Pencarian

Perkawinan Berdarah 1

Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Bagian 1


Salahhh kamarrrrrr
PERKAWINAN BERDARAH
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku lnl tanpa izin tertulis dari penerbit Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Perkawinan Berdarah
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Sang surya mulai tenggelam di ufuk Barat. Sinarnya
yang kuning keperakan, membias dan menerobos pohon-
pohon. Angin sepoi-sepoi menerpa kulit. Saat itu, tampak dua sosok tubuh tengah
berlari cepat, mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Yang seorang adalah pemuda berambut putih keperakan. Bajunya yang
berwarna ungu, tampak berkibaran ketika dia berlari.
Yang seorang lagi adalah gadis cantik berbaju putih.
Rambutnya panjang terurai, semakin menambah kecantikannya. Kedua orang itu tampak menuruni Bukit
Siluman. "Melati...," panggil pemuda berambut putih keperakan itu, membuka pembicaraan
tanpa menghentikan larinya.
"Hm...,"
gumam gadis yang ternyata Melati, menyambuti panggilan
pemuda tampan yang ternyata
memang Arya Buana atau lebih dikenal berjuluk Dewa Arak.
"Mengapa kau berada di sini" Apakah kau batal ke
Istana Kerajaan Bojong Gading?" tanya Arya yang merasa tidak yakin kalau Melati
telah kembali dari Istana Kerajaan Bojong Gading secepat itu.
"Hhh...!" Melati menghela napas berat. "Lima orang yang mengaku pasukan khusus
Kerajaan Bojor Gading
ternyata penipu-penipu, Kang! Mereka bermaksud membunuhku..."
"Apa"!"
sentak Arya kaget, dan langsung menghentikan lari cepatnya. Melati pun juga menghentikan larinya. Dewa Arak
menatap dalam-dalam wajah kekasihnya.
"Mengapa bisa begitu, Melati?"
"Aku pun tidak tahu, Kang," sahut putri angkat Raja Bojong Gading itu sambil
menggelengkan kepala.
Kemudian secara singkat semua peristiwa yang
dialami diceritakannya. Dewa Arak tampak mendengarkan
penuh perhatian.
"Sayang...,
sebelum aku sampai mengetahui dalangnya, mereka semua keburu bunuh diri," tutur Melati mengakhiri ceritanya.
"Yahhh...! Baiklah nanti kita selidiki bersama," janji Arya.
"Benar, Kang. Sekarang kita harus menyelesaikan
dulu urusan yang tertunda..., mengunjungi Perguruan
Pedang Ular untuk menghadiri pesta pernikahan Karmila dan Rupangki."
Arya menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"O ya, Kang. Kau belum menceritakan padaku
mengapa sampai bisa tertawan tokoh-tokoh yang menggiriskan itu," pinta Melati.
Arya menarik napas panjang dan menghembuskannya
kuat-kuat. Kemudian secara singkat tapi jelas semua
kejadian itu diceritakan pada kekasihnya yang mendengarkan penuh perhatian.
Tapi Dewa Arak tidak menceritakan semuanya. Tentu
saja pertemuan dengan gurunya di dalam mimpi tidak
diceritakan, karena Arya masih belum yakin dengan kejadian yang dialaminya
(Untuk jelasnya silakan baca Serial Dewa Arak, dalam episode "Dalam Cengkeraman
Biang Iblis").
Suasana hening menyelimuti keadaan tempat itu
ketika Arya menghentikan cerita. Sedangkan Melati tidak mengajukan
pertanyaan. Kini mereka melanjutkan, perjalanan kembali. Seorang pun tak ada yang berbincang-bincang lagi.
"Kang...," sebut Melati memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.
"Ada apa, Melati?" tanya Arya sambil menoleh. Dewa Arak agak heran melihat
Melati menahan ucapannya, dan
seolah-olah merasa ragu untuk melanjutkannya.
"Nggg...."
"Katakanlah, Melati. Ada apa" Tidak usah malu-
malu," desak Arya ketika Melati tetap belum meneruskan ucapan setelah ditunggu
beberapa saat lamanya.
"Nggg.... Tidak jadi ah, Kang...."
"Lho..."!" Arya tercengang. "Aneh! Katakanlah, Melati.
Ada apa sebenarnya"!"
"Tidak ada apa-apa, Kang. Sungguh!" sahut Melati mencoba meyakinkan hati Dewa
Arak. "Kalau kau tidak mau memberitahukannya, aku tidak akan melanjutkan perjalanan
ini," gertak Arya.
"Silakan," tantang Melati sambil tersenyum.
"Baik kalau itu maumu, Melati," sambut Arya pura-pura bersikap sungguh-sungguh.
Dewa Arak tahu kalau Melati tengah menggodanya.
Maka hal itu diladeninya dengan senang hati. Tidak ada sesuatu yang paling
menyenangkan Arya kecuali kalau Melati menggodanya.
Dan saat seperti inilah yang paling ditunggunya, karena Melati jarang sekali mau menggodanya.
Usai berkata demikian, Arya menghentikan larinya
kembali. Melati pun demikian pula. Dan kini mereka berdiri berjajar, dengan
pandangan tertuju lurus ke depan.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena Melati
kemudian sudah berbalik. Kini, tubuhnya menghadap ke
kanan. Arya masih membiarkannya. Bahkan masih memasang wajah dan sikap sungguh-sungguh, seakan akan
benar-benar marah pada kekasihnya.
Ketika beberapa saat lamanya menunggu namun
tidak ada gerakan sedikit pun di sebelahnya, Arya jadi khawatir juga. Hatinya
cemas kalau Melati benar-benar
marah. Tanpa sepengetahuan Melati, tiba-tiba Dewa Arak
melesat ke atas dan hinggap di atas pohon yang menaungi mereka. Karena ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai tingkat tinggi, maka sedikit pun tak ada
suara yang terdengar. Melati yang tidak tahu sama sekali kalau Arya sudah
tidak ada di sampingnya, tiba-tiba berbalik menghadap Dewa Arak. Alangkah
terkejutnya Melati, karena Dewa Arak sudah tidak ada lagi.
"Kang..,!" teriak Melati.
Hati gadis itu jadi cemas, karena menyangka kalau
Arya marah padanya, lalu pergi dari situ.
"Kang...!" panggil Melati lagi.
Melati makin cemas. Dan ketika akan beranjak dari
situ, tiba-tiba....
"Hai! Aku di sini!"
Arya berseru mengejutkan Melati sambil menepuk
bahu kanan gadis itu. Tentu saja tidak keras-keras. Dan seperti yang sudah
diduga, Melati terjingkat kaget sambil memekik kecil.
"Ha ha ha...!"
Arya tertawa terbahak-bahak karena kekagetan kekasihnya. Tawa yang keluar dari perasaan hati yang benar-benar gembira.
Memang, hanya bila saat-saat seperti inilah Arya benar-benar merasa gembira.
Alam yang dilihatnya
selalu terasa lebih indah. Matahari, angin, langit, pohon-pohon dan apa pun yang
dilihatnya selalu jauh lebih indah bila ada Melati di dekatnya.
"Kau terlalu, Kang...!" rungut Melati.
Raut wajah gadis itu kelihatan marah. Tapi dari sinar
di matanya, tampak jelas kalau dia tidak marah. Melati memberengut hanya ketika
melihat Arya yang terus saja
tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Ayo. Cepat katakan, Melati. Apa yang tadi ingin
dibicarakan?"
desah Arya ketika telah menghentikan tawanya. "Tidak akan kukatakan!" dengus Melati, manja.
"Kalau kau tidak mau mengatakannya, aku akan
menggelitikmu sampai mau mengatakannya," ancam Arya.
"Ayo, cepat. Kuberi kau waktu sampai tiga hitungan "
Sambil berkata demikian, Dewa Arak melangkah
mendekati Melati dengan tangan yang telah siap membuktikan ancamannya.
"Satu.... Dua.... Ti...."
"Baiklah," kata Melati terpaksa mengalah ketika Arya telah menghitung hampir
sampai pada hitungan ketiga.
