekali. Bah-
kan beberapa kaum persilatan ada yang sempat
menyaksikan dari tubuh korban adanya ular-ular


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna kuning keemasan keluar dari benjolan-
benjolan yang sangat mirip dengan bisul.
Penyelidikan mengenai keberadaan penyakit
yang aneh dan telah menimbulkan banyak korban
itupun dilakukan. Terutama oleh kalangan golon-
gan putih yang merasa penasaran dengan adanya
wabah penyakit itu. Namun sampai sejauh itu
apa yang dilakukan oleh mereka masih juga be-
lum mendatangkan hasil. Bahkan beberapa orang
diantara mereka ada yang tidak kembali. Hilang
misterius tidak tentu rimbanya. Kabar yang me-
nyita perhatian berbagai kalangan itu akhirnya
sampai juga pada pemuda berperiuk yang sudah
tidak asing lagi bagi kita. Bahkan di beberapa
tempat ia sempat menyaksikan sendiri korban-
korban yang jatuh dengan keganasan penyakit
yang sangat misterius itu. Meskipun mayat-mayat mereka menebarkan bau busuk yang
sangat menyengat hidung, tapi Buang Sengketa masih sem-
pat memeriksanya. Dan berulang kali pemuda itu
berdecak keheranan saat melihat keadaan mayat-
mayat itu. "Tubuh mereka tidak ubahnya dengan daging
busuk. Padahal aku dapat memperhitungkan me-
reka tewas baru beberapa jam yang lalu saja. Penyakit aneh yang tidak wajar
sekali." gumam pemuda itu. Dalam posisi tegak berdiri, perhatiannya tidak pernah
beralih dari mayat-mayat yang
menggeletak di depannya. "Perasaanku semakin tidak enak saja. Aku tidak tahu apa
yang bakal terjadi padaku. Namun darah di dalam tubuhku
terus menyentak-nyentak hingga membuatku se-
makin bertambah gelisah. Ada baiknya aku men-
cari sebuah tempat yang tenang. Bagaimanapun
aku harus menghubungi guruku...!" teringat sampai ke sana. Tak ayal lagi pemuda
itu pun bergegas menuju semak-semak yang terdapat ti-
dak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
"Mungkin di sinilah tempat yang terlindung dari penglihatan siapapun." gumamnya
lagi setelah sebelumnya memperhatikan daerah itu den-
gan cermat. Tidak lama setelahnya, Buang Seng-
keta segera mengetrapkan ajian 'Tinggal Rogo' untuk menjumpai roh almarhum
gurunya Si Bang-
kotan Koreng Seribu. Mula-mula yang dilakukan
oleh pemuda berwajah sangat tampan itu adalah
mengosongkan pikirannya dari segala beban yang
berbau keduniawian. Lalu secara lambat namun
cukup pasti, antara alam bawah sadarnya mulai
menyatu dengan perasaannya yang mendalam.
Plaash...! Tidak dapat di cegah lagi, roh Buang Sengketa
pun melesat meninggalkan raga kasarnya. Namun
sebelum jasad halus itu benar-benar menjauh da-
ri raga kasarnya. Mendadak seberkas sinar ca-
haya berwarna biru kehijau-hijauan mengha-
dangnya. Kemudian muncul pula cahaya putih
bersih yang melesat cepat ke arah cahaya biru ta-di. "Plaaapsh...!"
Cahaya kebiru-biruan itu segera melesat men-
jauh sebelum cahaya putih bersih itu menghan-
tamnya dengan telak. Secara perlahan cahaya pu-
tih itu bergerak mendekati roh Buang Sengketa.
Cahaya berwarna seputih kapas itu secara perla-
han membentuk badan halus yang sangat di ken-
al oleh Pendekar Hina Kelana. Tidak salah lagi, itulah roh gurunya yang sangat
diseganinya itu.
"Kakek... eh... guru...! Sudah terlalu lama kita tidak bertemu...!" ucapnya
konyol. "Eeh... murid keblinger tidak tahu adat. Berani sekali kau meninggalkan raga
kasarmu, heh...?" Si Bangkotan Koreng Seribu bersungut-sungut.
"Akhir-akhir ini perasaanku selalu tidak enak, guru! Aku merasakan sesuatu yang
mengherankan. Tapi aku tidak dapat memastikan apa dan
bagaimana ujudnya.!" pemuda itu berubah serius.
