Pencarian

Penghuni Lembah Malaikat 1

Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat Bagian 1


PENGHUNI LEMBAH MALAIKAT
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Aji Saka Serial Dewa Arak dalam episode:
Penghuni Lembah Malaikat
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Siang ini suasana di mayapada panas sekali. Matahari telah berada tepat di atas
kepala. Sinarnya yang garang, seolah-olah hendak memanggang semua yang ada di
permukaan mayapada ini.
"Hhh...!" terdengar helaan napas panjang.
Tampak seorang gadis yang berambut panjang, tengah
mengusap peluh yang membasahi wajah dan leher dengan saputangan. Sebentar
kepalanya menengadah ke atas. Sorot matanya memancarkan kejengkelan terhadap
bola raksasa yang menyilaukan di atas sana.
Gadis itu memiliki wajah cantik bukan main. Kulit
wajah, leher, dan punggung tangannya yang tidak ter-
bungkus pakaian putihnya tampak putih, halus, dan mulus.
Sehingga kian menambah kecantikannya. Apalagi dandanan rambutnya yang terurai
sampai ke bawah bahu.
Dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, gadis
berpakaian putih itu memasuki sebuah kedai. Sejenak
langkahnya tertahan di ambang pintu, memperhatikan
suasana dalam kedai.
Ternyata kedai itu cukup ramai oleh pengunjungnya.
Dari sekian meja yang terdapat di sana, hanya dua yang masih kosong.
Gadis berwajah cantik itu melangkah menghampiri
meja yang masih kosong. Tidak dipedulikannya pandang mata liar dari semua
pengunjung kedai. Bahkan ada
beberapa di antara mereka yang bersuit-suit. Tapi, gadis itu sama sekali tidak
peduli. Dia tahu kalau sebagian besar orang yang berada di dalam kedai ini
adalah tokoh persilatan.
Hal itu bisa diketahui dari gerak-gerik, dan senjata yang tersandang. Maka,
dimakluminya saja semua itu. Selama dirinya tidak diganggu, dia akan bersikap
wajar saja. Begitu keputusan yang diambilnya.
Tenang dan penuh percaya diri gadis itu duduk di
kursinya. Dengan hati-hati, pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung
diletakkan di atas meja. Jelas, gadis ini adalah seorang tokoh persilatan pula.
Sepasang matanya yang
tajam, dan sesekali tampak mencorong, kian memperjelas dugaan itu.
Seorang bertubuh pendek, gemuk, dan berperut
gendut melangkah tergopoh-gopoh menghampiri gadis berpakaian putih itu. Usianya sukar ditaksir. Wajahnya yang tembem, memang
menyulitkan orang untuk memperkirakan usianya. Tapi yang jelas, tak kurang dari
tiga puluh lima tahun.
"Mau pesan apa, Nisanak?" tanya laki-laki berperut gendut ramah. Rupanya, dia
adalah pemilik kedai ini.
"Ayam panggang dan teh manis, Ki...," sahut gadis berpakaian putih itu.
"Randu...," potong laki-laki bertubuh pendek itu cepat, begitu gadis berpakaian
putih itu menghentikan ucapannya.
Gadis berambut panjang itu tersenyum manis. "Aku Melati...."
"Akan segera kuambil pesananmu, Nini Melati," kata Ki Randu yang merasa senang
mendapat sambutan yang
begitu baik dari seorang gadis berwajah begitu cantik jelita laksana bidadari.
Setelah berkata demikian, pemilik kedai itu segera
beranjak untuk menyediakan pesanan gadis berpakaian
putih itu. Dia ternyata Melati, putri angkat Raja Bojong Gading.
"Tunggu sebentar, Ki...."
Cegahan Melati membuat pemilik kedai itu meng-
hentikan langkah, dan memalingkan wajahnya.
"Ada yang bisa kubantu, Ni?" tanya Ki Randu seraya menghampiri gadis berpakaian
putih itu. "Apakah kau pernah melihat seorang pemuda be-
rambut putih keperakan lewat sini, Ki" Pakaiannya ungu, dan di punggungnya
tersampir sebuah guci arak," kali ini ucapan Melati terdengar pelan.
Mungkin dia tidak ingin ada orang lain yang
mendengar pertanyaannya kecuali laki-laki berperut gendut itu.
Ki Randu mengernyitkan keningnya sejenak, seakan
akan tengah mengingat-ingat. Beberapa saat lamanya dia bersikap demikian,
sebelum akhirnya menggelengkan kepala.
"Sayang sekali, Ni. Aku tak melihatnya," suara pemilik kedai ini terdengar penuh
penyesalan. Dan memang, laki-laki bertubuh pendek itu merasa
menyesal karena tidak bisa menjawab pertanyaan gadis yang telah bersikap begitu
ramah padanya. Melati segera mengembangkan senyum.
"Tidak apa-apa, Ki," ujar Melati, seolah-olah me-mahami dengan ketidaktahuan Ki
Randu atas perta-
nyaannya. "O, ya. Apa nama desa ini?"
"Desa Garu, Ni."
Melati mengangguk-anggukkan kepala.
Ki Randu tidak langsung berlalu, dan masih berdiri di situ beberapa saat
lamanya. Barangkali saja gadis yang berpakaian putih Itu masih hendak mengajukan
pertanyaan. Baru setelah yakin kalau Melati tidak bertanya lagi, lalu kakinya melangkah
untuk mengambil pesanan gadis itu.
Tak lama kemudian, Ki Randu sudah kembali sambil
membawa makanan yang dipesan putri angkat Raja Bojong Gading itu.
Tanpa mempedulikan suasana sekelilingnya, Melati
lalu menyantap pesanannya. Perlahan-lahan sekali, karena dia sudah terbiasa
hidup di istana yang penuh tata krama.
Rupanya, gadis berpakaian putih itu makan sambil
melamun. Hal ini diketahui dari pandangan matanya yang terpaku pada satu titik.
Menilik dari raut wajahnya yang muram,
bisa diperkirakan kalau yang mengganggu pikirannya adalah sesuatu yang menyedihkan hatinya.
Memang tidak salah! Melati kini teringat gurunya yang bernama Ki Julaga. Dia
telah tewas di tangan Ruksamurka.
Dan di saat dia tengah memikirkan cara membalas dendam pada kakek yang sakti
luar biasa itu, didengar kabar kalau Ruksamurka tewas di tangan Dewa Arak (Untuk
jelasnya, silakan ikuti Serial Dewa Arak dalam episode "Dendam Tokoh Buangan").
Tapi sampai sekarang melacak jejak pemuda itu, tetap saja belum diketemukannya.
Memang beberapa kali, Melati berhasil menemukan petunjuk tentang kekasihnya.
Tapi setelah sampai di sana, orang yang dicarinya telah lenyap!
Dan kini dia telah kehilangan jejak sama sekali!
Melati sama sekali tidak tahu kalau beberapa pasang
mata tengah mengawasi semua gerak-geriknya.
Dan andaikata tahu, tidak akan dipedulikannya. Memang dia saat ini tidak berminat
terlibat keributan.
Kematian gurunya yang mengerikan, dan kegagalan-
nya mencari jejak kekasihnya membuat semangat gadis itu merosot
jauh. Saat ini, Melati tengah membutuhkan seseorang untuk menumpahkan seluruh ganjalan hatinya.
Tak lama kemudian. Melati pun menyelesaikan
makannya. Setelah beristirahat sejenak, buru-buru makanannya dibayar. Kemudian kakinya melangkah meninggalkan kedai, diiringi tatapan berpasang-pasang mata liar yang berada di
situ. *** Tanpa peduli pada sinar terik matahari yang me-
manggang kulitnya yang putih mulus, Melati terus me-
langkah. Kepalanya tertunduk ke bawah. Tampak jelas, betapa loyo dan tidak
bersemangat sikapnya.
Gadis itu sama sekali tidak peduli pada pandangan
orang-orang yang berpapasan dengannya di jalan. Kakinya terus
saja melangkah. Pendengarannya yang tajam menangkap adanya langkah kaki tak jauh di belakangnya.
Tapi, gadis berpakaian putih itu tetap saja tidak peduli.
Selangkah demi selangkah rumah-rumah penduduk
yang semula padat mulai jarang. Kini, Melati telah mulai melewati tanah lapang
luas yang hanya ditumbuhi sedikit rumput dan semak-semak yang tidak begitu
tinggi. Mendadak langkah-langkah kaki yang sejak tadi
terdengar pelan, kini mulai agak keras dan bertubi-tubi.
Tanpa melihat pun. Melati tahu kalau pemilik langkah-langkah yang sejak tadi
mengikuti kini berusaha me-
nyusulnya. Tak lama kemudian, di hadapan Melati telah berdiri
berjajar empat orang berwajah kasar, mereka semua
memandang kepadanya dengan sinar mata kurang ajar dan senyum memuakkan.
"He he he...!"
Seorang di antara mereka yang bercambang lebat
terkekeh-kekeh. Pandangan mata mereka menjilati sekujur tubuh gadis berpakaian
putih itu. Sorot mata mereka bagai seekor serigala kelaparan yang melihat anak
kambing gemuk. Melati mengangkat kepalanya yang sejak tadi ditundukkan. Sepasang matanya tampak berkilat tajam
penuh kemarahan ketika menatap keempat sosok tubuh yang berdiri di hadapannya.
Meskipun sewaktu di ambang pintu kedai hanya mengamati sekilas, tapi bisa
dikenali kalau merekalah yang tadi berada di kedai.
Amarah Melati memang telah bangkit. Dan seperti
biasa, kemarahannya tidak akan reda bila sebelum menemukan pelampiasan. Maka, sudah bisa dipastikan
kalau pertarungan tidak akan bisa dielakkan lagi.
"Ha ha ha...! Bila melotot seperti itu, kau malah terlihat lebih cantik, Manis."
Seorang yang berkumis jarang-jarang menggoda kurang ajar. Tangan kanannya sibuk
memilin-milin kumis yang hanya beberapa lembar.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Melati ketika
kemarahannya tidak bisa ditahan lagi. Ejekan laki laki berkumis jarang-jarang
itu seperti api disiram minyak tanah.
