Pencarian

Kelelawar Beracun 1

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun Bagian 1


KELELAWAR BERACUN
http://cerita-silat.mywapblog.com
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia. Jakarta
Penyunting : Puji
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Kelelawar Beracun
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Sang surya sudah lama tenggelam di ufuk Barat. Dan
kini kegelapan menyelimuti bumi. Apalagi awan tebal yang menghitam
ikut bergumpal-gumpal
menghalangi bulan sepotong yang bersinar lemah di langit. Suasana malam jadi terasa mencekam.
Tambahan lagi, angin dingin yang
menggigilkan tulang
sesekali berhembus keras.
Maka, lengkaplah sudah keadaan yang terasa menakutkan itu.
Hening, sepi, dan mati!
Tapi keheningan malam itu ternyata tidak berlang-
sung lama. Karena sesaat kemudian, terdengar derap
langkah-langkah kaki kuda yang membuat tanah bergetar.
Bisa diperkirakan kalau jumlah kuda itu mencapai belasan ekor!
"Hooop...!"
Seorang laki-laki berikat kepala merah dan ber-
pakaian hitam, mengangkat tangan kirinya ke atas seraya menarik tali kekang kuda
dengan tangan kanan. Seketika itu juga langkah binatang tunggangannya berhenti.
Begitu pula belasan ekor kuda yang berada di belakangnya. Rupanya laki-laki
berpakaian hitam itu bertindak sebagai pemimpin rombongan.
Menilik dari wajah belasan orang itu yang agak kasar, dan sikap yang rata-rata
liar, bisa diperkirakan kalau mereka bukan rombongan orang baik-baik.
Laki-laki berpakaian hitam dan berikat kepala merah
itu lalu menatap belasan wajah yang berada di sekitarnya.
"Kali ini kita akan berpesta," ujar laki-laki berikat kepala merah itu. Suaranya
melengking nyaring seperti suara seorang wanita. "Sasaran kita kali ini adalah
Desa Jati Jajar."
Seketika itu juga terdengar suara sorak-sorai riuh
menyambuti perkataan itu.
"Mengapa tidak dari dulu-dulu saja, Kang?" sambut seorang yang berkepala botak
gembira seraya menatap wajah laki-laki berpakaian hitam itu. "Biar semua tahu,
siapa dirimu. Kang!"
"Ya!" sambut orang bergigi tonggos. "Kita tunjukkan pada adipati keparat itu,
siapa Kakang Kala Ireng!"
"Akur...!" sahut yang lain.
"Benar...!" orang kasar lainnya tak mau ketinggalan.
"Setuju...!"
Seketika itu juga suasana malam yang semula hening,
sepi, dan menyeramkan, berubah riuh gembira. Suara-suara keras dan kasar
terdengar saling susul, tak mau kalah.
Masing-masing orang kasar itu berkata semaunya.
Tapi suara ribut-ribut itu langsung sirna ketika laki-laki
berpakaian hitam yang bernama Kala Ireng ini
mengangkat tangan kanannya ke atas. Jelas, dia adalah seorang pemimpin yang
cukup disegani anak buahnya. Kini semua pasang mata tertuju padanya, menunggu
apa yang akan dikatakan pemimpin mereka.
Dengan sikap tenang, Kala Ireng menatap satu
persatu wajah-wajah yang tertuju ke arahnya. Raut wajah Kala Ireng tampak agak
kurus. Dahinya terlihat agak lebar karena bagian depan kepalanya tidak ditumbuhi
rambut. Mungkin karena pakaiannya yang serba hitam, sehingga dia mendapat julukan Kala
Ireng. "Memang itulah maksud tujuanku sebenarnya," kata Kala Ireng dengan suara
melengking nyaring seperti suara seorang wanita.
"Horeee...!" seru gembira laki-laki berkepala botak.
"Hidup Kakang Kala Ireng...!" teriak seorang lainnya yang berkumis tebal sambil
mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Hidup...!"
sambut semua anggota gerombolan serentak. Pohon dan semak-semak sampai bergetar hebat akibat gemuruh suara rawa
mereka. "Ha ha ha...!"
Kala Ireng tertawa terbahak-bahak. Sebuah suara
aneh. Kecil dan melengking nyaring.
Kembali laki-laki berikat kepala merah ini mengangkat tangan kanannya ke aras.
Seketika itu pula, suara ribut-ribut sirna. Lenyap mendadak, seperti ayam yang
dicekik lehernya.
Begitu suasana kembali hening seperti sediakala, Kala Ireng
kembali menggerakkan tangannya yang semula terangkat ke atas menuju ke depan. Berbareng dengannya ditarik kembali, tali
kekang kudanya dihentakkan. Tidak hanya itu saja. Bagian belakang tubuh binatang
itu juga dilecutnya.
Sambil meringkik keras, kuda tunggangan laki-laki
berpakaian hitam itu segera melangkah ke depan.
Melihat pemimpinnya telah memacu kuda, belasan
orang kasar itu segera menggebah kudanya. Maka, kuda-kuda itu pun bergerak
menyusul kuda Kala Ireng.
Suara derap kaki kuda yang menggetarkan bumi pun
terdengar. Tujuan mereka sudah jelas. Desa Jati Jajar! Dan akibatnya
bagi desa itu sudah bisa diperkirakan. Kehancuran! *** "Kau dengar suara itu, Dawarsa?" tanya seorang laki-laki bertubuh pendek kekar
sambil bergerak bangkit dari tidur miringnya. Melalui gardu penjagaan yang tidak
mempunyai daun pintu, pandangannya dilayangkan ke
depan, ke arah hutan yang membentang jauh di depan
mereka. Seorang pemuda yang memakai ikat kepala putih
menoleh. Bisa diduga kalau dialah yang bernama Dawarsa.
Dan memang di gardu penjagaan itu hanya ada dua orang.
Dawarsa menatap wajah rekannya sejenak, kemudian
terdiam. Dicobanya untuk mencari tahu, suara apa yang dikatakan laki-laki
bertubuh pendek kekar itu. Dahinya berkernyit, berusaha keras membuktikan
kebenaran ucapan rekannya. Tapi sampai beberapa saat berbuat seperti itu, tak
juga terdengar suara apa-apa. Maka Dawarsa menggelengkan kepala.
"Aku tidak mendengar suara apa-apa, Burasa," tegas Dawarsa kalem. "Mungkin kau
hanya salah dengar saja."
"Tidak mungkin, Dawarsa!" sentak laki-laki bertubuh pendek kekar yang dipanggil
Burasa, bersikeras. "Jelas sekali aku mendengarnya!"
"Tapi, aku sama sekali tidak mendengarnya, Burasa!"
bantah Dawarsa, tak kalah keras. "Mungkin kau bermimpi."
"Aku tidak tidur, Dawarsa. Mana mungkin bisa
bermimpi! Kau tahu, aku hanya merebahkan diri untuk
menghilangkan rasa pusing yang mendera kepalaku!"
"Hhh...!" Dawarsa menghela napas. "Siapa tahu, tanpa sadar kau tertidur,
meskipun hanya sekejap. Dan dalam tidurmu itu, kau mendengar sesuatu...."
Seketika Burasa terdiam. Disadari, apa yang dika-
takan rekannya mungkin saja benar. Memang bukan tidak mungkin dia tertidur
sewaktu merebahkan tubuh tadi. Tapi sesaat kemudian, rasa penasaran timbul dalam
diri laki-laki bertubuh pendek kekar ini. Dirinya, atau Dawarsa yang salah"
Tentu saja untuk mengetahui hal itu, tidak ada jalan lain kecuali membuktikan
kebenaran ceritanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Burasa segera merebahkan diri
kembali di bangku panjang di dalam gardu penjagaan.
"Burasa...! Apa yang kau lakukan..."!" tanya Dawarsa agak kaget campur bingung.
