Pencarian

Perkawinan Berdarah 3

Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Bagian 3


padam pertanda besarnya kemarahan yang melanda hati.
"Kubunuh kau...!"
Didahului jerit kemarahan yang lebih patut raungan
binatang buas terluka, Rupangki menerjang Dedemit Salju.
Dengan tubuh berada di udara, tangannya bergerak cepat mencabut pedangnya yang
tergantung di punggung. Lalu,
pedangnya disabetkan ke arah leher kakek berpakaian bulu binatang berwarna putih
itu. Dalam kemarahan hebat yang melanda Rupangki lupa kalau orang yang telah
berhasil membunuh gurunya, pasti memiliki kepandaian tinggi. Tentu saja dia jelas bukan
tandingannya. Yang ada di benak
Rupangki hanya satu, membatas kematian gurunya.
Karmila tidak tinggal diam. Seperti juga Rupangki, dia pun tersadar dari
keterkejutannya. Maka begitu melihat suaminya menyerang, dia pun segera mencabut
pedang dan menusukkannya ke arah perut Dedemit Salju.
"Hmh...!"
Dedemit Salju mendengus melihat serangan tiba-tiba
itu. Kemudian dengan sikap sembarangan saja kedua
tangannya digerakkan. Yang kiri diangkat ke atas melindungi leher, sedangkan
yang kanan menangkis pedang Karmila.
Takkk...takkk...!
Dua benturuan keras terdengar ketika dua batang
pedang itu berbenturan dengan tangan Dedemit Salju.
Akibatnya, tubuh Rupangki dan Karmila tedempar ke
belakang saking kuatnya tenaga yang terkandung dalam
tangkisan yang diberikan Dedemit Salju.
Untung saja Rupangki dan Karmila mempunyai
kepandaian yang cukup tinggi, sehingga mampu mematahkan daya lontar pada tubuh mereka. Kedua kaki
mereka langsungi mendarat di lantai meskipun agak
terhuyung. Rupangki dan Karmila saling berpandangan. Mereka
berdua tahu, lawan memiliki kepandaian yang luar biasa.
Hasil dari benturan itulah yang telah membuktikan. Tampak jelas Dedemit Salju
sama sekali tidak terpengaruh oleh serangan mereka tadi. Jangankan terhuyung,
tangannya bergetar saja pun tidak. Padahal kedudukan Dedemit Salju tidak
lebih menguntungkan dibandingkan kedudukan Karmila dan Rupangki.
Sedangkan Rupangki dan Karmila merasakan tangan
yang menggenggam pedang terasa lumpuh. Untung saja
mereka berhasil mempertahankan pedang, sehingga tidak
jatuh ke lantai.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Salju hanya tertawa terkekeh melihat sikap
kedua orang lawannya. Kesempatan itu sama sekali tidak dipergunakan untuk
melancarkan serangan. Jelas kalau
Dedemit Salju sama sekali tidak memandang Karmila dan
Rupangki sebagai lawan yang perlu diperhitungkan.
Karmila dan Rupangki tahu, lawan memiliki ke-
pandaian berada di atas mereka. Tapi hal itu tidak
menjadikan gentar karenanya. Setelah saling berpandangan, keduanya kembali
menatap ke arah Dedemit Salju sejenak.
Lalu.... "Hiyaaat...!" seru Karmila keras.
Wanita itu menusukkan pedangnya bertubi-tubi ke
arah leher, ulu hati dan dada. Cepat bukan main serangannya sehingga batang pedangnya lenyap bentuknya.
Yang terlihat hanyalah seleret sinar menyilaukan yang
meluncur ke arah Dedemit Salju.
"Haaat...!"
Rupangki berseru tak kalah keras. Dia melompat ke
atas, dan bersalto beberapa kali di udara melewati kepala Dedemit Salju.
Kemudian dari belakang, batang pedang
lemasnya yang bergetar langsung mengancam berbagai
bagian tubuh belakang lawan.
Dedemit Salju hanya menyeringai melihat serangan
ini. Sebuah rencana keji terlintas di benaknya melihat serangan yang
mengancamnya dari dua jurusan itu. Serangan-serangan ditunggunya hingga menyambar dekat.
Baru ketika kedua serangan itu menyambar dekat,
Dedemit Salju menjatuhkan tubuhnya di lantai. Tangan
kanannya diulur, menangkap pedang Rupangki. Sedangkan
tangan kirinyanya diulur menangkap pedang Karmila.
Tappp...! Tappp...!
Secepat kedua tangannya mencekal senjata kedua
lawannya, secepat itu pula disentakkannya. Tak tanggung-targgung lagi, hampir
seluruh tenaga dalam dikerahkan
untuk keberhasilan rencana kejinya.
Karmila dan Rupangki mana mampu bertahan. Tak
pelak lagi, tubuh kedua orang itu pun terbawa tarikan.
Dan.... Cappp...! Blesss...!
"Akh...! Akh...!"
Rupangki dan Karmila saling berpandangan dengan
sepasang mata terbelalak dan wajah pucat. Betapa tidak"
Pedang di tangan Rupangki menembus perut Karmila, dan
begitu pula sebaliknya.
"Karmila...," ucap Rupangki pelan dan terputus-putus.
Sepasang mata laki-laki muda itu menatap ke arah
pedang miliknya yang menembus-perut Karmila. Pandangan matanya tampak penuh
penyesalan. Tampak darah segar
menyembur dari bagian yang terluka.
"Rupangki...," sebut Karmila pula.
Hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Karmila dan
Rupangki, karena sesaat kemudian tubuh mereka ambruk ke lantai. Nyawa sepasang
pengantin baru itu telah melayang meninggalkan raga saat itu juga. Memang, luka-
luka yang diderita terlalu parah. Pedang-pedang itu menembus hingga sampai ke
punggung. "Ha ha ha...!"
Dedemit Salju tertawa bergelak penuh kegembiraan
melihat keberhasilan rencananya. Tawanya tak berhenti
sekalipun sudah berjalan keluar meninggalkan ruang itu.
Tawa yang keras menggelegar dan membuat suasana tempat itu bergetar hebat,
karena Dedemit Salju mengerahkan
tenaga dalamnya pada suara tawa itu.
Sesaat kemudian suasana di tempat Itu pun he nlng.
Tidak ada lagi suara teriakan-teriakan kematian atau denting senjata beradu.
Kegelapan yang mulai turun menyelimuti bumi mengiringi kepergian Dedemit Salju
yang telah menjagal belasan orang di Perguruan Pedang Ular.
Sungguh menyedihkan peristiwa yang menimpa Perguruan Pedang Ular. Perguruan aliran putih yang ditakuti lawan dan disegani
kawan itu kini telah musnah, di tangan Dedemit Salju.
65 Matahari sudah sejak tadi menampakkan dirinya.
Tapi meskipun begitu, sinarnya masih terasa nikmat di kulit.
Langit tampak cerah, tak ada awan yang tampak bergumpal di sana.
Dalam suasana seperti itulah, Arya melesat cepat
menuju Perguruan Pedang Ular. Memang, dia telah mengambil keris milik Brajageni yang disimpannya. Arya harus mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya, untuk segera tiba di Perguruan Pedang Ular.
Dewa Arak melakukan perjalanan tanpa mengenal
waktu. Perjalanannya hanya berhenti kalau kedua kakinya sudah tidak sanggup lagi
melangkah. Makan pun apabila
perutnya sudah menjerit-jerit minta diisi. Demikian pula halnya dengan tidur.
