Jamur Sisik Naga 2
Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga Bagian 2
terasa lumpuh seketika begitu tombaknya berbenturan dengan tangan kiri Dewa
Arak. Belum lagi laki-laki itu sadar dari keterkejutannya, Dewa Arak telah
menggertakkan tombak yang tadi telah dicengkeramnya.
"Ah...!"
Tanpa sadar laki-laki gagah bertombak pendek itu memekik tertahan, begitu
tubuhnya melayang tinggi ke udara.
Brukkk! Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh laki-laki itu terbanting keras di
tanah, lalu menggeliat-geliat kesakitan di tanah.
Selesai membereskan pengeroyoknya, Dewa Arak
segera melompat ke arah Karmila yang masih sibuk menghadapi hujan senjata lawan.
Dan begitu pemuda berambut putih keperakan itu turun tangan, dalam beberapa
gebrakan saja pengeroyok gadis berpakaian jingga itu kocar-
kacir tak tentu arah. Pekik-pekik kesakitan diiringi dengan berpentalannya
tubuh-tubuh, segera terdengar susul-menyusul.
Dewa Arak memandangi sosok-sosok tubuh yang bergeletakan di tanah sejenak.
Kemudian pandangannya dialihkan pada Karmila.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Karmila," ajak Arya.
Tanpa berkata apa-apa, Karmila segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Mengikuti Dewa Arak yang telah berjalan lebih dulu.
*** Akhirnya, setelah melalui berbagai hambatan dan gangguan di perjalanan, kedua
muda-mudi itu tiba di kaki Gunung Palanjar.
Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau Melati telah tiba di sini lebih dulu, dan
hampir celaka di tangan Dewi Pencabut Nyawa.
Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
Diam-diam ada rasa kecut di hatinya, tatkala membayangkan kalau seandainya dia
gagal menyingkap rahasia terbunuhnya dua orang murid Perguruan Pedang Ular.
Seumur hidupnya Dewa Arak akan dikejar-kejar dan diburu oleh tokoh-tokoh
persilatan golongan putih. Dia akan dianggap mencemarkan nama pendekar.
Tapi Dewa Arak tidak bisa termenung lebih lama lagi karena Karmila telah
bergerak mendaki lereng. Tubuh gadis itu melesat cepat ke atas. Sesekali kakinya
memijak batu-batu yang menonjol, sebagai landasan untuk melompat. Sesaat
kemudian tubuhnya melenring ke atas. Dan begitu seterusnya.
Arya segera bergerak mengikuti. Sengaja pemuda berambut putih keperakan itu
tidak mengerahkah seluruh ilmu meringankan tubuhnya agar tetap berada di belakang
gadis itu. Cukup lama juga Dewa Arak mendaki lereng Gunung Palanjar. Melesat ke sana
kemari. Menotong sana-sini. Sampai akhirnya pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa
menghentikan larinya begitu melihat Karmila berdiri termenung. Arya bergegas
menghampiri. "Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak lembut. "Ah... aku..., aku lupa jalannya,
Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu gugup. Menilik dari raut wajahnya yang
merah padam. Jelas kalau gadis ini merasa malu. Maka Dewa Arak tidak
mendesaknya. "Sudahlah, Karmila. Tidak usah kau pikirkan. Adalah suatu hal yang wajar,
apabila seseorang lupa," sahut pemuda berambut putih keperakan itu bernada
menghibur. "Tapi, mana bisa aku lupa, Arya. Aku telah tinggal di sini selama belasan tahun.
Dan aku tahu betul jalannya. Aku yakin kalau telah menempuh jalan yang benar.
Tapi..., rasanya jalan ini tidak pernah ada sebelumnya," bantah Karmila tidak
mau dianggap lupa.
"Aku belum paham maksudmu, Karmila?"
sambut Arya yang merasa bingung mendengar ucapan gadis berpakalan jingga itu.
"Jalan ini tidak pernah ada
sebelumnya...," sambut Karmila setengah bergumam.
Mendengar ucapan gadis itu, Dewa Arak jadi penasaran. Bergegas dihampirinya
tempat yang membuat gadis itu bingung. Kemudian diperiksanya.
"Kau benar, Karmila," ucap Dewa Arak setelah memeriksanya beberapa saat. "Ada
perubahan yang terjadi di sekitar tempat ini.
Mungkin karena tanahnya longsor..., atau terjadi pergeseran tanah di sini."
"Lalu, kalau begitu... bagaimana, Arya?"
tanya Karmila meminta pendapat pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak tercenung sejenak. Jelas tampak kalau Arya tengah berpikir.
"Lebih baik kita kembali dulu, Karmila,"
usul Arya. "Dan nanti kalau kita sampai di tempat yang kau kenali, kita ambil
jalan memutar saja. Bukankah ada jalan lain menuju tempat tinggal ayahmu?" tanya
Dewa Arak meminta kepastian.
Karmila menganggukkan kepalanya. "Tapi..., kita akan menempuh jalan yang agak
jauh, Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu bernada ragu-ragu.
"Tidak mengapa, Karmila," sambut Dewa Arak cepat "Yang penting..., masalah ini
akan cepat Karmila tidak bisa membantah lagi. Gadis itu bergegas menuruni
lereng. Sementara Dewa Arak mengikuti di belakang. Kini keduanya menuju bekas
tempat tinggal Kalapati melalui jalan memutar.
Dewa Arak baru menyadari alasan Karmila segan melalui jalan memutar. Jalan ini
terlalu sulit untuk dilalui. Jalan-jalannya licin, bahkan kadang-kadang harus
menembus rerimbunan semak-semak berduri yang lebat. Dan masih banyak lagi
kesulitan yang mereka alami.
"Hup!"
Karmila melompat lalu hinggap di atas sebongkah batu besar. Tapi baru saja
hendak melompat lagi pendengarannya yang tajam mendengar adanya suara rintihan
samar-samar. Tentu saja hal ini membuat gadis berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya.
Dan segera dicarinya asal rintihan lirih itu.
"Hup!"
Indah dan manis sekali tubuh Dewa Arak melompat. Sesaat kemudian, kedua kakinya
telah mendarat tanpa suara di sebelah Karmila.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambaut putih keperakan itu. Arya sudah
merasa curiga begitu melihat gadis berpakaian jingga itu menghentikan
gerakannya. Apalagi ketika melihat Karmila seolah-olah tengah mencari-cari
sesuatu. "Entahlah, Arya," sahut Karmila dengan suara mengambang. "Tadi sepertinya aku
mendengar suara orang merintih. Tapi...."
Dewa Arak mengerutkan alisnya. "Apakah kau yakin, Karmila" Tidakkah suara itu
tercipta karena khayalanmu sendiri?" tanya Arya meminta kepastian.
"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian jingga itu sambil mengangkat bahu.
"Tapi, suara itu sepertinya benar-benar nyata. Bukan khayalan...."
"Kalau begitu... kita harus menyelidiki tempat ini," ucap Dewa Arak memutuskan.
"Aku yakin kalau apa yang kau dengar itu benar...
orang itu pasti tidak jauh dari sini."
"Tapi, Arya...," bantah Karmila ragu. "Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut
putih keperakan itu. Nada suaranya masih tetap sabar.
"Bagaimana kalau suara yang kudengar itu hanya khayalanku saja, Arya" Bukankah
itu berarti... perjalanan kita akan semaian terhambat?"
Dewa Arak hanya tersenyum sabar. Dia tahu kalau ucapan yang tadi akan
dilanjutkan oleh Karmila, bukan itu. Kalimat yang akan dilanjutkan Karmila sudah
bisa diduganya. Apa lagi kalau bukan merasa merepotkan dirinya"
Memang, setelah melakukan perjalanan bersama beberapa lama, pemuda berambut
putih keperakan itu sudah bisa menebak sifat Karmila. Gadis itu memiliki sifat
tak mau merepotkan orang!
"Tidak apa-apa, Karmila! Sebaliknya, kalau ternyata suara itu memang benar ada,
lalu kita melewatkannya. Bukankah itu berarti kita telah menyia-nyiakan orang
yang berniat meminta pertolongan?" hibur Dewa Arak sebisa-bisanya.
"Tapi..."
"Sudahlah, Karmila," potong Arya cepat.
"Mari kita cari asal suara rintihan itu."
Setelah berkata dmikian, pemuda berambut putih keperakan itu segera mengedarkan
pandangannya berkeliling.
Dan selagi Dewa Arak sibuk mencari-cari, terdengar suara rintihan lemah tadi.
Kali ini bukan hanya Karmila saja yang mendengar, tapi juga Dewa Arak. "Nah,
itulah rintihan yang tadi kudengar, Arya," seru gadis berpakaian jingga itu
sambil menoleh ke arah asal suara.
Hanya anggukan kepala pemuda berambut putih keperakan saja yang menjawab ucapan
Karmila. Arya sendiri sudah sibuk mengalihkan perhatian ke arah suara itu.
"Hih...!"
Mendadak Dewa Arak melompat dari batu besar tempatnya berdiri. Seketika itu juga
tubuhnya melayang ke bawah.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Cepat pemuda berambut putih
keperakan menoleh ke sana kemari. Dan belum lagi Arya menemukan pemilik suara
rintihan itu, Karmila telah mendarat di sebelahnya.
Sama seperti Dewa Arak, Karmila pun langsung mengawasi sekelilingnya begitu tiba
di tanah. "Aaah...!"
Rintihan memilukan itu kembali terdengar.
Kali ini suara lebih jelas dari sebelumnya.
Jelas kalau kedua muda-mudi itu semakin dekat dengan asal suara rintihan itu.
"Suara rintihan itu berasal dari bawah sana," ucap Dewa Arak seraya menunjuk ke
arah bawah. Memang Arya dan Karmila berada di tempat yang agak tinggi. Tanah di
depan kedua muda-mudi itu menurun agak curam. Dan di bawah sana terhampar
rerimbunan semak-semak dan pohon-pohon yang cukup lebat.
"Benar, Arya," dukung gadis berpakaian jingga itu Kepala gadis itu mengangguk
pelan. Setelah yakin akan kebenaran dugaannya, Dewa Arak dan Karmila kemudian bergerak
menuju ke sana. Dan semakin mereka mendekat, suara rintihan itu semakin jelas
terdengar. "Itu dia...!"
Karmila berseru keras saking gembiranya.
Tangan kanannya menuding ke satu arah. Dewa Arak mengikuti arah telunjuk gadis
berpakaian jingga itu.
Sekitar tiga tombak dari tempat mereka berdiri, tergolek sesosok tubuh
berpakaian kuning. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka.
Darah yang telah mengering nampak di sekujur tubuhnya.
Bergegas Dewa Arak dan Karmila menghampiri sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ihhh...!"
Terdengar seruan kaget dari mulut Karmila ketika melihat wajah sosok tubuh
berpakaian kuning itu. Dewa Arak sampai terjingkat saking kagetnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut putih keperakan begitu melihat
keterkejutan gadis berpakaian Jingga itu.
"Dia... dia salah seorang dari tiga murid Perguruan Pedang Ular yang kuceritakan
itu, Arya," jawab karmila memberi tahu.
"Jadi, inikah orang yang katanya telah terbunuh oleh ayahmu itu?" Dewa Arak
balas bertanya. Dahi pemuda berambut putih keperakan berkerut. Jelas ada sesuatu
yang tengah dipikirkannya.
"Ya," sahut Karmila singkat.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditatapnya sekujur tubuh yang tergolek itu penuh perhatian. Sosok tubuh itu
ternyata adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit. Dan
memang apa yang dikatakan Karmila benar. Sosok tubuh yang tergolek itu adalah
Rupangki. Salah seorang murid utama Perguruan Pedang Ular.
Beberapa saat lamanya, Dewa Arak meneliti pemuda berpakaian serba kuning yang
tergolek di hadapannya. Baru setelah itu, tubuhnya dibungkukkan untuk memeriksa
luka-luka di sekujur tubuh pemuda itu.
Ternyata hampir tidak ada luka yang terjadi akibat pukulan tenaga dalam. Darah
kering yang menempel di sekujur tubuhnya, jelas bukan karena terkena senjata
tajam. Tapi jelas karena tersayat duri atau ranting pohon.
Sebagian besar hanya lecet-lecet. Hanya saja sambungan kedua tulang lututnya
lepas. Begitu pula dengan sambungan sikut tangan kirinya.
Melihat keadaan yang dideritanya, tidak aneh kalau Rupangki hanya dapat tergolek
tanpa daya. Tubuh pemuda itu yang memang sudah kurus, kini hanya tinggal tulang dan kulit.
Rupanya, Rupangki sudah cukup lama berada di tempat ini. Pemuda bertubuh tinggi
kurus itu hanya makan seadanya. Kalau saja Karmila tidak
melihat lambang pedang terhunus terlilit seekor ular, tentu sudah tidak
mengenalinya lagi.
"Benar, kau murid Perguruan Pedang Ular?"
tanya Dewa Arak seraya menatap tajam wajah Rupangki.
"Benar," sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Kisanak?"
"Rupangki," sahut pemuda tinggi kurus itu pelan.
Dewa Arak hanya manggut-manggut
"Dan..., kau sendiri siapa, Kisanak?"
tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu pula.
"Panggillah aku Arya," sahut Dewa Arak memperkenalkan diri. "Apakah kau yang
mengunjungi tempat kediaman Kalapati?"
"Ya. Kami bertiga memang mengunjungi tempat kediaman Kalapati. Tapi semua itu
adalah keinginan Kakang Waji. Aku dan Kakang Jalasa hanya ikut saja."
"Lalu, ke mana perginya teman-temanmu yang lain?" desak pemuda berambut putih
keperakan itu lebih jauh. Berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Jalasa telah tewas...."
"Tewas"! Lalu... bagaimana dengan Waji?"
Arya berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Waji"!" Ada kegeraman terkandung dalam suara pemuda bertubuh tinggi
kurus itu. "Justru keparat Waji itulah yang telah melakukan semua ini!"
"Maksudmu bagaimana, Rupangki" Aku belum mengerti," tanya Dewa Arak lagi,
sebenarnya Arya yang cerdik ini sudah bisa menduganya.
Rupangki menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Mulanya kami mengira Kakang Waji cukup parah... sehingga aku bersama Kakang
Jalasa memapahnya," ucap pemuda bertubuh tinggi itu memulai ceritanya seraya
menatap wajah Karmila. Gadis yang telah memikat hatinya sejak pertemuan pertama
mereka. Hanya saja Rupangki terhitung pemuda yang kurang bisa bercakap-cakap dan
lebih su!ka memendam perasaannya di hati.
"Hm...," Dewa Arak hanya bergumam tak jelas. Sementara Karmila mendengarkan
semua cerita Rupangki dengan jantung berdebar tegang.
"Sungguh sama sekali tidak kami sangka..., begitu tiba di sebuah lereng terjal,
Kakang Waji berontak. Kuat sekali rontaannya, sehingga aku yang sama sekali
tidak menduga apa-apa, terpental bergulingan."
