Pencarian

Banjir Darah Bojong Gading 1

Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
1 "Auuunggg...!"
Lolongan anjing hutan terdengar menggaung
panjang, membuat suasana malam yang sudah
menyeramkan, menjadi semakin seram.
Dalam suasana malam yang agak gelap itu,
nampak sesosok bayangan kuning berkelebat. Dan menilik dari gerakannya, bisa
diketahui kalau bayangan kuning ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Sosok bayangan kuning itu berlari terus dengan kecepatan tinggi. Ketika
kebetulan cahaya sinar obor menjilat wajahnya, tampak kalau sosok bayangan
kuning itu adalah seorang kakek berusia sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kecil
kurus, dan wajahnya kecil mirip wajah seekor tikus. Kumisnya hitam dan jarang-
jarang. Si wajah tirus itu baru memperlambat langkahnya ketika mendekati sebuah bangunan
besar yang berhalaman luas. Pagar yang terbuat dari kayu bulat yang kokoh kuat
mengelilingi bangunan itu. Di atas pintu gerbang, terpampang sebuah papan tebal
yang berukir indah. Di situ tertulis huruf-huruf yang berbunyi "Perguruan Naga
Api". Kakek berwajah tirus itu menghentikan langkahnya di depan pintu gerbang
perguruan yang tertutup rapat itu. Perlahan-lahan diketuknya pintu gerbang itu.
Tok...! Tok...!
Kelihatannya pelan saja kakek itu mengetuk, tapi
Akibatnya cukup dahsyat. Seolah-olah pintu gerbang dari jati tebal itu digedor
oleh balok kayu yang besar.
Dan karuan saja suara berisik itu membuat para murid Perguruan Naga Api yang
tengah bertugas jaga, berlarian mendekati pintu gerbang.
"Buka pintu gerbang...!" perintah salah seorang dari mereka yang bercambang bauk
lebat. "Tapi, Kang Somali," bantah seorang yang bertahi lalat besar di pipinya.
"Bagaimana kalau orang yang mengetuk itu tidak bermaksud baik?"
Si cambang bauk lebat yang bernama Somali
menatap tajam pada orang yang menyatakan dugaan itu.
"Tidak mungkin, Adi Prawira! Kalau orang itu bermaksud tidak baik, tak mungkin
datang terang-terangan begitu."
Orang yang dipanggil Prawira mengangguk-
anggukkan kepalanya, tanda menerima alasan Somali.
Segera Prawira melangkah maju. Diangkatnya palang kayu yang mengunci pintu
gerbang itu, kemudian baru ditariknya daun pintu gerbang itu.
Kriiittt...! Suara bergerit tajam terdengar mengiringi terbukanya pintu gerbang itu.
"Ah...! Kiranya Ki Temula...!" kata Prawira kaget.
"Silakan masuk, Ki!"
Kakek berwajah tirus yang dipanggil Ki Temula hanya tersenyum. Kemudian
dilangkahkan kakinya masuk ke dalam. Begitu kakek itu masuk, Prawira segera
menutup pintu kembali.
"Apakah Adi Gayadi ada?" tanya Ki Temula, seraya memalingkan wajah ke arah
Somali. "Ada, Ki. Guru ada di dalam," jawab Somali.
"Apakah Aki ada keperluan dengan Guru?"
"Benar!" sahut kakek berwajah tirus itu singkat.
"Kalau begitu, mari kuantar untuk menemui beliau!"
Setelah berkata demikian, Somali segera bergerak melangkah mendahului. Ki Temula
pun mengikutinya Sementara para murid yang tengah mendapat giliran jaga, kembali
pada tugasnya masing-masing. Ki Temula memang sahabat kental Ketua Perguruan
Naga Api. Sering mereka mengadakan pertemuan.
Kadang-kadang di Perguruan Naga Api, dan sesekali di perguruan yang dipimpin Ki
Temula ini. Tidak jarang pula, di hutan-hutan sunyi, atau di puncak-puncak
gunung. Sehingga bukan merupakan hal yang mengejutkan kalau malam ini kakek
berwajah tirus itu datang berkunjung.
Somali mengantarkan Ki Temula sampai di depan sebuah bangunan, tempat Ki Gayadi
biasa bersemadi. Biar ada peristiwa penting apa pun, biasanya Somali tidak akan
berani memberitahukan pada gurunya, bila tengah bersemadi. Tapi, kedatangan Ki
Temula merupakan suatu pengecualian.
Tok...! Tok...!
Somali menunggu sejenak sehabis mengetuk daun pintu pondok kecil itu.
"Siapa"!"
Terdengar sahutan dari dalam pondok itu. Nada-nya terdengar agak kasar, seperti
orang yang merasa terganggu.
"Aku, Guru..!" sambut Somali cepat.
"Siapa"!" Kian keras suara dari dalam pondok itu.
"Somali, Guru."
"Hm.... Ada keperluan apa sehingga kau berani membangunkan aku, Somali"!"
Somali menelan ludahnya untuk membasahi
tenggorokannya yang terasa kering. Hatinya memang merasa tidak enak juga, karena
telah mengganggu ketenangan semadi gurunya.
"Aku mengantarkan Ki Temula yang ingin bertemu guru...."
Hening sejenak, setelah si cambang bauk itu menyelesaikan perkataannya. Tidak
ada suara sahutan yang terdengar dari dalam pondok.
Somali dan Ki Temula menanti.
Kriiittt..! Terdengar suara bergerit agak nyaring, disusul terbukanya pintu pondok kecil
itu. Nampak di balik pintu itu berdiri sesosok tubuh pendek gemuk berwajah
cerah, penuh senyum. Usianya paling banyak enam puluh tahun. Kakek inilah yang
bernama Ki Gayadi, Ketua Perguruan Naga Api.
"Ha ha ha...! Kakang Temula, mari.... Silakan masuk, Kakang," ucap Ki Gayadi
mempersilakan. Senyum lebar tersungging di wajahnya yang penuh keceriaan.
"Terima kasih, Adi Gayadi," sambut kakek berwajah tirus itu sambil melangkah
masuk ke dalam.
Begitu Ki Temula telah melangkah masuk, Ki Gayadi kembali menutup pintu
pondoknya. Somali yang tahu diri sudah lebih dahulu pergi, setelah memberi
penghormatan pada kedua orang tua itu.
"Urusan apa yang membawa Kakang ke sini"
Ataukah ada perubahan rencana pada pertemuan Kita tiga purnama mendatang?" tanya
Ki Gayadi begitu menjatuhkan tubuh, duduk bersila di depan tamunya. Memang,
kakek pendek gemuk ini merasa heran melihat kedatangan Ki Temula yang tidak
diduga-duga itu.
Kakek berwajah tirus itu menundukkan kepalanya sebentar.
"Memang, aku mempunyai keperluan padamu, Adi Gayadi Makanya, malam-malam begini
kupaksakan datang menemuimu."
"Kalau boleh kutahu, apa keperluan itu, Kang?"
"Membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, dengan cepat Ki Temula menghentakkan kedua telapak
tangannya ke depan.
Wusss...! Ki Gayadi terkejut bukan main. Serangan itu datangnya terlalu tiba-tiba dan
tidak tersangka-sangka. Apalagi, Ketua Perguruan Naga Api ini tengah duduk
bersila dan tidak bersikap waspada. Bahkan jarak antara mereka terlalu dekat.
Maka, walaupun kakek bertubuh pendek gemuk ini berusaha
mengelak, tetap saja terlambat!
Bresss...! "Aaakh...!"
Ki Gayadi berteriak keras memilukan. Pukulan jarak jauh itu telak dan kerasnya
menghantam perutnya. Seketika itu juga tubuh kakek pendek gendut itu lerlempar
jauh ke belakang menabrak dinding pondok yang terbuat dari papan.
Brak...! Seketika itu juga dinding papan itu jebol, terlanda tubuh laki-laki tua Ketua
Perguruan Naga Api.
Brukkk..! Terdengar suara berdebuk keras ketika tubuh Ketua Perguruan Naga Api itu jatuh
ke tanah. "Huakkk. .!"