Laki-laki aneh itu nampak merengut. Kemu-
dian dengan disertai tawanya yang panjang, ia
pun berucap dengan penuh keyakinan.
"Muridku yang keblinger. Sebenarnya aku
pun ingin menjumpaimu. Hanya saja waktu di da-
lam alamku mengharuskan agar aku mengawasi
bahaya besar yang sedang mengintai keselama-
tanmu...!" jelas Si Bangkotan Koreng Seribu prihatin.
"Apa... apa yang guru maksudkan" Apakah
kelainan perasaan yang selama beberapa hari ini kurasakan ada kaitannya dengan
apa yang guru katakan itu?" tanya si pemuda penuh perhatian.
"Benar sekali. Bahaya besar yang sedang
mengancammu itu ada sangkut pautnya dengan
wabah penyakit yang sedang melanda dunia per-
silatan saat ini. Padahal yang menjadi sasaran
utama dari semua apa yang terjadi itu sesung-
guhnya adalah kau!"
"Maksud guru bagaimana?"
"Tahukah kau tentang orang-orang yang te-
was secara menggenaskan itu?" tanyanya tanpa
menghiraukan pertanyaan Buang Sengketa.
"Ya... bahkan tadipun aku sempat melihat
beberapa mayat yang bergelimpangan. Mereka
meninggal dengan cara tidak wajar sekali...!"
"Tentu saja ingat. Sungguhpun sampai hari
ini aku masih belum dapat mengenali bagaimana
rupa ayahandaku yang bernama Raja Piton Utara
dari Negeri lelembut itu, aku masih tetap mengingatnya...!" kata si pemuda
sendu. "Bagus... kalau kau mau mengingat tentang
asal usulmu dan orang yang telah menyebab-
kanmu lahir ke dunia ini. Ketahuilah... bahwa
saat sekarang ini, maut sedang membayang-
bayangi dirimu. Seandainya kau lengah sedikit,
maka tubuhmu akan membujur kaku untuk se-
lama-lamanya...!" laki-laki setengah dewa itu memperingatkan.
"Guru! Bicaralah terus terang. Aku benar-
benar tidak mengerti ke mana arah pembica-
raanmu itu...?" kata si pemuda kesal.
Laki-laki yang telah meninggal lebih dari tiga
tahun yang lalu itu menyeringai. Kemudian se-
sungging senyum penuh kearifan menghias di bi-
birnya. "Perlu kau ketahui, seorang Panglima perang dari Negeri leluhur ayahmu berniat
membawamu ke Negeri Alam Gaib...!"
"Ha... apakah guru sedang tidak bercanda...?"
sergah pemuda itu dengan mata membelok.
"Aku bicara serius bocah tolol...!"
"Tapi apa tujuan yang sebenarnya...?"
"Dalam Negeri kegelapan sana, yang tidak da-
pat ditembus oleh penglihatan biasa. Kau adalah seorang pangeran. Kau adalah
anak Raja. Meskipun hanya titisan belaka. Ayahmu yang telah me-
ninggalkan tahtanya karena ingin menebus dosa-
dosanya dan bertapa di samudra luas, karena
mengawini manusia biasa. Telah menyebabkan
perebutan kekuasaan antara makhluk lelembut
yang baik dan makhluk lelembut yang jahat. Tapi orang-orang yang sealiran dengan
ayahandamu Raja Piton Utara dapat dikalahkan oleh kelompok yang jahat, dan berkuasa sampai
saat ini. Kalaupun mereka mengutus salah seorang Panglima
perangnya ke alam dunia fana ini. Sudah jelas
semua itu atas titah Rajanya yang bernama
'Sangka Negara'. Karena kau masih merupakan ti-
tisan dari alam lelembut itu, tujuan mereka jelas ingin menghukummu. Atau paling
tidak membunuhmu...!"
"Bukankah semua itu hanya merupakan pe-
kerjaan yang membabi buta saja" Guru, sendiri
cukup tahu bahwa selama ini untuk menjumpai
ayahandaku saja sangat sulit. Apalagi aku sampai berkeliaran di Negeri orang
gaib...!" "Secara logika memang begitu, muridku. Tapi bagi pemimpin yang sedang berkuasa
di Negeri ayahandamu. Kau tidak jauh berbeda dengan
seorang musuh yang harus dibinasakan...!"
"Ah, alangkah mengerikan sekali... tapi apakah aku dapat menandingi kesaktian
yang dimili- ki oleh makhluk lelembut itu, guru...?" tanya si pemuda harap-harap cemas.
