Pencarian

Jamur Sisik Naga 1

Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
Daftar Judul Cersil Bag 5 :241 Pendekar Budiman242 Pedang Penakluk Iblis243
Tangan Geledek244 Jago Pedang Tak Bernama245 Iblis dan Bidadari246 Naga Sakti
Sungai Kuning247 Naga Beracun248 Darah Pendekar249 Memburu Iblis250 Kelana
Buana251 Pendekar Pedang Dari Bu-tong252 Rahasia Kunci Wasiat253 Bayangan
Berdarah254 Rahasia Istana Terlarang255 Budi Kesatria256 Istana Kumala Putih257
Pendekar Aneh Dari Kanglam258 Bocah Sakti259 Kitab Mukjijad260 Panji Tengkorak
Darah261 Kuda Hitam Dari Istana Biru262 Wanita Iblis263 Payung Sengkala264
Kelelawar Hijau265 Pendekar Bloon266 Rajawali Lembah Huai267 Tiga Dara Pendekar
Siauw-lim268 Pendekar Bunga Merah269 Pedang Keramat270 Pendekar pemabuk271
Pendekar Gila272 Pena wasiat273 Pertemuan Di Kotaraja274 Jangan Ganggu Aku275
Golok Kelembutan276 Bujukan Gambar Lukisan277 Badik Buntung278 Anak Naga279
Kesatria Baju Putih280 Pembalesan281 Serba Hijau282 Kuda-kudaan Kumala283
HARTANYA PENGHIANAT284 Tjintjin Mirah285 Bayangan Darah286 Pertempuran di Lembah
"Bunga Hay Tong"287 Golok Naga Kembar288 Pedang Bengis Sutera Merah289 Misteri
Rumah Berdarah290 Pedang Bunga Bwee291 Menuntut Balas292 Pedang Keadilan293
Pedang Kayu Harum294 Si Rase Kumala295 Tongkat Rantai Kumala296 TUGAS RAHASIA297
Patung Emas Kaki Tunggal298 Pedang Kayu Cendana299 5 Jagoan/ 5 Raja300 Han Bu
Kong Penyunting : Widarto K Gambar sampul oleh Pro's
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Jamur Sisik Naga 128 hal ; 12 x 18 cm
1 Matahari telah condong ke Barat. Kegelapan pun mulai menyelimuti bumi ketika dua
sosok tubuh melangkah perlahan memasuki hutan.
Kepala kedua sosok itu tertunduk menekuri tanah. Jelas ada sesuatu yang
merisaukan hati keduanya.
Perlahan kegelapan mulai sirna ketika rembulan menampakkan diri di langit.
Walaupun hanya remang-remang, tapi sinarnya cukup untuk mengusir kegelapan di
hutan itu. Dua sosok tubuh itu terus saja melangkah lesu dengan kepala tertunduk. Di bawah
keremangan cahaya bulan, wujud dua sosok tubuh itu terlihat cukup jelas. Yang
seorang adalah pemuda tampan berambut putih keperakan dengan sebuah guci arak
tersampir di punggungnya.
Sedangkan sosok kedua adalah seorang gadis cantik berpakaian jingga.
"Dewa Arak," ucap gadis berpakaian Jingga itu. Suaranya pelan dan agak parau.
Pemuda berambut putih keperakan yang ternyata adalah Dewa Arak, menoleh.
"Kumohon, kau tidak memanggilku dengan sebutan itu, Karmila," pinta Dewa Arak.
"Panggii saja Arya."
"Baiklah, De... eh... Arya," sahut gadis berpakaian jingga yang ternyata bernama
Karmila, mengalah
(Untuk jelasnya mengenai keberadaan gadis ini bersama Arya, bacalah serial Dewa
Arak dalam episode "Memburu Putri Datuk").
Begitu Karmila menghentikan ucapannya, suasana kembali hening. Kini keduanya
melangkah tanpa berbicara lagi.
"O ya..., di mana kau akan mengobati lukamu, Arya?" tanya Karmila memecahkan
keheningan. Matanya yang bening menatap wajah tampan di sebelahnya.
"Nanti.., agak ke dalam sedikit..," sahut Dewa Arak pelan.
Karmila hanya mengangguk. Kembali keheningan menyelimuti mereka. Kini yang
terdengar hanyalah suara kerosak rerumputan dan dahan-dahan kering yang terpijak
kaki mereka. "Aku menyesal sekali, Arya," kembali Karmila membuka percakapan.
Suaranya sarat dengan penyesalan.
"Apa yang kau sesali, Karmila?" tanya Dewa Arak seraya menatap wajah gadis
berpakaian jingga itu lekat-lekat. Rupanya pemuda berambut putih keperakan ini
belum mengerti maksud ucapan Karmila.
"Diriku...," sahut Karmila mendesah. Ada nada kesedihan yang dalam pada
suaranya. "Dirimu..."!" tanya Arya heran. Dahi pemuda berambut putih keperakan ini
berkernyit dalam.
Karmila hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya.
"Mengapa kau sesali dirimu sendiri, Karmila?" desak Dewa Arak "Apakah kau
teringat pada mendiang ayahmu lagi?"
Gadis berpakaian jingga itu menggeleng.
"Lalu, apa?" desak Arya. "Katakan yang jelas, Karmila. Agar aku mengerti...."
"Hhh...!"
Karmila menghela napas berat "Aku menyesal, mengapa hidupku selalu menimbulkan
kesulitan bagi orang lain. Ibu dan ayahku meninggal karena menyelamatkanku...."
"Sudahlah...! Tak perlu kau sesali peristiwa yang telah terjadi. Yang lalu,
biarlah berlalu...," hibur Arya.
"Dan kini..., aku telah menyusahkanmu...,"
sambung Karmila. Seolah-olah tak didengarnya nasihat Dewa Arak.
"Menyusahkanku..."!" tanya Arya dengan alis berkerut. "Kau terlalu mengada-ada,
Karmila. Kau tahu, memang sudah menjadi tekadku untuk selalu ikut campur bila
ada tindak ketidakadilan. Jadi, kuharap kau tidak mengungkit-ungkit masalah ini
lagi." "Tapi, aku telah membuat hubunganmu dengan wanita cantik berpakaian putih jadi
putus," lanjut gadis berpakaian jingga itu. Ada rasa nyeri yang menggigit hatinya ketika
teringat Melati.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas berat.
"Tak usah kau pikirkan masalah itu. Melati memang berwatak agak keras. Tapi
percayalah..., sebenarnya hatinya baik."
Karmila tercenung sejenak. Ada rasa tidak enak yang menyeruak di hatinya
mendengar Arya memuji Melati.
"Sebenarnya..., apa hubunganmu dengan gadis itu, Arya?" tanya Karmila ingin
tahu. "Melati adalah tunanganku...," sahut Dewa Arak mantap. Sepasang mata pemuda itu
nampak berbinar-binar ketika mengucapkannya.
Deg! Karmila terhenyak. Jawaban pemuda berambut putih keperakan itu tak ubahnya
serudukan kerbau liar yang menghantam dadanya. Terasa sesak dan sakit bukan
main. Seketika itu juga wajah gadis berpakaian jingga ini memucat.
Untunglah malam itu suasananya remang-remang, sehingga kepucatan wajahnya tak
terlihat oleh Dewa Arak.
Karmila mengeluh dalam hati. Tak
disangkanya kalau benih-benih cintanya akan kandas secepat ini. Dewa Arak sudah
mempunyai seorang calon pendamping. Seorang gadis yang memang cocok untuk
menjadi jodoh pendekar muda yang tersohor ini. Seorang pendekar wanita cantik,
gagah dan juga kelihatannya merupakan orang penting di Kerajaan Bojong Gading.
Tidak seperti dirinya, putri bekas datuk sesat yang kejam. Perasaan rendah diri
pun menyeruak dalam hati Karmila.
"Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu melihat gadis berpakaian jingga itu
menghentikan langkahnya.
"Ti... tidak ada apa-apa," sahut Karmila cepat. Buru-buru kakinya dilangkahkan
kembali. Arya yang tadi juga menghentikan langkahnya kembali meneruskan langkahnya.
Kedua orang itu terus melanjutkan perjalanannya. Baru setelah tiba di sebuah
rerimbunan semak-semak yang agak terlindung, Dewa Arak menghentikan langkahnya.
"Sebentar, Karmila," ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Karmila pun
menghentikan langkahnya. Sebentar gadis itu memandangi Arya, tapi kemudian
pandangannya segera dialihkan lagi.
"Aku rasa tempat ini cocok untuk bersemadi," sambung Dewa Arak lagi. Karmila
hanya mengangkat bahu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut putih keperakan itu segera
duduk bersila. Tak lama kemudian Arya pun telah tenggelam dalam semadinya.
Karmila memandangi raut wajah pemuda berambut putih keperakan itu dengan hari
tersayat perih. Sesaat kemudian ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya
kuat-kuat. Ada luka yang mendera hatinya, begitu mengingat pemuda yang telah
mencuri hatinya ini ternyata telah dimiliki orang lain.
Suasana seketika menjadi hening. Yang terdengar hanyalah desah napas teratur
ketika Dewa Arak mengatur pernapasannya.
*** Entah sudah berapa lama Dewa Arak tenggelam dalam semadinya Yang jelas, begitu
pemuda ini membuka sepasang matanya, malam telah berganti pagi. Sinar mentari
telah menyinari bumi. Cicit suara burung pun mulai riuh terdengar.
Yang pertama kali terlihat oleh Arya adalah tubuh Karmila yang tergolek di
depannya. Gadis itu tidur dengan beralaskan ranting-ranting kering dan dedaunan
semak-semak. Perlahan Dewa Arak beranjak bangkit.
Terdengar suara berkeresekan dari ranting kering begitu pemuda berambut putih
keperakan ini bangkit berdiri. Meskipun pelan, tapi suara itu sudah cukup untuk
membuat Karmila terjaga dari tidurnya.
Perlahan-lahan sepasang kelopak mata gadis itu membuka. Tapi kemudian segera
menutup kembali begitu matanya terasa silau oleh sorotan sinar matahari.
Beberapa saat lamanya Karmila mengerjap-nger japkan matanya, baru setelah
terbiasa, sepasang matanya dibuka lebar-lebar.
"Akan ke mana lagi kita, Arya?" tanya Karmila.
"Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas panjang. Sepasang alisnya hampir bertautan. Jelas ada
sesuatu yang dipikirkannya. Sementara Karmila hanya memandanginya saja.
"Kau tidak mempunyai tujuan, Karmila?"
pemuda berambut putih keperakan itu balik bertanya.
"Semula tidak," sahut Karmila setelah termenung beberapa saat.
"Lalu sekarang, sudah punya tujuan?"
Gadis berpakaian jingga itu mengangguk.
"Ke mana?" tanya Dewa Arak lagi.
"Danau Bagal," jawab Karmila singkat.
"Danau Bagal?" ulang Dewa Arak dengan alis berkerut. "Di mana tempat itu,
Karmila?" "Aku sendiri juga tidak tahu, Arya," jawab gadis berpakaian jingga itu seraya
menggelengkan kepalanya.
"Aneh...," gumam Arya. "Kau tidak tahu tempatnya, tapi ingin ke sana. Dari mana
kau tahu nama tempat itu, Karmila?"
"Dari ayahku."
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu mengapa kau hendak ke sana?" tanya Dewa Arak heran.
"Karena orang yang tinggal di Danau Bagal itu adalah satu-satunya orang yang
mempunyai hubungan denganku," jawab gadis itu bernada sedih sehingga membuat
hati Arya terenyuh.
"Kalau boleh kutahu, apa hubunganmu dengan orang yang tinggal di sana?" tanya
Dewa Arak ingin tahu.
Karmila tercenung sejenak. "Orang yang tinggal di sana adalah sahabat karib
ayahku." Kembali Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebenarnya..., aku punya sebuah rencana, Karmila," ucap pemuda berambut putih
keperakan itu, setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Rencana apa, Arya?"
"Menyingkap misteri pembunuhan dua orang murid Perguruan Pedang Ular."
"Aku rasa tidak perlu, Arya," sahut Karmila.
"Mengapa, Karmila?" dahi Dewa Arak berkernyit.
"Hal itu hanya merepotkanmu saja. Apalagi akui memang tidak berniat membalas
dendam. Ayah sering sekali menasihatiku. Katanya, kalau sewaktu-waktu ada orang yang
datang membunuhnya, aku tidak boleh membalas kematiannya. Semua itu adalah buah
dari perbuatannya sendiri. Ayah telah terlalu banyak merugikan orang lain. Dan
kalau sekarang aku membalas kematiannya, arwah ayah pasti tidak akan tenangi di
alam baka," jelas gadis berpakaian jingga itu panjang lebar.
"Hhh...!" Dewa Arak menghela napas panjang. "Kau salah dua kali, Karmila."
"Maksudmu?" tanya gadis berpakaian jingga itu dengan alis berkerut.
"Pertama, kau salah bila mengatakan kalau aku menjadi repot kalau mengusut
persoalan ini. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali, aku melakukan semua ini
karena memang sudah jadi tekadku untuk turun tangan setiap kali ada tindak
ketidakadilan. Sekali lagi kutegaskan, Karmila ini memang sudah menjadi tekadku
sejak aku mulai belajar ilmu silat,"
tegas Dewa Arak tandas.
Karmila sama sekali tidak menyahut Kepalanya tertunduk menekuri tanah.
"Dan yang kedua," sambung Dewa Arak lagi.
"Kau salah mengerti maksud pesan ayahmu."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," ucap gadis berpakaian jingga itu seraya
memandang wajah pemuda berambut putih keperakan itu dengan sinar mata bodoh.
Dewa Arak membalas tatapan Karmila. Sinar mata dan suara pemuda berambut putih
keperakan ini nampak bersungguh-sungguh.
"Ayahmu memang berpesan begitu apabila dia terbunuh akibat kesalahan-
kesalahannya di masa lalu. Tapi, kejadian ini berbeda, Karmila.
Ayahmu tewas karena difitnah. Dan kalau kita tidak menyingkap rahasia ini, nama
ayahmu akan tetap rusak. Dan yang lebih gawat lagi, seluruh orang-orang
persilatan golongan putih akan terus memburumu."
Arya menghentikan ucapannya sejenak.
Dilihatnya dahi gadis itu berkernyit, sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
"Sekalipun kau bersembunyi ke Danau Bagal, aku yakin mereka akan tetap
memburumu. Dan kau tahu apa yang akan terjadi" Sahabat baik ayahmu itu mau tak
mau akan terseret dalam
persoalan ini pula. Kau ingin hal itu terjadi, Karmila?"
Mendengar penjelasan panjang lebar Dewa Arak, wajah gadis berpakaian jingga itu
seketika memucat Kini baru disadarinya keluasan wawasan berpikir pemuda berambut
putih keperakan ini. Semua yang dikatakan Arya benar. Selama misteri terbunuhnya
dua orang murid Perguruan Pedang Ular belum terungkap, tokoh-tokoh persilatan
golongan putih akan terus memburunya. Dan dirinya akan terus mengundang bahaya
pada setiap orang yang dikunjunginya.
"Bagaimana, Karmila?" tanya Dewa Arak begitu melihat gadis berpakaian jingga itu
terdiam. "Kau benar, Arya," sahut Karmila setelah beberapa saat lamanya bimbang.
"Jadi...?"
"Ya. Kita harus menyingkap misteri pembunuhan ini!" jawab gadis berpakaian
Jingga itu tandas.