Segumpal cairan kental berwarna merah keluar dari mulut kakek pendek gemuk yang
berusaha bangkit dari terbaringnya.
"Hup...!"
Ki Temula melompat keluar, menyusul tubuh
Ketua Perguruan Naga Api yang tergolek di sana.
Ringan tanpa suara, kedua kakinya mendarat di tanah, di depan Ki Gayadi.
Laki-laki tua pendek gemuk itu berusaha bangkit, tapi luka dalam yang
dideritanya terlalu parah, sehingga tak mampu berdiri. Pukulan yang dilepaskan
Ki Temula memang hebat sekali, karena disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Seluruh tulang-belulangnya seolah-olah hancur berantakan semuanya.
"Pergilah ke neraka, Gayadi...!" dengus Ki Temula.
Dingin dan datar suaranya. Dan tiba tiba saja kakinya bergerak menyepak.
Prak...! "Aaakh...!"
Ki Gayadi memekik tertahan. Kepala kakek pendek gemuk ini pecah ketika kaki Ki
Temula telak meng-hantamnya. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar, sebelum
akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
*** "Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat Ketua Perguruan Naga Api itu tewas.
Sama sekali tidak dipedulikan derap langkah kaki yang menuju ke tempatnya
berdiri. Memang suara jebolnya dinding papan itu telah didengar murid-murid
Perguruan Naga Api. Mereka segera memburu ke arah asal suara itu.
"Guru...!" teriak Somali keras. Laki-laki bercambang bauk ini memang merupakan
satu-satunya orang
yang paling dekat jaraknya dari tempat gurunya terbantai. Memang, ruang semadi
Ki Gayadi letaknya agak terpisah dari bangunan lainnya, tapi Somali saat itu
tidak jauh dari situ.
Sepasang mata Somali menatap penuh rasa tidak percaya, pada sosok tubuh yang
tergolek di tanah.
Kemudian tatapannya berpindah pada Ki Temula yang tengah tertawa terbahak-bahak.
Ki Temula menghentikan tawanya ketika melihat kehadiran Somali. Sepasang matanya
nampak beringas, memandang pemuda bercambang bauk lebat itu. Tapi Somali sama sekali
tidak gentar. Kematian gurunya di tangan kakek kecil kurus yang berdiri di hadapannya ini,
benar-benar membuatnya terpukul. Jelas, ini terjadi Akibat keteledorannya.
"Keparat..! Kau harus mengganti nyawa guruku dengan nyawamu!"
Srat..! Somali mencabut pedangnya, lalu....
"Heyaaat..!"
Didahului sebuah pekik melengking nyaring, pemuda bercambang bauk lebat ini
melompat menerjang Ki Temula. Pedangnya diputar-putarkannya di atas kepala sebelum
dibabatkannya ke leher kakek pembunuh gurunya itu.
Singgg...! Suara mendesing nyaring mengawali tibanya
serangan pedang itu. Namun Ki Temula hanya mendengus.
"Susullah arwah gurumu ke neraka, manusia dungu...!" desis laki-!Aki berwajah
tirus itu tajam.
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, diulurkan tangan kanannya.
Tappp...! Dengan sigap, pedang Somali ditangkap laki-laki tua berwajah tirus itu. Dan
sebelum pemuda itu berbuat sesuatu, Ki Temula cepat menariknya. Tentu saja
Somali yang tidak ingin pedangnya terebut, berusaha menahan sekuat tenaga. Tapi
tenyata tenaganya kalah kuat. Apalagi tubuhnya sendiri saat itu tengah berada di
udara. Maka tak pelak lagi, tubuhnya ikut tertarik oleh tenaga lawan.
Pada saat tubuh Somali mendekat, dengan cepat, Ki Temula menyodokkan ujung
pedang ke perut Somali
Ceppp...! "Aaakh...!"
Somali menjerit ngeri. Gagang pedang itu tembus hingga ke punggungnya. Memang
hebat tenaga dalam kakek itu. Dalam posisi terbalik, pedang itu mampu menembus
perut pemuda bercambang bauk lebat itu.
Tapi, daya tahan tubuh Somali patut dipuji.
Meskipun luka-luka yang diderita parah, dia masih mampu bertahan. Padahal, kedua
kakinya tampak menggigil keras. Tentu saja hal ini membuat Ki Temula jadi
kehilangan kesabarannya. Maka
tangannya pun terayun menampar ke arah pipi.
Prak...! Terdengar suara berderak keras ketika kepala pemuda bercambang bauk itu pecan
terhantam tangan laki-laki tua itu. Tanpa sempat mengeluh lagi tubuh Somali
terjerembab jatuh.
Tepat saat tubuh Somali ambruk, murid-murid Perguruan Naga Api yang lain pun
tiba. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat dua sosok tubuh yang
tergeletak di tanah. Berkat sinar obor yang terpancang di sudut rumah, mereka
dapat melihat jelas dua sosok tubuh yang tergeletak diam tidak bergerak itu.
"Guru...!" teriak mereka berbareng. Beberapa saat lamanya berpasang-pasang mata
terpaku menatap tak percaya sosok tubuh yang tergolek di tanah.
Melihat kesempatan yang baik itu, Ki Temula tidak menyia-nyiakannya.
"Hup...!"
Kakek kecil kurus berwajah tirus ini segera melesat dari situ. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah berjarak sepuluh
tombak dari tempat semula.
Melihat Ki Temula melarikan diri, para murid perguruan itu pun tersadar.
"Pembunuh keparat itu kabur...!" teriak Prawira.
"Kejar...!" sambut yang lain.
Tak pelak lagi, sebagian besar dari mereka berlari mengejar Ki Temula. Sementara
sisanya menghampiri mayat Ki Gayadi dan Somali.
Mereka segera mengangkat tubuh-tubuh yang
telah kaku itu ke ruang utama perguruan.
Sementara itu, sepertinya Prawira dan beberapa murid perguruan tak mampu
mengejar Ki Temula.
Ilmu meringankan tubuh kakek berwajah tirus itu berada jauh di atas mereka.
Maka, tanpa mengalami kesulitan kakek itu berhasil melompati pagar dari kayu
bulat dan kuat yang mengelilingi bangunan besar berhalaman luas itu.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Ki Temula
mendarat ringan di tanah. Dan sekali tubuh kakek ini melesat, tubuhnya pun
lenyap ditelan kegetapan malam.
"Keparat..!" maki Prawira yang kalang kabut
melihat buronannya berhasil kabur dari situ.
*** Beberapa saat lamanya, Prawira dan murid-murid lainnya menatap ke arah kepergian
Ki Temula. Wajah mereka menyiratkan perasaan dendam dan
kemarahan yang amat sangat. Beberapa saat
kemudian, dengan langkah bergegas mereka semua melesat ke ruang utama perguruan
tempat Ki Gayadi dan Somali dibaringkan.
"Bagaimana, Kakang Branta?" tanya Prawira pada seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun. Napas pemuda bertahi lalat besar ini agak memburu.
Orang yang dipanggil Branta tersenyum getir.
"Beliau telah tewas...," sahui Branta lirih.
"Keparat..!" Prawira berteriak keras. "Keparat kau.
Ki Temula! Tunggulah pembalasanku...!"
"Tutup mulutmu, Prawira...!" bentak Branta keras Seketika sepasang mata Branta
tampak berKilat penuh kemarahan ketika menatap wajah adik seperguruannya itu.
Memang, di Perguruan Naga Api hanya tinggal satu orang murid kepala, yaitu
Branta. Sementara murid tingkat dua ada dua orang, yaitu Somali dan Prawira.
Sebenarnya, masih ada tokoh yang terhitung sesepuh di Perguruan Naga Api. Dia
adalah kakak seperguruan Ki Gayadi yang bernama Ki Santa. Hanya sayangnya beliau
jarang ikut campur dalam urusan perguruan. Kakek itu lebih suka bersemadi dan
menyepi. Mendengar bentakan Branta, Prawira langsung melengak kaget
"Mengapa, Kang"! Tidak bolehkah aku membalas
dendam pada orang yang membunuh Guru secara licik itu"!" sergah pemuda Itu. Ada


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nada penasaran dalam suaranya.
