Pencarian

Algojo Algojo Bukit Larangan 1

Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Bagian 1


ALGOJO ALGOJO BUKIT
LARANGAN Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Algojo-Algojo Bukit Larangan
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Matahari tepat berada di atas kepala. Tidak ada awan yang menggelantung di
langit, membuat Sang Raja Siang leluasa memancarkan sinarnya yang terik. Suasana
di persada pun menjadi panas bukan kepalang.
Dalam suasana seperti itu, rasanya orang lebih suka
memilih berdiam diri di rumah, atau beristirahat di tempat yang teduh. Tapi,
tindakan seperti itu ternyata tidak dilakukan semua orang. Terbukti di bawah
sengatan sinar matahari yang seperti akan membakar kulit itu, berjalan tiga
sosok tubuh. Tiga sosok tubuh itu mengenakan pakaian dan ikat
kepala yang berwarna sama. Hitam pekat. Di bagian dada kiri pakaiannya, tampak
tersulam dari benang merah gambar gunung yang menjulang tinggi. Sulaman gambar
dari benang yang sama terdapat pula pada bagian depan ikat kepalanya.
Tanpa mempedulikan suasana panas membakar, tiga
sosok tubuh itu melangkah tenang di jalan tanah yang berdebu. Sesekali hembusan
angin yang berhawa panas, menerbangkan debu-debu dan menerpa tubuh mereka. Tapi
mereka sama sekali tidak perduli.
"Masih jauhkah Perguruan Tapak Malaikat itu,
Pergola?" tanya salah seorang dari tiga sosok tubuh itu, tanpa menghentikan
langkah. Dia adalah seorang laki-laki yang bertubuh pendek kekar. Wajahnya
menyiratkan keangkuhan besar, dan dipenuhi bintik-bintik hitam bekas jerawat
"Sebelum matahari tergelincir di Barat, kita telah tiba di sana. Sanca Kala,"
jawab orang yang dipanggil Pergola, setelah
tercenung beberapa saat lamanya untuk memperkirakan jarak yang harus mereka tempuh. "Bukan begitu, Gurida?"
Gurida, orang yang satunya lagi, seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar berotot, urat tubuh menonjol dan berkepala botak,
menganggukkan kepala, ia membenarkan perkataan
Pergola, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus,berkumis dan berjenggot jarang.
"Mengapa kau menayakan hal itu, Sanca Kala?" tanya Pergola seraya menatap wajah
rekannya. "Kau takut" Atau lelah?"
"Aku takut"! Cuihhh...! Kau keliru, Pergola! Aku malah sudah tidak sabar lagi
untuk segera tiba di sana!"
sergah Sanca Kala dengan nada suara tinggi karena
tersinggung. Tapi terdengar lucu di telinga, laki-laki pendek itu ternyata
cadel, ia mengucapkan kata r dengan l.
"Tidak usah tergesa-gesa, Sanca Kala," sambut Pergola. "Percayalah. Tidak akan
lari gunung dikejar. Lagi pula, apakah kau belum puas berlari-lari terus sejak
beberapa hari yang lalu" Apa salahnya kali ini kita
beristirahat dan berjalan santai. Anggap saja sebagai selingan sebelum kita
terlibat dalam kerja keras?"
"Ho ho ho...! Aku pun mengira kau takut, Sanca Kala!"
timpal Gurida dengan suaranya yang keras menggelegar mirip halilintar.
"Tidak ada kata takut dalam kamus hidupku, Gurida!"
bantah Sanca Kala dengan suara cadel.
"Kalau benar begitu, tenang saja, Sanca Kala! Percayalah, kita pasti akan tiba
di Perguruan Tapak Malaikat, sebelum matahari terbenam," kata Pergola mantap.
Tapi karena suaranya yang kecil dan melengking mirip ringkik kuda, kemantapannya
berkurang. Sanca Kala tidak membantah. Dia diam, dan tidak
melanjutkan ucapannya. Setelah ia meludah ke tanah dengan cara kasar dan
menjijikkan. Rupanya, itulah kebiasaan buruk Sanca Kala, meludah ke tanah bila
sedang dilanda amarah.
Gurida dan Pergola yang paham dengan kebiasaan
buruk Sanca Kala sama sekali tidak peduli. Mereka terus melanjutkan perjalanan
tanpa berkata-kata lagi.
Gurida, Pergola, dan Sanca Kala sama sekali tidak
mempedulikan suasana sekeliling yang hening. Mereka tidak ambil pusing, meskipun
di sepanjang perjalanan tidak menjumpai seorang pun.
Suasana sepi tetap mereka rasakan, kendati mereka
telah memasuki mulut sebuah desa. Jalan utama desa yang cukup lebar tampak
sunyi. "Gila! Ke mana para penghuni desa ini"!" maki Gurida dengan suara yang keras
mengguntur. Laki-laki bertubuh tinggi ini menolehkan kepala ke
kanan dan kiri. Tapi matanya tidak melihat seorang pun.
Padahal, rumah penduduk cukup banyak. Tapi, daun pintu dan jendelanya tertutup
rapat-rapat. "Mengapa kau mengurusi orang-orang yang tidak
perlu, Gurida...!" tegur Sanca Kala sambil tersenyum mengejek. Gembira hatinya
karena mendapat kesempatan untuk balas mengejek Gurida.
Memang tampak aneh sikap Gurida, Pergola, dan
Sanca Kala. Melihat dari pakaian yang dikenakan, bisa diduga kalau ketiga orang
ini mempunyai hubungan satu sama lain. Tapi, bila melihat dari sikap mereka,
terkesan persaingan di antara ketiga orang itu.
Gurida tahu kalau dirinya sedang diejek. Tapi karena dia tidak tergolong orang
yang pandai berdebat, ejekan Sanca Kala tidak langsung bisa dirangkainya.
Beberapa saat lamanya Gurida terdiam dengan wajah merah padam.
"Apakah kau akan membunuhi mereka dulu untuk
meyakinkan diri sebelum menghadapi orang-orang Perguruan Tapak Malaikat"!" ejek
Sanca Kala lagi, sehingga membuat wajah Gurida semakin merah.
Gurida menggertakkan giginya, menahan perasaan
geram. Karena ia tak tahan dengan ejekan Sanca Kala yang semakin memanaskan
telinga. Lalu, ia melangkahkan kaki lebar-lebar meninggalkan kedua rekannya.
"Ha ha ha...!"
Gelak tawa Pergola dan Sanca Kala mengiringi
langkah kaki Gurida yang mendahului mereka.
Masih dengan tawa yang tidak putus-putus, Pergola
dan Sanca Kala mengikuti langkah Gurida yang berjarak empat tombak di depan.
Sekarang tiga orang aneh itu meneruskan tujuan
mereka, tapi tidak lagi berjalan berbarengan seperti semula.
Gurida berjalan di depan. Sedang Sanca Kala dan Pergola berjalan di belakangnya.
*** "Berhenti...!
Siapa, kisanak semua"! Dan, apa keperluan Kisanak kemari"!" tanya salah satu dari dua orang pemuda berpakaian
coklat. Tampak di bagian dada mereka tersulam gambar telapak tangan berwarna
putih bersih. Dia adalah seorang pemuda berkulit hitam dan beralis tebal.
Dua orang itu berdiri di depan pintu gerbang. Di atas gerbang itu tergantung
sebuah papan tebal berukur, dan bertuliskan 'Perguruan Tapak Malaikat'.
Dua orang yang sebenarnya adalah murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat, berdiri berjajar dalam jarak sekitar setengah tombak.
Keduanya saling memiringkan tombak, untuk menghalangi jalan.
Pemuda beralis tebal dan rekannya menatap tajam
penuh selidik terhadap tiga sosok tubuh, yang berdiri di hadapan mereka. Ketiga
sosok tubuh itu mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam mengkilat. Pada dada kiri dan ikat kepala
mereka terlihat gambar gunung menjulang tinggi dari sulaman benang merah.
