Pencarian

Raksasa Rimba Neraka 1

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Bagian 1


RAKSASA RIMBA NERAKA
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Raksasa Rimba Neraka
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
1 "Hiyaaat...! Haaat...!"
Teriakan keras seperti tengah terjadi pertempuran terdengar merobek kesunyian pagi, di sebuah tanah lapang yang luas
di Lereng Gunung
Jarak. Teriakan itu terdengar berasal dari seorang pemuda bertelanjang dada yang
tengah berlatih.
"Haaat...!"
Kembali pemuda itu berteriak nyaring melengking. Dibarengi teriakan, kaki kanannya dikibaskan ke sebatang pohon.
Brakkk...! Seketika itu juga pohon sebesar dua pelukan
orang dewasa, tumbang. Suara bergemuruh mengiringi rubuhnya pohon itu ke tanah.
"Bagus sekali, Sapta!" puji seorang kakek yang sejak tadi memperhatikan. Di
sebelah kakek itu
nampak seorang gadis berusia sekitar dua puluh
tahun. Wajahnya cantik manis. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya berwarna
jingga, sehingga cocok sekali dengan warna kulitnya.
Pemuda bertelanjang dada yang dipanggil Sapta
itu menghentikan latihannya. Dibalikkan tubuhnya menghadap kakek yang kira-kira
berusia enam puluh tahun. Pakaiannya rompi dan celana sebatas bawah lutut tampak
penuh tambalan, membungkus tubuhnya yang kurus kering. Kakek itu ternyata memang
seorang pengemis! Di tangan kanannya, tergenggam sebatang tongkat kayu berwarna
merah. Dalam rimba persilatan, dia berjuluk Pengemis Tongkat Merah.
"Aku mohon petunjuk, Guru," pinta Sapta yang berusia sekitar dua puluh satu
tahun itu. Pengemis Tongkat Merah yang ternyata guru pe-
muda yang bernama Sapta itu tertawa terkekeh.
Dipandanginya sosok tubuh tinggi besar, dan berhidung melengkung di hadapannya sebentar.
"Tidak ada lagi yang dapat kuajarkan, Sapta.
Semua ilmu yang kumiliki telah beralih kepadamu dan Kami," tegas kakek kurus
kering itu sambil menoleh kepada gadis yang berdiri di sebelahnya. "Kau telah
menguasainya dengan baik. Aku bangga padamu,
Sapta!" Wajah pemuda tinggi besar dan berhidung me-
lengkung itu memerah, menerima pujian itu.
"Ah, semua ini adalah berkat bimbingan Guru, dan Kami juga," ucapnya merendah.
"Kau memang terlalu rendah diri, Sapta. Aku hanya
membantu, sedangkan hasilnya semua tergantung padamu. Kau rajin dan sungguh-sungguh, sehingga tidak aneh kalau
hampir setingkat Kami yang telah lebih dulu belajar," ujar kakek itu sambil
tersenyum. Ucapan Pengemis Tongkat Merah membuat
Sapta termenung. Ingatannya terlempar ke masa
sepuluh tahun silam.
Waktu itu ia, ayah dan ibunya pergi berburu ke
sebuah hutan. Karena ayah Sapta adalah seorang
kepala desa, tidak aneh jika dalam perburuan itu, mereka dikawal beberapa anak
buah ayahnya. Tapi sesungguhnya di dalam hutan, terjadilah
hal yang tidak disangka-sangka. Toga yang bertindak sebagai kepala pengawal,
tiba-tiba melompat turun dari kudanya.
"Ha ha ha....! Sekarang adalah akhir dari
kejayaanmu, Ki Panjar!" ucap laki-laki bertubuh tinggi kekar, berkulit hitam,
dan berkumis melintang itu.
Suaranya begitu keras dan kasar. Ketika dijentikkan jarinya, seketika para
pengawal yang berjumlah
delapan orang itu bergerak mengurung Ki Panjar,
istrinya dan Sapta, yang waktu itu baru berusia sebelas tahun.
Wajah Ki Panjar dan istrinya langsung berubah.
Mereka menyadari adanya ancaman dari ucapan Toga.
"Apa maksudmu, Toga?" tanya Ki Panjar. Suaranya terdengar tenang.
"Maksudku sudah
jelas, Panjar! Kau dan
keluargamu ini, akan kukirim ke neraka. Sementara aku akan menggantikan
kedudukanmu menjadi kepala desa! Ha ha ha...!"
Wajah Nyi Panjar semakin bertambah pucat.
Sebaliknya Ki Panjar tetap tenang-tenang saja.
"Apa yang kau andalkan, Toga" Apakah hanya
keroco-keroco tak berguna ini"!" tanya Ki Panjar sambil mengedarkan pandangan
matanya ke sekeliling. Tawa Toga berhenti. Sepasang alis matanya berkerut. Sikap
tenang Ki Panjar membuat si kumis melintang ini
merasa curiga. Apalagi kata-kata kepala desa itu, yang mengatakan
bahwa delapan orang pengawal itu
hanyalah keroco-keroco tak berguna.
Toga memang tahu kalau Ki Panjar memiliki
kepandaian. Tapi apakah kepandaian yang dimilikinya cukup tinggi" Paling-paling
kepandaiannya hanya
dapat menghadapi empat orang pengawal itu!
"Kau terkejut, Toga" Aku pun tahu kalau kau secara sembunyi-sembunyi sering
mengintai latihanku.
Untunglah aku mencurigai kelakuanmu itu. Maka di depanmu aku melatih ilmu-ilmu
tingkat rendahan saja.
Sementara ilmu-ilmu lain kulatih saat kau lengah."
Wajah Toga berubah. Benarkah semua yang
dikatakan kepala desa ini" Atau hanya bualan belaka"
Selagi dia berpikir, tubuh
Ki Panjar berkelebat.
Gerakannya cukup gesit, jauh di luar dugaan Toga.
Dalam sekejap saja, tubuh Ki Panjar, Nyi
Panjar, dan Sapta telah lenyap dari punggung kuda.
Segera Toga mengalihkan perhatiannya ke arah Ki
Panjar tadi melesat.
Ternyata Ki Panjar tidak pergi jauh-jauh.
Sekitar tiga tombak dari situ, tampak kepala desa itu berdiri tegak membelakangi
anak dan istrinya. Di tangannya tergenggam sebuah keris berkeluk tujuh.
"Seraaang...!" teriak Toga keras.
Belum juga gema suaranya habis, tubuhnya
sudah melesat menerjang Ki Panjar. Golok di tangannya yang sudah terhunus, cepat ditusukkan ke perut laki-laki yang
sebenarnya adalah atasannya.
Ki Panjar tetap bersikap tenang. Keris di
tangannya digerakkan cepat.
Trak! "Akh...!"
Toga menjerit kesakitan. Ternyata bahu kirinya
sobek terserempet keris. Sungguh si kumis melintang ini tidak habis pikir.
Padahal, jelas teriihat kalau kepala desa itu menangkis serangan goloknya. Tapi
mengapa begitu mengenai goloknya, keris itu melesat ke arah leher" Untung dia
cepat mengelak. Terlambat sedikit saja, mautlah baginya.
Toga sama sekali tidak tahu kalau itu adalah
keistimewaan ilmu keris Ki Panjar. Begitu menangkis, keris di tangan kepala desa
ini dapat terus melesat.
Laksana bola, keris itu membal, begitu membentur golok. Hanya saja 'membalnya'
keris itu diatur Ki Panjar.
"Kaget, Toga"!" tanya Ki Panjar. Senyum mengejek tersungging di bibirnya.
"Sekarang terimalah kematianmu!"
Untung saja sebelum Ki Panjar mengirimkan se-
rangan susulan, pengawal yang berjumlah delapan
orang, cepat-cepat mengirimkan serangan. Mau tidak mau kepala desa itu
memusatkan perhatiannya ke
arah mereka. Ternyata ucapan yang keluar dari mulut Ki
Panjar, bukanlah sekadar omong kosong. Delapan
orang bekas pengawalnya memang sama sekali tidak berarti menghadapinya. Dengan
ilmu meringankan
tubuh yang berada jauh di atas para pengeroyoknya, mudah
saja baginya untuk mengelakkan
setiap serangan. Sebaliknya setiap kali tangannya bergerak, pasti ada sosok tubuh yang rubuh
tanpa nyawa. Jerit
lengking kematian terdengar saling susul. Dalam
sekejap mata saja, sudah tiga orang pengawal yang tewas.
Sementara Toga yang telah selesai menotok
jalan darah di sekitar luka agar darah berhenti
mengalir, menjadi geram melihat kematian tiga orang anak buahnya. Kembali si
kumis melintang menerjang.
Golok di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran.
Kini gerakan Ki Panjar mulai agak tertahan.
Kepandaian yang dimiliki kepala pengawalnya tidak bisa dibandingkan dengan
delapan orang pengawal itu.
Kalau tadi Toga terluka, ini karena belum mengetahui keistimewaan permainan
keris lawan. Setelah tahu, Toga bersikap hati-hati. Akibatnya beberapa saat
lamanya, pertarungan
itu berlangsung seru dan
seimbbang. Tapi lewat dua puluh jurus, tampaklah keunggulan Ki Panjar. Pelahan namun pasti, kepala desa ini mulai berada di atas
angin. Keris di tangannya kembali mengambil korban. Satu demi satu para
pengawal berguguran.
Melihat hal ini, Toga menjadi gelisah. Sudah
dapat dipastikan kalau usahanya akan gagal. Ia
bersama sisa tiga orang anak buahnya semakin
terdesak hebat "Ha ha ha...!"
Tiba-tiba saja terdengar tawa bergelak. Belum
lagi suara tawa yang membuat istri dan anak Ki Panjar jatuh terduduk itu lenyap,
sesosok tubuh tegap
berwajah mirip seekor kera telah muncul di tempat itu.
Pertarungan langsung terhenti. Ki Panjar, Toga,
dan para pengawal sama-sama menoleh ke arah asal suara.
"Kakang Gajula...!" teriak Toga. Wajahnya langsung berseri-seri. Bergegas
dihampirinya si wajah kera, yang usianya tak lebih dari empat puluh tahun.
Orang berwajah kera yang bernama Gajula
hanya tertawa saja. "Sungguh memalukan kau, Adi Toga! Menghadapi orang seperti
itu saja sampai
mengandalkan banyak orang!"
Merah wajah si kumis melintang.
"Dia lihai sekali, Kang!" sergah Toga keras.
Gajula mendengus. "Ingin kulihat sampai di
mana kelihaiannya!"
Setelah berkata demikian, dihampirinya Ki
Panjar yang hanya mendengarkan percakapan itu.
Orang yang bernama Gajula itu ternyata adalah kakak kepala pengawal yang bernama
Toga. Gajula menatap Ki Panjar dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Tampak senyum mengejek tersungging di bibirnya.
Melihat hal ini, seketika panas hati Ki Panjar.
Sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, diterjangnya lawan di hadapannya.