Branta menatap Prawira tajam, tapi yang ditatap malah membalas tidak kalah
tajamnya pula. Beberapa saat lamanya kedua pasang mata itu saling tatap.
"Hhh...!"
Setelah Branta menghela napas panjang, dialihkan pandangannya dari Prawira. Dia
tahu kalau diterus-kan mungkin tidak akan bisa menahan diri. Dan ucapan Prawira
yang berani menentangnya secara jelas di depan murid-murid lainnya membuat
amarahnya bangkit. Hanya saja, Branta tidak ingin menambah suasana yang sudah
rusuh ini menjadi semakin rusuh oleh keributan dengan Prawira.
Maka, walaupun dadanya terasa sesak oleh hawa amarah yang membakar. Branta tetap
menyabarkan hatinya. Dialihkan pandangannya pada wajah adik-adik seperguruan
yang lain. Sudah bisa diduga kalau di wajah mereka tersirat adanya ketidakpuasan
pada sikapnya yang membentak Prawira.
"Kuharap kalian semua bisa menahan diri, dan jangan mudah terpancing oleh
peristiwa ini. Yang paling penting bagi kalian adalah berpikir secara jernih.
Buangiah jauh-jauh perasaan amarah yang melanda hati kalian," ujar Branta
menenangkan adik-adik seperguruannya.
"Kakang. Guru telah dibunuh orang! Dan sekarang kau menyuruh kami bersabar"!
Bahkan melarang kami untuk membalas dendam. Murid macam apa kau ini"!" sergah
Prawira keras. "Jaga mulutmu, Prawira! Redakan amarahmu!
Bukan hanya kau saja yang terpukul dan dendam
atas kematian Guru!" tegas Branta.
Prawira pun terdiam. Disadari kebenaran ucapan kakak seperguruannya ini. Tapi
amarah yang berkobar di dalam dada, membuatnya menuduh kehati-hatian kakak
seperguruannya itu, sebagai sikap pengecut! Hanya saja, perasaan segan pada
kakak seperguruannya, memaksanya untuk diam, dan tidak membantah lagi. Dia
bertekad akan membalaskan dendam ini secara diam-diam.
"Sudahlah...! Kita pikirkan hal itu nanti. Sekarang yang penting, uruslah mayat-
mayat ini," ucap Branta lagi mengalihkan persoalan. Pemuda bermata sayu ini
sudah merasa lega melihat usahanya meredakan amarah Prawira telah berhasil. Dia
tidak tahu bahwa sebenarnya Prawira masih sangat penasaran, dan bertekad akan
mencari pembunuh gurunya itu.
Setelah berkata demikian, Branta lalu mengangkat mayat gurunya dan membawanya
masuk ke dalam.
Prawira pun mengikutinya sambil memanggul tubuh Somali.
2 Seorang pemuda berambut putih keperakan dan dibiarkan meriap, melangkah pelahan
memasuki mulut sebuah hutan. Di punggungnya tersampir sebuah guci arak yang
terbuat dari perak.
Baru saja beberapa langkah, kening pemuda ini mendadak berkerut. Pendengarannya
yang tajam menangkap adanya banyak langkah kaki yang
menuju ke arahnya. Tapi pemuda yang tak lain Arya Buana atau lebih terkenal
dengan julukan Dewa Arak, tidak mempedulikannya. Dewa Arak pura-pura tidak tahu
dan terus saja melangkahkan kakinya.
Benar saja. Beberapa langkah kemudian, Dewa Arak sudah melihat serombongan orang
yang rata-rata berusia muda. Jumlah mereka tak kurang dari dua puluh orang, dan
semuanya berpakaian warna putih-putih. Di bagian dada sebelah kiri, ada sulaman
gambar kepala naga yang tengah menyemburkan api.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau rombongan itu berasal dari sebuah
perguruan beraliran putih. Hal ini bisa diketahui dari sikap mereka yang rata-
rata tidak menampakkan keliaran dan kecongkakan.
Hanya saja yang membuat Dewa Arak tidak habis pikir, adalah wajah mereka yang
rata-rata membayangkan kemarahan hebat. Dewa Arak pun mem-pertajam
pendengarannya untuk mencuri dengar pembicaraan mereka, walaupun jaraknya cukup
jauh dengan mereka.
"Kita harus membalas dendam..! Semalam aku ragu mendengar kata-kata yang
diucapkan Kakang
Branta. Tapi, tak lama kemudian aku teringat.
Ternyata pembunuh itu menggunakan ilmu 'Cakar Garuda' ketika membunuh Kakang
Somali." "Benar, Kakang Prawira! Kau harus membalas dendam pada kakek itu!" sambut yang
lainnya. Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia seketika menduga kalau rombongan ini pasti
hendak bertarung.
Semakin lama jaraknya dengan rombongan itu semakin dekat. Dan dengan sendirinya
percakapan mereka pun semakin jelas terdengar telinganya. Tak lama kemudian Dewa
Arak berpapasan dengan
mereka pada sebuah jalan kecil yang di kanan kirinya ditumbuhi semak-semak dan
pohon-pohon rimbun.
Kekaguman Dewa Arak semakin bertambah,
ketika melihat rombongan itu menghentikan langkahnya. Bahkan menggeser tubuh
mereka ke pinggir, memberi jalan padanya untuk lewat. Baru setelah Arya lewat,
mereka kembali melanjutkan langkahnya.
Arya ragu-ragu untuk meneruskan langkahnya.
Simpatinya seketika timbul melihat sikap mereka.
Ingin diketahui, masalah apa yang membuat pemuda-pemuda gagah itu hendak
bertarung. Memang dari ucapan yang tadi sempat didengar, diketahui kalau
rombongan itu ingin membalas dendam. Tapi pada siapa"
Beberapa saat lamanya batin pemuda ini ber-perang, antara melanjutkan
perjalanannya ataukah mengikuti rombongan pemuda gagah itu tadi.
Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk mengikuti rombongan berseragam putih-putih
itu. Langkahnya segera dihentikan dan berbalik ke arah yang tadi ditinggalkan.
Sesaat matanya menatap ke arah pohon di depannya, dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di cabang sebatang pohon, kemudian
melompat ke cabang lainnya. Begitu seterusnya. Sehingga tak lama kemudian,
rombongan orang berseragam putih-putih itu terlihat kembali.
Kening Dewa Arak berkernyit ketika melihat rombongan pemuda itu mulai mendaki
lereng gunung. Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau yang mereka daki itu
adalah Gunung Munjul, yang pada salah satu lerengnya terdapat sebuah perguruan
yang bernama Perguruan Garuda Sakti.
Apakah rombongan orang itu hendak menuju ke sana" Maka perasaan tidak enak pun
menjalari hati Dewa Arak. Karena yang diketahuinya, Perguruan Garuda Sakti
adalah sebuah perguruan beraliran putih.
Dugaan Dewa Arak tidak meleset. Rombongan itu ternyata benar menuju Perguruan
Garuda Sakti, dan rata-rata gerakan mereka cukup gesit ketika mendaki lereng
gunung itu. Tak lama kemudian, rombongan itu pun sudah mendekati pintu gerbang Perguruan
Garuda Sakti. Dan rupanya dua orang murid Perguruan Garuda Sakti yang tengah menjaga pintu
gerbang itu melihat kehadiran rombongan itu. Nampak jelas kalau dua orang
penjaga itu agak bingung melihatnya.
Tapi sebelum mereka sempat bertindak, tiba-tiba saja rombongan murid Perguruan
Naga Api yang dipimpin Prawira itu meluruk menyerbu.
"Serbuuu...!"
Maka serentak dua puluh orang murid Perguruan Naga Api itu meluruk ke arah pintu
gerbang. Singgg...! Singgg...!