Tiga sosok tubuh yang bukan lain Gurida, Sanca Kala, dan
Pergola tertawa. Mereka tertawa bersama dan berbarengan. Tak pelak lagi terdengarlah suara gabungan yang aneh.
"Orang seperti kalian ingin mengenal kami"!" bentak Gurida. Memang dia memiliki
suara keras, ditambah lagi membentak, tak mengherankan bila terdengar suara yang
keras bukan kepalang. Saking kerasnya suara yang keluar dari mulut Gurida
membuat murid-murid Perguruan Tapak Malaikat,
yang menghalangi langkah mereka, sempat terjingkat ke belakang.
Tapi rasa kaget yang melanda hati kedua penjaga
Perguruan Tapak Malaikat itu hanya sebentar. Kemudian mereka telah menguasai
diri kembali. "Benar! Kami ingin tahu siapa kisanak semua. Dan apa pula maksudnya kisanak
mengunjungi perguruan kuini.
Semua itu untuk bahan laporan kepada kakak seperguruan kami.
Kemudian diteruskan kepada ketua untuk mempertimbangkan pantas tidaknya menerima kalian," jawab penjaga pintu gerbang
satunya lagi, seorang pemuda
bercambang panjang dan tak mau kalah gertak dengan
Gurida. "Tikus Buduk tak tahu penyakit!" desis Gurida penuh amarah. Memang, dibanding
kedua orang rekannya, laki-laki tinggi besar ini memiliki sifat berangasan.
Mudah marah dan tersinggung! "Kau rupanya sudah ingin pergi ke akherat, hah"!
Baik. Kuturuti maumu!"
Belum lenyap gema ucapannya, Gurida telah melangkahkan kakinya ke depan. Tentu saja dua orang
penjaga pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat itu tidak tinggal diam. Tombak
yang tadi bersilang menghalangi jalan, segera ditusukkan ke arah perut dan leher
Gurida. "Hmh...!"
Gurida mendengus. Dengan sikap sembarangan dan
seperti tanpa mengerahkan tenaga sama sekali, diulurkan tangannya menangkap
kedua tombak yang tertuju ke
arahnya. Tap, tappp! Sepasang mata dua orang murid Perguruan Tapak
Malaikat terbelalak, ketika melihat mata tombak mereka telah berada dalam
cengkeraman tangan Gurida.
Sebelum rasa kaget mereka lenyap, Gurida telah
menggerakkan dan menggertakkan tangannya yang menggenggam tombak ke atas.
Jerit keterkejutan terdengar dari mulut kedua orang
itu ketika tubuh mereka terlempar ke atas akibat sentakan tangan Gurida.
Tubuh kedua orang penjaga pintu gerbang itu
melayang setinggi dua tombak ke udara. Kemudian meluncur ke bawah ketika
kekuatan yang melemparkan tubuh mereka ke atas tidak bersisa lagi.
"Sekarang giliran kami, Gurida!"
Hampir berbareng ucapan yang sama itu keluar dari
mulut Sanca Kala dan Pergola.
Meskipun Gurida tidak memberikan tanggapan atas
ucapan Sanca Kala dan Pergola, tapi ia setuju. Terbukti, dia menyingkir dan
tidak mempedulikan nasib kedua orang
penjaga pintu gerbang itu.
Tapi, keduanya tahu kalau bahaya akan mengancam
keselamatan jiwa mereka. Maka keduanya pun berusaha
untuk menyelamatkan diri.
Di saat tubuh mereka meluncur turun dengan
derasnya ke tanah, usaha penyelamatan diri itu dilakukan.
Tubuh mereka berputar beberapa kali di udara. Kemudian dengan bantuan jari-jari
kedua tangan yang disatukan dan dijadikan landasan, kedua orang itu segera
menyerang Pergola dan Sanca Kala dari udara. Tindakan yang mereka lakukan
mengingatkan pada kelakuan burung garuda yang menyambar mangsanya.
Sanca Kala dan Pergola tersenyum mengejek melihat
serangan yang mengancam mereka. Dengan gerakan sembarangan keduanya mengulurkan tangan menyambuti.
Plak, plakkk...!
Jerit kesakitan terdengar dari mulut dua murid Per-
guruan Tapak Malaikat, ketika empat pasang tangan
berbenturan. Untuk kedua kalinya tubuh mereka terlempar kembali ke udara.
Sambungan pergelangan tangan dan sikut mereka langsung terlepas ketika benturan
itu terjadi Brukkk...!
Suara berdebuk keras terdengar tatkala tubuh mereka
jatuh di tanah, setelah terlempar sejauh satu tombak.
Memang, rasa sakit yang mendera tangan, membuat mereka tidak mampu menguasai
diri. Sehingga, mereka tidak dapat mendarat dengan sempurna.
Tanpa mempedulikan dua orang penjaga pintu
gerbang yang masih berguling-guling menahan sakit, Sanca Kala, Pergola, dan
Gurida melangkah menghampiri pintu gerbang yang daun pintunya terbuka sedikit.
"Hih...!"
Gurida yang berwatak berangasan menghantam pintu


Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerbang itu. Brakkk! Suara hiruk-pikuk yang keras mengiringi hancurnya
daun pintu gerbang Perguruan Tapak Malaikat.
Karuan saja suara bergemuruh itu membuat kaget
penghuni Perguruan Tapak Malaikat. Puluhan orang murid yang tengah berlatih di
halaman, dengan bimbingan seorang murid utama, menolehkan kepala ke asal suara
bergemuruh itu.
Wajah-wajah puluhan murid yang terdiri dari beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok berisi murid-murid yang setingkatan,
langsung merah padam menahan amarah. Setelah mereka mengetahui kalau suara riuh
rendah itu berasal dari daun pintu gerbang yang hancur berantakan.
Kemarahan semakin berkobar di dada mereka ketika
tiga sosok tubuh berpakaian dan berikat kepala hitam melangkah
masuk. Jelas, ketiga orang inilah yang menghancurkan daun pintu gerbang perguruan mereka,
tebak murid Perguruan Tapak Malaikat.
Yakin kalau Sanca Kala, Pergola, dan Gurida yang
harus bertanggung jawab, puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat yang
bertelanjang dada, bersiap mengadakan
perhitungan. Tapi...
"Tahan...!"
Suara bentakan itu dikenal oleh puluhan murid
Perguruan Tapak Malaikat, sehingga mereka menghentikan gerakan
"Mengapa kau melarang kami. Kang Sena?" tanya seorang murid yang mempunyai tahi
lalat di dahi. Ada nada penasaran dalam ucapan laki-laki bertahi
lalat di dahi. Bahkan sorot matanya mengandung pertanyaan besar ketika menatap
wajah Sena. Salah seorang murid kepala Perguruan Tapak Malaikat yang bermata
sipit. "Kalian jangan bertindak ceroboh. Kita belum tahu maksud mereka," jawab Sena
kalem sambil menatap adik seperguruannya beberapa saat. Setelah itu pandangannya
diedarkan ke sekeliling.
Semua murid Perguruan Tapak Malaikat kontan diam.
Tidak ada satu pun yang membuat gerakan atau menyambuti ucapan kakak seperguruan
mereka. Setelah yakin kalau semua adik seperguruannya
sudah tenang, Sena melangkah menghampiri Sanca Kala, Pergola dan Gurida yang
juga tengah menuju ke tempat mereka.
Karena mereka khawatir akan keselamatan kakak
seperguruannya puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat pun melangkah di belakang
Sena. Ketika jarak antara mereka tinggal tiga tombak lagi, Sena menghentikan langkah.
Tentu saja hal itu memaksa adik-adik seperguruannya yang berada di belakangnya
menghentikan langkah pula.
"Siapakah,, kisanak semua"! Mengapa masuk dengan cara seperti ini"!" tanya Sena
tenang dan penuh wibawa.
Sikapnya seperti itu tidaklah aneh, karena dia sering mendapat tugas pengganti,
apabila gurunya berhalangan.