Singgg...! Keris di tangan kepala desa itu ditusukkan ke


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah leher Gajula. Cepat bukan main gerakannya. Tapi, masih lebih cepat gerakan
Gajula! Begitu serangan keris
lawan mendekat, dengan sebuah gerakan sederhana, ditarik kepalanya ke belakang. Tepat ketika tangan kanannya menangkap
pergelangan tangan Ki
Panjar yang menggenggam keris, Gajula langsung
membetotnya. Tak pelak lagi, tubuh kepala desa itu tertarik ke depan. Belum lagi Ki Panjar
sempat berbuat sesuaru, kembali tangan Gajula bergerak.
Krak! "Akh...!"
Terdengar suara berderak keras ketika tangan
itu menghantam telak dan keras bahu Ki Panjar.
Kepala desa itu langsung mengeluh tertahan, karena tulang bahunya remuk
seketika. Rasa sakit yang amat sangat mendera tubuhnya.
"Ha ha ha...!"
Kembali terdengar tawa Gajula yang bergelak
"Hanya sampai di sini sajakah orang yang kau bilang lihai itu, Toga"! Atau, kau
sendiri yang kurang becus!"
Nih! Kuberikan padamu...!"
Setelah berkata demikian, Gajula melemparkan
tubuh Ki Panjar yang sudah setengah sadar pada Toga.
Si kumis melintang tertawa terkekeh. Tangannya bergerak cepat
Blesss...!"
"Aaakh...!"
Ki Panjar memekik tertahan ketika golok Toga
menghunjam perutnya hingga tembus ke punggung!
Dan begitu si kumis melintang ini mencabut kembali goloknya, darah langsung
muncrat keluar. Beberapa saat lamanya kepala desa itu ambruk, lalu menggelepar-
gelepar di tanah. Dan kini diam tidak bergerak lagi.
"Kakang...!" terdengar jerit penuh kepiluan memecah
tawa kemenangan Gajula. Seiring terdengarnya jeritan tadi, seorang wanita setengah baya berlari mendekati tubuh
Ki Panjar. Wanita itu adalah istri kepala desa yang kini membujur kaku.
Sementara Sapta hanya memandang mayat
ayahnya dengan mata merembang berkaca-kaca. Bibirnya terlihat menggigil gemetar, tapi tidak sedikit pun terdengar isak dari
mulutnya. Nyi Panjar terus menghambur. Tapi sebelum
kaki perempuan setengah tua mencapai tubuh suaminya, tangan Toga bergerak.
Singgg...! Cappp...! "Akh...!"
Nyi Panjar memekik tertahan. Ternyata golok
yang dilempar kepala pengawal itu menghunjam tubuh wanita itu hingga tembus ke
punggung! Tanpa ampun lagi Nyi Panjar ambruk ke tanah. pan saat itu pula, nya-
wanya telah melayang meninggalkan raganya.
"Ibu...!"
Kali ini Sapta tidak bisa lagi menahan perasaannya. Anak yang baru berusia sebelas tahun ini menjerit keras, sambil
berlari menubruk ibunya.
"Anak ini akan menjadi bibit penyakit di
kemudian hari!" desis Gajula. Seketika didorongkan kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt...! Angin keras berhembus keluar dari kedua
telapak tangan laki-laki berwajah kera itu. Angin itu mehincur deras ke arah
Sapta, yang tengah beriari menghampiri tubuh ibunya yang tergeletak di tanah.
Tapi sebelum angin pukulan Gajula itu mengenai Sapta, sesosok bayangan telah lebih dulu berkelebat menyambar bocah
kecil itu. Brakkk...! Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa
tumbang seketika, terkena angin pukulan yang salah sasaran itu.
"Keparat...!"
Gajula berteriak memaki. Digenjotkan kakinya mengejar ke arah berkelebatnya sosok bayangan itu. Tapi,
sosok bayangan itu telah lebih dulu lenyap, ditelan kerimbunan semak-semak dan
pepohonan. Sosok bayangan yang ternyata berjuluk Pengemis Tongkat Merah ini, membawa Sapta ke
tempat tinggalnya di Lereng Gunung Jarak. Di situ kakek kurus kering ini
memilikt sebuah perguruan, yang diberi nama Perguruan Tongkat Merah.
Sejak saat itu, Sapta menjadi muridnya. Apalagi
setelah terbukti kalau pemuda ini memiliki bakat yang baik untuk mempelajari
ilmu silat. *** "Apa yang kau pikirkan, Sapta?" tanya Pengemis Tongkat
Merah memenggal lamunan pemuda berhidung melengkung itu.
"Ah...!" Sapta berdesah kaget "Tidak, Guru.
Tidak ada yang kupikirkan."
Pengemis Tongkat Merah tersenyum maklum.
"Kau jangan berdusta, Sapta. Berkali-kali kupanggil, kau tidak menyahut. Aku
yakin, ada sesuatu yang tengah kau pikirkan."
Sapta tertunduk diam.
"Kau tengah memikirkan peristiwa sepuluh
tahun yang lalu, bukan?" duga kakek itu.
Beberapa saat lamanya pemuda berhidung me-
lengkung itu hanya terdiam. Pengemis Tongkat Merah dengan sabar menunggu. Dan
memang, penantian kakek ini tidak sia-sia. Pelahan namun pasti kepala muridnya
terangguk pelan.
"Sudah kuduga...," ucap kakek berpakaian rompi tambalan itu. "Memang sudah
saatnya kau mengamalkan ilmu yang telah kau pelajari, untuk
orang yang membutuhkan. Aku tidak akan menghalangi jika kau ingin membalas dendam atas
kematian orang tuamu, Sapta. Hanya satu pesanku.
Jangan gunakan ilmu yang kuwariskan ini untuk
kejahatan. Sumbangkan ilmu itu untuk membela
kebenaran dan keadilan semampumu!"
"Akan kuperhatikan semua nasihat Guru...."
Pengemis Tongkat Merah mengangguk-anggukkan
kepalanya, dan tampak gembira.
"Kapan kau akan berangkat?" tanya kakek itu.
"Besok, Guru!"
Kakek kurus kering ini terdiam sejenak. "Kau setuju, kalau Kami ikut turun
gunung bersamamu?"
Sapta menundukkan kepalanya. Dengan ekor
mata, diliriknya gadis cantik berpakaian jingga yang berdiri di samping gurunya.
Selama ini Kami-lah yang selalu menemani
berlatih. Bahkan kepandaian gadis itu masih berada di atas kepandaiannya. Karena
di samping Kami memiliki bakat yang hebat, gadis itu telah dididik lebih dulu
oleh Pengemis Tongkat Merah.
"Bagaimana, Sapta?" desak kakek itu ketika melihat pemuda berhidung melengkung
itu diam saja. "Terserah pada Kami, Guru," sahut Sapta mengelak.
"Jawablah sebagaimana seharusnya seorang
laki-laki menjawab, Sapta!" tegur kakek pengemis itu.
Tajam nada suaranya.
"Kalau aku, setuju saja, Guru. Bahkan merasa senang sekali, bila Dik Kami
bersedia ikut!" tegas pemuda itu. Ekor matanya melirik wajah gadis di
sebelah gurunya. Dilihatnya wajah gadis itu berseri-seri. Kami memang gadis
pendiam. Dan secara diam-diam pula Sapta mencintai putri angkat gurunya ini.
"Ha ha ha...! Itu baru jawaban seorang laki-laki, Sapta! Baik, besok kalian
berangkat!"
Keesokan harinya, tampak dua sosok tubuh
bergerak menuruni Lereng Bukit Jarak. Mereka adalah Kami dan Sapta. Berkat ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki, tidak sulit bagi keduanya untuk menurum lereng
gunung itu. 2 Brakkk...! Pintu sebuah rumah kecil yang berdinding bilik,
hancur berantakan ketika sebuah kaki kokoh menghantamnya. Diiringi suara hiruk pikuk, kepingan-kepingan pintu itu jatuh
berderai di tantai. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun,
yang tengah terbaring di dipan bambu langsung terlonjak.
Wajahnya kian memucat ketika melihat dua sosok
tubuh yang amat dikenalnya berdiri di ambang pintu.
Belum juga rasa kagetnya hilang, sosok tubuh
tinggi besar dan berkepala botak yang tadi menendang pintu, berjalan masuk ke
dalam. Langkahnya sengaja dibuat lebar-lebar, menampilkan kepongahannya.
"Tua bangka tidak tahu diuntung!" geram si kepala botak sambil melayangkan
kakinya kembali menendang.
Krak! Brakkk...! "Aaakh...!"
Si kakek memekik kesakitan. Kaki salah satu
dipan bambu itu langsung patah terkena tendangan.
Seketika itu juga, dipan bambu itu pun rubuh bersama kakek itu.
Si kepala botak membungkukkan badan. Dan di
saat tegak kembali, tangannya telah mencengkeram leher baju kakek itu dan
mengangkatnya ke atas.
"Hekh...!"
Si kakek mengeluh tertahan, dan jalan napasnya terasa sesak. Karena tubuh si kakek jauh lebih kecil daripada tubuh si
kepala botak, maka tubuhnya jadi seperti menggantung.
"Ampun.... Maafkan aku, Den Sagar. Aku tidak bisa bekerja.... Aku sedang
sakit..., a mpunkan aku...,"
ucap kakek itu tersendat-sendat.
"Hugh...!"
Ucapan si kakek terhenti ketika lutut si kepala
botak yang bernama Sagar menyodok perutnya. Wajah kakek itu seketika memerah,
dan kedua bola matanya membeliak lebar. Sodokan pada perutnya membuat
napasnya sesak seketika.
"Enak saja kau bicara! Ingat, Ki Marta! Kau sudah terima upahnya! Mau sakit,
kek.... Mau mati, kek.... aku tidak peduli! Yang penting, kau harus bekerja
seperti biasanya! Mengerti"!"
Ki Marta menelan ludah, lalu menganggukkan
kepala berulang-ulang.
"Bagus!"
Setelah berkata demikian, tubuh kakek itu
diturunkan. Tapi kerena keadaan kakek itu yang
memang sedang sakit, apalagi baru saja mendapat
sodokan lutut yang amat keras, begitu diturunkan Ki Marta langsung sempoyongan
dan jatuh berdebuk di lantai.
Melihat hal itu, Sagar menggeram.
"Bangun, Ki Marta! Cepat...! Kita pergi sekarang, sebelum kesabaranku hilang...!" ancam Sagar tak sabar.
Tubuh Ki Marta menggigil. Kedua tangannya
bergetar keras, ketika mencoba bertumpu pada kedua tangannya untuk bangkit. Tapi
betapapun berusaha, kondisinya yang tidak memungkinkan menggagalkan
usahanya. Melihat hal ini Sagar menjadi tidak sabar.
Untuk yang kesekian kalinya, kakinya

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali bergerak Buk! Dengan telak tendangan Sagar menghantam
perut Ki Marta. Untung saja si kepala botak ini tidak mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya. Kalau tidak, tentu kakek yang sial itu tewas! Tapi meskipun
demikian, tak urung tubuh Ki Marta terlempar dan terguling-guling.
"Rupanya kau memang sudah bosan hidup, tua
bangka! Dasar tidak tahu diuntung! Tapi jangan harap akan mati dengan enak! Kau
akan kusiksa dulu sebelum kubunuh!"
Setelah berkata demikian, Sagar bergerak menyusul tubuh kakek itu.
"Hup...!"
