Cinta Sang Pendekar 3
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar Bagian 3
yang lebih unggul. Tapi rupanya kami sedang sial, karena lagi-lagi berhasil dikalahkan gurumu. Semenjak
itu kami pun kembali giat berlatih, memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Tapi siapa sangka, di
waktu kami telah merasa yakin akan dapat mengalahkannya, Ular Hitam telah lebih
dulu pergi ke alam baka. Siapa yang tidak kesal" Untunglah ada dirimu yang
menjadi muridnya. Tapi tentu saja kau akan kami beri kelonggaran. Kau kuberikan
kesempatan mencari kawan untuk menantang kami berdua.
Kau kami tunggu bulan purnama mendatang di Puncak Bukit Gading. Dekat pohon
flamboyan kembar."
Setelah berkata demikian, Kelabang Hijau
segera melesat dari situ, diikuti Dewi Bulan.
Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam sekejap saja yang terlihat hanya
dua buah titik yang semakin lama semakin kecil yang akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang.
Dipandanginya bayangan tubuh kedua orang itu, sampai akhirnya tak terlihat lagi.
*** Arya yang tengah diamuk amarah meluap-
luap, mengerahkan segenap kemampuan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Dewa Arak memang ingin
buru-buru sampai di rumah
kediaman Kepala Desa Jipang, yang kini ditempati Darba dan anak buahnya.
Beberapa hari. kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini pun telah sampai di mulut desa. Tapi, Dewa Arak
agak terperanjat ketika tiba di simpang tiga. Tampak di depan pintu gerbang
rumah kepala desa itu tengah terjadi keributan. Di situ juga terlihat beberapa
orang yang dikenali sebagai anak buah Darba. Mereka kini tengah mengeroyok
seseorang yang tidak jelas terlihat karena jarak yang agak jauh.
Bergegas Arya berlari menghampiri. Sesaat
kemudian Dewa Arak telah berada dalam ja rak tiga tombak da ri arena
pertempuran. Dari sini dapat terlihat jelas, siapa orang yang tengah dikeroyok
itu. Dan ini membuat pemuda berbaju ungu ini menjadi agak terkejut.
Orang yang tengah dikeroyok itu berusia
sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Pada baju hitam bagian dada
sebelah kiri terdapat sulaman cakar burung garuda dari
benang emas. Di tangannya tergenggam sebuah baja hitam berbentuk cakar yang
dikibas-kibaskan dengan ganas. Ke mana saja cakar baja hitam
bergerak, di situ pa sti ada sesosok tubuh yang rubuh.
"Cakar Garuda...," desah Arya.
Tapi pemuda ini tidak bisa berlama-lama
mengamati pertarungan. Ternyata Darba yang memang ada di situ dan tengah
dicarinya, bergerak menghampiri.
"Heh"! Kau lagi, Dewa Arak" Rupanya kau tidak kapok juga. Atau, kali ini
bersama-sama temanmu akan
mengeroyokku?" ejek
Darba memanas-manasi. Sepasang matanya berkeliaran ke sekeliling mencari-cari Gumala.
Diam-diam pemuda ini memang merasa cemas, kalau pemuda murid Ki Jula ga itu
datang. Hatinya merasa lega ketika tidak melihat bayangan pemuda berbaju hitam
itu. "Pembunuh biadab! Kau harus menebus
perbuatan kejimu itu pada guru dan ibuku!"
"Ha ha ha...!" tawa mu rid Ki Jatayu itu meledak.
"Syukurlah
kalau kau telah mengetahuinya. Sayang, waktu itu kau tidak berada di sana, Dewa Arak. Kalau saja
ada, tentu aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu!"
Arya menekan kemarahan yang membakar
dada. Walau perasaan marah yang melanda telah begitu besarnya, tapi pemuda ini
berusaha untuk tidak mengumbarnya. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
mulai memasuki tenggorokannya. Tubuhnya pun
mulai terasa hangat. Dewa Arak sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki
kepandaian tinggi.
Maka kini dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalannya.
Sret! Sret! Darba pun mencabut kapak yang terselip
di pinggangnya. Secepat itu pula, pemuda berbaju coklat ini melayangkannya ke
arah Arya Buana.
Suara angin menderu keras menyambar
sebelum serangan kapak itu sendiri tiba. Arya tidak berani bertindak gegabah.
Segera saja kakinya bergerak melangkah
terhuyung dan sempoyongan, sehingga serangan kapak Darba mengenai tempat kosong.
Tapi pemuda baju coklat itu tidak bingung.
Rupanya Darba telah cukup mengenal Ilmu
'Delapan Langkah Belalang'. Terbukti walaupun serangan kedu a kapaknya
mengenai tempat
kosong, tapi dengan kecepatan gerak tangan yang mengagumkan, diputarnya kedua
kapak itu. Seketika dua senjata itu dihantamkan ke belakang melalui bawah ketiak.
Dugaan Darba sama sekali tidak salah.
Selagi pergelangan tangannya memutar kapak dari belakang, Dewa Arak memapak
menggunakan guci ke belakang punggung Darba.
Klanggg...! Klanggg...!
Terdengar benturan nyaring ketika kapak
itu bertemu badan guci. Akibatnya kedua belah pihak
sama-sama terhuyung dua langkah. Bedanya, kalau Arya terhuyung mundur, sedangkan Darba melangkah maju.
Meskipun tubuhnya masih terhuyung, Dewa Arak menyempatkan diri memeriksa gucinya. Benturan yang keras itu membuatnya merasa khawatir kalau-kalau gucinya
itu rusak. Legalah hatinya ketika dilihatnya tidak ada kerusakan sedikit pun pada gucinya.
Jangankan rengat, gompal saja tidak!
Ketika tenaga yang mendorongnya habis,
cepat-cepat Arya
memburu dengan totokan- totokan ke arah kepala Darba. Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih
keperakan itu. Tapi, gerakan yang dilakukan murid Ki Jatayu juga tak kalah cepat.
Wut! Wut...! Sambil membalikkan tubuh, Darba mengayunkan kedua kapaknya memapak tangan
kiri Dewa Arak yang melakukan totokan-totokan berbahaya ke kepalanya. Dan tentu
saja pemuda berpakaian ungu ini tidak bersedia tangannya terpapas putus oleh
sepasang kapak di tangan lawan. Dengan liukan aneh, kembali ditarik pulang
serangannya. Berbareng dengan itu, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan
menyambar ulu hati.
Seketika Darba terperanjat, namun tidak
menjadi gugup. Segera digenjotkan kakinya. Di lain saat, tubuhnya melenting,
lewat di atas kaki yang mengarah ulu hatinya itu.
Wut...! Bersamaan dengan itu, kapak di tangan
kanannya disabetkan
ke arah leher Arya. Sedangkan Dewa Arak yang tahu akan keistimewaan gucinya, tidak ragu-ragu lagi untuk menangkisnya.
Klanggg...! Lincah laksana seekor kera, Darba menggulingkan tubuhnya di tanah. Cepat-cepat dia bangkit kembali, lalu dengan
kecepatan mengagumkan langsung menyerang Arya. Kedua kapak di tangannya pun
kembali berkelebat cepat mencari sasaran.
Arya yang memang tengah sakit hati
terhadap pemuda itu, tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk aneh, dan
langkah-langkahnya
sempoyongan. Tapi justru dengan beriingkah seperti itulah letak kedahsyatannya.
Darba kini harus menelan kenyataan pahit.
Lawannya ternyata kini tidak selemah dulu.
Dengan guci di tangan, kepandaian Dewa Arak kini luar biasa sekali. Sekarang
pemuda berbaju coklat itu merasakan kehebatan Arya Buana. Dan Darba juga baru
sadar kalau kehebatan pemuda di hadapannya ini bertumpu pada gucinya.
Puluhan jurus telah berlalu, tapi belum
nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Kepandaian keduanya kelihatan masih seimbang.
*** 7 Sementara itu pertarungan antara Cakar
Garuda menghadapi pengeroyokan anak buah
Darba, berlangsung tidak seimbang. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas
itu, memang terlalu tangguh untuk para pengeroyoknya. Setiap kali besi berbentuk
cakar di tangannya bergerak, setiap kali pula ada satu nyawa melayang. Jerit
kematian terdengar saling susul.
"Aaa...!"
Pekik nyaring melengking panjang, mengiringi rubuhnya orang terakhir para pengeroyok itu.
Cakar Garuda memandangi tubuh-tubuh
yang terkapar itu sejenak, baru kemudian beralih pada pertarungan antara Dewa
Arak menghadapi Darba. Terdengar suara bergemeletuk dari gigi-gigi Wakil
Ketua Perguruan
Garuda Emas ini. Amarahnya langsung bangkit ketika melihat orang yang dicari-carinya,
karena telah membasmi perguruannya. "Hiyaaa...!"
Diiringi pekik kemarahan laksana binatang
terluka, Cakar Garuda m elo m pa t menerjang Darba, ketika pemuda itu tengah melentingkan tubuhnya
ke belakang untuk menghindari serangan Dewa Arak.
Arya kaget bukan main, ia tahu kalau
Cakar Garuda bukanlah tandingan Darba. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu masih
terlalu rendah. Jadi,
kalau dia menyerang pemuda baju coklat itu sama saja dengan mencari mati.
"Tahan...!" cegah Arya berteriak.
Tapi terlambat. Tubuh Cakar Garuda telah
melompat menerjang. Seketika Dewa Arak jadi menunda serangannya. Tubuh Cakar
Garuda yang melayang itu jelas menghalangi gerakannya.
Darba hanya mendengus. Tiba-tiba saja
jari-jari kedua tangannya
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terbuka, dihentakkan ke depan.
Wusss.... Bresss...! "Hugh...!"
Angin yang amat kuat keluar dari telapak
tangan Darba yang terbuka itu, dan meluruk deras ke arah
Cakar Garuda. Wakil Ketua
Perguruan Garuda Emas ini kaget sekali. Dicobanya untuk mengelak. Tapi tubuhnya yang berada di
udara itu menyulitkannya untuk
menghindari. Apalagi memang tingkat ilmu meringankan tubuhnya belum mencapai taraf
kesempurnaan. Kontan serangan pukulan jarak jauh itu
menghantam telak tubuh Cakar Garuda, sehingga mengeluh tertahan. Tubuhnya
terpental kembali ke belakang bagai diterjang angin ribut. Dari mulut, hidung,
dan tehnganya mengalir darah segar.
Pukulan jarak jauh Darba memang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi.
Brukkk..! Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini jatuh
di tanah. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar di tanah, kemudian akhirnya diam
tidak bergerak lagi.
Arya Buana terpaku sesaat. Tapi tak la ma
kemudian amarahnya melonjak.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak m elen gkin g nyaring memekakkan telinga, Dewa Arak
menerjang Darba. Wut...! Ketika guci Dewa Arak terayun deras ke
arah kepala Darba, pemuda berbaju coklat itu menarik kepalanya ke belakang tanpa
menarik kakinya.
Wusss...! Guci itu meluncur deras beberapa rambut
di depan wajah Darba. Begitu kerasnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu,
sehingga rambut berikut seluruh pakaian Darba berkibar keras. Dan cepat-cepat
pemuda berbaju coklat itu
memberi serangan balasan yang tidak kalah
berbahayanya. Wut...! Cepat bagai kilat kakinya melesat ke arah
dada Dewa Arak. Sadar akan bahaya besar yang mengancam, Arya segera menangkis
serangan itu dengan tangan kirinya disertai tetakan ke bawah.
Takkk...! Tubuh Darba melintir. Memang bila dibanding Dewa Arak, posisi pemuda berbaju coklat itu lebih tidak menguntungkan.
Namun demikian, berkat kelihaiannya, Darba dapat segera memperbaiki
posisinya. Bahkan kembali menerjang lawan dengan serangan-serangan
dahsyat. Pertarungan sengit pun kembali berlangsung. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, memang tingkat
keduanya berimbang. Itulah sebabnya sampai sekian lamanya pertarungan itu berlangsung kembali, tetap belum nampak tanda-tanda
siapa yang akan terdesak.
Memasuki jurus keseratus lima puluh,
mulai tampak kalau Dewa Arak berhasil mendesak lawan. Ki Gering Langit memang
menciptakan ilmu 'Belalang Sakti', khusus untuk menangkal ilmu-ilmu
yang telah dibawa lari pelayan- pelayannya! Maka tidaklah aneh jika memasuki jurus
keseratus lima puluh, Darba mulai terdesak.
Sepasang kapak perak mengkilat di tangannya
kini gerakannya sudah mulai terlambat, tidak lagi malang-melintang
seperti sebelumnya. Dua senjata itu lebih banyak dipakai untuk melindungi setiap serangan yang datang.
Hanya sekali-sekali saja sepasang kapak perak itu meluruk ke arah Arya. Itu pun
tidak sedahsyat seperti sebelumnya.
Sebaliknya serangan Dewa Arak semakin
dahsyat, bertubi-tubi bagaikan hujan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'
dan jurus 'Belalang Mabuk'-nya, Arya terus melakukan desakan. Sampai pada suatu saat...
"Hiyaaat..!"
Wut...! Darba kembali berteriak seraya melancarkan ser a nga n dahsyat pada suatu kesempatan baik. Kedua kapak perak dibabatkannya ke arah leher dan kepala lawan.
Tapi untuk yang
kesekian kalinya,
dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'
Arya berusaha menghindarinya. Langkahnya
terhuyung-huyung seperti biasa untuk mengelak dari ancaman kedua kapak perak
itu. Dan tahu-tahu tubuh Arya telah berada di belakang Darba.
Sebelum pemuda berbaju coklat itu sadar,
Arya sudah mengayunkan guci araknya.
Wut..! Dengan deras guci itu melayang ke arah
kepala Darba. Murid Ki Jatayu ini terperanjat kaget Maka
sedapat dapatnya dirundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran guci
lawan. Wusss...! Usaha untung-untungannya berhasil juga.
