Pencarian

Algojo Algojo Bukit Larangan 3

Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Bagian 3


bisa diganggu gugat dalam ucapan Ki Tanjak Gara. Maka dia pun terdiam tidak
berkata-kata lagi. "Ada satu hal lagi yang perlu kau ingat, Rajung.
Wiratmaja sebenarnya sudah menyeleweng dari pesan yang diberikan guru."
"Menyeleweng?" Ki Rajung mengernyitkan alisnya.
"Ya. Guru hanya berpesan untuk menjaga Bukit
Larangan dan bangunan tempat tinggalnya. Tapi, Wiratmaja malah mendirikan
perguruan silat. Sungguhpun tidak besar.
Kita berdua tahu dia belum tentu menghuni bangunan itu untuk seterusnya, bila
kita memenangkan pertarungan?"
sambung Ki Tanjak Gara menjelaskan. "Lalu bagaimana nasib
perguruannya"
Padahal, dia telah memberikan perguruan itu dengan nama Bukit Larangan!"
"Kau benar, Gara," ucap Ki Rajung setelah menghela napas berat.
Bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu lalu
mengalihkan perhatiannya ke arah Randaka dan Gunawa.
"Sekarang kita harus ke sana!" kata Ki Tanjak Gara.
"Masalah ini harus diselesaikan secepatnya."
Usai berkata demikian, bekas Ketua Perguruan Tapak
Malaikat ini melangkah meninggalkan tempat itu.
"Kau boleh ikut kalau ingin, Dewa Arak," kata Ki Tanjak Gara sebelum
meninggalkan tempat itu.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Ki. Sayang kami punya urusan lain yang harus
diselesaikan," kilah Arya.
"Kalau begitu kami pergi dulu, Dewa Arak," pamit Ki Tanjak Gara, Ki Rajung,
Randaka, dan Gunawa pun
melakukan hal yang sama.
"Silakan, Ki," sambut Arya sambil menganggukkan kepala. Demikian pula Melati.
Sesaat kemudian, rombongan kecil itu berangkat
meninggalkan tempat itu, menuju Bukit Larangan.
Malam yang sudah larut sama sekali tidak meng-
halangi langkah mereka. Arya dan Melati memandangi
rombongan Ki Tanjak Gara hingga lenyap di kejauhan. Baru mereka melanjutkan
perjalanan. 7 Hari masih pagi. Kicauan burung terdengar riuh. Dan, rombongan yang dipimpin Ki
Tanjak Gara dan Ki Rajung, telah berada di lereng Bukit Larangan. Tanpa
mengalami kesulitan, keempat orang itu menotokkan kakinya ke sana kemari. Kini
mereka telah tiba di bagian bukit yang datar.
Mendadak Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara meng-
hentikan langkah, disusul Randaka dan Gunawa. Mereka berdua memandangi wajah
kedua kakek itu berganti-ganti.
Sinar-mata mereka memancarkan keheranan dan ketidakmengertian.
"Mengapa kita berhenti, Ki" Apakah kita telah tiba di tempat tujuan?" tanya
Randaka karena tak tahan menahan rasa keheranan.
Kepala murid utama Perguruan Tapak Malaikat itu
menoleh ke sana kemari dan memperhatikan keadaan
sekitarnya. Tapi, tidak tampak olehnya bangunan Perguruan Bukit Larangan. Yang
terlihat hanya pepohonan dan semak-semak di sana-sini.
Bukan hanya Randaka yang merasa heran. Hati
Gunawa pun diliputi rasa heran juga. Tetapi dia mampu menahan diri untuk tidak
menanyakan hal itu. Walaupun demikian, Gunawa ikut menolehkan kepala ke sana
kemari dan mengedarkan pandangan.
"Diamlah, Randaka. Ada beberapa orang yang tengah menuju kemari. Rupanya
kedatangan kira telah diketahui,"
tegur Ki Tanjak Gara pelan.
Randaka kontan terdiam. Ditelengkan kepalanya
untuk lebih menajamkan pendegarannya. Gunawa pun
berbuat yang sama. Tapi, mereka tidak mendengar sama sekali suara apa-apa. Dari
sini, mereka menebak kalau orang-orang yang datang memiliki ilmu meringankan
tubuh amat tinggi.
Tak lama kemudian, mereka baru mendengar suara
yang dimaksudkan Ki Tanjak Gara. Memang, ada beberapa pasang kaki yang tengah
menuju ke arah mereka. Mula-mula hanya terdengar samar-samar. Tapi semakin dekat
semakin jelas. Sekejap kemudian pemilik langkah-langkah itu, terlihat oleh
rombongan Ki Tanjak Gara.
"Siapa kalian" Mengapa datang kemari" Cepat pergi sebelum kami kehilangan
kesabaran dan membunuh kalian semua!" seru salah seorang dari delapan orang
laki-laki berpakaian hitam dan berikat kepala hitam bersulamkan gambar bukit
yang menjulang tinggi. Sikapnya terlihat memandang rendah rombongan Ki Tanjak
Gara. Wajah Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung langsung
memerah, karena mereka merasa tersinggung dengan ucapan orang yang berpakaian
hitam itu. Seumur hidup baru kali ini mereka diperlakukan seperti itu. Tak heran
bila kedua tokoh sakti itu menjadi marah. Apalagi kedua kakek itu, terutama
sekali Ki Tanjak Gara, tengah uring-uringan. Tak mengeherankan bila kemarahan mereka makin berkobar.
"Kami beri peringatan yang terakhir. Cepat kalian pergi
dari ani. Mumpung kami masih berbaik hati mengampuni kelancangan kalian. Karena kalian belum
melewati daerah larangan!" sambung murid Perguruan Bukit Larangan yang lain.
"Kalau kami tidak mau pergi kalian mau apa"!" sahut Kt Tanjak Gara menantang.
Suara bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu
terdengar bergetar karena pengaruh amarahnya. Tapi,
kemarahan Ki Tanjak Gara tidak sebesar kemarahan yang ada di hati Randaka dan
Gunawa. Kedua orang murid
Perguruan Tapak Malaikat ini, merasa tersinggung sekali melihat tindakan yang
tidak sopan terhadap kakek guru mereka. Andaikata mereka tidak takut dianggap
lancang oleh Ki Tanjak Gara, mungkin Randaka dan Gunawa sudah
melompat menerjang murid-murid Perguruan Bukit Larangan yang telah bersikap
terlalu kurang ajar.
"Tua Bangka tidak tahu diuntung! Kau mencari mati sendiri."
Usai berkata demikian, salah seorang murid Pergu-
ruan Bukit Larangan itu meluruk maju. Kedua tangannya yang telah terkepal
dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati Ki Tanjak Gara.
"Hmh...!"
Ki Tanjak Gara hanya mendengus. Dibiarkan serangan yang meluncur ke arahnya itu. Tentu saja ia terlebih dulu mengerahkan
tenaga dalamnya.
Bukkk, bukkk, bukkk...!
Ki Tanjak Gara membiarkan saja serangan yang
meluncur ke arahnya.
Bukkk, bukkk, bukkk...!
Bertubi-tubi pukulan murid Perguruan Bukit La-
rangan itu mengenal sasaran. Tapi bukan Ki Tanjak Gara yang kesakitan, melainkan
yang memukul! Bertubi-tubi pukulan murid Perguruan Bukit La-
rangan itu mengenai sasaran. Tapi bukan Ki Tanjak Gara yang merasa kesakitan.