Dengan kaki, dicungkilnya tubuh terkapar yang
berusaha bangkit. Tubuh tua itu melayang ke atas. Di saat itu, sapuan
kaki laki-laki berkepala botak
menyambutnya. Buk...! Kini pinggul Ki Ma rta yang mendapat giliran.
Cukup keras, sehingga membuat tubuh yang sedang
berada di udara itu meluruk ke luar.
Brukkk...! Tubuh kakek itu jatuh deras mencium tanah.
Keras bukan main. Tapi Ki Marta rupanya termasuk orang yang keras hati. Buktinya
ia kembali berusaha bangkit. Darah segar menetes keluar dari sela-sela bibirnya
ketika dirinya memaksakan untuk bangkit.
"Hekh...!"
Ki Marta memekik tersendat. Dirasakan adanya
sebuah kaki yang menekan punggungnya. Dengan
susah payah laki-laki tua itu menolehkan kepalanya untuk mengetahui siapa
pemilik kaki itu.
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa tergelak dari mulut orang yang
menjejak punggung Ki Marta ketika wajahnya bertatapan dengan wajah tua renta itu. Seraut wajah kasar, bertotol-totol hitam.
Gurat, namanya.
"Uhk... uh...."
Suara napas Ki Marta tersendat-sendat ketika
kaki itu kian keras menekan.
"Ha ha ha...!" Sagar juga tertawa terbahak-bahak. "Rupanya kau pun tidak ingin
ketinggalan, Adi Gurat!"
"Begitulah, Kang Sagar!" jawab si wajah totol-totol
hitam yang bernama Gurat seraya kian menambahkan tenaga pada kakinya. Karuan saja hal ini membuat napas Ki Marta kian
tersendat-sendat Tuk!
"Akh...!"
Tiba-tiba Gurat memekik. Ternyata sebuah
kerikil kecil sebesar kuku jari tangan, telah menghantam tulang kering kakinya yang tengah
menekan punggung Ki Marta. Keras bukan main,
sehingga membuatnya terlonjak keras dan melepaskan tekanannya.
Laki-laki berwajah kasar itu kontan meloncat-
loncat dengan satu kaki. Kedua tangannya memegangi kaki yang terkena sambitan
kerikil itu. Sakit sekali rasanya.
"Keparat!" Sagar yang juga melihat sambaran batu
kerikil itu berteriak memaki. Diarahkan pandangannya ke tempat batu kerikil itu berasal.
Pandangannya langsung tertumbuk pada seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, yang berdiri dalam jarak sekitar
tiga tombak darinya. Yang aneh pada diri pemuda itu adalah rambutnya yang
meriap dan berwarna putih keperakan.
"Siapa kau"! Mengapa mencampuri urusan
kami"!" bentak Sagar penuh ancaman.
"Aku tidak berniat mencampuri urusan kalian, tapi hanya menentang kesewenang-
wenangan yang terjadi di depan mataku!" jawab pemuda itu.
"Hm..., rupanya kau seorang pendekar"!" tanya si kepala botak itu. Nada suaranya
penuh ejekan. Ia memang tidak tahu berhadapan dengan siapa.
Merah wajah pemuda yang ternyata Arya Buana
atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak itu.
"Sebutan itu terlalu tinggi, Kisanak."
"Pergilah kau cepat, Anak Muda! Aku kasihan padamu! Sudah terlalu banyak
pahlawan kesiangan
yang membuang nyawa percuma di sini! Apakah kau
ingin menambah jumlah mereka dengan membela ka-
kek pemalas ini"!"
"Apa boleh buat!?" ujar Arya sambil mengangkat bahu. "Aku tidak bisa tinggal dia
m melihat kekejaman berlangsung di depan mataku!"
Baru saja Arya menyelesaikan
ucapannya, Gurat yang kini ka kinya telah
sembuh seperti sediakala, telah menerjangnya dengan pukulan keras dan bertubi-tubi.
Sekali lihat saja Dewa Arak telah mengetahui
kalau kepandaian yang dimiliki laki-laki berwajah totol-totol hitam ini masih
amat rendah. Buk! Buk! Buk...!
Berkali-kali pukulan itu mendarat telak di
sekujur tubuh Dewa Arak yang berdiri diam tidak
mengelak. Dibiarkan saja pukulan Gurat menghujani tubuhnya. Dengan tenaga dalam
amat kuat dan disalurkan ke bagian tubuh yang dijadikan sasaran pukulan, semua pukulan Gurat
tidak berarti apa-apa bagi Arya.
"Ah...!"
Gurat memekik kaget. Kedua tangannya terasa
bukan tengah memukuli tubuh manusia, melainkan
gumpalan baja yang keras bukan main. Bahkan kini kedua kepalan tangannya menjadi
bengkak-bengkak!
Melihat kekejaman Gurat yang menyiksa orang
tua tidak berdaya, membuat Dewa Arak bermaksud
memberi pelajaran cukup keras padanya. Setelah
membiarkan lawan puas memukuli, tangan Arya ber-
gerak cepat. "Hugh...!"
Gurat memekik tertahan ketika pukulan Dewa
Arak telak menghantam perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk, dan perutnya
terasa mulas. Untung saja Dewa Arak hanya mengerahkan
sebagian kecil tenaga dalamnya. Kalau saja dikerahkan seluruhnya, tentu laki-
laki berwajah totol-totol hitam itu tewas dengan dada remuk!
Dan kini Dewa Arak tidak berhenti sampai di
situ saja. Tangannya cepat kembali bergerak, menampar. Plak...! Telak sekali tamparan itu mendarat di pipi.
Seketika itu juga tubuh Gurat melintir, kemudian jatuh berdebuk di tanah. Rasa
pusing yang amat sangat
menyergap kepala laki-laki itu. Beberapa saat lamanya dia terduduk diam, tidak
ma mpu bangkit kembali.
Sagar terperanjat sekali melihat kejadian yang
tidak disangka-sangka itu. Dia tahu betul kalau tingkat kepandaian Gurat, hanya
sedikit di bawahnya. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat
kawannya begitu mudah dirubuhkan.
Sebaliknya Gurat merasa penasaran bukan
main. Dia tidak bisa menerima kekalahan yang begitu mudah,
oleh seorang pemuda berambut putih keperakan di hadapannya. Itulah sebabnya dia menggeleng-geleng untuk mengusir rasa pening yang menggayuti kepalanya.
Setelah dirasakan peningnya lenyap, segera
laki-laki berwajah totol-totol hitam ini bangkit berdiri.
Dan.... Srat...! Gurat menghunus senjatanya, sebuah golok
panjang yang matanya bergerigi mirip gergaji. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras, dibabatkan goloknya ke arah leher Dewa Arak.
Sementara, Dewa Arak hanya mengerutkan
keningnya melihat sikap keras kepala Gurat. Perasaan tidak senangnya semakin
bertambah. Kelihatannya si wajah totol-totol hitam ini benar-benar tidak peduli
kalau dia telah bersikap lunak. Maka Arya memutuskan untuk memberi pelajaran yang lebih
keras lagi. Dewa Arak benar-benar membiarkan saja babatan golok itu. Dan ketika serangan itu dekat, tangan kirinya bergerak ke
arah sambaran golok itu.
Tap...! Gurat terperanjat melihat goloknya tahu-tahu
telah terjepit dua buah jari tangan kiri Dewa Arak.
Segera dikerahkan tenaga dalamnya untuk menarik
goloknya, sekaligus hendak membabat putus jari-jari lawan.
Tapi walaupun si wajah totol-totol hitam ini me-
ngerahkan seluruh tenaga yang dimiliki, tetap saja golok itu sama sekali tidak
bergeming dari jepitan jari Dewa Arak.
Tiba-tiba tanpa diduga-duga, Dewa Arak menggerakkan jari-jarinya. Terdengar suara berdetak nyaring, ketika golok
bermata gergaji itu patah dua.
Dan tiba-tiba saja tubuh Gurat terjengkang, akibat tarikan goloknya.
Brukkk...! Tak pelak lagi, tubuh laki-laki kasar itu terjatuh di tanah cukup keras.
Terbukti begitu bangkit kembali, ia meringis-ringis. Dipegangi pinggulnya yang
tadi menghantam tanah.
"Keparat...!"
Gurat berteriak memaki. Ditolehkan kepalanya ke arah Sagar yang masih berdiri terkesima. Kejadian demi
kejadian yang disaksikan membuat laki-laki berkepala gundul itu terkesima.
"Apa yang kau tunggu, Kakang Sagar! Ayo
bantu aku menghajar orang sok ini!"
Teriakan Gurat menyadarkan Sagar dari terkesimanya. Segera dicabut trisulanya yang sejak tadi ditancapkan di tanah.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Senjata pendek bermata tiga itu diputar-
diputar. Angin menderu keras begitu senjata andalan itu digerakkannya.
"Hiyaaa...!"
Sagar berteriak keras sambil menusukkan
trisula itu ke dada Dewa Arak. Berbarengan dengan itu, serangan golok bermata
gergaji milik Gurat yang kini telah tinggal setengah, juga menyambar tiba.
Dan kini, kesabaran Dewa Arak pupus! Kedua
orang lawannya ini benar-benar tidak tahu diri,
sehingga harus diberikan pelajaran yang lebih keras agar kapok. Tapi tentu saja,
menghadapi lawan yang memiliki kepandaian seperti Gurat dan Sagar, Dewa Arak
tidak mengeluarkan ilmu andalan. Dia hanya
mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Kedua
tangannya bergerak
cepat, mencari sasaran.
Tap...! Tap...!
Tanpa mengalami kesulitan sedikit pun, kedua


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata itu telah berhasil ditangkap Dewa Arak. Belum lagi kedua orang lawannya
itu berbuat sesuatu, Arya segera menggerakkan tangannya.
Buk...! Tuk...!
"Uhk...!"
"Hugh...!"
Sagar dan Gurat mengeluh tertahan ketika
gagang senjata masing-masing begitu keras menghantam dada mereka sendiri. Arya memang
menyodokkan senjata-senjata yang ditangkap ke arah perut lawan.
Beberapa saat lamanya kedua orang laki-laki itu
terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya. Cairan
merah kental nampak di sudut bibir mereka. Sodokan itu keras bukan main! Memang
kali ini Dewa Arak sedikit menambah tenaganya dalam serangan itu.
Kini, Sagar dan Gurat ba ru menyadari kalau
pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali bukan tandingan mereka. Apalagi
ketika melihat lawan yang menggerakkan sedikit jari-jarinya, telah membuat
senjata mereka patah-patah. Seolah-olah yang dipatahkan pemuda itu hanya sebatang lidi saja! Jadi, meneruskan pertarungan
sama saja mencari mati.
Maka, Sagar dan Gurat tidak mau bertindak
bodoh! Apalagi ketika melihat lawan tidak melanjutkan serangannya, dan hanya
berdiri menanti. Jelas kalau pemuda itu memang tidak berniat mencari-cari
urusan. Dan tanpa malu-malu lagi, dengan langkah kaki
tertarih-tatih mereka meninggalkan tempat itu. Namun demikian tetap saja ada
perasaan cemas kalau-kalau pemuda sakti itu tidak membiarkan mereka pergi.
