Pencarian

Kelelawar Beracun 2

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Bagian 2


terpaksa harus mengeluarkan pedangnya. Dan dengan
sendirinya, gadis berpakaian putih ini juga mengeluarkan
'Ilmu Pedang Seribu Naga' andalannya.
Kini Melati tidak ragu-ragu lagi untuk mengadu
senjata. Meskipun jika mengadu senjata tangannya selalu bergetar, tapi hal ini
tidak terlalu jadi masalah.
Suara menderu-deru dahsyat terdengar setiap kali
Kala Ireng mengayunkan gada berdurinya. Mengerikan sekali!
Tapi suara itu masih kalah dahsyat dan mengerikan bila dibanding suara yang
keluar dari setiap gerakan pedang Melati.
Suara menggerung keras
seperti naga murka terdengar setiap kali Melati menggerakkan pedangnya.
"Haaat...!"
Kala Ireng membabatkan gada berdurinya ke arah
pinggang Melati. Suara angin keras menderu mengiringi tibanya serangan itu.
Melati menggertakkan gigi. Kedua kakinya tampak
menekan tanah. Pelan kelihatannya. Namun mendadak saja, tubuh bagian bawah gadis
ini terangkat naik ke belakang.
Sehingga, kini tubuh Melati berada di udara dalam keadaan menelungkup. Keadaan
tubuh bagian bawah tampak lebih tinggi daripada bagian atas. Rupanya, gadis
berpakaian putih ini telah menggunakan jurus 'Naga Merah Mengangkat Ekor".
Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan gadis itu menusuk ke arah leher Kala
Ireng. Cepat bukan main
gerakannya, sehingga Kala Ireng sangat terkejut. Dengan sebisa-bisanya dia
berusaha mengelak. Tapi....
Crottt...! Telak dan mantap sekali pedang Melati menghunjam
leher Kala Ireng. Cairan merah kental muncrat dari leher yang berlubang
tertembus pedang. Ada suara mengorok
terdengar dari mulut laki-laki bengis berpakaian hitam itu.
Sesaat kemudian, tubuhnya menggelepar, lalu tidak bergerak lagi untuk selama-
lamanya. Berbarengan dengan diamnya tubuh Kala Ireng,
Melati mendaratkan kedua kakinya di tanah. Gadis berpakaian putih ini menatap mayat lawannya sejenak, lalu menolehkan kepala ke
arah Patih Rantaka.
"Luar biasa! Gusti Ayu benar-benar lihai!" puji Patih Rantaka sambil melangkah
mendekati. "Ah.,.! Paman terlalu memuji...,"
desah Melati merendah. "Sama sekali tidak, Gusti Ayu. Aku bicara sejujurnya,"
tegas Pauh Rantaka. "Kala Ireng yang begitu lihai dapat Gusti Ayu robohkan.
Bahkan tidak sampai sepuluh jurus!"
Melati tersenyum pahit. Sekilas sepasang matanya
menatap ke sekeliling, memperhatikan pertarungan yang masih berlangsung antara
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading menghadapi gerombolan Kala Ireng. Lega
hati gadis berpakaian putih Ini meiihat pasukannya berada di atas angin.
Dengan sekali lihat saja Melati tahu kalau keme-
nangan bagi pasukannya hanya tinggal menunggu waktu
saja. Jumlah gerombolan Kala Ireng hanya tinggal beberapa gelintir saja. Bahkan
sebagian anggota pasukan khusus telah berdiri menganggur, karena kehabisan
lawan. "Jari-Jari tangannya kuat sekali, Paman," kata gadis berpakaian putih seraya
mengalihkan perhatian ke arah Patih Rantaka. "Jari-jari tanganku sampai sakit-
sakit ketika berbenturan dengan jari-jari tangannya."
Patih Rantaka menganggukkan kepala membenarkan.
"Semula, kukira dia memiliki kulit yang kebal sewaktu berani mencengkeram
pedangku. Ternyata hanya jari-jari dan telapak tangannya saja yang kuat.
Sementara, bagian lainnya biasa-biasa saja," sahut laki-laki setengah baya itu.
Melati menganggukkan kepala pertanda membe-
narkan ucapan Patih Rantaka.
"Mungkin dia hanya melatih tangan sebatas pergelangan," duga Melari.
"Benar," sambut Patih Rantaka. "Memang banyak cara untuk membuat tangan jadi
seperti itu."
Melati terdiam. Sementara, Patih Rantaka tidak
melanjutkan ucapannya kembali. Kini kedua pimpinan
pasukan khusus ini mengalihkan perhatian pada per-
tarungan yang terjadi antara pasukan khusus melawan sisa gerombolan Kala Ireng.
Kembali terdengar lolong kematian, diiringi robohnya tubuh beberapa orang
perampok di tanah untuk selama-lamanya.
Dan dengan berakhirnya pertarungan itu, maka tidak
ada lagi anggota gerombolan Kala Ireng yang tersisa.
Semuanya tewas. Sementara di pihak pasukan khusus, tak ada seorang pun yang
tewas. Bahkan luka yang diderita hanya ringan saja.
Bergegas seluruh anggota pasukan khusus meng-
hampiri Melati Gadis berpakaian-putih ini menyambut
mereka sambil tersenyum puas.
"Aku bangga pada kalian semua," puji Melati dengan senyum
di bibir. Sementara Patih Rantaka hanya mengangguk-anggukkan
kepala saja. Meskipun begitu, mulutnya menyunggingkan senyum pula.
"Kini sudah jelas, mengapa pasukan yang dikirim Adipati Triwisnu tidak pernah
kembali. Pasti mereka semua telah tewas. Kalau saja bukan rombongan kita yang
kemari, mungkin sebagian besar sudah tewas sebelum berhadapan dengan mereka,"
jelas Patih Rantaka teringat pada perangkap demi perangkap yang hampir saja
merenggut nyawa pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading.
Melati sama sekali tidak menyahut, meskipun dalam
hati mengakui kebenaran ucapan laki-laki setengah baya itu.
Memang sulit bagi para prajurit biasa untuk menghindari serangan jaring yang
tiba-tiba. Di perangkap pertama saja, Melati sudah dapat memperkirakan kalau
sebagian dari prajurit akan terkurung. Sementara yang lolos pun, belum tentu
bisa selamat dari ancaman senjata-senjata rahasia yang menyambar. Sungguh sebuah
persiapan yang matang!
Sesaat kemudian, Melati, Patih Rantaka, dan pa-
sukannya bergegas meninggalkan tempat itu, kembali menuju Kerajaan Bojong Gading.
36 Suara kukuk burung hantu terdengar memecah
kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada sedikit awan yang menggantung
di sana. Itu pun tampak tipis saja.
Meskipun bulan hanya sepotong nampak di langit, tapi suasana malam jadi terlihat
cukup terang. Karena, sinar bulan tidak terhalang.
Dalam suasana seperti itulah, tampak dua sosok
bayangan berkelebat cepat. Dan karena suasana cukup
terang, dua sosok bayangan itu bisa terlihat agak jelas.
"Kau kenal pembunuhnya, Kelelawar Beracun?" tanya salah satu dari dua orang itu.
Aneh sekali keadaan orang ini. Tubuhnya pendek
seperti anak-anak berusia delapan tahun. Kepalanya botak.
Tidak ada kain yang membungkus tubuhnya, selain secarik celana pendek. Kulitnya
putih seperti warna celananya. Tidak ada kumis, jenggot, atau cambang yang
menghias wajahnya.
Orang yang dipanggil Kelelawar Beracun itu menoleh,
tanpa menghentikan larinya sama sekali. Ciri-ciri yang dimiliki amat berlainan
dengan rekannya. Tubuhnya tinggi kurus, berpakaian serba hitam dan longgar.