Kembali pemuda tinggi kurus itu
menghentikan ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam, mungkin untuk melonggarkan
dadanya yang terasa sesak begitu mengingat semua kejadian yang dialaminya.
"Aku terpental deras ke arah jurang. Tapi untunglah kedua tanganku sempat
menggapai bibir jurang. Di saat itulah kulihat pemandangan yang sampai mati pun
tidak akan kulupakan." Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya. Sepasang
matanya nampak merembang berkaca-kaca. Karuan saja Karmila yang ingin buru-buru
mengetahui akhir cerita itu jadi agak kesal juga. Tapi, mau tidak mau rasa kesal
itu terpaksa ditahannya.
"Apa yang kau lihat, Rupangki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Kakang Waji menusukkan pedangnya ke perut Kakang Jalasa yang tengah terhuyung-
huyung. Dan kemudian menendang mayatnya ke dalam
jurang," ucap Rupangki terputus-putus. "Bahkan bukan hanya itu saja. Begitu
dilihatnya aku belum masuk ke jurang, dia pun lalu menghampiriku. Akhirnya,
tanpa peduli pada keselamatanku lagi, kuputuskan untuk melompat ke dalam jurang.
Dan... inilah akibatnya...."
"Jadi..., kiranya pemuda keparat itulah biang keladinya...! Awas kau, Waji! Akan
kucincang tubuhmu!" ancam Karmila. Keras dan kasar suaranya. Bahkan sepasang
mata gadis itu memancarkan sinar berkilat. Jelas kalau gadis berpakaian jingga
ini dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Tenangkan hatimu dulu, Karmila," ucap Dewa Arak memberi nasihat. "Yang penting,
kita harus menyembuhkan luka-luka Rupangki dulu.
Karena dialah satu-satunya saksi yang dapat menyelamatkan kita dari buruan
orang-orang persilatan golongan putih. Di samping itu juga..., untuk
membersihkan nama baik ayahmu."
Karmila langsung terdiam. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya kuat-kuat.
Dicobanya meredakan kemarahan yang bergolak.
Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebenarnya..., apa yang terjadi, Arya?"
tanya Rupangki ingin tahu. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak bertanya
kepada Karmila. Dia masih merasa tidak enak pada gadis berpakaian jingga itu
mengingat sikap yang tidak pantas dari kakak seperguruannya.
Dewa Arak pun menceritakan semua yang dialami Karmila.
"Ahhh...!" seru Rupangki terkejut begitu Arya menyelesaikan ceritanya. "Kalau
begitu, aku harus cepat-cepat ke Perguruan Pedang Ular."
"Untuk apa?" tanya Karmila.
"Untuk memberitahukan kejadian yang sebenarnya," sahut pemuda tinggi kurus itu
tandas. "Keterlaluan sekali, Kakang Waji.
Jangan khawatir, Nini. Aku akan membantumu menangkapnya!"
"Terima kasih, Rupangki," hanya itu yang diucapkan Karmila.
"Tapi, sebelum kita ke Perguruan Pedang Ular. Luka-lukamu harus disembuhkan
dulu, Rupangki, ucap Dewa Arak.
"Tapi... tidakkah hal itu jadi terlalu lama" Dan..., urusan Nini Karmila akan
semakin berlarut-larut." Rupangki mencoba membantah.
Dia kini telah mendapat kesempatan untuk menunjukkan perhatiannya pada gadis
berpakaian jingga yang telah menarik hatinya itu.
"Tidak mengapa, Rupangki," sahut Karmila cepat.
"Kalau begitu..., terserah kalian saja,"
ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu mengalah.
Dewa Arak bersyukur dalam hati melihat hal ini. Arya tahu kalau Rupangki
mempunyai perasaan lain terhadap Karmila. Bahkan berharap semoga saja gadis
berpakaian jingga itu akan membalas rasa simpati pemuda bertubuh tinggi kurus
itu. "Kalau begitu..., mari kita cari tempat yang layak untuk mengobati luka
Rupangki, Karmila," ajak Dewa Arak sambil memondong tubuh Rupangki.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah meninggalkan tempat itu. Mencari tempat untuk
mengobati luka-luka murid Perguruan Pedang Ular itu.
*** 4 Plak, plak, plak..!
Suara kelepak sayap kelelawar, mengusik keheningan malam sepi. Bulan bulat penuh
nampak di langit. Memang, malam ini adalah malam bulan purnama. Di bawah
keremangan sinar rembulan, nampak berkelebat sesosok tubuh berpakaian kuning.
Gerakannya cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan
kekuningan yang membelah keremangan malam.
Sosok berpakaian kuning itu terus melesat cepat. Menilik dari kecepatan
geraknya, bisa diperkirakan kalau sosok bayangan kuning ini memiliki kepandaian
tinggi. Kecepatan lari sosok bayangan kuning itu baru berkurang, ketika mulai mendekati
bangunan besar berhalaman luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar
tinggi dari kayu bulat.
"Hup!"
Tepat di depan pintu gerbang, bayangan kuning itu menghentikan larinya. Sekilas
sepasang matanya menatap sebuah papan tebal berukir yang terpampang di atas
pintu gerbang. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan berukir itu, Perguruan Golok
Maut. Perlahan sosok bayangan kuning itu mendekati pintu gerbang. Kemudian tangannya
diulurkan mengetuk.
Tok, tok, tok! Kelihatan perlahan saja, tangan sosok berpakaian kuning itu mengenai daun pintu
gerbang. Tapi akibatnya luar biasa! Terdengar suara keras, seolah-olah pintu
gerbang itu dipukul dengan sebuah balok besar.
Tentu saja suara berisik dari pintu gerbang itu membuat beberapa murid Perguruan
Golok Maut yang tengah bertugas jaga, berhamburan ke arah pintu gerbang.
"Sepertinya ada tamu yang datang," sahut salah seorang di antara mereka yang
berperut gendut.
"Buka pintu gerbang," perintah salah seorang yang berwajah hitam. Rupanya dialah
yang bertugas menjadi kepala jaga.
"Tapi, Kang Tarji," salah seorang yang bertubuh kecil kurus mencoba membantah.
"Bagaimana kalau orang yang baru datang, bermaksud tidak baik?"
"Aku yang bertanggung jawab!" tandas laki-laki berwajah hitam yang ternyata
bernama Tarji. Bukan karena kesombongan kepala jaga ini berkata begitu, tapi
karena keyakinannya kalau orang yang datang secara terang-terangan begitu, tidak
mungkin bermaksud jelek.
Murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil kurus, tidak membantah. Segera
saja dia beranjak ke pintu gerbang. Mengangkat palang pintu gerbang dan kemudian
menarik daun pintu-gerbang yang besar dan berat .
Kriiit..! Terdengar suara berderit tajam begitu pintu gerbang itu membuka.
"Ketua kalian ada?" tanya sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ah, kiranya Ki Gambala...!" seru murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil
kurus, begitu melihat orang yang berdiri di balik pintu gerbang itu. "Ada, Kek"
"Bisa mengantarku padanya?" tanya sosok berpakaian kuning yang ternyata Gambala
itu. "Ooo..., bisa. Bisa, Kek," sahut Tarji mendahului menjawab. "Mari kuantar."
Setelah berkata demikian, kepala jaga ini pun meninggalkan tempat itu. Sementara
murid yang bertubuh kecil kurus, kembali menutup pintu gerbang. Lalu bersama
rekan-rekan lainnya meneruskan penjagaan kembali.
Tarji membawa Ketua Perguruan Pedang Ular itu ke ruang semadi si Golok Emas.
Memang sejak kematian adik seperguruannya beberapa hari yang lalu, Ketua
Perguruan Golok Maut itu lebih suka mengurung diri di ruang semadinya.
Tok, tok, tok...!
Laki-laki berwajah hitam itu mengetuk pintu ruang semadi si Golok Emas. Ruangan
itu hanya kecil saja. Ukurannya paling banyak tiga kali tiga tombak.
"Siapa di luar?" tanya sebuah suara. Baik Tarji maupun Gambala mengenali siapa
pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ketua Perguruan Golok Maut, Si Golok
Emas! "Tarji, Guru," sahut laki-laki berwajah hitam itu cepat.
Hening sejenak. Tak terdengar sahutan setelah Tarji menjawab pertanyaan si Golok
Emas. "Apa keperluanmu, Tarji?" kembali terdengar suara Ketua Perguruan Golok Maut
itu. "Anu, Guru.., Ketua Perguruan Pedang Ular ingin bertemu Guru."
Sesaat kemudian, pintu ruangan itu pun terkuak. Dan dari balik daun pintu itu
muncul seraut wajah seorang kakek berjenggot putih panjang. Itulah Ketua
Perguruan Golok Maut
"Silakan masuk, Gambala," ucap si Golok Emas mempersilakan. Raut wajahnya
terlihat muram. Rupanya kakek berjenggot panjang ini masih terpukul dengan
kematian adik seperguruannya.
"Aku mohon diri dulu, Guru," ucap Tarji seraya menjura hormat. Dan segera
berlalu begitu. Ketua Perguruan Golok Maut itu menganggukkan kepalanya.
Gambala melangkah masuk. Dan setelah kakek bermata sayu itu telah berada di
dalam, si Golok Emas segera menutup pintu.
"Apakah keperiuanmu datang malam-malam begini, Gambala?" tanya Ketua Perguruan
Golok Maut itu begitu keduanya telah bersila. Nada suara kakek berjenggot
panjang ini terdengar datar.
"Kau tidak ingin membalaskan sakit hati adik seperguruanmu, Golok Emas?" kakek
bermata sayu itu balas bertanya. Langsung pada pokok persoalan. Sama sekali
tidak dipedulikannya pertanyaan Ketua Perguruan Golok Maut tadi.
Si Golok Emas menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" desak Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Lupakah kau, Gambala"!" sergah kakek berjenggot panjang itu. "Bukankah Kalapati
telah tewas"!"
"Kalapati memang benar telah tewas. Tapi tidakkah kau ingin membalaskan dendammu
pada putrinya"! Kau tahu putrinya itu tak kalah jahat ketimbang ayahnya!" sahut
Gambala bernada membakar.
"Sayang sekali, Gambala. Aku sama sekali tidak berminat..," jawab kakek
berjenggot panjang itu pelan.
"Hhh...!" Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghela napas berat.
"Mengapa tidak kau sendiri saja yang melenyapkan putri Kalapati itu, Gambala?"
tanya si Golok Emas bernada menyelidik.
"Ada orang kuat yang berdiri di belakangnya," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular
itu bernada keluhan.
"Dewa Arak, maksudmu?" tebak kakek berjenggot panjang itu.
Gambala menganggukkan kepalanya.
"Dia memang seorang pemuda yang luar biasa!" puji Ketua Perguruan Golok Maut itu
itu tulus. "Aku yakin, kalau Kalapati masih hidup..., belum tentu datuk sesat
itu mampu mengalahkannya...."
"Ya," Gambala menganggukkan kepalanya
"Sayangnya, pendekar itu telah terpikat pada kecantikan putri Kalapati. Dan
kini..., Dewa Arak akan jadi ancaman besar bagi dunia persilatan. Khususnya
untuk tokoh-tokoh golongan putih. Kalau tidak buru-buru dilenyapkan, bukan tidak
mungkin kelak akan membunuh kita semua...."
"Aku kira hal itu tidak mungkin terjadi, Gambala," bantah si Golok Emas.
"Menurut berita yang kudengar, Dewa Arak tidak pernah membunuh tokoh-tokoh
persilatan golongan putih yang mengeroyoknya. Bahkan melukai secara berat pun
tidak juga."
Seketika itu juga, wajah Ketua Perguruan Pedang Ular itu berubah merah padam.
"Mungkin sekarang tidak, Golok Emas.
Tapi..., nanti siapa tahu?" ucap Gambala dengan suara mengambang.
Si Golok Emas sama sekali tidak menyahuti ucapan kakek bermata sayu itu. Ketua
Perguruan Golok Maut itu hanya mengangkat bahu saja.
Setelah Gambala menghentikan ucapannya, suasana pun menjadi hening.
"Jadi..., kau tidak berniat melenyapkan iblis betina itu, Golok Emas?" tanya
Ketua Perguruan Pedang Ular itu meminta ketegasan.
"Ya," jawab kakek berjenggot panjang itu.
"Berita yang kudengar selama ini membuatku ragu akan kebenaran berita kalau Dewa
Arak tersesat. Mata hatiku yakin kalau pemuda itu berada di jalan yang benar."
Gambala sama sekali tidak menanggapi ucapan Ketua Perguruan Golok Maut itu.
"Kalau begitu..., aku permisi saja, Golok Emass!" ucap kakek bermata sayu itu
seraya bangkit berdiri.
"Ah...! Mengapa terburu-buru, Gambala,"
sahut kakek berjenggot panjang itu agak terkejut.
"Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan, Golok Emas."
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Pedang Ular segera melangkah keluar.
Si Golok Emas mengantarnya. Sesaat kemudian kedua ketua perguruan besar
beraliran putih ini sudah melangkah berdampingan tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Ketua Perguruan Golok Maut mengantar tamunya sampai keluar pintu gerbang
perguruannya. Kemudian setelah tamunya lenyap ditelan kegelapan malam,
diperintahkannya murid peronda untuk menutup pintu gerbang kembali.
*** Untuk kesekian kalinya sang surya kembali muncul di ufuk Timur. Sinarnya yang
lembut menyorot persada. Burung-burung bercicit riang menyambut terbitnya bola
api besar yang masih berwarna merah itu. Binatang-binatang pun tahu, telah tiba
saatnya bagi mereka untuk mencari makan.
Tiga sosok bayangan berkelebat cepat menuruni lereng Gunung Palanjar. Rata-rata
gerakan mereka cepat dan gesit bukan main.
Sehingga yang tampak hanyalah sekelebatan bayangan jingga, ungu, dan biru.
Dua di antara tiga bayangan itu berlari berdampingan. Sementara sosok yang
berwarna ungu, berlari di belakang mereka.
Tiga sosok tubuh yang sedang menuruni lereng Gunung Palanjar adalah Karmila,
Rupangki, dan Dewa Arak Berkat kemahiran Arya dan terutama sekali karena Karmila
mempunyai obat yang mujarab, Rupangki kembali sembuh seperti sediakala, setelah
beristirahat selama dua hari. Dan pagi ini, ketiga muda-mudi ini memutuskan
untuk pergi ke Perguruan Pedang Ular untuk memberi tahu hal yang sebenarnya.
"Aku turut berduka cita atas kematian ayahmu, Karmila," entah untuk yang ke
berapa kalinya kata-kata itu keluar dari mulut Rupangki. Memang pemuda bertubuh
tinggi kurus itu kurang bisa mencari bahan percakapan, padahal dia ingin sekali
selalu berdekatan dan berbincang-bincang dengan gadis berpakaian jingga yang
berwajah molek dan bertubuh ramping itu. Sehingga hanya ucapan itu saja yang
diulang-ulangnya.
