Pencarian

Dalam Cengkeraman Biang Iblis 1

Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis Bagian 1


DALAM CENGKERAMAN BIANG IBLIS
Oleh AjiSaka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau sehiruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Dalam Cengkeraman Biang Ibis
128 hal ;12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 Hari sudah agak siang. Peredaran matahari sudah hampir mencapai titik tengahnya
ketika dua sosok tubuh melangkah perlahan menyusuri jalan tanah berdebu.
Untungnya, saat itu langit tertutup oleh awan tebal. Meskipun tidak begitu
hitam, tapi membuat suasana di mayapada tidak terlalu panas.
Dua sosok tubuh itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Usia mereka
masing-masing masih cukup muda. Paling tidak, lebih dari dua puluh tahun. Yang
laki-laki berwajah tampan. Pakaiannya berwarna ungu, dengan sebuah guci arak
perak tergantung di bagian punggungnya. Rambutnya yang berwarna putih keperakan
dan dibiarkan meriap, semakin menambah kejantanannya.
Sedangkan yang wanita berwajah cantik jelita laksana bidadari turun dari
kahyangan. Pakaiannya berwarna putih. Sedangkan rambutnya berwarna hitam, panjang tergerai.
Sehingga menonjolkan kecantikannya.
"Haruskah aku ikut juga pergi ke sana, Kang Arya?" tanya gadis berpakaian putih
seraya menoleh ke arah wajah pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tentu saja, Melati," sahut pemuda berpakaian ungu yang ternyata Arya Buana. Di
kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak. Senyum
Dewa Arak tampak tersungging di bibir. "Bukankah kita telah berjanji pada
Gambala?" "Kau yang berjanji padanya, Kang. Dan bukan aku," bantah Melati memperbaiki
ucapan kekasihnya. Memang, gadis berpakaian putih itu adalah Melati, putri
angkat Raja Bojong Gading.
"Apa bedanya, Melati?" sahut Arya dengan bibir mengulum senyum. "Aku atau kau
yang berjanji, sama saja. Atau..., kau ingin aku yang pergi sendiri ke sana?"
"Agar kau bisa bertemu lagi dengan gadis putri datuk yang dulu kau bela mati-
matian" Enak saja!" sambung Melati sambil mencibir (Untuk jelasnya me-ngenai tokoh yang
bemama Gambala, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode 'Memburu Putri
Datuk' dan 'Jamur Sisik Naga').
"Ha ha ha...!" tawa Arya pun meledak.
Kelihatannya pemuda berambut putih keperakan ini merasa geli sekali, sehingga
bisa tertawa semeriah itu. Bahkan perutnya sampai terguncang-guncang karena rasa
cemburu Melati yang menggelitik perutnya.
"Kenapa kau tertawa, Kang" Ada yang lucu?" tanya Melati heran.
Kini kekesalan yang tadi melanda hatinya mulai mereda. Bahkan telah berganti
perasaan geli melihat tawa pemuda itu. Dan meskipun berusaha ditahan, tetap saja
mulutnya menyunggingkan senyum simpul.
"Arya segera menghentikan tawanya dengan susah-payah.
"Jangan terlalu cemburu, Melati," ujar Arya. "Karmila sudah menjadi milik
Rupangki. Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk mencurigaiku. Lagi pula...."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya, karena mendengar derap langkah kaki kuda
di belakangnya. Berkat ketajaman pendengarannya, bisa diketahui kalau kuda yang
berlari tidak hanya seekor saja.
Pemuda berpakaian ungu itu lalu menoleh ke belakang, diikuti Melati. Mereka
ingin tahu, siapa orang-orang yang memacu kuda secepat itu di tempat yang
berdebu pada suasana siang seperti ini.
Memang berkat pendengaran mereka yang tajam, Arya dan Melati bisa mengetahui
kalau penunggang kuda itu memacu kudanya dengan tergesa-gesa. Dan itu bisa
diketahui dari derap langkah kaki kuda yang begitu bertubi-tubi menghantam bumi.
Dalam jarak sekitar sebelas tombak di belakang sepasang muda-muda itu, tampak
beberapa ekor kuda bergerak cepat mendatangi. Kuda-kuda itu meninggalkan kepulan
debu tebal dan pekat di belakangnya.
Arya dan Melati mengerutkan alisnya. Wajah mereka menyiratkan ketidaksenangan.
Apa lagi ketika mengetahui kecepatan kuda-kuda itu sama sekali tidak mengendur.
Padahal, sebentar lagi akan tiba di tempat mereka. Sepasang pendekar muda itu
tentu saja tidak ingin terkena kepulan debu, apabila kuda-kuda itu lewat
"Kalau masih tetap saja memacu kuda dengan demikian cepat..., jangan salahkan
kalau aku terpaksa turun tangan memberikan pelajaran pada mereka...," ancam
Melati. "Sabarlah, Melati. Tahan amarahmu dulu. Aku yakin, ada sesuatu yang memaksa
mereka berlaku seperti itu," sergah Arya, berusaha menenangkan hati kekasihnya.
Padahal, dia sendiri dilanda perasaan tidak senang. Tapi, Arya tidak mau
mengikuti hawa amarahnya.
Ucapan Dewa Arak ternyata membuahkan basil juga. Kedua tangan Melati yang
semula sudah mengejang penuh berisi tenaga dalam, perlahan-lahan mengendur
kembali. "Tapi kalau mereka mengotori tubuh dan pakaian kita dengan debu-debu, apakah
harus dibiarkan saja, Kang?" sahut Melati masih mencoba bersikeras.
"Kita lihat saja nanti," kalem jawaban yang keluar dari mulut Arya.
Melati pun terdiam. Diikuti langkah kaki kekasihnya yang telah melanjutkan
perjalanan kembali. Seolah-olah Dewa Arak tidak khawatir kalau kuda-kuda itu
akan melabrak mereka. Memang, jalanan itu terlalu kecil. Lebarnya tak lebih dari
tiga tombak. Sementara di kanan kirinya dttumbuhi pepohonan dan semak-semak berduri.
Arya terus saja melangkah, meskipun derap kaki kuda itu terdengar semakin keras.
Nampaknya jarak antara mereka dengan kuda-kuda itu semakin dekat. Mau tak mau,
Melati pun berusaha menenangkan diri dan terus melangkah. Namun demikian,
jantungnya telah berdegup keras karena ketegangan yang melanda. Dicobanya untuk
bersikap tenang seperti Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tampak
tenang-tenang saja.
Kekhawatiran Melati ternyata tidak terbukti. Ketika derap kaki kuda itu sudah
semakin jelas terdengar, sebuah suara lain yang membuat hatinya lega menyeruak.
"Hooop...!"
Seiring lenyapnya suara itu, terdengar ringkikan kuda-kuda yang disusul
lenyapnya suara bergemuruh kaki-kaki kuda yang menghantam bumi.
"Raden..! Gusti Ayu...! Tunggu...!"
Arya dan Melati terperanjat bukan kepalang. Kaki mereka yang tengah melangkah
pun mendadak terhenti. Dengan wajah berubah heran, keduanya membalikkan tubuh.
Benarkah mereka berdua yang dipanggil" Kalau benar, kemungkinan besar para
penunggang kuda itu adalah orang-orang Kerajaan Bojong Gading.
Begitu tubuh Arya dan Melati sudah berbalik, para penunggang kuda itu melompat
turun dari punggung binatang tunggangannya. Indah dan manis gerakan mereka yang
ternyata berjumlah lima orang itu. Lalu, ringan tanpa suara kaki mereka mendarat
di tanah. Arya dan Melati memperhatikan lima sosok di hadapannya penuh selidik. Barangkali
saja mereka bisa dikenalinya. Tapi sampai beberapa saat lamanya memperhatikan,
tidak juga mengenali mereka.