"Dan itu berarti kita harus kembali ke Gunung Palanjar," ucap Dewa Arak.
"Mengapa harus ke sana lagi, Arya?" tanya Karmila tak mengerti.
"Karena dari sanalah asal muasal kejadian ini. Kita harus menelusuri perjalanan
ketiga murid Perguruan Pedang Ular mulai dari lereng Gunung Palanjar sampai ke
perguruannya. Barangkali saja kira dapat menemukan petunjuk di sana."
Karmila mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti. Dewa Arak benar-benar
memiliki wawasan pengetahuan yang luas, pikirnya. Dan seketika itu juga rasa
kagumnya semakin menebal. Tapi gadis berpakaian jingga ini segera sadar kalau
perasaan itu harus dibuangnya jauh-jauh. Sudah ada orang yang
berhak memikirkan pemuda berambut putih keperakan ini. Dan orang itu adalah
Melati. "Kapan kita berangkat, Arya?" tanya Karmila.
"Secepatnya," sambut Dewa Arak. "Aku tidak ingin masalah ini semakin berlarut-
larut" "Kalau begitu kita harus berkemas-kemas dulu," ucap Karmila seraya meninggalkan
tempat itu untuk membersihkan tubuhnya.
Tak lama kemudian, sehabis membersihkan tubuh dan mengisi perut, kedua muda-muda
itu pun meninggalkan hutan.
*** "Hooop...!"
Seorang gadis berpakaian serba putih mengangkat tangan kanannya. Sedangkan
tangan kirinya menarik tali kekang kudanya kuat-kuat.
Seketika itu juga kuda tunggangannya berhenti melangkah. Begitu pula puluhan
kuda yang yang ditunggangi oleh orang-orang berseragam prajurit kerajaan di
belakangnya. "Patih Rantaka," panggil gadis berpakaian putih itu pada penunggang kuda di
belakangnya. "Hamba, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki setengah baya itu penuh hormat.
"Tugas yang diembankan Ayahanda Prabu padaku telah selesai kukerjakan. Dan para
perampok yang menimbulkan kekacauan telah berhasil kita tumpas. Sekarang kau


Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuserahkan tugas untuk mengambil alih pimpinan pasukan ini pulang ke kotaraja,"
ucap wanita berpakaian putih yang ternyata bernama Melati itu.
"Lalu..., Gusti Ayu mau ke mana?" tanya Patih Rantaka agak bingung.
"Aku masih punya urusan lain, Paman Patih."
Patih Rantaka tersenyum. Tanpa diberi tahu pun laki-laki setengah baya ini dapat
menduga urusan yang dimaksud putri angkat Raja Kerajaan Bojong Gading ini.
"Hamba mengerti, Gusti Ayu. Tapi..., bagaimana kalau Gusti Prabu menanyakannya?"
Patih Rantaka meminta pendapat.
"Katakan saja apa adanya!" tandas MelatI tegas. Dan sebelum laki-laki setengah
baya itu menyahut, gadis berpakaian putih itu telah menggebah kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke udara, begitu kuda tunggangan Melati meninggalkan tempat
itu. Patih Rantaka dan pasukan khusus lainnya hanya terpaku memandangi gadis
berpakaian putih itu hingga lenyap ditelan kejauhan. Kepala laki-laki setengah
baya ini menggeleng-geleng.
Sementara itu Melati terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat. Dari
berita yang didapat, diketahuinya kalau wanita yang ditolong Dewa Arak adalah
putri seorang datuk sesat. Melati bermaksud menyusul pemuda berambut putih
keperakan itu untuk menanyakan hubungan mereka. Apakah masih ingin diteruskan,
atau memilih putri datuk sesat itu.
Sepanjang perjalanan, Melati terus mencari tahu arah yang dituju Dewa Arak dan
Karmila. Memang tidak sulit untuk mengikuti jejak kedua orang itu. Karena di samping
ciri-ciri Arya yang sangat menyolok, di sepanjang perjalanan pun banyak
dijumpainya tokoh-tokoh persilatan aliran putih yang dirobohkan Dewa Arak.
Mendengar semua ini, Melati bertambah geram. Kekesalannya dilampiaskan dengan
memaksa kuda nya berlari secepat mungkin. Kini gadis berpakaian putih ini tahu
kalau kedua buruannya menuju ke Gunung Palanjar.
"Hooop...!"
Melati menarik tali kekang kudanya ketika telah mendekati kaki Gunung Palanjar.
Dan seketika itu juga, binatang itu menghentikan larinya.
"Hup!"
Gadis berpakaian putih itu melompat dari kudanya. Ringan tanpa suara kedua
kakinya yang mungil mendarat di tanah. Kudanya ditambatkan agak tergesa-gesa.
Kemudian melesat cepat mendaki lereng.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, mudah
saja gadis berpakaian putih itu mendaki lereng yang sebenarnya bermedan cukup
berat itu. Tapi mendadak....
"Hik hik hik...!"
Terdengar tawa mengikik yang memecahkan kesunyian lereng Gunung Palanjar. "Hup!"
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, Melati langsung bersikap waspada. Sepasang
bola matanya menatap garang ke arah tawa itu berasal. Urat-urat syaraf gadis itu
seketika menegang tatkala menyadari kehebatan tenaga dalam yang terkandung dalam
suara tawa itu.
Sesaat kemudian, dari rerimbunan pohon muncul dua sosok tubuh menghadang. Melati
menatap kedua sosok itu penuh selidik.
Orang pertama adalah pemuda berbadan lebar yang berpakaian kuning. Usianya
sekitar tiga puluh tahun. Di bagian dada kiri pakaiannya tersulam gambar
sebatang pedang terhunus yang tengah dililit seekor ular.
Sementara sosok kedua adalah seorang wanita setengah baya yang berpakaian merah
menyala. Rambutnya setengah digelung ke atas, berhiaskan sebuah tusuk konde
berujung kepala ular kobra.
"Ah! Ternyata dia gadis yang amat cantik, Bu," ucap pemuda berbadan lebar itu
seraya merayapi sekujur tubuh gadis berpakaian putih itu dengan sorot mata liar.
Tentu saja hal ini membuat Melati bangkit kemarahannya.
"Memangnya kenapa kalau gadis ini berwajah cantik, Waji?" tanya wanita
berpakaian merah menyala yang ternyata adalah ibu dari pemuda berbadan lebar
itu. Mulutnya menyunggingkan senyum ejekan.
Pemuda berbadan lebar yang ternyata bernama Waji menelan ludahnya.
"Aku ingin Ibu menangkapkannya untukku.
Aku ingin bersenang-senang dengan dia sebentar saja. Bu," sahut Waji Sorot
matanya semakin kurang ajar.
"Yang ada di otakmu hanya itu saja, Waji!"
cemooh wanita berpakaian merah menyala itu..
"Tidak tahukah kau kalau gadis ini bukan orang sembarangan"! Sebelum kau sempat
melaksanakan niat kotormu nyawamu pasti sudah melayang terlebih dahulu!"
"Itulah sebabnya, aku meminta Ibu menangkapkannya," tangkis Waji cepat.
Melati yang sejak tadi masih berusaha memben dung amarahnya, akhirnya tidak
tahan lagi. Kedua ibu dan anak ini ternyata sama bejatnya. Enak saja mereka
membicarakan diri seseorang di depan yang bersangkutan.
"Kalian benar-benar bermulut kotor!" umpat gadis berpakaian putih itu galak.
"Jaga mulutmu, Perempuan Liar!" bentak wanita berpakaian merah menyala itu tak
mau kalah. Rupanya ibu Waji ini tergolong wanita pemarah, dan pantang mendengar
kata-kata kasar
yang ditujukan kepadanya. Begitu mendengar ucapan kasar tadi, kontan darahnya
langsung mendidih.
"Apa hakmu menyuruhku menjaga mulut, tua bangka bermulut kotor"!" Melati memang
memiliki watak keras dan tak mau kalah.