Arya yang berlari di belakang, sengaja memberi kesempatan pada Rupangki
berbincang-bincang dengan Karmila, diam-diam tersenyum geli. Ucapan itu selalu
diulang-ulang oleh pemuda bertubuh tinggi kurus itu, setiap kali hendak mengajak
Karmila berbincang-bincang.
Sekuat tenaga ditahannya ledakan tawa yang hampir keluar dari mulutnya.
"Terima kasih, Rupangki," sahut Karmila sambil terus berlari. Gadis berpakaian
jingga ini tentu saja dapat merasakan kalau pemuda
bertubuh tinggi kurus itu mempunyai perhatian lain terhadapnya. Tapi bagaimana
dengan Dewa Arak yang dikaguminya" Seorang pemuda yang matang, bijaksana, dan
berani memegang prinsip meskipun harus berhadapan dengan apa pun!
Pemuda yang telah membuat rasa kagumnya semakin lama semakin bertambah!
Sehabis gadis berpakaian jingga itu menghentikan ucapannya, suasana pun kembali
hening. Kaki-kaki mereka terus bergerak. Tapi pikiran mereka melayang-layang
entah ke mana. Sementara di belakang kedua orang itu, Dewa Arak hanya memperhatikan saja. Rasa
geli dan kasihan melilit hari Arya begitu melihat Rupangki yang ingin sekali
berbincang-bincang dengan Karmila, tapi tidak mempunyai bahan percakapan.
Berkat pengalamannya menghadapi berbagai ragam tabiat manusia, Dewa Arak tahu
kalau gadis seperti Karmila haus akan kasih sayang dan perhatian. Gadis
berpakaian jingga itu adalah gadis yang manja dan biasa mendapat kasih sayang
dan pematian penuh dari ayahnya.
Dan kini setelah sang Ayah tiada, dengan sendirinya apa yang biasa didapatkan
kini tidak dapat diterimanya lagi. Saat ini Karmila pasti merindukan kasih
sayang dan perhatian seperti yang dulu diterimanya. Tapi tentu saja kini bukan
dari ayahnya lagi, tapi dari seorang laki-laki yang bukan ayahnya dan juga bukan
keluarga atau temannya.
"Untuk menaklukkan hati Karmila, berikan perhatian penuh kepadanya, Rupangki."
Rupangki terlonjak kaget begitu mendengar suara yang amat dikenal menggema di
telinganya. Saking kagetnya, langkah kaki pemuda ini sampai terhenti seketika.
Suara itu adalah suara Arya! Tanpa sadar pemuda bertubuh tinggi kurus itu menoleh ke
belakang. "Ada apa, Rupangki?" tanya Karmila seraya menghentikan larinya pula. Gadis
berpakaian jingga itu memang terkejut melihat pemuda tinggi kurus itu tiba-tiba
menghentikan larinya. "Apakah masih ada rasa sakit yang kau rasakan?"
"Ah..., eh... ti... tidak ada apa-apa,"
sahut Rupangki agak gugup. "Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Rupangki kembali melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau
Karmila pun melangkahkan kakinya pula. Gadis berpakaian jingga itu tahu kalau
ada sesuatu yang membuat Rupangki terkejut. Hanya sayangnya, pemuda bertubuh
tinggi kurus itu tidak mau berterus-terang.
"Tanyakanlah padanya tentang bunga kesenangannya..., pakaian kesukaannya...,
ilmu silatnya..., dan masih banyak lagi...."
Lagi-lagi suara Arya bergema di telinga pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
Seketika wajah Rupangki berseri-seri. Kini pikirannya telah terbuka. Dia sudah
mendapat bahan pembicaran untuk berbincang-bincang dengan gadis berwajah molek
dan bertubuh ramping yang telah menarik hatinya itu. Pemberitahuan Dewa Arak
telah membuka pikirannya. Diam-diam pemuda bertubuh tinggi kurus ini merasa
sangat berterima kasih sekali atas petunjuk pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rupangki segera mempraktekkan semua ajaran
Arya. Dan memang setelah itu pembicaraan pun menjadi berlangsung panjang. Pemuda
bertubuh tinggi kurus itu kini telah bisa mengembangkan bahan pembicaraan
sendiri. Sepanjang perjalanan
menuju Perguruan Pedang Ular, kedua orang itu terus terlibat pembicaraan.
Dewa Arak tak henti-hentinya memberi petunjuk pada Rupangki untuk bersikap
bagaimana terhadap Karmila. Bahkan atas anjuran pemuda berambut putih keperakan
itu pula, pada saat mereka beristirahat, pemuda bertubuh tinggi kurus itu
mencarikan bunga kesukaan Karmila. Dan memberikannya pada gadis berpakaian
jingga itu. Hampir-hampir Rupangki melompat girang dan memeluk Arya sebagai
tanda rasa terima kasih yang amat sangat, begitu dilihatnya Karmila menerima
bunga pemberiannya. Dan yang lebih membuat Rupangki lebih gembira adalah ketika
gadis pujaannya menerima bunga itu dengan senyum ceria.
*** Ketiga orang itu melakukan perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Pada keesokan
harinya, barulah tampak bangunan Perguruan Pedang Ular di kejauhan.
Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu dia Perguruan Pedang Ular, Karmila,"
ucap Rupangki memberitahu sambil menudingkan jari telunjuknya.
Karmila dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Mari kita bergegas ke sana," ajak pemuda tinggi kurus itu lagi sambil menarik
tangan Karmila. Memang, kini hubungan antara Rupangki dan gadis berpakaian
jingga itu sudah semakin akrab.
Karmila tidak banyak membantah. Meskipun begitu, ada segumpal rasa khawatir yang
mencekam hati gadis berpakaian jingga itu.
Rasa khawatir kalau murid-murid Perguruan Pedang Ular langsung menyerangnya.
Tapi, Karmila percaya penuh kalau Rupangki dapat menjelaskan permasalahannya. Dan
lagi..., bukankah ada Dewa Arak di situ"
Bukan hanya Karmila saja yang dilanda rasa khawatir. Dewa Arak pun dilanda
perasaan serupa. Tapi seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan itu mampu
menyembunyikan rasa cemasnya. Dia percaya penuh kalau Rupangki akan berundak
cepat begitu melihat gelagat yang tidak baik. Memang, selagi mereka melakukan
perjalanan kemari, pemuda tinggi kurus itu berjanji akan menjernihkan persoalan.
Apa yang dikhawatirkan Arya dan Karmila tepat sekali. Begitu murid-murid penjaga
pintu gerbang Perguruan Pedang Ular melihat kedatangan Karmila dan Dewa Arak,
mereka segera menghunus senjata masing-masing dan bersikap waspada. Sedangkan
salah seorang di antaranya segera berlari ke dalam, memberi tahu kedatangan
musuh-musuh mereka kepada Gambala.
Kedua murid penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Ular tidak segera dapat
mengenali Rupangki. Karena pemuda tinggi kurus itu kini sudah tidak mengenakan
seragam perguruan lagi. Pakaian seragam Perguruan Pedang Ular telah dibuangnya
karena telah kotor dan habis terkoyak-koyak. Yang segera langsung dikenali oleh
penjaga pintu gerbang itu adalah Dewa Arak dan Karmila yang memiliki ciri-ciri
menyolok. Baru setelah ketiga orang itu semakin dekat dengan pintu gerbang, murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang semuanya sudah bergerak keluar menjadi terkejut.
Mereka mengenali Rupangki yang menurut cerita Waji
telah tewas di tangan Kalapati. Dan tentu saja hal ini membuat mereka semua
terkejut. "Kakang Rupangki! Kaukah itu"!" seru salah seorang murid Perguruan Pedang Ular
kaget bercampur gembira.
"Ya. Aku Rupangki! Lupakah kalian semua"!"
sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu membenarkan.
"Rupangki! Apa yang kau lakukan ini"!"
tegur laki-laki bertubuh kekar berotot dan berambut kepang. Inilah salah seorang
dari empat murid kepala Perguruan Pedang Ular.
Setingkat dengan Waji. Nama orang ini adalah Jirin. "Bukankah kau telah tewas"!
Mengapa tiba-tiba kau datang, dan bersama musuh besar kita"!"
"Ceritanya panjang, Kakang Jirin. Tapi percayalah, kedua orang ini bukanlah
musuh. Kang. Bahkan sebaliknya..., merekalah yang telah menyelamatkan aku dari
kematian," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu memberi tahu.
"Omongan macam apa itu"!" sergah Jirin keras.
"Rupangki! Rupanya kedua orang itu telah menyihirmu! Sehingga kau tidak dapat
membedakan mana kawan dan mana lawan!"
"Percayalah, Kang Jirin. Kedua orang ini bukanlah musuh!" sambut Rupangki lagi
seraya terus melangkah maju. Tangan kirinya masih tetap menggenggam tangan kanan
Karmila. Dan dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu ikut melangkah ke
depan. Mau tidak mau Dewa Arak terpaksa ikut melangkah maju. Arya khawatir akan
terjadinya sesuatu yang sama sekati tidak diharapkan.
Dalam hatinya, pemuda ini menyesali sikap Rupangki yang tidak tahu gelagat
dengan terus melangkah maju. Padahal saudara-saudara
seperguruannya telah siap dengan senjata terhunus.
"Kau telah tidak waras lagi, Rupangki!"
bentak Jirin keras. "Serang...!"
Tentu saja murid-murid Perguruan Pedang Ular yang sejak tadi telah siaga dengan
senjata terhunus, segera menerjang Rupangki.
Tapi tentu saja serangan mereka ditujukan pada Karmila.
Rupangki terkejut bukan main mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu.
Apalagi yang menyerang bukan hanya seorang, melainkan belasan. Hujan senjata
kontan meluruk ke arah Karmila. "Kakang! Tahan...!"
Di saat-saat terakhir, Rupangki masih mencoba mencegah. Tapi sia-sia. Kakak
seperguruannya, dan juga rekan-rekannya sama sekali tidak mempedulikannya.
Mereka yakin kalau pemuda bertubuh tinggi kurus itu telah dipengaruhi oleh putri
Kalapati. Entah ilmu sihir atau ilmu apa, mereka tidak tahu.
Melihat saudara-saudara seperguruannya sama sekali tidak mempedulikan
teriakannya, Rupangki menjadi kalap. Secepat kilat pedangnya dicabut, dan
ditangkisnya serangan yang mengancam gadis ber pakaian jingga itu.
Berbarengan dengan itu, pegangangnya pada tangan Karmila dilepaskan. Dan begitu
tangannya terlepas, putri Kalapati itu segera melempar tubuhnya ke belakang dan
bergulingan menjauh.
Trang, trang...!
Suara berdentang nyaring segera terdengar begitu pedang Rupangki berbenturan
dengan senjata saudara-saudara seperguruannya. Tak pelak lagi, pemuda bertubuh
tinggi kurus itu pun terhuyung ke belakang. Dan di saat itulah,
hujan senjata meluruk ke arah Karmila yang tengah bergulingan. Melihat banyaknya
serangan yang menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian jingga itu, sudah bisa
diperkirakan kalau Karmila akan sulit lolos dari maut
"Karmila...!"
Rupangki menjerit melihat bahaya maut mengancam keselamatan gadis yang
dicintainya. Suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu melengking bercampur isak. Suara yang
keluar dari mulut seorang yang melihat kekasihnya terancam maut tanpa mampu
menolongnya, karena tubuh Rupangki sendiri tengah terhuyung-huyung.
Di saat-saat kritis bagi keselamatan Karmila, Dewa Arak segera melesat ke arah
putri Kalapati itu. Dan begitu tiba, pemuda berambut putih keperakan ini segera
memutar-mutarkan kedua tangannya.
Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang berputaran di depan dada itu, timbul
angin keras yang membuat murid-murid Perguruan Pedang Ular berpentalan seperti
dilanda angin topan.
Brukkk! Suara berdebukan keras segera terdengar begitu belasan sosok tubuh itu
berjatuhan di tanah. Senjata-senjata mereka telah berpentalan entah ke mana.
"Ah...!" Rupangki berseru kaget bercampur girang. Cepat laksana kilat pemuda
bertubuh tinggi kurus itu menghambur ke arah Karmila yang kini telah bangkit
dari bergulingnya.
Wajah gadis itu masih nampak pucat Jelas kalau tadi pun gadis berpakaian jingga
itu telah dilanda perasaan terkejut yang amat sangat.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya Rupangki terbata-bata. Sebenarnya bodoh
sekali pertanyaan itu. Sudah jelas kalau gadis itu sama sekali tidak apa-apa. Tapi
masih juga ditanyakan demikian. Ketegangan Rupangki yang masih tersisa, membuat
kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol lagi.
"Untung, Dewa Arak cepat bertindak," sahut Karmila bernada mendesah. Seketika
itu juga ada rasa rendah diri di hati Rupangki, mendengar ucapan itu. Mengapa
harus Dewa Arak yang menolong Karmila" Kenapa tidak dia saja"
Sesalnya dalam hati.
"Kau harus hati-hati, Rupangki," ucap Dewa Arak memberi nasihat "Rekan-rekanmu
kati ini tidak segan-segan untuk membunuhmu."
"Mengapa begitu, Arya?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak mengerti.
"Mungkin mereka mengira kalau kau sudah kami pengaruhi," jelas Arya.
"Ahhh...! Kiranya begitu...," sahut Rupangki mulai paham masalahnya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi karena murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang dirobohkannya telah bangkit kembali. Memang pemuda
berambut putih keperakan itu tadi hanya mengerahkan tenaga untuk melontarkan
mereka saja. Arya tidak bermaksud melukai mereka. Dewa Arak hanya ingin
menyelamatkan Karmila.
"Tahan...!"
Terdengar teriakan mencegah begitu murid-murid Perguruan Pedang Ular kembali
hendak menyerang. Serentak semua murid itu menghentikan gerakan dan memandang ke
arah asal teriakan itu. Tak terkecuali juga Dewa Arak, Karmila, dan Rupangki.
Dari dalam pintu gerbang, melangkah dengan sikap gagah seorang kakek bermata
sayu. "Guru...," seru semua murid Perguruan Pedang Ular sambil memberi hormat. Tak
terkecuali Rupangki.
"Gambala...," desis Dewa Arak yang segera mengenali kakek itu.
Orang yang baru datang memang Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular. Dengan
tatapan sayu, dipandangnya sekeliling tempat itu. Dan terakhir ke arah Dewa
Arak, Karmila, dan Rupangki.
"Guru...," ucap Rupangki begitu melihat sorot mata Ketua Perguruan Pedang Ular
tertuju padanya.
"Kemarilah, Rupangki," ucap Gambala sambil melambaikan tangannya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu segera menghampiri gurunya. Tapi baru saja satu
tindak kakinya melangkah, sebuah tangan telah menangkap pergelangan tangannya.
"Tunggu dulu, Rupangki," cegah sang pemilik tangan yang ternyata adalah Dewa
Arak. "Mengapa, Arya?" tanya pemuda tinggi kurus itu dengan alis berkerut. Hatinya
menjadi heran melihat pemuda berambut putih keperakan itu mencegah tindakannya.
