Perkawinan Berdarah 2
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Bagian 2
yang dimilikinya tidak mampu menandingi Melati. Hal ini lebih menyakitkan daripada
sewaktu menghadapi Ki Gambala.
Hatinya rela kalah dalam pertarungan menghadapi Ketua
Perguruan Pedang Ular itu dari pada menghadapi Melati yang masih muda!
Sadar akan kenyataan kalau tidak mungkin bisa
mengalahkan Melati, membuat Raja Ular Gunung Pare
menjadi nekat. Kini laki-laki berwajah tirus itu bertarung tanpa mempedulikan
pertahanan diri. Tekatnya adalah
mengajak Melati mati bersama!
Dengan keputusan seperti itu. Raja Ular Gunung Pare
segera menyerang kalang kabut. Akibatnya, kedahsyatan
serangan-serangannya pun menjadi berlipat ganda.
Melati bukan orang bodoh. Maksud serangan- serangan yang mendadak berubah cepat dan pertahanan
yang terbuka di sana-sini, jelas sekali diketahuinya. Tentu saja hal ini tidak
sudi diladeninya. Untuk beberapa jurus lamanya, Melati hanya menghindar terus.
Dengan demikian, untuk beberapa jurus lamanya
Raja Ular Gunung Pare berhasil membebaskan diri dari
desakan Melati. Bahkan kini Melati yang terlihat seperti terdesak, karena terus
menghindar. "Melati...! Awas...!"
Ki Gambala yang sejak tadi memperhatikan jalannya
pertarungan, berseru keras memperingatkan Melati. Saat itu matanya yang tajam
menangkap adanya seleret sinar
berkilauan dari atas bangunan. Dan seiring teriakannya, Ki Gambala
melesat cepat meninggalkan kursi yang didudukinya. Hatinya benar-benar khawatir akan keselamatan kekasih Dewa Arak itu.
Memang, pada saat itu Melati berada dalam keadaan
tidak menguntungkan. Tubuhnya tengah berada di udara,
sehabis mengelakkan serangan yang kalang kabut dari Raja Ular Gunung Pare. Dan
pada saat itu pula seleret sinar berkilauan menyambar deras ke arah lehernya.
Namun meskipun berada dalam keadaan sulit, Melati
masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya
digeliatkan, karena memang hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
selembar nyawanya. Tapi....
"Ikh...!"
Melati terpekik pelan, begitu benda berkilauan yang
ternyata sebuah logam putih mengkilat berbentuk mata anak panah, mengenai
punggung kanannya.
Dan secepat itu pula hawa dingin yang amat sangat
meresap ke dalam tubuh gadis irii. Hawa dingin itu membuat sekujur urat-urat dan
otot-otot tubuh Melati kaku! Maka tanpa ampun lagi, tubuh Melati terjungkal ke
bawah, dan jatuh berdebuk di tanah.
"Melati...!"
Hampir berbareng, Arya, Karmila, dan Rupangki
berseru kaget ketika melihat tubuh Melati jatuh berdebuk di tanah. Mereka sempat
pula melihat adanya sebuah benda
berwarna putih mengkilat yang menghunjam tubuh gadis
berpakaian putih itu. Dan secepat kilat, tubuh Arya segera melesat ke arah
Melati. Cepat bukan main gerakan Dewa Arak, sehingga yang
terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu tanpa ketahuan bentuknya. Memang, dalam cekaman rasa khawatir yang menggelegak, Dewa
Arak telah mengerahkan sampai
titik terakhir ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Meskipun gerakan Arya cepat bukan kepalang, tapi
tetap saja kalah oleh Raja Ular Gunung Pare yang telah lebih dulu melesat
menerjang Melati dengan ujung suling menotok ke arah ubun-ubun. Apabila serangan
ini mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan kalau nyawa Melati akan melayang
saat itu juga. Rupanya, nasib baik masih berpihak pada Melati.
Meskipun Dewa Arak terlambat memberikan pertolongan,
tapi tidak demikian dengan Ki Gambala. Pedang lemas Ketua Perguruan Pedang Ular
itu cepat memotong luncuran suling Raja Ular Gunung Pare.
Trakkk...! Akibat tangkisan pedang Ki Gambala, serangan suling
Raja Ular Gunung Pare jadi menyeleweng jauh dari sasaran.
Bahkan tangan yang menggenggam suling bergetar hebat.
Raja Ular Gunung Pare langsung menghentikan
serangannya terhadap Melati. Dan kini, di hadapannya telah berdiri Ki Gambala.
Di belakang Ketua Perguruan Pedang Ular itu masih ada Dewa Arak yang tengah
membungkukkan tubuh, memeriksa keadaan Melati. Kecemasan tampak
membayang di wajah pemuda bel rambut putih keperakan
itu. "Ah...!" seru Arya kaget.
Dewa Arak merasakan sekujur tubuh Melati dingin
seperti layaknya orang mati. Dia tahu, senjata yang
menghunjam tubuh Melati mengandung racun ganas.
Maka buru-buru ditotoknya jalan darah di sekitar
luka untuk mencegah racun itu menalar lebih jauh.
Bukan hanya Dewa Arak yang merasa cemas. Ki
Gambala, Karmila, dan Rupangki pun merasa cemas bukan
kepalang melihat tubuh Melati tergolek. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya
Karmila dan Rupangki melesat
menghampiri Melati.
"Ha ha ha...! Percuma, Dewa Arak...! Racun itu telah menjalar. Dan kujamin,
tidak akan ada seorang pun di kolong langit ini yang bisa menyembuhkan kekasihmu
itu kecuali aku!"
Bukan hanya Arya saja yang menoleh ke arah asal
suara itu, tapi juga Ki Gambala dan Raja Ular Gunung Pare.
"Keparat, kau!" seru Dewa Arak tertahan seraya bangkit berdiri. Sepasang matanya
menyorotkan hawa maut ketika menatap ke arah pemilik suara yang ternyata Raja
Racun Muka Putih!
"Ha ha ha...!"
Raja Racun Muka Putih tertawa bergelak untuk
menutupi perasaan gentar ketika melihat ancaman yang
memancar dari sepasang mata Dewa Arak.
"Cepat berikan obat pemunahnya, sebelum kesabaranku hilang!" ancam Dewa Arak dengan suara bergetar karena amarah yang
bergejolak dalam dada.
Raja Racun Muka Putih bergidik. Dia tahu, ucapan
Dewa Arak tidak main-main. Terasa ada nada kesungguhan dalam ucapan dan sikap
pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi dengan cerdiknya, kakek berpakaian
merah ini menyembunyikan perasaannya sehingga tidak nampak pada
wajahnya. "Menyembuhkan gadis itu perkara gampang, Dewa
Arak," jawab Raja Racun Muka Putih. "Asal, kau bersedia memenuhi permintaanku."
"Keparat licik!" maki Arya kalap. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan
busukmu!" Raja Racun Muka Putih mengangkat bahu.
"Aku tidak punya banyak waktu, Dewa Arak. Racun
yang mengeram di tubuh kekasihmu bukan racun main-
main, tapi racun ganas. Apabila ada tanda bundar berwarna biru sebesar kuku jari
kelingking telah timbul di dahinya, aku tidak akan bisa menyelamatkan nyawanya
lagi. Semua terserah padamu. Dewa Arak. Asal tahu saja, aku tidak takut mati.
Lagi pula, mati bersama seorang gadis cantik seperti kawanmu merupakan kematian
yang amat menyenangkan."
Dewa Arak menggeram keras. Disadari kalau Raja
Racun Muka Putih bermaksud memerasnya. Kalau menuruti
perasaan, ingin rasanya kakek berpakaian merah itu
dilabraknya. Tapi sayangnya, hal itu tidak mungkin dilakukan mengingat keselamatan Melati berada di tangan kakek berpakaian merah
itu. Dengan kecemasan yang
semakin memuncak, diperhatikannya tubuh Melati.
Memang, ucapan Raja Racun Muka Putih rasanya ada
benarnya juga. Tanda bulat berwarna biru sekuku jari
kelingking memang tampak. Hanya saja, bukan pada dahi, melainkan di tangan.
"Baiklah, Raja Racun," Arya menyerah, setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat "Apa permintaanmu?"
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa penuh kemenangan. "Permintaanku
masih sama dengan yang dulu, Dewa Arak."
"Maksudmu..."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya, karena Raja
Racun Muka Putih telah buru-buru mencegahnya. Rupanya
kakek berpakaian merah itu tidak ingin orang-orang yang ada di situ mengetahui
permintaannya. "Bagaimana aku tahu kalau kau tidak akan meni-
puku. Raja Racun?" tanya Dewa Arak.
"Ucapkanlah janji, kalau permintaanku akan kau
penuhi. Maka, saat ini juga kekasihmu akan kuberikan obat yang membuat racun itu
tidak akan mencabut nyawanya,"
ujar Raja Racun Muka Putih.
Arya tercenung sebentar.
"Cepat, Dewa Arak!" desak Raja Racun Muka Pulih tidak sabar. "Kalau tanda biru
itu muncul di dahi, jangan harap aku bisa menyelamatkan nyawanya."
"Baik, Raja Racun. Permintaanmu kupenuhi," ucap Arya mantap.
"Kau juga harus berjanji akan membiarkanku pergi, setelah memenuhi permintaanku
itu," tegas Raja Racun Muka Putih lagi. "Katakan, Dewa Arak "
"Aku berjanji akan membiarkanmu pergi, setelah
kuberikan permintaanmu itu, Raja Racun. Tapi, ingat.
Janjiku ini tidak berlaku untuk selamanya. Apabila dalam perjalanan aku bertemu
denganmu, dan tengah melakukan
kejahatan, aku akan menantangmu!"
"Ha ha ha...! Aku setuju dengan janji itu, Dewa Arak!"
sambut Raja Racun Muka Putih, cepat.
"Cepat berikan obat itu, Raja Racun!" seru Dewa Arak tak sabar.
Raja Racun Muka Putih tertawa bergelak, kemudian
tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika keluar, di tangan itu telah
tergenggam sebuah kantung kain kecil
berwarna merah. Dari dalam kantung itu diambilnya sebuah obat pulung berwarna
Jingga. "Berikan obat ini padanya," kata Raja Racun Muka putih seraya mengangsurkan
tangannya pada Dewa arak.
Arya segera mengambil obat pulung itu dan memasukkannya ke dalam mulut Melati.
"Tunggu sampai dua ratus hitungan," ucap Raja Racun Muka Putih lagi.
Arya sama sekali tidak menyambuti ucapan kakek
berpakaian merah itu. Seluruh perhatiannya ditujukan
kepada Melati, sambil menghitung dalam hati.
Bukan Arya saja yang menunggu-nunggu kebenaran
ucapan Raja Racun Muka Putih. Ki Gambala dan Raja Ular Gunung Pare seperti diam
seribu bahasa sambil juga
memperhatikan gadis itu. Memang, kedua tokoh ini terkejut bukan kepalang begitu
melihat kehadiran Raja Racun Muka putih, yang merupakan pentolan kaum sesat
terkenal. Itulah sebabnya, mereka melupakan perkelahiannya. Dan kini
malah terpaksa menunggu kelanjutan kejadian antara Dewa Arak dan Raja Racun Muka
Putih. Di antara semua kancah pertarungan, hanya per-
tarungan antara Golok Malaikat dan Golok Emas saja yang masih berlangsung
sengit. Pertarungan antara kedua orang itu memang ramai
bukan kepalang. Kepandaian mereka yang sama-sama
memiliki keahlian bermain golok itu, ternyata hanya berselisih sedikit saja. Sehingga baru pada jurus keseratus tujuh puluh lima.
Golok Malaikat mulai berhasil mendesak Golok Emas.
Sekarang serangan-serangan Golok Emas semakin
berkurang, dan lebih banyak menangkis dan mengelak.
Sebaliknya, Golok Malaikat mulai semakin bertubi-tubi
mengancam lewat serangan-serangan yang dahsyat.
Semakin lama, gulungan sinar keemasan yang berasal
dari golok emas Ketua Perguruan Golok Maut makin
mengecil. Hal ini menandakan kalau keadaan Golok Emas
yang semakin terjepit.
Pada jurus keseratus sembilan puluh satu, Golok
Malaikat melompat ke atas. Golok di tangannya dibalutkan ke arah kepala dari
atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh lawan menjadi dua bagian
yang sama.
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Golok Emas terkejut bukan kepalang melihat hal ini.
Apalagi, keadaannya saat itu tidak menguntungkan. Tidak ada kesempatan lagi
baginya untuk mengelakkan serangan itu. Dan sepertinya, jalan satu-satunya hanya
menangkis untuk menyelamatkan nyawa.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, si Golok Emas memalangkan senjata andalannya di atas kepala. Dan....
Tranggg...! Bunga api memercik ke sana-kemari ketika dua buah
senjata yang mempunyai nama sama tapi berbeda ukuran,
bertemu dalam sebuah benturan keras yang memekakkan
telinga. Tubuh si Golok Emas terhuyung-huyung ke belakang.
Golok besarnya terlepas dari pegangan, karena tangan yang menggenggam terasa
lumpuh karena berbenturan. Hal ini
terjadi karena keadaan si Golok Emas kurang memungkinkan untuk mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Di lain pihak, tenaga yang terkandung dalam serangan
Golok Malaikat jadi bertambah
besar, karena dibantu tenaga ayunan lompatannya. Dan akibatnya, hal itulah yang terjadi.
Wajah si Golok Emas berubah ubah. Sebentar pucat,
sebentar merah. Disadari kalau dirinya telah kalah seiring jatuhnya senjata
andalannya. Memang, seorang tokoh tingkat atas, senjata andalan merupa nyawa
kedua. Maka, bila telah terlepas dari tangan berarti telah kalah. Walau
merupakan ketentuan tidak tertulis di kalangan tokoh persilatan, tapi baik Golok
Emas maupun Golok Malaikat sama-sama tahu
tentang hal itu.
"Ha ha ha...!" Golok Malaikat tertawa bergelak.
"Akhirnya, terwujud juga keinginanku sejak belasan tahun lalu. Kini akulah ahli
golok nomor satu! Ha ha...! Maka, sekarang aku berhak memakai gelar Raja Golok!
Ha ha ha...!"
Golok Emas hanya bisa tersenyum pahit. Tapi sebagai
orang yang gagah dan berjiwa ksatria, dia pun mengakui keunggulan lawannya.
"Kau memang hebat, Golok Malaikat. Sekarang kau
berhak mendapat julukan Raja Golok. Ilmu golokmu memang luar biasa," puji Ketua
Perguruan Golok Emas itu jujur.
Seketika itu pula tawa Golok Malaikat terhenti.
Sebagai tokoh aliran putih, dia merasa malu melihat
kebesaran jiwa Golok Emas yang mengakui kekalahannya.
"Ah! Kemenangan yang kudapatkan hanya karena
kebetulan belaka, Golok Emas. Aku yakin, kalau pertarungan diulangi bukan tidak
mungkin aku akan roboh di tanganmu.
Ilmu golok yang kau miliki benar-benar luar biasa, Golok Emas! Aku puas dapat
bertarung denganmu. Biarlah. Sebagai tanda gembiraku mendapatkan seorang lawan
sepertimu, aku tidak akan mengejar-ngejar lagi keturunan Kalapati."
"Benarkah itu, Raja Golok?" tanya Golok Emas memastikan. Sengaja dipanggilnya
Golok Malaikat dengan gelar barunya.
Golok Malaikat mengulapkan tangannya.
"Aku minta, panggillah aku dengan julukan yang
dulu. Golok Emas."
"Mengapa..., Ra... eh, Golok Malaikat"!" Golok Emas mengeryitkan keningnya.
"Karena, aku belum yakin akan kemenanganku kali
ini!" tandas Golok Malaikat "Kalau kau tetap berkeras memanggilku Raja Golok,
aku akan pergi sini!"
Golok Emas tersenyum getir.
"Baiklah," desah Ketua Perguruan Golok mengalah.
"Tapi boleh kutahu, apa alasanmu membiararkan keturunan Kalapati?"
"Hhh...! Karena aku tahu, orang seperti kau dan Ki Gambala tidak akan mungkin
melindungi orang bersalah.