Suara desing golok dan pedang yang melesat keluar dari sarungnya, menyemaraki
suasana yang hening dan sepi itu. Melihat hal ini, karuan saja dua orang murid
Perguruan Garuda Sakti yang menjaga pintu gerbang itu terkejut. Serentak
keduanya mencabut senjatanya masing-masing, mencoba meng-halau serbuan dua puluh
orang itu. Sementara Dewa Arak yang melihat hal itu tidak berani gegabah ikut campur,
karena belum tahu masalahnya. Ikut campur tangan sebelum tahu masalahnya
merupakan perbuatan tidak bijaksana.
Lagi pula, dua puluh orang itu kelihatannya bersikap ksatria. Jelas mereka
kelihatan tidak bermain curang. Buktinya dua orang penjaga itu tidak di-keroyok
melainkan diserang oleh dua di antara mereka. Sedangkan sisanya menyerbu masuk.
Dewa Arak memutuskan untuk menonton saja sambil ber-tengger di atas sebuah
cabang pohon. Trang..! Trang...!
Denting suara senjata beradu terdengar ketika dua orang penjaga pintu gerbang
itu menangkis dua buah serangan yang mengancam nyawa mereka. Sesaat kemudian
keempat orang itu sudah terlibat pertarungan mati-matian.
Sementara itu, Prawira dan rekan-rekan lain menerobos masuk. Mereka segera
berhadapan dengan murid-murid Perguruan Garuda Sakti. Tak pelak lagi. pertarungan massal
pun terjadi Mulanya pertarungan itu berjalan seimbang. Tapi lama-kelamaan, mulal
nampak kalau Prawira dan rekan-rekannya lebih unggul katimbang mereka.
Memang rombongan yang menyerbu adalah murid-murid pilihan, walau bukan murid-
murid kepala. Sementara di Perguruan Garuda Sakti, hanya ter-
dapat murid-murid rendahan.
"Aaa...!"
Jerit kematian pertama terdengar dari mulut penjaga pintu gerbang ketika golok
murid Perguruan Naga Api menembus perutnya hingga ke punggung.
"Aaakh...!"
Kembali salah seorang murid Perguruan Garuda Sakti memekik tertahan ketika
pedang di tangan lawan memenggal lehernya hingga buntung.
Beberapa saat lamanya tubuhnya menggelepar-gelepar sebelum akhirnya, diam tidak
bergerak lagi. Belum lama tubuh orang kedua itu roboh ke tanah, terdengar lagi jerit kematian
dari mulut murid Perguruan Garuda Sakti Satu persatu tubuh mereka berguguran
ambmk ke tanah.
Dewa Arak mengerutkan alisnya. Pandangan
matanya yang tajam, dapat melihat adanya sosok tubuh yang bersembunyi di balik
wuwungan rumah.
Dan hal ini membuat Dewa Arak heran. Menilik dari pakaiannya yang berwarna
kuning, dapat diperkirakan kalau yang bersembunyi itu adalah orang Perguruan
Garuda Sakti. Tapi mengapa tidak membantu murid-murid perguruan yang dalam
keadaan kritis itu"
Belum lagi Dewa Arak menemukan jawabannya, dari dalam salah satu bangunan
berkelebat sesosok tubuh. Dan tahu-tahu, di arena pertarungan telah berdiri
seorang kakek bertubuh tinggi kurus dan berwajah mirip kuda.
"Mundur semua...!" teriak kakek muka kuda itu.
Seketika itu juga, murid-murid Perguruan Garuda Sakti yang tengah bertarung
berlompatan mundur.
Sedangkan murid-murid Perguruan Naga Api tidak mengejar, dan hanya berlompatan
mundur untuk berkumpul. Kakek muka kuda itu memandang berkeliling.
Wajahnya nampak beringas melihat murid-murid Perguruan Garuda Sakti yang
bergeletakan tanpa nyawa di sana-sini.
"Kalian semua harus mati...!" dengus kakek itu dingin.
"Hiyaaa...!"
Tubuh kakek muka kuda melesat ke arah
kumpulan murid-murid Perguruan Naga Api. Sasaran pertama adalah seorang murid
bernama Kelana yang berada paling depan.
Wut..! Tangan kakek muka kuda itu melayang deras ke arah kepala pemuda berkuping
caplang itu. Tentu saja Kelana tidak membiarkan kepalanya hancur ditampar tangan
mengandung tenaga dalam tinggi itu. Buru-buru disabetkan pedangnya pada tangan
yang menampar itu.
Trak...! Pedang itu langsung patah begitu tertangkis tangan si kakek muka kuda. Karuan
saja hal ini membuat Kelana kaget bukan main. Belum lagi pemuda ini sadar, kaki
kanan kakek itu sudah melayang ke arah dadanya.
Buk...! "Aaakh...!"
Dengan deras dan keras, kaki itu menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuh
Kelana terlempar jauh ke belakang dan jatuh di tanah menimbulkan suara berdebuk
nyaring. Darah segar langsung berhamburan dari mulut, hidung dan telinganya.
Saat itu juga nyawa pemuda itu melayang meninggalkan raganya. Tulang dadanya
remuk seketika.
Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan si kakek muka kuda. Patahan
pedang Kelana yang berada di tangannya langsung dilesatkan ke arah lawannya.
Singgg...! Cappp..! "Aaa...!"
Seorang yang bertubuh pendek menjerit panjang ketika patahan pedang itu menancap
di perutnya hingga tembus ke punggung. Beberapa saat lamanya tubuh laki-laki itu
menggelepar-gelepar di tanah sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Serbuuu...!" perintah Prawira keras. Pemuda ini sadar kalau lawan di hadapannya
memiliki kepandaian tinggi. Jadi kalau dihadapi seorang demi seorang hanya akan
mengantarkan nyawa sia-sia.
Kini delapan belas orang murid Perguruan Naga Api itu, menyerbu kakek muka kuda
secara berbareng. Belasan senjata tajam berkelebat mengancam sekujur tubuhnya.
Tapi si kakek muka kuda itu hanya mendengus.
Bahkan enak saja menyelinap di antara hujan senjata yang menyambar tubuhnya.
Sehingga, tak satu pun serangan pengeroyoknya yang mengenai sasaran.
Selama beberapa gebrakan, kakek muka kuda ini hanya mengelak. Dan pada saat
mempunyai kesempatan, mulai balas menyerang. Tangan dan kakinya segera berkelebat, mencari
sasaran yang mematikan.
Plak! Buk! "Aaakh... !"
"Aaa...!"
Dua orang pengeroyoknya menjerit tertahan dan langsung roboh ke tanah, tidak
bergerak lagi untuk
selamanya. Tamparan dan tendangan yang ditunjang tenaga dalam tinggi itu memang
tidak mungkin bisa ditahan, sehingga dada dan perut mereka hancur!
Tentu saja hal ini membuat Prawira dan rekan-rekannya semakin marah. Akibatnya,
serangan yang dilancarkan pun semakin dahsyat Tapi, karena tingkat kepandaian
mereka memang terpaut jauh, maka tidak sulit bagi kakek muka kuda untuk
mengelakkan setiap serangan.
Dewa Arak kaget bukan main melihat hal ini.
Sungguh tidak disangka kalau kakek muka kuda itu bersikap begitu telengas.
Seperti tidak berperasaan, begitu enaknya dia membunuhi murid-murid
Perguruan Naga Api yang telah bersikap begitu ksatria.
Jiwa kependekaran Dewa Arak pun bangkit, karena tidak suka melihat kekejaman
kakek Itu. Masalahnya, dia sendiri hampir tidak pernah membunuh
sembarangan orang, sekalipun lawannya itu seorang penjahat! Tapi, kakek muka
kuda itu begitu gampangnya membunuhi murid Perguruan Naga Api.
Padahal dari sikap yang ditunjukkan, jelas kalau mereka adalah golongan
penentang ketidakadilan.
Segera saja Dewa Arak melompat turun dari cabang pohon yang sejak tadi
didudukinya, dan langsung meluruk ke arena pertempuran. Sempat dilihatnya orang
yang bersembunyi di balik wuwungan itu melesat kabur.
