Pencarian

Ilmu Halimun 3

Dewa Arak 29 Ilmu Halimun Bagian 3


Tapi kembali Boma kecele. Betapa pun seluruh tenaga
yang dimilikinya telah dikerahkan, tetap saja golok itu sama sekali tidak
bergeming dari cekalan tangan lawan.
Gagal menarik dengan satu tangan, tidak membuat
Boma putus asa. Dia memang termasuk orang yang keras hati.
Maka, sekarang dia menggunakan dua buah tangan untuk
menarik. Meskipun demikian, hasil yang didapatkan Boma pun
tetap tidak berubah. Wajahnya sampai merah padam karena telah mengeluarkan
tenaga melampaui batas. Suara lenguhan pun keluar pula dari mulutnya. Sementara,
laki-laki berpakaian hitam itu terlihat seperti tidak mengerahkan tenaga sedikit
pun! Mendadak, laki-laki berpakaian hitam itu melepaskan
cengkeramannya pada golok. Padahal pada saal itu, Boma tengah mengerahkan
seluruh tenaga yang dimiliki untuk membetot.
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Boma terjengkang ke belakang, terbawa tenaga
tarikannya sendiri.
Tindakan laki-laki berpakaian hitam itu ternyata tidak berhenti sampai di situ.
Di saat tubuh Boma tengah terhuyung-huyung ke belakang, tangannya dengan jari-
jari terkepal meluncur ke depan.
Wusss...! Bukkk...!
"Aaa...!"
Boma menjerit menyayat ketika pukulan jarak jauh itu
menghantam perutnya, hingga hancur. Darah segar kontan berhamburan dari mulut
Boma, seiring tubuhnya melayang ke belakang, yang langsung menabrak dinding
rumah hingga bergetar hebat. Saat itu juga nyawa laki-laki berwajah hitam itu melayang.
"Kakang...! Jahanam...! Iblis kau! Kami ini yatim-piatu.
Mengapa kau bunuh juga kakakku! Dia adalah pelindungku satu-satunya...," ratap
seorang gadis begitu mendengar jeritan Boma. Dia langsung menghambur memeluk
mayat Boma yang
berlumuran darah.
Memang, gadis cantik bernama Rukmini itu sebenarnya
telah mendengar suara ribut-ribut di depan tadi. Tapi oleh Boma, kakaknya, dia
dilarang keluar demi keselamatannya sendiri.
Namun begitu mendengar teriakan Boma, hatinya tak tahan.
Apalagi, saat mendapati kakaknya telah tewas. Maka, air matanya tak terbendung
lagi. "Hm!" orang berbaju serba hitam itu hanya menggumam perlahan. Matanya liar
merayapi tubuh molek yang kini juga tengah menatap ke arahnya.
"Bajingan! Kubunuh kau!" tiba-tiba Rukmini bangkit, hendak menyerang laki-laki
berpakaian hitam itu dengan golok bekas kakaknya yang tergeletak tidak jauh dari
situ. Hanya dengan memiringkan tubuh ke kanan sedikit,
orang berpakaian hitam itu menghindari tebasan golok Rukmini.
Tangannya langsung bergerak, ke arah dada dan leher gadis itu.
Tukkk! Tukkk! Rukmini langsung roboh pingsan tertotok tangan orang
berpakaian hitam itu. Totokan tadi memang tepat bersarang di dada dan lehernya.
Sebelum Rukmini jatuh, orang berpakaian hitam itu segera meraih tubuhnya.
Orang berpakaian serba hitam itu kemudian memondong
tubuh Rukmini dan bersiap hendak keluar. Gerakannya ringan sekali saat melesat,
dengan tubuh molek seorang gadis dalam pondongannya.
Tapi sebelum melesat keluar, laki-laki berpakaian hitam itu menghentikan
langkahnya. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya suara langkah-langkah
kaki bergemuruh mendekati tempatnya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, laki-laki berpakaian
hitam itu segera melesat keluar. Dan seperti yang sudah diduga, di depan rumah
itu telah berkumpul sekitar sepuluh orang bersenjata lengkap di tangan. Berdiri
paling depan adalah Sempana. Sementara di belakangnya, berdiri penduduk desa dan
murid-murid Rupaksa dengan sikap mengancam.
Memang Sempana dan rombongannya tengah mengelilingi sekitar tempat itu. Dan ketika mendengar jerit kematian Boma dan
jeritan Rukmini, mereka bergegas memburu ke tempat asal suara itu. Tak aneh,
sebelum laki-laki berpakaian hitam itu sempat kabur, mereka telah berhasil
memergokinya. Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang nampak berkeredep ketika Sempana
dan rombongannya menghunus senjata masing-masing.
"Manusia jahanam!" seru Sempana garang. "Akhirnya kami berhasil memergokimu.
Kini jangan harap bisa lolos dari tangan kami!"
Usai berkata demikian, laki-laki bermata sipit itu segera melesat menerjang.
Golok di tangannya dibabatkan ke arah leher dengan arah mendatar.
Wuuut..! Deru angin cukup keras mengiringi tibanya serangan
golok itu. "Hmh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu hanya mendengus. Tanpa
menggerakkan kaki, dan hanya bertumpu pada pinggang,
tubuhnya diputar. Sehingga, serangan golok itu lewat di atas kepala. Dan di saat
itulah, tangan kanannya bergerak. Maka....
Tappp...! Sempana terperanjat ketika pergelangan tangan kanannya telah tercekal lawan. Kecepatan gerak lawan benar-benar tidak bisa
diikuti pandangan matanya. Dia hanya tahu sekelebatan
bayangan hitam bergerak. Dan tahu-tahu, pergelangan tangannya telah tercekal.
Belum sempat Sempana berbuat sesuatu, laki-laki
berpakaian hitam itu telah menarik. Kuat sekali tenaga tariknya, sehingga
Sempana tidak mampu menahannya lagi. Tubuh laki-laki bermata sipit itu langsung
tertarik ke depan. Dan pada saat tubuh Sempana terhuyung-huyung ke depan,
langsung disambut dengan sebuah tendangan ke arah perut dari kaki kanan laki-
laki berpakaian hitam itu.
Bukkk! "Hukh...!"
Tubuh Sempana melayang ke belakang. Karena, saat
tendangan dilancarkan, laki-laki berpakaian hitam itu melepaskan cekalannya.
Brukkk...! Diiringi suara keras, tubuh murid kepala Perguruan
Kelabang Sakti itu terbanting keras di tanah, setelah melayang-layang sejauh
enam tombak lebih. Sempana berkelojotan
sebentar, sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. Mati!
Rombongan peronda yang menjadi anak buah Sempana
terkejut melihat kematian pemimpinnya dalam segebrakan di tangan laki-laki
berpakaian hitam itu. Dan untuk sesaat, mereka hanya bisa terpaku. Maka
kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh laki-laki berpakaian hitam. Dia
melesat kabur dari situ, sebelum kelompok peronda lainnya memergoki.
Melihat laki-laki berpakaian hitam itu melesai kabur,
rombongan anak buah Sempana pun tersadar. Serentak mereka bergerak mengejar.
Sementara, beberapa orang di antara mereka memukul kentongan tanda bahaya.