Melainkan, mereka yang memukul itu yang menjerit kesakitan. Kedua kepalan
tangannya tampak bengkak-bengkak dan terasa sakit bukan main.
Mereka merasa seolah-olah bukan memukul tubuh manusia, tapi gumpalan baja yang
amat keras. Apa yang dialami oleh rekan mereka, membuat murid-
murid Perguruan Bukit Larangan lainnya terkejut bukan kepalang. Jelas mereka
melihat kalau pukulan rekannya mengenai dada Ki Tanjak Gara. Tapi, mengapa malah
rekannya berteriak-teriak kesakitan" Pikir mereka bingung.
Memang, murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu
sama sekali tidak mengenal Ki Tanjak Gara.
Sementara itu. Ki Tanjak Gara yang sudah murka,
tidak bertindak sampai di situ saja. Tangan kanannya segera ia kibaskan. Tampak
kibasannya dilakukan sembarangan, seperti tanpa pengerahan tenaga dalam. Tapi
hasilnya, murid-murid Perguruan Bukit Larangan yang masih sibuk dengan rasa
sakit itu merasakan hembusan angin yang
kencang. Sehingga tubuh mereka terlempar beberapa langkah ke belakang.
Murid-murid Perguruan Bukit Larangan mulai sadar.
Kakek tinggi besar itu bukan orang sembarangan. Maka, tanpa ragu-ragu lagi,
mereka segera menghunus senjata masing-masing. Sebuah golok besar yang tajam
berkilat. Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang tampak berkilat ketika golok-golok itu keluar dari sarungnya.
Bahkan murid Perguruan Bukit Larangan yang tadi terduduk di tanah telah pula
menghunus senjata.
"Serbu...!"
Murid Perguruan Bukit Larangan yang berkumis tebal
memberi aba-aba. Kontan delapan orang itu bergerak cepat ke arah Ki Tanjak Gara.
Begitu jarak mereka telah dekat, golok-golok yang berada dalam genggaman segera
dikibaskan ke arah Ki Tanjak Gara. Tak pelak lagi, hujan senjata pun meluncur
deras ke arah tubuh Ki Tanjak Gara.
Seperti sebelumnya, bekas Ketua Perguruan Tapak
Malaikat itu sama sekali tidak melakukan gerakan apa pun.
Dia sama sekali tidak berusaha mengelak atau menangkis.
Takkk, takkk. takkk...!
Delapan batang golok besar itu mendarat di sasaran
masing-masing. Terlihat tidak sedikit pun darah mengalir dari bagian yang
terbabat atau terbacok. Sedikit pun tubuhnya tidak tergores! Sebaliknya, tangan
murid-murid Perguruan Bukit Larangan itu terasa lumpuh. Dan, senjata yang mereka
cekal hampir terlepas dari pegangan, kalau mereka tidak segera mempererat
cengkeramannya.
Mengalami kejadian yang tidak disangka-sangka itu,
membuat delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu terperanjat. Sehingga,
untuk beberapa saat, mereka berdiri terpaku
dengan mata terbelalak. Sinar mata mereka
memancarkan ketidakpercayaan yang mendalam.
"Kini giliranku," pelan ucapan yang keluar dari mulut Ki Tanjak Gara. Begitu
gema ucapan itu lenyap, tubuh bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu bergerak
ke depan. Gerakannya cepat bukan main sehingga yang tampak hanya sekelebatan bayangan
coklat yang meluncur ke arah murid-murid Perguruan Bukit Larangan.
Delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan
gugup. Mereka tahu kalau lawan yang dihadapi amat sakti itu mulai melancarkan
serangan balasan. Begitu mendengar ucapan yang keluar dari mulutnya, seleret
bayangan coklat melesat ke arah mereka.
Sayang, gerakan Ki Tanjak Gara terlalu cepat bagi
pandangan mereka. Sehingga mereka tidak dapat melihat kalau mereka akan
diserang. Maka, sebisa-bisanya delapan orang itu membolang-balingkan golok di
depan dada untuk menjaga diri dari serangan yang akan tiba.
Namun, usaha mereka ternyata sia-sia. Karena
mendadak tangan mereka lumpuh dan senjata terlepas dari pegangan. Sama sekali
mereka tidak mengetahui kalau Ki Tanjak Gara telah menotok sikut mereka. Lalu
merampas golok yang mereka genggam.
Delapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu
hanya memandang dengan wajah pucat ke arah Ki Tanjak Gara, yang telah berada
kembali di tempat semula. Kedua tangannya
mengenggam senjata-senjata
yang mereka gunakan untuk menebas Ki Tanjak Gara.
Murid-murid Perguruan Bukit Larangan mulai sadar,
kalau Ki Tanjak Gara tak mungkin dapat mereka lawan.
Kepandaian kakek itu terlalu sakti.
Ki Tanjak Gara tentu saja mengetahui perasaan yang
berkecamuk di hati lawan. Tapi, dia tidak peduli karena telah memutuskan untuk
memberikan pelajaran pada orang-orang yang lancang menghinanya. Maka, dengan
raut wajah dingin, digerakkan jari-jari tangannya. Perlahan saja dan terlihat
seperti tanpa pengerahan tenaga dalam. Namun, akibatnya luar biasa sekali.
Krakkk, krakkk, krakkk...!
Golok besar itu berparahan. Seolah-olah yang dipatahkan kakek tinggi besar itu bukan batang-batang logam keras, melainkan
batang-batang lidi!
Karuan saja hal itu membuat pandangan mata de-
lapan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu semakin terbelalak lebar. Dan
saat itulah, tangan Ki Tanjak Gara kembali
bergerak. Kali ini, kedua tangan kakek itu
melemparkan potongan-potongan golok itu ke arah delapan orang lawannya.
Singgg, singgg, singgg...!
Cappp, cappp...!
"Akh, akh...!"
Jerit kesakitan terdengar dari mulut murid-murid
Perguruan Bukit Larangan itu. Karena potongan-potongan golok itu menancap pada
kedua paha mereka. Tak pelak lagi, tubuh delapan orang itu terguling roboh!
"Mari kita lanjutkan perjalanan!" ucap Ki Tanjak Gara sambil
menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah rombongan kecilnya.
Ki Rajung, Randaka, dan Gunawa yang sejak tadi
hanya menjadi penonton saja, segera bergerak meninggalkan tempat itu dan
mengikuti langkah Ki Tanjak Gara. Mereka tidak mempedulikan delapan orang murid


Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perguruan Bukit Larangan.
Ki Tanjak Gara sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menuju bangunan
Perguruan Bukit Larangan, karena dia dan Ki Rajung memang pernah tinggal di
sana. Tak berapa lama kemudian, bangunan itu pun telah terlihat oleh mereka.
"Rupanya kedatangan kita telah diketahui, Ki," kata Randaka ketika melihat
belasan sosok tubuh telah berdiri di depan bangunan Perguruan Bukit Larangan.
"Hm...!" Hanya gumaman pelan tak jelas yang keluar dari mulut Ki Tanjak Gara.
Memang, dia telah melihat belasan sosok tubuh itu.
Meskipun tahu kalau pihak tuan rumah telah siaga
menyambut mereka, Ki Tanjak Gara tetap melangkah dengan sikap tenang. Demikian
pula sikap yang ditunjukkan Ki Rajung. Tidak tampak tanda-tanda kalau mereka
siap menghadapi segala kemungkinan yang bakai terjadi.