Saat itu, Prawira tengah menyerang kakek muka kuda dengan sebuah tusukan ke arah
perut. Seketika kakek muka kuda melangkahkan kakinya ke
belakang. Sehingga tusukan pedang itu tidak menemui sasaran. Sebelum Prawira
menarik pulang serangan, tangan kakek itu telah lebih dulu
menangkap pedangnya.
Prawira yang mengetahui adanya bahaya besar yang mengancam, tidak berani
bersikap malu-malu.
Buru-buru dilepaskan pedangnya, dan secepat itu pula dilempar tubuhnya ke
belakang. Tapi kakek muka kuda itu ternyata tidak membiarkannya lolos. Begitu Prawira
melempar tubuh ke belakang segera dihentakkan kedua tangannya ke depan.
Wut! Angin berhembus keras ke arah tubuh pemuda bertahi lalat besar itu. Tentu saja
wajah Prawira memucat, karena menyadari adanya bahaya maut mengancam. Jelas, dia
tidak mampu mengelak-kannya.
Tapi di saat kritis itu, dari arah yang berlawanan tiba-tiba berhembus angin
keras yang memapak angin pukulan kakek muka kuda. Tak dapat dicegah lagi, dua


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin pukulan itu kini bertemu di udara.
Blarrrr...! Ledakan keras seketika terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu. Sekitar
tempat itu sampai bergetar Akibat ledakan itu.
Bukan hanya itu saja. Bahkan para murid
Perguruan Naga Api yang berada dekat situ kontan berpentalan ke belakang, Akibat
pengaruh getaran tadi.
"Keparat..!" maki kakek muka kuda.
Sebagai orang yang telah mempunyai pengalaman luas, kakek ini tahu kalau ada
orang berkepandaian tinggi yang telah menyelamatkan korbannya. Dan tentu saja
hal ini membuatnya geram bukan main.
Dengan pandang mata marah, diarahkan
sepasang matanya ke arah asal angin pukulan tadi.
Di sebelah kanan Prawira yang kini telah selamat hinggap di tanah, tampak
seorang pemuda berambut putih keperakan yang tengah berdiri tenang. Di tangan
kanannya telah tergenggam sebuah guci arak yang terbuat dari perak.
"Siapa kau"!" tanya kakek muka kuda. Kasar dan keras suaranya. "Mengapa
mencampuri urusanku!"
Pemuda yang tak lain dari Dewa Arak itu tersenyum getir.
"Aku Arya. Sudah menjadi watakku untuk tidak membiarkan melihat kekejaman
berlangsung di depan mataku!" sahut Dewa Arak, keras dan tegas suaranya.
"Ketidakadilan"! Apa maksudmu, Anak Muda"!
Apakah yang kau maksud dengan ketidakadilan itu"
Apakah tindakanku yang telah menghukum orang-orang yang telah mengacau dan
membunuhi murid-muridku salah"!"
"Kau terlalu kejam, Ki!" tandas Arya tajam.
"Kuperingatkan padamu, Anak Muda. Ini adalah urusan dalam perguruan. Perguruanku
dikacau, dan murid-muridku dibantai! Adalah hakku untuk menghukum si pengacau.
Dan ini tidak ada sangkut pautnya denganmu!" tegas kakek muka kuda, langsung
merah mukanya. Dewa Arak menggelengkan kepalanya.
"Sayang sekali, Ki. Sejak mulai mempelajari ilmu silat, aku sudah bertekad untuk
tidak membiarkan adanya kekejaman berlangsung di depan mataku!"
tegas Arya. "Kau keras kepala, Anak Muda! Tapi..., tunggu dulu! Katamu tadi namamu Arya?"
tanya kakek muka kuda. Sepasang matanya menatap Dewa Arak penuh selidik.
Kemarahannya pun seketika mereda, ketika
mengingat nama Arya Buana.
"Begitulah nama yang diberikan orang tuaku, Ki."
"Arya"!" ulang kakek itu. Sepasang alisnya berkerut
"Rasanya aku pernah mendengar orang yang mempunyai nama seperti itu"! Kalau
tidak salah..., Arya Buana. Apa betul itu namamu"!"
"Benar, Ki. Namaku adalah Arya Buana. Aki sendiri siapa?" tanya Dewa Arak yang
kemarahannya juga telah mereda.
"Aku" Namaku tidak sekondang dirimu, Anak Muda! Bukankah kau yang berjuluk Dewa
Arak" Aku tahu, orang sering membicarakanmu!" ujar orang tua itu, yang mulai
merendah. Dia memang merasa tidak mungkin mampu berhadapan dengan tokoh yang
telah terkenal kedigdayaannya.
"Ah...! Berita itu terlalu berlebih-lebihan, Ki," ucap Arya merendah. "Apakah
Aki bernama Ki Temula, Ketua Perguruan Garuda Sakti itu"!"
Kakek muka kuda itu menggelengkan kepalanya.
"Bukan. Namaku Ki Matija. Sedangkan Ki Temula adalah kakak seperguruanku. Sayang
sekali dia sudah enam hari masuk ruang semadi, sehingga tidak bisa keluar
sekarang. Dan kalau tidak salah, besok baru bisa keluar."
"Bohong! Kau bohong, Ki Matija!" teriak Prawira.
Keras sekali suaranya.
Wajah kakek muka kuda yang bernama Ki Matija itu memerah. Sepasang matanya
memancarkan kemarahan ketika menatap pemuda bertahi lalat besar itu.
"Tutup mulutmu, pengacau! Kalau tidak memandang Dewa Arak, sudah kubunuh kau!"
"Demi membela kehormatan, bagiku mati tidak berarti apa-apa, Ki Matija! Tidak
seperti kau, pengecut!" teriak Prawira sambil menuding ke arah laki-laki tua muka kuda itu.
"Keparat...! Akan kuadukan sikapmu yang tidak pantas ini pada gurumu!" bentak Ki
Matija. "Tidak perlu berpura-pura bodoh, Ki Matija!"
Ki Matija yang memang mempunyai sifat
pemberang, seketika wajahnya merah padam. Sikap Prawira dirasakan sudah
keterlaluan. Bahkan Dewa Arak pun terkejut melihatnya. Tapi belum sempat Ki
Matija dan Dewa Arak berbuat sesuatu, Prawira telah melanjutkan ucapannya.
"Kau pikir untuk apa kami semua ke sini mempertaruhkan nyawa, Ki Matija"!
Dengarlah baik-baik!
Kami datang untuk membalaskan kematian guru kami! Kau tahu, Ki Gayadi telah
dibunuh Ki Temula secara licik! Maka, demi budi baik dan kehormatan Ki Gayadi,
kami semua rela mati di sini!"
"Apa"!" sepasang mata Ki Matija membelalak lebar. "Ki Gayadi tewas"! Benarkah
apa yang kau ucapkan ttu, Anak Muda" Kapan dia tewas?"
Nampak jelas kalau kakek muka kuda itu kaget bukan main. Bahkan Dewa Arak
sendiri terkejut mendengarnya. Pemuda ini sadar kalau persoalan yang dihadapi
bukan persoalan kecil. Bahkan bisa terjadi pertumpahan darah antara dua
perguruan ini! "Semalam!" sahut Prawira keras.
Sesaat lamanya keheningan melanda tempat itu.
Berita yang dikatakan Prawira memang membuat terkejut semua orang yang ada di
situ. "Benarkah apa yang kudengar ini" Benarkah Adi Gayadi telah mendahuluiku?" tiba-
tiba keheningan itu dipecahkan oleh sebuah suara.
Dan belum lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan berkelebat dan telah
berdiri di tengah-
tengah mereka. Tampak di situ seorang kakek kecil kurus berwajah tirus mirip
tikus. "Kakang...!" seru Ki Matija kaget melihat kehadiran kakak seperguruannya.
Prawira mendesis melihat kehadiran kakek itu.
Perasaan geram yang hebat tersirat di wajahnya. Tapi baru saja dia hendak
bergerak. Dewa Arak telah lebih dulu memegang pergelangan tangannya.
