Pencarian

Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 3

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat Bagian 3


tanah. Dengan raut wajah beku, kakek bermuka
kuda ini menghampiri Wuraji dan Marni yang
masih belum mampu bangkit. Sekujur tubuh
sepasang muda-mudi itu terasa lemas. Seolaholah tidak bertulang sama sekali. Sementara Ular
Kaki Seribu telah siap menjatuhkan serangan
mematikan. Wuraji dan Marni tidak bisa berbuat apaapa lagi selain pasrah menerima nasib. Kakek
bermuka kuda itu memang terlalu kuat untuk
mereka. Apabila pertarungan akan terjadi,
sepasang muda-mudi itu pasti akan kalah. Tapi
kalau saja Wuraji mau melawan sungguhsungguh, tidak akan semudah itu Ular Kaki Seribu
dapat merobohkan mereka berdua.
Namun sebelum Ular Kaki Seribu menjatuhkan tangan maut, terdengar sebuah
seruan cukup keras yang menyindirnya.
"Sebuas-buasnya seekor harimau, belum
pernah kudengar memakan anaknya sendiri. Tapi
sekarang, aku melihat ada seorang guru yang
begitu tega hendak membunuh murid yang tidak
mau melawannya."
Ular Kaki Seribu menoleh ke arah asal
suara dengan wajah merah padam. Sepasang
matanya berkilat memancarkan hawa maut. Dia
ingin tahu, siapa orang yang telah berani
menyindirnya. Dalam jarak sekitar lima tombak di
samping kirinya, berdiri dua sosok tubuh. Sosok
pertama adalah seorang pemuda berambut putih
keperakan dan berpakaian ungu. Sebuah guci
arak yang terbuat dari perak tersampir di
punggungnya. Sedangkan sosok kedua adalah seorang
wanita berpakaian putih berambut panjang
terurai. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Sekali lihat saja, Ular Kaki Seribu tahu
kalau orang yang tadi menyindirnya adalah
pemuda berambut putih keperakan itu. Suara
yang tadi didengarnya, jelas-jelas suara seorang
lelaki. Oleh karena itu, perhatiannya lebih
dicurahkan pada pemuda berambut putih
keperakan. Mendadak jantung kakek bermuka kuda
ini berdebar tegang, tatkala teringat pada seorang
tokoh yang menggemparkan dunia persilatan
belum lama ini. Tokoh itu mempunyai ciri-ciri
yang mirip dengan pemuda di hadapannya.
"Siapa kau, Keparat"! Mengapa mencampuri urusanku"!" bentak Ular Kaki Seribu
keras. "Aku Arya, orang yang kebetulan lewat.
Dan sudah jadi tekadku untuk ikut campur bila
melihat tindak kejahatan berlangsung di depan
mataku!" sahut pemuda berambut putih keperakan yang tidak lain adalah Arya Buana alias
Dewa Arak. "Hm..., kalau begitu, kaulah kiranya orang
berjuluk Dewa Arak, Manusia Usil"!" Ular Kaki
Seribu mulai yakin dengan dugaannya. Memang
telah menjadi rahasia umum kalau Dewa Arak
mempunyai nama asli Arya.
Tapi Dewa Arak sama sekali tidak tampak
marah mendengar ejekan itu. Bahkan pemuda
berambut putih keperakan ini diam-diam merasa
geli mendengar makian Ular Kaki Seribu.
"Julukan yang terlalu berlebihan, Kek,"
jawab Arya merendah. Masih tetap tersenyum.
"Orang lain boleh gentar mendengar
julukanmu, Dewa Arak. Tapi jangan harap kalau
aku, Ular Kaki Seribu akan gentar. Perlu kau
ketahui, Dewa Arak. Sudah lama aku menantinanti kesempatan untuk bertarung denganmu!"
"Hhh...!" Arya menghela napas panjang.
Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan
kegembiraan menerima tantangan itu. Memang,
Dewa Arak sebenarnya tidak suka mencari
permusuhan. Kalau bisa, dia ingin agar setiap
masalah yang dihadapinya dapat diselesaikan
tanpa perkelahian. Apalagi pertumpahan darah.
Tapi kini, pertarungan pasti tidak bisa
dihindari lagi. Ular Kaki Seribu sudah tidak bisa
dicegah. Dewa Arak tahu kalau kakek bermuka
kuda ini memiliki kepandaian tinggi. Nama besar
kakek itu sebagai seorang tokoh kaum sesat yang
ditakuti, telah lama didengarnya. Dan tadi pun dia
telah menyaksikan sendiri kelihaian Ular Kaki
Seribu. Sementara itu Monyet Tanpa Bayangan
dan Siluman Tangan Maut, begitu tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan ini adalah
Dewa Arak, segera melangkah maju dan berdiri di
sebelah Ular Kaki Seribu. Nama besar Dewa Arak
telah lama mereka dengar, tapi baru kali inilah
mereka berkesempatan melihat tokoh muda yang
menggemparkan itu.
Arya yang telah dapat memperkirakan
kelihaian kakek bermuka kuda ini, segera
menjumput guci araknya. Kemudian dituangkan
ke mulut. Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak
melewati tenggorokan Dewa Arak. Seketika itu
juga, ada hawa hangat yang merayap di perut
Arya. Kemudian bergerak naik ke atas kepala.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, Ular
Kaki Seribu menyerang Dewa Arak. Sekali
menyerang, kakek bermuka kuda ini sudah
menggunakan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin
Puyuh'. Ular Kaki Seribu membuka serangan
dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah
dengan langsung menangkis serangan itu. Tapi dia
ingin mengetahui kekuatan tenaga dalam lawan
lebih dahulu, agar bisa menangkis tanpa melukai,
bila ternyata tenaga dalam kakek itu berada di
bawahnya. Dan seperti biasanya, pemuda
berambut putih keperakan ini menggunakan jurus
'Delapan Langkah Belalang'.
Ular Kaki Seribu terkejut bukan main
tatkala melihat lawannya mendadak lenyap, dan
serangannya mengenai tempat kosong. Sesaat
lamanya kakek bermuka kuda ini kebingungan.
Baru ketika merasakan adanya sambaran angin
dari arah belakang, dia tahu kalau lawan berada
di belakang, dan tengah melancarkan serangan ke
arahnya. Memang begitu telah berada di belakang
lawan, Dewa Arak segera melancarkan serangan
bertubi-tubi ke arah tengkuk.
Cepat bukan main serangannya. Tapi,
gerakan Ular Kaki Seribu pun tidak kalah cepat.
Segera tubuhnya dirundukkan, sehingga serangan
Arya mengenai tempat kosong. Pada saat yang
bersamaan, kaki kanannya menyapu kaki Dewa
Arak sambil memutar tubuh.
"Hih...!"
Arya menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian tubuhnya melenting ke udara. Dan dari
atas, kedua tangannya meluncur cepat ke arah
kepala lawan. Hebat bukan main serangan Dewa Arak.
Apalagi datangnya begitu mendadak. Tapi, Ular
Kaki Seribu kembali menunjukkan kalau dirinya
adalah seorang pentolan tokoh sesat. Tiba-tiba
kakek bermuka kuda ini menghempaskan
tubuhnya. Dan dengan bertumpu pada punggung,
tubuhnya berputar. Sesaat kemudian kakinya
telah bergerak menangkis serangan Arya.
Plakkk, plakkk...!