Sementara itu, Randaka dan Gunawa sudah merasa
tegang. Bahkan tangan keduanya telah menyentuh hulu
pedang masing-masing. Siap untuk bertarung.
Apa yang dikhawatirkan kedua orang murid Per-
guruan Tapak Malaikat itu pun terjadi. Tiba-tiba telinga mereka mendengar
teriakan-teriakan dari puluhan sosok berpakaian hitam.
"Serbu...!"
Dan puluhan orang berseragam hitam itu meluruk ke
arah rombongan Ki Tanjak Gara dengan senjata di tangan yang terhunus. Sinar
matahari yang memancar ke persada, menimbulkan pantulan sinar yang menyilaukan
mata. Ketika cahaya itu jatuh tepat di batang-batang golok yang telanjang
digenggam tangan lawan.
Sratt, sratt...!
Randaka dan Gunawa segera mencabut senjata
masing-masing. Mereka tidak ingin mati konyol. Karena itu mereka siap dengan
senjata untuk menghadapi serangan yang mendadak ke arah mereka.
Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung mengernyitkan alisnya.
Kedua kakek sakti ini saling pandang. Raut wajah mereka memacarkan pertanyaan
besar. "Mengapa Wiratmaja tidak muncul sama sekali,
Gara?" tanya Ki Rajung yang tak kuat menahan rasa herannya. "Apakah dia ingin
mengadakan perang terbuka?"
Ki Tanjak Gara mengangkat bahu, pertanda ia tidak
tahu. "Kurasa kita harus memberitahukan kedatangan kita, Gara. Aku tidak ingin ada
korban. Padahal, aku belum yakin kalau dalang semua kekejian pada perguruanmu
dan tempat tinggalku adalah tindakan Wiratmaja...," ujar Ki Rajung lagi
"Kau benar, Rajung!" Ki Tanjak Gara terjingkat kaget.
"Hei! Kalian semua dengarkan! Aku Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung! Datang ke sini
untuk bertemu ketua kalian.
Harap panggil dia kemari! Katakan Rajung dan Tanjak Gara ingin berbicara
dengannya!"
Keras sekali ucapan yang keluar dari mulut Kl Tanjak Gara, karena dikeluarkan
dengan mengerahkan tenaga
dalam. Gema suaranya menggaung ke seluruh penjuru
tempat itu. Bahkan, terdengar sampai ke lereng bukit.
Tapi pemberitahuan Ki Tanjak Gara sama sekali tidak
berguna. Puluhan orang murid Perguruan Bukit Larangan itu, tidak mempedulikan
ucapannya. Mereka terus saja meluruk maju.
Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung saling pandang. Mereka
tahu kalau saat ini sikap lunak sama sekali tidak
bermanfaat. Maka, jalan satu-satunya melakukan tindak kekerasan. Dan, itu akan
dilakukan Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung.
Kini rombongan Ki Tanjak Gara memperhatikan
dengan waspada lawan-lawannya yang tengah meluruk ke arah mereka.
"Heiyaaa...! Apa yang akan kalian lakukan"!" sentak Ki Rajung ketika melihat
puluhan orang berseragam hitam itu an memecah, dan menjadi beberapa kelompok.
Tiap-tiap kelompok mempunyai anggota berseragam
hitam dalam jumlah yang tidak sama.
"Mereka membuat kelompok-kelompok penyerangan,"
desis Ki Tanjak Gara kaget seteiah beberapa saat memperhatikan mereka.
"Ah...!" desah Ki Rajung kaget
Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah mempunyai pengalaman tak terhitung, Ki Rajung tentu saja mengerti maksud ucapan
rekannya. Tapi, tidak demikian dengan Randaka dan Gunawa. Mereka sama sekali
tidak mengerti dan sama sekali tidak bertanya karena keadaan sudah tidak memungkinkan
lagi. Karena jarak lawan
terlampau dekat dengan mereka.
"Hiyaaa...!"
Dengan diawali teriakan-teriakan
nyaring dan membahana, puluhan murid Perguruan Bukit Larangan
mulai melancarkan serangan. Seperti sudah mereka sepakati bersama, kolompok-
kelompok itu menyerang rombongan Ki Tanjak Gara tanpa awut-awutan.
Kelompok yang beranggotakan lima orang menyerbu
Randaka dan Gunawa. Dan, kelompok yang terdiri delapan orang menyerang Ki
Rajung, dan kelompok yang beranggota dua belas orang menghadapi Ki Tanjak Gara.
Rombongan Ki Tanjak Gara tidak tinggal diam. Mereka
pun mengadakan perlawanan. Hanya Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung belum menggunakan
senjata. Randaka dan Gunawa baru mengerti maksud ucapan
kakek guru mereka. Lima orang yang menyerang mereka, melakukan penyerangan
secara teratur. Meskipun jumlah mereka kecil, tapi mereka saling bantu-membantu
dalam melakukan penyerangan, dan juga saling melindungi tatkala mendapat
serangan balasan. Maka, tak mengherankan
mereka dapat membuat Randaka dan Gunawa mati kutu.
Kendati kepandaian lima orang itu berada di bawah kedua orang murid kepala
Perguruan Tapak Malaikat itu.
Randaka dan Gunawa benar-benar kewalahan. Mereka berdua tidak mampu bekerja sama. Karena itu, tanpa kesulitan mereka
dikurung dan didesak lawan.
Setiap serangan yang dilancarkan Randaka dan
Gunawa selalu kandas, oleh dua orang lawan yang
melakukan tangkisan secara berbarengan. Sebaliknya bila murid-murid Perguruan
Bukit Larangan itu melancarkan serangan mereka senantiasa kelabakan. Tak sampai
sepuluh jurus, Randaka dan Gunawa terdesak hebat.
Sementara pertarungan lain di arena, murid-murid
Perguruan Bukil Larangan belum mampu mendesak lawan.
Padahal, kelompok ini memiliki kepandaian perorangan yang berada di atas anggota
yang mengeroyok Randaka dan
Gunawa. 8 Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung memang belum
sungguh-sungguh mengadakan perlawanan. Mereka tampak lebih memusatkan perhatian
pada inti gerakan lawan. Jadi, kedua orang itu hanya mengelak selama dalam
pertempuran. Semua itu berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkatan amat tinggi dan jauh berada di atas lawan.
"Akh...! Akh...!"
Dua lolong kesakitan yang saling susul menyusul
membuat Ki Tanjak Gara terkejut bukan kepalang. Secepat kilat ia menolehkan
kepala ke arah asal suara. Terlihat rasa cemas membayang di wajahnya
Kecemasan Ki Tanjak Gara sangat beralasan, karena
sepasang matanya menangkap tubuh Randaka dan Gunawa
terhuyung-huyung. Tampak darah segar mengalir dari perut dan pinggang mereka
yang terluka. Melihat dari banyaknya darah yang keluar, bisa diketahui kalau
luka mereka amat parah!
Ki Tanjak Gara menggeram. Dia murka bukan ke-
palang, ketika melihat tubuh Randaka dan Gunawa roboh ke tanah, dan tak bergerak
lagi. Tubuh bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat ini meluncur ke arah para
pengeroyok pewaris ilmunya.