Guci itu lewat di atas kepalanya. Tapi, Arya tidak tinggal
diam. Segera dilancarkan serangan susulan. Bukkk...! "Huakkk...!"
Telak sekali pukulan tangan kiri Dewa Arak mendarat di punggung Darba. Keras
bukan main, sehingga tubuh pemuda itu terjerembab ke depan.
Cairan merah kental terlontar keluar dari mulutnya. Jelas pemuda berbaju coklat itu terluka dalam!
Namun kekuatan tubuh murid Ki Jatayu
ini memang patut dipuji. Sekalipun sudah terluka parah, dan posisinya tidak
memungkinkan, dia masih berusaha menghambat serangan susulan lawan. Seketika
disabetkan kedua kapaknya ke belakang.
Wut..! Begitu serangan Darba lewat, kaki kanan
Dewa Arak mencuat ke depan.
Bukkk...! ' Hugh...!'' Darba mengeluh pendek. Tendangan itu telak mendarat di perutnya, dan kapak peraknya pun terlepas dari
genggaman! Babatan kedua kapak itu hanya mengenai
tempat kosong, karena Dewa Arak memang belum mengirimkan
serangan susulan. Baru begitu
serangan kedua kapak itu lewat, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan.
Bukkk...! "Hugh...!" Darba mengehah pendek.
Untuk yang kedua kalinya serangan Arya
mengenai sasarannya. Tendangan itu telak mendarat di perut lawan. Tubuh pemuda itu
terbungkuk, dan kapak peraknya terlepas dari genggaman. Mulutnya meringis
menahan rasa sakit dan mual pada perutnya. Darah segar pun menetes dari sela-sela bibirnya.
Dan belum lagi pemuda berbaju coklat itu memperbaiki posisinya, kembali tangan
Arya berkelebat.
Wut..! Prak! "Aaakh...!" terdengar suara berderak keras, ketika guci pusaka di tangan Arya
membentur kepala pemuda baju coklat itu Darba mengeluh tertahan, kemudian ambruk
ke tanah. Pemuda itu tidak akan pernah bangkit lagi selama-lamanya.
Arya Buana memandangi tubuh yang
terbujur di tanah itu sebentar, kemudian beralih ke tubuh Cakar Garuda, dan
belasan sosok tubuh anak buah Darba yang terbujur di tanah. Dan kini kembali
tatapannya beralih pada tubuh Darba.
Sebentar kemudian pemuda berambut putih
keperakan ini menengadahkan kepalanya, menatap langit.
"Kakek..., Ibu..., tenanglah kalian di dalam kubur...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa
Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tidak ada lagi kebisingan dan hiruk pikuk
pertarungan. Di tempat itu kini hanya ada keheningan dan
kesenyapan, setelah tubuh Arya Buana alias si Dewa Arak lenyap ditelan jalan.
*** Seorang pemuda berwajah jantan, dan
berambut putih keperakan tampak terduduk di atas sebuah batu besar yang lebar
dan datar di Puncak
Bukit Gading. Kepalanya tertunduk sepertinya ada beban berat yang tengah menekan batinnya.
Pemuda yang memang adalah Arya Buana,
tengah merenung seperti ada yang menggayuti pikirannya.
Dan itu bisa ditebak permasalahannya. Pertama dengan Melati. Dan kedua dengan dua orarig saingan
gurunya yang mengajaknya bertarung. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Arya
tak lupa menanyakan kepada setiap orang tentang seorang gadis cantik berpakaian
putih atau seorang pemuda tampan berpakaian hitam. Ta pi sampai sekian jauh,
keterangan ini tidak didapatkan. Sampai akhirnya dia tiba di tempat ini.
"Hhh...!"
Pemuda berpakaian ungu itu mendesah.
Kepala Arya mendongak, menatap bulan bulat berwarna kuning keemasan yang nampa k
di langit. Malam ini memang bulan purnama, malam yang dijanjikan Kelabang Hijau.
Memang, di tempat inilah kakek gundul berkulit kehijauan itu menjanjikan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertarungan dengan Dewa Arak.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik.
Arya Buana yang tengah menikmati indahnya purnama bergegas memalingkan kepalanya. Tanpa melihat pun sebenarnya sudah dapat diduga kalau orang yang
mengeluarkan tawa seperti itu pasti Dewi Bulan!
Dugaan pemuda ini memang tidak salah.
Sekitar tiga tombak di samping kanannya, tampak dua sosok tubuh yang memang
sudah ditunggu-tunggunya.
"Luar biasa!" teriak Kelabang Hijau. "Dewa Arak! Rupanya kau ini memang terlalu
sombong! Bukankah sudah kukatakan, kalau kami telah terbiasa bertanding berdua" Bukankah
kau telah diberikan kebebasan membawa kawan untuk
menghadapi kami. Berapa pun jumlah kawanmu tak masalah. Tapi rupanya kau ini
terlalu berani.
Atau kau terlalu sombong, sehingga saran kami sama sekali tidak digubris"!"
"Ada banyak alasan yang membuatku tidak dapat memenuhi saranmu itu, Kek," ucap
Arya tenang seraya bangkit dari batu yang didudukinya.
"Hm.... Apa itu, Dewa Arak!?" tanya Dewi Bulan. Kasar dan ketus suaranya.
"Pertama, kusadari kalau urusan ini adalah urusan pribadi guruku, Kakek Ular
Hitam. Jadi, tidak sepantasnya kalau membawa-bawa orang luar dalam urusan
pribadi ini. Dan kedua, sangat sulit
mencari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti kakek berdua. Kalau kupaksakan, bukankah hanya akan mencelakakan orang itu?"
Kelabang Hijau manggut-manggut.
"Bisa kuterima alasanmu, Dewa Arak"
"Terima kasih, Kek!"
"Jangan'terburu-buru
berterima kasih, Dewa Arak!" sergah Dewi Bulan cepat. "Urusan kami denganmu kini tidak hanya satu
macam!" Arya mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu, Nek?"
"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!
Bukankah kau yang telah membunuh majikan
kami"!"
"Membunuh majikan kalian"! Aneh"! Kalau boleh kutahu, siapa majikan kalian?"
tanya Arya. Kerut pada dahinya pun semakin dalam.
"Seorang pemuda
bersenjata sepasang
kapak warna perak mengkilat!"
"Dia majikan kalian?" tanya Dewa Arak Nada suaranya mengandung keheranan yang
besar. "Ya! Karena begitulah bunyi perjanjian antara kami dengannya!" selak Kelabang
Hijau. "Kami bertemu dan bertempur. Dengan licik dia memancing kami ke dalam suatu
perjanjian. Yaitu, apabila dalam tiga puluh jurus kami tidak berhasil
merobohkannya, dia akan menjadi majikan kami!
Jadi, terpaksa kami harus membalaskan dendamnya padamu,Dewa Arak!"
"Bagaimana" Bisa dimulai sekarang" Atau kau sengaja ingin mengulur waktu, Dewa
Arak"!"
selak Dewi Bulan keras. Nenek ini memang sudah merasa kurang suka terhadap Arya
Buana, karena telah membuatnya terhuyung dalam adu tenaga beberapa waktu yang
lalu. "Lebih cepat lebih baik, Nek!" sambut Dewa Arak. Sadar akan kelihaian kedua
orang yang berada di hadapannya itu, pemuda ini segera memindahkan
guci ke tangannya. Sebentar kemudian diangkat gucinya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
memasuki tenggorokannya. Di lain saat tubuh Arya pun mulai terasa hangat dan
agak limbung. Dewa Arak menurunkan gucinya kembali. Dan
saat itulah nenek berpakaian putih itu melesat ke arahnya. Gerakannya cepat
bukan main. "Hiyaaa...!"
Dewi Bulan telah merasakan sendiri kelihaian pemuda di hadapannya ini. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi digunakan
tongkat bulan sabitnya untuk mendesak Dewa Arak.
Wut..! Tongkat berujung bulan sabit itu meluncur
cepat ke arah perut Arya. Angin bersiut nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
Hebat dan cepat bukan main serangan itu.
Tapi yang diserangnya kali ini bukanlah
tokoh kosong. Seorang tokoh muda yang telah berkali-kali menghadapi lawan
yang teramat tangguh. Dan bahkan telah berkali-kali pula terancam serangan berbahaya. Maka
menghadapi serangan tongkat berujung bulan sabit
itu, pemuda berambut putih keperakan ini tidak
menjadi gugup karenanya.
Seperti biasa, dengan gerakan tak lumrah
dari jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkan serangan itu. Walaupun keadaan
mengancam, berkat gerak aneh jurus itu, Dewa Arak malah berbalik mengancam.
Sekali mengelak, Dewa Arak telah berada
di belakang Dewi Bulan. Tapi sebelum pemuda itu sempat melepaskan serangan,
Kelabang Hijau telah terlebih dulu menyerangnya.
Terpaksa Arya mengurungkan niat untuk
menyerang Dewi Bulan. Dan dengan cepat pula dielakkannya serangan kakek itu. Dan
belum juga sempat membalas, kembali serangan Dewi Bulan telah mengancam. Tentu
saja hal ini membuat Dewa
Arak kewalahan menghadapi hujan serangan dahsyat yang sating susul.
Beberapa gebrak kemudian, keriga orang
ini pun sudah terlibat sebuah pertarungan berat
sebelah. Dewa Arak terus-menerus didesak lawannya, tanpa mampu balas menyerang.
Untunglah pemuda berambut putih keperakan ini memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' ya ng
sangat aneh sehingga dapat
mengelakkan serangan yang bagaimanapun sulitnya. Dan berkat jurus inilah Dewa Arak mampu mengelak, sekalipun hujan
serangan datang silih berganti bagaikan hujan.
Untuk pertama kalinya, Arya harus mengakui betapa beratnya tekanan kedua lawannya ini. Lebih berat ketimbang Darba. Kerja sama kedua orang ini begitu
rapi, saling bantu dan saling melindungi.
Belasan jurus telah berlalu. Dan selama
itu, belum ada satu pun serangan balasan yang dilancarkan
Arya. Serangan silih berganti lawannya membuatnya tida k mempunyai kesempatan balas menyerang. Sa m pa i sekian lamanya, Dewa Arak hanya mampu
mengelak dan bertahan.
Tempat pertarungan puri
tanpa terasa telah bergeser jauh. Hal ini karena Arya terus-menerus bermain
mundur. Pernah sesekali, pemuda ini mencoba balas menyerang menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi akibatnya ia sendiri yang
hampir celaka. Karena begitu serangannya hampir dilancarkan, serangan balasan dari
lawan-lawannya telah
meluncur tiba. Terpaksa Arya pontang-panting menyelamatkan diri.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan ketiga
orang yang tengah bertarung, sepasang mata indah milik seorang wanita cantik
berpakaian serba putih, mengamati jalannya pertarungan dari balik
semak-semak. Wajahnya yang cantik menyiratkan pera sa a n cemas yang dalam. Beberapa kali terlihat kedua tangannya mengepal, pertanda hatinya tengah dilanda
perasaan tegang.
Empat puluh lima jurus telah berlalu. Dan
kedudukan Arya pun semakin terjepit. Hingga akhirnya pada jurus kelima puluh
satu, serangan tombak bulan sabit milik Dewi Bulan meluncur deras mengancam
dadariya. Maka Dewa Arak
memutuskan untuk menangkisnya.
Klanggg...! "Hugh...!?"
Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang
beberapa tombak jauhnya. Selintas tadi terlihat Kelabang
Hijau menempelkan kedua tapak tangannya di punggung Dewi Bulan, begitu Arya memapak serangan tusukan tombak
berujung bulan sabit. Melihat hal ini Dewa Arak terperanjat. Dia tahu kalau kakek berkepala gundul itu
tengah menyalurkan tenaga dalam. Tenaganya disatukan dengan tenaga nenek itu,
lalu bersama-sama menghadapi tenaga Arya.
Tak pelak lagi, perpaduan dua tenaga
dalam dahsyat itu tidak dapat ditahan Dewa Arak.
Untung saja beradunya tenaga dalam tadi terjadi secara
tidak langsung melainkan melalui perantara. Sehingga akibatnya tidak terlalu berarti bagi Dewa Arak. Pemuda
berpakaian ungu ini hanya merasa sedikit sesak pada dadanya.
Ilmu 'Belalang Sakti' memang memiliki
keistimewaan dalam hal meringankan tubuh.
Gerakan sesulit apa pun akan sama seperti
gerakan biasa. Sehingga walaupun Arya berada dalam keadaan kritis, dan serangan
Dewi Bulan kembali menyambar cepat, dia masih mampu
mengelakkannya.
"Keparat!" Nenek itu berteriak memaki.
Perasaan geramnya kian bergejolak, ketika Arya kembali berhasil lolos.
Tapi tepat saat serangan Dewi Bulan tiba,
serangan Kelabang Hijau juga menyambar tiba.
Arya terperanjat. Padahal dia baru saja mengelakkan serangan nenek berpakaian putih.
Tidak ada
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi kesempatan baginya untuk mengelak ataupun menangkls, karena serangan itu datangnya terlalu cepat
Di saat yang kritis itu, tiba-tiba melesat satu bayangan putih yang dengan
kecepatan luar biasa menangkis serangan itu.
Plak...! Tubuh sosok bayangan putih itu terpental
balik ke belakang. Sedangkan tubuh kakek gundul berkulit kehijauan terhuyung ke
belakang. Tapi manis
sekali sosok bayangan putih itu mematahkan daya lontar pada tubuhnya. Kedua kakinya pun hinggap di tanah hampir
tanpa suara. Kelabang Hijau langsung menggeram. Kakek berkulit kehijauan ini murka
bukan kepalang karena m enya da r i
ada orang yang sanggup membuat tubuhnya terhuyung dalam adu tenaga. Apa lagi ketika melihat
bahwa yang menangkisnya adalah seorang gadis yang masih sangat muda.