7 Tong, tong, tong..!
Bunyi kentongan tanda bahaya pun memecahkan
keheningan malam sepi. Hal ini membuat seisi Desa Sampar bagai dibangkitkan dari
tidur. Para peronda yang mendengar saling pandang sejenak, sebelum akhirnya
bergerak menuju ke arah asal suara. Memang, bunyi itulah yang tengah mereka
tunggu-tunggu. Di antara sekian banyak orang berlari-lari menuju ke
arah asal suara, terdapat juga Melari. Dengan tingkat
kepandaian yang tinggi, dalam waktu sekejap saja gadis berpakaian putih itu
telah meninggalkan para peronda lainnya di belakang.
Belum berapa lama berlari, pandangan mata Melari yang
tajam menangkap sekelebatan bayangan hitam yang melesat cepat ke balik
kerimbunan pepohonan. Bergegas, gadis
berpakaian putih itu segera bergerak mengejar.
Melati menggertakkan giginya. Seluruh kemampuan
larinya dikerahkan untuk mengejar sosok bayangan hitam itu.
Mata putri angkat Raja Bojong Gading itu sempat melihat adanya sesosok tubuh di
bahu bayangan hitam yang dikejarnya.
Ternyata, ilmu meringankan tubuh laki-laki berpakaian
hitam itu telah mencapai tingkat tinggi. Tak heran meskipun Melati telah
mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap saja tidak mampu menyusul. Hal ini
membuat Melati merasa
penasaran sekali, di samping rasa kaget yang melanda.
Kejar-kejaran antara dua tokoh yang sama-sama
memiliki ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi pun berlangsung di malam yang kelam.
Entah sudah berapa lama Melati dan laki-laki berpakaian hitam itu saling kejar-kejaran. Memang kedua belah pihak sama sekali
tidak memikirkannya. Sedangkan pihak Melati hanya menggertakkan gigi menahan
geram. Disadari kalau dirinya tidak akan mungkin mampu mengejar buruannya.
Dan hal itu membuatnya cemas dan gelisah.
Kecemasannya semakin menjadi-jadi ketika akhirinya
laki-laki berpakaian hitam itu melesat ke arah kerimbunan pepohonan lebat, yang
tidak jauh di depan. Memang, semula kejar-kejaran itu berlangsung di sebuah
padang rumput yang cukup luas.
"Hhh...!"
Melati hanya bisa menghembuskan napas kesal ketika
melihat tubuh lawannya lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
Langkahnya berhenti di situ, seraya menyeka peluh yang membasahi wajahnya dengan
tangan. Dia tidak ingin cari penyakit dengan melanjutkan pengejaran. Karena,
bukan tidak mungkin kalau buruannya akan membokongnya di tempat gelap.
Beberapa saat lamanya Melati terpaku di situ, sebelum
akhirnya menolehkan kepala karena mendengar adanya orang yang memanggilnya.
"Melati...!"
Kembali pemilik suara itu memanggilnya, ketika kepala
gadis itu sudah menoleh ke arah asal suara. Di kejauhan tampak melesat sesosok
bayangan ungu yang meluncur cepat ke arah Melati.
Gadis berpakaian putih itu mengembangkan senyum. Dia
tahu, siapa sosok bayangan yang tengah menuju ke arahnya.
Masalahnya, suara dan juga warna pakaian Dewa Arak amat dikenalnya.
Sesaat kemudian, sosok bayangan ungu yang memang
Dewa Arak alias Arya Buana itu telah berada di dekatnya.
"Bagaimana,
Melati?" tanya Arya begitu telah menghentikan larinya. "Bisa kau kenali pengacau itu?"
Pemuda berambut putih keperakan itu tahu kalau Melati
tentu gagal menangkap buruannya. Buktinya gadis berpakaian putih itu hanya
sendirian saja di situ.
"Tidak, Kang," jawab putri angkat Raja Bojong Gading itu. Pelan sekali suaranya,
mirip desahan. "Jangankan melihat wajahnya, mendekatinya saja tidak mampu. Dia
memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Mungkin berada di atasku."
Agak terkejut juga hati Dewa Arak mendengar jawaban
Melati. Karena, hal itu mempunyai arti kalau orang yang mengacau Desa Sampar itu
pasti memiliki kepandaian tinggi.
Dewa Arak tahu, kekasihnya ini memiliki kepandaian tinggi.
Terutama sekali ilmu meringankan rubuhnya. Tapi, toh ternyata gadis itu tidak
mampu mengejar si pengacau.
Hanya saja walau dilanda kaget, Dewa Arak tidak
menampakkan keterkejutan pada wajahnya. Memang, pemuda berpakaian ungu itu mampu
menguasai perasaan, sehingga tidak bisa diketahui orang lain. Sekalipun, orang
itu adalah kekasihnya sendiri.
"Mungkinkah orang itu Eyang Baranang Siang, Melati?"
tanya Arya lagi sengaja kali ini diajukan satu nama untuk membantu gadis itu
mengingat kembal buruannya.
Lagi-lagi, hanya gelengan kepala Melati saja yang
menyambuti pertanyaan Dewa Arak.
"Tapi, Kang..," kata Melati setelah tercenung beberapa saat.
Dewa Arak mengalihkan perhatian kembali pada Melati.
"Katakanlah, Melati," sambut Arya memberi dukungan.
"Bukan tidak mungkin kalau keteranganmu akan lebih memudahkan kita dalam
mengungkap kerusuhan di Desa
Sampar ini."
"Kurasa... orang itu bukan Eyang Baranang Siang"
"Kau yakin, Melati?"
"Yakin sekali, Kang," sahut Melati tegas dan mantap.
"Potongan tubuh orang itu membuatku yakin kalau orang yang kukejar bukan Eyang
Baranang Siang."
"Hm.... Jadi, orang yang kau kejar itu memiliki tubuh tinggi besar?" sahut Arya
mengambil kesimpulan dari ucapan Melati.
"Tidak juga, Kang," bantah Melati memperbaiki ucapan kekasihnya. "Tapi yang
jelas, tubuhnya tidak tinggi kurus seperti Eyang Baranang Siang."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala.
"Keterangan yang kau berikan sama dengan yang
dikatakan rombongan pimpinan Sempana, Melati. Berarti...
Eyang Baranang Siang bisa kita hapus dari daftar orang dicurigai. Walaupun,
sebenarnya bukan tidak mungkin kalau dia terlibat juga dalam masalah ini."
"Jadi, kau juga telah menemui rombongan penduduk
yang menemui pengacau itu, Kang?"
Dewa Arak mengangguk-anggukkan
kepala. "Aku membatalkan tugasku untuk menjaga kuburan itu, Melati.
Setelah berapa lama kutunggu, ternyata tidak nampak ada orang yang datang ke


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana" "Lalu kau memutuskan ke desa, Kang?" potong Melati tidak sabar.
"Tidak. Aku memutuskan untuk menyelidiki ke Perguruan Kelabang Sakti," jawab Arya sambil menggelengkan kepala. "Tapi di
tengah jalan, aku mendengar suara kentongan.
Maka terpaksa maksudku yang semula kubatalkan."
Dewa Arak menghentikan penjelasannya sejenak untuk
mengambil napas.