Di dalam cekaman marah yang berkobar-kobar. Ki
Tanjak Gara menghunus pedang dan langsung melancarkan serangkaian serangan
bertubi-tubi ke arah lima orang pengeroyok Randaka dan Gunawa.
Dengan diiringi suara desingan nyaring yang me-
nyakitkan telinga, pedang Ki Tanjak Gara meluncur. Lima orang Itu segera
membentuk kedudukan. Tiga di antara mereka, secara bersama-sama, langsung
memapak serangan yang datang. Sedangkan dua orang lagi bersiap melancarkan
serangan susulan.
Tetapi kali ini mereka terkecoh! Begitu pedang dan
golok-golok itu berbenturan, tangan mereka seperti lumpuh dan senjata-senjata
yang digenggam terlepas dan berjatuhan di tanah.
Saat itulah kaki Ki Tanjak Gara bergerak cepat.
Melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah dada tiga orang musuhnya. Cepat bukan
main serangan itu Apalagi serangan itu datang secara tiba-tiba, sehingga ketiga
orang murid Perguruan Bukit Larangan itu tak mampu menghindari.
Dan.... Bukkk, bukkk, bukkk...!
Telak dan keras sekali tendangan Kl Tanjak Gara
mengenai sasaran. Tubuh ketiga orang itu langsung terjungkal jauh ke belakang. Suara berderak keras dari tulang-tulang yang hancur
berantakan terdengar manakala kaki Ki Tanjak Gara mengenal dada ketiga orang itu
Mengerikan sekali pemandangan yang terlihat. Darah
segar menyembur keluar dari mulut mereka, membasahi
tanah sepanjang tubuh ketiga orang murid Perguruan Bukit Larangan itu melayang.
Dan, nyawa mereka pun terbang seketika tanpa ada suara keluhan sedikit pun.
Ki Tanjak Gara benar-benar sudah tidak ingat apa-
apa lagi. Yang ada di benaknya, membalaskan kematian cucu muridnya. Dan, itulah
yang kini dilakukannya. Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, ia langsung
melesat ke arah dua orang lawannya yang masih tersisa.
Kedua orang murid rendahan, itu tak mampu ber-
tahan dari amukan Ki Tanjak Gara. Hanya sekali gebrak saja, nyawa mereka pun
melayang ke alam baka.
Ki Tanjak Gara benar-benar kesetanan. Delapan orang
yang tadi menyerangnya segera ia buru dan langsung
diterjangnya. Kini, ia tidak segan-segan lagi menjatuhkan tangan kejam pada
mereka. Berbeda dengan Ki Tanjak Gara, Ki Rajung masih
belum mau menjatuhkan tangan kejam. Walaupun demikian, tidak menyalahkan sikap
rekannya. Maka, ia membiarkan Ki Tanjak Gara bertarung menghadapi para
pengeroyoknya dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki.
Beberapa jurus pertama, delapan orang murid Per-
guruan Bukit Larangan itu memang agak menyulitkan Kl Tanjak Gara. Sehingga cukup
lama pertarungan berlangsung sengit
Menginjak jurus ke sebelas, Ki Tanjak Gara yang
sudah mempunyai pengalaman luas, mengetahui inti kerja sama lawan dan
kelemahannya. Hasilnya, dalam beberapa gebrakan saja, kerjasama delapan orang
itu menjadi porak-poranda. Satu demi satu mereka berguguran disertai jeritan
kematian menyayat. Andaikata tidak terkena pedang, tangan dan kaki Ki Tanjak
Gara pun telah mengirim nyawa mereka ke akhirat
Tak lama kemudian, delapan orang itu roboh
bergeletakan di tanah dalam keadaan hdak bernyawa.
Pada saat yang bersamaan dengan tewasnya lawan
terakhir Ki Tanjak Gara, Ki Rajung pun berhasil pula merobohkan
lawan-lawannya. Tanpa
mengambil nyawa seorang pun. "Tanjak Gara! Rajung! Kalian benar-benar biadab...!"
Terdengar bentakan keras. Belum lagi gema suara itu
lenyap, di hadapan Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung telah berdiri seorang kakek
berwajah hitam. Pakaian dan ikat kepala yang dipakai sama dengan warna kulit
wajahnya. "Kau yang biadab, Wiratmaja!" sembur Ki Tanjak Gara tak kalah keras.
"Kalian telah melakukan dua macam kesalahan yang tidak bisa diampuni! Dan
hukuman yang tepat untuk kalian adalah mati!" tandas Wiratmaja. "Pertama, kalian
telah berani memasuki wilayah ini. Bahkan membawa orang luar!
Padahal, kalian sudah tahu larangan itu. Kedua, kalian telah membantai murid-
muridku! Bersiaplah, Tanjak Gara! Rajung!
Atas nama guru, aku akan menghukum kalian!"
"Kau kira aku takut padamu, Wiratmaja"!" sambut Ki Tanjak Gara lantang. Dan....
"Haaat...!"
Ki Tanjak Gara meloncat dan menerjang Wiratmaja.
Tanpa ragu-ragu, ia segera mengerahkan ilmu 'Tapak
Malaikat' yang menjadi andalan pada penyerangan pertama.
Ki Tanjak Gara membuka serangan dengan gedoran
kedua telapak tangannya. Angin menderu keras, pertanda kedahsyatan serangan yang
dilancarkan. Namun Wiratmaja bersikap tenang. Meskipun begitu
tidak berarti dia memandang rendah. Kendari terlihat belum siaga, tapi
sebetulnya sekujur urat-urat syaraf dan otot-ototnya telah menegang. Dan, ketika
serangan menyambar ke arahnya, dia segera menggerakkan tangan dan menyambut
serangan lawan. Tampak kedudukan jari-jari kedua tangannya mirip dengan posisi lawan.
Prattt...! Kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke belakang
ketika tangan-tangan mereka saling berbenturan. Hanya Wiratmaja yang terhuyung
dua langkah ke belakang.
Sedangkan Ki Tanjak Gara terhuyung empat langkah ke
belakang. Itu pun masih ditambah dengan seringai yang tampak di mulutnya. Jelas,
ia merasa kesakitan akibat benturan itu.
Tapi Ki Tanjak Gara sama sekali tidak peduli. Begitu kedudukannya berhasil
diperbaiki, ia kembali melancarkan serangan susulan. Wiratmaja menyambut


Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan itu dengan tak kalah semangat. Sehingga pertarungan antara dua orang saudara
seperguruan itu pun berlangsung sengit Ki Rajung hanya mengawasi jalannya
pertarungan dengan hati tidak karuan. Dia belum yakin kalau Wiratmaja yang menjadi dalang
dalam pembantaian terhadap murid-muridnya dan murid Perguruan Tapak Malaikat.
Ingin dia mencegah pertarungan itu, dan menyuruh kedua orang itu menyelesaikan
secara baik-baik. Tapi, dia tahu hal itu tidak akan mungkin terjadi. Wiratmaja
dan Ki Tanjak Gara sama-sama memiliki watak keras, dan tak akan mungkin mereka
mau menghentikan pertarungan.
Itulah sebabnya Ki Rajung sama sekali tidak bisa
berbuat apa pun, kecuali menyaksikan jalannya pertarungan dengan hati cemas.
Sementara itu, pertarungan antara Ki Tanjak Gara
dan Wiratmaja berlangsung sengit. Karena kedua belah pihak sama-sama memiliki
ilmu meringankan tubuh yang amat
tinggi, sehingga pertarungan berlangsung sangat cepat. Tak terasa pertarungan
sudah memasuki jurus ke sembilan
puluh. Begitu pertarungan memasuki jurus ke sembilan puluh satu Ki Tanjak Gara
mulai terdesak hebat.