"Siapa kau, Cah Ayu! Menyingkirlah cepat sebelum
aku ter pa ksa bertindak keras terhadapmu!"
ancam Kelabang Hijau. Bagaimanapun juga dia merasa malu untuk
bertindak kasar terhadap seorang gadis yang masih begitu muda.
"Melati...!" teriak Arya keras. Ditatapnya gadis yang telah menyelamatkannya
penuh rasa rindu. Tapi Melati hanya tersenyum sekilas.
Namun hal itu sudah cukup bagi Arya. Kontan semangatnya pun bangkit kembali.
"Kau hadapi nenek itu, Melati!" teriak Arya seraya melompat mendekati Kelabang
Hijau Tapi tiba-tiba kakek berkepala gundul itu
menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
"Tunggu, Dewa Arak!" cegah Kelabang Hijau.
"Mengapa, Kek?" tanya Arya. Tidak ada nada permusuhan dalam suaranya. Dewa Arak
tahu, kalau kakek dan nenek ini menyerangnya bukan karena dendam.
"Urusan ini telah selesai sampai di sini."
"Heh"!" Arya tersentak kaget "Mengapa begitu?"
Kelabang Hijau menghela napas. "Kami
telah bersepakat untuk mengaku kalah padamu jika kau sanggup menghadapi kami
selama lima puluh jurus. Sekaligus menganggap habis semua urusan."
Melati tersenyum mengejek. "Lalu, mengapa tadi kalian masih menyerang terus"
Padahal jelas-jelas pertarungan sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus!"
"Maaf, kami khilaf!"
"Lalu maksudmu bagaimana, Kek?" selak Dewa Arak yang tidak ingin urusan jadi
berlarut-larut.
"Ya. Ternyata kaulah pemenangnya. Kami berdua mengaku kalah! Selamat tinggal,
Dewa Arak!" Setelah berkata demikian, tubuh kakek berpakaian rompi hijau ini
melesat diikuti sesosok bayangan putih. Cepat sekali gerakan kedua bayangan itu.
Dalam sekejap saja hanya tinggal dua buah titik kecil hitam di kejauhan yang
kemudian lenyap.
Kali ini Arya tidak ingin kecolongan lagi!
Begitu, Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melesat dari situ, bu ru-buru dialihkan
perhatiannya ke arah Melati. Dan begitu dilihatnya gadis itu hendak melesat
kabur kembali, segera Dewa Arak melompat menghadang. Kini mereka berhadapan
dalam jarak dua tombak.
"Melati...," tegur Dewa Arak Suaranya terdengar gemetar.
Gadis yang dulu terkenal berjuluk Dewi
Penyebar Maut ini tidak menjawab, dan hanya berdiri diam. Kepalanya pun
ditundukkam dalam-dalam. Memang sejak mengenal pemuda di
hadapannya ini,
sifatnya telah benar-benar berubah. Hampir tidak pernah lagi gadis itu menurunkan tangan maut pada
lawannya, kalau tidak terpaksa sekali!
"Melati...," sapa Arya lagi. Dilangkahkan kakinya mendekati gadis yang masih
tetap diam tidak bergeming.
"Aku ingin
minta maaf atas semua kesalahanku padamu. Maukah kau memaafkan?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut
gadis itu. Dewa Arak diam menunggu sabar.
Akhirnya setelah beberapa saat lamanya, kepala gadis itu terangguk pelan.
"Ah...! Terima kasih, Melati! Sudah kuduga, kau pasti gadis yang baik..... Nggg...
Maukah kau melakukan perjalanan bersamaku lagi..., seperti beberapa waktu yang
lalu?" Beberapa saat lamanya suasana menjadi
hening, begitu Arya menghentikan ucapannya
"Untuk apa..,?" akhirn ya keluar juga suara dari mulut gadis itu.
"Aku ingin menemui gurumu...?"
Melati tersentak. "Menemui guruku"!"
"Ya. Guruku,
Ki Gering Langit telah
menugaskan agar aku mengambil kembali kitab-kitab yang dulu.., maaf... telah
dicuri gurumu. Oh,
ya.... Siapakah gurumu" Ki Julaga..., atau Ki Jatayu?"
"Ki Julaga."
"Bagaimana, Melati?" desak Dewa Arak.
Perasaan tegang melanda hatinya. Hanya tinggal gadis
di hadapannya inilah yang dapat menunjukkan tempat tinggal orang-orang yang telah membawa lari kitab-kitab
pusaka gurunya.
Kalau Melati menolak, sia-sialah usaha yang selama ini dilakukannya.
"Aku ber sedia, "
ucap Melati. "Guruku
memang sudah lama ingin mengembalikan kitab-kitab
itu. Beliau merasa bersalah telah mencurinya, dan
sudah lama berniat ingin
mengembalikannya. Syukur kalau kau berniat mengambilnya..., Kang."
Arya tersenyum simpul. Geli juga hatinya
melihat gadis itu ragu-ragu memanggilnya.
"Panggillah
aku seperti Gumala memanggilku."
Melati tersenyum. Arya pun tersenyum.
Hati Dewa Arak diam-diam agak heran. Mengapa kini alam jadi terasa lebih indah
dan berseri-seri.
Pohon-pohon, batu-batu, rembulan
di langit, sepertinya semua ikut tersenyum bersamanya.
*** 8 "Di sanalah selama ini guruku tinggal, Kang Arya," jelas Melati. Tangannya
menunjuk pada sebuah gua yang cukup besar dan kelihatan gelap menghitam di
kejauhan. Dewa Arak menatap suasana di sekitarnya.
Harus diakui kalau tanpa bantuan Melati, tidak mungkin
baginya dapat menemukan
tempat tinggal Ki Julaga. Tempat kakek itu begitu
tersembunyi, terletak di sebuah gua yang terdapat di lereng bukit yang sukar
didaki. Berkat ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit bagi mereka untuk mencapai gua. Dalam
beberapa kali lompatan saja, Melati dan Dewa Arak telah berada di mulut gua.
Tapi tiba-tiba Melati tersentak kaget,
karena mendengar suara orang bertengkar dari dalam
gua. Ber gega s gadis itu berkelebat memasuki gua itu, diikuti Arya yang sa ma sekali tidak tahu-menahu. Diam-diam
Dewa Arak kaget juga ketika mengetahui bagian dalam gua ini ternyata luas
sekali. Sekejap kemudian Arya melihat Melati
tengah menatap cemas pada dua orang kakek
yang tengah berhadapan. Yang seorang bertubuh kecil kurus dan kelihatan sudah
tua sekali. Rambut, kumis, alis, dan jenggotnya telah putih semua. Bahkan jenggot itu
panjang sampai ke dada. Entah berapa usia kakek ini.
Sedangkan yang seorang lagi juga kurus.
Hanya saja tubuhnya tidak kecil, melainkan agak tinggi. Kumisnya hanya beberapa
lembar dan panjang menjuntai melewati mulut Matanya sipit memancarkan kelicikan.
"Yang mana gurumu ?" tanya Dewa Arak lirih.
Melati menoleh. "Yang kecil!"
"Kau harus serahkan padaku, Kakang
Julaga"!" kembali terdengar suara si tinggi kurus.
Nada suaranya penuh ancaman.
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, selamanya tidak, Adi Jatayu! Kitab itu dan kitab
lainnya akan kukembalikan kepada yang berhak!" bantah si kecil kurus.
"Kau bodoh, Kakang!"
"Tidak! Justru aku bodoh kalau sampai terkena bujukanmu lagi seperti dulu!"
"Kalau begitu terpaksa akan kugunakan kekerasan!" teriak Ki Jatayu.
"Silakan. Aku tidak akan melawan, dan kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap
akan dapat mendapatkan
kitab-kitab yang bukan hakmu itu!" tegas dan jelas kata-kata Ki Julaga.
Ki Jatayu menggeram. Sepasang matanya
yang sipit seperti memancarkan
api ketika menatap wajah guru Melati itu.
"Kalau begitu, kau harus kukirim ke
neraka!" Setelah berkata demikian, Ki Jatayu melompat menerjang. Cepat bukan main gerakannya. Baik Dewa Arak maupun Melati
sama-sama terkesima melihat kecepatan gerak yang belum pernah mereka saksikan
selama ini. Ki Jatayu menyerang Ki Julaga dengan
tusukan-tusukan jari tangan terbuka lurus. Decit angin tajam membuat Dewa Arak
dan Melati mengernyitkan alisnya. Suara itu membuat telinga mereka sakit.
"'Tangan Pedang'...," desis Dewa Arak dan Melati bersamaan. Dan dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati mereka ketika melihat kakek kecil kurus itu
sama sekali tidak bergerak menangkis atau melawan serangan Ki Jatayu.
"Kakek...!" Melati menjerit pilu. Sementara itu Dewa Arak sendiri sudah melompat
cepat, mencoba menghambat serangan Ki Jatayu dengan sebuah serangan ke arah
pelipis. Sadar kalau kakek
ini memiliki kepandaian yang sukar dibayangkan, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaganya.
Ki Julaga yang semula sudah pasrah tidak
berusaha menahan atau menangkis serangan itu, tersentak ketika mendengar
jeritan. Dikenali betul, siapa pemilik suara itu. Suara Melati, murid yang amat
disayanginya. Sekelebat benaknya bekerja keras. Kalau dirinya mati, sia pa yang
akan melindungi gadis
itu dari Ki Julaga yang diketahuinya pasti berwatak telengas. Selintasan pikiran
itu la h yang membuatnya
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merubah keputusan. Segera diulurkan tangannya untuk menangkis serangan Ki Jatayu.
Tapi secara tiba-tiba Ki Jatayu menarik
pulang serangannya. Dan dengan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, kakek
bermata sipit ini menggerakkan
tangannya, ke belakang, menangkis serangan Dewa Arak.
Plak! Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang.
Dirasakan sekujur tangannya sakit-sakit. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Brukkk...! Dengan deras dan keras punggung pemuda
itu menghantam dinding gua sampai tergetar karena kerasnya benturan.
"Kakang...!" Melati berteriak kaget. Secepat kilat tubuhnya melesat ke arah Dewa
Arak. Dengan perasaan cemas yang tergambar di wajah, didekatinya tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu. Lega hatinya ketika pemuda itu bangkit,
tak nampak ada tanda-tanda terluka.
"Siapa kau, Anak Muda! Menyingkirlah
cepat sebelum kesabaranku hilang!" bentak Ki Jatayu. Diam-diam kakek ini kaget
bukan main. Menurut perkiraannya,
paling tidak tangan pemuda itu patah-patah ketika membentur tangannya tadi.
"Ki Jatayu...," ujar Dewa Arak. "Guruku, Ki Gering Langit telah menugaskanku
untuk mencari dan memlnta kembali kitab-kitab yang telah kau larikan itu!"
Wajah Ki Jatayu dan Ki Julaga berubah
pucat. Hati kedua kakek ini dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tapi, hanya
sesaat saja kekagetan itu melanda hati kakek tinggi kurus ini.
Di lain saat, wajah itu memerah. Sepasang
matanya berkilat penuh kemarahan.
"Jadi..., kau njpanya orang yang telah membunuh muridku, heh"!" tanya Ki Jatayu.
Keras dan kasar suaranya. Memang telah didengar berita tentang tewasnya murid
kesayangannya di tangan Arya Buana alias Dewa Arak.
"Benar! Karena dia telah membunuh guru dan ibuku! Lagipula, muridmu memang sudah
sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" tegas Dewa Arak.
"Keparat...!" maki Ki Jatayu. "Kau harus mati di tanganku, Dewa Arak!"
Dewa Arak sadar kalau lawan yang kini
dihadapinya adalah seorang yang sangat sakti.
Dugaan Arya Buana tepat sekali! Tenaga dalam yang dimiliki kakek ini telah
mencapai tingkatan yang sukar untuk dibayangkannya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi
diraihnya guci arak yang terikat di punggungnya. Sebentar saja guci itu sudah
berada di atas kepalanya. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu
memasuki tenggorokannya. Sesaat kemudian
tubuh pemuda itu pun limbung.
Ki Jatayu, dan juga Ki Julaga mengerutkan
alisnya. Ilmu apakah yang akan dikeluarkan pemuda ini"
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring Dewa
Arak mengayunkan guci di tangannya.
Wut...! Guci itu menyambar dahsyat ke arah
kepala Ki Jatayu. Angin menderu begitu keras menandakan tingginya tenaga yang
terkandung dalam ayunan guci itu. Tapi kakek tinggi ku rus itu hanya mendengus.
Tanpa bergeming sedikit pun, diangkat tangan kirinya untuk melindungi kepala.
Dukkk...! Tak pelak lagi guci perak itu membentur
tangan kiri Ki Jatayu. Akibatnya tangan kakek itu tergetar hebat. Tapi tidak
demikian halnya Dewa Arak. Tubuhnya terpelanting bagai diseruduk kerbau. Sekujur
tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun kontan sesak. Tapi berkat
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tidak sulit bagi Arya untuk segera
memperbaiki posisinya.
Benturan yang kedua kali ini menyadarkan
Dewa Arak, bahwa tidak selayaknya melawan
kekerasan kakek itu dengan kekerasan pula.
Sudah dibuktikan sendiri kekuatan tenaga dalam kakek itu yang luar biasa.
Mengadu tenaga dengan kakek itu sama saja mencari penyakit. Kalau saja kakek itu
mendesak dan memojokkan mengadu
tenaga dalam secara langsung, ia mungkin sudah tewas!
"Ahhh...!" Melati terperanjat. Segera saja dia bergerak hendak membantu pemuda
yang dicintainya. Tapi, baru saja kakinya melangkah, sebuah tangan telah menyentuh
pergelangan tangannya. Gadis berpakaian serba putih ini menoleh.
Ternyata Ki Julaga yang menyentuh pergelangan tangannya.
"Biarkan pemuda itu melaksanakan pesan gurunya. Kurasa Ki Gering Langit tidak akan sembarangan
memberi tugas, kalau tidak diyakininya muridnya itu akan mampu. Lihat saja dulu!"