"Tenangiah, Kisanak. Dalam persoalan sebesar ini, tidak baik bersikap ceroboh.
Lebih baik, dengar dulu apa yang dikatakan Ki Temula," ucap Arya menasehati.
Prawira menoleh, dan menatap Dewa Arak lekat-lekat. Pemuda berambut putih
keperakan itu tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
"Hhh...!"
Prawira menghela napas panjang. Kedua tangannya yang semula sudah menegang penuh
kemarahan, pelahan mengendur. Dilangkahkan kakinya ke belakang. Dia memang telah
percaya penuh pada Dewa Arak. Sebab tanpa pertolongan pendekar kondang itu,
mungkin dia dan seluruh rekannya telah tewas di tangan Ki Matija.
"Ah...! Tidak salahkah pengilhatanku ini" Benarkah Dewa Arak yang telah
menggemparkan dunia
persilatan itu, yang berkunjung ke sini?" ucap kakek kecil kurus itu. Pandangan
matanya memancarkan ketidakpercayaan melihat kehadiran Dewa Arak di sini.
Wajah Arya memerah karena merasa malu.
"Ah! Berita itu terlalu dilebih-lebihkan, Ki." elak Dewa Arak malu. "Mana bisa
dibandingkan dirimu, Ki.
Hampir semua orang tahu siapa dirimu, Ki. Bahkan para prajurit dan Panglima
pilihan Kerajaan Bojong
Gading berasal dari perguruan ini!"
"Aku dan rekan-rekanku datang kemari untuk membalaskan kematian guruku. Ki
Temula!" selak Prawira. Pemuda bertahi lalat besar ini menjadi tidak sabar
melihat orang yang dicari malah terlibat pembicaraan dengan Dewa Arak.
Ki Temula segera megnalihkan perhatiannya.
"Semua pembicaraanmu telah kudengar, Anak Muda," sahut kakek kecil kurus yang
bernama Ki Temula ini. Suaranya terdengar pelan. "Mungkin perlu kuberitahukan
padamu, bahwa telah enam hari lamanya aku tidak keluar dan ruang semadi. Kalau
tidak percaya pada ucapanku, kau boleh bertanya pada semua muridku yang ada di
sini. Mungkin perlu kau ketahui, Anak Muda.... Ki Gayadi adalah segala-nya
bagiku. Dia tidak hanya sekedar seorang sahabat.
Bahkan boleh dikatakan kami seperti kakak adik. Jadi kesedihanmu atas kematian
gurumu itu mungkin tidak sebesar kesedihanku. Hanya ini yang bisa kukatakan
padamu. Sekarang terserah bagaimana penilaianmu. Tapi yang jelas, aku tidak akan
tinggal diam. Aku juga akan mencari orang yang telah memakai namaku, dan
membunuh sahabat terbaik-ku."
Prawira dan rekan-rekannya terdiam. Mereka melihat adanya nada kesungguhan pada
suara dan wajah kakek kecil kurus itu. Keragu-raguan kembali melanda hati
mereka. Tentu saja hal ini membuat bingung. Kalau bukan kakek ini lalu siapa
orang yang telah datang kemarin malam itu"
Dalam kebingungannya. Prawira menatap satu persatu rekan-rekannya. Tapi semua
rekannya malah menundukkan kepala. Makin bingungiah hati pemuda ini.
Dipandangnya Dewa Arak. Dari sinar matanya,
jelas kalau dia meminta pendapat pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak mulanya tidak ingin ikut campur, karena ini adalah urusan dalam kedua
perguruan itu. Tapi ketika Prawira memandangnya dengan sorot mata penuh permohonan, terpaksa
Dewa Arak ikut campur.
"Kalau menurut pendapatku, jelas ada orang yang sengaja mengadu domba dengan
jalan membunuh Ki Gayadi," ucap Arya mengemukakan pendapat.
Ki Temula mengerutkan alisnya. Memang dugaan Dewa Arak masuk akal. Tapi yang
masih menjadi pertanyaan, untuk apa si pengadu domba itu melakukan semua ini"
"Kau yakin kalau yang membunuh gurumu adalah aku, Anak Muda?" tanya Ki Temula
pada Prawira. Prawira yang kini sudah mereda amarahnya
menganggukkan kepala.
"Jelas sekali aku melihatmu, Ki. Bahkan bukan hanya aku saja. Masih ada tiga
orang lagi yang melihatnya. Sayang, dua di antara mereka sudah tewas. Yang
tersisa hanya aku dan Sentanu," jawab pemuda itu sambil menunjuk pemuda
berhidung besar di sebelahnya.
Lagi-lagi kakek kecil kurus itu menghela napas panjang.
"Matija," panggil Ki Temula pada kakek muka kuda itu.
"Ya, Kang"
"Kau kutugaskan untuk menyelidiki peristiwa ini.
Cari, siapa pembunuh Ki Gayadi! Siapa pun dia, kalau bisa kau tangkap hidup-
hidup, bawa dia ke
hadapanku! Tapi, kalau dia mati di tanganmu, bawa mayatnya pun tidak apa-apa.
Yang perlu kutegaskan
adalah, kau harus bertindak tegas. Sekalipun orang itu aku sendiri. Ingat,
kebenaran tidak mengenal tali persaudaraan! Mengerti, Matija!"
"Mengerti, Kang," sahut kakek muka kuda itu seraya menganggukkan kepalanya.
"Bagus!"
"Kapan aku harus berangkat, Kang?"
"Sekarang juga! Aku tidak ingin persoalan ini menjadi berlarut-larut!" tegas Ki
Temula. "Baik, Kang!"
Setelah berpamitan pada kakak seperguruannya dan pada Dewa Arak, Ki Matija
berkelebat dari situ.
Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja tubuhnya sudah lenyap
di balik pagar.
Memang ilmu meringankan tubuh kakek muka kuda itu hampir mencapai tingkat
kesempurnaan. "Sekarang masalah ini sudah kita selesaikan. Aku harap, kalian kembali ke
perguruan. Aku yakin, kedatangan kalian kemari tanpa seijin Ki Santa!"
tebak Ki Temula pelan.
Prawira dan rekan-rekannya memasukkan kembali senjata-senjata yang digenggam ke
dalam sarung masing-masing
"Kami pergi dulu, Ki," pamit Prawira.
"Silakan. O, ya. Kalau murid-murid utamaku telah kembali, aku akan datang
menjenguk ke sana.
Sampaikan salamku pada Ki Santa!"
"Akan kusampaikan, Ki!"
Ki Temula dan Dewa Arak memandangi kepergian murid-murid Perguruan Naga Api itu
hingga lenyap di balik pagar.
"Terima kasih, Dewa Arak. Tanpa campur tanganmu, mungkin persoalan ini kian
membesar. Dan Akibatnya bukan hanya bagi dua perguruan saja, tapi
kemungkinan besar akan merembet ke Kerajaan Bojong Gading. Karena, banyak murid
Perguruan Naga Api dan Perguruan Garuda Sakti yang menjadi prajurit dan panglima
di sana! Syukurlah, kau telah bertindak tepat'"
"Ah! Kau terlalu berlebihan memuji, Ki!" sambut Dewa Arak merendah.
"Ha ha ha...! Semua berita yang kudengar cocok sekali dengan apa yang kulihat.
Kau memang mengagumkan, Dewa Arak! Mari, mari masuk...!"
Ki Temula melangkah mendahului masuk ke
dalam salah satu bangunan, diikuti Dewa Arak.
3 Murid-murid Perguruan Naga Api berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Lincah laksana kera, mereka melompat ke sana kemari, menuruni lereng. Dan tak
lama kemudian, mereka pun telah memasuki hutan. Karena medan ini lebih mudah
ditempuh, maka perjalanan pun jadi lebih cepat.
Tapi, ketika mereka sampai di tempat saat berpapasan dengan Dewa Arak, langkah
mereka serentak terhenti. Pandangan mata mereka ter-tumbuk pada sosok tubuh yang
berdiri menghadang jalan.