"Mencoba membuktikan kebenaran ucapanku," sahut Burasa kalem.
Dawarsa hanya menggeleng-gelengkan
kepala mendengar jawaban laki-laki bertubuh pendek kekar. Dia pun tidak
mempersoalkannya lagi. Dibiarkannya saja Burasa meneruskan maksudnya.
"Ah...!"
Dawarsa sampai terjingkat kaget tatkala mendengar
seru keterkejutan Burasa. Secepat kilat kepalanya menoleh.
Pada saat yang bersamaan, laki-laki bertubuh pendek kekar ini melonjak bangkit
dari berbaringnya seperti tengah dipagut ular berbisa,
"Ada apa, Burasa?" tanya Dawarsa kaget.
"Apa yang kukatakan tadi tidak salah, Dawarsa," tegas Burasa terputus-putus.
"Maksudmu...?"
tanya Dawarsa masih kurang mengerti. "Suara-suara yang kudengar itu," jelas Burasa tidak sabar lagi.
"Hm...," Dawarsa menggumam pelan. Hanya dia
sendiri yang tahu, apa arti gumamannya itu.
"Kalau kau masih tidak percaya, kemarilah. Akan kubuktikan, siapa di antara kita
yang benar!"
Kata-kata bernada tantangan telah diajukan Burasa.
Mau tak mau, Dawarsa terpaksa menghampirinya. Di
samping karena tantangan yang diajukan Burasa, juga
disebabkan perasaan ingin tahunya. Benarkah apa yang dikatakan rekannya itu"
Dengan agak ragu-ragu, Dawarsa membaringkan
tubuhnya di bangku panjang itu. Dan secepat tubuhnya berbaring miring, secepat
itu pula tubuhnya terlonjak ke atas seperti disengat kalajengking.
"Kau benar, Burasa!" pekik laki-laki berikat kepala putih, terkejut.
"Kau bisa mengira-ngira suara apa itu, Dawarsa?"
tanya Burasa tak menghiraukan ucapan rekannya.
Laki-laki bertubuh pendek kekar sama sekali tidak
meributkan kebenaran ucapannya. Suara yang didengar, lebih menarik untuk dibahas
daripada diributkan.
"Kalau aku tidak keliru, itu adalah suara langkah kaki kuda. Entah berapa
jumlahnya.... Tapi yang jelas, banyak juga."
"Dugaanmu sama dengan dugaanku, Dawarsa," sambut Burasa. "Entah siapa yang di malam seperti ini mengendarai kuda...."
"Jangan-jangan...,"
Dawarsa menghentikan ucap- annya. Sepasang matanya terbelalak lebar menatap ke depan.
"Kau lihat apa yang berada di depan, Burasa?" tanya pemuda berikat kepala putih
itu sambil menudingkan
telunjuk tangan kanannya ke depan.
Burasa menolehkan kepala ke arah yang ditunjuk
rekannya. Dan seketika dia terkejut ketika melihat sekelompok sosok bayangan hitam di kejauhan sana.
Meskipun tidak jelas bentuknya karena suasana malam, tapi keduanya dapat menduga
kalau sekelompok sosok bayangan hitam itu adalah manusia. Dan menilik derap kaki
kuda yang terdengar, bisa diperkirakan kalau itu adalah rombongan orang berkuda.
"Serombongan orang berkuda...," desis Burasa dengan suara tegang.
"Rombongan
berkuda malam-malam begini" Dugaanmu, siapa mereka, Burasa?"
"Maksudmu...?" Burasa merasakan dadanya berdebar tegang. Tanpa bertanya lagi pun
sudah bisa diduga, apa yang dikatakan rekannya. Dan hal ini membuatnya tegang.
"Perampok...," desis Dawarsa pelan tapi tajam.
Belum juga gema suara laki-laki berikat kepala putih itu lenyap, tubuh Burasa
sudah berlari cepat menuju
kentongan yang tergantung di sudut depan gardu penjagaan.
Kemudian pemukulnya diambil, dan dihantamkan pada
badan kentongan.
Tong, tong, tong...!
Suara kentongan tanda bahaya terdengar nyaring
memecahkan kesunyian malam. Dan penduduk yang mendengar pun memukul pula kentongan yang terdapat di depan rumah mereka.
Hanya dalam waktu sekejap saja, bunyi kentongan
terdengar bersahut-sahutan.
Seketika itu pula para

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penduduk berserabutan keluar dari rumah masing-masing sambil membawa senjata di
tangan. *** 8 Singgg...! Cappp...!
"Akh...!"
Terdengar keluhan tertahan dari mulut Burasa,
disusul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung. Tangan
kanannya mendekap bahu kirinya yang tertembus sebuah logam berbentuk bintang
bersegi lima. Seketika cairan merah kental mengalir deras dari bahu yang
terluka, menerobos lewat celah jari-jemari tangannya.
"Burasa...!"
Dawarsa berseru keras seraya berlari keluar gardu.
Dia tadi juga sempat mendengar adanya suara berdesing nyaring, sebelum rekannya
menjerit. Dan begitu Dawarsa berada di luar, tampak beberapa
sosok tubuh berlompatan dari punggung belasan ekor kuda yang larinya dihentikan
secara mendadak. Begitu hinggap di tanah, sosok-sosok tubuh itu segera menyerbu
ke arah Burasa dan Dawarsa.
Tentu saja kedua orang penjaga gardu itu tidak
tinggal diam. Dawarsa cepat mencabut goloknya, langsung memapak datangnya
serangan yang menuju ke arahnya.
Begitu pula Burasa. Tanpa menghiraukan darah yang
mengalir dari bahu kirinya, tubuhnya melesat membantu laki-laki berikat kepala
putih itu. Baik Burasa maupun Dawarsa memang tidak asing
lagi dengan ilmu silat. Karena kedua orang itu memang memiliki tingkat
kepandaian lumayan. Tapi lawan yang dihadapi bukan orang lemah! Kali ini yang
mereka hadapi adalah rombongan perampok anak buah Kala Ireng, yang sudah
terkenal kebengisannya. Dalam mempertahankan
selembar nyawa, mereka terkenal paling gigih. Pekerjaan yang dijalani membuat
mereka harus memilih dua kemungkinan.
Dibunuh atau membunuh!
"Haaat..!"
Seraya berteriak keras, Dawarsa menebaskan goloknya ke arah leher perampok yang berkepala botak.
"Hmh...!"
Laki-laki berkepala botak itu hanya mendengus.
Tubuhnya didoyongkan ke belakang sambil menarik kepalanya. Maka, serangan golok itu hanya mengenai tempat kosong. Lewat
sejengkal dari sasaran.
Bukan hanya itu saja yang dilakukan laki-laki
berkepala botak. Begitu serangan Dawarsa lewat, golok besar di tangannya
dibabatkan ke arah tangan laki-laki berikat kepala putih itu. Cepat dan tak
terduga gerakan laki-laki berkepala botak, sehingga Dawarsa hanya mampu berkelit
sedikit. Wuttt! Crasss...!
Dawarsa memekik keras. Tangan kanannya buntung
sebatas sikut terbabat golok besar laki-laki berkepala botak Itu. Darah segar
seketika berhamburan keluar dari tangan yang putus. Belum lagi laki-laki berikat
kepala putih itu sempat berbuat sesuatu, kaki kanan laki-laki berkepala botak
melayang cepat ke arah perutnya.
Bukkk...! "Hugk...!"
Suara keluhan tertahan terdengar dari mulut Da-
warsa. Tubuhnya seketika terbungkuk. Dan di saat itulah, golok besar lawan
kembali menyambar. Maka....
Crasss...! Tanpa sempat mengeluarkan suara lagi, tubuh Da-
warsa terkulai roboh. Dia tewas seketika dengan seluruh kepala terpisah dari
badan. Dan pada pertarungan lain, Burasa mengalami nasib
yang sama. Dia tewas dengan perut tertancap pedang hingga tembus ke punggung.