Kelima orang itu rata-rata bertubuh tegap dan kekar. Sepasang mata yang menyorot
tajam, tampak pada wajah mereka yang rata-rata menyiratkan kegagahan. Dan begitu
telah berada di tanah, kelima orang itu langsung menekuk sebelah kaki. Sedangkan
lutut ditempelkan ke tanah. Tangan kanan mereka yang terkepal ditekankan ke
bumi. "Maafkan kami, Den, Gusti Ayu. Kami terpaksa mengganggu...," ucap salah seorang
yang berkumis tebal.
"Sebenarnya.... Siapakah Kisanak semua?" tanya Arya ingin tahu.
"Kami adalah anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading," sahut orang yang
kulit wajahnya kemerahan.
"Hm... " gu mam Arya dan Melati berbarengan.
Tanpa sadar kepala sepasang muda-mudi itu terangguk-angguk. Kini mereka
mengerti, mengapa kelima orang itu memanggil seperti itu.
"Bangunlah kalian...," ujar Melati tegas dan penuh wibawa. Persis ucapan seorang
panglima yang memerintah pasukannya.
Dewa Arak memang termasuk orang yang mampu menyimpan perasaan. Jadi, wajar saja
kalau tidak tampak perasaan kaget di wajahnya, karena merasa heran melihat sikap
dan ucapan Melati. Inikah Melati, kekasihnya yang selalu menampakkan perasaan
manja padanya" Sungguh berbeda dengan kenyataan yang dilihat dan didengarnya
sekarang! Kelima orang gagah yang ternyata anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
itu bergerak bangkit.
"Katakanlah. Mengapa kalian bisa berada di sini?" tanya Melati. Suara dan
sikapnya penuh wibawa.
"Dan mengapa kalian tidak menjaga ayahanda prabu?"
Laki-laki berkumis tebal menelan ludahnya, untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering.
"Keadaan di Istana Bojong Gading tengah dalam keadaan gawat, Gusti Ayu...,"
lapor laki-laki berkumis tebal.
"Heh..."! Apa yang terjadi?" tanya Melati heran. "Ceritakanlah secara jelas dan
singkat kejadiannya?"
Laki-laki berkumis tebal menarik napas dalam-dalam, sebelum memulai ceritanya.
"Kejadian ini berawal dari sakitnya Gusti Prabu, Gusti Ayu...," tutur anggota
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu memulai ceritanya.
"Apa"!" pekik Melati kaget
Dan sebelum laki-laki berkumis tebal itu melanjutkan ceritanya, tahu-tahu
tubuhnya sudah tertarik ke depan. Rupanya, leher bajunya telah dicengkeram
tangan Melati yang kemudian langsung membetotnya. Kontan bulu kuduk anggota
pasukan khusus itu berdiri menyaksikan kesaktian putri angkat junjungannya.
"Ayahanda Prabu sakit"! Katakan! Mengapa hal itu bisa terjadi"! Katakan cepat!"
ucap Melati kalap.
Kedua tangan gadis ini masih mencekal leher baju laki-laki berkumis itu,
kemudian bergerak mengguncang-guncangkannya. Mau tak mau, tubuh laki-laki
berkumis tebal itu pun ikut terguncang-guncang pula terbawa gerakan tangan
Melati. Apalagi dia tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Tapi andaikata
mengerahkan pun, rasanya tidak akan banyak berarti.
Jelas saja, sebab tenaga dalam mereka berdua terpaut sangat jauh.
Melihat hal ini, Dewa Arak buru-buru menyentuh lengan Melati.
"Tenanglah, Melati. Berikan kesempatan padanya untuk berbicara. Kekalapan tidak
akan menyelesaikan persoalan."
Melati terperangah. Baru disadari, kalau sikapnya justru tidak menunjukkan ciri
seorang pendekar yang selalu menghadapi persoalan dengan tenang.
"Maafkan atas sikapku yang kurang pantas, Paman," ucap gadis berpakaian putih,
malu-malu. "Tidak apa-apa, Gusti Ayu," jawab laki-laki berkumis tebal itu. "Aku bisa
memaklumi perasaan yang melanda hatimu, Gusti Ayu."
"Terima kasih, Paman. Sekarang,
ceritakanlah apa yang terjadi di istana sepeninggalku...."
Anggota pasukan khusus yang berkumis tebal itu menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Sepertinya dia hendak membuang ganjalan hatinya
setelah berbuat demikian.
"Sebenarnya tidak ada kejadian apa-apa, Gusti Ayu. Hanya..., yahhh.... Gusti
Prabu sakit. Mungkin karena lelah, dan mungkin pula karena rindu padamu. Tapi
yang jelas, sakitnya karena pikiran...."
Laki-laki berkumis tebal itu menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil
napas. "Tapi desas-desus yang terdengar di luar sungguh mengejutkan hati," sambung
anggota pasukan khusus itu.
"Desas-desus?" Melati mengernyitkan keningnya.
"Benar. Menurut berita yang tersebar di luar, Gusti Prabu sakit parah. Dan
kemungkinan besar akan mangkat," jawab laki-laki berkumis tebal itu seraya
menyambung ceritanya.
"Hm....!" Melati mengangguk-anggukkan kepala.
Sementara itu, Arya diam saja mendengarkan. Dan memang, dia tidak ingin berniat
ikut campur. Dibiarkannya saja Melati menyelesaikan persoalan itu. Dan itu
dilakukan untuk menjaga harga diri sang kekasih di mata anak buahnya.
"Akibatnya banyak kadipaten yang berusaha melepaskan diri dan menyatakan menjadi
kerajaan baru. Bukan hanya itu saja. Di istana pun suasana mulai hangat. Masing-
masing pejabat ingin menjadi raja."
"Ah! Sampai begitu parahnya keadaan di istana?" tanya Melati seperti tak
percaya. Bagai diberi perintah, kepala kelima orang pasukan
khusus itu terangguk
berbarengan. "Lalu..., Patih Rantaka ke mana?" Melati kembali mengajukan pertanyaan setelah
teringat laki-laki setengah tua yang telah beberapa kali ikut bersamanya dalam
memadamkan kerusuhan (Agar jelas, baca serial Dewa Arak dalam episode "Jamur
Sisik Naga", dan
"Kelelawar Beracun").
"Beliau tengah pergi mengadakan kunjungan persahabatan ke Kerajaan Kawulan,"
kali ini laki-laki berjenggot jarang-jarang yang menjawab.
"Itulah sebabnya, beberapa di antara kami pergi meninggalkan istana untuk
mencari Gusti Ayu. Karena, Gusti Ayulah satu-satunya orang yang akan dapat
menenangkan suasana di istana yang mulai menghangat..." sambung laki-laki
berkumis tebal.
"Lho"! Mengapa aku" Tidak salahkah pilihan itu, Paman?" tanya Melati heran.
Laki-laki berkumis lebat itu menggelengkan kepala seraya tersenyum lebar.
"Semua pasukan, panglima, dan pejabat kerajaan menaruh perasaan segan dan hormat
pada Gusti Ayu. Aku yakin, kalau Gusti Ayu yang turun tangan, keadaan akan
kembali tenang...."
"Kalau memang tidak ada pilihan lagi..., apa boleh buat. Tapi..."
Seiring terhentinya ucapan itu, Melati menoleh ke arah Dewa Arak.
Arya tahu perasaan yang melanda hati Melati. Gadis itu tidak mau lancang
mengambil keputusan, tanpa meminta persetujuan darinya. Maka pemuda berambut
putih keperakan itu buru-buru menganggukkan kepala seraya tersenyum lebar.
"Pergilah, Melati. Rakyat Kerajaan Bojong Gading membutuhkan uluran tanganmu.
Cegahlah pertumpahan darah yang akan terjadi di sana," ujar Arya bijaksana.
"Lalu..., bagaimana dengan maksud kepergian kita?" tanya Melati ragu-ragu.
"Tidak usah kau pikirkan," sahut Arya. "Apabila sempat, susullah ke sana. Toh,
waktunya masih cukup lama. Yang jelas, aku akan menunggu di sana."
"Kalau begitu..., aku pergi dulu, Kang," pamit Melati.