' Tapi, Kek...," Melati mencoba membantah.
"Tenanglah, Melati," bujuk kakek kecil kurus itu.
Terpaksa Melati tidak membantah lagi.
Pandangan matanya dialihkan kembali ke arah pertarungan.
Walaupun gurunya telah menyuruhnya bersikap tenang, tetap saja gadis itu tidak mampu. Perasaan cemas
akan keselamatan Dewa Arak tetap saja melanda. Apalagi pemuda itu sangat
dicintainya. Sementara Arya kini merubah siasatnya.
Dia sadar kalau dalam hal tenaga dalam,
bukanlah tandingan kakek itu. Dan kalau memaksa bertarung seperti itu, adalah suatu perbuatan bodoh. Orang setua seperti
Ki Jatayu, apalagi jika lama tidak berlatih, tentu otot-ototnya agak kaku.
Apalagi, kelihatannya kondisi tubuh Ki
Jatayu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung lama.
Maka Dewa Arak kini memaksa diri untuk
tidak menyerang. Dibiarkan saja Ki Jatayu yang telah dikuasai amarahnya terus
menyerangnya kalang kabut.
Sementara Dewa Arak
terus mengelakkan setiap serangan itu dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang'.
"Hiyaaa...!"
Ki Jatayu berteriak nyaring. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus melakukan
tusukan-tusukan bertubi-tubi ke arah leher, ulu hati, dan pusar. Cepat luar
biasa gerakannya. Angin
berdecit nyaring, seperti ada puluhan ekor tikus yang mencicit berbarengan.
Tapi lagi-lagi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelakkan serangan itu. Meskipun serangan
itu berhasil dielakkan, tapi tak urung sekujur pakaian Arya telah compang
camping tersayat-sayat di sana sini, akibat terkena angin serangan tangan Ki
Jatayu. Memang kakek tinggi kurus ini menggunakan ilmu 'Ta nga n Pedang'
dalam menghadapi Dewa Arak.
Ki Jatayu menggeram keras, mu rka bukan
kepalang. Masalahnya, semua serangannya tidak ada yang mengenai sasaran. Padahal
pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan selama itu Arya
hanya mengelak dan menghindar.
Sesekali menyerang, tapi lekas ditarik kembali begitu melihat kakek itu hendak
menangkisnya. Kemarahan membuat Ki
Jatayu kian memperhebat serangannya. Ruangan dalam gua itu sampai bergetar hebat akibat
angin pukulan yang salah sasaran dari kakek ini.
Tak terasa lima puluh jurus kembali telah
berlalu. Dan selama itu, tetap saja belum ada satu pun serangan kakek tinggi
kurus ini yang mengenai sasaran. Hal ini membuat kemarahan Ki Jatayu
kian berkobar. Amarah, membuat napasnya kian cepat memburu. Kakek ini memang sudah merasa lelah bukan main!
Sebetulnya kalau saja Ki Jatayu tidak
terlalu bernafsu, tidak akan selelah itu. Tapi, karena bertarung diiringi amarah
yang meluap-luap, kelelahan lebih cepat datang.
"Grrrrhhh...!"
Tiba-tiba saja kakek itu menggeram, disertai pengerahan seluruh
tenaga dalamnya. Ki Jatayu memang bermaksud merubuhkan Dewa Arak melalui
sera nga n suara,
seperti seekor harimau yang mengaum untuk melumpuhkan mangsanya. Akibatnya memang hebat sekali. Tubuh
Melati sendiri sampai terhuyung akan jatuh.
Padahal bukan dirinya yang diserang! Apalagi Dewa Arak yang menerima serangan
itu secara langsung!
Wajah Dewa Arak memucat. Kedua kakinya
mendadak lemas secara tiba-tiba. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya pun ambruk
ke tanah. Dan saat itulah Ki Jatayu melompat menerkam. Kedua
tangannya mengembang, dengan jari-jari membentuk cakar. Serangan itu mengingatkan orang akan serangan
seekor harimau pada mangsa yang telah tidak berdaya lagi.
Wuttt...! Angin menderu dahsyat, seolah-olah di
tempat itu terjadi badai.
"Ah...!" Melati menjerit melihat bahaya maut mengancam Dewa Arak.
"Ehm...,"
Ki Julaga berdehem untuk menutupi keterkejutan hatinya. Disadari kalau dia tidak mungkin dapat menolong
murid Ki Gering Langit ini. Serangan itu datang tiba-tiba sekali, sementara
jaraknya dari pemuda berambut putih keperakan itu cukup jauh.
Arya memang terperanjat bukan main
melihat serangan itu. Tapi, sebenarnya pemuda ini tidak gugup.
Ilmu 'Belalang Sakti" memang
memiliki banyak keistimewaan. Dalam posisi sesulit apa pun dia dapat bergerak
dan melompat. Di samping itu, dari keadaan lemah tak bertenaga, mendadak akan menjadi kokoh
kuat, dan mantap penuh tenaga.
Maka walaupun menurut perkiraan serangan itu tidak akan dapat dielakkan, tapi Arya masih mampu mengelak.
Tubuhnya melenting ke atas.
Brakkk...! Lantai gua hancur berantakan ketika
kedua tangan Ki Jatayu menghantamnya. Di saat itulah, Dewa Arak yang tadi
melenting tepat di
atas tubuh Ki Jatayu, mengayunkan gucinya.
Dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam serangan ini
Wusss...! Prak...! "Aaakh...!" Ki Jatayu menjerit keras.
Memang, tanpa ampun lagi, guci itu telak
sekali menghantam kepala Ki Jatayu. Kakek ini memang sudah terlalu lelah
sehingga tak mampu mengelak.
Apalagi kedua tangannya
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih terhunjam dalam di tanah. Terdengar suara keras berderak. Disusul ambrukn ya
tubuh itu di tanah.
Beberapa saat lamanya tubuh itu menggelepar-gelepar sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Arya
hinggap di tanah. Belum juga pemuda berambut putih keperakan ini berbuat
sesuatu, terdengar seruan
gembira disusul melesatnya sesosok
bayangan putih menghampirinya.
"Kakang...!"
Dewa Arak mengembangkan lengannya.
Langsung didekapnya tubuh Melati erat-erat, begitu tubuh gadis berpakaian putih
itu telah berada di dalam pelukannya
Sesaat lamanya mereka saling berpelukan
erat seperti melupakan ada orang lain di situ.
Pelukan keduanya baru mengendur ketika terdengar suara mendehem. Rupanya saking
gembira, keduanya lupa pada Ki Julaga!
"Ah...! Hampir aku putus asa melihat
keadaanmu itu, Kang Arya. Kau... kau..., hebat sekali...," puji Melati dengan
wajah memerah. Pelahan namun pasti dilepaskan pelukannya.
Rasa gembiranya melihat pemuda itu selamat dari bahaya maut, sungguh membuatnya
lupa. Dan kini begitu teringat, timbullah rasa malunya.
Apalagi di situ ada Ki Julaga, gurunya. Dewa Arak pun melepaskan pelukannya.
"Kau hebat, Anak Muda," puji Ki Julaga sambil melangkah mendekat
Seketika wajah Dewa Arak memerah. "Ah!
Kakek membuat aku malu saja. Apalah artinya kepandaian yang kumiliki bila
dibandingkan dengan kepandaian Kakek."
Kakek kecil kurus ini hanya tersenyum.
Perasaan kagum timbul dalam hatinya, melihat sikap rendah hati yang ditunjukkan
pemuda itu. "Siapa namamu, Anak Muda?"
"Arya, Kek," jawab Dewa Arak sopan.
Dari Melati Dewa Arak telah tahu kalau
kakek di hadapannya ini, sudah lama ingin
mengembalikan kitab-kitab Ki Gering Langit. Maka Arya memutuskan untuk tidak
memerangi kakek ini.
Apalagi dari pembicaraan yang tadi didengarnya, diketahui kalau kakek ini telah sadar dari kekeliruannya.
"Julukannya Dewa Arak, Kek," selak Melati penuh rasa bangga.
Ki Julaga hanya manggut-manggut. Tentu
saja dia tidak pernah mendengar julukan itu, karena selama ini bersembunyi di
guanya. "Oh ya, Arya. Semua kitab-kitab yang kau cari, kebetulan ada di sini. Ki Jatayu
telah membawa kitab-kitab yang telah dicurinya kemari.
Maksudnya, ingin ditukarkan dengan kitab-kitab yang ada di sini."
Setelah berkata demikian kakek ini lalu
memberi semua kitab-kitab Ki Gering Langit yang telah dicuri, dan diserahkan
pada Dewa Arak "Inilah semua kitab-kitab itu, Arya," ucap Ki Julaga.
Dewa Arak menerima kitab-kitab
itu. Diperhatikan sejenak satu persatu. Lalu diambilnya satu dari sekian banyak kitab. Sebuah kitab yang sangat tipis dan
pada sampulnya bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, 'Jurus Membakar
Matahari'! Jur u s sakti yang dipersiapkan khusus untuk 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang telah dimiliki Arya.
Kemudian kitab-kitab yang lainnya dikembalikan kepada kakek itu kembali.
"Heh"! Mengapa, Arya?" tanya kakek itu heran. Melati pun kaget.
"Semula memang aku berniat mengambilnya untuk dikembalikan ke tempat
semula. Tapi karena kini Kakek telah menyadari kesalahan
Kakek, kuputuskan untuk meninggalkan semua itu pada Kakek. Di tangan Kakek kitab-kitab itu akan aman.
Tak mungkin kalau harus kubawa sekian banyak kitab dalam pengembaraanku," jelas Arya.
Ki Julaga manggut-manggut mengerti.
"Kalau begitu, aku mohon diri, Kek," pamit Arya. " Banyak orang yang masih
membutuhkan pertolonganku."
"Aku ikut!" teriak Melati. "Boleh, Kek?"
tanya gadis itu sambil memandang penuh harap pada Ki Julaga.
Ki Julaga termenung sejenak. Kemudian
pelahan-lahan kepalanya menggeleng.
"Kenapa, Kek?" tanya Melati. Rasa kecewa yang amat sangat membayang pada
wajahnya. "Kau baru saja datang. Dan, rasa rinduku padamu belum juga hilang. Masa' sudah
akan pergi lagi. Tinggallah di sini sekitar sepekan, agar kerinduanku padamu
terobati."
"Tapi, Kek...."
"Benar kata Kakek, Melati," Dewa Arak memberi dukungan. "Setelah kerinduan Kakek
padamu terobati, kau bisa menyusulku. Tidak sulit kan mencari jejakku?"
Melati pun terdiam. Ucapan Arya menyadarkan dirinya, untuk tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Waktu untuknya dan untuk Dewa Arak masih sangat
panjang. Tapi, bagi Ki Julaga" Ka pan lagi dapat membalas budi kakek kecil kurus
ini selama ini kalau tidak sekarang"
"Pergilah, Melati....
Kakek tadi hanya
bergurau saja," ucap kakek kecil kurus itu ketika muridnya termenung.
Sesak dada gadis berpakaian serba putih
ini karena rasa haru yang mendalam. Melati tahu kalau ucapan gurunya ini tidak
sesuai dengan isi hati kakek
itu sendiri. Kakek itu terlalu menyayanginya dan tidak ingin membuatnya
bersedih. "Kakek...!"
Melati beriari ke arah Ki Julaga. Kakek itu pun mengembangkan lengan dan memeluk
tubuh gadis itu. Dibelai belainya rambut gadis itu penuh kasih sayang. Tanpa
dapat ditahan sebutir air bening menggulir dari sepasang matanya. Namun gadis
itu bergegas menghapusnya.
"Melati ingin tinggal..., dan menemani Kakek...," ucap Melati terputus-putus.
Air mata gadis ini pun tumpah tanpa dapat ditahannya lagi.
' Tidak usah memaksakan diri, Melati.
Pergilah! Sungguh, Kakek tidak apa-apa."
'Tidak, Kek! Melati ingin tinggal bersama
Kakek!" tegas kata-kata gadis itu.
Dewa Arak tersenyum. Ada rasa keharuan
yang mendalam di hatinya melihat adegan yang mengharukan itu. Tapi Dewa Arak
tidak ingin mengusik
mereka. Diguratkan jarinya pada dinding gua. Melati.. aku pergi dulu.
Jika kau sudah m erasa cukup m enemani Kakek,
carilah aku. Ingat, aku selalu menyayangimu. A rya Dewa Arak melangkah pelahan meninggalkan gua itu. Ada keharuan yang amat sangat
menyelubungi hati melihat adegan pertemuan yang baru saja disaksikannya. Dia sadar, Melati bukan miliknya
sendiri. Lambat tapi pasti, sosok tubuh Arya kian
mengecil dan mengecil. Hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Masih
banyak tugas yang harus dikerjakan Dewa Arak. Tugasnya selaku seorang pendekar.
SELESAI Pembuat
Ebook : Scan/Convert/E-book : Abu Keisel
Tukang Edit : Fujidenkikaga wa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tangan Geledek 12 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Racun Kelabang Putih 2
yang lebih unggul. Tapi rupanya kami sedang sial, karena lagi-lagi berhasil dikalahkan gurumu. Semenjak
itu kami pun kembali giat berlatih, memperdalam ilmu-ilmu kesaktian. Tapi siapa sangka, di
waktu kami telah merasa yakin akan dapat mengalahkannya, Ular Hitam telah lebih
dulu pergi ke alam baka. Siapa yang tidak kesal" Untunglah ada dirimu yang
menjadi muridnya. Tapi tentu saja kau akan kami beri kelonggaran. Kau kuberikan
kesempatan mencari kawan untuk menantang kami berdua.
Kau kami tunggu bulan purnama mendatang di Puncak Bukit Gading. Dekat pohon
flamboyan kembar."
Setelah berkata demikian, Kelabang Hijau
segera melesat dari situ, diikuti Dewi Bulan.