Apalagi sampai menjadikannya mantu! Ha ha...!"
"Kau benar, Golok Malaikat. Ha ha ha...!"
Dua ahli golok yang tadi terlibat dalam pertarungan
mati-matian, kini sama-sama tertawa bergelak. Suasana
keakraban tampak jelas dalam sikap dan tawa mereka.
Di arena yang lain pun, Arya merasa lega bukan
kepalang ketika melihat tanda biru di tangan dan leher Melati mulai memudar,
walaupun tidak lenyap benar.
"Sekarang kekasihmu tidak terancam bahaya lagi
Dewa Arak. Tapi dia tetap tidak akan sadar. Aku akan
menyembuhkannya apabila kau telah berhasil memenuhi
permintaanku. Semakin cepat kau membawanya, semakin
cepat kekasihmu sembuh," jelas Raja Racun Muka Putih.
Arya berjalan menghampiri Ki Gambala, kemudian
berdiri di sebelahnya.
"Kau...," sebut Dewa Arak sambil menuding jari telunjuknya ke arah Raja Ular
Gunung Pare. "Mengapa tidak lekas pergi dari sini"! Atau..., menunggu
kemarahanku bangkit dan membunuhmu"!"
Raja Ular Gunung Pare menelan ludah dengan susah
payah. Meskipun belum merasakan kelihaian Dewa Arak, tapi melihat kenyataan
betapa Raja Racun Muka Putih yang
begitu terkenal saja terlihat gentar pada Dewa Arak, maka bisa diperkirakan
tingkat kepandaian pemuda berambut
putih keperakan itu.
Meskipun begitu, Raja Ular Gunung Pare belum
merasa yakin kalau tidak mencobanya sendiri. Mana
mungkin orang semuda Arya akan mampu mengunggulinya"
Kalau saja tidak ada Ki Gambala di situ, Dewa Arak mungkin sudah
diterjangnya. Tapi disadari, keadaannya tidak menguntungkan. Maka Raja Ular Gunung Pare hanya
menahan perasaan saja. Tubuhnya kemudian segera melesat meninggalkan tempat itu
setelah terlebih dulu membuang ludah ke tanah.
Melihat kepergian Raja Ular Gunung Pare, tokoh-
tokoh persilatan yang tidak tewas segera melangkah tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu. Mereka tahu, tidak ada
gunanya lagi berada di situ. Bahkan tokoh-tokoh aliran putih yang tadi secara
tak langsung membantu tokoh-tokoh aliran hitam, melangkah meninggalkan tempat
itu. Hati mereka
merasa tidak enak melihat akibat yang diderita Perguruan Pedang Ular. Tapi
tindakan mereka sama sekali tidak
menarik perhatian, karena ada masalah yang jauh lebih
gawat, terutama bagi Melati.
"Ki... Bersediakah bila aku menitipkan Melati di sini?"
tanya Arya hati-hati ketika melihat Raja Ular Gunung Pare telah tidak berada di
situ lagi. "Perguruan Pedang Ular selalu terbuka untukmu,
Arya." "Tapi..., apakah kau percaya begitu saja akan ucapan orang seperti Raja Racun
Muka Putih ini"!" Ki Gambala seraya menatap tajam wajah kakek berpakaian merah
itu. "Aku khawatir, kau akan ditipu mentah mentah, Arya."
"Kalau tidak memandang Dewa Arak, sudah hancurkan mulutmu, Gambala!" dengus Raja Muka Putih.
"Aku adalah seorang datuk. Pantang menarik ucapan yang telah kukeluarkan. Dewa
Arak percaya padaku, sebagaimana halnya aku percaya akan janji yang diucapkannya
" Ki Gambala pun terdiam sejenak.
"Kalau begitu, terserah padamu, Arya. Aku tahu kau tidak pernah sembarangan
mengambil keputusan."
"Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak berpaling pada
Raja Racun Muka Putih.
"Setelah permintaanmu kupenuhi ke mana harus
mengantarkannya?"
"Bagaimana kalau aku tinggal di sini saja, Dewa Arak.
Percayalah. Sebagaimana aku percaya pada janjimu, kau pun harus percaya padaku.
Barangkali saja tenagaku di sini ada gunanya."
"Aku belum mengerti maksudmu, Raja Racun," kata Dewa Arak sambil mengernyitkan
kening. "Aku khawatir terhadap keadaan kekasihmu, Dewa
Arak. Sekarang dia berada dalam keadaan tak berdaya. Lalu, bagaimana kalau ada
orang mempunyai niat yang tidak baik padanya" Aku yakin kekasihmu ini banyak
mempunyai musuh, mengingat kepandaiannya yang tidak rendah dan
wataknya yang berangasan terhadap penjahat. Sedangkan
kau tidak berada di sisinya. Kau yakin akan penjagaan yang dilakukan oleh kakek-
kakek jompo ini" Dengan adanya aku di sini, setidak-tidaknya ada tambahan tenaga
yang tidak ternilai, seandainya ada orang yang akan berbuat jahat terhadapnya,"
urai Raja Racun Muka Putih panjang lebar.
Arya terdiam sejenak. Disadari ada kebenaran dalam
ucapan Raja Racun Muka Putih itu. Dia bukannya bermaksud meremehkan penjagaan Ki Gambala. Tapi,
ucapan Raja Racun Muka Putih memang mengandung
kebenaran yang tidak bisa dibantah.
"Bagaimana, Ki?" tanya Dewa Arak meminta per-setujuan Ketua Perguruan Pedang
Ular itu. "Terserah padamu, Arya," jawab Ki Gambala sambil mengangkat bahu. "Aku percaya,
semua keputusan yang kau ambil, sudah dipikirkan masak-masak."
"Maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud merendahkan
kepandaianmu dan membenarkan ucapan Raja Racun. Tapi
memang banyak keuntungan apabila dia berada di sini.
Setidak-tidaknya,
dapat memeriksa keadaan Melati. Barangkali saja, ada kelainan yang tidak terduga," ucap Arya hati-hati agar Ki
Gambala tidak tersinggung.
"Aku mengerti, Arya," desah Ketua Pergurunn Pedang Ular pelan.
Walaupun hatinya tersinggung ketika melihat Dewa
Arak seperti membenarkan ucapan Raja Racun Muka Putih, tapi Ki Gambala berusaha
menyembunyikannya. Inilah
saatnya untuk membalas budi Dewa Arak yang telah
bertumpuk-tumpuk. Kalau tidak sekarang, kapan lagi"
Apalagi ketika disadari kalau Melati terluka karena membela Perguruan Pedang
Ular. "Terima kasih, Ki," ucap Arya sambil menggenggam tangan Ki Gambala erat-erat.
Dan genggaman itu langsung disambut tak kalah hangat oleh Ketua Perguruan Pedang
Ular. "Lupakanlah, Arya. Di antara sahabat tidak perlu
banyak peradatan seperti ini," ujar Ki Gambala sambil tersenyum
simpul. Karena, ucapan itu dulu pernah dikatakan Dewa Arak padanya.
Arya melengak sesaat ketika menyadari kalau perkataan Ki Gambala itu adalah ucapannya sendiri. Tapi ketika melihat senyum
yang tersungging di bibir Ketua
Perguruan Pedang Ular, dia tahu kalau dirinya tengah
diledek. Maka sebuah senyum simpul pun tak bisa ditahan Dewa Arak lagi.
"Sebaiknya, kita bawa Melati ke dalam, Arya. Rasanya tidak pantas membiarkannya
berlama-lama di luar," ujar Ki Gambala bernada mengingatkan.
"Kau benar, Ki," sambut Arya cepat.
Usai berkata demikian, Dewa Arak segera membungkukkan tubuhnya dan mengangkat Melati.
"Mari, Arya," kata Ki Gambala seraya melangkah menuju ke salah satu bangunan
yang ada di dalam
Perguruan Pedang Ular. Sebelumnya, dia memberi perintah pada
murid-muridnya untuk membereskan bekas pertarungan. Tanpa menunggu ajakan dua kali, Dewa Arak segera
melangkah di belakang Ki Gambala, diikuti Raja Racun Muka Putih, Golok Malaikat,
dan si Golok Emas. Tak ketinggalan pula Rupangki dan Karmila.
5 Matahari mulai condong ke Barat. Bias-bias kemerahan pun menyeruak di bagian langit, tempat matahari terbenam. Tak lama
lagi, kegelapan pun akan turun
menyelimuti seluruh persada.
Murid-murid Perguruan Pedang Ular baru saja selesai
membereskan halaman depan perguruan yang
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
porak- poranda. Panggung, hiasan warna-warni, dan tubuh rekan-rekan mereka yang mati
atau terluka telah diurus. Dan kini, mereka tengah beristirahat melepas lelah.
Brakkk...! Tiba-tiba suara gaduh bersamaan hancurnya daun
pintu gerbang, membuat murid-murid Perguruan dang Ular tersentak kaget. Terutama
sekali, yang ada di gardu
penjagaan. Tiga orang yang menjaga gardu penjagaan inilah yang langsung
menyadari akan apa yang telah terjadi.
Walapun masih lelah, tiga orang murid Perguruan
Pedang Ular ini langsung melesat ke arah pintu gerbang.
Tampak di balik daun pintu gerbang perguruan
tampak seorang kakek bertubuh pendek gemuk. Pakaiannya terbuat dari bulu
binatang berwarna putih. Sebuah topi berbentuk kerucut. Terbuat dari kulit
binatang, bertengger di kepalanya. Siapa lagi kakek ini kalau bukan Dedemit
Salju (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam
episode "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
"Katakan, di mana Dewa Arak! Cepat!" bentak Dedemit Salju begitu melihat adanya
tiga sosok tubuh di hadapannya.
"Andaikata tahu pun, kami tidak akan katakan
padamu," sahut salah seorang murid Perguruan Pedang Ular yang berkumis tipis.
"Keparat! Berani kalian mempermainkan Dedemit
Salju"!" seru kakek pendek gemuk, geram.
Usai berkata demikian, Dedemit Salju mengibaskan
tangannya. Kelihatannya sembarangan saja, tapi hebatnya langsung terjadi
hembusan angin keras yang keluar dari tangan yang mengibas itu. Hembusan angin
yang berhawa dingin dan menggigit tulang.
Begitu kerasnya angin yang berhembus, sehingga
membuat tubuh tiga orang murid Perguruan Pedang Ular itu terjengkang ke
belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.
Tiga orang murid perguruan yang sial itu tidak segera
dapat bangkit berdiri. Hawa dingin dari serangan Dedemit Salju benar-benar
membekukan kulit. Sehingga, urat-urat dan otot-otot tubuh mereka terasa kaku.
Akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk bangkit. Kini tiga orang murid
perguruan itu malah mendekapkan kedua tangan ke tubuh, untuk menahan cekaman
hawa dingin yang melanda.
"Cepat katakan, di mana Dewa Arak! Aku tahu ia
berada di sini. Atau kalian semua ingin mampus"!" ancam Dedemit Salju sambil
menatap tiga raut wajah yang tergolek di bawah kakinya.
"Kami..., kami benar-benar tidak tahu...," jawab laki laki yang berkumis tipis.
Suaranya terdengar tersendat sendat, karena cekaman hawa dingin yang melanda.
"Tikus-tikus tak tahu diuntung...!" bentak Dedemit Salju geram. "Kalian rupanya
lebih suka mati!"
Begitu ucapannya selesai, Dedemit Salju segera
mendorongkan kedua tangannya ke bawah.
Wuuut...! Seketika serentetan angin berhawa dingin, berhembus
ke arah tiga orang murid Perguruan Pedang Ular yang tengah tergolek di tanah.
Memang kali ini Dedemit Salju tidak main-main lagi. Maka, akibatnya pun begitu
dahsyat. Tiga orang keroco itu mana mampu bertahan" Mereka pun tewas dengan
sekujur tubuh membiru!
Bertepatan tewasnya tiga orang penjaga pintu ger-
bang, murid-murid Perguruan Pedang Ular lainnya ber-
munculan. Di antara mereka, tampak terlihat Jirin. Mau tak mau, mereka langsung
menggeram marah ketika melihat tiga orang rekan mereka tergolek di tanah. Tanpa
ditegaskan lagi, sudah bisa diperkirakan kalau tiga orang itu telah tewas.
Kulit tubuh mereka yang seperti membiru menjadi tanda
kalau ketiga orang itu telah mati.
"Seraaang,..!" teriak Jirin keras memberi perintah pada adik-adik
seperguruannya.
Murid utama Perguruan Pedang Ular itu memang
tidak berani bertindak sembrono lagi dengan menyerang
Dedemit Salju seorang diri.
Tanpa menunggu perintah dua kali, murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang telah dibakar amarah melihat mayat ketiga rekannya,
langsung melesat menerjang. Suara senjata-senjata yang keluar dari sarungnya,
dan juga sinar-sinar berkeredep yang mengiringi, terdengar silih berganti.
Dan secepat senjata itu tercabut, secepat itu pula diluncurkan ke arah Dedemit Salju.
Dedemit Salju tidak menjadi gugup melihat hujan
berbagai macam senjata yang meluncur deras ke arah
berbagai bagian tubuhnya.
Takkk, takkk, takkk...!
Suara berdetak keras terdengar ketika beraneka
ragam senjata menghantam sekujur tubuh Dedemit Salju.
Namun, justru pekik-pekik keterkejutan dari mulut para pemegang
senjata itu sendiri. Karena tangan yang menggenggam senjata terasa sakit dan bergetar, bagai
tersengat kala berbisa. Bahkan sebagian dari mereka,
terpaksa melepaskan senjata. Memang tangan yang menggenggam kontan terasa lumpuh.
"Grrrh...!"
Dedemit Salju menggeram. Untung saja tenaga dalam
pada geramannya tidak dikerahkan. Kalau saja dikerahkan, sudah dapat dipastikan
seluruh murid Perguruan Pedang
Ular akan tewas.
"Rupanya kalian semua sudah bosan hidup!" desis Dedemit Salju geram.
Kemudian, jari telunjuknya diluruskan, sedan jari-jari lainnya terkepal. Dengan
susunan jari seperti itu. Dedemit Salju lalu melancarkan serangan bertubi-tubi
ke arah lawan-lawannya tanpa menggeser kaki sedikitpun. Padahal, jarak antara
dirinya dengan murid-murid Perguruan Pedang Ular itu tak kurang empat tombak!
Cit, cit, cit...!
Suara berdicit seperit ada puluhan ekor tikus
mencicit, terdengar ketika Dedemit Salju menggerak gerakkan tangannya.
"Akh, akh...!"
Jeritan menyayat terdengar diiringi bertumbangannya
tubuh murid-murid Perguruan Pedang Ular dalam keadaan
tidak beryawa lagi, dengan dahi berlubangan. Mengerikan sekali keadaan mereka,
karena darah yang keluar dari bagian yang terluka langsung membeku!
Jirin menggertakkan gigi melihat satu demi satu
teman-temannya berguguran. Dia tahu, lawan telah menggunakan sebuah ilmu yang membuat angin serangan
jari-jarinya seakan-akan seperti pedang atau tombak. Yang lebih mengerikan lagi,
serangan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu juga mengandung hawa dingin.
Sehingga, darah yang mengalir keluar langsung membeku.
Dedemit Salju benar-benar bertekat membinasakan
lawan-lawannya. Setiap kali tangannya bergerak, sudah
dapat dipastikan ada murid Pergurua Pedang Ular yang
tewas. Yang lebih menggiriskan hati setiap serangan kakek pendek gemuk ini
selalu menghunjam dahi.
Dalam waktu sekejap saja, sudah lebih separuh murid
Perguruan Pedang Ular yang tewas. Kini yang tinggal
hanyalah beberapa gelintir saja, dan di antaranya terdapat Jirin.
*** Tentu saja lolongan kematian yang susul-menyusul
itu terdengar sampai ke telinga Kl Gambala dan Raja Racun Muka Putih. Saat itu
mereka tengah duduk dalam sebuah
ruangan dalam di salah satu bangunan.