"Menurut hematku, Panglima perang dari Ne-
geri Bunian yang bernama 'Dasamuka' itu memi-
liki kepandaian yang tidak dapat diukur. Bahkan mungkin saja senjata andalan
yang di wariskan
oleh ayahandamu itu akan berhadapan dengan
senjata yang tidak kalah hebatnya dengan senjata dari alam yang sama. Aku
berharap Cambuk Gelap Sayuto dan Jurus Koreng Seribu hasil cip-
taanku terakhir dapat mengatasinya. Hanya satu
hal yang harus selalu kau waspadai, kau mesti
berhati-hati dengan lawan yang bakal kau hadapi itu. Karena dengan segala tipu
muslihatnya. Dia dapat merobah ujudnya menjadi makhluk maupun manusia yang
sangat mirip dengan orang-
orang yang pernah dekat denganmu...!" kalimat terakhir yang diucapkan oleh roh
gurunya itu berisi peringatan keras, agar si pemuda berhati-hati selalu.
"Baiklah, kek...! Aku merasa sangat berterima kasih sekali dengan segala
petunjukmu itu. Tapi untuk sementara ini aku bermaksud ingin jalan-jalan di alam
gaib, seperti di alammu ini, guru...!"
kata pemuda itu konyol. Tentu saja ucapan pe-
muda barusan membuat laki-laki pemurung itu
menjadi berang sekali.
"Apa..." Dengan mempergunakan ajian
'Tinggal Rogo' itu engkau bermaksud pesiar...?"
"Tidak, guru... aku cuma bermaksud jalan-
jalan saja...!" Buang Sengketa mengekeh.
"Jalan-jalan dengan pesiar apa bedanya...?"
"He... he... he...! Pesisir hanya dilakukan oleh orang-orang kaya atau raja-
raja. Sedangkan jalan-jalan hanya dilakukan oleh orang-orang su-
sah dan pengelana seperti diriku ini...!"
"Goblok, tolol... murid gendeng! Apakah engkau ingin melihat jasadmu yang kau
tinggalkan dicincang oleh para golongan sesat atau binatang buas... cepat kau kembali ke
dalam jasadmu. Atau aku harus menggebukmu terlebih dahu-
lu...?" ancam Si Bangkotan Koreng Seribu. Pendekar Hina Kelana menyadari dalam
keadaan se- perti itu, gurunya benar-benar dalam keadaan serius. Maka iapun tidak berani
bertingkah macam-
macam lagi. Dengan sikap hormat Buang Sengke-
ta menjura. "Bai... baiklah, guru. Kalau guru sudah berkata demikian aku tidak akan
membantah lagi.
Aku akan kembali pada alam kenyataan...!" berkata begitu, Buang Sengketa
bermaksud mening-
galkan arwah gurunya. Namun tiba-tiba saja Si
Bangkotan Koreng Seribu memanggilnya.
"Hai bocah, tunggu dulu...!"
Buang Sengketa membalik. Kemudian me-
mandang gurunya dengan perasaan tidak men-
gerti. "Ada apa, guru...?"
"Apakah kau sudah ingat dengan pesan-
pesanku tadi...?" tanyanya begitu serius.
"Tentu saja murid akan tetap mengingat-
nya...!" "Kalau begitu... ya, sudah! Pergilah sana...!"
Buang Sengketa menggerutu.
"Dasar orangtua sinting!" celetuknya. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi ia pun
segera kembali ke dalam jasadnya yang masih tetap mema-
tung di balik sebatang pohon besar. Tak lama
kemudian tubuh pendekar itu telah bergerak-
gerak kembali sebagaimana sediakala.
5 Daerah di sekitar danau Sengguling, hampir
sepenuhnya dilingkupi hutan lebat dan jarang di-jarah oleh kalangan manapun.
Hutan perawan itu
selalu mendatangkan kesan menyeramkan bagi
semua orang. Itulah sebabnya penduduk desa
yang berdiam agak jauh dari hutan itu tidak seorangpun yang berani berburu
maupun mencari hasil hutan lainnya. Padahal daerah itu dikenal sebagai daerah yang dihuni
berbagai jenis binatang hutan yang dapat dimakan dagingnya. Tapi
siapa yang sudi memasuki danau Sengguling
yang banyak menyimpan misteri itu" Hanya saja
akhir-akhir ini ada kalangan persilatan yang sengaja datang dari daerah yang
jauh dan melakukan penyelidikan di tempat itu.