Arya menganggukkan kepala. Sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya.
"Hih...!"
Melati langsung menggenjot kaki. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas dan
hinggap di atas punggung kuda yang telah disiapkan pasukan khusus itu. Dan
ketika Melati telah berada di atas punggung kuda, lima orang pasukan khusus itu
melompat ke punggung kuda masing-masing.
"Kami pergi dulu, Den...," pamit mereka setelah berada di atas punggung binatang
tunggangannya. "Semoga kerusuhan itu bisa teratasi...," ujar Arya.


Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mudah-mudahan, Den...," sahut kelima orang itu serempak.
"Hiya...! Hiya...!"
Melati dan kelima orang anggota pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
menggeprakkan tali kekang kudanya. Seketika itu juga, binatang-binatang itu
melesat meninggalkan Dewa Arak. Mula-mula pelan, tapi semakin lama semakin cepat
Arya memandangi hingga kuda-kuda itu lenyap di kejauhan, meninggalkan kepulan
debu tebal dan tinggi.
*** Meskipun rombongan pasukan berkuda itu telah tidak tampak lagi, Dewa Arak masih
tetap berdiri di situ. Pandangan matanya tetap tertuju ke arah lenyapnya
rombongan itu. Cukup lama Arya bersikap seperti itu. Tapi mendadak, tubuhnya berbalik karena
mendengar adanya deheman di belakangnya.
"Raja Racun Muka Putih...!" desis Arya kaget ketika melihat sesosok tubuh tinggi
besar berpakaian merah. Kumis, jenggot, dan cambangnya yang berwarna hitam
tampak menyolok sekali, karena kulit wajahnya yang berwarna putih.
Arya memang mengenal tokoh ini karena pernah berjumpa. Bahkan pernah bertarung
dengannya (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Keris
Peminum Darah")."Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa berkakakan. "Kita
berjumpa lagi, Dewa Arak...!"
"Hm...." gumam Arya pelan, menyambut ucapan kakek berpakaian merah. "Raja Racun
Muka Putih..., apa maksudmu menemuiku di sini?"
"Hm...!" Raja Racun Muka Putih menggumam.
"Tanpa perlu kuberitahukan pun, sebenarnya kau sudah harus mengetahuinya, Dewa
Arak! Tapi, baiklah. Mungkin saja kau lupa. Maka, akan kujelaskan persoalannya!"
Raja Racun Muka Putih menghentikan ucapannya sejenak untuk menarik napas.
"Ada dua hal yang membuatku mencarimu, Dewa Arak!" lanjut kakek berpakaian
merah. "Tapi biarlah...! Asal kau mau memenuhi masalah yang kedua, maka semua
masalah akan kulupakan. Bahkan kuanggap di antara kita tidak ada masalah...."
Raja Racun Muka Putih menghentikan ucapannya kembali, karena ingin melihat
tanggapan Dewa Arak.
Tapi, ternyata pemuda berambut putih keperakan diam saja. Tidak tampak adanya
tanda-tanda kalau Arya ingin mengajukan tanggapan.
"Masalah pertama..., kau punya hutang nyawa padaku! Muridku, Brajageni telah kau
bunuh. Dan untuk itu, sudah sepatutnya aku membunuhmu! Tapi bila kau mau
memenuhi masalah yang kedua, yaitu memberikan keris miliknya yang kau curi,
semua urusan akan kulenyapkan. Kau kuampuni, Dewa Arak!"
Arya tersenyum getir.
"Sayang sekali, Raja Racun," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Suaranya
seperti mengandung penyesalan mendalam. "Aku tidak bisa memberikan benda yang
kau inginkan itu. Keris itu telah tidak ada lagi padaku."
"Keparat! Jawabanmu memang sudah kuduga, Dewa Arak!" maki Raja Racun Muka Putih.
Kemarahan hebat tampak di wajah kakek berpakaian merah itu. Wajahnya yang putih
tampak memerah. Suara berkerotokan keras seperti tulang-tulang berpatahan
terdengar, ketika tenaga dalam Raja Racun Muka Putih bergolak ke sekujur tubuh
dengan sendirinya.
"Berani benar kau berbohong padaku, Dewa Arak!" Ataukah memang sudah
mempunyai nyawa rangkap"!" ancam Raja Racun Muka Putih. Suaranya terdengar
bergetar, karena amarah yang meluap-luap dalam dada.
"Aku tidak bohong, Raja Racun! Keris itu tidak ada padaku!" jawab Arya.
Suara Dewa Arak tetap tenang, setenang raut wajahnya. Walaupun sebenarnya,
sekujur otot dan urat syaraf di tubuhnya menegang waspada. Disadari kalau laki-
laki tua yang berdiri di hadapannya adalah lawan yang amat tangguh.
Dan sebenarnya Arya sama sekali tidak berbohong. Keris itu telah tidak berada di
tangannya lagi, tapi telah disimpan di sebuah tempat yang hanya dia sendiri yang
tahu (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Keris Peminum
Darah"). "Rupanya, kau ingin dipaksa, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Raja Racun Muka Putih segera melompat menerjang Dewa
Arak. Dan sekali menyerang, seluruh kemampuannya telah dikeluarkan. Memang,
kakek berpakaian merah ini sadar kalau Arya memiliki kepandaian tinggi.
Kesaktian Dewa Arak telah dibuktikannya sendiri sewaktu bertarung dengan pemuda
itu. Raja Racun Muka Putih mengawali serangan dengan mengirimkan sebuah tendangan
miring kaki kiri yang bertubi-tubi ke arah wajah Dewa Arak.
Arya segera menarik kaki kanannya, mundur selangkah ke belakang. Sehingga,
serangan itu tidak mengenai wajahnya. Tapi meskipun begitu, tangan kanannya
diangkat untuk menangkis serangan itu. Dewa Arak memang sengaja melakukan
tangkisan dengan menarik kaki ke belakang untuk mengurangi tenaga serangan
lawan. Plak, plak, plak...!
Benturan keras bertubi-tubi seperti ada dua benda logam beradu terdengar ketika
tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi berbenturan.
Akibatnya, baik Dewa Arak maupun Raja Racun Muka Putih sama-sama terhuyung ke
belakang. Tangan dan kaki masing-masing pihak sama-sama bergetar hebat. Raja
Racun Muka Putih benar-benar merupakan seorang tokoh sakti. Tanpa mengalami
kesulitan sedikit pun kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, berhasil
dipatahkan. Lalu kembali dilancarkannya serangan dengan kaki yang sama. Tapi,
kali ini meluncur ke arah dada.
Seperti juga sebelumnya, serangan kali ini pun diawali deru angin keras. Rupanya
dari sini terlihat, betapa besarnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan
itu. Namun kali ini Dewa Arak tidak menangkisnya! Dia malah melompat agak jauh ke
belakang, seraya meraih guci arak yang tergantung di punggung selagi tubuhnya
berada di udara. Kemudian, dituangkannya guci itu ke mulutnya.
2 Gluk... Gluk... Gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan begitu kedua kaki
Arya mendarat di tanah. Kontan hawa hangat menjalari perut, kemudian perlahan
merayap ke kepala. Akibatnya, kedudukan kaki Arya tidak tetap lagi. Tubuhnya
limbung sana, limbung sini. Rupanya, Dewa Arak telah menyiapkan ilmu 'Belalang
Sakti' andalannya.
Raja Racun Muka Putih yang memang telah dilanda kemarahan menggelora, langsung
menyerang Dewa Arak. Segera dihujaninya Arya dengan serangan bertubi-tubi dan
mematikan. Dewa Arak pun tidak berani bersikap setengah setengah. Ilmu 'Belalang Mabuk'nya
dikeluarkan hingga sampai ke puncaknya. Kedua tangan, guci, dan semburan
araknya, merupakan serangan yang sating tunjang untuk menggilas habis setiap
pertahanan lawan.
Pertarungan yang berlangsung antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu memang
hebat bukan kepalang. Setiap serangan mereka menimbulkan angin menderu keras.