Dengan bantuan tenaga benturan, Dewa
Arak melenting ke udara. Tubuhnya bersalto
beberapa kali sebelum mendarat beberapa tombak
dari tempat semula. Pada saat yang bersamaan,
Ular Kaki Seribu pun telah bangkit berdiri. Kini
kedua tokoh sakti ini saling tatap dalam jarak tiga
tombak. Arya menatap Ular Kaki Seribu penuh
takjub. Kini dia mengerti mengapa kakek bermuka
kuda ini mendapat julukan seperti itu. Kecepatan
gerak, dan kedahsyatan kakinya memang luar
biasa! "Kau hebat Dewa Arak," puji Ular Kaki
Seribu seraya menatap tajam wajah Arya.
"Kaulah yang hebat Ular Kaki Seribu," Arya
balas memuji sejujurnya. "Aku harap kau sudi
mengalah dan membiarkan kedua orang muda itu
pergi dari sini."
"Mereka harus mati!" terdengar suara
bentakan keras menggelegar. Dan sebelum gema
suara itu lenyap, sesosok tubuh berompi kuning,
telah berdiri di sebelah Ular Kaki Seribu.
Monyet Tanpa Bayangan pun tak mau
ketinggalan. Segera kakek berpakaian kulit
beruang ini melangkahkan kaki menghampiri. Dan
sesaat kemudian, telah berdiri di sebelah Ular
Kaki Seribu dan Wisanggeni
*** Dewa Arak mengernyitkan dahinya. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu kalau
keadaan menguntungkan pihak lawan. Sekali lihat
saja Arya tahu kalau kedua orang yang berada di
sebelah Ular Kaki Seribu, memiliki kepandaian
tinggi. Sorot mata mereka yang mencorong tajam,
merupakan salah satu buktinya.
Seandainya hanya dia dan Melati yang ada
di situ, tidak jadi persoalan bagi Dewa Arak untuk
menghadapi ketiga orang ini. Tapi, karena di situ
masih ada Wuraji dan Marni yang tengah
membutuhkan pertolongan, sementara kedua
orang itu tengah terluka, membuat Arya harus
berpikir dua kali.
"Melati..., selamatkan kedua orang muda
itu.... Biar aku yang menahan mereka...," pesan
Dewa Arak pada Melati dengan menggunakan ilmu
mengirim suara dari jauh.
Gadis berpakaian putih itu rupanya
mengerti maksud tunangannya. Menyadari posisi
lawan yang lebih menguntungkan. Maka tanpa
menunggu disuruh dua kali, Melati melesat cepat
ke arah Wuraji dan Marni.
"Hei...!"
Siluman Tangan Maut terperanjat. Cepat
laksana kilat, tubuhnya berkelebat memburu
tubuh Melati yang telah melesat lebih dulu.
Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan
sebelumnya oleh Arya. Maka tanpa membuangbuang waktu lagi, kedua tangannya segera
dihentakkan ke depan. Memapak tubuh Wisanggeni. Wusss...! Angin keras berhawa panas menyengat,
meluncur ke arah tubuh Siluman Tangan Maut.
Laki-laki berompi kuning ini kaget bukan main.
Terpaksa maksudnya dibatalkan untuk memburu
Melati. Kemudian melempar tubuhnya ke samping
menghindari serangan Dewa Arak. Dan bergulingan di tanah.
Brakkk...! Sebatang pohon sebesar dua pelukan orang


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dewasa tumbang seketika. Suara hiruk-pikuk
terdengar mengbingi robohnya pohon itu ke tanah.
Batangnya hangus. Sementara daun-daunnya layu
mengering. Dengan wajah sepucat mayat, Wisanggeni
bangkit berdiri. Keringat sebesar biji-biji jagung
membasahi wajahnya. Meskipun begitu, sorot
kelegaan memancar dari sepasang matanya. Lega
karena telah berhasil lolos dari maut
Bukan hanya Siluman Tangan Maut yang
terkejut melihat kedahsyatan pukulan jarak jauh
Dewa Arak. Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan pun terperanjat. Sungguh tidak mereka
sangka kalau pemuda berambut putih keperakan
itu memiliki pukulan jarak jauh yang begitu
menggiriskan. Sementara Melati sudah langsung memanggul tubuh Marni yang sudah terkulai tak
berdaya. "Mari kita pergi...!" seru gadis berpakaian
putih itu pada Wuraji, seraya melesat dari situ.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wuraji yang tengah dilanda perasaan bingung ini
segera berkelebat menyusul Melati.
Tapi anak buah Siluman Tangan Maut
tidak tinggal diam. Cepat mereka mencegat lari
Melati dan Wuraji. Gadis berpakaian putih yang
tengah diburu waktu ini tidak bertindak tanggungtanggung lagi. Segera tangan kanannya bergerak.
Dan sesaat kemudian di tangan gadis ini telah
tergenggam sebatang pedang.
Secepat pedang keluar dari sarungnya,
secepat itu pula Melati menggerakkannya.
Wunggg...! Terdengar suara menggerung keras seperti
di dalam pedang itu ada naga yang tengah murka.
Dan sesaat kemudian, suara jerit kematian
terdengar susul-menyusul. Tubuh-tubuh tak
bernyawa pun berjatuhan satu persatu.
Melati dan Wuraji bahu-membahu berjuang membuka jalan untuk bisa lolos dari
tempat itu. Pedang di tangan Melati dan sepasang
tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan
cepat mencari sasaran. Setiap kali pedang atau
tombak mereka bergerak, sudah dapat dipastikan,
ada nyawa yang terlepas dari badan.
Sementara di arena lain, Dewa Arak tengah
berjuang keras menghadapi lawan-lawannya.
Pemuda berambut putih keperakan ini memang
sengaja menahan ketiga orang lawannya dalam
usaha mencegah mereka mengejar tunangannya
menyelamatkan sepasang muda-mudi itu.
Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman
Tangan Maut yang semula hendak mengejar
Melati, jadi membatalkan maksudnya. Beberapa
kali usaha mereka untuk mengejar dihambat oleh
Dewa Arak. Mau tidak mau hal itu membuat
mereka geram. Dan kegeraman itu pun dilampiaskan pada pemuda yang telah menghalangi tindakan mereka.
Setelah kini tiga orang lawannya memusatkan perhatian menghadapinya, baru
terasa oleh Dewa Arak betapa hebatnya
kepandaian mereka. Masing-masing lawan punya
keistimewaan sendiri-sendiri.
Ular Kaki Seribu dengan keistimewaan
kakinya. Monyet Tanpa Bayangan dengan
keistimewaan ilmu meringankan tubuhnya. Sementara Siluman Tangan Maut, tak kalah lihai
dari kedua orang itu. Karena laki-laki berompi
kuning ini justru memiliki gabungan keistimewaan
kedua gurunya. Gerakan kaki yang menggiriskan,
dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Dewa Arak menggertakkan gigi. Pemuda
berambut putih keperakan ini telah mengeluarkan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Mengerahkan ilmu 'Belalang Sakti' sampai ke
puncaknya. Pada jurus-jurus awal, Dewa Arak masih
mampu mengimbangi. Tapi menginjak jurus
kelima belas, dia mulai terdesak. Seranganserangan ketiga lawannya datang susul-menyusul
bagaikan ombak di lautan.
Menginjak jurus ke dua puluh, Dewa Arak
hanya dapat mengelak. Sesekali menangkis. Tapi
hampir tidak pernah menyerang. Arya sama sekali
tidak diberi kesempatan untuk menyerang.
Pemuda berambut putih keperakan ini terus
didesak. Untung saja Dewa Arak memiliki langkah
ajaib jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Sehingga
beberapa kali, di saat kritis, masih berhasil
menyelamatkan selembar nyawanya.