"Hih...!"
Gigi Melati bergemerutuk menahan marah. Jari-jari
tangan kanannya yang terkembang membentuk cakar,
diulurkan ke depan. Arahnya jelas pada laki-laki berkumis jarang-jarang.
Melihat hal ini, laki-laki berkumis jarang-jarang dan ketiga orang rekannya
malah tertawa bergelak. Mereka semua merasa geli melihat tindakan Melati. Jarak
antara mereka hanya dapat dijangkau tangan manusia, yang panjangnya paling
sedikit satu setengah kali ukuran biasa.
Tapi ternyata tawa mereka kontan terhenti, dan
berganti keterkejutan! Ternyata tangan gadis berpakaian putih itu benar-benar
berhasil menangkap leher baju laki-laki berkumis jarang-jarang.
Mereka tak habis pikir. Salahkah perhitungan me-
reka" Sehingga, jarak yang sebenarnya hanya sejangkauan tangan, terlihat jadi
satu setengah jangkauan" Ataukah gadis itu diam-diam melangkah maju" Tapi,
jelas-jelas terlihat kalau Melati sama sekali tidak bergeming dari tempatnya
semula! Mereka sama sekali tidak tahu kalau murid Ki Julaga itu mengeluarkan
jurus 'Naga Merah Mengulur Kuku', dalam juluran tangannya tadi.
Tapi ketiga orang itu tidak bisa berpikir lebih lama lagi. Karena, begitu Melati
telah berhasil mencengkeram leher baju laki-laki berkumis jarang-jarang itu,
secepat itu ditariknya.
Sebelum keempat orang itu berbuat sesuatu, tangan
kiri Melati telah bergerak menampar ke arah pipi.
Plak, plak, plak...!
Suara nyaring terdengar ketika telapak tangan yang
bentuknya kecil dan halus mendarat di pipi laki-laki berkumis jarang-jarang
beberapa kali. Melihat dari kepala laki-laki berkumis jarang-jarang yang berpaling ke sana
kemari mengikuti arah tamparan, bisa diperkirakan kalau tamparan itu keras
sekali.

Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untung saja Melati mengerahkan sebagian kecil
tenaganya. Kalau sedikit saja ditambah pengerahan tenaga dalamnya, laki-laki
berkumis jarang-jarang itu pasti tewas dengan sekujur tulang-tulang pipi remuk!
Meskipun begitu, tak urung darah muncrat keluar
dari mulut laki-laki itu. Kedua pipinya langsung bengkak dan membiru, sehingga
membuat sepasang matanya hampir tak terlihat lagi.
"Hmh...!"
Sambil mengeluarkan dengusan di hidung, Melati
mengayunkan tangan yang mencekal leher baju. Kelihatan pelan saja gerakan itu.
Tapi akibatnya, tubuh laki-laki itu terlempar jauh seperti diseruduk banteng!
Brukkk...! Dibarengi berdebuk keras, tubuh laki-laki kasar yang sial itu mendarat di tanah
berjarak sekitar enam tombak dari tempatnya semula.
"Keparat...!"
Laki-laki berkumis jarang-jarang itu berseru memaki
setelah beberapa saat lamanya mengaduh-aduh kesakitan.
Suaranya terdengar aneh, karena pipinya bengkak menggembung. Dan begitu gema ucapannya habis, dia lalu bangkit berdiri. Kini
goloknya langsung dicabut.
Ketiga orang rekannya yang sejak tadi terdiam seperti terpaku, langsung sadar
begitu mendengar makian rekannya.
"Perempuan liar! Perempuan tak tahu diuntung...!"
maki laki-laki berkumis jarang-jarang itu. "Kau rupanya tidak suka diperlakukan
baik-baik! Kalau begitu maumu, kuturuti!
Jangan menyesal bila kau kami telanjangi dan kami perkosa sampai mati!"
Sepasang mata Melati langsung mencorong tajam.
Kemarahan amat sangat seketika melanda hatinya.
Dan semua ini terjadi akibat ucapan lelaki berkumis
jarang-jarang itu.
Tapi baik laki-laki berkumis jarang-jarang maupun
ketiga rekannya sama sekali tidak merasa gentar. Mereka tahu kalau gadis
berpakaian putih telah begitu marah. Dan mereka pun tahu kalau Melati memiliki
ilmu kepandaian.
Tapi, seberapa sih tingginya kepandaian seorang gadis yang masih
muda" Mustahil kalau gadis ini tidak bisa ditundukkan. Diiringi pekikan nyaring, keempat orang itu menyerbu Melati. Karena masih ingin
menikmati kemolekan tubuh putri angkat Raja Bojong Gading itu, mereka tidak
menggunakan senjata dalam serangan ini.
Melati yang telah dilanda kemarahan, tidak ingin
bertindak tanggung-tanggung lagi. Disadarinya kalau orang-orang macam ini amat
berbahaya. Tampak jelas kalau
mereka sulit disadarkan. Kalau dibiarkan hidup pun pasti hanya akan menimbulkan
korban bagi orang lain. Maka gadis berpakaian putih ini bertekad melenyapkan
empat orang itu selama-lamanya.
Tapi sebelum gadis berpakaian putih bertindak....
"Manusia-manusia tidak tahu malu! Bisanya hanya mengeroyok seorang wanita!"
Berbarengan terdengarnya bentakan itu, melesat
sesosok bayangan keemasan. Langung dipapaknya serangan empat orang kasar itu.
Maka sesaat kemudian, terdengar pekikan-pekikan
disusul berpentalannya tubuh-tubuh empat orang pengeroyok Melati.
Diiringi suara berdebuk keras, tubuh-tubuh mereka
jatuh di tanah. Mereka kontan tidak bergerak lagi untuk selamanya. Karena saat
tubuh mereka terpental, nyawa mereka pun ikut melayang
"Orang-orang
seperti mereka sudah seharusnya dikirim ke neraka selama-lamanya...," kata sosok bayangan keemasan itu sambil
membalikkan tubuhnya menghadap
Melati, setelah teriebih dahulu mengebut-ngebutkan
pakaiannya. "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap Melati pelan tidak bersemangat.
Tidak nampak adanya kegembiraan pada wajah
Melati, karena mendapatkan pertolongan. Memang, gadis berpakaian putih itu sama
sekali tidak membutuhkannya.
Tanpa dibantu pun, dia mampu melenyapkan keempat orang itu.
"Lupakanlah.
Tolong-menolong
antara sesama manusia adalah merupakan hal biasa," elak sosok tubuh keemasan itu merendah
sambil tersenyum lebar.
Dia ternyata seorang pemuda berwajah tampan.
Sebaris bulu-bulu halus dan tipis di atas bibirnya kian menambah ketampanannya.
Pakaiannya indah dan mewah
menandakan kalau dia adalah orang berada. Atau paling tidak, putra seorang
pejabat kerajaan. Melati tersenyum hambar sebagai tanggapannya.
Gadis itu mengenalinya sebagai orang yang tadi
berada di kedai juga.
"O, ya. Siapakah namamu, Nisanak" Dan mengapa
berada di sini" Lalu, hendak ke manakah tujuannya?"
Bertubi-tubi pemuda tampan berpakaian terbuat dari benang-benang emas itu mengajukan pertanyaan. "Aku Palguna."
"Aku Melati dan tengah mencari kawanku," sahut Melati mulai agak bersemangat.
Sekilas, timbul harapan di hatinya. Barangkali saja, pemuda tampan berpakaian
warna emas ini mengetahui Dewa Arak berada.
"Kalau boleh tahu..., siapakah kawanmu itu, Nini Melati?" tanya Palguna sigap.
"Dan, bagaimana ciri-cirinya?"
"Namanya Arya Buana. Dia seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun.
Pakaiannya berwarna ungu, menyandang guci di punggung...."
"Dan memiliki rambut yang berwarna putih kepe-
rakan..."!" potong Palguna.
"Benar! Apakah kau melihatnya, Palguna?" tanya Melati cepat. Semangatnya kontan
bangkit begitu mendengar sambutan Palguna.
Palguna menganggukkan kepala.
"Di mana, Palguna?" tanya Melati cepat. Keinginannya untuk bertemu kekasihnya
memang sudah menggebu-gebu.
"Mengenai tempatnya, aku tidak bisa menunjukkan secara pasti. Dan andaikata
kuberitahukan, kau juga tidak akan mengetahuinya."
"Hm...! Lalu...?" Suara Melati mulai pelan kembali.
Seri di wajahnya pun kontan lenyap.
"Bagaimana kalau kita pergi bersama-sama ke sana?"
usul Palguna. Melati tercenung sejenak. Dahinya tampak berkernyit
dalam pertanda, kalau tengah berpikir keras.
"Baiklah kalau begitu," kata gadis berpakaian putih itu setelah beberapa saat
lamanya terdiam. "Tapi, ingat.
Kalau kau menipuku... jangan harap akan membiarkanmu hidup!"
"Ha ha ha...!" Palguna tertawa bergelak. "Siapa sih yang tega menipu seorang
gadis secantikmu, Melati"!"
Sepasang mata Melati berkilat mendengar ucapan
Palguna. Kontan wajah pemuda berpakaian mewah itu
berubah. "Maaf. Aku bukan bermaksud kurang ajar. Melati,"
ucap Palguna buru-buru memperbaiki ucapan sebelumnya.
"Aku hanya mengatakan apa adanya."
Melati sama sekali tidak menanggapinya.
"Kurasa, kita harus secepatnya menuju tempat kawanku itu sebelum dia pergi...,"
kata Melati, mengalihkan pembicaraan.
"Kau benar, Melati," sambut Palguna cepat.
Lega hatinya melihat Melati tidak melanjutkan persoalan tadi. Watak gadis berpakaian putih ini memang sukar diduga.
Setelah berkata demikian, Palguna segera melesat ke
depan. Tahu kalau gadis berpakaian putih itu adalah seorang persilatan juga,
pemuda berpakaian mewah itu tanpa ragu-ragu segera mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya. Sehingga dalam beberapa kali langkah saja, dia sudah berjarak belasan tombak
dari tempat semula.