"Dalam perjalananku menuju asal suara, aku bertemu rombongan peronda yang berada
di bawah pimpinan Sempana.
Dari merekalah aku tahu kalau kau tengah mengejar buruan.
Dan mereka juga mengabarkan kalau Sempana telah tewas,"
tutur pemuda berambut putih keperakan itu menyambung
ceritanya "Mereka pun memberitahukanku tentang ciri-ciri laki-laki berpakaian
hitam itu. Ternyata, keterangan yang diberikan sama dengan keteranganmu tadi,
Melati. Hanya saja, keterangan mereka lebih lengkap."
"Bagaimana ciri-ciri pengacau itu, Kang?" tanya Melati ingin tahu ketika Arya
menghentikan ucapannya.
"Tubuhnya agak tinggi. Wajahnya tidak memiliki kumis, jenggot, atau cambang.
Tapi sayang, mereka tidak bisa
mengenali karena wajahnya tertutup coreng moreng arang hitam dan sedikit
lumpur." "Jangan-jangan orang itu adalah Giwali, Kang," duga Melati setelah beberapa saat
lamanya termenung.
"Aku juga semula menduga begitu, Melati," kata Arya, disertai helaan napas
beratnya. "Tapi, mungkinkah Giwali sampai hati membunuh Suraba yang menjadi
pamannya?"
Melati kontan terdiam.
"Mungkin saja. Kang. Barangkali... yahhh karena Suraba mengetahui rahasianya.
Daripada membahayakan dirinya,
bukankah lebih baik kalau dibunuh, Walaupun mungkin...
dengan hati berat"
"Kesimpulan yang kau ambil tidak berbeda dengan
kesimpulanku, Melati. Aku pun menduga demikian. Tapi, ingat.
Ini baru dugaan. Jadi, jangan main labrak dulu. Bukan tak mungkin kalau Giwali
sama sekali tidak bersalah."
"Aku mengerti. Kang," Melati menganggukkan kepala.
"Dan... andaikata benar Giwali pelaku semua kekacauan ini, mau tidak mau kita
akan berhadapan dengan Eyang
Baranang Siang," lanjut Arya.
"Aku tidak takut, Kang!" sahut Melati cepat. Tegas dan mantap suaranya.
"Aku tahu kau tidak takut Melati" sahut Arya buru-buru dengan mulut
menyunggingkan senyum lebar.
Dia memang telah mengetahui kekerasan hati kekasihnya. Maka Dewa Arak tidak heran melihat sambutan gadis itu.
"Bukan masalah takut atau tidak yang membuatku
mengatakan demikian," sambung Arya buru-buru. "Kau tidak menanyakan alasanku,
sehingga berarti mengatakan pendapat kalau kita akan berhadapan dengan Eyang
Baranang Siang?"
Melati menggelengkan kepala.
"Mengapa, Melati" Kau sudah tahu alasanku?"
Kali ini Melati menganggukkan kepala. "Sudah bisa kuperkirakan, karena Eyang
Baranang Siang tampak sayang sekali pada Giwali. Bahkan kalau tidak salah
dengar, pemuda itu malah telah menjadi muridnya karena Rupaksa tidak sudi
mengajarinya."
"Apa yang kau katakan benar, Melati. Tapi bukan itu alasannya, sehingga aku
mengatakan kalau
kita akan berhadapan dengan Eyang Baranang Siang. Meskipun, memang cukup beralasan juga."
Dewa Arak menghentikan ucapannya sejenak untuk
mengambil napas. Ditatapnya sejenak wajah gadis berpakaian putih itu untuk
meyakinkah kalau tidak ada tanggapan atas ucapannya.
"Tapi alasan yang kau kemukakan itu bisa saja tidak berlaku, Melati. Sungguh pun
sayang sekali pada Giwali, Eyang Baranang Siang tetap tidak membelanya. Hanya
saja, apabila kakek itu seorang yang berada di jalan lurus."
Kini Melati mengangguk-anggukkan kepala pertanda
menyetujui ucapan Dewa Arak. Disadari adanya kebenaran dalam penjelasan
kekasihnya. "Mmm.... Lalu, alasanmu itu sendiri bagaimana, Kang"
Aku jadi ingin mendengarnya," desak Melati ingin tahu.
Dewa Arak menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat, sebelum memulai ucapannya.
"Kalau benar Giwali pelaku kekacauan di Desa Sampar ini, berarti Eyang Baranang
Siang terlibat secara langsung. Dia bukan saja sengaja membiarkan tindak
kejahatan itu, tapi juga menjadi pokok pangkal kekacauan ini. Tanpa Eyang
Baranang Siang, kekacauan ini tidak akan pernah terjadi."
"Mengapa kau bisa menduga sampai sejauh itu, Kang?"
tanya Melati. Raut ketidakmengertian nampak membayang jelas di wajahnya.
Dewa Arak tersenyum lebar.
"Kau tidak ingat cerita Rupaksa tadi pagi, Melati?" tanya Arya bernada
mengingatkan. Putri angkat Raja Bojong Gading itu mengernyitkan dahi untuk mengingat-ingat
semua cerita Rupaksa tadi pagi. Tapi sampai beberapa saat lamanya mengingat-
ingat, tetap saja tidak menemukan jawabannya.
"Entahlah, Kang. Aku tidak tahu ucapan Rupaksa mana yang kau maksudkan," desah
Melati sambil menggelengkan kepala.
"Cerita Rupaksa mengenai rahasia Perguruan Kelabang Sakti yang menyangkut ilmu-
ilmu warisan milik leluhurnya."
"Ah...!"
Seruan keterkejutan keluar dari mulut Melati.
"Sekarang kau ingat, kan?" tebak Arya seolah mengerti maksud pekik keterkejutan
yang keluar dari mulut kekasihnya.
"Ingat, Kang. Dan aku yakin dugaanmu pasti benar."
"Jangan terlalu yakin dulu. Melati," potong Arya cepat
"Ingat, itu hanya sebuah kemungkinan saja, apabila Giwali memang menjadi
pelakunya. Bukankah yang mengetahui
rahasia itu hanya Eyang Baranang Siang dan Rupaksa" Dari mana lagi, Giwali
mengetahuinya kalau tidak dari Eyang Baranang Siang?"
"Aku yakin dugaanmu tidak mungkin salah, Kang," tegas Melati yakin.
"Hhh...!"
Hanya helaan napas panjang dan berat yang keluar dari
mulut Dewa Arak menyahuti ucapan gadis berpakaian putih itu.
"Lalu... sekarang apa rencanamu, Kang?"
"Esok malam, kita intai kegiatan di Perguruan Kelabang Sakti," jawab Arya
mengambil keputusan.
"Kita berpencar atau bersama-sama, Kang?"
Dewa Arak tercenung sejenak.
"Lebih baik kita mengintai dari tempat yang berlainan.
Ini untuk menjaga kemungkinan pengacau itu lolos dari tempat yang tidak bisa
diperhatikan dari satu arah," jelas Dewa Arak.
"Tapi, ingat. Jangan bertindak ceroboh. Aku akan memberitahukanmu apabila melihat pengacau itu keluar dari sana. Dan kau juga
berbuat yang sama. Mengerti, Melati?"