Memang, Wiratmaja jauh lebih unggul daripada Ki
Tanjak Gara, baik tenaga maupun kelincahan. Sebenarnya, sejak memasuki jurus
keenam puluh, bekas Ketua Perguruan Tapak Malaikat itu sudah terdesak. Hanya
saja, belum terdesak hebat seperti saat ini.
Bukkk...! "Akh...!"
Ki Tanjak Gara memekik tertahan disertai semburan
darah dari mulutnya ketika pukulan Wiratmaja menghantam telak dadanya. Kontan
tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Tapi Ki Tanjak
Gara pantang menyerah. Dengan menggertakkan gigi dia mencoba untuk bangkit.
Namun.... "Huakkkh...!"
Ki Tanjak Gara memuntahkan darah segar dari
mulutnya, pertanda ia mengalami luka dalam.
"Gara...!" teriak Ki Rajung kaget
Buru-buru kakek berwajah tirus ini melesat men-
dekat. Kemudian berdiri membelakangi tubuh Ki Tanjak Gara. Dia berdiri di
tengah-tengah antara Wiratmaja dan kakek tinggi besar itu. Hal itu terpaksa
dilakukan Ki Rajung ketika melihat Wiratmaja akan melakukan pukulan terakhir
untuk Ki Tanjak Gara.
"Rupanya kau tidak sabar untuk menunggu gi-
liranmu, Rajung!" dengus Wiratmaja.
Ki Rajung sama sekali tidak menyahuti ucapan
Wiratmaja. Dia tahu tidak ada gunanya bersilat lidah.
Wiratmaja sudah tidak bisa dicegah lagi. Pertarungan antara mereka berdua pun
tak dapat dielakkan. Maka, ia pun
menyiapkan ilmu 'Tinju Halilintar' andalannya.
Rupanya Wiratmaja tidak sabar lagi. Dengan disertai
teriakan menggeledek, dia melompat dan menerjang Ki
Rajung. Sekali menyerang, kakek berwajah hitam ini telah melancarkan pukulan
bertubi-tubi ke arah dada dengan tendangan kaki kanannya.
Ki Rajung segera melompat jauh ke belakang dan
bersalto, sehingga serangan lawan mengenai daerah kosong.
Dia sengaja melakukan hal itu, agar Ki Tanjak Gara selamat dari bahaya serangan
lawan. Dan seperti sudah diduganya, Wiratmaja akan
melanjutkan serangan kedua, maka Ki Rajung pun bersiap.
Tak pelak lagi pertarungan pun kembali berlangsung sengit.
Pertarungan kali ini tampak lebih seru dan meriah.
Karena suara meledak-ledak seperti ada petir sungguhan terdengar
setiap kali Ki Rajung mengepalkan kedua tangannya. Seperti juga pertarungan antara Ki Tanjak Gara
dengan Wiratmaja. Pertarungan yang berlangsung ini pun, seru bukan kepalang.
Kedua belah pihak sama-sama
memiliki kepandaian tinggi. Setiap serangan yang mereka lancarkan menimbulkan
suara deru angin yang keras
sehingga membuat suasana di sekitar tempat itu menjadi riuh.
Sama halnya dengan Ki Tanjak Gara, Ki Rajung pun
mau tidak mau harus mengakui keunggulan Wiratmaja.
Kakek berwajah hitam itu memiliki kelebihan dalam segala hal. Kalau saja
Wiratmaja tidak habis bertempur dengan Ki Tanjak Gara yang telah menguras
sebagian kemampuannya, mungkin Ki Rajung sudah bisa dirobohkan.
Karena keadaan Wiratmaja yang sudah lelah, maka
ketika pertarungan telah memasuki jurus yang ke seratus, Ki Rajung belum dapat
dikalahkan. Kendati keadaan kakek berwajah tirus itu telah terdesak
"Haaat..!"
Pada jurus ke seratus tiga, Wiratmaja memekik keras
sambil melancarkan serangan.
"Hiyaaat..!" Ki Rajung mengeluarkan teriakan pula sambil melancarkan serangan.
Bukkk, bukkk...!
Hantaman Wiratmaja dan pukulan Ki Rajung sama-
sama mendarat di dada kanan masing-masing pihak.
Akibatnya kedua tubuh tokoh sakti itu sama-sama terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah.
Darah segar muncrat dari mulut mereka masing-masing.
Wiratmaja dan Ki Rajung sama sekali tidak berusaha
bangkit. Keduanya sadar kalau mereka menderita luka
dalam. Yang dapat mereka lakukan hanyalah saling pandang dengan sorot mata penuh
penasaran. *** "Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa yang riuh dan keras memba-
hana, pertanda suara itu didukung oleh pengerahan tenaga dalam.
Ki Tanjak Gara, Ki Rajung, dan Wiratmaja sama-sama
menolehkan kepala ke arah asal suara. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi mereka
tahu kalau pemilik suara itu, orang-orang yang berkepandaian tinggi. Lagi pula
jumlah mereka tidak seorang. Karena itu tiga nada suara tawa terdengar berbeda.
Tampak oleh mereka tiga sosok tubuh berdiri dengan
senyum mengejek. Pakaian dan ikat kepala yang mereka kenakah adalah seragam
Perguruan Bukit Larangan.
"Sss... siapa kalian?" tanya Wiratmaja kaget. Suaranya terdengar mendesis.
Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara saling pandang, dalam
jarak berjauhan. Ciri-ciri yang terdapat pada ketiga orang yang mengenakan
seragam Perguruan Bukit Larangan itu persis dengan yang diberitahukan oleh
Kandaka dan Gunawa sebagai Algojo-Algojo Bukit Larangan.
Tapi yang membuat heran kedua kakek sakti itu
ketika mengetahui Wiratmaja tidak mengenal sama sekali ketiga orang itu.
Padahal, jelas-jelas kalau ketiga orang itu mengenakan seragam Perguruan Bukit
Larangan. Dan, dugaan jelek pun berkelebat di hati Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung.
"Kau tidak mengenal mereka, Wiratmaja?" tanya Ki Rajung bernada khawatir.
"Apakah mereka bukan orang perguruanmu?"
Wiratmaja menggelengkan kepala.
"Aku sama sekali tidak mengenalnya. Mereka bukan orang Perguruan Bukit Larangan.
Tapi mengapa mengenakan seragam perguruanku?"
Wajah Ki Rajung kontan pucat pasi. Terutama sekali
wajah Ki Tanjak Gara. Segumpal perasaan bersalah bersarang di dalam hatinya.
"Kalau itu yang kutanyakan bisa kujawab sekarang, Wiratmaja. mereka mengenakan
seragam Perguruan Bukit Larangan untuk mengadu domba kita," ujar Ki Rajung
seraya menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada perguruan milik Ki Tanjak
Gara dan rumah kediamannya.
Wiratmaja mendengarkan semua cerita Ki Rajung
dengan penuh perhatian. Sama sekali tidak diselaknya hingga kekek berwajah tirus
itu menyelesaikan cerita. Dan, selama Ki Rajung bercerita, wajah Wiratmaja
berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah.
"Terkutuk...!" maki Ketua Perguruan Bukit Larangan dengan suara keras.