Tanpa menghiraukan mayat korbannya, kedua orang
perampok itu bergegas menyusul rekan-rekannya yang telah menyebar maut di dalam
desa. 2 Di Desa Jati Jajar pun terjadi kerusuhan yang tidak
kalah mengerikan. Para penduduk yang baru saja keluar dari rumah
masing-masing, segera disambut rombongan perampok. Maka pertarungan sengit dan mati-matian pun berlangsung.
Tapi karena sebagian besar para penduduk tidak
menguasai ilmu silat, rombongan perampok itu tidak
mengalami kesulitan untuk membinasakan mereka satu
persatu. Padahal, satu orang perampok menghadapi dua orang lawan.
Memang ada sebagian kecil penduduk yang me-
nguasai ilmu silat. Tapi, itu pun hanya sekadarnya saja.
Andaikan kepandaian yang dimiliki menyamai para anggota perampok pun, mereka
tetap saja tidak mampu menang.
Sebab, jelas mereka kalah pengalaman dalam pertempuran.
Jadi tidak heran kalau satu persatu para penduduk Desa Jati Jajar berguguran.
Tapi ternyata tidak semua orang di pihak Desa Jati
Jajar yang mudah dikalahkan. Ada dua orang di antara mereka yang mampu
mengadakan perlawanan sengit. Yang seorang adalah laki-laki bertubuh kekar
berotot. Kumis dan alisnya tebal. Sedangkan yang seorang lagi adalah laki-laki
setengah baya berpakaian putih. Kumis dan jenggotnya telah berwarna dua.
Sambil terus mengadakan penawanan sengit terhadap
tiga orang perampok yang mengeroyoknya, laki-laki berpakaian putih tak henti-hentinya memberi semangat pada para penduduk Desa
Jati Jajar. "Jangan mundur...! Lawan terus...! Mundur berarti desa kita hancur...!"
Berkat teriakan laki-laki berpakaian putih itulah,
maka para penduduk Desa Jati Jajar terus mengadakan
perlawanan. Mereka semua tahu, nasib anak dan istri
tergantung pertarungan ini.
Sungguh mengerikan keadaan Desa Jati Jajar. Di
sepanjang jalan utama desa terjadi pertarungan mati-matian.
Di sana-sini bergeletakan sosok-sosok tubuh tanpa nyawa.
Kala Ireng menatap beberapa kelompok pertarungan
dengan wajah dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum
kebengisan. Ada seri kegembiraan yang memancar di
wajahnya, tatkala melihat semua anak buahnya berhasil mengungguli lawan. Dan
bahkan terus mendesak masuk ke dalam desa.
Tapi seri di wajah laki-laki berpakaian hitam ini lenyap begitu melihat dua
pertarungan lainnya. Pertarungan antara anak buahnya melawan laki-laki
berpakaian putih dan laki-laki bertubuh kekar berotot. Mereka tertahan di sini.
Baik laki-laki berpakaian putih maupun laki-laki
bertubuh kekar sudah berhasil menewaskan seorang lawan.
Tapi kini mereka belum mampu menambah korban lagi,
karena jumlah lawan bertambah. Laki-laki berpakaian putih dikeroyok tiga orang
perampok. Sementara laki-laki bertubuh kekar berotot meng-
hadapi empat orang perampok. Dan tampaknya pertarungan kedua kelompok itu
berjalan seimbang.
Kala Ireng menggertakkan gigi. Dikenalinya betul,
siapa kedua orang itu. Laki-laki berpakaian putih adalah Kepala Desa Jati Jajar.
Namanya, Ki Manggala. Sedangkan laki-laki bertubuh kekar berotot bernama
Kanigara, seorang guru silat dari Desa Cibening. Sebuah desa yang terhitung
besar, tetangga Desa Jati Jajar. Hanya saja Kala Ireng tidak mengetahui, mengapa
guru silat itu bisa berada di desa ini.
Tapi Kala Ireng tidak Ingin memikirkan hal Itu lagi.
Masalahnya kalau tidak cepat-cepat turun tangan, ketujuh orang anak buahnya
pasti akan tetap tertahan di situ.
Sementara, tugas yang harus dikerjakan masih belum selesai.
Maka laki-laki berpakaian hitam ini segera melompat turun dari punggung kuda.
"Mundur...!" teriak Kala Ireng begitu berada di belakang anak buahnya yang
tengah bertarung menghadapi Kanigara.
Laki-laki bertubuh kekar berotot ini ternyata hebat
juga. Dengan pedangnya, membuat empat orang lawan tidak mampu mendesak.
Sementara empat orang lawan Kanigara yang mendengar seruan itu, langsung berlompatan mundur.
Mereka tentu saja mengenal, siapa pemilik suara itu.
Berbareng dengari berlompatan mundurnya empat
orang perampok itu, Kala Ireng melompat masuk dalam
kancah pertarungan. Dia langsung berdiri berhadapan
dengan Kanigara.
"Kala Ireng...," desis laki-laki bertubuh kekar berotot itu, begitu melihat
laki-laki berpakaian hitam. Ada nada keterkejutan terdengar dalam suara itu. Dia
memang telah mengenal Kala Ireng, seorang kepala rampok yang telah malang-
melintang dalam Hutan Buaran.
"Hmh...!" Kala Ireng mendengus. "Bersiaplah untuk mati, Kanigara!"
Kanigara sama sekali tidak menyambuti ancaman itu.
Dia tengah merasa tegang melihat Kala Ireng. Sungguh sama sekali tidak disangka
bisa bertemu kepala rampok itu di sini.
Kala Ireng terkenal amat kejam, di samping memiliki
kepandaian yang tinggi.
Kanigara menggertakkan gigi, kemudian melesat
menyerang lawannya. Pedang di tangannya menusuk cepat ke arah perut Kala Ireng.
Ada suara bercuitan yang cukup nyaring mengiringi serangan itu.
"Hmh...!"
Lagi-lagi Kala Ireng mendengus. Secercah senyum
mengejek tampak tersungging di bibirnya. Dan masih dengan senyum ejekan, laki-
laki berpakaian hitam ini mengelakkan serangan Kanlgara.
Mudah saja Kala Ireng mengelak. Kakinya dilang-
kahkan ke kiri sambil tubuhnya didoyongkan. Sehingga, tusukan pedang itu lewat
di sebelah kanan pinggangnya. Dan sebelum Kanigara berbuat sesuatu, tangan kanan
Kala Ireng telah lebih dulu bergerak.
Wuttt..! Tap...!
Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng keram tangan Kala Ireng. Karuan
saja hal ini membuatnya terkejut bukan main.
Laki-laki bertubuh kekar berotot ini segera mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk menarik
kembali senjatanya. Dan kalau tidak bisa menariknya kembali, paling tidak tangan Kanigara akan terluka. Atau bahkan putus
sama sekali akibat tersayat mata pedangnya.
Tapi usaha Kanigara kandas. Wajahnya sampai merah
padam karena mengerahkan seluruh tenaga dalam. Nada
keluhan terdengar dari mulutnya ketika berusaha keras menarik pulang senjatanya.
*** Berbeda dengan keadaan yang dialami Kanigara,
wajah Kala Ireng tampak biasa-biasa saja. Bahkan tidak terlihat tanda-tanda
kalau tengah mengerahkan tenaga.
"Hmh...!"
Kala Ireng kembali mendengus. Berbareng hilangnya
dengusan itu, tangan kanannya bergerak meremas. Hebat akibatnya! Bilah pedang
Kanigara langsung hancur, seolah-olah yang diremas laki-laki berpakaian hitam
ini hanya sehelai daun kering rapuh!