"Jangan khawatir, Kang," jawab Melati. Gadis itu tahu kalau Dewa Arak
mengkhawatirkan keselamatannya kalau
mengejar pengacau itu sendiri. "Aku akan segera memberitahukanmu, begitu melihat laki-laki berpakaian hitam itu."
"Bagus!" puji Arya dengan mulut menyunggingkan senyum.
Tidak cukup hanya bertindak seperti itu, ibu jari tangan kanan Dewa Arak pun
diacungkan. Sedangkan Melati
menyambutinya dengan cibiran menggoda.
"Sekarang mari kita kembali untuk memberitahukan Ki Dungkul Taji," ajak Arya.
"O, ya Melati. Jangan katakan pada siapa pun mengenal rencana kita untuk
menyelidiki Perguruan Kelabang Sakti. Aku khawatir, Rupaksa merasa tersinggung
karena merasa tidak dipercayai lagi."
"Tenanglah, Kang. Aku bukan sejenis nenek-nenek
bawel," jawab Melati memberi jaminan. "Syukurlah kalau begitu." Setelah berkata
demikian. Dewa Arak segera melangkah meninggalkan tempat itu. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, Melati segera mengikuti, lalu langsung mensejajari.
Kini kedua pendekar muda itu melangkah bersisian menuju Desa Sampar.
Tidak puas hanya dengan jalan biasa, Dewa Arak dan
Melari lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh dan berlari cepat. Sehingga yang
tampak hanyalah kelebatan bayangan ungu dan putih, yang melesat cepat seperti
saling berlomba.
8 Suara kukuk burung hantu dan kepak sayap kelelawar
membelah keheningan malam. Dari salah satu cabang di sebuah pohon besar yang
tumbuh tidak jauh dari markas Perguruan Kelabang Sakti, tampak Dewa Arak tengah
mengintai. Nasib sial rupanya tengah akrab dengan Dewa Arak.
Pohon tempatnya bertengger itu ternyata terdapat sarang semut merah besar-besar,
di samping nyamuk yang juga besar-besar.
Binatang-binatang berbeda jenis itu secara leluasa menggigit sekujur kulit tubuh
Dewa Arak. Sementara, pemuda itu tak mampu berbuat apa-apa, karena khawatir akan
menimbulkan suara-suara mencurigakan.
Yang dapat dilakukan pemuda berambut putih ke-
perakan itu hanya mengerahkan tenaga dalamnya agar gigitan semut dan nyamuk itu
tidak menyakitkan.
Dengan tenaga dalamnya yang memang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan, bukan hal yang sulit bagi Dewa Arak untuk membuat gigitan
kedua bina tang itu tidak berarti apa pun baginya.
Tapi lama kelamaan, Dewa Arak merasa jengkel juga.
Apalagi bila nanti semut merah itu akan merayap ke tempat-tempat yang tidak
diinginkan. Maka, dikerahkannya 'Tenaga Sakti Inti Matahari'. Namun tentu saja
tidak sepenuhnya.
Karena bila dikerahkan seluruhnya, dari tubuhnya akan keluar asap tipis yang
tentu saja akan menarik perhatian. Padahal, hal itu sama sekali tidak
diinginkannya. Tentu saja Dewa Arak tidak ingin kehadirannya di situ diketahui
orang! Memang hebat akibat yang ditimbulkan oleh 'Tenaga
Sakti Inti Matahari'. Semut-semut merah besar yang tadi seenaknya saja merayap
di sekujur tubuh Dewa Arak, satu persatu berjatuhan. Tubuh binatang-binatang itu
kontan mati dan
mengering! Demikian pula nyamuk-nyamuk yang menyerangnya. Setelah kejadian itu, tidak ada nyamuk atau pun semut
yang berani menggigit tubuh Dewa Arak lagi. Rupanya,
binatang-binatang itu sadar kalau mangsa mereka kali ini bukan mangsa empuk.
Kini Dewa Arak dapat leluasa meneruskan maksudnya,
mengintai kemunculan laki-laki berpakaian hitam yang telah mengacau Desa Sampar.
Waktu bagi Dewa Arak terasa berjalan begitu lambat.
Sampai bosan menunggu dan sampai lelah sepasang matanya karena menatap terus ke
arah markas Perguruan Kelabang Sakti, tapi yang ditunggu tak kunjung terlihat.
"Bagaimana dengan Melati?" kata Arya dalam hati.
"Apakah dia belum juga melihat kemunculan laki-laki berpakaian hitam itu" Hm.
Pasti Melati belum melihatnya.
Kalau telah melihat, tentu akan memberitahukan padaku."
"Kang! Kemari, cepat! Aku telah melihat buruan kita...."
Tiba-tiba terdengar suara Melati di telinga Suara yang dikirimkan dari jauh, dan
khusus ditujukan pada Dewa Arak.
Memang, Dewa Arak dan Melati telah membuat kesepakatan untuk memberitahukan
pesan lewat ilmu mengirim suara dari jauh. Hal seperti itu amat mudah dilakukan
bagi orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.
Dewa Arak tidak berani menunggu lebih lama lagi.
Segera saja dia bersiap untuk menuju bagian depan. Memang, Melati berjaga-jaga
di bagian depan Perguruan Kelabang Sakti.
Tapi gerakan Dewa Arak langsung terhenti seketika.
Pandangan matanya menangkap adanya sesosok bayangan
hitam yang melesat keluar dari salah satu bangunan. Gerak-geriknya terlihat
mencurigakan sekali. Sosok bayangan hitam itu melesat cepat, dengan gerakan
mengendap-endap menuju ke salah satu pohon.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terkejut bukan
kepalang. Ternyata dia juga melihat laki-laki berpakaian hitam itu. Bukankah
buruan itu berada di bagian belakang perguruan, dan Melati telah menyuruhnya ke
sana" Mengapa kini pengacau itu tahu-tahu telah berada di sini" Apakah dia orang
yang sama dengan yang dimaksud Melati" Tapi kalau benar, mengapa Melati tidak
memberitahukannya" Atau, pengacau itu tidak hanya satu orang" Berbagai macam,
pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
"Kang! Cepat! Orang itu bergerak cepat menuju ke luar desa...!"
Dewa Arak terkejut ketika melihat sesosok bayangan
mengendap-endap menuju bagian depan perguruan. Bukankah buruan itu tadi berada
di belakang" Mengapa pengacau itu tahu-tahu telah berada di sini" Atau, pengacau
itu tidak hanya satu orang" Berbagai macam pertanyaan bergelayut di benak Dewa
Arak! Kembali pemberitahuan Melati terdengar Dewa Arak.
Dan kali ini, Dewa Arak segera mengambil keputusan. Siapa pun yang telah
dilihatnya, tidak dipedulikan lagi. Langsung diputuskannya untuk menuju ke
tempat Melati. Dia tidak ingin kekasihnya itu menjadi korban pengacau yang
diyakini memiliki kepandaian lihai itu.
Setelah mengambil keputusan demikian, Dewa Arak
segera melesat cepat ke arah depan. Dengan berlindung di balik suasana malam
yang remang-remang, tubuhnya melesat cepat bagai kilat.