Memang masih ada dua orang lagi yang menjadi murid
kepala selain Sena. Tapi hanya dia yang mendapat kepercayaan dari Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Kami datang dari tempat yang jauh untuk menemui Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
Kami yakin kalau kau bukan orang yang kami maksudkan! Karena itu kau
menyingkirlah dari situ dan panggil ketua kalian kemari!"
sambut Sanca Kala dengan suara cadelnya.
"Kalau tidak, kami akan mencarinya sendiri ke
dalam!" sambung Gurida.
Sena tetap bersikap tenang.
"Sayang sekali, kisanak semua. Guruku saat ini
sedang tidak ingin diganggu. Beliau berpesan untuk tidak membiarkan seorang pun
menemuinya," jawab Sena dengan tenang. "Kalau Kisanak berkeras ingin bertemu,
aku bersedia mewakili guruku. Katakanlah. Apakah ada yang bisa
kubantu?" "Kau tidak akan mampu mewakili urusan ini, Tikus Buduk!" sergah Gurida keras.
"Panggil gurumu cepat! Atau..., tanah perguruan ini akan dibanjiri darah
kalian!" "Sayang sekali, Kisanak! Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu," kata Sena masih
dengan sikap tenang. Dia tidak terpengaruh sama sekali dengan kemarahan lawan.
"Kucing pincang belagak jadi macan...," desis Pergola nyaring.
"Apa pun pendapat kalian, aku tidak perduli. Kedatangan kalian kemari tidak
sopan saja, sudah menjadi alasan bagi kami untuk mengusir kalian," kata Sena
masih tenang. "Kang..., mungkin kedua orang rekan kita telah
mereka bunuh," sela laki-laki yang bertahi lalat di dahi.
Sena terjingkat kaget. Ya. Mengapa dia bisa melupakan adik-adik seperguruannya yang menjaga pintu gerbang" Kalau ketiga
orang kasar ini bisa masuk ke dalam, berarti telah terjadi sesuatu atas murid-
murid Perguruan Tapak Malaikat yang menjaga pintu gerbang.
"Hmh...!" Gurida yang berwatak berangasan langsung mendengus keras. "Kami tidak
sudi mengotori tangan dengan membunuh kucing-kucing pincang seperti kalian!"
"Ya! Kami hanya butuh Ketua Perguruan Tapak
Malaikat!" timpal Sanca Kala keras. "Cepat beritahukan padanya! Atau..., kalian
semua akan kubantai! Ini peringatan terakhir!"
"Sudah kubilang beliau tidak mau diganggu!" sambut Sena tegas
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang mencarinya ke dalam!" sergah Gurida keras
sambil melangkah maju.
"Kau hanya bisa masuk ke dalam bila berhasil
melangkahi mayatku...!" kata Sena tegas dan mantap sambil menggeser kakinya ke
kanan. Sehingga menghalangi jalan yang akan ditempuh Gurida.
Gurida menggeram keras seperti binatang buas yang
murka. "Kalau begitu, kau dulu yang akan kulenyapkan...!
Hih...!" Gurida melancarkan tendangan kaki kanan lurus ke
arah dada Sena. Dalam puncak kemarahan, dikeluarkan
seluruh tenaga dalamnya.
Wuttt...! Deru angin keras mengiringi serangan Gurida.
Sena tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu kalau
serangan itu mengandung tenaga dalam amat kuat. Maka murid kepala Perguruan
Tapak Malaikat ini buru-buru
melempar tubuh ke belakang, sehingga tendangan Gurida hanya mengenai daerah
kosong. Gurida penasaran bukan kepalang melihat serang-
annya berhasil dielakkan. Tanpa memberi kesempatan lawan ia
segera melancarkan serangan susulan dengan menggunakan kaki.
Sena kaget bukan kepalang, melihat kecepatan
serangan lawan. Dia baru saja mendaratkan kaki, serangan susulan lawan telah
meluncur ke arah tubuhnya. Karuan saja membuatnya menjadi kelabakan.
Untunglah, murid-murid Perguruan Tapak Malaikat
yang memang sudah bersiap siaga sejak tadi, langsung bertindak cepat.
Beberapa orang mencabut pedang dan langsung
melancarkan serangan ke arah bagian-bagian yang berbahaya di tubuh Gurida. Sedangkan sisanya langsung menyerbu Sanca Kala dan
Pergola. Melihat sambaran berbagai macam senjata ke arah
bagian berbahaya di tubuhnya, Gurida terpaksa mem-
batalkan serangan. Kalau ia teruskan, sebelum serangannya mengenai sasaran,
pedang murid-murid Perguruan Tapak Malaikat akan menghantamnya lebih dulu.
Gurida tidak ingin hal itu terjadi. Karena itu ia mengurungkan maksudnya, dan
melemparkan tubuhnya ke samping
"Rupanya kalian benar-benar menghendaki kematian!
Baik kalau itu yang kalian inginkan, aku akan memenuhinya...!"
ucap Gurida ketika telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Tapi ancaman Gurida disambut dengan serbuan
murid-murid Perguruan Tapak Malaikat. Mereka, di bawah pimpinan Sena, segera
meluruk menyerbu lawan. Dan,
serangan itu disambut hangat oleh Gurida. Tak pelak lagi pertarungan sengit pun
meletus. Kini, di halaman depan Perguruan Tapak Malaikat,
terjadi tiga buah kancah pertarungan! Suara desing senjata menyambar, dentang
senjata beradu diiringi percikan bunga api, jerit kesakitan dan kematian,
menyemaraki pertarungan.
2 Kepandaian Sanca Kala, Pergola, dan Gurida ternyata
berada jauh di atas tingkat kepandaian murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat. Sejak awal, hal itu sudah disadari ketiga tokoh
berpakaian hitam pekat itu. Terbukti, mereka sama sekali tidak menggunakan
senjata untuk menghadapi para pengeroyok.
Dengan tangan kosong, Sanca Kala, Gurida dan
Pergola menghadapi hujan serbuan senjata-senjata lawan.
Mereka tanpa ragu-ragu menangkis babatan, tusukan, dan berbagai macam serangan
senjata lawan dengan tangan
telanjang. Dan setiap kali terjadi benturan, terdengar suara
berdetak keras seperti benturan antara benda keras. Tak sedikit pun tangan atau
kaki tiga tokoh yang berpakaian hitam itu terluka, atau tergores. Tetapi itu
bukanlah hal yang aneh. Karena tangan dan kaki Sanca Kala, Gurida, dan Pergola
telah terlindung oleh tenaga dalam. Bahkan sebaliknya tangan
yang menggenggam senjata itu tergetar
hebat dari hampir lumpuh.
Karuan saja hal itu membuat murid-murid Perguruan
Tapak Malaikat merasa terkejut bukan kepalang, terutama sekali Sena. Karena hal
itu menandakan ketiga orang
lawannya memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Betapapun murid-murid Perguruan Tapak Malaikat
telah mengerahkan seluruh kemampuan untuk merobohkan, atau menewaskan lawan.
Tapi tetap saja usaha mereka
kandas. Setiap serangan yang mereka lancarkan, selalu dapat dipunahkan ketiga
tokoh berpakaian hitam pekat itu.
Sebaliknya setiap Gurida, Sanca Kala, maupun
Pergola melancarkan serangan balasan, sudah dapat dipastikan salah satu para pengeroyoknya akan roboh ke tanah dan tewas.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar saling susul menyusul
seiring dengan robohnya satu demi satu murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat. Dan, itu terjadi setiap kali ketiga orang laki-laki
berpakaian hitam itu menggerakkan tangan atau kaki
Dalam waktu sepuluh jurus saja, tak kurang dari
sembilan orang murid-murid Perguruan Tapak Malaikat, tergolek tanpa nyawa di
tanah. Sena menggertakkan gigi melihat adik-adik seper-
guruannya berguguran. Dengan kemarahan yang meluap-
luap, ia memperhebat permainan pedangnya.