"Aku hendak menemui guruku."
"Untuk apa, Rupangki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Menjelaskan kesalahpahaman ini." "Dari sini saja, Rupangki!" tandas Dewa Arak
tegas. "Tapi...," Rupangki masih mencoba membantah.
"Kau ingin berpisah dengan Karmila, Rupangki?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu menggertak. Sementara Gambala memperhatikan saja ribut mulut yang
terjadi di depannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu
masih dengan alis berkerut. "Kau tidak ingat peristiwa yang baru saja terjadi?"
ucap Dewa Arak bernada mengingatkan. "Asal kau tahu saja, Rupangki.
Kau sama sekali tidak dipercaya! Kau dianggap berada dalam pengaruh sihir! Jadi,
begitu kau mendekati gurumu, kau akan dibuat pingsan.
Dan..., kami berdua akan dikeroyok kembali, jelas Dewa Arak panjang lebar.
"Jadi, bagaimana aku harus menjelaskan kesalah pahaman ini?" tanya pemuda
bertubuh tinggi kurus itu lagi. Nada suaranya terdengar putus asa.
"Dari sini saja, Rupangki!" sahut Dewa Arak tegas. "Cepat kau ceritakan semuanya
dengan jelas. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka mengerti dan sadar...."
Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menyadari kebenaran ucapan Arya. Dan kembali
rasa kagumnya semakin bertambah. Dewa Arak meskipun masih muda tapi memiliki
wawasan berpikir yang demikian luas.
"Kau mengerti, Rupangki?" tanya Dewa Arak begitu melihat pemuda bertubuh tinggi
kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut Rupangki singkat.
"Kau bisa menjelaskan semuanya dari sini?"
tanya Dewa Arak lagi.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
menganggukkan kepalanya.
Dewa Arak memandang ke sekelilingnya begitu melihat kesediaan Rupangki.
Dilihatnya Gambala dan murid-murid Perguruan Pedang Ular, masih berdiri terpaku.
Rupanya mereka ingin mendengar apa yang ingin dikatakan Rupangki.
"Kalian semua dengarkan!" teriak Arya seraya mengerahkan tenaga dalam. Suaranya
menggema sampai ke tempat yang jauh.
Seketika itu juga suasana menjadi hening.
Suara yang keluar dari mulut Dewa Arak benar-benar membuat mereka terpaku kaku.
Tak terkecuali Gambala.
*** 5 "Guru..., dan juga saudara-saudaraku semua...!" ucap Rupangki memulai
keterangan. Pandangannya diedarkan berkeliling. Menatap satu persatu wajah murid-murid
Perguruan Pedang Ular. "Beberapa hari yang lalu..., Kakang Waji mengajak Kakang
Jalasa dan aku mencari tempat penyepian Kalapati...."
Rupangki menghentikan ceritanya sejenak begitu mendengar seruan-seruan kaget
dari mulut beberapa murid Perguruan Pedang Ular.
Cerita yang didengar dari mulut Rupangki berbeda dengan yang mereka denngar dari
Waji. Hanya Gambala seorang yang tidak terlihat terkejut. Alis kakek bermata sayu ini
berkernyit dalam, pertanda sedang berpikir keras. Mana cerita di antara kedua
muridnya itu yang benar" pikir kakek ini bingung.
Akhirnya diputuskan untuk mendengarkan cerita Rupangki lebih lanjut.
"Semula aku dan Kakang Jalasa keberatan.
Tapi karena Kakang Waji mengatakan kalau maksudnya hanya untuk sekadar
berbincang-bincang dengan datuk itu, kami akhirnya mengalah. Kami pun ikut
mencari tempat penyepian Kalapati."
Pemuda bertubuh tinggi kurus Ini
menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.
Kembali pandangannya diedarkan berkeliling.
Dilihatnya wajah guru dan rekan-rekannya nampak serius mendengar penjelasannya.
Dan dengan sendirinya, Rupangki semakin bersemangat melanjutkan ceritanya.
"Di hari pertama, kami tidak berhasil.
Lalu kami kembali ke perguruan. Hari kedua, begitu pula. Baru pada hari ketiga,
kami bertemu dengan seorang gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih ilmu
'Totokan Penghancur Tulang'. Dan itulah awal kami menemukan tempat penyepian
Kalapati. Tempat itu begitu tersembunyi. Kalau saja tidak mendengar teriakan-
teriakan gadis itu, tentu kami tidak berhasil menemukan tempat Kalapati."
Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya.
Sementara kerut-kerut di dahi Gambala dan beberapa orang murid Perguruan Pedang
Ular semakin banyak terlihat. Cerita yang mereka dengar dari mulut Rupangki
jelas-jelas berbeda dengan apa yang diceritakan Waji.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
melanjutkan ceritanya kembali hingga selesai.
Semua kejadian diceritakannya dengan gamblang.
Tak ada satu pun yang ditutup tutupinya.
"Begitulah semua kejadiannya, Guru," ucap Rupangki menutup ceritanya. "Jadi,
tidak benar kalau Kalapati dan putrinya yang membunuh Kakang Jalasa dan aku."
"Hhh...!"
Setelah tercenung beberapa saat lamanya akhirnya Gambala menghela napas berat.
Sambil mendengarkan cerita, kakek bermata sayu ini sibuk membandingkan cerita
yang didengar dari kedua muridnya.
Baru dirasakan adanya kejanggalan pada cerita Waji. Kejanggalan yang baru kini
disadarinya. Dari mana Waji tahu tempat tinggal Kalapati, sewaktu mengantarkan
dirinya, adik seperguruannya, dan juga kedua ketua Perguruan Golok Maut" Kini,
dari cerita Rupangki, kakek bermata sayu itu mengerti kalau Waji pernah ke sana
sebelumnya! Rupangki menunggu dengan perasaan tegang.
Jantungnya berdetak keras, melihat Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghela
napas dan tercenung kembali. Memang Gambala tengah berpikir keras. Benaknya
sibuk mengingat-ingat semua kata-kata dan kejadian yang telah terjadi, berkenaan
dengan peristiwa Kalapati.
Dan semakin benaknya mengingat-ingat, semakin ditemukan kejanggalan cerita Waji.
Kalau saja dulu dia tidak terlalu dikuasai amarah, mungkin dapat melihat
kejanggalan-kejanggalan ini. Sikap Kalapati dalam pertempuran tempo hari, jelas-
jelas mengalah.
Padahal dalam cerita Waji dikatakan kalau Kalapati telah menantangnya.
"Jadi, Waji telah menipuku...," desah Ketua Perguruan Pedang Ular pelan.
"Tapi..., untuk apa dia melakukan semua ini?"
Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati tempat Karmila, Dewa Arak, dan Rupangki
berdiri. Gadis berpakaian jingga itu segera memasang sikap waspada. Tapi, Dewa
Arak dan Rupangki sama sekali tidak bersikap demikian.
Tentu saja kedua pemuda itu mempunyai alasan yang berbeda.
Rupangki tidak bersikap waspada, karena yakin kalau gurunya tidak akan
mencelakakan dirinya. Di samping itu kurang pantas rasanya kalau dia mencurigai
Gambala. Sedangkan Dewa Arak sama sekali tidak menaruh curiga. Pemuda berambut putih
Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keperakan itu yakin kalau Ketua Perguruan Pedang Ular telah sadar dari
kekeliruannya. *** Gambala menghentikan langkahnya tepat di depan Karmila. Kemudian tangannya
diulurkan ke arah gadis berpakaian jingga itu.
"Aku minta maaf, Nini," ucap kakek bermata sayu itu. Nada suaranya menyiratkan
penyesalan yang mendalam. "Aku mengaku salah.... Dan tidak akan melawan
seandainya kau berniat membalaskan dendam ayahmu."
Mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya ini, Karmila kebingungan. Kalau
menuruti perasaan hatinya, gadis itu ingin membalaskan kematian ayahnya. Kedua
tangannya sudah mengejang. Tapi, putri Kalapati itu teringat pesan mendiang
ayahnya. Maka ditekannya keinginan untuk membalas dendam itu.
Karena perasaan bingung yang melanda, wajahnya ditolehkan ke arah Dewa Arak.
Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu penuh
permohonan. Dewa Arak menggeleng pelan.
Pertanda melarang Karmila membalas sakit hatinya.
Masih tidak puas dengan jawaban yang diperolehnya dari Dewa Arak, Karmila pun
mengalihkan pandangannya pada Rupangki. Tapi seperti juga Dewa Arak. Pemuda
bertubuh tinggi kurus ini menggeleng kan kepalanya.
Keyakinan hati Karmila bertambah. Pesan ayahnya dan gelengan kepala Dewa Arak
dan Rupangki telah memperkuat keinginan untuk
melupakan dendamnya. Lagi pula, kakek bermata sayu itu sama sekali tidak
bersalah. Ketua Perguruan Pedang Ular termakan hasutan muridnya yang culas,
Waji. "Aku sama sekali tidak memendam dendam pada mu, Kek," ucap gadis berpakaian
Jingga itu lirih. "Ayah melarang aku membalaskan dendam kematiannya. Tapi selama
aku yakin kalau ayahku tidak bersalah... aku akan tetap membalaskan dendamnya.
Tapi.... Tidak padamu, Kek! Kau tidak bersalah!"
Gambala hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam hari kakek ini terharu
melihat kebesaran jiwa gadis berpakaian jingga itu.
"Aku harap Kakek tidak menghalangi niatku untuk membalas dendam pada orang yang
memang benar-benar bersalah atas kematian ayahku,"
sambung Karmila tegas.
"Maksudmu pada Waji, Nini?" tanya Gambala meminta kepastian "Benar, Kek!"
"He he he...!" Gambala tertawa pelan, lenyap sudah rasa haru di hatinya. Ucapan
Karmila membuat nya geli. "Kau terlalu berprasangka, Nini. Kau tahu, bukan hanya
kau saja yang ingin membunuh murid murtad itu!"
"Jadi, Kakek..?"
"Ya!" sahut Ketua Perguruan Pedang Ular cepat.
"Aku pun ingin menghukum murid murtad itu!"
"Mengapa, Kek?" tanya Karmila tak mengerti.
"Mengapa"!" ulang Gambala dengan alis berkerut. "Murid murtad itu telah
menyebabkan kericuhan yang amat besar! Bukan hanya di perguruanku saja, tapi
Juga di dunia persilatan!"
Ketua Perguruan Pedang Ular itu
menghentikan sebentar ucapannya untuk mengambil napas. Ucapan yang
dikeluarkannya terlalu berapi-api sehingga membuat napasnya memburu.
"Dan bukan hanya itu saja!" sambung Gambala lagi. "Dia pun telah merusak nama
baik orang lain! Nama baik ayahmu, dan juga nama baik seorang pendekar tenar
berjiwa besar seperti Dewa Arak! Perbuatannya sudah tidak bisa diampuni lagi!
Waji harus mati!"
Setelah berkata demikian, kakek bermata sayu itu lalu mendekati Arya. Kemudian
setelah berada di depan pemuda berambut putih keperakan itu tangannya diulurkan.
"Aku minta maaf atas semua ucapan tidak pantas yang telah kutuduhkan padamu,
Dewa Arak Ternyata kau benar. Ahhh...! Berapa kerdilnya pemikiranku, sehingga
tidak bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah," ucap kakek bermata
sayu itu menyesali dirinya.
Arya buru-buru menyambut uluran tangan Ketua Perguruan Pedang Ular, lalu
menggenggamnya erat-erat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kek,"
sahut Dewa Arak bijaksana. "Semua ini hanya kesalahpahaman belaka."
"Kau memang berhati mulia, Dewa Arak.
Semua berita yang kudengar tentang dirimu ternyata benar. Ahhh...! Dasar aku
saja yang bodoh. Padahal sahabat ku, si Golok Emas, telah tahu kalau kau berada
di jalan yang benar. Mataku memang buta! Semakin tua, bukannya semakin arif,
tapi malah semakin memperbesar emosi."
"Kakek terlalu menyalahkan diri sendiri, seandainya aku menjadi Kakek, mungkin
aku akan bertindak seperti yang Kakek lakukan," sambut
Dewa Arak merendah. Setidak-tidaknya sekadar untuk menghilangkan rasa risihnya
mendapat pujian bertubi-tubi dari Ketua Perguruan Pedang Ular.
Begitu Dewa Arak menyelesaikan kata-katanya, seketika suasana menjadi hening.
"Tapi..., untuk apa sebenarnya Kakang Waji melakukan semua ini, Guru?" tanya
Rupangki, memecahkan keheningan.
"Hhh...!" Gambala menghela napas berat.
"Aku sendiri tidak mengerti, Rupangki."
"Kalau kulihat..., sepertinya Kakang Waji memendam dendam yang amat besar pada
Kalapati, Guru," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu lagi.
Ketua Perguruan Pedang Ular itu
mengerutkan alisnya.
"Entahlah...! Aku tidak tahu, Rupangki,"
sahut Ketua Perguruan Pedang Ular sambil mengangkat bahu. "Sekarang..., yang
paling penting adalah mencari di mana murid murtad itu! Kau bisa mengira-ngira
di mana adanya dia, Rupangki?"
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
menggelengkan kepalanya.
"Jadi..., Waji tidak pernah kembali ke perguruan, Kek?" tanya Dewa Arak agak
bingung. "Tidak, Dewa Arak," sahut kakek bermata sayu itu sambil menggelengkan kepalanya.
"Entah ke mana perginya murid murtad itu."
"Apakah kau tidak tahu tempat yang biasa dikunjungi Waji, Kek?" tanya pemuda
berambut putih keperakan itu lagi.
Gambala hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau barangkali tahu, Rupangki?" kembali Dewa Arak bertanya. Tapi kali ini
ditujukan pada pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menyambut pertanyaan pemuda berambut putih
keperakan itu. "Guru...," tiba-tiba salah seorang murid Perguruan Pedang Ular berucap pelan,
Pedang Pusaka Buntung 5 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Jaka Lola 5
terasa lumpuh seketika begitu tombaknya berbenturan dengan tangan kiri Dewa
Arak. Belum lagi laki-laki itu sadar dari keterkejutannya, Dewa Arak telah
menggertakkan tombak yang tadi telah dicengkeramnya.
"Ah...!"
Tanpa sadar laki-laki gagah bertombak pendek itu memekik tertahan, begitu
tubuhnya melayang tinggi ke udara.
Brukkk! Suara berdebuk keras terdengar begitu tubuh laki-laki itu terbanting keras di
tanah, lalu menggeliat-geliat kesakitan di tanah.
Selesai membereskan pengeroyoknya, Dewa Arak
segera melompat ke arah Karmila yang masih sibuk menghadapi hujan senjata lawan.
Dan begitu pemuda berambut putih keperakan itu turun tangan, dalam beberapa
gebrakan saja pengeroyok gadis berpakaian jingga itu kocar-
kacir tak tentu arah. Pekik-pekik kesakitan diiringi dengan berpentalannya
tubuh-tubuh, segera terdengar susul-menyusul.
Dewa Arak memandangi sosok-sosok tubuh yang bergeletakan di tanah sejenak.