Prawira dan kawan-kawannya kaget seketika. Jelas sekali mereka mengenali sosok
tubuh yang menghadang jalan itu. Seorang kakek kecil kurus berpakaian kuning.
Wajahnya tirus mirip wajah seekor tikus. Siapa lagi kalau bukan wajah Ki Temula.
Melihat sikap yang dttunjukkan Ki Temula, Prawira merasakan adanya bahaya
mengancam. Srat..! Tanpa ragu-ragu lagi, pemuda bertahi lalat besar di wajah itu menghunus
pedangnya. Srat..! Srat..!
Adik-adik seperguruan Prawira pun segera mengikuti tindakannya. Prawira
melangkah waspada.
Selangkah demi selangkah pemuda bertahi lalat besar ini berjalan. Dan dengan
demikian, jarak di antara mereka pun semakin bertambah dekat.
"Maai, Ki. Mengapa kau menghadang perjalanan
kami" Apakah ada sesuatu yang hendak dibicarakan?" tanya Prawira. Dicobanya
mengusir dugaan jelek yang muncul.
"Ha ha ha...!" kakek kecil kurus itu tertawa. Dan secara mendadak pula
dihentikan tawanya. "Enak saja! Sehabis mengacau, dan membunuh ingin pergi
begitu saja, heh! Orang seperti kalian harus mati!"
Wajah murid-murid Perguruan Naga Api kontan berubah hebat!
"Apa maksudmu, Ki" Bukankah baru saja kau telah mengutus Ki Matija untuk membuat
masalah ini jadi jelas" Tapi, mengapa sekarang bersikap lain"
Kami jadi tidak mengerti!" tanya Prawira keras.
"Kalian tidak perlu mengerti!" sergah kakek kecil kurus itu. "Yang jelas, kalian
harus mampus! Habis perkara! Hiyaaa...!"
Setelah berkata demikian, Ki Temula melesat menerjang. Kedua jari tangannya
mengembang membentuk cakar burung. Ibu jari dan kelingkingnya dilipat ke dalam.
Seketika angin tajam bersiutan nyaring mengi-ringi tibanya serangan itu.
Prawira kaget bukan main! Dia tahu betapa
dahsyatnya serangan itu. Pengalaman ketika hampir tewas di tangan Ki Matija,
telah membuatnya lebih berhati-hati. Telah dibuktikan sendiri, betapa dahsyatnya
kepandaian kakek muka kuda itu. Apalagi kepandaian kakek di hadapannya, yang
merupakan kakak seperguruan Ki Matija.
Dengan demikian, pemuda ini tidak boleh berlaku sembrono. Serangan-serangan yang
datang itu tidak ditangkisnya, melainkan dihindari. Cepat-cepat dibanting
tubuhnya ke tanah, dan terus bergulingan menjauh.
Tapi Ki Temula ternyata tidak membiarkannya
lolos. Dikejarnya tubuh yang bergulingan itu dengan serangan cakar garudanya.
Untunglah di saat kritis bagi Prawira, datang bantuan dari adik-adik
seperguruannya. Secara berbareng, tiga orang murid Perguruan Naga Api menyerang
kakek kecil kurus itu dengan tusukan pedang.
Singgg...! Singgg...! Singgg...!
"Keparat...!"
Ki Temula dongkol bukan main. Terpaksa diurungkan serangannya ke arah Prawira.


Dewa Arak 05 Banjir Darah Di Bojong Gading di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhnya segera digeliatkan sedikit, agar serangan itu tidak mengenai bagian-
bagian tubuh yang berbahaya. Kemudian secara berbareng kedua tangannya mengibas.
Takkk...! Takkk...! Takkk...!
Pedang-pedang itu meleset ketika telak mengenai dada dan perut Ki Temula.
Sepertinya yang ditusuk itu bukanlah tubuh manusia, melainkan sebuah benda
licin. Ketiga murid Perguruan Naga Api itu terkejut ketika tangan mereka bergetar hebat
dan terasa sakit-sakit. Dan belum lagi sempat berbuat sesuatu, kibasan cakar
kakek kecil kurus itu telah menyambar ke arah mereka.
Wut..! "Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian terdengar saling susul.
Kibasan cakar Ki Temula telak merobek leher mereka. Darah seketika menyembur
dari leher mereka yang terluka. Beberapa saat lamanya mereka menggelepar-gelepar
meregang nyawa di tanah, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
Prawira bangkit berdiri. Wajahnya pucat melihat
kematian tiga orang adik seperguruannya yang hanya sekali gebrak saja. Pemuda
itu tahu kalau mereka tewas karena hendak menyelamatkannya. Hal ini membuatnya
geram bukan main. Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, Prawira segera
melompat menerjang Ki Temula.
Tapi Prawira kalah cepat. Ternyata adik-adik seperguruannya yang lain telah
mendahuluinya. Secara serentak mereka menyerang kakek kecil kurus itu dengan senjata terhunus.
Suara desing senjata mereka mengiringi tibanya hujan serangan ke arah Ki Temula.
Tapi laki-laki tua berwajah tirus itu tenang-tenang saja, dan malah membiarkan
saja serangan itu. Baru setelah serangan itu hampir menyambar, cepat laksana
kilat dia mengelak. Tubuhnya menyelinap di antara sambaran senjata lawannya.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkatan tinggi, tak sulit bagi kakek kecil kurus ini untuk
mengelakkan serangan-serangan itu.
Sebaliknya setiap serangan balasannya, selalu mengenai sasaran. Dan sudah dapat
dipastikan, setiap serangannya selalu membuat nyawa lawan melayang ke akhirat.
"Aaakh...!"
Suara Jerit kematian terdengar saling susul mengiringi robohnya tubuh-tubuh
tanpa nyawa. Dalam waktu sebentar saja, sudah tujuh orang murid Perguruan Naga
Api yang roboh bergelimpangan tak bernyawa.
Memang sudah dapat diduga kalau akhirnya
hampir semua murid Perguruan Naga Api akan tewas di tangan kakek kecil kurus
yang sakti ini. Dan untung saja tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat cepat
memasuki kancah pertarungan yang langsung
menghujani Ki Temula dengan serangan bertubi-tubi.
Plak...! Plak...!
Berturut turut Ki Temula menangkis serangan orang yang baru datang itu.
Akibatnya, tubuh bayangan itu terjengkang ke belakang, sementara tubuh Ki Temula
terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
"Ah...!"
Ki Temula berseru kaget. Disadari kalau
penyerangnya itu memiliki tenaga dalam yang tidak kalah dahsyat darinya.
"Mundur semua !" teriak orang yang menyerang Ki Temula kepada sisa murid-murid
Perguruan Naga Api.
Maka serentak Prawira dan sembilan rekannya berlompatan mundur. Mereka mengenali
betul pemilik suara itu.
Sekitar tiga tombak di hadapan Ki Temula, telah berdiri seorang kakek bungkuk
berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kumis, Jenggot. dan cambangnya berwarna
hitam. Hanya alisnya saja yang kelihatan berwarna putih.
"Apa kabar, Santa?" tanya Ki Temula. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyuman
mengejek. Keterkejutan hatinya pun sirna tatkala mengetahui orang yang telah
menangkis serangannya. Tidak aneh kalau orang yang menyerangnya itu memiliki
tenaga dalam tinggi, karena dia adalah kakak seperguruan Ki Gayadi!
Ki Santa mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Tampak sosok-sosok tubuh murid
Perguruan Naga Api yang telah berserakan tanpa nyawa. Karuan saja hal ini
membuatnya marah bukan kepalang.
"Tidak usah banyak basa-basi. Temula! Aku
menyesal sekali, tidak mempercayai ucapan murid-muridku. Akibatnya, kembali
mereka berguguran Akibat kekejianmu! Kau harus membalas semua kekejianmu ini
dengan nyawamu, Temula!"
"Ha ha ha..! Mampukah kau melakukannya.
Santa"!" ejek kakek kecil kurus itu tajam.