Bahkan suasana di sekitar pertarungan telah porak poranda. Beberapa batang
pepohonan telah tumbang di sana-sini terkena angin serangan nyasar. Semak pun
banyak yang tercabut hingga ke akar-akarnya. Keadaan tanah di sekitar tempat itu
seperti telah dibajak belasan ekor kerbau. Itu pun masih diwarnai debu tebal
yang menyelimuti sekitar tempat itu.
Seratus jurus telah berlalu. Tapi selama itu, tidak nampak adanya tanda-tanda
yang akan keluar sebagai pemenang. Tampaknya pertarungan masih berjalan
seimbang. Raja Racun Muka Putih menggertakkan gigi, karena perasaan geram yang melanda.
Meskipun telah mengetahui ketangguhan lawan, tapi sama sekali tidak disangka
akan semakin sakti.
Dalam siksaan perasaan geram yang bergelora, Raja Racun Muka Putih memutuskan
untuk menggunakan cara lain dalam merobohkan lawan. Padahal, semula dia tidak
bermaksud untuk menggunakannya. Hal ini mengingat Arya adalah seorang lawan yang
masih sangat muda. Tapi, kini kenyataan menghendaki lain. Jadi, kalau ingin
mengalahkan Dewa Arak tidak hanya menggunakan ilmu silat saja.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Raja Racun Muka Putih melempar tubuh ke belakang.
Kemudian dia bersalto beberapa kali di udara, dan tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, kakinya menjejak tanah. Kini, langsung disiapkan ilmu yang lainnya.
Dewa Arak tahu, lawan memperjauh jarak pasti ada maksudnya. Tapi, dia tidak
mengejarnya. Sengaja diberinya kesempatan bagi lawan untuk mengeluarkan ilmu
andalan. Kini kedua tokoh yang sama-sama sakti itu berdiri berhadapan dalam jarak enam
tombak. Baik Dewa Arak maupun Raja Racun Muka Putih saling menatap tajam, tapi
dengan kuda-kuda berbeda.
Kedudukan Dewa Arak sama sekali tidak pantas disebut kuda-kuda silat. Ini karena
kedua kakinya berdiri tidak tetap, oleng ke sana kemari, sehingga membuat
tubuhnya pun bergoyang-goyang. Kedua tangannya yang berada di depan dada,
bergerak-gerak seperti seekor jangkrik yang tengah menggosok-gosokkan kedua kaki
depannya. Sementara itu, Raja Racun Muka Putih telah bersiap dengan kuda-kuda sejajar.
Jari-jari kedua tangannya yang terbuka lurus dan menegang kaku, berada di sisi-
sisi pinggangnya.
Telapak tangannya tampak menghadap ke langit
"Ssshh...!"
Dibarengi desisan tajam seperti seekor ular marah, kakek berpakaian merah ini
menjulurkan tangan kanannya ke depan secara perlahan-lahan, tapi penuh kekuatan.
Dan begitu telah terjulur habis ke depan, punggung tangan kanannya berubah
menjadi hitam! Asap tipis berwarna gelap tampak mengepul dari punggung tangan itu. Kemudian,
jari-jari tangan kanan Raja Racun Muka Putih dikepalkan. Masih dengan mengepal,
tangan kanan itu kembali ditarik ke sisi pinggang
Hal yang sama diulangi kakek berpakaian merah itu. Tapi kali ini tangan yang
kiri. Dan seperti juga tangan kanan, tampak punggung tangan kiri Raja Racun Muka Putih
berwarna hitam dan mengepulkan asap tipis.
Dan begitu tangan kiri telah ditarik kembali, maka kini sekaligus dua tangan
yang dijulurkan ke depan. Warna hitam pada punggung tangan semakin jelas
terlihat. Demikian pula asap yang keluar, tampak semakin jelas, karena semakin
banyak dan menebal. Asap itu keluar dari balik tangan baju Raja Racun Muka
Putih! Melihat hal itu, Arya bersikap waspada. Dia tahu, kedua tangan yang diyakininya
telah berubah hitam. Pasti mengandung racun ganas. Hal ini bisa diketahui dari
bau amis memuakkan yang keluar dari asap berwarna hitam itu. Bau yang membuat
kepalanya terasa pening. Padahal, hanya baunya saja yang tercium. Belum lagi,
terkena serangan secara langsung.
Raja Racun Muka Putih maju mendekati Dewa Arak, dengan langkah-langkah silang.
Sepasang matanya nampak penuh kewaspadaan, memperhatikan setiap gerak-gerik
pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak berdiri diam menunggu. Sikapnya tenang saja, bahkan tidak melakukan
gerakan seperti yang dilakukan lawan. Meskipun begitu, bukan berarti kalau
sikapnya memandang remeh lawan. Sebaliknya, Arya telah berwaspada penuh untuk
menghadapi setiap serangan yang akan dilancarkan lawan.
Selangkah demi selangkah, jarak antara Raja Racun Muka Putih dengan Dewa Arak
semakin dekat. Dan ketika tinggal berjarak dua tombak lagi....
"Hiyaaa...!"
Sambil berseru keras, Raja Racun Muka Putih melancarkan tusukan bertubi-tubi.
Jari-jari kedua tangannya lurus dan menegang kaku. Suara bercuitan nyaring dan
asap hitam tipis yang mengepul, mengiringi tibanya serangan kakek berpakaian
merah itu. Arya tahu kedahsyatan serangan itu, yang akan menjadi berlipat ganda bila
ditujukan pada orang lain. Serangan itu tidak hanya mengandung kekuatan yang
mampu menewaskan seorang tokoh persilatan setingkat Dewa Arak. Bahkan juga
mengandung racun yang mematikan, meskipun hanya udaranya saja yang terhirup!
Tapi bagi Dewa Arak, asap beracun itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Jadi,
Arya tidak perlu menahan napas, meskipun asap Raja Racun Muka Putih berhembus ke
arahnya. Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu tidak ragu-ragu lagi menangkis
serangan lawan dengan tangan kirinya.
Memang, dalam penggunaan ilmu 'Belalang Sakti', segala macam uap beracun tidak
berarti bagi Dewa Arak. Demikian juga tangan atau kaki lawan yang mengandung
racun, tidak akan mampu menularkan racun apabila digunakan untuk menangkis.
Entah mengapa, ilmu itu bisa seperti itu. Dewa Arak sendiri tidak tahu. Tapi,
itulah kenyataan yang terjadi (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam
episode perdananya "Pedang Bintang").
Tapi kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti' itu tidak berarti apabila racun itu
merasuk dari bagian tubuh yang terluka. Jadi, apabila kuku jari Raja Racun Muka
Putih merobek kulit Arya, maka kemukjizatan ilmu 'Belalang Sakti', tidak berlaku
lagi. Ilmu itu tidak mampu mencegah menjalarnya racun.
Raja Racun Muka Putih kaget bukan kepalang ketika melihat Dewa Arak sama sekali
tidak terpengaruh oleh asap beracunnya. Apalagi ketika tangan pemuda berambut
putih keperakan itu juga tidak berubah busuk. Padahal seperti biasanya, lawan
yang bersentuhan dengan tangan Raja Racun Muka Putih yang telah berubah warna,
maka daging lawan akan membusuk. Bahkan tulang-belulangnya pun akan mencair
seperti lilin. Plakkk...! Raja Racun Muka Putih kaget bukan kepalang ketika melihat Dewa Arak berani
menangkis serangannya secara langsung! Apalagi ketika tangan pemuda itu tidak
berubah busuk. Padahal, lawan yang bersentuhan tangan dengan Raja Racun Muka
Putih, biasanya akan langsung berubah warna dan membusuk!
Tapi kenyataan yang dilihat pada Arya, tidak seperti biasanya. Hal itu tentu
saja membuatnya kaget bukan kepalang.
Namun Raja Racun Muka Putih terus menyerang sengit. Tapi sampai pertarungan
berlangsung seratus jurus kembali, tetap saja tidak mampu merobohkan Dewa Arak.