Kemudian pandangannya dialihkan pada Karmila.
"Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Karmila," ajak Arya.
Tanpa berkata apa-apa, Karmila segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Mengikuti Dewa Arak yang telah berjalan lebih dulu.
*** Akhirnya, setelah melalui berbagai hambatan dan gangguan di perjalanan, kedua
muda-mudi itu tiba di kaki Gunung Palanjar.
Dewa Arak sama sekali tidak tahu kalau Melati telah tiba di sini lebih dulu, dan
hampir celaka di tangan Dewi Pencabut Nyawa.
Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
Diam-diam ada rasa kecut di hatinya, tatkala membayangkan kalau seandainya dia
gagal menyingkap rahasia terbunuhnya dua orang murid Perguruan Pedang Ular.
Seumur hidupnya Dewa Arak akan dikejar-kejar dan diburu oleh tokoh-tokoh
persilatan golongan putih. Dia akan dianggap mencemarkan nama pendekar.
Tapi Dewa Arak tidak bisa termenung lebih lama lagi karena Karmila telah
bergerak mendaki lereng. Tubuh gadis itu melesat cepat ke atas. Sesekali kakinya
memijak batu-batu yang menonjol, sebagai landasan untuk melompat. Sesaat
kemudian tubuhnya melenring ke atas. Dan begitu seterusnya.
Arya segera bergerak mengikuti. Sengaja pemuda berambut putih keperakan itu
tidak mengerahkah seluruh ilmu meringankan tubuhnya agar tetap berada di belakang
gadis itu. Cukup lama juga Dewa Arak mendaki lereng Gunung Palanjar. Melesat ke sana
kemari. Menotong sana-sini. Sampai akhirnya pemuda berambut putih keperakan itu terpaksa
menghentikan larinya begitu melihat Karmila berdiri termenung. Arya bergegas
menghampiri. "Ada apa, Karmila?" tanya Dewa Arak lembut. "Ah... aku..., aku lupa jalannya,
Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu gugup. Menilik dari raut wajahnya yang
merah padam. Jelas kalau gadis ini merasa malu. Maka Dewa Arak tidak
mendesaknya. "Sudahlah, Karmila. Tidak usah kau pikirkan. Adalah suatu hal yang wajar,
apabila seseorang lupa," sahut pemuda berambut putih keperakan itu bernada
menghibur. "Tapi, mana bisa aku lupa, Arya. Aku telah tinggal di sini selama belasan tahun.
Dan aku tahu betul jalannya. Aku yakin kalau telah menempuh jalan yang benar.
Tapi..., rasanya jalan ini tidak pernah ada sebelumnya," bantah Karmila tidak
mau dianggap lupa.
"Aku belum paham maksudmu, Karmila?"
sambut Arya yang merasa bingung mendengar ucapan gadis berpakalan jingga itu.
"Jalan ini tidak pernah ada
sebelumnya...," sambut Karmila setengah bergumam.
Mendengar ucapan gadis itu, Dewa Arak jadi penasaran. Bergegas dihampirinya
tempat yang membuat gadis itu bingung. Kemudian diperiksanya.
"Kau benar, Karmila," ucap Dewa Arak setelah memeriksanya beberapa saat. "Ada
perubahan yang terjadi di sekitar tempat ini.
Mungkin karena tanahnya longsor..., atau terjadi pergeseran tanah di sini."
"Lalu, kalau begitu... bagaimana, Arya?"
tanya Karmila meminta pendapat pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak tercenung sejenak. Jelas tampak kalau Arya tengah berpikir.
"Lebih baik kita kembali dulu, Karmila,"
usul Arya. "Dan nanti kalau kita sampai di tempat yang kau kenali, kita ambil
jalan memutar saja. Bukankah ada jalan lain menuju tempat tinggal ayahmu?" tanya
Dewa Arak meminta kepastian.
Karmila menganggukkan kepalanya. "Tapi..., kita akan menempuh jalan yang agak
jauh, Arya," sahut gadis berpakaian jingga itu bernada ragu-ragu.
"Tidak mengapa, Karmila," sambut Dewa Arak cepat "Yang penting..., masalah ini
akan cepat Karmila tidak bisa membantah lagi. Gadis itu bergegas menuruni
lereng. Sementara Dewa Arak mengikuti di belakang. Kini keduanya menuju bekas
tempat tinggal Kalapati melalui jalan memutar.
Dewa Arak baru menyadari alasan Karmila segan melalui jalan memutar. Jalan ini
terlalu sulit untuk dilalui. Jalan-jalannya licin, bahkan kadang-kadang harus
menembus rerimbunan semak-semak berduri yang lebat. Dan masih banyak lagi
kesulitan yang mereka alami.
"Hup!"
Karmila melompat lalu hinggap di atas sebongkah batu besar. Tapi baru saja
hendak melompat lagi pendengarannya yang tajam mendengar adanya suara rintihan
samar-samar. Tentu saja hal ini membuat gadis berpakaian jingga itu menghentikan gerakannya.
Dan segera dicarinya asal rintihan lirih itu.
"Hup!"
Indah dan manis sekali tubuh Dewa Arak melompat. Sesaat kemudian, kedua kakinya
telah mendarat tanpa suara di sebelah Karmila.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambaut putih keperakan itu. Arya sudah
merasa curiga begitu melihat gadis berpakaian jingga itu menghentikan
gerakannya. Apalagi ketika melihat Karmila seolah-olah tengah mencari-cari
sesuatu. "Entahlah, Arya," sahut Karmila dengan suara mengambang. "Tadi sepertinya aku
mendengar suara orang merintih. Tapi...."
Dewa Arak mengerutkan alisnya. "Apakah kau yakin, Karmila" Tidakkah suara itu
tercipta karena khayalanmu sendiri?" tanya Arya meminta kepastian.
"Aku tidak tahu," jawab gadis berpakaian jingga itu sambil mengangkat bahu.
"Tapi, suara itu sepertinya benar-benar nyata. Bukan khayalan...."
"Kalau begitu... kita harus menyelidiki tempat ini," ucap Dewa Arak memutuskan.
"Aku yakin kalau apa yang kau dengar itu benar...
orang itu pasti tidak jauh dari sini."
"Tapi, Arya...," bantah Karmila ragu. "Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut
putih keperakan itu. Nada suaranya masih tetap sabar.
"Bagaimana kalau suara yang kudengar itu hanya khayalanku saja, Arya" Bukankah
itu berarti... perjalanan kita akan semaian terhambat?"
Dewa Arak hanya tersenyum sabar. Dia tahu kalau ucapan yang tadi akan
dilanjutkan oleh Karmila, bukan itu. Kalimat yang akan dilanjutkan Karmila sudah
bisa diduganya. Apa lagi kalau bukan merasa merepotkan dirinya"
Memang, setelah melakukan perjalanan bersama beberapa lama, pemuda berambut
putih keperakan itu sudah bisa menebak sifat Karmila. Gadis itu memiliki sifat
tak mau merepotkan orang!
"Tidak apa-apa, Karmila! Sebaliknya, kalau ternyata suara itu memang benar ada,
lalu kita melewatkannya. Bukankah itu berarti kita telah menyia-nyiakan orang
yang berniat meminta pertolongan?" hibur Dewa Arak sebisa-bisanya.
"Tapi..."
"Sudahlah, Karmila," potong Arya cepat.
"Mari kita cari asal suara rintihan itu."
Setelah berkata dmikian, pemuda berambut putih keperakan itu segera mengedarkan
pandangannya berkeliling.
Dan selagi Dewa Arak sibuk mencari-cari, terdengar suara rintihan lemah tadi.
Kali ini bukan hanya Karmila saja yang mendengar, tapi juga Dewa Arak. "Nah,
itulah rintihan yang tadi kudengar, Arya," seru gadis berpakaian jingga itu
sambil menoleh ke arah asal suara.
Hanya anggukan kepala pemuda berambut putih keperakan saja yang menjawab ucapan
Karmila. Arya sendiri sudah sibuk mengalihkan perhatian ke arah suara itu.
"Hih...!"
Mendadak Dewa Arak melompat dari batu besar tempatnya berdiri. Seketika itu juga
tubuhnya melayang ke bawah.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di tanah. Cepat pemuda berambut putih
keperakan menoleh ke sana kemari. Dan belum lagi Arya menemukan pemilik suara
rintihan itu, Karmila telah mendarat di sebelahnya.
Sama seperti Dewa Arak, Karmila pun langsung mengawasi sekelilingnya begitu tiba
di tanah. "Aaah...!"
Rintihan memilukan itu kembali terdengar.
Kali ini suara lebih jelas dari sebelumnya.
Jelas kalau kedua muda-mudi itu semakin dekat dengan asal suara rintihan itu.
"Suara rintihan itu berasal dari bawah sana," ucap Dewa Arak seraya menunjuk ke
arah bawah. Memang Arya dan Karmila berada di tempat yang agak tinggi. Tanah di
depan kedua muda-mudi itu menurun agak curam. Dan di bawah sana terhampar
rerimbunan semak-semak dan pohon-pohon yang cukup lebat.
"Benar, Arya," dukung gadis berpakaian jingga itu Kepala gadis itu mengangguk
pelan. Setelah yakin akan kebenaran dugaannya, Dewa Arak dan Karmila kemudian bergerak
menuju ke sana. Dan semakin mereka mendekat, suara rintihan itu semakin jelas
terdengar. "Itu dia...!"
Karmila berseru keras saking gembiranya.
Tangan kanannya menuding ke satu arah. Dewa Arak mengikuti arah telunjuk gadis
berpakaian jingga itu.
Sekitar tiga tombak dari tempat mereka berdiri, tergolek sesosok tubuh
berpakaian kuning. Sekujur tubuhnya penuh luka-luka.
Darah yang telah mengering nampak di sekujur tubuhnya.
Bergegas Dewa Arak dan Karmila menghampiri sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ihhh...!"
Terdengar seruan kaget dari mulut Karmila ketika melihat wajah sosok tubuh
berpakaian kuning itu. Dewa Arak sampai terjingkat saking kagetnya.
"Ada apa, Karmila?" tanya pemuda berambut putih keperakan begitu melihat
keterkejutan gadis berpakaian Jingga itu.
"Dia... dia salah seorang dari tiga murid Perguruan Pedang Ular yang kuceritakan
itu, Arya," jawab karmila memberi tahu.
"Jadi, inikah orang yang katanya telah terbunuh oleh ayahmu itu?" Dewa Arak
balas bertanya. Dahi pemuda berambut putih keperakan berkerut. Jelas ada sesuatu
yang tengah dipikirkannya.
"Ya," sahut Karmila singkat.
Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ditatapnya sekujur tubuh yang tergolek itu penuh perhatian. Sosok tubuh itu
ternyata adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus dan bermata sipit. Dan
memang apa yang dikatakan Karmila benar. Sosok tubuh yang tergolek itu adalah
Rupangki. Salah seorang murid utama Perguruan Pedang Ular.
Beberapa saat lamanya, Dewa Arak meneliti pemuda berpakaian serba kuning yang
tergolek di hadapannya. Baru setelah itu, tubuhnya dibungkukkan untuk memeriksa
luka-luka di sekujur tubuh pemuda itu.
Ternyata hampir tidak ada luka yang terjadi akibat pukulan tenaga dalam. Darah
kering yang menempel di sekujur tubuhnya, jelas bukan karena terkena senjata
tajam. Tapi jelas karena tersayat duri atau ranting pohon.
Sebagian besar hanya lecet-lecet. Hanya saja sambungan kedua tulang lututnya
lepas. Begitu pula dengan sambungan sikut tangan kirinya.
Melihat keadaan yang dideritanya, tidak aneh kalau Rupangki hanya dapat tergolek
tanpa daya. Tubuh pemuda itu yang memang sudah kurus, kini hanya tinggal tulang dan kulit.
Rupanya, Rupangki sudah cukup lama berada di tempat ini. Pemuda bertubuh tinggi
kurus itu hanya makan seadanya. Kalau saja Karmila tidak
melihat lambang pedang terhunus terlilit seekor ular, tentu sudah tidak
mengenalinya lagi.
"Benar, kau murid Perguruan Pedang Ular?"
tanya Dewa Arak seraya menatap tajam wajah Rupangki.
"Benar," sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu sambil menganggukkan kepalanya.
"Kalau boleh kutahu, siapakah namamu, Kisanak?"
"Rupangki," sahut pemuda tinggi kurus itu pelan.
Dewa Arak hanya manggut-manggut
"Dan..., kau sendiri siapa, Kisanak?"
tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu pula.
"Panggillah aku Arya," sahut Dewa Arak memperkenalkan diri. "Apakah kau yang
mengunjungi tempat kediaman Kalapati?"
"Ya. Kami bertiga memang mengunjungi tempat kediaman Kalapati. Tapi semua itu
adalah keinginan Kakang Waji. Aku dan Kakang Jalasa hanya ikut saja."
"Lalu, ke mana perginya teman-temanmu yang lain?" desak pemuda berambut putih
keperakan itu lebih jauh. Berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Jalasa telah tewas...."
"Tewas"! Lalu... bagaimana dengan Waji?"
Arya berpura-pura tidak tahu.
"Kakang Waji"!" Ada kegeraman terkandung dalam suara pemuda bertubuh tinggi
kurus itu. "Justru keparat Waji itulah yang telah melakukan semua ini!"
"Maksudmu bagaimana, Rupangki" Aku belum mengerti," tanya Dewa Arak lagi,
sebenarnya Arya yang cerdik ini sudah bisa menduganya.
Rupangki menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
"Mulanya kami mengira Kakang Waji cukup parah... sehingga aku bersama Kakang
Jalasa memapahnya," ucap pemuda bertubuh tinggi itu memulai ceritanya seraya
menatap wajah Karmila. Gadis yang telah memikat hatinya sejak pertemuan pertama
mereka. Hanya saja Rupangki terhitung pemuda yang kurang bisa bercakap-cakap dan
lebih su!ka memendam perasaannya di hati.
"Hm...," Dewa Arak hanya bergumam tak jelas. Sementara Karmila mendengarkan
semua cerita Rupangki dengan jantung berdebar tegang.
"Sungguh sama sekali tidak kami sangka..., begitu tiba di sebuah lereng terjal,
Kakang Waji berontak. Kuat sekali rontaannya, sehingga aku yang sama sekali
tidak menduga apa-apa, terpental bergulingan."
Kembali pemuda tinggi kurus itu
menghentikan ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam, mungkin untuk melonggarkan
dadanya yang terasa sesak begitu mengingat semua kejadian yang dialaminya.
"Aku terpental deras ke arah jurang. Tapi untunglah kedua tanganku sempat
menggapai bibir jurang. Di saat itulah kulihat pemandangan yang sampai mati pun
tidak akan kulupakan." Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya. Sepasang
matanya nampak merembang berkaca-kaca. Karuan saja Karmila yang ingin buru-buru
mengetahui akhir cerita itu jadi agak kesal juga. Tapi, mau tidak mau rasa kesal
itu terpaksa ditahannya.
