Pencarian

Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 2

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat Bagian 2


kokoh ini berhasil menemukan penyebab suara
keributan. Dari cabang sebatang pohon, pemuda
itu melihat rombongan kereta yang tadi
melewannya telah berhenti, dan kini tengah
terlibat pertarungan dengan serombongan orangorang berwajah kasar.
Beberapa saat lamanya pemuda berpakaian coklat itu kebingungan. Meskipun
sudah dapat menduga kalau rombongan itu
dihadang oleh gerombolan orang kasar. Tapi dia
masih belum dapat membedakan rombongan
kereta dan rombongan penghadang.
Tapi sesaat kemudian, pemuda berahang
kokoh ini sudah bisa membedakan. Rombongan
berkuda yang tadi mengawal kereta rata-rata
berpakaian hijau muda. Sementara para penghadang rata-rata mengenakan rompi.
Sama sekali pemuda berpakaian coklat ini
tidak tahu kalau dia bukan hanya berada di pihak
yang mengintai. Tapi juga sedang diintai. Dua
sosok yang berpakaian kulit ular dan hitam,
tengah memperhatikannya dari cabang pohon lain.
Dan ternyata bukan hanya sosok berpakaian
hitam dan kulit ular saja yang memperhatikan.
Tapi juga sepasang muda-mudi. Yang satu
berpakaian ungu dan yang satu lagi berpakaian
putih. Sejenak pemuda berahang kokoh itu
memperhatikan jalannya pertempuran. Sesaat
kemudian, dia sudah tahu kalau kepandaian para
pengawal kereta berkuda sebenarnya tidak kalah
dibanding lawan-lawannya.
Tapi karena jumlahnya kalah banyak, akhirnya mereka
terdesak hebat. Satu orang pengawal berkuda,
rata-rata menghadapi dua sampai tiga penghadang. Beberapa sosok tubuh yang menilik dari
pakaiannya adalah rombongan pengawal berkuda,
sudah bergeletakan bersimbah darah di tanah.
Dan jumlah korban di antara mereka semakin
bertambah, ketika beberapa saat kemudian,
terdengar jerit kematian melengking nyaring.
Pemimpin rombongan yang berkumis
melintang, marah bukan main melihat anak
buahnya satu demi satu terbantai. Tapi, apa
dayanya" Dia sendiri tengah sibuk mempertahankan selembar nyawanya dari ancaman maut pimpinan rombongan penghadang.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan
bersenjata sebatang golok besar.
Laki-laki berkumis melintang ini menggertakkan gigi. Dan pedang di tangannya pun
berkelebatan semakin cepat, berusaha merobohkan lawan secepat mungkin.
"Haaat...!"
Seraya mengeluarkan bentakan nyaring,
pedang di tangannya menusuk cepat ke arah
leher. Tapi, pimpinan penghadang hanya tertawa
bergelak. Dan sekali memiringkan kepala, tusukan
pedang lewat di samping kepalanya. Dan pada
saat yang sama, golok besar di tangannya
disabetkan ke leher laki-laki berkumis melintang.
Pemimpin rombongan kereta berkuda itu
terkejut bukan main. Sebisa-bisanya dia berusaha
mengelak. Tapi....
Crattt! Ujung golok besar tadi tahu-tahu sudah
menyerempet bagian atas dada kirinya. Dan
seketika itu juga, darah segar merembes dari luka
yang robek cukup lebar. Tapi tidak terdengar
suara keluhan dari mulut laki-laki berkumis
melintang itu. Belum lagi pemimpin rombongan pengawal
ini sempat berbuat sesuatu, pimpinan penghadang
yang bertubuh tinggi besar itu sudah melayangkan
kakinya. Bukkk! Telak dan keras sekali tendangan itu
mengenai perut laki-laki berkumis melintang.
Seketika itu juga tubuhnya terjengkang ke
belakang, dan jatuh berdebuk di tanah.
"Haaat...!"
Melihat lawannya tak berdaya, pimpinan
pengha dang itu segera menubruk tubuh yang
tertelentang di tanah, disertai pekikan melengking
nyaring. Golok besar di tangannya, ditusukkan
cepat ke arah perut lawannya.
Laki-laki berkumis melintang terkejut
bukan main. Serangan itu datang begitu tiba-tiba.
Sehingga tidak ada waktu lagi baginya untuk
mengelak. Bahkan untuk menangkis pun sudah
tidak sempat lagi. Pedangnya sudah terlempar
entah ke mana ketika perutnya kena tendang. Kini
yang dapat dilakukannya hanyalah berdiam diri,
menanti datangnya maut.
Tapi sebelum golok itu menghunjam
perutnya, sesosok bayangan biru melesat cepat,
memotong arah lompatan pemimpin rombongan
penghadang itu.
Tranggg...! Suara berdentang keras terdengar memekakkan telinga. Bunga-bunga api pun
memercik ke sana kemari. Laki-laki tinggi besar
itu terkejut bukan main begitu merasakan seluruh
tubuhnya tergetar hebat. Tangan yang menggenggam golok terasa lumpuh. Bahkan
senjatanya pun hampir terlepas dari genggaman.
Kini di hadapan laki-laki tinggi besar,
membelakangi pemimpin rombongan pengawal
kereta berkuda, berdiri seorang gadis cantik jelita
berambut kepang, berpakaian biru. Di tangan
gadis itu tergenggam sebatang pedang.
"Kurang ajar! Siapa kau, Wanita Liar!
Mengapa mencampuri urusanku"! Apakah sudah
bosan hidup"!" pimpinan penghadang itu memaki
kalang kabut. "Pasang telingamu baik-baik! Aku Marni!
Kedatanganku sengaja untuk membasmimu!"
gadis berambut kepang itu balas membentak tak
kalah keras. "Sapi! Rupanya kau sudah bosan hidup,
sehingga berani menentang Raksageti!"
Setelah berkata demikian, laki-laki tinggi
besar yang ternyata bernama Raksageti itu
menyerang Marni. Golok besarnya dibabatkan ke
arah leher. Tapi Marni hanya tersenyum-senyum saja.
Baru setelah sambaran golok mendekat, dengan
enak dia merendahkan tubuh, sehingga serangan
itu lewat di atas kepalanya. Dan begitu sabetan
golok besar itu lewat, tangan kanannya bergerak
cepat Crattt! Luar biasa sekali kecepatan gerak Marni!
Sebelum Raksageti sempat menyadari, pedang di
tangan gadis berpakaian biru itu telah membabat
sikunya. Tak pelak lagi tangan laki-laki tinggi
besar itu buntung sebatas siku. Dan seketika itu
juga, darah mengalir deras dari tangan yang putus
itu. Raksageti menggigit bibir menahan rasa
sakit yang mendera. Buru-buru dia menotok jalan
darah di sekitar lukanya untuk menghentikan
aliran darah. Sesaat kemudian aliran darah itu
pun terhenti. "Bagaimana,
Raksageti"!
Masih mau diteruskan lagi...?" tanya Marni sambil bertolak
pinggang. Cairan merah kental masih menetes dari
batang pedangnya.
Raksageti menggeram keras. Rupanya lakilaki tinggi besar ini tidak jera melihat akibat yang
diterimanya. Pemimpin rombongan penghadang ini
tidak percaya kalau gadis semuda Marni mampu
memiliki kepandaian selihai itu. Dia lebih percaya
kalau penyebab tangannya putus adalah keteledorannya sendiri.
Kini dia memungut golok besarnya dengan
tangan kiri. Dan kembali menyerang Marni. Kali
ini Raksageti mengeluarkan seluruh kepandaian
yang dimilikinya.
Sementara itu, begitu gadis berpakaian
biru menyebut namanya, seketika wajah pemuda
berpakaian coklat berubah. Jelas, kalau nama itu
mempunyai arti baginya.
"Apakah Marni yang dulu kurus dan
kerempeng itu kini sudah menjadi gadis yang
cantik jelita" Menjadi gadis berwajah molek dan
bertubuh menggiurkan?" tanya pemuda berahang
kokoh itu dalam hati.
Karena didorong rasa ingin tahu tentang
gadis itu, juga di samping ingin menolong
rombongan pengawal berkuda yang sudah dapat
dipastikan akan terbantai semuanya, akhirnya
pemuda berpakaian coklat ini melompat ke tengah
arena pertempuran.