Sementara itu Karmila dan Rupangki berada dalam
sebuah kamar lain. Sebuah kamar yang semarak, penuh
hiasan. Mereka rupanya tengah sibuk dan hanya diketahui oleh mereka berdua.
Sehingga, mereka seperti tak peduli, karena begitu tenggelam dalam lautan
asmara. Tidak terpikirkan lagi nasib Melati yang tadi sempat mereka
khawatirkan. "Hhh...!" Ki Gambala menghela napas berat.
Wajah laki-laki tua itu tampak membayangkan ke-
bingungan yang hebat. Memang, di dalam hati Ketua
Perguruan Pedang Ular ini tengah terjadi pertentangan batin.
Lolong kematian susul-menyusul dari murid-muridnya,
membuatnya ingin melihat apa yang tengah terjadi di depan sana. Tapi,
kekhawatiran terhadap keadaan Melati yang
tengah terbaring tak berdaya, memaksanya untuk duduk
diam di situ. Ingin rasanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu
memanggil Rupangki dan Karmila. Tapi, dia tidak sampai hati untuk melakukannya.
Kl Gambala tahu, Rupangkl dan
Karmila pasti tengah menikmati malam pertamanya
Raja Racun Muka Putih bukan orang bodoh. Ia tahu,
Ki Gambala tengah dilanda perasaan tegang. Maka tanpa
bicara apa-apa, dia pun bangkit dari duduknya dan
melangkah keluar.
"Mau ke mana kau, Raja Racun"!" tanya Ki Gambala dengan suara tidak begitu
ramah. "Keluar! Melihat orang yang telah menjagal murid-
muridmu!" sahut Raja Racun Muka Putih tak kalah kasar.
Dia menjawab tanpa menghentikan langkah kakinya, bahkan sama sekali tanpa
membalikkan tubuh.
Ki Gambala tidak menyambutinya. Andaikata menanggapinya pun, tidak akan berguna. Memang tubuh
Raja Racun Muka Putih sudah menghilang dari ruang itu.
Sepeninggal Raja Racun Muka Putih, Ketua Perguruan
Pedang Ular tercenung. Berbagai macam pikiran berputar di benaknya.
Apakah yang sedang terjadi pada murid- muridnya" Siapakah orang yang tengah dihadapi" Mudah-
mudahan saja Raja Racun Muka Putih berhasil menghalau
penjagal itu! Namun sepercik perasaan curiga bersemayam hati Ki
Gambala. Sungguh-sungguhkah Raja Racun Muka Putih
akan membantu" Apakah tidak mungkin kalau hanya
bersandiwara saja" Dan itu memang bukan mustahil!
Begitu mendapat dugaan seperti itu, Ki Gambala
langsung tersentak kaget. Sandiwara" Raja Racun Muka
Putih bersandiwara" Mengapa hal itu tidak terpikirkan
olehnya" Bukan tidak mungkin kalau kejadian ini memang sudah direncanakan oleh
Raja Racun Muka Putih!
Ki Gambala sampai terjingkat kaget ketika mendapat
dugaan seperti itu. Kontan kekhawatiran akan nasib murid-muridnya semakin
membesar. Bukan tidak mungkin kalau
Raja Racun Muka Putih akan membantu si perusuh itu
dalam menjagal murid-muridnya!
Kecurigaan Ki Gambala semakin menebal ketika
lolongan kematian murid-muridnya belum juga berhenti.
Bukankah Raja Racun Muka Putih akan menghentikan
tindakan pengacau itu" Lalu, mengapa sampai sekarang
lolongan kematian itu masih juga terdengar" Bukan tidak mungkin kalau Raja Racun
Muka Putih ikut menjagal pula!
Karena tak kuat menahan rasa gelisah yang melanda,
Ki Gambala bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-
mandir. Hatinya ingin sekali melihat kejadian yang menimpa murid-muridnya. Tapi
dia merasa khawatir meninggalkan
Melati sendirian.
Saat hatinya tengah dilanda kebimbangan itu, muncul
Raja Racun Muka Putih di ambang pintu.
"Mengapa kau kembali, Raja Racun" Apakah pengacau itu sudah kau tanggulangi?" tanya Ki Gambala sebelum Raja Racun Muka
Putih mengatakan sesuatu.
Perasaan ingin tahu itu membuat Ketua Perguruan
Pedang Ular ini tidak memperhatikan kalau sikap Raja Racun Muka Putih tampak
gugup bukan kepalang. Kalau saja kulit wajah datuk sesat itu tidak putih,
mungkin bisa terlihat gambaran perasaan itu pada wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya, Gambala!" sentak Raja Racun Muka Putih. Cepat pergi
dari sini! Bawa kabur gadis itu dari sini!"
Wajah Ki Gambala berubah merah. Jelas batin merasa
tersinggung melihat tanggapan Raja Racu Muka Putih.
"Aku akan tetap tinggal di sini, apa pun yang akan terjadi!" tandas Ki Gambala.
"Kalau kau ingin kabur silakan pergi!"
"Tua Bangka dungu!" maki Raja Racun Muka Putih geram.
"Aku sama sekali tidak mempedutikan keselamatanmu, tahu"! Yang kupikirkan adalah nasib gadis itu! Cepat pergi!
Sebelum semuanya terlambat!"
Tapi peringatan Raja Racun Muka Putih terlambat.
Sebuah suara keras terdengar seiring hadirnya sosok yang bukan lain dari Dedemit
Salju. Raja Racun Muka Putih melangkah mundur berdiri di
sebelah Ki Gambala. Sikapnya menunjukkan kalau dia
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersiap untuk bertarung dengan Dedemit Salju.
"Jangan harap kalian bisa kabur dari sini!" dengus Dedemit Salju. "Kalian semua
akan kubunuh, karena aku telah bersumpah untuk membunuh semua orang yang
mempunyai hubungan dengan Dewa Arak!"
Ki Gambala melirik ke arah Raja Racun Muka Putih.
"Tidak salahkah penglihatanku ini, Raja Racun"!
Apakah dia adalah Dedemit Salju"!" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu
setengah tidak percaya.
Memang, Ki Gambala belum pernah bertemu Dedemit
Salju. Tapi julukannya sudah lama di dengar dan diketahuinya. Dedemit Salju adalah salah satu dari biang-biang iblis dunia
persilatan yang selama ini menjadi
ancaman! "Ya!" jawab Raja Racun Muka Putih. Nada suaranya menyiratkan kejengkelan, karena
Ki Gambala tidak mau
mendengar nasihatnya. "Sekarang kita tidak akan mungkin bisa kabur lagi! Dan
semua itu karena sikap keras
kepalamu!"
"Aku bukan orang pengecut sepertimu, Raja Racun!"
tandas Ki Gambala. Suaranya sama pelannya dengan Raja
Racun Muka Putih. Tapi ada tekanan yang kuat dalam
suaranya. "Pantang bagiku untuk melarikan diri dari musuh!"
"Itulah bodohnya dirimu! Kau hanya mementingkan
diri sendiri! Kau lupa nasib kekasih Dewa Arak!"
Seketika kepala Ki Gambala bagai diguyur seember air
es. Raja Racun Muka Putih benar! Masih ada orang yang
harus dipikirkan keselamatannya. Dan orang itu adalah
Melati! Mengapa dia lupa terhadap pesan Dewa Arak"
Bukankah keselamatan Melati telah dipercayakan padanya"
"Teruskanlah perdebatan kalian. Karena, sekarang
merupakan perbincangan kalian yang terakhir!" potong Dedemit Salju.
Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih saling
berpandangan sejenak. Sungguh tidak disangka kalau
Dedemit Salju begitu yakin akan mampu mengalahkan
mereka. Tapi, baik Ki Gambala maupun Raja Racun Muka
Putih tidak memikirkan hal itu lagi. Masih ada hal lebih penting yang harus
dipikirkan. "Mengapa kau sepertinya memikirkan keselamatan
Melati, Raja Racun?" tanya Ki Gambala tanpa menyembunyikan perasaan heran dalam suaranya.
Raja Racun Muka Putih tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Meskipun kulit wajahnya yang pulih seperti dikapur berubah pucat
tanpa diketahui, tapi sorot matanya yang mendadak sayu, memberi pertanda kalau
datuk sesat yang ahli dalam racun ini tengah dilanda perasaan sedih.
"Keadaan yang menimpa gadis ini mengingatkanku
akan anak angkatku, Gambala," kata Raja Racun Muka Putih, pelan. "Seorang gadis
yang seumur Melati, telah tewas karena tanpa sengaja telah menelan racun.
Keadaan Melati mengingatkanku akan keadaannya. Itulah sebabnya, aku
menjadi khawatir atas selamatannya. "
"Kalau begitu, mengapa kau tidak menyembuhkannya?" tanya Ki Gambala heran.
Raja Racun Muka Putih menatap wajah Ki Gambala
tajam-tajam. "Aku bukan sejenis orang yang suka menarik kembali ucapan yang telah
kukeluarkan, Gambala. Di depan Dewa
Arak, aku telah berjanji untuk menyembuhkan Melati setelah dia membawa
permintaanku."
Ki Gambala mengangguk-anggukkan kepala. Bisa
diterima alasan yang dikemukakan Raja Racun Muka Putih itu.
"Kuakui, aku adalah seorang tokoh sesat yang selalu bergelimang kejahatan. Tapi
pantang bagiku untuk menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah!" sambung Raja
Racun Muka Putih penuh semangat.
"Cukup!"
Bentakan Dedemit Salju menutup pembicaraan, Raja
Racun Muka Putih dan Ki Gambala. Kedua tokoh berbeda
aliran yang kini terpaksa akan bekerja sama untuk
menyelamatkan nyawa Melati, menatap ke arah Dedemit
Salju yang berjarak tiga tombak di hadapan mereka.
Usai mengeluarkan bentakan, Dedemit Salju me-
langkah menghampiri Raja Racun Muka Putih dan Ki
Gambala yang berdiri tegak membelakangi pembaringan
tempat Melati tergolek tak berdaya.
"Haaat..!"
Diiringi bentakan nyaring, Gambala melompat me-
nerjang Dedemit Salju. Sadar kalau lawan yang dihadapinya benar-benar
tangguh, maka, dalam serangan-serangan
pertama Ketua Perguruan Pedang Ular ini telah menghunus pedangnya dan
menusukkannya ke arah leher.
Wunggg...! Suara mengaung terdengar mengiringi tibanya se-
rangan Ki Gambala. Dan seperti biasanya, bilah pedangnya yang lemas itu
menyulitkan lawan untuk menebak arah yang dituju. Getarannya demikian hebat,
sehingga pedang itu seperti berjumlah puluhan batang.
"Hmh...!"
Dedemit Salju mendengus, melihat serangan itu.
Maka, kedua tangannya langsung bergerak ke arah punggung. Sesaat kemudian di kedua tangannya telah
tergenggam sepasang senjata berbentuk segi tiga, terbuat dari kayu keras
berwarna putih!
Begitu sepasang senjata itu telah berada di kedua
tangannya, langsung saja digerakkan untuk menyambut
sambaran pedang Ki Cambala.
Trakkk...! Suara keras terjadi akibat benluran kedua senjata itu
membuat tubuh Ki Gambala terhuyung ke belakang dengan
tangan bergetar hebat. Ada hawa dingin yang menyelusup masuk lewat tangannya,
tapi segera dipunahkan dengan
pengerahan tenaga dalam.
Dedemit Salju rupanya tidak bersikap main-main lagi.
Tanpa memberi kesempatan, diburunya tubuh Ki Gambala
yang tengah terhuyung-huyung itu. Lalu, dihujamnya dengan serangan-serangan
sepasang senjata yang berbentuk segi tiga.
Tapi Ki Gambala yang memang sudah bersiap siaga
sejak tadi segera mengadakan perlawanan dengan seluruh kemampuan. Maka
pertarungan sengit pun tidak bisa
dielakkan lagi.
Hebat bukan kepalang permainan pedang KI Gambala. Tapi masih lebih hebat lagi permainan sepasang senjata segi tiga milik
Dedemit Sahu. Datuk sesat yang menggiriskan itu memainkan senjatanya dengari
terlebih dahulu
memutarkannya, sehingga mengeluarkan suara mengaung dan lenyap bentuknya. Kemudian secara tidak
terduga-duga senjata itu meluruk deras ke arah Ki Gambala.
Terkadang menyodok atau menggaet. Tapi, tak jarang
mencangkul. Pergerakan sepasang senjata lawan yang aneh itu
membuat Ki Gambala kelabakan. Tak sampai sepuluh jurus, dia sudah tampak
kebingungan. Setiap serangan Ki Gambala mudah sekali berhasil
dikandaskan Dedemit Salju dengan hadangan sepasang segi tiganya. Dan setiap kali
terjadi benturan senjata, tangan Ki Gambala selalu tergetar hebat, disertai
tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang. Memang, tenaga dalam
Ketua Perguruan Pedang Ular ini cukup berselisih jauh di bawah tenaga dalam
Dedemit Salju. Sebaliknya setiap serangan balasan Dedemit Salju
pasti akan membuat Ki Gambala kelabakan bukan kepalang.
Hal ini memang tidak aneh. Karena, sebelum senjatanya itu diluncurkan ke arah Ki
Gambala, terlebih dulu diputar
laksana baling-baling.
Tak sampai tiga puluh jurus, Ki Gambala sudah
terdesak. Tampaknya, dia kini hanya bisa bertahan sambil mengelak. Bahkan
menangkis pun jarang dilakukan, karena akan merugikan dirinya.
Karena Ki Gambala lebih banyak mengelak, dan
menangkis hanya dilakukan kalau keadaan sudah sangat
memaksa, akibatnya pertahananya semakin kedodoran. Tapi hatinya tetap dikuatkan,
dan terus bertahan.
6 Raja Racun Muka Putih menyaksikan jalannya
pertarungan dengan dahi berkernyit. Dia tidak kaget lagi melihat Ki Gambala
terdesak. Memang suda diduga kalau
Ketua Perguruan Pedang Ular itu bukan tandingan Dedemit Salju. Tapi sungguh
tidak disangka kalau akan semudah itu Dedemit Salju membuat lawannya keteter.
Raja Racun Muka Putih tahu, robohnya Ki Gambala
hanya tinggal menunggu waktu saja. Gerakan sepasang
senjata berbentuk segi tiga milik Dedemit Salju memang terlalu kuat untuk bisa
ditahan dengan ilmu pedang Ki
Gambala. Tampak jelas kalau mutu ilmu senjata segi tiga Dedemit Salju jauh di
atas ilmu pedang Ki Gambala.
Raja Racun Muka Putih tahu, robohnya Ki Gambala
hanya tinggal menunggu waktu saja. Maka, dia tidak ingin menunggu sampai Ketua
Perguruan Peda Ular roboh. Karena bila hal itu terjadi, berarti akan berhadapan
dengan Dedemit Salju sendirian. Padahal Raja Racun Muka Putih tahu kalau dirinya
bukan tandingan Dedemit Salju yang luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Diiringi suara melengking nyaring, Raja Racun Muka
Putih terjun ke dalam kancah pertarungan. Selagi tubuhnya berada di udara
sepasang pisaunya dihunuskan. Kedua
senjata itu langsung ditusukkan ke arah berbagai bagian tubuh Dedemit Salju yang
mematikan. Trang, tranggg...!
Benturan keras antara pisau-pisau dengan senjata
berbentuk segi tiga mengawali terlemparnya kembali tubuh Raja Racun Muka Putih
ke belakang. Sementara tubuh
Dedemit Salju hanya terhuyung-huyung
ke belakang beberapa langkah.
Ki Gambala kini bisa bernapas lega. Dengan munculnya bantuan Raja Racun Muka Putih, beratnya
serangan Dedemit Salju menjadi berkurang jauh.
Memang setelah Raja Racun Muka Putih ikut campur,
jalannya pertarungan jadi lebih menarik, dan tidak berat sebelah lagi. Bahkan
kini kakek berpakaian bulu tebal itu kewalahan.
Tapi hal itu hanya berlangsung sekitar sepuluh jurus
saja. Lewat jurus itu, Dedemit Salju telah bisa menguasai keadaan kembali. Sulit
untuk mendesaknya kembali.
Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi
antara ketiga orang tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu.
Suara mengaung, mendesing, dan mencicit menyemaraki
jalannya pertarungan.
Raja Racun Muka Putih mengeluh dalam hati.
Sungguh tidak disangka kalau permainan senjata lawan
ternyata dahsyat luar biasa. Semula dikiranya hanya dalam tangan kosong saja
biang iblis ini memiliki kemampuan
tinggi. Ternyata permainan senjatanya pun tidak kalah hebat.
Karena masing-masing tokoh yang bertanding memiliki kecepatan gerakan yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu
sebentar saja empat puluh jurus telah berlalu, sejak Raja Racun Muka Putih dan
Ki Gambala bekerja sama dalam pertarungan. Dan selama ini, pertarungan masih berlangsung imbang. Tidak nampak
adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Rupanya hal itu membuat Dedemit Salju penasaran
bukan kepalang. Maka, 'Tenaga Inti Salju' segera dikerahkan.
Akibatnya hebat
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan kepalang. Sodokan, gaetan, tangkisan, paculan, dan terutama sekali putaran sepasang segi tiga itu,
mengeluarkan hawa dingin yang luar biasa! Hal itu membuat Ki Gambala dan Raja
Racun Muka Putih
terkejut bukan kepalang.
Memang, mula-mula serangan hawa dingin tidak
terlalu merepotkan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih.
Tapi lama kelamaan, akibatnya mulai terasa. Hawa dingin yang menyebar, semakin
lama semakin menggila.
Kalau semula serangan hawa dingin itu sama sekali
tidak mengganggu Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih, tidak demikian dengan
kejadian selanjutnya. Perlahan-lahan serangan hawa dingin mulai terasa.
Kini baik Ki Gambala maupun Raja Racun Muka
Putih harus membagi tenaga. Sebagian kini digunakan untuk menahan serangan hawa
dingin. Karena bila hal itu
dibiarkan, sekujur otot-otot dan urat-urat tubuh mereka akan sulit digerakkan.
Dan bila itu terjadi, jelas akan membuat kegesitan mereka berkurang jauh!
Memang, setelah Dedemit Salju mengerahkan 'Tenaga
Inti Salju', Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih mulai terdesak.
Betapapun Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetap saja tidak bisa mengubah
keadaan. Sergapan hawa dingin telah membuat kelihaian kedua
tokoh berbeda aliran itu berkurang jauh.
Diam-diam Raja Racun Muka Putih mengeluh dalam
hati. Keadaannya memang suit. Sebenarnya dia lebih suka kalau Dedemit Salju
dihadapi oleh seorang saja. Dengan demikian, akan leluasa untuk mengeluarkan
segala macam kemampuan ilmu racunnya tanpa takut melukai Ki Gambala seperti
sekarang ini. Seperti pada saat sekarang ini, Raja Racun Muka
Putih jadi tidak bisa mengeluarkan jurus 'Ular Hitam'
andalannya. Karena bila jurus itu dipergunakan, Ki Gambala akan celaka lebih
dulu. Apalagi di atas kertas, kemampuan Dedemit Salju berada di atas Ki Gambala!
Meskipun Raja Racun Muka Putih tidak bisa meng-
gunakan ilmu racunnya, tapi yang dihadapi Dedemit Salju sebenarnya berat. Karena
lawan kali ini adalah gabungan dari Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala, yang
justru lebih kuat dibanding perlawanan menghadapi Raja Racun
Muka Putih dengan ilmu racunnya.
Meskipun berada dalam keadaan terhimpit, Raja
Racun Muka Putih masih sempat membagi perhatiannya
untuk melihat Melati, meskipun hanya sekilas. Dan tentu saja hal itu tidak akan
bisa dilakukannya kalau menghadapi Dedemit Salju seorang diri.
Mendadak... Brakkk...! Daun jendela ruangan itu hancur berantakan. Dan
dari balik hancuran jendela melesat masuk sesosok berpakaian biru. Ternyata, dia adalah seorang pemuda
berwajah tampan dan berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Sesaat pemuda berpakaian biru itu menatap ke arah
pertarungan yang tengah berlangsung, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Lalu, matanya tertumbuk pada tubuh Melati yang tergolek tak daya.
"Rupanya kau tengah sekarat, Melati. Dan kekasihmu rupanya
tengah mencari obatnya. Hmh...! Tak akan kubiarkan kau mendapat obat penyembuhnyal Aku ingin
melihatmu tewas secara perlahan-lahan," desis pemuda berpakaian biru dalam hati.
Sebuah seringai kejam tersungging di mulut pemuda
berpakaian biru itu. Dengan langkah pasti, dihampirinya pembaringan Melati.
Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala terkeji bukan
kepalang. Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman
hidup, mereka tahu kalau pemuda berpakaian biru itu bukan kawan Melati. Gerak-
geriknya menunjukkan kalau pemuda
itu mempunyai dendam terhadap putri angkat Raja Bojong Gading itu.
Karuan saja hal itu membuat Ki Gambala dan Raja
Racun Muka Putih bingung bukan kepalang. Kalau menuruti perasaan, keduanya ingin
melesat ke arah pembaringan
Melati. Tapi sayangnya, kesempatan itu tidak dapat dilakukan. Apalagi keadaan mereka tengah terpojok.
Perasaan cemas akan keselamatan Melati, membuat
keadaan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih semakin
terdesak. Bahkan kini perhatian mereka terpecah. Dan
akhirnya, Raja Racun Muka Putih tidak kuat menanggung
perasaan cemasnya ketika melihat pemuda berpakaian biru itu membopong tubuh
Melati. "Hiyaaa...!"
Didahului sebuah teriakan nyaring, Raja Racun Muka
Putih meninggalkan kancah pertarungan. Tubuhnya melesat ke arah pemuda
berpakaian biru.
Tapi Dedemit Salju rupanya tidak sudi memberikan
kesempatan Raja Racun Muka Putih untuk mewujudkan
maksudnya. Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya
mengejar. Ngunggg...! Sepasang senjata segi tiganya berputar cepat menimbulkan suara mengaung. Lalu, senjata yang berada di tangan kanannya
diluncurkan cepat ke arah belakang kepala Raja Racun Muka Putih!
"Raja Racun! Awas...!" teriak Ki Gambala keras ketika melihat bahaya maut yang
tengah mengancam Raja Racun
Muka Putih. Sebenarnya, tanpa diberitahu Ki Gambala pun, Raja
Racun Muka Putih tahu kalau ada bahaya maut yang tengah mengancamnya. Suara
mengaung keras dari luncuran
senjata itu jelas tertangkap telinganya.
Tanpa melihat pun, Raja Racun Muka Putih tahu
kalau serangan yang dituju oleh senjata Dedemit Salju adalah ke
arahnya. Oleh karena itu, tanpa menghentikan lompatannya karena keadaan yang tidak menguntungkan,
tubuhnya membungkuk sehingga serangan itu lewat di atas kepala.
Tapi kejadian seperti itu sudah diperhitung Dedemit
Salju. Di saat itulah, senjata segi tiga yang berada di tangan kiriinya
disodokkan ke arah punggung!
Bukkk...! "Huakhhh...!"
Darah segar menyembur dari mulut Raja Racun Muka
Putih ketika ujung senjata segi tiga itu mendara dengan telak dan keras sekali
dipunggungnya. Tidak hanya itu saja yang diderita Raja Racun Muka Putih.
Tubuhnya pun terjungkal ke depan. Untung di saat terakhir, dia telah mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya ke arah punggung. Kalau tidak, mungkin sudah sejak tadi
nyawanya melayang ke alam baka.
"Raja Racun...!" jerit Ki Gambala kaget ketika melihat tubuh Raja Racun Muka
Putih terpental kemudian jatuh
bergulingan di lantai. Berbarengan teriakannya Ketua Perguruan Pedang Ular ini melompat menyusul. Pedang di tangannya meluncur cepat
ke arah tengkuk Dedemit Salju.
"Hmh...!"
Meskipun tubuhnya tengah berada di udara, sementara serangan Ki Gambala tiba begitu cepat, Dedemit Salju mampu
mempertunjukkan kelihaiannya. Kepalanya
ditundukkan, sehingga serangan pedang itu meluncur cepat ke atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan yang
dilakukan Dedemit Salju. Pada saat kepalanya merunduk, kaki kanannya bergerak
menendang ke belakang seperti
layaknya seekor kuda menendang.
Ki Gambala terperanjat melihat datangnya serangan
balasan yang sama sekali tidak diperhitungkan.
Sebenarnya kalau saja Ketua Perguruan Pedang Ular
ini tidak kalap, hal seperti ini ada dalam perhitungannya.
Tapi kenyataan mengatakan lain. Maka....
Bukkk! "Hugh...!"
Tubuh Ki Gambala terlempar jauh ke belakang ketika
kaki Dedemit Salju mendarat di perutnya, telak dan keras sekali.
Darah segar menyembur deras sepanjang melayangnya tubuh Ki Gambala ke belakang. Luncuran
tubuh Ketua Perguruan Pedang Ular itu baru terhenti ketika menabrak
dinding! Perlahan-lahan tubuh Ki Gambala merosot jatuh ke lantai, disertai darah segar yang mengalir dari sudut-sudut
mulutnya. Ketua Perguruan Pedang Ular itu diam tidak bergerak
lagi untuk selamanya. Memang, nyawa Ki Gambala telah
meninggalkan raga saat tubuhnya tengah melayang di udara.
*** "Hup...!"
Begitu kedua kakinya mendarat di lantai, Dedemit
Salju langsung melesat keluar melalui jendela. Memang, pemuda berpakaian biru
itu telah kabur meninggalkan
tempat itu sambil membopong tubuh Melati.
Sesampainya di luar jendela, Dedemit Salju langsung
menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Barangkali saja masih bisa melihat
bayangan tubuh pemuda berpakaian biru.
Tapi harapannya tidak terkabul. Tidak nampak sepotong
tubuh pun yang terlihat walaupun sepasang matanya telah berkeliling.
"Keparat...! Siapa pemuda yang berani menculik calon korbanku...!" desis Dedemit
Salju penuh geram. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh ancaman.
Setelah puas mengucapkan sumpah serapah, Dedemit
Salju kembali masuk ke dalam ruangan tempat tubuh Raja Racun Muka Putih dan Ki
Gambala tergolek.
"Hm...!"
Dengan ujung kakinya Dedemit Salju membalikkan
tubuh Raja Racun Muka Putih yang tertelungkup di lantai, hingga menelentang.
Sesaat diperhatikannya keadaan tubuh Raja Racun Muka Putih. Pandang matanya yang
tajam langsung bisa mengetahui kalau kakek berpakaian merah itu telah tewas!
Tapi untuk lebih menyakinkan hati, kakinya diletakkan di atas dada Raja Racun Muka Putih, kemudian ditekannya. Terdengar
suara gemeretak keras dari tulang-tulang dada yang hancur, diiringi mengalirnya
darah segar dari mulut, hidung, dan telinga Raja Racun Muka Putih.
Tanpa mempedulikan keadaan Raja Racun Muka
Putih lagi, Dedemit Salju melangkah menghampiri tubuh Ki Gambala. Hanya sekilas
saja dapat diketahui kalau Ki
Gambala telah tewas.
Dengan langkah dan sikap tenang seperti tidak
pernah terjadi apa-apa, Dedemit Salju melangkah meninggalkan ruang itu. Tapi baru juga beberapa langkah keluar dari ambang
pintu, langkahnya berhenti.
"Berhenti...! Siapa kau"! Mengapa berkeliaran di
sini...."!"
Dedemit Salju menolehkan kepala ke kanan, arah asal
suara itu. Tampak olehnya dua sosok tubuh, yang terdiri dari seorang wanita
berpakaian merah menyala dan laki-laki
berpakaian seragam Perguruan Pedang Ular. Mereka ini tak lain dari Karmila dan
Rupangki. Sebenarnya Karmila dan Rupangki sudah sejak tadi
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar adanya ribut-ribut. Tapi karena percaya pada adanya Ki Gambala,
terpaksa mereka berpura-pura tidak
mendengar. Bahkan terus tenggelam dalam lautan asamara.
Baru setelah berakhir, mereka melesat keluar untuk
melihat keributan yang tengah terjadi. Saat itulah Rupangki dan Karmila melihat
Dedemit Salju tengah beranjak keluar dari tempat penjagalannya.
Rupangki dan Karmila menghentikan langkah ketika
telah berjarak tiga tombak dari Dedemit Salju. Kini, mereka saling berdiri
berhadapan. Dan dengan hati curiga, Rupangki melirik ke arah ruangan yang baru
ditinggalkan Dedemit Salju.
"Mereka semua sudah kubunuh...!" kata Dedemit Salju yang melihat lirikan mata
Rupangki. "Bohong...! Kau bohong...!" teriak Karmila gemetar.
"Orang sepertimu mana bisa membunuh mereka!"
Kontan sepasang mala Dedemit Salju berkilat karena
amarah yang melanda. Memang, dia paling tidak suka jika ada orang yang meragukan
kemampuannya. "Kalau tidak mengingat kau adalah wanita, sudah
kulenyapkan nyawamu, Nisanak!" kata Dedemit Salju geram.
"Tenanglah, Karmila," tegur Rupangki pelan seraya menoleh wanita yang telah
menjadi istrinya ini.
"Kalau kalian tidak percaya, silakan lihat sendiri!"
tandas Dedemit Salju yang merasa tersinggung karena
ucapannya tidak dipercaya.
Usai berkata demikian, Dedemit Salju menggeser
tubuh, memberi jalan pada Rupangki dan Karmila untuk
melihat ke dalam ruangan.
Rupangki dan Karmila tahu maksud Dedemit Salju.
Tapi, mereka tentu saja tidak langsung percya.a Mereka merasa khawatir kalau
Dedemit Salju akan menggunakan
kesempatan itu untuk membokong mereka. Oleh karena itu, Rupangki menyuruh Karmil
berjalan lebih dulu. Sedangkan dia
berjalan di belakangnya, dengan sepasang mata mengawasi semua gerak-gerik Dedemit Salju.
Tapi kekhawatiran Rupangki ternyata tidak beralasan.
Dedemit Salju sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu, dan malah berdiri
tenang. Ki...!" Jerit keterkejutan Karmila membuat Rupangki melupakan perhatiannya terhadap Dedemit Salju. Kepala
pemuda tinggi kurus ini menoleh pula ke dalam. Seketika itu pula, Rupangki
terpaku di tempat. Sepasang matanya
membelalak lebar seakan-akan tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bahkan
kedua kakinya pun menggigil keras.
Memang, pemandangan yang terlihat terlalu mengejutkan.
Rupangki terpukul bukan kepalang. Baru kemarin
pagi dia dan seluruh murid Perguruan Pedang Ular
berkabung besar akibat tewasnya beberapa orang murid
Perguruan Pedang Ular, kini disaksikan sendiri kematian gurunya secara begitu
mengenaskan. "Bagaimana" Kalian masih tidak percaya ucapanku?"
sindir Dedemit Salju penuh kepuasan karena berhasil
membuktikan kebenaran ucapannya barusan.
"Jahanam...!" jerit Rupangki keras sambil membalikkan tubuh.
Ucapan Dedemit Salju memang telah berhasil menyadarkannya dari keterpakuan. Kini dia menatap ke arah Dedemit Salju dengan
sinar mata memancarkan hawa maut.
Sekujur tubuh Rupangki tampak bergetar hebat karena
kemarahan yang melanda. Wajahnya pun tampak merah
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 17 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Harpa Iblis Jari Sakti 21
yang dimilikinya tidak mampu menandingi Melati. Hal ini lebih menyakitkan daripada
sewaktu menghadapi Ki Gambala.
Hatinya rela kalah dalam pertarungan menghadapi Ketua
Perguruan Pedang Ular itu dari pada menghadapi Melati yang masih muda!
Sadar akan kenyataan kalau tidak mungkin bisa
mengalahkan Melati, membuat Raja Ular Gunung Pare
menjadi nekat. Kini laki-laki berwajah tirus itu bertarung tanpa mempedulikan
pertahanan diri. Tekatnya adalah
mengajak Melati mati bersama!