Sepasang matanya dipejamkan apabila sudah tidak bisa terbuka lagi.
Karena itu, tidak aneh kalau dalam dua hari saja
keadaan Dewa Arak berubah banyak. Wajahnya terlihat layu dan kuyu. Sepasang
matanya pun merah karena kurang
tidur. Rambutnya yang putih panjang dan meriap, tampak awut-awutan
tak terurus. Tapi, Dewa Arak tidak mempedulikan hal itu. Keadaan dirinay tidak dipikirkan lagi.
Yang ada di benaknya hanya Melatri dan Melati!
Langkah kaki pemuda berambut putih keperakan ini
semakin cepat ketika melihat pagar kayu bulat yang
mengelilingi Perguruan Pedang Ular di kejauhan.
"Tunggulah, Melati. Aku datang untuk menebus obat untukmu...," ucap Arya dalam
hati seraya terus melangkah.
Sebenarnya, Dewa Arak merasa berat untuk menyerahkan keris yang diketahuinya amat berbahaya ini ke tangan Raja Racun Muka
Putih. Apalagi ketika diketahuinya kalau keris itu terbuat dari benda langit,
dan itu didengarnya dari mulut Raja Racun Muka Putih sendiri, maka Dewa Arak
semakin tidak ingin untuk memberikan keris itu.
Tapi Dewa Arak tidak punya pilihan lain lagi. Nyawa
Melati lebih dari segalanya. Jangankan hanya sebuah keris.
Seribu keris pun akan direlakannya kalau memang dapat
digunakan untuk menyembuhkan Melati.
Semakin lama, jarak antara Arya dengan markas
Perguruan Pedang Ular semakin dekat. Dan seiring semakin dekat jaraknya, mulai
tampak ada kernyitan di dahi Arya ketika melihat jelas markas Perguruan Pedang
Ular. Memang, meskipun jaraknya masih tersisa lebih dari
dua puluh tombak, tapi sepasang mata Dewa Arak yang
tajam bisa melihat adanya keanehan pada markas Perguruan Pedang Ular. Pintu
gerbang Perguruan Pedang Ular terbuka lebar, padahal tidak ada satu pun murid
perguruan yang berada di luar. Begitu cerobohkan mereka" Atau jangan-jangan
telah terjadi sebuah peristiwa besar lagi di perguruan itu"
Perasaan tidak enak seketika melanda hati Arya,
ketika terpikir kemungkinan terjadinya peristiwa tidak diinginkan di Perguruan
Pedang Ular. Tapi segera hatinya dihibur dengan menimbulkan keyakinan, siapa
yang berani mengusik Perguruan Pedang Ular yang berada di bawah
pimpinan Ki Gambala" Belum lagi dengan adanya Raja Racun Muka Putih yang
kelihaiannya telah diketahui. Ah..., jangan-jangan malah Raja Racun Muka Putih
yang mengacau"
"Tidak mungkin!" bantah Arya dalam hati.
Dewa Arak tahu betul, Raja Racun Muka Putih amat
menginginkan keris benda langit ini. Tidak mungkin kalau kakek berpakaian merah
itu akan melakukan perbuatan yang tidak-tidak.
Dengan pikiran-pikiran yang berkecamuk dalami
benaknya, Arya terus melangkahkan kakinya dengari kecepatan tinggi. Sehingga, tak lama kemudian dia telah berada di depan pintu
gerbang yang terbuka lebar.
Sepasang mata Arya terbelalak seketika. Belum
sempat kakinya melangkah melewati ambang pintu gerbang, pemandangan yang membuat
kekhawatirannya memuncak
terpampang di hadapannya. Belasan sosok tubuh yang dari pakaiannya
dikenalinya betul sebagai murid-murid Perguruan Pedang Ular, tampak bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak
bernyawa! "Iblis keji dari mana yang melakukan semua ini..."!"
desis Arya, geram.
Tanpa mempedulikan mayat-mayat yang bergeletakan,
Dewa Arak segera melesat cepat ke salah satu bangunan.
Kekhawatirannya akan nasib Melati yang menyebabkan
pemuda berambut putih keperakan itu tidak lagi meneliti mayat-mayat yang
bergeletakan. Dewa Arak begitu khawatir akan terjadinya hal yang tidak
diinginkan pada gadis yang dicintainya.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, Dewa Arak
telah berada di dalam. Tapi langkah kakinya kontan terhenti ketika pandangannya
tertumbuk pada dua sosok tubuh yang tergolek di lantai bermandikan darah.
Arya merasakan kedua kakinya menggigil ketika
melihat dua sosok tubuh itu. Sesaat dia berdiri terpaku dengan jantung terasa
diremas-remas. Kemudian, kaki-kakinya yang menggigil diayunkan menghampiri.
"Rupangkiii...! Karmilaaa...!" jerit Dewa Arak dengan hati pilu ketika yakin
kalau dua sosok mayat yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu benar-benar
Rupangki dan Karmila.
Arya membungkukkan tubuhnya, dan menatap ke
arah mayat Rupangki dan Karmila. Bahunya tampak
terguncang-guncang karena perasaan haru dan kesedihan
yang melanda. Hati Arya bagai ditusuk pisau karatan melihat keadaan mayat
sepasang pengantin baru itu.
"Rupangki...,


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karmila..., betapa buruknya nasib kalian," ratap Arya serak karena cekaman perasaan haru membuat tenggorokannya
terasa tercekik. "Aku bersumpah, Karmila, Rupangki.... Akan kucari Iblis yang
telah berlaku sekejam ini pada kalian... Akan kubalaskan sakit hati kalian!"
Arya mengepalkan kedua tangannya. Suara berkerotokan keras seperti ada tulang-tulang yang patah terdengar keras ketika
jari-jari tangannya mengepal. Bahkan dari sekujur tubuh, terutama sekali ubun-
ubunnya, keluar asap berwarna putih. Ini menandakan kalau 'Tenaga Sakti Inti
Matahari' telah mengalir keluar karena cekaman
kemarahan yang melanda. Tapi berbeda dengan biasanya,
asap yang keluar tidak lagi tipis tapi agak tebal dan banyak.
Arya yang tengah larut dalam keharuan, kesedihan,
dan kemarahan hebat, sama sekali tidak mengetahuinya.
Andaikan melihat, dia akan merasa heran karena hal itu
berarti 'Tenaga Sakti Inti Matahari' nya telah bertambah kuat.
Tenaganya telah maju pesat!
Memang, tanpa diketahui Arya, masuknya belalang
raksasa ke dalam tubuhnya bukan tanpa pengaruh apa-apa.
Setiap kali belalang raksasa itu masuk dalam tubuhnya, dan Arya menggunakannya
dalam pertarungan, maka akibatnya
akan menjadi luar biasa! Hanya saja, pemuda itu tidak
mengetahuinya. Mendadak Arya tersentak kaget
ketika teringat
kembali pada Melati. Apakah kekasihnya itu pun mengalami kejadian yang serupa,
tewas seperti halnya murid-murid Perguruan
Pedang Ular dan
Karmila"! Siapakah sebenarnya pembunuh keji itu" Dan ke mana
perginya Ki Gambala dan Raja Racun Muka
Putih" Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak
Dewa Arak. Teringat kembali akan Melati, membuat
Arya bergegas bangkit. Dengan detak jantung memukul-mukul keras, kakinya melangkah menghampiri
ruangan yang diketahuinya sebagai tempat Melati dulu
dibaringkan. "Hugh...!"