Dan begitu kedua kakinya mendarat di
tanah, pemuda berahang kokoh itu langsung
menyelak ke arah seorang pengawal yang tengah
terdesak hebat oleh tiga orang penghadang.
Hebat dan menggiriskan sekali tindakan
pemuda berahang kokoh itu. Begitu memasuki
arena pertempuran, kedua tangan dan kakinya
langsung berkelebat. Dan hanya dalam dua
gebrakan saja, ketiga penghadang itu telah
berpentalan jauh, dalam keadaan tanpa nyawa!
Jerit panjang memilukan, mengiringi melayangnya
nyawa mereka. Tapi tindakan pemuda berahang kokoh itu
tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Kembali
tubuhnya melesat ke arah kelompok penghadang
lain yang tengah mengeroyok seorang pengawal
pasukan berkuda. Kaki dan tangan pemuda ini
pun kembali beraksi. Tak lama kemudian, jeritjerit kematian pun terdengar saling susul.
Marni melirik sekilas ke arah pemuda
berahang kokoh yang juga tengah melirik ke
arahnya. Dua pasang mata pun saling bertemu.
Marni melempar sebuah senyum manis. Dan
seketika pemuda berahang kokoh itu terkesima.
Hanya sesaat memang. Tapi, karena saat
itu pemuda itu tengah dikeroyok banyak lawan,
hampir saja membuat lehernya putus tersambar
senjata lawan. Untung saja dia sempat membanting tubuh ke tanah, sehingga serangan
itu berhasil dihindarkan.
"Hi hi hik..!"


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis berpakaian biru tertawa mengikik,
melihat kejadian yang menimpa pemuda berahang
kokoh. Karuan saja hal ini membuat sekujur
wajah pemuda berpakaian coklat merah padam
ketika bangkit dari bergulingnya.
Ternyata baik Marni mau pun pemuda
berahang kokoh sama sekali tidak mengalami
kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Tingkat
kepandaian si gadis dan juga tingkat kepandaian
pemuda berahang kokoh itu berada amat jauh di
atas lawan-lawannya.
Apalagi Marni yang hanya menghadapi
seorang lawan. Enak saja dia menghadapi dan
mempermainkannya. Rupanya gadis berpakaian
biru ini suka mempermainkan orang. Baru setelah
dirasa cukup, tiba-tiba Marni bergerak cepat. Kaki
kanannya melakukan tendangan bertubi-tubi ke
depan. Plakkk, bukkk, bukkk...!
Terdengar suara keras berkali-kali ketika
kaki Marni menghujani Raksageti. Tubuh pimpinan penghadang itu pun terlempar jauh ke
belakang. Darah segar menetes deras dari mulut
hidung, dan telinganya. Raksageti tewas sebelum
tubuhnya ambruk mencium tanah.
Tendangan pertama yang dilepaskan gadis
berpakaian biru itu mengenai pergelangan tangan
Raksageti, sehingga sambungan tulang pergelangan laki-laki itu terlepas, dan senjatanya
terlepas dari genggaman. Tendangan susulan yang
dikirimkan Marni, mengenai perut dan dada. Dan
tendangan susulan itulah yang menyebabkan
nyawa laki-laki tinggi besar ini melayang seketika.
Bersamaan dengan tewasnya Raksageti,
pemuda berahang kokoh pun berhasil merobohkan dua orang pengeroyok yang tersisa.
Seluruh pengawal yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, menghela
napas lega begitu melihat seluruh rombongan
penghadang berhasil dibinasakan.
Laki-laki berkumis melintang, yang menjadi pemimpin rombongan, segera menghampiri sepasang muda-mudi itu sambil
tersenyum lebar.
Tapi baru juga beberapa tindak kakinya
melangkah, gadis berpakaian biru sudah berkelebat meninggalkan tempat itu. Cepat bukan
main gerakannya. Sehingga dalam sekejap saja,
tubuh Marni sudah berada dalam jarak sepuluh
tombak dari situ.
"Nisanak! Tunggu...!" laki-laki berkumis
melintang berteriak mencegah. Tapi Marni sama
sekali tidak mempedulikan, dan terus saja
melangkahkan kakinya.
"Hhh...!"
Pemimpin rombongan itu menghela napas
berat. Kemudian mengalihkan perhatian ke arah
pemuda berpakaian coklat. Namun, kembali dia
tersentak. Ternyata pemuda itu pun melesat pergi.
Sia-sia dia berteriak-teriak menyuruh pemuda
penolongnya untuk berhenti melangkah sejenak.
Akhirnya laki-laki berkumis melintang
hanya bisa mengangkat bahu, kemudian melangkahkan kakinya. Kembali ke tempat
semula. "Urus semua kawan-kawan kita yang tewas
atau yang tuka. Dan kita lanjutkan perjalanan!"
ucap pemimpin rombongan itu pada anak
buahnya yang masih tersisa.
Tanpa menunggu diperintah dua kali, sisa
pengawal yang masih hidup bergegas melaksanakan perintah pemimpin mereka. Sementara si kumis melintang menatap ke depan,
ke arah kepergian sepasang muda-mudi perkasa
penolongnya, dengan pandang mata kecewa.
Kecewa karena tidak sempat mengenai kedua
orang itu lebih jauh.
Bukan hanya laki-laki berkumis melintang
itu saja yang menatap kepergian sepasang mudamudi tadi dengan perasaan kecewa. Masih ada
empat pasang mata lagi yang menatap penuh
kecewa. Tapi, rasa kecewa yang melanda mereka,
masing-masing berbeda. Mata dari sosok hitam,
kulit ular, dan ungu serta putih.
Dan begitu melihat pemuda berpakaian
coklat tadi melesat pergi, bayangan hitam dan
kulit ular itu pun melesat cepat pula. Menyusul
arah kepergian pemuda itu.
Belum lama dua sosok bayangan itu
melesat sosok bayangan ungu dan putih, bergerak
pula menguntit dua sosok bayangan yang
menguntit pemuda berahang kokoh.
*** 4 "Nisanak...! Tunggu...!"
Pemuda berpakaian coklat berteriak keras
memanggil, setelah sampai sekian lamanya, tak
juga mampu mengejar gadis berpakaian biru.
Padahal dia telah mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya. Jangankan
mengejar, memperpendek jarak pun tidak mampu!
Diam-diam dalam hati pemuda berahang kokoh ini
timbul rasa penasaran. Dia adalah murid seorang
tokoh sesat yang terkenal dengan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Dan dia telah
mewarisinya. Mengapa sekarang tidak mampu
mengejar seorang gadis muda"
Bukan hanya pemuda berpakaian coklat
itu saja yang merasa penasaran. Marni pun
dilanda perasaan serupa. Seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki telah dikeluarkannya, tapi tetap saja dia tidak mampu
memperpanjang jarak. Hal ini menandakan kalau
pengejarnya memiliki ilmu meringankan tubuh
yang tidak berada di bawahnya.
Rasa penasaran itulah yang membuat gadis
ini malah semakin mempercepat larinya. Tapi,
ternyata pemuda yang mengejarnya tetap saja
mampu mengimbangi. Sehingga jarak di antara
mereka tetap tidak berubah.
"Nisanak...! Tunggu sebentar...!" lagi-lagi
pemuda berpakaian coklat itu berteriak.
Kali ini gadis berpakaian biru tidak
meneruskan langkah. Seketika dia menghentikan
larinya. Kemudian membalikkan tubuh. Berdiri
menanti pemuda yang mengejarnya. Napas gadis
ini nampak memburu. Bahkan wajahnya yang
berkulit putih, halus dan mulus pun nampak
memerah. Peluh membasahi kening dan lehernya.
Pemuda berahang kokoh gembira bukan
main melihat gadis berpakaian biru menghentikan
larinya dan berdiri menunggu. Bergegas dia berlari
menghampiri dan menghentikan langkahnya
begitu berada dalam jarak dua tombak.
"Mau apa kau mengejar-ngejarku"!" tanya
gadis berpakaian biru itu pelan.
"Aku hanya ingin bertanya satu hal
padamu, Nisanak," ucap pemuda berpakaian
coklat, langsung pada pokok permasalahan.
Wajahnya terlihat tegang. Bahkan suaranya pun
terdengar bergetar. Suatu pertanda kalau pemuda
ini dilanda perasaan tegang.