Akibat yang terjadi sudah bisa diduga. Pada saat itu Kanigara tengah mengerahkan
seluruh tenaga dalam untuk menarik pedangnya, tak pelak lagi tubuhnya
terjengkang ke belakang.
Tapi berkat kelihaiannya, Kanigara tidak sampai
terbanting di tanah. Meskipun agak terhuyung-huyung dan mampu mematahkan
kekuatan yang membuat tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang.
Wajah Kanlgara memucat Sepasang matanya menatap
berganti-ganti pada pedang yang telah tinggal separuh di tangannya, dan pada
jemari Kala Ireng yang lelah meremas hancur pedangnya. Laki-laki bertubuh kekar
ini memang telah mendengar berita kalau Kala Ireng mempunyai suatu ilmu yang
membuat kedua tangannya jadi sekuat baja! Dan kini telah dibuktikannya sendiri
kebenaran berita itu! Jari-jari tangan Kala Ireng benar-benar luar biasa!
Wuttt...! Tap...!
Pedang di tangan Kanigara langsung kena ceng-
keraman tangan Kala Ireng. Karuan saja hal ini membuatnya terkejut bukan main.
Laki-laki bertubuh kekar itu segera mengerahkan seluruh tenaga untuk menarik
senjatanya, tapi tetap tidak berhasil!
Meskipun perasaan gentar merayapi hatinya, Kanigara
pantang mundur. Dia tahu Kala Ireng tidak akan sudi
mengampuninya. Jadi, tidak ada jalan lain baginya kecuali melawan mati-matian!
"Haaat..!"
Kanigara berseru keras. Pedang yang telah tinggal
separuh di tangannya, ditusukkan cepat ke arah leher Kala Ireng. Tapi untuk yang
kesekian kalinya, pemimpin perampok ini
tidak mengalami kesulitan sedikit pun untuk memunahkan serangan itu. Tanpa menggeser kaki, Kala
Ireng mendoyongkan kepala ke kanan. Maka serangan itu lewat beberapa jari di
sebetah kiri lehernya.
Pada saat yang bersamaan, tangan kiri Kala Ireng
dengan jari-jari berbentuk cakar itu bergerak.
"Tappp...!"
Mengkelap jantung Kanigara begitu

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui pergelangan tangan kanannya telah tercekal Kala Ireng, Dan sebelum dia sempat
berbuat sesuatu, tangan Kala Ireng yang kuat itu telah bergerak meremas.
Terdengar suara bergemeretakan keras dari tulang-
tulang yang remuk seiring dengan remasan jari-jari tangan Kala Ireng.
Kanigara mengigit bibirnya sampai berdarah, dalam
usahanya agar mulutnya tidak mengeluarkan lolongan
kesakitan. Memang rasa sakit yang melanda benar-benar luar biasa! Keringat
sebesar jagung bermunculan di wajah laki-laki kekar itu.
Dengan sendirinya, laki-laki bertubuh kekar berotot
ini telah dibuat tidak berdaya oleh Kala Ireng. Dan begitu tangan Kala Ireng
bergerak menyentak, tubuh Kanigara tertarik ke depan. Hal ini memang sudah
direncanakan laki-laki berpakaian hitam itu. Maka begitu tubuh Kanigara meluruk
ke arahnya, cakar tangan kanannya bergerak
menyambut. Crokkk...! Suara berderak keras terdengar ketika ubun-ubun
Kanigara pecah. Cairan merah kental bercampur putih
mengalir keluar dari ubun-ubunnya. Hanya sebuah keluhan pelan terdengar ketika
laki-laki bertubuh kekar berotot ini tewas! Suara berdebuk keras terdengar saat
tubuh kekar itu jatuh di tanah.
*** Kala Ireng menatap mayat lawannya sejenak. Kemudian.... Cuhhh...! Sepercik ludah kental meluncur keluar dari mulut
laki-laki berpakaian hitam, dan hinggap di wajah mayat Kanigara. Kala Ireng
kemudian mengalihkan perhatian ke arah Ki Manggala. Tampak laki-laki berpakaian
putih itu tengah terdesak hebat Karena lawan-lawan yang semula menghadapi
Kanigara, kini ganti mengeroyoknya.
Menghadapi tiga orang saja Ki Manggala tidak mampu
menang. Apalagi kini menjadi tujuh orang lawan. Dalam beberapa gebrak saja
Kepala Desa Jati Jajar ini terdesak hebat dan terus terhimpit.
Pada jurus ke empat, laki-laki berpakaian putih ini
tidak mampu mengelak atau menangkis lagi. Bahkan kini tusukan golok laki-laki
berkepaia botak telah menghunjam dalam di perutnya. Darah pun memancar deras
dari luka yang terobek lebar.
Tak sampai sekejapan mata, serangan-serangan lain
pun menyusul tiba. Babatan golok, tusukan tombak, dan hujan senjata lain hinggap
di berbagai bagian tubuhnya. Tapi meskipun demikian, di saat nyawanya hendak
melayang, Ki Manggala masih sempat mengajak salah seorang pengeroyok untuk ikut
bersamanya ke akhirat!
Ki Manggala melompat menerjang mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaga dalam yang dimiliki. Golok di tangannya menyambar cepat
ke arah salah seorang anggota perampok.
Perampok berkumis tebal itu terkejut bukan main
mendapat serangan yang tak diduga itu. Maka sebisa bisanya dia berusaha
mengelak, tapi terlambat. Golok Kepala Desa Jati Jajar itu telah terlebih dulu
menyambar lehernya. Tak pelak lagi, kepala laki-laki berkumis tebal itu pun
terpisah dari tubuh. Dia tewas seketika berbarengan dengan tewasnya Ki Manggala.
Dengan tewasnya Kanigara dan Ki Manggala, tidak
ada lawan kuat yang dihadapi gerombolan perampok anak buah Kala Ireng. Kini
dengan leluasa semua penduduk yang menghalangi tindakan mereka dibantai.
Suara teriakan kesakitan diiringi lolong kematian
memecah kesunyian malam, di tengah-tengah hiruk- pikuknya suara senjata beradu.
Gerombolan perampok anak buah Kala Ireng bertindak tak kepalang tanggung. Seluruh isi penduduk yang berjenis laki-laki,
tua atau muda, dibantai habis. Bahkan anak kecil pun dibinasakan. Hanya wanita-
wanita saja yang tidak dibunuh, dan hanya diseret ke luar. Mereka akan dibawa ke
tempat tinggal para perampok untuk dijadikan pemuas nafsu setan.
"Ha ha ha...!"
Kala hreng tertawa terbahak-bahak melihat seluruh
isi desa porak-poranda. Mayat-mayat penduduk tampak
bergeletakan di sana-sini.
"Bakar...!" seru Kala Ireng, keras.
Tanpa diperintah dua kali, semua anggota gerombolan
itu bergegas mengambil obor-obor yang terpancang di depan rumah. Kemudian obor
itu dilempar ke setiap rumah. Tak pelak lagi, rumah-rumah itu pun terbakar.
Mula-mula hanya kecil saja, tapi lama kelamaan semakin membesar. Dan hawanya pun
terasa panas menyengat kulit.
"Ha ha ha...!"
Kala Ireng dan anak buahnya tertawa-tawa gembira
melihat seluruh desa mulai diamuk api. Desa Jati Jajar benar-benar telah menjadi
lautan api. Asap tebal dan hitam membumbung tinggi sampai ke udara.
Sambil terus tertawa-tawa gembira. Kala Ireng mengangkat tangan kanan ke atas, seraya melompat naik ke atas punggung kuda.
Kemudian tali kekang binatang
tunggangannya dihentakkan. Maka kuda coklat itu pun
bergerak meninggalkan tempat itu.
Melihat pemimpin mereka telah bergerak mening-
galkan tempat itu, seketika para anak buahnya ikut bergerak pula. Kini,
rombongan ini membawa serta barang hasil jarahan, serta belasan wanita cantik.