Arya tersenyum lebar ketika akhirnya berhasil juga
memaksa Melati untuk mengutarakan ucapannya. Sementara itu, Melati hanya
menundukkan kepalanya.
"Aku lapar, Kang...," ucap gadis berpakaian putiti itu.
Pelan sekali suaranya. Mungkin kalau Arya tidak memiliki pendengaran tajam,
pasti tidak akan mendengarnya.
Melati mengira Arya akan tertawa geli mendengar
ucapannya. Tapi, ternyata pemuda berambut putih keperakan itu malah tersentak kaget Bahkan seruan
keterkejutannya keluar dari mulutnya.
"Mengapa tidak kau katakan sejak tadi. Melati. Ah!
Aku memang keterlaluan! O, ya. Katakan, apa yang kau
inginkan" Ayam panggang" Kelinci" Kijang..." Katakan saja.
Nanti di hutan depan kita akan kucarikan untukmu."
Melati mengangkat wajahnya.
"Aku ingin gajah, Kang," goda Melati lagi.
"Hahhh"! Gajah"!" Arya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, "Kau memang
harus digelitiki. Biar tidak seenaknya menggoda orang, Melati."
Tapi sambil tertawa terkikik Melati berlari mening-
galkan Arya menuju hutan yang terletak tak begitu jauh lagi di depan mereka.
Sementara Arya mengejar di belakangnya.
Sesaat kemudian, tubuh sepasang muda-mudi ini sudah
saling kejar-mengejar.
*** Matahari telah cukup-lama muncul di ufuk Timur.


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinarnya sudah tidak begitu lembut !agi. Saat itu, pagar kayu yang melingkupi
Perguruan Pedang Ular telah terlihat Dewa Arak dan Melati.
"Itu markas Perguruan Pedang Ular, Melati," jelas Arya sambil menudingkan jari
telunjuk ke arah bangunan yang terletak belasan tombak di hadapan mereka.
Melati hanya menganggukkan kepala.
"Sepertinya sudah ada keramaian di sana, Kang?"
tanya Melati pelan.
Sepasang mata gadis itu menatap ke arah pintu
gerbang Perguruan Pedang Ular yang terbuka lebar dan
diperindah berbagai macam hiasan yang beraneka warna.
"Yahhh...!" sambut Arya setengah mendesah.
Memang, Dewa Arak juga telah melihat adanya
keramaian di sana. Bahkan sayup-sayup telinganya mendengar suara riuh rendah yang berasal dari bangunan perguruan.
"Alangkah bahagianya Rupangki dan Karmila...,"
desah Melati pelan. Sepasang matanya yang indah tampak menerawang ke atas,
sekan-akan ada sesuatu yang tengah dicarinya di sana.
Arya menoleh. Sepertinya ada perasaan iri yang
menyeruak di dalam ucapan gadis berpakaian putih itu.
"Bukan hanya kau saja yang merasa iri pada mereka, Melati. Tapi juga aku. Tapi,
yahhh...! Apa mau dikata" Inilah kenyataan yang harus dihadapi. Tapi,
percayalah. Saat untuk kita pasti akan datang."
Suasana menjadi hening sejenak begitu Dewa Arak
menghentikan ucapan. Apalagi, Melati juga tidak menyahutinya lagi. Kini mereka meneruskan langkah tanpa berkata-kata lagi.
Ketika jarak antara Arya dan Melati telah mencapai
sembilan tombak dari pintu Perguruan Pedang Ular, dua
orang penjaga pintu gerbang rupanya telah mengenalinya.
Salah seorang dari mereka tampak bergegas masuk ke dalam.
Sedangkan yang seorang lagi bergegas menyambut kedatangan Dewa Arak dan Melati.
"Dewa Arak...!" sebut penjaga pintu gerbang yang bertubuh pendek kekar, ketika
telah berhadapan dengan
Arya. "Sungguh tidak disangka kau akan sempat hadir...!"
Arya hanya tersenyum lebar.
"Rupangki dan Karmila adalah kawan-kawan baik ku.
Mana mungkin kalau aku tidak hadir dalam perayaan ini?"
sahut Arya seraya menyunggingkan senyum. "Lagi pula, Ki Gambala sendiri telah
mengundangku. Dan ini merupakan
sebuah kehormatan besar."
Murid Perguruan Pedang Ular yang bertubuh kekar
itu mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban Dewa
Arak. Kemudian kepalanya menoleh ke arah Melati.
"Siapakah dia Dewa Arak?" tanya laki-laki bertubuh kekar itu tanpa menolehkan
kepala ke arah Arya, dan tetap tertuju pada wajah Melati. Ada kekaguman besar
pada sepasang matanya.
Melati langsung menundukkan kepala karena merasa
risih dipandangi seperti itu. Meskipun di dalam hatinya, dia merasa bangga
melihat orang mengagumi kecantikannya.
"Tunanganku...,"
jawab Arya jujur. Ada nada kebanggaan dalam suara Dewa Arak. Dan memang, pemuda
berambut putih keperakan itu merasa bangga memiliki calon istri secantik Melati.
"Ah!" seru murid Perguruan Pedang Ular kaget seraya buru-buru memalingkan
pandangannya. Tampak wajahnya
merah begitu menyadari ketidakpantasan tindakkannya
barusan. "Arya...!"
Sebuah panggilan keras membuat mereka meno-
lehkan kepala ke arah asal suara. Tampak di pintu gerbang empat sosok tubuh yang
bergerak keluar.
Arya, Melati, dan murid perguruan Pedang Ular itu
bergegas menghampiri. Baik Melati maupun Arya kenal betul dengan tiga dari empat
orang itu. Mereka adalah Ki Gambala, Rupangki dan Karmila. Sementara satu
seorang lagi adalah murid Perguruan Pedang Ular yang tadi menjaga pintu
gerbang. Rupanya, dia masuk ke dalam untuk memberitahukan kedatangan Dewi Arak pada Ki Gambala.
"Sungguh tidak pantas kelakuanmu, Samba," tegur Ki Gambala pada laki-laki
bertubuh pendek kekar. "Ada tamu terhormat datang, bukannya diajak masuk malah
diajak berpanas-panasan di luar."
Laki-laki pendek kekar yang ternyata bernama Samba
hanya menundukkan kepala.
"Di antara sahabat, tak perlu banyak peradatan Ki,"
sahut Arya dengan wajah sungguh-sungguh.
"Ucapkan terima kasih pada Dewa Arak, Samba,"
perintah Ki Gambala. "Karena, keinginanku untul menghukummu jadi kubatalkan."
"Terima kasih atas pembelaanmu, Dewa Arak,' ucap
Samba buru-buru.
"Ha ha ha...! Kau ini memang luar biasa, Ki," puji Arya. "Meskipun sudah tua,
tapi masih mempunyai jiwa yang penuh semangat dan senang bercanda."
"Ha ha ha...!"
Tawa Ki Gambala pun meledak mendengar kelakar
Arya. "Bagaimana kalau kita berbincang-bincang di dalam saja, Arya," selak Rupangki.
"Tidak enak rasanya berbincang-bincang di luar. Apalagi, dalam suasana yang
cukup panas begini...."
Ki Gambala melengak, dan wajahnya memerah.
Ucapan Rupangki menyadarkannya kalau mereka semua
masih berada di luar.
"Kau benar Rupangki." kata ketua Perguruan Pedang Ular pelan. "Mari Arya. Kita
berbincang-bincang di dalam."
Arya menganggukkan kepala, kemudian melangkah
mengikuti Ki Gambala yang berjalan lebih dulu, bersama Rupangki. Sementara
Melati yang sejak tadi tidak kebagian berbicara, berjalan bersama Karmila yang
juga belum mendapat kesempatan berbincang-bincang. Di belakang
mereka, berjalan Samba bersama penjaga pintu gerbang satu lagi. Samba berjalan
sambil tersenyum ketika teringat Ki Gambala pun melakukan kesalahan yang sama
dengan dirinya. *** "Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa menghadiri
pesta pernikahan ini, Dewa Arak," kata Ki Gambala ketika mereka semua telah
duduk di dalam sebuah ruangan tengah yang luas. "Padahal, semula hatiku tidak
yakin kalau kau akan hadir."