"Apa itu" Katakanlah," sahut gadis
berpakaian biru, pelan. Tentu saja dia mengenal
pemuda ini sebagai orang yang telah membantunya melawan gerombolan orang kasar.
Ada perasaan suka di hatinya melihat pemuda
yang berwajah gagah dan bersikap sopan itu.
"Apakah benar namamu Marni, Nisanak?"
tanya pemuda berahang kokoh. Sepasang matanya
menatap wajah molek gadis di hadapannya penuh
selidik. "Benar. Namaku memang Marni. Memangnya kenapa?" gadis berpakaian biru
malah balik bertanya.
Perasaan heran merayapi hati gadis ini.
Mengapa pemuda berpakaian coklat itu begitu
ingin tahu kepastian namanya"
"Kau... kenal dengan Wuraji?" pemuda
tampan berahang kokoh itu balas bertanya.
"Wuraji...," ucap Marni lambat-lambat "Aku
memang kenal orang yang bernama Wuraji. Dia
memang sahabatku sewaktu kecil. Tapi apakah
orang yang kau maksudkan sama dengan Wuraji
yang kukenal, aku tidak yakin. Yang jelas, Wuraji
sahabatku itu mungkin telah tewas."
Ada nada kesedihan dalam ucapan gadis
berpakaian biru itu.
"Mengapa kau begitu yakin kalau Wuraji
sahabatmu itu telah tewas?" sehdik pemuda
berpakaian coklat
Marni tercenung sejenak. Tidak langsung
menjawab pertanyaan itu.
"Dalam sebuah perjalanan, dia terlempar
ke sungai yang berarus deras. Dan tak pernah
kembali" "Akulah Wuraji sahabatmu Marni," ucap
pemuda berpakaian coklat.
"Apa"!" Marni membelalakkan sepasang
matanya. "Jangan harap kau bisa membohongiku,
Kisanak. Aku tahu betul wajah Wuraji. Wajahnya
tidak sepertimu. Memang ada sedikit kemiripan
antara wajahmu dengannya. Tapi, aku yakin kau
bukan Wuraji."
Pemuda berahang kokoh tersenyum lebar.
"Akulah Wuraji itu, Marni. Suntara, Ketua
Perguruan Kumbang Merah adalah ayahku."
"Kau... kau...." Marni tergagap.
"Aku selamat, Marni. Dua orang sakti telah
menyelamatkanku
dari kematian. Bahkan mengangkatku sebagai murid. Kau pun kulihat


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah jadi pendekar wanita yang lihai. Ceritakanlah
semua pengalamanmu, Marni Dan..., mana Paman
Wijaya?" "Aku tidak tahu, Kang," kini Marni tidak
ragu-ragu lagi kalau pemuda di hadapannya
benar-benar Wuraji. Dan dengan sendirinya
perasaan sukanya semakin membesar. "Dia
menyusulmu terjun ke sungai. Dan setelah itu,
aku tidak pernah menemuinya lagi." Wuraji
tercenung sejenak.
"Mudah-mudahan saja Paman Wijaya
selamat, Marni." Hanya itu saja yang diucapkan
Wuraji. "Mudah-mudahan, Kang," harap Marni
pula. Suasana jadi hening sejenak setelah gadis
berpakaian biru itu menghentikan kata-katanya.
"O ya, Marni. Aku ingin mendengar semua
pengalamanmu. Perlu kau ketahui, aku pun
sampai tidak mengenalimu lagi tadi. Kau kini telah
jadi seorang gadis yang begini lihai dan... cantik."
Seketika wajah Marni menyemburat merah.
Pujian Wuraji-lah yang menjadi penyebabnya.
Sejenak gadis ini tercenung. Rupanya tengah
mengumpulkan segenap ingatannya.
"Sewaktu kau terlempar ke sungai, Paman
Wijaya segera menyusulmu. Karena tidak ada hal
lain yang dapat kulakukan, aku hanya diam
menunggu di rakit. Tapi sampai bosan menunggu,
kau dan Paman Wijaya tidak pernah datang.
Sementara perutku mulai terasa lapar. Rasa lapar
dan takut membuatku tak mampu menahan
perasaan hati. Aku menangis."
Marni menghentikan ceritanya sejenak
untuk mengambil napas, dan juga mencari-cari
kata-kata untuk melanjutkan ceritanya.
"Rupanya suara tangisku membuat seorang
kakek datang. Setelah menceritakan semua yang
terjadi kakek itu lalu mencari kalian. Hebat sekali
cara kakek itu mencari, Kang. Dia menggunakan
papan yang agak lebar di bawah tapak sepatunya.
Lalu bergerak di atas air. Meloncat ke sana
kemari." "Hm..., lalu?" tanya Wuraji menyelak.
''Tak lama kemudian, kakek itu muncul
kembali dengan membawa cerita yang mengejutkan. Katanya kau dan Paman Wijaya
mungkin sudah tewas, terseret air terjun."
"Hm...!"
Wuraji bergumam seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Rupanya kakek itu kasihan padaku. Lalu
mengajakku ke tempat tinggalnya. Kemudian
mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian yang dimilikinya. Kakek itu ternyata memiliki ilmu yang
tinggi, Kang. Terutama sekali ilmu meringankan
tubuhnya. Kakek itu berjuluk Camar Laut Merah."
Wuraji menganggukkan kepalanya. Dari
kedua orang gurunya, dia telah mendengar tokoh
yang berjuluk Camar Laut Merah. Seorang tokoh
persilatan aliran putih yang memiliki ilmu
kepandaian amat tinggi, dan ilmu meringankan
tubuh yang luar biasa. Tidak kalah dengan Monyet
Tanpa Bayangan, gurunya.
"Sepuluh tahun aku dididiknya, Kang. Lalu
aku pamit untuk mencari musuh besar kita.
Membalas dendam kematian ayahmu, orang yang
telah menanam budi besar padaku."
Wuraji tercenung. Memang pemuda berpakaian coklat ini telah mengetahui cerita itu.
Ayahnya telah menceritakan padanya kalau Marni
adalah anak yang berhasil ditemukan ayahnya, di
sebuah desa yang telah hancur lebur dijarah
perampok. Kala itu Marni baru berusia lima
tahun. Ayahnya lalu membawa Marni karena
sudah tidak punya kerabat lagi.
"Sekarang kau yang ganti bercerita, Kang.
Aku ingin mendengar semua pengalamanmu."
Wuraji pun menceritakan semua pengalamannya. Tapi sama sekali tidak memberitahukan kalau kedua gurunya adalah
pentolan-pentolan kaum sesat.
"Sekarang ke mana tujuanmu, Kang?"
tanya Marni ketika pemuda berpakaian coklat itu
menyelesaikan ceritanya. Sepasang matanya
menatap wajah pemuda itu.
"Hhh...!" Wuraji menghela napas berat.
"Tujuan utamaku adalah mencari pembunuh ayah
dan seluruh kakak seperguruanku..., dan
membalaskan kematian mereka. Tapi...."
"Kenapa, Kang?" Marni merasa heran
melihat keragu-raguan yang membayang di wajah
pemuda itu. "Guru-guruku menyuruh mencari kakak
seperguruanku...."
"Apa keperluannya, Kang?"
"Mereka ingin aku belajar hidup darinya...,"
pelan dan berdesah suara Wuraji.
"Belajar hidup"!" dahi Marni berkernyit.
"Aku tidak mengerti maksud ucapan Kakang."
Wuraji terdiam. Pemuda berahang kokoh
ini tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Sementara Marni masih terus menunggu jawaban
dengan penuh rasa ingin tahu.
"Guru-guruku adalah tokoh-tokoh sesat.
Dan mereka ingin agar aku jadi penjahat juga.
Tapi, tetap saja aku tidak bisa. Sehingga mereka
menyuruhku bergabung dengan kakak seperguruanku. Maksud mereka, agar aku dapat
meniru-niru kelakuan kakak seperguruanku."
"Ih...!" Marni berseru kaget. "Rencana gila!
Siapakah nama kakak seperguruanmu itu, Kang?"
"Aku sendiri belum pernah berjumpa
dengannya. Tapi, guruku memberi tahu julukannya, Siluman Tangan Maut."
"Siluman Tangan Maut"!" Marni berseru
kaget "Dia adalah seorang tokoh hitam yang amat
jahat dan kejam!"