Legalah hari Sagar dan Gurat ketika melihat
Dewa Arak sama sekali tidak menahan kepergian
mereka. Sebaliknya pemuda itu malah menghampiri
tubuh Ki Marta yang tergolek di tanah dengan napas satu-satu.
Sekali lihat saja Dewa Arak tahu kalau nyawa
kakek ini tidak mungkin diselamatkan lagi. Luka-luka akibat siksaan tadi terlalu
parah. Apalagi itu terjadi sewaktu ia sedang sakit cukup parah.
"Terima.,., kasih atas..., pertolonganmu, Anak Muda. Hhh...," ucap kakek itu
terengah-engah. "Tapi..., kusarankan kau..., cepatlahhh pergi... dari si...
nii..." "Sudahlah, Kek. Kakek tidak boleh banyak
bicara. Kakek harus beristirahat. Luka-luka Kakek sangat parah," Dewa Arak yang
merasa tidak tega, berusaha mencegah.
Ki Marta menggelengkan kepalanya. Terpaksa
Dewa Arak menempelkan kedua tapak tangannya ke
punggung kakek itu, agar kondisinya jadi lebih baik.
Cukup lama juga Arya menyalurkan hawa
murni ke tubuh kakek itu. Setelah dirasakan cukup, baru dilepaskan tangannya.
"Katakanlah, Kek. Apa yang hendak Kakek sam-aikan padaku?" pinta Dewa Arak
terburu-buru. Pemuda berbaju ungu ini tidak ingin kakek itu mati sebelum
apa yang hendak diutarakannya tersampaikan. Ki Marta tersenyum. Dirasakan keadaannya
sudah lebih baik sekarang.
"Pesanku hanya singkat, Anak Muda. Pergilah cepat dari sini!"
"Mengapa, Kek?"
"Desa ini penuh orang jahat! Kepala desa yang sekarang juga bekas penjahat. Dulu
sewaktu yang menjadi Kepala Desa Gebang ini Ki Panjar, desa ini aman tenteram. Tapi sejak
Toga yang menjadi kepala desa, keadaan berubah banyak! Dengan kekerasan,
diambilnya semua yang jadi milik kami. Sawah, ladang, ternak, bahkan
anak gadis dan istri-istri kami.
Penduduk desa hanya menjadi orang upahan. Bekerja di ladang dan di sawah dengan
upah yang mencekik leher. Setiap hari kami harus bekerja. Kalau sawah kebetulan
tidak panen, maka kami diperintahkan
bekerja di ladang, atau beternak. Sakit tidak bisa menjadi halangan. Pokoknya
harus bekerja! Tadi
kebetulan aku terserang sakit, dan kedua orang itu datang dan memaksaku harus
bekerja. Dan seterusnya seperti yang kau lihat sendiri, Anak Muda."
Kepala Dewa Arak terangguk-angguk. "Siapa
Toga itu, Kek?"
"Kepala keamanan desa ini, Anak Muda," jelas Ki Marta.
"Lalu, kepala desa yang dulu ke mana, Kek?" tanya Arya tidak mengerti
"Ki Panjar, maksudmu ?"
"Ya."
Kakek itu menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Beliau telah tewas."
"Tewas"!" Arya Buana mengerutkan keningnya.
"Mengapa?"
Ki Marta mengangguk. "Menurut cerita Toga, sewaktu
mereka sedang berburu, segerombolan perampok menyerang. Tentu saja Toga dan para
pengawal yang lain tidak tinggal diam. Tapi karena jumlah perampok yang terlalu
banyak, mereka jadi tidak bisa melindungi Ki Panjar dan anak istrinya.
Setelah melalui sebuah pertarungan sengit, akhirnya mereka berhasil mengusir
gerombolan perampok itu.
Tapi, Ki Panjar dan istrinya tewas. Sementara anaknya dibawa kawanan perampok
itu." Dewa Arak mengerutkan keningnya.
"Apakah para penduduk desa percaya?"
"Mulanya percaya. Maka kami percayakan
kedudukan kepala desa kepadanya. Karena memang
menurut kami, dialah yang paling pantas menjabat kedudukan itu. Tapi siapa
sangka kalau jadi begini akibat-nya. Belakangan
kami semua jadi curiga,
jangan-jangan tewasnya Ki Panjar pun sudah direncanakan."
Dewa Arak tercenung diam.
"Yang lebih gila lagi, Toga membangun rumah-rumah judi dan pelacuran di desa
ini. Akibatnya sudah jelas. Banyak orang yang berdatangan ke desa ini.
Sebagian besar adalah orang yang terbiasa bertindak kasar. Maka tak heran jika
sering terjadi bentrokan di antara mereka. Desa ini sudah tak ubahnya neraka!
Uhk... uhk...!"
Tiba-tiba saja Ki Marta terbatuk-batuk.
Beberapa titik cairan merah kental memercik keluar dari mulutnya. Melihat hal
ini, Dewa Arak sadar kalau waktu kematian untuk kakek itu sudah hampir tiba.
Dan tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Dugaannya memang tidak meleset. Beberapa
saat setelati terbatuk-batuk untuk yang kesekian kalinya, tubuh Ki Marta
terkulai lemas. Kakek ini pun pergi untuk selama-lamanya.
*** Arya termenung memandangi gundukan tanah
merah yang terpampang di hadapannya. Di situlah
mayat Ki Marta dikuburkan. Beberapa saat lamanya kepalanya tertunduk.
"Maafkan aku, Ki," bisik Dewa Arak pelahan.
"Aku tidak dapat melaksanakan pesanmu untuk pergi dari sini. Tidak bisa
kutinggalkan desa ini begitu saja.
Aku akan berusaha menumpas kejahatan yang berse-
mayam di sini, apa pun akibatnya."
Setelah berkata demikian, Dewa Arak melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu Pikirannya bekerja keras. Memang sejak pertama kali memasuki pintu gerbang desa,
sudah timbul rasa
curiga di hatinya.
Desa yang kini diketahui bernama Desa Gebang
ini, berbeda dengan desa-desa yang biasa disinggahinya. Desa ini terlalu banyak dimasuki orang luar. Dan jika ditilik
dari gelagatnya, mereka adalah orang-orang yang terbiasa bertindak kasar. Kini
kecurigaannya ternyata beralasan.
Oleh karena itu, Dewa Arak memutuskan untuk
tinggal di desa ini beberapa waktu lamanya. Barangkali saja tenaganya bisa
diperlukan di sini.
3 Brakkk...! Sebuah meja bundar besar dari batu marmer,
kontan retak ketika tangan seorang lelaki tinggi besar berkumis melintang,
menghantamnya. "Bodoh! Dungu kalian...!" teriaknya keras.
Sepasang matanya menatap penuh kemarahan pada
dua sosok tubuh yang terduduk dengan kepala
tunduk. "Sagar! Gurat! Ceritakan sejelas-jelasnya semua yang terjadi! Memalukan! Kalian
pulang seperti seekor anjing dipukul ekornya!"
Dua sosok tubuh
yang tengah mendapat pelampiasan kemarahan itu ternyata Sagar dan Gurat.
Dan kini mereka baru berani mengangkat kepalanya.
Kemudian dengan jelas, Sagar menceritakan kejadian yang menimpa mereka.
"Seorang pemuda" Kira-kira berapa usianya?"
tanya si kumis melintang yang ternyata Toga. Suaranya terdengar mulai melunak.
Terbayang kembali di
benaknya, seorang anak berusia sekitar sebelas tahun yang lolos dari tangan
mautnya beberapa tahun yang lalu. Bukan tidak mungkin kalau pemuda yang
mengalahkan Gurat adalah anak itu, anak Ki Panjar.
Gurat mengerutkan alisnya. Sejenak ia mengingat-ingat "Sekitar..., dua puluh tahun, Tuan."
Toga menolehkan kepalanya ke belakang, menatap sosok tubuh tegap berwajah mirip kera, yang tengah duduk di sebuah
kursi. Keningnya berkernyit.
"Apakah bukan anak Ki Panjar, Kang Gajula?"
tanya Toga mengemukakan dugaan yang sejak tadi
berkecamuk di benaknya. Agak heran juga hatinya
melihat sikap kakaknya kali ini.
Laki-laki yang wajahnya mirip kera itu membalas tatapan Toga. Beberapa saat lamanya
sepasang matanya terpaku pada wajah si kumis
melintang itu, lalu pelahan kepalanya menggeleng.
"Aku yakin bukan...," sahut Gajula dengan suara mengambang.
"Lalu siapa?" tanya Toga putus asa.
"Lebih jelasnya akan kita ketahui nanti. Tapi ciri-ciri
pemuda yang dikemukakan Sagar, mengingatkan aku pada seorang tokoh muda yang
namanya belum lama ini menggemparkan
dunia persilatan."
Toga mengerutkan alisnya. "Siapa yang kau
maksud, Kang?"
Gajula sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan itu, tapi sebaliknya malah
dialihkan pandangannya pada Sagar.
"Ada satu ciri yang mungkin
belum kau ceritakan, Sagar," tegas laki-laki berwajah kera itu.
Sagar mengerutkan alisnya, mencoba mengingat-ingat. Tapi sampai lelah mengingat, tetap saja tidak menemukan lagi
ciri yang lainnya.
"Bagaimana dengan kau, Gurat?" tanya Gajula pada si wajah totol-totol hitam.


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi setelah sekian lama menunggu, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.
Gurat berusaha keras mengerahkan segenap ingatannya, tapi akhirnya menggelengkan
kepalanya juga.
"Hhh...!" Gajula menghela napas. "Mungkin aku salah. Tapi coba kalian ingat-
ingat, apakah pemuda itu membawa guci arak"!"
"Guci"!" serentak Sagar dan Gurat berseru kaget. Berbareng keduanya saling
pandang, dan kontan teringat sesuatu. Memang, di punggung pemuda
berambut putih keperakan itu tergantung sebuah guci arak.
"Ya! Guci arak!" tegas Gajula. "Bagaimana" Ada atau tidak?"
Sagar menganggukkan kepalanya.
"Katakan yang jelas! Atau kau ingin menjadi orang bisu selamanya"!" sentak
Gajula. Dingin dan datar suaranya.
Wajah Sagar kontan memucat. Tenggorokannya
terasa kering. Dia tahu betul siapa Gajula itu. Tokoh ini adalah kakak kandung
Toga. Dulu, seperti yang didengar dari cerita Toga, Gajula tidak selihai
sekarang. Tapi, kini tahu-tahu muncul dan memiliki kepandaian luar biasa.
Tapi bukan karena kepandaiannya yang membuat Sagar gentar, melainkan kekejamannya! Si wajah kera ini memiliki sifat
yang luar biasa kejam!
"Benar, Kang," jawab Gurat dengan suara gemetar.
"Betul dugaanku!" teriak Gajula keras.
"Siapa orang itu, Kang?" tanya Toga penasaran.
"Pernah dengar julukan Dewa Arak"!" kata Gajula balik bertanya.
Toga mengerutkan alisnya.
"Sedikit" Gajula menghela napas dalam-dalam.
"Kau ketinggalan berita, Toga. Julukan Dewa Arak terkenal sekali. Banyak tokoh
tangguh yang telah roboh
di tangannya. Aku ragu, apakah
mampu menandinginya."