Melati hanya menggerakkan bagian bibir atasnya saja
melihat hal itu. Entah apa maksudnya, hanya dia sendiri yang tahu. Berbarengan
kembalinya bibir atasnya ke tempat semula, tubuhnya pun melesat ke depan.
Luar biasa! Hanya dalam beberapa kali langkah saja,
gadis itu telah hampir berhasil menyusul Palguna yang telah berkelebat lebih
dahulu. Sekejap kemudian. Melati telah berlari mensejajari Palguna.
Begitu mereka telah berlari berdampingan. Melati pun mengurangi kecepatan
larinya. Gadis itu yakin kalau seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
dikerahkan, Palguna akan tertinggal jauh.
"Kau.... Kau ternyata hebat juga, Melati." kata Palguna kaget. Napasnya
terdengar memburu. Jelas kalau seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikerahkan.
"Hm...!' gumam Melati perlahan.
Kedua orang itu berlari cepat meninggalkan tempat
mereka tadi bertemu. Sama sekali tidak dipedulikan lagi mayat empat orang kasar
yang hendak mengganggu Melati.
2 Melati dan Palguna masih saja berlari walau suasana
gelap menyelimuti bumi. Malam memang telah tiba. Rembulan yang tampak di langit laksana berbentuk alis seorang gadis manis,
tampak begitu tidak berdaya menerangi persada.
"Apakah sebaiknya kita beristirahat dulu, Melati?"
usul Palguna seraya menolehkan kepala menatap wajah
cantik yang berada di sebelahnya.
Kedua alis Melati hampir bertautan mendengar usul
yang diajukan pemuda berpakaian mewah itu. Meskipun
begitu, langkahnya sama sekali tidak dihentikan. Sehingga, mau tidak mau Palguna
terus juga berlari kalau tidak ingin tertinggal.
"Baiklah," ucap Melati memutuskan. "Tapi, di mana tempat berisirahat?"
Sambil berkata demikian, dan tanpa menghentikan
larinya, gadis berpakaian putih itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Tak jauh di depan kita ada sebuah rumah kosong.
Aku tahu persis, karena pernah tinggal di sana," sambut Palguna penuh gairah.
Tampak jelas kalau pemuda itu ingin sekali beristirahat. Maka begitu mendengar persetujuan Melati, langkahnya yang semula
sudah mengendur jadi cepat
kembali. Ucapan Palguna ternyata bukan bualan belaka. Tak
lama kemudian, pandangan Melati telah tertumbuk pada sebuah bangunan besar dan
megah di kejauhan.
Dalam suasana malam remang-remang dan lebih
cenderung gelap karena di langit hanya diterangi bulan sabit, bangunan megah itu
jadi terlihat menyeramkan. Lebih mirip rumah hantu daripada rumah manusia!
Karena Melati dan Palguna berlari mempergunakan
ilmu lari cepat, dalam waktu sebentar saja bangunan yang semula terlihat jauh di
depan kini telah dekat.
Melati menghentikan larinya ketika jarak antara
mereka dengan bangunan megah yang dikelilingi pagar
tembok tinggi dan kumuh itu tinggal satu tombak lagi.
Melihat Melati berhenti, Palguna pun menahan langkahnya pula.
"Ada apa, Melati?" tanya pemuda berpakaian mewah itu ketika melihat Melati
memperhatikan sekeliling bangunan megah di depannya.
"Apakah kau tidak salah,
Palguna" Kita akan
beristirahat di tempat seperti ini?" tanya Melati bernada teguran.
Palguna mengangguk.
"Memangnya kenapa, Melati?" Pemuda berpakaian mewah itu malah balas bertanya.
"Tidak bisa kubayangkan, bagaimana di dalam rumah itu, Palguna. Keadaan di
luarnya saja sudah demikian tidak terurus."
"Ha ha ha...! Yang tampak di luar, belum tentu sama dengan
dalamnya, Melati," jawab Palguna setengah menggurui. "Kujamin, begitu melihat bagian dalamnya kau akan betah tinggal di
sana!" "Maksudmu...?" meskipun sudah cukup jelas, tapi Melati masih juga mengajukan
pertanyaan. "Bagian dalam bangunan itu bersih, Melati. Obor-obornya pun bertengger di sana-
sini. Jadi kalau kau tidak betah gelap, tinggal nyalakan obor-obor itu saja.
Beres, kan?"
Melati terdiam.
"Ayolah," ajak Palguna sambil mengulurkan tangan, memegang tangan Melati untuk
mengajak masuk ke dalam.
"Tidak usah menuntunku, Palguna," ketus suara gadis berpakaian putih itu seraya
menepiskan tangan
pemuda berpakaian mewah yang akan menggandengnya.
"Aku bukan kambing!"


Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf. Maaf," Palguna buru-buru meminta pengertian, sebelum amarah putri angkat
Raja Bojong Gading itu kian menjadi-jadi.
"Aku lupa diri karena ingin buru-buru menunjukkan bagian dalam bangunan ini "
"Lupakanlah,
Palguna," Melati mengulapkan ta- ngannya. Jelas kalau tidak ingin memperpanjang masalah itu.
Palguna tidak berani bersikap sembrono lagi. Dia pun mendahului melangkah masuk
gerbang yang sudah memiliki pintu.
Melati melangkah mengikuti di belakang Palguna.
Pemuda berpakaian mewah itu kelihatan melangkah tanpa memperhatikan
sekelilingnya. Namun, Melati malah bersikap waspada.
Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Sekujur urat syaraf dan ototnya pun menegang, bersikap menghadapi segala
kemungkinan. Tapi ternyata semua kecurigaan Melati sama sekali
tidak beralasan. Sampai mereka melewati halaman depan yang cukup luas, dan tiba
di teras bangunan itu, sama sekali tidak terjadi apa-apa.
Krittt...! Suara bergerit tajam terdengar ketika Palguna mendorongkan daun pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir. Menilik
dari bunyinya, sudah bisa diketahui kalau daun pintu itu sudah lama tidak
dipergunakan. Begitu daun pintu terkuak, Palguna segera melangkah
masuk ke dalam diikuti Melati. Suasana gelap menyergap begitu daun pintu itu
tertutup kembali.
Tentu saja hal ini membuat Melati tegang. Di tempat
gelap seperti ini, pandangan matanya sama sekali tidak berguna. Yang diandalkan
hanya pendengarannya untuk
berjaga-jaga terhadap serangan gelap yang datang.
Ketegangan yang melanda Melati tidak berlangsung
lama. Karena sesaat kemudian, terdengar suara berdetak dari beradunya dua buah
batu disusul memerciknya bunga-bunga api, sehingga, keadaan sekelilingnya agak
terlihat, meskipun hanya sekejap.
Tanpa melihat pun, Melati tahu, siapa yang mengadu
batu-batu itu. Siapa lagi kalau bukan Palguna" Pemuda berpakaian mewah itu
ternyata tengah sibuk membuat api untuk menyalakan obor.
Tak sampai tiga kali membenturkan batu, suasana di
sekitar tempat itu sudah terang benderang oleh obor yang teipampang di dinding
dekat pintu. Palguna mengulurkan tangan dan mengambil obor
itu. "Mari, Melati. Kita cari kamar-kamar yang paling baik untuk tempat
beristirahat...."
Langkah gadis berpakaian putih itu terhenti ketika
mendengar ucapan Palguna. Dalam jilatan sinar obor yang cukup terang, terlihat
kalau wajah Melati menegang.
Sementara sepasang matanya pun berkilat-kilat.
"Maksudmu....
Kita tinggal dalam satu kamar, Palguna" Kau kira aku wanita apa"!" kata Melati. Suaranya bergetar, karena
tegang. Ada nada kemarahan dalam ucapan gadis itu. Sudah
dapat dipastikan, kalau saja Palguna mengangguk, gadis berambut panjang itu akan
menyerang kalang kabut.
Palguna bukan orang bodoh. Jelas dia menangkap
adanya kemarahan dalam ucapan itu.
"Jangan salah mengerti, Melati," ucap Palguna buru-buru. "Tentu saja, tidak
demikian. Kau salah mengartikan ucapanku tadi."
"Hhh...!" Melati menghela napas berat. "Maafkan aku, Palguna. Aku terlalu cepat
terbawa amarah."
"Tidak mengapa. Lupakanlah,"
sambut pemuda berpakaian mewah itu bijaksana.
Sebuah senyum lebar tampak mengembang di bibir
Palguna. Ini menjadi pertanda kalau dia tidak tersinggung atas sikap kasar
Melati. "Mari kutunjukkan kamar untuk beristirahat."
Setelah memperhatikan satu demi satu kamar yang
ada di bangunan itu, Melati memilih sebuah kamar yang berada di tingkat dua.
Sementara Palguna memilih sebuah kamar di sebelahnya.
*** "Ah...!"
Sebuah desah kelegaan keluar dari mulut Melati
ketika tubuhnya direbahkan di pembaringan. Kemudian
sepasang matanya dipejamkan. Tak lama kemudian, desah napas Melati pun mulai
pelan dan teratur.
Tapi baru juga mulai terlelap, sebuah suara men-
desing yang tidak begitu keras, telah membuat Melati terjaga.
Cepat laksana kilat, gadis itu melompat dari pembaringan dan bergulingan di
lantai. Cappp...! Benda yang ternyata sebatang ranting sepanjang
sejengkal, menghunjam di dinding bagian atas sampai
setengahnya lebih.
Melati sempat tersentak melihat kehebatan tenaga
dalam orang yang melemparkan ranting itu. Buktinya,
ranting sebesar kelingking itu mampu menembus tembok yang keras! Kalau saja
tidak bertindak sigap, mungkin gadis itu sudah celaka tadi!
Alis Melati hampir bertautan ketika melihat ada
kelainan pada ranting itu. Pada bagian tengahnya nampak tergantung segulungan
kain yang terikat.
Perasaan heran dan ingin tahu membuat Melati
bangkit dari berbaringnya. Diperhatikannya
suasana sekelilingnya sejenak. Baru setelah diyakini tidak ada bahaya yang akan
mengancam, gadis berpakaian putih itu berjalan menghampiri tempat ranting itu
tertancap. Meskipun yakin kalau keadaan telah aman, Melati
tetap tidak menghilangkan kewaspadaan. Sambil melangkah mendekati tempat
ranting, matanya diedarkan ke sekeliling.