Suara keluhan tertahan keluar dari mulut Arya ketika
melihat pemandangan yang terpampang di hadapannya.
Tanpa sadar, kakinya melangkah mundur ke belakang.
Wajah pemuda berpakaian ungu ini nampak pucat pasi.
"Ki Gambala... Raja Racun Muka Putih...," desis Arya dengan bibir bergetar
ketika melihat mayat dua orang kakek sakti berbeda aliran tergeletak di lantai.
Rasa khawatir yang amat sangat menjalari hati Arya.
Kedua orang sakti yang bertugas menjaga keselamatan Melati kini telah tewas.
Lalu, bagaimana nasib Melati"
Cepat laksana kilat, Arya melesat ke arah pemba-
ringan Melati. Tapi, yang dijumpainya hanyalah pembaringan itu tanpa Melati ada
di sana! "Melati...,"
desis Arya dengan kekhawatiran menggelegak. Kecemasannya akan nasib Melati membuatnya tidak ingat lagi akan
mayat Ki Gambala dan Raja Racun
Muka Putih. "Melati! Melati...! Melati...!"
"Melati! Melati...! Melatiii...!"
Teriak Arya bagai orang gila! Kekhawatiran yang
mendera hatinya akan keselamatan Melati, membuat pendekar muda itu tidak bisa mengendalikan diri.
Dewa Arak terus berteriak-teriak, memanggil nama
kekasihnya. Kepalanya ditolehkan ke sana kemari. Sementara, kedua kakinya terus mondar-mandir!
Arya kini bagaikan orang gila! Kekhawatiran yang
mendera hati akan keselamatan Melati, membuatnya tidak bisa mengendalikan diri.
Pemuda berambut pulih keperakan itu berteriak-teriak, memanggil-manggil nama
kekasihnya seperti orang gila. Kepalanya ditolehkan ke sana-kemari.
Sementara, kedua kakinya melangkah mondar mandir ke
sekeliling kamar itu.
Dalam puncak kekhawatiran yang melanda hati, akal
sehat Dewa Arak menguap entah ke mana. Dia terus saja
berteriak-teriak
memanggil nama kekasihnya disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Sehingga, membuat
ruangan sekitar tempat itu bergetar hebat seperti akan rubuh. Kalau saja Arya
mau menggunakan akal sehatnya
sebentar, pasti akan tahu kalau teriakannya itu sia-sia saja.
Karena, Melati saat itu tengah tidak sadarkan diri. Jadi mana mungkin
pergi seorang diri.
Lalu, siapa orang yang membawanya. Akhirnya setelah memanggil-manggil dan
berkeliling beberapa saat lamanya tanpa hasil, Arya menyadari kalau usahanya tidak ada gunanya. Tindakannya dihentikan dan berdiri
dengan kedua lututnya. Siku kedua tangannya ditelekankan di pembaringan.
Sedangan kedua telapak tangannya bertengger di dagu.
Cukup lama juga Arya bertopang dagu seperti itu.
Napasnya ditariknya dalam-dalam dan dihembuskannya
kuat-kuat untuk menenangkan hati. Disadari, kalau tidak bisa bersikap tenang,
maka pikirannya akan buntu. Arya membutuhkan waktu beberapa saat lamanya untuk
bisa menenangkan diri.
Baru setelah hatinya mulai tenang, Dewa Arak mulai
berpikir. Dan kini, mulai bisa didapatkan adanya sebuah harapan kalau Melati
belum tewas. Gadis bin pakaian putih itu kemungkinan besar masih hidup!
Ketidakberadaan mayat Melati di situ, telah menimbulkan sebuah harapan di
hatinya. Melati pasti tidak dibunuh!
Dengan adanya dugaan seperti itu, semangat Arya
timbul kembali. Bergegas diperhatikannya keadaan sekeliling kamar itu. Karena
dilakukannya dengan pikiran tenang,
Dewa Arak mulai bisa menarik kesimpulan. Dan itu
didapatkan dari daun jendela yang hancur berantakan.
"Pembunuh itu pasti masuk dari jendela...," desis Arya dalam hati.
Semangat Arya semakin berkobar begitu melihat
adanya titik terang untuk mengungkapkan peristiwa pembunuhan besar-besaran itu. Tak puas dengan hasil
penyelidikan yang didapat, Arya mengedarkan pandangan
sekeliling ruangan itu. Sampai akhirnya, sepasang matanya tertumbuk pada mayat
Raja Racun Muka Putih dan Ki
Gambala. Perlahan-lahan Arya melangkah menghampiri. Yang
ditujunya lebih dulu adalah mayat Raja Racun Muka Putih, karena letaknya memang
lebih dekat. Dengan sepasang mata yang terus tertuju pada mayat kakek berpakaian
merah itu, tubuhnya membungkuk kemudian diperiksanya mayat Raja
Racun Muka Putih.
"Keji...!" desis Arya ketika mengetahui sekujur tulang dada Raja Racun Muka
Putih hancur berantakan.
Dewa Arak merasa terpukul bukan kepalang melihat
Raja Racun Muka Putih telah tewas. Karena hanya kakek
itulah satu-satunya yang bisa menyelamatkan nyawa Melati.
Lalu, sekarang bagaimana nasib Melati kalau Raja Racun Muka Putih telah tewas"
Mendadak pandangan mata Arya melihat adanya
sesuatu yang mirip tulisan di lantai yang tidak tertutupi mayat Raja Racun
Putih. Dengan hati berdebar tegang, Dewa Arak memin-
dahkan mayat Raja Racun Putih. Sekarang jelas ter lihat, sesuatu yang mirip
tulisan. Dan memang, dugaan Dewa Arak tidak salah. Itu memang tulisan yang
ditulis dengan darah.
Dan sudah pasti, tulisan itu menggunakan ujung jari untuk mengguratkannya. Dan
menilik dari lantai yang tergurat cukup dalam, bisa diketahui kalau Raja Racun
Muka Putih menggunakan tenaga dalam sewaktu menuliskannya.
Dewa Arak.... Pelaku pembunuhan ini adalah Dedemit Salju.
Melati dibawa kabur oleh pemuda berbaju biru.
Obat untuk menyembuhkan Melati, pil yang berwarna
merah. Usai membaca tulisan terakhir Raja Racun Muka
Putih, Arya merasakan betapa sepasang matanya panas dan berkaca-kaca. Rasa haru
melanda hatinya. Sungguh tidak disangka kalau Raja Racun Muka Putih akan
bertindak demikian. Di akhir hayatnya, dia masih sempat memberitahukan pelaku semua pembunuhan itu dan obat
untuk kekasihnya.
"Terima kasih, Raja Racun Muka Putih. Tidak ku-
sangka kalau kau mempunyai hati yang begitu luhur. Kau ternyata
memegang janjimu, membela Melati sampai akhirnya menjadi tewas karenanya. Sayang sekali, aku tidak bisa membalas
budimu...."
Usai berkata demikian, Arya kembali membungkuk.
Diperhatikannya sejenak mayat Raja Racun Muka Putih.
