Pencarian

Keris Peminum Darah 1

Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com
Daftar Judul Cersil Bag 8421 Manusia Harimau Marah422 Petualangan Manusia
Harimau423 Kucing Suruhan424 Manusia Harimau Jatuh Cinta425 Memburu Manusia
HarimauSerial Dewa Arak - Aji Saka426 Pedang Bintang427 Dewi penyebar maut428
Raksasa Rimba Neraka429 Banjir darah di bojong gading430 Prahara Hutan Bandan431
Rahasia surat berdarah432 Pendekar Tangan Baja433 Tiga Macan Lembah Neraka434
memburu putri datuk435 Jamur Sisik Naga436 Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar437
Tinju Penggetar Bumi438 Keris peminum darah439 Kelelawar Beracun440 perjalanan
menantang maut441 pelarian istana hantu442 Dendam Tokoh Buangan443 Maut dari
hutan rangkong444 Setan Mabok445 Pertarungan Raja-Raja Arak446 Penghuni Lembah
Malaikat447 Raja Tengkorak448 Kembalinya Raja Tengkorak449 Teror Macan Putih450
Ilmu Halimun451 Dalam cengkeraman biang iblis452 Perkawinan Berdarah453 Algojo-
Algojo Bukit Larangan454 Makhluk dari Dunia Asing455 Runtuhnya Sebuah
Kerajaan456 Kemelut Rimba Hijau457 Tokoh dari Masa Silam458 Rahasia Syair
Leluhur459 Neraka Untuk Sang Pendekar460 Misteri Dewa Seribu Kepalan461
Gerombolan Singa Gurun462 Macan-Macan Betina463 Empat Dedengkot Pulau Karang464
Garuda Mata Satu465 Tawanan Datuk Sesat466 Misteri Raja Racun467 Pendekar
Sadis468 Bencana Patung Keramat469 Geger Pulau Es470 Pertarungan di Pulau Api471
Raja Sihir Berhati Hitam472 Manusia Kelelawar473 Penjarah Perawan474 Kabut di
Bukit Gondang475 Perintah Maut476 Sumpah Sepasang Harimau477 Perguruan Kera
Emas478 Mayat Hidup479 Perawan-Perawan Persembahan480 Raja Iblis Tanpa
Tanding481 Perempuan Pembawa Maut482 Angkara Si Anak Naga483 Satria Sinting484
Si Linglung Sakti485 Pembunuh Gelap486 Makhluk Jejadian487 Biang Biang Iblis488
Peti Bertuah489 Pulau Setan490 Petualang-Petualang dari Nepal491 Batu
Kematian492 Pembantai Dari Mongol
Hari sudah agak siang. Sinar sang surya begitu terik, menyengat kulit. Namun
semua itu tidak dipedulikan oleh dua sosok tubuh yang melangkah bergegas
memasuki hutan.
Dua sosok yang ternyata dua orang lelaki itu melangkah gesit, dan bersikap penuh
tanggap. Jelas kalau mereka tidak asing lagi dengan ilmu silat.
"Masih jauhkah gua itu, Rakapitu?" tanya orang yang wajahnya penuh tahi lalat.
Orang yang dipanggil Rakapitu segera meng-
edarkan pandangan ke sekeliling. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar, kekar dan berotot.
Tapi, kepalanya kecil, sehingga kelihatan lucu sekali.
"Rasanya tidak jauh lagi, Gibang," sahut Rakapitu.
Tapi, nada suaranya terdengar mengambang. Jelas kalau dia merasa bimbang akan
jawabannya sendiri.
"Heh..."! Jadi kau sendiri tidak tahu tempatnya, Rakapitu?" Gibang terperanjat
dengan dahi berkerut dalam.
"Tentu saja tahu!" sergah Rakapitu keras seraya menatap tajam wajah rekannya.
"Hm.... Lalu..., mengapa sekarang kau kelihatan bingung?" secercah senyum
mengejek tersungging di bibir Gibang.
"Siapa yang bingung"!" semakin meninggi suara Rakapitu. Sikap laki-laki yang
wajahnya penuh tahi lalat itu menyebabkan amarahnya bangkit. "Aku tengah mencari
patokannya. Apa kau sudah melihat pohon beringin yang batangnya sedikit
terkelupas?"
Sambil berkata demikian, kepala laki-laki tinggi besar ini menoleh ke kanan dan
ke kiri. Gibang pun mau tak mau ikut mengedarkan pandangannya, mencari-cari
pohon beringin seperti yang dikatakan rekannya.
"Itu dia...!" teriak Rakapitu gembira, seraya meng-arahkan telunjuk kanannya
pada sebatang pohon beringin.
Gibang mengikuti arah tudingan itu. Memang benar apa yang dikatakan Rakapitu.
Batang pohon beringin itu terkelupas.
Seketika itu juga, Rakapitu mempercepat langkahnya. Mau tak mau, Gibang pun
melakukan hal yang sama jika tidak ingin tertinggal. Dari pohon beringin itu
Rakapitu menuju ke kiri. Dia berjalan menerobos kerimbunan semak dan pepohonan
yang lebat. "Itu tempatnya, Gibang," tunjuk Rakapitu seraya menudingkan telunjuk kanannya ke
arah sebuah gua yang terletak tak jauh di depan mereka.
"Hm...," hanya gumam pelan dan tak jelas yang keluar dari mulut Gibang untuk
menyambuti ucapan rekannya.
Begitu telah menemukan apa yang dicari, kedua laki-laki ini kian mempercepat
langkah. Jelas sudah, tujuan mereka adalah ke gua itu.
Tapi, ketika jarak antara mereka dengan mulut gua tinggal sekitar tiga tombak
lagi, terdengar suara gerengan. Perlahan saja suara itu, tapi akibatnya telah
membuat wajah Rakapitu dan Gibang memucat.
Langkah kaki mereka kontan terhenti. Tanpa melihat pun, mereka telah tahu kalau
suara gerengan itu tak lain berasal dari seekor harimau.
Sebenarnya baik Rakapitu maupun Gibang sama sekali tidak merasa gentar terhadap
harimau. Tapi binatang yang terdapat di gua ini tidak bisa dianggap sembarangan. Binatang itu
adalah seekor macan putih ajaib, yang kebal terhadap segala macam senjata.
Bahkan juga memiliki kekuatan yang menggiriskan (Untuk jelasnya, baca serial
Dewa Arak dalam episode "Prahara Hutan Bandan").
Belum lagi gema gerengan itu lenyap, dari dalam gua keluar seekor macan yang
berbulu putih dengan langkah tenang. Besarnya mungkin satu setengah kali macan
biasa yang paling besar.
"Grrrh...!"
Kembali macan putih itu menggereng. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Sepasang matanya yang bersinar kehijauan menatap tajam wajah kedua tamu tak
diundang itu. Mulutnya terbuka memamerkan deretan gigi-gigi yang panjang dan
runcing. Karuan saja hal itu membuat Rakapitu dan Gibang jadi semakin ketakutan. Dengan
tubuh gemetar kedua orang itu beringsut melangkah ke belakang.
Tapi ternyata macan putih itu tidak bermaksud jahat. Terbukti begitu melihat
Rakapitu dan Gibang undur, binatang itu pun tidak mengejar. Macan putih itu
hanya menggereng pelan, kemudian membaringkan tubuhnya di depan gua. Tapi
wajahnya tetap tertuju pada Rakapitu dan Gibang.
Melihat macan itu tidak mengejar, rasa takut Rakapitu dan Gibang mulai mereda.
Kedua orang ini tidak lagi melangkah mundur, tapi diam di tempat.
Beberapa saat lamanya, kedua laki-laki ini berdiam diri. Maju tidak, mundur pun
tidak. "Bagaimana, Gibang?" tanya Rakapitu meminta pendapat rekannya.
"Sudah kepalang basah, Kang. Mandi saja sekalian," sahut laki-laki berwajah
penuh tahi lalat itu.
Nada suaranya terdengar tegas. Meskipun lebih mirip bisikan.
"Bagaimana dengan macan itu?" Rakapitu menunjuk macan putih dengan dagunya.