Dahi Toga mengernyit. Agak heran hatinya meli-
hat sikap Gajula yang tidak seperti biasanya. Sampai di manakah kelihaian tokoh
yang berjuluk Dewa Arak itu"
Batin Toga terus menduga-duga.
"Mengapa belum apa-apa sudah
khawatir, Kang?" tegur Toga dengan nada halus. "Apakah Kakang sudah pernah bertarung
dengannya?"
Gajula menggelengkan kepalanya.
"Melihat dia bertarung?"
Lagi-lagi si wajah kera menggeleng.
"Lalu, mengapa khawatir, Kang" Berita yang
tersebar itu belum tentu benar. Andaikata benar, Dewa Arak mampu mengungguli
Kakang, tapi mustahil akan mampu menghadapi kita berdua. Aku tidak percaya
kalau ilmu yang diberikan gurumu, dan telah kupelajari dengan tekun darimu, dapat dikalahkannya."
Si wajah kera termenung beberapa saat lamanya. Dipikir-pikir ada benarnya juga semua yang dikatakan Toga. Tapi baru
saja Gajula menarik napas lega, seorang anak buah Toga menghambur masuk.
Napasnya tampak terengah-engah.
"Ada orang mengamuk di luar, Tuan," lapor orang itu terputus-putus.
"Keparat!" Toga berteriak memaki. "Kalian tidak mampu meringkusnya"! Apa saja
yang kalian mampu, heh"!"
"Ampun, Tuan. Mereka memiliki kepandaian
tinggi." "Mereka?"
berkerut alis Toga. "Berapa jumlahnya?"
"Dua orang, Tuan."
Belum juga habis ucapan orang itu, tubuh Toga
dan Gajula telah berkelebat lenyap dari situ. Kemarahan yang hebat telah
membakar hari mereka. Belum juga urusan mengenai Dewa Arak selesai, kini muncul
kembali urusan lain.
Sagar dan Gurat saling pandang sebelum
akhirnya melesat ke luar, tak ketinggalan juga orang yang tadi melapor.
Toga dan Gajula berdiri di ambang pintu. Di
depan mereka, di halaman luas yang dikelilingi pagar tembok tinggi, terlihat dua
sosok tubuh yang tengah mengamuk. yang seorang adalah pemuda berusia
sekitar dua puluh satu tahun. Tubuhnya tinggi besar dan
kekar. Wajahnya cukup tampan walaupun hidungnya melengkung. Pemuda ini tak lain adalah Sapta.
Sedangkan yang seorang lag! adalah gadis
berusia sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya kecil
ramping, dan rambutnya digelung ke atas. Wajahnya cantik. Apalagi dengan pakaian
warna jingga yang dikenakannya. Gadis ini adalah Kami, putri angkat Pengemis
Tongkat Merah. Toga dan Gajula memperhatikan dua orang itu
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sementara itu muda-mudi asuhan Pengemis
Tongkat Merah terus
mengamuk dahsyat dengan senjata di tangan masing-masing. Ke mana senjata itu
berkelebat, pastilah di tempat itu ada sesosok tubuh yang rubuh diiringi suara
pekik lengking kesakitan.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian terdengar saling susul
Toga dan Gajula memandang mayat-mayat yang
bergelimpangan di atas tanah dengan sinar mata
kemerahan. Di wajah mereka terpancar kemarahan
yang amat sangat. Dan gigi-gigi mereka pun bergemeletuk menahan geram.
"Keparat!" teriak Toga geram. "Mundur...!"
Belasan sosok tubuh yang sedang mengeroyok
itu pun bergegas mundur. Kedua murid Pengemis
Tongkat Merah itu membiarkan saja. Terlebih Sapta.
Keroco-keroco itu memang bukanlah tujuannya. Toga dan Gajulalah yang dicari-
cari! Sepasang mata pemuda itu berkilat-kilat tajam melihat dua orang musuh
berada di depannya.
"Kau masih ingat padaku, pengkhianat"!"
bentak pemuda tinggi besar dan kekar ini. Jari
telunjuknya menuding ke arah Toga. Keras dan kasar suaranya.
Seketika merah wajah Toga, mendengar pertanyaan yang bemada kasar itu. Apalagi melihat jari yang menuding ke arahnya.
"Untuk apa aku mengingat anjing buduk
sepertimu"!" balas Toga tak kalah kasar.
Sapta menggertakkan giginya. "Aku putra Ki
Panjar yang kalian bunuh secara licik itu, akan
menagih hutang!"
"Ha ha ha...!" Toga tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa perlu
bersusah payah mencari, kau datang sendiri kemari. Sekarang juga akan kutuntaskan pekerjaanku
sepuluh tahun yang
lalu." "Tutup mulutmu, pengkhianat! Sekarang kau
harus membayar hutang nyawa atas kematian ayah
ibu-ku!" Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar
dan kekar ini melompat menerjang. Jari-jari kedua tangannya terbuka dan saling
bersilang menyerang ke arah dada.
Wut...! Angin keras berhembus mengiringi tibanya
serangan itu. Pertanda kalau serangannya ditunjang tenaga dalam tinggi.
Toga hanya mendengus. Kepandaian
yang dimiliki laki-laki itu sekarang tidak bisa disamakan dengan sepuluh tahun yang
lalu. Selama itu Gajula telah membimbingnya. Sehingga kini kepandaian yang
dimilikinya meningkat pesat. Jadi memang, Toga
bukanlah tokoh kosong.
"Haaat...!"
Kepala Desa Gebang ini berteriak keras. Kedua
tangannya dalam posisi jari yang sama digerakkannya.
Prattt..! Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi beradu. Akibatnya tubuh Sapta tergetar hebat,
sementara tubuh Toga terhuyung
dua langkah ke belakang. Sekujur tangannya terasa sakit bukan main.
Wajah Toga langsung berubah. Sungguh tidak
disangka kalau tenaga dalam yang dimiliki putra Ki Panjar ini sedemikian
hebatnya. Padahal selama sepuluh tahun, ia sudah berlatih keras di bawah
bimbingan kakaknya.
Sapta yang memang menyimpan dendam hebat,
tidak membiarkan lawannya menarik napas. Pemuda
itu cepat melompat, dan laksana seekor burung garuda ia menerkam lawannya.
Kepala Desa Gebang ini kaget. Tapi untunglah
kekagetan itu tidak membuatnya gugup. Buru-buru
dilempar tubuhnya ke depan, dan kemudian bergulingan menjauh. Sehingga serangan Sapta mengenai tempat kosong.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki Sapta mendarat di tanah. Secepat kakinya hinggap, secepat itu pula kembali menerjang
Toga. Tapi Toga yang
sekarang sudah mengetahui kelihaian lawannya, tidak berani bertindak gegabah.
Dan kini keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan seru.
Begitu melihat Sapta telah menyerang lawannya, Kami pun tidak tinggal diam. Seketika
diserangnya pula orang berwajah kera yang berada di sebelah si kumis melintang.
Seperti halnya Sapta, Kami juga membuka serangannya dengan serangan kedua
tangannya. Posisi jari-jarinya terbuka dan saling bersilang.
Persis seperti yang dilakukan Toga, Gajula pun
melakukan tindakan serupa untuk menangkis serangan Kami. Prattt...! Tubuh Kami terhuyung dua langkah ke belakang. Sementara Gajula hanya terhuyung satu
langkah ke belakang. Dari hasil benturan kedua
pasang tangan itu dapat diketahui kalau tenaga dalam yang dimiliki Ga jula masih
lebih unggul sedikit.
Gajula sadar kalau wanita di hadapannya
adalah lawan yang tangguh. Maka laki-laki kasar itu tidak mau bersikap sungkan-
sungkan. Begitu tubuh gadis itu terhuyung mundur, segera dia bergerak


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejar. Kedua kakinya melakukan tendangan bertubi-tubi ke depan.
Plak! Plak! Wusss...!
Tendangan pertama yang berupa tendangan
lurus ke depan, disusul tendangan miring ke arah leher dapat ditangkis Kami. Dan
tendangan ketiga, berupa kibasan kaki yang dilakukan sambil membalikkan
tubuh juga bisa dielakkan gadis itu dengan membungkukkan tubuh.
Tak lama kemudian, Kami dan Gajula pun
sudah terlibat dalam suatu pertarungan yang seru.
*** Sementara itu di arena lain, Toga tampak mulai
terdesak ketika melewati dua puluh lima jurus. Memang bila dibanding Sapta, ia
masih kalah segala-galanya. Baik dalam hal tenaga dalam maupun dalam hal ilmu
meringankan tubuh.
Bahkan menjelang jurus ketiga puluh, Toga
hanya mampu bertahan dan mengelak. Dia hanya
sesekali balas menyerang. Itu pun hanya untuk
mengurangi desakan yang menderu-deru dari pemuda berhidung melengkung ini.
Toga menggeram. Disadari kalau lama- kelamaan dtrinya akan roboh di tangan pemuda ini.
Semakin lama keadaannya kian terjepit. Kini Kepala Desa Gebang itu benar-benar
hanya mampu bermain
mundur. Berbeda dengan Sapta, keadaan yang dialami
Kami malah sebaliknya. Putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini kewalahan
menghadapi hujan serangan
Gajula. Hanya saja keadaannya tidak separah Toga.
Gadis itu masih mampu membalas serangan si wajah kera dengan serangannya yang
tak kalah dahsyat.
Keringat dingin sebesar-besar biji jagung bermunculan di sekujur wajah Toga. Semakin lama
keadaannya semakin terjepit. Bahkan sudah beberapa kali tubuhnya terpontang-
panting. Pada jurus ketiga puluh, sebuah sapuan kaki
Sapta membuat kepala desa ini terpelanting, dan jatuh telentang.
"Haaat..!"
Sambil berteriak melengking nyaring, putra Ki
Panjar ini menerkam tubuh Toga.
Mata si kumis melintang terbelalak lebar. Tak
ada kesempatan lagi baginya untuk mengelakkan
serangan itu atau menangkisnya, karena begitu tiba-tiba datangnya.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak, dan
belum lagi habis gemanya, di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh tinggi
besar. Sekitar satu setengah kali manusia sewajarnya. Rambutnya panjang, lebat,
dan terurai. Wajahnya penuh cambang lebat. Sekujur
badan bagian depannya nampak dipenuhi bulu, karena si raksasa memang
bertelanjang dada. Dia hanya
mengenakan celana berwarna hitam sebatas lutut. Di bagian lehernya terdapat
sebuah kalung yang rantainya tersusun dari rangkaian tulang jari tangan manusia.
Sedangkan mata kalung itu dibuat dari kepala manusia dewasa.
Secepat berada di situ, secepat itu pula si
raksasa menggerak-gerakkan pelahan tangannya. Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh
Sapta terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut.
Ketika berada di situ, raksasa tersebut menggerakkan tangannya pelahan saja kea rah Sapta.
Tapi akibatnya hebat sekali! Tubuh Sapta seperti dipukul oleh godam yang sangat
kuat dan terlempar jauh ke belakang bagai dilanda angin ribut!.
Brakkk...! Lontaran pada tubuh pemuda itu terhenti
ketika menabrak sebatang pohon hingga tumbang.
Murid Pengemis Tongkat Merah ini berusaha bangkit.