Wanita-wanita Desa Jati Jajar hanya dapat menangis
melihat semua kejadian yang menimpa. Menangisi desa
mereka yang kini telah menjadi lautan api. Menangisi ayah, suami, adik, atau
anak mereka yang tewas oleh kekejaman para perampok itu.
Bukan hanya itu saja yang dipikirkan. Kejadian
mengerikan yang akan menimpa mereka pun tak luput dari pikiran. Ingin rasanya
membunuh diri, tapi sayangnya kesempatan itu tidak pernah ada. Kini mereka hanya
dapat pasrah menerima kenyataan yang ada. Ikut rombongan
perampok Kala Ireng.
3 Siang itu suasana benar-benar tidak menyenangkan.
Matahari yang tepat di atas kepala memancarkan sinarnya begitu terik ke bumi.
Seakan-akan dengan sinarnya, sang mentari tengah berusaha melelehkan apa pun di
bawahnya. Dalam suasana sepanas itulah, serombongan pasukan
berkuda berpacu cepat menuju Hutan Buaran. Derap
langkah kaki kuda yang berlari cepat itu cukup mengusik keheningan
siang. Debu mengepul tinggi, menambah pengapnya suasana siang yang sudah terasa tidak nikmat Rombongan berkuda yang
jumlahnya tak kurang dari
dua puluh orang itu mengenakan seragam prajurit kerajaan.
Ternyata rombongan prajurit itu dipimpin seorang gadis yang berkuda
paling depan. Wajahnya begitu cantik, dan pakaiannya berwarna putih. Rambutnya panjang terurai, sehingga
menambah kecantikannya. Sementara yang berkuda di sebelahnya, adalah seorang laki-laki setengah baya.
"Masih jauhkah sarang gerombolan Kala Ireng itu, Paman Patih?" tanya gadis
berpakaian putih seraya menatap laki-laki setengah baya.
Menilik dari nada suara dan wajahnya, dapat
diketahui kalau gadis itu sudah merasa tidak sabar untuk bertemu gerombolan Kala
Ireng. "Tidak jauh lagi, Gusti Ayu Melati," sahut laki-laki setengah baya itu. Suaranya
lembut dan penuh kasih sayang, seperti layaknya ucapan seorang ayah pada
anaknya. Gadis berpakaian putih yang ternyata Melati, putri
angkat Raja Bojong Gading itu menghela napas berat.
Kemudian perhatiannya dialihkan kembali ke depan.
"Memangnya kenapa, Gusti Ayu?" tanya laki-laki setengah baya yang dipanggil
Melati dengan sebutan paman patih.
Dia memang patih Kerajaan Bojong Gading. Namanya
Rantaka (Baca serial Dewa Arak dalam episode "Banjir Darah di Bojong Gading").
"Aku sudah tidak sabar lagi untuk membasmi
mereka!" tegas Melati. "Gerombolan itu tidak bisa diampuni lagi. Mereka harus
dibasmi semuanya!"
Patih Rantaka tersenyum mendengar ucapan Melati
yang berapi-api itu.
"Bukankah Gusti Prabu pun memerintahkan begitu, Gusti Ayu?"
Melati menganggukkan kepala, membenarkan ucapan
Patih Rantaka. "Ayahanda murka sekali, Paman," desah gadis berpakaian pulih yang terkadang memanggil Patih Rantaka dengan paman saja.
"Wajar saja kalau Gusti Prabu marah, Gusti Ayu.
Gerombolan Kala Ireng benar-benar biadab. Bahkan sudah tiga desa dihancurkan."
"Begitu kuatkah gerombolan Kala Ireng itu, Paman"
Sampai-sampai, Adipati Triwisnu tidak mampu menanggulanginya," tanya Melati tidak yakin.
"Aku sendiri tidak tahu, Gusti Ayu," jawab Patih Rantaka. "Tapi kemungkinan
besar memang begitu."
Melati mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu.
"Mengapa Paman menduga demikian?" tanya gadis berpakaian putih itu ingin tahu.
"Apakah Gusti Ayu belum mengetahui, dan belum
mendengar cerita mengenai usaha-usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu untuk
menghancurkan gerombolan Kala Ireng itu?" laki-laki setengah baya malah balik
bertanya, setengah tak percaya.
Melati menggelengkan kepala. "Aku hanya mengetahui sedikit saja, Paman," sahut
Melari pelan. "Aku hanya tahu kalau gerombolan Kala Ireng telah membumihanguskan
tiga buah desa."
Patih Rantaka tercenung. Sementara Melati pun tidak
melanjutkan kata-katanya. Dengan sendirinya, untuk beberapa saat kebisuan menyelimuti mereka. Kini yang terdengar hanyalah derap
langkah kaki rombongan berkuda yang menapak tanah.
"Ketika untuk pertama kalinya gerombolan Kala Ireng keluar dari Hutan Buaran dan
membumihanguskan Desa
Jati Jajar, Adipati Triwisnu langsung bertindak. Pasukannya dikirimkan untuk
menghancurkan gerombolan itu. Dia
merasa bertanggung jawab untuk menumpasnya, karena
semua itu terjadi di daerah kekuasaannya."
Patih Rantaka menghentikan ceritanya sejenak untuk
mengambil napas. Sesaat sepasang matanya menatap wajah Melati.
"Tapi rombongan yang dikirim Adipati Triwisnu
ternyata tidak pernah kembali lagi. Apa yang terjadi dengan pasukan itu, tak
seorang pun yang tahu. Dan yang jelas, usaha mereka tidak berhasil. Karena,
sebuah desa kembali dibumihanguskan oleh gerombolan Kala Ireng itu."
"Hm...," Melati hanya menggumam pelan. Entah apa yang digumamkan, hanya gadis
itu sendirilah yang tahu.
"Adipati Triwisnu tidak tinggal diam. Perasaan penasaran mendorongnya untuk mengirimkan pasukannya
kembali. Dia ingin menumpas gerombolan itu, sekaligus mencari berita lenyapnya
pasukan yang dikirim pertama kali."
Patih Rantaka kembali menghentikan ceritanya. Dihirupnya udara sejenak, seraya mencari kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.
"Tapi usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu sia-sia.
Pasukan yang dikirimnya itu lagi-lagi tak pernah kembali, lenyap seperti ditelan
bumi. Dan tak lama kemudian, kembali sebuah desa dibumihanguskan oleh gerombolan
Kala Ireng itu."
Melati mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru
disadari, mengapa Adipati Triwisnu sampai mengirim utusan ke kotaraja. Dan,
mengapa pula Prabu Nalanda mengirimkan pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
untuk menumpas gerombolan Kala Ireng. Rupanya Prabu Nalanda telah
mendengar kegagalan usaha yang dilakukan Adipati Triwisnu, sehingga mengambil keputusan itu mengirimkan pasukan.
"Sekarang aku mengerti,

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman," kata Melati. Sedangkan Patih Rantaka hanya tersenyum lebar. "Menurutmu,
mengapa pasukan yang dikirim Adipati Triwisnu itu bisa lenyap, Paman?"
"Aku sendiri juga tidak tahu, Gusti Ayu," sahut Patih Rantaka tidak berani
memastikan. "Tapi kalau menurut pendapatku, mereka semua telah tewas di tangan
gerombolan itu."
Melati terdiam, tak lagi menyahuti. Patih Rantaka pun tak lagi melanjutkan
ucapan. Kini rombongan pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading Itu pun melanjutkan
perjalanan tanpa berbicara lagi.
*** Begitu mulai memasuki mulut hutan, rombongan
pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading mulai bersikap waspada. Semua pasang mata
beredar berkeliling, merayapi sekitarnya. Seluruh urat syaraf mereka menegang
waspada, bersiap menghadapi adanya ancaman mendadak.