Ada sebuah kesimpulan yang didapat. Ranting itu diluncurkan lewat jendela yang daunnya terbuka!
Hanya dengan mengerahkan sebagian tenaga da-
lamnya, Melati segera mencabut ranting itu. Mudah saja dia melakukannya.
Sambil tetap mengedarkan pandangan ke daun
Jendela, Melati mengambil gulungan kain itu, lalu membukanya. Dan seperti yang sudah diduga, tampak tertera huruf-huruf
di atas gulungan kain itu. Melati pun membacanya dalam hati.
Cepat tinggalkan tempat ini kalau kau masih sayang dirimu. Ada bahaya besar yang
tengah mengancammu. Maaf, hanya ini yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa membantu
lebih jauh. Dahi melati berkernyit membaca pesan yang terkandung dalam gulungan kain itu. Benarkah apa yang dikatakan pengirim surat
ini" Benarkah ada bahaya besar yang
tengah mengancamnya"
Tapi kalau ingin memberitahukan ada bahaya, kenapa musti mengirim
serangan maut. Untung dia bisa mengelak. Kalau tidak"
Berpikir hal itu, membuat Melati melayangkan pandangan kembali ke pembaringan. Seketika itu juga
hatinya tersentak tatkala pandangannya dialihkan ke arah tempat ranting itu
terhunjam. Letak tertancapnya ranting terlalu tinggi. Jaraknya
tak kurang dari satu setengah tombak. Sementara, tinggi pembaringan itu tidak
sampai setengah tombak. Begitu bodohkah orang yang telah mengirim serangan gelap
itu" Padahal menilik hunjaman pada dinding, bisa diperkirakan kalau orang yang telah
mengirim serangan itu adalah tokoh lihai!
Tentu saja Melati tidak begitu mudah percaya.
Meskipun begitu, peringatan tadi sama sekali tidak di-kesampingkan. Gadis
berpakaian putih itu mengambil jalan tengah, yang diyakininya benar. Dia akan
tetap berada di dalam bangunan ini, tapi tetap waspada penuh.
Dengan bertindak seperti itu, Melati mendapat dua
buah keuntungan. Kalau peringatan itu memang benar, dia telah
bersiap-siap menghadapi bahaya yang datang mengancam. Sedangkan andaikata tidak benar dan merupakan perangkap, dia tidak masuk perangkap yang
dipasang pengirim pemberitahuan itu.
Melati menghela napas lega setelah mengambil
keputusan. Setelah menyimpan gulungan kain yang berisikan pesan untuknya,
kakinya melangkah menghampiri jendela dengan kewaspadaan penuh.
Tapi sampai Melati menutupkan jendela yang da-
unnya terbuka, tidak terjadi apa-apa.
Gadis berpakaian putih itu kembali ke pembaring-
annya dengan benak dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapakah orang yang telah
mengirimkan peringatan itu" Benarkah ada bahaya mengancam"
Dengan adanya kejadian tadi, Melati tidak ingin
lertidur kembali. Memang, dia kembali menghampiri pembaringan. Tapi tidak untuk tidur, melainkan bersemadi.
Gadis berpakaian putih itu lalu duduk bersila.
Punggungnya diluruskan. Kedua tangan dengan jari-jari terbuka dipertemukan di
depan dada. Sementara arah ujung-ujung jarinya menuding ke langit.
Tak lama kemudian, putri angkat Raja Bojong Gadis
itu telah tenggelam dalam keheningan semadinya. Kini yang
terdengar hanyalah desah napas yang keluar masuk dari hidung dan mulut Melati.
Belum juga Melati sampai di pintu, mendadak...
Brakkk...! Daun pintu itu dihajar dari luar. Dan pada saat itulah dari balik pintu yang
tertutup rapat terlihat sesosok bayangan hitam melangkah masuk. Melati terkejut
bukan main melihat hal ini!
Belum berapa lama tenggelam dalam keheningan
semadinya, pendengaran Melati yang tajam mendengar
adanya suara pelan dari luar pintu. Kalau saat itu Melati tidak tengah
bersemadi, mungkin tidak akan mendengarnya.
Dari sini saja, bisa diketahui kelihaian pemilik langkah itu.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, gadis ber-
pakaian putih itu langsung menghentikan
semadinya. Benaknya sibuk menduga-duga. Siapakah orang itu" Yang pasti, bukan Palguna.
Pemuda berpakaian mewah itu tidak memiliki kepandaian sampai setinggi pemilik
langkah itu! Ringan tanpa suara, Melati melompat turun dari
pembaringan dan berjalan mendekati pintu. Tapi belum juga tiba di sana,
mendadak.... Brakkk...! Daun pintu itu hancur berkeping-keping. Karuan saja


Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal ini membuat Melati terkejut bukan kepalang. Gadis itu segera melompat ke
belakang. Dan pada saat itulah dari balik pintu yang tertutup rapat, melesat
sesosok bayangan hitam.
Dalam suasana kamar Melati yang remang-remang,
karena hanya ada obor kecil yang dipancarkan di dinding ruangan, tampak samar-
samar sosok tubuh yang tengah
menghancurkan pintu itu.
Sosok bayangan itu bertubuh tegap. Kulit wajahnya
coklat, dipenuhi kumis dan cambang bauk lebat.
Melati tidak bisa memperhatikan lebih lama lagi
karena laki-laki berpakaian hitam itu langsung melancarkan serangan pukulan
bertubi-tubi ke arahnya.
Melati tidak berani bertindak ceroboh. Dari angin
berkesiutan yang mengiringi tibanya serangan, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam laki-laki bercambang bauk lebat itu.
Itulah sebabnya, gadis berpakaian putih itu cepat
melempar tubuh ke pembaringan.
Laki-laki berpakaian hitam itu menggeram keras
begitu melihat serangannya dielakkan lawan. Tapi secepat itu pula dilancarkan
serangan susulan lain. Kali ini, berupa hentakan kedua tangan yang terkepal ke
arah tubuh Melati di pembaringan.
Wuttt...! Brakkk...!
Pembaringan itu hancur berkeping-keping terkena
pukulan jarak jauh yang dilancarkan laki-laki bercambang bauk lebat. Untung
Melati telah lebih dulu melenting menjauhi pembaringan.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya hinggap di tanah, secepat itu
pula Melati mempersiapkan ilmu andalan. Ilmu 'Cakar Naga Merah'!
Kedua tangannya memerah sampai sebatas pergelangan ketika jari-jarinya dikembangkan membentuk cakar naga. Sekarang,
gadis berpakaian putih itu telah siap menghadapi serangan lanjutan.
"Haaat...!"
Sambil mengeluarkan pekikan mengguntur yang
membuat keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat, laki-laki berpakaian hitam
itu kembali menyerang Melati.
Sementara gadis itu kini telah bersiap langsung menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun terjadi.
Pertarungan antara kedua orang itu ternyata hebat
bukan kepalang. Suara angin berciut dan mencicit ikut menyemaraki pertarungan.
Udara seperti terobek oleh setiap serangan yang dilancarkan.
Karena kedua tokoh yang bertarung sama-sama
memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi, maka pertarungan itu
berlangsung cepat. Dalam waktu sebentar saja, pertarungan telah berlangsung lima puluh jurus. Dan selama itu, tidak terlihat
adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Melati menggertakkan gigi. Rasa penasaran yang amat
sangat menggayuti dada. Dia yakin, lawannya sanggup
dikalahkan. Karena, dia memang lebih unggul dalam segala hal. Baik dalam hal
ilmu silat, ilmu meringankan tubuh, maupun tenaga dalam. Tapi tempat pertarungan
yang sempit membuatnya sedikit mengalami kesulitan. Memang ilmu
'Cakar Naga Merah', membutuhkan tempat luas untuk dapat berkembang.
Ada satu tambahan lagi yang membuat Melati ke-
sulitan mengalahkan lawan. Rasa khawatirnya kalau bangunan ini roboh bila seluruh kemampuannya dikerahkan, membuat serangan gadis
ini jadi setengah-setengah.
Memang, keadaan ruangan itu sudah semrawut.
Semua perabotan yang berada di situ tetah porak-poranda.
Dinding-dinding bangunan pun telah retak di sana-sini.
Kalau pertarungan itu berlangsung terus, tidak mustahil bangunan itu akan
runtuh. "Hih...!"
Mendadak laki-laki berpakaian hitam itu mengger-
takkan gigi seraya melempar tubuh ke belakang.
Melati yang ingin membekuk lawan, tidak ingin
memberi kesempatan. Dia ingin tahu, alasan laki-laki bercambang bauk itu
menyerangnya. Maka, gadis berpakaian putih itu pun segera melesat memburu.
Tapi, rupanya laki-laki berpakaian hitam itu sudah
memperkirakannya. Terbukti ketika tubuhnya berada di udara, kedua tangannya
dimasukkan ke balik baju. Dan ketika dikeluarkan kembali, tangan itu bergerak
mengibas. Singgg...! Suara berdesing nyaring, diikuti berkeredepnya beberapa buah benda berkilau yang tidak lain pisau terbang, meluncur cepat ke
arah tubuh Melati.
Putri angkat Raja Bojong Gading ini terperanjat.
Serangan seperti ini memang sama sekali di luar dugaannya.
Dan hal ini terjadi karena nafsunya terlalu terburu untuk merobohkan lawan. Tapi
meskipun begitu, Melati tidak menjadi gugup karenanya.
Untuk mengelakkan serangan memang merupakan
suatu hal yang tidak mungkin. Tubuhnya tengah berada di udara saat ini. Tidak
ada tempat yang dapat dijadikan landasan untuk mengelak. Menggeliatkan tubuh pun
tidak mungkin, karena pisau-pisau terbang itu meluncur berjajar.
Jalan satu-satunya hanyalah menangkis serangan itu.
Maka dengan kecepatan gerakan seorang ahli pedang, dalam sekejapan
mata Melati telah menghunus pedangnya. Langsung disabetnya pisau-pisau terbang itu.
Trang, bang, trang...!