Kedua tangannya yang dijadikan tempat bertumpu itu terlihat menggigil keras. Ada
cairan merah kental yang mengalir dari sudut bibirnya. Kelihatannya Sapta
terluka dalam. "Ha ha ha...!"
Kembali si raksasa tertawa tergelak. Sapta
menatapnya dengan hati ngeri. Disadari kalau dirinya bukanlah tandingan manusia
setengah raksasa ini.
Hatinya mendadak berdebar tegang ketika teringat penuturan
gurunya tentang seorang tokoh
yang memiliki ciri-ciri seperti itu.
Diperhatikannya si raksasa yang masih saja ter-
tawa berkakakan sekali lagi. Pada kedua pergelangan tangan dan kakinya tampak
melingkar gelang yang
terbuat dari tulang-tulang jari tangan manusia.
"Raksasa Rimba Neraka...," desis Sapta. Pengemis Tongkat Merah memang pernah
menceritakan tentang tokoh sesat yang kejam, dan gemar makan daging manusia.
Tapi menurut cerita gurunya, raksasa itu tinggal di sebuah hutan yang amat jauh
letaknya dari Desa Gebang ini. Sebuah hutan yang penuh bahaya
maut. Penuh binatang besar, tanaman
beracun, lumpur hidup, dan segala macam bahaya maut
lainnya. Sehingga, hutan itu dinamai orang Rimba Neraka.
"Grrrh...!" si, raksasa menggeram. Tampak dua buah taring pada bagian sudut-
sudut mulutnya. "Da-gingmu past! empuk sekali, Anak Muda!"
Sambil berkata demikian, si raksasa yang
berjuluk Raksasa Rimba Neraka ini melangkah lambat-lambat
menghampiri Sapta. Setiap langkahnya menimbulkan getaran keras di tanah.
Tubuh pemuda tinggi besar ini menggigil keras.
Memang diakui kalau tidak takut mati. Tapi tak urung menghadapi
kematian yang begitu mengerikan, dimakan hidup-hidup, rasa takutnya pun muncul.
"Kakang...!"
"Hiyaaa...!"
Kami menjerit melihat bahaya maut yang
mengancam Sapta. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya menghadang Raksasa Rimba
Neraka. Sadar akan
kelihaian lawan, sambil melompat gadis itu segera mencabut pedangnya.
Singgg...! Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa.
Dengan mengerahkan sepenuh tenaganya, pedang yang sudah terhunus itu ditusukkan ke leher si raksasa."Jangan, Kami!
Cepat kau pergi selamatkan diri!" Sapta yang tahu pasti kalau gadis itu bukan
tandingan Raksasa Rimba Neraka yang sakti, berteriak memperingatkan.
Tapi Kami adalah gadis yang keras hari.
Baginya mati bukan suatu hal yang perlu ditakuti.
Maka peringatan Sapta tidak digubrisnya.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali tertawa bergelak. Diulurkan tangannya ketika serangan pedang Kami tiba.
Kreppp...! Tanpa mengalami kesulitan apa-apa, pedang itu
sudah dicengkeramnya.
"Akh...!"
Kami menjerit kaget. Sekuat tenaga gadis itu
membetot pedang yang tercengkeram tangan raksasa itu. Tapi betapapun segenap
tenaganya telah dikerahkan, tetap saja pedangnya tak mampu dilepaskan dari
cengkeraman tangan itu.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka hanya tertawa-tawa
saja. Tak nampak ada tanda-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya. Sementara di hadapannya,
Kami terus berusaha sampai napasnya terengah-engah.
'Tidak kusangka, kalau malam ini aku mendapat santapan yang istimewa. Seorang perawan cantik. Ha ha ha...!"
Wajah Gajula berseri-seri ketika tadi melihat
kedatangan si Raksasa Rimba Neraka. Karena memang kakek yang memiliki penampilan
mengerikan itu adalah gurunya! Namun demikian, di samping rasa
gembiranya, timbul pula rasa kecewanya. Kedatangan gurunya berarti membuat laki-
laki kasar itu kehilangan kesempatan untuk menikmati tubuh montok Kami.
Gajula tahu persis manusia macam apa gurunya. Di samping gemar makan daging manusia,
kakek ini pun gemar terhadap wanita!
"Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika tahu-tahu
tubuhnya terlempar ke depan. Memang Raksasa Rimba Neraka telah balas membetot.
Dan karena tenaga yang dimilikinya kalah jauh, gadis itu tidak kuasa menaha.
"Hiyaaa...!"
Putri Pengemis Tongkat Merah terpaksa melepaskan pedangnya. Dan dengan meminjam tenaga betotan, gadis Itu bersalto di
udara. Raksasa Rimba Neraka mendengus. Secepat
kilat dijulurkan tangan kanannya ke atas.
Tappp...! "Akh...!"
Kami memekik tertahan ketika pergelangan
kakinya tertangkap. Dan sekali si raksasa itu menarik tangannya kembali, tubuh
gadis itu pun terbawa
turun. "Hup...!"
Tubuh molek Kami kini jatuh tepat di pelukan
Raksasa Rimba Neraka. Dan sebelum gadis itu sempat berbuat sesuatu, tangan si
raksasa telah lebih dulu bergerak menotok
Tukkk...! "Oh...!"
Sekujur tubuh Kami lumpuh seketika. Dan
sambil tertawa terkekeh-kekeh
si raksasa mulai
menjarah sekujur tubuh Kami Dengan rakusnya,
mulut besar dan bergigi kuning itu melumat bibir Kami, begitu kasar dan buas.
"Oh...! Jangan.... Bunuh saja aku...," rintih Kami. Gadis ini mulai menyadari
adanya ancaman yang mengerikan. Dan kesadaran akan terjadinya hal ini membuat ia
takut bukan main. Ciuman kasar raksasa itu membuatnya kehabisan napas. Bau amis
yang memuakkan keluar dari mulut dan hidung raksasa di hadapannya ini, membuat gadis
itu jadi ingin muntah.
Tapi orang seperti Raksasa Rimba Neraka, mana
sudi mendengar rintihan Kami! Bagi orang sepertinya, rintihan para korbannya tak
ubahnya sebuah rintihan kenikmatan, yang membuatnya kian bergairah.
Ciuman-ciumannya pun semakin kasar, seiring
nafsu birahinya yang semakin berkobar. Ciuman-
ciumannya yang liar, kini tidak hanya menjarah bibir, tapi terus turun, ke dagu,
ke leher. Kami yang sekujur tubuhnya lumpuh, hanya
dapat merintih-rintih tanpa mampu berbuat apa-apa.
"Kami...!"
Sapta menjerit keras. Pemuda ini menyadari
betul ancaman mengerikan yang akan menimpa gadis itu. Maka dengan penuh daya
upaya, dicobanya mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Sekujur tubuhnya
nampak menggigil keras dalam usaha berjuang untuk bangkit
"Grrrh...!"
Raksasa

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rimba Neraka menggeram hebat karena merasa terganggu. Dihentikan ciuman-ciuman liarnya pada gadis yang masih
dipeluknya. "Rupanya kau minta mati, heh"!"
Brukkk...! Tubuh Kami jatuh berdebuk di tanah ketika si
raksasa yang tengah murka ini melemparkannya. Dengan tangkah lambat-lambat,
dihampirinya Sapta yang masih berusaha bangkit.
Melihat hal ini
Gajula buru-buru berlari menghampiri. "Ampun, Guru...."
Raksasa Rimba Neraka menghentikan langkahnya. "Ada apa, Gajula! Apa kau pun ingjn kubunuh"!"
Pucat wajah Gajula. Si wajah kera ini tahu pasti watak aneh gurunya. Bila
kemarahannya timbul, siapa pun tanpa kecuali akan dibunuhnya.
"Tentu saja tidak, Guru...," ucap Gajula terputus-putus.
"Lalu"! Kenapa kau menghalangiku membunuh
bocah sial ini?" desak raksasa itu, masih keras dan kasar nada suaranya.
"Maafkan aku, Guru. Bocah ini adalah orang
yang mencoba memberontak terhadap Adi Toga yang
merupakan murid Guru juga, karena aku telah
mengajarkannya...."
"Aku sudah tahu dari jurus-jurus yang dimainkannya! Maka karena itulah aku menolongnya!"
selak Raksasa Rimba Neraka.
Gajula membasahi tenggorokannya yang dirasa-
kan kering. "Dan untuk mencegah terjadinya pemberontakan serupa, serta juga untuk memancing kedatangan kawan-kawannya, kami
akan mengikatnya di
alun-alun desa! Bahkan kami juga akan menyiksanya...! Harap Guru maklu m!"
Dahi si raksasa berkerut dalam, dan rupanya
tengah berpikir. Tak lama kemudian baru keluar
ucapannya. ' Terserah padamu! Toh, aku sudah punya
santapan yang luar biasa lezat untuk nanti malam!"
Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba
Neraka melangkahkan kakinya kembali. Dijumputnya kembali tubuh Kami yang
tergolek di tanah tanpa ada yang berani menyentuhnya.
"Hhh...!"
Gajula menghela napas lega. Untunglah kali ini
gurunya bersedia mengerti. Padahal hatinya tadi sudah khawatir kalau-kalau
Raksasa Rimba Neraka itu akan marah.
"Mari istirahat di dalam, Guru," ajak Toga sambil mendahului masuk ke dalam.
Kini yakinlah kepala desa ini bahwa raksasa ini adalah guru Gajula.
Walau sebelumnya sudah diduga, ketika melihat ciri-cirinya, tapi Toga masih
ragu. "Seret si keparat itu, dan ikat di alun-alun!"
perintah Toga pada anak buahnya.
"Baik, Tuan!" sahut mereka mengiyakan.
*** Dewa Arak mengerutkan keningnya. Agak heran
hatinya melihat di depannya banyak orang berkumpul, merubung sesuatu. Sepertinya
ada sesuatu yang tengah mereka saksikan. Rasa penasaran membuat Arya mempercepat
langkah kakinya. Pendengarannya yang tajam, menangkap adanya ledakan lidah
cambuk Ada apa gerangan di sana" Batin Dewa Arak terus
bertanya-tanya.
Semakin mendekati tempat kerumunan orang-
orang itu, suara yang didengarnya pun semakin jelas.
Ctarrr...! Ctarrr...!
Kembali terdengar ledakan cambuk itu. Dan kali
ini karena jaraknya sudah dekat, di samping suara ledakan cambuk juga terdengar
keluhan tertahan.
Keluhan kesakitan.
Jiwa kependekaran dalam diri Arya Buana pun
bangkit. Tanpa melihat pun sudah dapat menduga kejadian yang teriadi dalam
kerumunan orang banyak itu.
Apalagi kalau bukan tindak kesewenang- wenangan.. Tanpa mempedulikan suara-suara bernada menggerutu, Dewa Arak menyeruakkan tubuhnya.
Disibakkan kerumunan orang-orang, lalu dia masuk terus ke dalam. Sesampainya di
bagian terdepan, wajah Dewa Arak memerah. Kemarahan menjalari hatinya.
Tampak seorang pemuda berwajah
tampan dan berhidung melengkung tengah dihukum cambuk!