"Maaf, Raja Racun Muka Putih. Aku terpaksa
mengambil sendiri obatnya. Aku yakin, kau tidak akan
menganggap tindakanku ini sebagai suatu kelancangan,"
kata Arya seraya mengulurkan tangannya ke balik baju
kakek itu. Buru-buru Arya membuka ikatan buntalan itu. Tapi,
di dalamnya ternyata bukan berisi pil berwarna merah tapi, obat pulung berwarna
coklat. Arya menyingkirkan buntalan kain itu, kemudian
dimasukkan kembali tangannya ke balik pakaian Raja Racun Muka Putih. Dikeluarkan
lagi beberapa macam buntalan kain hitam, sampai akhirnya menemukan pil berwarna
merah yang dimaksud. Buru-buru Arya mengikatkan buntalan kain hitam
yang berisikan pil berwarna merah itu ke balik ikat
pinggangnya. "Raja Racun Muka Putih..., dengarlah! Aku berjanji akan membalas pedakuan keji
Dedemit Salju pada dirimu.
Dia akan kukirim ke neraka selama-lamanya!" janji Arya setelah
berdiri tegak kembali. Dan janji yang sama diucapkannya di hadapan mayat Ki Gambala.
8 Arya berdiri dengan kepala tertunduk. Sepasang
matanya menatap ke arah gundukan-gundukan tanah yang
berjajar di bawah kakinya, yang berisikan seluruh mayat-mayat yang ada di
Perguruan Pedang Ular. Memang, Arya
telah menguburkan semua mayat itu.


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hhh...!"
Entah untuk yang keberapa kalinya, pemuda be-
rambut putih keperakan itu menghela napas berat. Peluh yang membasahi leher dan
keningnya sama sekali tidak
dipedulikan. Sepasang matanya menatap ke arah gundukan-gundukan tanah berisi
mayat dengan sorot mata duka.
Kemudian setelah menghembuskan napas berat kembali. Dewa Arak melangkah lesu meninggalkan tempat
itu. Hatinya benar-benar terpukul. Dia merasa bersalah bukan kepalang setelah
mengetahui kalau pelaku semua
pembantaian ini adalah Dedemit Salju. Dewa Arak tahu,
biang iblis yang amat sakti itu pergi ke Perguruan Pedang Ular untuk menjumpai
dirinya untuk membalas dendam.
Jadi, semua kejadian berdarah di Perguruan Pedang Ular ini terjadi karena
dirinya. Dan inilah yang membuat Arya merasa terpukul.
Kini yang dapat dilakukannya hanyalah membalaskan
sakit hati semua orang yang terbunuh pada Dedemit Salju.
Dan itulah yang menjadi penyebab mengapa Arya bergegas meninggalkan markas
Perguruan Pedang Ular.
Matahari mulai condong ke Barat ketika Dewa Arak
telah melewati ambang pintu gerbang Perguruan Pedang Ular.
Dan setibanya di sini, Arya tidak melangkah perlahan-lahan lagi.
Tapi, dikerahkannya seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Maka sekejap kemudian, yang
terlihat hanyalah seleret sinar berwarna ungu yang melesat cepat meninggalkan
Perguruan Pedang Ular.
Sambil terus berlari cepat benak Arya berputar keras.
Siapakah pemuda berpakaian biru yang telah membawa
kabur Melati" Padahal Melati tengah keracunan dan tidak sadarkan diri. Dan
keadaan Melatilah yang membuat
kecemasan hati Arya semakin menjadi-jadi. Dia harus
secepatnya menemukan Melati dan memberikan obatnya.
Perasaan cemas akan keselamatan Melati, membuat
Arya memutuskan untuk mencari pemuda berbaju biru lebih dulu. Masalah membalas
dendam pada Dedemit Salju, bisa belakangan.
Karena Arya berlari mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya, sebelum kegelapan menyelimuti
persada, dia telah mencapai batas tembok Desa Layang. Desa yang paling dekat
letaknya dengan markas Perguruan Pedang Ular. Memang, letak perguruan itu cukup
jauh dari desa-desa sekitarnya.
Sesampainya di sini, Arya menghentikan larinya. Dia
tidak mau menarik perhatian orang dengan lari secepat itu.
Kakinya melangkah perlahan-lahan, walaupun keinginan hati untuk cepat tiba
menemukan Melati begitu menggebu-gebu.
Sepasang mata Arya beredar berkeliling, memperhatikan
suasana sekelilingnya.
Arya berharap ada orang yang berada di luar agar bisa
menanyakan perihal pemuda berpakaian biru. Barangkali
saja mereka melihatnya. Setidak-tidaknya, dengan adanya petunjuk, betapapun
sedikitnya, dapat dijadikan pedoman untuk pencarian selanjutnya daripada
mencari-cari tanpa petunjuk sama sekali.
Tapi harapan Dewa Arak ternyata tidak terkabul.
Tidak ada seorang pun penduduk yang berada di luar.
Bahkan semua pintu dan jendela tertutup rapat. Nampaknya para penduduk lebih
suka berada di dalam rumahnya.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Perasaan kecewa yang
melanda, menyebabkannya bersikap begitu. Tapi meskipun demikian, dia tidak putus
asa. Tetap saja kepalanya
ditolehkan ke sana-kemari untuk mencari cari barangkali saja ada orang yang
masih berada di luar.
Entah berapa jauh melangkah perlahan-lahan begitu,
Arya sama sekali tidak mempedulikannya. Yang ada di
pikirannya hanya satu. Dia harus menemukan orang agar
bisa bertanya mengenai keberadaan pemuda berbaju biru.
Langkah Arya terhenti ketika melihat sebuah kedai
yang masih buka. Samar-samar terdengarnya suara pembicaraan orang di dalamnya. Jelas, di dalam kedai itu masih ada
pengunjungnya. Aryn tertegun sejenak. Haruskah dia masuk ke dalam
kedai itu dan bertanya pada mereka" Ah! Kenapa begitu
bodoh! Bukankah perutnya sudah lama tidak diisi, dan isi guci araknya pun
tinggal sedikit" Dia bisa bertanya pada mereka sambil memesan makanan dan
minuman. Dengan harapan yang mulai menyala dalam hati, Arya
melangkah memasuki kedai. Di ambang pintu pemuda
berambut putih keperakan itu menghentikan langkah.
Pandangannya langsung beredar ke sekeliling dalam kedai.
Rupanya pengunjung yang hanya berjumlah tiga
orang mendengar kedatangan Dewa Arak. Salah seorang
pengunjung kedai yang duduknya menghadap ke pintu, tentu saja melihat kedatangan
Arya. Sesaat sepasang matanya
terbelalak ketika melihat rambut Dewa Arak. Jelas, dia merasa
kaget melihat seorang pemuda seperti Arya mempunyai warna rambut yang seharusnya hanya dimiliki
orang berusia lanjut.
Melihat rekannya bersikap demikian, dua orang laki-
laki yang duduk di hadapannya tentu saja menjadi heran.
Mereka pun menoleh ke arah yang sama. Dan..., sepasang mata kedua orang ini pun
terbelalak. Arya tentu saja mengetahui penyebab kekagetannya
ketiga orang itu. Memang, tak jarang warna rambutnya yang aneh itu menarik
perhatian orang. Dan dia tidak menjadi heran melihat sikap mereka. Kalau saja
Arya tidak tengah dilanda perasaan cemas, mungkin sudah merasa geli melihat
pemandangan ini. Ketiga mulut melongo. Sedangkan tangan-tangan
mereka yang tengah mengangkat gelas atau menyuapkan makanan terhenti di udara.