"Kau mengenalnya, Marni?" Wuraji ingin
tahu. "Kenal sih tidak," Marni menggelengkan
kepalanya. ''Tapi, sepak terjangnya sudah lama
kudengar. Dia telah membuat kekacauan di dunia
persilatan. Sudah tak terhitung lagi orang-orang
yang mati di tangannya. Kau tahu, Kang"
Rombongan berkuda yang kita tolong tadi adalah
orang kaya yang melarikan diri dari tempat
tinggalnya karena takut pada Siluman Tangan
Maut. Padahal orang kaya itu tahu kalau di hutan
ini ada segerombolan perampok yang akan
menghadang perjalanannya. Aku sendiri mengetahuinya secara kebetulan. Mendengar
percakapan orang yang mengawal orang kaya itu."
"Ah...! Sejahat itukah dia?" desah Wuraji
penuh rasa terkejut
Marni menganggukkan kepalanya.
"Dan kau..., menuruti saja saran gurugurumu untuk belajar hidup dari orang seperti
dia"!"
Kini ganti Wuraji yang menganggukkan
kepalanya. "Gila!" desis Marni tajam. "Mengapa kau
mau saja melaksanakan perintah mereka, Kang"!
Kau ingin jadi penjahat"! Ah...! Kalau saja ayahmu
mendengar semua ini, mungkin dia akan bangkit
dari liang kuburnya.''
Wuraji tercenung mendengar ucapan
berapi-api itu. Kepala pemuda ini tertunduk
dalam. "Aku terpaksa," sahut Wuraji. Suaranya
terdengar mendesah.
"Maksudmu..." Guru-gurumu memaksa"!"
selak Marni cepat "Jangan khawatir, Kang. Aku
ada di sampingmu. Kita tentang kesewenangwenangan mereka!"
"Kau salah paham, Marni," kembali Wuraji
menggelengkan kepalanya. "Guru-guruku sama
sekali tidak memaksa."
"Aku semakin tidak mengerti maksudmu,
Kang." "Aku terpaksa menerima usul mereka
hanya sekadar, yahhh...! Kuanggap ini sebagai
balas budi atas kebaikan mereka yang telah susah
payah merawat dan mendidikku."
"Lalu..., hanya untuk membalas budi
mereka, kau rela jadi penjahat...?" desak Marni
penasaran. "Siapa yang ingin jadi penjahat"!" bantah
Wuraji cepat "Heh..."!" Marni terkejut "Bukankah kau
sendiri yang mengatakannya tadi?"
"Aku tidak berkata demikian. Aku hanya
mengatakan, guru menyuruh untuk menjumpai
kakak seperguruanku dan belajar hidup darinya.
Kalau aku tetap tidak bisa, tidak jadi masalah.
Yang penting, hati ini tenang, karena telah
menunaikan perintah mereka."
"Jadi...?" wajah Marni mulai berseri
kembali. "Kewajibanku hanya menemui kakak
seperguruanku. Masalah mengikuti jejaknya atau
tidak, tergantung pada kemauanku sendiri."
"Kalau begitu..., aku ikut, Kang," ucap
Marni sambil tersenyum gembira. "Aku juga ingin
tahu, seperti apakah tokoh yang menggemparkan
itu!" *** Wuraji dan Marni melangkah perlahan
menuju sebuah bangunan besar berhalaman luas
yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan kokoh. Di
bagian depan pintu gerbang, nampak berdiri dua
orang kasar berwajah angker. Sebatang golok
nampak tergantung di pinggang mereka.
Dua orang berwajah kasar itu mengerutkan
alisnya, begitu melihat sepasang muda-mudi yang
melangkah mendekati pintu gerbang.
"Berhenti...!" seru penjaga yang berwajah
bopeng, seraya memasang wajah angker, begitu
jarak di antara mereka ringgal dua tombak lagi.
Wuraji dan Marni langsung berhenti
melangkah. "Siapa kalian"! Dan mengapa kalian
kemari"!" tanya penjaga yang berkumis jarang.
Tangan kanannya bergerak memelintir kumisnya
yang hanya beberapa lembar saja. Sementara
sepasang matanya melirik ke arah Marni.
Merayapi wajah molek dan tubuh montok
menggiurkan di hadapannya.
Marni langsung membuang muka melihat
tingkah laki-laki berkumis jarang yang memuakkan itu. Melihat sikap Marni, wajah laki-laki
berkumis jarang itu merah padam karena marah.
Wuraji yang melihat hal ini jadi merasa khawatir
akan terjadi keributan. Dan itu tidak

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diinginkannya. Maka buru-buru dia melangkah
maju. "Aku Wuraji. Kedatanganku kemari untuk
bertemu Siluman Tangan Maut."
Ucapan pemuda berahang kokoh itu
terbukti ampuh. Mendengar julukan itu disebut
seketika wajah laki-laki berkumis jarang berubah
hebat "Apa keperluanmu menemui ketua kami?"
tanya laki-laki yang berwajah bopeng. Kali ini
suaranya terdengar lunak. Tidak keras dan kasar
seperti sebelumnya.
"Aku adalah adik seperguruannya," sahut
Wuraji pelan "Ahhh...!"
Tentu saja kedua penjaga itu terkejut
bukan main mendengarnya. Beberapa saat
lamanya mereka terlongong bingung. Menilik sikap
dan gerak-geriknya, sepasang muda-mudi ini
bukanlah termasuk golongan kaum sesat. Lalu
mengapa pemuda berpakaian coklat ini mengaku
adik seperguruan Siluman Tangan Maut"
"Siapa gurumu?" tanya laki-laki berkumis
jarang. Nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan
"Guruku berjuluk Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan."
Kedua penjaga itu tercenung sejenak.
Mereka memang tidak pernah tahu asal-usul
ketua mereka. Maka keduanya tidak bisa
memastikan kebenaran ucapan Wuraji.
"Kalian tunggu sebentar," ucap laki-laki
berwajah bopeng. "Aku hendak memberitahu
kedatangan kalian pada ketua."
Setelah berkata demikian, dia bergegas
melangkah ke dalam. Pintu gerbang memang
sengaja tidak dikunci sehingga laki-laki berwajah
bopeng itu tidak mengalami kesulitan ketika
masuk ke dalam.
Wuraji dan Marni terpaksa menunggu
dengan ditemani penjaga yang berkumis jarang.
Cukup lama juga sepasang muda-mudi itu
menunggu, sebelum akhirnya laki-laki berwajah
bopeng muncul kembali.
"Kalian berdua disuruh masuk," ucap lakilaki itu mempersilakan.
Tanpa merasa ragu-ragu sedikit pun,
Wuraji dan Marni melangkah ke dalam. Dan
begitu sampai di halaman yang luas, sepasang
muda-mudi ini melihat sesosok tubuh yang berdiri
tegak seperti sedang menunggu. Kedua tangannya
bersedekap di depan dada.
Wajah Wuraji dan Marni kontan berubah
begitu mengenali sosok tubuh itu. Seorang lakilaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan
berwajah meruncing ke depan. Pakaiannya adalah
sebuah rompi berwarna kuning. Tangan kirinya
menggenggam sebuah trisula.
Baik Wuraji maupun Marni kenal betul
siapa laki-laki berompi kuning ini. Dialah orang
yang telah membunuh Ketua Perguruan Kumbang
Merah, ayah Wuraji! Laki-laki inilah yang dikenal
oleh Wuraji dan Marni bernama Wisanggeni.
Memang sepasang muda-mudi ini mendengar
nama itu dari mulut almarhum ayah Wuraji.
Meskipun kemarahan yang amat sangat
melanda hatinya, tapi Wuraji masih mampu
menahan diri untuk tidak terburu-buru membuat
perhitungan. Sebuah dugaan lain yang berkelebat
di benaknya, membuatnya masih mampu menahan diri. Suara gemeretak di sebelahnya, menyadarkan Wuraji kalau bukan hanya dirinya
saja yang dilanda amarah. Ada seorang lagi yang
juga tengah diamuk dendam. Orang itu adalah
Marni. Dan untuk mencegah gadis berpakaian
biru itu tidak langsung menyerang, maka Wuraji
segera berbisik pelan di telinga gadis itu.
''Tahan dulu amarahmu, Marni. Aku ingin
tahu, apakah dia yang berjuluk Siluman Tangan
Maut. Menurut guruku, nama kakak seperguruanku adalah Pati Gala."