"Apa yang kau lihat, Rupangki?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Kakang Waji menusukkan pedangnya ke perut Kakang Jalasa yang tengah terhuyung-
huyung. Dan kemudian menendang mayatnya ke dalam
jurang," ucap Rupangki terputus-putus. "Bahkan bukan hanya itu saja. Begitu
dilihatnya aku belum masuk ke jurang, dia pun lalu menghampiriku. Akhirnya,
tanpa peduli pada keselamatanku lagi, kuputuskan untuk melompat ke dalam jurang.
Dan... inilah akibatnya...."
"Jadi..., kiranya pemuda keparat itulah biang keladinya...! Awas kau, Waji! Akan
kucincang tubuhmu!" ancam Karmila. Keras dan kasar suaranya. Bahkan sepasang
mata gadis itu memancarkan sinar berkilat. Jelas kalau gadis berpakaian jingga
ini dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Tenangkan hatimu dulu, Karmila," ucap Dewa Arak memberi nasihat. "Yang penting,
kita harus menyembuhkan luka-luka Rupangki dulu.
Karena dialah satu-satunya saksi yang dapat menyelamatkan kita dari buruan
orang-orang persilatan golongan putih. Di samping itu juga..., untuk
membersihkan nama baik ayahmu."
Karmila langsung terdiam. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan
mengembuskannya kuat-kuat.
Dicobanya meredakan kemarahan yang bergolak.
Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebenarnya..., apa yang terjadi, Arya?"
tanya Rupangki ingin tahu. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak bertanya
kepada Karmila. Dia masih merasa tidak enak pada gadis berpakaian jingga itu
mengingat sikap yang tidak pantas dari kakak seperguruannya.
Dewa Arak pun menceritakan semua yang dialami Karmila.
"Ahhh...!" seru Rupangki terkejut begitu Arya menyelesaikan ceritanya. "Kalau
begitu, aku harus cepat-cepat ke Perguruan Pedang Ular."
"Untuk apa?" tanya Karmila.
"Untuk memberitahukan kejadian yang sebenarnya," sahut pemuda tinggi kurus itu
tandas. "Keterlaluan sekali, Kakang Waji.
Jangan khawatir, Nini. Aku akan membantumu menangkapnya!"
"Terima kasih, Rupangki," hanya itu yang diucapkan Karmila.
"Tapi, sebelum kita ke Perguruan Pedang Ular. Luka-lukamu harus disembuhkan
dulu, Rupangki, ucap Dewa Arak.
"Tapi... tidakkah hal itu jadi terlalu lama" Dan..., urusan Nini Karmila akan
semakin berlarut-larut." Rupangki mencoba membantah.
Dia kini telah mendapat kesempatan untuk menunjukkan perhatiannya pada gadis
berpakaian jingga yang telah menarik hatinya itu.
"Tidak mengapa, Rupangki," sahut Karmila cepat.
"Kalau begitu..., terserah kalian saja,"
ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu mengalah.
Dewa Arak bersyukur dalam hati melihat hal ini. Arya tahu kalau Rupangki
mempunyai perasaan lain terhadap Karmila. Bahkan berharap semoga saja gadis
berpakaian jingga itu akan membalas rasa simpati pemuda bertubuh tinggi kurus
itu. "Kalau begitu..., mari kita cari tempat yang layak untuk mengobati luka
Rupangki, Karmila," ajak Dewa Arak sambil memondong tubuh Rupangki.
Tak lama kemudian, ketiganya sudah meninggalkan tempat itu. Mencari tempat untuk
mengobati luka-luka murid Perguruan Pedang Ular itu.
*** 4 Plak, plak, plak..!
Suara kelepak sayap kelelawar, mengusik keheningan malam sepi. Bulan bulat penuh
nampak di langit. Memang, malam ini adalah malam bulan purnama. Di bawah
keremangan sinar rembulan, nampak berkelebat sesosok tubuh berpakaian kuning.
Gerakannya cepat bukan main, sehingga yang terlihat hanyalah sekelebat bayangan
kekuningan yang membelah keremangan malam.
Sosok berpakaian kuning itu terus melesat cepat. Menilik dari kecepatan
geraknya, bisa diperkirakan kalau sosok bayangan kuning ini memiliki kepandaian
tinggi. Kecepatan lari sosok bayangan kuning itu baru berkurang, ketika mulai mendekati
bangunan besar berhalaman luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar
tinggi dari kayu bulat.
"Hup!"
Tepat di depan pintu gerbang, bayangan kuning itu menghentikan larinya. Sekilas
sepasang matanya menatap sebuah papan tebal berukir yang terpampang di atas
pintu gerbang. Tampak jelas huruf-huruf yang tertera di papan berukir itu, Perguruan Golok
Maut. Perlahan sosok bayangan kuning itu mendekati pintu gerbang. Kemudian tangannya
diulurkan mengetuk.
Tok, tok, tok! Kelihatan perlahan saja, tangan sosok berpakaian kuning itu mengenai daun pintu
gerbang. Tapi akibatnya luar biasa! Terdengar suara keras, seolah-olah pintu
gerbang itu dipukul dengan sebuah balok besar.
Tentu saja suara berisik dari pintu gerbang itu membuat beberapa murid Perguruan
Golok Maut yang tengah bertugas jaga, berhamburan ke arah pintu gerbang.
"Sepertinya ada tamu yang datang," sahut salah seorang di antara mereka yang
berperut gendut.
"Buka pintu gerbang," perintah salah seorang yang berwajah hitam. Rupanya dialah
yang bertugas menjadi kepala jaga.
"Tapi, Kang Tarji," salah seorang yang bertubuh kecil kurus mencoba membantah.
"Bagaimana kalau orang yang baru datang, bermaksud tidak baik?"
"Aku yang bertanggung jawab!" tandas laki-laki berwajah hitam yang ternyata
bernama Tarji. Bukan karena kesombongan kepala jaga ini berkata begitu, tapi
karena keyakinannya kalau orang yang datang secara terang-terangan begitu, tidak
mungkin bermaksud jelek.
Murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil kurus, tidak membantah. Segera
saja dia beranjak ke pintu gerbang. Mengangkat palang pintu gerbang dan kemudian
menarik daun pintu-gerbang yang besar dan berat .
Kriiit..! Terdengar suara berderit tajam begitu pintu gerbang itu membuka.
"Ketua kalian ada?" tanya sosok tubuh berpakaian kuning itu.
"Ah, kiranya Ki Gambala...!" seru murid Perguruan Golok Maut yang bertubuh kecil
kurus, begitu melihat orang yang berdiri di balik pintu gerbang itu. "Ada, Kek"
"Bisa mengantarku padanya?" tanya sosok berpakaian kuning yang ternyata Gambala
itu. "Ooo..., bisa. Bisa, Kek," sahut Tarji mendahului menjawab. "Mari kuantar."
Setelah berkata demikian, kepala jaga ini pun meninggalkan tempat itu. Sementara
murid yang bertubuh kecil kurus, kembali menutup pintu gerbang. Lalu bersama
rekan-rekan lainnya meneruskan penjagaan kembali.
Tarji membawa Ketua Perguruan Pedang Ular itu ke ruang semadi si Golok Emas.
Memang sejak kematian adik seperguruannya beberapa hari yang lalu, Ketua
Perguruan Golok Maut itu lebih suka mengurung diri di ruang semadinya.
Tok, tok, tok...!
Laki-laki berwajah hitam itu mengetuk pintu ruang semadi si Golok Emas. Ruangan
itu hanya kecil saja. Ukurannya paling banyak tiga kali tiga tombak.
"Siapa di luar?" tanya sebuah suara. Baik Tarji maupun Gambala mengenali siapa
pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Ketua Perguruan Golok Maut, Si Golok
Emas! "Tarji, Guru," sahut laki-laki berwajah hitam itu cepat.
Hening sejenak. Tak terdengar sahutan setelah Tarji menjawab pertanyaan si Golok
Emas. "Apa keperluanmu, Tarji?" kembali terdengar suara Ketua Perguruan Golok Maut
itu. "Anu, Guru.., Ketua Perguruan Pedang Ular ingin bertemu Guru."
Sesaat kemudian, pintu ruangan itu pun terkuak. Dan dari balik daun pintu itu
muncul seraut wajah seorang kakek berjenggot putih panjang. Itulah Ketua
Perguruan Golok Maut
"Silakan masuk, Gambala," ucap si Golok Emas mempersilakan. Raut wajahnya
terlihat muram. Rupanya kakek berjenggot panjang ini masih terpukul dengan
kematian adik seperguruannya.
"Aku mohon diri dulu, Guru," ucap Tarji seraya menjura hormat. Dan segera
berlalu begitu. Ketua Perguruan Golok Maut itu menganggukkan kepalanya.
Gambala melangkah masuk. Dan setelah kakek bermata sayu itu telah berada di
dalam, si Golok Emas segera menutup pintu.
"Apakah keperiuanmu datang malam-malam begini, Gambala?" tanya Ketua Perguruan
Golok Maut itu begitu keduanya telah bersila. Nada suara kakek berjenggot
panjang ini terdengar datar.
"Kau tidak ingin membalaskan sakit hati adik seperguruanmu, Golok Emas?" kakek
bermata sayu itu balas bertanya. Langsung pada pokok persoalan. Sama sekali
tidak dipedulikannya pertanyaan Ketua Perguruan Golok Maut tadi.
Si Golok Emas menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" desak Ketua Perguruan Pedang Ular itu lagi.
"Lupakah kau, Gambala"!" sergah kakek berjenggot panjang itu. "Bukankah Kalapati
telah tewas"!"
"Kalapati memang benar telah tewas. Tapi tidakkah kau ingin membalaskan dendammu
pada putrinya"! Kau tahu putrinya itu tak kalah jahat ketimbang ayahnya!" sahut
Gambala bernada membakar.
"Sayang sekali, Gambala. Aku sama sekali tidak berminat..," jawab kakek
berjenggot panjang itu pelan.
"Hhh...!" Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghela napas berat.
"Mengapa tidak kau sendiri saja yang melenyapkan putri Kalapati itu, Gambala?"
tanya si Golok Emas bernada menyelidik.
"Ada orang kuat yang berdiri di belakangnya," sahut Ketua Perguruan Pedang Ular
itu bernada keluhan.
"Dewa Arak, maksudmu?" tebak kakek berjenggot panjang itu.
Gambala menganggukkan kepalanya.
"Dia memang seorang pemuda yang luar biasa!" puji Ketua Perguruan Golok Maut itu
itu tulus. "Aku yakin, kalau Kalapati masih hidup..., belum tentu datuk sesat
itu mampu mengalahkannya...."
"Ya," Gambala menganggukkan kepalanya
"Sayangnya, pendekar itu telah terpikat pada kecantikan putri Kalapati. Dan
kini..., Dewa Arak akan jadi ancaman besar bagi dunia persilatan. Khususnya
untuk tokoh-tokoh golongan putih. Kalau tidak buru-buru dilenyapkan, bukan tidak
mungkin kelak akan membunuh kita semua...."
"Aku kira hal itu tidak mungkin terjadi, Gambala," bantah si Golok Emas.
"Menurut berita yang kudengar, Dewa Arak tidak pernah membunuh tokoh-tokoh
persilatan golongan putih yang mengeroyoknya. Bahkan melukai secara berat pun
tidak juga."
Seketika itu juga, wajah Ketua Perguruan Pedang Ular itu berubah merah padam.
"Mungkin sekarang tidak, Golok Emas.
Tapi..., nanti siapa tahu?" ucap Gambala dengan suara mengambang.
Si Golok Emas sama sekali tidak menyahuti ucapan kakek bermata sayu itu. Ketua
Perguruan Golok Maut itu hanya mengangkat bahu saja.
Setelah Gambala menghentikan ucapannya, suasana pun menjadi hening.
"Jadi..., kau tidak berniat melenyapkan iblis betina itu, Golok Emas?" tanya
Ketua Perguruan Pedang Ular itu meminta ketegasan.
"Ya," jawab kakek berjenggot panjang itu.
"Berita yang kudengar selama ini membuatku ragu akan kebenaran berita kalau Dewa
Arak tersesat. Mata hatiku yakin kalau pemuda itu berada di jalan yang benar."
Gambala sama sekali tidak menanggapi ucapan Ketua Perguruan Golok Maut itu.
"Kalau begitu..., aku permisi saja, Golok Emass!" ucap kakek bermata sayu itu
seraya bangkit berdiri.
"Ah...! Mengapa terburu-buru, Gambala,"
sahut kakek berjenggot panjang itu agak terkejut.
"Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan, Golok Emas."
Setelah berkata demikian, Ketua Perguruan Pedang Ular segera melangkah keluar.
Si Golok Emas mengantarnya. Sesaat kemudian kedua ketua perguruan besar
beraliran putih ini sudah melangkah berdampingan tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Ketua Perguruan Golok Maut mengantar tamunya sampai keluar pintu gerbang
perguruannya. Kemudian setelah tamunya lenyap ditelan kegelapan malam,
diperintahkannya murid peronda untuk menutup pintu gerbang kembali.
*** Untuk kesekian kalinya sang surya kembali muncul di ufuk Timur. Sinarnya yang
lembut menyorot persada. Burung-burung bercicit riang menyambut terbitnya bola
api besar yang masih berwarna merah itu. Binatang-binatang pun tahu, telah tiba
saatnya bagi mereka untuk mencari makan.
Tiga sosok bayangan berkelebat cepat menuruni lereng Gunung Palanjar. Rata-rata
gerakan mereka cepat dan gesit bukan main.
Sehingga yang tampak hanyalah sekelebatan bayangan jingga, ungu, dan biru.
Dua di antara tiga bayangan itu berlari berdampingan. Sementara sosok yang
berwarna ungu, berlari di belakang mereka.
Tiga sosok tubuh yang sedang menuruni lereng Gunung Palanjar adalah Karmila,
Rupangki, dan Dewa Arak Berkat kemahiran Arya dan terutama sekali karena Karmila
mempunyai obat yang mujarab, Rupangki kembali sembuh seperti sediakala, setelah
beristirahat selama dua hari. Dan pagi ini, ketiga muda-mudi ini memutuskan
untuk pergi ke Perguruan Pedang Ular untuk memberi tahu hal yang sebenarnya.
"Aku turut berduka cita atas kematian ayahmu, Karmila," entah untuk yang ke
berapa kalinya kata-kata itu keluar dari mulut Rupangki. Memang pemuda bertubuh
tinggi kurus itu kurang bisa mencari bahan percakapan, padahal dia ingin sekali
selalu berdekatan dan berbincang-bincang dengan gadis berpakaian jingga yang
berwajah molek dan bertubuh ramping itu. Sehingga hanya ucapan itu saja yang
diulang-ulangnya.
Arya yang berlari di belakang, sengaja memberi kesempatan pada Rupangki
berbincang-bincang dengan Karmila, diam-diam tersenyum geli. Ucapan itu selalu
diulang-ulang oleh pemuda bertubuh tinggi kurus itu, setiap kali hendak mengajak
Karmila berbincang-bincang.