Bentakan wanita berpakaian merah itu dibalasnya tak kalah kasar.
"Kubilang jaga mulutmu! Atau..., kau ingin aku menutupnya dengan kekerasan".'"
teriak wanita berpakaian merah menyala itu dengan suara yang lebih keras lagi.
"Cobalah kalau kau mampu, tua bangka tak tahu diri!" sambut gadis berpakaian
putih itu tak kalah gertak.
"Keparat! Kalau aku tak mampu merobek mulutmu..., jangan panggil aku Dewi
Pencabut Nyawa!"
Setelah berkata demikian, wanita
berpakaian merah menyala yang ternyata berjuluk Dewi Pencabut Nyawa segera
melangkah maju. Sikapnya terlihat penuh ancaman. Hal ini tentu saja membuat Waji
yang merasa tertarik pada Melati menjadi khawatir.
"Aku mohon kau tidak membunuhnya, Ibu,"
pinta pemuda berbadan lebar itu cepat.
"Berilah aku kesempatan untuk bersenang-senang dengannya. Ibu. Baru setelah itu
kau boleh merobek-robek mulut atau buat apa saja padanya."
Tapi Dewi Pencabut Nyawa hanya mendengus saja. Tanpa mempedulikan ucapan
putranya, wanita berpakaian merah menyala itu menerjang Melati. Kedua tangannya
mengembang membentuk cakar. Tangan kanannya menyampok ke arah pelipis anak
angkat Raja Kerajaan Bojong Gading ini. Sementara tangan kirinya disilangkan di
depan dada. Wuuut! Deru angin keras mengiringi tibanya serangan wanita berpakaian merah menyala
itu. Melati kalau serangan lawan ini tidak bisa dibuat main-main. Dari desir angin
pukulannya saja sudah bisa diukur kedahsyatan serangan itu.
Melati buru-buru mendoyongkan tubuhnya seraya menarik kepalanya ke belakang.
Sambaran cakar Dewi Pencabut Nyawa berada setengah jengkal di depan wajahnya.
Rambut dan pakaian gadis itu berkibaran keras akibat kuatnya tenaga dalam yang
terkandung dalam serangan itu.
Tapi tidak hanya itu saja yang dilakukan Melati. Berbareng dengan menarik
tubuhnya ke belakang, kaki kanannya mencuat ke arah perut lawan.
Wuttt...! "Hm...!"
Terdengar suara mendengus dari mulut Dewi Pencabut Nyawa. Tangan kirinya yang
disilangkan di depan dada, dibacokkan ke bawah, menangkis tendangan yang
mengancam perutnya.
*** 2 Takkk! Suara berderak keras seperti beradunya dua batang besi mengiringi benturan
tangan dan kaki yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu.
Melati terdorong mundur satu langkah, sedangkan Dewi Pencabut Nyawa terhuyung
dua langkah ke belakang. Jelas kalau dalam adu
tenaga dalam tadi, gadis berpakaian putih itu lebih unggul dari lawannya.
Dewi Pencabut Nyawa meringis. Tangan yang berbenturan dengan kaki gadis
berpakaian putih itu terasa sakit bukan main. Dan hal ini tentu saja membuat
kemarahan wanita berpakaian merah menyala itu semakin berkobar.
"Pantas kau berani kurang ajar di depanku, Perempuan Liar! Rupanya kau memiliki
sedikit kepandaian!" desis Dewi Pencabut Nyawa geram.
"Tapi jangan bangga dulu! Aku belum kalah!"
Setelah berkata demikian, wanita
berpakaian merah menyala itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu
sama lain. Akibatnya, perlahan-lahan sepasang tangan itu mulai berubah
menghitam. Semakin lama tangan itu semakin hitam. Dan samar-samar tercium bau
amis yang memuakkan.
Melati memperhatikan semua itu dengan sikap waspada. Gadis berpakaian putih ini
menyadari kalau wanita di hadapannya ini merupakan lawan yang amat tangguh.
Dahinya sedikit berkernyit ketika melihat kedua tangan wanita berpakaian merah
menyala itu menghitam sampai sebatas pergelangan. Apalagi begitu hidungnya yang
berbentuk indah itu samar-samar mencium bau amis.
"Racun...," desis gadis berpakaian putih itu pelan. Melati tahu kalau Dewi
Pencabut Nyawa telah mengeluarkan ilmu andalannya. Maka tanpa ragu-ragu lagi,
segera dikeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.
Dewi Pencabut Nyawa terperanjat kaget begitu melihat kedua tangan Melati juga
berubah warna sampai ke pergelangan. Hanya saja warnanya tidak hitam seperti
tangannya, tapi merah. Semerah darah!
"Hiyaaa...!"
Seraya berteriak nyaring, Dewi Pencabut Nyawa melompat ke atas. Dan selagi
tubuhnya berada di udara, kedua tangannya tiba-tiba membentuk cakar garuda. Ibu
jari dan kelingking dilipat ke dalam, sementara jari-jari lainnya mengembang.
Dan dari atas, kedua cakar wanita berpakaian merah menyala itu mencengkeram
bertubi-tubi ke arah pelipis dan ubun-ubun Melati.
Wuttt! Suara berciutan nyaring bercampur bau amis yang memuakkan mengiringi tibanya
serangan Dewi Pencabut Nyawa.
Melatti tetap bersikap tenang. Tanpa ragu-ragu lagi ditangkisnya sambaran cakar
yang mengancamnya. Dengan mengerahkan ilmu 'Cakar Naga Merah', gadis berpakaian
putih itu sama sekali tidak khawatir berbenturan dengan tangan lawan yang
beracun. Warna merah pada kedua tangannya, bukan hanya hiasan belaka.
Tapi mampu menghalau racun yang mencoba masuk ke dalam tubuhnya. Takkk, plakkk!
Untuk yang kedua kalinya terdengar suara berderak keras akibat benturan kedua
pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu. Kali ini lebih
keras dari sebelumnya, sehingga membuat tubuh Melati terhuyung-huyung ke
belakang. Tapi keadaan yang dialami Dewi Pencabut Nyawa lebih hebat lagi. Tubuh wanita
berpakaian merah menyala yang tadi sedang berada di udara, kontan terlontar
kembali ke atas. Ada suara pekikan halus keluar dari mulutnya.
"Hup!"
Hampir bersamaan dengan hinggapnya Dewi Pencabut Nyawa di tanah, Melati telah
mampu memperbaiki posisi kuda-kudanya.
Sepasang mata Dewi Pencabut Nyawa terbelalak lebar begitu melihat gadis
berpakaian putih itu masih berdiri gagah.
Padahal selama ini setiap lawan yang berbenturan tangan dengannya pasti tewas
dengan sekujur tubuh hangus.
Semula, begitu melihat Melati menangkis serangannya, wanita berpakaian merah
menyala itu sudah girang bukan main. Dia yakin sekali kalau gadis berpakaian
putih ini akan tewas!
Tapi kenyataan yang dilihatnya berbeda. Melati masih berdiri segar bugar. Tak
kurang suatu apa!
"Kaget, Dewi Pencabut Nyawa?" ejek Melati sambil tersenyum sinis. Gadis
berpakaian putih ini dapat merasakan keterkejutan lawannya.
"Jangan harap racunmu akan mampu melukaiku!"
Wanita berpakaian merah menyala itu sama sekali tidak menanggapi ejekan Melati.
Dia masih belum percaya kalau racun 'Ular Karang'
yang terkenal mematikan itu tidak berpengaruh apa-apa pada gadis berpakaian
putih di hadapannya ini. Maka ditunggunya beberapa saat, barangkali saja
racunnya kali ini tidak bereaksi cepat seperti biasanya, hibur Dewi Pencabut
Nyawa pada dirinya sendiri.