Begitu cepatnya mereka bergerak, sehingga dalam sekejap saja yang terlihat hanya
dua buah titik yang semakin lama semakin kecil yang akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang.
Dipandanginya bayangan tubuh kedua orang itu, sampai akhirnya tak terlihat lagi.
*** Arya yang tengah diamuk amarah meluap-
luap, mengerahkan segenap kemampuan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Dewa Arak memang ingin
buru-buru sampai di rumah
kediaman Kepala Desa Jipang, yang kini ditempati Darba dan anak buahnya.
Beberapa hari. kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini pun telah sampai di mulut desa. Tapi, Dewa Arak
agak terperanjat ketika tiba di simpang tiga. Tampak di depan pintu gerbang
rumah kepala desa itu tengah terjadi keributan. Di situ juga terlihat beberapa
orang yang dikenali sebagai anak buah Darba. Mereka kini tengah mengeroyok
seseorang yang tidak jelas terlihat karena jarak yang agak jauh.
Bergegas Arya berlari menghampiri. Sesaat
kemudian Dewa Arak telah berada dalam ja rak tiga tombak da ri arena
pertempuran. Dari sini dapat terlihat jelas, siapa orang yang tengah dikeroyok
itu. Dan ini membuat pemuda berbaju ungu ini menjadi agak terkejut.
Orang yang tengah dikeroyok itu berusia
sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tegap dan kekar. Pada baju hitam bagian dada
sebelah kiri terdapat sulaman cakar burung garuda dari
benang emas. Di tangannya tergenggam sebuah baja hitam berbentuk cakar yang
dikibas-kibaskan dengan ganas. Ke mana saja cakar baja hitam
bergerak, di situ pa sti ada sesosok tubuh yang rubuh.
"Cakar Garuda...," desah Arya.
Tapi pemuda ini tidak bisa berlama-lama
mengamati pertarungan. Ternyata Darba yang memang ada di situ dan tengah
dicarinya, bergerak menghampiri.
"Heh"! Kau lagi, Dewa Arak" Rupanya kau tidak kapok juga. Atau, kali ini
bersama-sama temanmu akan
mengeroyokku?" ejek
Darba memanas-manasi. Sepasang matanya berkeliaran ke sekeliling mencari-cari Gumala.
Diam-diam pemuda ini memang merasa cemas, kalau pemuda murid Ki Jula ga itu
datang. Hatinya merasa lega ketika tidak melihat bayangan pemuda berbaju hitam
itu. "Pembunuh biadab! Kau harus menebus
perbuatan kejimu itu pada guru dan ibuku!"
"Ha ha ha...!" tawa mu rid Ki Jatayu itu meledak.
"Syukurlah
kalau kau telah mengetahuinya. Sayang, waktu itu kau tidak berada di sana, Dewa Arak. Kalau saja
ada, tentu aku tidak perlu repot-repot lagi mencarimu!"
Arya menekan kemarahan yang membakar
dada. Walau perasaan marah yang melanda telah begitu besarnya, tapi pemuda ini
berusaha untuk tidak mengumbarnya. Diangkatnya guci araknya ke atas kepala.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
mulai memasuki tenggorokannya. Tubuhnya pun
mulai terasa hangat. Dewa Arak sadar kalau lawan di hadapannya ini memiliki
kepandaian tinggi.
Maka kini dia tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan ilmu andalannya.
Sret! Sret! Darba pun mencabut kapak yang terselip
di pinggangnya. Secepat itu pula, pemuda berbaju coklat ini melayangkannya ke
arah Arya Buana.
Suara angin menderu keras menyambar
sebelum serangan kapak itu sendiri tiba. Arya tidak berani bertindak gegabah.
Segera saja kakinya bergerak melangkah
terhuyung dan sempoyongan, sehingga serangan kapak Darba mengenai tempat kosong.
Tapi pemuda baju coklat itu tidak bingung.
Rupanya Darba telah cukup mengenal Ilmu
'Delapan Langkah Belalang'. Terbukti walaupun serangan kedu a kapaknya
mengenai tempat
kosong, tapi dengan kecepatan gerak tangan yang mengagumkan, diputarnya kedua
kapak itu. Seketika dua senjata itu dihantamkan ke belakang melalui bawah ketiak.
Dugaan Darba sama sekali tidak salah.
Selagi pergelangan tangannya memutar kapak dari belakang, Dewa Arak memapak
menggunakan guci ke belakang punggung Darba.
Klanggg...! Klanggg...!
Terdengar benturan nyaring ketika kapak
itu bertemu badan guci. Akibatnya kedua belah pihak
sama-sama terhuyung dua langkah. Bedanya, kalau Arya terhuyung mundur, sedangkan Darba melangkah maju.
Meskipun tubuhnya masih terhuyung, Dewa Arak menyempatkan diri memeriksa gucinya. Benturan yang keras itu membuatnya merasa khawatir kalau-kalau gucinya
itu rusak. Legalah hatinya ketika dilihatnya tidak ada kerusakan sedikit pun pada gucinya.
Jangankan rengat, gompal saja tidak!
Ketika tenaga yang mendorongnya habis,
cepat-cepat Arya
memburu dengan totokan- totokan ke arah kepala Darba. Cepat bukan main gerakan pemuda berambut putih
keperakan itu. Tapi, gerakan yang dilakukan murid Ki Jatayu juga tak kalah cepat.
Wut! Wut...! Sambil membalikkan tubuh, Darba mengayunkan kedua kapaknya memapak tangan
kiri Dewa Arak yang melakukan totokan-totokan berbahaya ke kepalanya. Dan tentu
saja pemuda berpakaian ungu ini tidak bersedia tangannya terpapas putus oleh
sepasang kapak di tangan lawan. Dengan liukan aneh, kembali ditarik pulang
serangannya. Berbareng dengan itu, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan
menyambar ulu hati.
Seketika Darba terperanjat, namun tidak
menjadi gugup. Segera digenjotkan kakinya. Di lain saat, tubuhnya melenting,
lewat di atas kaki yang mengarah ulu hatinya itu.
Wut...! Bersamaan dengan itu, kapak di tangan
kanannya disabetkan
ke arah leher Arya. Sedangkan Dewa Arak yang tahu akan keistimewaan gucinya, tidak ragu-ragu lagi untuk menangkisnya.
Klanggg...! Lincah laksana seekor kera, Darba menggulingkan tubuhnya di tanah. Cepat-cepat dia bangkit kembali, lalu dengan
kecepatan mengagumkan langsung menyerang Arya. Kedua kapak di tangannya pun
kembali berkelebat cepat mencari sasaran.
Arya yang memang tengah sakit hati
terhadap pemuda itu, tidak sungkan-sungkan lagi mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Tubuh pemuda itu meliuk-liuk aneh, dan
langkah-langkahnya
sempoyongan. Tapi justru dengan beriingkah seperti itulah letak kedahsyatannya.
Darba kini harus menelan kenyataan pahit.
Lawannya ternyata kini tidak selemah dulu.
Dengan guci di tangan, kepandaian Dewa Arak kini luar biasa sekali. Sekarang
pemuda berbaju coklat itu merasakan kehebatan Arya Buana. Dan Darba juga baru
sadar kalau kehebatan pemuda di hadapannya ini bertumpu pada gucinya.
Puluhan jurus telah berlalu, tapi belum
nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
Kepandaian keduanya kelihatan masih seimbang.
*** 7 Sementara itu pertarungan antara Cakar
Garuda menghadapi pengeroyokan anak buah
Darba, berlangsung tidak seimbang. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas
itu, memang terlalu tangguh untuk para pengeroyoknya. Setiap kali besi berbentuk
cakar di tangannya bergerak, setiap kali pula ada satu nyawa melayang. Jerit
kematian terdengar saling susul.
"Aaa...!"
Pekik nyaring melengking panjang, mengiringi rubuhnya orang terakhir para pengeroyok itu.
Cakar Garuda memandangi tubuh-tubuh
yang terkapar itu sejenak, baru kemudian beralih pada pertarungan antara Dewa
Arak menghadapi Darba. Terdengar suara bergemeletuk dari gigi-gigi Wakil
Ketua Perguruan
Garuda Emas ini. Amarahnya langsung bangkit ketika melihat orang yang dicari-carinya,
karena telah membasmi perguruannya. "Hiyaaa...!"
Diiringi pekik kemarahan laksana binatang
terluka, Cakar Garuda m elo m pa t menerjang Darba, ketika pemuda itu tengah melentingkan tubuhnya
ke belakang untuk menghindari serangan Dewa Arak.
Arya kaget bukan main, ia tahu kalau
Cakar Garuda bukanlah tandingan Darba. Kepandaian Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas itu masih
terlalu rendah. Jadi,
kalau dia menyerang pemuda baju coklat itu sama saja dengan mencari mati.
"Tahan...!" cegah Arya berteriak.
Tapi terlambat. Tubuh Cakar Garuda telah
melompat menerjang. Seketika Dewa Arak jadi menunda serangannya. Tubuh Cakar
Garuda yang melayang itu jelas menghalangi gerakannya.
Darba hanya mendengus. Tiba-tiba saja
jari-jari kedua tangannya
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terbuka, dihentakkan ke depan.
Wusss.... Bresss...! "Hugh...!"
Angin yang amat kuat keluar dari telapak
tangan Darba yang terbuka itu, dan meluruk deras ke arah
Cakar Garuda. Wakil Ketua
Perguruan Garuda Emas ini kaget sekali. Dicobanya untuk mengelak. Tapi tubuhnya yang berada di
udara itu menyulitkannya untuk
menghindari. Apalagi memang tingkat ilmu meringankan tubuhnya belum mencapai taraf
kesempurnaan. Kontan serangan pukulan jarak jauh itu
menghantam telak tubuh Cakar Garuda, sehingga mengeluh tertahan. Tubuhnya
terpental kembali ke belakang bagai diterjang angin ribut. Dari mulut, hidung,
dan tehnganya mengalir darah segar.
Pukulan jarak jauh Darba memang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi.
Brukkk..! Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Wakil Ketua Perguruan Garuda Emas ini jatuh
di tanah. Beberapa saat lamanya dia menggelepar-gelepar di tanah, kemudian akhirnya diam
tidak bergerak lagi.
Arya Buana terpaku sesaat. Tapi tak la ma
kemudian amarahnya melonjak.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak m elen gkin g nyaring memekakkan telinga, Dewa Arak
menerjang Darba. Wut...! Ketika guci Dewa Arak terayun deras ke
arah kepala Darba, pemuda berbaju coklat itu menarik kepalanya ke belakang tanpa
menarik kakinya.
Wusss...! Guci itu meluncur deras beberapa rambut
di depan wajah Darba. Begitu kerasnya tenaga yang terkandung dalam serangan itu,
sehingga rambut berikut seluruh pakaian Darba berkibar keras. Dan cepat-cepat
pemuda berbaju coklat itu
memberi serangan balasan yang tidak kalah
berbahayanya. Wut...! Cepat bagai kilat kakinya melesat ke arah
dada Dewa Arak. Sadar akan bahaya besar yang mengancam, Arya segera menangkis
serangan itu dengan tangan kirinya disertai tetakan ke bawah.
Takkk...! Tubuh Darba melintir. Memang bila dibanding Dewa Arak, posisi pemuda berbaju coklat itu lebih tidak menguntungkan.
Namun demikian, berkat kelihaiannya, Darba dapat segera memperbaiki
posisinya. Bahkan kembali menerjang lawan dengan serangan-serangan
dahsyat. Pertarungan sengit pun kembali berlangsung. Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, memang tingkat
keduanya berimbang. Itulah sebabnya sampai sekian lamanya pertarungan itu berlangsung kembali, tetap belum nampak tanda-tanda
siapa yang akan terdesak.
Memasuki jurus keseratus lima puluh,
mulai tampak kalau Dewa Arak berhasil mendesak lawan. Ki Gering Langit memang
menciptakan ilmu 'Belalang Sakti', khusus untuk menangkal ilmu-ilmu
yang telah dibawa lari pelayan- pelayannya! Maka tidaklah aneh jika memasuki jurus
keseratus lima puluh, Darba mulai terdesak.
Sepasang kapak perak mengkilat di tangannya
kini gerakannya sudah mulai terlambat, tidak lagi malang-melintang
seperti sebelumnya. Dua senjata itu lebih banyak dipakai untuk melindungi setiap serangan yang datang.
Hanya sekali-sekali saja sepasang kapak perak itu meluruk ke arah Arya. Itu pun
tidak sedahsyat seperti sebelumnya.
Sebaliknya serangan Dewa Arak semakin
dahsyat, bertubi-tubi bagaikan hujan. Dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'
dan jurus 'Belalang Mabuk'-nya, Arya terus melakukan desakan. Sampai pada suatu saat...
"Hiyaaat..!"
Wut...! Darba kembali berteriak seraya melancarkan ser a nga n dahsyat pada suatu kesempatan baik. Kedua kapak perak dibabatkannya ke arah leher dan kepala lawan.
Tapi untuk yang
kesekian kalinya,
dengan mempergunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang'
Arya berusaha menghindarinya. Langkahnya
terhuyung-huyung seperti biasa untuk mengelak dari ancaman kedua kapak perak
itu. Dan tahu-tahu tubuh Arya telah berada di belakang Darba.
Sebelum pemuda berbaju coklat itu sadar,
Arya sudah mengayunkan guci araknya.
Wut..! Dengan deras guci itu melayang ke arah
kepala Darba. Murid Ki Jatayu ini terperanjat kaget Maka
sedapat dapatnya dirundukkan kepalanya untuk menghindari sambaran guci
lawan. Wusss...! Usaha untung-untungannya berhasil juga.
Guci itu lewat di atas kepalanya. Tapi, Arya tidak tinggal
diam. Segera dilancarkan serangan susulan. Bukkk...! "Huakkk...!"
Telak sekali pukulan tangan kiri Dewa Arak mendarat di punggung Darba. Keras
bukan main, sehingga tubuh pemuda itu terjerembab ke depan.