Wajahnya putih pucat. Sementara sepasang matanya kecil dan berwarna merah.
Persis mata kelelawar!
Menilik dari keadaannya, usia orang yang berjuluk
Kelelawar Beracun ini tak kurang dari empat puluh lima tahun.
"Kenal sih tidak," sahut Kelelawar Beracun Suaranya terdengar mencicit seperti
suara kelelawar. "Tapi, apa susahnya mengorek keterangan dari mulut para
prajurit nanti, Tuyul Tangan Seribu?"
Laki-laki bertubuh pendek yang ternyata berjuluk
Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak menyahuti. Dan rupanya Kelelawar Beracun
pun juga tidak berminat untuk melanjutkan
ucapannya. Kini kedua orang aneh itu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata lagi. Cepat bukan main ilmu
meringankan tubuh kedua orang itu. Sehingga yang terlihat hanyalah bayangan
hitam dan putih yang berkelebatan cepat.
"Itu bangunan Istana Kerajaan Bojong Gading," unjuk Kelelawar Beracun seraya
menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bangunan besar yang menjulang kokoh di
kejauhan, tanpa mengendurkan kecepatan larinya.
"Hm...," Tuyul Tangan Seribu hanya menggumam pelan sebagai jawabannya. Sementara
kakinya terus saja melangkah.
Hebat memang laki-laki bertubuh pendek ini. Meskipun kedua kakinya pendek, namun sama sekail tidak mengalami kesulitan untuk
berlari di sebelah Kelelawar Beracun.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai
tingkatan tinggi, dalam waktu singkat Istana Kerajaan Bojong Gading telah berada
di hadapan mereka.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu segera
merapatkan tubuh ke tembok Istana Kerajaan Bojong Gading.
Kepala mereka didongakkan ke atas sebentar, mengira-ngira ketinggian tembok itu.
Tak kurang dari tiga tombak tinggi pagar tembok itu.
"Hih...!"
Kelelawar Beracun menjejakkan kedua kakinya di
tanah. Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas.
Menggiriskan sekali kelihatannya. Karena, pakaiannya yang berwarna hitam dan
longgar berkibaran tertiup angin. Laki-laki berwajah pucat ini tak ubahnya
seperti seekor kelelawar raksasa.
Tapi sebelum tubuh itu mencapai atas tembok,
luncuran itu terhenti. Kelelawar Beracun yang sudah
memperhitungkan hal itu sama sekali tidak gugup. Cepat tangan kanannya
dimasukkan ke balik baju. Dan begitu keluar kembali, sebilah pisau telah berada
di tangannya. Cappp...! Seketika pisau itu amblas ke dalam pagar tembok
sampai ke gagang ketika Kelelawar Beracun menancapkannya. Tidak hanya sampai di situ saja yang dilakukan laki-laki
berwajah pucat ini. Begitu pisau itu amblas, dengan tangan kanan berpegangan
pada gagang pisau,
tubuhnya kembali melenting ke atas.
Hebat cara yang dilakukan Kelelawar Beracun untuk
melewati pagar tembok. Tapi, masih lebih hebat lagi cara yang dilakukan Tuyul
Tangan Seribu. Laki-laki bertubuh pendek ini berusaha melewati pagar tembok
istana dengan cara merayap, seperti layaknya seekor cecak berjalan di dinding!
Dari pertunjukan ini saja sudah bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki laki-laki bertubuh pendek
itu. Melakukan hal seperti itu paling tidak membutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga dapat menempelkan tangan
dan kaki pada pagar tembok.
Karena Tuyul Tangan Seribu menggunakan cara
seperti itu, tidak aneh jika baru saja mencapai setengah perjalanan, Kelelawar
Beracun telah mendaratkan kakinya di atas pagar tembok. Namun tiba-tiba....
"Siapa kau"!" terdengar teguran salah seorang prajurit yang menjaga pagar tembok
Istana Kerajaan Bojong Gading itu.
"Hmh...!"
Kelelawar Beracun hanya mendengus, namun tangan
kanannya cepat bergerak mengibas.
Plakkk...! Terdengar suara keras ketika dada prajurit itu
terhantam tangan Kelelawar Beracun. Seketika itu juga tubuh prajurit itu
terpental jauh dengan tulang-tulang dada hancur. Nampaknya seluruh isi dadanya
remuk. Cairan merah kental mengalir deras dari mulut, hidung, dan
telinganya. Prajurit yang malang itu kontan tewas sebelum tubuhnya sempat
mencium tanah. Karuan saja hal itu mengagetkan prajurit lain. Maka
serentak mereka pun menyerang Kelelawar Beracun. Seketika itu
juga beberapa ujung tombak berkelebatan cepat

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengancam berbagai bagian tubuh laki-laki berwajah pucat itu.
"Hmh...!"
Lagi-lagi Kelelawar Beracun hanya mendengus. Segera
kakinya dijejakkan. Sesaat kemudian, tubuhnya sudah
berada di atas kepala para prajurit itu. Dan sekali tangannya bergerak menepuk,
tubuh para prajurit itu terdorong ke depan. Begitu kuatnya dorongan itu.
Sehingga tanpa mampu dicegah lagi, tubuh para prajurit itu berpentalan menjauh.
Terdengar suara jeritan yang memilukan ketika tubuh
mereka berjatuhan ke bawah.
*** Ringan tanpa suara sama sekali. Kelelawar Beracun
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Dia kini telah berada di dalam istana. Tapi
baru saja hinggap, kembali belasan orang prajurit meluruk menyerbu ke arahnya
dengan senjata terhunus. Memang, keributan yang ditimbulkan tadi telah memancing
tibanya prajurit lain.
Dan kini hujan senjata telah meluruk ke arah ber-
bagai bagian tubuh Kelelawar Beracun. Tapi kembali laki-laki berwajah
pucat ini hanya mendengus pelan. Kedua tangannya segera bergerak cepat, menangkis serangan-
serangan yang datang.
Tak, tak...! Suara berdentang keras seperti beradunya dua batang
logam terdengar ketika tangan Kelelawar Beracun berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Maka
seketika terdengar seruan keterkejutan dari mulut para prajurit itu, tatkala
merasakan getaran hebat pada tangan yang menggenggam senjata. Bahkan hampir-
hampir senjata itu terlepas dari tangan.
Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu,
tangan Kelelawar Beracun bergerak cepat bukan main. Mana mungkin para prajurit
yang hanya mempunyai kemampuan pas-pasan itu mampu mengelak" Seketika itu juga
tubuh tiga orang prajurit itu terlempar jauh ke belakang seperti diseruduk
kerbau! Darah segar langsung memancar deras dari mulut, hidung, dan telinga.
Mereka langsung tewas tanpa mampu berteriak lagi.
Kelelawar Beracun tidak bertindak setengah-setengah.
Seluruh kemampuan yang dimilikinya dikerahkan. Akibatnya sudah bisa diduga. Para
prajurit pun berjatuhan saling susul diiringi jerit kematian mendirikan bulu
roma. Meskipun tahu betapa lihainya laki-laki berwajah
pucat itu, namun para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak menjadi gentar
karenanya. Dengan semangat tanggung jawab tinggi, mereka segera datang membantu.
Maka pembantaian besar-besaran pun terjadi oleh tangan dingin Kelelawar Beracun.
Menggiriskan sekali tindakan Kelelawar Beracun ini.
Para prajurit itu seperti semut-semut yang menerjang api.
Mereka semua berguguran tanpa mampu berbuat sesuatu.
Belum juga kerusuhan yang ditimbulkan Kelelawar
Beracun bisa ditanggulangi, Tuyul Tangan Seribu datang.