Sekuat tenaga ditahannya ledakan tawa yang hampir keluar dari mulutnya.
"Terima kasih, Rupangki," sahut Karmila sambil terus berlari. Gadis berpakaian
jingga ini tentu saja dapat merasakan kalau pemuda
bertubuh tinggi kurus itu mempunyai perhatian lain terhadapnya. Tapi bagaimana
dengan Dewa Arak yang dikaguminya" Seorang pemuda yang matang, bijaksana, dan
berani memegang prinsip meskipun harus berhadapan dengan apa pun!
Pemuda yang telah membuat rasa kagumnya semakin lama semakin bertambah!
Sehabis gadis berpakaian jingga itu menghentikan ucapannya, suasana pun kembali
hening. Kaki-kaki mereka terus bergerak. Tapi pikiran mereka melayang-layang
entah ke mana. Sementara di belakang kedua orang itu, Dewa Arak hanya memperhatikan saja. Rasa
geli dan kasihan melilit hari Arya begitu melihat Rupangki yang ingin sekali
berbincang-bincang dengan Karmila, tapi tidak mempunyai bahan percakapan.
Berkat pengalamannya menghadapi berbagai ragam tabiat manusia, Dewa Arak tahu
kalau gadis seperti Karmila haus akan kasih sayang dan perhatian. Gadis
berpakaian jingga itu adalah gadis yang manja dan biasa mendapat kasih sayang
dan pematian penuh dari ayahnya.
Dan kini setelah sang Ayah tiada, dengan sendirinya apa yang biasa didapatkan
kini tidak dapat diterimanya lagi. Saat ini Karmila pasti merindukan kasih
sayang dan perhatian seperti yang dulu diterimanya. Tapi tentu saja kini bukan
dari ayahnya lagi, tapi dari seorang laki-laki yang bukan ayahnya dan juga bukan
keluarga atau temannya.
"Untuk menaklukkan hati Karmila, berikan perhatian penuh kepadanya, Rupangki."
Rupangki terlonjak kaget begitu mendengar suara yang amat dikenal menggema di
telinganya. Saking kagetnya, langkah kaki pemuda ini sampai terhenti seketika.
Suara itu adalah suara Arya! Tanpa sadar pemuda bertubuh tinggi kurus itu menoleh ke
belakang. "Ada apa, Rupangki?" tanya Karmila seraya menghentikan larinya pula. Gadis
berpakaian jingga itu memang terkejut melihat pemuda tinggi kurus itu tiba-tiba
menghentikan larinya. "Apakah masih ada rasa sakit yang kau rasakan?"
"Ah..., eh... ti... tidak ada apa-apa,"
sahut Rupangki agak gugup. "Mari kita lanjutkan perjalanan kita."
Setelah berkata demikian, Rupangki kembali melanjutkan langkahnya. Mau tidak mau
Karmila pun melangkahkan kakinya pula. Gadis berpakaian jingga itu tahu kalau
ada sesuatu yang membuat Rupangki terkejut. Hanya sayangnya, pemuda bertubuh
tinggi kurus itu tidak mau berterus-terang.
"Tanyakanlah padanya tentang bunga kesenangannya..., pakaian kesukaannya...,
ilmu silatnya..., dan masih banyak lagi...."
Lagi-lagi suara Arya bergema di telinga pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
Seketika wajah Rupangki berseri-seri. Kini pikirannya telah terbuka. Dia sudah
mendapat bahan pembicaran untuk berbincang-bincang dengan gadis berwajah molek
dan bertubuh ramping yang telah menarik hatinya itu. Pemberitahuan Dewa Arak
telah membuka pikirannya. Diam-diam pemuda bertubuh tinggi kurus ini merasa
sangat berterima kasih sekali atas petunjuk pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rupangki segera mempraktekkan semua ajaran
Arya. Dan memang setelah itu pembicaraan pun menjadi berlangsung panjang. Pemuda
bertubuh tinggi kurus itu kini telah bisa mengembangkan bahan pembicaraan
sendiri. Sepanjang perjalanan
menuju Perguruan Pedang Ular, kedua orang itu terus terlibat pembicaraan.
Dewa Arak tak henti-hentinya memberi petunjuk pada Rupangki untuk bersikap
bagaimana terhadap Karmila. Bahkan atas anjuran pemuda berambut putih keperakan
itu pula, pada saat mereka beristirahat, pemuda bertubuh tinggi kurus itu
mencarikan bunga kesukaan Karmila. Dan memberikannya pada gadis berpakaian
jingga itu. Hampir-hampir Rupangki melompat girang dan memeluk Arya sebagai
tanda rasa terima kasih yang amat sangat, begitu dilihatnya Karmila menerima
bunga pemberiannya. Dan yang lebih membuat Rupangki lebih gembira adalah ketika
gadis pujaannya menerima bunga itu dengan senyum ceria.
*** Ketiga orang itu melakukan perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Pada keesokan
harinya, barulah tampak bangunan Perguruan Pedang Ular di kejauhan.
Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu dia Perguruan Pedang Ular, Karmila,"
ucap Rupangki memberitahu sambil menudingkan jari telunjuknya.
Karmila dan Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda mengerti.
"Mari kita bergegas ke sana," ajak pemuda tinggi kurus itu lagi sambil menarik
tangan Karmila. Memang, kini hubungan antara Rupangki dan gadis berpakaian
jingga itu sudah semakin akrab.
Karmila tidak banyak membantah. Meskipun begitu, ada segumpal rasa khawatir yang
mencekam hati gadis berpakaian jingga itu.
Rasa khawatir kalau murid-murid Perguruan Pedang Ular langsung menyerangnya.
Tapi, Karmila percaya penuh kalau Rupangki dapat menjelaskan permasalahannya. Dan
lagi..., bukankah ada Dewa Arak di situ"
Bukan hanya Karmila saja yang dilanda rasa khawatir. Dewa Arak pun dilanda
perasaan serupa. Tapi seperti biasa, pemuda berambut putih keperakan itu mampu
menyembunyikan rasa cemasnya. Dia percaya penuh kalau Rupangki akan berundak
cepat begitu melihat gelagat yang tidak baik. Memang, selagi mereka melakukan
perjalanan kemari, pemuda tinggi kurus itu berjanji akan menjernihkan persoalan.
Apa yang dikhawatirkan Arya dan Karmila tepat sekali. Begitu murid-murid penjaga
pintu gerbang Perguruan Pedang Ular melihat kedatangan Karmila dan Dewa Arak,
mereka segera menghunus senjata masing-masing dan bersikap waspada. Sedangkan
salah seorang di antaranya segera berlari ke dalam, memberi tahu kedatangan
musuh-musuh mereka kepada Gambala.
Kedua murid penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Ular tidak segera dapat
mengenali Rupangki. Karena pemuda tinggi kurus itu kini sudah tidak mengenakan
seragam perguruan lagi. Pakaian seragam Perguruan Pedang Ular telah dibuangnya
karena telah kotor dan habis terkoyak-koyak. Yang segera langsung dikenali oleh
penjaga pintu gerbang itu adalah Dewa Arak dan Karmila yang memiliki ciri-ciri
menyolok. Baru setelah ketiga orang itu semakin dekat dengan pintu gerbang, murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang semuanya sudah bergerak keluar menjadi terkejut.
Mereka mengenali Rupangki yang menurut cerita Waji
telah tewas di tangan Kalapati. Dan tentu saja hal ini membuat mereka semua
terkejut. "Kakang Rupangki! Kaukah itu"!" seru salah seorang murid Perguruan Pedang Ular
kaget bercampur gembira.
"Ya. Aku Rupangki! Lupakah kalian semua"!"
sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu membenarkan.
"Rupangki! Apa yang kau lakukan ini"!"
tegur laki-laki bertubuh kekar berotot dan berambut kepang. Inilah salah seorang
dari empat murid kepala Perguruan Pedang Ular.
Setingkat dengan Waji. Nama orang ini adalah Jirin. "Bukankah kau telah tewas"!
Mengapa tiba-tiba kau datang, dan bersama musuh besar kita"!"
"Ceritanya panjang, Kakang Jirin. Tapi percayalah, kedua orang ini bukanlah
musuh. Kang. Bahkan sebaliknya..., merekalah yang telah menyelamatkan aku dari
kematian," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu memberi tahu.
"Omongan macam apa itu"!" sergah Jirin keras.
"Rupangki! Rupanya kedua orang itu telah menyihirmu! Sehingga kau tidak dapat
membedakan mana kawan dan mana lawan!"
"Percayalah, Kang Jirin. Kedua orang ini bukanlah musuh!" sambut Rupangki lagi
seraya terus melangkah maju. Tangan kirinya masih tetap menggenggam tangan kanan
Karmila. Dan dengan sendirinya, gadis berpakaian jingga itu ikut melangkah ke
depan. Mau tidak mau Dewa Arak terpaksa ikut melangkah maju. Arya khawatir akan
terjadinya sesuatu yang sama sekati tidak diharapkan.
Dalam hatinya, pemuda ini menyesali sikap Rupangki yang tidak tahu gelagat
dengan terus melangkah maju. Padahal saudara-saudara
seperguruannya telah siap dengan senjata terhunus.
"Kau telah tidak waras lagi, Rupangki!"
bentak Jirin keras. "Serang...!"
Tentu saja murid-murid Perguruan Pedang Ular yang sejak tadi telah siaga dengan
senjata terhunus, segera menerjang Rupangki.
Tapi tentu saja serangan mereka ditujukan pada Karmila.
Rupangki terkejut bukan main mendapat serangan yang tidak disangka-sangka itu.
Apalagi yang menyerang bukan hanya seorang, melainkan belasan. Hujan senjata
kontan meluruk ke arah Karmila. "Kakang! Tahan...!"
Di saat-saat terakhir, Rupangki masih mencoba mencegah. Tapi sia-sia. Kakak
seperguruannya, dan juga rekan-rekannya sama sekali tidak mempedulikannya.
Mereka yakin kalau pemuda bertubuh tinggi kurus itu telah dipengaruhi oleh putri
Kalapati. Entah ilmu sihir atau ilmu apa, mereka tidak tahu.
Melihat saudara-saudara seperguruannya sama sekali tidak mempedulikan
teriakannya, Rupangki menjadi kalap. Secepat kilat pedangnya dicabut, dan
ditangkisnya serangan yang mengancam gadis ber pakaian jingga itu.
Berbarengan dengan itu, pegangangnya pada tangan Karmila dilepaskan. Dan begitu
tangannya terlepas, putri Kalapati itu segera melempar tubuhnya ke belakang dan
bergulingan menjauh.
Trang, trang...!
Suara berdentang nyaring segera terdengar begitu pedang Rupangki berbenturan
dengan senjata saudara-saudara seperguruannya. Tak pelak lagi, pemuda bertubuh
tinggi kurus itu pun terhuyung ke belakang. Dan di saat itulah,
hujan senjata meluruk ke arah Karmila yang tengah bergulingan. Melihat banyaknya
serangan yang menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian jingga itu, sudah bisa
diperkirakan kalau Karmila akan sulit lolos dari maut
"Karmila...!"
Rupangki menjerit melihat bahaya maut mengancam keselamatan gadis yang
dicintainya. Suara pemuda bertubuh tinggi kurus itu melengking bercampur isak. Suara yang
keluar dari mulut seorang yang melihat kekasihnya terancam maut tanpa mampu
menolongnya, karena tubuh Rupangki sendiri tengah terhuyung-huyung.
Di saat-saat kritis bagi keselamatan Karmila, Dewa Arak segera melesat ke arah
putri Kalapati itu. Dan begitu tiba, pemuda berambut putih keperakan ini segera
memutar-mutarkan kedua tangannya.
Hebat bukan main! Dari kedua tangan yang berputaran di depan dada itu, timbul
angin keras yang membuat murid-murid Perguruan Pedang Ular berpentalan seperti
dilanda angin topan.
Brukkk! Suara berdebukan keras segera terdengar begitu belasan sosok tubuh itu
berjatuhan di tanah. Senjata-senjata mereka telah berpentalan entah ke mana.
"Ah...!" Rupangki berseru kaget bercampur girang. Cepat laksana kilat pemuda
bertubuh tinggi kurus itu menghambur ke arah Karmila yang kini telah bangkit
dari bergulingnya.
Wajah gadis itu masih nampak pucat Jelas kalau tadi pun gadis berpakaian jingga
itu telah dilanda perasaan terkejut yang amat sangat.
"Kau tidak apa-apa, Karmila?" tanya Rupangki terbata-bata. Sebenarnya bodoh
sekali pertanyaan itu. Sudah jelas kalau gadis itu sama sekali tidak apa-apa. Tapi
masih juga ditanyakan demikian. Ketegangan Rupangki yang masih tersisa, membuat
kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol lagi.
"Untung, Dewa Arak cepat bertindak," sahut Karmila bernada mendesah. Seketika
itu juga ada rasa rendah diri di hati Rupangki, mendengar ucapan itu. Mengapa
harus Dewa Arak yang menolong Karmila" Kenapa tidak dia saja"
Sesalnya dalam hati.
"Kau harus hati-hati, Rupangki," ucap Dewa Arak memberi nasihat "Rekan-rekanmu
kati ini tidak segan-segan untuk membunuhmu."
"Mengapa begitu, Arya?" tanya pemuda bertubuh tinggi kurus itu tidak mengerti.
"Mungkin mereka mengira kalau kau sudah kami pengaruhi," jelas Arya.
"Ahhh...! Kiranya begitu...," sahut Rupangki mulai paham masalahnya.
Tapi Dewa Arak tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi karena murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang dirobohkannya telah bangkit kembali. Memang pemuda
berambut putih keperakan itu tadi hanya mengerahkan tenaga untuk melontarkan
mereka saja. Arya tidak bermaksud melukai mereka. Dewa Arak hanya ingin
menyelamatkan Karmila.
"Tahan...!"
Terdengar teriakan mencegah begitu murid-murid Perguruan Pedang Ular kembali
hendak menyerang. Serentak semua murid itu menghentikan gerakan dan memandang ke
arah asal teriakan itu. Tak terkecuali juga Dewa Arak, Karmila, dan Rupangki.
Dari dalam pintu gerbang, melangkah dengan sikap gagah seorang kakek bermata
sayu. "Guru...," seru semua murid Perguruan Pedang Ular sambil memberi hormat. Tak
terkecuali Rupangki.
"Gambala...," desis Dewa Arak yang segera mengenali kakek itu.
Orang yang baru datang memang Gambala, Ketua Perguruan Pedang Ular. Dengan
tatapan sayu, dipandangnya sekeliling tempat itu. Dan terakhir ke arah Dewa
Arak, Karmila, dan Rupangki.
"Guru...," ucap Rupangki begitu melihat sorot mata Ketua Perguruan Pedang Ular
tertuju padanya.
"Kemarilah, Rupangki," ucap Gambala sambil melambaikan tangannya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu segera menghampiri gurunya. Tapi baru saja satu
tindak kakinya melangkah, sebuah tangan telah menangkap pergelangan tangannya.