Sambil terus mengelakkan setiap serangan
yang datang, Arya menyempatkan diri melihat
Melati dan Wuraji. Lega hatinya tatkala melihat
kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri.
"Hih...!"
Arya memekik nyaring. Dan berkat
keistimewaan ilmu 'Belalang Sakti', yang membuat
pemuda ini dapat melakukan gerakan yang
bagaimanapun sulitnya. Dewa Arak melentingkan
tubuh menerobos kepungan. Dan kemudian
melesat meninggalkan tempat itu. Arya memang
tidak ingin mencari keributan dengan mereka.
Cepat sekali gerakan Dewa Arak. Tapi
masih lebih cepat lagi gerakan Monyet Tanpa
Bayangan. Tubuhnya melesat ke depan. Cepat
bukan main gerakannya. sehingga yang terlihat
hanya sekelebatan bayangan hitam yang melesat
melewati Dewa Arak.
Tapi Arya sudah memperhitungkan hal ini.
Maka begitu melihat bayangan hitam melesat,
memotong arus lompatannya, segera dia menghentakkan kedua tangannya ke depan. Inilah
jurus 'Pukulan Belalang'
Wussss...! Angin keras berhawa panas menyengat,
meluncur ke arah Monyet Tanpa Bayangan. Tapi,
kakek berpakaian kulit beruang ini dengan mudah
mengelak. Ringan laksana seekor kera, tubuhnya
melenting ke atas, menghindari pukulan jarak
jauh Dewa Arak.
Kesempatan yang hanya sekejap itu
dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arya. Begitu
kedua kakinya mendarat di tanah, secepat itu pula
tubuhnya berkelebat meninggalkan lawanlawannya. Anak buah Siluman Tangan Maut yang
hanya tinggal beberapa orang saja, tidak berani
menghalangi Dewa Arak. Mereka semua telah
melihat sendiri kelihaian pemuda berambut putih
keperakan itu. Dan mereka tidak mau mencari
celaka sendiri.
Ular Kaki Seribu dan Siluman Tangan
Maut tentu saja tidak membiarkan Dewa Arak
lolos. Cepat mereka bergerak mengejar. Bahkan
hingga Arya telah berada di luar pun mereka terus
memburu. Monyet Tanpa Bayangan juga bergerak
mengejar. Tapi, karena Dewa Arak telah cukup jauh
meninggalkan mereka, tambahan lagi ilmu
meringankan tubuh mereka berada di bawah
Dewa Arak, maka walaupun telah berusaha sekuat
tenaga, tetap saja ketiganya tidak mampu
mengejar. Jangankan mengejar, memperpendek
jarak pun tidak mampu! Bahkan jarak di antara
mereka semakin jauh.
Terpaksa mereka menghentikan pengejaran, dan membiarkan tubuh Arya lenyap di
kejauhan. Dengan langkah lunglai Ular Kaki Seribu,
Monyet Tanpa Bayangan dan Siluman Tangan
Maut kembali ke markas.
*** 7 "Kang...," sebuah suara yang amat dikenal
Arya, membuat Dewa Arak menghentikan larinya.
Kepalanya lalu ditolehkan ke arah rerimbunan
semak yang berada di sebelah kanan. Tempat asal
suara panggilan.
Dari balik rerimbunan semak, tahu-tahu
muncul sosok tubuh ramping dari seorang gadis
berpakaian putih dan berambut panjang. Siapa
lagi kalau bukan Melati.
"Bagaimana
dengan lawan-lawanmu, Kang?" tanya Melati begitu Arya menghampirinya.
"Kutinggalkan...," sahut Arya kalem seraya
mengedipkan sebelah mata pada tunangannya.
Seketika itu juga, apa yang akan
diucapkan Melati buyar. Mulut gadis ini pun
merengut. Tapi sepasang matanya sama sekali
tidak menampakkan kemarahan. Karena memang
dia tidak marah. Justru bahagia.
Melati tahu, Arya menggodanya. Dan itu
bukan untuk yang pertama kalinya. Pemuda
berambut putih keperakan itu sudah seringkali
menggodanya, dengan mengedipkan sebelah mata.
Anehnya, dia sendiri senang digoda seperti itu.
Malah menginginkan kekasihnya itu menggodanya
lagi Tapi tentu saja bila keadaan memungkinkan. Tidak seperti sekarang ini. Di situ
masih ada Marni dan Wuraji. Tapi itulah Arya!
Pemuda ini selalu mengedipkan matanya bila
sedang timbul keinginan menggodanya. Sekalipun
ada orang lain, dia akan mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya tatkala orang itu
lengah. "Mengapa kau tinggalkan"!" tanya Melati
dengan suara ketus yang dibuat-buat
"Aku tidak punya urusan dengan mereka,
Melati," sahut Arya. "Lagi pula..., aku tidak tahu
ada urusan apa antara kedua orang muda ini
dengan mereka."
Melati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia telah tahu betul sifat Arya. Pemuda ini tidak
pernah ikut campur dalam urusan orang lain,
kalau tidak benar-benar terpaksa.
"O ya, bagaimana keadaan mereka,
Melati?" tanya Dewa Arak begitu teringat pada
sepasang muda-mudi yang baru saja mereka
tolong. "Apakah keadaan mereka mengkhawatirkan?"
Melati menggelengkan kepalanya.
''Yang terluka agak parah hanya yang
wanita. Sementara kawannya tidak," sahut Melati


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi tahu seraya melangkah menerobos
semak semak. Sesaat kemudian, Arya telah melihat
sepasang muda-mudi itu. Tampak oleh Dewa
Arak, gadis berpakaian biru tengah bersemadi.
Mencoba mengobati luka dalamnya. Sementara
laki-laki berpakaian coklat berdiri tak jauh
darinya. Berjaga-jaga jika ada sesuatu yang tidak
diinginkan datang secara tiba-tiba.
Begitu mendengar adanya suara langkahlangkah kaki yang mendekat, Wuraji segera
menoleh. Sikapnya nampak waspada. Bahkan
wajahnya teriihat tegang. Tapi, begitu tahu siapa
yang datang, dia menganggukkan kepalanya
sambil melempar senyum.
Arya pun balas tersenyum.
"Bantulah gadis itu mengobati luka
dalamnya, Melati," ucap pemuda berambut putih
keperakan itu pada kekasihnya.
Melati menganggukkan kepalanya, kemudian menghampiri Marni. Tanpa bicara apaapa, gadis berpakaian putih ini segera duduk
bersila di belakang Marni. Kemudian menempelkan kedua tangannya ke punggung
gadis berpakaian biru itu. Menyalurkan tenaga
dalamnya secara perlahan-lahan.
Berusaha membantu Marni mengobati luka dalamnya.
*** Melihat Melati telah mulai membantu
Marni mengobati luka dalamnya, Dewa Arak
segera mendekati Wuraji. Pemuda berpakaian
coklat ini sejak tadi hanya termenung saja.
Dahinya tampak berkernyit dalam. Jelas, ada
sesuatu yang menggelisahkan batinnya. Bahkan
tadi, sehabis mengangguk dan tersenyum, pemuda
ini kembali termenung.
"Ehm...!"
Arya mendehem sebentar, untuk menarik
perhatian pemuda berpakaian coklat itu. Dan cara
yang dilakukan pemuda ini memang terbukti
ampuh. Wuraji menoleh, menatap Dewa Arak
seraya melempar senyum.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa
Arak," ucap pemuda berpakaian coklat ini pelan.