Dan begitu tiba, langsung saja menceburkan diri dalam arena pertmpuran. Dan yang
lebih mengerikan lagi, tindakan Tuyul Tangan Seribu tidak kalah dinginnya dengan
amukan Kelelawar Beracun.
Laki-laki bertubuh pendek ini menggerak-gerakkan
tangannya. Dan hebatnya, sepasang tangan itu seperti berubah menjadi banyak.
Kemana pun tangan itu bergerak, sudah dapat dipastikan ada seorang prajurit yang
roboh untuk selamanya.
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dua orang tokoh sakti itu. Tubuh-tubuh tak
bernyawa bergelimpangan di sana-sini. Sudah tak terhitung lagi, berapa prajurit
Kerajaan Bojong Gading yang tewas. Meskipun begitu, tetap saja yang lainnya tak
menjadi gentar dan tetap saja mengadakan perlawanan sengit.
"Mari kita berlomba menghabisi lawan, Kelelawar Beracun!" ajak Tuyul Tangan
Seribu sambil tertawa-tawa gembira.
Tangan kanan laki-laki pendek itu bergerak me-
nampar ke arah kepala seorang prajurit Terdengar suara berderak keras ketika
pelipis prajurit itu pecah. Maka prajurit malang itu pun tewas seketika.
"Kuterima tantanganmu, Tuyul Tangan Seribu!" sambut Kelelawar Beracun tak mau kalah.
Kaki laki-laki berwajah pucat ini meluncur cepat ke
arah dada salah seorang prajurit. Terdengar suara berderak keras diikuti
terpentalnya tubuh prajurit yang malang itu ketika tendangan Kelelawar Beracun
mengenai dada. Prajurit itu pun roboh untuk selama lamanya dengan seluruh tulang
dada hancur! "Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, diikuti mun-
culnya dua sosok tubuh berpakaian panglima.
Mendengar bentakan keras menggelegar itu, bergegas
belasan orang prajurit yang memang sudah kewalahan itu berlompatan mundur.
Mereka semua mengenal pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan Panglima Jatalu.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu sama
sekali tidak mengejar para prajurit itu. Mereka hanya berdiri menanti. Pandangan
mata kedua orang sakti ini tertuju pada dua orang panglima yang bergerak
menghampiri mereka.
Dua orang panglima yang tak lain Panglima Jatalu
dan Panglima Garda itu melangkah menghampiri. Panglima Garda
dulu tidak ikut dalam pertempuran peristiwa pemberontakan di Kerajaan Bojong Gading karena mendapat tugas dari Prabu
Nalanda. Kali ini Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu
bersikap waspada, tidak lagi sembarangan seperti sebelumnya. Sekali lihat saja, mereka tahu kalau kedua orang panglima itu bukan
orang sembarangan. Dan itulah sebabnya, mengapa mereka berlaku hati-hati.
"Siapa kalian"! Dan mengapa mengacau Istana
Kerajaan Bojong Gading"!" tanya Panglima Jatalu dengan suara khasnya yang keras
seperti halilintar.
Laki-laki bertubuh tinggi besar ini memang marah
bukan main melihat banyak prajurit Kerajaan Bojong Gading yang bergelimpangan
tanpa nyawa di tanah.
"Aku Kelelawar Beracun!" sahut laki-laki berwajah pucat sambil tersenyum
mengejek. "Dan aku, Tuyul Tangan Seribu!" sambung laki-laki bertubuh pendek tak mau kalah.
Berubah wajah Panglima Jatalu dan Panglima Garda
begitu mendengar julukan kedua orang itu. Sebab, dua tokoh sesat itu terkenal
memiliki kepandaian tinggi dan bersifat telengas.
"Dan kami datang untuk membalaskan dendam!
Seorang gadis berpakaian putih dan berambut panjang telah membunuh sahabat
kami!" sahut Kelelawar Beracun, dingin.
"Siapa sahabat kalian?" Panglima Garda ikut angkat bicara.
Sudah bisa diperkirakan kalau gadis berpakaian putih yang dimaksud laki-laki
berwajah pucat itu adalah Melati, putri angkat Raja Bojong Gading. Melati adalah
seorang gadis pendekar. Dan selama petualangannya memang bukan tidak mungkin
kalau dia telah membunuh seorang yang menjadi sahabat kedua orang ini.
"Kala Ireng!" tandas Tuyul Tangan Seribu.
"Kala Ireng"!" ulang Panglima Garda dan Panglima Jatalu berbarengan.
Kala Ireng adalah pemimpin gerombolan perampok
yang memang belum lama ini ditumpas Melati. Jadi, rupanya kedua orang ini adalah
sahabat kepala rampok itu.
"Ya!" Kelelawar Beracun menganggukkan kepala.
"Cepat suruh wanita keparat itu keluar untuk menerima kematian di tangan kami!
Jangan sampai aku berubah
pikiran, hingga harus membunuh kalian!"
Terdengar suara gemeretak keras dari mulut semua
orang yang berada di situ. Mereka memang marah bukan main mendengar Melati,
wanita yang mereka bangga-banggakan, dimaki seperti itu.
"Sayang sekali, Kisanak!" sahut Panglima Jatalu keras. "Kami sama sekali tidak
bisa memenuhi per-mintaanmu. Bahkan justru kamilah yang akan mengadili kalian
karena telah membunuh banyak prajurit dan juga menghina junjungan jami!"
"Ha ha ha...!" Tuyul Tangan Seribu tertawa terbahak-bahak. "Kalian mencari
penyakit rupanya!"
"Hiyaaat..!"
Panglima Garda yang sudah tidak bisa menahan
kemarahannya lagi segera melompat menerjang. Tiga buah Jari tangannya mengembang
membentuk cakar. Sementara ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam. Panglima
andalan Kerajaan Bojong Gading itu menggunakan 'Ilmu Garuda
Sakti'. Tubuhnya kemudian meluncur turun seraya mengirimkan serangan ke arah ubun-ubun dan pelipis
Kelelawar Beracun.
"Hey...!"
Baik Tuyul Tangan Seribu maupun Kelelawar Beracun
terperanjat melihat ilmu yang digunakan Panglima Garda.
Sebab, kelihatannya mirip sekali dengan ilmu yang dimiliki rekan mereka, Kala
Ireng. Memang dugaan kedua orang itu sama sekali tidak
salah. Baik Panglima Garda, maupun Kala Ireng sama-sama mempergunakan ilmu yang
diambil dari gerakan burung
garuda. Baik dalam hal bentuk jari tangan, maupun perilaku binatang itu.
Terutama saat menghadapi mangsa maupun musuh yang lebih kuat. Tidak aneh jika
ilmu yang dimainkan memiliki persamaan.
Kelelawar Beracun tidak berani bertindak main-main.
Dia mendengar adanya suara angin mencicit mengiringi tibanya serangan lawan.
Pertanda kalau serangan itu
mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi laki-laki berwajah pucat ini adalah orang yang
terlalu percaya akan diri sendiri. Dia selalu percaya akan kelihaian yang
dimilikinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi tangannya
segera diangkat untuk menangkis, seraya mengeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Prattt..! Tubuh Panglima Garda terpental balik ke atas kembali begitu tangan mereka saling
berbenturan. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main. Bahkan boleh dibilang
setengah lumpuh! Bukan hanya itu saja. Dadanya pun terasa sesak bukan main.
Sedangkan Kelelawar Beracun hanya merasakan
betapa kedua tangannya agak bergetar. Tapi kuda-kudanya tetap tidak berubah. Pertanda kalau
benturan itu sama sekati tidak mempengaruhinya.
Dengan agak terhuyung-huyung, Panglima Garda
mendaratkan kedua kakinya di tanah. Panglima Jatalu yang melihat hal ini menjadi
khawatir dan bergegas memburunya.