Malah apabila digabung, maka dia telah bertarung selama dua ratus jurus lebih.
Seiring berlangsungnya pertarungan, suasana di sekitar tempat itu sudah tidak
karuan lagi. Pepohonan dan semak-semak yang tumbuh di sekitar tempat itu
langsung mati. Batang, daun, dan bagian-bagian tanaman lainnya telah hancur
berkeping-keping menjadi serbuk-serbuk debu akibat pengaruh racun Raja Racun
Muka Putih. Bukan hanya suasana sekitar pertarungan saja yang berubah. Raja Racun Muka Putih
pun mengalami hal yang sama. Pertarungan selama itu membuatnya lelah. Dan dengan
sendirinya, tenaganya semakin berkurang. Akibatnya, serangan-serangan yang
dikirimkan tidak sedahsyat sebelumnya. Begitu pula gerakannya yang kini tidak
selincah semula.
Raja Racun Muka Putih sadar, keadaan kini sama sekali tidak menguntungkan.
Apalagi Dewa Arak terlihat seperti tidak terpengaruh pertarungan yang
berlangsung alot itu.
Serangan-serangannya masih mengandung kedahsyatan seperti semula. Gerakan-
gerakannya tetap masih gesit. Tidak aneh kalau hal ini membuat Raja Racun Muka
Putih mulai terdesak.
Beberapa kali setiap kali terjadi benturan di antara mereka, tubuh kakek
berpakaian merah selalu ter-huyung-huyung. Rasa sakit pun mendera bagian
tubuhnya yang berbenturan. Bukan itu saja. Tak jarang, dia hampir terkena
serangan yang dikirimkan Dewa Arak. Hanya berkat kesaktiannya saja, Raja Racun
Muka Putih mampu mengelak di saat-saat terakhir.
Raja Racun Muka Putih tahu, bila pertarungan dilanjutkan, Dewa Arak akan
berhasll merobohkannya. Dan itu sudah bisa dilihat dari keadaannya yang terus
merosot, sementara lawan sama sekali tidak menampakkan kelelahan.
Kini kakek berpakaian merah itu mencari-cari jalan untuk menyelamatkan nyawa.
Disadari betul kalau Dewa Arak tidak akan mungkin bisa ditundukkannya.
"Hih...!"
Pada saat tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah
akibat tangannya
berbenturan dengan tangan Dewa Arak, kakek berpakaian merah itu mengibaskan
tangannya. Wuttt..! Sekelebatan benda berwarna kecoklatan meluncur ke arah Arya. Semula, Dewa Arak
akan menangkap. Atau paling tidak, menangkis benda itu. Tapi ketika sekilas
sepasang matanya yang tajam, bisa mengenali bentuk benda yang ternyata sebuah
benda coklat berbentuk bulat sebesar telur angsa, pemuda berambut putih
keperakan itu membatalkan maksudnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak segera membanting tubuh ke tanah,
lalu bergulingan menjauh.
Blarrr...! Ledakan keras memekakkan telinga terdengar ketika benda bulat sebesar telur
angsa itu meledak. Bongkahan tanah dan asap tebal menyeruak seiring benda itu


Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghantam tanah.
"Hhh...!"
Arya hanya bisa menghela napas berat ketika asap tebal menyebar yang menutupi
pandangan. Dia tahu, Raja Racun Muka Putih sengaja melakukannya untuk mencari
kesempatan menyelamatkan diri.
Dan memang, kakek berpakaian merah itu telah melarikan diri. Namun demikian,
Dewa Arak tetap membuyarkan asap hitam yang menutupi pandangannya itu. Kedua
tangannya diputar-putarkan di depan dada. Maka, seketika itu muncul angin keras
dari kedua tangan yang berputaran Itu. Angin itu terus meluncur ke arah gumpalan
asap yang menutupi pandangan, sehingga tersibak.
Arya terus saja memutar-mutarkan kedua tangannya hingga asap yang menutupi
pandangan terusir pergi. Kini jelas, Raja Racun Muka Putih memang telah
melarikan diri.
Arya kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan kalau Raja
Racun Muka Putih benar-benar telah tidak berada lagi di situ. Baru kemudian,
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
Kini Dewa Arak melakukan perjalanan tanpa tergesa-gesa karena waktu pernikahan
Rupangki dan Karmila memang masih a gak lama. Meskipun jarak yang ditempuhnya
memang masih agak jauh, tapi pemuda berambut putih keperakan itu yakin akan
mampu tiba di Perguruan Pedang Ular tepat pada waktunya.
*** Arya melangkah menghampiri pintu kedai. Setiba di ambang pintu, langkahnya
dihentikan sebentar. Pandangannya langsung beredar ke dalam.
Kedai itu ternyata ramai sekali. Rupanya, hampir semua meja yang ada di dalam
kedai telah terisi. Hanya ada beberapa meja saja yang belum terisi.
Sepasang alis Dewa Arak hampir bertautan ketika matanya merayapi satu persatu
pengunjung kedai. Mentlk dari senjata-senjata yang tersandang, bisa diketahui
kalau semua pengunjung kedai itu berasal dari kalangan persilatan.
Hal itu sebenarnya tidak menjadi pikiran bagi Arya, bila saja tak menyadari
kalau semua tokoh persilatan itu dari golongan hitam. Ini bisa diketahui dari
raut wajah, sikap, dan tindak-tanduk mereka.
Meskipun demikian, Arya yang tidak ingin mencari-cari urusan tidak mempedulikannya. Dengan langkah tenang, kakinya terayun menghampiri salah satu
meja yang masih kosong. Kemudian pantatnya dihempaskan di kursi, dan guci
peraknya diletakkan di meja.
Seorang laki-laki bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah menghampiri.
"Akan pesan apa, Den?" tanya laki-laki bertubuh kekar yang ternyata pemilik
kedai. "Seguci arak dan ayam panggang...," jawab Arya menyebutkan kegemarannya.
Pemilik kedai menganggukkan kepala, kemudian melangkah ke dalam. Tak lama
kemudian, dia sudah kembali sambil membawa pesanan pemuda berambut putih
keperakan itu. "Silakan dicicipi, Den," kata laki-laki berkumis tebal mempersilakan setelah
meletakkan semua pesanan Arya di meja.
"Terima kasih, Paman," sahut Arya seraya mengulurkan tangan mengambil guci arak
dan menuangkan isinya ke dalam sebuah gelas bambu dan meminumnya.
Hanya dalam sekejapan saja segelas arak sudah lenyap ke dalam perut Arya. Bahkan
telah menghabiskan tiga gelas arak sebelum akhirnya mencicipi ayam panggang yang
dipesannya. Tapi baru juga gigi-giginya akan menggigit potongan pertama ayam panggang yang
diambilnya, kepalanya mendadak terasa pusing. Tidak hanya itu saja. Pandangannya
pun terasa berkunang-kunang.
Arya segera meletakkan paha atas ayam panggang yang telah hampir digigitnya itu
ke tempat semula. Berbarengan dengan itu, tangan yang satu lagi memijit-mijit
pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing yang menyerang. Tapi karena kepalanya
telah pusing dan pandangannya berkunang-kunang, potongan ayam itu malah jatuh ke
meja. Sebagai seorang tokoh persilatan yang telah cukup berpengalaman, Dewa Arak
langsung tahu kalau itu adalah....
"Racun...," desis Arya sambil berusaha meraih kembali guci peraknya.
Tapi sebelum tangan Arya berhasil meraih, terdengar bunyi lecutan, disusul
melesatnya seleret benda hitam ke arah guci perak itu. Dan....
Rrrttt...! "Hih...!"
Tangan Arya menangkap angin ketika cambuk yang melilit bergerak membetot.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa bernada penuh ejekan menyambuti kegagalan Arya meraih gucinya.
Dalam cekaman rasa pusing yang mendera dan pandangan mata yang berkunang-
kunang, Dewa Arak berusaha sekuat tenaga menegasi orang yang telah mencuri guci
araknya. Tapi, yang dilihatnya hanya bayangan kabur dan tidak jelas.