"Lupakanlah, Kisanak. Bukankah sudah
merupakan kewajiban kita untuk saling tolongmenolong antar sesama manusia?" sahut Arya
kalem. "O ya, siapa namamu?"
"Wuraji," jawab pemuda berpakaian coklat
itu. Masih pelan suaranya. Pelan dan tidak
bersemangat. "Aku Arya Buana." Dewa Arak balas
memperkenalkan diri
"Aku sudah tahu," sahut Wuraji kalem.
"O ya"!" Arya agak kaget juga. Tapi sesaat
kemudian, dia sudah bisa menduga dari mana
pemuda berpakaian coklat ini mengetahui
namanya. "Pasti Melati yang memberi tahu."
Wuraji menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu..., panggillah aku dengan
namaku saja," pinta pemuda berambut putih
keperakan itu. "Arya. Jangan Dewa Arak."
"Baiklah, Arya." Wuraji mengalah.
Suasana menjadi hening sejenak ketika
Wuraji menghentikan ucapannya.
"Kalau boleh kutahu..., mengapa kau
terlibat perkelahian dengan orang-orang yang
berada di bangunan tadi?" tanya Arya setelah
beberapa saat lama nya terdiam.
"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat
Sementara Dewa Arak tetap diam. Sabar
menunggu pemuda berpakaian coklat itu menjawab pertanyaannya. Sepasang matanya
menatap sekujur wajah Wuraji.
Tak terasa putra tunggal Ketua Perguruan
Kumbang Merah ini bergidik. Sepasang mata Dewa
Arak begitu mencorong tajam dan bersinar
kehijauan. Laksana mata seekor harimau dalam
gelap! Wuraji tidak bisa membayangkan, sampai di
mana ketinggian ilmu pemuda di hadapannya ini.
Tadi sempat dilihatnya dua orang guru berikut
kakak seperguruannya, telah mengeroyok pemuda
ini. Tapi Dewa Arak masih mampu menyelamatkan
diri. Luar biasa!
Tanpa ragu-ragu, Wuraji menceritakan
semuanya. Semenjak kejadian yang menimpa
perguruan ayahnya sampai dia dan Marni
diselamatkan Dewa Arak. Tidak lupa Wuraji
menceritakan sepak terjang Siluman Tangan Maut
yang kejam. Meskipun hal itu hanya didengarnya
dari mulut Marni.
Arya mendengarkan semua cerita Wuraji
penuh perhatian. Tak sedikit pun pemuda
berambut putih keperakan ini menyelak, sampai
pemuda berpakaian coklat ini selesai bercerita.
Kening Dewa Arak berkernyit ketika Wuraji
me-yelesaikan ceritanya. Jelas ada sesuatu yang
dipikirkannya. Dan memang dia tengah berpikir
keras. "Itulah yang sejak tadi membuatku
bimbang, Arya. Aku mgin membalaskan dendamku pada Siluman Tangan Maut yang telah
membunuh ayah dan seluruh kakak seperguruanku. Tapi, guru-guruku membela dia.
Tak mungkin aku melawan mereka yang telah
susah payah mendidikku selama sepuluh tahun.
Aku tidak ingin jadi murid murtad, Arya."
"Siluman Tangan Maut"!"
Arya mengerutkan alisnya. Tampak jelas kalau pemuda
berambut putih keperakan ini terperanjat.
Memang Dewa Arak telah mendengar sepak
terjang tokoh yang berjuluk Siluman Tangan
Maut. Seorang tokoh jahat dan kejam, yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi.
"Di antara tiga orang di gedung itu,
manakah yang berjuluk Siluman Tangan Maut,
Wuraji?" tanya Arya. Meskipun sebenarnya dia
sudah bisa menduga, kalau yang berjuluk
Siluman Tangan Maut itu adalah orang yang
memakai rompi kuning. Karena dialah orang
termuda di antara mereka. Sementara yang dua
orang lagi telah berusia lanjut. Jadi, kemungkinan
besar kedua orang itu adalah guru-guru Wuraji.
"Orang yang berompi kuning," sahut Wuraji
lirih. "Jadi, kedua orang kakek yang sakti tadi
adalah guru-gurumu?" tanya Arya.
Wuraji menganggukkan kepalanya.
"Pantas mereka begitu lihai," desah Arya.
"Arya...."
"Ada apa, Wuraji?" tanya Dewa Arak seraya
menoleh ke arah pemuda tampan berahang kokoh
di sebelahnya. "Bagaimana menurutmu, Arya?" Wuraji
meminta pendapat "Apakah aku harus melupakan
dendamku" Aku berada dalam pilihan yang sangat
sulit, Arya. Kalau tidak membalas, rasanya terlalu
enak bagi orang sekejam Siluman Tangan Maut
kubiarkan begitu saja. Membalas pun bingung
juga. Tak mungkin aku melawan guruku sendiri."
"Aku ada jalan, Wuraji," ucap Arya setelah
sekian lamanya termenung.
"Katakanlah, Arya. Bagaimana caranya?"
tanya Wuraji penuh gairah.
"Kau dan Marni yang menghadapi Siluman
Tangan Maut. Sementara guru-gurumu, biar aku
dan Melati yang akan mengurus."
"Tapi, Arya...." Wuraji masih mencoba
membantah. "Sudahlah, Wuraji," potong Arya. "Nanti,
setelah Marni sembuh dari luka-lukanya, kita
menyerbu kediaman Siluman Tangan Maut. Orang
seperti dia harus cepat-cepat dilenyapkan dari
muka bumi."
Wuraji tak bisa membantah lagi. Pemuda
berpakaian coklat ini terdiam. Dan dengan
sendirinya, suasana pun jadi hening karena Dewa
Arak sendiri tidak berkata apa-apa lagi. Kini, baik
Arya maupun Wuraji mengalihkan perhatian pada
Melati dan Marni yang tengah sibuk mengobati
luka dalam. "Cukup, Melati," ucap Marni seraya
menghentikan semadinya. "Terima kasih atas
bantuanmu."
Melati pun segera menarik tangannya
kembali. Dan begitu Marni bangkit gadis
berpakaian putih ini pun bangkit berdiri.
Arya dan Wuraji tersenyum lebar.
"Bagaimana, Marni?" tanya Wuraji lirih
seraya menatap wajah molek gadis berpakaian
biru itu. Marni tersenyum lebar. Rupanya gadis
berpakaian biru ini telah sembuh dari luka
dalamnya. "Nanti malam kita menyerbu kediaman
Siluman Tangan Maut" ucap Wuraji memberi tahu.
"Benarkah itu, Kang?" tanya Marni seraya
menatap wajah Wuraji lekat-lekat
Perlahan kepala Wuraji mengangguk.
"Lalu kedua gurumu?" tanya Marni lagi.
Nada ucapan dan suaranya menyiratkan perasaan
gentar. Dan memang sebenarnya Marni merasa
gentar bukan main. Dia telah merasa kan sendiri
kehebatan guru Wuraji yang bermuka kuda.
"Dewa Arak dan Melati yang akan
menghadapi mereka," jelas Wuraji lagi.
"Ah...!" Marni terkejut bukan main. Tapi
rasa terkejut bercampur gembira. "Benarkah itu,
Melati?" Gadis berpakaian biru itu merasa risih
bertanya pada Arya. Oleh karena itu dia bertanya
pada Melati. Tentu saja gadis berpakaian putih
yang tidak tahu apa-apa itu jadi gelagapan. Sesaat
lamanya gadis ini melongo. Baru setelah tersadar,
Melati menoleh ke arah Arya.