Cairan merah kental terlontar keluar dari mulutnya. Jelas pemuda berbaju coklat itu terluka dalam!
Namun kekuatan tubuh murid Ki Jatayu
ini memang patut dipuji. Sekalipun sudah terluka parah, dan posisinya tidak
memungkinkan, dia masih berusaha menghambat serangan susulan lawan. Seketika
disabetkan kedua kapaknya ke belakang.
Wut..! Begitu serangan Darba lewat, kaki kanan
Dewa Arak mencuat ke depan.
Bukkk...! ' Hugh...!'' Darba mengeluh pendek. Tendangan itu telak mendarat di perutnya, dan kapak peraknya pun terlepas dari
genggaman! Babatan kedua kapak itu hanya mengenai
tempat kosong, karena Dewa Arak memang belum mengirimkan
serangan susulan. Baru begitu
serangan kedua kapak itu lewat, kaki kanan Dewa Arak mencuat ke depan.
Bukkk...! "Hugh...!" Darba mengehah pendek.
Untuk yang kedua kalinya serangan Arya
mengenai sasarannya. Tendangan itu telak mendarat di perut lawan. Tubuh pemuda itu
terbungkuk, dan kapak peraknya terlepas dari genggaman. Mulutnya meringis
menahan rasa sakit dan mual pada perutnya. Darah segar pun menetes dari sela-sela bibirnya.
Dan belum lagi pemuda berbaju coklat itu memperbaiki posisinya, kembali tangan
Arya berkelebat.
Wut..! Prak! "Aaakh...!" terdengar suara berderak keras, ketika guci pusaka di tangan Arya
membentur kepala pemuda baju coklat itu Darba mengeluh tertahan, kemudian ambruk
ke tanah. Pemuda itu tidak akan pernah bangkit lagi selama-lamanya.
Arya Buana memandangi tubuh yang
terbujur di tanah itu sebentar, kemudian beralih ke tubuh Cakar Garuda, dan
belasan sosok tubuh anak buah Darba yang terbujur di tanah. Dan kini kembali
tatapannya beralih pada tubuh Darba.
Sebentar kemudian pemuda berambut putih
keperakan ini menengadahkan kepalanya, menatap langit.
"Kakek..., Ibu..., tenanglah kalian di dalam kubur...!"
Setelah berkata demikian, tubuh Dewa
Arak melesat meninggalkan tempat itu. Tidak ada lagi kebisingan dan hiruk pikuk
pertarungan. Di tempat itu kini hanya ada keheningan dan
kesenyapan, setelah tubuh Arya Buana alias si Dewa Arak lenyap ditelan jalan.
*** Seorang pemuda berwajah jantan, dan
berambut putih keperakan tampak terduduk di atas sebuah batu besar yang lebar
dan datar di Puncak
Bukit Gading. Kepalanya tertunduk sepertinya ada beban berat yang tengah menekan batinnya.
Pemuda yang memang adalah Arya Buana,
tengah merenung seperti ada yang menggayuti pikirannya.
Dan itu bisa ditebak permasalahannya. Pertama dengan Melati. Dan kedua dengan dua orarig saingan
gurunya yang mengajaknya bertarung. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, Arya
tak lupa menanyakan kepada setiap orang tentang seorang gadis cantik berpakaian
putih atau seorang pemuda tampan berpakaian hitam. Ta pi sampai sekian jauh,
keterangan ini tidak didapatkan. Sampai akhirnya dia tiba di tempat ini.
"Hhh...!"
Pemuda berpakaian ungu itu mendesah.
Kepala Arya mendongak, menatap bulan bulat berwarna kuning keemasan yang nampa k
di langit. Malam ini memang bulan purnama, malam yang dijanjikan Kelabang Hijau.
Memang, di tempat inilah kakek gundul berkulit kehijauan itu menjanjikan
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertarungan dengan Dewa Arak.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba terdengar suara tawa mengikik.
Arya Buana yang tengah menikmati indahnya purnama bergegas memalingkan kepalanya. Tanpa melihat pun sebenarnya sudah dapat diduga kalau orang yang
mengeluarkan tawa seperti itu pasti Dewi Bulan!
Dugaan pemuda ini memang tidak salah.
Sekitar tiga tombak di samping kanannya, tampak dua sosok tubuh yang memang
sudah ditunggu-tunggunya.
"Luar biasa!" teriak Kelabang Hijau. "Dewa Arak! Rupanya kau ini memang terlalu
sombong! Bukankah sudah kukatakan, kalau kami telah terbiasa bertanding berdua" Bukankah
kau telah diberikan kebebasan membawa kawan untuk
menghadapi kami. Berapa pun jumlah kawanmu tak masalah. Tapi rupanya kau ini
terlalu berani.
Atau kau terlalu sombong, sehingga saran kami sama sekali tidak digubris"!"
"Ada banyak alasan yang membuatku tidak dapat memenuhi saranmu itu, Kek," ucap
Arya tenang seraya bangkit dari batu yang didudukinya.
"Hm.... Apa itu, Dewa Arak!?" tanya Dewi Bulan. Kasar dan ketus suaranya.
"Pertama, kusadari kalau urusan ini adalah urusan pribadi guruku, Kakek Ular
Hitam. Jadi, tidak sepantasnya kalau membawa-bawa orang luar dalam urusan
pribadi ini. Dan kedua, sangat sulit
mencari orang yang memiliki tingkat kepandaian seperti kakek berdua. Kalau kupaksakan, bukankah hanya akan mencelakakan orang itu?"
Kelabang Hijau manggut-manggut.
"Bisa kuterima alasanmu, Dewa Arak"
"Terima kasih, Kek!"
"Jangan'terburu-buru
berterima kasih, Dewa Arak!" sergah Dewi Bulan cepat. "Urusan kami denganmu kini tidak hanya satu
macam!" Arya mengerutkan keningnya.
"Apa maksudmu, Nek?"
"Tidak usah berpura-pura, Dewa Arak!
Bukankah kau yang telah membunuh majikan
kami"!"
"Membunuh majikan kalian"! Aneh"! Kalau boleh kutahu, siapa majikan kalian?"
tanya Arya. Kerut pada dahinya pun semakin dalam.
"Seorang pemuda
bersenjata sepasang
kapak warna perak mengkilat!"
"Dia majikan kalian?" tanya Dewa Arak Nada suaranya mengandung keheranan yang
besar. "Ya! Karena begitulah bunyi perjanjian antara kami dengannya!" selak Kelabang
Hijau. "Kami bertemu dan bertempur. Dengan licik dia memancing kami ke dalam suatu
perjanjian. Yaitu, apabila dalam tiga puluh jurus kami tidak berhasil
merobohkannya, dia akan menjadi majikan kami!
Jadi, terpaksa kami harus membalaskan dendamnya padamu,Dewa Arak!"
"Bagaimana" Bisa dimulai sekarang" Atau kau sengaja ingin mengulur waktu, Dewa
Arak"!"
selak Dewi Bulan keras. Nenek ini memang sudah merasa kurang suka terhadap Arya
Buana, karena telah membuatnya terhuyung dalam adu tenaga beberapa waktu yang
lalu. "Lebih cepat lebih baik, Nek!" sambut Dewa Arak. Sadar akan kelihaian kedua
orang yang berada di hadapannya itu, pemuda ini segera memindahkan
guci ke tangannya. Sebentar kemudian diangkat gucinya ke atas kepala, dan dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu
memasuki tenggorokannya. Di lain saat tubuh Arya pun mulai terasa hangat dan
agak limbung. Dewa Arak menurunkan gucinya kembali. Dan
saat itulah nenek berpakaian putih itu melesat ke arahnya. Gerakannya cepat
bukan main. "Hiyaaa...!"
Dewi Bulan telah merasakan sendiri kelihaian pemuda di hadapannya ini. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi digunakan
tongkat bulan sabitnya untuk mendesak Dewa Arak.
Wut..! Tongkat berujung bulan sabit itu meluncur
cepat ke arah perut Arya. Angin bersiut nyaring mengiringi tibanya serangan itu.
Hebat dan cepat bukan main serangan itu.
Tapi yang diserangnya kali ini bukanlah
tokoh kosong. Seorang tokoh muda yang telah berkali-kali menghadapi lawan
yang teramat tangguh. Dan bahkan telah berkali-kali pula terancam serangan berbahaya. Maka
menghadapi serangan tongkat berujung bulan sabit
itu, pemuda berambut putih keperakan ini tidak
menjadi gugup karenanya.
Seperti biasa, dengan gerakan tak lumrah
dari jurus 'Delapan Langkah Belalang', dielakkan serangan itu. Walaupun keadaan
mengancam, berkat gerak aneh jurus itu, Dewa Arak malah berbalik mengancam.
Sekali mengelak, Dewa Arak telah berada
di belakang Dewi Bulan. Tapi sebelum pemuda itu sempat melepaskan serangan,
Kelabang Hijau telah terlebih dulu menyerangnya.
Terpaksa Arya mengurungkan niat untuk
menyerang Dewi Bulan. Dan dengan cepat pula dielakkannya serangan kakek itu. Dan
belum juga sempat membalas, kembali serangan Dewi Bulan telah mengancam. Tentu
saja hal ini membuat Dewa
Arak kewalahan menghadapi hujan serangan dahsyat yang sating susul.
Beberapa gebrak kemudian, keriga orang
ini pun sudah terlibat sebuah pertarungan berat
sebelah. Dewa Arak terus-menerus didesak lawannya, tanpa mampu balas menyerang.
Untunglah pemuda berambut putih keperakan ini memiliki jurus 'Delapan Langkah Belalang' ya ng
sangat aneh sehingga dapat
mengelakkan serangan yang bagaimanapun sulitnya. Dan berkat jurus inilah Dewa Arak mampu mengelak, sekalipun hujan
serangan datang silih berganti bagaikan hujan.
Untuk pertama kalinya, Arya harus mengakui betapa beratnya tekanan kedua lawannya ini. Lebih berat ketimbang Darba. Kerja sama kedua orang ini begitu
rapi, saling bantu dan saling melindungi.
Belasan jurus telah berlalu. Dan selama
itu, belum ada satu pun serangan balasan yang dilancarkan
Arya. Serangan silih berganti lawannya membuatnya tida k mempunyai kesempatan balas menyerang. Sa m pa i sekian lamanya, Dewa Arak hanya mampu
mengelak dan bertahan.
Tempat pertarungan puri
tanpa terasa telah bergeser jauh. Hal ini karena Arya terus-menerus bermain
mundur. Pernah sesekali, pemuda ini mencoba balas menyerang menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi akibatnya ia sendiri yang
hampir celaka. Karena begitu serangannya hampir dilancarkan, serangan balasan dari
lawan-lawannya telah
meluncur tiba. Terpaksa Arya pontang-panting menyelamatkan diri.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan ketiga
orang yang tengah bertarung, sepasang mata indah milik seorang wanita cantik
berpakaian serba putih, mengamati jalannya pertarungan dari balik
semak-semak. Wajahnya yang cantik menyiratkan pera sa a n cemas yang dalam. Beberapa kali terlihat kedua tangannya mengepal, pertanda hatinya tengah dilanda
perasaan tegang.
Empat puluh lima jurus telah berlalu. Dan
kedudukan Arya pun semakin terjepit. Hingga akhirnya pada jurus kelima puluh
satu, serangan tombak bulan sabit milik Dewi Bulan meluncur deras mengancam
dadariya. Maka Dewa Arak
memutuskan untuk menangkisnya.
Klanggg...! "Hugh...!?"
Tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang
beberapa tombak jauhnya. Selintas tadi terlihat Kelabang
Hijau menempelkan kedua tapak tangannya di punggung Dewi Bulan, begitu Arya memapak serangan tusukan tombak
berujung bulan sabit. Melihat hal ini Dewa Arak terperanjat. Dia tahu kalau kakek berkepala gundul itu
tengah menyalurkan tenaga dalam. Tenaganya disatukan dengan tenaga nenek itu,
lalu bersama-sama menghadapi tenaga Arya.
Tak pelak lagi, perpaduan dua tenaga
dalam dahsyat itu tidak dapat ditahan Dewa Arak.
Untung saja beradunya tenaga dalam tadi terjadi secara
tidak langsung melainkan melalui perantara. Sehingga akibatnya tidak terlalu berarti bagi Dewa Arak. Pemuda
berpakaian ungu ini hanya merasa sedikit sesak pada dadanya.
Ilmu 'Belalang Sakti' memang memiliki
keistimewaan dalam hal meringankan tubuh.
Gerakan sesulit apa pun akan sama seperti
gerakan biasa. Sehingga walaupun Arya berada dalam keadaan kritis, dan serangan
Dewi Bulan kembali menyambar cepat, dia masih mampu
mengelakkannya.
"Keparat!" Nenek itu berteriak memaki.
Perasaan geramnya kian bergejolak, ketika Arya kembali berhasil lolos.
Tapi tepat saat serangan Dewi Bulan tiba,
serangan Kelabang Hijau juga menyambar tiba.
Arya terperanjat. Padahal dia baru saja mengelakkan serangan nenek berpakaian putih.
Tidak ada
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi kesempatan baginya untuk mengelak ataupun menangkls, karena serangan itu datangnya terlalu cepat
Di saat yang kritis itu, tiba-tiba melesat satu bayangan putih yang dengan
kecepatan luar biasa menangkis serangan itu.
Plak...! Tubuh sosok bayangan putih itu terpental
balik ke belakang. Sedangkan tubuh kakek gundul berkulit kehijauan terhuyung ke
belakang. Tapi manis
sekali sosok bayangan putih itu mematahkan daya lontar pada tubuhnya. Kedua kakinya pun hinggap di tanah hampir
tanpa suara. Kelabang Hijau langsung menggeram. Kakek berkulit kehijauan ini murka
bukan kepalang karena m enya da r i
ada orang yang sanggup membuat tubuhnya terhuyung dalam adu tenaga. Apa lagi ketika melihat
bahwa yang menangkisnya adalah seorang gadis yang masih sangat muda.