Hanya dalam beberapa lesat saja, Dewa Arak telah
berada di bagian depan. Punggungnya dirapatkan dengan pagar kayu yang
mengelilingi Perguruan Kelabang Sakti. Ini
dilakukannya untuk berjaga-jaga agar tidak terlihat murid-murid Perguruan
Kelabang Sakti yang tengah bertugas jaga.
"Melati! Beri tahukan arah yang harus kutempuh...!"
bibir Dewa Arak berkemik pelan mengirimkah pertanyaan lewat ilmu mengirimkan


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara dari jauh.
"Ke arah Barat, Kang...!" jawab Melati dalam penggunaan ilmu yang sama.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak melesat
cepat ke arah yang ditunjuk Melati. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya
dikerahkan. Sehingga, yang tampak hanyalah
sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat tanpa ketahuan bentuknya.
Setelah cukup lama berlari, pandangan Dewa Arak telah
tertumbuk pada sosok bayangan putih yang tengah melaju cepat.
Sementara, tak jauh di depannya bergerak cepat sesosok bayangan hitam.
Adu kejar-kejaran pun terjadi antara laki-laki berpakaian hitam, Melati, dan
Dewa Arak! *** "Tidak usah kita susul dulu, Melati," bisik Arya ketika telah berhasil
membarengi kekasihnya. Kali ini, Dew Arak tidak menggunakan lagi ilmu
mengirimkan suara jarak jauh. "Kita akan tangkap dia sewaktu hendak mengambil
calon korbannya."
Melati menganggukkan kepala, pertanda menyetujui usul
kekasihnya. "Rasanya ada keanehan sedikit, Kang...," kata Melati setelah beberapa saat
lamanya mereka berdua berdiam diri, walaupun terus bergerak cepat mengikuti
langkah laki-laki berpakaian hitam itu.
"Keanehan" Apa maksudmu, Melati?" tanya Arya teraya menolehkan kepala karena
merasakan adanya nada keheranan dalam ucapan kekasihnya.
"Nggg.... Rasa-rasanya, kepandaian laki-laki berpakaian hitam ini menurun, Kang.
Kecepatan larinya sekarang tidak seperti dulu lagi. Aku yakin, kalau saja
kukerahkan seluruh kemampuan lari yang kumiliki, dia akan berhasil kususul sejak
tadi." "Mungkin saja dia tidak tahu kalau kita mengikutinya.
Melati. Sehingga, dia tidak mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Sedangkan waktu itu, dia tahu kalau kau dan penduduk desa
serta murid-murid Perguruan Kelabang Sakti mengejarnya," jelas Arya memberi
alasan. Melati kontan terdiam.
"Jika masih kurang yakin, bagaimana kalau kita
berteriak sambil terus mengejarnya," usul Arya untuk meyakinkan hati gadis
berpakaian putih itu.
"Boleh juga. Kang..!"
"Manusia jahanam! Jangan lari kau...!" teriak Arya begitu Melati telah memberi
persetujuan. Seperti yang sudah diduga Melati dan Dewa Arak, laki-
laki berpakaian hitam itu kontan terkejut ketika mendengar teriakan tadi.
Kepalanya menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali lurus ke depan. Dia
kemudian terus melesat cepat meneruskan tujuannya.
Melati dan Dewa Arak tentu saja tidak tinggal diam.
Melati mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya,
sedangkan Dewa Arak tidak. Karena, bila hal itu dilakukan, kekasihnya akan
tertinggal jauh.
Melati dan Dewa Arak mengernyitkan keningnya ketika
menyadari jarak mereka dengan laki-laki ber pakaian hitam itu semakin bertambah
dekat saja. "Kang! Aku yakin, orang ini bukan orang yang kukejar waktu itu," kata Melati di
sela-sela kesibukannya berlari.
Dewa Arak tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Benaknya langsung berputar cepat, mengingat sosok bayangan hitam lain yang
dilihatnya tepat saat Melati juga melihat sosok bayangan hitam.
"Benar tidaknya, dia harus tetap diringkus dulu. Bukan tidak mungkin kalau
rencana kita telah diketahui. Dan orang yang kita kejar kali ini digunakan
sebagai alat untuk membuat kita mengalihkan perhatian dari sasaran yang
sesungguhnya."
Melati langsung tercenung karena menyadari adanya
kebenaran dalam ucapan Dewa Arak.
"Biar aku yang meringkusnya, Melati!"
Setelah berkata demikian, Dewa Arak segera me-
ngerahkan ilmu meringankan tubuh sampai puncaknya.
Perlahan-lahan tubuh Melati mulai tertinggal. Se-
mentara jarak antara Dewa Arak dengan laki-laki berpakaian hitam itu semaian
dekat. "Hih...!"
Dewa Arak menggenjotkan kaki. Sesaat kemudian,
tubuhnya telah melesat ke atas. Dia berputar beberapa kali di udara melewati
atas kepala laki-laki berpakaian hitam. Dan....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki pemuda berambut putih
keperakan itu mendarat di tanah, berjarak tiga tombak di hadapan laki-laki
berpakaian hitam yang tadi dikejarnya.
Laki-laki berpakaian hitam itu terperanjat, dan langsung menghentikan larinya.
Kemudian, tubuhnya berbalik untuk melarikan diri ke arah yang berlawanan dengan
arah semula yang ditempuh.
Tapi maksudnya langsung diurungkan. Di hadapannya,
dalam jarak dua tombak telah berdiri Melati.
Seperti juga Dewa Arak, gadis berpakaian putih itu telah bersiap-siap meringkus.
"Kau..."! Rupanya dugaan kami tidak salah! Jadi, kaulah pengacau
terkutuk itu, Giwali?" seru Melati setelah memperhatikan wajah laki-laki berpakaian hitam itu.
"Hhh...!"
Laki-laki berpakaian hitam itu memang tidak lain dari
Giwali menghela napas berat. Tidak tampak adanya tanda-tanda kalau akan
mengadakan perlawanan. Bahkan kepalanya pun ditundukkan ke bawah. Sikapnya
menunjukkan kalau hatinya tengah terpukul.
Mendengar seruan Melati, Dewa Arak menjadi terkejut
bukan kepalang. Begitu hebatkah sepasang mata Melati
sehingga mampu mengenali wajah yang tertutup coreng-moreng arang hitam dan
lumpur" "Hhh...!" Didahului helaan napas berat yang kedua kalinya, Giwali mengangkat
kepala. "Aku memang Giwali, Nisanak. Tapi bukan pengacau
terkutuk itu!"
"Kau bohong, Giwali!" bentak Melati keras.
"Kau...."
"Sabar, Melati," potong Arya pelan seraya mengangkat tangannya ke atas.
Melati pun tidak melanjutkan ucapan lagi. Dibiarkannya Dewa Arak yang akan
menyelesaikan ma salah itu. Sedangkan Dewa Arak telah melangkah menghampiri
Giwali dan melewatinya, lalu berdiri di samping Melati.
"Kalau kau bukan pengacau biadab itu, lalu mengapa keluar secara gelap begini.
Bahkan dengan pakaian seperti ini?"
tanya Arya sambil menatap tajam wajah Giwali.