Arya menganggukkan kepala sambil menyunggingkan
senyum lebar. "Selamat malam, Kisanak semua...," ucap pemuda berambut putih keperakan sopan.
"Selamat malam...," sambut tiga orang itu agak tergesa-gesa dan terbata-bata.
Sadar akan ketidakpantasan sikap yang diperlihatkan,
tiga orang itu buru-buru meneruskan makan minum mereka yang tadi terhenti di
tengah jalan. Arya melangkah mendekati meja ketiga orang itu.
Pandangan matanya yang tajam langsung bisa menebak
kalau ketiga orang itu adalah pemburu-pemburu. Ini bisa diketahui dari berbagai
macam senjata yang menghiasi tubuh mereka, yang terbungkus pakaian dari kulit
binatang. Arya lalu duduk di kursi yang berdekatan dengan
meja mereka itu dilakukan agar tidak mengalami kesulitan apabila mengajukan
pertanyaan pada mereka.
Seorang laki-laki setengah baya bertubuh kurus
kering bergegas menghampiri meja Arya.
"Mau pesan apa, Den?" tanya laki-laki kurus kering itu sopan.
"Arak seguci besar, dan ayam panggang, Ki," sebut Arya memesan makanan
kegemarannya. Laki-laki bertubuh kurus kering itu melengak se-
bentar. Arak seguci besar" Tidak gilakah pemuda berambut putih keperakan ini"
Dia bisa mabuk berat apabila benar-benar meminum arak sebanyak itu!
Bukan hanya pemilik kedai itu yang kebingungan, tiga
orang laki-laki pengunjung kedai yang rata-rata berwajah kasar dan bertubuh
tegap itu pun menoleh, karena merasa heran mendengar permintaan Arya.
"Seguci besar arak, Den?" tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu untuk
memastikan kalau dirinya tidak salah dengar.
Arya menganggukkan kepala, pertanda membenarkan.
Kini pemilik kedai itu tidak ragu-ragu lagi. Walaupun
benaknya dipenuhi keheranan, tubuhnya segera berbalik. Dia kini siap menuju ke
belakang untuk menyiapkan pesanan
pemuda berpakaian ungu itu, Tapi....
"Tunggu sebentar, Ki...!"
"Ada apa, Den?" tanya laki-laki bertubuh kurus kering itu sambil membalikkan
tubuh. "Apakah kau melihat seorang pemuda berpakaian biru yang membawa seorang gadis
berpakaian putih"!" tanya Arya penuh harap.
Laki-laki bertubuh kurus kering itu mengernyitkan
dahinya sejenak sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Sayang sekali. Den." jawab pemilik kedai itu dengan nada suara penuh penyesalan
karena tidak bisa menjawab pertanyaan Arya. "Aku tidak melihatnya....!"
"Tidak mengapa, Ki," sambut Arya buru-buru.
Pemilik kedai itu kembali membalikkan tubuhnya dan
berjalan ke dalam untuk menyiapkan pesanan Arya.
"Mengapa kau mencari pemuda berpakaian biru,
Kisanak?" tanya salah seorang dari tiga laki-laki bertubuh tegap itu.
"Karena, dia telah menculik kawanku, Kisanak," jawab Arya seraya menatap wajah
penanyanya, seorang laki-laki bertubuh tegap dengan sebuah codet melintang di
dahi. Laki-laki bercodet itu mengangguk-anggukkan kepala.
Entah apa maksud anggukannya.
"Apakah kau melihatnya, Kisanak?" tanya Arya iseng.
Barangkali saja orang itu atau kawannya pernah mengetahui, atau setidak-tidaknya
melihat pemuda berpakaian biru itu.
Laki-laki bercodet itu saling berpandangan dengan
dua rekannya sejenak. Karuan saja hal itu membuat Arya heran. Mengapa laki-laki
bercodet itu bukannya menjawab pertanyaan, tapi malah saling berpandangan dengan
dua orang rekannya"
"Kami memang melihatnya.... Dia sepertinya tergesa-gesa sekali," jawab laki-laki
bercodet ketika melihat kedua temannya mengangkat bahu, pertanda tidak mau ikut
campur. Kini Arya mengerti. Laki-laki bercodet itu rupanya
meminta pertimbangan rekannya.
"Di mana kau melihatnya, Kisanak?" tanya Arya penuh gairah.
Laki-laki bercodet itu tidak langsung menjawab
pertanyaan Arya. Ditatapnya wajah pemuda berambut putih keperakan itu lekat-
lekat. Ada senyum yang tersungging di mulutnya.
"Apa imbalannya kalau kami memberitahukan tempat
kami bertemu pemudia berbaju biru itu?" tani tang laki-laki bercodet itu.
"Apa yang kalian inginkan?" Arya malah balas bertanya setelah beberapa saat
lamanya tercenung.
"Kami hanya ingin agar kau bersedia mengajarkan
ilmu silat pada kami, Dewa Arak," jawab laki-laki bercodet itu dengan senyum di
bibir. Arya terperanjat mendengar permintaan yang sama
sekali tidak disangka-sangkanya. Apalagi ketika didengarnya laki-laki bercodet
itu menyebutkan julukannya.
"Bukankah kau Dewa Arak?" tanya laki-laki bercodet itu lagi untuk memastikan
kebenaran dugaannya.
Dengan senyum getir yang mengembang di bibir Arya
menganggukkan kepalanya.
Tanpa perlu bertanya pun, dia tahu mengapa ketiga
orang itu mengetahui kalau dirinya adalah Dewa Arak. Ciri-cirinya memang
terlampau menyolok. Dalam ribuan pemuda di dunia ini, bukan tidak mungkin hanya
dia sendirian yang memiliki ciri-ciri seperti itu.
"Bagaimana, Dewa Arak!" Kau bersedia menerima syaratku?" desak laki-laki
bercodet penuh gairah.
"Tidak perlu kau turuti permintaannya yang konyol itu, Dewa Arak?" sergah laki-
laki yang berhidung besar.
"Kalau dia tidak mau memberitahukannya, aku yang akan memberitahukannya padamu."
Arya tersenyum lebar.
"Siapa pun yang memberitahukannya padaku di
antara kalian bertiga, aku tetap akan mengajarkan kalian beberapa gerakan ilmu
silat" "Benarkah demikian. Dewa Arak"!" hampir berbareng tiga orang laki-laki bertubuh
tegap itu mengucapkan
pertanyaannya. "Benar! Tapi, aku tidak bisa mengajarkan kalian
sekarang," janji Arya.
"Kapan kau siap, kami pun siap, Dewa Arak," mantap dan tegas jawaban yang
dikeluarkan laki-laki berwajah codet, meskipun ada perasaan malu yang bersemayam
di hati melihat kebijaksanaan Arya.
"Ya! Kami tinggal di Desa Sampan. Tanyakanlah nama Benggala. Semua orang akan
tahu." "Baik. Akan kuingat tempat dan nama kalian. Lalu, di manakah kalian bertemu
pemuda berbaju biru itu?"
"Di Hutan Gelugut. Dia menuju ke arah Barat," jawab laki-laki bercodet.
"Hutan Gelugut?" Arya mengernyitkan keningnya. "Di mana letaknya?"