Semua itu sudah barang tentu ada kaitannya
dengan menyebarnya penyakit aneh yang akhir-
akhir ini melanda beberapa kalangan persilatan, baik dari golongan putih maupun
golongan hitam.
Yang membuat semuanya menjadi panik, justru
karena mereka yang telah terserang wabah terku-
tuk itu meminta banyak korban yang tidak berdo-
sa. Mereka yang terserang penyakit itu kembali ke dunia ramai dengan membawa
petaka baru bagi
orang lain. Tindak tanduk mereka cenderung be-
ringas, lebih dari itu mereka juga menjadi manusia penghisap darah demi
kesembuhan sementara
atas penyakit yang diderita oleh mereka.
Namun sejauh ini segala usaha kaum persila-
tan golongan putih dalam mencari sumber sebab
terjadinya malapetaka itu masih juga belum men-
datangkan hasil. Bahkan telah banyak diantara
mereka tidak pernah kembali lagi ke daerah ataupun perguruannya. Kalaupun ada
mereka itu te- lah ikut tertular penyakit yang sangat mena-
kutkan itu. Sesungguhnya apakah yang terjadi di daerah hutan Sengguling akhir-
akhir ini" Hanya
penduduk di sekitar hutan itu sajalah yang tahu.
Namun tidak seorang pun diantara mereka yang
berani buka bicara pada orang diluaran sana. Sebab mereka merasa takut dibasmi


Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh seorang bidadari cantik penguasa hutan itu. Mereka teringat pada perjanjian kedua belah
pihak yang men-
gatakan mereka tidak akan saling bermusuhan
selama penduduk yang berdiam di sekitar daerah
itu tidak pernah menceritakan kejadian apapun
yang terjadi di sekitar tempat itu. Kenyataannya sampai hari itu semua penduduk
yang berada di sana tidak mendapat gangguan apa-apa dari
orang yang menamakan dirinya 'Dasamuka' itu.
Begitupun sebenarnya hati mereka kian hari
terus diliputi perasaan cemas yang teramat san-
gat. Mereka merasa berdosa pada kalangan persi-
latan, karena selama ini mereka tetap merahasiakan adanya sosok yang berubah-
ubah ujud itu. Terkadang ada juga keinginan di hati mereka un-
tuk secara diam-diam melaporkan kejadian itu
pada tokoh-tokoh persilatan ataupun mencegah
keinginan para penyelidik itu untuk memasuki
hutan itu. Namun niat mereka selalu saja tidak
kesampaian, pabila mengingat keselamatan anak
istri mereka. Beberapa penduduk desa yang tewas secara mengerikan karena
berusaha memberi kabar pada tokoh-tokoh persilatan sudah cukup
menjadi pelajaran bagi yang lainnya agar mereka tidak bertindak gegabah.
Tetapi haruskah mereka bertahan dengan
perjanjian yang pernah mereka buat beberapa
purnama yang lalu itu" Sementara hampir setiap
malam selalu saja terdengar suara tawa merdu
dan berakhir dengan suara lolongan orang kesakitan yang membuat berdiri bulu
kuduk orang- orang desa itu" Diam dan terus diam. Begitulah
yang terus mereka lakukan ketika pada pagi yang sangat sejuk itu beberapa orang
penunggang ku-da berpakaian serba cokelat melewati desa mere-
ka. Bahkan ketika para penduduk itu mendengar
derap langkah kuda yang dipacu cepat ke arah
desa mereka. Pintu-pintu rumah langsung ter-
kunci rapat. Tepat seperti apa yang diduga oleh orang-orang desa yang telah
mengunci pintu. Begitu rombongan orang-orang berkuda sampai di
jalanan desa yang menghubungkan ke hutan da-
nau Sengguling. Maka rombongan berkuda itu
menghentikan kuda-kuda tunggangan.
"Mengapa kita berhenti di sini, kakek Singo Inggil...?" yang bertanya seperti
itu adalah seorang laki-laki yang berada di bagian paling belakang. Berbadan
kekar, berkumis serta jambang
berwarna cokelat sedangkan di bagian punggung-
nya menggelantung sebuah tombak bermata gan-
da. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai
Gantara Sona alias si Tombak Bayangan. Ia men-
dapat julukan seperti itu karena kecepatannya
dalam mempergunakan tombak. Sedangkan laki-
laki yang dipanggil dengan nama 'Singo Inggil' tersebut dalam dunia persilatan
sangat di kenal
dengan julukan 'Singa Muka Merah'. Laki-laki da-ri Selatan itu memang sengaja
datang ke daerah
danau Sengguling. Atas ajakan Gantara Sona cu-
cunya yang merasa kehilangan beberapa orang
muridnya di daerah itu.