Seketika itu juga pemuda berambut putih keperakan itu
mengerti, mengapa Melati bisa mengenali kalau laki-laki berpakaian hitam itu
adalah Giwali. Wajah pemuda tinggi kurus itu sama sekali tidak dihias coreng-
moreng arang hitam dan borehan lumpur. Lain halnya, wajah pengacau biadab itu.
"Sebenarnya aku malu mengatakannya, Dewa Arak,"
kata Giwali, pelan. "Tapi aku percaya, kau dan kawanmu ini tidak akan
menceritakannya pada orang lain."
Dewa Arak menyunggingkan senyum lebar. "Kami tahu, mana yang harus dirahasiakan
dan mana yang tidak perlu, Giwali. Percayalah. Kami bukan sejenis orang yang
suka membuka aib orang lain. Ceritakanlah semuanya, agar kau bebas dari
tuduhan." "Sekitar sebulan yang lalu, aku berjumpa putri Ki Dungkul Taji," Giwali memulai
ceritanya. "Aku mencintainya, dan sebaliknya dia juga mencintaiku. Padahal,
putri kepala desa kami itu telah dijodohkan dengan putra kepala desa lain."
Giwali menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara, Dewa Arak dan Melati saling pandangan. Tanpa
diceritakan lagi pun, sebenarnya mereka sudah bisa menduga kisah yang akan
terjadi selanjutnya.
"Betapapun aku telah berusaha membuang perasaan ini, tapi tetap saja tidak
mampu. Hal yang sama pun menimpa putri Ki Dungkul Taji. Akibatnya, kami lalu
sepakat mengadakan pertemuan secara rahasia. Dan agar sukar dilihat pada malam
hari, aku mengenakan pakaian seperti ini," tutur Giwali, menutup ceritanya.
"Kau tahu, kalau desa ini tengah dikacau orang yang memakai pakaian seperti ini,
bukan?" pancing Arya.
Giwali menganggukkan kepala.
"Sebenarnya, aku juga ingin menangkapnya untuk
membalaskan sakit hati Paman Suraba!" desis pemuda tinggi kurus itu penuh
dendam. "Lebih baik buka seragammu itu, Giwali! Agar tidak terjadi kesalahpahaman
nantinya!"
Tong, tong, tong...!
Bunyi kentongan membuat Arya, Melati, dan Giwali
terperanjat. Sesaat, mereka hanya saling pandang. Sementara, Giwali segera
membuka seragam hitamnya tak lama kemudian mereka melesat cepat menuju ke arah
asal suara kentongan itu.
Memang, bunyi kentongan tanda bahaya menjadi pertanda
kebenaran pengakuan Giwali.
Dewa Arak yang memiliki ilmu meringankan tubuh
paling tinggi, berada paling depan. Kemudian diikuti Melati, dan baru Giwali
yang kini telah tidak mengenakan pakaian hitam lagi.
Dewa Arak memang mengerahkan seluruh kemampuan
ilmu meringankan tubuhnya, karena tidak ingin buruannya lolos.
Maka tak lama kemudian, pandangan matanya telah tertumbuk pada kerumunan
penduduk. Bahkan telinganya telah mendengar suara pertempuran tokoh-tokoh
tingkat tinggi.
Hanya dalam beberapa langkah saja. Dewa Arak telah
berada di antara kerumunan penduduk yang masing-masing membawa obor. Sehingga
suasana di situ jadi terang-benderang.
Dan tanpa ragu-ragu langsung disibaknya kerumunan itu.
Sedangkan kakinya terus melangkah ke depan.
Jelas sudah hal yang menyebabkan penduduk itu
berkerumun. Dalam jarak sekitar dua puluh tombak dari situ, terjadi pertarungan
mati-matian antara dua tokoh tingkat tinggi.
Mungkin bagi orang yang memiliki kepandaian rendah yang terlihat hanya kelebatan
dua buah bayangan hitam dan putih.
Sedangkan Dewa Arak saja membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengetahui tokoh-
tokoh yang tengah bertempur.
Sosok bayangan putih itu diketahui Dewa Arak sebagai
Eyang Baranang Siang. Tapi sosok yang satu lagi belum bisa dikenalinya. Meskipun
begitu Dewa Arak tahu, orang yang menjadi lawan Eyang Baranang Siang pasti
pengacau biadab itu!
Dewa Arak tidak merasa terkejut ketika melihat kedua
orang yang tengah bertarung mempunyai gerakan mirip satu lain. Memang ada
perbedaan di sana-sini, tapi bisa diketahui kalau kedua orang itu berasal dari
saru aliran. Yang mengejutkan hati Dewa Arak ketika melihat
keadaan Eyang Baranang Siang yang berada dalam keadaan bahaya. Kakek berpakaian
putih longgar itu tampak terdesak hebat. Dewa Arak tahu, robohnya Eyang Baranang
Siang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Perkiraan Dewa Arak tidak melesat. Terdengar suara
berdebuk keras yang disusul terpental tubuh Eyang Baranang Siang dari kancah
pertarungan. Tubuh kakek berpakaian putih itu terjengkang dan jatuh bergulingan
di tanah. Darah segar rampak mengalir deras dari sudut-sudut mulutnya. Memang,
pukulan yang dilancarkan laki-laki berpakaian hitam itu keras sekali. Sehingga
walaupun hanya mengenai bahu, cukup
membuat Eyang Baranang Siang terluka cukup parah dan tidak bisa bangkit lagi.
"He he he...! Kini saat ajalmu tiba, Baranang Siang...'"
desis laki-laki berpakaian hitam itu pongah, seraya melangkah menghampiri kakek
berpakaian putih yang sudah tidak mampu bangkit lagi.
"Hentikan, Rupaksa!" teriak Arya, tanpa ragu-ragu lagi memanggil laki-laki
berpakaian hitam itu.
Perkembangan gerak Eyang Baranang Siang yang mirip
laki-laki berpakaian hitam, telah menimbulkan sebuah dugaan di benak Dewa Arak.
Dan dugaan itu diperkuat oleh suara laki-laki berpakaian hitam setelah
merobohkan Eyang Baranang Siang.
Suara itu jelas-jelas milik Rupaksa. Maka tak heran bila Dewa Arak langsung
menyebut nama itu.
"Heh...?"
Laki-laki berpakaian
hitam itu terjingkat kaget. Kepalanya segera menoleh ke arah asal suara itu. Dan kepalanya pun terangguk-
angguk ketika melihat Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Ha ha ha...! Sungguh tidak kusangka aku mendapat kehormatan untuk
melenyapkanmu selama-lamanya dari muka bumi ini!"
Sambil berkata demikian, lelaki berpakaian hitam yang
ternyata Rupaksa melangkah menghampiri
Dewa Arak. Sementara, Dewa Arak melangkah menghampirinya. Dewa Arak sama sekali tidak
terkejut melihat tidak adanya cambang bauk lebat yang menghiasi wajah Rupaksa.
Jelas, cambang bauk itu palsu!
"Sungguh tidak kusangka kalau kau yang menjadi Iblis itu, Rupaksa! Berarti semua
cerita yang kau suguhkan padaku bohong belaka. Bukan begitu, Iblis Berwajah
Manusia"!"