Dentang nyaring suara benda logam beradu seketika
terdengar. Maka pisau-pisau terbang itu pun berpentalan tak tentu arah.
Kesempatan yang hanya sekejap itu dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh laki-laki berpakaian hitam itu. Tubuhnya melesat ke arah
pintu. Rupanya, dia tahu gelagat kalau gadis berpakaian putih itu tak akan bisa
dikalahkannya. Maka, ia memilih kabur sebelum mari konyol!
3 "Hup...!"
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, Melati
segera bergerak mengejar. Tapi begitu tiba di ambang pintu, langkah kakinya
dihentikan. Suasana di luar ternyata gelap.
Jadi, tidak ada gunanya melakukan pengejaran dalam
kadaan gelap. Untuk sesaat, benak gadis berpakaian putih itu
berputar sebelum akhirnya teringat pada Palguna.
Melati terjingkat bagai disengat kalajengking ketika teringat pemuda berpakaian
mewah itu. Ya! Siapa tahu Palguna pun mendapat serangan serupa. Menilik dari
kepandaian laki-laki bercambang bauk lebat itu, bisa diperkirakan kalau Palguna
bukan tandingannya.
Teringat akan Palguna membuat Melati kembali ke
kamarnya. Dijumputnya obor kecil yang terpancang di
dinding Dan dengan obor di tangan, gadis itu keluar dari kamarnya. Tujuannya
sudah jelas. Kamar Palguna!
Melati melangkah, bersikap waspada penuh. Pen-
dengarannya dipasang setajam mungkin agar dapat menangkap suara sekecil apa pun.
Selangkah demi selangkah gadis berpakaian putih itu
melangkah maju. Dan dengan demikian, selangkah demi
selangkah pula, jaraknya dengan kamar Palguna semakin dekat
Hampir Melati terpekik ketika melihat pintu kamar
Palguna! Ambang pintu itu kini sudah tidak memiliki daun lagi. Sehingga, sinar
obor yang terpancang di dinding kamar membias sampai ke depan kamar.
Dengan perasaan khawatir, putri angkat Raja Bojong
Gading ini melangkah menghampiri. Meskipun keinginan untuk segera mengetahui
nasib Palguna demikian menggebu-gebu namun masih bisa ditahannya. Disadari kalau
sikap sembrono dan buru-buru malah akan mencelakakan dirinya.
Tapi lagi-lagi kekhawatiran Melati sama sekali tidak terbukti. Sampai di ambang
pintu kamar Palguna, tidak ada kejadian apa pun yang menimpa.
"Palguna...!" jerit Melati keras oleh perasaan kaget ketika melihat tubuh pemuda
berpakaian mewah itu
tergeletak di lantai.
Setelah berkata demikian, Melati bergerak meng-
hampiri tubuh Palguna. Meskipun begitu, kewaspadaan gadis itu sama sekali tidak
berkurang. Sepasang matanya beredar ke sekeliling ruangan itu.
Walau hanya sekilas, tapi cukup bagi Melati untuk
mengetahui keadaan kamar ini. Yang jelas tak berbeda dengan kamarnya. Porak-
poranda! Jelas, kalau di tempat ini telah terjadi sebuah pertarungan sengit.
Dengan sepasang mata yang tetap memperhatikan
suasana sekelilingnya, Melati berjongkok begitu telah berada di dekat tubuh
Palguna yang tergolek. Gadis berpakaian putih itu ingin memeriksa keadaan
Palguna. Di saat itulah, tanpa diduga-duga, tangan Palguna
bergerak. Cepat bukan main gerakannya. Tambahan lagi, jaraknya terlampau dekat
dengan Melati. Lagi pula, hal ini sama sekali tidak disangka-sangka. Maka,
kejadian yang terjadi pun seperti yang sudah diduga.
Tukkk...! Telak dan tepat sekali jari telunjuk Palguna menotok jalan darah di bahu kanan
Melati. Kontan tubuh gadis berpakaian putih itu pun terkulai lemas, seperti
sehelai karung basah.
Kini Melati tidak berdaya lagi. Sekujur tubuhnya
lemas seketika.
"Ha ha ha...!"
Palguna tertawa bergelak seraya bangkit berdiri,
begitu tubuh Melati merosot dan jatuh di lantai. Dalam keremangan sinar obor,
wajah pemuda berpakaian mewah itu ternyata terlihat menyeramkan.
"Palguna! Apa yang kau lakukan"!" tanya Melati keras.
Ada nada kemarahan dalam pertanyaan yang lebih mirip teguran itu.
"Ha ha ha...!"
Palguna kembali tertawa bergelak. Karuan saja hal itu membuat kemarahan Melati
semakin berkobar. Tapi, apa dayanya sekarang" Jangankan menyerang, menggerakkan
ujung jari pun tidak mampu!
"Kau belum mengerti juga, Manis?" Palguna malah balas bertanya.
Kali ini tampak jelas kekurangajaran baik pada suara maupun sikap pemuda itu.
Sungguh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan sebelumnya.
"Hanya satu hal yang telah kumengerti sekarang...,"
pelan, tapi tajam ucapan Melati.
"Apa itu. Manis?" tanya Palguna ingin tahu.
"Kau adalah seekor serigala berbulu domba! Seorang pengecut yang tidak berani
berhadapan langsung denganku!"
tandas Melati tegas. "Masih lebih baik empat orang yang menghadangku kemarin!"
"Ha ha ha...!"
Palguna kembali tertawa. Menilik gerak-geriknya,
tampak kalau dia tengah dilanda perasaan gembira. Tapi, mendadak saja tawa itu
dihentikan. "Rupanya hanya wajahmu saja yang cantik. Manis.
Tapi, otakmu bebal! Tidakkah kau duga kalau semua ini sudah kurencanakan"!"
Wajah Melati kontan berubah hebat.
"Maksudmu...?"
"Empat orang yang menghadangmu adalah suruh-
anku! Dengan cara itu, bagiku mudah untuk dapat
berkenalan denganmu dan memancingmu kemari!"
Palguna menghentikan ucapan sejenak untuk me-
narik napas. "Terus terang, aku tidak berani menantangmu secara langsung. Aku tahu, kau
memiliki kepandaian tinggi. Kalau aku memang, tidak menjadi masalah karena
langsung bisa menangkapmu. Tapi kalau aku kalah" Itulah sebabnya, aku
menyerangmu secara menyamar menjadi orang bercambang bauk lebat."
"Jadi.... Orang berpakaian hitam itu kau"!" tanya Melati, kaget.
"Kau tidak menyangka bukan"!"
ejek pemuda berpakaian mewah itu, merasa menang.
Melati terdiam. Kini jelas sudah kalau semua itu
sudah direncanakan Palguna secara rapi. Seketika itu pula, ingatan gadis
berpakaian putih itu melayang pada pesan yang diberikan orang yang tidak
diketahui tadi. Satu hal yang diketahuinya adalah, orang yang mengirim pesan itu
telah mengetahui akan adanya bahaya yang mengancam. Ini
berarti orang yang mengirim pesan itu tahu tentang Palguna.
"Satu hal yang perlu kau ketahui, Manis," sambung Palguna lagi "Aku telah tahu,
siapa adanya orang yang kau cari itu. Bukankah Dewa Arak"!"
Pemuda berpakaian mewah itu menghentikan ucapannya untuk menunggu jawaban Melati. Tapi, ternyata gadis
berpakaian putih itu sama sekali, tidak

Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanggapinya. Palguna yang tengah mabuk kemenangan, sama sekali tidak
mempedulikannya. Dia memang tidak
membutuhkan jawaban gadis itu.
"Aku telah dapat menduga, siapa orang yang kau cari, sewaktu kau menanyakannya
pada laki-laki gendut pemilik kedai. Pertanyaanmu itulah yang mendorongku untuk
merencanakan semua ini. Dari pertanyaan itu, bisa kutebak.
Kalau kau adalah wanita yang kudengar selalu bersama Dewa Arak! Itulah sebabnya,
aku bersikap hati-hati. Sungguh sama sekati tidak kusangka-sangka kalau sekali
bertindak, aku langsung mendapat dua umpan. Kau, dan Dewa Arak!"
"Apakah kau mempunyai urusan dengan Dewa
Arak"!" tanya Melati dengan suara kering.
Disadari kalau seorang seperti kekasihnya lebih
banyak mempunyai musuh daripada teman. Tak terhitung sudah, lawan-lawan pemuda
berambut putih keperakan itu terbunuh. Padahal setiap lawan yang dibunuh, sudah
pasti mempunyai
guru, murid, atau kerabat yang akan mendendam karena kematiannya.
Palguna menganggukkan kepala.
"Lalu... mengapa kau menawanku?" pancing Melati.
"Ha ha ha...! Ada dua hal yang membuatku mena-
hanmu, Manis," jawab pemuda berpakaian mewah itu.
"Apa itu?" tanya Melati sekenanya.
Gadis berpakaian putih ini berusaha mengulur-ulur
waktu selama mungkin. Dan selama mengajak pemuda
berpakaian mewah itu berbicara, tenaga dalamnya dikerahkan untuk membebaskan jalan darah yang tertotok.
"Pertama, karena kau dapat kugunakan untuk me-
mancing Dewa Arak. Dan kedua, ini yang penting. Wajahmu yang cantik molek dan
tubuhmu yang menggiurkan, dapat kumanfaatkan selama menunggu kedatangan Dewa
Arak." Terdengar suara menggertakkah dari mulut Melati
ketika mendengar ucapan terakhir Palguna.
"Kalau kau berani menyentuh tubuhku... akan
kuhancurkan semua tulang tubuhmu!" pelan dan bergetar ucapan yang keluar dari
mulut Melati. Jelas kalau perkataan itu dikeluarkan penuh perasaan.
Orang seperti Palguna mana bisa ditakut-takuti"
Apalagi pada saat itu tengah dirasuki nafsu! Pemuda
berpakaian mewah itu tertawa bergelak ketika mendengar ancaman gadis berpakaian
putih itu. "Kau kira, orang sepertiku bisa kau takut-takuti, Manis" Keliru besar kalau
menyangka begitu."