"Kau tidak apa-apa, Panglima Garda?" tanya Panglima Jatalu agak khawatir.
Panglima bertubuh tinggi besar ini tentu saja bisa
mengetahui kalau Kelelawar Beracun jauh lebih kuat
daripada rekan sekaligus adik seperguruannya. Memang Panglima Jatalu dan
Panglima Garda adalah saudara
seperguruan. Mereka sama-sama murid utama Perguruan
Garuda Sakti (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah
di Bojong Gading").
Panglima Garda menggelengkan kepala.
"Tenaga dalamnya luar biasa sekali. Kang," kata Panglima Garda memberi tahu.
"Biar aku yang menghadapinya," Panglima Jatalu menawarkan diri. "Kau hadapi saja
kawannya" Panglima Garda sama sekail tidak membantah. Kini
kedua panglima itu bergerak ke arah yang berlawanan.
Panglima Garda ke kiri, sementara Panglima Jatalu ke kanan.
"Ha ha ha...!"
Kelelawar Beracun tertawa bergelak. Laki laki berwajah pucat ini kembali bangkit kesombongannya, begitu telah mengetahui
tingkat kepandaian lawan. Sambil masih tertawa-tawa, diperhatikannya Panglima
Jatalu yang kini perlahan-lahan mulai menghampiri.
"Haaat..!"
Panglima Jatalu kini melompat menyerang. Tangan
kanannya yang berbentuk cakar garuda meluncur cepat ke arah ulu hati Kelelawar
Beracun. Sementara tangan kirinya terpalang di depan dada.
"Hiyaaa...!"
Kelelawar Beracun melesat memapak serangan Panglima Jatalu. Tangan kanannya dengan jari-jari tangan terkembang lebar
memapak. Prattt...! Tubuh Panglima Jatalu terjengkang ke belakang.
Tangan kanannya terasa lumpuh, setelah beradu dengan tangan Kelelawar Beracun.
Rasa sesak yang amat sangat mendera dadanya. Sementara Kelelawar Beracun sama
sekali tidak terhuyung. Hanya kedua tangannya bergetar. Tubuhnya yang agak
condong ke belakang saja, yang membuktikan kalau
benturan dengan Panglima Jatalu itu cukup mempengaruhinya.
Tapi sekejap kemudian. Kelelawar Beracun kembali
melompat menerjang, ke atas. Langsung dihujaninya tubuh yang masih terhuyung-
huyung itu dengan serangan tusukan tangan bertubi-tubi.


Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima Jatalu terperanjat. Tidak ada lagi kesem-
patan untuk mengelakkan serangan itu, karena dalam
keadaan yang tidak memungkinkan. Jalan satu-satunya
hanya menangkis. Dan itulah yang terpaksa harus dilakukan panglima bertubuh
tinggi besar ini dalam usaha untuk menyelamatkan nyawanya.
Plak, plak, plak...!
Benturan keras terdengar berkali-kali ketika dua
pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.
Panglima Jatalu meringis.
Tubuhnya yang memang tengah terhuyung-huyung
itu kontan terjengkang, dan jatuh bergulingan di tanah. Sakit yang diderita
tangannya tadi belum lagi hilang, kini terpaksa harus berbenturan lagi. Kedua
tangannya saat ini benar-benar tidak bisa digerakkan lagi.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar suara tawa Kelelawar Beracun.
Seperti sebuah tawa kemenangan.
Panglima Jatalu bergerak bangkit. Diam-diam disesalinya sendiri keteledorannya. Kalau saja sejak semula tidak bertindak
teledor dengan mengadu benturan tenaga, tidak akan semudah itu akan dipecundangi
lawannya. "Sudah kubilang, cepat panggil wanita keparat itu kemari! Sampai saat ini aku
masih mau bersabar, dan tidak membunuhmu. Tapi kalau kau masih bersikeras juga,
jangan salahkan kalau aku akhirnya bertindak keji padamu!" ancam Kelelawar
Beracun seraya menatap tajam wajah Panglima Jatalu.
"Cuhhh...!" Panglima Jatalu membuang ludah ke tanah. "Kau kira aku takut mati,
Kelelawar Beracun"!"
Merah selebar wajah Kelelawar Beracun. Terdengar
suara gemeretak keras dari gigi-giginya, karena kemarahan yang
menggelegak. Perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri Panglima Jatalu yang berusaha bangkit berdiri.
Hawa maut terpancar baik pada wajah maupun sorot
matanya. Tentu saja para prajurit Kerajaan Bojong Gading tidak tinggal diam melihat
atasan mereka terancam bahaya maut.
Serentak mereka semua bergerak, berdiri di depan Panglima Jatalu dengan senjata
terhunus. "Hmh...!"
Kelelawar Beracun mendengus. Tanpa mempedulikan
adanya para prajurit itu, dia tetap melangkah maju. Rupanya tokoh sesat ini
bersiap mengirim Panglima Jatalu ke alam baka.
"Serbu...!"
Diiringi teriakan salah seorang prajurit, belasan
prajurit itu menyerang Kelelawar Beracun. Hujan senjata tajam pun berhamburan ke
arah laki-laki berwajah pucat itu.
Kelelawar Beracun menyambut serbuan itu. Tak pelak
lagi, pertarungan sengit di antara mereka terjadi.
46 Berbeda dengan pertarungan Panglima Jatalu yang
hanya berlangsung beberapa gebrakan, pertempuran antara Panglima
Garda dengan Tuyul Tangan Seribu justru berlangsung lebih lama.
Pengalaman yang diterima ketika menghadapi Kelelawar Beracun memang membuat panglima itu berhati-hati. Maka dia tidak
berani bertindak ceroboh dengan sembarangan mengadu tenaga dengan Tuyul Tangan
Seribu. Tapi karena memang tokoh sesat itu lebih unggul segala-galanya, maka tak heran
kalau Panglima Garda terdesak hebat.
Tuyul Tangan Seribu memang memiliki kepandaian
luar biasa! Terutama sekali gerakan tangannya yang cepat bukan main. Seolah-olah
tangan itu tidak berjumlah dua, tapi banyak! Mungkin itulah sebabnya, mengapa
laki-laki bertubuh pendek ini mendapat julukan Tuyul Tangan Seribu.
Panglima Garda kebingungan. Kepalanya terasa pusing bukan main. Sepasang matanya pun berkunang-
kunang akibat pergerakan tangan lawan yang sedemikian cepatnya. Tidak sampai
tiga jurus dia sudah terdesak hebat.
Sudah dapat dipastikan, robohnya Panglima Garda hanya tinggal menunggu waktu
saja. "Haaat...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang meng-
getarkan jantung. Belum lagi gema teriakan itu lenyap, sesosok bayangan putih
melesat cepat memasuki arena
pertarungan antara Tuyul Tangan Seribu dengan Panglima Garda.
Begitu masuk kancah pertempuran, sosok bayangan
putih itu langsung melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah kepala dan ubun-
ubun Tuyul Tangan Seribu.
Mendapat serangan yang tidak disangka-sangka,
Tuyul Tangan Seribu langsung terperanjat. Meskipun begitu dia tidak gugup. Buru-
buru desakannya pada Panglima
Garda dibatalkan. Lalu, dia melompat ke samping kanan dan bergulingan menjauh.
Sosok bayangan putih itu sama sekali tidak me-
ngejarnya. Begitu Tuyul Tangan Seribu menjauhkan diri, tubuhnya kembali melesat
ke arah pertarungan yang terjadi antara Kelelawar Beracun dengan para prajurit
Kerajaan Bojong Gading.