Ternyata, bukan hanya rasa pusing dan pandangan berkunang-kunang saja yang
melanda Arya. Bahkan juga perasaan lemas mendadak saja menyerang tubuhnya.
Tanpa memutar otak lama, Dewa Arak bisa mengetahui asal racun yang membuatnya
seperti itu. Tak salah lagi! Pasti dari arak yang dteuguhkan pemilik kedai tadi!
Pemilik kedai" Arya sampai terionjak ketika teringat orang yang bertindak
sebagai pemilik kedai itu. Kini baru disadari kalau laki-laki berkumis tebal itu
tidak pantas menjadi pemilik kedai. Gerak-geriknya terlalu gesit dan sigap untuk
seorang pemilik kedai. Memang Dewa Arak telah tertipu mentah-mentah!
Setelah tahu asal racun yang menyerang, Arya berusaha mengeluarkan arak yang
tadi diminumnya. Tidak sulit bagi orang sesakti dirinya untuk mengeluarkannya.
Dan memang, hanya dalam sekejapan saja dari dalam mulutnya telah keluar kembali
arak yang telah diminum tadi.
Meskipun telah berhasil mengeluarkan arak yang tadi diminum, tapi tetap saja
usaha yang dilakukan Arya telah agak terlambat. Racun itu rupanya memiliki daya
kerja cepat. Melihat Arya memuntahkan kembali arak yang tadi diminum, laki-laki berkumis
tebal yang tadi bertindak sebagai pemilik kedai melompat menerjang.
Entah dari mana, tahu-tahu pada kedua tangannya tergenggam sebilah pisau yang
berwarna hitam berkilat.
Kini dengan pisau itu di tangan, pemilik kedai palsu itu menyerang Dewa Arak!
Pisau di tangan kanannya diayunkan cepat membabat leher.
Meskipun kepalanya telah pening dan pandangannya berkunang-kunang, namun
bukan berarti Dewa Arak akan mudah saja dibunuh!
Menyadari kalau sepasang matanya saat ini belum bisa digunakan, maka Arya
memejamkannya. Kini kedua telinganya yang tajam digunakan sebagai pengganti
mata. Berkat pendengarannya yang tajam bukan kepalang, Dewa Arak bisa tahu ada
serangan yang mengancam ke arahnya. Maka, buru-buru tubuhnya direndahkan,
sehingga serangan lawan hanya lewat di atas kepalanya.
Tapi sebelum pemuda berambut putih keperakan itu melancarkan balasan, serangan
susulan lainnya datang bertubi-tubi. Serangan pertama berasal dari orang yang
telah mengambil guci arak Dewa Arak. Seleret benda hitam yang ternyata seutas
cambuk berwarna hitam meluncur cepat ke arah ubun-ubun Arya. Suara lecutan keras
menggelegar mengawati tibanya serangan susulan itu.
Belum lagi serangan cambuk itu mengenai sasaran, serangan-serangan lain menyusul
tiba. Semuanya berasal dari orang-orang yang menjadi pengunjung kedai.
Meskipun tidak melihatnya, Arya bisa mengetahui kalau para pengeroyoknya adalah
para pengunjung kedai! Kini disadari kalau dirinya telah masuk perangkap. Entah
ke mana perginya pemilik kedai yang asli.
Cepat laksana kilat, tangan Arya meraih kursi yang tadi didudukinya, kemudian
diputar-putarkannya laksana baling-baling untuk memapak semua serangan yang
tertuju ke arahnya.
Trak, trak, trak...!
Kursi itu hancur berkeping-keping ketika berbagai macam senjata membenturnya.
Tapi meskipun begitu, Arya berhasil menyelamatkan selembar nyawanya.
Arya berdiri dengan kedudukan kaki tidak tetap. Tubuhnya oleng ke sana kemari.
Memang, keadaan pemuda berambut putih keperakan itu semakin tidak menguntungkan.
Racun telah merasuk ke dalam tubuhnya, meskipun sebagian berhasil dikeluarkan
bersama arak yang dimuntahkannya. Dan itu terbukti dengan semakin kerasnya rasa
pusing yang melanda. Bahkan tenaganya juga semakin melemah.
"Tikus-tikus tak berguna...! Menangkap seekor anjing yang sudah tidak punya gigi
saja kalian tidak mampu! Minggir semua...!"
Luar biasa pengaruh ucapan itu. Belasan tokoh persilatan yang tengah mengurung
Arya kontan melangkah mundur. Jelas, ucapan itu keluar dari mulut orang yang
mempunyai kedudukan di atas mereka.
3 Arya terperanjat. Bukan karena ucapan, melainkan karena pemilik suara itu.
Meskipun tidak melihat, tapi sudah bisa ditebak orangnya. Bahkan belum lama ini
telah bertemu. Siapa lagi kalau bukan Raja Racun Muka Putih!
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa berkakakan, kakek berpakaian merah itu melangkah menghampiri Dewa
Arak. Sedangkan tokoh-tokoh persilatan yang tadi bergerak mengurung, telah
menjauhkan diri.
"Jangan harap bisa meloloskan diri dari tangan Raja Racun Muka Putih, Dewa
Arak!" tegas Raja Racun Muka Putih bernada kemenangan.
Arya sama sekali tidak menanggapi ucapan kakek berpakaian merah itu. Disadari
kalau keadaan kali ini sangat tidak menguntungkan. Kesaktian Raja Racun Muka
Putih telah dibuktikannya sendiri. Dan hatinya tidak yakin akan mampu
mengalahkan datuk sesat itu bila tanpa guci perak di tangannya. Apalagi dalam
keadaan keracunan! Raja Racun Muka Putih akan mudah saja menggilasnya.
"Kuberi kau kesempatan terakhir, Dewa Arak! Mau berikan keris itu secara baik-
baik, atau..., aku harus memaksamu dengan kekerasan"!"
"Aku bukan jenis orang yang mudah mengubah perkataan, Raja Racun! Sekali
ucapanku keluar, tak akan nanti ditarik kembali!" tandas Arya dengan suara
mengambang karena pusing yang melanda.
"Hm..., jadi kau tidak mau memberikan keris itu padaku"!"
"Ya!"
"Ingin kulihat bukti kebenaran ucapanmu itu, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Raja Racun Muka Putih segera melompat menerjang. Dan
selagi tubuhnya berada di udara, kaki kanannya bergerak mengibas ke arah kepala
Arya. Deru angin keras mengiringi tibanya serangannya, jelas serangan itu dilancarkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Arya cepat-cepat merendahkan tubuh sehingga serangan itu lewat di atas
kepalanya. Sehingga membuat rambut dan pakaiannya berkibaran keras.
"Hup...!"
Begitu telah mendarat di tanah, Raja Racun Muka Putih segera melancarkan
serangan susulan lagi.
Kini pemuda berambut putih
keperakan itu dibuat pontang-panting untuk
menyelamatkan diri. Padahal, keadaannya sudah lemah. Tambahan lagi, hanya bisa
mengandalkan pendengaran saja! Sementara lawan yang dihadapinya bukan tokoh
sembarangan. Dewa Arak tahu, bagi orang sesakti Raja Racun Muka Putih bukan hal yang sulit
untuk mengacaukan pendengaran
lawan. Dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi,
pendengaran lawan bisa ditipu. Bukan itu saja. Kakek berpakaian merah itu pun
mampu melancarkan serangan tanpa menimbulkan suara!
Untungnya, Raja Racun Muka Putih tidak berniat membunuh Dewa Arak. Hal ini
karena keinginan untuk mendapatkan keris yang dulu dimiliki Brajageni, muridnya
(Agar jelas, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Keris Peminum Darah").