"Bukankah aku telah berjanji, Ki," sahut Arya kalem.
"Pantang bagiku untuk menjilat ludah yang keluar dari mulutku."
Rupangki dan Ki Gambala mengangguk.
"Aku yakin, kau tidak akan mengingkari janjimu,
Arya," kata Ketua Perguruan Pedang Ular. "Hanya saja, aku tidak yakin kalau kau
bisa hadir disini. Apalagi, kau datang lebih cepat sehari dari pesta yang akan
kami adakan. Ini benar-benar sebuah kejutan yang amat besar. Terus terang, kami
merasa terharu sekali. Entah bagaimana aku harus
membalas budimu yang telah begitu banyak pada kami."
Rupangki dan Karmila mengangguk-anggukkan
kepala pertanda membenarkan ucapan Ketua Perguruan
Pedang Ular itu. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Jamur Sisik Naga dan "Memburu Putri Datuk").
"Lupakanlah, Ki. Bukankah hal wajar kalau saling
tolong-menolong, selama kita yakin kalau tindakan itu benar.
Lagi pula, kukira Kang Arya tidak memikirkan pembalasan atas kebaikan yang
dilakukannya. Bukan begitu, Kang?"
Melati kini angkat bicara.
"Apa yang dikatakan tunanganku ini memang benar,
Ki. Aku sama sekali tidak menganggap pertolongan yang
kulakukan itu sebagai hutang budi. Karena aku yakin kau pun akan melakukan hal
yang sama bila berada di pihakku."
"Hhh...! Semua yang kau katakan itu benar, Arya,"
sambut Rupangki. "Aku juga tahu, kau melakukan semua itu tanpa pamrih. Tapi
sebagai seorang manusia yang punya
perasaan, kami pun ingin sesekali ganti melakukan sebuah tindakan yang...,
anggaplah sebagai tanda terima kasih."
Ki Gambala menganggukkan kepala.
"Benar, Arya," celetuk Karmila. "Kami harap, kau pun bisa cepat-cepat menyusul
kami." Sambil berkata demikian, gadis cantik berpakaiai
merah yang pernah mencintai Arya ini mengerling ke arah Melati. Memang, Karmila
telah mengetahui kalau Melati
adalah tunangan Dewa Arak. Dan itu didengarnya sendiri dari mulut Dewa Arak.
Wajah Arya langsung memerah. Lebih-lebih lagi Melati
Gadis berpakaian putih itu kini malah menundukkan
kepalanya. "O ya, Arya. Aku sempat mendengar berita kalau kau ditahan Dedemit Api dan
Dedemit Salju. Apakah semua berita itu benar" Bahkan kudengar pula, banyak tokoh
persilatan aliran putih yang tewas di tangan sepasang biang iblis itu ketika
hendak menyelamatkanmu," Ki Gambala buru-buru mengalihkan persoalan untuk tidak
semakin membuat Arya dan Melati terjerat dalam perasaan malu.
"Semua berita itu benar, Ki," jawab Arya, mendesak
"Aku menyesal sekali, Ki. Banyak tokoh persilatan yang tewas dalam
usaha untuk membebaskanku dari tawanan mereka...."
"Hal itu tidak usah kau pikirkan, Arya," hibur Ki Gambala sambil menepuk-nepuk
bahu Arya. "Kau tahu, semua tokoh aliran putih rela mati demi kau. Karena, kau
telah banyak melenyapkan tindak ketidakadilan di dunia ini.
Kau masih muda. Perjalanan hidupmu masih panjang deh
karena itu, semua tokoh aliran putih berusaha mati-matian membelamu. Mereka
yakin kalau kau berhasil dibebaskan, biang-biang iblis itu pasti dapat kau
tumpas." Arya terdiam. Disadari adanya kebenaran yang tidak
bisa dibantah dalam penjelasan yang diuraikan secara
panjang lebar oleh Ketua Perguruan Pedang Ular itu.
"Aku khawatir, tidak akan bisa memenuhi harapan
mereka, Ki...," kata Dewa Arak setelah beberapa saat lamanya termenung.
"Hm.... Apa maksudmu, Arya...?"
"Iblis-iblis itu terlalu sakti. Keberhasilanku melolos-kan diri dari mereka pun
terjadi karena nasibku yang baik saja."
Kemudian, Arya menceritakan semua kejadiannya.
Dari pertarungannya melawan Raja Racun Muka Putih,
sampai dia berhasil menewaskan Dedemit Api. Tentu saja tidak diceritakan perihal
belalang raksasa yang masuk ke tubuhnya.
Ki Gambala mengangguk-anggukkan kepala ketika
Arya telah menyelesaikan ceritanya.
"Sepertinya, kau akan mengadakan pesta besar
besaran, Ki," tebak Arya. "Tadi kulihat beberapa orang murid Perguruan Pedang
Ular tengah membenahi panggung yang
hampir selesai."
"Memang aku bermaksud begitu, Arya. Aku ingin
pesta pernikahan Rupangki dan Karmila berlangsung besar-besaran. Banyak tokoh
persilatan yang kuundang. Bahkan aku juga membuat panggung untuk tempat
pertandingan silat," jawab Ki Gambala penuh semangat, seraya mengerling ke arah Rupangki dai
Karmila. Sepasang calon pengantin itu langsung menundukkan kepala mendengar
Ketua Perguruan
Pedang Ular itu membicarakan diri mereka.
Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala. Di sama
sekali tidak memberi tanggapan apa-apa, meskipun ada
kekhawatiran yang berkecamuk di hatiny. Tindakan Ki
Gambala yang mengundang banyak tokoh persilatan memang tidak bisa disalahkan.
Tapi khawatir kalau hal itu akan timbul keributan. Dia tahu ayah Karmila banyak
mempunyai musuh. Baik dari kalangan hitam, maupun putih. Bukan
tidak mungkin, kalau ketidak puasan yang mereka bawa dari rumah, akan meledak
apabila terjadi pertemuan antara
tokoh-tokoh yang tidak puas. Dan puncaknya, akan terjadi keributan!
"O ya, Arya. Mungkin kau dan Melati masih lelah.
Mari kuantarkan ke tempat istirahat kalian," ajak Ki Gambala sambil bangkit
berdiri. Diiring oleh Karmila dan Rupangki, Arya dan Melati
melangkah mengikuti Ki Gambala untuk menuju tempat
peristirahatan.
2 Hari masih pagi. Matahari baru saja muncul di ufuk
Timur, bagai bola api raksasa berwarna merah jelaga. Saat ini di Perguruan
Pedang Ular kesibukan telah berlangsung.
Murid-murid perguruan itu tidak ada yang berpangku
tangan. Sejak kemarin, semuanya sibuk bekerja keras
menyelesaikan hiasan warna-warni yang belum di pasang.
Sementara yang lain juga masih sibuk membenahi panggung untuk tempat
pertandingan persahabatan.
Hingga akhirnya ketika matahari telah mulai bergerak
naik, semua kesibukan itu selesai, tepat seperti yang telah diperhitungkan Ki


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gambala. Kini, tamu-tamu mulai berdatangan. Dan oleh murid-
murid Perguruan Pedang Ular, mereka dipersilakan menempati tempat yang telah disediakan. Dan untuk tokoh-tokoh utama, diberikan
tempat di bangku kehormatan.
Semakin siang, tamu-tamu semakin banyak berda-
tangan. Maka suasana di halaman depan Perguruan Pedang Ular pun semakin ramai.
Apalagi, di antara yang hadir ada tamu-tamu yang tidak diundang. Dan rupanya,
mereka sebagian besar berasal dari tokoh-tokoh persilatan aliran hitam. Untung saja,
kedatangan mereka diterima dengan
tangan terbuka dan senyum terhias di bibir oleh murid-murid Perguruan Pedang
Ular. Setelah tidak ada lagi tamu-tamu yang datang, Jirin
murid kepala Perguruan Pedang Ular menoleh ke arah Ki
Gambala, seraya mengerling sejenak ke arah Karmila.