Gibang terdiam sejenak. Sesaat lamanya matanya menatap macan putih yang
terbaring di depan gua.
Wajah binatang itu tetap tertuju pada mereka. Tapi tidak ada tanda-tanda kalau
akan melakukan sesuatu. Bahkan sepertinya macan putih itu tengah bersenang hati.
Terbukti, ekornya mengibas ke sana kemari.
"Tampaknya binatang itu tidak buas, Rakapitu."
"Dugaanmu mungkin benar, Gibang," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar itu
mendukung penilaian rekannya.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" desak Gibang dengan suara pelan. "Kita coba
saja masuk ke dalam."
"Bagaimana kalau macan itu menyerang?"
Rakapitu masih ragu-ragu.
"Kita usahakan agar binatang itu jangan sampai merasa terganggu."
"Aku mengerti," kata Rakapitu. "Tapi bagaimana caranya?"
"Kita melangkah perlahan-lahan," usul Gibang.
"Kalau begitu, kau bergerak dulu. Aku rnengikuti dari belakang," tambah Rakapitu
yang masih khawatir kalau macan putih itu akan menyerang.
"Hhh...!"
Gibang menghela napas berat, mencoba me-
nenangkan debaran jantungnya yang kembali berdetak cepat, begitu memutuskan
untuk nekat menerobos masuk ke dalam gua.
Perlahan dan hati-hati sekali Gibang melangkah-
kan kaki. Tapi baru juga melangkah setindak, ekor macan itu berhenti mengibas.
Tampak jelas kalau binatang itu mulai curiga.
Tentu saja Gibang melihat hal ini, tapi berpura-pura tidak melihat. Kembali
kakinya dilangkahkan.
Sementara Rakapitu mulai melangkah maju pula.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng pelan sambil meng-
gerak-gerakkan misainya.
Melihat hal ini, Gibang semakin gugup. Jelas kalau macan putih itu telah
menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan bagi diri dan rekannya. Tapi Gibang
sudah nekat. Kembali kakinya melangkah. Rakapitu pun terpaksa melangkahkan
kakinya pula. Tapi kali ini langkah kedua orang ini tidak setenang semula, dan
tampak mulai oleng. Yang pasti, kedua lelaki ini dilanda perasaan tegang.
Mendadak macan putih itu bangkit dari ber-
baringnya seraya terus menggereng. Gerengannya kali ini lebih keras dari
sebelumnya, pertanda kalau mulai marah.
Kontan wajah Rakapitu dan Gibang memucat.
Langkah mereka pun terhenti, tapi terlambat. Macan itu rupanya sudah merasa
terganggu dan marah pada kedua laki-laki itu. Sambil mengaum menggetarkan dada,
macan putih itu melompat menerkam Gibang dan Rakapitu. Maka kedua orang ini
terkejut bukan main.
"Awas, Rakapitu...!" seru Gibang seraya melempar tubuh ke samping kanan. Dan
begitu kedua tangannya menyentuh tanah, tubuhnya segera bergulingan menjauh.
Rakapitu tentu saja tidak mau mati konyol. Laki-laki tinggi besar ini melempar
tubuh ke samping
untuk menyelamatkan selembar nyawanya. Hanya bedanya, kalau Gibang melompat ke
kanan, dia melompat ke kiri. Dan berbareng dengan bangkitnya Gibang, Rakapitu
juga bangkit dari bergulingannya.
"Grrrh...!"
Kembali macan putih ini menggereng begitu
melihat calon korbannya berhasil meloloskan diri dari terkaman. Dan begitu
mendarat di tanah, binatang itu kebingungan melihat mangsanya berpencar. Tapi
sesaat kemudian macan putih telah kembali
menyerang. Kini Gibanglah yang menjadi sasarannya.
Gibang menggertakkan gigi, bersiap-siap menghadapi serangan macan itu. Di tangan
kanannya tampak tergenggam sebatang golok besar. Maka begitu melihat binatang
itu menerkam, segera dipapak dengan ayunan goloknya.
Bukkk...! Telak dan keras sekali golok Gibang menghantam bahu macan putih itu. Tapi
akibatnya, tubuh laki-laki berwajah penuh tahi lalat ini malah terjengkang ke
belakang dan jatuh di tanah. Ini terjadi, karena dia terbawa dorongan tenaga
terkaman macan putih itu.
Sementara binatang itu sama sekali tidak merasakan apa-apa. Jangankan terluka,
merasa sakit pun tidak.
Sebaliknya, justru Gibang yang merasa tangannya seperti lumpuh. Goloknya seperti
berbenturan dengan sebuah benda yang amat kenyal, dan tanpa dapat ditahan lagi
terlepas dari pegangan.
"Auuummm...!"
Sambil mengeluarkan auman menggelegar, macan putih itu kembali menerkam. Padahal
saat itu tubuh Gibang tengah tergolek di tanah. Rasanya, untuk bangkit berdiri
atau melompat tidak ada waktu lagi.
Maka tubuhnya segera bergulingan untuk me-
nyelamatkan selembar nyawanya.
Untuk yang kesekian kalinya, Gibang lolos dari maut. Dan sebelum macan putih itu
terus memburu, bantuan dari rekannya tiba. Rakapitu langsung membabatkan
goloknya pada punggung binatang itu.
Bukkk...! Seperti yang dialami Gibang, Rakapitu pun merasa babatannya seakan-akan
menghantam sebuah benda kenyal. Akibatnya, tenaga serangannya berbalik, dan
tangannya terasa lumpuh. Hanya saja, sebelum senjata itu terlepas dari pegangan,
dia masih mampu mencekalnya.
Macan putih membalikkan tubuhnya menghadap Rakapitu. Binatang ini marah bukan
main mengetahui tindakannya dihalangi. Maka serangannya kini dialihkan pada
laki-laki tinggi besar itu. Macan putih itu mengayunkan kaki kanan depannya,
menyampok ke arah pelipis Rakapitu.
Laki-laki tinggi besar itu menggertakkan gigi.
Seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan untuk memapak sampokan
macan putih itu dengan goloknya. Dia bermaksud membuat kaki binatang itu
buntung. Takkk...! Terdengar suara keras seperti bunyi logam beradu.
Rakapitu begitu terperanjat, menyadari kalau sampokan macan itu ternyata kuat
bukan main. Seketika tangan kanannya terasa sakit-sakit. Bahkan lumpuh sejenak. Dan kini tak
pelak lagi goloknya terlempar jauh.
Rakapitu tahu kalau dirinya kini terancam. Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
segera tubuhnya dilempar ke samping dan bergulingan menjauh.
Tapi macan putih itu rupanya tak mau membiarkan
mangsanya lolos. Langsung dikejarnya tubuh yang tengah berguling-guling itu.
Tapi sebelum macan itu kembali menerkam, terdengar seruan mencegah.
"Putih...! Tahan...!"
Pelan saja suara bernada perintah itu. Meskipun begitu, pengaruh yang
ditimbulkannya begitu luar biasa. Macan putih itu langsung menghentikan
gerakannya begitu mendengar cegahan, lalu menoleh sebentar. Binatang itu
menggereng pelan, kemudian melangkah menghampiri si pemilik suara.
"Hhh...!"
Hampir berbareng Rakapitu dan Gibang menghela napas lega. Keduanya sadar, kalau
pertarungan dilanjutkan, pasti akan tewas di tangan macan putih yang kebal itu.
Dengan pandangan penuh rasa syukur, kedua lelaki ini mengalihkan pandangan ke
arah asal seruan itu.
Di depan gua, tampak berdiri seorang kakek berpakaian kuning. Rambut, alis,
kumis, dan jenggotnya telah memutih semua. Tubuhnya agak bungkuk dan kaki
kirinya buntung sampai pangkal paha. Di tangan kiri kakek ini tergenggam
sebatang tongkat butut untuk menyangga tubuhnya.
Rakapitu dan Gibang mengerutkan alisnya, lalu melangkah menghampiri kakek itu.
Macan putih yang kini telah berada di sebelah kakek bertubuh bungkuk itu
menggereng pelan, penuh kemarahan.