Tubuh pemuda itu terikat erat di sebuah
tonggak tegak lurus. Sinar matahari yang cukup terik memanggang kulit dadanya
yang tidak tertutup pakaian. Sementara di sebelahnya berdiri seseorang bertubuh tinggi besar dan
berkepala botak, tengah menggenggam cambuk
Dewa Arak yang pantang melihat kekejaman
berlangsung di depan matanya, menjadi geram. Sekali lihat saja pemuda berambut
putih keperakan ini tahu kalau
pemuda berhidung melengkung itu telah menderita luka yang cukup parah. Apalagi ditambah lecutan-lecutan
cambuk yang terus-menerus menyengatnya. Sekujur tubuhnya nampak dipenuhi
garis hitam memanjang.
"Sungguh tega hati kalian, menontoni orang
disiksa," desis Dewa Arak tajam pada salah seorang di sebelahnya.
Orang yang mendapat teguran itu menoleh.
Ditatapnya Arya lekat-lekat
"Rupanya kau bukan penduduk sini, Kisanak!
Perlu kau ketahui, kami pun sebenarnya tidak suka melihat penyiksaan ini. Batin
kami menjerit. Tapi apa daya" Kami hanya orang lemah. Mereka memaksa untuk
menonton penyiksaan ini. Kalau ada yang
membangkang, pasti akan bernasib serupa...," jelas orang itu dengan suara
berbisik. "Ah...," Dewa Arak mendesah pelan. Seketika timbul perasaan malunya karena telah
melempar tuduhan jelek pada orang-orang yang selama ini hidup dalam keadaan jiwa
tertekan. "Maafkan saya, Ki...."
"Tidak usah meminta maaf. Aku memaklumi
perasaan yang bergayut di hatimu. Pesanku, janganlah ikut campur, Kisanak.
Mereka berjumlah banyak, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!"
Dewa Arak terlongong. Trenyuh hatinya mendengar penuturan orang itu. Dalam penderitaan, dia tidak ingin membuat orang
lain ikut menderita.
Nasihat yang keluar dari mulut orang itu sama persis dengan nasihat Ki Marta.
Tapi tentu saja Dewa Arak tidak mau menuruti
nasihat itu. Sejak belajar ilmu silat, dia telah bertekad mengamalkan
ilmu yang dimiliki untuk menghancurkan keangkaramurkaan di mana pun.
Sekalipun untuk itu harus dibayar dengan nyawanya.
Ctarrr...! Kembali untuk yang kesekian kalinya ujung
cambuk itu menyengat kulit Sapta. Pemuda itu
meringis. Tapi tidak terdengar suara keluhan yang keluar dari mulutnya.
Dan kini Dewa Arak tidak bisa bersabar lagi.
Tapi baru saja dia hendak bergerak menolong, sesosok bayangan merah berkelebat
mendahului. Seketika Arya menahan gerakannya.
Sosok bayangan merah itu ternyata adalah se-
orang kakek berusia sekitar enam puluh tahun.
Tubuhnya kurus kering, pakaiannya rompi penuh
tambalan berwarna hitam. Begitu pula celananya. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat berwarna
merah."Guru...," desah Sapta lemah.
Ternyata laki-laki tua itu adalah Pengemis
Tongkat Merah. Ditatapnya orang yang memegang
cambuk, yang tak lain adalah Sagar! Dan tiba-tiba....
"Hiyaaat...!"
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring, kakek kurus kering ini menerjang maju.
Tongkat merah yang terbuat dari kayu biasa dan
memiliki bentuk yang tak beraturan itu ditusukkan ke perut Sagar.
Angin keras menderu, mengiringi serangan
tong-katnya. Sagar kaget bukan main, lalu mencoba menge-lak Tapi serangan
Pengemis Tongkat Merah itu terlalu cepat baginya.
Buk! "Akh...!"
Suara jerit menyayat hari keluar dari mulut
Sagar. Seketika tubuhnya terlempar ke belakang. Dari mulut, hidung, dan
telinganya mengalir mengalir darah segar.
Brukkk...! Diiringi suara berdebum keras, tubuh si kepala
botak itu jatuh di tanah. Sebentar dia menggelepar-gelepar, lalu diam tidak
bergerak lagi untuk selamanya.
Tulang dadanya hancur berantakan terkena hantaman tongkat yang mengandung tenaga
dalam tinggi itu.
Usai merubuhkan Sagar, Pengemis Tongkat Me-
rah bergegas menghampiri Sapta yang terikat di
tonggak kayu. Tapi....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa bergelak yang menggema di sekitar
tempat itu membuat langkah kaki kakek itu terhenti seketika. Pengemis Tongkat
Merah menoleh dengan
slkap waspada. Di belakangnya, dalam jarak sekitar tiga tombak
berdiri sesosok tubuh tinggi besar dan kekar. Dadanya dibiarkan telanjang
sehingga memperlihatkan bulu-bulu yang lebat. Rambutnya panjang meriap. Sekujur
tubuhnya dipenuhi hiasan tulang-belulang tengkorak manusia.
"Raksasa Rimba Neraka...," desah Pengemis Tongkat Merah dengan raut wajah
menampakkan rasa kaget dan tidak percaya. Memang, kakek itu kaget bukan main.
Dia tahu betul tempat tinggal raksasa ini. Di Rimba Neraka! Tempat itu letaknya
sangat jauh dari desa ini. Tapi mengapa tokoh yang mengerikan ini bisa sampai
kemari" "Kau Pengemis Tongkat Merah, bukan"! Apa
hubunganmu dengan pemuda itu?" tanya raksasa itu sambil menunjuk tubuh Sapta
yang terikat di tonggak.
"Dia muridku. Raksasa Rimba Neraka. Kalau
dia memang bersalah, biarlah aku selaku gurunya
minta maaf padamu!"
"Ha ha ha...! Enak saja! Kau tahu, pengemis busuk! Pemuda keparat ini hampir
saja membunuh adik kandung muridku! Kalau saja aku tidak cepat-cepat
datang, mungkin muridmu ini sudah membunuhnya! Sekarang, begitu enaknya kau datang memintakan ampun untuknya!
Jangan harap!"
Wajah

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengemis Tongkat Merah langsung berubah. Sikap raksasa itu amat merendahkannya.
Betapapun disadari kalau dirinya bukanlah tandingan tokoh yang menggiriskan itu,
tapi pantang baginya menerima penghinaan. Ditegakkan kepalanya, dan
dibusungkan dadanya yang krempeng.
"Kalau begitu..., biarlah kupertaruhkan selembar nyawa tuaku untuk keselamatan muridku!"
sambut Pengemis Tongkat Merah, tegas dan mantap
suaranya. "Ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi saja
berkata begitu"!"
Tiba-tiba Pengemis Tongkat Merah menggerakkan tangannya. Dan seketika tongkat butut berwarna merah melesak masuk
ke dalam tanah,
hingga hampir setengahnya ketika kakek kurus ini menekannya. Dia sadar kalau
lawan di hadapannya ini memiliki kepandaian
luar biasa. Maka Pengemis
Tongkat Merah memang tidak mau bersikap sungkan-
sungkan lagi. "Hiyaaat..!"
Diiringi teriakan melengking nyaring memekakkan telinga, Pengemis Tongkat Merah melompat Dan dari atas, dilancarkan serangan bertubi-tubi ke arah ubun-ubun dan
pelipis lawannya.
Raksasa Rimba Neraka hanya mendengus. De-
ngan keyakinan penuh akan kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki, dipapaknya serangan kakek kurus kering itu.
Plak! Plak! Plak...!
Benturan antara dua pasang tangan yang sama-
sama memiliki tenaga dalam tinggi pun terjadi berkali-kali. Tubuh Pengemis
Tongkat Merah yang tengah
berada di udara, terlempar kembali ke belakang.
Sementara kedua tangan Raksasa Rimba Neraka hanya bergetar saja.
Pengemis Tongkat Merah bersalto beberapa kali
dengan meminjam tenaga benturan tadi. Dirasakan sekujur tangannya terasa seperti
lumpuh. Tenaga dalam yang dimiliki Raksasa Rimba Neraka itu memang luar biasa!
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kaki kakek itu
hinggap di tanah. Dan secepat kedua kakinya mendarat, secepat itu pula kakek kurus kering ini kembali menyerang. Maka kini
keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Di tempat itu kini hanya tiga pasang mata saja
yang menjadi penonton pertarungan antara dua orang yang memiliki kepandaian
tinggi. Mereka adalah Dewa Arak, Sapta, dan Gajula. Sementara para penduduk yang
semula menyaksikan, telah bubar ketika Sagar tiba-tiba tewas terbunuh. Mereka
memang tidak ingin nantinya terbawa-bawa.
Pengemis Tongkat Merah yang telah mendengar
betapa lihainya Raksasa Rimba Neraka, mengerahkan segenap
kemampuannya. Tangan dan kakinya berkelebat cepat mengancam bagian-bagian lemah di tubuh raksasa itu.
Tapi betapapun kakek kurus kering ini bekerja
keras, tetap saja tidak mampu mendesak lawannya.
Setiap serangannya selalu kandas. Kalau tidak dielakkan, pasti ditangkis. Dan setiap kali Raksasa Rimba Neraka menangkis
serangannya, tubuhnya
selalu terhuyung. Dadanya juga terasa sesak. Bahkan sekujur tangannya terasa
sakit bukan main.
Tidak sampai dua puluh jurus sudah terlihat
keunggulan Raksasa Rimba Neraka. Memang sebenarnya kakek kurus kering ini kalah segala-
galanya. Baik dalam, hal tenaga dalam, maupun dalam ilmu meringankan tubuh.
Memasuki jurus ketiga puluh lima, Pengemis
Tongkat Merah mulai terdesak. Kakek kurus kering ini hanya mampu main mundur,
dan hanya sesekali saja balas menyerang.
Sementara itu, Dewa Arak yang sejak tadi
mengawasi pertarungan, segera dapat mengetahui
kalau Pengemis Tongkat Merah tak akan lama lagi
dapat bertahan. Dan dugaan pemuda berambut putih keperakan ini memang tidak
meleset. Pada jurus
keempat puluh, kaki kanan Raksasa Rimba Neraka
meluncur deras ke arah perut Pengemis Tongkat
Merah. Karena untuk mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, kakek kurus kering Ini memutuskan untuk menangkisnya.
Plak..! Dengan kedua tangan terkepal saling bersilang
di depan dada, tendangan itu berhasil ditangkisnya.
Tapi akibatnya tubuh Pengemis Tongkat
Merah terhuyung-huyung ke belakang. Dan belum lagi kakek kurus kering ini memperbaiki
posisi, kaki raksasa yang tertangkis
itu secara mengejutkan kembali mengancamnya dengan sebuah tendangan miring ke
arah leher. "Hup...!"
Pengemis Tongkat Merah begitu susah payah
mengelakkan serangan itu dengan menggeser kaki ke samping.
"Hiya...!"
Raksasa Rimba Neraka berteriak keras. Berbareng dengan itu, kaki kirinya dikibaskan sambil membalikkan tubuh.
Wuuusss...! Angin menderu keras seperti terjadi topan di
sekitar tempat itu. Dan memang sebenarnya, dari
rentetan serangan kaki yang bertubi-tubi dengan cara mengibas inilah seluruh
kekuatan ditumpukan. Tentu saja kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan ini pun sangat dahsyat.