Memang, diam-diam Jirin menaruh hati juga pada Karmila yang montok menggiurkan.
Apalagi pada saat ini, Karmila mengenakan pakaian pengantinnya sehingga gadis
itu jadi tampak semakin cantik jelita.
Ketika Ki Gambala menganggukkan kepala, Jirin
menekuk kedua lututnya. Kemudian kakinya menotol tanah sehingga tubuhnya
melayang ke atas. Indah dan manis
gerakannya. Bahkan ketika mendarat di lantai panggung, sedikit pun tidak ada
suara yang terdengar. Dan tak lama setelah kakinya mendarat, Laki-laki bertubuh
kekar berotot itu membungkukkan tubuhnya ke empat arah.
"Maaf. Bukannya bermaksud menyombongkan kepandaianku yang tidak ada artinya ini. Tapi, hanya inilah yang bisa, kami
berikan sebagai hiburan."
Usai berkata demikian, Jirin menggerakkan ta-
ngannya ke punggung. Dan....
Srattt...! Sinar terang berkeredep ketika pedang murid kepala
Perguruan Pedang Ular ini lolos dari sarungnya.
"Haaat...!"
Diawali teriakan keras yang mampu membuat sebagian tokoh-tokoh persilatan mendekap telinga, Jirin mulai memperagakan ilmu
pedangnya. Tidak percuma Jirin menjadi murid kepala Perguruan
Pedang Ular. Kepandaian yang dimilikinya memang cukup
tinggi. Tubuh maupun pedangnya seperti menjadi lenyap
bentuknya. Yang tampak hanyalah seleret bayangan kuning yang berkelebatan cepat
disertai suara mendesing dari setiap gerakannya.
Melihat hal ini para tokoh persilatan yang menyaksikannya diam-diam memuji dalam hati kehebatan
ilmu pedang Perguruan Pedang Ular.
Setelah sepuluh jurus, Jirin menghentikan gerakannya. Napas dan wajahnya terlihat biasa saja. Tidak tampak adanya tanda-
tanda kalau dia habis mengerahkan
seluruh kemampuan dalam permainan pedangnya barusan.
Hanya sedikit peluh yang membasahi dahinya.
Trek! Murid kepala Perguruan Pedang Ular itu memasukkan
kembali pedang ke dalam warangkanya. Kemudian tubuhnya membungkuk kembali ke
empat arah, lalu bersiap turun dari panggung. Tapi mendadak....
"Tunggu sebentar, Manusia sombong...!"
Bentakan keras menggelegar pertanda dialiri tenaga
dalam cukup tinggi, sehingga membuat Jirin mengurungkan maksudnya. Tubuhnya
segera berbalik ke arah asal suara itu.
Tampak sesosok bayangan hitam berkelebat dari
kumpulan para tamu. Bayangan itu berjumpalitan beberapa kali di udara, kemudian
mendarat ringan di lantai panggung.
Jirin hanya memperhatikan sosok tubuh yang berdiri
di hadapannya. Ternyata, sosok itu adalah laki-laki berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Tubuhnya kekar, dan berkulit hitam. Sebaris kumis tebal dan
melintang tampak menghias wajahnya.
Tubuhnya terbungkus sehelai rompi yang berwarna hitam.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Jirin tenang. Nada suara maupun raut wajahnya tidak
menyiratkan kalau ucapan laki-laki berompi hitam itu berpengaruh terhadapnya.
"Aku tidak sudi memperkenalkan diri pada orang yang akan
menjalin hubungan dengan keturunan makhluk terkutuk Kalapati!" tegas laki-laki berompi hitam.
Karmila yang duduk bersebelahan dengan Rupangki
di kursi indah berukir penuh dihiasi warna-warni, dan diapit Dewa Arak dan Ki
Gambala, menjadi terlonjak. Selebar
wajahnya tampak merah padam karena gejolak marah yang
membakar dada mendengar makian laki-laki berompi hitam terhadap ayahnya.
Rupangki tahu perasaan yang melanda calon istrinya.
Maka tangannya buru-buru diulurkan, lalu digenggamnya
tangan Karmila erat-erat. Dan ketika gadis berpakaian merah itu menolehkan
kepala, Rupangki memberikan senyum
manis. "Jangan turuti hawa amarahmu, Karmila," bisik Rupangki. "Sekarang adalah hari
bersejarah dan hari bahagia bagi kita. Aku tidak ingin hari ini dikotori
kemarahan. Biarkan yang lain mengurusnya."
Amarah Karmila mereda mendengar ucapan Rupangki. Disadari adanya kebenaran dalam ucapannya itu.
"Kau benar, Rupangki," sahut Karmila tak kalah pelan seraya balas menggenggam
Jemari laki-laki tinggi kurus itu.
Senyum di mulut Rupangki semakin lebar ketika hati
Karmila tampak mulai tenang. Kini dengan perasaan tenang, pandangannya
dilayangkan kembali arah panggung, ketika Karmila juga telah mengarahkan
pandangan matanya ke
sana. Di atas panggung, suasana telah mulai memanas.
Jirin rupanya tersinggung mendengar hinaan yang keluar dari mulut laki-laki
berompi hitam itu.
"Cabut kembali omonganmu itu, Kisanak. Atau
terpaksa tubuhmu kulempar ke bawah panggung!" seru Jirin keras.
"Ha ha ha...! Luar biasa! Baru hendak menjalin
hubungan dengan keturunan Kalapati terkutuk saja sudah langsung berubah menjadi
galak begini! Hebat. Begitu pesat kemajuan yang kau peroleh dari Perguruan
Pedang Ular!"
ejek laki-laki berompi hitam.
"Mulutmu kotor sekali, Kisanak! Aku ingin tahu
apakah kepalanmu pun sehebat mulutmu"!" seru Jirin bernada tantangan.
"Boleh kau coba, antek Kalapati!" sahut laki-laki berompi hitam tak mau kalah.
"Aku tidak mau dianggap sebagai tuan rumah yang
kurang ajar. Maka, kau kuberi kehormatan untuk menyerang lebih dulu, Kisanak.
Kau boleh pilih, bertarung tangan kosong atau menggunakan senjata. "
"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu...! Kau masih mencoba bersikap gagah juga, Penjilat
Pantat Kalapati"! Tapi, akan kuladeni kemauanmu! Haaat...!"
Laki-laki berompi hitam melompat ke depan. Dan
selagi berada di udara, kakinya dikibaskan seraya membalikkan tubuh.
Wuuut...! Angin menderu cukup keras ketika tendangan laki-
laki berompi hitam itu menyambar ke arah kepala Jirin.
Jirin tidak berani bersikap sembrono. Kekuatan te-
naga dalam lawan belum diketahuinya. Apalagi, keisti-
mewaan ilmunya. Maka dia tidak berani bertindak lancang untuk menangkis. Jirin
melompat ke belakang, sehingga
serangan itu menyambar lewat beberapa langkah di depannya. Begitu kedua kaki Jirin hinggap di lantai panggung,
laki-laki berompi hitam pun mendaratkan kakinya pula.
Rupanya laki-laki berompi hitam sangat bernafsu
untuk merobohkan Jirin. Maka langsung dikirimkannya
tendangan miring dengan kaki kanannya. Untuk itu, kaki kirinya
harus melompat agar tendangannya mencapai sasaran. Kali ini, Jirin tidak bisa mundur lagi karena telah
berada di sudut panggung. Apabila dipaksakan mundur,
pasti akan jatuh ke bawah panggung. Tentu saja Jirin tidak mau hal itu terjadi.
Memang, sudah merupakan sebuah
perjanjian tidak tertulis, seorang tokoh persilatan akan dianggap kalah bila
kakinya mendarat di bawah panggung.
Jirin benar-benar dalam keadaan sulit. Mengelak ke
kanan atau ke kiri sama sekali tidak mungkin dapat
dilakukan. Menangkis pun merupakan hal yang harus
dihindari. Karena benturan akibat tangkisan, kemungkinan besar akan membuat
tubuhnya terhuyung ke belakang. Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan murid
kepala Perguruan Pedang Ular itu adalah melompat ke atas.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Jirin melompati kepwla
lawannya sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya.