"Tenanglah, Putih," ujar kakek berpakaian kuning menenangkan. Tangan kanannya
mengelus-elus kepala binatang itu.
Seketika itu juga, macan putih itu berhenti menggereng. Tampak jelas kalau
binatang ini amat patuh pada kakek bertubuh bungkuk dan berpakaian kuning itu.
Hal ini tidak aneh, karena binatang itu
memang peliharaannya.
Kini macan putih itu hanya menatap penuh curiga pada Rakapitu dan Gibang yang
tengah melangkah menghampiri majikannya.
"Siapa kalian" Dan mengapa mengganggu binatang peliharaanku?" tanya kakek
berpakaian kuning begitu Rakapitu dan Gibang menghentikan langkahnya. Sepasang
mata kakek itu menatap tajam wajah Rakapitu dan Gibang secara bergantian. Jarak
mereka terpisah sekitar tiga batang tombak.
"Aku Gibang, Kek," sahut laki-laki berwajah penuh tahi lalat mengenalkan diri.
"Dan ini kawanku, Rakapitu."
Sambil berkata demikian, Gibang menudingkan telunjuk pada rekannya. Rakapitu
menganggukkan kepala sambil tersenyum.
"Hm...," kakek berpakaian kuning hanya bergumam pelan, tak jelas.
"Kami tidak menyerang peliharaan Kakek. Sebaliknya, binatang itulah yang
menyerang kami," sambung Gibang memberi penjelasan.
"Tidak mungkin. Putih tidak pernah menyerang orang, terkecuali kalau diganggu
lebih dulu," bantah kakek berpakaian kuning.
"Tapi, kami sama sekali tidak mengganggunya, Kek," sambut Gibang lagi, membela
diri. "Benar," sambung Rakapitu. "Kami berdua akan masuk ke dalam gua, dan ingin
menemui penghuni-nya yang bernama Eyang Aji Ranta."
"Akulah orang yang kalian cari itu," kata kakek berpakaian kuning, pelan.
Rakapitu dan Gibang mengerutkan kening.
Memang beberapa ciri Eyang Aji Ranta ini, mirip dengan orang yang mereka cari.
Tapi, ada ciri yang
amat penting yang tidak dimiliki kakek berpakaian kuning itu. Inilah yang
membuat kedua laki-laki ini ragu.


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi, kakek yang bernama Eyang Aji Ranta itu?"
tanya Gibang masih kurang percaya.
Kakek berpakaian kuning itu menganggukkan
kepala sambil tersenyum.
"Tapi setahu kami, sepasang mata Eyang Aji Ranta buta," Rakapitu ikut ambil
bagian, mengutarakan keragu-raguannya. Sepasang matanya menatap ke arah mata
kakek berpakaian kuning di depannya.
Dan memang, sepasang mata kakek itu tidak buta.
Gibang menganggukkan kepala pertanda mem-
benarkan ucapan rekannya.
"Aku telah berhasil menyembuhkannya," jawab kakek yang ternyata bernama Eyang
Aji Ranta, masih dengan senyum di bibir. Dan ternyata kakek ini juga suami dari
Kuntilanak Alam Kubur (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak dalam episode
"Prahara Hutan Bandan").
Rakapitu dan Gibang mengangguk-anggukkan
kepala pertanda mengerti.
"Sekarang katakanlah, apa maksud kalian datang menemuiku?" tanya Eyang Aji
Ranta. Sebagai bekas orang buta, perasaannya jauh lebih tajam dibanding orang
lain. Maka, kakek berpakaian kuning ini sudah bisa merasa kalau kedua orang di
hadapannya adalah orang baik-baik.
"Ada orang yang sangat membutuhkan bantuan Eyang," sahut Gibang. "Dia sakit
parah. Karena mendengar kabar kalau Eyang ahli dalam pengobatan, maka kami lalu
memaksakan diri menemui Eyang."
Eyang Aji Ranta terdiam. Memang, dia sering mengobati para penduduk sekitar
Hutan Dadap. Maka mendengar permintaan Rakapitu dan Gibang, dia tidak merasa heran.
"Di mana tempat tinggal kalian?" tanya Eyang Aji Ranta setelah beberapa saat
lamanya termenung.
"Desa Pucung, Eyang," jawab Gibang cepat.
"Desa Pucung...," ulang kakek berpakaian kuning.
"Bagaimana, Eyang?" tanya Gibang penuh harap.
"Eyang bersedia?"
Eyang Aji Ranta menganggukkan kepala.
"Terima kasih atas kebaikan hati Eyang Aji Ranta,"
ucap Rakapitu dan Gibang berbarengan begitu melihat gerak kepala Eyang Aji
Ranta. Wajah kedua orang itu nampak berseri-seri.
"Sudahlah. Aku paling tidak suka banyak peradatan," sergah Eyang Aji Ranta penuh
teguran. "Maafkan kami, Eyang," ucap Gibang buru-buru.
"Kami terlalu gembira karena Eyang bersedia me-luluskan permintaan kami,
sehingga tidak bisa menahan luapan perasaan."
Eyang Aji Ranta tidak menyahut.
"Putih. Aku akan pergi sebentar. Jaga tempat ini baik-baik," ujar kakek
berpakaian kuning pada binatang peliharaannya.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng pelan sebagai jawabannya.
"Mari kita berangkat," ajak Eyang Aji Ranta sambil melangkah mendahului
meninggalkan tempat itu.
Kelihatannya Eyang Aji Ranta hanya melangkah perlahan saja. Tapi hebatnya, dia
sudah berada dalam jarak sepuluh tombak dari tempat semula.
Karuan saja hal ini membuat Rakapitu dan Gibang terkejut bukan kepalang. Jelas
terbukti kalau Eyang Aji Ranta adalah orang sakti. Tapi mereka tidak bisa
berlama-lama tenggelam dalam keterkejutan, karena Eyang Aji Ranta telah berjalan
cukup jauh. Kini buru-buru mereka berlari menyusul.
*** Baru saja tubuh ketiga orang itu lenyap ditelan kejauhan, dari arah yang
berlawanan bermunculan belasan orang berwajah kasar dari balik pepohonan.
Di tangan mereka tampak tergenggam senjata terhunus.
Rupanya kedatangan belasan orang itu diketahui macan putih, maka binatang itu
langsung bangkit dari berbaringnya. Memang sejak Eyang Aji Ranta pergi, macan
putih segera membaringkan tubuhnya di depan gua. Dan binatang itu baru bangkit
begitu mencium bau banyak orang yang berdatangan ke tempat ini.
Macan putih menggereng keras, begitu melihat di depannya telah berkumpul belasan
orang berwajah kasar sambil membawa senjata terhunus. Nalurinya langsung
mengisyaratkan kalau belasan orang itu tidak bermaksud baik.
"Serbu...!"
Salah seorang yang berikat kepala hitam langsung memberi aba-aba. Tangan
kanannya yang meng-genggam sebatang golok besar diangkat ke atas.
Salah satu mata golok tampak bergerigi. Sepertinya dia adalah pemimpin
gerombolan ini.
Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan orang itu meluruk ke arah mulut gua.
Dan karena macan putih berdiri menghadang di depan, mereka terpaksa harus
merobohkannya terlebih dahulu.
Suara berdesing nyaring, diiringi kilatan senjata-
senjata yang ditimpa sinar matahari mengiringi tibanya serangan gerombolan itu.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras menggetarkan jantung, macan putih melompat memapak tibanya
belasan senjata yang siap merajamnya.
Tak pelak lagi, sekujur tubuh macan putih
langsung disambut hujan bermacam-macam senjata tajam. Dan ternyata belasan
penyerang itu harus menemui kenyataan pahit. Buktinya, senjata-senjata itu malah
terpental balik sewaktu menghantam kulit binatang itu. Bahkan tubuh macan putih
itu terus meluncur tanpa bisa ditahan lagi.
Jerit kematian pun terdengar seketika, saat seorang dari mereka diterkam macan
putih. Tanpa ampun lagi, gigi-gigi runcing binatang itu menghunjam leher orang
malang itu. Sementara kedua kaki depannya, mencengkeram kedua bahunya.