Seperti halnya Tuyul Tangan Seribu, Kelelawar
Beracun pun terkejut bukan main begitu melihat sekelebatan bayangan putih
melesat ke arahnya, menerobos kerumunan prajurit. Bayangan putih itu melancarkan
serangan dengan kedua tangan membentuk setengah cakar ke arah dada dan ulu hati.
Angin keras berhembus sebelum serangan itu sendiri
tiba. Dari angin serangan itu saja, Kelelawar Beracun sudah bisa
memperkirakan kedahsyatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya.
Tapi karena keyakinannya amat kuat terhadap
kemampuan diri, membuat laki-laki berwajah pucat Ini tidak berusaha mengelakkan
serangan itu. Dia malah memapaknya dengan jari-jari tangan membentuk cakar
seperti sosok bayangan putih itu menyerangnya.
Prattt...! Tubuh Kelelawar Beracun terhuyung tiga langkah ke
belakang. Sementara sosok bayangan putih itu hanya
terhuyung satu langkah ke belakang. Bukan hanya itu saja yang dirasakan laki-
laki berwajah pucat ini. Kedua tangan yang berbenturan terasa ngilu bukan main!
"Mundur semua...!" perintah sosok bayangan putih itu keras begitu kakinya
hinggap di tanah. Suaranya terdengar tegas dan berwibawa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, para prajurit yang mengeroyok Kelelawar
Beracun segera berlompatan mundur.
Mereka semua telah mengenal pemilik suara itu.
Kelelawar Beracun menatap tajam wajah sosok
bayangan putih, begitu berhasil memperbaiki berdirinya.
Rasa penasaran menyelimuti hatinya. Baru kali ini ada orang yang sanggup
membuatnya terhuyung-huyung dalam adu
tenaga. Perasaan penasaran itu semakin menjadi-jadi ketika
melihat sosok bayangan putih itu ternyata adalah seorang gadis berpakaian putih
yang berambut pan jang terurai.
Hanya seorang gadis muda telah mampu membuatnya
terhuyung-huyung! Sungguh sulit dipercaya.
Tapi sesaat kemudian, kemarahan kembali meng-
gelegak dalam hatinya. Dia teringat sesuatu. Ciri-ciri gadis di hadapannya ini
sangat mirip dengan orang yang dikabarkan telah membunuh Kala Ireng.
"Kaukah orang yang telah membunuh Kala Ireng,
Wanita Liar"!" tanya Kelelawar Beracun kasar. Nada suara dan sorot matanya
memancarkan kemarahan yang amat
sangat. Wajah gadis berpakaian putih yang tak lain dari
Melati merah padam. Ucapan Kelelawar Beracun membuat amarahnya
bangkit. Meskipun begitu kemarahannya berusaha ditahan.
"Kalau memang benar, kau mau apa"!" Melati balas bertanya sambil bertolak
pinggang. Sikap maupun nada suaranya penuh tantangan. "Orang seperti Kala Ireng
layak untuk mampus!"
"Keparat!"
Sambil berteriak memaki, Kelelawar Beracun segera
melancarkan serangan ke arah Melati. Tahu akan kelihaian lawannya, laki-laki
berwajah pucat itu tidak bertindak, tanggung-tanggung
lagi. Segera dikeluarkan Ilmu andalannya, 'Jari Tombak'.
Kedua tangannya dikepalkan, kecuali jari telunjuknya yang menegang kaku. Dan
dengan bentuk jari-jari tangan seperti itulah, Kelelawar Beracun menyerang
Melati. Dua jari telunjuknya meluncur cepat ke arah gadis itu, mengancam leher
dan bawah hidung yang merupakan dua jalan darah kematian!
Terdengar suara mencicit nyaring seperti ada seekor
tikus terjepit, mengiringi datangnya serangan itu.
Melati yang tengah murka bukan main melihat ba-
nyak pasukan Kerajaan Bojong Gading tewas, dan juga
karena ucapan lawan, tidak ingin bertindak main-main lagi.
Segera dikeluarkannya pula ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah'.
Kedua tangan gadis berpakaian putih ini terkembang
membentuk cakar naga. Ditambah lagi kedua tangan sampai sebatas pergelangan
gadis itu berwarna merah seperti darah.
Melati terkejut bukan main ketika mengetahui beberapa helai rambutnya berputusan tatkala serangan Kelelawar Beracun menyambar
dekat. Kalau saja dia belum pernah bertarung dengan orang yang memiliki ilmu
semacam ini, pasti dia akan kebingungan beberapa saat lamanya. Ilmu yang
dimiliki lawannya mirip dengan yang dimiliki Darba (Untuk jelasnya, baca serial
Dewa Arak dalam episode "Cinta Sang Pendekar").
Melihat hal ini, Melati tidak berani bertindak ceroboh.
Bergegas kakinya melangkah ke kanan, sehingga serangan itu lewat sekitar
sejengkal di samping kiri tubuhnya. Dan secepat dia mengelak, secepat itu pula
Melati melancarkan serangan berupa sampokan tangan kiri ke arah pelipis
Keielawar Beracun.
Kelelawar Beracun menggeram murka. Sungguh di
luar dugaan, kalau dalam segebrakan saja lawannya ini mampu balik mengancam.
Padahal sebelumnya keadaan
gadis berpakaian putih itu berada dalam pihak terancam.
Tapi Kelelawar Beracun memang bukan orang sembarangan. Menghadapi serangan itu, dia tidak menjadi bingung atau gugup.
Segera kepalanya dirundukkan, seraya merendahkan tubuh. Dengan sendirinya,
serangan itu lewat sekitar sejengkal di atas kepala.
Rupanya hal itu sudah diperhitungkan Melati. Terbukti, gadis itu langsung melancarkan serangan susulan.
Kaki kirinya mencuat mengancam perut Kelelawar Beracun.
Andaikan kena, mungkin bisa remuk isi dada laki-laki berwajah pucat itu.
Tidak ada jalan lain bagi Kelelawar Beracun. Segera
tubuhnya dilempar ke belakang kemudian bersalto beberapa kali di udara untuk
mengelakkan serangan.
Melati sama sekali tidak memberi kesempatan. Begitu
lawannya terlihat melempar tubuh ke belalang, gadis
berpakaian putih ini bergegas bergerak mengejar. Tapi sebelum niatnya tedaksana,
sesosok bayangan berkelebat.
Dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek. Siapa
lagi kalau bukan Tuyul Tangan Seribu!
Tuyul Tangan Seribu sama sekali tidak memberi
kesempatan pada Melati. Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu pula
serangannya dilancarkan ke arah gadis berpakaian putih. Kedua tangannya menotok
bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar. Cepat bukan main gerakannya.
Melati terperanjat. Kecepatan gerak tangan lawan
benar-benar membingungkan. Gadis berpakaian putih ini memang tidak ingin
bertindak ceroboh, jadi tidak berani langsung menangkis. Dia belum mengetahui
perkembangan ilmu lawannya, maka cepat-cepat bergerak mengelak.
Baru saja gadis berpakaian putih mengelakkan
serangan itu, Kelelawar Beracun telah kembali menye-
rangnya. Maka, kini putri angkat Raja Bojong Gading ini pun dikeroyok dua.
*** Panglima Jatalu, Panglima Garda, dan semua prajurit
hanya menonton pertarungan itu dengan hati berdebar
tegang. Diam-diam mereka semua merasa kagum pada
Melati. Dan memang, mereka semua telah merasakan sendiri, betapa lihainya tokoh
yang berjuluk Tuyul Tangan Seribu dan Kelelawar Beracun itu. Menghadapi satu
orang saja, mereka mengalami kesulitan. Tapi sekarang, putri angkat junjungan
mereka menghadapi keroyokan dua tokoh sakti itu sekaligus.
Dari sini saja mereka sudah bisa memperkirakan kelihaian gadis berpakaian putih
itu. Di samping perasaan kagum itu, terselip rasa
khawatir yang amat sangat dalam hati mereka semua.