Wajah Melati pucat pasi. Seketika, rasa takut yang
amat sangat terhadap sesuatu yang mengerikan melanda pada dirinya. Putri angkat
Raja Bojong Gading yang belum pernah mengenal rasa takut, untuk pertama kalinya
dilanda perasaan takut yang hebat.
"Jangan harap akan bisa mati enak, apabila berani menyentuh tubuhku, Palguna,"
dalam cekaman rasa takut yang memuncak, hanya ancaman yang bisa dilakukan
Melati. Seperti juga sebelumnya, ancaman Melati yang kali ini pun hanya ditanggapi tawa
bergelak Palguna. Dan seiring selesai tawa itu, tangan pemuda berpakaian mewah
itu mulai terulur.
Palguna rupanya memang hendak membuat hati
Melati tersiksa oleh rasa takut menggelegak. Walaupun nafsu yang bergelora dalam
dadanya mendesak-desak untuk
melampiaskan hasrat tapi hal itu tidak langsung dilakukannya. Tangan Palguna hinggap di dahi Melati yang mulus,
kemudian perlahan-lahan merayap turun ke pelipis, pipi, mulut, dan beranjak ke
leher. Selama tangan pemuda
berpakaian mewah itu berkeliaran, Melati tak henti-hentinya berteriak memaki.
Deru napasnya bersaing dengan deru napas Palguna. Hanya saja, napas Palguna
memburu karena dilanda nafsu. Sedangkan napas Melati karena cekaman rasa takut
yang bergelora.
Kini tangan Palguna telah tiba di leher. Dan sekali
tangan itu bergerak turun dan merenggut pakaian, nasib Melati selanjutnya sudah
bisa diduga. Melati pun menyadari hal itu. Suaranya sudah serak
karena terlalu banyak melontarkan ancaman yang sama
sekali tidak ditanggapi Palguna. Karena cekaman rasa takut yang memuncak akan
terjadinya sesuatu yang mengerikan, tanpa sadar tetes-tetes air bening menggulir
turun di pipinya yang putih.
Meskipun suasana remang-remang, tapi Palguna
tentu saja melihat. Hatinya pun semakin gembira. Memang aneh watak orang-orang
jahat. Dia akan senang melihat orang lain menderita. Semakin besar penderitaan
yang dialami orang lain, semakin gembira hatinya.
Mendadak gerakan tangan Palguna terhenti. Ke-
palanya pun menoleh ke belakang. Sikapnya tampak
waspada sekaii, karena mendengar adanya suara mencurigakan di belakangnya.
Melati yang sama sekali tidak mendengar apa pun
karena tenggelam oleh rasa takut yang menggelegak,
mencoba memasang pendengarannya. Padahal, air matanya masih menganak sungai di
pipinya. Palguna benar! Ada seseorang yang berada di luar
kamar. Mudah-mudahan saja, orang itu bukan kawan
Palguna. Itu harapan Melati. Mendadak saja terlintas dugaan di benaknya. Apakah
orang yang berada di luar kamar itu adalah orang yang telah mengirim pesan
untuknya" "Keparat...! Berarti kau mempermainkan aku, Pe-
ngecut...!"
Palguna yang merasa geram karena kesenangannya
terganggu, membentak keras seraya bangkit berdiri. Dia lalu melangkah keluar
ruangan dengan sikap hati-hati.
Tapi sebelum berhasil ke ambang pintu, dari balik
dinding sebelah kanan melesat sesosok bayangan. Cepat bukan main gerakannya.
Sehingga ketika melewati pintu, hanya berupa sekelebat bayangan hitam saja.
"Hei...!"
Palguna segera melesat mengejar. Tapi, ternyata sosok bayangan itu memiliki
gerakan gesit. Sehingga, dalam beberapa kali lesatan saja, sudah lenyap di
keremangan rumah itu.
"Keparat...!" maki Palguna dengan kegeraman yang tampak jelas dalam suaranya.
Dengan obor di tangan,
kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari-cari sosok bayangan hitam tadi.
Mendadak langkah pemuda itu terhenti ketika teringat sesuatu. Melati! Jangan-
jangan sosok bayangan itu telah menipunya, kemudian membawa lari tahanannya.
Mendapat dugaan seperti itu, membuat Palguna
khawatir bukan kepalang. Buru-buru tubuhnya berbalik dan melesat kembali ke
kamarnya. *** Palguna tiba di ambang pintu kamarnya bertepatan
dengan melompat masuknya sosok bayangan hitam dari
jendela. Dugaan pemuda berpakaian mewah itu ternyata benar!
Rupanya, sosok bayangan hitam tidak menyangka
kalau Palguna akan kembali secepat itu. Terbukti, dia kelihatan kaget bukan
kepalang. Meskipun tidak tampak jelas karena wajahnya dipenuhi coreng-moreng
arang hitam, tapi dari langkahnya yang secara mendadak berhenti, tampak jelas
perasaan kaget bagai melanda hatinya.
Begitu melihat sosok bayangan hitam itu, tanpa
membuang-buang waktu lagi. Palguna segera meng- hentakkan kedua kepalannya ke depan. Langsung di-
lepaskannya serangan pukulan jarak jauh.
Wuttt...! Deru angin keras mengiringi tibanya serangan pukulan itu. Bisa diperkirakan kuatnya tenaga yang terkandung dalam serangan Palguna ini.
Sosok tubuh berwajah coreng-moreng yang menilik
dari bentuk tubuhnya adalah seorang laki-laki, rupanya juga bisa memperkirakan
kedahsyatan serangan itu. Hal ini bisa dilihat dari ketidakberaniannya memapak
pukulan jarak jauh itu dengan pukulan jarak jauh pula. Bahkan tubuhnya malah
dilempar ke samping dan bergulingan.
Dengan mengelaknya laki-laki berwajah coreng moreng itu, maka serangan pukulan jarak jauh Palguna terus meluncur ke belakang,
jendela yang memang tepat di
belakang laki-laki berpakaian hitam itu kontan terhantam.
Brakkk...! Jendela itu kontan hancur berantakan mengeluarkan
suara hiruk pikuk memekakkan telinga.
Baik Palguna maupun laki-laki berwajah penuh
coreng-moreng itu sama sekali tidak sempat memper-
hatikannya. Palguna begitu melihat serangannya berhasil die-
lakkan, segera saja menyusulnya dengan serangan berupa pukulan bertubi-tubi ke
arah dada dan ulu hati lawan. Jelas, kalau dia berkeinginan untuk secepatnya
merobohkan lawan.
Laki-laki berpakaian hitam itu tidak punya pilihan
lain lagi, kecuali menangkis. Memang pada saat itu, dia baru saja bangkit dari
bergulingnya. Tidak ada lagi kesempatan mengelak baginya.
Plak, plak, plak...!
Keras bukan main ledakan yang terjadi akibat ber-
adunya dua pasang tangan yang sama-sama memiliki tenaga dalam tinggi. Tubuh
kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. Ternyata,
tenaga dalam kedua orang itu berimbang.
Palguna menggeram menyadari kalau lawan mampu
menandingi tenaga dalamnya. Padahal, tadi seluruh tenaga yang dimilikinya telah
dikerahkan. Apalagi, saat itu hatinya tengah dilanda perasaan amarah yang
menggelora. Tapi secepat kedudukannya diperbaiki, secepat itu
pula Palguna melompat menerjang lawan.
Sadar akan ketangguhan lawan, tanpa ragu-garu lagi
Palguna mengeluarkan senjata andalan dari pinggang,
sebuah ruyung berbatang tiga. Dan dengan senjata itu di tangan dia meluruk ke
arah laki-laki berpakaian hitam itu.
Kali ini pemuda berpakaian mewah itu kalah cepat.
Laki-laki berwajah coreng-moreng itu telah lebih dulu lari meninggalkannya. Dia
melesat kabur, melalui jendela yang telah
hancur berantakan. Rupanya begitu tubuhnya terhuyung karena benturan tadi, laki-laki berpakaian hitam itu memanfaatkannya
untuk melesat kabur dari situ.
Palguna segera berkelebat menyusul ke arah jendela.
Dan dengan sikap waspada, kepalanya dilongokkan keluar.
Ditelusurinya suasana di bawah sana dengan pandangan matanya. Tapi sampai lelah
pandangannya beredar, hanya kesunyian yang dilihatnya. Tak terlihat sepotong
makhluk pun di bawah sana.
Dengan wajah masih
menampakkan kemarahan hebat, Palguna melangkah meninggalkan jendela. Dahinya berkemyit dalam
memikirkan laki-laki berwajah coreng-moreng tadi. Siapakah sebenarnya laki-laki
yang ternyata lihai itu" Mengapa berada di sini" Dan mengapa hendak
menyelamatkan tahanannya" Mengapa dia melatikan diri, padahal hanya baru
bertarung segebrakan saja" Bukankah jika bertarung sungguhan belum tentu kalah"
Berbagai macam pertanyaan bergayut di benak Palguna.
Dan dengan kepala masih dipenuhi berbagai macam
pertanyaan, Palguna menghempaskan pantatnya di pembaringan, setelah menyimpan kembali ruyungnya di
pinggang. Dibiarkan saja Melati terbaring di lantai.
Keinginannya untuk memperkosa gadis berpakaian
putih itu telah berkurang banyak, karena adanya gangguan yang sama sekali tidak
disangka-sangka. Palguna khawatir, laki-laki berpakaian hitam itu datang lagi di
saat dirinya lengah. Dan bila itu terjadi, mungkin dirinya akan celaka.
Laki-laki berwajah coreng-moreng itu terbukti memiliki kepandaian seimbang
dengannya. Dalam keadaan biasa pun, Palguna tidak yakin akan
bisa mengalahkan laki-laki berwajah coreng-moreng. Apalagi, kalau dirinya berada
dalam keadaan lengah.
Itulah sebabnya, kini Palguna tidak mengganggu
Melati. Pemuda berpakaian mewah itu sibuk berjaga-jaga terhadap kedatangan laki-
laki berpakaian hitam yang luar biasa.
Kini Palguna tidak tidur. Dia duduk di atas pem-
baringan, bersikap waspada. Sementara benaknya masih dipenuhi berbagai
pertanyaan mengenai laki-laki berwajah coreng-moreng tadi.


Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

4 Palguna merasa waktu begitu lama sekali berlalu.
Seolah-olah, malam begitu lambat seperti seekor keong merayap. Pemuda itu
berusaha keras untuk tidak tertidur, atau berbuat tidak senonoh terhadap Melati
Hal itu mau tidak mau harus dilakukan Palguna,
karena kekawatirannya atas kedatangan laki-laki berpakaian hitam yang tangguh.
Bukan hanya Palguna saja yang tidak ingin tertidur.
Melati pun demikian pula. Gadis berpakaian putih itu tengah menunggu jalan
darahnya lancar sendiri. Tapi untuk tidak membuat curiga, matanya dipejamkan
agar disangka tidur.
Sedikit demi sedikit Melati merasakan jalan darah
yang tertotok mulai bebas. Hanya memakan waktu yang tidak begitu lama lagi,
gadis itu akan kembali bebas seperti sediakala.
Namun harapan Melati kandas. Palguna rupanya
bukan orang bodoh. Dia tahu pengaruh totokan itu lama-kelamaan akan punah
sendiri. Apalagi kalau yang ditotok adalah orang seperti Melati yang memiliki
tenaga dalam tinggi.
Pemuda berpakaian mewah itu bangkit dari pem-
baringannya dan kembali menotok Melati, baru kemudian kembali ke pembaringan
lagi dan bersikap waspada.
Palguna sama sekali tidak menggunakan kesempatan
itu untuk berbuat tidak senonoh terhadap Melati. Dan khawatir akan terlupa,
sehingga laki-laki berwajah coreng-moreng muncul, dan langsung menyerangnya.
Tidak bisa dibayangkan, betapa dongkolnya hati
Melati ketika Palguna kembali menotoknya. Usahanya pun dihentikan untuk
membebaskan pengaruh totokan itu
dengan tenaga dalamnya. Dalam kungkungan rasa kesal itu, Melati memejamkan
matanya. Dia bermaksud tidur saja.
Tak lama kemudian, terdengar desahan halus napas
Melati ketika tertidur.
Palguna hanya dapat mengawasi dengan perasaan
dongkol melihat tahanannya dapat tertidur nikmat. Sedangkan dirinya sibuk berjaga-jaga terhadap kemunculan laki-laki berwajah
coreng-moreng itu. Berkali-kali dalam penantiannya, pemuda berpakaian mewah itu
memaki sejadi-jadinya.
Tapi sampai matahari muncul di ufuk Timur dan
sorotnya yang lembut menyinari mayapada ini, laki-laki berwajah coreng-moreng
itu sama sekali tidak muncul batang hidungnya.
Karuan saja hal ini membuat Palguna kian bertambah
geram. Sejak malam hingga pagi, matanya turus dipasang dengan kewaspadaan tidak
pernah kendur. Tapi orang yang ditunggu-tunggunya
sama sekali tidak datang. Maka, jengkelnya tidak bisa diperkirakan lagi.
Bukan hanya itu saja. Sejak malam tadi, beberapa
kali ludahnya harus ditelan melihat tubuh molek menggiurkan tertidur pulas di
lantai. Melati seperti sengaja menantangnya! Dada gadis berpakaian putih itu
terlihat turun naik dalam helaan napas yang teratur sewaktu tidur.
Perlahan-lahan Melati membuka sepasang kelopak
matanya setelah terlebih dahulu mengerjap-ngerjapkannya.
Melihat gadis berpakaian putih itu telah bangun.
Palguna lalu melompat turun dari pembaringan. Dijumputnya sebuah rantai baja
yang tebal dan kelihatan kuat, yang terletak di bawah pembaringan.
Rantai baja itu berjumlah dua julur. Panjang masing-
masing hampir mencapai setengah tombak. Dan pada ujung-ujung rantai, terpasang
gelang-gelang yang juga terbuat dari baja tebal dan terlihat kuat.
Dengan sikap kasar, Palguna memasangkan gelang-
gelang baja itu pada pergelangan tangan dan kaki Melati.
Baru setelah itu totokan pada gadis itu dilepaskan.
Melati hanya bisa memaki-maki dalam hati. Dia sudah
bosan melakukannya. Suaranya telah serak dan tenggorokannya terasa sakit-sakit karena terlalu banyak memaki. Dan gadis
berpakaian putih itu tidak mau
menambah penderitaannya dengan memaki-maki Palguna
kembali. "Bangun, Wanita Sial!" seru Palguna keras seraya menarik tangan Melati kasar.
"Laki-laki pengecut...!" Melati akhirnya tidak kuat lagi menahan kemarahan yang
melonjak-lonjak dalam dada.
"Kalau kau benar laki-laki, bebaskan aku! Dan kita bisa bertarung sampai ada
yang mati!"
"Kau kira bisa membodohiku dengan kata-kata usang itu, Wanita Liar"!" sindir
Palguna sinis. Perasaan tegang sewaktu berjaga-jaga terhadap kedatangan laki-laki berwajah coreng-moreng, dan rasa jengkel, membuatnya tidak
bisa menyambut ucapan Melati dengan kata-kata bernada ejekan dan penuh tawa.
Melati terdiam mendengar sambutan itu.
"Kau tahu, Wanita Sial. Aku akan menggunakanmu
untuk memancing kedatangan Dewa Arak! Tokoh sombong
itu telah berhutang nyawa padaku! Dan, nyawanyalah
sebagai tebusannya! Dengan adanya kau di tanganku, tidak sulit menaklukkan Dewa
Arak!" jelas Palguna.
"Kau memang manusia pengecut, Palguna! Orang
sepertimu tidak pantas menjadi manusia. Tapi lebih pantas sebagai anjing kurap!"
maki Melati keras.
"Tutup mulutmu, Wanita Liar!" bentak Palguna, keras.
"Kalau tidak mau menutup mulutmu juga, kau akan kutelanjangi!"
Merah padam wajah Melati seketika mendengar
ancaman yang tidak senonoh itu. Tapi, rupanya ancaman itu cukup ampuh. Terbukti
gadis berpakaian putih itu tidak berkata-kata lagi ketika Palguna menyeretnya
keluar. Rupanya bangunan megah yang terlihat tua itu
banyak menyimpan peralatan Palguna. Dari dalam gudang, dikeluarkan sebuah kereta
yang ditarik dua ekor kuda.
Dengan kasar, Palguna menarik Melati masuk ke
dalam kereta kuda. Sementara, dia sendiri duduk di depan, di bangku kusir.
Khawatir kalau gadis berpakaian putih itu bertindak macam-macam, pemuda
berpakaian mewah itu
telah kembali menotok lumpuh Melati.
"Hiya...! Hiyaaa...!"
Palguna melecutkan cambuknya ke pantat dua ekor
kuda ttu. Seketika itu juga binatang itu mulai bergerak menarik kereta.
Tanpa diketahui Palguna, di atas atas gerobak itu
nampak tertelungkup sesosok tubuh berpakaian hitam.
Menilik dari kedua telapak tangannya yang dirapatkan pada atap kereta, bisa
diperkirakan kalau tenaganya dikerahkan agar tidak terbanting jatuh. Apalagi,
bila jalan yang dilalui buruk.
5 Seorang pemuda tampan berambut putih keperakan
dan berpakaian ungu melangkah perlahan melalui jalan utama Desa Gede. Sebuah
guci arak terbuat dari perak tersampir di punggungnya. Menilik dari ciri-
cirinya, sudah bisa ditebak sosok pemuda berambut putih keperakan itu.
Siapa lagi kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak.
Desa Gede ternyata terhitung sebuah desa ramai,
meskipun saat itu hari sudah agak siang. Jalan utama desa ini banyak dilalui
orang-orang lalu lalang. Setiap orang yang melihat Arya Buana selalu akan
menoleh dengan kening berkemyit dalam. Rupanya, mereka merasa heran melihat
seorang pemuda sudah memiliki warna rambut demikian.
Tapi Arya Buana sendiri berpura-pura tidak tahu.
Dengan sikap tidak peduli dia terus saja melangkah. Sempat juga terdengar bisik-
bisik dari orang-orang yang menilik gerak-geriknya adalah orang-orang yang cukup
memiliki ilmu silat.
Pelan saja. Tapi karena pendengaran pemuda berpakaian ungu ini memang luar biasa tajam, bukan hal yang aneh bila ucapan itu
bisa didengarnya.
"Mungkinkah dia itu Dewa Arak..."!" sebuah suara parau dari mulut seorang laki-
laki bergigi tonggos terdengar.
"Kalau melihat ciri-ciri, tidak salah. Tapi mungkinkah orangnya semuda itu?"
jawab kawannya. Dia pemuda berwajah hitam.
"Tapi menurut berita yang kudengar, Dewa Arak
memang seorang pemuda...," bantah laki-laki bergigi tonggos lagi
Hanya itu ucapan terakhir yang terdengar Arya
Buana. Itu pun hanya samar-samar saja. Ucapan selanjutnya tidak tertangkap
telinganya lagi Memang, seiring semakin menjauhnya
Dewa Arak dari orang yang mempercakapkannya, suara itu dengan sendirinya semakin tidak terdengar.
Pemuda berpakaian ungu itu terus saja melangkah.
Sehingga, semakin lama semakin menjauhi tempat orang yang mempercakapkannya.
"Tuan Dewa Arak...!"
Panggilan keras dari arah samping membuat Arya
Buana menolehkan kepala tanpa sadar. Suara itu terdengar kecil dan melengking.
Jelas, orang yang mengeluarkan suara itu adalah seorang lelaki yang belum
dewasa. Dari depan sebuah kedai, tampak berlari-lari seorang anak lelaki. Paling banyak,
usianya baru dua belas tahun.
Pakaiannya kumal dan lusuh. Jelas, kalau dia bukan berasal dari keluarga berada.
Arya Buana tidak melanjutkan langkahnya, dan
hanya berdiri diam menunggu kedatangan anak itu. Ingin diketahui,
mengapa anak itu memanggilnya. Adalah merupakan sebuah hal yang mengherankan kalau seorang anak bisa mengenal
julukannya. Dari manakah anak itu mengetahuinya" Apakah orang tua anak itu
adalah seorang tokoh persilatan yang telah mendengar julukannya" Macam-macam
pertanyaan bergayut di benak Dewa Arak.