Berbareng dengan robohnya tubuh itu di tanah, nyawanya pun melayang meninggalkan
raganya. Kematian salah seorang dari mereka, membuat belasan orang itu jadi murka. Segera
tubuh macan putih itu dihujani dengan bacokan dan tusukan senjata.
Lagi-lagi, tindakan gerombolan itu hanya membuang tenaga secara percuma saja.
Kulit tubuh macan putih itu sama sekali tak mampu ditembus.
Bahkan senjata-senjata mereka terpental balik.
Wuttt...! Prattt..!
Kembali seseorang yang berwajah pucat seperti orang penyakitan telah menjadi
korban. Kaki kanan depan macan putih itu telah menyampok pelipisnya.
Seketika tubuh laki-laki berwajah pucat itu ter-pelanting dan jatuh di tanah.
Tanpa sempat berteriak
lagi, orang itu tewas seketika. Tulang pelipisnya retak, terkena sampokan macan
putih yang memang keras bukan main.
Macan putih itu terus mengamuk, menyebar maut pada lawan-lawannya. Beberapa saat
kemudian, kembali jerit memilukan terdengar diiringi robohnya anggota gerombolan
yang lain. Karuan saja hal ini membuat kemarahan
pemimpin gerombolan itu bergolak. Sementara, macan putih itu sama sekali belum
terluka. Sedangkan empat orang anak buahnya sudah pergi ke alam baka. Bukan
tidak mungkin kalau dibiarkan terus, anak buahnya akan habis dibantai binatang
buas itu. "Mundur semua...!" teriak laki-laki berikat kepala hitam. Suaranya terdengar
keras bukan main, karena disertai pengerahan tenaga dalam.
Tanpa diperintah dua kali, anggota gerombolan itu saling dahulu-mendahului
bergerak mundur. Tapi, macan putih tidak mau membiarkan begitu saja.
Binatang itu terus bergerak mengejar mereka.
Kembali salah seorang anggota gerombolan
menjadi korban, karena ditubruk macan putih dari bela-kang. Tak pelak lagi,
tubuh laki-laki itu pun terjerembab ke depan. Sedangkan macan putih masih berada
di atasnya. Sebelum laki-laki berwajah bopeng itu bangkit, macan putih telah lebih dahulu
menghunjamkan giginya di tengkuk. Suara jeritan menyayat terdengar ketika laki-
laki berwajah bopeng itu meregang nyawa.
"Keparat..!" maki laki-laki berikat kepala hitam.
Perasaan geram yang hebat tampak jelas baik pada wajah maupun suaranya.
Seiring hilangnya gema makian itu, tangan
kanannya bergerak ke arah pinggang. Sesaat
kemudian, di tangan kanannya telah tergenggam seutas cambuk berwarna merah
darah. Panjangnya, tak kurang dari satu setengah tombak.
Darrr...! Ledakan keras yang memekakkan telinga
terdengar ketika laki-laki berikat kepala hitam ini melecutkan cambuknya.
"Auuummm...!"
Sambil mengaum keras, macan putih melompat menerkam laki-laki berikat kepala
hitam. Sedangkan yang akan diterkam malah mendengus, namun cepat mengelak.
Gerakannya gesit juga, laksana kera dia menyelinap di bawah tubuh macan itu.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berada di belakang macan putih, mendekati sebuah
pohon besar. Secepat laki-laki berikat kepala hitam itu berada di sana, secepat itu pula
cambuknya dilecutkan.
Darrr...! Rrrt..!
"Grrrh...!"
Macan putih menggeram keras ketika kaki kiri belakangnya erat sekali terlilit
cambuk, dan langsung terikat mati. Sebelum tubuh binatang itu menyentuh tanah,
laki-laki berikat kepala hitam itu segera mengikatkan ujung cambuk yang dipegang
ke sebatang pohon besar di dekatnya. Hal ini memang sudah direncanakan.
Laki-laki berikat kepala hitam itu tersenyum puas setelah selesai mengikatkan
ujung cambuknya ke batang pohon. Sepasang matanya menatap penuh kepuasan pada
macan putih yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi tanpa hasil.
Cambuk itu bukan cambuk sembarangan, karena terbuat dari bahan yang alot dan
sulit diputuskan. Bahkan oleh senjata tajam sekali pun.
"Cari benda itu..!" perintah laki-laki berikat kepala hitam.
Anak buahnya yang tengah menatap penuh
kagum, segera bergerak mengikuti perintah
pemimpinnya. Sama sekali tidak disangka kalau macan putih yang menggiriskan itu,
dapat dilumpuh-kan oleh pemimpin mereka dalam segebrakan.
Padahal, binatang itu kelihatan perkasa. Buktinya, beberapa nyawa telah melayang
akibat terkamannya.
Dan kini, binatang itu hanya dapat meronta-ronta, tanpa mampu melepaskan diri
dari ikatan cambuk pada kakinya.
Dan memang, anggota gerombolan itu tidak bisa berlama-lama tenggelam dalam
kekaguman. Apa lagi, mereka berlomba dengan waktu. Apabila Eyang Aji Ranta
keburu kembali, mereka akan menghadapi kesulitan yang amat besar. Benda yang
berada di dalam gua harus cepat diambil!
Maka anggota gerombolan itu bergegas masuk ke dalam gua. Tak dihiraukan lagi
macan putih yang meraung-raung murka melihat anggota gerombolan itu memasuki gua
tempat tinggal majikannya.
*** 2 Begitu memasuki mulut gua, gerombolan yang kini berjumlah sembilan orang itu
bergegas mengedarkan pandangan berkeliling, mencari-cari benda yang
diperintahkan pemimpin mereka.
Tapi suasana dalam gua yang hanya remang-
remang, rupanya cukup menjadi penghalang juga.
Besar kemungkinan kalau benda yang dicari tidak akan diketemukan.
Tapi ternyata anggota gerombolan itu sudah memperhitungkannya. Dan kini, tiga
orang di antara mereka segera mengeluarkan tiga batang obor dari balik bajunya.
Dan berkat tenaga dalam yang lumayan, tidak sulit untuk menyalakan api. Dua
batang obor yang terbuat dari kayu nangka itu digosok-gosokkan, hingga
menimbulkan percikan api.
Sementara sebatang obor lain didekatkan ke percikan api. Maka begitu ujung obor
terkena percikannya api langsung membesar menjadi obor yang menyala. Kemudian,
mereka menyulut dua obor berikutnya. Dan kini, suasana dalam gua itu telah
terang-benderang oleh tiga batang obor.
Dengan bantuan cahaya obor, sembilan orang anggota gerombolan itu meneruskan
pencarian. Sepasang mata masing-masing menelusuri setiap jengkal ruangan yang terdapat
dalam gua itu. Dinding, lantai, dan atap diperjksa dengan teliti.
Semakin lama langkah sembilan orang itu semakin jauh masuk ke dalam gua. Tapi
sampai sekian jauh,
benda yang dicari belum diketemukan.
Akhirnya mereka sampai di ujung terakhir gua itu, di sebuah ruangan yang cukup
luas. Di situlah tempat Eyang Aji Ranta bersemadi dan beristirahat.
"Hei...! Kemarii...!"
Tiba-tiba terdengar seruan salah seorang anggota gerombolan yang berambut
keriting. Obor di tangannya diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara
sepasang matanya menatap penuh selidik pada sebuah benda berwarna gelap sebesar
kepala manusia.
Mendengar seruan itu serentak anggota
gerombolan lainnya bergegas menghampiri. Dengan bertambahnya dua batang obor
yang menerangi tempat laki-laki berambut keriting, maka sekitar tempat itu jadi
semakin terang-benderang.
"Benarkah itu benda langit yang dicari-cari Kakang Wisesa?" tanya laki-laki
berambut keriting. Nada suaranya menyiratkan keragu-raguan. Obor yang
dipegangnya segera diletakkan ke dinding gua.
"Entahlah...," sahut orang yang mempunyai anting-anting di hidung.
"Aku yakin, benda itulah yang dicari Kakang Wisesa," tegas orang yang berkulit
hitam legam. Nada suara dan sikapnya menyiratkan keyakinan besar.