"Siapa kau, Cah Ayu! Menyingkirlah cepat sebelum
aku ter pa ksa bertindak keras terhadapmu!"
ancam Kelabang Hijau. Bagaimanapun juga dia merasa malu untuk
bertindak kasar terhadap seorang gadis yang masih begitu muda.
"Melati...!" teriak Arya keras. Ditatapnya gadis yang telah menyelamatkannya
penuh rasa rindu. Tapi Melati hanya tersenyum sekilas.
Namun hal itu sudah cukup bagi Arya. Kontan semangatnya pun bangkit kembali.
"Kau hadapi nenek itu, Melati!" teriak Arya seraya melompat mendekati Kelabang
Hijau Tapi tiba-tiba kakek berkepala gundul itu
menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
"Tunggu, Dewa Arak!" cegah Kelabang Hijau.
"Mengapa, Kek?" tanya Arya. Tidak ada nada permusuhan dalam suaranya. Dewa Arak
tahu, kalau kakek dan nenek ini menyerangnya bukan karena dendam.
"Urusan ini telah selesai sampai di sini."
"Heh"!" Arya tersentak kaget "Mengapa begitu?"
Kelabang Hijau menghela napas. "Kami
telah bersepakat untuk mengaku kalah padamu jika kau sanggup menghadapi kami
selama lima puluh jurus. Sekaligus menganggap habis semua urusan."
Melati tersenyum mengejek. "Lalu, mengapa tadi kalian masih menyerang terus"
Padahal jelas-jelas pertarungan sudah berlangsung lebih dari lima puluh jurus!"
"Maaf, kami khilaf!"
"Lalu maksudmu bagaimana, Kek?" selak Dewa Arak yang tidak ingin urusan jadi
berlarut-larut.
"Ya. Ternyata kaulah pemenangnya. Kami berdua mengaku kalah! Selamat tinggal,
Dewa Arak!" Setelah berkata demikian, tubuh kakek berpakaian rompi hijau ini
melesat diikuti sesosok bayangan putih. Cepat sekali gerakan kedua bayangan itu.
Dalam sekejap saja hanya tinggal dua buah titik kecil hitam di kejauhan yang
kemudian lenyap.
Kali ini Arya tidak ingin kecolongan lagi!
Begitu, Kelabang Hijau dan Dewi Bulan melesat dari situ, bu ru-buru dialihkan
perhatiannya ke arah Melati. Dan begitu dilihatnya gadis itu hendak melesat
kabur kembali, segera Dewa Arak melompat menghadang. Kini mereka berhadapan
dalam jarak dua tombak.
"Melati...," tegur Dewa Arak Suaranya terdengar gemetar.
Gadis yang dulu terkenal berjuluk Dewi
Penyebar Maut ini tidak menjawab, dan hanya berdiri diam. Kepalanya pun
ditundukkam dalam-dalam. Memang sejak mengenal pemuda di
hadapannya ini,
sifatnya telah benar-benar berubah. Hampir tidak pernah lagi gadis itu menurunkan tangan maut pada
lawannya, kalau tidak terpaksa sekali!
"Melati...," sapa Arya lagi. Dilangkahkan kakinya mendekati gadis yang masih
tetap diam tidak bergeming.
"Aku ingin
minta maaf atas semua kesalahanku padamu. Maukah kau memaafkan?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut
gadis itu. Dewa Arak diam menunggu sabar.
Akhirnya setelah beberapa saat lamanya, kepala gadis itu terangguk pelan.
"Ah...! Terima kasih, Melati! Sudah kuduga, kau pasti gadis yang baik..... Nggg...
Maukah kau melakukan perjalanan bersamaku lagi..., seperti beberapa waktu yang
lalu?" Beberapa saat lamanya suasana menjadi
hening, begitu Arya menghentikan ucapannya
"Untuk apa..,?" akhirn ya keluar juga suara dari mulut gadis itu.
"Aku ingin menemui gurumu...?"
Melati tersentak. "Menemui guruku"!"
"Ya. Guruku,
Ki Gering Langit telah
menugaskan agar aku mengambil kembali kitab-kitab yang dulu.., maaf... telah
dicuri gurumu. Oh,
ya.... Siapakah gurumu" Ki Julaga..., atau Ki Jatayu?"
"Ki Julaga."
"Bagaimana, Melati?" desak Dewa Arak.
Perasaan tegang melanda hatinya. Hanya tinggal gadis
di hadapannya inilah yang dapat menunjukkan tempat tinggal orang-orang yang telah membawa lari kitab-kitab
pusaka gurunya.
Kalau Melati menolak, sia-sialah usaha yang selama ini dilakukannya.
"Aku ber sedia, "
ucap Melati. "Guruku
memang sudah lama ingin mengembalikan kitab-kitab
itu. Beliau merasa bersalah telah mencurinya, dan
sudah lama berniat ingin
mengembalikannya. Syukur kalau kau berniat mengambilnya..., Kang."
Arya tersenyum simpul. Geli juga hatinya
melihat gadis itu ragu-ragu memanggilnya.
"Panggillah
aku seperti Gumala memanggilku."
Melati tersenyum. Arya pun tersenyum.
Hati Dewa Arak diam-diam agak heran. Mengapa kini alam jadi terasa lebih indah
dan berseri-seri.
Pohon-pohon, batu-batu, rembulan
di langit, sepertinya semua ikut tersenyum bersamanya.
*** 8 "Di sanalah selama ini guruku tinggal, Kang Arya," jelas Melati. Tangannya
menunjuk pada sebuah gua yang cukup besar dan kelihatan gelap menghitam di
kejauhan. Dewa Arak menatap suasana di sekitarnya.
Harus diakui kalau tanpa bantuan Melati, tidak mungkin
baginya dapat menemukan
tempat tinggal Ki Julaga. Tempat kakek itu begitu
tersembunyi, terletak di sebuah gua yang terdapat di lereng bukit yang sukar
didaki. Berkat ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkat tinggi, tidak sulit bagi mereka untuk mencapai gua. Dalam
beberapa kali lompatan saja, Melati dan Dewa Arak telah berada di mulut gua.
Tapi tiba-tiba Melati tersentak kaget,
karena mendengar suara orang bertengkar dari dalam
gua. Ber gega s gadis itu berkelebat memasuki gua itu, diikuti Arya yang sa ma sekali tidak tahu-menahu. Diam-diam
Dewa Arak kaget juga ketika mengetahui bagian dalam gua ini ternyata luas
sekali. Sekejap kemudian Arya melihat Melati
tengah menatap cemas pada dua orang kakek
yang tengah berhadapan. Yang seorang bertubuh kecil kurus dan kelihatan sudah
tua sekali. Rambut, kumis, alis, dan jenggotnya telah putih semua. Bahkan jenggot itu
panjang sampai ke dada. Entah berapa usia kakek ini.
Sedangkan yang seorang lagi juga kurus.
Hanya saja tubuhnya tidak kecil, melainkan agak tinggi. Kumisnya hanya beberapa
lembar dan panjang menjuntai melewati mulut Matanya sipit memancarkan kelicikan.
"Yang mana gurumu ?" tanya Dewa Arak lirih.
Melati menoleh. "Yang kecil!"
"Kau harus serahkan padaku, Kakang
Julaga"!" kembali terdengar suara si tinggi kurus.
Nada suaranya penuh ancaman.
"Tidak! Sekali kukatakan tidak, selamanya tidak, Adi Jatayu! Kitab itu dan kitab
lainnya akan kukembalikan kepada yang berhak!" bantah si kecil kurus.
"Kau bodoh, Kakang!"
"Tidak! Justru aku bodoh kalau sampai terkena bujukanmu lagi seperti dulu!"
"Kalau begitu terpaksa akan kugunakan kekerasan!" teriak Ki Jatayu.
"Silakan. Aku tidak akan melawan, dan kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap
akan dapat mendapatkan
kitab-kitab yang bukan hakmu itu!" tegas dan jelas kata-kata Ki Julaga.
Ki Jatayu menggeram. Sepasang matanya
yang sipit seperti memancarkan
api ketika menatap wajah guru Melati itu.
"Kalau begitu, kau harus kukirim ke
neraka!" Setelah berkata demikian, Ki Jatayu melompat menerjang. Cepat bukan main gerakannya. Baik Dewa Arak maupun Melati
sama-sama terkesima melihat kecepatan gerak yang belum pernah mereka saksikan
selama ini. Ki Jatayu menyerang Ki Julaga dengan
tusukan-tusukan jari tangan terbuka lurus. Decit angin tajam membuat Dewa Arak
dan Melati mengernyitkan alisnya. Suara itu membuat telinga mereka sakit.
"'Tangan Pedang'...," desis Dewa Arak dan Melati bersamaan. Dan dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati mereka ketika melihat kakek kecil kurus itu
sama sekali tidak bergerak menangkis atau melawan serangan Ki Jatayu.
"Kakek...!" Melati menjerit pilu. Sementara itu Dewa Arak sendiri sudah melompat
cepat, mencoba menghambat serangan Ki Jatayu dengan sebuah serangan ke arah
pelipis. Sadar kalau kakek
ini memiliki kepandaian yang sukar dibayangkan, Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaganya.
Ki Julaga yang semula sudah pasrah tidak
berusaha menahan atau menangkis serangan itu, tersentak ketika mendengar
jeritan. Dikenali betul, siapa pemilik suara itu. Suara Melati, murid yang amat
disayanginya. Sekelebat benaknya bekerja keras. Kalau dirinya mati, sia pa yang
akan melindungi gadis
itu dari Ki Julaga yang diketahuinya pasti berwatak telengas. Selintasan pikiran
itu la h yang membuatnya
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merubah keputusan. Segera diulurkan tangannya untuk menangkis serangan Ki Jatayu.
Tapi secara tiba-tiba Ki Jatayu menarik
pulang serangannya. Dan dengan kecepatan yang sukar dilihat mata biasa, kakek
bermata sipit ini menggerakkan
tangannya, ke belakang, menangkis serangan Dewa Arak.
Plak! Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang.
Dirasakan sekujur tangannya sakit-sakit. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Brukkk...! Dengan deras dan keras punggung pemuda
itu menghantam dinding gua sampai tergetar karena kerasnya benturan.
"Kakang...!" Melati berteriak kaget. Secepat kilat tubuhnya melesat ke arah Dewa
Arak. Dengan perasaan cemas yang tergambar di wajah, didekatinya tubuh
pemuda berambut putih keperakan itu. Lega hatinya ketika pemuda itu bangkit,
tak nampak ada tanda-tanda terluka.
"Siapa kau, Anak Muda! Menyingkirlah
cepat sebelum kesabaranku hilang!" bentak Ki Jatayu. Diam-diam kakek ini kaget
bukan main. Menurut perkiraannya,
paling tidak tangan pemuda itu patah-patah ketika membentur tangannya tadi.
"Ki Jatayu...," ujar Dewa Arak. "Guruku, Ki Gering Langit telah menugaskanku
untuk mencari dan memlnta kembali kitab-kitab yang telah kau larikan itu!"
Wajah Ki Jatayu dan Ki Julaga berubah
pucat. Hati kedua kakek ini dilanda rasa kaget yang amat sangat. Tapi, hanya
sesaat saja kekagetan itu melanda hati kakek tinggi kurus ini.
Di lain saat, wajah itu memerah. Sepasang
matanya berkilat penuh kemarahan.
"Jadi..., kau njpanya orang yang telah membunuh muridku, heh"!" tanya Ki Jatayu.
Keras dan kasar suaranya. Memang telah didengar berita tentang tewasnya murid
kesayangannya di tangan Arya Buana alias Dewa Arak.
"Benar! Karena dia telah membunuh guru dan ibuku! Lagipula, muridmu memang sudah
sepantasnya dilenyapkan dari muka bumi!" tegas Dewa Arak.
"Keparat...!" maki Ki Jatayu. "Kau harus mati di tanganku, Dewa Arak!"
Dewa Arak sadar kalau lawan yang kini
dihadapinya adalah seorang yang sangat sakti.
Dugaan Arya Buana tepat sekali! Tenaga dalam yang dimiliki kakek ini telah
mencapai tingkatan yang sukar untuk dibayangkannya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi
diraihnya guci arak yang terikat di punggungnya. Sebentar saja guci itu sudah
berada di atas kepalanya. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu
memasuki tenggorokannya. Sesaat kemudian
tubuh pemuda itu pun limbung.
Ki Jatayu, dan juga Ki Julaga mengerutkan
alisnya. Ilmu apakah yang akan dikeluarkan pemuda ini"
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring Dewa
Arak mengayunkan guci di tangannya.
Wut...! Guci itu menyambar dahsyat ke arah
kepala Ki Jatayu. Angin menderu begitu keras menandakan tingginya tenaga yang
terkandung dalam ayunan guci itu. Tapi kakek tinggi ku rus itu hanya mendengus.
Tanpa bergeming sedikit pun, diangkat tangan kirinya untuk melindungi kepala.
Dukkk...! Tak pelak lagi guci perak itu membentur
tangan kiri Ki Jatayu. Akibatnya tangan kakek itu tergetar hebat. Tapi tidak
demikian halnya Dewa Arak. Tubuhnya terpelanting bagai diseruduk kerbau. Sekujur
tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun kontan sesak. Tapi berkat
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', tidak sulit bagi Arya untuk segera
memperbaiki posisinya.
Benturan yang kedua kali ini menyadarkan
Dewa Arak, bahwa tidak selayaknya melawan
kekerasan kakek itu dengan kekerasan pula.
Sudah dibuktikan sendiri kekuatan tenaga dalam kakek itu yang luar biasa.
Mengadu tenaga dengan kakek itu sama saja mencari penyakit. Kalau saja kakek itu
mendesak dan memojokkan mengadu
tenaga dalam secara langsung, ia mungkin sudah tewas!