Tapi semua usaha Sena tidak membuahkan hasil
sama sekali. Gurida terlalu sakti untuk dilawan, sekalipun dia
telah menghadapinya bersama teman-temannya.
Amukannya sama sekali tidak merubah keadaan. Adik-adik seperguruannya roboh
dalam keadaan tanpa nyawa, dan
lolong kematian saling susul-menyusul.
Rasa marah dan sedih berkecamuk dalam hati Sena
melihat kematian adik-adik seperguruannya. Dengan susah payah dia membimbing dan
mendidik mereka. Tapi, secara mudah Gurida, Sanca Kala, dan Pergola
membinasakannya.
Bagaimana Sena tidak menjadi terpukul melihat kenyataan itu"
Seiring dengan makin sedikitnya jumlah murid-murid
Perguruan Tapak Malaikat, maka perlawanan yang mereka berikan pun semakin tidak
berarti. Dan, ketiga tokoh itu dengan mudah membantai mereka.
Sekarang tinggal beberpa gelintir murid-murid Per-
guruan Tapak Malaikat yang tersisa. Dan...
"Akh...! Akh...! Akh...!"
Jerit kematian beruntun terdengar kembali ketika


Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gurida dan rekannya melancarkan serangan. Nyawa Sena dan adik-adik
seperguruannya pun melayang ke alam baka.
Sanca Kala, Gurida, dan Pergola saling pandang.
"Apakah yang harus kita lakukan sekarang" Apakah kita harus memasuki bangunan
demi bangunan satu
persatu. Memeriksa ruangan-ruangan
sampai kita menemukan tempat si tua bangka itu, Pergola?" tanya Sanca Kala sambil menatap
wajah laki-laki tinggi kurus itu.
Pergola tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia
malah tercenung. Melihat kerut pada keningnya, bisa
diperkirakan kalau dia tengah berpikir.
"Kalau menurutmu bagaimana, Gurida?" tanya Pergola meminta pendapat rekannya yang berkepala botak.
Gurida terperanjat. Tampak dia tidak siap dengan
pertanyaan seperti itu.
"Kita bakar saja semua bangunan yang ada di sini.
Mustahil tua bangka itu tidak keluar dari tempat persembunyiannya!" jawab Gurida lantang.
Pargola dan Sanca Kala berpikir sejenak, mempertimbangkan usul yang sama sekali tidak mereka duga itu. Sesaat kemudian,
mereka berdua saling pandang, lalu tersenyum lebar.
"Tidak kusangka kau mempunyai usul yang begitu
cemerlang, Gurida," puji Sanca Kala.
Gurida terkekeh keras. Kebanggaan terlihat jelas baik pada nada suara maupun
wajahnya. "Ha ha ha...!"
Sambil tertawa ngakak Pergola, Sanca Kala, dan
Gurida segera melangkah menghampiri obor yang tergantung di sudut-sudut
bangunan. Kemudian digosokkannya satu sama lain, sehingga timbul percikan api.
Bagi mereka yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, pekerjaan semacam itu
sangat mudah dilakukan.
Begitu api menyala pada sumbu obor, ketiga orang,
yang berpakaian hitam itu melontarkan obor yang menyala ke arah bangunan
Perguruan Tapak Malaikat. Dan, setiap bagunan dilempari dengan beberapa batang
obor. Baik atap, jendela, maupun lantai. Karena mereka ingin api segera berkobar
dan besar. Brlll...! Sekejap kemudian, api mulai menelan bangunan-
bangunan yang terbuat dari bahan-bahan yang mudah
terbakar. Asap hitam dan tebal pun membumbung tinggi ke angkasa.
"Ha ha ha...!"
Gurida, Sanca Kala, dan Pergola tertawa terbahak-
bahak melihat kobaran api yang membumbung tinggi.
Mereka yakin sekali, Ketua Perguruan Tapak Malaikat akan keluar dari tempat
semadinya. Dugaan ketiga orang sakti ini tepat, karena salah satu bangunan yang terbakar
hebat itu, mendadak jebol dan dindingnya berentakan sebelum dijilat api.
Brakkk...! Pecahan kayu, arang, dan percikan bunga api ber-
hamburan berpentalan ke sana kemari, seiring dengan
melesatnya sesosok bayangan dari dalam bangunan yang sedang diamuk api.
"Hup...!"
Setelah bersalto beberapa kali di udara, sosok
bayangan itu mendaratkan kedua kakinya di tanah. Indah dan manis sekali
gerakannya. Bahkan ketika kedua kakinya mendarat di tanah, tampak gerakannya
ringan seperti sehelai bulu yang jatuh.
"Iblis! Biadab! Siapa yang telah melakukan semua ini?" seru sosok bayangan yang
ternyata, seorang laki-laki setengah baya. Wajahnya terlihat sudah keriput
dihiasi kumis dan jenggot yang cukup lebat. Kendati demikian, tubuhnya tampak
masih kekar, dan terbungkus pakaian
berwarna coklat. Sebuah sulaman berbentuk sebuah telapak tangan menghias bagian
dadanya. *** "Kaukah Ketua Perguruan Tapak Malaikat?" tanya Gurida keras.
Ada ancaman, baik dalam nada suara maupun
pandangan mata, laki-laki berkepala botak itu.
"Benar! Siapa kalian" Apakah kalian yang telah
melakukan tindakan biadab ini?" tanya laki-laki berkumis lebat itu geram sambil
menunjuk bangunan-bangunan yang terbakar dan mayat murid-muridnya yang
tergeletak di tanah.
Patut dipuji tindakan yang dilakukan Ketua Per-
buruan Tapak Malaikat itu. Meskipun ia telah menduga kalau pelaku kejahatan di
perguruannya adalah ketiga orang berpakaian hitam yang berdiri di hadapannya.
Namun, ia tidak langsung melancarkan serangan.
"Ha ha ha...!"
Bagai diperintah, Sanca Kala, Gurida, dan Pergola
tertawa berbarengan. Gabungan suara tawa yang lucu pun terdengar. Suara parau
dan melengking nyaring berbaur menjadi satu.
Melihat ringkah ketiga tokoh itu wajah Ketua Per-
guruan Tapak Malaikat memerah. Dia merasa tersinggung sekali. Betapa tidak" Dia
telah mengajukan pertanyaan secara baik-baik, tapi dijawab dengan tawa bernada
mengejek ketiga orang itu!
"Diam...!" bentak Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu lantaran ia tak mampu lagi
menahan perasaan geram dalam dadanya.
Teriakan yang keluar dari mulut laki-laki berjenggot lebat keras bukan kepalang.
Karena teriakan itu dikeluarkan melalui pengerahan tenaga dalam.
Bagai kerbau dicocok hidungnya, suara tawa itu
kontan terhenti. Ketiga orang berpakaian hitam pekat itu merasa terkejut,
sehingga tanpa sadar mereka menghentikan tawanya. Begitu mereka sadar,
kemarahanlah yang timbul.
"Keparat! Berani kau membentak kami"!" bentak Gurida keras dengan nafsu amarah.
"Jangan hanya membentak, membunuh pun akan
kulakukan apabila kalian terbukti telah melakukan semua kekejian ini!" tegas
Ketua Perguruan Tapak Malaikat.
"Ooo..., begitu"! Sekarang dengarkan baik-baik, Tua Bangka! Kamilah yang telah
membunuh semua muridmu!
Dengar! Kami yang telah melakukan semua itu. Bahkan kami pula
yang telah membakar bangunan-bangunan
perguruanmu!" kali ini Sanca Kala menyambuti dengan suara lantang, meskipun
setiap kali bertemu, selalu tersendat.
"Keparat! Kenapa kalian bertindak sekejam itu"! Apa salah mereka pada kalian"!"
Ketua Perguruan Tapak Malaikat masih sempat mengajukan pertanyaan, meskipun
keinginan untuk menerjang ketiga orang berpakaian hitam itu sangat menggebu-
gebu. Tapi, ia ingin mengetahui alasan ketiga orang itu melakukan pembantaian di
perguruannya, sebelum turun tangan membasmi mereka.