Mendengar keseriusan ucapan Wuraji,
Marni tidak berani membantah. Dia tahu betul arti
penting hal itu bagi Wuraji. Ditariknya napas
dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat
untuk meredakan gejolak amarah yang seperti
akan memecahkan dadanya.
"Kau yang bernama Wuraji?" tanya laki-laki
berompi kuning yang bukan lain adalah
Wisanggeni. Wuraji hanya menganggukkan kepalanya.
Dia sengaja tidak menjawab. Khawatir kalau-kalau
suaranya akan terdengar bergetar.
"Benar kau murid Ular Kaki Seribu dan
Monyet Tanpa Bayangan?" tanya Wisanggeni lagi.
Kembali Wuraji menganggukkan kepalanya. "Apakah gadis itu saudara seperguruan
kita juga?"
Wuraji menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak bisa bicara, Wuraji?" Wisanggeni
mulai jengkel, begitu menyadari kalau pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan
dan gelengan kepala. "Bicaralah sebelum hilang
kesabaranku. Dan kau kubunuh! Ingat, meskipun
kau adik seperguruanku, aku tidak segan-segan
membunuhmu!"
Tidak nampak ada perubahan pada wajah
Wuraji. "Aku ingin menanyakan sesuatu. Boleh?"
terdengar kaku suara pemuda berahang kokoh ini.
Padahal Wuraji sudah berusaha keras untuk
melunakkan suaranya.
Wisanggeni mengerutkan alisnya. Rupanya
laki-laki berpakaian rompi kuning ini menangkap
nada suara yang terdengar agak kasar itu.
Kelakuan orang yang mengaku sebagai adik
seperguruannya ini begini aneh sehingga membuatnya curiga. Dengan sendirinya, seluruh
otot-otot dan urat-urat syaraf di tubuhnya pun
menegang. Apalagi ketika melihat wanita berpakaian biru yang sejak tadi menundukkan kepala
saja. Tak sedikit pun mengangkat kepalanya.
"Tanyalah apa yang ingin kau tanyakan."
Wisanggeni menyahut tak kalah kaku.
"Apakah kau yang berjuluk Siluman
Tangan Maut dan bernama Pati Gala?"
"Benar. Akulah orang yang kau cari," sahut
Wisanggeni dingin. ''Tapi sekarang namaku bukan
lagi Pari Gala. Tapi Wisanggeni."
"Mengapa"!" tanya Wuraji dengan suara
kian gemetar karena dugaan yang semakin kuat
kalau orang di hadapannya adalah musuh
besarnya. "Karena musuh besarku telah berhasil
kubunuh. Dulu aku bersumpah, selama belum
berhasil membunuh musuh besarku, nama asliku
tidak kuperkenalkan." Siluman Tangan Maut
memberi tahu. Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini dia mengerti. Rupanya Pati Gala hanya nama
samaran. "Siapakah musuh besarmu, Wisanggeni?"
Wuraji bertanya lagi, ingin memastikan.
"Suntara."
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Terdengar bentakan nyaring, yang bukan
hanya membuat Siluman Tangan Maut terkejut.
Tapi juga Wuraji.
Bentakan itu ternyata keluar dari mulut
Marni. Dan seiring dengan keluarnya suara
bentakan, gadis berpakaian biru ini sudah
menyerang Siluman Tangan Maut dengan sebuah
serangan mematikan.
Jari-jari telunjuk kedua tangan Marni
menegang kaku. Dan langsung menusuk cepat ke
arah tenggorokan Wisanggeni alias Pati Gala.
Ciiit, ciiit...!
Suara mencicit nyaring terdengar mengiringi tibanya totokan-totokan
Marni. Memang hebat bukan main serangan gadis
berpakaian biru ini Apalagi dilakukan dengan tibatiba.
Untung, Siluman Tangan Maut sudah sejak
tadi bersikap waspada. Sehingga meskipun
serangan Marni tiba begitu cepat, dia mampu
bergerak lebih cepat lagi.
Wisanggeni menarik kaki kanannya ke
belakang, seraya mendoyongkan tubuh, sehingga
totokan-totokan itu mengenai tempat kosong.
Sejengkal di depan wajahnya.
Marni yang tengah diamuk dendam, tidak
berhenti sampai di situ saja. Begitu serangan
totokannya luput, kaki kanannya mencuat ke arah
perut, dengan sebuah tendangan lurus.
Kali ini Siluman Tangan Maut tidak
mengelak. Tapi menangkis dengan membacokkan
tangan kanannya ke bawah.
Takkk! Terdengar suara berdetak keras seperti
beradunya dua buah benda keras, tatkala tangan
dan kaki yang sama-sama mengandung tenaga
dalam penuh itu berbenturan.
Marni meringis begitu merasakan kakinya
sakit bukan main. Gadis berpakaian biru ini
terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
Sekujur tubuhnya tergetar hebat. Sementara
Siluman Tangan Maut hanya tergetar saja kedua
tangannya. "Keparat! Kenapa kau menyerangku, Gadis
Liar"!" bentak Wisanggeni seraya melempar tubuh
ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara
sebelum mendarat ringan di tanah.
Sepasang mata gadis ini berapi-api
memandang Siluman Tangan Maut.
"Aku adalah murid musuh besarmu!"
tandas Marni, keras.
"Ooo..., jadi kau murid Suntara?" kalem
dan tenang suara Siluman Tangan Maut
''Tidak usah banyak bicara!" sergah Marni
keras. "Yang jelas, kau harus membayar semua
kekejianmu dengan nyawa!"
Setelah berkata demikian, Marni kembali
melancarkan serangan. Tubuh gadis berpakaian
biru ini melayang di udara, melancarkan
tendangan terbang.
Wisanggeni hanya tersenyum mengejek.
Dari benturan tadi, dia sudah bisa menebak kalau
tenaga dalamnya masih lebih unggul daripada
tenaga dalam Marni. Oleh karena itu, dia tidak
mau mengelak. Laki-laki berompi kuning ini
sengaja akan menggunakan kelebihannya untuk
mendesak gadis berpakaian biru ini.
Sebagai orang yang telah kenyang makan
asam garam dunia persilatan, dan puluhan
bahkan mungkin ratusan kali bertempur menghadapi lawan tangguh, Wisanggeni dapat
menduga kalau

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tendangan terbang itu kemungkinan besar akan datang beruntun. Maka,
dia pun bersiap siaga.
Dugaan laki-laki berompi kuning ini
ternyata tepat. Serangan Marni ternyata tidak
hanya sekali saja. Mula-mula yang datang lebih
dulu adalah kaki kanan, ke arah leher Wisanggeni.
Siluman Tangan Maut segera menyilangkan kedua tangannya di depan wajah.
Tanpa ragu-ragu lagi, seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya dikerahkan
Dukkk! Saking kuatnya tendangan yang dilakukan
Marni, apalagi ditambah dengan tenaga luncurnya, menyebabkan tenaga serangan itu jadi
berlipat ganda. Maka meskipun telah mengerahkan seluruh tenaganya, tak urung kudakuda Wisanggeni tergempur. Bahkan kedua
tangannya goyah.
Dan di saat itulah, kaki kiri Marni
meluncur tiba! Cepat bukan main datangnya
serangan yang kedua ini. Serangan ini memang
merupakan serangan beruntun. Tapi, masih lebih
cepat lagi gerakan Wisanggeni. Laki-laki berompi
kuning ini segera menghentakkan kedua tangannya ke bawah.
Plakkk! Marni meringis. Kaki kirinya terasa sakit
bukan main. Tangkisan yang dilakukan Siluman
Tangan Maut memang keras sekali. Meskipun
begitu, gadis ini masih sempat mempertunjukkan
kelihaiannya. Seraya mengeluarkan pekik melengking nyaring, tubuhnya melenting ke
belakang. Bersalto beberapa kali di udara, dan
mendarat ringan tanpa suara di tanah, walaupun
agak terhuyung.
Terdengar suara gemeretak ketika Siluman
Tangan Maut menggertakkan gigi. Laki-laki
berompi kuning ini memang murka bukan main.
Maka begitu melihat Marni menghentikan
serangan, dia pun balas menyerang.