Sementara itu laki-laki tua berambut serba
putih dan memakai topi kupluk (Topi jelek yang
biasa di pakai oleh orang-orang setengah sinting), nampak memperhatikan Gantara
Sona dan murid-muridnya yang turut menyertai rombongan
itu. Sepasang matanya yang agak sipit nampak
berkeriapan. "Mengapa kita berhenti...?" tanya laki-laki renta berusia tujuh puluh lima tahun
itu seolah mengulangi pertanyaan yang diajukan oleh cucunya.
"Betul... mengapa kita berhenti di sini. Padahal danau Sengguling masih jauh
lagi di depan sana?" kata Gantara Sona protes.
Laki-laki renta berwatak aneh itu melompat
dari punggung kudanya. Begitu kakinya menjejak
di atas tanah berpasir. Lalu bagian jemari kakinya itu menoreh-noreh di atas
tanah itu hingga menimbulkan guratan-guratan yang tidak di menger-
ti oleh Gantara Sona cucunya sendiri. Tiba-tiba wajah yang keriput itu nampak
berkerut. Sepasang matanya yang cekung nampak berputar-
putar bagai orang kesurupan. Detik selanjutnya
laki-laki renta berperangai aneh itu tertawa ter-bahak-bahak. Meskipun Gantara
Sona sudah pa- ham betul dengan watak kakek buyutnya itu.
Namun ia menjadi penasaran juga.
"Memang ada apa kek...! Kita telah menunda perjalanan dan membuang-buang waktu
percuma dengan berhenti di tempat sepi seperti ini...!"
Melihat cucunya merasa sudah tidak sabaran
lagi. Maka Singo Inggil langsung menghentikan
tawanya. Lalu bagai ditujukan pada dirinya sendi-ri seraya pun berkata.
"Heh... siapa bilang kita telah menunda perjalanan" Siapa kata kita berada di
tempat yang se-pi" Tidak tahukah kau berpasang-pasang mata
dari balik pintu rumah itu memandangi kita den-
gan wajah menghiba" Mereka merasa kasihan ke-
pada kita. Tapi mereka tetap tidak dapat berbuat sesuatu, karena mereka masih
sayang pada keselamatan anak istri. Tapi jangan salahkan, karena mereka memang
tidak mampu memberi selamat
pada orang lain...!"
"Aku tidak mengerti apa yang kakek maksud-
kan...?" Gantara Sona semakin bertambah jengkel saja melihat ulah kakeknya.
Namun sang kakek
tetap acuh, bahkan dengan sikap seolah tidak
perduli. Laki-laki renta itu melanjutkan ucapannya, "Di depan sana adalah sorga
dunia yang mematikan bagi siapa saja yang coba-coba me-
nikmatinya. Di kanan kiri adalah mereka yang setengah mati di landa ketakutan.
Sedangkan di belakang sana, seorang bocah keturunan alam kege-
lapan sedang di landa kebingungan. Di Tengga-
ra... si Peramal Sinting sedang berleha-leha...!"
sebentar Singa Muka merah berpaling pada cu-
cunya. Wajahnya membersitkan rasa iba yang
tiada dapat di tutup-tutupinya.
"Cucuku... apakah kita harus meneruskan
perjalanan ini?" dari nada ucapannya saja Gantara Sona dapat melihat kalau
kakeknya tidak ber-
selera untuk meneruskan perjalanan. Semua itu
jelas menarik perhatian Gantara Sona yang sela-
ma beberapa tahun terakhir ini menjadi ketua
perguruan 'Tombak Merah' menggantikan kedu-
dukan ayahandanya.
"Sebenarnya ada apa, kek..." Mengapa kakek mengatakan hal seperti itu...?"
tanyanya setelah berusaha mencerna makna dari semua ucapan
yang baru saja di katakan oleh Singo Inggil.
"Kabar buruk, cucuku...! Kita akan menjadi pecundang orang itu. Dia memiliki
ilmu kepandaian yang tiada bandingnya di alam mayapada
ini. Murid-muridmu, engkau dan aku menjadi ti-
dak berarti di hadapannya... akh... kalau dipikir-pikir memang tidak meleset apa
yang pernah di-
katakan oleh si Peramal Sinting sahabatku itu.