Dewa Arak menjadi geli melihat kekasihnya
bingung. Meskipun telah berusaha menahan, tapi
tetap saja seulas senyum geli terpampang di
wajahnya. Dan masih dengan senyum di bibir,
pemuda berambut putih keperakan ini menganggukkan kepala. Dan tak lupa mengedipkan sebelah matanya.
Melati merengut melihat Arya masih
sempat menggodanya. Tapi dia tidak bisa berlamalama begitu, karena Marni masih menunggu
jawabannya. "Eh..., nggg.... Ya. Ya benar...," Melati
menyahut agak tergagap.
Mendengar jawaban itu, seketika wajah
Marni berseri-seri.
*** Suara kepak kelelawar memecahkan keheningan malam sepi yang hanya dihiasi bulan
sepotong di langit. Angin dingin yang berhembus,
dan sesekali agak keras, terasa menusuk sampai
ke tulang. Dalam suasana malam seperti ini, orang
rasanya akan lebih suka berdiam diri di rumah.
Tapi rupanya ada juga orang yang
berkeliaran dalam suasana malam seperti ini.


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terbukti dengan berkelebatannya empat sosok
bayangan. Gerakan mereka rata-rata cepat.
Pertanda kalau keempat orang itu memiliki ilmu
meringankan tubuh yang tidak rendah.
Empat sosok bayangan itu bergerak cepat
menuju sebuah bangunan yang besar dan megah.
Bangunan yang memiliki halaman luas dan
terkurung pagar tembok tinggi.
Tapi ternyata tingginya tembok pagar tidak
bisa menghambat masuknya empat sosok
bayangan itu. Dengan mudah, indah, dan manis
keempat sosok bayangan itu melompati pagar
tembok. Sesaat kemudian keempat orang itu telah
berada di halaman.
Baru saja orang terakhir mendaratkan
kedua kakinya di tanah, terdengar bentakan keras
menggelegar. "Hei...! Siapa kalian..."!"
Seiring dengan lenyapnya gema suara
bentakan, tiba-tiba di hadapan empat sosok
bayangan itu berdiri belasan sosok tubuh
bersenjata tajam. Dan langsung mengepung.
Hebatnya, empat sosok bayangan itu sama
sekali tidak merasa gugup melihat hal ini. Bahkan
sebaliknya, para pengepungnya itulah yang
merasa kaget begitu melihat jelas wajah empat
sosok yang mereka kurung. Mereka mengenali
empat sosok bayangan itu karena empat orang
itulah yang siang tadi telah menyerbu dan telah
menimbulkan banyak korban di antara mereka.
Empat sosok bayangan itu memang tidak
lain dari Dewa Arak, Melati, Marni, dan Wuraji.
Marni dan Wuraji tanpa membuang-buang
waktu lagi segera mencabut senjata andalannya,
dan langsung menerjang para pengepung. Mau
tidak mau, anak buah Siluman Tangan Maut
terpaksa melayani.
Tranggg, tranggg, tringgg...!
Dentang suara senjata beradu kontan
mengusik keheningan malam begitu senjatasenjata mereka sating berbenturan. Bunga-bunga
api pun memercik ke udara.
Marni dan Wuraji bertindak tidak kepalang
tanggung. Pedang di tangan Marni dan sepasang
tombak pendek di tangan Wuraji berkelebatan
cepat mencari sasaran.
Suara jerit kematian terdengar susulmenyusul mengiringi robohnya tubuh-tubuh tanpa
nyawa di tanah. Roboh dan tidak pernah bangkit
lagi untuk sdama-lamanya. Memang Wuraji dan
Marni tidak bermaksud untuk memberi ampun
pada lawan-lawannya. Setiap serangan mereka
selalu mengandung hawa kematian,
Dewa Arak mengernyitkan alisnya melihat
tindakan Wuraji dan Marni. Pemuda berambut
putih keperakan ini memang tidak mau
membunuh lawan kecuali kalau memang terpaksa
sekali. Sementara yang dilihatnya kini, Wuraji dan
Marni enak saja menyebar maut. Dalam waktu
sebentar saja hanya tinggal beberapa orang saja
yang tersisa. Dan tentu saja mereka merupakan
sasaran empuk buat Marni dan Wuraji. Sesaat
kemudian, sisa gerombolan itu menjerit memilukan. Roboh di tanah dengan nyawa
teriepas dari raga.
Marni menyeka batang pedang yang penuh
berlumuran darah dengan pakaian salah seorang
pengeroyok. Kemudian menyarungkan pedangnya
kembali. Dewa Arak hanya bisa menggelenggelengkan kepalanya melihat mayat-mayat yang
bergeletakan di sana-sini. Tapi hal itu tidak lama.
Karena Marni dan Wuraji sudah bergerak cepat
menuju ke dalam. Arya tidak bisa membiarkan
sepasang muda-mudi itu mengantar nyawa
menghadapi Siluman Tangan Maut dan kedua
orang gurunya. Oleh karena itu, pemuda berambut putih keperakan ini segera menyusul,
diiringi Melati.
Dengan langkah gagah, Wuraji dan Marni
melangkah ke dalam. Tapi langkah keduanya
langsung terhenti ketika pandang mata mereka
tertumbuk pada tiga sosok tubuh yang berdiri
menghadang. Dan tak terasa sepasang muda-mudi
ini melangkah mundur begitu mengenali tiga
sosok di hadapan mereka. Siapa lagi kalau bukan
Siluman Tangan Maut Ular Kaki Seribu, dan
Monyet Tanpa Bayangan"
Dewa Arak dan Melati segera melangkah
maju. Kini mereka berdiri di kanan kiri Wuraji dan
Marni. Dengan tenang Arya memperhatikan ketiga
orang itu. Kemudian menjumput guci arak yang
berada di punggung, lalu menuangkan ke mulut
Gluk.. gluk... gluk...
Terdengar suara tegukan ketika arak
melewati kerongkongan Dewa Arak Seketika itu
juga ada hawa hangat menyebar di dalam
perutnya. Kemudian perlahan-lahan hawa hangat
itu naik ke atas kepala.
"Kali ini kalian tidak akan kubiarkan lolos!"
desis Ular Kaki Seribu tajam. Nada suaranya sarat
dengan ancaman. "Terutama sekali kau, Murid
Murtad!" Tanpa sadar Wuraji melangkah mundur
mendengar ucapan gurunya. Apalagi ketika kakek
berpakaian kulit ular itu menudingkan telunjuk ke
arahnya begitu ucapannya selesai. Wajah pemuda
tampan berahang kokoh ini seketika pucat pasi.
Bukan karena takut menghadapi kematian. Tapi
karena tidak ingin menjadi murid murtad yang
menentang guru sendiri.
Marni tahu perasaan yang bergolak di hati
Wuraji. Segera dia mengulurkan tangannya.
Kemudian menggenggam tangan pemuda berpakaian coklat itu erat-erat. Meskipun untuk
melakukan itu gadis berpakaian biru ini harus
berjuang keras memerangi perasaan malunya.
Wuraji menoleh. Pemuda berpakaian coklat
ini bukan orang bodoh. Tentu saja dia tahu
maksud Marni melakukan itu. Maka dia pun
memberikan senyum penuh rasa terima kasih.
Tangannya pun balas menggenggam tak kalah
erat. "Ular Kaki Seribu...," ucap Dewa Arak
dengan langkah kaki tidak tetap. Oleng ke sana
kemari. "Pertarungan di antara kita belum selesai."