"Sebenarnya mereka tidak mempunyai kesalahan apa-apa," ucap Pergola kalem,
seakan-akan tewasnya puluhan murid Perguruan Tapak Malaikat itu tak ubahnya
seperti kematian nyamuk saja.
"Jahanam! Lalu, mengapa kalian membunuhnya"!"
kejar Ketua Perguruan Tapak Malaikat dengan suara
meninggi karena kemarahan yang semakin bergelora
"Karena mereka tidak mau memberitahu kedatangan kami padamu. Tua Bangka!" sambut
Gurida keras. "Ya! Kalau saja mereka mau memberitahukan kedatangan kami padamu, mereka tidak perlu pergi ke alam baka. Bahkan terluka
pun tidak. Karena kami memang tidak punya urusan dengan mereka, kecuali
denganmu, Tua Bangka!" urai Pergola panjang lebar.
"Aku mempunyai urusan dengan kalian"!" Masih dengan
suara tinggi, laki-laki berjenggot lebat itu mengernyitkan kening. "Rupanya kalian adalah orang-orang yang kurang waras!
Jangankan aku punya urusan, melihat kalian pun baru sekarang!"
"Hal itu tidak perlu kau pusingkan, Tua Bangka!"
sergah Gurida parau. "Yang penting kau adalah Ketua Perguruan Tapak Malaikat,
karena itu kau mempunyai
urusan dengan kami!"
"Benar!" sambut Sanca Kala. "Bukankah kau yang bernama Tanjak Gara?"
"Ki Tanjak Gara"!" alis Ketua Perguruan Tapak Malaikat berkemyit dalam. "Kalian
keliru. Aku Gilang Sangkur, bukan Ki Tanjak Gara."
"Kau Bohong, Tua Bangka!" bentak Gurida keras sepasang matanya tampak berkilat-
kilat pertanda tengah dilanda kemarahan menggelegak. "Kami tahu kalau Ketua
Perguruan Tapak Malaikat adalah Tanjak Gara! Aku, Gurida, tidak bisa kau
bohongi!" "Jaga mulutmu yang kotor itu, Gurida!" teriak Gilang Sangkur tak kalah keras.
Untuk yang kesekian kalinya, Gilang Sangkur merasa
tersinggung. Dia adalah seorang Ketua Perguruan Tapak Malaikat, sebuah perguruan
silat aliran putih yang besar.
Ditakuti kawan dan disegani lawan, tapi sekarang dia dimaki sebagai pembohong
oleh Gurida. Siapa yang tidak menjadi kalap"
"Memang benar Tanjak Gara adalah Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Tapi itu dulu!
Sudah bertahun-tahun
lamanya, dia mengundurkan diri, dan aku yang menggantikan kedudukannya sebagai ketua perguruan ini!"
jelas Gilang Sangkur dengan suara berapi-api.
Gurida, Sanca Kala, dan Pergola saling pandang.
Wajah dan sinar mata mereka memancarkan ketidak-
percayaannya akan kenyataan yang dihadapi.
"Lalu..., kemanakah perginya, Tanjak Gara?" tanya Sanca Kala mulai melunak.
Pertanda dia mulai percaya dengan ucapan Gilang Sangkur.
"Aku tidak tahu," jawab Gilang Sangkur masih dengan nada tinggi. "Dan andaikata
aku tahu pun, tidak akan kuberitahu pada kalian!"
"Hmh...!" Gurida yang berangasan mendengus. "Ingin kutahu, apakah kau akan tetap
bersikeras apabila kami menyiksamu!"
"Itu memang yang tengah kutunggu-tunggu!" sambut Gilang Sangkur cepat. "Tanganku
sudah gatal-gatal sejak tadi untuk menghukum kalian. Karena kalian telah lancang
membakar bangunan dan bertindak keji atas murid-
muridku!" "Kau mencari penyakit sendiri, Tua Bangka...!" desis Gurida sambil melangkah
menghampiri. Gilang Sangkur tidak berani bertindak gegabah.
Begitu melihat Gurida menghampiri, dia memasang sikap waspada. Sepasang matanya
beredar memperhatikan semua gerak-gerik laki-laki berkepala botak itu.
Mendadak sepasang matanya terbelalak ketika melihat sulaman gambar yang tertera pada dada kiri maupun pada ikat kepala
Gurida. Rupanya sejak tadi, karena
kemarahan yang melanda, ia tidak sempat melihat sulaman gambar itu.
Karena merasa kurang percaya dengan sulaman
gambar yang ada pada Gurida, Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu mengalihkan pandangan ke arah Pergola, dan Sanca Kala. Dan
keterkejutan yang membayang di wajahnya pun semakin tampak jelas.
"Apa hubungan kalian dengan Perguruan Bukit
Larangan?" tanya Gilang Sangkur dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Kami memang utusan Ketua Perguruan Bukit La-
rangan. Dan kedatangan kami kemari untuk mencari Tanjak Gara. Dia telah terbukti
bersalah," tandas Pergola.
Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini berusaha mem-
pertunjukkan sikap penuh wibawa. Karena itu, dia mengucapkan kata-katanya satu demi satu. Itu pun masih ditambah
dengan membusungkan dada. Tapi karena suaranya yang cadel, dan tubuhnya kurus, semua usahanya menjadi sia-sia. Bukan
kewibawaan yang nampak malah
kelucuan yang terlihat.
"Aku tidak percaya!" desis Gilang Sangkur terbata-bata. "Tokoh-tokoh Perguruan
Bukit Larangan tidak pernah keluar dari tempatnya! Apalagi sampai menimbulkan
bencana seperti ini! Kalian pasti pengacau-pengacau busuk yang menggunakan nama
Perguruan Bukit Larangan untuk
menimbulkan malapetaka!"
"Semua terserah padamu, Tua Bangka. Mau Percaya atau tidak, itu bukan urusan
kami Tapi yang jelas, beberapa saat lagi kau akan percaya! Hih...!"
Gurida menggulingkan tubuh ke depan. Dan langsung
melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati dan pusar Gilang
Sangkur dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar.
Cit, cit...! Suara bercicitan tajam dari udara yang terobek oleh
gerakan tangan Gurida, pertanda kalau serangan yang
dilancarkan mengandung tenaga dalam tinggi
Gilang Sangkur tahu kalau serangan lawan ber-


Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya. Meskipun belum dibuktikannya sendiri, namun ia bisa memperkirakan kalau
jari-jari tangan itu tak kalah tajam
dari pisau yang paling tajam. Suara mendecit nyaring itulah yang telah memberi
petunjuk kepadanya.
Karena itu, Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini tidak mau bertindak ceroboh. Dia
belum tahu keistimewaan ilmu lawan, dan perkembangan gerakannya. Maka dia buru-
buru melompat jauh ke belakang, sehingga pukulan Gurida hanya mengenai tempat
kosong. Tapi serangan Gurida tidak hanya berhenti sampai di
situ. Begitu lawannya berhasil mengelakkan serangan, dia segera melompat dan
memburu Gilang Sangkur. Dan, begitu jarak di antara mereka makin dekat, Gurida
kembali melancarkan serangan bertubi-tubi yang mengeluarkan suara angin bercicitan.
Sambil menggulingkan tubuh ke depan, Gurida
melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar Gilang
Sangkur. Gilang Sangkur yang belum tahu kemampuan lawan
tidak mau bertindak ceroboh. Dia segera melompat ke
belakang menghindari cakaran Gurida.
Mengerikan dan menggiriskan sekali ilmu yang
dipergunakan Gurida. Kedua tangannya yang membentuk
cakar, selalu menimbulkan decitan angin tajam ketika digerakkan. Baik menyampok,
mengibas, menetak, maupun mengebut.
Menyadari keanehan ilmu lawan, Gilang Sangkur
bertindak hati-hati. Selama beberapa jurus, dia terus menerus mengelak. Tak
sekalipun dia balas menyerang atau menangkis. Ketua Perguruan Tapak Malaikat
memang ingin mengetahui lebih dahulu perkembangan gerakan ilmu lawan, dan juga
kedahsyatannya.