Bahwa kita akan menghadapi orang yang tidak
sebanding dengan kekuatan yang kita miliki. Dia terlalu hebat. Bahkan orang itu
unggul dalam segala-galanya." kata Singo Inggil. Sebaliknya Gantara Sona merasa
kaget bukan alang kepalang.
Dia sadar betul siapa kakeknya. Di daerah Teng-
gara Gunung Sinabung, orangtua itu merupakan
seorang tokoh yang sangat disegani baik oleh
kaum persilatan golongan lurus maupun kaum
persilatan golongan sesat. Apalagi sekarang ini Singo Inggil telah berhasil
menciptakan pukulan tangan kosong yang diberi nama pukulan
'Menguak Kabut Kegelapan' yang sudah tidak per-
lu diragukan akan kedahsyatannya itu. Dan ke-
nyataannya sang kakek masih tetap mengatakan
bahwa apa yang akan mereka lakukan hanyalah
merupakan pekerjaan sia-sia belaka" Gantara
Sona berpikir mungkin saja lawan yang akan me-
reka hadapi merupakan seorang tokoh sesat yang
memiliki kepandaian yang tidak terukur. Namun
sebagai ketua perguruan dan berjiwa muda tentu
Gantara Sona tidak mau terima begitu saja.
"Aku sudah begitu banyak kehilangan murid, kek... siapapun orang itu dengan
berbagai cara harus kita adili. Keberadaannya hanya akan
membuat jatuhnya korban semakin bertambah
banyak lagi...!" tukas ketua perguruan 'Tombak Merah'.
"Ternyata ketika kecil dulu kau belum ke-
nyang betul menetek pada ibumu." sentak Singo Inggil dengan wajah memerah. "Kau
harus ingat, bukan muridmu saja yang telah menjadi korban.
Namun telah begitu banyak kalangan persilatan
yang tewas secara sia-sia. Kau sudah kuberi kete-rangan tentang bahaya yang
menghadang kita,
andai saja kita meneruskan perjalanan ini. Ma-
sihkah kau hendak menyongsong maut?"
Mendengar kata-kata kakeknya, Gantara So-
na sebenarnya merasa malu dengan murid-
muridnya. Namun untuk bertindak nekad me-
langgar peringatan kakeknya tentu saja dia tidak punya keberanian. Namun ketika
terlintas satu akal di benaknya, laki-laki berusia tiga puluh lima tahun inipun berucap.
"Baiklah, kek. Kalau kakek sudah berkata begitu aku tidak dapat memban-tahnya
lagi, tapi...!" sebelum Gantara Sona sempat melanjutkan ucapannya. Mendadak dari
arah depan mereka muncul belasan orang penunggang
kuda yang tidak mereka kenal sama sekali. Begitu mereka sampai di depan Singo
Inggil, cucu dan
murid-muridnya. Maka mereka tanpa berkata-
kata lagi langsung menyerang Gantara Sona dan
murid-muridnya. Dengan perasaan heran ber-
campur penasaran, Gantara Sona dan murid-
muridnya berusaha menghindari serangan-
serangan ganas mereka. Sementara Singo Inggil
alias Singa Muka Merah di sela-sela gelak ta-
wanya langsung berkata, "Sudah kukatakan di depan kita sana adalah sorga yang
mematikan, cucuku. Mereka orang-orang gila ini pastilah baru saja mencicipi sorga dunia.
Sehingga mereka
menjadi gila karena penyakit yang didapatnya da-ri sorga itu...!"
"Tidak ada hujan tidak ada angin tahu-tahu orang-orang tolol ini menyerang kita,
kek! Lalu apa tindakan kita terhadap mereka?" tanya Gantara Sona sambil terus
menghela kuda tunggan-
gannya menghindari datangnya serangan senjata
orang-orang tidak di kenal itu dengan gesit sekali.
"Hak... hak... ha...! Setiap mereka yang telah keluar dari sorga mematikan itu.
Pastilah mereka membawa bibit penyakit yang sangat mematikan.