*** 5 "Hiyaaa...!"
Sekali menyerang, Siluman Tangan Maut
sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 'Tendangan Angin Puyuh'. Kaki kanannya
melakukan tendangan miring bertubi-tubi ke arah
perut, dada, dan leher. Cepat bukan main
tendangan beruntun itu. Angin serangannya pun
menimbulkan suara menderu-deru yang membuat
batu-batu kecil berpentalan tak tentu arah. Debu
pun mengepul tinggi ke udara.
Marni tidak berani bertindak gegabah.
Gadis berpakaian biru ini sadar kalau serangan
lawan amat berbahaya. Tambahan lagi dia belum
mengetahui perkembangan gerakan lawan. Maka
dia tidak berani menangkis. Marni langsung
melompat mundur ke belakang, sehingga tendangan tadi mengenai tempat kosong. Beberapa jengkal di depan tubuhnya.
Tapi Wisanggeni yang tengah murka, tidak
mau memberi kesempatan lagi. Begitu serangannya berhasil dielakkan, dia pun kembali
melancarkan serangan susulan. Sesaat kemudian,
kedua tokoh ini sudah terlibat dalam sebuah
pertarungan sengit.
Tentu saja keributan yang terjadi, segera
mengundang perhatian anak buah Siluman
Tangan Maut. Sebentar saja tempat itu telah
dikurung belasan orang berwajah kasar. Tapi
mereka sama sekali tidak berani bertindak, kalau
tidak diperintah Wisanggeni.
Wuraji memperhatikan jalannya pertarungan dengan perasaan cemas bukan main.
Di dalam dada pemuda berpakaian coklat ini
tengah terjadi pertentangan batin yang hebat.
Sungguh dia tidak menyangka kalau kakak
seperguruan yang belum pernah dilihatnya adalah
pembunuh ayah dan kakak-kakak seperguruannya.
Hal inilah yang membuat pemuda berpakaian coklat ini terpaku untuk beberapa saat
Tak tahu harus berbuat apa.
Sementara itu pertarungan antara Marni
dan Siluman Tangan Maut berlangsung cepat.
Kedua orang ini memang sama-sama memiliki
kecepatan gerak yang mengagumkan. Hal ini ini
tidak aneh. Karena Wisanggeni adalah murid
kesayangan tokoh sesat yang memiliki ilmu
meringankan tubuh luar biasa, dan berjuluk
Monyet Tanpa Bayangan. Begitu pula halnya
dengan Marni. Karena pertarungan yang berjalan cepat
itulah, maka dalam waktu singkat tiga puluh jurus
telah berlalu. Dan mulai tampak kalau Marni
bukan tandingan Siluman Tangan Maut yang
memiliki kepandaian menggiriskan.
Marni terdesak hebat. Memang gadis
berpakaian biru ini kalah segala-galanya dibanding lawannya. Kalah dalam hal tenaga
dalam, kecepatan gerak, maupun pengalaman
bertarung. Lewat tiga puluh lima jurus, Marni hanya
mampu mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya
kadang-kadang mengjrim serangan balasan.
"Haaat..!"
Marni berteriak keras. Dan seiring dengan
teriakannya, tubuhnya melenting jauh ke belakang, lalu bersalto beberapa kali di udara.
Tapi Wisanggeni tidak mau memberinya kesempatan. Begitu melihat tubuh lawannya
melenting, segera dia melompat mengejar. Siluman
Tangan Maut tidak mau memberi kesempatan
pada Marni untuk memperbaiki posisi.
Tapi kali ini Wisanggeni salah perhitungan.
Sambil bersalto, tangan Marni bergerak cepat ke
arah punggung. Dan begitu serangan yang
memburunya menyambar tiba, tahu-tahu pedang
gadis ini melesat cepat memapak.
Wisanggeni terkejut bukan main melihat
hal ini. Sebelum serangannya tiba, sudah dapat
dipastikan kalau tubuhnya akan terlebih dulu
tertembus pedang lawan. Oleh karena itu, buruburu serangannya dibatalkan.
Bukan hanya itu saja yang dilakukan lakilaki berompi kuning ini. Seraya menarik pulang
serangannya, tubuhnya dilempar ke samping kiri,
sehingga sabetan pedang Marni mengenai tempat
kosong. Berbareng dengan itu, tangan kanannya
dikibaskan. Takkk! Pedang Marni terlempar jauh, ketika
tangan Wisanggeni mengenai pergelangan tangan
kirinya. Padahal kibasan tangannya hanya
menyerempet saja.
Wuraji tentu saja terperanjat melihat hal
itu. Kini pemuda berahang kokoh ini sudah
mengambil keputusan untuk membantu Marni.
Apa pun yang terjadi, dia harus membuat
perhitungan dengan orang yang telah membunuh
ayah dan kakak-kakak seperguruannya.
Tapi sebelum Wuraji menerjang, anak buah
Wisanggeni yang sejak tadi hanya mengurung,
tidak tinggal diam.
Srattt, srattt..!
Sinar-sinar menyilaukan berpendar tatkala
anak buah Siluman Tangan Maut mencabut
senjata masing-masing. Dan secepat senjata
mereka terhunus, secepat itu pula diayunkan ke
arah pemuda berpakaian coklat itu. Seketika itu
juga, hujan senjata berkelebatan ke arah berbagai
bagian tubuh Wuraji
Terpaksa pemuda berahang kokoh ini
mengurungkan niat hendak menolong Marni,
ketika melihat berkelebatannya senjata-senjata
lawan. Dengan gerakan yang lincah laksana kera,
Wuraji berhasil mengelakkan semua serangan.
Tubuhnya berkelebatan di antara hujan senjata
tajam yang mengancam berbagai bagian tubuhnya. Sebaliknya, setiap kali tangan atau kaki
putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
bergerak, sudah dapat dipastikan ada yang
bergelimpangan di tanah tanpa nyawa.
Sebetulnya Wuraji tidak berniat membunuh keroco-keroco seperti mereka. Tapi,
karena tahu lawan berjumlah banyak, dan lagi
keadaan Marni sudah mengkhawatirkan, maka
pemuda berpakaian coklat ini tidak mempunyai
pilihan lain lagi.
Suara jerit kematian terdengar susulmenyusul mengiringi bertumbangannya tubuhtubuh tanpa nyawa.
Siluman Tangan Maut menggertakkan gigi
begitu melihat anak buahnya bertumbangan satu
persatu. Dan seiring dengan kemarahannya yang
bergolak, serangannya pun jadi kian dahsyat. Dan
akibatnya segera dirasakan Marni. Gadis berpakaian biru ini merasakan serangan-serangan
Wisanggeni semakin tambah sulit dibendung.
Tentu saja Wuraji pun tahu keadaan yang
dialami Marni. Maka dia segera bergerak
menerobos kepungan, dan langsung melompat
menerjang musuh besarnya.
Begitu Wuraji ikut campur tangan,
keadaan langsung berubah. Kini Marni tidak
mengalami tekanan berat lagi. Malah sebaliknya,


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siluman Tangan Maut yang kerepotan.
Wuraji kini tidak sungkan-sungkan lagi
mengeluarkan seluruh kemampuannya. Yang ada
dalam benaknya hanya satu. Membalas dendam
kepada pembunuh ayah dan saudara-saudara
seperguruannya.
Wisanggeni menggertakkan gigi. Kini dia
harus mengerahkan seluruh kemampuan untuk
menghadapi kedua lawannya. Kepandaian kedua
orang muda itu tidak berselisih jauh dengannya.
Tapi, dia lebih menitikberatkan serangannya pada
Marni. Memang pemuda berpakaian coklat itu
memiliki kepandaian yang tidak kalah dengan
Marni. Tapi, ada satu kekurangan pada Wuraji.
Semua ilmu yang dimilikinya, dimiliki Siluman
Tangan Maut. Dan dengan sendirinya Wisanggeni
tahu cara mengatasinya.
Berbeda dengan Marni. Gadis berpakaian
biru ini memiliki ilmu-ilmu yang sama sekali tidak
dikenalnya. Itulah sebabnya mengapa Siluman Tangan
Maut lebih memperhatikan setiap serangan gadis
itu ketimbang serangan yang dikirim Wuraji
Begitu bertarung dengan Siluman Tangan
Maut, Wuraji baru sadar kalau ada beberapa ilmu
yang tidak dimilikinya. Di antaranya adalah
'Tendangan Angin Puyuh' yang merupakan ilmu
andalan Ular Kaki Seribu. Dan juga jurus 'Kera',
milik Monyet Tanpa Bayangan
Kini pemuda berpakaian coklat ini pun
sadar kalau guru-gurunya tidak menurunkan
seluruh ilmu-ilmu yang mereka miliki. Tapi Wuraji
tidak sempat memikirkan hal itu. Seluruh
pikirannya dipusatkan untuk merobohkan kakak
seperguruannya secepat mungkin
Hebat bukan main pertarungan antara
ketiga orang sakti itu. Suara angin menderu-deru
dan bercicitan terdengar meningkahi pertarungan.