Tak lama kemudian, anak berpakaian kumal itu telah
berada di dekat Arya Buana. Napasnya terdengar agak
terengah. "Ada apa?" tanya pemuda berpakaian ungu dengan suara dibuat sepelan mungkin,
agar anak itu tidak menjadi takut.
"Apakah, Tuan Dewa Arak?" tanya anak lelaki berpakaian kumal itu. Sepasang
matanya tertuju pada
rambut Arya Buana.
"Benar," jawab Arya Buana sambil menganggukkan kepala. "Kau siapa, Anak Baik"
Dan dari mana tahu julukanku?"
"Namaku Jumadi."
"Jumadi" Nama yang bagus," puji Dewa Arak. "Nah, Jumadi. Sekarang katakan, dari
mana kau tahu julukanku?"
"Dari orang yang menyuruhku menitipkan ini," jawab Jumadi polos sambil
menyerahkan segulungan kain pada Arya Buana.
Pemuda berpakaian ungu itu segera menerima angsuran gulungan kain dengan dada berdebar tegang.
Tanpa melihat pun sudah bisa diketahui kalau di dalam gulungan kain itu terdapat
pesan. Entah permohonan
pertolongan, tantangan, atau ancaman.
"Terima kasih, Jumadi," ucap Dewa Arak ketika gulungan kain itu telah
diterimanya. Kemudian Dewa Arak menjumput uang yang ada di
buntalan kainnya. Lalu, diberikannya pada bocah lelaki itu.
"Ini untukmu."
"Maaf, Tuan Dewa Arak. Aku tidak bisa meneri-
manya," tolak Jumadi sopan.
"Heh..."! Kenapa?" Sepasang alis Arya Buana hampir bertautan.
"Orang yang menitipkan itu telah memberi upah
padaku." "Kalau kau tidak mau menerima uang ini, aku pun tidak mau menerima gulungan kain
ini," gertak pemuda berpakaian ungu itu seraya mengangsurkan gulungan kain
kembali. Jumadi kebingungan sejenak, sebelum akhirnya
mengulurkan tangan menerimanya.
"Terima kasih, Tuan," ucap bocah lelaki berbaju lusuh itu.
Arya Buana hanya tersenyum. Dan dengan dada
berdebar tegang, dibukanya gulungan kain itu, dan langsung dibaca isinya.
Sedangkan Jumadi yang rupanya tahu diri, segera beranjak meninggalkan pemuda
berambut putih keperakan itu. Dewa Arak.... Melati, kekasihmu ada di tanganku. Silakan datang untuk mengambilnya, bila kau
menginginkan dia selamat. Aku menunggumu di Lembah Malaikat.
"Melati...," desah Dewa Arak.
Seketika perasaan Arya Buana resah karena khawatir
akan keselamatan kekasihnya. Berbagai macam dugaan
berkecamuk dalam benaknya. Benarkah Melati ditawan orang yang bertempat tinggal
di Lembah Malaikat" Dan di manakah gerangan letak Lembah Malaikat"
Arya Buana menggerakkan jari-jari tangannya me-
remas gulungan kain itu. Kontan kain itu hancur berkeping-keping, mengeluarkan
suara gemerisik pelan. Karena, Arya Buana mengerahkan tenaga pada remasannya.
"Jumadi! Tunggu sebentar...!"
Jumadi yang telah berjalan sekitar lima tombak,
menghentikan langkah dan menoleh.
Hanya sekali langkah, Dewa Arak telah berada di
hadapan Jumadi.
"Kau tahu, siapa orang yang mengirimkan pesan ini untukku?"
tanya Arya Buana tanpa mempedulikan

Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keheranan bocah berpakaian lusuh itu. Rupanya, Jumadi merasa heran melihat hanya
dengan sekali langkah pemuda berpakaian ungu itu telah berada di hadapannya.
Jumadi menggelengkan kepala.
"Bisa kau beritahukan ciri-cirinya?" desak pemuda berambut putih keperakan itu.
Dewa Arak memang ingin mengetahui, siapa sebenarnya orang yang telah mampu
menyandera Melati.
Jumadi mengernyitkan dahinya dalam usaha mengingat-ingat orang yang telah mengirimkan pesan itu untuk Dewa Arak.
"Orangnya masih muda, Tuan.... Tampan, berkulit putih, dan berpakaian mewah...."
Sepasang alis Dewa Arak hampir bertautan men-
dengar ciri-ciri yang disebutkan bocah berpakaian lusuh itu.
Arya Buana mencoba mengingat-ingat, barangkali saja
pernah bertemu orang yang dimaksud. Tapi sampai lelah mengingat, diyakininya
kalau tidak pernah bertemu orang itu sebelumnya.
"O, ya, Tuan.... Masih ada lagi titipan untuk Tuan."
Sambil berkata demikian, Jumadi yang rupanya baru
teringat mengambil sesuatu dari balik bajunya. Kemudian, diangsurkannya pada
Dewa Arak. Wajah Arya Buana langsung berubah ketika melihat
benda yang dipegang Jumadi. Dewa Arak kenal betul pemilik benda yang ternyata
adalah sebuah pita yang berujung bunga melati. Itu adalah hiasan yang tergantung
di pedang Melati!
Tidak salah lagi! Kekasihnya telah ditawan!
Dengan tangan agak gemetar, Dewa Arak mengambil
pita berwarna merah yang di ujungnya tergantung bunga melati. Ditatapnya bunga
itu beberapa saat lamanya.
Berbagai macam perasaan bercampur aduk dalam hati
pemuda berambut putih keperakan itu. Rasa rindu, cemas, dan marah bercampur aduk
menjadi satu. "Apakah orang itu memberitahukan padamu, di mana letaknya Lembah Malaikat itu,
Jumadi?" tanya Arya Buana Jumadi menganggukkan kepala pertanda membe-narkan.
"Orang itu memang memberitahukannya. Lembah
Malaikat terletak di Bukit Jambul. Tuan tahu letaknya?"
Arya Buana menggelengkan kepala. Dan memang,
sebenarnya dia tidak tahu letak Bukit Jambul itu.
"Orang yang menitipkan pesan mengatakan. Tuan
harus melakukan perjalanan ke arah Timur. Lama perjalanan ke sana, selama satu
hari menunggang kuda. Bukit itu akan tampak dari kejauhan, Tuan. Warnanya putih.
Begitulah keterangan yang diberikan orang itu."
Arya Buana mengernyitkan kening. Sungguh tidak
diduga kalau perjalanan menuju Lembah Malaikat cukup jauh juga.
"Terima kasih, Jumadi."
Setelah berkata demikian, Arya Buana membalikkan
tubuhnya dan melangkah meninggalkan tempat ini. Dalam keinginannya
untuk segera tiba dan menyelamatkan kekasihnya, pemuda berpakaian ungu itu langsung mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh. Hanya sekali langkah saja, Dewa Arak
telah berada dalam jarak sebelas tombak dari tempatnya semula.
"Wahhh...!"
Jumadi berseru takjub. Sepasang matanya terbelalak
lebar ketika melihat dalam sekejapan saja, tubuh Dewa Arak telah mengecil
menjadi sebesar kepalan tangan. Kemudian, akhirnya lenyap ditelan kejauhan.
Bukan hanya Jumadi saja yang terperanjat. Orang-
orang yang kebetulan melihat pun berdecak penuh kagum.
*** Arya Buana melakukan perjalanan cepat. Dia hanya
menghentikan larinya apabila kedua kakinya telah tidak kuat lagi melangkah.
Karena melakukan perjalanan seperti itu, maka
keesokan harinya Dewa Arak telah memasuki mulut sebuah desa yang terletak dekat
Lembah Malaikat.
Dengan rambut kusut masai, dan kedua kaki yang
terasa lelah bukan kepalang, pemuda berpakaian ungu itu melangkah perlahan
memasuki sebuah kedai.
Arya Buana tertegun di ambang pintu kedai ketika
melihat suasana kedai yang sepi. Beberapa buah meja dan kursi yang terdapat di
situ, tampak kosong dari pengunjung.
Hanya ada seorang pengunjung kedai yang tengah sibuk menyantap makanan.
Dia adalah seorang kakek yang memiliki kumis dan
jenggot sedikit, tapi berwarna putih. Rambutnya panjang dan berwarna putih pula.
Pakaiannya longgar, dan berwarna coklat.
Rupanya kakek berpakaian coklat itu mengetahui
pula, kedatangan Dewa Arak. Buktinya, perhatian pada santapannya dialihkan.
Kemudian kepalanya terdongak.
Terkesiap hati Arya Buana ketika melihat sepasang
mata kakek berpakaian longgar itu. Yang mencorong tajam, berwarna kehijauan.
Mirip mata seekor kucing dalam gelap.
Dari sepasang mata itu saja, sudah bisa diperkirakan kalau kakek itu bukan orang
sembarangan. Dia adalah tokoh yang memiliki
kepandaian tinggi. Sorot mata yang tajam mencorong itu telah membuktikannya.
Tapi hanya sesaat saja dua pasang mata yang sama-
sama tajam mencorong itu bertemu. Karena, Arya Buana telah beranjak menuju
sebuah meja kosong. Sedangkan
kakek berpakaian coklat itu telah disibukkan kembali oleh makanannya.
"Akan pesan apa, Den?" tanya seorang kakek kecil kurus berjenggot panjang sopan.
Rupanya dia pemilik kedai itu.
"Arak seguci besar dan ayam panggang," sebut Arya Buana.
Kakek kecil kurus itu melangkah ke dalam untuk
mempersiapkan pesanan Dewa Arak.
Sambil duduk menanti pesanannya, Arya Buana
mengedarkan pandangan berkeliling. Tapi, kembali pandangannya tertumbuk pada sepasang mata yang mencorong tajam dari kakek berpakaian coklat.
Anehnya, begitu pandangan mereka bertemu, kakek
berpakaian coklat longgar itu menundukkan kepala. Rupanya, Pendekar Pedang Dari Bu Tong 10 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kisah Para Pendekar Pulau Es 6
^