"Kita lihat saja buktinya!" sergah kakek beralis putih, yang ternyata tidak
pandai berdebat.
Setelah berkata demikian. tubuh Ki Santa
berkelebat menerjang. Sepasang kakinya melayang-kan tendangan bertubi-tubi ke
arah dada dan perut Ki Temula.
Ki Santa mengawalinya dengan tendangan lurus kaki kanannya ke arah perut. Namun
Ki Temula kelihatannya bersikap tenang. Tanpa ragu-ragu lagi ditangkisnya
tendangan itu dengan sabetan tangan kanan. Tapi di luar dugaan, Ki Santa menarik
kembali kakinya di tengah jalan. Dan secepat itu pula dirubah menjadi sebuah
tendangan miring ke arah dada.
"Heh"!" dengus Ki Temula.
Cepat-cepat laki-laki berwajah tirus itu mendoyongkan tubuhnya ke belakang,
sehingga tendangan lawan hanya mengenai tempat kosong.
Dan saat itulah tangan kanannya bergerak cepat melakukan totokan ke arah mata
kaki Ki Santa. Keras bukan main totokan itu sehingga menimbulkan suara angin
bersiutan nyaring.
Ki Santa tentu saja tidak ingin mata kakinya hancur oleh totokan lawan. Buru-
buru ditarik kakinya kembali, dan secepatnya mengirimkan serangan balasan yang
tak kalah dahsyatnya. Tampaknya kedua tokoh sakti itu semakin bertarung sengit.
Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan
secepatnya. Suara angin mencicit dan menderu, menyemaraki pertarungan dua tokoh sakti lain
perguruan itu. Batu-batu besar dan kecil beterbangan tak tentu arah.
Ranting-ranting berpatahan di sana-sini. Dan debu mengepul tinggi ke udara.
Prawira dan kawan-kawannya buru-buru menjauh, karena tidak berani menonton
pertarungan itu dalam jarak dekat.
Jangankan terkena pukulan mereka, bahkan angin pukulannya saja sudah cukup
membuat nyawa terancam! Ki Santa mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, seperti ingin buru-buru
mengakhiri per-kelahian ini. Kakek ini sadar kalau lawannya mempunyai banyak
keunggulan dibanding dirinya.
Memang kelihatannya Ki Temula masih giat
berlatih diri. Sedangkan Ki Santa sendiri, hampir tidak pernah lagi melatih
ilmu-ilmu yang dimiliki, kecuali hanya bersemadi. Itu pun hanya sekedarnya saja.
Memang kakek ini sudah tidak berniat lagi untuk mengotori tangannya dengan
darah. Tapi melihat keselamatan murid-muridnya terancam, guru mana yang sampai
hati" Memang tidak aneh jika menginjak jurus ke
seratus, napas Ki Santa mulai memburu. Otot-otot tubuhnya yang sudah tua dan
tidak pernah terlatih lagi itu, tidak kuat lagi untuk dipakai bertanding
demikian lama. "Ha ha ha...!"
Ki Temula tertawa terbahak-bahak melihat
keadaan lawannya yang mulai kepayahan. Kakek kecil kurus ini yakin, tak lama
lagi akan dapat merobohkan lawannya.
Saking merosotnya kondisi tubuh, maka per-
lawanan Ki Santa pun semakin mengendur. Perlahan
namun pasti, kakek beralis putih ini mulai terdesak.
Prawira dan adik-adik seperguruannya tentu saja melihat kenyataan ini. Beberapa
kali terlihat tubuh Ki Santa terhuyung ke belakang, setiap kali menangkis
serangan Ki Temula. Sampai akhirnya....
Plak...! "Akh...!" Ki Santa mengeluh tertahan.
Tubuh laki-laki tua beralis putih itu terjajar ke belakang ketika sebuah
tamparan Ki Temula menghantam bahunya. Seketika dirasakan sekujur tulang-tulang
tangannya terasa remuk-redam.
"Hiyaaa...!"
Ki Temula melompat menerjang. Tangan kanannya yang berbentuk cakar Garuda
dijulurkan ke depan, ke arah ulu hati Ki Santa. Terdengar angin bersiutan
nyaring mengiringi tibanya serangan cakar itu.
Sepasang mata Ki Santa terbelalak lebar.
Kelihatannya kondisi tubuhnya yang sudah lelah.
Tidak memungkinkan untuk menangkis atau
mengelakkan serangan itu. Yang dapat dilakukan hanyalah menanti datangnya maut
dengan mata terbuka lebar.
"Hiyaaa...!"
"Haaat...!"
"Hih..."
Sambil berteriak nyaring, tiga sosok tubuh berkelebat memotong laju serangan Ki
Temula. Mereka tidak lain adalah murid-murid Perguruan Naga Api yang secara nekad
menyerang kakek berwajah tirus. Tampak tiga batang pedang pun berkelebat cepat
mencari sasaran, menuju ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
"Jangan...!" teriak Ki Santa mencegah. Kakek beralis putih ini tahu akibat yang
akan dihadapi tiga
orang muridnya bila mencoba memotong serangan Ketua Perguruan Garuda Sakti.
Sementara itu, Ki Temula kelihatan geram dan marah bukan main melihat tindakan
tiga orang itu.
Terpaksa diurungkan niatnya menyerang Ki Santa.
Segera kedua tangannya berputaran cepat. Maka...
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang saling susul.
Sedangkan Ki Santa memandang dengan mata
membelalak. Hampir saja air matanya menetes melihat robohnya tiga sosok tubuh
murid yang telah menyelamatkan nyawanya. Kepala mereka semua remuk terkena cakar
maut Ki Temula.
"Ha ha ha...! Kini giliranmu, Santa! Ingin kulihat, siapa yang akan
menyelamatkanmu kali ini! Hiya...!"
Ki Temula meluruk menerjang Ki Santa. Kedua tangannya yang berbentuk cakar
menyerang ke arah ubun-ubun dan dada kakek beralis putih itu.
Tapi sebelum Ki Santa berbuat sesuatu, sesosok bayangan ungu telah lebih dulu
melesat memapak serangan itu.
Prarrt...! Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke belakang. Sedangkan Ki Temula
kaget bukan main.
Sekujur tangannya terasa nyeri bukan main. Bahkan dadanya pun terasa sesak.
Sadarlah kakek kecil kurus berwajah tikus itu kalau orang yang baru datang ini
memiliki tenaga dalam sangat tinggi.
"Dewa Arak...!" dengus Ki Temula tajam ketika melihat sosok pemuda berambut
putih keperakan di hadapannya.
Ki Temula sadar, keberadaan Dewa Arak di situ
jelas akan membuat kedudukannya tidak
menguntungkan. Rasanya bodoh kalau dia masih memaksakan diri untuk melawan
pemuda berbaju ungu itu. Mungkin kalau menghadapi Dewa Arak saja, dia tidak
gentar. Tapi di sana masih ada Ki Santa!
Maka, sebelum Dewa Arak sempat berbuat
sesuatu, tangannya segera bergerak ke balik jubah-nya. Dan secepat tangan itu
keluar, secepat itu pula berhamburan puluhan batang jarum halus ke arah Arya.
Bersamaan dengan itu, tubuh kakek berwajah tirus itu melesat pergi dari situ.
Dewa Arak kaget bukan main. Serangan itu sama sekali di luar dugaannya. Memang,
bagi Dewa Arak tidak sulit untuk mengelakkan serangan itu dan terus mengejar Ki
Temula. Tapi, Dewa Arak tidak ingin mengambil resiko. Kalau serangan itu
dielakkan, bukan tidak mungkin akan membawa korban murid-murid Perguruan Naga
Api, atau Ki Santa. Dan Arya tidak ingin hal itu terjadi. Segera dikeluarkan
jurus yang jarang digunakannya, jurus 'Pukulan Belalang'!
Wusss..! Angin berhawa panas menyambar deras dan
langsung memukul runtuh jarum-jarum yang
Kemelut Di Pulau Aru 1 Rahasia Dewi Purbosari Karya Aryani W Perawan Lembah Wilis 10
^