Kemudian, kedua tangannya disampokkan cepat ke arah
belakang kepala, tapi berhasil dipunahkan oleh laki-laki berompi hitam, dengan
menundukkan kepala.
"Hup...!"
Tepat pada saat kedua kaki Jirin mendarat di lantai
panggung, laki-laki berompi hitam itu telah berhasil memperbaiki kedudukannya.
Sesaat satu sama lain bertatapan dalam jarak sekitar
satu setengah tombak. Kemudian, saling gebrak kembali dan langsung terlibat
dalam pertarung sengit.
Baik Jirin maupun laki-laki berompi hitam itu
ternyata sama-sama memiliki tingkat kepandaian seimbang.
Sehingga, bukan hal yang aneh kalau keduanya terlibat
dalam pertarungan sengit.
Tiga puluh jurus telah berlalu. Dan selama itu, tidak
nampak adanya tanda-tanda yang akan terdesak. Beberapa kali terjadi benturan,
baik tangan atau pun kaki yang
mengakibatkan tubuh satu sama lain sama-sama terhuyung-huyung ke belakang.
Tapi hal itu hanya berlangsung sesaat, karena baik
Jirin maupun laki-laki berompi hitam itu langsung bisa mematahkannya dan kembali
melompat menerjang. Tampak
jelas kalau mereka sama sama bernafsu untuk mengalahkan lawan secepatnya.
Kembali sepuluh jurus, berlalu. Tapi, keadaan sama
sekali tidak berubah. Pertarungan memang kelihatan alot.
Sadar kalau diteruskan keadaan sama sekali tidak
berubah, kedua belah pihak pun menggunakan senjata
masing-masing. Laki-laki berompi hitam itu mengeluarkan
sebuah ruyung berbatang dua yang dihubungkan sebuah
rantai baja. Sedangkan Jirin mencabut pedangnya.
Dengan adanya senjata di tangan, pertarungan yang
berlangsung pun jadi semakin sengit. Suara mendesing
nyaring dari setiap gerakan pedang Jirin, dan suara
mengaung kelebatan ruyung laki-laki berompi hitam, terdengar menyemaraki pertarungan.
Hebat dan menggiriskan sekali permainan ruyung
laki-laki berompi hitam. Tapi, masih lebih hebat lagi gerakan pedang
Jirin. Batang pedangnya
yang lemas, membuat

Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan murid utama Perguruan
Pedang Ular itu sulit diduga. Terkadang pedang
itu meliuk-liuk seperti seekor ular, tapi tak jarang bergetar seperti berjumlah
puluhan batang banyaknya. Memang, setelah pertarungan senjata telah berlangsung lebih
dari dua puluh jurus, perlahan-lahan mulai bisa mendesak lawan. Gulungan sinar pedangnya
semakin melebar, sedangkan gulungan sinar ruyung laki-laki berompi hitam semakin
menyempit. Jelas, mutu ilmu pedang milik Perguruan Pedang Ular lebih unggul
daripada ilmu ruyung milik laki-laki berompi hitam.
Semakin lama, keadaan laki-laki berompi hitam
semakin gawat. Bahkan serangan-serangannya semakin
berkurang, sehingga lebih banyak menangkis dan mengelak.
Sebaliknya, serangan Jirin semakin bertubi-tubi datang ke arahnya.
"Akh...!"
Laki-laki berompi hitam memekik tertahan ketika
pedang Jirin menyerempet pangkal lengannya hingga sobek.
Darah segar seketika mengucur dari bagian yang terluka.
Dan di saat tubuhnya tengah terhuyung-huyung, kaki Jirin melesat cepat ke arah
perut. Maka....
Bukkk! "Hugh...!"
"Akh...!"
Laki-laki berompi hitam memekik tertahan ketika
pedang Jirin menyerempet pangkal lengannya hingga sobek.
Darah segar seketika mengucur!
Dan di saat tubuhnya tengah terhuyung-huyung kaki
Jirin sudah melesat cepat ke arah perut!
Keras dan telak bukan kepalang tendangan Jirin.
Akibatnya tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang deras ke belakang dan
jatuh di bawah panggung.
Suara tepuk tangan riuh dari murid-murid Perguruan
Pedang Ular dan tokoh-tokoh persilatan yang mendukung
perguruan itu segera menyambut kemenangan Jirin.
Namun baru saja Jirin menghela napas lega, sesosok
bayangan kembali berkelebat dan mendarat dengan ringan di lantai panggung.
Berbeda dengan laki-laki berompi hitam tadi, sosok bayangan ini melesat dari
deretan bangku yang ditempati tamu-tamu kehormatan. Dari sini saja sudah bisa
dibuktikan, sosok bayangan ini jelas memiliki kepandaian tinggi.
"Luar biasa perubahan di Perguruan Pedang Ular...,"
kata sosok bayangan yang ternyata seorang laki-laki gagah.
Tubuhnya tegap, terbungkus pakaian putih. "Tak aneh kalau kini menjalin hubungan
dengan keturunan tokoh sesat yang menjijikkan."
Jirin bersikap waspada. Pertunjukan ilmu meringankan tubuh laki-laki berpakaian putih yang dengan sebatang golok terselip
di pinggang cukup mengejutkan
hatinya. Dia tahu, lawan kali ini tidak bisa disamakan dengan laki-laki berompi
hitam tadi. Hanya sayangnya, Jirin tidak mengenal tokoh yang berdiri hadapannya
ini. Namun sebagian besar tokoh persilatan yang hadir,
mengenal betul laki-laki berpakaian putih itu. Demikian pula Ki Gambala dan si
Golok Emas, Ketua Perguruan Golok Maut yang duduk di deretan tamu kehormatan.
"Golok Malaikat..." desis Ki Gambala dan si Golok Emas berbarengan.
Mereka berdua tentu saja mengenal si Golok Malaikat.
Dia adalah seorang tokoh aliran putih yang tidak pernah mempunyai tempat tinggal
tetap. Tokoh ini selalu malang melintang
dalam kancah persilatan untuk memerangi kejahatan. Puluhan tahun lalu, sepak terjang Golok Malaikat sangat menggegerkan,
dan jadi pembicaraan di mana-mana.
Tapi kemudian, lenyap tak kedengaran lagi beritanya.
"Turun, Jirin...!" seru Ki Gambala. Laki-laki tua itu tahu kalau muridnya bukan
tandingan Golok Malaikat yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, tanpa menunggu
perintah dua kali, Jirin segera membalikkan tubuh dan turun
panggung. Ki Gambala segera bangkit dari duduknya untuk
melompat ke panggung. Tapi, niatnya tertahan ketika ada yang memegang
pergelangan tangannya.
"Biar aku yang mewakilimu, Gambala," kata si Golok Emas, orang yang menyentuh
tangannya. Ki Gambala
terdiam sejenak. "Saat ini, kau tidak pantas turun tangan sendiri, Gambala,"
kata Ketua Perguruan Golok Maut itu lagi.
"Tugasmu adalah mendampingi pengantin laki-laki. Lagi pula..., aku ingin sekali
menjajal kelihaian ya. Dulu, dia dan kakak seperguruanku bertarung untuk
membuktikan siapa
yang lebih pantas menyandung julukan Raja Golok."
"Hm.... Lalu...?" tanya Ki Gambala mulai tertarik.
"Kepandaian keduanya ternyata berimbang, tidak ada yang kalah dan menang. Jadi,
tidak ada di antara mereka yang berhak memakai julukan Raja Golok. Kakak
seperguruanku tetap berjuluk si Golok Emas, yang kini julukannya telah beralih
padaku. Sedangkan Golok Malaikat tetap pada
julukannya."
"Jadi, sekarang kau ingin mencoba mengulangi
maksud kakak seperguruanmu yang gagal itu?" tanya Kl Gambala lagi.
Golok Emas menganggukkan kepala.
"Kukira Golok Malaikat pun mempunyai maksud yang
sama," kata Ketua Perguruan Golok Maut memberi alasan.
Ki Gambala mengerutkan alis.