Tangan-tangan mereka juga telah memegang hulu
senjata masing-masing. Napas pun agak ditahan, khawatir kalau-kalau mengganggu
pendengaran yang telah dipasang setajam mungkin. Paling tidak, agar suara
sekecil apa pun dapat tertangkap telinga mereka.
"Gusti Ayu...," sapa Patih Rantaka pelan seperti bisikan.
"Ada apa, Paman?" tanya Melati seraya menolehkan kepala. Namun demikian,
sepasang matanya tak pernah
lepas mengawasi keadaan sekitar.
"Apakah tidak lebih baik kalau kuda-kuda itu kita tinggalkan saja?"
Melati tercenung. Dahinya berkernyit pertanda tengah berpikir keras. Sesaat
kemudian kepalanya terangguk. Kini kudanya segera dituntun ke arah pohon yang
ada di situ. Semua pasukannya juga bertindak demikian.
Kini Melati, Patih Rantaka, dan sekitar dua puluh
orang pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu berjalan kaki menerobos ke dalam
hutan. Melati dan Patih Rantaka berjalan paling depan, sementara dua puluh orang
lainnya berjalan di belakang. Semua mata menatap daerah sekitar dengan sikap
waspada. Mendadak terdengar hentakan pelan. Melati, Patih
Rantaka dan dua puluh orang pasukan khusus mende-
ngarnya. Seketika itu pula perhatian mereka dialihkan ke arah asal suara dengan
sikap siaga penuh. Tapi, setelah ditunggu beberapa saat, ternyata tidak nampak
ada apa-apa. Tiba tiba Melati mendengar suara berkesiur pelan dari atas, disusul, bertiupnya
angin semilir. Seketika itu juga gadis berpakaian putih ini mendongakkan kepala
ke atas, dan kontan terperanjat. Tampak dari atas melayang turun sebuah jaring,
yang sudah dapat dipastikan akan mengurung
mereka. Memang, mereka tepat berada di tengah-tengah sasar-
an jaring. "Menyingkir...!" seru Melati keras seraya melompat menghindar. Tak lupa,
didorongnya tubuh Patih Rantaka agar menjauh dari tempat itu.
Dua puluh pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading
itu pun segera berserabutan melompat melarikan diri.
Pasukan khusus itu memang memiliki wawasan
pengetahuan luas. Mereka tahu, apabila terkurung jaring, tidak sulit bagi lawan
untuk menghujani mereka dengan serangan mematikan.
Luar biasa! Tidak ada seorang pun dari pasukan
khusus itu yang terjaring. Tapi ternyata, hal yang mengejutkan itu tidak berakhir sampai di situ. Tubuh-tubuh yang berlompatan itu
seketika menerima kejutan masing-masing.
Ternyata sebagian besar dari mereka mendapat
serangan susulan. Dari segenap penjuru seketika meluncur senjata rahasia yang
mempunyai bentuk dan ukuran
berbeda. Ada logam berbentuk bintang segi-lima, ujung anak panah, ataupun pisau.
Kembali pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading itu
mempertunjukkan kelihaiannya. Cepat-cepat serangan gelap yang mengancam
keselamatan nyawa itu ditangkis.
Tring, tring, tring...!
Semua serangan gelap berhasil dikandaskan. Bahkan
ada yang kembali ke pemiliknya semula. Terbukti, terdengar suara jeritan
menyayat dari balik kerimbunan pepohonan dan semak-semak.
Keadaan yang dialami Melati lebih mengerikan lagi.
Dalam usaha menyelamatkan selembar nyawanya, gadis itu melakukan lompatan
harimau. Kedua tangannya sudah siap mendarat di tanah, untuk kemudian digunakan
sebagai peredam saat bergulingan.
Sungguh di luar dugaan gadis berpakaian putih itu.
Tanah berumput yang menjadi tempat bertumpu kedua
tangannya tiba-tiba amblas. Tak dapat dicegah lagi, tubuh Melati pun melayang
masuk ke dalam lubang.
Serasa copot jantung Melati mengalami hal yang sama
sekali tidak diduga ini. Apalagi ketika dia melihat puluhan ujung tombak runcing
yang menanti di dasar lubang. Menilik dari bau amis darah yang menyeruak masuk
ke dalam hidung, bisa diperkirakan kalau lubang jebakan ini sudah cukup banyak menelan
korban. Melati bertindak cepat. Disadari kalau tidak mungkin kakinya mendarat di ujung
tombak-tombak runcing itu.
Lubang itu terlalu sempit. Apalagi, sulit baginya untuk memutar tubuh dengan
keadaan tengah berada di udara.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pedangnya segera
dihunus. Srattt...! Sinar terang membersit ketika pedang itu tercabut
keluar dari sarungnya. Dan secepat pedang itu tergenggam, secepat itu pula
dijulurkan ke bawah.
Trik...! Luar biasa! Dengan perhitungan matang seorang ahli
pedang tingkat tinggi, Melati berhasil mendaratkan ujung pedangnya pada salah
satu ujung tombak runcing yang
sudah menanti, siap menyate tubuhnya.
Beberapa saat lamanya tubuh Melati berada dalam
keadaan terbalik. Kepala berada di bawah, dan kaki berada di atas. Ujung
pedangnya menempel pada salah satu ujung tombak runcing di dalam lubang itu.
Seluruh kekuatan bertumpu
pada tangan kanannya yang menggenggam pedang. "Hih...!"
Perlahan-lahan Melati menekuk tangan kanannya.
Dan dengan demikian tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah. Tampak tangan kanan
gadis berpakaian putih itu menggigil keras. Memang membutuhkan tenaga dalam yang
luar biasa untuk melakukan hal seperti itu.
Ujung tombak itu terlalu runcing dan licin. Kalau saja Melati bukan termasuk
gadis pemberani, dan tidak memiliki tenaga dalam tinggi, niscaya tubuhnya akan
terpanggang di ujung-ujung tombak.
Begitu tangan kanannya sudah agak banyak tertekuk,
mendadak tubuh Melati bersalto ke atas. Rupanya hal itu dilakukan untuk mencari
tenaga, dalam usahanya mencapai mulut lubang.
Dan usaha Melati ternyata tidak sia-sia. Tubuhnya
segera melesat cepat ke atas. Dan begitu telah berada di luar lubang, gadis
berpakaian putih ini bersalto di udara beberapa kali. Kemudian, kakinya mendarat
ringan dan mantap di tanah.
Semua peristiwa itu berlangsung singkat. Dan ketika
Melati telah mendaratkan kedua kakinya di tanah, pasukan khusus dan Patih
Rantaka telah berhasil menyelamatkan diri pula.
Kini Melati, Patih Rantaka, dan seluruh pasukan
khusus Kerajaan Bojong Gading berdiri di tempat itu dengan sikap waspada. Di
tangan mereka telah tergenggam senjata terhunus.
"Gusti Ayu, apakah tidak sebaiknya kalau kita serbu mereka?" usul seorang
anggota pasukan khusus yang bertahi lalat di pipinya.
"Bagaimana
menurut, Paman?" Melati malah melontarkan pertanyaan itu pada Patih Rantaka.
Gadis berpakaian putih tidak ingin bersikap sem-
brono. Maka hal itu malah ditanyakannya pada Patih
Rantaka, yang sudah pasti mempunyai pengalaman luas.
"Menurut hamba, kalau kita menyerbu merupakan
perbuatan tidak bijaksana. Lawan berada di tempat yang tidak diketahui. Lagi
pula, bukan tidak mungkin kalau mereka telah menyiapkan jebakan-jebakan untuk
kita," jawab Patih Rantaka memberi pendapat.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan. Paman?" tanya Melari bingung. "Apakah kita
berdiam diri saja di sini sambil menanti mereka keluar dan menyerang kita?"