"Ha ha ha..... Kau tidak menyangka, bukan" Sebenarnya semua ceritaku tidak
salah. Dewa Dungu. Hanya saja mengenai lakon aku dan Eyang Baranang Siang,
kedudukannya kurubah.
Sebenarnya, akulah yang di pihak yang selalu merasa iri padanya. Maka secara
diam-diam semua ilmu hitam milik
leluhurku kupelajari untuk menghadapinya. Kau tahu, kenapa itu kulakukan?" tutur
Rupaksa. "Dengar! Ini karena dendam lama! Setelah keparat Baranang Siang membuat
iri hatiku, dia juga telah merebut kekasihku! Tapi untuk mengalahkannya aku
tidak mampu. Maka hanya inilah jalan satu-satunya. Walaupun ilmu 'Halimun'ku
belum sempurna betul, tapi aku sudah sanggup untuk mengalahkanmu, Dewa Dungu!
Kau harus mati!"
Setelah berkata demikian, Rupaksa langsung me-
ngirimkan serangan ke arah Dewa Arak. Serentetan pukulannya yang bertubi-tubi
diarahkan ke ulu hati dan dada lawan. Angin berkesiutan nyaring, mengiringi
serangan itu. Jelas betapa kuatnya tenaga dalam Rupaksa.
Karuan saja, kerumunan penduduk itu membuyar.
Sementara, Dewa Arak yang tidak ingin ada orang yang terluka apabila serangan
itu dielakkan menangkis.
Plak, plak, plak...!
Laki-laki berpakaian hitam alias Rupaksa terhuyung-
huyung dua langkah ke belakang akibat tangkisan itu.
Sementara, Dewa Arak hanya terhuyung selangkah ke belakang.


Dewa Arak 29 Ilmu Halimun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dari benturan ini saja sudah bisa diukur kehebatan tenaga dalam Dewa Arak.
Rupaksa terkejut juga ketika menyadari kalau kekuatan
tenaga dalam lawan ternyata berada di atasnya. Apalagi ketika tangannya terasa
sakit-sakit. Meskipun begitu, bukan berarti hatinya menjadi gentar. Bahkan
kemarahannya justru semakin berkobar.
Di pihak Dewa Arak begitu tubuhnya terhuyung
langsung digunakan untuk meraih guci peraknya. Arak dalam guci itu segera
dituangnya ke mulut.
Gluk... gluk.. gluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak itu melewati
kerongkongan Dewa Arak. Perut dan kepalanya segera dialiri hawa hangat.
Kemudian, tubuhnya mulai oleng ke kanan dan ke kiri. Kini Dewa Arak telah
bersiap menghadapi lawannya dengan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya.
Diiringi teriakan menggeledek, Rupaksa melancarkan
serangan ke arah Dewa Arak. Tapi mudah sekali Dewa Arak dapat mengelakkan
serangan itu dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang' andalannya.
Tentu tidak hanya itu saja yang dilakukan Dewa Arak.
Serangan balasan yang tak kalah dahsyat pun segera
dikirimkannya. Sesaat kemudian, kedua belah pihak telah terlibat dalam
pertarungan sengit
Di saat kedua tokoh yang sama-sama memiliki
kepandaian tinggi itu terlibat pertarungan, Melati dan Giwali tiba. Melati
langsung menyaksikan jalannya pertarungan.
Sementara, Giwali segera memburu tubuh Eyang Baranang
Siang yang tengah duduk bersila untuk memulihkan lukanya.
Kemudian, dia berdiri di sebelah gurunya. Pandangan matanya tanpa berkedip
tertuju ke arah pertempuran yang tengah berlangsung.
Memang dahsyat pertarungan yang terjadi antara Dewa
Arak melawan Rupaksa. Meskipun Ketua Perguruan Kelabang Sakti itu masih di bawah
Dewa Arak dalam ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam, tapi berkat memiliki
ilmu-ilmu aneh yang membingungkan, dia masih mampu mengimbangi. Bahkan sampai
hampir seratus jurus pertarungan berlangsung masih seimbang.
Sementara itu keadaan di sekitar kancah pertarungan
sudah tidak karuan lagi. Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon bertumbangan
menimbulkan suara bergemuruh. Angin berkesiutan mengiringi setiap gerakan Dewa
Arak dan Rupaksa.
Sedikit demi sedikit pertarungan mulai berpindah tanpa disadari. Bahkan mereka
seperti tidak peduli ketika titik-titik air dari langit mulai membasahi bumi.
Menjelang jurus keseratus sepuluh, Rupaksa melempar
tubuhnya ke belakang sehabis melancarkan serangan bertubi-tubi sehingga harus
memaksa Dewa Arak mundur.
"Huppp...!"
Begitu mendarat di tanah, Rupaksa langsung berdiri
dengan kedua kaki dirapatkan. Kedua tangannya, dipertemukan di depan dada dengan
jari-jari terbuka lurus ke atas. Sepasang mata Ketua Perguruan Kelabang Sakti
itu pun terpejam.
Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. Dengan
waspada, diperhatikannya gerak-gerik lawan. Dia ingin tahu, apa yang ingin
dilakukan Rupaksa.
Perlahan-lahan, muncul asap di sekeliling tubuh
Rupaksa. Mula-mula tipis, tapi semakin lama semakin menebal.
Dan seiring munculnya asap itu, tubuh Ketua Perguruan
Kelabang Sakti itu mulai lenyap dari pandangan.
"Ilmu Halimun...," desis Eyang Baranang Siang yang sudah selesai mengobati luka
dalamnya. Raut wajah kakek berpakaian putih ini memperlihatkan
keterkejutan yang amat sangat.
Bukan hanya Eyang Baranang Siang saja yang merasa
terkejut. Tapi juga Dewa Arak, Giwali, Melati dan seluruh penduduk yang
menyaksikan. Dengan mata terbelalak mereka semua memperhatikan tubuh Rupaksa
yang semakin lama
semakin tidak terlihat dan akhirnya lenyap sama sekali.
"Ha ha ha...! Dewa Arak..! Sekarang hadapilah ilmuku ini. Ha ha ha...!"
"Jangan gugup. Dewa Arak! Jangan kau pergunakan
matamu untuk melawannya," seru Eyang Baranang Siang memberi nasihat.
Sebenarnya tanpa diberi tahu pun, Dewa Arak telah
mengerti. Gurunya, Ki Gering Langit memiliki banyak ilmu gaib yang sukar
diterima akal. Dan darinya pula Arya mendapat sedikit pengertian mengenai ilmu-
ilmu gaib yang masih ada di dunia persilatan.
Tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak memejamkan mata.
Kini kedua belah telinganya digunakan untuk mengetahui, keberadaan lawan, dan
tibanya serangan.
Tapi karena Rupaksa memiliki tingkat kepandaian yang
hampir sejajar dengannya, Dewa Arak jadi dibuat kedodoran.
Setiap kali serangan Rupaksa datang, dia hanya mampu
bergerak mengelak tanpa membalas.
Kini keadaan berubah seratus delapan puluh derajat.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, Dewa Arak telah dibuat pontang-panting untuk
menyelamatkan selembar nyawanya.