"Ha ha ha...!"
Tiga sosok tubuh yang tidak lain adalah Gurida,
Sanca Kala, dan P?rgola tertawa tergelak mendengar cerita Ki Rajung.
"Kau cerdas juga, Rajung!" puji Gurida dengan suara keras dan mengguntur. "Tapi,
sayang sekali kesadaranmu terlambat. Sehingga tidak ada gunanya lagi! Karena
kalian semua akan kami bunuh!"
"Keparat! Mengapa kau berlaku sekeji itu! Bukankah kami sama sekali tidak
mempunyai urusan denganmu!"
tandas Ki Rajung penasaran.
"Siapa bilang"! Kalian dan aku tidak mempunyai
urusan!" sergah Sanca Kala dengan suara khasnya yang melengking nyaring seperti
ringkikan kuda. "Kami dan kalian bertiga punya urusan. Malah sebuah urusan yang
sangat besar!"
"Ya! Itulah sebabnya kami bertekad untuk mele-
nyapkan kalian!" sambung P?rgola.
Wiratmaja, Ki Tanjak Gara, dan Ki Rajung saling
pandang Sepasang mata mereka sama-sama memancarkan
ketidakmengertian.
"Kami ingin tinggal di tempat ini. Tempat yang
menjadi hak kami!" ujar Sanca Kala keras.
"Tutup mulutmu, Keparat! Tempat ini adalah milik kami bertiga! Warisan dari guru
kami!" sergah Wiratmaja gusar mendengar ucapan Sanca Kala.
"Apakah guru kalian memberikannya?" tanya Pergola bernada mengejek.
Merah wajah Wiratmaja.
"Memang tidak. Tapi..., dia menyuruh kami men-
jaganya...," Jawab Ketua Perguruan Bukit Larangan terbata-bata.
"Nah! Hanya menjaganya! Sedangkan kami malah
diwarisi! Orang yang berhak atas tempat ini, yang telah mewariskan kepada kami!"
tegas Sanca Kala penuh rasa menang.
"Bohong! Guru kami tidak memiliki murid sama
sekali, kecuali kami bertiga!" sergah Ki Tanjak Gara.
"Siapa yang bilang kami murid gurumu! Kami me-
mang bukan murid gurumu! Kami murid putra gurumu. Dan putra gurumu itulah yang
telah mewariskan tempat ini pada kami!"
Ki Tanjak Gara, Wiratmaja,dan Ki Rajung saling
pandang penuh rasa bingung. Guru mereka punya anak"
Mengapa mereka sama sekali tidak mengetahuinya"
Bukankah mereka telah menjadi murid sejak berusia delapan tahun" Tapi, mengapa
mereka tidak mengetahuinya"
"Percuma saja kau mengobral bualanmu itu. Keparat!
Kami tidak akan percaya!" tandas Wiratmaja keras. "Kalau beliau mempunyai anak,
pasti kami akan mengetahuinya.
Dan, guru kami pun pasti akan memperkenalkan anaknya."
Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara menganggukkan
kepala, membenarkan bantahan Ketua Penjuruan Bukit
Larangan itu. "Kalian tidak akan mengenalnya, karena guru kalian sama sekali tidak mau
memperkenalkannya!" tan das Gurida keras.
"Mustahil!" sergah Ki Tanjak Gara keras. "Tidak mungkin beliau bersikap
demikian!"
"Mengapa tidak"!" kali ini Pergola yang menyahuti.
"Anaknya itu cacat tubuh dan pikiran! Sebelah kakinya dan sebelah tangannya
lebih kecil dari yang lainnya. Itulah sebabnya dia tidak memperkenalkan kepada
kalian. Dia merasa malu sebagai seorang tokoh sakti mempunyai
keturunan seperti itu! Dan, karena takut kesaktiannya akan punah,
dia memungut kalian bertiga sebagai
murid! Sementara anaknya sendiri disembunyikan! Dan kalian tahu di mana ia sembunyikan"
Di tempat yang tidak boleh kalian kunjungi. Ruang semadi guru kalian!"
"Bohong!" bantah Wiratmaja keras.
Sanca Kala tersenyum mengejek.
"Rupanya bukan hanya kepalamu saja yang hitam,
Wiratmaja. Tapi otakmu pun keruh sehingga tidak bisa berpikir! Apakah kalian
tidak menemui kejanggalan pada sikap guru kalian, sejak dulu"!"
Ucapan itu membuat Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki
Tanjak Gara saling pandang. Memang, dulu mereka sering melihat keanehan pada
sikap guru mereka. Wajah sang guru selalu murung, dan sering terlihat merenung
seperti ada beban berat yang dipikirkannya. Dan, lebih aneh, beberapa kali guru
mereka terlihat membawa banyak sekali buah-buahan dan daging binatang-binatang
hutan ke dalam ruang semadi.
Bekal makanan yang dibawa guru mereka rasanya tak
akan habis sampai sebulan. Tapi, anehnya belum sampai tiga hari kakek itu sudah
keluar dari ruang semadi
Tak jarang guru mereka membawa pakaian-pakaian
ke dalam ruang semadi. Dulu mereka tidak pernah berhasil menjawabnya.
Apalagi mereka tidak pernah berani menanyakannya. Kini teka-teki yang ada dalam pikiran mereka selama ini mulai
terjawab! "Karena anaknya itulah, dia melarang seorang pun menginjakkan kakinya ke tempat
ini! Dan aku yakin, itulah yang diperintahkannya pada kalian semua! Apakah
kalian mengetahui mengapa perintah itu dikeluarkan"!" sambung Sanca Kala lagi
yang bertindak selaku juru bicara.
Tanpa sadar Ki Tanjak Gara, Wiratmaja, dan Ki
Rajung menggelengkan kepala.
"Karena dia takut orang-orang akan melihat anaknya.
Seorang anak yang serba kurang. Cacat tubuh dan juga cacat pikiran! Dan, kami
adalah pengasuh-pengasuh anak itu!" sela Gurida.
"Kalau kalian menginginkan tempat ini, aku tidak keberatan," ucap Wiratmaja
bernada keluh. Dia percaya semua cerita yang didengarnya itu benar. "Tapi
mengapa harus mengadu domba kami!"
"Itulah pesan terakhir majikan muda kami sebelum meninggal.


Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia merasa iri karena ayahnya, tidak mempedulikan dirinya. Sebaliknya kalian, orang-orang luar dibimbingnya!"
"Jadi majikan kalian itu sudah meninggal dunia?"
tanya Ki Rajung setelah terpekik. Ada rasa kasihan
menyelinap di hati lelaki berwajah tirus itu, ketika mengingat nasib yang
diterima putra gurunya.
"Ya!"
Sanca Kala menganggukkan kepala. "Dia
meninggal karena sakit. Mungkin cacat tubuh dan pikiran itu yang menyebabkan ia
meninggal secara mengenaskan. Dan, hanya kami bertiga yang menemaninya."
"Lalu..., ayahnya ke mana?" tanya Ki Tanjak Gara terharu.
"Guru kalian tidak mengetahui. Karena majikan kami menemukan sebuah ruang
rahasia yang tidak diketahui
ayahnya. Di situlah majikan kami tinggal," jelas Sanca Kala.
Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki Tanjak Gara saling
pandang dengan hati terharu. Sungguh menyedihkan sekali nasib putra guru mereka.