Batu-batu kecil beterbangan tak tentu arah, dan
tanah terbongkar di sana-sini. Bahkan debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Tapi lewat lima puluh jurus, Siluman
Tangan Maut mulai terdesak.
"Haaat...!"
Laki-laki berompi kuning berteriak keras
menggelegar. Sesaat kemudian, di tangan kanannya telah tergenggam trisula yang tadi
ditancapkannya di tanah, sewaktu Marni melompat menyerangnya. Tahu akan kelihaian
Wisanggeni, apalagi dengan senjata andalan di
tangan, Wuraji tidak berani bertindak ceroboh.
Cepat dia mengeluarkan senjata andalannya yang
berupa sepasang tombak pendek. Bahkan Marni
pun telah mengambil pedangnya yang tadi telah
terlempar ke tanah.
Pertarungan kembali terjadi. Kali ini lebih
seru dari sebelumnya, karena kedua belah pihak
telah mengeluarkan senjata andalan masingmasing. Suara bercicitan, mendesing, dan
mengaung, menyemaraki pertempuran.
Semua anak buah Siluman Tangan Maut
yang sejak tadi sudah menyingkir, menjauhi
pertempuran, kini bergerak semakin menjauh.
Mereka khawatir terkena serangan nyasar.
Jangankan terkena telak, tersambar angin
serangannya saja sudah cukup untuk mengirim
nyawa mereka ke alam baka.
Pertarungan berlangsung cepat. Sehingga
tak terasa lima puluh jurus lagi telah berlalu. Dan
lagi-lagi, Wisanggeni harus menelan kenyataan
pahit. Dia tetap tidak mampu mengatasi lawanlawannya.
Semakin lama keadaan Siluman Tangan
Maut semakin terdesak. Kini dia hanya mampu
mengelak. Sesekali menangkis, dan hanya kadangkadang saja balas menyerang.
Wisanggeni menggertakkan gigi. Berusaha
menguras seluruh kemampuannya. Tapi karena
lawan terlalu kuat, semua yang dilakukannya
tetap saja tidak membuahkan hasil seperti yang
diharapkan. Laki-laki berompi kuning ini tetap
saja terdesak hebat
"Haaat..!"
Seraya mengeluarkan pekikan melengking
nyaring, Marni melompat ke atas. Dan laksana
seekor burung garuda menerkam mangsa, dari
atas, tubuhnya menukik deras ke bawah. Pedang
di tangannya ditusukkan cepat ke arah dada.
Hati Siluman Tangan Maut tersekat.
Apalagi pada saat yang sama, Wuraji juga
mengirim serangan tak kalah dahsyat. Sepasang
tombak pendek pemuda berpakaian coklat itu
berputaran, sebelum akhirnya menotok deras ke
arah ulu hati dan pusar.
"Hih...!"
Tanpa pikir panjang lagi, Wisanggeni
segera membanting tubuh di tanah, dan langsung
bergulingan menjauh.
Tapi Wuraji dan Marni mana mau
membiarkan musuh besar mereka lolos" Tanpa
membuang-buang waktu, mereka langsung mengejar tubuh laki-laki berompi kuning itu. Dan
langsung menghujani dengan serangan-serangan
maut Kini Siluman Tangan Maut jadi sibuk
mengelakkan serangan-serangan itu. Tidak ada
jalan lain lagi baginya untuk menyelamatkan
selembar nyawanya kecuali terus bergulingan di
atas tanah. Tapi, sampai berapa lama dia bisa
bertahan seperti ini"
Sebuah pemandangan menarik pun terlihat
Tubuh Siluman Tangan Maut yang terus
bergulingan. Sementara Wuraji dan Marni
berusaha keras menyarangkan serangan. Menghujani tubuh yang bergulingan dengan
serangan-serangan mematikan.
Sambil terus bergulingan, Wisanggeni
memutar otaknya. Sebagai orang yang kenyang
pengalaman bertempur, laki-laki berompi kuning
ini sadar kalau dirinya berada dalam keadaan
berbahaya. Kemungkinan untuk terkena sasaran
serangan lawan, besar sekali. Dia harus cepatcepat membebaskan diri, kalau tidak ingin celaka.
Tapi, bagaimana caranya"
Sampai beberapa saat lamanya, Siluman
Tangan Maut terus bergulingan, sambil memutar
trisula di atas tubuh untuk melindungi selembar
nyawanya. Benaknya terus berputar untuk
mencari jalan agar bebas dari keadaan yang tidak
menguntungkan ini.
Desss! Hati Siluman Tangan Maut tersekat ketika
sebuah tendangan Marni tepat mengenai pergelangan tangannya. Tak pelak lagi, trisulanya
pun terlepas dari genggaman dan terlempar jauh.
Di saat itulah pedang di tangan gadis berpakaian
biru itu dan sepasang tongkat Wuraji menyambar
deras ke arah tubuhnya.
Sepasang mata Wisanggeni terbelalak
lebar. Dia sudah berada dalam posisi yang benarbenar terjepit. Tidak ada jalan lagi baginya untuk
mengelak. Tapi di saat gawat bagi keselamatan nyawa
Siluman Tangan Maut tiba-tiba berkelebat sosok
bayangan kuning keemasan dan hitam memapak
serangan itu. Plakkk, plakkk...!
Terdengar suara benturan keras berkalikali, disusul dengan terlemparnya tubuh Wuraji
dan Marni ke belakang. Sekujur tubuh mereka
tergetar hebat. Dada pun terasa sesak bukan
main. Bahkan tangan yang terbentur itu bagaikan
patah-patah. Tanpa dapat dicegah lagi, senjata
mereka pun terlepas dari genggaman.
*** Wuraji dan Marni menatap dua sosok
tubuh yang berdiri membelakangi Siluman Tangan
Maut yang kini mulai bergerak bangkit. Seketika
wajah pemuda berahang kokoh itu memucat
begitu mengenali orang yang telah menggagalkan
serangannya dan Marni.
Betapa tidak" Di hadapan mereka telah
berdiri dua orang yang tak lain adalah Ular Kaki
Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan. Gurugurunya!
"Guru...," ucap Wuraji pelan seraya
bergerak memberi hormat
Kedua kakek itu hanya mendengus kasar.
"Untung kami tidak percaya penuh
padamu, Wuraji," Monyet Tanpa Bayangan yang
menyahuti. Nada suaranya terdengar datar. Tidak
ada nada penyesalan di dalamnya. "Kalau tidak,
Pati Gala sudah terbunuh."
''Tanpa kau ketahui, kami mengikuti
semua perjalananmu," sambung Ular Kaki Seribu.
"Kami lihat semua kelakuanmu yang benar-benar
mengecewakan kami. Seperti menolong rombongan kereta berkuda."
Wuraji hanya diam. Kepalanya tertunduk
dalam. Sama sekali tidak membantah semua
ucapan kedua gurunya. Sementara Marni menatap
kedua kakek itu dengan sepasang mata penuh
selidik. Inikah guru-guru Wuraji" tanyanya dalam
hati "Bagaimana ceritanya sehingga Guru bisa
salah memungut murid" Kedua orang ini punya
hubungan erat dengan orang yang telah
kubunuh!" Siluman Tangan Maut angkat suara.
"Karena kecerobohan kami juga," keluh
Monyet Tanpa Bayangan. "Untung saja ilmu-ilmu
andalan kami tidak diturunkan semua."
"Lalu..., apa yang akan Guru lakukan
terhadap murid murtad ini?" Wisanggeni ingin
tahu. "Hanya mengambil kembali ilmu yang telah
kami wariskan kepadanya," jawab Ular Kaki
Seribu ringan. Siluman Tangan Maut tampak gembira
bukan main. Sepasang matanya berbinar-binar.
Seulas senyum keji tersungging di mulutnya.