Mereka tidak yakin kalau Melati akan mampu menghadapi dua orang lawannya. Dan
dengan perasaan harap-harap


Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemas, mereka menyaksikan jalannya pertarungan.
Meskipun mereka semua menyaksikan jalannya pertarungan, tapi hanya Panglima Jatalu dan Panglima Garda saja yang bisa
mengira-ngira keadaan kedua belah pihak yang bertempur.
Pertarungan antara Melati melawan Tuyul Tangan
Seribu dan Kelelawar Beracun memang berlangsung demikian cepat. Tidak aneh kalau para prajurit Kerajaan Bojong Gading sama
sekali tidak bisa mengikuti jalannya pertarungan. Bukannya kelihatan, tapi
kepala mereka yang pusing. Dan sepasang mata mereka pun berkunang-kunang ketika
memaksakan diri untuk melihat pertarungan itu.
Panglima Garda dan Panglima Jatalu saja yang telah
memiliki kepandaian tinggi, tidak dapat melihat jelas pertarungan itu. Sulit
untuk mengetahui, mana pihak yang terdesak, dan yang mendesak. Yang menjadi
patokan mereka adalah bayangan putih dan hitam yang saling menyerang cepat.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu menggertakkan gigi. Mereka marah dan malu bukan main, di samping ada perasaan
kagum yang terselip. Padahal mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki, tapi tak
juga mampu mengalahkan lawan. Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak mampu.
Pertarungan memang berlangsung cepat, karena
masing-masing pihak memang mengerahkan seluruh kemampuan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, empat puluh jurus telah berlalu.
Dan selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang terdesak. Terdengar suara
mencicit dan menderu menyemaraki pertarungan sengit itu.
Bukan hanya Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan
Seribu yang merasa kagum. Melati pun diam-diam merasa kagum terhadap kedua orang
lawannya ini. Mereka memang memiliki keistimewaan masing masing. Kelelawar
Beracun dengan ilmu 'Jari Tombak'nya, sedangkan Tuyul Tangan Seribu dengan iimu
'Tangan Seribu'nya. Melati berjuang keras, mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya sampai setinggi mungkin. Kedua cakarnya dalam pemakaian ilmu 'Cakar
Naga Merah' menyambar-nyambar mencari
sasaran. Kembali empat puluh jurus berlalu cepat. Dan selama
itu, belum juga ada tanda-tanda yang akan terdesak maupun mendesak.
Pertarungan masih kelihatan seimbang. Sementara jumlah prajurit yang menonton pun semakin
banyak. Di antara mereka, ternyata telah hadir pula Panglima Gotawa, Panglima
Tampaya, Patih Rantaka, dan pasukan khusus kerajaan. Bahkan di sana juga telah
berdiri dengan agungnya Prabu Nalanda.
Melihat hal ini, tentu saja Kelelawar Beracun menjadi cemas. Betapapun saktinya
dia dan Tuyul Tangan Seribu, tapi tetap saja tidak akan mungkin mampu menghadapi
sekian banyaknya lawan. Maka perasaan cemaslah yang
mendorongnya menggunakan senjata andalan.
Kelelawar Beracun memasukkan tangannya ke balik
baju. Sesaat kemudian tangan itu dikeluarkan kembali, dan secepat itu pula
dikibaskan. Serrr...! Terdengar suara berdesir pelan diikuti melesatnya
benda-benda kecil berkilauan ke arah Melati.
Melati terperanjat begitu mendengar suara berdesir
pelan. Tapi karena suasana malam yang cukup terang, gadis berpakaian putih ini
tidak mengalami kesulitan untuk mengetahuinya. Benda itu ternyata adalah jarum
yang mungkin puluhan jumlahnya. Bau amis yang memuakkan
tercium ketika jarum-jarum itu meluncur.
Bukan hanya Melati saja yang merasa terkejut melihat hal ini. Semua orang yang
menyaksikan pun terperanjat bukan
main. Bahkan Prabu Nalanda tanpa sadar memukulkan kepalan tangan kanan pada telapak tangan
kirinya. "Licik...!" seru Raja Bojong Gading ini dengan suara berdesis. Raut wajah maupun
sinar matanya menyorotkan perasaan cemas yang mendalam.
"Hih...!"
Melati membanting tubuh ke samping kanan, kemudian bergulingan di tanah menjauhkan diri. Maka
semua serangan jarum itu mengenai tempat kosong.
Tuyul Tangan Seribu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Buru-buru dia melompat memburu. Kedua tangannya melakukan
serangan bertubi-tubi ke arah tubuh yang tengah bergulingan.
Sungguh di luar dugaan, ternyata dalam keadaan
seperti itu Melati mampu melenting ke atas. Tak pelak lagi, semua serangannya
mengenai tempat kosong. Sama sekali laki laki bertubuh pendek ini tidak tahu
kalau itu adalah salah satu jurus dari rangkaian ilmu 'Cakar Naga Merah', yakni
jurus 'Naga Merah Muncul ke Permukaan Laut'. jurus yang belum pernah digunakan
gadis berpakaian putih itu, kecuali dalam keadaan terdesak.
Sebelum Tuyul Tangan Seribu sempat berbuat sesuatu, Melati telah melancarkan serangan cakar tangan kanan ke arah ubun-ubun.
Laki-laki bertubuh pendek ini terkesiap. Dengan agak gugup,
dia melompat mundur ke belakang. Menurut perhitungannya, cakar tangan Melati tidak akan bisa
mencapainya. Hampir saja jantung Tuyul Tangan Seribu melompat
keluar ketika cakar tangan lawan tetap saja mengancam ubun-ubunnya. Bagaimana
hal ini bisa terjadi, laki-laki bertubuh pendek tidak mengetahuinya. Yang jelas,
cakar tangan itu terus memburunya. Sama sekali Tuyul Tangan Seribu tidak tahu
kalau itu adalah jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku'.
Meskipun berada dalam keadaan terjepit, Tuyul
Tangan Seribu masih sanggup membuktikan kalau dirinya adalah seorang tokoh
tingkat tinggi. Dalam kesempatan yang hanya sedikit sekali, tubuhnya berusaha
digeliatkan. Plakkk...! Cakar tangan Melati menghantam bahu kiri Tuyui
Tangan Seribu. Telak, dan keras sekali. Akibatnya tubuh laki-laki bertubuh
pendek itu terjengkang ke belakang. Mau tak mau Tuyul Tangan Seribu harus
meringis. Darah segar
menetes dari sudut-sudut mulut nya. Laki-laki bertubuh pendek ini terluka dalam.
Tapi sebelum Melati sempat mengirimkan serangan
susulan, Kelelawar Beracun kembali mengibaskan tangannya. Serrr...! Suara berdesir pelan terdengar ketika jarum-jarum
beracun itu kembali menyambar ke arah Melati. Gadis
berpakaian putih ini tentu saja terkejut bukan main.
Serangan itu datang terlalu tiba-tiba. Dan lagi, tubuhnya tengah berada di
udara. Sulit baginya untuk mengelakkan serangan itu.
Meskipun begitu, Melati tetap berusaha keras untuk
menyelamatkan selembar nyawanya. Maka tubuhnya segera digeliatkan. Tapi....
Crep, crep, crep...!
Beberapa batang jarum beracun itu tetap menancap
di tubuh Melati. Seketika itu juga bagian yang terhunjam jarum-jarum itu terasa
panas dan gatal-gatal. Sebagai seorang wanita yang telah cukup kenyang merambah
dunia persilatan, dia segera tahu kalau jarum-jarum itu beracun.