"Kau benar, Dewa Arak! Mari kita lanjutkan
pertarungan yang tertunda," sambut Ular Kaki
Seribu tak kalah gertak
Belum lagi gema kata-katanya lenyap,
kakek bermuka kuda ini sudah menerjang Arya
dengan sebuah tendangan terbang.
*** 8 Karena telah merasakan sendiri kelihaian
ilmu tendangan lawannya, Dewa Arak tidak berani
bersikap ceroboh. Maka dia tidak berani langsung
menangkis serangan itu. Pemuda berambut putih
keperakan ini ingin mengetahui perkembangan
serangan lawan lebih dulu.
Oleh karena itu, Dewa Arak langsung saja
melempar tubuhnya ke belakang kemudian
bersalto beberapa kali di udara. Akibatnya sudah
bisa diduga. Tendangan lawan mengenai tempat
kosong karena Arya sudah tidak berada di situ lagi
Ular Kaki Seribu menggertakkan gigi
melihat serangannya berhasil dielakkan. Kemarahannya pada Dewa Arak semakin berkobar-kobar. Tentu saja akibatnya, serangan
kakek bermuka kuda ini semakin dahsyat.
Sambaran-sambaran
kakinya datang susulmenyusul bagaikan angin ribut. Tapi, berkat
keunikan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya
tidak mengalami kesuhtan untuk menangkalnya.
Sementara itu Melati sendiri sudah mulai
sibuk menghadapi Monyet Tanpa Bayangan. Gadis
berpakaian putih ini telah melihat sendiri
kesaktian lawannya. Maka begitu menyerang, dia
langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Cakar
Naga Merah'. Kedua tangannya, sampai sebatas
pergelangan, berubah merah seperti darah.
"Hiyaaat..!"
Sambil mengeluarkan teriakan melengking
nyaring, Melati menyerang. Tangan kanannya
dengan jari-jari terbuka, membentuk cakar naga,
meluncur deras ke arah ulu hati lawan.
Rupanya gelar Monyet Tanpa Bayangan
yang disandang kakek kecil kurus ini bukan
omong kosong. Meskipun serangan Melati meluruk
cepat ke arahnya, kakek kecil kurus ini mampu
bergerak lebih cepat lagi. Tanpa menggeser kaki,
dia segera mendoyongkan tubuhnya ke kanan
sehingga serangan Melati lewat setengah jengkal di
samping kiri pinggangnya. Dan pada saat yang
bersamaan, tangan kirinya disampokkan ke arah
pelipis Melati.
Tapi Melati tidak menjadi gugup. Serangan
balasan ini, sudah diperhitungkannya sejak tadi.
Hanya saja yang membuat gadis ini agak
gelagapan adalah kecepatannya yang luar biasa.
Meskipun begitu, berkat pengalaman
menghadapi berbagai macam pertempuran, Melati
masih dapat memunahkan serangan mendadak
itu. Tangan kanannya cepat diangkat ke atas
kepala. Dan....
Plakkk...! Suara benturan keras seperti beradunya
dua batang logam terdengar, ketika dua tangan
yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi
berbenturan. Baik Melati maupun Monyet Tanpa
Bayangan, sama-sama terhuyung. Dari benturan
ini dapat diketahui kalau kedua tokoh ini memfliki
tenaga dalam seimbang.
Monyet Tanpa Bayangan menggeram keras.
Rupanya kakek ini merasa penasaran bukan
main. Dia adalah seorang pentolan kaum sesat
yang jarang menemukan tandingan. Selama
berpuluh-puluh tahun merajalela di dunia
persilatan, dia hampir tidak pernah menemukan
tandingan. Maka tentu saja kakek kecil kurus ini
jadi penasaran bukan main tatkala mengetahui
ada seorang tokoh muda yang mampu menandingi
tenaga dalamnya.
Dalam luapan perasaan amarah bercampur
penasaran yang menggelora, Monyet Tanpa
Bayangan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Jurus 'Kera' yang dimilikinya langsung dimainkan.
Ilmu meringankan tubuhnya pun dikerahkan
sampai ke puncaknya.
"Hiyaaat..!"
Monyet Tanpa Bayangan membanting
tubuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Kemudian langsung melompat, menyerang dengan
sampokan tangan kiri ke arah pelipis.
Melati terkejut bukan main. Gadis berpakaian putih ini benar-benar gelagapan
menghadapi cara penyerangan lawannya. Gerakannya begitu liar, tapi sangat cepat
Mengingatkan dia pada seekor kera!
Dengan agak terburu-buru Melati merundukkan tubuhnya sehingga serangan kakek
berpakaian kulit beruang itu lewat di atas
kepalanya. Pada saat yang sama, kedua tangannya
meluncur deras ke arah dada dan perut.
Hebat bukan main serangan yang

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukan Melati. Apalagi pada saat itu, tubuh
Monyet Tanpa Bayangan sedang berada di udara.
Posisi yang benar-benar tidak menguntungkan.
Tapi kelihaian Monyet Tanpa Bayangan
benar-benar luar biasa! Dalam keadaan seperti itu,
dia masih mampu memunahkan bahaya besar
yang mengancam keselamatan nyawanya. Tangan
kanannya segera dikibaskan ke bawah, menangkis
kedua serangan itu.
Prattt...! Baik Melati maupun Monyet Tanpa
Bayangan sama-sama meringis begitu terjadi
benturan. Namun kakek kecil kurus ini sama
sekali tidak peduli. Dengan tubuh yang masih
berada di udara, kaki kanannya menendang dada
Melati. Wuuuttt..! "Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi gadis berpakaian
putih itu selain melempar tubuh ke belakang.
Kemudian bersalto beberapa kali di udara.
Kembali untuk yang kesekian kalinya serangan
Monyet Tanpa Bayangan gagal total.
Dengan sebuah gerakan yang indah dan
manis, Melati mendaratkan kedua kakinya di
tanah. Pada saat yang sama, Monyet Tanpa
Bayangan pun hinggap di tanah.
Secepat kedua pasang kaki mereka
mendarat di tanah, secepat itu pula keduanya
kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Kini
Melati harus berjuang keras untuk menundukkan
lawan tangguhnya ini.
*** Sementara di arena yang lain, Wuraji dan
Marni pun tengah sibuk bahu-membahu menghadapi Siluman Tangan Maut. Untuk yang
kedua kalinya, sepasang muda-mudi ini kembali
berhadapan dengan musuh besar mereka.
Bedanya, kali ini mereka bisa lebih memusatkan
perhatian pada lawan. Tidak khawatir diganggu
yang lain. Kali ini kedua belah pihak yang bertarung
sama-sama mengerahkan kemampuan sampai di
puncaknya. Siluman Tangan Maut telah memainkan trisulanya. Sementara Wuraji menggunakan tombak pendek, dan pedang
digunakan oleh Marni.
Suara desing, deru, dan decit senjata tajam
menyemarakkan pertarungan antara musuh
bebuyutan itu. Baik Wisanggeni maupun Wuraji dan
Marni, sama-sama bersikap hati-hati. Kedua belah
pihak telah sama-sama mengenal kelihaian lawan,
sehingga pertarungan jadi berlangsung seru. Tak
kalah seru dengan pertarungan antara Monyet
Tanpa Bayangan dengan Melati
Memang kalau dihitung perorangan, baik
Wuraji maupun Marni bukan tandingan Wisanggeni. Siluman Tangan Maut jauh lebih
unggul daripada mereka. Baik kekuatan tenaga
dalam, maupun ilmu meringankan tubuh.