"Ya," sambut yang lainnya. "Kakang Wisesa telah menceritakan ciri-ciri benda
langit itu. Dan semua yang dikatakan Kakang Wisesa, sesuai dengan benda ini."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi"!" tegas orang yang berambut keriting. "Ambil
benda itu, dan kita berikan secepatnya pada Kakang Wisesa!"
Tapi, tidak ada satu pun yang berani mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Tak
terkecuali, laki-laki
berambut keriting sendiri.
"Kau saja yang mengambilnya, Guntara," orang yang di hidungnya ada anting-anting
balas mengusulkan pada laki-laki berambut keriting.
"Heh..."! Mengapa harus aku, Gota"!" laki-laki berambut keriting yang bernama
Guntara terperanjat.
"Tentu saja tidak harus kau, Guntara," lanjut laki-laki beranting di hidung yang
ternyata bernama Gota.
"Tapi, karena kau yang mengusulkan lebih dulu, tidak ada salahnya jika kau yang
mengambilnya."
"Apakah benda itu tidak beracun?" tanya Guntara ragu-ragu.
"Itulah yang membuat kami khawatir mengambilnya," sahut Gota tenang.
Guntara langsung terdiam dengan dahi berkerut.
Jelas ada sesuatu yang dipikirkannya. Sementara Gota juga tak melanjutkan
ucapannya. Maka, keheningan pun menyelimuti tempat itu.
"Hhh...!" Guntara menghela napas berat, me-mecahkan keheningan yang menyelimuti
tempat itu. Semua rekannya tanpa sadar menoleh ke arahnya.
"Baiklah. Aku akan mengambilnya," ucap laki-laki berambut keriting memutuskan.
Suaranya terdengar agak bergetar, menyiratkan ketegangan hatinya.
Bukan hanya Guntara saja yang merasa tegang.
Gota dan rekan-rekan yang lain pun mengalami perasaan yang sama. Apakah benda
langit itu beracun atau tidak, Guntaralah yang menjadi kelinci percobaan.
Guntara membungkukkan badan, lalu perlahan-lahan menjulurkan tangan kanannya.
Tampak tangan laki-laki berambut keriting ini gemetar keras. Keringat sebesar
besar jagung membasahi seluruh tubuhnya.
Mula-mula hanya tangan kanan saja yang
menyentuh benda berwarna gelap itu. Itu pun hanya sekadar menyentuh saja.
Beberapa saat lamanya Guntara membiarkan tangannya menempel pada benda itu.
Wajahnya terlihat tegang bukan main.
Keringat sebesar-besar jagung semakin banyak membasahi wajah dan tubuhnya.
Tapi setelah menunggu beberapa saat, hal-hal yang dikhawatirkan ternyata tidak
kunjung terjadi.
Perlahan-lahan raut ketegangan di wajah Guntara mulai sirna. Kini laki-laki
berambut keriting itu mulai berani mencengkeram benda berwarna gelap itu.
Ketika tidak juga terjadi apa-apa, Guntara mengulurkan tangan kirinya. Maka
dengan kedua tangan, diangkatnya benda yang diduga berasal dari langit itu.
Dengan penuh rasa bangga, Guntara mengangkat benda berwarna gelap itu tinggi-
tinggi di atas kepala.


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru kemudian kakinya melangkah menuju ke luar.
Tanpa berkata apa-apa, Gota dan yang lainnya melangkah mengikuti Guntara dari
belakang. *** "Hhh...!"
Laki-laki berikat kepala hitam yang bernama Wisesa menghela napas berat. Untuk
yang kesekian kali, pandangannya dialihkan ke arah pintu gua. Tapi anak buahnya
yang sejak tadi ditunggu-tunggu, tak kunjung muncul.
Wisesa khawatir, macan putih dapat meloloskan diri. Masalahnya, sejak tadi
binatang itu tak henti-hentinya meronta. Tapi usaha yang dilakukannya itu sia-
sia saja. Memang, cambuk yang mengikatnya terlalu a lot.
Wisesa membiarkan saja macan putih itu meronta-
ronta, dan sama sekali tidak berusaha mencegah.
Bahkan laki-laki berikat kepala hitam juga tidak mempergunakan kesempatan ini
untuk menyerang macan putih. Karena dia tahu, semua itu percuma saja. Macan
putih memiliki kekebalan tubuh yang luar biasa. Menyerangnya hanya melelahkan
diri sendiri. Sambil menunggu anak buahnya keluar dari dalam gua, Wisesa mengawasi macan putih
itu. Di saat kesabaran laki-laki berikat kepala hitam ini hampir habis, orang-
orang yang ditunggunya muncul. Mula-mula yang terlihat Guntara. Di tangan laki-
laki berambut keriting itu tampak sebuah benda berwarna gelap, mirip sebuah
batu. Tak salah lagi, pasti itu benda langit!
Melihat hal ini, Wisesa tidak mampu menahan perasaannya lagi. Dia bergegas
berlari menyambut.
Tak sabar lagi harinya untuk memiliki benda itu.
Karena kedua belah pihak bergerak saling menghampiri, maka Guntara dan Wisesa
telah saling berhadapan.
"Inikah benda langit itu, Kang?" tanya Guntara seraya mengangsurkan benda di
tangannya. Dengan bernafsu sekali laki-laki berikat kepala hitam menerima benda berwarna
gelap itu, lalu diamat-amatinya sejenak.
"Benar!" sahut Wisesa setelah memeriksa benda itu. Nada suaranya menyiratkan
perasaan gembira yang meledak-ledak. "Inilah benda langit itu!"
Semua orang yang ada di situ menarik napas lega.
Mereka tampak tersenyum gembira karena berhasil menjalankan tugas.
"Mari kita tinggalkan tempat ini," ajak Wisesa seraya bergerak meninggalkan
tempat itu, diikuti oleh anak buahnya yang membawa mayat-mayat rekan
mereka. Tak dipedulikannya macan putih yang masih meronta-ronta melepaskan diri.
Sesaat kemudian tubuh mereka telah lenyap
ditelan kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat.
*** Eyang Aji Ranta segera menghentikan langkahnya begitu mulai mendekati batas
tembok Desa Pucung.
Dengan sendirinya, Rakapitu dan Gibang yang sejak tadi berlari sekuat tenaga
untuk mengimbangi kakek berpakaian kuning itu berhasil menyusul. Sekujur tubuh
kedua laki-laki itu nampak dibanjiri peluh, dengan napas terengah-engah.
Dapat dibayangkan, betapa kagetnya hati Rakapitu dan Gibang melihat Eyang Aji
Ranta sama sekali tidak terlihat lelah. Bahkan desah napasnya biasa saja.
Tidak ada setitik pun peluh nampak di wajahnya, maupun tubuhnya.
"Mengapa tergesa-gesa betul, Eyang?" tanya Gibang dengan suara terputus-putus,
karena napasnya masih memburu hebat.
Eyang Aji Ranta menoleh. Ditatapnya sejenak wajah pemuda berwajah penuh tahi
lalat itu. "Entahlah, Anak Muda," sahut kakek berpakaian kuning, mendesah. "Yang jelas,
perasaanku tidak enak sekali hari ini."
"Maksud, Eyang?" tanya Gibang tidak mengerti.
"Sudahlah, Anak Muda." Eyang Aji Ranta mengulapkan tangannya memutuskan
pembicaraan. Gibang tahu diri. Disadari kalau Eyang Aji Ranta tidak ingin memperpanjang
pembicaraan itu. Maka pemuda berwajah penuh tahi lalat ini tidak bertanya
lagi. Kini ketiga orang itu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata. Beberapa kali
Rakapitu dan Gibang harus tersenyum dan menganggukkan kepala setiap kali ada
yang menyapanya.
"Itu rumahnya, Eyang," kata Rakapitu sambil menudingkan telunjuknya ke sebuah
rumah berdinding bilik. Letaknya, terpisah dari rumah-rumah lainnya.
Setelah berkata demikian, Rakapitu bergegas mempercepat langkahnya. Laki-laki
bertubuh tinggi besar ini berjalan mendahului. Sesaat kemudian, Rakapitu telah
berada di depan pintu yang tertutup itu, dan langsung mengetuknya.