Tindakan Gilang Sangkur yang berhati-hati itu dinilai lain oleh Gurida. Laki-
laki tinggi besar berkepala botak ini menduga Ketua Perguruan Tapak Malaikat
memandang rendah dirinya, sehingga sampai sekian lama hanya mengelak. Tindakan Gilang Sangkur membuatnya tersinggung. Akibatnya serangan-serangan yang dilancarkan pun makin dahsyat.
Melihat serangan Gurida, Gilang Sangkur tidak berani mengelak terus-menerus.
Sebab tindakan yang sangat
berbahaya bila hanya mengelak, menghadapi serangan yang semakin
bertubi-tubi. Maka, begitu memasuki jurus kesebelas, mulai mengadakan perlawanan.
Dan, itu dilakukannya ketika sebuah sampokan
tangan kanan Gurida, meluncur cepat ke arah pelipisnya.
Ketua Penjuruan Tapak Malaikat langsung mengangkat
tangan kiri untuk melindungi pelipisnya. Sudah diduga bila serangan lawan
mendarat di sasaran, kepalanya bisa hancur.
Plaakk...! Suara benturan keras terdengar, manakala kedua
tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu saling berbenturan.
Akibatnya, kedua tubuh itu sama-sama terhuyung tiga langkah ke belakang. Jelas, kalau tenaga dalam yang dimiliki
kedua tokoh ini berimbang.
Tanpa mempedulikan akibat benturan itu, Gurida dan
Gilang Sangkur kembali menerjang lawan begitu kekuatan yang
membuat tubuh mereka terhuyung, berhasil dipatahkan. Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi Gurida dan Gilang
Sangkur mengerahkan seluruh
kepandaian yang mereka miliki. Di samping karena lawan yang dihadapi memang
lihai, kedua belah pihak pun sama-sama menghendaki pertarungan berakhir secepat
mungkin. Karena kedua tokoh yang bertarung itu sama-sama
memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi, pertarungan pun berlangsung
cepat. Yang terlihat hanya kelebatan bayangan hitam dan coklat. Terkadang mereka
saling belit, tapi tak jarang saling pisah satu sama lain. Namun,
terpisahnya kedua bayangan itu hanya berlangsung sebentar.
Karena sesaat kemudian, kedua tokoh itu saling menerjang.
Sanca Kala dan Pergola memperhatikan jalannya
pertarungan dengan hati berdebar. Kedua tokoh sakti ini tahu kalau rekan mereka
menghadapi lawan yang tangguh.
Bukan tidak mungkin Gurida akan roboh, bahkan bisa tewas di tangan Ketua
Perguruan Tapak Malaikat
3 Pertarungan di antara kedua tokoh itu tampak
berlangsung seru dan menarik. Baik Gurida maupun Ki
Gilang Sangkur tengah berusaha keras untuk merobohkan lawan. Beberapa kali tubuh
kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang ketika terjadi benturan. Namun
hal itu tidak berlangsung lama, karena keduanya langsung saling menyerang
kembali. Tak terasa pertarungan sudah berlangsung tujuh
puluh lima jurus. Dan selama itu tidak nampak adanya tanda-tanda yang akan
keluar sebagai pemenang.
Pertarungan masih berlangsung seimbang, karena
keduanya sama-sama memiliki tingkat tenaga dalam, meringankan tubuh, dan mutu ilmu silat yang berada dalam satu tingkatan.
Melihat hal ini, baik Sanca Kala maupun Pergola
menjadi tidak sabar. Mereka menduga, pertarungan tetap akan berlangsung alot.
Karena tidak ada tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang, padahal
pertarungan telah berlangsung hampir seratus jurus.
Dugaan kedua tokoh berpakaian hitam pekat itu
memang sama sekali tidak meleset. Sebagai tokoh tingkat tinggi, mereka bisa
memperkirakan hasil akhir pertarungan.
Keduanya tahu, kemungkinan pertarungan akan berubah, dan salah satu di antara
mereka akan keluar sebagai
pemenang. Tapi hal itu membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. Sementara mereka diburu waktu untuk secepatnya menyelesaikan urusan.
"Haaat...!"
Dengan diiringi suara jeritan melengking nyaring,
Sanca Kala melompat memasuki kancah pertarungan. Dan selagi
tubuhnya berada di udara, langsung saja ia melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Ki Gilang
Sangkur. Ki Gilang Sangkur terperanjat bukan kepalang. Segera tubuhnya dilempar ke
belakang, dan bersalto.
"Hup...!"
Ringan dan mantap kedua kaki Ki Gilang Sangkur
mendarat di tanah. Tidak ada serangan susulan sama sekali terhadapnya. Padahal
semula hal itu amat dikhawatirkannya.
Sanca Kala dan Gurida dilihatnya hanya berdiri
memperhatikan dirinya. Memang, baik Sanca Kala maupun Gurida sama sekali tidak
mengejar. Kedua tokoh itu merasa malu untuk melakukan serangan. Karena itu
mereka membiarkan Ki Gilang Sangkur memperbaiki posisinya.
Hati Ki Gilang Sangkur berdebar tegang. Dia tahu
kalau lawannya ingin mengeroyoknya. Padahal, menghadapi satu orang saja dia
belum tentu mampu mengalahkan.
Apalagi menghadapi dua orang. Padahal ilmu andalannya,
'Tapak Malaikat', telah dipergunakan!
"Haaat...!" teriak Gurida keras seraya meluruk ke arah Ketua Perguruan Tapak
Malaikat. Dia melakukan lompatan harimau, bergulingan di tanah beberapa kali
menuju ke arah lawan. Dan kemudian, langsung menyerang dengan sebuah sapuan ke
arah kaki. Deru angin keras membuat debu mengepul tinggi ke
udara, mengawali tibanya serangan sapuan yang mampu
mematahkan pohon besar.
"Hih...!"
Hampir bersamaan dengan meluruknya tubuh Gurida, Sanca Kala pun berteriak keras seraya melampai menerjang. Dan selagi
berada di udara, tubuhnya berputar beberapa kali sebelum meluncur ke bawah.
Kedua tangannya yang terkembang membentuk cakar dilontarkan bertubi-tubi ke arah
kepala dan tubuh bagian atas Ki Gilang Sangkur.
Ketua Perguruan Tapak Malaikat melihat serangan
kedua lawannya. Sanca Kala dan Gurida ternyata memiliki bentuk penyerangan yang
berbeda. Sanca Kala selalu menyerang dari atas, sementara
Gurida dari bawah. Keduanya memiliki ilmu andalan yang berbeda satu sama lain.
Akibatnya, Ki Gilang Sangkur mengalami kerepotan
bukan kepalang. Dia harus membagi perhatian terhadap dua buah serangan, yang
meluncur ke arahnya dari dua arah yang berbeda.
Yang lebih merepotkan lagi, kedua serangan itu tiba
pada saat yang bersamaan. Tak pelak lagi, Ki Gilang Sangkur menjadi repot bukan
main menghadapi serangan kedua
tokoh itu. Tapi tidak percuma, Ki Gilang Sangkur menjadi Ketua
Perguruan Tapak Malaikat. Dalam keadaan kritis dan waktu yang sempit, dia masih
sanggup membuktikan kelihaiannya.
Dia melempar tubuh ke belakang, dan berjumpalitan dengan menggunakan
kedua telapak tangan sebagai tempat bertumpu. Wuttt, wuttt..!
Sampokan dan sapuan itu lewat beberapa jari dari
sasaran. Begitu tubuh Gurida dan Sanca Kala telah mendarat kembali di tanah, Ki
Gilang Sangkur sudah berhasil
memperbaiki kedudukannya.
Tapi, kali ini Gurida dan Sanca Kala sama sekali tidak memberi kesempatan. Kedua
tokoh itu kembali menyerang dengan keistimewaan mereka masing-masing.