Sementara wajah Wuraji dan Marni berubah
pucat. Mereka tahu apa arti mengambil kembali
ilmu yang telah diberikan itu. Membuat pemuda
berahang kokoh ini menjadi orang cacat
Meskipun begitu, Wuraji sama sekali tidak
bersikap seperti hendak menentang atau melawan.
Dia tetap diam dengan kepala tertunduk. Tentu
saja Marni jadi cemas bukan kepalang melihat hal
ini "Bersiaplah, Wuraji," ucap Ular Kaki Seribu
seraya melangkah maju. Nada suaranya terdengar
dingin. "Aku akan mengambil kembali ilmu yang
telah kami wariskan kepadamu."
"Silakan, Guru," sahut Wuraji dengan
suara bergetar.
''Tidak!" Terdengar suara bentakan tinggi
melengking, disusul dengan berkelebatnya sesosok
bayangan biru. Tahu-tahu di depannya, membelakangi Wuraji, berdiri seorang gadis cantik
jelita, berwajah molek, dan bertubuh montok
menggiurkan. "Siapa kau, Nisanak"!" tanya Ular Kaki
Seribu kalem. "Menyingkirlah, sebelum aku lupa
kalau kau hanya seorang gadis ingusan."
"Aku kawan Wuraji!" jawab Marni ketus.
"Dan aku tidak akan membiarkan kau melakukan
kekejaman terhadapnya!"
"Hm...,"
Ular Kaki Seribu

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya menggumam pelan. Lalu menatap wajah gadis di
hadapannya lekat-lekat.
"Marni! Menyingkirlah...! Jangan campuri
urusanku...!" ujar Wuraji memberi nasihat
''Tidak!" bantah Marni tegas. "Aku tidak
akan menyingkir!"
Berkilat sepasang mata Ular Kaki Seribu.
Laki-laki berpakaian kulit ular ini memang
pemarah. Begitu melihat sikap keras kepala Marni,
kemarahannya bergolak seketika.
"Kau membuat kesabaranku habis, Wanita
Sial!" desis Ular Kaki Seribu. Tangan kanannya,
dengan jari-jari terbuka, mengarah ke ubun-ubun
Marni. Sebuah serangan keji! Sekali menyerang,
Ular Kaki Seribu telah bermaksud membinasakan
gadis berpakaian biru itu.
Cepat bukan main serangan itu. Angin
yang bercicitan tajam mengiringi tibanya serangan. Tapi, Marni bukan seorang gadis lemah.
Gadis berpakaian biru ini tahu kalau lawan yang
dihadapinya kali ini adalah seorang yang memiliki
tingkat kepandaian amat tinggi. Maka sejak tadi
dia sudah bersiap siaga.
Oleh karena itu, begitu melihat serangan
maut Ular Kaki Seribu, Marni tidak menjadi
gugup. Cepat tubuhnya direndahkan, sehingga
serangan lawan lewat di atas kepalanya. Semula,
gadis berpakaian biru ini ingin melompat ke
belakang, tapi karena di belakangnya ada Wuraji,
maka niatnya diurungkan.
Wuttt..! Angin bersiutan keras kembali terdengar,
begitu Ular Kaki Seribu melancarkan serangan
susulan. Kaki kanannya mencuat ke arah perut
Marni. Tidak ada jalan mengelak lagi bagi Marni.
Gadis ini tahu jika dia mengelak, maka Wurajilah
yang akan terkena tendangan itu. Karena pemuda
berpakaian coklat itu memang berdiri tepat di
belakangnya. Maka gadis ini pun memaksakan diri
menangkis tendangan Ular Kaki Seribu dengan
kedua tangan yang disertai pengerahan seluruh
tenaga dalam. Plakkk...! Suara keras seperti beradunya dua batang
logam keras, terdengar. Marni meringis. Sekujur
tangannya terasa seperti patah-patah tulangnya.
Dadanya pun dirasakan sesak bukan main.
Bahkan bukan hanya itu saja. Tubuhnya pun
terlempar keras ke belakang, dan menabrak tubuh
Wuraji. Tak pelak lagi, sepasang muda-mudi itu
jatuh saling tumpang tindih.
Dan sebelum Marni sempat berbuat
sesuatu, Ular Kaki Seribu telah kembali
melancarkan serangan. Kaki kirinya menendang
ke arah kepala gadis itu.
Wuraji terperanjat ketika melihat bahaya
maut yang mengancam keselamatan gadis
berpakaian biru itu. Pemuda berpakaian coklat ini
tahu betul kedahsyatan tendangan laki-laki
bermuka kuda itu. Jangankan kepala manusia,
sebongkah batu karang yang keras pun akan
hancur lebur terkena tendangan itu.
Wuraji tidak bisa menahan diri lagi melihat
gadis yang diam-diam mulai memikat hatinya
terancam maut "Guru...! Jangan...!" teriak Wuraji keras.
Dan dalam kekhawatiran yang amat sangat akan
keselamatan Marni, masih dalam keadaan
berbaring, Wuraji memapak tendangan gurunya
dengan tendangan kaki kanan juga.
Dukkk! Dua buah kaki yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan.
Wuraji meringis, menahan sakit yang membuat
sekujur tulang-tulang kakinya seperti patahpatah. Bukan hanya itu saja, tubuhnya pun
terjengkang ke belakang dan kembali bergulingan
di tanah. Meskipun begitu, akhirnya Marni
berhasil diselamatkan.
"Keparat! Kau berani melawanku, Murid
Murtad"!" Ular Kaki Seribu membentak keras.
Amarahnya menggelegak seketika melihat muridnya berani menangkis serangannya.
"Jangan celakakan dia, Guru...," pinta
Wuraji memohon, seraya bangltit berdiri. Tampak
mulut pemuda ini menyeringai ketika berhasil
berdiri. Kaki kanannya tidak lagi menapak dengan
kokoh di tanah. Jelas kalau dia merasa kesakitan
akibat benturan tadi.
Ular Kaki Seribu yang tengah murka mana
mau mendengar ucapan muridnya. Sambil
memutar tubuh, kaki kanannya dikibaskan ke
arah kepala muridnya.
Tapi Wuraji sama sekali tidak berusaha
mengela atau menangkis. Untunglah di saat
terakhir, Marni cepat mencekal tangan pemuda itu
dan menariknya ke belakang.
*** 6 Wusss...! Kibasan Ular Kaki Seribu mengenai tempat
kosong. Lewat sejengkal di depan wajah Wuraji.
Rambut dan sekujur pakaian yang dikenakan
pemuda berahang kokoh itu berkibaran keras,
saking kuatnya tenaga dalam yang terkandung
dalam kibasan kaki tadi.
Ular Kaki Seribu meraung murka melihat
serangannya kembali lolos. Sambil mengeluarkan
suara teriakan keras menggelegar, kakek bermuka
kuda ini melompat menerjang. Ular Kaki Seribu
melompat tinggi di udara. Dan dari atas, tubuhnya
menukik deras bagaikan seekor burung garuda.
Kedua tangannya yang membentuk cakar
mengancam ubun-ubun Marni dan Wuraji.
"Kalau kau tidak mau menangkis, aku pun
tidak akan menangkis serangan itu, Wuraji," bisik
Marni tajam. "Biarlah aku mati penasaran di
tangan gurumu"
Wajah Wuraji berubah seketika mendengar
ucapan Marni. Terpaksa dia mengurungkan
niatnya yang hendak membiarkan serangan
gurunya. Rupanya dia tidak mau gadis berpakaian
biru itu tewas karena dirinya.
"Haaat..!"
Wuraji memekik melengking nyaring.
Tangan kanannya yang terkembang membentuk
cakar dihentakkan ke depan, menangkis serangan
tangan kiri Ular Kaki Seribu.
"Hyaaa...!" teriak Marni pula. Tangan
kanannya pun dihentakkan menangkis serangan
tangan kanan kakek bermuka kuda itu.
Prattt, prattt..!
Tubuh Wuraji dan Marni terjengkang ke
belakang, dan terbanting keras di tanah. Seluruh
tubuh mereka terasa sakit bukan main. Apalagi
tangan yang menangkis. Tangan itu terasa patahpatah!
Tubuh Ular Kaki Seribu pun terpental balik
ke atas. Namun dengan manis, tubuhnya bersalto
beberapa kali di di udara kemudian mendarat di
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 19 Pedang Bengis Sutra Merah ( Tan Ceng In) Karya See Yan Tjin Djin Raja Silat 28
^