Pencarian

Raksasa Rimba Neraka 2

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Bagian 2


Melihat kepergian gurunya, Gajula pun segera
melesat kabur dari situ. Dewa Arak yang memang sama sekali tidak mempunyai
urusan dengan mereka, tidak mengejar. Yang dipentingkan kali ini adalah
menyelamatkan desa ini dari tangan jahat Toga, si kepala desa.
Dewa Arak pun melesat meninggalkan tempat
itu. Cepat sekali gerakannya, sehingga dalam sekejap saja yang nampak hanyalah
sebuah titik yang semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di
kejauhan. 4 Tubuh Raksasa Rimba Neraka melesat cepat,
disertai pengerahan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimiliki untuk mengejar
Pengemis Tongkat Merah yang berada jauh di depannya.
Sedikit demi sedikit jarak antara mereka mulai
dekat. Bayangan tubuh kakek kurus kering yang
semula hanya berupa titik kecil hitam di kejauhan, kini semakin
lama semakin membesar. Sudah bisa dipastikan kalau akhirnya Raksasa Rimba Neraka
berhasil mengejar buruannya.
Tapi senyum yang tadi telah menghias wajah
Raksasa Rimba Neraka pelahan mulai melenyap ketika tampak di kejauhan sana
membentang sebuah hutan.
Sebagai tokoh yang penuh pengalaman, kakek tinggi besar ini tahu kalau Pengemis
Tongkat Merah berhasil masuk ke dalam hutan itu, sudah bisa dipastikan akan
berhasil lolos.
Raksasa Rimba Neraka mengerahkan segenap
kemampuan yang dimiliki. Tujuannya, menyusul kakek kurus kering itu sebelum
sempat memasuki hutan.
Tapi betapapun mengerahkan segenap kemampuan
yang dimiliki, tetap saja usaha yang dilakukannya tidak mendapatkan hasil. Jarak
antara mereka masih terlalu jauh. Sementara jarak antara Pengemis Tongkat Merah
dengan hutan itu sudah demikian dekat.
Apa yang dikhawatirkan Raksasa Rimba Neraka
pun terjadi. Pengemis Tongkat Merah telah lebih duiu memasuki mulut hutan
sebelum berhasil disusul.
Jarak antara mereka masih terpisah puluhan tombak.
Beberapa saat setelah kakek pengemis itu
memasuki hutan itu, baru laki-laki bertubuh raksasa ini tiba di mulut hutan.
Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Raksasa Rimba Neraka itu melesat masuk.
Tapi sesampainya di dalam hutan, kakek
bertubuh raksasa itu menjadi kebingungan. Hutan ini terlalu lebat, ditumbuhi
pohon-pohon besar kecil, dan semak-semak. Apalagi akar-akar pohon yang menjalar
juga menghalangi pandangan. Sesaat lamanya Raksasa Rimba
Neraka ini mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari-cari barangkali ada pohon atau semak yang masih bergoyang.
Kalau ada, itu tandanya baru dilewati orang. Tapi, tetap saja itu tidak
dijumpainya. Lalu dia memilih satu arah saja yang diyakininya. Tapi sampai lama mengejar, tak juga nampak tanda-tanda bayangan
tubuh kakek pengemis di depannya. Setelah lama mencari ke sana kemari tanpa
hasil, meledaklah kemarahan Raksasa Rimba
Neraka ini. "Grrrrh...!" kakek raksasa ini menggeram hebat.
Kemudian tangan kanannya yang mengepal dipukulkan ke depan.
Wut...! Brakkk...! Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang
dewasa tumbang seketika, tatkala angin pukulan
Raksasa Rimba Neraka ini melandanya. Dengan
mengeluarkan suara bergemuruh, pohon besar itu pun tumbang dalam keadaan hancur
luluh dan hangus.
Tidak hanya sampai di situ saja, tangan dan kakinya terus saja dipu-kulkan ke
sana kemari, melampiaskan kemarahannya.
Kontan suara hiruk-pikuk menyemaraki suasana hutan itu. Pohon-pohon yang tumbang dalam keadaan hancur dan hangus,
semak-semak yang cerai-berai dalam keadaan mengering layu, mengiringi setiap
gerakan tangan atau kaki Raksasa Rimba Neraka.
Cukup lama juga Raksasa Rimba Neraka ini me-
lampiaskan amarahnya. Dan kini ditatapnya keadaan dalam
hutan yang porak-poranda. Kemudian dilangkahkan kakinya, melesat dari tempat itu.