"Kau hanya tinggal menuju ke arah Barat terus, Dewa Arak. Dan hutan yang akan
kau jumpai nanti itulah adalah Hutan Gelugut," kali ini laki-laki berhidung
besar yang menjawabnya.
"Terima kasih, Benggala," kata Arya tulus.
Percakapan mereka terhenti, karena laki-laki pemilik
kedai telah datang mengantarkan pesanan Arya.
"Silakan dinikmati, Den," kata pemilik kedai itu mempersilakan.
"Terima kasih, Ki," ucap Arya sambil mengulurkan tangan mengambil guci arak yang
telah diletakkan di atas meja.
Dan seperti tanpa pengerahan tenaga. Dewa Arak
mengangkat guci arak itu. Kemudian, dituangkannya ke
dalam guci perak yang telah diletakkan di atas meja!.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara menggeluguk arak yang masuk ke dalam guci
perak Arya terdengar jelas.
Pemilik kedai, dan tiga laki-laki bertubuh tegap
menatap dengan sepasang mata terbelalak. Mereka semua
bisa memperkirakan beratnya guci besar yang penuh berisi arak itu. Bahkan
pemilik kedai sendiri membawanya dengan bantuan seorang anak laki-lakinya yang


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertubuh kekar berotot. Tapi, di tangan Dewa Arak guci itu seperti segumpal kapas saja
layaknya. "O ya, Anak Muda," kata pemilik kedai setelah Arya selesai menuangkan arak itu
dan mengembalikan guci besar, di atas meja. Suara laki-laki kurus kering ini
terdengar serak karena
kaget melihat pertunjukan yang tersaji di hadapannya. "Kata anakku..., kemarin pun ada orang yang mencari pemuda berbaju biru itu. Dia
seorang kakek berpakaian
terbuat dari bulu beruang berwarna putih...."
"Dedemit Salju...," desis Arya dalam hati disertai perasaan kaget. Jadi, biang
iblis yang kejam itu pur ternyata tengah mengejar pemuda berbaju biru pula.
Kalau begitu, dia harus bertindak cepat kalau tidak ingin keduluan.
"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang, Ki," kata Arya sambil bangkit
berdiri. Disampirkan kembali guci
peraknya di punggung, kemudian dicomotnya satu potongan ayam panggang. "Ini
bayarannya."
Usai berkata demikian, dan berpamit pada pemilik
kedai dan tiga orang laki-laki bertubuh tegap itu. Dan sebelum mereka semua
sempat berbuat sesuatu, Arya
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tanpa sungkan-
sungkan lagi, seluruh ilmu meringankan tubuhnya segera dikerahkan sehingga yang
terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar kedai.
Semua yang berada di dalam kedai hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala karena takjub.
"Hebat...!" desis laki-laki berhidung besar. "Julukan Dewa Arak benar-benar
bukan hanya kabar burung saja...."
*** Sambil menggerogoti potongan ayam panggang yang
dibawanya, Arya berlari cepat menuju ke arah Barat. Tidak dipedulikannya suasana
malam yang telah jatuh. Dia harus bergegas kalau tidak ingin keduluan Dedemit
Salju. Arya berlari terus tanpa mempedulikan jarak yang
telah ditempuhnya, tanpa mengurangi kecepatan, tak aneh, kalau belum mencapai
sepertiga malam dia telah memasuki Hutan Gelugut, sebuah hutan besar yang banyak
ditumbuhi pohon-pohon tinggi.
Mendadak Arya menghentikan larinya. Pendengarannya yang tajam samar-samar menangkap adanya suara yang diucapkan keras. Kepalanya ditelengkan agar bisa mendegar
lebih jelas lagi suara yang terdengar itu.
Dan dengan berpedoman suara-suara itu, Arya
melangkah hati-hati menuju ke sana. Seiring semakin
mendekatnya, suara-suara yang terdengar semakin keras.
"Ha ha ha...! Monyet Cilik! Berani betul kau
mempermainkan Dedemit Salju! Kau kira bisa lolos dari
tanganku"! Ha ha ha...! Jangan harap...!"
Dada Arya kontan berdebar. Perasaan tegang pun
melanda hatinya. Dedemit Salju! Jadi, biang iblis itu telah berhasil menemukan
pemuda berbaju biru" Maka, dia harus cepat bertindak kalau tidak ingin Melati
menjadi korban dedengkot kaum sesat yang menakutkan itu.
Meskipun hatinya melonjak-lonjak untuk segera tiba
di tempat Dedemit Salju, Arya tidak berani bertindak ceroboh.
Dia tahu betul kelihaian kakek pendek gemuk itu. Maka
Dewa Arak harus bersikap hati-hati. Ditahannya keinginan yang ingin buru-buru
bertemu Melati. Kini Arya bergerak menghampiri, dan berlindung di balik
pepohonan serta
semak-semak lebat.
"Aku tidak mau berurusan denganmu, Dedemit Salju,"
terdengar oleh telinga Arya sebuah suara menyahuti ucapan Dedemit
Salju. "Aku pun tidak bermaksud mempermainkanmu. Tapi, aku juga punya dendam pada
gadis ini. Ayah angkatnya, Raja Bojong Gading, telah
membuat kakakku yang bernama Adipati Tasik, bernama
Pradipta, tewas. (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam episode
"Banjir Darah di Bojong Gading"). Dan aku akan memukul perasaan Raja Keparat itu
dengan membunuh putri kesayangannya. Kepalanya akan kupenggal dan kupajang di depan
pintu gerbang istana Bojang Gading."
"Aku tidak peduli urusanmu. Monyet Kecil! Yang jelas, kau telah berani mengambil
calon korbanku. Bahkan telah begitu berani mempermainkanku dengan membuat jejak,
seolah-olah kau telah meninggalkan hutan itu. Untuk
kesalahan itu, kau tidak akan kubiarkan hidup!"
"Keparat, Dedemit Salju...! Kau kira aku takut padamu..."!" teriak pemuda
berbaju biru keras, karena tahu kalau dirinya tidak akan diampuni Dedemit Salju.
"Aku Taksaka bukan orang yang takut mati!"
Usai bekata demikian, Taksaka melompat menerjang
Dedemit Salju. Sadar kalau lawan yang dihadapinya amat tangguh, senjata
andalannya yang berupa tongkat pendek berujung runcing langsung digunakan ketika menyerang.
Tapi lawan yang diserang Taksaka adalah Dedemit
Salju, dedengkotnya tokoh persilatan aliran hitam. Maka mudah saja baginya
mengelakkan serangan itu. Rupanya,
Dedemit Salju tidak berkeinginan untuk langsung merobohkan lawannya. Terbukti, dia sama sekali belum
melancarkan serangan balasan. Tokoh menggiriskan itu
hanya terus mengelak dari serangan bertubi-tubi yang
dilancarkan Taksaka.
Pada saat Taksaka menyerang Dedemit Salju secara
kalang kabut. Arya tiba di dekat tempat itu. Namun pemuda berambut putih
keperakan ini hanya menyaksikan jalannya pertarungan dari balik sebatang pohon
besar. Setelah memperhatikan sejenak; Arya langsung tahu
kalau Taksaka bukan tandingan Dedemit Salju. Kalau kakek berpakaian putih itu
mau, dalam beberapa jurus lawannya bisa ditewaskan.