Melihat lawannya hanya berdiri diam, Melati jadi tidak sabaran. Sama sekali
tidak tampak tanda-tanda kalau wanita berpakaian merah menyala itu akan kembali
menyerang. Dan gadis berpakaian putih itu tahu apa yang tengah ditunggu
lawannya. "Tunggu apa lagi, Dewi Pencabut Nyawa"
Percuma, racunmu sama sekali tidak ada artinya bagiku!"
"Keparat!" maki Dewi Pencabut Nyawa gusar.
Kini wanita berpakaian merah menyala itu yakin kalau gadis ini memang benar-
benar kebal terhadap racunnya. Maka wanita berpakaian merah menyala itu kembali menerjang
Melati. Kedua tangannya berkelebat cepat, menyambar berbagai bagian tubuh Melati yang
mematikan. Tapi Melati bersikap tenang. Gadis berpakaian putih ini memang bukan orang
sembarangan. Bahkan masih terhitung seorang wanita yang berkepandaian tinggi,
dan berjuluk Dewi Penyebar Maut (Untuk jelasnya, bacalah serial Dewa Arak dalam
episode "Dewi Penyebar Maut"). Tidak terlalu sulit bagi Melati untuk mengelak
dan membalas setiap serangan lawan.
Di jurus-jurus awal, pertarungan kedua wanita yang sama-sama berilmu tinggi ini
berlangsung imbang. Keduanya sama-sama lincah.
Namun masih terlihat jelas kalau dalam hal tenaga dalam maupun ilmu meringankan
tubuh, tingkat kepandaian Melati masih unggul satu tingkat ketimbang lawannya.
Tapi keunggulan Melati tertutup oleh kelebihan-kelebihan yang dimiliki Dewi
Pencabut Nyawa. Wanita berpakaian merah menyala ini memiliki berbagai macam
perubahan jurus yang penuh tipuan. Penuh kecurangan.
Hebat bukan main akibat pertarungan yang ditimbulkan kedua wanita sakti ini.
Tanah terbongkar di sana-sini. Pohon-pohon besar kecil yang terlanda angin
pukulan mereka bertumbangan tak tentu arah. Suara angin mencicit tajam
mengiringi pertarungan itu.
Debu pun mengepul tinggi ke udara.
Pertarungan antara kedua wanita yang sama-sama memiliki gerakan lincah itu
berlangsung cepat. Sehingga tak terasa tujuh puluh lima jurus telah berlalu. Dan
sampai sejauh ini belum nampak tanda-tanda ada yang akan terdesak.
"Keparat!"
Dewi Pencabut Nyawa menggeram murka.
Wanita berpakaian merah menyala ini memang marah bukan main. Seumur hidupnya
belum pernah dia bertempur sampai sekian lamanya tanpa mampu mendesak. "Hih!"
Tiba-tiba saja, wanita berpakaian merah menyala itu memekik keras. Dan seiring
dengan lenyapnya pekikan tadi, di tangan kanannya telah tergenggam sebatang
cambuk berujung tiga. Ctarrr!
Secepat cambuk itu berada di tangannya, secepat itu pula dilecutkan ke arah
kepala Melati. Luar biasa! Ketiga ujung cambuk itu masing-masing menuju sasaran
yang berbeda-beda! Pelipis, ubun-ubun, dan bawah hidung.
Semuanya merupakan tempat-tempat jalani darah yang mematikan.
Melati agak terkejut mendapat serangan mendadak ini. Tapi meskipun begitu, gadis
berpakaian putih itu tidak menjadi gugup.
Buru-buru tubuhnya dilempar ke belakang, kemudian bersalto beberapa kali di
udara. Tapi mana mau Dewi Pencabut Nyawa membiarkan lawan tangguhnya lolos" Begitu
dilihatnya gadis berpakaian putih itu melenting ke belakang, wanita berpakaian
merah menyala itu segera mengejar. Cambuk berujung tiga mencecar berbagai bagian
berbahaya di tubuh Melati.
Melati yang tahu kalau lawan terus mengejarnya, terus saja bersalto di udara.
Selagi tubuhnya berada di udara, gadis berpakaian putih itu memutar otaknya
untuk melepaskan diri dari cecaran ujung cambuk Dewi Pencabut Nyawa.
"Hup!"
Begitu mendapat kesempatan, buru-buru gadis berpakaian putih itu mendaratkan
kedua kakinya di tanah. Dan bersamaan dengan hinggapnya Melati, di tangannya telah
tergenggam sebilah pedang telanjang.
Pada saat yang bersamaan, lecutan cambuk berujung tiga dari Dewi Pencabut Nyawa
menyambar ke arah tenggorokan, bawah hidung, dan ulu hati. Lagi-lagi bagian
mematikan yang diincarnya.


Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ctarrrr! Wuttt!
Wunggg! Terdengar suara mengaung dahsyat begitu Melati menggerakkan pedangnya. Inilah
'Ilmu Pedang Seribu Naga'!
Rrrttt...! Tiga buah serangan itu kandas begitu Melati menyabetkan pedangnya. Tapi tak
urung ujung cambuk itu melilit pedang gadis berpakaian putih yang pernah
mendapat julukan Dewi Penyebar Maut itu.
"Hih!"
Dewi Pencabut Nyawa segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membetot
cambuknya. Tentu saja gadis berpakaian putih itu tidak mau melepaskan pedangnya.
Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk balas menarik. Sesaat lamanya terjadi
adu tarik-menarik. Semula terlihat imbang. Tapi, beberapa saat kemudian mulai
nampak keunggulan Melati.
Di saat itulah Waji yang sejak tadi menonton jalannya pertarungan, mendadak
melompat menerjang.
Srattt! Selagi tubuhnya berada di udara, pemuda berbadan lebar itu mencabut pedangnya
dan langsung membabatkannya ke arah punggung Melati. Wunggg!
Suara mengaung keras terdengar begitu pedang Waji meluncur.
Melati yang tidak menyangka kalau pemuda berbadan lebar itu akan bertindak
selicik ini, menjadi terkejut. Seketika itu juga perhatiannya terpecah. Dan
dengan sendirinya tenaga tarikannya berkurang. Akibatnya tubuh gadis berpakaian
putih itu terbawa tarikan Dewi Pencabut Nyawa ke depan. Tapi justru hal ini
malah menguntungkannya. Wusss!
Serangan pedang Waji menyambar lewat di belakang punggung Melati. Hanya setengah
jengkal dari tubuh gadis berpakaian putih itu.
Melati memang berhasil lolos dari babatan pedang Waji. Tapi, hal ini bukan
berarti dirinya sudah lolos dari maut. Karena begitu tubuhnya tertarik oleh
betotan Dewi Pencabut Nyawa, kaki wanita berpakaian merah menyala itu melayang
ke arah perutnya. Bukkk! "Hugh!"
Telak dan keras sekali tendangan itu menghantam perut Melati. Seketika itu juga
gadis berpakaian putih itu terjengkang ke belakang. Sekujur perutnya dirasakan
mual dan mules bukan main. Darah segar pun menetes deras dari sudut-sudut
mulutnya. Tapi hebatnya, meskipun terjengkang, Melati mari mampu membebaskan pedangnya
dari belitan cambuk lawan. Dan begitu pedangnya bebas, tubuh gadis berpakaian
putih ini segera melesat kabur.
Dewi Pencabut Nyawa menggertakkan gigi.
Segera dia bergerak hendak mengejar. Wanita berpakaian merah menyala ini yakin
akan mampu mengejar gadis berpakaian putih itu. Apalagi Melati sudah terluka!.
Tapi.... "Ibu...! Tahan...!"
Wanita berpakaian merah menyala itu terpaksa mengurungkan langkahnya. Kepalanya
ditolehkan kearah putranya. Sinar matanya tajam, penuh tuntutan.
"Kita masih ada urusan yang lebih penting lagi, Ibu," ucap pemuda berbadan lebar
itu sebelum Dewi Pencabut Nyawa mengajukan pertanyaan.