"Ahhh...!" Melati terperanjat. Segera saja dia bergerak hendak membantu pemuda
yang dicintainya. Tapi, baru saja kakinya melangkah, sebuah tangan telah menyentuh
pergelangan tangannya. Gadis berpakaian serba putih ini menoleh.
Ternyata Ki Julaga yang menyentuh pergelangan tangannya.
"Biarkan pemuda itu melaksanakan pesan gurunya. Kurasa Ki Gering Langit tidak akan sembarangan
memberi tugas, kalau tidak diyakininya muridnya itu akan mampu. Lihat saja dulu!"
' Tapi, Kek...," Melati mencoba membantah.
"Tenanglah, Melati," bujuk kakek kecil kurus itu.
Terpaksa Melati tidak membantah lagi.
Pandangan matanya dialihkan kembali ke arah pertarungan.
Walaupun gurunya telah menyuruhnya bersikap tenang, tetap saja gadis itu tidak mampu. Perasaan cemas
akan keselamatan Dewa Arak tetap saja melanda. Apalagi pemuda itu sangat
dicintainya. Sementara Arya kini merubah siasatnya.
Dia sadar kalau dalam hal tenaga dalam,
bukanlah tandingan kakek itu. Dan kalau memaksa bertarung seperti itu, adalah suatu perbuatan bodoh. Orang setua seperti
Ki Jatayu, apalagi jika lama tidak berlatih, tentu otot-ototnya agak kaku.
Apalagi, kelihatannya kondisi tubuh Ki
Jatayu sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung lama.
Maka Dewa Arak kini memaksa diri untuk
tidak menyerang. Dibiarkan saja Ki Jatayu yang telah dikuasai amarahnya terus
menyerangnya kalang kabut.
Sementara Dewa Arak
terus mengelakkan setiap serangan itu dengan jurus
'Delapan Langkah Belalang'.
"Hiyaaa...!"
Ki Jatayu berteriak nyaring. Jari-jari kedua tangannya terbuka lurus melakukan
tusukan-tusukan bertubi-tubi ke arah leher, ulu hati, dan pusar. Cepat luar
biasa gerakannya. Angin
berdecit nyaring, seperti ada puluhan ekor tikus yang mencicit berbarengan.
Tapi lagi-lagi dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Dewa Arak dapat mengelakkan serangan itu. Meskipun serangan
itu berhasil dielakkan, tapi tak urung sekujur pakaian Arya telah compang
camping tersayat-sayat di sana sini, akibat terkena angin serangan tangan Ki
Jatayu. Memang kakek tinggi kurus ini menggunakan ilmu 'Ta nga n Pedang'
dalam menghadapi Dewa Arak.
Ki Jatayu menggeram keras, mu rka bukan
kepalang. Masalahnya, semua serangannya tidak ada yang mengenai sasaran. Padahal
pertarungan telah berlangsung lebih dari seratus jurus. Dan selama itu Arya
hanya mengelak dan menghindar.
Sesekali menyerang, tapi lekas ditarik kembali begitu melihat kakek itu hendak
menangkisnya. Kemarahan membuat Ki
Jatayu kian memperhebat serangannya. Ruangan dalam gua itu sampai bergetar hebat akibat
angin pukulan yang salah sasaran dari kakek ini.
Tak terasa lima puluh jurus kembali telah
berlalu. Dan selama itu, tetap saja belum ada satu pun serangan kakek tinggi
kurus ini yang mengenai sasaran. Hal ini membuat kemarahan Ki Jatayu
kian berkobar. Amarah, membuat napasnya kian cepat memburu. Kakek ini memang sudah merasa lelah bukan main!
Sebetulnya kalau saja Ki Jatayu tidak
terlalu bernafsu, tidak akan selelah itu. Tapi, karena bertarung diiringi amarah
yang meluap-luap, kelelahan lebih cepat datang.
"Grrrrhhh...!"
Tiba-tiba saja kakek itu menggeram, disertai pengerahan seluruh
tenaga dalamnya. Ki Jatayu memang bermaksud merubuhkan Dewa Arak melalui
sera nga n suara,
seperti seekor harimau yang mengaum untuk melumpuhkan mangsanya. Akibatnya memang hebat sekali. Tubuh
Melati sendiri sampai terhuyung akan jatuh.
Padahal bukan dirinya yang diserang! Apalagi Dewa Arak yang menerima serangan
itu secara langsung!
Wajah Dewa Arak memucat. Kedua kakinya
mendadak lemas secara tiba-tiba. Tanpa dapat ditahan lagi, tubuhnya pun ambruk
ke tanah. Dan saat itulah Ki Jatayu melompat menerkam. Kedua
tangannya mengembang, dengan jari-jari membentuk cakar. Serangan itu mengingatkan orang akan serangan
seekor harimau pada mangsa yang telah tidak berdaya lagi.
Wuttt...! Angin menderu dahsyat, seolah-olah di
tempat itu terjadi badai.
"Ah...!" Melati menjerit melihat bahaya maut mengancam Dewa Arak.
"Ehm...,"
Ki Julaga berdehem untuk menutupi keterkejutan hatinya. Disadari kalau dia tidak mungkin dapat menolong
murid Ki Gering Langit ini. Serangan itu datang tiba-tiba sekali, sementara
jaraknya dari pemuda berambut putih keperakan itu cukup jauh.
Arya memang terperanjat bukan main
melihat serangan itu. Tapi, sebenarnya pemuda ini tidak gugup.
Ilmu 'Belalang Sakti" memang
memiliki banyak keistimewaan. Dalam posisi sesulit apa pun dia dapat bergerak
dan melompat. Di samping itu, dari keadaan lemah tak bertenaga, mendadak akan menjadi kokoh
kuat, dan mantap penuh tenaga.
Maka walaupun menurut perkiraan serangan itu tidak akan dapat dielakkan, tapi Arya masih mampu mengelak.
Tubuhnya melenting ke atas.
Brakkk...! Lantai gua hancur berantakan ketika
kedua tangan Ki Jatayu menghantamnya. Di saat itulah, Dewa Arak yang tadi
melenting tepat di
atas tubuh Ki Jatayu, mengayunkan gucinya.
Dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam serangan ini
Wusss...! Prak...! "Aaakh...!" Ki Jatayu menjerit keras.
Memang, tanpa ampun lagi, guci itu telak
sekali menghantam kepala Ki Jatayu. Kakek ini memang sudah terlalu lelah
sehingga tak mampu mengelak.
Apalagi kedua tangannya
Dewa Arak 03 Cinta Sang Pendekar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih terhunjam dalam di tanah. Terdengar suara keras berderak. Disusul ambrukn ya
tubuh itu di tanah.
Beberapa saat lamanya tubuh itu menggelepar-gelepar sebelum akhirnya diam tak bergerak lagi.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Arya
hinggap di tanah. Belum juga pemuda berambut putih keperakan ini berbuat
sesuatu, terdengar seruan
gembira disusul melesatnya sesosok
bayangan putih menghampirinya.
"Kakang...!"
Dewa Arak mengembangkan lengannya.
Langsung didekapnya tubuh Melati erat-erat, begitu tubuh gadis berpakaian putih
itu telah berada di dalam pelukannya
Sesaat lamanya mereka saling berpelukan
erat seperti melupakan ada orang lain di situ.
Pelukan keduanya baru mengendur ketika terdengar suara mendehem. Rupanya saking
gembira, keduanya lupa pada Ki Julaga!
"Ah...! Hampir aku putus asa melihat
keadaanmu itu, Kang Arya. Kau... kau..., hebat sekali...," puji Melati dengan
wajah memerah. Pelahan namun pasti dilepaskan pelukannya.
Rasa gembiranya melihat pemuda itu selamat dari bahaya maut, sungguh membuatnya
lupa. Dan kini begitu teringat, timbullah rasa malunya.
Apalagi di situ ada Ki Julaga, gurunya. Dewa Arak pun melepaskan pelukannya.
"Kau hebat, Anak Muda," puji Ki Julaga sambil melangkah mendekat
Seketika wajah Dewa Arak memerah. "Ah!
Kakek membuat aku malu saja. Apalah artinya kepandaian yang kumiliki bila
dibandingkan dengan kepandaian Kakek."
Kakek kecil kurus ini hanya tersenyum.
Perasaan kagum timbul dalam hatinya, melihat sikap rendah hati yang ditunjukkan
pemuda itu. "Siapa namamu, Anak Muda?"
"Arya, Kek," jawab Dewa Arak sopan.
Dari Melati Dewa Arak telah tahu kalau
kakek di hadapannya ini, sudah lama ingin
mengembalikan kitab-kitab Ki Gering Langit. Maka Arya memutuskan untuk tidak
memerangi kakek ini.
Apalagi dari pembicaraan yang tadi didengarnya, diketahui kalau kakek ini telah sadar dari kekeliruannya.
"Julukannya Dewa Arak, Kek," selak Melati penuh rasa bangga.
Ki Julaga hanya manggut-manggut. Tentu
saja dia tidak pernah mendengar julukan itu, karena selama ini bersembunyi di
guanya. "Oh ya, Arya. Semua kitab-kitab yang kau cari, kebetulan ada di sini. Ki Jatayu
telah membawa kitab-kitab yang telah dicurinya kemari.
Maksudnya, ingin ditukarkan dengan kitab-kitab yang ada di sini."
Setelah berkata demikian kakek ini lalu
memberi semua kitab-kitab Ki Gering Langit yang telah dicuri, dan diserahkan
pada Dewa Arak "Inilah semua kitab-kitab itu, Arya," ucap Ki Julaga.
Dewa Arak menerima kitab-kitab
itu. Diperhatikan sejenak satu persatu. Lalu diambilnya satu dari sekian banyak kitab. Sebuah kitab yang sangat tipis dan
pada sampulnya bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi, 'Jurus Membakar
Matahari'! Jur u s sakti yang dipersiapkan khusus untuk 'Tenaga Dalam Inti Matahari' yang telah dimiliki Arya.
Kemudian kitab-kitab yang lainnya dikembalikan kepada kakek itu kembali.
"Heh"! Mengapa, Arya?" tanya kakek itu heran. Melati pun kaget.
"Semula memang aku berniat mengambilnya untuk dikembalikan ke tempat
semula. Tapi karena kini Kakek telah menyadari kesalahan
Kakek, kuputuskan untuk meninggalkan semua itu pada Kakek. Di tangan Kakek kitab-kitab itu akan aman.
Tak mungkin kalau harus kubawa sekian banyak kitab dalam pengembaraanku," jelas Arya.
Ki Julaga manggut-manggut mengerti.
"Kalau begitu, aku mohon diri, Kek," pamit Arya. " Banyak orang yang masih
membutuhkan pertolonganku."
"Aku ikut!" teriak Melati. "Boleh, Kek?"
tanya gadis itu sambil memandang penuh harap pada Ki Julaga.
Ki Julaga termenung sejenak. Kemudian
pelahan-lahan kepalanya menggeleng.
"Kenapa, Kek?" tanya Melati. Rasa kecewa yang amat sangat membayang pada
wajahnya. "Kau baru saja datang. Dan, rasa rinduku padamu belum juga hilang. Masa' sudah
akan pergi lagi. Tinggallah di sini sekitar sepekan, agar kerinduanku padamu
terobati."
"Tapi, Kek...."
"Benar kata Kakek, Melati," Dewa Arak memberi dukungan. "Setelah kerinduan Kakek
padamu terobati, kau bisa menyusulku. Tidak sulit kan mencari jejakku?"
Melati pun terdiam. Ucapan Arya menyadarkan dirinya, untuk tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Waktu untuknya dan untuk Dewa Arak masih sangat
panjang. Tapi, bagi Ki Julaga" Ka pan lagi dapat membalas budi kakek kecil kurus
ini selama ini kalau tidak sekarang"
"Pergilah, Melati....
Kakek tadi hanya
bergurau saja," ucap kakek kecil kurus itu ketika muridnya termenung.
Sesak dada gadis berpakaian serba putih
ini karena rasa haru yang mendalam. Melati tahu kalau ucapan gurunya ini tidak
sesuai dengan isi hati kakek
itu sendiri. Kakek itu terlalu menyayanginya dan tidak ingin membuatnya
bersedih. "Kakek...!"
Melati beriari ke arah Ki Julaga. Kakek itu pun mengembangkan lengan dan memeluk
tubuh gadis itu. Dibelai belainya rambut gadis itu penuh kasih sayang. Tanpa
dapat ditahan sebutir air bening menggulir dari sepasang matanya. Namun gadis
itu bergegas menghapusnya.
"Melati ingin tinggal..., dan menemani Kakek...," ucap Melati terputus-putus.
Air mata gadis ini pun tumpah tanpa dapat ditahannya lagi.
' Tidak usah memaksakan diri, Melati.
Pergilah! Sungguh, Kakek tidak apa-apa."
'Tidak, Kek! Melati ingin tinggal bersama
Kakek!" tegas kata-kata gadis itu.
Dewa Arak tersenyum. Ada rasa keharuan
yang mendalam di hatinya melihat adegan yang mengharukan itu. Tapi Dewa Arak
tidak ingin mengusik
mereka. Diguratkan jarinya pada dinding gua. Melati.. aku pergi dulu.
Jika kau sudah m erasa cukup m enemani Kakek,
carilah aku. Ingat, aku selalu menyayangimu. A rya Dewa Arak melangkah pelahan meninggalkan gua itu. Ada keharuan yang amat sangat
menyelubungi hati melihat adegan pertemuan yang baru saja disaksikannya. Dia sadar, Melati bukan miliknya
sendiri. Lambat tapi pasti, sosok tubuh Arya kian
mengecil dan mengecil. Hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Masih
banyak tugas yang harus dikerjakan Dewa Arak. Tugasnya selaku seorang pendekar.
SELESAI Pembuat
Ebook : Scan/Convert/E-book : Abu Keisel
Tukang Edit : Fujidenkikaga wa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tangan Geledek 12 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Racun Kelabang Putih 2