Sekarang mereka tahu, kenapa guru mereka pergi tanpa sebab. Rupanya ia telah
kehilangan putranya.
"Apakah..., kalian pun disembunyikan oleh guru kami ke ruang semadi itu?" tanya
Ki Tanjak Gara.
Sanca Kala menggelengkan kepala.
"Guru kalian sama sekali tidak mengenal kami. Karena kami adalah pemburu yang
diselamatkan oleh majikan kami, sewaktu hampir menjadi santapan harimau. Sebagai
balas budi kami ikut tinggal bersamannya. Menemani
majikan kami sampai beliau meninggal."
"Bukankah menurut cerita kalian, putra guru kami cacat pikiran" Tapi mengapa
bisa menyelamatkan kalian?"
tanya Ki Rajung heran.
"Cacat pikiran
yang dideritanya hanya muncul
kadang-kadang saja, kalau tengah kumat dia menjerit-jerit keras sambil memegangi
kepala. Selain itu, sikapnya sangat baik terhadap kami."
"Kalian mengaku pemburu-pemburu, tapi mengapa
memiliki kepandaian setinggi ini" Dan menurut cerita muridku yang kalian bunuh,
kalian menguasai ilmu aliran perguruan kami!" tanya Ki Tanjak Gara penasaran.
"Kami mempelajari kepandaian itu dari kitab-kitab yang ada di tempat pengasingan
majikan kami. Rupanya, meskipun
kecewa, guru kalian masih berbaik hati memberikan kitab-kitab ilmu silat untuk dipelajari oleh putranya, di samping
diturunkannya sedikit ilmu silat pada majikan muda kami. Dengan ilmu itulah dia menyelamatkan nyawa
kami dari ancaman maut harimau!"
"Mengapa aku atau murid-muridku sama sekali tidak melihat putra guru kami"
Padahal untuk memasuki ruang semadi kalian harus melalui tempat yang dijaga
ketat," Wiratmaja mengajukan rasa herannya.
Sanca Kala terkekeh.
"Ruang rahasia yang ditemukan majikan kami,
ternyata berhubungan dengan sebuah gua di bukit itu. Dan, dari situlah kami
keluar masuk!"
Wiratmaja, Ki Rajung, dan Ki Tanjak Gara terdiam
"Sudahlah, Sanca Kala! Kurasa sudah tiba saatnya bagi kita untuk mengirim nyawa
mereka semua ke alam
baka!" sela Gurida yang sudah merasa tidak sabar lagi.
Pergola menganggukkan kepala membenarkan ucapan rekannya. Mau tidak mau Sanca Kala pun menghentikan
keterangannya. "Sekarang terimalah kematian kalian...!"
Setelah berkata demikian, Pergola, Sanca Kala, dan
Gurida melangkah menghampiri tubuh tiga tokoh sakti yang tergolek tak berdaya.
Nasib tiga orang sakti yang sama-sama berasal dari satu perguruan itu sudah bisa
dipastikan! Di saat gawat itu, melesat dua sosok bayangan ke
arah tiga Algojo Bukit Larangan itu: Yang satu berwarna ungu, sedangkan yang
satu lagi berwarna putih. Kedua sosok itu langsung melancarkan serangan ke arah
tiga orang berpakaian hitam itu.
Pergola, Sanca Kala, dan Gurida tentu saja tidak mau mati konyol. Buru-buru
mereka melempar tubuh ke samping dan bergulingan menjauh. Serangan dua sosok
bayangan itu pun mengenai tempat kosong.
Sosok bayangan ungu dan putih itu sama sekali tidak
mengejar mereka. Melainkan mendaratkan kaW di tanah, dan berdiri membelakangi
tubuh tiga orang kakek sakti.
"Dewa Arak..!" seru Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara berbareng.
Memang, dua sosok bayangan itu tidak lain adalah
Arya Buana dan Melati. Rupanya mereka memutuskan untuk menuju ke Bukit Larangan.
Barangkali saja ada yang dapat mereka lakukan. Paling tidak, mereka ingin
mencegah terjadinya pertumpahan darah antara saudara seperguruan.
Sungguh sama sekali tidak disangka kalau mereka tiba pada saat yang tepat.
Arya membalikkan tubuh dan melemparkan seulas
senyum pada Ki Tanjak Gara dan Ki Rajung. Sedangkan
Wiratmaja hanya memandang dengan sepasang mata terbelalak. Dewa Arak! Sama sekali tidak menduga kalau dirinya akan bertemu
dengan tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu. Anehnya, mengapa Dewa Arak
seperti telah mengenal Ki Rajung dan Ki Tanjak Gara.
Karena tahu kebingungan yang melanda hati Wiratmaja, Ki Rajung menceritakan pertemuan mereka
dengan Dewa Arak. Dan kakek berwajah hitam itu pun, mulai mengerti mengapa Dewa
Arak dapat mengenal dua orang
saudara seperguruannya.
Sedangkan Dewa Arak dan Melati sudah tidak bisa
memperhatikan tiga orang kakek sakti itu lagi, karena tiga orang lawannya telah
menerjangnya. P?rgola, Sanca Kala, dan Gurida sangat murka karena tindakan
mereka dihalangi.
Dalam kemarahannya, ketiga orang berpakaian serba
hitam itu langsung menyerang berbareng, tanpa ragu-ragu.
Gurida dan Sanca Kala menyerbu Dewa Arak, sedangkan
P?rgola meluruk ke arah Melati.
Tiga lelaki yang mengaku sebagai Algojo Bukit La-
rangan itu, langsung mengeluarkan ilmu andalan mereka masing-masing. Dewa Arak
dan Melati pun tidak ingin
bersikap sungkan-sungkan. Mereka segera mengeluarkan ilmu andalannya.
Gluk.... Gluk.... Gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika Dewa Arak menuangkan guci araknya ke mulut. Suara itu terdengar saat cairan memabukkan itu
melewati tenggorokan Dewa Arak.
Sesaat kemudian hawa hangat menjalari perut pemuda
berambut putih kerperakan itu. Lalu, merayap ke kepala, dan membuat kedua kaki
Dewa Arak tidak tetap lagi berdiri di tanah. Ini menjadi pertanda, dia telah
siap menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Pada saat itulah, serangan Gurida dan Sanca Kala
meluncur. Gurida menggulingkan tubuh ke depan dan
menghampiri Dewa Arak. Begitu jarak mereka mendekat, kaki kanannya segera
bergerak menyapu.
Sedangkan Sanca Kala melompat ke udara, dan
bersalto. Dan dari atas, ia mengibaskan golok ke arah batang leher Dewa Arak.
Menghadapi serangan beruntun seperti itu, Dewa
Arak tidak gugup. Dia segera melompat ke belakang, sehingga sapuan
Gurida mengenai tempat kosong. Pada saat bersamaan, gucinya diangkat ke atas kepala untuk menangkis serangan golok Sanca Kala. Dan....
Klanggg...! Benturan keras tedengar memekakkan teiinga Beberapa tetes arak memercik dari mulut guci saking
kuatnya benturan itu terjadi Dewa Arak yang berada dalam kedudukan kurang
menguntungkan, tubuhnya terhuyung ke belakang.
Hal serupa menimpa Sanca Kala. Tubuhnya terlontar
kembali ke belakang. Bahkan, tangannya yang menggenggam guci terasa hampir
lumpuh. Hal itu pertanda kalau tenaga Dewa Arak berada di atas lawan.