"Tunggu dulu, Rupangki," cegah sang pemilik tangan yang ternyata adalah Dewa
Arak. "Mengapa, Arya?" tanya pemuda tinggi kurus itu dengan alis berkerut. Hatinya
menjadi heran melihat pemuda berambut putih keperakan itu mencegah tindakannya.
"Aku hendak menemui guruku."
"Untuk apa, Rupangki?" tanya pemuda berambut putih keperakan itu.
"Menjelaskan kesalahpahaman ini." "Dari sini saja, Rupangki!" tandas Dewa Arak
tegas. "Tapi...," Rupangki masih mencoba membantah.
"Kau ingin berpisah dengan Karmila, Rupangki?" tanya pemuda berambut putih
keperakan itu menggertak. Sementara Gambala memperhatikan saja ribut mulut yang
terjadi di depannya.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Arya," sahut pemuda bertubuh tinggi kurus itu
masih dengan alis berkerut. "Kau tidak ingat peristiwa yang baru saja terjadi?"
ucap Dewa Arak bernada mengingatkan. "Asal kau tahu saja, Rupangki.
Kau sama sekali tidak dipercaya! Kau dianggap berada dalam pengaruh sihir! Jadi,
begitu kau mendekati gurumu, kau akan dibuat pingsan.
Dan..., kami berdua akan dikeroyok kembali, jelas Dewa Arak panjang lebar.
"Jadi, bagaimana aku harus menjelaskan kesalah pahaman ini?" tanya pemuda
bertubuh tinggi kurus itu lagi. Nada suaranya terdengar putus asa.
"Dari sini saja, Rupangki!" sahut Dewa Arak tegas. "Cepat kau ceritakan semuanya
dengan jelas. Syukur-syukur kalau akhirnya mereka mengerti dan sadar...."
Rupangki mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu menyadari kebenaran ucapan Arya. Dan kembali
rasa kagumnya semakin bertambah. Dewa Arak meskipun masih muda tapi memiliki
wawasan berpikir yang demikian luas.
"Kau mengerti, Rupangki?" tanya Dewa Arak begitu melihat pemuda bertubuh tinggi
kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ya," sahut Rupangki singkat.
"Kau bisa menjelaskan semuanya dari sini?"
tanya Dewa Arak lagi.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
menganggukkan kepalanya.
Dewa Arak memandang ke sekelilingnya begitu melihat kesediaan Rupangki.
Dilihatnya Gambala dan murid-murid Perguruan Pedang Ular, masih berdiri terpaku.
Rupanya mereka ingin mendengar apa yang ingin dikatakan Rupangki.
"Kalian semua dengarkan!" teriak Arya seraya mengerahkan tenaga dalam. Suaranya
menggema sampai ke tempat yang jauh.
Seketika itu juga suasana menjadi hening.
Suara yang keluar dari mulut Dewa Arak benar-benar membuat mereka terpaku kaku.
Tak terkecuali Gambala.
*** 5 "Guru..., dan juga saudara-saudaraku semua...!" ucap Rupangki memulai
keterangan. Pandangannya diedarkan berkeliling. Menatap satu persatu wajah murid-murid
Perguruan Pedang Ular. "Beberapa hari yang lalu..., Kakang Waji mengajak Kakang
Jalasa dan aku mencari tempat penyepian Kalapati...."
Rupangki menghentikan ceritanya sejenak begitu mendengar seruan-seruan kaget
dari mulut beberapa murid Perguruan Pedang Ular.
Cerita yang didengar dari mulut Rupangki berbeda dengan yang mereka denngar dari
Waji. Hanya Gambala seorang yang tidak terlihat terkejut. Alis kakek bermata sayu ini
berkernyit dalam, pertanda sedang berpikir keras. Mana cerita di antara kedua
muridnya itu yang benar" pikir kakek ini bingung.
Akhirnya diputuskan untuk mendengarkan cerita Rupangki lebih lanjut.
"Semula aku dan Kakang Jalasa keberatan.
Tapi karena Kakang Waji mengatakan kalau maksudnya hanya untuk sekadar
berbincang-bincang dengan datuk itu, kami akhirnya mengalah. Kami pun ikut
mencari tempat penyepian Kalapati."
Pemuda bertubuh tinggi kurus Ini
menghentikan ceritanya untuk mengambil napas.
Kembali pandangannya diedarkan berkeliling.
Dilihatnya wajah guru dan rekan-rekannya nampak serius mendengar penjelasannya.
Dan dengan sendirinya, Rupangki semakin bersemangat melanjutkan ceritanya.
"Di hari pertama, kami tidak berhasil.
Lalu kami kembali ke perguruan. Hari kedua, begitu pula. Baru pada hari ketiga,
kami bertemu dengan seorang gadis berpakaian jingga yang tengah berlatih ilmu
'Totokan Penghancur Tulang'. Dan itulah awal kami menemukan tempat penyepian
Kalapati. Tempat itu begitu tersembunyi. Kalau saja tidak mendengar teriakan-
teriakan gadis itu, tentu kami tidak berhasil menemukan tempat Kalapati."
Lagi-lagi Rupangki menghentikan ceritanya.
Sementara kerut-kerut di dahi Gambala dan beberapa orang murid Perguruan Pedang
Ular semakin banyak terlihat. Cerita yang mereka dengar dari mulut Rupangki
jelas-jelas berbeda dengan apa yang diceritakan Waji.
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
melanjutkan ceritanya kembali hingga selesai.
Semua kejadian diceritakannya dengan gamblang.
Tak ada satu pun yang ditutup tutupinya.
"Begitulah semua kejadiannya, Guru," ucap Rupangki menutup ceritanya. "Jadi,
tidak benar kalau Kalapati dan putrinya yang membunuh Kakang Jalasa dan aku."
"Hhh...!"
Setelah tercenung beberapa saat lamanya akhirnya Gambala menghela napas berat.
Sambil mendengarkan cerita, kakek bermata sayu ini sibuk membandingkan cerita
yang didengar dari kedua muridnya.
Baru dirasakan adanya kejanggalan pada cerita Waji. Kejanggalan yang baru kini
disadarinya. Dari mana Waji tahu tempat tinggal Kalapati, sewaktu mengantarkan
dirinya, adik seperguruannya, dan juga kedua ketua Perguruan Golok Maut" Kini,
dari cerita Rupangki, kakek bermata sayu itu mengerti kalau Waji pernah ke sana
sebelumnya! Rupangki menunggu dengan perasaan tegang.
Jantungnya berdetak keras, melihat Ketua Perguruan Pedang Ular itu menghela
napas dan tercenung kembali. Memang Gambala tengah berpikir keras. Benaknya
sibuk mengingat-ingat semua kata-kata dan kejadian yang telah terjadi, berkenaan
dengan peristiwa Kalapati.
Dan semakin benaknya mengingat-ingat, semakin ditemukan kejanggalan cerita Waji.
Kalau saja dulu dia tidak terlalu dikuasai amarah, mungkin dapat melihat
kejanggalan-kejanggalan ini. Sikap Kalapati dalam pertempuran tempo hari, jelas-
jelas mengalah.
Padahal dalam cerita Waji dikatakan kalau Kalapati telah menantangnya.
"Jadi, Waji telah menipuku...," desah Ketua Perguruan Pedang Ular pelan.
"Tapi..., untuk apa dia melakukan semua ini?"
Perlahan kakinya dilangkahkan mendekati tempat Karmila, Dewa Arak, dan Rupangki
berdiri. Gadis berpakaian jingga itu segera memasang sikap waspada. Tapi, Dewa
Arak dan Rupangki sama sekali tidak bersikap demikian.
Tentu saja kedua pemuda itu mempunyai alasan yang berbeda.
Rupangki tidak bersikap waspada, karena yakin kalau gurunya tidak akan
mencelakakan dirinya. Di samping itu kurang pantas rasanya kalau dia mencurigai
Gambala. Sedangkan Dewa Arak sama sekali tidak menaruh curiga. Pemuda berambut putih
Dewa Arak 12 Jamur Sisik Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keperakan itu yakin kalau Ketua Perguruan Pedang Ular telah sadar dari
kekeliruannya. *** Gambala menghentikan langkahnya tepat di depan Karmila. Kemudian tangannya
diulurkan ke arah gadis berpakaian jingga itu.
"Aku minta maaf, Nini," ucap kakek bermata sayu itu. Nada suaranya menyiratkan
penyesalan yang mendalam. "Aku mengaku salah.... Dan tidak akan melawan
seandainya kau berniat membalaskan dendam ayahmu."
Mengalami hal yang sama sekali tidak diduganya ini, Karmila kebingungan. Kalau
menuruti perasaan hatinya, gadis itu ingin membalaskan kematian ayahnya. Kedua
tangannya sudah mengejang. Tapi, putri Kalapati itu teringat pesan mendiang
ayahnya. Maka ditekannya keinginan untuk membalas dendam itu.
Karena perasaan bingung yang melanda, wajahnya ditolehkan ke arah Dewa Arak.
Sepasang matanya menatap wajah pemuda berambut putih keperakan itu penuh
permohonan. Dewa Arak menggeleng pelan.
Pertanda melarang Karmila membalas sakit hatinya.
Masih tidak puas dengan jawaban yang diperolehnya dari Dewa Arak, Karmila pun
mengalihkan pandangannya pada Rupangki. Tapi seperti juga Dewa Arak. Pemuda
bertubuh tinggi kurus ini menggeleng kan kepalanya.
Keyakinan hati Karmila bertambah. Pesan ayahnya dan gelengan kepala Dewa Arak
dan Rupangki telah memperkuat keinginan untuk
melupakan dendamnya. Lagi pula, kakek bermata sayu itu sama sekali tidak
bersalah. Ketua Perguruan Pedang Ular termakan hasutan muridnya yang culas,
Waji. "Aku sama sekali tidak memendam dendam pada mu, Kek," ucap gadis berpakaian
Jingga itu lirih. "Ayah melarang aku membalaskan dendam kematiannya. Tapi selama
aku yakin kalau ayahku tidak bersalah... aku akan tetap membalaskan dendamnya.
Tapi.... Tidak padamu, Kek! Kau tidak bersalah!"
Gambala hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam hari kakek ini terharu
melihat kebesaran jiwa gadis berpakaian jingga itu.
"Aku harap Kakek tidak menghalangi niatku untuk membalas dendam pada orang yang
memang benar-benar bersalah atas kematian ayahku,"
sambung Karmila tegas.
"Maksudmu pada Waji, Nini?" tanya Gambala meminta kepastian "Benar, Kek!"
"He he he...!" Gambala tertawa pelan, lenyap sudah rasa haru di hatinya. Ucapan
Karmila membuat nya geli. "Kau terlalu berprasangka, Nini. Kau tahu, bukan hanya
kau saja yang ingin membunuh murid murtad itu!"
"Jadi, Kakek..?"
"Ya!" sahut Ketua Perguruan Pedang Ular cepat.
"Aku pun ingin menghukum murid murtad itu!"
"Mengapa, Kek?" tanya Karmila tak mengerti.
"Mengapa"!" ulang Gambala dengan alis berkerut. "Murid murtad itu telah
menyebabkan kericuhan yang amat besar! Bukan hanya di perguruanku saja, tapi
Juga di dunia persilatan!"
Ketua Perguruan Pedang Ular itu
menghentikan sebentar ucapannya untuk mengambil napas. Ucapan yang
dikeluarkannya terlalu berapi-api sehingga membuat napasnya memburu.
"Dan bukan hanya itu saja!" sambung Gambala lagi. "Dia pun telah merusak nama
baik orang lain! Nama baik ayahmu, dan juga nama baik seorang pendekar tenar
berjiwa besar seperti Dewa Arak! Perbuatannya sudah tidak bisa diampuni lagi!
Waji harus mati!"
Setelah berkata demikian, kakek bermata sayu itu lalu mendekati Arya. Kemudian
setelah berada di depan pemuda berambut putih keperakan itu tangannya diulurkan.
"Aku minta maaf atas semua ucapan tidak pantas yang telah kutuduhkan padamu,
Dewa Arak Ternyata kau benar. Ahhh...! Berapa kerdilnya pemikiranku, sehingga
tidak bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah," ucap kakek bermata
sayu itu menyesali dirinya.
Arya buru-buru menyambut uluran tangan Ketua Perguruan Pedang Ular, lalu
menggenggamnya erat-erat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Kek,"
sahut Dewa Arak bijaksana. "Semua ini hanya kesalahpahaman belaka."
"Kau memang berhati mulia, Dewa Arak.
Semua berita yang kudengar tentang dirimu ternyata benar. Ahhh...! Dasar aku
saja yang bodoh. Padahal sahabat ku, si Golok Emas, telah tahu kalau kau berada
di jalan yang benar. Mataku memang buta! Semakin tua, bukannya semakin arif,
tapi malah semakin memperbesar emosi."
"Kakek terlalu menyalahkan diri sendiri, seandainya aku menjadi Kakek, mungkin
aku akan bertindak seperti yang Kakek lakukan," sambut
Dewa Arak merendah. Setidak-tidaknya sekadar untuk menghilangkan rasa risihnya
mendapat pujian bertubi-tubi dari Ketua Perguruan Pedang Ular.
Begitu Dewa Arak menyelesaikan kata-katanya, seketika suasana menjadi hening.
"Tapi..., untuk apa sebenarnya Kakang Waji melakukan semua ini, Guru?" tanya
Rupangki, memecahkan keheningan.
"Hhh...!" Gambala menghela napas berat.
"Aku sendiri tidak mengerti, Rupangki."
"Kalau kulihat..., sepertinya Kakang Waji memendam dendam yang amat besar pada
Kalapati, Guru," ucap pemuda bertubuh tinggi kurus itu lagi.
Ketua Perguruan Pedang Ular itu
mengerutkan alisnya.
"Entahlah...! Aku tidak tahu, Rupangki,"
sahut Ketua Perguruan Pedang Ular sambil mengangkat bahu. "Sekarang..., yang
paling penting adalah mencari di mana murid murtad itu! Kau bisa mengira-ngira
di mana adanya dia, Rupangki?"
Pemuda bertubuh tinggi kurus itu
menggelengkan kepalanya.
"Jadi..., Waji tidak pernah kembali ke perguruan, Kek?" tanya Dewa Arak agak
bingung. "Tidak, Dewa Arak," sahut kakek bermata sayu itu sambil menggelengkan kepalanya.
"Entah ke mana perginya murid murtad itu."
"Apakah kau tidak tahu tempat yang biasa dikunjungi Waji, Kek?" tanya pemuda
berambut putih keperakan itu lagi.
Gambala hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau barangkali tahu, Rupangki?" kembali Dewa Arak bertanya. Tapi kali ini
ditujukan pada pemuda bertubuh tinggi kurus itu.
Lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menyambut pertanyaan pemuda berambut putih
keperakan itu. "Guru...," tiba-tiba salah seorang murid Perguruan Pedang Ular berucap pelan,
Pedang Pusaka Buntung 5 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Jaka Lola 5