Tok, tok, tok...!
Rakapitu menunggu sejenak. Dan sebentar saja, telinganya menangkap suara langkah
kaki mendekati pintu.
Derit daun pintu yang dibuka lebar terdengar, bertepatan dengan tibanya Eyang
Aji Ranta dan Gibang di sebelah Rakapitu. Dan di balik daun pintu nampak seraut
wajah keriput seorang kakek.
"Ini Eyang Aji Ranta, Ki," jelas Rakapitu, memperkenalkan laki-laki tua di
sebelahnya. "Orang yang Aki mintai pertolongannya."
"Oh, iya. Mengapa aku begini lupa," kakek pemilik rumah itu menepak kepala,
kemudian segera
mengulurkan tangan.
"Waskita," sebut kakek pemilik rumah mengenalkan diri.
"Aji Ranta," balas Eyang Aji Ranta, memperkenalkan namanya.
"Silakan masuk dulu, Eyang Aji Ranta," ujar Ki Waskita mempersilakan.
Kakek berpakaian kuning itu terkekeh pelan.
"Kedengarannya repot sekali mengucapkannya.
Bagaimana kalau panggil aku, Kang Aji saja. Rasanya lebih singkat dan enak
didengar," usul Eyang Aji Ranta.
"Dan kau sendiri memanggilku Adi Waskita"!"
sambung kakek pemilik rumah. Nada suara maupun raut wajahnya menyiratkan
kegembiraan. "Begitu, kan?"
"Tepat sekali, Adi Waskita!" Eyang Aji Ranta menganggukkan kepala.
"Boleh kulihat orang yang sakit itu, Adi?" pinta Eyang Aji Ranta setelah mareka
semua duduk di dalam.
Senyum di wajah Ki Waskita seketika lenyap. Tentu saja hal itu membuat Eyang Aji
Ranta, Rakapitu, dan Gibang jadi khawatir. Menilik dari sikap kakek pemilik
rumah itu, bisa diperkirakan kalau ada hal-hal tidak menyenangkan telah terjadi.
"Orang yang sakit itu telah sembuh," jawab Ki Waskita, pelan.
"Apa?"" seru Gibang dan Rakapitu berseru kaget.
Sementara itu, Eyang Aji Ranta nampak tenang-tenang saja. Walaupun sebenarnya
juga merasa terkejut, tapi kakek berpakaian kuning ini bisa menyembunyikannya.
"Mengapa bisa begitu, Ki"!" tanya Gibang penasaran. "Bukankah semalam sakitnya
amat parah" Begitu juga tadi pagi, sebelum kami berangkat."
Rakapitu menganggukkan kepala pertanda mendukung ucapan rekannya. Sedangkan Ki
Waskita hanya mengangkat bahu.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Ki?" tanya Rakapitu
berusaha tenang.
"Hhh...!" kakek pemilik rumah itu menghela napas.
"Aku sendiri tidak tahu, Rakapitu. Tapi yang jelas, orang itu sembuh, tak lama
setelah kalian pergi ke Hutan Dadap."
Rakapitu dan Gibang kontan terdiam. Dahi kedua orang ini berkernyit, seperti ada
sesuatu yang dipikirkan.
"Sebenarnya... siapakah yang sakit?" tanya Eyang Aji Ranta.
Kakek berpakaian kuning ini tidak kuat menahan rasa ingin tahunya. Tapi tidak
dijelaskan, pada siapa pertanyaan itu ditujukan.
"Lebih baik kumulai saja dari mula. Agar kau jelas, Kang," kata Ki Waskita.
"Kemarin sore beberapa orang penduduk datang membawa seorang laki-laki
berpakaian prajurit yang tengah terluka padaku. Di antara mereka, terdapat pula
Rakapitu dan Gibang.
Dan memang, keahlianku adalah mengobati orang terluka. Maka dia segera
kuperiksa. Sedangkan Rakapitu dan Gibang menemaniku melakukan
pengobatan."
Ki Waskita menghentikan ceritanya sejenak, untuk mengambil napas. Ditatapnya
wajah Eyang Aji Ranta lekat-lekat. Memang kepada kakek berpakaian kuning itulah,
cerita ini ditujukan. Rakapitu dan Gibang sudah mengetahuinya, karena ikut
terlibat dalam penyelamatan orang itu.
"Setelah memeriksa beberapa lama, akhirnya aku menyerah. Orang itu ternyata
terkena racun yang amat jahat. Dan aku tidak tahu cara pengobatannya.
Untunglah, racun itu mempunyai daya kerja lambat.
Sehingga, orang itu dapat bertahan lama," sambung Ki Waskita. "Maka begitu pagi
tiba, Rakapitu dan
Gibang segera kuperintahkan untuk menemuimu. Ini kulakukan, karena namamu sudah
cukup terkenal dalam hal pengobatan racun. Apalagi orang yang terkena racun juga
mengatakan kalau kaulah satu-satunya yang bisa menyembuhkan lukanya. Tapi,
sayang...."
Ki Waskita menghentikan ceritanya. Ditariknya napas dalam-dalam lalu
dihembuskannya kuat-kuat.
"Aku tak tahu, bagaimana kejadiannya. Yang jelas begitu Rakapitu dan Gibang
berangkat ke Hutan Dadap, orang itu berangsur-angsur sembuh."
"Jadi, orang itu telah sembuh, Ki?" tanya Gibang ingin lebih jelas lagi.
Ki Waskita menganggukkan kepala, tapi tidak ada sinar kegembiraan di wajahnya.
Tentu saja hal ini membuat Gibang dan Rakapitu heran. Mengapa Ki Waskita sama
sekali tidak kelihatan gembira"
Dengan perasaan agak bingung, kedua orang ini mengalihkan pandangan pada Eyang
Aji Ranta. Lagi-lagi mereka terkejut. Wajah kakek berpakaian kuning ini juga
tidak terlihat gembira.
"Ada apa ini?" tanya Rakapitu dan Gibang dalam hati.
"Mengapa kau tidak tampak gembira, Ki?" akhirnya Gibang tak kuasa menahan
pertanyaan yang bergolak dalam dadanya.
"Hhh...!" hanya desah napas berat Ki Waskita yang menyahuti pertanyaan laki-laki
berwajah penuh tahi lalat itu.
"Katakanlah, Ki," Rakapitu ikut mendesak "Jangan biarkan kami dilanda
kebingungan."
Ki Waskita menatap wajah Rakapitu dan Gibang berganti-ganti. "Aku mencium adanya
hal yang mencurigakan dalam peristiwa ini...."
Rakapitu mengernyitkan dahi. Pemuda bertubuh tinggi besar ini tidak mengerti
maksud ucapan kakek pemilik rumah. Ditatapnya Gibang, tapi laki-laki yang
wajahnya penuh tahi lalat itu menggelengkan kepala pertanda tidak mengerti.
"Janganlah berteka-teki, Ki," pinta Gibang memohon pengertian.
"Aku curiga kalau peristiwa ini sudah direncanakan," desah Ki Waskita pelan.
"Dugaanku, orang itu sengaja minum racun. Namun juga membawa
pemunahnya. Dan begitu Rakapitu dan Gibang pergi, obat pemunahnya segera
diminum. Pantas saja orang itu seperti mendesakku agar memanggil Eyang Aji Ranta
saja. Hhh.... Memancing harimau keluar sarang. Entah apa yang mereka cari di
sarang harimau...."
Eyang Aji Ranta terperanjat. Dugaan Ki Waskita ternyata tidak berbeda dengan
dugaannya. Jelas, peristiwa ini sudah direncanakan. Tujuannya, untuk
memancingnya keluar gua. Seketika itu pula kakek berpakaian kuning ini teringat
kembali dengan perasaan tidak enak yang tadi mengganggunya.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, Adi Waskita."
Tanpa menunggu jawaban, Eyang Aji Ranta
bergegas bangkit, dan langsung melangkah ke luar.
Langkahnya kelihatan perlahan saja, tapi hebatnya tubuh kakek berpakaian kuning
ini telah berada sekitar delapan tombak dari tempat semula. Padahal, Eyang Aji
Ranta hanya mempunyai sebuah kaki!