Meskipun demikian. Sanca Kala langsung melan-
carkan serangan lanjutan. Seperti juga Gurida, laki-laki berkepala botak itu
telah melancarkan serangan lebih dulu.
Sesaat kemudian, Dewa Arak harus menghadapi
pengeroyokan Sanca Kala dan Gurida yang memiliki kerja sama luar biasa. Mereka
mampu saling dukung dalam
serangan dan saling melindungi ketika diserang. Pertarungan pun berlangsung
menarik dan sengit.
Sementara itu, arena pertarungan lain, tampak Melati tengah
terlibat pertarungan sengit, pula. Meskipun pertarungan mereka tidak sesengit pertarungan antara Dewa Arak dan kedua orang
lawannya. Dalam penggunaan ilmu 'Cakar Naga Merah'nya,
Melati berusaha keras mendesak lawannya. Sepasang
tangannya yang berbentuk cakar, dan kakinya yang sesekali melancarkan serangan
tak terduga-duga, memaksa Pergola berjuang keras agar tidak bisa ditaklukkan
lawan. Ki Tanjak Gara, Ki Rajung, dan Wiratmaja me-
nyaksikan jalannya pertarungan dengan penuh minat.
Sepasang mata mereka berganti-ganti mengawasi per-
tarungan. Kadang melihat ke arah pertarungan Dewa Arak, dan terkadang
menyaksikan pula pertarungan Melati. Tapi mata mereka lebih terpaku pada
pertarungan Dewa Arak.
Memang, pertarungan yang terjadi antara Dewa Arak
dan dua orang lawannya benar-benar luar biasa menarik.
Dan seru! Kerja sama yang rapi dari lawannya, membuat pertarungan berjalan alot.
Dewa Arak harus mengerahkan seluruh kemampuannya kalau tidak mau digilas lawan.
Kerja sama antara Gurida dan Sanca Kala benar-
benar luar biasa. Mereka mampu saling melindungi jika mengalami desakan.
Sebaliknya dalam penyerangan, mereka bisa saling memperkuat. Di dalam pandangan
mata mereka berdua. Tapi dalam kenyataan mereka seperti dikendalikan oleh satu
pikiran. Mereka bekerja sama demikian kompak!
Diam-diam tiga orang kakek sakti, yang tengah
tergolek tak berdaya harus mengakui, kalau diri mereka tidak akan mampu
menghadapi pengeroyokan Gurida dan Sanca
Kala. Dewa Arak dipaksa bekerja keras untuk menghadapi
kedua musuhnya. Kedua tangan, guci, dan semburan
araknya merupakan satu kesatuan yang saling tunjang-
menunjang untuk menahan setiap serangan lawan. Sebaliknya, dapat pula menggilas habis setiap pertahanan lawan.
Karena tokoh-tokoh yang bertarung memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tinggi, maka pertarungan pun
berlangsung cepat. Tak terasa pertarungan mereka sudah hampir mencapai seratus
jurus. Tapi, serama itu belum nampak tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Pertarungan mereka tetap berlangsung imbang.
Menginjak jurus ke seratus, di benak Dewa Arak
timbul sebuah dugaan. Selama lawannya masih bersama-
sama akan sulit untuk dirobohkan. Satu-satunya jalan harus memisahkan mereka
berdua. Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak
memutar otak. Siapa di antara kedua orang itu yang harus dirobohkannya" Setelah
menimbang-nimbang, ia memilih Sanca Kala. Posisi Sanca Kala, lebih mudah untuk
didesak daripada posisi Gurida yang selalu berada di bawah.
Segera Dewa Arak mempraktekkan keputusannya,
ketika Gurida melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah perut dan dada dari
arah bawah. Dan, Sanca Kala
menusukkan goloknya dari atas ke arah dada lawan.
Dewa Arak langsung menotolkan kakinya, sehingga
tubuhnya melenting
ke atas. Arahnya menyerong
ke

Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang, sehingga kedua serangan lawan mengenai tempat kosong.
Di saat itulah, dengan keistimewaan ilmu 'Belalang
Sakti', tubuhnya berputar beberapa kali di udara, dan gucinya diayunkan ke arah
kepala Sanca Kala. Kontan lawan menjadi terkejut dengan serangan yang tidak
diduganya sama sekali.
Dengan agak gugup, dipapaknya serangan guci itu
dengan goloknya.
Klanggg...! Saat itulah Dewa Arak menghentakkan tangan
kirinya, melancarkan serangan dengan jurus 'Pukulan
Belalang'. Wusss...! Deru angin keras berhawa panas menyengat meluruk
ke arah Sanca Kala. Dia terperanjat dan berusaha semampu mungkin mengelak. Tapi,
kedudukan tubuhnya yang tengah berada di udara, menyulitkannya. Maka....
Bresss...! Tubuh Sanca Kala kontan melayang ke belakang
disertai jerit kesakitan. Dia tewas seketika sebelum tubuhnya jatuh berdebuk di
tanah dengan tubuh menghitam dan
hangus! Bau sangit daging yang terbakar pun tercium.
Gurida meraung keras melihat kematian rekannya.
Segera ia menggulingkan tubuh dan memburu Dewa Arak
yang akan mendarat. Begitu kedua kaki Dewa Arak hinggap di tanah, kaki Gurida
meluncur ke arah pusar lawan.
Tapi Dewa Arak sudah memperhitungkan hal itu la
segera menggerakkan tangan kirinya.
Tappp...! Kaki Gurida tercekal tangan Dewa Arak. Lalu, diputar beberapa saat lamanya.
Kemudian ia melemparkan tubuh itu dengan keras.
Wuttt... Crokkk...!
Kepala Gurida kontan hancur berantakan ketika
membentur pohon besar. Darah pun menyembur bercampur otak dari batok kepalanya
yang pecah. Hati Pergola terguncang bukan kepalang. Meskipun
tidak melihat kematian rekannya. Tapi dari suara lolong mereka, dia tahu apa
yang telah terjadi. Padahal, saat itu keadaannya tengah terdesak hebat.
"Haaat...!"
Melati berteriak keras. Tangan kanannya disampokkan ke arah pelipis Pergola. Namun, meskipun agak gugup, laki-laki
bertubuh pendek kekar itu berhasil mengelak dengan membungkukkan badan.
Tapi benar-benar tidak diduga oleh Pergola. Kalau
serangan intinya adalah tangan kiri. Maka, tangan itu pun meluncur cepat
menyampok ke arah pelipis. Dan....
Prokkk...! Tanpa sempat melolong lagi, tubuh Pergola ambruk
ditanah. Dia tewas seketika dengan tulang pelipis hancur.
Melati menatap ke arah Arya yang tengah me-
natapnya. Kemudian sepasang muda-mudi ini saling melempar senyum.
Sementara itu, Ki Rajung, Ki Tanjak Gara, dan
Wiratmaja pun tersenyum lega melihat ketiga lawan tangguh itu berhasil
dibinasakan Dewa Arak dan Melati.
Waktu terus berlalu. Matahari naik semakin tinggi.
Namun, sekelompok awan yang berarak menutupinya,
sehingga keadaan di situ tidak terasa panas. Alam tampaknya menyambut kemenangan pasangan pendekar
muda itu. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Fuji Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusianfo/ http://ebook-dewikz.com/
Bende Mataram 33 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Jodoh Si Naga Langit 1
^