Patih Rantaka tercenung mendengar bantahan itu.
Apa yang dikatakan Melati memang benar. Memang tidak mungkin kalau hanya
menunggu terus. Tapi menyerbu pun bukan cara yang bijaksana pula. Maka untuk
beberapa saat lamanya, laki-laki setengah baya ini terdiam.
"Bagaimana kalau aku memaksa mereka keluar,
Paman?" usul Melati.
"Sebuah usul yang baik. Gusti Ayu," sahut Patih Rantaka.
"Tapi, bagaimana caranya" Gerombolan itu bukan
orang bodoh. Mereka pasti tahu kalau kita bukan lawan yang mudah dikalahkan. Dan
sudah pasti mereka tak akan mau bertarung secara terang-terangan."
"Hal itu sudah kupikirkan, Paman," sahut Melati cepat
"Mudah-mudahan saja caraku ini dapat memaksa mereka keluar!"
Patih Rantaka terdiam, dan tidak menyahuti lagi.
Laki-laki setengah baya ini ingin tahu juga, bagaimana caranya putri angkat
junjungannya ini akan memaksa
gerombolan itu keluar.
Bukan hanya Patih Rantaka saja yang ingin tahu. Dua
puluh orang pasukan khusus itu pun merasa tertarik juga.
Kini mereka semua diam, sama sekali tidak bersuara atau bergerak saking ingin
tahu apa yang akan dilakukan Melati.
Melati melangkah maju dua tindak. Kedua tangannya
terkembang membentuk cakar naga. Sebentar gadis itu
menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
Pikirannya dipusatkan pada satu titik. Seketika, kedua tangan Melati sampai
sebatas pergelangan, berubah merah, seperti darah! Dan hal seperti ini selalu
terjadi setiap kali gadis berpakaian putih ini mengeluarkan tenaga dalamnya.
"Hih...!"
Mendadak Melati menghentakkan kedua tangannya ke
depan. Seketika hembusan angin kuat keluar dari kedua tangan yang dihentakkan
itu. Rupanya Melati ingin memaksa keluar
lawan-lawannya dengan Jurus 'Naga Merah Membuang Mustika'.
Hebat bukan main akibat jurus itu. Sekitar tempat
yang menjadi sasaran pukulan jarak jauh Melati, langsung porak-poranda seperti
habis dilanda badai! Pohon-pohon bertumbangan, semak-semak berpencaran ke sana
kemari tak tentu arah.
Tidak hanya sekali saja Melati melakukannya. Diumbarnya jurus 'Naga Merah Membuang Mustika' itu ke semua arah semak-semak dan
pepohonan yang mengelilingi tempat itu. Sudah dapat diduga akibatnya. Seluruh
tempat itu porak-poranda seperti habis dilanda angin topan!
27 Patih Rantaka dan seluruh pasukan khusus Kerajaan
Bojong Gading sampai bergidik melihat kedahsyatan ilmu yang dimiliki Melati.
Tapi Melati bukan bermaksud pamer kesaktian di depan mereka. Gadis itu hanya
berusaha memancing lawan agar menampakkan diri. Maka mereka pun segera mengedarkan
pandangan ke sekeliling.
Usaha yang dilakukan Melati tidak sia-sia. Dan kini
tampak banyak sosok tubuh berlompatan dari balik semak-semak dan pepohonan yang
terbongkar di sana-sini, akibat terlanda angin pukulan gadis itu.
Tentu saja pasukan khusus ini tidak membiarkan
mereka lari begitu saja. Mereka semua bergegas bergerak mengejar, kecuali Patih
Rantaka dan Melati. Laki-laki setengah baya ini berdiri di sebelah gadis itu.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian cukup
tinggi, Patih Rantaka tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan
lelah setelah mengeluarkan tenaga dalam saat mengobrak-abrik seluruh tempat ini. Maka dia sengaja tidak ikut mengejar, tapi
melindungi gadis itu dari serangan lawan.
Sementara itu, gerombolan Kala Ireng tidak bisa
menghindar lagi karena pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading telah menghadang
langkah mereka.
Maka, pertarungan pun tidak bisa dielakkan lagi.
Sesaat kemudian, denting senjata beradu pun terdengar ketika kedua belah pihak
mulai saling menyerang hebat.
Baru saja Melati menghentikan amukannya, sesosok
bayangan hitam melesat dari balik sebuah kerimbunan
semak-semak. Bayangan itu terus melompat ke atas. Dan dari
atas, kedua tangannya

Dewa Arak 18 Kelelawar Beracun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berbentuk cakar, menyambar deras ke arah ubun-ubun gadis itu.
Melati terperanjat melihat serangan maut itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, dia segera melompat ke
samping, lalu bergulingan di tanah. Sehingga, serangan itu hanya menyambar
tempat kosong. Patih Rantaka tidak tinggal diam. Sebelum sosok
bayangan hitam itu kembali menyerang Melati, dia segera meloncat menerjang.
Pedang di tangannya cepat ditusukkan ke arah leher, begitu kedua kaki sosok
bayangan hitam itu mendarat di tanah.
Berbahaya bukan main serangan yang dilakukan
Patih Rantaka. Serangan itu datangnya begitu tiba-tiba, dan pada saat lawan baru
saja hinggap di tanah. Laki-laki setengah
baya itu sudah bisa memperkirakan kalau serangannya akan berhasil gemilang.
Tapi sungguh di luar dugaan, sosok bayangan hitam
itu ternyata mampu menangkis tusukan pedang dengan
cengkeraman tangan kanannya.
Tappp...! Bilah pedang Patih Rantaka kini telah dicengkeram
sosok hitam itu. Hal ini membuat Patih Rantaka terperanjat, tapi hanya sesaat
saja. Kemudian laki-laki setengah baya ini buru-buru mengerahkan tenaga dalam
untuk menarik kembali pedangnya. Atau paling tidak memutuskan jari-jari tangan yang
mencengkeram pedangnya.
Tapi sosok hitam yang tak lain Kala Ireng juga tidak sudi membiarkan senjata itu
berhasil ditarik pulang lawan.
Maka dia pun mengerahkan tenaga dalamnya untuk
mempertahankan tarikan lawan. Tak dapat dihindari, adu tarik-menarik pedang pun
berlangsung. Ternyata tenaga dalam kedua tokoh ini berimbang.
Tak heran sampai beberapa saat lamanya, Patih Rantaka dan Kala Ireng saling adu
tarik, namun tak juga ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Dalam hatinya, diam-diam Patih Rantaka terkejut
bukan kepalang melihat Kala Ireng mampu mempertahankan pedang tanpa terluka.
Mungkinkah lawan memiliki ilmu kebal, sehingga kulit tubuhnya tak bisa dilukai"
Mendadak Kala Ireng melepaskan cengkeramannya.
Padahal, saat itu Patih Rantaka tengah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya untuk menarik kembali pedangnya. Akibatnya bisa diduga! Tubuh laki-laki setengah baya ini terjengkang ke
belakang, terbawa tenaga tarikan tangannya.
Dan pada saat yang tepat Kala Ireng siap mengi-
rimkan serangan susulan. Tangannya bergerak ke balik baju.
Dan secepat tangan itu keluar, secepat itu pula dikibaskan.
Dan.... Singgg...! Suara mendesing nyaring terdengar begitu sebuah
benda logam berbentuk bintang persegi lima, meluruk cepat ke arah Patih Rantaka.
Laki-laki setengah baya ini kaget bukan
kepalang. Padahal, saat itu tubuhnya tengah terhuyung-huyung ke belakang akibat tenaga tarikannya sendiri.
Mendapat serangan mendadak itu, hatinya terperanjat bukan main.
Untung saja Melati yang sudah memperbaiki ke-
adaannya dan tengah memperhatikan jalannya pertarungan, bergegas melesat.
Seketika ditariknya tangan Patih Rantaka.