"Hebat...!"
Ki Waskita menggeleng-gelengkan kepala.
Perasaan takjub dan kagum menghiasi wajahnya.
Harus diakui kalau ilmu meringankan tubuh Eyang Aji Ranta amat luar biasa.
"Ki...! Maksudmu...," Rakapitu yang masih kurang jelas kembali buka suara.
"Kemungkinan semua ini adalah sebuah siasat, yang telah diatur rapi untuk
memancing Eyang Aji Ranta keluar dari tempat tinggalnya."
"Apa maksudnya, Ki?" tanya Rakapitu lagi.
"Aku juga tidak tahu, Rakapitu," jawab Ki Waskita.
"Mungkin mereka bermaksud menangkap macan putih?" Gibang mengajukan dugaannya.
"Yaaah..., mungkin saja," sambut Ki Waskita.
*** 3 Kini Eyang Aji Ranta tidak ragu-ragu lagi mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Sekarang dia sendirian, jadi bebas berlari secepat yang diingin-
kannya. Eyang Aji Ranta memang bukan tokoh
sembarangan. Dia adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Kecepatan
gerakannya pun luar biasa, meskipun hanya mempunyai kaki sebelah!
Tubuh kakek berpakaian kuning ini berkelebat cepat laksana anak panah lepas dari
busur. Saking cepatnya, tubuh kakek ini seperti lenyap bentuknya.
Yang terlihat hanyalah seleret bayangan kuning melesat menuju Hutan Dadap.
Karuan saja, banyak penduduk Desa Pucung yang terheran-heran begitu melihat
sekelebatan bayangan kuning melesat cepat menuju mulut desa. Mereka tidak dapat
mengetahui, apakah sebenarnya
kelebatan bayangan kuning itu. Meskipun begitu, memang bisa diduga kalau
bayangan kuning itu adalah orang yang memiliki kepandaian tinggi. Angin menderu
keras begitu bayangan kuning itu lewat, pertanda kuatnya tenaga yang mendorong
gerakannya. Dalam sekejapan saja, mulut Desa Pucung telah terlewat. Tapi, Eyang Aji Ranta
sama sekali tidak mengendurkan larinya. Kakek berpakaian kuning ini tetap
mengerahkan kemampuan lari yang ditunjang
ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin.
Tak lama kemudian, mulut Hutan Dadap telah terlihat Hal ini membuat semangat
Eyang Aji Ranta semakin membesar. Kakek ini terus berlari cepat menuju ke sana.
Eyang Aji Ranta tetap tidak mengendurkan larinya ketika melewati kerimbunan
semak-semak dan pepohonan lebat. Tongkat bututnya bergerak ke kiri dan ke kanan,
sebagai pembuka jalan. Suara berkerosakan keras dari semak-semak yang terlanda,
dan suara berkeretakannya ranting-ranting patah terdengar ketika Eyang Aji Ranta
melewatinya. Sebentar kemudian, Eyang Aji Ranta sudah berada beberapa tombak di depan gua
tempat tinggalnya.
Tercekat hati kakek ini tatkala melihat macan putihnya terikat di sebatang
pohon. Binatang itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri, tapi hanya
berputar-putar mengelilingi pohon. Bisa diduga kalau ada sesuatu yang terjadi
pada binatang itu. Dan ini membuat Eyang Aji Ranta khawatir bukan main.
Macan putih mengaum keras begitu melihat
kedatangan majikannya. Seketika semangat binatang itu bangkit kembali untuk
melepaskan diri. Macan itu kembali meronta-ronta. Tapi seperti kejadian
sebelumnya, usaha yang dilakukannya sia-sia.
Eyang Aji Ranta segera melepaskan ikatan yang membelenggu binatang
peliharaannya. Dengan hati cemas sekujur tubuh macan putih itu diperiksanya,
kalau-kalau ada bagian yang teriuka. Lega hati kakek ini begitu tidak terlihat
ada luka di tubuh macan kesayangannya.
Macan putih menggereng-gereng. Sementara
Eyang Aji Ranta mendengarkan penuh perhatian.
Cukup lama juga binatang itu bersikap demikian. Dan
ketika macan putih menghentikan gerengan, kakek berpakaian kuning itu
menundukkan kepala.
Sepertinya Eyang Aji Ranta mengerti arti gerengan macan itu. Dan memang binatang
itu seperti mengungkapkan sesuatu.
"Hhh...!"
Eyang Aji Ranta menghela napas berat. Sekarang dia tahu maksud orang-orang
memancingnya keluar dari tempat tinggalnya. Macan putih telah mencerita-kannya,
walau hanya lewat gerengan.
"Jadi..., benda langit itu yang mereka cari...,"
gumam Eyang Aji Ranta pelan seraya mengangkat kepalanya. Sepasang matanya
menatap ke atas, melihat matahari yang telah melewati atas kepala.
"Grrrh...!"
Macan putih menggereng kembali. Tapi nadanya kali ini berbeda dengan sebelumnya.
Sementara Eyang Aji Ranta hanya menggelengkan kepala.
Secercah senyum pahit tersungging di bibirnya.
"Terima kasih atas kesediaanmu, Putih," sahut kakek berpakaian kuning itu pelan.
"Tapi kurasa kita tidak perlu mengejar mereka. Aku yakin, kalau saran-mu
kuikuti..., kita akan terlibat kembali dalam kekerasan! Padahal, aku sudah muak


Dewa Arak 17 Keris Peminum Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan keras-nya dunia persilatan. Aku ingin, di sisa-sisa hidupku ini dapat
hidup tenang."
Eyang Aji Ranta membelai-belai kepala binatang peliharaannya. Dalam hati, dia
berterima kasih sekali pada macan putih. Binatang itu tadi mengajaknya mencari
orang-orang yang telah mencuri, kalau dia ingin benda langit itu kembali.
"Maafkan aku, Putih. Bukannya menolak usulmu, tapi aku tidak ingin terlibat
kembali dalam kekerasan.
Kau bisa mengerti, Putih?"
Macan putih itu menggereng pelan.
"Kalau begitu, mari kita kembali ke gua," ajak Eyang Aji Ranta seraya
melangkahkan kaki menuju tempat yang dimaksud.
Sambil menggereng pelan, macan putih itu
bergerak mengikuti. Binatang itu berlari-lari kecil di sebelah majikannya.
Tak lama kemudian, tubuh Eyang Aji Ranta dan macan putih itu telah tidak
terlihat lagi, lenyap ditelan kegelapan gua.
*** Waktu berputar sesuai kodratnya. Matahari
bergerak menurut aturannya. Timbul di langit sebelah Timur, dan tenggelam di
sebelah Barat. Seiring tenggelamnya matahari, kegelapan pun menyelimuti bumi.
Malam pun datang menjelang.
Kini kehidupan berganti. Tidak ada lagi cicit burung atau keruyuk ayam jantan.
Yang terdengar adalah kepak sayap kelelawar yang keluar mencari makan.
Tak jarang pula terdengar kukuk burung hantu menguak keheningan malam.
Tapi ternyata tidak hanya binatang-binatang malam itu saja yang keluar
meninggalkan tempat tinggalnya. Ternyata, masih ada lagi yang berkeliaran dalam
suasana malam sehening itu.
'Makhluk' itu adalah sesosok bayangan hitam yang bergerak cepat menuju Hutan
Dadap. Dalam keremangan malam yang hanya diterangi bulan sabit di langit, tidak nampak jelas
wajah sosok bayangan hitam itu. Apalagi dia mengenakan caping bambu yang membuat
wajahnya terlindung.
Bukan itu saja. Mulai dari bawah mata sampai
bawah dagu, ditutupi pula oleh sehelai kain yang berwarna hitam. Kain itu
diikatkan ke belakang kepala. Maka lengkaplah sudah tanda tanya, siapa sosok
bayangan hitam itu.