Setiap kali terjadi benturan senjata, tubuh
Marni maupun Wuraji terhuyung-huyung ke
belakang dengan sekujur tangan terasa hampir
lumpuh. Di saat itulah, Siluman Tangan Maut
melancarkan serangan susulan. Kalau saja yang
seorang lagi tidak membantu kawannya yang
tengah terancam, sudah sejak tadi Wisanggeni
menghabisi sepasang muda-mudi ini.
Selama puluhan jurus, pertarungan antara
musuh bebuyutan itu berlangsung imbang. Tapi
menginjak jurus ke enam puluh, Siluman Tangan
Maut mulai terdesak. Semakin lama laki-laki
berompi kuning ini semakin terdesak.
Pada jurus ke tujuh puluh tiga, Marni
melompat tinggi ke udara. Dan dari atas,
pedangnya menyabet cepat ke arah leher. Pada
saat yang bersamaan, Wuraji melemparkan
tombak pendek di tangan kirinya. Bukan hanya
itu saja. Pemuda berpakaian coklat ini pun
meloncat menerjang. Tombak pendek di tangan
kanannya menusuk deras ke arah dada.
Wunggg...! Siluman Tangan Maut terkejut bukan main
melihat serangan beruntun ini. Trisulanya diputar
cepat laksana baling-baling dalam upaya menyelamatkan selembar nyawanya.
Tranggg, tranggg...!
Suara berdentang nyaring terdengar dua
kali ketika trisula Wisanggeni berhasil menangkis
serangan pedang Marni dan lemparan tombak
pendek Wuraji. Tapi sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, tusukan tombak putra Ketua Perguruan
Kumbang Merah telah meluncur tiba. Dan....
Cappp...! Telak dan keras sekali tombak pendek
Wuraji menembus perut Siluman Tangan Maut
hingga ke punggung. Seketika itu juga cairan
merah kental bermuncratan dari perutnya yang
robek lebar. Tubuh Wisanggeni terhuyung-huyung ke
belakang. Kedua tangannya mendekap luka yang
menganga lebar di perutnya. Tapi pada saat itu
juga, serangan susulan Marni menyambar tiba.
Gadis berpakaian biru ini mengirimkan sebuah
tendangan keras ke arah dada.
Desss! Terdengar suara berderak keras ketika
tendangan itu telak mengenai sasaran. Seketika
itu juga, tubuh Wisanggeni terlempar jauh ke
belakang. Tulang dadanya remuk seketika. Cairan
merah kental mengalir deras dari mulut, hidung,
dan telinganya. Nyawa Siluman Tangan Maut telah
melayang meninggalkan raganya sebelum tubuhnya jatuh di tanah.
Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan hanya bisa menggertakkan gigi menahan geram melihat kematian Wisanggeni.
Mereka tidak mampu berbuat apa-apa untuk
menolong Siluman Tangan Maut karena keadaan
mereka sendiri pun tengah terdesak.
Memang, baik Dewa Arak maupun Melati,
telah berhasil mendesak lawan masing-masing,
setelah melalui pertarungan sengit seratus lima
puluh jurus lebih. Baik Melati maupun Monyet
Tanpa Bayangan sama-sama telah mengeluarkan
senjata andalannya. Kakek kecil kurus berpakaian
kulit beruang ini telah menggunakan kipas baja
berwarna merah.
*** "Haaat...!"
Arya memekik keras. Tubuhnya melompat
ke atas melewati kepala lawan. Dan sesampainya
di atas, tubuhnya berputar. Kemudian tangan
kirinya menepak ke arah punggung Ular Kaki
Seribu. Plakkk! Telak dan keras sekali tepakan Dewa Arak
mengenai sasaran. Seketika itu juga, Ular Kaki
Seribu terhuyung-huyung
ke depan dan tersungkur di tanah. Segumpal cairan merah
kental menyembur dari mulutnya. Ular Kaki
Seribu terluka dalam!
Pada saat yang sama, Monyet Tanpa
Bayangan menusukkan kipas baja merahnya ke
arah dada Melati. Tapi dengan mudahnya gadis
berpakaian putih itu mendoyongkan tubuh ke
samping kanan, hingga serangan itu mengenai
tempat kosong. Lewat setengah jengkal di samping
kirinya. Tidak hanya itu saja yang dilakukan
Melati. Tangan kirinya tiba-tiba meluncur cepat ke
arah dada kanan lawan.
Monyet Tanpa Bayangan segera mendoyongkan tubuh ke belakang. Menurut
perhitungannya, dengan cara seperti itu, serangan
gadis berpakaian putih tidak mungkin mengenai
sasaran. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
kakek kecil kurus ini ketika tangan Melati terus
mengejarnya. Sebisa-bisanya dia mencoba mengelak. Tapi....
Prattt...! Tubuh Monyet Tanpa Bayangan terjengkang ke belakang ketika tangan Melati
mengenai dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari mulut kakek kecil kurus
ini. Jelas kalau dia terluka dalam. Kakek
berpakaian kulit beruang ini sama sekali tidak
tahu kalau Melati menggunakan jurus 'Naga
Merah Mengulur Kuku', yang membuat tangannya
bisa memanjang hampir dua kali lipat
"Haaat...!" Arya memekik keras. Tubuhnya
melompat ke atas melewati kepala lawan. Dan
sesampainya di atas, tubuhnya berputar. Kemudian tangan kirinya menepak ke arah
punggung Ular Kaki Seribu.
Plakkk! Telak dan keras sekali tepakan
Dewa Arak mengenai sasarannya!
Kini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan hanya bisa pasrah saja ketika Dewa
Arak dan Melati menghampiri mereka yang
terduduk berjejer di tanah. Aneh memang, kedua
kakek ini jatuh di tempat yang berdekatan.
Tapi di saat itulah sesosok bayangan coklat
berkelebat menghadang langkah Dewa Arak dan
Melati. Pemuda itu ternyata adalah Wuraji.
Sepasang tombak pendeknya disilangkan di depan
dada. Tampak jelas kalau Wuraji telah siap
bertarung. "Langkahi dulu mayatku kalau kalian ingin
membunuh guruku," tegas dan mantap sekali
kata-kata yang keluar dari mulut pemuda
berpakaian coklat itu.
Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan saling pandang dengan perasaan
terharu melihat pembelaan Wuraji. Mereka tahu
betul kalau pemuda berpakaian coklat itu
bukanlah lawan Dewa Arak dan gadis berpakaian
putih yang memiliki kepandaian menggiriskan.
Dan seketika itu pula, timbul rasa khawatir
mereka pada keselamatan muridnya. Dari semula
mereka memang telah tahu kalau Wuraji adalah


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang murid yang berbakti. Hanya saja saat itu
kesadaran belum timbul dalam hati mereka.
"Menyingkirlah, Wuraji. Kedua orang itu
bukan tandinganmu," ucap Ular Kaki Seribu serak
seraya berusaha bangkit yang diikuti Monyet
Tanpa Bayangan.
"Tidak, Guru," bantah Wuraji tak mau
kalah. "Guru telah terluka. Biar aku yang akan
menghadapi mereka"
Ternyata bukan hanya Monyet Tanpa
Bayangan dan Ular Kaki Seribu yang merasa
khawatir. Marni pun dilanda perasaan serupa.
Hanya saja kekhawatirannya berbeda. Dia
mengkhawatirkan keselamatan Wuraji. Pemuda
yang menarik hatinya sejak pertama kali bertemu.