Ki Gilang Sangkur benar-benar dibuat mereka menjadi repot. Ilmu 'Tapak Malaikat' dikerahkan sampai ke puncak kemampuan,
untuk mengatasi serangan bertubi-tubi dari kedua orang lawan.
Ternyata usaha Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini
sia-sia. Ia terpaksa mengakui kalau serangan Gurida dan Sanca Kala benar-benar
terlalu kuat dan sulit diatasi.
Serangan yang kompak dari kedua orang lawannya itulah yang membuat Ki Gilang
Sangkur mati kutu! Kalau saja, dua orang tokoh yang mengaku utusan-utusan
Perguruan Bukit Larangan itu menyerang tanpa kerja sama, tidak mudah ia terdesak
hebat! Sekalipun ia akan mengalami kekalahan.
Memang, patut dipuji kerja sama antara Gurida dan
Sanca Kala. Serangan mereka berdua seperti dikendalikan oleh satu pikiran.
Keduanya, bisa saling melindungi dan memperkuat serangan. Setiap serangan yang
dilancarkan Ki Gilang Sangkur selalu kandas. Sebaliknya, serangan balasan mereka
sulit dibendung lawan. Tidak mengherankan bila pertarungan belum sampai dua
puluh jurus Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini mulai terdesak hebat.
Sekarang Ki Gilang Sangkur hanya bisa mengelak,
dan sesekali menangkis. Dan, untuk membalas sudah tidak mungkin lagi. Karena ia
tidak mampu lagi melantarkan serangan balasan.
"Hiaaat...!"
Menginjak jurus kedua puluh tiga, Sanca Kala me-
lompat dan menerjang lawan seraya meluncurkan serangan bertubi-tubi ke arah
ubun-ubun lawan.
Ki Gilang Sangkur terkejut bukan kepalang. Tidak ada pilihan lain baginya untuk
menyelamatkan nyawa, kecuali menangkis.
Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi. Maka, dia segera mengangkat kedua tangannya
dan memapak serangan yang dapat membahayakan nyawa.
Plakkk... plakkk...!
Serangan maut itu memang berhasil digagalkan Ki
Gilang Sangkur. Bahkan tubuh Sanca Kala terlempar ke belalang akibat benturan
keras. Sedangkan tubuh Ketua Perguruan
Tapak Malaikat itu terhuyung-huyung
ke belakang. Saat itulah serangan Gurida meluncur bersamaan
Sanca Kala melancarkan serangan. Laki-laki berkepala botak itu menggulingkan
tubuhnya, dan langsung melancarkan tendangan ke arah lutut kanan Ki Gilang
Sangkur.

Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tukkk...! "Akh...!"
Ki Gilang Sangkur menjerit tertahan ketika tendangan itu menghantam telak
lututnya. Kontan sambungan tulang lututnya terlepas. Akibatnya, tubuh Ki Gilang
Sangkur doyong ke belakang.
Gurida tidak hanya bertindak sampai di situ. Kembali tubuhnya berguling, memburu
Ki Gilang Sangkur. Begitu jarak antara mereka telah dekat, kaki kanannya
meluncur ke arah perut.
Dan, pada saat yang bersamaan. Sanca Kala me-
lenting ke arah tubuh Ki Gilang Sangkur. Kedua tangannya dengan jari-jari
terkepal, segera dipukulkan ke arah kedua bahu Ketua Perguruan Tapak Malaikat
itu. Bukkk, dukkk, dukkk...!
Tiga pukulan keras bertubi-tubi mendarat di sasaran.
Sehingga membuat tubuh Ki Gilang Sangkur terjungkal jauh ke belakang. Dan, darah
segar pun langsung menyembur dari mulutnya. Tulang-tulang kedua bahunya pun
remuk! Brukkk...! Setelah melayang sejauh beberapa tombak, tubuh Ki
Gilang Sangkur jatuh di tanah. Karena kekuatan yang
melontarkan tubuh Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini belum habis, tak
mengherankan bila tubuhnya terguling-guling di tanah. Dan, baru berhenti ketika
tenaga luncuran itu sudah habis.
Ki Gilang Sangkur ternyata bukan sejenis orang yang
mudah menyerah. Meskipun kedua tangannya dan sebelah kakinya tidak dapat
digunakan lagi, dia tetap berusaha bangkit.
Tapi usahanya ternyata sia-sia. Betapapun seluruh
kemampuannya telah dikeluarkan, dia tetap tak mampu
bangkit berdiri. Tubuhnya hanya menggeliat-geliat ke sana kemari seperti cacing
kena abu. "Ha ha ha...!"
Sanca Kala, Gurida, dan Pergola tertawa berkakakan
melihat kelakuan Ketua Perguruan Tapak Malaikat. Dengan langkah perlahan dan
suara tawa yang tidak putus-putus, Sanca Kala dan Gurida melangkah menghampiri
Ki Gilang Sangkur.
Dua orang utusan Perguruan Bukit Larangan itu tidak
melancarkan serangan, karena mereka tahu Ki Gilang
Sangkur sudah tidak berdaya. Dan, secara perlahan Ketua Perguruan Tapak Malaikat
itu akan tewas. Karena luka-luka yang diderita terlalu parah.
"Cepat katakan di mana Ki Tanjak Gara berada!" ucap Gurida keras dan penuh
ancaman. "Cuihhh...!"
Ki Gilang Sangkur menjawab pertanyaan itu dengan
semburan air ludah. Walaupun tidak ditujukan ke arah Gurida, tapi tak urung
percikan ludah itu mengenai kaki laki-laki berkepala botak itu.
Gurida menggeram. Dia merasa tersinggung sekali
melihat sambutan yang diterimanya. Lelaki berkepala botak itu menatap tubuh
lawan yang tergolek di tanah dengan sepasang mata berapi-api
"Ini kesempatan terakhir bagimu, Gilang Sangkur!
Katakan di mana Tanjak Gara!" ancam Gurida. Suara laki-laki tinggi besar ini
terdengar bergetar. Memang dia telah murka bukan kepalang. Perlahan-lahan kaki
kanannya diangkat dan diletakkan di kaki kiri Ki Gilang Sangkur.
Tapi lagi-lagi jawaban yang diterima Gurida, sem-
buran ludah Ki Gilang Sangkur. Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini tidak gentar
sedikit pun dengan acaman lelaki berkepala botak itu. Dengan hati tabah
ditantangnya pandangan mata lawan.
"Grhhh...!"
Gurida menggeram keras. Kaki yang berada di atas
kaki Ki Gilang Sangkur mengejang, pertanda telah dialiri tenaga dalam. Dan,
sekali kaki laki-laki berkepala botak itu bergerak menekan, sudah dapat
dipastikan kalau kaki Ketua Perguruan Tapak Malaikat akan luluh lantak.
Namun sebelum hal itu terjadi...
"Tahan, Gurida...!"
Gurida menoleh ke belakang ke arah Sanca Kala yang
melangkah menghampiri. Kemudian ia berdiri di sebelah Gurida. Sinar mata lelaki
berkepala botak itu menyorotkan ketidak senangan karena tindakannya dihalangi
"Mengapa kau mencegahku, Sanca Kala?" tegur Gurida keras.
Sanca Kala hanya tersenyum sekilas. Kemudan
mengalihkan pandangan ke arah Ki Gilang Sangkur, tanpa mempedulikan Gurida yang
semakin dongkol melihat sikap Sanca Kala.
"Tidak kusangka sama sekali...," ucap Sanca Kala pelan. "Orang-orang Perguruan
Tapak Malaikat ternyata terdiri dari orang-orang pengecut!"
"Tutup mulutmu!' sergah Ki Gilang Sangkur keras.
Dia merasa tersinggung mendengar ucapan yang dianggapnya tidak berdasar itu. Pantang baginya bersikap pengecut! "Aku bukan
jenis orang semacam kalian!"
"Keparat...!"
Gurida yang memang sudah dilanda amarah sejak
tadi, tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Kakinya
bergerak menekan.