Dengan keputusan seperti itu. Raja Ular Gunung Pare
segera menyerang kalang kabut. Akibatnya, kedahsyatan
serangan-serangannya pun menjadi berlipat ganda.
Melati bukan orang bodoh. Maksud serangan- serangan yang mendadak berubah cepat dan pertahanan
yang terbuka di sana-sini, jelas sekali diketahuinya. Tentu saja hal ini tidak
sudi diladeninya. Untuk beberapa jurus lamanya, Melati hanya menghindar terus.
Dengan demikian, untuk beberapa jurus lamanya
Raja Ular Gunung Pare berhasil membebaskan diri dari
desakan Melati. Bahkan kini Melati yang terlihat seperti terdesak, karena terus
menghindar. "Melati...! Awas...!"
Ki Gambala yang sejak tadi memperhatikan jalannya
pertarungan, berseru keras memperingatkan Melati. Saat itu matanya yang tajam
menangkap adanya seleret sinar
berkilauan dari atas bangunan. Dan seiring teriakannya, Ki Gambala
melesat cepat meninggalkan kursi yang didudukinya. Hatinya benar-benar khawatir akan keselamatan kekasih Dewa Arak itu.
Memang, pada saat itu Melati berada dalam keadaan
tidak menguntungkan. Tubuhnya tengah berada di udara,
sehabis mengelakkan serangan yang kalang kabut dari Raja Ular Gunung Pare. Dan
pada saat itu pula seleret sinar berkilauan menyambar deras ke arah lehernya.
Namun meskipun berada dalam keadaan sulit, Melati
masih mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Tubuhnya
digeliatkan, karena memang hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
selembar nyawanya. Tapi....
"Ikh...!"
Melati terpekik pelan, begitu benda berkilauan yang
ternyata sebuah logam putih mengkilat berbentuk mata anak panah, mengenai
punggung kanannya.
Dan secepat itu pula hawa dingin yang amat sangat
meresap ke dalam tubuh gadis irii. Hawa dingin itu membuat sekujur urat-urat dan
otot-otot tubuh Melati kaku! Maka tanpa ampun lagi, tubuh Melati terjungkal ke
bawah, dan jatuh berdebuk di tanah.
"Melati...!"
Hampir berbareng, Arya, Karmila, dan Rupangki
berseru kaget ketika melihat tubuh Melati jatuh berdebuk di tanah. Mereka sempat
pula melihat adanya sebuah benda
berwarna putih mengkilat yang menghunjam tubuh gadis
berpakaian putih itu. Dan secepat kilat, tubuh Arya segera melesat ke arah
Melati. Cepat bukan main gerakan Dewa Arak, sehingga yang
terlihat hanyalah sekelebatan bayangan ungu tanpa ketahuan bentuknya. Memang, dalam cekaman rasa khawatir yang menggelegak, Dewa
Arak telah mengerahkan sampai
titik terakhir ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya.
Meskipun gerakan Arya cepat bukan kepalang, tapi
tetap saja kalah oleh Raja Ular Gunung Pare yang telah lebih dulu melesat
menerjang Melati dengan ujung suling menotok ke arah ubun-ubun. Apabila serangan
ini mengenai sasaran, sudah dapat dipastikan kalau nyawa Melati akan melayang
saat itu juga. Rupanya, nasib baik masih berpihak pada Melati.
Meskipun Dewa Arak terlambat memberikan pertolongan,
tapi tidak demikian dengan Ki Gambala. Pedang lemas Ketua Perguruan Pedang Ular
itu cepat memotong luncuran suling Raja Ular Gunung Pare.
Trakkk...! Akibat tangkisan pedang Ki Gambala, serangan suling
Raja Ular Gunung Pare jadi menyeleweng jauh dari sasaran.
Bahkan tangan yang menggenggam suling bergetar hebat.
Raja Ular Gunung Pare langsung menghentikan
serangannya terhadap Melati. Dan kini, di hadapannya telah berdiri Ki Gambala.
Di belakang Ketua Perguruan Pedang Ular itu masih ada Dewa Arak yang tengah
membungkukkan tubuh, memeriksa keadaan Melati. Kecemasan tampak
membayang di wajah pemuda bel rambut putih keperakan
itu. "Ah...!" seru Arya kaget.
Dewa Arak merasakan sekujur tubuh Melati dingin
seperti layaknya orang mati. Dia tahu, senjata yang
menghunjam tubuh Melati mengandung racun ganas.
Maka buru-buru ditotoknya jalan darah di sekitar
luka untuk mencegah racun itu menalar lebih jauh.
Bukan hanya Dewa Arak yang merasa cemas. Ki
Gambala, Karmila, dan Rupangki pun merasa cemas bukan
kepalang melihat tubuh Melati tergolek. Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya
Karmila dan Rupangki melesat
menghampiri Melati.
"Ha ha ha...! Percuma, Dewa Arak...! Racun itu telah menjalar. Dan kujamin,
tidak akan ada seorang pun di kolong langit ini yang bisa menyembuhkan kekasihmu
itu kecuali aku!"
Bukan hanya Arya saja yang menoleh ke arah asal
suara itu, tapi juga Ki Gambala dan Raja Ular Gunung Pare.
"Keparat, kau!" seru Dewa Arak tertahan seraya bangkit berdiri. Sepasang matanya
menyorotkan hawa maut ketika menatap ke arah pemilik suara yang ternyata Raja
Racun Muka Putih!
"Ha ha ha...!"
Raja Racun Muka Putih tertawa bergelak untuk
menutupi perasaan gentar ketika melihat ancaman yang
memancar dari sepasang mata Dewa Arak.
"Cepat berikan obat pemunahnya, sebelum kesabaranku hilang!" ancam Dewa Arak dengan suara bergetar karena amarah yang
bergejolak dalam dada.
Raja Racun Muka Putih bergidik. Dia tahu, ucapan
Dewa Arak tidak main-main. Terasa ada nada kesungguhan dalam ucapan dan sikap
pemuda berambut putih keperakan itu. Tapi dengan cerdiknya, kakek berpakaian
merah ini menyembunyikan perasaannya sehingga tidak nampak pada
wajahnya. "Menyembuhkan gadis itu perkara gampang, Dewa
Arak," jawab Raja Racun Muka Putih. "Asal, kau bersedia memenuhi permintaanku."
"Keparat licik!" maki Arya kalap. "Jangan harap aku akan memenuhi permintaan
busukmu!" Raja Racun Muka Putih mengangkat bahu.
"Aku tidak punya banyak waktu, Dewa Arak. Racun
yang mengeram di tubuh kekasihmu bukan racun main-
main, tapi racun ganas. Apabila ada tanda bundar berwarna biru sebesar kuku jari
kelingking telah timbul di dahinya, aku tidak akan bisa menyelamatkan nyawanya
lagi. Semua terserah padamu. Dewa Arak. Asal tahu saja, aku tidak takut mati.
Lagi pula, mati bersama seorang gadis cantik seperti kawanmu merupakan kematian
yang amat menyenangkan."
Dewa Arak menggeram keras. Disadari kalau Raja
Racun Muka Putih bermaksud memerasnya. Kalau menuruti
perasaan, ingin rasanya kakek berpakaian merah itu
dilabraknya. Tapi sayangnya, hal itu tidak mungkin dilakukan mengingat keselamatan Melati berada di tangan kakek berpakaian merah
itu. Dengan kecemasan yang
semakin memuncak, diperhatikannya tubuh Melati.
Memang, ucapan Raja Racun Muka Putih rasanya ada
benarnya juga. Tanda bulat berwarna biru sekuku jari
kelingking memang tampak. Hanya saja, bukan pada dahi, melainkan di tangan.
"Baiklah, Raja Racun," Arya menyerah, setelah terlebih dulu menghembuskan napas berat "Apa permintaanmu?"
"Ha ha ha...!" Raja Racun Muka Putih tertawa penuh kemenangan. "Permintaanku
masih sama dengan yang dulu, Dewa Arak."
"Maksudmu..."
Arya terpaksa menghentikan ucapannya, karena Raja
Racun Muka Putih telah buru-buru mencegahnya. Rupanya
kakek berpakaian merah itu tidak ingin orang-orang yang ada di situ mengetahui
permintaannya. "Bagaimana aku tahu kalau kau tidak akan meni-
puku. Raja Racun?" tanya Dewa Arak.
"Ucapkanlah janji, kalau permintaanku akan kau
penuhi. Maka, saat ini juga kekasihmu akan kuberikan obat yang membuat racun itu
tidak akan mencabut nyawanya,"
ujar Raja Racun Muka Putih.
Arya tercenung sebentar.
"Cepat, Dewa Arak!" desak Raja Racun Muka Pulih tidak sabar. "Kalau tanda biru
itu muncul di dahi, jangan harap aku bisa menyelamatkan nyawanya."
"Baik, Raja Racun. Permintaanmu kupenuhi," ucap Arya mantap.
"Kau juga harus berjanji akan membiarkanku pergi, setelah memenuhi permintaanku
itu," tegas Raja Racun Muka Putih lagi. "Katakan, Dewa Arak "
"Aku berjanji akan membiarkanmu pergi, setelah
kuberikan permintaanmu itu, Raja Racun. Tapi, ingat.
Janjiku ini tidak berlaku untuk selamanya. Apabila dalam perjalanan aku bertemu
denganmu, dan tengah melakukan
kejahatan, aku akan menantangmu!"
"Ha ha ha...! Aku setuju dengan janji itu, Dewa Arak!"
sambut Raja Racun Muka Putih, cepat.
"Cepat berikan obat itu, Raja Racun!" seru Dewa Arak tak sabar.
Raja Racun Muka Putih tertawa bergelak, kemudian
tangannya dimasukkan ke balik baju. Dan ketika keluar, di tangan itu telah
tergenggam sebuah kantung kain kecil
berwarna merah. Dari dalam kantung itu diambilnya sebuah obat pulung berwarna
Jingga. "Berikan obat ini padanya," kata Raja Racun Muka putih seraya mengangsurkan
tangannya pada Dewa arak.
Arya segera mengambil obat pulung itu dan memasukkannya ke dalam mulut Melati.
"Tunggu sampai dua ratus hitungan," ucap Raja Racun Muka Putih lagi.
Arya sama sekali tidak menyambuti ucapan kakek
berpakaian merah itu. Seluruh perhatiannya ditujukan
kepada Melati, sambil menghitung dalam hati.
Bukan Arya saja yang menunggu-nunggu kebenaran
ucapan Raja Racun Muka Putih. Ki Gambala dan Raja Ular Gunung Pare seperti diam
seribu bahasa sambil juga
memperhatikan gadis itu. Memang, kedua tokoh ini terkejut bukan kepalang begitu
melihat kehadiran Raja Racun Muka putih, yang merupakan pentolan kaum sesat
terkenal. Itulah sebabnya, mereka melupakan perkelahiannya. Dan kini
malah terpaksa menunggu kelanjutan kejadian antara Dewa Arak dan Raja Racun Muka
Putih. Di antara semua kancah pertarungan, hanya per-
tarungan antara Golok Malaikat dan Golok Emas saja yang masih berlangsung
sengit. Pertarungan antara kedua orang itu memang ramai
bukan kepalang. Kepandaian mereka yang sama-sama
memiliki keahlian bermain golok itu, ternyata hanya berselisih sedikit saja. Sehingga baru pada jurus keseratus tujuh puluh lima.
Golok Malaikat mulai berhasil mendesak Golok Emas.
Sekarang serangan-serangan Golok Emas semakin
berkurang, dan lebih banyak menangkis dan mengelak.
Sebaliknya, Golok Malaikat mulai semakin bertubi-tubi
mengancam lewat serangan-serangan yang dahsyat.
Semakin lama, gulungan sinar keemasan yang berasal
dari golok emas Ketua Perguruan Golok Maut makin
mengecil. Hal ini menandakan kalau keadaan Golok Emas
yang semakin terjepit.
Pada jurus keseratus sembilan puluh satu, Golok
Malaikat melompat ke atas. Golok di tangannya dibalutkan ke arah kepala dari
atas ke bawah. Rupanya, dia bermaksud membelah tubuh lawan menjadi dua bagian
yang sama.
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Golok Emas terkejut bukan kepalang melihat hal ini.
Apalagi, keadaannya saat itu tidak menguntungkan. Tidak ada kesempatan lagi
baginya untuk mengelakkan serangan itu. Dan sepertinya, jalan satu-satunya hanya
menangkis untuk menyelamatkan nyawa.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, si Golok Emas memalangkan senjata andalannya di atas kepala. Dan....
Tranggg...! Bunga api memercik ke sana-kemari ketika dua buah
senjata yang mempunyai nama sama tapi berbeda ukuran,
bertemu dalam sebuah benturan keras yang memekakkan
telinga. Tubuh si Golok Emas terhuyung-huyung ke belakang.
Golok besarnya terlepas dari pegangan, karena tangan yang menggenggam terasa
lumpuh karena berbenturan. Hal ini
terjadi karena keadaan si Golok Emas kurang memungkinkan untuk mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya. Di lain pihak, tenaga yang terkandung dalam serangan
Golok Malaikat jadi bertambah
besar, karena dibantu tenaga ayunan lompatannya. Dan akibatnya, hal itulah yang terjadi.
Wajah si Golok Emas berubah ubah. Sebentar pucat,
sebentar merah. Disadari kalau dirinya telah kalah seiring jatuhnya senjata
andalannya. Memang, seorang tokoh tingkat atas, senjata andalan merupa nyawa
kedua. Maka, bila telah terlepas dari tangan berarti telah kalah. Walau
merupakan ketentuan tidak tertulis di kalangan tokoh persilatan, tapi baik Golok
Emas maupun Golok Malaikat sama-sama tahu
tentang hal itu.
"Ha ha ha...!" Golok Malaikat tertawa bergelak.
"Akhirnya, terwujud juga keinginanku sejak belasan tahun lalu. Kini akulah ahli
golok nomor satu! Ha ha...! Maka, sekarang aku berhak memakai gelar Raja Golok!
Ha ha ha...!"
Golok Emas hanya bisa tersenyum pahit. Tapi sebagai
orang yang gagah dan berjiwa ksatria, dia pun mengakui keunggulan lawannya.
"Kau memang hebat, Golok Malaikat. Sekarang kau
berhak mendapat julukan Raja Golok. Ilmu golokmu memang luar biasa," puji Ketua
Perguruan Golok Emas itu jujur.
Seketika itu pula tawa Golok Malaikat terhenti.
Sebagai tokoh aliran putih, dia merasa malu melihat
kebesaran jiwa Golok Emas yang mengakui kekalahannya.
"Ah! Kemenangan yang kudapatkan hanya karena
kebetulan belaka, Golok Emas. Aku yakin, kalau pertarungan diulangi bukan tidak
mungkin aku akan roboh di tanganmu.
Ilmu golok yang kau miliki benar-benar luar biasa, Golok Emas! Aku puas dapat
bertarung denganmu. Biarlah. Sebagai tanda gembiraku mendapatkan seorang lawan
sepertimu, aku tidak akan mengejar-ngejar lagi keturunan Kalapati."
"Benarkah itu, Raja Golok?" tanya Golok Emas memastikan. Sengaja dipanggilnya
Golok Malaikat dengan gelar barunya.
Golok Malaikat mengulapkan tangannya.
"Aku minta, panggillah aku dengan julukan yang
dulu. Golok Emas."
"Mengapa..., Ra... eh, Golok Malaikat"!" Golok Emas mengeryitkan keningnya.
"Karena, aku belum yakin akan kemenanganku kali
ini!" tandas Golok Malaikat "Kalau kau tetap berkeras memanggilku Raja Golok,
aku akan pergi sini!"
Golok Emas tersenyum getir.
"Baiklah," desah Ketua Perguruan Golok mengalah.
"Tapi boleh kutahu, apa alasanmu membiararkan keturunan Kalapati?"
"Hhh...! Karena aku tahu, orang seperti kau dan Ki Gambala tidak akan mungkin
melindungi orang bersalah.
Apalagi sampai menjadikannya mantu! Ha ha...!"
"Kau benar, Golok Malaikat. Ha ha ha...!"