"Kau sudah memperhitungkan
masak-masak tindakanmu ini, Golok Emas?"
"Apa maksudmu, Gambala?" Golok Emas menatap
wajah Ketua Perguruan Pedang Ular dengan alis berkerut.
"Kalau dulu Golok Malaikat sudah setingkat dengan kakak seperguruanmu, bisa
kubayangkan tingkat yang
dimilikinya sekarang. Sedangkan kau, belum lama mencapai tingkat kakak
seperguruanmu," jelas Gambala mengutarakan kekhawatiran hatinya.
"Kau tidak usah khawatir, Gambala," sergah Golok Emas
sambil mengulapkan tangan. "Dalam sebuah pertarungan, kalau tidak menang, ya kalah. Dan itu biasa, tapi
perlu diingat. Aku telah mengalahkan kakak serperguruanku dalam pertarungan memperebutkan golok
emas. Jadi berarti, tingkat kepandaian yang kumiliki berada di atas kakak
seperguruanku."
Kali ini Gambala tidak membantah lagi. Disadari
kalau niat Golok Emas tidak mungkin bisa dicegah lagi.
Semangat bertarung kakek beralis putih itu telah demikian besar. Akan sia-sia
saja menahannya.
3 Hanya sekali genjot saja, kedua kaki Golok Emas telah
mendarat di lantai panggung, sekitar satu tombak di hadapan Golok Malaikat.
"Ha ha ha...!"
Golok Malaikat tertawa bergelak, begitu melihat
seseorang telah berdiri di hadapannya. Sepasang matanya yang berkilat tajam dan
menyiratkan tenaga dalamnya yang kuat, meneliti sekujur tubuh Ketua Perguruan
Golok Maut. Sementara, orang yang ditatap bersikap tenang saja.
"Tidak salahkan penglihatanku"!
Kau..., Golok Emas...! Lalu..., ke mana Golok Emas yang dulu"! Apakah dia telah kau singkirkan
karena tidak mau berhubungan dengan Kalapati"!" ejek Golok Malaikat.
Golok Malaikat memang merasa dendam pada Kalapati karena dulu pernah dikalahkan datuk sesat itu.
Dapat dibayangkan, betapa kecewa hatinya ketika terdengar kabar Kalapati telah
tewas. Padahal, kekalahannya belum sempat terbalaskan.
"Tidak usah berbasa-basi, Golok Malaikat!" sentak Golok Emas. "Aku tahu, kau
masih merasa penasaran dengan kakak seperguruanku."
"Hm.... Jadi..." Kau yang indin melanjutkan pertarungan yang belum ketahuan
pemenangnya itu?" Ha ha ha...
Kuperingatkan, lebih baik urungkan niatmu kalau tidak ingin mendapat malu!"
Golok Emas menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau tidak merasakan sendiri, aku tidak akan
percaya, Golok Malaikat! Padahal ucapan-ucapan seperti itu hanya pantas keluar
dari mulut gerombolan penjahat kecil yang hina!"
"Tutup mulutmu. Golok Emas!" bentak Golok Malaikat keras. "Aku tidak sudi
bermanis-manis kata dengan orang yang menjadi sahabat baik iblis terkutut
Kalapati!"
"Aku tidak mengajakmu bertarung silat lidah, Golok Malaikat! Aku mengajakmu
melanjutkan pertarungan belasan tahun lalu yang belum selesai!"
"Pucuk dicinta ulam tiba! Aku pun memang ingin
membuktikan, siapa di antara kita yang patut mendapat
julukan Raja Golok!" sambut Golok Malaikat keras.
Suasana kontan hening ketika Golok Malaikat menghentikan ucapannya. Kini, kedua belah pihak sama-
sama berdiam diri dengan pandangan tertuju ke arah satu sama lain.
"Jaga seranganku, Golok Emas...!"
Belum lenyap gema suaranya. Golok Malaikat telah
melancarkan serangan pukulan yang bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hari Golok
Emas. Berbahaya, bukan kepalang serangannya. Di samping begitu cepat, serangan
itu juga mengandung pengerahan tenaga dalam kuat. Sehingga,
seketika timbul deru angin berkesiutan.
Tapi Golok Emas memang bukan tokoh sembarangan.
Dia adalah Ketua Perguruan Golok Maut, sebuah perguruan besar beraliran putih
yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Maka menghadapi serangan itu, Golok Emas
tidak menjadi gugup. Buru-buru kaki kirinya melangkah ke kiri seraya mendoyongkan
tubuh, sehingga serangan-serangan
itu lewat beberapa jari di samping kanan tubuhnya.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan Golok Emas.
Pada saat yang bersamaan dengan lolosnya serangan Golok Malaikat, tangan
kanannya disampokkan ke arah pelipis
lawan. Wuttt...! Serangan Golok Emas meluncur di atas kepala, ketika
tubuh Golok Malaikat menunduk. Kuat sekali tenaga dalam yang dikeluarkan,
sehingga menimbulkan suara angin
menderu tajam. Dan begitu sampokannya berhasil dielakkan Golok Malaikat, Ketua
Perguruan Golok Maut segera
menjauhkan diri. Dan ternyata, Golok Malaikat juga melompat menjauh. Maka kembali kedua belah pihak berada dalam jarak berjauhan.
Tapi hal itu hanya berlangsung sebentar, karena
beberapa saat kemudian mereka sudah saling gebrak
kembali. Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara dua orang tokoh tingkat
tinggi pun berlangsung.
Pertarungan antara Golok Emas dan Golok Malaikat
tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan pertarungan Jirin melawan laki-laki
berompi hitam! Pertarungan kali ini adalah antara dua orang tokoh yang sama-sama
memiliki tingkat kepandaian tinggi.
Bahkan hanya sebagian kecil saja tokoh persilatan
yang mengetahui jalannya pertarungan. Hal itu karena
saking cepatnya gerakan kedua orang yang saling bertarung itu. Memang, gerakan
Golok Emas dan Golok Malaikat cepat bukan kepalang. Sehingga, yang terlihat
hanyalah kelebatan bayangan kuning dan hitam putih. Terkadang saling belit, dan
tak jarang saling pisah.
Dalam waktu sebentar saja, lima puluh jurus telah
berlalu. Dan selama itu, tidak nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai
pemenang. Tampaknya pertarungan
masih berlangsung seimbang.


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bosan dengan pertarungan tangan kosong, kedua
belah pihak mencabut senjata maing-masing. Golok Emas
mencabut senjatanya yang berupa golok besi berbatang emas.
Sedangkan Golok Malaikat dengan goloknya yang bergerigi pada salah satu matanya.
Kini dengan senjata andalan di tangan, kedua belah
pihak mulai saling menerjang kembali. Dan memang,
sebenarnya inti pertarungan mereka adalah menggunakan
senjata. Karena, kedua belah pihak ingin meraih gelar
sebagai Raja Golok!
*** "Lenyapkan keturunan Iblis Kalapati...!" tiba-tiba terdengar
teriakan keras dari kumpulan tokoh-tokoh persilatan. Suara itu ternyata berasal dari mulut seorang laki-laki berwajah tirus. Kumisnya
panjang dan jarang-jarang, mirip kumis tikus. Pakaian dari kulit ular berwarna
kuning bercak-bercak coktat, membungkus tubuhnya yang tinggi kurus.
Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebatang suling yang berbentuk kepala
ular kobra. "Benar! Basmi habis keturunan Kalapati!" sambut seorang laki-laki gagah
bersenjatakan sepasang tombak
pendek berwarna putih.
"Gilas semua orang yang akan menghalangi niat suci kita!" kembali laki-laki
berwajah tirus yang berjuluk Raja Ular Gunung Pare membuka suara sambil
mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang memegang suling.
"Betul...!"
Kali ini tidak hanya satu orang saja yang menyahuti
ucapan Raja Ular Gunung Pare.
"Tampaknya, pertumpahan darah tidak bisa dielakkan lagi, Ki," kata Arya pada Ki
Gambala. Sekujur urat syarat dan otot tubuh Dewa Arak telah menegang waspada.