Maka serangan itu lewat di sebelah kiri pinggang laki-laki setengah baya itu.
"Terima kasih, Gusti Ayu," ucap Patih Rantaka seraya memberi hormat
"Lupakanlah, Paman. Dan sekarang, menyingkirlah,"
sahut Melati buru-buru. "Biarlah aku yang menghadapinya."
"Tapi, Gusti Ayu...," Patih Rantaka yang merasa khawatir akan keselamatan Melati
mencoba membantah.
Walaupun dia tahu kalau kepandaian gadis berpa-
kaian putih ini memang tinggi, tapi biar bagaimanapun dia harus bertanggung
jawab atas keselamatannya.
"Jangan khawatir, Paman," hibur Melati. "Aku bisa menjaga diri."
Seketika itu juga Patih Rantaka terdiam, tidak berani membantah lagi. Laki-laki
setengah baya ini mendengar adanya tekanan yang tidak menghendaki adanya
bantahan dalam suara gadis itu. Dan itulah sebabnya, dia kini tidak berbicara
lagi. Sementara itu, Kala Ireng menggeram melihat calon
korbannya berhasil lolos dari maut. Dengan wajah gusar, dipandanginya Melati
yang telah menolong Patih Rantaka tadi. Pada saat yang sama, gadis berpakaian
putih itu tengah menatapnya pula. Tak pelak lagi, dua pasang mata saling bertemu
dan menatap tajam.
"Kaukah orang yang berjuluk Kala Ireng?" tanya Melati, dingin.
"Tidak salah!" sahut Kala Ireng, tegas. Ada nada kebanggaan dalam suaranya.
Memang, laki-laki berpakaian hitam ini mempunyai
sifat aneh. Dia merasa bangga kalau ada orang yang
mengenal julukannya. Apalagi, kalau orang yang mengenalnya adalah seorang gadis cantik seperti Melati.
"Kalau begitu, kau harus mampus!"
Setelah berkata demikian, Melati melompat me-
nerjang. Menyadari kalau laki-laki berpakaian hitam itu begitu lihai, gadis
berpakaian putih ini langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar Naga Merah".
Kedua tangannya mengembang membentuk cakar naga.
Melati membuka serangannya dengan sebuah sabetan
tangan kanan ke arah pelipis. Sementara tangan yang lain menyilang di depan
dada, bersiap-siap melancarkan serangan susulan,
sekaligus berjaga-jaga bila lawan melakukan serangan mendadak.
Kala Ireng adalah seorang tokoh hitam yang memiliki
sifat angkuh. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri, di samping suka
memandang rendah lawan. Apalagi lawannya kali ini adalah seorang gadis muda!
Laki-laki berpakaian hitam ini begitu terkejut melihat serangan Melati yang
demikian cepat datangnya. Apalagi ketika terdengar suara angin mencicit nyaring,
mengiringi tibanya
serangan. Dari sini saja, Kala Ireng dapat memperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung
dalam serangan lawannya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kala Ireng segera
menarik kaki kanannya ke belakang. Pada saat yang sama, tangan kirinya
digerakkan untuk menangkis sampokan
Melati. Prattt..! Benturan antara kedua tangan yang sama-sama
membentuk cakar pun tidak bisa dielakkan lagi. Hasilnya, kedua belah pihak sama-
sama meringis, menahan rasa sakit.
Hanya saja, rasa sakit yang mereka derita tentu berbeda.
Melati meringis. Rasa ngilu dan nyeri yang amat
sangat seketika mendera sekujur jari-jari tangannya. Seluruh jari tangannya
seolah-olah terasa seperti bukan berbenturan dengan jari-jari tangan manusia,
tapi seperti berbenturan dengan batang-batang logam yang amat keras! Akibatnya,
sekujur tulang-tulang jarinya sakit dan nyeri.
Sementara itu, Kala Ireng pun dilanda rasa sakit pula.
Hanya saja rasa sakit yang diderita bukan pada jari-jari tangannya, melainkan
pada sekujur tangannya. Tangan yang berbenturan itu terasa bergetar hebat.
Bahkan tubuhnya terhuyung-huyung jauh ke belakang akibat benturan tadi.
Dari benturan ini saja, sudah bisa diperkirakan kalau dalam hal tenaga dalam.
Melati lebih unggul. Sedangkan Kala Ireng lebih unggul dalam hal kekerasan
tulang-tulang jarinya.
Kala Ireng menggeram, seperti tidak bisa menerima
kenyataan kalau lawannya yang masih sangat muda itu
mampu mengunggulinya. Padahal, Patih Rantaka saja tidak mampu mengalahkan
kekuatan tenaga dalamnya. Maka
sambil menggerung keras, laki-laki berpakaian hitam ini melancarkan serangan.
Kedua tangannya membentuk cakar garuda. Tiga buah jari tangannya terkembang,
sementara ibu jari dan kelingking terlipat ke dalam.
Dan dengan bentuk jari-jari tangan seperti itulah.
Kala Ireng melancarkan serangan. Kedua jari tangannya meluncur cepat ke arah
lawan. Tangan kanan mengancam leher, sedangkan tangan kiri mengancam dada.
Kedudukan jari-jari tangan kanan menghadap ke atas, sementara ujung-ujung jari
tangan kiri menghadap ke bawah.
Melati yang telah mengetahui betapa kerasnya jari-jari tangan lawan, tidak ingin
mencari penyakit dengan mengadu tangan
kembali. Apalagi rasa ngilu dan sakit yang menderanya belum lagi hilang. Dan tentu saja dia tidak mau menambahnya lagi.
Maka gadis berpakaian putih ini segera melompat mundur ke belakang, sehingga
serangan itu hanya mengenai tempat kosong.
Tapi Kala Ireng tidak mungkin akan membiarkan
lawannya lolos. Bahkan memberi kesempatan pun tidak
mungkin. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi, segera dia melompat memburu.
Sesaat kemudian, pertarungan yang cukup sengit pun terjadi.
*** Bukan hanya antara Melati dan Kala Ireng saja yang
mengalami pertarungan sengit dan menarik. Di tempat lain, juga
terjadi pertarungan yang tidak kalah serunya. Pertarungan antara pasukan khusus Kerajaan Bojong Gading menghadapi gerombolan
Kala Ireng. Hanya ada seorang saja yang sama sekali tidak ikut
bertarung. Dia adalah Patih Rantaka. Laki-laki setengah baya itu kini malah jadi
penonton saja. Dan hal ini tentu saja tidak akan dilakukan kalau pasukannya
terdesak. Dan memang, keadaan pihak Kerajaan Bojong, Gading kelihatannya berada
di atas angin. Sebetulnya kalau dihitung dalam hal jumlah orang,
gerombolan Kala Ireng masih lebih banyak daripada pihak prajurit Kerajaan Bojong
Gading. Jumlah mereka semua tak kurang dari tiga puluh orang, sementara di pihak
prajurit hanya dua puluh orang. Maka kini dua orang pasukan
khusus menghadapi tiga orang lawan. Namun demikian
pihak prajurit tetap tidak terdesak. Maka tak heran bila korban di pihak Kala
Ireng mulai berjatuhan.
Bahkan perlahan tapi pasti, pihak pasukan khusus
Kerajaan Bojong Gading mulai dapat mendesak gerombolan Kala Ireng. Tapi di
antara mereka semua, keadaan Kala Irenglah yang paling mengkhawatirkan.
Laki-laki bengis berpakaian hitam itu memang terdesak hebat. Dan itu ternyata akibat kesalahannya sendiri yang terlalu
menganggap remeh lawan. Kala Ireng yang merasa semakin penasaran segera
mengeluarkan senjata andalannya berupa gada berduri. Hal ini membuat Melati
Kisah Si Bangau Putih 8 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pedang Kayu Harum 24
^