Apa yang mereka butuhkan untuk menyembuh-
kan penyakitnya adalah darah. Darah kita! Begi-
tulah menurut Peramal Sinting. Nah kalau eng-
kau merasa sayang dengan darahmu. Lindungilah
dirimu dan murid-muridmu, bunuh pendatang
dari sorga itu... bunuh...!" selesai dengan kata-katanya itu Singo Inggil segera
memapak seran- gan-serangan senjata para pendatang itu dengan
mempergunakan jurus-jurus tangan kosong yang
sangat hebat. Tubuh laki-laki tua itu berkelebat lenyap sehingga tinggal
merupakan sambaran angin kencang menderu-deru. Dapat dibayangkan
betapa tingginya ilmu silat yang dimiliki oleh Singa Muka Merah ini. Tapi lawan-
lawannya yang te-
lah terserang wabah penyakit aneh itu juga bukan lawan yang dapat dianggap
enteng. Mereka terdiri dari tokoh persilatan golongan sesat yang memiliki
kepandaian dua tingkat di bawah Singa Muka
Merah. Menghadapi laki-laki tua renta dan Gan-
tara Sona bisa saja mereka kerepotan. Tetapi ketika rombongan berkuda lainnya
berhadapan dengan murid utama Gantara Sona yang berjum-
lah tidak kurang dari enam orang itu. Maka da-
lam waktu yang singkat satu demi satu jerit dan lolong kematian pun terdengar.
Yang lebih mengerikan lagi para penyerang itu begitu lawannya roboh dengan tubuh
bermandi darah. Mereka ber-
serabutan memburu dan langsung menghisap da-
rah yang menyembur dari luka sabetan pedang.
Tindakan mereka tidak jauh bedanya dengan pri-
laku binatang buas yang senantiasa haus darah.
Demi melihat muridnya mengalami kejadian
yang sangat tragis itu. Gantara Sona menjadi
sangat murka sekali. Begitupun halnya dengan
Singo Inggil. Terlebih lebih dalam waktu yang
singkat enam orang muridnya sudah tidak bersisa meski hanya seorang pun.
"Keparaat... merekakah yang telah terjangkit penyakit menjijikkan itu, kek...!"
sentak Gantara Sona semakin memperhebat serangan. Bahkan
untuk selanjutnya ia telah mencabut senjatanya
yang berupa tombak berwarna merah.
"Tidak salah. Mereka menyedot darah murid-
muridmu demi kesembuhan penyakit yang mere-
ka derita. Ayo... tunggu apa lagi... kita harus berhasil membunuh mereka secara
keseluruhannya agar tidak akan menimbulkan korban lebih ba-
nyak lagi." perintah Singa Muka Merah. Saat itu laki-laki renta itu mulai
mengetrapkan pukulan
tangan kosong yang sangat diandalkannya. Yaitu
pukulan 'Menguak Kabut Kegelapan'. Tetapi keti-
ka Singa Muka Merah sedang berkonsentrasi un-
tuk mengetrapkan pukulan 'Menguak Kabut Ke-
gelapan'. Beberapa orang pendatang yang baru
saja selesai menghisap darah murid-murid pergu-
ruan Tombak Merah, telah meluruk ke arahnya.
Semua itu sudah barang tentu tidak luput dari
perhatian Gantara Sona. Hanya saja ia tidak da-
pat berbuat banyak karena pada saat yang sama
ketua perguruan 'Tombak Merah' ini sedang sibuk melayani tiga orang para
pengeroyoknya yang di-
antara sesamanya memiliki kepandaian yang be-
rimbang. Wuuuk... wukk...!
Sambil memutar tombaknya yang bermata
ganda, Gantara Sona melepaskan pukulan anda-
lan 'Kabut Merah' dalam usahanya mencegah tin-
dakan lawan yang berusaha menyerang kakek-
nya. Weess...!

Pendekar Hina Kelana 34 Utusan Dari Negeri Leluhur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari arah lain kiranya Singa Muka Merah te-
lah pula melepaskan pukulan 'Menguak Kabut
Kegelapan' yang sangat dahsyat itu. Tak ayal lagi tiga orang pendatang yang
melakukan serangan
kilat itu sudah tidak dapat menghindari pukulan yang dilepas oleh Singa Muka
Merah, sungguh pun mereka telah memutar pedangnya memben-
tuk perisai diri.
Bleder... bleder...!
"Wuaarkgh...!"
Tiga laki-laki bertampang sadis dan berkulit
hitam legam itu langsung terpelanting roboh. Tubuh mereka yang terkena pukulan
berhawa panas itu nampak berubah biru seketika itu juga.