Kalau tidak, sudah sejak tadi pemuda berambut putih keperakan itu tewas. Sudah
dua jurus Raja Racun Muka Putih menyerang, tapi Arya selalu berhasil
mengelakkannya, meskipun dengan susah payah. Maka akhirnya, Raja Racun Muka
Putih menghentikan gerakannya. Dan kini, kakek berpakaian merah ini berdiri
tegak. Kedua tangannya dengan jari-jari lurus dipertemukan di depan dada. Sesaat
kemudian.... Nggg...! Seketika ada suara mendengung pelan yang semakin lama semakin keras. Entah dari
mana asal suara itu, sukar diketahui. Mungkin dari hidung, karena mulut datuk
sesat itu sama sekali tidak terbuka.
Beberapa saat kemudian, dengungan itu telah menyebar di seluruh penjuru isi
kedai karena suara itu memang semakin keras.
Arya mengernyitkan kening. Dia tahu, lawan bermaksud mengacaukan pendengarannya dengan bunyi-bunyian itu. Dan ternyata, usaha kakek berpakaian
merah itu berhasil. Buktinya Dewa Arak tidak bisa mendengar apa apa lagi selain
suara itu. Dewa Arak sadar kalau dirinya kini telah terancam bahaya besar. Sudah bisa
diduga kalau lawan akan mengirimkan serangan. Raja Racun Muka Putih yakin kalau
usaha mengacaukan pendengaran lawan telah berhasil dikerjakannya. Maka begitu
dengung yang ditimbulkannya telah mempengaruhi Dewa Arak, langsung
dilancarkannya serangan susulan.
Raja Racun Muka Putih melompat ke atas. Dan setibanya berada di atas kepala
Arya, tubuhnya berputar beberapa kali. Dan begitu menukik, jari-jari tangannya
meluncur ke arah punggung pemuda berambut putih keperakan itu. Semua itu
dilakukan tanpa menghentikan suara dengungan.
Arya mengernyitkan
kening dalam-dalam. Dewa Arak mengerahkan
seluruh kemampuan yang dimiliki, dan dipusatkan pada kedua telinganya. Tapi meskipun
begitu, tetap saja tidak berhasil mendengar suara apa pun selain dari bunyi
dengung. Tahu-tahu....
Tukkk...! Jari tangan Raja Racun Muka Putih telak dan keras sekali menotok punggungnya.
Kontan tubuh Arya terkulai lemas dan merosot ke bawah seperti sehelai karung
basah. "Ha ha ha...!"
Raja Racun Muka Putih tertawa penuh kemenangan begitu telah mendaratkan kedua
kakinya di tanah. Kini, Arya tampak telah tertotok lemas.
"Ho ho ho...!"
"He he he...!"
Tiba-tiba dua buah suara tawa lain yang mengandung tenaga dalam tinggi terdengar
menyambuti tawa kakek berpakaian merah itu.
Raja Racun Muka Putih menghentikan tawanya, dan mengalihkan pandangan ke arah
pintu kedai, tempat suara itu berasal. Wajah guru Brajageni itu tampak merah
padam karena amarah yang meluap-luap. Dan itu tertuju pada para pemilik suara
tawa itu. Memang, Raja Racun Muka Putih menangkap adanya ejekan pada suara tawa
itu. Tapi kemarahan yang terkandung dalam raut wajah Raja Racun Muka Putih kontan
lenyap. Bahkan kini berganti dengan kekagetan dan kegentaran yang membayang
jelas. "Ahhh...," desis Raja Racun Muka Putih kaget campur gentar. Pandangan matanya
terpaku ke arah dua sosok tubuh yang berdiri di ambang pintu kedai.
Sosok tubuh pertama adalah seorang kakek bertubuh tinggi kurus, dan berkulit
kemerahan. Tubuhnya yang bertelanjang dada, tampak kurus dan ceking. Bagian
bawah tubuhnya hanya ditutupi secarik kain. Seperti juga keadaan kulitnya yang
terlihat gersang, kumis, dan jenggot laki-laki ini terlihat jarang-jarang.
"Ho ho ho...!"
Laki-laki bertubuh tinggi kurus ini hanya tertawa terkekeh-kekeh saja mendengar
desisan kaget yang keluar dari mulut Raja Racun Muka Putih. Tangan kanannya yang


Dewa Arak 30 Dalam Cengkeraman Biang Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang sebuah kipas berwarna merah, dikebut-kebutkan ke sekitar tubuhnya.
"He he he...!" Yang seorang lagi pun ikut tertawa. Ciri-cirinya amat berlawanan
dengan kakek tinggi kurus tadi. Tubuhnya pendek gemuk. Dan kegemukannya semakin
bertambah, karena mengenakan pakaian dari bulu beruang salju yang tebal pada
seluruh anggota tubuhnya, kecuali wajah. Bahkan pada kepalanya pun bertengger
sebuah topi berbentuk kerucut, terbuat dari bulu binatang yang tebal. Kulit
wajahnya tampak putih. Dia kini melipat kedua tangannya di depan dada.
Raja Racun Muka Putih kenal betul kedua kakek yang tengah tertawa-tawa itu.
Mereka boleh dibilang merupakan biang-biang iblis. Yang berkulit kemerahan,
berjuluk Dedemit Api.
Sedangkan yang berkulit putih berjuluk Dedemit Salju. Kedua kakek ini tinggal di
Gunung Kawak, tapi menempati bagian yang berjauhan satu sama lain. Dedemit Api
di sebelah Timur, dan Dedemit Salju di sebelah Barat.
Tiga tahun sekali satu sama lain saling bertemu untuk mengadu kepandaian, karena
bosan bertarung melawan orang-orang persilatan yang sama sekali tidak mampu
menghadapi mereka. Memang, telah ratusan kali mereka bertarung tanpa
terkalahkan! "Dedemit Api! Kalau aku tidak salah lihat, orang yang dirobohkan secara curang
oleh Tikus Pucat itu adalah Dewa Arak! Ciri-cirinya persis sekali dengan yang
dikatakan orang-orang persilatan!" kata kakek pendek gemuk masih dengan kedua
tangan bersedakap di depan dada.
"Lalu..., kenapa kalau orang itu memang Dewa Arak, Dedemit Salju"!" tanya kakek
tinggi kurus sambil mengebut-ngebutkan kipas ke badannya yang tidak tertutup
pakaian. "Kurasa, dia bukan lawan yang pantas untuk kita!"
"Rupanya kau sudah pikun, Dedemit Api!" sergah Dedemit Salju keras. "Dewa Arak
adalah murid Gering Langit. Dengan adanya dia di tangan kita, mudah saja untuk
memancing tua bangka itu untuk memenuhi panggilan kita. Dan selanjutnya, bisa
kita atur agar terjadi pertarungan."
"Ah! Kau benar...! Otakmu encer juga, Dedemit Salju!" puji Dedemit Api.
Dedemit Salju hanya tersenyum mengejek. "Hey...! Tikus Pucat! Cepat kemarikan
Dewa Arak padaku sebelum kesabaranku hilang sehingga harus membunuhmu!" seru
Dedemit Api pada Raja Racun Muka Putih.
Kali ini Raja Racun Muka Putih tidak bisa menahan diri lagi. Meskipun telah
sering mendengar kesaktian kedua kakek aneh itu, tapi bukan berarti rela dihina
seenaknya. Sudah sejak tadi dia merasa geram bukan main ketika dimaki dengan
sebutan Tikus Pucat.
"Kau hanya bisa mengambilnya, apabila berhasil melangkahi mayatku, Caring
Kurus!" tantang Raja Racun Muka Putih keras.
"Ho ho ho...! Betapa gagahnya! Ingin kulihat sebesar bacotmukah, kemampuan yang
kau miliki?" sambut Dedemit Api bernada meremehkan.
*** "Hiyaaa...!"
Diiringi lengkingan nyaring, Raja Racun Muka Putih meiuruk menerjang Dedemit
Api. Tak tanggung-tanggung lagi, segera dikirimkannya tendangan kaki kanan miring
bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan leher. Dari suara menderu keras yang
mengiringi tibanya serangan itu, bisa menandakan kekuatan yang terkandung di
dalamnya. Tapi, Dedemit Api hanya tersenyum mengejek. Dengan sikap sembarangan,
ditangkisnya serangan yang bertubi-tubi mengancam ke arahnya.