Dua ahli golok yang tadi terlibat dalam pertarungan
mati-matian, kini sama-sama tertawa bergelak. Suasana
keakraban tampak jelas dalam sikap dan tawa mereka.
Di arena yang lain pun, Arya merasa lega bukan
kepalang ketika melihat tanda biru di tangan dan leher Melati mulai memudar,
walaupun tidak lenyap benar.
"Sekarang kekasihmu tidak terancam bahaya lagi
Dewa Arak. Tapi dia tetap tidak akan sadar. Aku akan
menyembuhkannya apabila kau telah berhasil memenuhi
permintaanku. Semakin cepat kau membawanya, semakin
cepat kekasihmu sembuh," jelas Raja Racun Muka Putih.
Arya berjalan menghampiri Ki Gambala, kemudian
berdiri di sebelahnya.
"Kau...," sebut Dewa Arak sambil menuding jari telunjuknya ke arah Raja Ular
Gunung Pare. "Mengapa tidak lekas pergi dari sini"! Atau..., menunggu
kemarahanku bangkit dan membunuhmu"!"
Raja Ular Gunung Pare menelan ludah dengan susah
payah. Meskipun belum merasakan kelihaian Dewa Arak, tapi melihat kenyataan
betapa Raja Racun Muka Putih yang
begitu terkenal saja terlihat gentar pada Dewa Arak, maka bisa diperkirakan
tingkat kepandaian pemuda berambut
putih keperakan itu.
Meskipun begitu, Raja Ular Gunung Pare belum
merasa yakin kalau tidak mencobanya sendiri. Mana
mungkin orang semuda Arya akan mampu mengunggulinya"
Kalau saja tidak ada Ki Gambala di situ, Dewa Arak mungkin sudah
diterjangnya. Tapi disadari, keadaannya tidak menguntungkan. Maka Raja Ular Gunung Pare hanya
menahan perasaan saja. Tubuhnya kemudian segera melesat meninggalkan tempat itu
setelah terlebih dulu membuang ludah ke tanah.
Melihat kepergian Raja Ular Gunung Pare, tokoh-
tokoh persilatan yang tidak tewas segera melangkah tertatih-tatih meninggalkan
tempat itu. Mereka tahu, tidak ada
gunanya lagi berada di situ. Bahkan tokoh-tokoh aliran putih yang tadi secara
tak langsung membantu tokoh-tokoh aliran hitam, melangkah meninggalkan tempat
itu. Hati mereka
merasa tidak enak melihat akibat yang diderita Perguruan Pedang Ular. Tapi
tindakan mereka sama sekali tidak
menarik perhatian, karena ada masalah yang jauh lebih
gawat, terutama bagi Melati.
"Ki... Bersediakah bila aku menitipkan Melati di sini?"
tanya Arya hati-hati ketika melihat Raja Ular Gunung Pare telah tidak berada di
situ lagi. "Perguruan Pedang Ular selalu terbuka untukmu,
Arya." "Tapi..., apakah kau percaya begitu saja akan ucapan orang seperti Raja Racun
Muka Putih ini"!" Ki Gambala seraya menatap tajam wajah kakek berpakaian merah
itu. "Aku khawatir, kau akan ditipu mentah mentah, Arya."
"Kalau tidak memandang Dewa Arak, sudah hancurkan mulutmu, Gambala!" dengus Raja Muka Putih.
"Aku adalah seorang datuk. Pantang menarik ucapan yang telah kukeluarkan. Dewa
Arak percaya padaku, sebagaimana halnya aku percaya akan janji yang diucapkannya
" Ki Gambala pun terdiam sejenak.
"Kalau begitu, terserah padamu, Arya. Aku tahu kau tidak pernah sembarangan
mengambil keputusan."
"Terima kasih, Ki."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak berpaling pada
Raja Racun Muka Putih.
"Setelah permintaanmu kupenuhi ke mana harus
mengantarkannya?"
"Bagaimana kalau aku tinggal di sini saja, Dewa Arak.
Percayalah. Sebagaimana aku percaya pada janjimu, kau pun harus percaya padaku.
Barangkali saja tenagaku di sini ada gunanya."
"Aku belum mengerti maksudmu, Raja Racun," kata Dewa Arak sambil mengernyitkan
kening. "Aku khawatir terhadap keadaan kekasihmu, Dewa
Arak. Sekarang dia berada dalam keadaan tak berdaya. Lalu, bagaimana kalau ada
orang mempunyai niat yang tidak baik padanya" Aku yakin kekasihmu ini banyak
mempunyai musuh, mengingat kepandaiannya yang tidak rendah dan
wataknya yang berangasan terhadap penjahat. Sedangkan
kau tidak berada di sisinya. Kau yakin akan penjagaan yang dilakukan oleh kakek-
kakek jompo ini" Dengan adanya aku di sini, setidak-tidaknya ada tambahan tenaga
yang tidak ternilai, seandainya ada orang yang akan berbuat jahat terhadapnya,"
urai Raja Racun Muka Putih panjang lebar.
Arya terdiam sejenak. Disadari ada kebenaran dalam
ucapan Raja Racun Muka Putih itu. Dia bukannya bermaksud meremehkan penjagaan Ki Gambala. Tapi,
ucapan Raja Racun Muka Putih memang mengandung
kebenaran yang tidak bisa dibantah.
"Bagaimana, Ki?" tanya Dewa Arak meminta per-setujuan Ketua Perguruan Pedang
Ular itu. "Terserah padamu, Arya," jawab Ki Gambala sambil mengangkat bahu. "Aku percaya,
semua keputusan yang kau ambil, sudah dipikirkan masak-masak."
"Maaf, Ki. Bukannya aku bermaksud merendahkan
kepandaianmu dan membenarkan ucapan Raja Racun. Tapi
memang banyak keuntungan apabila dia berada di sini.
Setidak-tidaknya,
dapat memeriksa keadaan Melati. Barangkali saja, ada kelainan yang tidak terduga," ucap Arya hati-hati agar Ki
Gambala tidak tersinggung.
"Aku mengerti, Arya," desah Ketua Pergurunn Pedang Ular pelan.
Walaupun hatinya tersinggung ketika melihat Dewa
Arak seperti membenarkan ucapan Raja Racun Muka Putih, tapi Ki Gambala berusaha
menyembunyikannya. Inilah
saatnya untuk membalas budi Dewa Arak yang telah
bertumpuk-tumpuk. Kalau tidak sekarang, kapan lagi"
Apalagi ketika disadari kalau Melati terluka karena membela Perguruan Pedang
Ular. "Terima kasih, Ki," ucap Arya sambil menggenggam tangan Ki Gambala erat-erat.
Dan genggaman itu langsung disambut tak kalah hangat oleh Ketua Perguruan Pedang
Ular. "Lupakanlah, Arya. Di antara sahabat tidak perlu
banyak peradatan seperti ini," ujar Ki Gambala sambil tersenyum
simpul. Karena, ucapan itu dulu pernah dikatakan Dewa Arak padanya.
Arya melengak sesaat ketika menyadari kalau perkataan Ki Gambala itu adalah ucapannya sendiri. Tapi ketika melihat senyum
yang tersungging di bibir Ketua
Perguruan Pedang Ular, dia tahu kalau dirinya tengah
diledek. Maka sebuah senyum simpul pun tak bisa ditahan Dewa Arak lagi.
"Sebaiknya, kita bawa Melati ke dalam, Arya. Rasanya tidak pantas membiarkannya
berlama-lama di luar," ujar Ki Gambala bernada mengingatkan.
"Kau benar, Ki," sambut Arya cepat.
Usai berkata demikian, Dewa Arak segera membungkukkan tubuhnya dan mengangkat Melati.
"Mari, Arya," kata Ki Gambala seraya melangkah menuju ke salah satu bangunan
yang ada di dalam
Perguruan Pedang Ular. Sebelumnya, dia memberi perintah pada
murid-muridnya untuk membereskan bekas pertarungan. Tanpa menunggu ajakan dua kali, Dewa Arak segera
melangkah di belakang Ki Gambala, diikuti Raja Racun Muka Putih, Golok Malaikat,
dan si Golok Emas. Tak ketinggalan pula Rupangki dan Karmila.
5 Matahari mulai condong ke Barat. Bias-bias kemerahan pun menyeruak di bagian langit, tempat matahari terbenam. Tak lama
lagi, kegelapan pun akan turun
menyelimuti seluruh persada.
Murid-murid Perguruan Pedang Ular baru saja selesai
membereskan halaman depan perguruan yang
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
porak- poranda. Panggung, hiasan warna-warni, dan tubuh rekan-rekan mereka yang mati
atau terluka telah diurus. Dan kini, mereka tengah beristirahat melepas lelah.
Brakkk...! Tiba-tiba suara gaduh bersamaan hancurnya daun
pintu gerbang, membuat murid-murid Perguruan dang Ular tersentak kaget. Terutama
sekali, yang ada di gardu
penjagaan. Tiga orang yang menjaga gardu penjagaan inilah yang langsung
menyadari akan apa yang telah terjadi.
Walapun masih lelah, tiga orang murid Perguruan
Pedang Ular ini langsung melesat ke arah pintu gerbang.
Tampak di balik daun pintu gerbang perguruan
tampak seorang kakek bertubuh pendek gemuk. Pakaiannya terbuat dari bulu
binatang berwarna putih. Sebuah topi berbentuk kerucut. Terbuat dari kulit
binatang, bertengger di kepalanya. Siapa lagi kakek ini kalau bukan Dedemit
Salju (Untuk jelasnya, silakan baca Serial Dewa Arak dalam
episode "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
"Katakan, di mana Dewa Arak! Cepat!" bentak Dedemit Salju begitu melihat adanya
tiga sosok tubuh di hadapannya.
"Andaikata tahu pun, kami tidak akan katakan
padamu," sahut salah seorang murid Perguruan Pedang Ular yang berkumis tipis.
"Keparat! Berani kalian mempermainkan Dedemit
Salju"!" seru kakek pendek gemuk, geram.
Usai berkata demikian, Dedemit Salju mengibaskan
tangannya. Kelihatannya sembarangan saja, tapi hebatnya langsung terjadi
hembusan angin keras yang keluar dari tangan yang mengibas itu. Hembusan angin
yang berhawa dingin dan menggigit tulang.
Begitu kerasnya angin yang berhembus, sehingga
membuat tubuh tiga orang murid Perguruan Pedang Ular itu terjengkang ke
belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.
Tiga orang murid perguruan yang sial itu tidak segera
dapat bangkit berdiri. Hawa dingin dari serangan Dedemit Salju benar-benar
membekukan kulit. Sehingga, urat-urat dan otot-otot tubuh mereka terasa kaku.
Akibatnya, mereka mengalami kesulitan untuk bangkit. Kini tiga orang murid
perguruan itu malah mendekapkan kedua tangan ke tubuh, untuk menahan cekaman
hawa dingin yang melanda.
"Cepat katakan, di mana Dewa Arak! Aku tahu ia
berada di sini. Atau kalian semua ingin mampus"!" ancam Dedemit Salju sambil
menatap tiga raut wajah yang tergolek di bawah kakinya.
"Kami..., kami benar-benar tidak tahu...," jawab laki laki yang berkumis tipis.
Suaranya terdengar tersendat sendat, karena cekaman hawa dingin yang melanda.
"Tikus-tikus tak tahu diuntung...!" bentak Dedemit Salju geram. "Kalian rupanya
lebih suka mati!"
Begitu ucapannya selesai, Dedemit Salju segera
mendorongkan kedua tangannya ke bawah.
Wuuut...! Seketika serentetan angin berhawa dingin, berhembus
ke arah tiga orang murid Perguruan Pedang Ular yang tengah tergolek di tanah.
Memang kali ini Dedemit Salju tidak main-main lagi. Maka, akibatnya pun begitu
dahsyat. Tiga orang keroco itu mana mampu bertahan" Mereka pun tewas dengan
sekujur tubuh membiru!
Bertepatan tewasnya tiga orang penjaga pintu ger-
bang, murid-murid Perguruan Pedang Ular lainnya ber-
munculan. Di antara mereka, tampak terlihat Jirin. Mau tak mau, mereka langsung
menggeram marah ketika melihat tiga orang rekan mereka tergolek di tanah. Tanpa
ditegaskan lagi, sudah bisa diperkirakan kalau tiga orang itu telah tewas.
Kulit tubuh mereka yang seperti membiru menjadi tanda
kalau ketiga orang itu telah mati.
"Seraaang,..!" teriak Jirin keras memberi perintah pada adik-adik
seperguruannya.
Murid utama Perguruan Pedang Ular itu memang
tidak berani bertindak sembrono lagi dengan menyerang
Dedemit Salju seorang diri.
Tanpa menunggu perintah dua kali, murid-murid
Perguruan Pedang Ular yang telah dibakar amarah melihat mayat ketiga rekannya,
langsung melesat menerjang. Suara senjata-senjata yang keluar dari sarungnya,
dan juga sinar-sinar berkeredep yang mengiringi, terdengar silih berganti.
Dan secepat senjata itu tercabut, secepat itu pula diluncurkan ke arah Dedemit Salju.
Dedemit Salju tidak menjadi gugup melihat hujan
berbagai macam senjata yang meluncur deras ke arah
berbagai bagian tubuhnya.
Takkk, takkk, takkk...!
Suara berdetak keras terdengar ketika beraneka
ragam senjata menghantam sekujur tubuh Dedemit Salju.
Namun, justru pekik-pekik keterkejutan dari mulut para pemegang
senjata itu sendiri. Karena tangan yang menggenggam senjata terasa sakit dan bergetar, bagai
tersengat kala berbisa. Bahkan sebagian dari mereka,
terpaksa melepaskan senjata. Memang tangan yang menggenggam kontan terasa lumpuh.
"Grrrh...!"
Dedemit Salju menggeram. Untung saja tenaga dalam
pada geramannya tidak dikerahkan. Kalau saja dikerahkan, sudah dapat dipastikan
seluruh murid Perguruan Pedang
Ular akan tewas.
"Rupanya kalian semua sudah bosan hidup!" desis Dedemit Salju geram.
Kemudian, jari telunjuknya diluruskan, sedan jari-jari lainnya terkepal. Dengan
susunan jari seperti itu. Dedemit Salju lalu melancarkan serangan bertubi-tubi
ke arah lawan-lawannya tanpa menggeser kaki sedikitpun. Padahal, jarak antara
dirinya dengan murid-murid Perguruan Pedang Ular itu tak kurang empat tombak!
Cit, cit, cit...!
Suara berdicit seperit ada puluhan ekor tikus
mencicit, terdengar ketika Dedemit Salju menggerak gerakkan tangannya.
"Akh, akh...!"
Jeritan menyayat terdengar diiringi bertumbangannya
tubuh murid-murid Perguruan Pedang Ular dalam keadaan
tidak beryawa lagi, dengan dahi berlubangan. Mengerikan sekali keadaan mereka,
karena darah yang keluar dari bagian yang terluka langsung membeku!
Jirin menggertakkan gigi melihat satu demi satu
teman-temannya berguguran. Dia tahu, lawan telah menggunakan sebuah ilmu yang membuat angin serangan
jari-jarinya seakan-akan seperti pedang atau tombak. Yang lebih mengerikan lagi,
serangan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu juga mengandung hawa dingin.
Sehingga, darah yang mengalir keluar langsung membeku.
Dedemit Salju benar-benar bertekat membinasakan
lawan-lawannya. Setiap kali tangannya bergerak, sudah
dapat dipastikan ada murid Pergurua Pedang Ular yang
tewas. Yang lebih menggiriskan hati setiap serangan kakek pendek gemuk ini
selalu menghunjam dahi.
Dalam waktu sekejap saja, sudah lebih separuh murid
Perguruan Pedang Ular yang tewas. Kini yang tinggal
hanyalah beberapa gelintir saja, dan di antaranya terdapat Jirin.
*** Tentu saja lolongan kematian yang susul-menyusul
itu terdengar sampai ke telinga Kl Gambala dan Raja Racun Muka Putih. Saat itu
mereka tengah duduk dalam sebuah
ruangan dalam di salah satu bangunan.