"Lebih baik kalian enyah ke neraka...!" gumam Singa Muka Merah. Lalu dengan
cepat ia berpaling pada cucunya yang sedang terlibat pertarungan dengan pendatang
lainnya. Namun ia
dapat bernafas lega manakala dilihatnya Gantara Sona telah menjatuhkan lawan-
lawannya dalam waktu yang sangat singkat. Hingga sekarang
hanya tinggal seorang saja yang di hadapinya.
Namun lawan yang hanya bersisa seorang ini pun
tidak bertahan lama. Gantara Sona yang sangat
disegani karena kecepatannya dalam mempergu-
nakan tombak itu segera memperhebat serangan-
nya. Ujung tombak yang bermata ganda itu berge-
rak menyambar ke berbagai bagian tubuh yang
mematikan. Dalam gebrakan-gebrakan selanjut-
nya penyerang yang tidak pernah mau bicara itu
sudah terdesak hebat. Sungguhpun ia telah beru-
saha memutar pedangnya dengan segenap ke-
mampuan yang dimilikinya.
Jraas... srees...!
"Agkhh...!"
Laki-laki penyerang itu menjerit-jerit setinggi langit. Tubuhnya tertembus mata
tombak dari bagian perut hingga sampai pada bagian pung-
gung. Dengan mata agak terpejam, Gantara Sona
mencabut senjatanya yang menancap di tubuh
lawannya. Tapi ketika tombak itu telah di sentakkan oleh ketua perguruan 'Tombak
Merah'. Laki- laki itu sempat membelalakkan matanya.
"Ular emas...?"
Kenyataannya ular-ular sebesar ibu jari tan-
gan itu berserabutan keluar dari mayat lawannya.
Dan pabila ia memandang ke arah mayat-mayat
lainnya, maka hal yang sama tidak luput dari
perhatiannya. Sementara saat itu pun kakeknya
sedang sibuk membunuh ular-ular yang berbau
amis menjijikkan itu.
"Bagaimana ini, kakek...?" tanya Gantara So-na nampak agak panik karena ular-
ular berwarna kuning keemasan itu sekarang telah pula menye-
rang dirinya. "Kita harus menyingkir dari tempat ini...!"
berkata begitu Singa Muka Merah bermaksud
mendapatkan kuda tunggangan mereka. Namun
mereka lebih terkejut lagi ketika kuda tunggangan mereka telah terkapar mati.
Sedangkan di atas
tubuh mereka terdapat ratusan ular sejenis men-
gerubuti. "Celaka... seluruh kuda tunggangan mati semuanya...!"
"Kalau begitu jalan kaki saja...!"Singa Muka Merah bersungut-sungut.
"Ke mana...?"
"Kepalang tanggung. Kita selidiki saja sarang iblis itu...!"
Akhirnya tanpa berkata apa-apa lagi mereka
segera meninggalkan tempat itu.
6 Dalam perasaan yang serba tidak menentu
itu, Buang Sengketa terus mengayunkan lang-
kahnya. Sesekali ia pun mengerahkan ajian Sepi
Angin yang selama malang melintang dalam dunia
persilatan dikenal sebagai ilmu lari cepat yang tidak perlu lagi diragukan akan
kehebatannya. Kini setelah mendengar kabar dan keberadaan penyebab terjadinya
malapetaka itu. Hatinya telah menjadi mantap untuk segera sampai di daerah da-
nau Sengguling, dalam usahanya menemukan
seorang musuh yang menurut cerita Si Bangkotan
Koreng Seribu merupakan seorang Panglima pe-
rang utama di Negeri leluhur ayahandanya.
Hanya saja terkadang ada sesuatu yang dis-
esalkan oleh pemuda yang tidak pernah lekang
dengan periuknya ini. Mengapa manusia alam ke-
gelapan itu kalau hanya menghendaki jiwanya,
begitu tega menyebarkan bencana di mana-mana.
Dalam keadaan berjalan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara sesuatu yang
sangat mencurigakan.
Sraaak...! Langkah Pendekar Hina Kelana langsung ter-
henti. Ia mencoba mempertajam pendengarannya.
Weer...! Buang Sengketa jadi terkesima manakala me-
rasakan adanya sambaran angin kencang yang
sangat panas menderu cepat dari bagian bela-
kangnya. Secara replek pemuda itu langsung
membantingkan tubuhnya ke samping kiri. Se-
rangan gelap itu luput dari sasarannya. Sebaliknya sinar panas yang berwarna
Golok Bulan Sabit 4 Gelang Perasa Serial Tujuh Senjata (4) Karya Gu Long Dewa Cadas Pangeran 3
^