"Kau benar, Dewa Arak! Raja Ular Gunung Pare
memang cerdik. Padahal, aku yakin dia tidak punya urusan dengan Kalapati. Tapi,
denganku. Hanya saja dia tidak berani menantangku
sendirian. Maka digunakannya alasan membasmi keturunan Kalapati untuk mencari dukungan
yang banyak dari berbagai kalangan tokoh persilatan.
Kalapati memang banyak menanam persoalan," sambut Gambala setengah berdesah.
Dewa Arak mengeryitkan keningnya. Julukan Raja
Ular Gunung Pare memang telah lama terdengar sebagai
pentolan kalangan hitam yang telah banyak merobohkan
tokoh golongan putih. Telah belasan tahun tokoh sesat ini merajalela di daerah
Timur, hingga ditakuti lawan dan
disegani kawan.
Tapi Arya terpaksa menghentikan lamunannya karena
Raja Ular Gunung Pare telah meluruk ke tempat mereka
berada. Bukan hanya Raja Ular Gunung Pare yang menyerbu,
tapi juga tokoh-tokoh persilatan berbagai aliran. Hanya saja masing-masing
berbeda kepentingannya. Kalau tokoh-tokoh aliran putih memang bermaksud membunuh
keturunan Kalapati, dan sedapat mungkin tidak berurusan dengan
Perguruan Pedang Ular. Namun tidak demikian halnya tokoh-tokoh
aliran hitam. Di samping untuk melenyapkan keturunan Kalapati, maksud yang lebih penting adalah
menghancurkan Perguruan Pedang Ular. Apalagi perguruan besar aliran putih itu
selama ini cukup banyak menghambat tindakan mereka.
Tentu saja murid-murid Perguruan Pedang Ular tidak
sudi membiarkan perguruan mereka hancur. Dipimpin Jirin, maka serbuan itu pun
disambut. Maka dalam waktu sebentar saja, beberapa orang murid-murid Perguruan
Pedang Ular roboh di tanah. Mereka tewas dalam keadaan bersimbah
darah. Memang, lawan yang mereka hadapi rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Terutama sekali Raja Ular Gunung Pare. Ke
mana saja sulingnya menyambar, pasti
akan ada sesosok tubuh yang roboh tanpa nyawa.
Rupangki dan Karmila saling berpandangan dengan
wajah pucat. Sungguh tidak disangka kalau pernikahan
mereka akan berakibat seperti ini. Hari yang diharapkan penuh kegembiraan,
ternyata tidak terkabulkan. Sama sekali tidak dibayangkan kalau hari penikahan
ini dihiasi semburan darah segar, denting senjata beradu, dan jerit kesakitan
dan kematian. Rupangki dan Karmila jadi bingung. Haruskah mereka
ikut turun tangan" Padahal mereka tengah berpakaian
pengantin! Rasanya tidak mungkin!
Sementara itu Ki Gambala memperhatikan jalannya
pertarungan sejenak. Dia tahu, kalau hal ini di dibiarkan, murid-muridnya akan
tewas. Jelas-jelas mereka bukan
tandingan lawan yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Namun demikian, memang tidak semua tokoh persilatan itu memiliki kepandaian
berada di atas murid-murid Perguruan Pedang Ular.
Untungnya, tidak semua tokoh itu bersikap kejam.
Hanya tokok-tokoh aliran hitam yang bersikap telengas.
Sedangkan tokoh-tokoh aliran putih yang tidak memiliki urusan
dengan Perguruan Pedang Ular, dan hanya menginginkan Karmila, merobohkan lawan tanpa membunuh. "Akh...!"
Untuk yang kesekian kalinya, terdengar jerit kematian
dari mulut seorang murid Perguruan Pedang Ular ketika
suling di tangan Raja Ular Gunung Pare menghantam ubun-ubunnya hingga remuk.
Jirin yang sejak tadi merasa geram melihat ketelengasan Raja Ular Gunung Pare, segera melompat
langsung diterjangnya laki-laki berwajah tirus itu, begitu mendapat kesempatan.
Pedang di tangannya meluncur cepat ke arah leher.
Singgg...! Suara mendesing nyaring mengiringi tibanya serangan
maut itu. "Hmh...!"
Raja Ular Gunung Pare mendengus, mendapat serangan yang begitu cepat bagai kilat. Maka, suling di tangannya segera
meluncur cepat ke arah datangnya
serangan. Tukkk! Entah dengan cara bagaimana, ujung suling itu tahu-
tahu telah berhasil menotok pergelangan tangan Jirin. Keras bukan
kepalang totokannya, sehingga sambungan pergelangan tangan itu terlepas. Tak pelak lagi pedangnya pun terlepas dari
pegangan. Meskipun begitu, Jirin masih mampu mendaratkan kedua kakinya di tanah
dengan mantap. Rupanya, Raja Ular Gunung Pare tidak sudi membiarkan lawannya hidup. Kembali suling di tangannya bergerak, dan kali ini
meluncur deras ke arah ulu hati.
Melihat serangan yang mendadak datang, Jirin
terkejut bukan kepalang. Disadari kalau kesempatan untuk mengelak merupakan hal
yang musykil. Tibanya serangan
begitu cepat. Dan saking kagetnya, dia hanya bisa terpaku kaku.
Tapi di saat keadaan Jirin bagaikan telur di ujung
tanduk, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih. Dan...
Trakkk..! "Hey...!"
Raja Ular Gunung Pare terpekik kaget. Tubuhnya
kontan terhuyung-huyung ke belakang saat sosok bayangan putih yang tak lain dari
Melati menangkis serangannya
dengan pedang. Dan kini laki-laki berwajah Urus itu
menghentikan gerakannya. Ditatapnya Melati penuh selidik.
"Siapa kau, Nisanak" Mengapa mencampuri urusanku"!" tanya Raja Ular Gunung Pare.
Sengaja pentolan sesat ini tidak langsung menyerang
Melati, karena tahu kalau lawan di hadapannya memiliki kepandaian tinggi.
Sebagai seorang tokoh cerdik, dia tidak ingin saat ini mendapat lawan tangguh,
sebelum maksudnya tercapai. Sedapat mungkin, lawan-lawan tangguh akan
dijatuhinya. Melati tersenyum mengejek.
"Namaku terlalu berharga untuk diperkenalkan pada orang licik sepertimu, Tahi
Ular! Yang perlu kau lahu, kehadiranku di sini untuk membunuhmu!" ancam putri
angkat Raja Bojong Gading keras.
"Keparat! Mulutmu ternyata sangat busuk, Wanita
liar...!" teriak Raja Ular Gunung Pare. Kegeraman tampak membayang jelas di
wajahnya. Dan sebelum gema ucapannya lenyap, pentolan tokoh
sesat itu telah melancarkan serangan ke arah Melati. Suling berujung kepala ular
kobra ditangannya meluncur deras ke arah jalan darah kematian di leher Melati.
Melati tampak begitu geram melihat ketelengasan lawannya.
Maka, buru-buru kaki kanannya ditarik ke belakang, seraya mencondongkan tubuh
sehingga suling itu menyambar
tempat kosong beberapa jari di depannya. Dan pada saat yang bersamaan, pedang di
tangannya dibabatkan ke arah tangan lawan yang menggenggam suling.
Raja Ular Gunung Pare tentu saja tidak menginginkan
tangannya putus terbabat pedang Melati. Maka tangannya cepat
ditarik pulang, sehingga tebasan pedang gadis berpakaian putih itu lewat beberapa jengkal dari sasaran.
Melati yang sudah bertekat untuk melenyapkan Raja
Ular Gunung Pare selama-lamanya, tidak sudi memberi
kesempatan. Gadis itu pun melompat menerjang seraya
melancarkan serangan bertubi-tubi.
Tapi, terjangan Melati langsung disambut Raja Ular
Gunung Pare dengan cepat. Laki-laki berwajah tirus ini sadar, putri angkat Raja
Bojong Gading itu memiliki
kepandaian yang tidak bisa diremehkan. Maka kini pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan lagi.