Hebatnya, begitu jarum-jarum itu menancap di
tubuhnya. Melati masih mampu melakukan serangan balasan. Kedua tangannya yang terkembang membentuk
cakar itu dihentakkan ke depan, menggunakan jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Angin keras menderu menyambar ke arah Kelelawar
Beracun. Laki-laki berwajah pucat ini kaget bukan main. Dia baru saja
mengirimkan serangan jarum-jarumnya, dan
tubuhnya masih tengah berada di udara. Karuan saja
serangan mendadak yang tidak disangka-sangka
ini membuat wajahnya pucat seketika.
Sebisa-bisanya Kelelawar Beracun berusaha mengelakkan serangan itu. Tubuhnya digeliatkan se- mampunya. Tapi usaha untuk menghindarkan serangan itu tidak
berhasil sepenuhnya.
Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Melati telak dan keras sekali menghantam bahu kanannya, namun agak
menyeleweng dari sasaran semula.
Meskipun begitu, akibat yang diderita Kelelawar
Beracun bukan berarti ringan. Tubuh laki-laki berwajah pucat ini melayang jauh
ke belakang, dan jatuh keras sekali di tanah. Darah segar menitik deras dari
hidung dan mulutnya. Tapi dalam keadaan seperti itu, Kelelawar Beracun
masih sanggup mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan
sebuah gerakan manis, kekuatan yang melontarkan tubuhnya berhasil dipatahkan. Kemudian, dia bersalto beberapa kali di udara.
Walaupun agak terhuyung-huyung, Kelelawar Beracun berhasil mendaratkan kedua
kakinya di tanah.
Beberapa saat sebelum Kelelawar Beracun hinggap di
tanah, Melati telah lebih dulu mendarat. Seperti juga halnya Kelelawar
Beracun, gadis berpakaian putih ini juga terhuyung-huyung waktu mendarat di tanah. Bedanya,
Kelelawar Beracun langsung bisa memperbaiki berdirinya, sedangkan
Melati tidak. Gadis berpakaian putih ini memegangi kepalanya.
Sekelilingnya terasa berputaran.
Sesaat kemudian tubuhnya limbung.
Tentu saja semua orang yang menonton pertarungan
itu jadi terkejut. Hampir berbareng, semuanya bergerak menghambur ke arah
Melari. Prabu Nalanda dan Patih
Rantaka merupakan orang pertama yang berhambur ke arah Melati. Maka Kelelawar
Beracun dan Tuyul Tangan Seribu pun terlupakan.
Kelelawar Beracun dan Tuyul Tangan Seribu yang
melihat kesempatan baik ini tidak menyia-nyiakan lagi.
Mereka tahu, tidak ada gunanya lagi berada di situ, karena telah terluka dalam.
Dan bila terus memaksakan diri, mereka akan tewas di tangan pasukan Kerajaan
Bojong Gading. Maka begitu melihat kesempatan yang baik, di saat
semua perhatian tertumpah pada Melati, kedua orang ini melesat kabur dari situ.
Ada satu alasan lagi yang mendorong kedua orang itu bergegas kabur. Racun yang


Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkandung dalam jarum itu adalah racun yang amat ganas. Kecil sekali
kemungkinannya bagi Melati untuk dapat bertahan hidup.
7 "Melati...!" seru Prabu Nalanda penuh kekhawatiran seraya bergegas melangkah
menghampiri putri angkatnya.
Tapi Melati seperti tidak mendengar panggilan itu, dan tetap saja memegangi
kepalanya. Letak berdirinya pun sudah tidak tetap lagi. Kadang oleng ke kiri,
dan kadang oleng ke kanan seperti orang mabuk.
Dan tepat ketika Raja Bojong Gading ini berada dekat Melari, tubuh gadis
berpakaian putih itu mendadak roboh.
Sebuah keluhan lirih keluar dari mulutnya. Kelihatannya dia pingsan. Sudah dapat
dipastikan tubuh Melati akan jatuh membentur tanah. Untung saja Prabu Nalanda
bergerak cepat menyambar.
Tappp...! Tangan kanan Melati berhasil ditangkap, tapi seketika itu
juga Prabu Nalanda melepaskannya. Ada jerit keterkejutan keluar dari mulutnya. Betapa Raja Bojong Gading ini tidak menjadi
terkejut. Begitu dipegang, tangan Melati terasa panas sekali! Menyengat, tak
ubahnya bara api!
Lagi-lagi nasib baik tengah berpihak pada Melati.
Tubuh gadis berpakaian putih itu disambar Patih Rantaka sebelum menyentuh tanah.
Tapi seperti juga Prabu Nalanda, laki-laki setengah baya itu juga terperanjat.
Hanya saja, Patih Rantaka
bisa menguasai diri, sehingga tidak sampai melepaskan tubuh Melati.
Sebagai orang yang telah penuh pengalaman, Patih
Rantaka segera saja mengetahui apa yang terjadi terhadap Melati. Apalagi ketika
perlahan namun pasti, tampak wajah gadis berpakaian putih itu mulai memerah.
"Cepat panggil Eyang Sagapati...!" seru laki-laki setengah baya itu pada salah
seorang pasukan khusus.
Patih Rantaka sengaja menyuruh salah seorang
anggota pasukan khusus, agar lebih mempercepat datangnya pertolongan untuk
Melati. Setelah memberi hormat, tanpa membuang-buang
waktu lagi seorang anggota yang berkumis jarang-jarang segera berkelebat. Cepat
juga gerakannya. Sehingga sebentar saja, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
"Apa yang terjadi. Patih?" tanya Prabu Nalanda. Nada suara maupun sikap Raja
Bojong Gading ini menyiratkan perasaan cemas yang tak terhingga.
"Gusti Ayu keracunan, Gusti Prabu," Jelas Patih Rantaka sambil memberi hormat.
Kedua telapak tangannya dirapatkan kemudian ditempelkan di depan hidung, seraya
membungkukkan tubuh sedikit.
Setelah berkata demikian, laki-laki setengah baya itu kemudian menelusuri
sekujur tubuh Melati. Mencari-cari, di mana adanya jarum yang menancap di tubuh
gadis berpakaian putih itu. Memang, tadi Patih Rantaka sempat melihat kalau Melati
terkena serangan jarum Kelelawar Beracun.
Sesaat kemudian, laki-laki setengah baya ini telah
berhasil menemukannya. Tiga batang jarum itu ternyata menancap di dada atas
sebelah kiri. Tanpa ragu-ragu lagi, Patih Rantaka menggerakkan jarinya menotok
di sekitar tempat yang terkena jarum untuk mencegah menjalarnya racun ke
jantung. "Cepat bawa dia masuk, Patih...!" sabda Prabu Nalanda dengan suara bergetar
karena cemas. Tanpa diperintah dua kali, Patih Rantaka segera
membawa masuk tubuh Melati. Prabu Nalanda dan pasukan khusus segera bergerak
mengikuti. Sementara keempat
panglima dan seluruh prajurit lain hanya bisa berdiri diam terpaku, tidak bisa
berbuat apa-apa lagi.
*** "Bagaimana, Eyang?" tanya Prabu Nalanda tak sabar.
Sepasang mata penguasa Kerajaan Bojong Gading itu
menatap penuh harap pada kakek berjenggot putih panjang berpakaian coklat, yang
tengah sibuk memeriksa Melati.
Sementara gadis berpakaian putih itu kini tergolek di sebuah pembaringan yang
indah dan mewah. Sekujur wajah dan
bagian tubuh yang tidak tertutup pakaian nampak berwarna merah seperti udang
direbus. "Hhh...!"
Kakek berpakaian coklat menghela napas berat.
Berkali-kali kakek yang tak lain Eyang Sagapati, tabib nomor satu Istana
Kerajaan Bojong Gading, menggeleng-gelengkan kepala.