"Ah...! Kau benar, Waji! Urusan dengan gadis itu bisa ditunda nanti. Sedangkan
urusan kita tidak bisa ditunda lebih lama lagi!"
sambut Dewi Pencabut Nyawa baru teringat.
"Itulah sebabnya aku menahan Ibu," sahut Waji lagi seraya tersenyum lebar.
Dewi Pencabut Nyawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sepasang matanya menatap
jauh ke depan. Ke arah Melati tadi melarikan diri.
Tapi kini gadis berpakaian putih itu telah lenyap ditelan jalan.
"Tunggulah, Gadis Liar...," desis wanita berpakaian merah menyala itu penuh
ancaman. "Sekarang kau boleh lolos dari tanganku.
Tapi..., lain kali jangan harap akan semujur ini...!"
"Sudahlah, Ibu," potong Waji cepat "Nanti, Setan Kepala Besi akan marah jika
kita terlambat."
Di mulutnya, pemuda berbadan lebar ini berkata begitu, tapi di hatinya terselip
penyesalan yang besar. Sungguh di luar dugaannya kalau gadis berpakaian putih
yang telah membangkitkan nafsunya itu berhasil meloloskan diri. Kalau saja tidak
mengingat urusan penting yang harus dilakukannya, tentu Waji tidak akan mencegah
ibunya mengejar Melati.
"Hhh...!" Dewi Pencabut Nyawa menghela napas panjang. Kemudian melesat
meninggalkan tempat itu. Menyusul putranya yang telah berkelebat lebih dulu.
*** "Hhh...!"
Seorang laki-laki tinggi besar berkepala botak menghela napas berat. Sepasang
matanya kembali menatap ke bawah lereng. Entah untuk yang ke berapa kalinya dia
berbuat begitu. Dan setiap kali menatap ke arah lereng yang sunyi, desah
kekesalan terlontar dari mulutnya. Jelas ada sesuatu yang ditunggu orang yang
berjuluk Setan Kepala Besi itu.
"Ke mana, si keparat Waji," keluh laki-laki tinggi besar berkepala botak kesal.
Rupanya Setan Kepala Besi tengah menunggu pemuda berbadan lebar.
Baru saja keluar kekesalan hatinya, pendengarannya yang tajam menangkap suara
langkah kaki mendekat. Semula wajah laki-laki tinggi besar berkepala botak ini
berseri-seri. Tapi begitu tahu kalau langkah yang bergerak mendekat itu tidak hanya sepasang,
dahinya berkemyit dalam. Meskipun begitu, Setan Kepala Besi tetap saja berdiri
menunggu. Sesaat kemudian berkelebat dua sosok tubuh, yang kemudian mendarat ringan di
depan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu.
Setan Kepala Besi menatap kedua sosok tubuh yang berdiri di hadapannya. Dan
seketika itu juga senyumnya mengembang begitu mengenali kedua sosok tubuh itu.
Yang seorang adalah Waji. Sedangkan seorang lagi, adalah wanita setengah baya
berpakaian merah menyala.
Dandanannya terlihat begitu seronok. Sementara di pinggangnya terselip sebatang
cambuk. "Ha ha ha...!" Setan Kepala Besi tertawa bergelak. "Sungguh tidak kusangka kalau
kau akan datang ke sini, Dewi Pencabut Nyawa. Ha ha ha...!"
"Siapa yang tidak tertarik dengan jamur ajaib itu, Setan Kepala Besi!" sahut
wanita berpakaian merah menyala yang ternyata adalah Dewi Pencabut Nyawa. "Tidak
percuma kau menjadi suamiku!"
"Ah, jangan terlalu memujiku, Dewi Pencabut Nyawa. Yang paling berjasa adalah
anakmu. Waji! Dialah yang merencanakan semuanya," jawab Setan Kepala Besi
mengelak. Wajah Dewi Pencabut Nyawa nampak merengut begitu mendengar ucapan Setan Kepala
Besi. "Jadi, kau masih belum menganggap Waji sebagai anakmu sendiri" Bukankah kita
telah sepuluh tahun lebih menjadi suami istri, Setan Kepala Besi"!" tegur wanita
berpakaian merah menyala Itu bernada keras.
"Maafkan aku, Dewi Pencabut Nyawa," ucap laki-laki tinggi besar berkepala botak
itu cepat. "Bukannya aku tidak mengakuinya. Tapi, mulutku yang ceplas-ceplos
inilah yang kadang membuatku lupa. Tapi, percayalah.... Aku telah menganggap
Waji sebagai anakku sendiri."
Seketika itu juga, wajah Dewi Pencabut Nyawa kembali berseri-seri. Jelas kalau
Setan Kepala Besi telah berhasil membujuknya.
"Nanti malam, bulan akan bersinar penuh, Setan Kepala Besi," ucap wanita
berpakaian merah menyali itu bernada memberi tahu.
"Aku juga tahu, Dewi Pencabut Nyawa,"
sambut laki-laki berkepala botak itu tak mau kalah.
"Dan itu berarti..., jamur-jamur ajaib itu telah tumbuh. Bukankah begitu, Setan
Kepala Besi?"
"Tidak salah, Dewi Pencabut Nyawa," jawab laki-laki berkepala botak itu sambil
mengangguk-angguk.
"Kau sudah memeriksanya, Setan Kepala Besi?" tanya wanita berpakaian merah
menyala itu sambil menatap tajam wajah laki-laki berkepala botak di hadapannya.
Sorot matanya menampakkan kecurigaan. Setan Kepala Besi menggelengkan kepala.
"Aku menunggu kalian dulu agar kita bisa melihatnya bersama-sama.
Tadi aku sudah mengambil keputusan, kalau kutunggu kalian sebentar lagi, tidak
juga datang... aku akan melihatnya sendirian!"
"Untung kami segera datang...," sahut Waji yang sejak tadi berdiam diri saja.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita ke sana!"
sambut Dewi Pencabut Nyawa tak sabar. "He he he...!"
Setan Kepala Besi tertawa terkekeh. "Kau ini masih seperti dulu saja, Dewi
Pencabut Nyawa! Tidak sabaran!" ucap laki-laki berkepala botak itu menyindir.
Tapi wanita berpakaian merah menyala itu sama sekali tidak menanggapi sindiran
itu. Hanya suara dengusan dari hidungnya saja yang terdengar.
"Sekarang bukan waktunya untuk bermain-main, Setan Kepala Besi!" tandas Dewi
Pencabut Nyawa keras. Tapi mulutnya menyunggingkan senyuman. Jelas kalau jawaban
keras itu tak keluar dari hatinya.
"Kalau begitu..., mari ikut aku, Dewi Pencabut Nyawa," ajak Setan Kepala Besi
seraya melesat meninggalkan tempat itu. Sudah bisa diduga kalau laki-laki tinggi
besar berkepala botak ini akan menuju ke gua bekas tempat tinggal Kalapati.
Dewi Pencabut Nyawa hanya tertawa mengikik sesaat. Kemudian tubuhnya pun telah
menyusul Setan Kepala Besi yang telah melesat lebih dulu.
Waji pun tak mau ketinggalan. Pemuda berbadan lebar yang ternyata putra Dewi
Pencabut Nyawa ini, segera berlari menyusul kedua tokoh sesat itu.
*** Terdengar tawa keras bergelak dari dalam sebuah gua di lereng Gunung Palanjar.
Menilik dari tawa yang menggelegar itu, dapat diperkirakan kalau pemiliknya
memiliki tenaga dalam yang amat tinggi.
Belum juga habis gema suara tawa itu, sebuah tawa lain yang melengking nyaring
terdengar menyahuti. Jelas dapat diketahui kalau pemilik suara tawa yang kedua
ini adalah seorang wanita.
Di dalam gua yang semula merupakan tempat tinggal Kalapati, nampak tiga sosok
tubuh berjongkok menatap ke salah satu sudut gua.