Dan tanpa ragu-ragu lagi, gadis berpakaian
biru ini berdiri di sebelah Wuraji menentang Dewa
Arak dan Melati. Pedangnya melintang di depan
dada. Kini di hadapan Dewa Arak dan Melati
berdiri empat sosok yang siap bertarung.
"Apa maksudmu, Wuraji?" tanya Melati
seraya menghentikan langkah dan menatap
pemuda berpakaian kuning itu tajam. Nada suara
gadis ini menyiratkan rasa penasaran yang amat
sangat "Kalian hanya dapat membunuh guruku
setelah terlebih dulu melangkahi mayatku!" tandas
Wuraji tegas. Kedua tangannya yang memegang
sepasang tombak pendek tampak menegang. Jelas
pemuda berpakaian kuning ini telah siap
bertarung. Wajah Melati memerah. Dia merasa
tersinggung mendengar ucapan Wuraji. Gadis
berpakaian putih ini memang paling pantang
mendengar tantangan yang ditujukan padanya.
Tidak heran kalau ucapan Wuraji membuat
amarahnya bangkit
"Gurunya setan, muridnya pun sudah pasti
iblis!" Setelah berkata demikian, Melati melompat
menerjang. Pedangnya menusuk cepat ke arah
leher. Ada suara menggerung keras seperti naga
murka ketika pedang itu bergerak.
Cepat bukan main serangan yang dilancarkan Melati. Tapi gerakan Wuraji pun tak
kalah cepat. Sepasang tombak pendeknya
disilangkan, menangkis serangan Melati. Wuraji
yang tahu kelihaian lawan, segera mengerahkan
seluruh tenaga dalam yang dimiliki dalam
tangkisannya. Tranggg...! Suara berdentang nyaring terdengar ketika
dua macam senjata itu beradu. Bunga-bunga api
pun memercik ke sana kemari mengiringi
benturan itu Wuraji menggertakkan gigi. Kedua tangannya terasa bergetar hebat bahkan tubuhnya
pun sampai terhuyung dua langkah ke belakang.
Sementara Melati sama sekali tidak bergeming.
Suatu bukti kalau tenaga dalamnya masih berada
di bawah Melati.
Belum juga Melati melancarkan serangan
susulan, sebuah serangan yang mengeluarkan
suara mencuit nyaring, membuatnya melompat ke
belakang untuk mengelak.
"Marni...! Kau..."!" seru Melati tak percaya,
begitu melihat orang orang telah menyerangnya.
Marni menganggukkan kepala. Memang
gadis berbaju biru inilah yang tadi telah
menyerang Melati.
"Maafkan aka Melati," ucap Marni pelan.
"Bukannya aku bermaksud melawanmu. Tapi aku
tidak bisa membiarkan kau mencelakai Wuraji."
Pelan tapi mantap suara Marni, meskipun
diucapkan dengan wajah memerah. Memang,
gadis berpakaian biru ini merasa malu karena
ucapannya itu sama saja membuka rahasia
hatinya terhadap Wuraji.
"Tahan...!"
seru Arya. Dan sekali melangkahkan kaki, tubuhnya sudah berada di
tengah-tengah kedua wanita cantik itu. Mencegah
pertarungan yang sudah bisa dipastikan akan
terjadi. "Sabar dulu, Melati. Sarungkan pedangmu," ucap Dewa Arak pada tunangannya.
"Dan kau juga, Marni."
Melati tidak membantah. Meskipun dengan
mulut agak cemberut, dimasukkan pedangnya ke
dalam sarung. Begitu melihat Melati telah memasukkan
pedang, Marni tanpa ragu-ragu lagi memasukkan
pedangnya pula.
"Wuraji...," panggil Arya pada pemuda
tampan berahang kokoh yang kini sudah berada di
sebelah Marni. Wuraji mengangkat wajahnya, memandang
Dewa Arak. "Jawab pertanyaanku," ucap Arya lagi
dengan suara yang lebih tegas. "Mengapa kau
menghalangi kami?"
"Aku tidak bisa membiarkan guru-guruku
dibunuh di hadapanku!" sahut Wuraji tegas.
Meskipun tahu kalau dirinya bukan tandingan
Dewa Arak, pemuda berahang kokoh ini tidak
merasa gentar. ''Tapi, guru-gurumu adalah datuk-datuk
sesat yang jahat, Wuraji," bantah Arya. "Merupakan
kesalahan besar kalau aku membiarkan mereka mengumbar kejahatan di
sana-sini."
"Biar bagaimanapun, mereka adalah guruguruku, Dewa Arak! Orang yang telah menanam
budi besar kepadaku! Mendidikku selama
bertahun-tahun. Dan kini kau menyuruhku diam
melihat mereka kau bunuh"!"
Wuraji menghentikan kata-katanya sebentar untuk mengambil napas.
"Andaikata mereka benar telah melakukan
kejahatan besar pun, aku akan membela mereka
sekalipun untuk itu aku harus mati di tanganmu.
Hitung-hitung sebagai balas budiku atas jasa
kedua guruku selama ini! Apalagi mereka tidak
melakukan kejahatan! Aku lebih berkewajiban lagi
untuk membela mereka!"
"Maksudmu.., mereka sama sekali tidak
jahat..?" tanya Arya ragu-ragu.
"Mereka telah lama mengundurkan diri
dari dunia persilatan, Arya. Dan selama bertahuntahun aku tinggal bersama mereka, tak sekali pun
kudengar mereka melakukan kejahatan. Siluman
Tangan Maut alias Wisanggenilah yang telah
mengacau dunia persilatan!"
Arya dan Melati tercenung. Mereka percaya
sepenuhnya kebenaran ucapan Wuraji. Setelah
saling pandang sejenak dan Arya memberi isyarat.
Mendadak keduanya membalikkan tubuh dan
berkelebat meninggalkan tempat itu
Tentu saja ha! itu membuat keempat orang
itu terkejut. Beberapa saat lamanya mereka
memandangi arah kepergian Dewa Arak dan Melati
dengan perasaan bingung. Terutama sekali Monyet
Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu. Semakin
besarlah niat mereka untuk kembali ke jalan yang
benar. Baru sesaat kemudian Wuraji tersadar.
"Guru...," panggil Wuraji seraya memberi
hormat Kali ini Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa
Bayangan menganggukkan kepalanya sambil
tersenyum. "Siapakah gadis cantik ini, Wuraji?" tanya
Ular Kaki Seribu sambil menatap Marni.
"Temanku sejak kecil, Guru," sahut Wuraji
malu-malu. Sementara Marni hanya menunduk.
Wajah gadis itu merona merah.
Sejenak Ular Kaki Seribu dan Monyet
Tanpa Bayangan saling pandang. Kemudian kedua
kakek ini saling melempar senyum. Keduanya
tahu kalau sepasang muda-mudi ini saling
mencintai. Karena gadis inilah Wuraji sampai
berani melawan mereka. Dan karena hendak
membela Wuraji-lah, Marni berani menentang
Dewa Arak dan Melati.
Sementara itu nun jauh di sana, Dewa
Arak dan Melati tengah berjalan bersisian. Wajah
sepasang muda-mudi ini nampak cerah. Satu
tugas lagi telah mereka selesaikan dengan hasil
baik SELESAI Pembuat Ebook :
Scan/Convert/E-Book : Abu Keisel
Tukang Editor : Fujidenkikagawa
Pendekar Sadis 20 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Seruling Sakti 5
^