"Hamba mohon ampun, Gusti Prabu," sahut Eyang Sagapati beberapa saat kemudian.
"Apa.... Apa maksudmu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda dengan raut wajah berubah
memucat. Meskipun sudah dapat menduga ketika melihat kakek
itu berkali-kali menggelengkan kepala sewaktu memeriksa, tapi Raja Bojong Gading
ini berusaha meyakinkan dirinya.
Eyang Sagapati adalah tabib Istana Kerajaan Bojong Gading yang sudah terkenal
keahliannya. Belum pemah kakek ini gagal dalam mengobati orang. Namun sekarang"
Bukan hanya Prabu Nalanda saja yang terperanjat
dan cemas. Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun dilanda perasaan yang
sama. Kini semua wajah memucat begitu mendengar ucapan Eyang Sagapati Meskipun
belum dikatakan secara lengkap, tapi sudah bisa diperkirakan ucapan yang akan
keluar selanjutnya.
"Hamba siap menerima hukuman, Gusti Prabu,"
desah kakek berpakaian coklat itu seraya memberi hormat
"Hamba tidak mampu mengobati Gusti Ayu...."
"Ohhh...!"
Terdengar seruan tertahan dari mulut Prabu Nalanda.
Raja Bojong Gading ini langsung menundukkan kepala.
Kedua tangannya mendekap wajah. Tampak jelas kalau
Prabu Nalanda merasa terpukul mendengar ucapan Eyang Sagapati.
Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus pun
sama-sama menundukkan kepala. Seperti Prabu Nalanda, mereka pun terpukul
mendengar jawaban itu.
Prabu Nalanda menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Tidak hanya sekali saja
berbuat demikian, tapi beberapa kali.
"Mengapa, Eyang?" tanya Prabu Nalanda setelah berhasil menguasai diri.
Ada nada penasaran dalam suara penguasa Kerajaan
Bojong Gading itu. Memang dia merasa penasaran bukan main, karena tidak percaya
kalau tabib Istana Kerajaan Bojong Gading yang paling jempolan ini tidak mampu
mengobati luka yang diderita putri angkatnya.
"Ampun, Gusti Prabu," kembali Eyang Sagapati memberi hormat "Racun yang merasuk
ke dalam tubuh Gusti Ayu adalah racun yang amat ganas. Kalau saja Gusti Ayu
tidak memiliki tenaga dalam yang amat kuat, mungkin sudah tewas."
Eyang Sagapati menghentikan ceritanya sejenak. Di
samping untuk mengambil napas, juga mencari kata-kata untuk melanjutkan
ceritanya. "Racun itu amat aneh, Gusti Prabu," sambung kakek berpakaian coklat lagi. "Dan
hamba sama sekali tidak mengenalnya.
Hamba siap menerima hukuman atas kebodohan hamba, Gusti Prabu."
"Lupakanlah, Eyang," sabda Prabu Nalanda seraya mengulapkan tangannya.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Raja Bojong
Gading ini menghentikan ucapannya.
"Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara?" pinta Patih Rantaka memecah keheningan
yang menyelimuti
tempat itu. "Silakan, Patih."
"Eyang," sebut laki-laki setengah baya itu seraya menatap wajah Eyang Sagapati.
Kakek berpakaian coklat itu mengangkat kepala,
menatap wajah Patih Rantaka.
"Ada apa, Gusti Patih?"
"Tadi sebelum membawa Gusti Ayu kemari, aku telah menotok jalan darah sekitar
luka, agar racun itu tidak menjalar lebih jauh. Lalu, apakah racun itu masih
tetap saja menjalar?" tanya Patih Rantaka.
"Racun yang menyerang Gusti Ayu amat ganas, Gusti Patih. Begitu benda yang
menjadi perantara itu bersarang di tubuh Gusti Ayu, racun itu langsung menyebar.
Jadi, usaha yang kau lakukan sama sekali tidak berarti."
"Berbuatlah sesuatu. Eyang," selak Prabu Nalanda dalam cekaman rasa cemas yang
menggelegak. "Ampun, Gusti Prabu," Eyang Sagapati kembali memberi hormat "Apa yang harus
hamba lakukan?"
"Apa saja, Eyang," sahut Raja Bojong Gading se-kenanya. "Yang penting, nyawa
putriku dapat diselamatkan."
Eyang Sagapati tercenung sejenak. Dahinya berkerut
dalam. Jelas kalau tengah berpikir keras.
"Sepengetahuan hamba, ada beberapa macam obat
yang dapat menyelamatkan nyawa Gusti Ayu selain obat penawar dari pemilik racun
ini sendiri," jelas Eyang Sagapati setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Apa itu, Eyang?" tanya Prabu Nalanda penuh gairah.
"Ampun, Gusti Prabu. Andaikata hamba memberi
tahu pun, tidak akan ada gunanya."
"Heh"! Mengapa kau berkata demikian, Eyang?" Raja Bojong Gading mengerutkan alis
tak senang, "Sebelum obat itu tiba di sini, racun itu telah sampai di jantung Gusti Ayu...."
Wajah semua orang yang berada di situ pucat pasi
seketika. Ucapan yang keluar dari mulut Eyang Sagapati membuat mereka cemas
bukan main. "Apakah Eyang tidak mampu memperlambat daya
kerja racun itu" Yahhh...! Paling tidak, sampai obat yang kita butuhkan itu
berhasil didapatkan."
"Hhh...!" kakek berpakaian coklat itu menghela napas panjang. "Sulit Gusti
Prabu...."
Seketika itu juga Prabu Nalanda terdiam. Wajah
maupun sorot matanya diliputi perasaan putus asa.
"Ampun, Gusti Prabu," lagi-lagi Patih Rantaka menyelak. "Bukankah Gusti Ayu memiliki Batu Kehidupan?"
Prabu Nalanda terlonjak kaget. Melati memang
memiliki Batu Kehidupan yang didapat dari Prabu Nalanda sendiri. Raja Bojong
Gading sendiri yang memberikannya sebagai bekal bagi gadis itu dalam merambah
kerasnya kehidupan dunia persilatan. Dan memang keampuhan Batu Kehidupan itu
telah terbukti (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode "Rahasia
Surat Berdarah").
"Kau benar, Patih! Ah...! Mengapa aku sampai
melupakannya?" desah Raja Bojong Gading ini pada dirinya sendiri. Kini raut
kecemasan lenyap dari wajahnya Wajah Prabu Nalanda berseri-seri. Ada secercah
harapan yang muncul di hatinya.
"Batu Kehidupan"!" gumam Eyang Sagapati pula tak percaya. Memang, kakek
berpakaian coklat ini tidak tahu kalau junjungannya memiliki benda itu. Yang
mengetahuinya hanya Patih Rantaka seorang.
"Ya! Bukankah benda itu berkhasiat menawarkan
segala macam racun. Eyang?" sahut Prabu Nalanda. "Bisakah benda itu menyembuhkan
putriku, Eyang?"
"Entahlah, Gusti Prabu. Hamba tidak bisa memas-
tikan," sahut Eyang Sagapati. "Batu Kehidupan memang salah satu benda langka.
Tapi, racun ini pun aneh sekali.
Mungkin jika racun yang memasuki tubuh Gusti Ayu belum separah
ini, hamba yakin benda itu akan mampu menyembuhkannya.
Tapi sekarang, racun ini telah menyebar...."
"Jangan berputus asa dulu, Eyang," sergah Patih Rantaka. "Lebih baik kita segera
mengobatinya."
Prabu Nalanda lalu memeriksa bagian pinggang
Melati. Dia tahu gadis berpakaian putih itu menyimpannya di situ.
Sesaat kemudian, di tangan kanan Raja Bojong
Serba Hijau 1 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Seruling Sakti 22
^