Plak, plak, plak...!
"Ah...!"
Raja Racun Muka Putih terperanjat ketika kakinya terasa sakit-sakit dan terasa
panas bukan kepalang ketika berbenturan dengan kedua tangan Dedemit Api. Tanpa
dapat dicegah lagi, tubuhnya terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Sedangkan
Dedemit Api sama sekali tidak bergeming.
Raja Racun Muka Putih tentu saja terperanjat melihat kenyataan ini. Tenaga dalam
Dedemit Api ternyata jauh lebih kuat darinya. Dan itu bisa diketahui dari hasil
benturan yang terjadi."Ho ho ho...!"
Dedemit Api hanya tertawa mengejek melihat keterkejutan Raja Racun Muka Putih.
Kakek tinggi kurus itu sama sekali tidak mempergunakan kesempatan untuk
melakukan serangan balik di saat lawan tengah terhuyung-huyung. Jelas, Dedemit
Api sama sekali tidak menganggap Raja Racun Muka Putih sebagai lawan yang patut
diperhitungkan.
Meskipun tahu kalau lawan memiliki tenaga dalam berada cukup jauh di atasnya,
Raja Racun Muka Putih tidak menjadi gentar karenanya. Kembali dilancarkan
serangan susulan ke arah Dedemit Api yang masih tertawa-tawa penuh ejekan.
"Hm...!"
Masih dengan suara tawa yang tidak putus, Dedemit Api menjejakkan kakinya di
tanah. Sesaat kemudian tubuhnya telah melayang keluar kedai.
Hal ini yang ditunggu-tunggu Raja Racun Muka Putih sejak tadi. Dia memang
membutuhkan tempat luas untuk bertarung, agar bisa mengeluarkan ilmu-ilmu
andalannya. Terutama, ilmu 'Ular Hitam' yang mengandung racun ganas.
"Hup...!"
Ketika kedua kaki Dedemit Api mendarat di tanah. Raja Racun Muka Putih
mendaratkan kakinya pula. Maka, langsung lawannya dihujani dengan serangan
bertubi-tubi. Dedemit Api pun segera meladeninya. Sesaat kemudian, dua tokoh sesat itu sudah
terlibat dalam pertarungan sengit dan menggiriskan.
Melihat Dedemit Api telah terlibat dalam pertarungan, Dedemit Salju pun tidak
tinggal diam. Dengan langkah pendek-pendek karena memang memiliki kaki pendek,
dihampirinya tubuh Dewa Arak yang tergeletak di tanah.
Melihat hal ini, para tokoh persilatan yang tadi telah mengurung Dewa Arak,
segera bergerak menghadang. Walaupun sebenarnya mereka hanya orang-orang
taklukan Raja Racun Muka Putih, tapi karena takut pada kakek berpakaian merah
itu, terpaksa mereka bergerak menghadang. Apalagi, Raja Racun Muka Putih memang
benar-benar menginginkan Dewa Arak.
"Ho ho ho...!"
Dedemit Salju tertawa berkakakan ketika melihat beberapa sosok tubuh berdiri di
hadapannya. Sementara lainnya, yang bila digabung jumlahnya tak kurang dari dua
belas orang, segera mengurung dari berbagai jurusan.
Sambil terus tertawa berkakakan, kakek pendek gemuk ini malah melipat kedua
tangannya di depan dada. Tampak jelas, sikapnya benar-benar menyepelekan lawan-
lawannya. "Serbu...!" seru laki-laki berkumis tebal yang tadi menyamar sebagai pemilik
kedai. Sambil berteriak demikian, laki-laki berkumis tebal itu melompat menerjang.
Pisau berwarna hitam mengkilat di tangannya, ditusukkan cepat ke arah leher.
Pada saat yang bersamaan, belasan orang rekannya pun melancarkan serangan. Tak
pelak lagi, hujan berbagai macam senjata meluncur deras ke arah berbagai bagian
tubuh Dedemit Salju.
"Ho ho ho...!"
Dedemit Salju hanya tartawa bergelak. Kedua tangannya yang jari-jarinya terbuka
lurus, dipertemukan di depan dada. Ujung-ujung jari tangannya tampak mengarah ke
langit. Dahsyat sekali! Laki-laki berkumis tebal dan rekan-rekannya terpaksa
menghentikan serangan secara mendadak. Ternyata, dari sekujur tubuh Dedemit
Salju menyebar hawa dingin yang luar biasa. Akibatnya, sekujur otot dan urat
mereka sama sekali tidak bisa digerakkan. Bahkan tanpa dapat dicegah lagi, gigi-
gigi mereka beradu satu sama lain.
Dedemit Salju tersenyum mengejek tanpa merubah kedudukan kaki atau jari-jarinya.
Rupanya, dia bermaksud meneruskan pengerahan penyerangan terhadap lawan-lawannya
dengan hawa dingin yang keluar dari berbagai bagian tubuhnya.
Akibatnya memang luar biasa! Sekarang tubuh belasan orang itu tidak bisa berdiri
tegak lagi. Mereka semua sama-sama membungkukkan tubuh dengan kedua tangan
saling melipat di depan dada. Bahkan suara gemeretuk gigi-gigi mereka semakin
terdengar jelas.
Semua itu membuktikan kuatnya hawa dingin yang melanda. Sementara, senjata-
senjata mereka sudah sejak tadi terlepas dari tangan.
Semakin lama, keadaan belasan tokoh persilatan itu semakin mengkhawatirkan. Satu
persatu tubuh mereka berjatuhan di tanah, karena otot-otot kaki mereka yang
kaku, tidak bisa dipakai berdiri la gi
Dedemit Salju baru menurunkan kedua tangannya dari depan dada ketika tubuh
tokoh-tokoh persilatan itu telah tidak bergerak lagi. Sungguh tragis sekali
nasib belasan tokoh persilatan itu. Mereka semua tewas dengan sekujur kulit
tubuh membiru, karena terserang hawa dingin yang amat sangat.
*** Berbeda dengan pertarungan antara Dedemit Salju dalam menghadapi belasan tokoh
persilatan yang berjalan tidak menarik, pertarungan antara Dedemit Api dengan
Raja Racun Muka Putih ternyata berlangsung cukup menarik.
Raja Racun Muka Putih benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan karena tidak
khawatir lagi akan nasib Dewa Arak dan pengikut-pengikutnya. Ilmu 'Ular Hitam'
yang mengandung racun amat ganas juga telah dikeluarkannya.
Cit, cit..! Suara bercuitan dari udara yang terobek kedua tangan Raja Racun Muka Putih
mengiringi setiap gerakan tangannya. Di samping itu, asap berwarna hitam pun
ikut menglilinginya.
Berbahaya bukan kepalang setiap serangan kedua tangan Raja Racun Muka Putih.
Tapi, tak kalah berbahayanya asap berwarna hitam yang keluar dari kedua
tangannya. Karena, asap itu mampu membuat lawan pusing, walaupun hanya terhirup sedikit
saja. Dan bila hal itu terjadi, bisa berbahaya akibatnya!
Dengan sendirinya, serangan-serangan yang dilancarkan Raja Racun Muka Putih jadi
berlipat ganda bahayanya dalam penggunaan ilmu 'Ular Hitam'. Kedahsyatan
kekuatan tenaga dalamnya, juga patut diperhitungkan. Demikian pula racun ganas
yang terkandung dalam kedua tangan itu, dan juga asap hitam beracun yang keluar
dari kedua tangannya. Tiga buah ancaman bahaya yang terangkum menjadi satu dalam
penggunaan ilmu 'Ular Hitam' itulah yang kini harus dihadapi Dedemit Api.
Di jurus-jurus awal, Dedemit Api agak kewalahan menghadapinya karena khawatir
Jodoh Si Mata Keranjang 6 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pusaka Negeri Tayli 5
^