Jelas ada sesuatu yang menarik perhatian mereka.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa keras menggelegar.
Suara tawa itu ternyata keluar dari mulut Setan Kepala Besi.
"Jamur ajaib ini akan menjadi milik kita...! Ha ha ha...!" teriak laki-laki
tinggi besar berkepala botak itu sambil tertawa bergelak. Pandangan matanya
menatapi ke arah jamur-jamur putih yang tumbuh berkelompok di salah satu sudut
gua. "Benar, Setan Kepala Besi! Dan kita akan menjadi orang yang sakti yang tak
terkalahkan! Hi hi hi...!" sambut Dewi Pencabut Nyawa seraya menatap wajah laki-laki tinggi
besar berkepala botak itu.
"Sebenarnya..., apakah kegunaan jamur itu selain untuk menambah tenaga dalam,
Bu?" tanya seorang pemuda berbadan lebar yang ternyata adalah Waji.
Dewi Pencabut Nyawa menatap tajam wajah putranya.
"Memang hanya itulah kegunaan jamur ini, Waji," jawab wanita berpakaian merah
menyala itu memberi tahu.
"Ah...! Khasiatnya ternyata tidak sebesar namanya...," ucap Waji bernada
mencemooh. "Kau ini memang aneh, Waji," selak Setan Kepala Besi. "Kadang-kadang kau
bertindak cerdik Cerdik sekali malah. Tapi..., tak jarang pula kau bodoh seperti
kerbau!" Merah wajah Waji mendengar ucapan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu.
"Atas dasar apa, kau menuduhku demikian, Setan Kepala Besi?" tanya pemuda
berbadan lebar itu. Nada penasaran nampak jelas dalam suaranya.
"Ucapanmu yang tadi," sahut Setan Kepala Besi tak acuh. Sepasang matanya kembali
dialihkan pada kelompok jamur putih.
"Hm.... Mengenai jamur itu, Setan Kepala Besi?" tanya Waji memastikan.
"Memangnya, kau pikir ucapanmu yang mana?"
Setan Kepala Best balas bertanya lagi.
Sementara Dewi Pencabut Nyawa sama sekali tidak mempedulikan keributan itu.
Wanita berpakaian merah menyala ini masih saja sibuk dengan tanaman jamur itu.
"Bukankah ucapanku benar. Setan Kepala Besi"!" sambut Waji tak mau kalah.
"Tanaman itu hanya besar di namanya saja. Jamur Sisik
Naga! Tak tahunya kegunaannya hanya untuk menambah tenaga dalam saja!"
"Kau memang berotak kerbau, Waji!"
akhirnya Dewi Pencabut Nyawa ikut angkat suara pula. Ucapan pemuda berbadan
lebar itu setidak-tidaknya telah menuduh dia dan Setan Kepala Besi mengejar-
ngejar sesuatu yang sama sekali tidak berharga.
Semakin merah wajah Waji mendengar ibunya juga menyalahkannya. Bahkan makian
dari wanita berpakaian merah menyala itu malah lebih keras daripada makian Setan
Kepala Besi. "Di mana kau bisa mendapatkan tambahan tenaga dalam"!" tanya Dewi Pencabut Nyawa
dengan suara keras.
"Apa susahnya, Bu?" jawab Waji ringan.
"Dengan semadi dan pemapasan, aku dapat menambah kekuatan tenaga dalamku!"
"Anak berotak kerbau!" maki Dewi Pencabut Nyawa. Rupanya makian yang baru saja
didapatkan Setan Kepala Besi, terasa enak diucapkan. Terbukti wanita berpakaian
merah menyala itu tidak bosan-bosannya memaki anaknya sendiri dengan makian itu.
"Berapa besar sih, tambahan tenaga dalam yang kau peroleh dari semadi dan
pemapasan"! Kau tahu, dengan makan sebuah jamur ini, kau akan mendapat tambahan
tenaga dalam yang sama seperti kau berlatih pernapasan dan semadi satu tahun!"
"Hah..."!" Waji melongo. "Bbb... benarkah apa yang Ibu katakan...?"
"Kalau tidak begitu, buat apa jamur ini mempunyai nama begitu keren, Jamur Sisik
Naga. Dan juga untuk apa aku dan Setan Kepala Besi bersusah payah untuk
mendapatkannya!" sahut Dewi Pencabut Nyawa dengan raut wajah menyiratkan
kemenangan. "Pantas...," gumam pemuda berbadan lebar itu pelan. Kepalanya mengangguk-angguk
Jelas ada satu kesimpulan yang telah didapatkannya.
"Apanya yang pantas?" tanya Dewi Pencabut Nyawa Ingin tahu.
"Setan Kepala Besi sangat takut rahasia ini tercium oleh orang persilatan....
Kiranya khasiat jamur ini begitu hebat..."
Setan Kepala Besi hanya mendengus. Sama sekali tidak disahutinya ucapan pemuda
berbadan lebar itu.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita petik jamur-jamur ini!" ucap Waji
tiba-tiba sambil menghampiri kelompok tanaman jamur itu.
Tapi belum juga kedua tangan pemuda berbadan lebar itu menjangkau tanaman jamur
itu, sebuah tangan berotot kekar telah mencekal pergelangan tangannya.
"Diam di situ dulu, Waji!" ucap Setan Kepala Besi bernada perintah.
"Mengapa, Setan Kepala Besi" Apakah aku tidak boleh memakannya" Dan Jamur Sisik
Naga itu hanya untukmu semua"!" sahut pemuda berbadan lebar itu bernada menuduh.
Setan Kepala Besi menatap tajam wajah Waji. "Tutup mulutmu, Waji! Sebelum aku
yang menutupnya!" ancam laki-laki tinggi besar berkepala botak itu. Setan Kepala
Besi ini memang tersinggung sekali mendapat tuduhan seperti tadi. "Kau tahu,
saat ini Jamur Sisik Naga belum bisa dimakan. Tapi kalau sudah bosan hidup, kau
boleh memakannya."
"Mengapa begitu, Setan Kepala Besi?" tanya Waji. Suaranya kini mulai pelan
kembali. Keterangan laki-laki tinggi besar berkepala botak itu membuat emosi nya mereda.
"Memang begitulah keanehan Jamur Sisik Naga ini, Waji," jawab Setan Kepala Besi
memberi tahu. "Selagi berwarna putih, jamur ini mengandung racun mematikan!
Jangankan termakan, tersentuh pun sudah berbahaya."
"Lalu..., kapan jamur itu akan berguna untuk menambah tenaga?" tanya Waji lagi.
"Besok. Setelah bulan purnama telah lenyap."
"Jadi.., sewaktu masih ada bulan purnama, Jamur Sisik Naga mengandung racun
mematikan"
sambut Waji yang mulai mengerti.
"Dan besok.., apabila jamur ini telah berubah jadi hijau dan bersisik seperti
naga, baru kita bisa memakannya," sambung laki-laki tinggi besar berkepala botak
itu cepat. "Jamur ini akan berubah seperti itu"!"
tanya Waji setengah tak percaya.
"Benar," sahut Dewi Pencabut Nyawa.
"Itulah sebabnya diberi nama Jamur Sisik Naga!"
"Kitalah yang beruntung mendapatkannya, Waji," sambung Setan Kepala Besi
"Dan... kita akan menjadi tokoh tak terkalahkan! Ha ha ha...!" Dewi Pencabut
Nyawa ikut menimpali.
Sesaat kemudian, di dalam gua tempat tinggal Kalapati itu terdengar suara tawa


Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergelak. Suara tawa yang sambung menyambung seperti tidak akan pernah berhenti.
*** 3 Seorang pemuda berambut putih keperakan dan seorang gadis berpakaian jingga
melangkah perlahan menuju mulut sebuah desa. Keduanya tak lain adalah Dewa Arak
dan Karmila yang
tengah dalam perjalanan menuju Gunung Palanjar.