Arya sama sekali tidak memperhatikan jalannya
pertandingan lagi. Sepasang matanya beredar ke sekeliling, mencari-cari di mana
adanya Melati. Sesaat kemudian dia telah melihatnya. Tubuh kekasihnya tampak
tergolek dekat sebatang pohon besar. Dengan mengambil jalan memutar
dan tanpa meninggalkan kewaspadaannya, Arya melangkah
mendekati Melati. Dia tidak ingin Dedemit Salju melihatnya.
Harapan Dewa Arak terkabul. Sampai berada di dekat
tubuh Melati, baik Dedemit Salju maupun Taksaka sama
sekali tidak mengetahuinya. Rupanya kedua orang itu terlalu sibuk dengan
urusannya. Buru-buru Arya memasukkan
sebutir pil merah ke dalam mulut Melati. Dan saat itulah, Dedemit Salju baru
melihatnya! Namun akibatnya begitu hebat bagi Taksaka! Dedemit
Salju yang sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi ketika melihat adanya
Dewa Arak yang tengah dicari-carinya, segera melancarkan serangan dahsyat ke
arah kepala Taksaka. Cepat bukan main serangan yang dilakukan,
sehingga akibatnya....
Prokkk...! Tanpa sempat mengeluarkan jeritan lagi, Taksaka
tewas seketika dengan kepala pecah. Darah bercampui otak mengalir keluar dari
kepalanya. Tanpa mempedulikan mayat Taksaka lagi. Dedemit
Salju segera menghampiri Dewa Arak yang juga bergegas
mendekatinya. Keduanya baru menghentikan langkah ketika berada dalam jarak tiga
tombak. "Dewa Arak...! Akhirnya kau datang juga...!" desis Dedemit Salju tanpa
menyembunyikan perasaan geramnya.
"Kini, sudah tiba saatnya bagiku untuk membuat perhitungan denganmu!"
"Bukan hanya kau yang bermaksud demikian, De-
demit Salju! Aku pun ingin melenyapkanmu!" sahut Arya tak kalah geram, setelah
mengerling sejenak ke arah mayat
Taksaka. Arya kini tahu, Taksaka adalah murid Raja Ular
Gunung Pare. Ilmu yang digunakan Taksaka jelas-jelas ilmu tokoh sesat berwajah
tirus itu. Tapi baik Arya maupun Melati tidak tahu kalau Taksaka adalah dalang
dari penyamaran pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading. Memang Taksaka
yang kini mengenakan baju biru adalah pemuda yang dulu berbaju abu-abu. Dia suka
mengenakan baju abu-abu selain warna biru.
Arya segera mengambil gucinya yang tergantung di
punggung, kemudian dituangkan ke dalam mulut.
"Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu memasuki
perut Arya. Hawa hangat menjalari perut, kemudian merayap ke atas kepala.
Sekejap kemudian kedua kaki pemuda itu pun limbung. Kini Dewa Arak telah siap
dengan penggunaan ilmu 'Belalang Saktinya' nya!
Demit Salju pun tidak mau kalah. Tanpa ragu-ragu
segera dikerahkan 'Tenaga Inti Salju' andalannya. Bahkan senjata segitiganya pun
telah dikeluarkan.
Wunggg...! Sunggg...!
Suara mengaung dahsyat terdengar ketika Dedemit
salju memutarkan sepasang segi tiganya laksana baling-
baling. "Haaat..!"
Didahului teriakan nyaring yang membuat keadaan di
sekitar tempat itu bergetar hebat, Dedemit Salju melompat menyerang Dewa Arak.
Segi tiga di tangan kanannya
disodokkan cepat ke arah kepala. Sedangkan yang satu lagi diputarkan laksana
baling-baling. Arya tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu betul
kekuatan tenaga dalam yang terkandung pada serangan itu.
Dan itu bisa diketahui dari hembusan angin keras dan
menggigilkan yang mengawali tibanya serangan. Tampak pula asap berwarna putih
tebal yang keluar dari sekujur tubuh Dedemit Salju.
Arya segera melompat ke belakang. 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'nya dikeluarkan sampai ke puncaknya untuk
mematahkan sergapan hawa dingin yang membuat gigi-
giginya beradu. Dan dari sekujur tubuh Arya pun keluar asap berwarna putih.
Seiring munculnya asap itu, serangan hawa dingin yang melanda, lenyap.
Dedemit Salju tidak merasa heran kalau Dewa Arak
sanggup mengelakkan serangannya, dan juga tidak terpengaruh sergapan hawa dingin. Dia tahu, lawan yang dihadapinya kali ini amat
tangguh. Maka ketika serangan pertamanya gagal, segera dilancarkan serangan
selanjutnya. Sesaat kemudian, kedua tokoh sakti ini telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Memang hebat bukan kepalang pertarungan antara
Dewa Arak dan Dedemit Salju. Sekitar tempat itu bagai
dilanda angin topan! Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohonan besar
bertumbangan, tak tentu arah. Suara angin menderu, mengaung, dan mencekat,
diiringi tegukan dari arak
yang ditenggak Dewa Arak menyemaraki berlangsungnya pertarungan. Bukan hanya itu saja. Udara di sekitar tempat itu
pun terasa panas menyengat dan dingin menusuk tulang.
Baik Dewa Arak maupun Dedemit Salju sama-sama
mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi, pada Dewa Arak hal itu lebih terlihat.
Kedua tangan, guci, dan semburan araknya dikeluarkan dalam usaha untuk menggilas
habis perlawanan Dedemit Salju.
Jalannya pertarungan berlangsung cepat, karena
kedua belah pihak sama-sama memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sudah mencapai tingkatan amat tinggi. Dalam waktu tak berapa lama,
pertarungan sudah berlangsung
hampir seratus jurus. Dan selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda
yang akan terdesak. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Dedemit Salju merasa penasaran bukan kepalang
melihat kenyataan kalau dia sama sekali tidak mampu
mendesak Dewa Arak. Padahal, dia dedengkot kaum sesat.
Tapi, ternyata tidak mampu menghadapi seorang lawan yang masih begitu muda.
Kenyataan ini jelas amat memukul
dirinya. Berlainan dengan Dewa Arak, Dewa Arak diam-diam
merasa heran. Sungguh tidak disangka kalau mampu
menandingi Dedemit Salju tanpa terdesak. Semula, dia
mengharapkan bantuan dari belalang raksasa yang akan
dipanggilnya apabila terdesak hebat. Belalang raksasa itu memang sempat
terlupakan karena sibuk mencemaskan
keselamatan Melati. Sama sekali Arya tidak tahu kalau
kepandaian yang dimilikinya telah meningkat. Baik penguasaan ilmu 'Belalang Sakti', maupun kekuatan tenaga dalamnya.


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali tujuh puluh jurus telah berlalu, sehingga
tanpa terasa seluruhnya berjumlah seratus tujuh puluh
jurus. Dan selama itu, pertarungan masih berlangsung
seimbang. Karuan saja hal ini membuat Dedemit Salju merasa
cemas bukan kepalang. Dia tahu, bila sampai jurus kedua ratus belum bisa
mendesak Dewa Arak, kemungkinan besar dia akan roboh di tangan lawannya. Dia
telah tua usianya.
Betapapun saktinya, dia tetap seorang manusia yang akan tunduk pada aturan alam.
Semua anggota tubuhnya tidak
bisa lagi diandalkan dibandingkan dengan Arya yang masih berusia muda.