Sementara itu Karmila dan Rupangki berada dalam
sebuah kamar lain. Sebuah kamar yang semarak, penuh
hiasan. Mereka rupanya tengah sibuk dan hanya diketahui oleh mereka berdua.
Sehingga, mereka seperti tak peduli, karena begitu tenggelam dalam lautan
asmara. Tidak terpikirkan lagi nasib Melati yang tadi sempat mereka
khawatirkan. "Hhh...!" Ki Gambala menghela napas berat.
Wajah laki-laki tua itu tampak membayangkan ke-
bingungan yang hebat. Memang, di dalam hati Ketua
Perguruan Pedang Ular ini tengah terjadi pertentangan batin.
Lolong kematian susul-menyusul dari murid-muridnya,
membuatnya ingin melihat apa yang tengah terjadi di depan sana. Tapi,
kekhawatiran terhadap keadaan Melati yang
tengah terbaring tak berdaya, memaksanya untuk duduk
diam di situ. Ingin rasanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu
memanggil Rupangki dan Karmila. Tapi, dia tidak sampai hati untuk melakukannya.
Kl Gambala tahu, Rupangkl dan
Karmila pasti tengah menikmati malam pertamanya
Raja Racun Muka Putih bukan orang bodoh. Ia tahu,
Ki Gambala tengah dilanda perasaan tegang. Maka tanpa
bicara apa-apa, dia pun bangkit dari duduknya dan
melangkah keluar.
"Mau ke mana kau, Raja Racun"!" tanya Ki Gambala dengan suara tidak begitu
ramah. "Keluar! Melihat orang yang telah menjagal murid-
muridmu!" sahut Raja Racun Muka Putih tak kalah kasar.
Dia menjawab tanpa menghentikan langkah kakinya, bahkan sama sekali tanpa
membalikkan tubuh.
Ki Gambala tidak menyambutinya. Andaikata menanggapinya pun, tidak akan berguna. Memang tubuh
Raja Racun Muka Putih sudah menghilang dari ruang itu.
Sepeninggal Raja Racun Muka Putih, Ketua Perguruan
Pedang Ular tercenung. Berbagai macam pikiran berputar di benaknya.
Apakah yang sedang terjadi pada murid- muridnya" Siapakah orang yang tengah dihadapi" Mudah-
mudahan saja Raja Racun Muka Putih berhasil menghalau
penjagal itu! Namun sepercik perasaan curiga bersemayam hati Ki
Gambala. Sungguh-sungguhkah Raja Racun Muka Putih
akan membantu" Apakah tidak mungkin kalau hanya
bersandiwara saja" Dan itu memang bukan mustahil!
Begitu mendapat dugaan seperti itu, Ki Gambala
langsung tersentak kaget. Sandiwara" Raja Racun Muka
Putih bersandiwara" Mengapa hal itu tidak terpikirkan
olehnya" Bukan tidak mungkin kalau kejadian ini memang sudah direncanakan oleh
Raja Racun Muka Putih!
Ki Gambala sampai terjingkat kaget ketika mendapat
dugaan seperti itu. Kontan kekhawatiran akan nasib murid-muridnya semakin
membesar. Bukan tidak mungkin kalau
Raja Racun Muka Putih akan membantu si perusuh itu
dalam menjagal murid-muridnya!
Kecurigaan Ki Gambala semakin menebal ketika
lolongan kematian murid-muridnya belum juga berhenti.
Bukankah Raja Racun Muka Putih akan menghentikan
tindakan pengacau itu" Lalu, mengapa sampai sekarang
lolongan kematian itu masih juga terdengar" Bukan tidak mungkin kalau Raja Racun
Muka Putih ikut menjagal pula!
Karena tak kuat menahan rasa gelisah yang melanda,
Ki Gambala bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-
mandir. Hatinya ingin sekali melihat kejadian yang menimpa murid-muridnya. Tapi
dia merasa khawatir meninggalkan
Melati sendirian.
Saat hatinya tengah dilanda kebimbangan itu, muncul
Raja Racun Muka Putih di ambang pintu.
"Mengapa kau kembali, Raja Racun" Apakah pengacau itu sudah kau tanggulangi?" tanya Ki Gambala sebelum Raja Racun Muka
Putih mengatakan sesuatu.
Perasaan ingin tahu itu membuat Ketua Perguruan
Pedang Ular ini tidak memperhatikan kalau sikap Raja Racun Muka Putih tampak
gugup bukan kepalang. Kalau saja kulit wajah datuk sesat itu tidak putih,
mungkin bisa terlihat gambaran perasaan itu pada wajahnya.
"Tidak usah banyak tanya, Gambala!" sentak Raja Racun Muka Putih. Cepat pergi
dari sini! Bawa kabur gadis itu dari sini!"
Wajah Ki Gambala berubah merah. Jelas batin merasa
tersinggung melihat tanggapan Raja Racu Muka Putih.
"Aku akan tetap tinggal di sini, apa pun yang akan terjadi!" tandas Ki Gambala.
"Kalau kau ingin kabur silakan pergi!"
"Tua Bangka dungu!" maki Raja Racun Muka Putih geram.
"Aku sama sekali tidak mempedutikan keselamatanmu, tahu"! Yang kupikirkan adalah nasib gadis itu! Cepat pergi!
Sebelum semuanya terlambat!"
Tapi peringatan Raja Racun Muka Putih terlambat.
Sebuah suara keras terdengar seiring hadirnya sosok yang bukan lain dari Dedemit
Salju. Raja Racun Muka Putih melangkah mundur berdiri di
sebelah Ki Gambala. Sikapnya menunjukkan kalau dia
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersiap untuk bertarung dengan Dedemit Salju.
"Jangan harap kalian bisa kabur dari sini!" dengus Dedemit Salju. "Kalian semua
akan kubunuh, karena aku telah bersumpah untuk membunuh semua orang yang
mempunyai hubungan dengan Dewa Arak!"
Ki Gambala melirik ke arah Raja Racun Muka Putih.
"Tidak salahkah penglihatanku ini, Raja Racun"!
Apakah dia adalah Dedemit Salju"!" tanya Ketua Perguruan Pedang Ular itu
setengah tidak percaya.
Memang, Ki Gambala belum pernah bertemu Dedemit
Salju. Tapi julukannya sudah lama di dengar dan diketahuinya. Dedemit Salju adalah salah satu dari biang-biang iblis dunia
persilatan yang selama ini menjadi
ancaman! "Ya!" jawab Raja Racun Muka Putih. Nada suaranya menyiratkan kejengkelan, karena
Ki Gambala tidak mau
mendengar nasihatnya. "Sekarang kita tidak akan mungkin bisa kabur lagi! Dan
semua itu karena sikap keras
kepalamu!"
"Aku bukan orang pengecut sepertimu, Raja Racun!"
tandas Ki Gambala. Suaranya sama pelannya dengan Raja
Racun Muka Putih. Tapi ada tekanan yang kuat dalam
suaranya. "Pantang bagiku untuk melarikan diri dari musuh!"
"Itulah bodohnya dirimu! Kau hanya mementingkan
diri sendiri! Kau lupa nasib kekasih Dewa Arak!"
Seketika kepala Ki Gambala bagai diguyur seember air
es. Raja Racun Muka Putih benar! Masih ada orang yang
harus dipikirkan keselamatannya. Dan orang itu adalah
Melati! Mengapa dia lupa terhadap pesan Dewa Arak"
Bukankah keselamatan Melati telah dipercayakan padanya"
"Teruskanlah perdebatan kalian. Karena, sekarang
merupakan perbincangan kalian yang terakhir!" potong Dedemit Salju.
Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih saling
berpandangan sejenak. Sungguh tidak disangka kalau
Dedemit Salju begitu yakin akan mampu mengalahkan
mereka. Tapi, baik Ki Gambala maupun Raja Racun Muka
Putih tidak memikirkan hal itu lagi. Masih ada hal lebih penting yang harus
dipikirkan. "Mengapa kau sepertinya memikirkan keselamatan
Melati, Raja Racun?" tanya Ki Gambala tanpa menyembunyikan perasaan heran dalam suaranya.
Raja Racun Muka Putih tidak langsung menjawab
pertanyaan itu. Meskipun kulit wajahnya yang pulih seperti dikapur berubah pucat
tanpa diketahui, tapi sorot matanya yang mendadak sayu, memberi pertanda kalau
datuk sesat yang ahli dalam racun ini tengah dilanda perasaan sedih.
"Keadaan yang menimpa gadis ini mengingatkanku
akan anak angkatku, Gambala," kata Raja Racun Muka Putih, pelan. "Seorang gadis
yang seumur Melati, telah tewas karena tanpa sengaja telah menelan racun.
Keadaan Melati mengingatkanku akan keadaannya. Itulah sebabnya, aku
menjadi khawatir atas selamatannya. "
"Kalau begitu, mengapa kau tidak menyembuhkannya?" tanya Ki Gambala heran.
Raja Racun Muka Putih menatap wajah Ki Gambala
tajam-tajam. "Aku bukan sejenis orang yang suka menarik kembali ucapan yang telah
kukeluarkan, Gambala. Di depan Dewa
Arak, aku telah berjanji untuk menyembuhkan Melati setelah dia membawa
permintaanku."
Ki Gambala mengangguk-anggukkan kepala. Bisa
diterima alasan yang dikemukakan Raja Racun Muka Putih itu.
"Kuakui, aku adalah seorang tokoh sesat yang selalu bergelimang kejahatan. Tapi
pantang bagiku untuk menjilat ludah yang telah jatuh ke tanah!" sambung Raja
Racun Muka Putih penuh semangat.
"Cukup!"
Bentakan Dedemit Salju menutup pembicaraan, Raja
Racun Muka Putih dan Ki Gambala. Kedua tokoh berbeda
aliran yang kini terpaksa akan bekerja sama untuk
menyelamatkan nyawa Melati, menatap ke arah Dedemit
Salju yang berjarak tiga tombak di hadapan mereka.
Usai mengeluarkan bentakan, Dedemit Salju me-
langkah menghampiri Raja Racun Muka Putih dan Ki
Gambala yang berdiri tegak membelakangi pembaringan
tempat Melati tergolek tak berdaya.
"Haaat..!"
Diiringi bentakan nyaring, Gambala melompat me-
nerjang Dedemit Salju. Sadar kalau lawan yang dihadapinya benar-benar
tangguh, maka, dalam serangan-serangan
pertama Ketua Perguruan Pedang Ular ini telah menghunus pedangnya dan
menusukkannya ke arah leher.
Wunggg...! Suara mengaung terdengar mengiringi tibanya se-
rangan Ki Gambala. Dan seperti biasanya, bilah pedangnya yang lemas itu
menyulitkan lawan untuk menebak arah yang dituju. Getarannya demikian hebat,
sehingga pedang itu seperti berjumlah puluhan batang.
"Hmh...!"
Dedemit Salju mendengus, melihat serangan itu.
Maka, kedua tangannya langsung bergerak ke arah punggung. Sesaat kemudian di kedua tangannya telah
tergenggam sepasang senjata berbentuk segi tiga, terbuat dari kayu keras
berwarna putih!
Begitu sepasang senjata itu telah berada di kedua
tangannya, langsung saja digerakkan untuk menyambut
sambaran pedang Ki Cambala.
Trakkk...! Suara keras terjadi akibat benluran kedua senjata itu
membuat tubuh Ki Gambala terhuyung ke belakang dengan
tangan bergetar hebat. Ada hawa dingin yang menyelusup masuk lewat tangannya,
tapi segera dipunahkan dengan
pengerahan tenaga dalam.
Dedemit Salju rupanya tidak bersikap main-main lagi.
Tanpa memberi kesempatan, diburunya tubuh Ki Gambala
yang tengah terhuyung-huyung itu. Lalu, dihujamnya dengan serangan-serangan
sepasang senjata yang berbentuk segi tiga.
Tapi Ki Gambala yang memang sudah bersiap siaga
sejak tadi segera mengadakan perlawanan dengan seluruh kemampuan. Maka
pertarungan sengit pun tidak bisa
dielakkan lagi.
Hebat bukan kepalang permainan pedang KI Gambala. Tapi masih lebih hebat lagi permainan sepasang senjata segi tiga milik
Dedemit Sahu. Datuk sesat yang menggiriskan itu memainkan senjatanya dengari
terlebih dahulu
memutarkannya, sehingga mengeluarkan suara mengaung dan lenyap bentuknya. Kemudian secara tidak
terduga-duga senjata itu meluruk deras ke arah Ki Gambala.
Terkadang menyodok atau menggaet. Tapi, tak jarang
mencangkul. Pergerakan sepasang senjata lawan yang aneh itu
membuat Ki Gambala kelabakan. Tak sampai sepuluh jurus, dia sudah tampak
kebingungan. Setiap serangan Ki Gambala mudah sekali berhasil
dikandaskan Dedemit Salju dengan hadangan sepasang segi tiganya. Dan setiap kali
terjadi benturan senjata, tangan Ki Gambala selalu tergetar hebat, disertai
tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang. Memang, tenaga dalam
Ketua Perguruan Pedang Ular ini cukup berselisih jauh di bawah tenaga dalam
Dedemit Salju. Sebaliknya setiap serangan balasan Dedemit Salju
pasti akan membuat Ki Gambala kelabakan bukan kepalang.
Hal ini memang tidak aneh. Karena, sebelum senjatanya itu diluncurkan ke arah Ki
Gambala, terlebih dulu diputar
laksana baling-baling.
Tak sampai tiga puluh jurus, Ki Gambala sudah
terdesak. Tampaknya, dia kini hanya bisa bertahan sambil mengelak. Bahkan
menangkis pun jarang dilakukan, karena akan merugikan dirinya.
Karena Ki Gambala lebih banyak mengelak, dan
menangkis hanya dilakukan kalau keadaan sudah sangat
memaksa, akibatnya pertahananya semakin kedodoran. Tapi hatinya tetap dikuatkan,
dan terus bertahan.
6 Raja Racun Muka Putih menyaksikan jalannya
pertarungan dengan dahi berkernyit. Dia tidak kaget lagi melihat Ki Gambala
terdesak. Memang suda diduga kalau
Ketua Perguruan Pedang Ular itu bukan tandingan Dedemit Salju. Tapi sungguh
tidak disangka kalau akan semudah itu Dedemit Salju membuat lawannya keteter.
Raja Racun Muka Putih tahu, robohnya Ki Gambala
hanya tinggal menunggu waktu saja. Gerakan sepasang
senjata berbentuk segi tiga milik Dedemit Salju memang terlalu kuat untuk bisa
ditahan dengan ilmu pedang Ki
Gambala. Tampak jelas kalau mutu ilmu senjata segi tiga Dedemit Salju jauh di
atas ilmu pedang Ki Gambala.
Raja Racun Muka Putih tahu, robohnya Ki Gambala
hanya tinggal menunggu waktu saja. Maka, dia tidak ingin menunggu sampai Ketua
Perguruan Peda Ular roboh. Karena bila hal itu terjadi, berarti akan berhadapan
dengan Dedemit Salju sendirian. Padahal Raja Racun Muka Putih tahu kalau dirinya
bukan tandingan Dedemit Salju yang luar biasa.
"Hiyaaat...!"
Diiringi suara melengking nyaring, Raja Racun Muka
Putih terjun ke dalam kancah pertarungan. Selagi tubuhnya berada di udara
sepasang pisaunya dihunuskan. Kedua
senjata itu langsung ditusukkan ke arah berbagai bagian tubuh Dedemit Salju yang
mematikan. Trang, tranggg...!
Benturan keras antara pisau-pisau dengan senjata
berbentuk segi tiga mengawali terlemparnya kembali tubuh Raja Racun Muka Putih
ke belakang. Sementara tubuh
Dedemit Salju hanya terhuyung-huyung
ke belakang beberapa langkah.
Ki Gambala kini bisa bernapas lega. Dengan munculnya bantuan Raja Racun Muka Putih, beratnya
serangan Dedemit Salju menjadi berkurang jauh.
Memang setelah Raja Racun Muka Putih ikut campur,
jalannya pertarungan jadi lebih menarik, dan tidak berat sebelah lagi. Bahkan
kini kakek berpakaian bulu tebal itu kewalahan.