Beberapa kali untuk mengurangi desakan yang bertubi-tubi, serangan yang
dilancarkan hanya membabi buta. Untungnya berkat keanehan jurus 'Delapan Langkah
Belalang' Dewa Arak berhasil menyelamatkan diri dari setiap serangan maut
Rupaksa. Di bawah selimut malam dan siraman hujan yang rintik-
rintik, terjadi pertarungan aneh. Dewa Arak seperti orang gila saja layaknya.
Dia melompat menunduk, dan sesekali memukul, tanpa ketahuan siapa yang tengah
dilawannya. Belasan jurus kembali telah berlalu. Namun selama itu, tak satu pun serangan
Rupaksa yang berhasil mendarat di sasaran. Dewa Arak dengan keanehan jurus
'Delapan Langkah Belalang' selalu berhasil mengelak setiap serangan lawan
meskipun dengan susah payah. Dan kini, Dewa Arak juga sudah membuka matanya.
Pada kenyataannya, dia seperti melawan angin saja.
Walaupun tengah bergulat dengan maut, Dewa Arak
tetap memutar otak
untuk mencari cara, agar dapat
memunahkan ilmu lawannya. Kini satu hal telah diketahuinya.
Tubuh Rupaksa tetap berada di sekitar pertarungan, namun tidak terlihat. Memang,
Rupaksa menggunakan ilmu yang
membuat tubuhnya tidak bisa dilihat orang. Jadi, harus dicari sebuah cara agar
tubuh lawannya jadi terlihat.
"Akh...!"
Dewa Arak menjerit ketika mata kakinya terhantam
sesuatu yang diyakini pasti kaki Rupaksa. Rupanya, Ketua Perguruan Kelabang
Sakti itu menyerang dengan sapuan kaki, ketika Dewa Arak baru saja mendaratkan
di tanah, sehabis menghindari sebuah serangan.
Tak pelak lagi, tubuh Dewa Arak pun terjatuh, tepat di tanah berlumpur yang
tergenang air berwarna kecoklatan.
Pyarrr...! Air berwarna kecoklatan dan lumpur memercik ke sana
kemari. Dalam suasana yang terang benderang oleh cahaya obor, tampak sepasang
mata Dewa Arak terbelalak. Ternyata beberapa percikan air kecoklatan dan lumpur
itu terapung di udara, seperti menempel pada sesuatu yang tidak nampak. Tanpa
berpikir lagi Dewa Arak pun tahu, air kecoklatan itu pasti melekat di bagian
tubuh Rupaksa! Hampir meledak dada Dewa Arak karena rasa gembira
yang amat sangat. Tampak percikan air kecoklatan dan lumpur itu bergerak cepat
ke arahnya, disusul deru angin keras. Jelas, Rupaksa tengah melancarkan
serangan. Maka, Dewa Arak segera menggulingkan tubuhnya di
tanah becek, seraya mengibaskan tangannya yang telah
berlumur air kecoklatan yang berlumpur. Dan seperti yang sudah diduga, percikan
air kecoklatan dan lumpur seperti tertahan di udara.
Kini, semakin banyak percikan air kecoklatan dan
lumpur yang menempel di udara. Dan dengan sendirinya,
semakin terlihatlah sosok Rupaksa. Dan itu berarti ilmu
'Halimun'nya sudah tidak ada gunanya lagi. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi Dewa Arak segera menghentakkan kedua tangannya ke arah
lawan. Langsung dilancarkannya jurus
'Pukulan Belalang'.
Wusss...! Bresss..!
"Aaakh...!"
Tubuh Rupaksa melayang deras ke belakang. Darah
segar mengucur saat tubuhnya melayang di udara.
Brukkk! Diiringi suara berdebuk keras, tubuh Rupaka ambruk di
tanah becek. Sesaat tubuh itu berkelojotan, kemudian diam tidak bergerak lagi.
Mati! "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat seraya bangkit dari
berbaringnya. Kemudian dia melangkah menuju ke arah Melati yang telah berlari
cepat ke arahnya. Raut kecemasan masih belum lenyap dari wajah gadis berpakaian
putih itu. Apalagi ketika melihat Dewa Arak tadi terjatuh. Hampir saja dia
terjun ke dalam kancah pertarungan.
"Kau hebat. Dewa Arak...!" puji Eyang Baranang Siang seraya melangkah
menyambuti. "Kau berhasil menemukan cara untuk memunahkan ilmu
'Halimun' itu."
"Hanya kebetulan. Eyang Baranang Siang," sahut Arya jujur.
"Sayang, aku mengetahui semua ini setelah sudah ada korban jatuh," keluh Eyang
Baranang Siang menyesali dirinya sendiri. "Hhh...! Tak kusangka kalau Rupaksa
akan sejahat ini.
Bahkan dia sampai hati membunuh Suraba orang telah
menanam budi besar padanya. Suraba telah berusaha keras membujuk bibi Giwali
agar suka berjodoh dengannya."
"Sudahlah, Eyang. Tidak perlu disesali lagi. Toh, sumber kejahatan itu telah
berhasil dilenyapkan," hibur Arya.
Eyang Baranang Siang hanya mengangguk-anggukkan
kepala. "O, ya, Eyang. Maaf, kami tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ada urusan
lain yang harus diselesaikan," ucap Arya lagi.
Eyang Baranang Siang hanya mengangkat bahu saja. Dia
tidak berusaha menahan, karena tahu kalau Dewa Arak memang tidak bisa ditahan
lagi. Memang terasa adanya nada
kesungguhan dalam ucapan Arya.
Dewa Arak menyentuh tangan Melati. Dan hampir
berbarengan, sepasang pendekar muda ini melesat dari situ.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuh mereka telah berubah menjadi titik
hitam yang semakin mengecil di kejauhan.
Sementara, puluhan pasang mata menatap kepergian
Dewa Arak dan Melati dengan pandangan kagum. Baru setelah tubuh pasangan
pendekar muda itu tak terlihat lagi, mereka beranjak menghampiri mayat Rupaksa.
"Eyang, apakah Rukmini sudah ditemukan?" tanya Giwali.
"Sudah, Giwali. Dia ditemukan di tepi pemakaman,
ketika Rupaksa akan membuangnya di sana setelah dibunuh dan dinodai terlebih
dahulu," Ki Dungkul Taji yang mengikuti.
"Dan, saat Rupaksa dipergoki oleh Eyang Baranang
Siang, hingga bertarung," tambah Permana.
"Yahhh.... Ternyata ilmu 'Halimun' Rupaksa belum
sempurna. Dia masih membutuhkan satu orang gadis lagi, tapi sudah lebih dahulu
terbongkar kedoknya. Mudah-mudahan saja tidak ada lagi orang yang menuntut ilmu
seperti itu," desah Eyang Baranang Siang.
Kini para penduduk Desa Sampar dan murid-murid
Perguruan Kelabang Sakti segera menggotong mayat Rupaksa.
Lalu, mereka bersama-sama menuju ke Perguruan Kelabang Sakti untuk mengantarkan
mayat itu ke sana. Kini, hari hampir menjelang pagi. Sayup-sayup terdengar kokok
ayam yang bersahut-sahutan, mengiringi langkah-langkah mereka.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Jodoh Si Naga Langit 8 Pedang Hati Suci Karya Jin Yong Iblis Sungai Telaga 21
^