Kekhawatiran Dedemit Salju ternyata menjadi kenyataan. Sampai dua ratus jurus pertarungan ber-
langsung, Dewa Arak masih belum mampu didesak. Dan
menginjak jurus kedua ratus lima, Dedemit Salju mulai
merasa lelah. Napasnya memburu hebat.
Seiring timbulnya kelelahan yang semakin lama
semakin besar melandanya, serangan-serangan
yang dilancarkan Dedemit Salju mulai mengendur. Dia lebih
banyak mengelak. Menangkis pun jarang dilakukannya,
karena tenaganya yang semakin lama semakin menurun.
Dedemit Salju bergidik ketika menyadari kalau tenaga
dalam yang dimiliki Dewa Arak sama sekali tidak menurun.
Serangan-serangan pemuda berambut putih keperakan itu
masih sedahsyat semula. Bahkan gerakan-gerakannya pun
masih gesit! Tak nampak adanya tanda-tanda kalau Dewa
Arak merasa lelah akibat pertarungan itu. Dan Ini membuatnya heran bukan kepalang "Manusia atau bukan, Dewa Arak ini?" Dedemit
Salju sama sekali tidak mengetahui kalau arak yang diminum Dewa Arak, di dalam
penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', seolah-olah menjadi tenaga tambahan baginya.
Maka Apabila Dewa Arak merasa lelah, langsung akan pulih kembali.
Semakin lama keadaan Dedemit Salju semakin
terdesak hebat! Kini, dia hampir tidak melakukan serangan sama sekali, dan lebih
sering mengelak. Bahkan menangkis pun akan merugikan dirinya sendiri. Tenaga
yang sudah berkurang, membuatnya mengalami kerugian setiap kali
terjadi benturan. Tangan-tangannya tergetar hebat, tubuhnya pun terhuyung-huyung
ke belakang. Dedemit Salju sadar
kalau Dewa Arak tidak akan mungkin bisa dikalahkannya
lagi. Maka diputuskannya untuk mengajak pemuda itu mati bersama!
Setelah mengambil keputusan demikian, Dedemit
Salju merubah siasat bertarungnya. Dia tidak lagi mengelak seperti sebelumnya,
tapi melancarkan serangan secara
membabi buta seperti harimau luka!
Akibatnya memang langsung terlihat. Keadaan langsung berubah banyak. Tekanan-tekanan serangan yang semula terasa berat,
langsung lenyap karena Dewa Arak
menghentikan desakannya dan mengelakkan serangan membabi buta Dedemit Salju.
Beberapa gebrakan lamanya, Dewa Arak mengelak
dan menunggu saat yang baik untuk melancarkan serangan balasan. Hujan serangan
Dedemit Salju yang membabi buta dan
sama sekali tidak memperhatikan pertahanan, membuatnya dapat melihat bagian-bagian lowong di tubuh Dedemit Salju.
Pada jurus kedua ratus empat puluh sembilan, De-
demit Salju melancarkan serangan sepasang senjata segi tiganya secara bertubi-
tubi ke arah dada Dewa Arak. Dan inilah saat yang ditunggu tunggu Dewa Arak.
Serangan itu dielakkan dengan menotokkan kakinya. Sehingga, tubuhnya melayang ke
atas melewati kepala Dedemit Salju. Dan begitu berada di atas, kedua lakinya
dijejakkan ke arah kedua bahu lawan.
Krekkk, krekkk...!
Suara berderak keras tulang-belulang yang hancur
berantakan terdengar ketika kedua kaki Dewa Arak mendarat di sasaran. Kontan
pegangan Dedemit Salju pada sepasang senjata segi tiganya terlepas.
Bukan hanya itu saja yang dialami Dedemit Salju.
Kedua kakinya langsung terbenam ke dalam tanah sampai
lewat mata kaki! Dari sini saja sudah bisa diperkirakan betapa besar kekuatan
yang terkandung dalam jejakan kaki Dewa Arak.
Meskipun begitu, tidak terdengar adanya jeritan dari
mulut Dedemit Salju. Pantang bagi Dedemit Salju untuk
menjerit kesakitan. Tapi dari seringai yang tampak jelas di wajah dan butiran-
butiran keringat sebesar biji jagung, bisa diketahui besarnya rasa sakit yang
melanda. Tindakan Dewa Arak ternyata tidak hanya sampai di
situ saja. Begitu serangan pertamanya berhasil, tubuhnya berputar di udara
seraya menyampirkan gucinya kembali ke punggung. Lalu, kedua tangannya dalam
pemakaian ilmu 'Belalang Sakti', dihantamkan bertubi-tubi ke arah punggung Dedemit Salju.
Bukkk, bukkk, bukkk...!
"Aaakh...!"
Kali ini Dedemit Salju tidak kuasa lagi menahan
jeritan. Kedua kakinya yang terbenam di dalam tanah kontan terlepas, dan
tubuhnya pun terlontar deras ke depan. Darah segar langsung menyembur deras dari
mulutnya. Brukkk...! Setelah melayang-layang di udara sejauh beberapa
tombak, tubuh Dedemit Salju jatuh ke tanah. Sesaat
tubuhnya berkelojotan, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. "Hhh...!"
Arya menghela napas lega melihat lawan yang teramat
tangguh itu telah tewas. Pada saat yang bersamaan dengan lenyapnya helaan napas
itu, terdengar suara cicit burung yang menandakan kalau malam telah berganti
pagi. Tak lama lagi, sang surya akan muncul di ufuk Timur.
"Uhhh...!"
Suara keluhan pelan membuat Arya melesat cepat ke
arah tempat Melati diletakkan. Pemilik suara itu dikenalinya betul. Suara siapa
lagi kalau bukan suara Melati.
Bertepatan dengan beradanya Arya di dekat Melati,
gadis berpakaian putih itu tengah mengedip-ngedipkan
matanya. Melati tercenung sesaat, sebelum akhirnya bisa mengenali Arya.
"Kang..., Kang Arya.... Mengapa aku berada di sini" Di manakah ini" Apa yang
terjadi, Kang?" tanya putri angkat Raja Bojong Gading Itu sambil mengedarkan
pandangan berkeliling. "Tidak ada apa-apa, Melati," jawab Arya menutupi kenyataan sebenarnya. Dia
terpaksa berbohong, karena
Melati baru saja sembuh. Dewa Arak khawatir hati gadis itu akan terguncang
kembali kalau diceritakan hal sebenarnya.
"Maksudmu, Kang?" desak Melati penasaran
"Aku ingin menikmati hadirnya pagi di tengah hutan bersamamu, Melati," kata Arya
sambil tersenyum lebar.
Melati tersenyum.
"Aku lapar, Kang..," kali Ini Melati tidak malu-malu lagi mengatakannya.
"Ha ha ha...!" Arya tertawa. Apalagi, kalau disadari perutnya pun berkeruyuk
minta diisi. "Aku juga lapar Melati."
"Jadi...."
"Kita tunggu hari agak terang, Melati. Lalu kita cari makanan di dalam hutan
ini. Aku yakin banyak binatang di dalam hutan sebesar ini. Kau setuju?"
Melati menganggukkan kepala. Kini sepasang pendekar muda itu duduk menanti hadirnya sang Surya di ufuk Timur.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Tiga Maha Besar 4 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Sengkala Angin Darah 1
^