Tapi hal itu hanya berlangsung sekitar sepuluh jurus
saja. Lewat jurus itu, Dedemit Salju telah bisa menguasai keadaan kembali. Sulit
untuk mendesaknya kembali.
Hebat bukan kepalang pertarungan yang terjadi
antara ketiga orang tokoh tingkat tinggi dunia persilatan itu.
Suara mengaung, mendesing, dan mencicit menyemaraki
jalannya pertarungan.
Raja Racun Muka Putih mengeluh dalam hati.
Sungguh tidak disangka kalau permainan senjata lawan
ternyata dahsyat luar biasa. Semula dikiranya hanya dalam tangan kosong saja
biang iblis ini memiliki kemampuan
tinggi. Ternyata permainan senjatanya pun tidak kalah hebat.
Karena masing-masing tokoh yang bertanding memiliki kecepatan gerakan yang sudah mencapai tingkat tinggi, dalam waktu
sebentar saja empat puluh jurus telah berlalu, sejak Raja Racun Muka Putih dan
Ki Gambala bekerja sama dalam pertarungan. Dan selama ini, pertarungan masih berlangsung imbang. Tidak nampak
adanya tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Rupanya hal itu membuat Dedemit Salju penasaran
bukan kepalang. Maka, 'Tenaga Inti Salju' segera dikerahkan.
Akibatnya hebat
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan kepalang. Sodokan, gaetan, tangkisan, paculan, dan terutama sekali putaran sepasang segi tiga itu,
mengeluarkan hawa dingin yang luar biasa! Hal itu membuat Ki Gambala dan Raja
Racun Muka Putih
terkejut bukan kepalang.
Memang, mula-mula serangan hawa dingin tidak
terlalu merepotkan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih.
Tapi lama kelamaan, akibatnya mulai terasa. Hawa dingin yang menyebar, semakin
lama semakin menggila.
Kalau semula serangan hawa dingin itu sama sekali
tidak mengganggu Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih, tidak demikian dengan
kejadian selanjutnya. Perlahan-lahan serangan hawa dingin mulai terasa.
Kini baik Ki Gambala maupun Raja Racun Muka
Putih harus membagi tenaga. Sebagian kini digunakan untuk menahan serangan hawa
dingin. Karena bila hal itu
dibiarkan, sekujur otot-otot dan urat-urat tubuh mereka akan sulit digerakkan.
Dan bila itu terjadi, jelas akan membuat kegesitan mereka berkurang jauh!
Memang, setelah Dedemit Salju mengerahkan 'Tenaga
Inti Salju', Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih mulai terdesak.
Betapapun Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetap saja tidak bisa mengubah
keadaan. Sergapan hawa dingin telah membuat kelihaian kedua
tokoh berbeda aliran itu berkurang jauh.
Diam-diam Raja Racun Muka Putih mengeluh dalam
hati. Keadaannya memang suit. Sebenarnya dia lebih suka kalau Dedemit Salju
dihadapi oleh seorang saja. Dengan demikian, akan leluasa untuk mengeluarkan
segala macam kemampuan ilmu racunnya tanpa takut melukai Ki Gambala seperti
sekarang ini. Seperti pada saat sekarang ini, Raja Racun Muka
Putih jadi tidak bisa mengeluarkan jurus 'Ular Hitam'
andalannya. Karena bila jurus itu dipergunakan, Ki Gambala akan celaka lebih
dulu. Apalagi di atas kertas, kemampuan Dedemit Salju berada di atas Ki Gambala!
Meskipun Raja Racun Muka Putih tidak bisa meng-
gunakan ilmu racunnya, tapi yang dihadapi Dedemit Salju sebenarnya berat. Karena
lawan kali ini adalah gabungan dari Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala, yang
justru lebih kuat dibanding perlawanan menghadapi Raja Racun
Muka Putih dengan ilmu racunnya.
Meskipun berada dalam keadaan terhimpit, Raja
Racun Muka Putih masih sempat membagi perhatiannya
untuk melihat Melati, meskipun hanya sekilas. Dan tentu saja hal itu tidak akan
bisa dilakukannya kalau menghadapi Dedemit Salju seorang diri.
Mendadak... Brakkk...! Daun jendela ruangan itu hancur berantakan. Dan
dari balik hancuran jendela melesat masuk sesosok berpakaian biru. Ternyata, dia adalah seorang pemuda
berwajah tampan dan berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Sesaat pemuda berpakaian biru itu menatap ke arah
pertarungan yang tengah berlangsung, kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Lalu, matanya tertumbuk pada tubuh Melati yang tergolek tak daya.
"Rupanya kau tengah sekarat, Melati. Dan kekasihmu rupanya
tengah mencari obatnya. Hmh...! Tak akan kubiarkan kau mendapat obat penyembuhnyal Aku ingin
melihatmu tewas secara perlahan-lahan," desis pemuda berpakaian biru dalam hati.
Sebuah seringai kejam tersungging di mulut pemuda
berpakaian biru itu. Dengan langkah pasti, dihampirinya pembaringan Melati.
Raja Racun Muka Putih dan Ki Gambala terkeji bukan
kepalang. Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman
hidup, mereka tahu kalau pemuda berpakaian biru itu bukan kawan Melati. Gerak-
geriknya menunjukkan kalau pemuda
itu mempunyai dendam terhadap putri angkat Raja Bojong Gading itu.
Karuan saja hal itu membuat Ki Gambala dan Raja
Racun Muka Putih bingung bukan kepalang. Kalau menuruti perasaan, keduanya ingin
melesat ke arah pembaringan
Melati. Tapi sayangnya, kesempatan itu tidak dapat dilakukan. Apalagi keadaan mereka tengah terpojok.
Perasaan cemas akan keselamatan Melati, membuat
keadaan Ki Gambala dan Raja Racun Muka Putih semakin
terdesak. Bahkan kini perhatian mereka terpecah. Dan
akhirnya, Raja Racun Muka Putih tidak kuat menanggung
perasaan cemasnya ketika melihat pemuda berpakaian biru itu membopong tubuh
Melati. "Hiyaaa...!"
Didahului sebuah teriakan nyaring, Raja Racun Muka
Putih meninggalkan kancah pertarungan. Tubuhnya melesat ke arah pemuda
berpakaian biru.
Tapi Dedemit Salju rupanya tidak sudi memberikan
kesempatan Raja Racun Muka Putih untuk mewujudkan
maksudnya. Dengan gerakan tak kalah cepat, tubuhnya
mengejar. Ngunggg...! Sepasang senjata segi tiganya berputar cepat menimbulkan suara mengaung. Lalu, senjata yang berada di tangan kanannya
diluncurkan cepat ke arah belakang kepala Raja Racun Muka Putih!
"Raja Racun! Awas...!" teriak Ki Gambala keras ketika melihat bahaya maut yang
tengah mengancam Raja Racun
Muka Putih. Sebenarnya, tanpa diberitahu Ki Gambala pun, Raja
Racun Muka Putih tahu kalau ada bahaya maut yang tengah mengancamnya. Suara
mengaung keras dari luncuran
senjata itu jelas tertangkap telinganya.
Tanpa melihat pun, Raja Racun Muka Putih tahu
kalau serangan yang dituju oleh senjata Dedemit Salju adalah ke
arahnya. Oleh karena itu, tanpa menghentikan lompatannya karena keadaan yang tidak menguntungkan,
tubuhnya membungkuk sehingga serangan itu lewat di atas kepala.
Tapi kejadian seperti itu sudah diperhitung Dedemit
Salju. Di saat itulah, senjata segi tiga yang berada di tangan kiriinya
disodokkan ke arah punggung!
Bukkk...! "Huakhhh...!"
Darah segar menyembur dari mulut Raja Racun Muka
Putih ketika ujung senjata segi tiga itu mendara dengan telak dan keras sekali
dipunggungnya. Tidak hanya itu saja yang diderita Raja Racun Muka Putih.
Tubuhnya pun terjungkal ke depan. Untung di saat terakhir, dia telah mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya ke arah punggung. Kalau tidak, mungkin sudah sejak tadi
nyawanya melayang ke alam baka.
"Raja Racun...!" jerit Ki Gambala kaget ketika melihat tubuh Raja Racun Muka
Putih terpental kemudian jatuh
bergulingan di lantai. Berbarengan teriakannya Ketua Perguruan Pedang Ular ini melompat menyusul. Pedang di tangannya meluncur cepat
ke arah tengkuk Dedemit Salju.
"Hmh...!"
Meskipun tubuhnya tengah berada di udara, sementara serangan Ki Gambala tiba begitu cepat, Dedemit Salju mampu
mempertunjukkan kelihaiannya. Kepalanya
ditundukkan, sehingga serangan pedang itu meluncur cepat ke atas kepalanya.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan yang
dilakukan Dedemit Salju. Pada saat kepalanya merunduk, kaki kanannya bergerak
menendang ke belakang seperti
layaknya seekor kuda menendang.
Ki Gambala terperanjat melihat datangnya serangan
balasan yang sama sekali tidak diperhitungkan.
Sebenarnya kalau saja Ketua Perguruan Pedang Ular
ini tidak kalap, hal seperti ini ada dalam perhitungannya.
Tapi kenyataan mengatakan lain. Maka....
Bukkk! "Hugh...!"
Tubuh Ki Gambala terlempar jauh ke belakang ketika
kaki Dedemit Salju mendarat di perutnya, telak dan keras sekali.
Darah segar menyembur deras sepanjang melayangnya tubuh Ki Gambala ke belakang. Luncuran
tubuh Ketua Perguruan Pedang Ular itu baru terhenti ketika menabrak
dinding! Perlahan-lahan tubuh Ki Gambala merosot jatuh ke lantai, disertai darah segar yang mengalir dari sudut-sudut
mulutnya. Ketua Perguruan Pedang Ular itu diam tidak bergerak
lagi untuk selamanya. Memang, nyawa Ki Gambala telah
meninggalkan raga saat tubuhnya tengah melayang di udara.
*** "Hup...!"
Begitu kedua kakinya mendarat di lantai, Dedemit
Salju langsung melesat keluar melalui jendela. Memang, pemuda berpakaian biru
itu telah kabur meninggalkan
tempat itu sambil membopong tubuh Melati.
Sesampainya di luar jendela, Dedemit Salju langsung
menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Barangkali saja masih bisa melihat
bayangan tubuh pemuda berpakaian biru.
Tapi harapannya tidak terkabul. Tidak nampak sepotong
tubuh pun yang terlihat walaupun sepasang matanya telah berkeliling.
"Keparat...! Siapa pemuda yang berani menculik calon korbanku...!" desis Dedemit
Salju penuh geram. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh ancaman.
Setelah puas mengucapkan sumpah serapah, Dedemit
Salju kembali masuk ke dalam ruangan tempat tubuh Raja Racun Muka Putih dan Ki
Gambala tergolek.
"Hm...!"
Dengan ujung kakinya Dedemit Salju membalikkan
tubuh Raja Racun Muka Putih yang tertelungkup di lantai, hingga menelentang.
Sesaat diperhatikannya keadaan tubuh Raja Racun Muka Putih. Pandang matanya yang
tajam langsung bisa mengetahui kalau kakek berpakaian merah itu telah tewas!
Tapi untuk lebih menyakinkan hati, kakinya diletakkan di atas dada Raja Racun Muka Putih, kemudian ditekannya. Terdengar
suara gemeretak keras dari tulang-tulang dada yang hancur, diiringi mengalirnya
darah segar dari mulut, hidung, dan telinga Raja Racun Muka Putih.
Tanpa mempedulikan keadaan Raja Racun Muka
Putih lagi, Dedemit Salju melangkah menghampiri tubuh Ki Gambala. Hanya sekilas
saja dapat diketahui kalau Ki
Gambala telah tewas.
Dengan langkah dan sikap tenang seperti tidak
pernah terjadi apa-apa, Dedemit Salju melangkah meninggalkan ruang itu. Tapi baru juga beberapa langkah keluar dari ambang
pintu, langkahnya berhenti.
"Berhenti...! Siapa kau"! Mengapa berkeliaran di
sini...."!"
Dedemit Salju menolehkan kepala ke kanan, arah asal
suara itu. Tampak olehnya dua sosok tubuh, yang terdiri dari seorang wanita
berpakaian merah menyala dan laki-laki
berpakaian seragam Perguruan Pedang Ular. Mereka ini tak lain dari Karmila dan
Rupangki. Sebenarnya Karmila dan Rupangki sudah sejak tadi
Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar adanya ribut-ribut. Tapi karena percaya pada adanya Ki Gambala,
terpaksa mereka berpura-pura tidak
mendengar. Bahkan terus tenggelam dalam lautan asamara.
Baru setelah berakhir, mereka melesat keluar untuk
melihat keributan yang tengah terjadi. Saat itulah Rupangki dan Karmila melihat
Dedemit Salju tengah beranjak keluar dari tempat penjagalannya.
Rupangki dan Karmila menghentikan langkah ketika
telah berjarak tiga tombak dari Dedemit Salju. Kini, mereka saling berdiri
berhadapan. Dan dengan hati curiga, Rupangki melirik ke arah ruangan yang baru
ditinggalkan Dedemit Salju.
"Mereka semua sudah kubunuh...!" kata Dedemit Salju yang melihat lirikan mata
Rupangki. "Bohong...! Kau bohong...!" teriak Karmila gemetar.
"Orang sepertimu mana bisa membunuh mereka!"
Kontan sepasang mala Dedemit Salju berkilat karena
amarah yang melanda. Memang, dia paling tidak suka jika ada orang yang meragukan
kemampuannya. "Kalau tidak mengingat kau adalah wanita, sudah
kulenyapkan nyawamu, Nisanak!" kata Dedemit Salju geram.
"Tenanglah, Karmila," tegur Rupangki pelan seraya menoleh wanita yang telah
menjadi istrinya ini.
"Kalau kalian tidak percaya, silakan lihat sendiri!"
tandas Dedemit Salju yang merasa tersinggung karena
ucapannya tidak dipercaya.
Usai berkata demikian, Dedemit Salju menggeser
tubuh, memberi jalan pada Rupangki dan Karmila untuk
melihat ke dalam ruangan.
Rupangki dan Karmila tahu maksud Dedemit Salju.
Tapi, mereka tentu saja tidak langsung percya.a Mereka merasa khawatir kalau
Dedemit Salju akan menggunakan
kesempatan itu untuk membokong mereka. Oleh karena itu, Rupangki menyuruh Karmil
berjalan lebih dulu. Sedangkan dia
berjalan di belakangnya, dengan sepasang mata mengawasi semua gerak-gerik Dedemit Salju.
Tapi kekhawatiran Rupangki ternyata tidak beralasan.
Dedemit Salju sama sekali tidak menggunakan kesempatan itu, dan malah berdiri
tenang. Ki...!" Jerit keterkejutan Karmila membuat Rupangki melupakan perhatiannya terhadap Dedemit Salju. Kepala
pemuda tinggi kurus ini menoleh pula ke dalam. Seketika itu pula, Rupangki
terpaku di tempat. Sepasang matanya
membelalak lebar seakan-akan tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bahkan
kedua kakinya pun menggigil keras.
Memang, pemandangan yang terlihat terlalu mengejutkan.
Rupangki terpukul bukan kepalang. Baru kemarin
pagi dia dan seluruh murid Perguruan Pedang Ular
berkabung besar akibat tewasnya beberapa orang murid
Perguruan Pedang Ular, kini disaksikan sendiri kematian gurunya secara begitu
mengenaskan. "Bagaimana" Kalian masih tidak percaya ucapanku?"
sindir Dedemit Salju penuh kepuasan karena berhasil
membuktikan kebenaran ucapannya barusan.
"Jahanam...!" jerit Rupangki keras sambil membalikkan tubuh.
Ucapan Dedemit Salju memang telah berhasil menyadarkannya dari keterpakuan. Kini dia menatap ke arah Dedemit Salju dengan
sinar mata memancarkan hawa maut.
Sekujur tubuh Rupangki tampak bergetar hebat karena
kemarahan yang melanda. Wajahnya pun tampak merah
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 17 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Harpa Iblis Jari Sakti 21