*** Pertarungan sengit bukan hanya terjadi antara Melati
dan Raja Ular Gunung Pare saja. Hampir semui orang yang ada disitu terlibat
dalam kancah pertarungan. Bahkan Dewa Arak juga sudah terlibat dalam kancah
pertarungan, untuk membantu
murid-murid Perguruan Pedang Ular. Kini tampaknya pertarungan berjalan seimbang.
Sementara itu Ki Gambala, Rupangki dan Karmila
hanya bisa mengawasi jalannya pertarungan dengan wajah berubah-ubah. Sebentar
pucat, sebentar merah. Sepasang mempelai itu sama sekali tidak menduga akan
terjadi peristiwa seperti ini. Berbeda dengan Ki Gambala yang
memang sudah bisa menduga kalau peristiwa seperti ini akan terjadi. Dia tahu,
Kalapati banyak menanam permusuhan
dengan tokoh-tokoh persilatan dari berbagai aliran. Hanya saja, dia tidak
menyangka kalau peristiwanya akan sebesar ini.
Sepasang mata Ki Gambala, Rupangki dan Karmila
berpindah-pindah
ke sana-kemari, memperhatikan pertarungan yang terpecah menjadi tiga arena. Untung
halaman Perguruan Pedang Ular cukup luas, sehingga
mampu menampung pertarungan campur baur itu. Meskipun
begitu, tak urung bangku-bangku dan hiasan yang dipasang berpentalan tak tentu


Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah. Sebagian besar rusak berat dan terkena noda darah. Perguruan Pedang Ular
kini benar-benar bergelimang darah.
Berbeda dengan Melati dan Golok Emas yang
menghadapi lawan setingkatan, Dewa Arak sama sekali tidak menjumpai lawan yang
memiliki kepandaian yang setara.
Tingkat kepandaian lawan rata-rata berselisih jauh dengannya. Tak aneh kalau Arya sama
sekali tidak mengalami kesulitan untuk menghalau lawan-lawannya
tanpa melukai. Dewa Arak sama sekali tidak menggunakan ilmu
andalannya dalam pertarungan ini. Yang digunakannya
hanya ilmu-ilmu yang diwarisi dari ayahnya, 'Ilmu Pedang Penakluk Naga' dan ilmu
'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau'. Dalam menggunakan kedua ilmu itu pun, Arya tidak
terlalu bersungguh-sungguh. Hujan berbagai macam senjata yang tertuju ke arahnya
pun dibiarkan saja. Arya hanya mengerahkan
tenaga dalamnya untuk membuat kulit tubuhnya tidak bisa dilukai. Memang dengan selisih tenaga dalamnya yang amat
jauh dibanding lawan, tindakannya itu bukan suatu hal yang sulit buat Dewa Arak.
Hasilnya memang sudah diduga. Setiap senjata yang
menghantam tubuh Dewa Arak selalu terpental balik ke arah si pemilik. Seolah-
olah, tubuhnya terbuat dari gumpalan karet keras. Akibatnya, di samping membuat
hantaman setiap senjata terpental balik, juga membuat tangan lawan yang menggenggam
senjata jadi bergetar hebat.
Sebaliknya setiap Arya melancarkan serangan balasan
berupa kibasan-kibasan tangan secara sembarang saja,
tubuh lawan kontan terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah dengan
dada terasa sakit.
Untungnya Dewa Arak bukan termasuk orang yang
bertangan kejam. Tubuh mereka hanya dibuat terjengkang dan terguling-guling di
tanah tanpa menderita luka apa pun, kecuali sedikit rasa sesak di dada.
Tapi, tentu saja tindakannya hanya diperuntukkan
bagi tokoh-tokoh aliran putih yang sejak tadi menjatuhkan tangan maut pada
murid-murid Perguruan Pedang Ular.
Sedangkan bagi tokoh aliran hitam yang jelas-jelas bermaksud membasmi Perguruan Pedang Ular, Dewa Arak
tak tanggung-tanggung untuk memberi hajaran. Mereka
semua roboh di tanah, tak mampu bangkit lagi, walaupun tidak terluka terlalu
parah. Jerit kesakitan diiringi bunyi berdebuk keras dari
tubuh-tubuh yang jatuh di tanah, mengiringi setiap gerakan tangan Dewa Arak.
Memang, baik kibasan, kebutan, ataupun dorongan tangan Arya selalu menimbulkan
angin keras yang mampu membuat tubuh berpentalan tak tentu arah, seperti daun-
daun kering yang diterbangkan angin.
Dalam waktu sebentar saja serangan-serangan yang
semula menekan Perguruan Pedang Ular, mulai berkurang.
Satu persatu para perusuh dirobohkan Dewa Arak.
Bahkan beberapa saat kemudian, murid-murid Perguruan Pedang Ular dan sebagian kecil tokoh persilatan yang memilih perguruan
itu mulai mundur satu persatu
karena tidak mendapat lawan. Sampai akhirnya, mereka
semua hanya menyaksikan Dewa Arak membereskan lawan-
lawannya saja. Berlainan dengan Dewa Arak yang sama sekali tidak
menemui halangan berarti dalam menghadapi lawan- lawannya, Melati tampak harus berjuang keras untuk bisa mengalahkan Raja Ular
Gunung Pare. Kepandaian tokoh
sesat itu memang tinggi. Tidak aneh kalau belasan tahun yang lalu Ki Gambata
agak kerepotan untuk merubuhkan
kakek berwajah tirus itu.
Dalam hati. Melati mengakui kehebatan lawannya.
Meskipun memang dalam hal ilmu meringankan tubuh dan
kekuatan tenaga dalam, gadis berpakaian putih ini lebih unggul. Tapi keunggulan
itu tertutup oleh berbagai macam tipu yang terkandung dalam ilmu yang dimiliki
Raja Ular Gunung Pare.
Dulu, Ki Gambala menghadapi kesulitan menghadapi
Ilmu silat Raja Ular Gunung Pare yang penuh tipuan ini. Dan kali ini, kesulitan
yang sama menimpa Melati, tipuan-tipuan yang terkandung dalam serangan itu
membuat repot bukan main.
Melati benar-benar merasa penasaran. Apalagi, sudah
sejak tadi ilmu andalannya, 'Pedang Seribu Naga' telah dikeluarkannya. Dan
dengan ilmu pedang yang mempunyai
daya serang laksana badai mengamuk itu, Melati berusaha merobohkan Raja Ular
Gunung Pare. Putri angkat Raja Bojong Gading itu membutuhkan
waktu seratus jurus lebih, untuk bisa mendesak Raja Ular Gunung Pare. Ilmu laki-
laki berwajah tirus yang banyak mengandung tipuan itulah yang membuatnya
kesulitan dalam melakukan desakan.
4 Sementara itu, Raja Ular Gunung Pare sendiri se-
benarnya merasa terpukul bukan kepalang menghadapi
kenyataan ini. Kalau tidak mengalami sendiri, mungkin tidak akan percaya kalau
dirinya tidak mampu mengalahkan
seorang gadis muda belia yang pantas menjadi anaknya. Tapi kenyataan menunjukkan
demikian. Maka mau tidak mau dia harus
menerima kenyataan kalau lawannya memang memiliki kepandaian di atasnya.
Raja Ular Gunung Pare adalah seorang tokoh sesat
yang memiliki watak angkuh dan selalu membanggakan
kepandaian sendiri. Puluhan tahun lalu, dia merasa sebagai tokoh persilatan
nomor satu dunia, setelah malang melintang di dunia persilatan bagian Timur
tanpa tanding. Maka dapat dibayangkan, berapa besar sakit hatinya
tatkala mengalami kekalahan pertama kali di tangan Ki
Gambala. Sehingga, dia pun mengundurkan diri dari dunia persilatan disertai rasa
penuh dendam. Satu tekat terselip di hatinya.
Ilmunya harus diperdalam untuk membalas kekalahan pada Ki Gambala.
Tapi belum juga maksudnya tercapai, Raja Ular
dunung Pare telah menemui kenyataan yang lebih pahit.
Sebuah kenyataan disadari kalau kepandaian Pendekar Riang 4 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Kisah Pedang Bersatu Padu 16
^