Krekkk, krekkk...!
Terdengar suara gemeretak keras ketika tulang-tulang kaki Ki Gilang Sangkur
hancur. Rasa sakit yang mendera, sulit untuk digambarkan. Meskipun begitu, tidak
terdengar suara keluhan sedikit pun dari mulutnya. Namun, tanda-tanda kalau dia
tengah dilanda rasa sakit yang tak
terperikan, terlihat dari bibirnya yang digigit erat-erat sampai pecah berdarah,
dan keringat sebesar biji-biji jagung menghiasi wajahnya.
"Ucapanmu sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan yang kulihat, Gilang Sangkur," ujar Sanca Kala tanpa mempedulikan
keadaan yang tengah dialami Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu, "Tindakan Tanjak
Gara yang menyembunyikan diri ketika melihat kedatangan kami. Juga sikapmu yang
menyembunyikan kebenaran. Kau tidak jujur dan berbohong, Gilang Sangkur! Kalau
kau dan Tanjak Gara yang merupakan pucuk pimpinan, bersikap pengecut! Sulit aku
membayangkan sikap murid-murid Perguruan Tapak
Malaikat...!"
"Mulutmu terlalu keji, Keparat! Aku mengatakan hal yang sebenarnya!" tandas Ki
Gilang Sangkur.
"Bagaimana kami bisa mempercayai ucapanmu itu,
Gilang Sangkur"!" pancing Sanca Kala tenang. Seolah-olah tidak terpengaruh
dengan kemarahan lawan.
Gurida dan Pergola kini mengerti maksud rekan
mereka. Karena itu mereka membiarkan Sanca Kala yang mengurus semuanya.
Ki Gilang Sangkur menggertakkan gigi karena geram.
Dia bukan orang bodoh! Tidak aneh kalau dia tahu kalau Sanca Kala berusaha
memojokkan untuk mengaku.
"Aku bersumpah dan mempertaruhkan kedudukanku
sebagai seorang Ketua Perguruan Tapak Malaikat!" tegas dan mantap kata-kata yang
keluar dari mulut Ki Gilang Sangkur.
Sanca Kala, Gurida, dan Pergola yang berdiri di
sebelah kedua rekannya saling pandang. Mereka tahu, Ki Gilang Sangkur sama
sekali tidak berbohong.
Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu mengatakan apa
adanya. Nada suara dan sikap Ki Gilang Sangkur yang
sungguh-sungguh, telah meyakinkan hati mereka. Tapi yang lebih
meyakinkan mereka, Ki Gilang Sangkur telah mempertaruhkan kehormatannya sebagai Ketua Perguruan Tapak Malaikat atas
keterangan yang diucapkannya.
"Cuihhh...!"
Gurida menyemburkan ludah ke arah wajah Ki Gilang
Sangkur. Tentu saja tanpa pengerahan tenaga dalam. Karena bila hal itu dilakukan
akan membuat kulit wajah Ketua Perguruan Tapak Malaikat luka. Perakan air liur
yang menjijikkan itu, bila keluar dari mulut Gurida dengan pengerahan tenaga
dalam, tak ubahnya seperti luncuran jarum-jarum!
Ki Gilang Sangkur, tentu saja tidak rela wajahnya
terkena ludah Gurida. Maka, buru-buru diegoskan kepalanya. Dan, usahanya tidak sia-sia. Luncuran air liur itu tidak mengenai
sasaran. Meskipun begitu, tak urung,
percikan itu mengenai beberapa bagian wajahnya
"Iblis Jahanam...!" hanya desis kegeraman yang bisa dilakukan
Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu atas perlakuan Gurida.
Perasaan sakit hati dan dendam berkecamuk di dalam
hati Ki Gilang Sangkur. Tapi, ia tak dapat melakukan apa-apa. Jangankan
menyerang, bangkit saja dia tidak mampu!
Hanya sepasang matanya berkilat sebagai pertanda hatinya geram.
Gurida, Sanca Kala, dan Pergola tentu saja me-
ngetahui arti pandangan Ki Gilang Sangkur. Tapi, mereka tidak gentar! Jangankan
dalam keadaan Ketua Perguruan Tapak Malaikat tidak berdaya. Dalam keadaan siap
tarung pun hati mereka tidak kecut
"Ha ha ha...!"
Ketiga tokoh Itu tertawa bergelak. Senang sekali hati mereka melihat lawan
mendendam tanpa bisa melampiaskan.
Ki Gilang Sangkur akan tewas dengan hati penasaran! Begitu kesimpulan mereka.
Tentu saja kesimpulan yang diambil ketiga utusan
Bukit Larangan itu bukan sembarangan. Sebagai tokoh-tokoh yang memiliki
kepandaian tinggi, mereka tahu keadaan Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu sangat
gawat. Luka-luka yang diderita terlalu parah. Dan, sulit untuk pulih kembali
seperti semula. Andaikan dapat sembuh, mungkin membutuhkan
waktu bertahun-tahun.
"Kami bukan lblis-iblis, Gilang Sangkur," ucap Pergola ketika tawanya terhenti.
"Tapi algojo-algojo yang akan membunuh kalian. Algojo-Algojo Bukit Larangan. Ha
ha ha...!"
"Lalu..., ke mana lagi kita harus mencari si Pengecut Tanjak Gara itu, Sanca
Kala?" tanya Gurida yang memang kurang cerdas kalau dibandingkan kedua rekannya.
"Kita cari di tempat kediaman temannya. Ki Rajung,"
sahut Sanca Kala setelah berpikir sejenak.
Pergola dan Gurida menganggukkan kepala. Ke-
mudian tanpa mempedulikan keadaan Ki Gilang Sangkur
lagi, ketiga orang tokoh sakti yang mengaku Algojo-Algojo Bukit Larangan itu
segera melesat meninggalkan Ketua Perguruan Tapak Malaikat yang sekarat.
Kini tidak ada lagi suara riuh rendah yang terdengar.
Suasana hening menyelimuti sekitar tempat itu. Sosok-sosok tubuh bergeletakan
tanpa nyawa dan puing-puing bangunan terhampar berserakan.
Dalam keadaan berbaring, Ki Gilang Sangkur mengedarkan pandangan berkeliling. Sepasang matanya
memandangi mayat-mayat muridnya dan bangunan Perguruan Tapak Malaikat yang masih terbakar. Terlihat kesedihan yang mendalam
pada sorot matanya, ia tidak pernah bermimpi sama sekali kalau perguruannya akan
musnah dari kancah dunia persilatan.
Rasa sakit yang mendera dan guncangan batin
melihat keadaan perguruannya, membuat Ki Gilang Sangkur roboh pingsan. Angin
senja yang bertiup lembut seakan-akan ingin menyadarkan Ketua Perguruan Tapak
Malaikat. 4 Sang Dewi Malam mulai menampakkan dirinya di
angkasa, menerangi persada yang diselimuti kegelapan.
Hembusan angin malam yang meniup lembut di kulit
membuat dua sosok tubuh melangkah perlahan.
Dua sosok tubuh itu ternyata terdiri dari sepasang
muda-mudi yang sama-sama berwajah elok. Mereka berjalan bergandengan, dengan
jari-jari tangan saling tergenggam seperti dua sejoli yang tengah menikmati
indahnya suasana malam.
Lelaki berwajah tampan dengan tubuh tegap terbungkus oleh
pakaian berwarna ungu. Rambutnya
berwarna putih keperakan tergerai sampai ke pundak.
Sesekali rambut itu disibak angin malam, sehingga membuat guci perak yang
tersampir di punggungnya tertutupi.
Sedangkan gadis berwajah cantik jelita mengenakan
pakaian serba putih seperti warna kulitnya, tampak semakin menonjolkan
kecantikannya karena rambutnya yang putih panjang dibiarkan terjuntai.
Mendadak langkah kaki gadis berpakaian putih itu
terhenti. Sepasang matanya menatap ke depan. Menilik dari pandang matanya bisa
Istana Pulau Es 16 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Badai Awan Angin 4
^