Sosok itu melesat terus masuk ke dalam hutan, menerobos kerimbunan semak-semak
dan pepohonan yang lebat. Namun mendadak langkahnya berhenti. Capingnya diangkat
sedikit ke atas untuk memperjelas pandangannya. Tapi pandangan matanya memang
tidak salah. Dalam keremangan malam itu, di sebatang pohon beringin yang
berjarak sekitar dua tombak darinya, tertancap sebatang tombak berwarna putih
mengkilat. Bisa diduga kalau orang yang menancapkan
tombak di situ memang mempunyai maksud agar hal itu diketahui orang yang dituju.
Sosok bayangan hitam itu kemudian melangkah menghampiri. Tampak jelas kalau di
dekat mata tombak itu terbelit sebuah rantai baja yang juga berwarna putih, di
ujung rantai itu tergantung sebuah tengkorak manusia! Menilik dari ukurannya,
dapat diketahui kalau tengkorak itu adalah tengkorak kepala anak kecil.
"Hm...," sosok bayangan hitam itu hanya meng-gumam pelan, seperti tahu
maksudnya. Tiba-tiba terdengar suara berkaokan keras.
Panjang dan tiga kali berturut-turut, lalu berhenti.
Sebentar kemudian suara itu terdengar lagi seperti tadi. Panjang dan tiga kali
berturut-turut.
Bagi orang yang tidak terlalu ambil peduli, tentu akan menduga kalau suara itu
berasal dari burung kuak-kuak. Tapi kalau saja orang mau sedikit men-curahkan
perhatian, akan jelas kejanggalannya.
Suara berkaokan itu nadanya selalu sama. Panjang,
dan tiga kali berturut-turut. Lalu, berhenti sejenak.
Sesaat terdengar lagi. Begitu seterusnya.
Memang, suara berkaokan itu bukan berasal dari burung kuak-kuak, melainkan dari
mulut sosok bayangan hitam itu. Tampaknya dia tengah menanti sesuatu.
Tak lama kemudian terdengar suara berkaokan keras pula, tapi berirama lain
dengan yang sebelumnya. Suara kaokan kali ini meskipun nadanya panjang, tapi
tidak tiga kali berturut-turut. Bunyinya cukup dua kali. Bahkan berhenti agak
lama, lalu terdengar kembali.
Tak lama kemudian, terdengar suara gemerisik dari rerumputan yang terlanda
sesuatu. Sosok bayangan hitam itu menoleh ke arah asal suara gemerisik. Sepasang
matanya menatap ke depan dari balik caping yang bertengger di atas kepala.
Sesaat kemudian, dari balik kerimbunan semak-semak dan pepohonan, bermunculan
beberapa sosok tubuh yang semuanya berpakaian hitam. Maka seketika sosok
bayangan hitam mengangkat sedikit capingnya. Dengan tatapan mata, dihitungnya
jumlah sosok yang berdiri di hadapannya. Ternyata sembilan orang.
"Bagaimana, Wisesa" Berhasil?" tanya sosok bercaping itu, seraya menatap sosok
yang berdiri paling depan. Sembilan sosok yang berdiri di hadapan orang
bercaping itu memang Wisesa bersama anak buahnya.
"Begitulah, Kang," sahut laki-laki berikat kepala hitam itu. Menilik dari
panggilan, dapat diketahui kalau dirinya mempunyai hubungan baik dengan orang
bercaping bambu.
"Bagus..!" puji orang bercaping, gembira. "Cepat
serahkan padaku!"
"Sabar, Kang," sergah Wisesa buru-buru. "Bagaimana dengan janjimu" Perlu kau
ketahui, Kang. Mengambil benda itu sulit sekali."
"Hm... Bukankah aku sudah mengirim orang untuk memancing kakek jompo itu keluar
dari guanya"!"
sergah orang bercaping penasaran.
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Kang,"
sahut Wisesa dengan suara tawar. "Tapi, kau melupakan binatang peliharaannya."
"Maksudmu..., macan putih?" orang bercaping mulai teringat.
"Benar, Kang," laki-laki berikat kepala hitam menganggukkan kepalanya. "Binatang
itu ternyata kuat sekali. Bahkan empat orang anak buahku tewas ketika berusaha
merobohkannya. Kalau saja aku tidak turun tangan, mungkin mereka semua tewas."
Orang bercaping itu hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
"Permintaan kami tidak berat, Kang. Kami hanya mohon agar kau bersedia membantu
bila kami menghadapi lawan tangguh."
"Hanya itu yang kau minta, Wisesa?"
Laki-laki berikat kepala hitam menganggukkan kepala.
"Jadi, kau bersedia memenuhi permintaan kami, Kang?"
Orang bercaping itu menganggukkan kepala.
"Mana benda itu?" pinta orang bercaping itu.
"Guntara...!" Wisesa mendongakkan kepala ke atas pohon.
Belum juga lenyap gema teriakan itu, dari atas pohon melayang turun sesosok
tubuh. Lalu, sosok tubuh itu mendarat dengan manisnya di tanah. Di
tangannya tergenggam sebuah benda mirip batu berwarna gelap, berukuran sebesar
kepala manusia.
Sepasang mata di balik caping itu berkilat-kilat.
Secercah senyum mengejek tersungging di mulut yang tertutup kain hitam. Diam-
diam dipujinya kecerdikan laki-laki berikat kepala hitam. Ternyata Wisesa tidak
meninggalkan kewaspadaannya. Kepala rampok itu menyuruh salah seorang anak
buahnya untuk membawa benda itu, dan bersembunyi. Dia berjaga-jaga, kalau-kalau
sosok bercaping akan bertindak tidak jujur.
Wisesa segera mengambil benda itu dari tangan anak buahnya.
"Ini benda itu, Kang," laki-laki berikat kepala hitam itu mengangsurkan benda
langit pada orang
bercaping. Orang bercaping itu mengulurkan tangan
menyambut. Beberapa saat diperiksanya benda itu, sambil mengetuk sana-sini.
"Bagaimana, Kang?" tanya Wisesa.
"Hm...."
Hanya gumaman tak jelas dari orang bercaping itu yang menyambuti ucapan Wisesa.
Kemudian benda itu dimasukkannya ke dalam buntalan kain hitam yang tersampir di
punggung. Mendadak, tangan sosok bercaping itu bergerak ke pinggang. Cepat bukan main
gerakannya. Dan begitu kembali ke tempat semula, di tangannya telah tergenggam
sebilah keris berkeluk tujuh. Dan secepat keris itu tergenggam, secepat itu pula
ditusukkan ke leher Wisesa.
Wisesa terperanjat. Sebagai seorang tokoh hitam, tentu saja dia tidak menjadi
kaget mendapat serangan tak terduga-duga ini. Tapi kecepatan gerak
sosok bercaping itu benar-benar di luar dugaan.
Karena sejak tadi sudah bersiap siaga, maka begitu melihat datangnya serangan
maut yang mengancam nyawa, Wisesa segera melempar tubuh ke samping. Dia langsung
bergulingan di tanah beberapa kali.
"Serang...!"
Sambil terus bergulingan di tanah, laki-laki berikat kepala hitam ini memberi
perintah. Wisesa juga khawatir, selagi dia bergulingan, serangan susulan dari
orang bercaping itu datang.
Singgg, singgg, singgg...!
Sinar-sinar berkilatan berpendar ketika anak buah Wisesa menyerbu orang
bercaping itu dengan senjata terhunus. Suara-suara berdesing nyaring mengiringi
hujan serangan itu.
Orang bercaping menggertakkan gigi melihat serangannya dapat dielakkan. Belum
lagi serangan susulan dilancarkan, serangan anak buah Wisesa telah datang
bertubi-tubi bagai hujan. Terpaksa maksudnya dibatalkan untuk mengirimkan
serangan pada laki-laki berikat kepala hitam itu.
Tranggg, tranggg...!
Suara berdentang nyaring terdengar berkali-kali begitu orang bercaping
menggerakkan kerisnya, menangkis tiga buah serangan yang datang lebih dulu.
Bunga-bunga api seketika memercik ke sana kemari.
Guntara dan dua orang kawannya terperanjat begitu merasakan tangan yang
berbenturan dengan senjata lawan terasa lumpuh. Hampir saja senjata-senjata
Jodoh Si Mata Keranjang 1 Pedang Keramat Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Manusia Harimau 4
^