Tapi ketika jarak antara kedua orang itu dengan tembok batas desa telah tinggal
sekitar belasan tombak, Dewa Arak dan Karmila menolehkan kepalanya ke arah
semak-semak di sekeliling mereka. Pendengaran kedua muda-mudi yang terlatih baik
itu menangkap adanya suara berkeresekan dari arah itu.
Belum lagi kedua muda-mudi itu berbuat sesuatu, dari balik kerimbunan semak-
semak itu melesat belasan sosok tubuh dengan senjata terhunus. Dan secepat
sosok-sosok tubuh itu keluar dari semak-semak, secepat itu pula bergerak
mengurung Arya dan Karmila.
Dewa Arak dan Karmila terpaksa
menghentikan langkahnya. Sepasang mata kedua orang itu menatap berkeliling.
Ternyata mereka telah terkurung! "Hhh...!"
Dewa Arak menghela napas berat. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak merasa
kaget melihat kejadian ini. Hal seperti ini memang kerap terjadi setelah dia
melibatkan diri dalam persoalan ini. Dan pandang mata Arya yang tajam, langsung
mengenal kalau sebagian besar dari mereka adalah pengeroyoknya beberapa hari
yang lalu. "Sekarang kita bebas untuk bertarung kembali Dewa Sesat!" teriak laki-laki gagah
bersenjataka sepasang tombak pendek. Suaranya keras dan kasar. Jelas kalau orang
ini masih memendam rasa penasaran pada Dewa Arak.
"Ya. Kini kita sudah berada di luar wilayah Kerajaan Bojong Gading!" sambung
tokoh persilatan lainnya.
Suara-suara bernada cemoohan terhadap Dewa Arak terdengar susul-menyusul. Tapi,
pemuda berambut putih keperakan itu hanya tersenyum
getir. Semua cemoohan itu sama sekali tidak ditanggapinya.
"Kalian tidak percaya, kalau kukatakan bahwa, gadis ini sama sekali tidak
bersalah?"
sahut Arya begitu suara-suara riuh itu telah mereda.
"Bicaralah dengan nenek moyangmu!" sergah laki-laki bersenjata sepasang tombak
pendek keras "Kawan-kawan...! Serang...!"
Setelah berkata demikian, laki-laki ini lalu menerjang Dewa Arak. Sepasang
tombak pendeknya berkelebat cepat ke berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih
keperakan itu. Belum juga sergapan sepasang tombak itu tiba, serangan tokoh-tokoh persilatan
lainnya juga meluncur tiba. Sebagian di antara mereka menyerang Dewa Arak
Sedangkan yang sebagian lagi menyerbu Karmila.
Sesaat kemudian, hujan senjata pun berhamburan di sekujur tubuh Dewa Arak. Tapi
pemuda berambut putih keperakan itu tidak menjadi gugup. Dari desir angin yang
mengiringi serangan senjata itu, sudah dapat diukur kekuatan tenaga dalam para
pengeroyoknya. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera ditangkis dengan tangan dan kakinya. Itu pun
hanya serangan yang menuju ke arah mata.
Takkk, takkk! Terdengar suara keras beberapa kali ketika Dewa Arak menangkis hujan senjata
yang menuju mata dengan tangannya. Hebat akibatnya!
Senjata-senjata itu terpental balik ke arah asalnya. Sementara tangan pemiliknya
tergetar hebat.
Sementara itu serangan yang menuju ke arah berbagai bagian tubuh yang lain,
dibiarkan saja. Luar biasa! Setiap kali sambaran senjata
itu mengenai tubuh pemuda itu, tak secuil pun kulitnya terluka. Bahkan
sebaliknya senjata-senjata itu sendiri yang membalik. Bukan hanya itu saja.
Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit-sakit.
Sebaliknya, setiap kali Arya balas menyerang, sudah dapat dipastikan ada tubuh
pengeroyok yang roboh ke tanah.
Berlainan dengan Dewa Arak yang begitu mudah menghadapi pengeroyoknya, Karmila
terlihat repot sekali. Pedangnya berkelebatan cepat menangkis setiap serangan
lawannya. Terdengar suara berdentangan keras berkali-kali setiap pedang gadis ini
berbenturan dengan senjata lawannya.
Sebenarnya, tingkat kepandaian gadis berpakaian jingga itu jauh di atas para
pengeroyoknya. karena lawan terlalu banyak, tak urung gadis ini terdesak juga.
Meskipun begitu, sulit bagi para pengeroyoknya untuk menyarangkan senjatanya ke
tubuh Karmila. "Hih...!"
Karmila menggertakkan gigi. Pedangnya berputar-putar membentuk lingkaran di
depan dada. Kemudian membabat cepat ke leher salah seorang pengeroyoknya.
Crattt! "Aaakh...!"
Suara jerit lengking kematian terdengar, begitu ujung pedang Karmila mengoyak
leher pengeroyok yang sial itu Seketika itu juga, tubuh tokoh persilatan itu
roboh ke tanah.
Menggelepar-gelepar sejenak kemudian diam tidak bergerak lagi.
Kematian salah seorang rekannya, tentu saja mengakibatkan para pengeroyok itu
semakin beringas. Dan dengan sendirinya, serangan mereka pun semakin berbahaya.
"Hiyaaa...!"
Karmila memekik nyaring. Gadis berpakaian jingga itu mengamuk dahsyat. Pedang di
tangannya berkelebatan cepat mencari sasaran.
*** Dewa Arak berbeda dengan Karmila yang demi untuk menyelamatkan selembar nyawanya
tidak segan-segan menjatuhkan tangan maut pada para pengeroyoknya. Pemuda
berambut putih keperakan itu sama sekali tidak menggunakan ilmu andalannya. Ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' pun sudah lebih dari cukup untuk menghadapi
para pengeroyoknya.
Memang menggiriskan akibat sepak terjang pemuda berambut putih keperakan itu. Ke
mana saja tangan atau kakinya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada lawan yang
roboh dan kemudian tak mampu melanjutkan pertarungan lagi. Meskipun begitu, tak
seorang pun di antara mereka yang tewas atau terluka berat.
Tak sampai delapan jurus, pengeroyok Dewa Arak yang tadi berjumlah belasan, kini
tinggal dua orang, salah seorang di antaranya adalah laki-laki gagah
bersenjatakan sepasang tombak pendek. Dan memang Dewa Arak sengaja
menjatuhkannya belakangan. Arya Ingin memberi pelajaran yang lebih keras pada
laki-laki yang bermulut dan berpikiran kotor itu.
"Akh...!"
Lagi-lagi terdengar suara pekikan tertahan diiringi robohnya salah seorang
pengeroyoknya ketika tangan Dewa Arak berkelebat. Kini hanya tinggal laki-laki
gagah bertombak pendek yang masih mampu berdiri tegak.
Walaupun hanya tinggal sendiri, dan yakin kalau dirinya tak akan mungkin menang
menghadapi lawan yang amat tangguh ini, laki-laki bertombak pendek itu tidak
menjadi gentar. Dia masih tetap mengadakan perlawanan sengit. Dan hal ini tentu
saja membuat Dewa Arak menjadi kagum. "Haaat..!"
Sepasang tombak pendeknya meluruk deras.
Yang kanan disabetkan ke arah leher, sementara yang kiri ditusukkan ke perut
Dewa Arak. Wukkk, wuttt! Arya hanya tersenyum hambar. Tangan kirinya bergerak memapak serangan tombak
yang menuju ke lehernya dengan menggerakkan tangannya dari dalam keluar.
Sementara serangan yang menuju ke perurnya ditangkapnya.
Takkk, tappp! "Akh...!"
Laki-laki gagah bersenjata tombak pendek itu memekik tertahan. Tangan kanannya
Pedang Dan Kitab Suci 8 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Gadis Dari Alam Kubur 2
^