Buk...! "Akh...!"
Tubuh Pengemis Tongkat Merah terlempar
deras. Kibasan kaki Raksasa Rimba Neraka telak
mendaiat di pangkal lengannya. Mulanya serangan
kibasan itu diarahkan ke pelipis. Untungnya, kakek kurus kering ini sempat
mengelak, sehingga kibasan yang semula mengarah ke pelipis itu hanya mengenai
pangkal lengan.
Meskipun demikian akibat yang diterima kakek
kurus kering ini tidak ringan. Bagian yang terkena kibasan kaki terasa sakit
bukan main. Seolah-olah tulang-belulangnya
remuk. Padahal tadi sudah dikerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melindungi bagian yang terserang.
Belum sempat Pengemis Tongkat Merah memperbaiki posisinya, kini serangan susulan Raksasa Rimba Neraka menyambar
tiba. Seketika wajah kakek kurus kering ini pucat.
Di saat kritis itu mendadak sesosok bayangan
berkelebat memapak serangan itu.
Plak! Plak...! Benturan keras terdengar berkali-kali, disusul
terpentalnya kedua sosok tubuh itu ke belakang.
"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka menggeram.
Diam-diam kakek tinggi besar ini kaget bukan main.
Dari benturan yang baru saja terjadi, diketahui kalau sosok bayangan yang
menangkis serangannya pasti
memiliki tenaga dalam yang tidak rendah. Malah kedua tangannya sampai tergetar
hebat dan sakit-sakit
karenanya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati si rak-
sasa ini ketika melihat orang yang menangkis serangannya itu. Tampak di
hadapannya dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri seorang pemuda berambut
panjang meriap berwarna putih keperakan. Betulkah pemuda ini yang baru saja
menangkis serangannya tadi"
Padahal serangan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga seluruhnya! Hampir-
hampir kakek raksasa ini tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri!
Seumur hidupnya belum pernah ditemukan
tokoh yang mampu membuatnya terjengkang ke
belakang dalam adu tenaga, kecuali pemuda di
hadapannya ini. Apalagi yang berada di hadapannya ini adalah tokoh muda.
"Siapa kau, bocah! Apa hubunganmu dengan
kakek itu"!" tanyanya keras. Sepasang mata Raksasa Rimba Neraka yang besar ini
pelahan menyipit.
Dewa Arak yang juga merasakan betapa kuatnya tenaga dalam yang dimiliki kakek raksasa di hadapannya ini, bersikap
hati-hati. "Aku Arya, seorang pengelana. Dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan
kakek yang hendak kau bunuh itu. Hanya saja, aku tidak bisa membiarkan adanya kekejaman
berlangsung di depan mataku!" tegas dan jelas kata-kata pemuda berambut putih
keperakan itu. "Ha ha ha...! Jadi kaulah rupanya orang yang berjuluk Dewa Arak!" Ha ha ha...!
Pucuk dicinta ulam tiba. Memang sudah lama aku ingin menjajal kelihaian tokoh
yang katanya menggemparkan dunia persilatan itu. Sungguh tidak kusangka, julukan
yang cukup menyeramkan itu hanya dimiliki seorang pemuda
ingusan. Bersiaplah kau, pemuda sombong!"
Setelah berkata demikian, Raksasa Rimba
Neraka menjulurkan kedua tangannya ke depan,
kemudian pelahan-lahan mengepalkannya. Terdengar suara bergemeletuk keras
seolah-olah sekujur tulang-tulangnya berpatahan.
Dewa Arak yang sudah bisa mengukur kepandaian lawan, tidak berani bersikap main-main.
Segera diambil guci yang terikat di punggung, lalu diangkat ke atas kepala.
Sebentar saja beberapa teguk arak telah berpindah ke tenggorokannya.
Gluk... gluk... gluk....!
Terdengar suara tegukan
ketika arak itu
melewati tenggorokannya. Sesaat kemudian tubuh
pemuda itu pun mulai hangat dan limbung.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan menggeledek dari
mulut Raksasa Rimba Neraka. Dan belum lagi gema
suara teriakan itu hilang, tubuhnya sudah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua
tangannya yang mengepal,
dihantamkan ke arah Arya dalam sebuah pukulan
lurus ke dada. Suara

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meledak-ledak seperti suara perir menggelegar terdengar mengiringi serangan itu. Itu pun masih diiringi hawa panas
yang menyambar tiba
sebelum pukulan itu sendiri mendekat. Dewa Arak
seketika terkejut. Tak disangka kalau lawannya yang mengerikan
ini memiliki ilmu begitu ampuh. Jangankan terkena langsung serangan itu, terkena anginnya saja sudah cukup
membuat sebuah pohon
hancur lebur hangus.
Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan
tidak pernah memandang rendah
lawan, segera mengeluarkan jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk menghadapinya.
Brakkk...! Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang de-
wasa langsung hancur terkena angin pukulan yang tidak mengenai sasaran karena
tubuh Dewa Arak sudah lenyap dari situ.
"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka meraung keras
melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari hadapannya. Untuk sesaat ia kebingungan. Tapi begitu terasa ada angin mendesir
di belakangnya, segera saja diketahui kalau lawan ada di belakangnya. Dan
seketika itu pula raksasa itu melempar tubuhnya ke depan, kemudian menggulingkan
tubuhnya. Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada ka-
kek raksasa ini untuk memperbaiki posisinya. Segera diburu tubuh yang sedang
bergulingan itu.
Wut! Diayunkan gucinya ke arah kepala lawannya.
"Ah,..!" seru Dewa Arak kaget
Entah bagaimana caranya, kini posisi kepala itu
telah berada di tempat aman, tenaga sepasang kaki yang mempunyai kembangan
gerakan tidak terduga-duga.
Walaupun Dewa Arak berusaha keras menjatuhkan serangan pada bagian kepala dan tubuh, tapi niatnya selalu kandas.
Setiap serangannya selalu dihadang sepasang kaki yang mempunyai pertahanan luar
biasa kokohnya. Raksasa itu menghadapi Dewa Arak dengan posisi tubuh terlentang
di tanah! Bahkan beberapa kali Dewa Arak terpaksa menghindar ketika Raksasa
Rimba Neraka melancarkan serangan balasan.
"Hm.... 'Jurus Trenggiling'...," desah Pengemis Tongkat
Merah yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertempuran itu. Sejak mendengar pemuda berambut
putih keperakan itu memperkenalkan namanya, kakek kurus kering ini sudah menduga
kalau pemuda itu adalah Dewa Arak.
Maka begitu dugaannya benar, diputuskan
untuk menonton pertarungan yang sudah dibayangkan berlangsung dahsyat. Ingin
diketahui, siapa di antara kedua tokoh yang sama-sama memiliki kesaktian tinggi dan menggegerkan rimba
persilatan itu.
Tapi melihat tokoh yang digelari Dewa Arak,
Pengemis Tongkat Merah merasa kurang yakin kalau tokoh muda itu akan mampu
menaklukkan Raksasa
Rimba Neraka. Dewa Arak ternyata masih begitu muda, dan sudah pasti belum banyak
pengalaman menghadapi berbagai macam ilmu yang aneh-aneh. Berbeda dengan Raksasa
Rimba Neraka yang telah puluhan
tahun malang-melintang di dunia persilatan.
Setelah belasan jurus Dewa Arak berusaha
mendesak lawan tanpa hasil, dia menjadi tidak sabar.
Disadari kalau ilmu 'Belalang Sakti' di samping
mempunyai banyak keistimewaan, tetap saja memiliki kekurangan dan kelemahan. Dan
itu memang wajar,
karena tidak ada ilmu yang sempurna.
Ilmu 'Belalang Sakti' ternyata menjadi lumpuh
dan tidak cocok untuk menghadapi Raksasa Rimba
Neraka. Ilmu yang dimiliki Dewa Arak memang tidak dirancang untuk menghadapi
ilmu permainan bawah, seperti 'Jurus Trenggiling', atau 'Jurus Kelabang'.
"Okh...!"
Suara keluhan Sapta menyadarkan Pengemis
Tongkat Merah kalau dirinya masih mempunyai sebu-ah urusan yang lebih penting,
yaitu menyelamatkan nyawa muridnya.
Dengan perasaan berat, ditinggalkan pertempuran yang tengah berlangsung seru itu.
Bergegas kakek itu menghampiri muridnya yang terikat erat di tonggak, setelah
terlebih dulu mengambil tongkat bututnya yang tadi ditancapkan di tanah.
Tentu saja Gajula tidak membiarkan Sapta
lolos. Begitu melihat Pengemis Tongkat Merah bergerak mendekati tempat pemuda
itu terikat, Gajula cepat-cepat bertindak.
Singgg...! Singgg...!
Suara berdesing nyaring terdengar ketika si
wajah kera itu melemparkan beberapa buah pisau
sekaligus ke arah tubuh Sapta yang tergolek tidak berdaya.
"Hih...!"
Pengemis Tongkat Merah yang melihat bahaya
maut mengancam muridnya segera menghentakkan
kedua tangannya ke depan.
Wut...! Trak! Serentetan angin keras menghambur keluar
dari tangannya yang dihentakkan itu, dan menerpa pisau-pisau yang meluncur cepat
mengarah tubuh Sapta. Pisau-pisau itu pun langsung runtuh ke tanah dengan keras.
Pengemis Tongkat Merah yang masih merasakan lumpuh pada tangan kirinya, menatap
beringas ke arah Gajula. Seketika itu juga, si wajah kera yang mengetahui bahwa
dirinya bukan tandingan kakek kurus kering itu segera melompat menjauh.
Pengemis Tongkat Merah tidak mempedulikannya. Segera saja tubuhnya melompat
mendekati tubuh muridnya. Sebentar kemudian, tangan kanannya pun bergerak.
Pralll...! Kontan rantai baja yang melilit tangan dan kaki
Sapta hancur berantakan.
"Hup...!"
Kakek kurus kering ini menjejakkan kakinya,
dan sesaat kemudian tubuhnya sudah melesat meninggalkan tempat itu bersama tubuh Sapta berada dalam pondongannya.
"Grrrh...!" Raksasa Rimba Neraka menggeram keras.
Memang, walaupun tengah bertarung, kakek
tinggi besar ini masih sempat melihat Pengemis
Tongkat Merah yang telah menyelamatkan muridnya.
Dan ini membuatnya murka bukan main. Dengan
'Jurus Trenggiling', didesaknya Dewa Arak. Tendangannya bertubi-tubi dan susul-menyusul mengancam bagian tubuh yang berbahaya di sekujur tubuh pemuda itu.
Tapi berkat keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang', Arya berhasil mengelakkan setiap serangan itu. Hanya saja
tidak seperti biasanya, kali ini jurus 'Delapan Langkah Belalang' tidak bisa
digunakan untuk mengelak dan langsung mengancam lawan.
Selagi Dewa Arak sibuk mengelakkan serangan-
serangan, Raksasa Rimba Neraka melentingkan tubuhnya menjauh. Dia langsung
mengejar Pengemis Tongkat Merah yang melarikan diri.
Pendekar Sadis 3 Wanita Iblis Karya S D Liong Harpa Iblis Jari Sakti 30
^