*** "Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah mendesah lega di tempat persembunyiannya,
setelah melihat kepergian Raksasa Rimba Neraka. Memang, kakek ini masih berada
di hutan itu, bersembunyi di kerimbunan semak-semak dan pepohonan. Dia memang
telah melihat semua sepak terjang si raksasa yang mengamuk membabi buta.
Suara lenguh kesakitan Sapta menyadarkan
kakek ini dari lamunannya. Kini perhatiannya tercurah pada pemuda berhidung
melengkung yang tergolek
lemah di tanah.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kakek
kurus kering ini segera memeriksa luka-luka muridnya.
Yang menjadi perhatiannya pertama kali adalah, luka-luka bekas cambukan yang
menggurat hampir sekujur tubuh pemuda itu.
Sekali lihat saja, Pengemis Tongkat Merah yang
penuh pengalaman segera mengetahui kalau luka-luka cambuk itu tidak membahayakan
jiwa Sapta, karena hanya luka luar belaka. Yang lebih berbahaya adalah luka-luka
dalamnya. "Guru....," sapa Sapta lirih, begitu tersadar dari pingsannya. Memang sejak
kakek kurus kering ini
membawanya lari, pemuda ini sudah tidak sadarkan diri lagi.
' Tenanglah, Sapta," sambut kakek itu.
Namun Sapta seolah-olah tidak mendengar
peringatan itu. Pemuda itu malah berusaha bangkit.
Kedua tangannya yang ditekankan ke tanah, tampak gemetar.
"Berbaringlah dulu, Sapta."
Pemuda berhidung melengkung itu mendengar
ada nada ketegasan dalam ucapan gurunya. Perintah yang tidak menghendaki adanya
bantahan. Maka segera dibaringkan tubuhnya kembali.
"Kami, Guru...."
"Kami"!
Ada apa dengan Kami"!"
tanya Pengemis Tongkat Merah kaget. Sikap pemuda di
hadapannya ini yang begitu mengkhawatirkan Kami, membuatnya cemas bukan main.
Walaupun kakek ini
sudah dapat mengira-ngira, tapi mendengar penegasan pemuda itu dia merasa
khawatir bukan main.
"Kami tertangkap, Guru...," desah Sapta lirih.
"Aku tidak bisa memenuhi janjiku pada Guru untuk menjaga Kami."
Pengemis Tongkat Merah berusaha bersikap
tenang. Ia tidak ingin menambah kekalutan hati muridnya dengan menunjukkan
kegelisahannya. Sebenarnya banyak pertanyaan yang menggayuti benak kakek ini.
Terutama ketika melihat Sapta hanya sendiri saja saat ditolong. Juga, apa
urusannya sehingga pemuda itu bisa bentrok dengan Raksasa Rimba Neraka.
Memang dari raksasa itu sudah diketahuinya
kalau Sapta hampir membunuh adik kandung dari
muridnya. Itulah yang menjadi teka-teki lagi baginya.
Siapakah adik kandung murid Raksasa Rimba Neraka itu sehingga Sapta hendak
membunuhnya"
"Ceritakan semuanya secara jelas, Sapta!"
Sapta pun segera menceritakan semuanya.
Mulai dari pertempurannya dengan Toga, sampai
akhirnya muncul Raksasa Rimba Neraka yang telah
merobohkannya secara mudah.
Wajah Pengemis Tongkat Merah langsung pucat. Sungguh tidak disangka kalau Toga, musuh
besar muridnya ini, mempunyai kakak kandung yang menjadi murid dari Raksasa
Rimba Neraka! Dan kini gadis itu menjadi tawanan raksasa yang mengerikan itu.
Kakek kurus kering ini menyadari bahwa
dirinya bukanlah tandingan Raksasa Rimba Neraka.
Kekalahan yang baru saja diterimanya, telah memperjelas dugaannya selama ini. Kalau saja tidak muncul Dewa Arak menolongnya,
mungkin ia sudah
tewas di tangan kakek tinggl besar itu.
"Hhh...!" Pengemis Tongkat Merah menghela napas panjang. "Sungguh
tidak kusangka kalau
urusannya menjadi begjni pelik, Sapta. Apalagi Raksasa Rimba Neraka juga terlibat dalam urusan ini.
Kini jangankan untuk membalas dendam untuk
menolong Kami pun kita belum tentu mampu!"
"Tapi biar bagaimanapun aku akan tetap menolong Kami, Guru. Akan kudatangi lagi
tempat si keparat itu. Dan..., kalau bisa membalaskan dendam orang tuaku!" tegas dan
mantap kata-kata pemuda itu.
Kakek kurus kering itu tersenyum. Terlihat
begitu kering dan dipaksakan senyumnya.
"Tentu saja, Sapta. Untuk kedua hal itu, aku bersedia mengorbankan selembar
nyawa tuaku ini.
Hhh...! Semula aku tidak ingin campur tangan dalam urusan balas dendammu. Tapi
kini setelah Raksasa Rimba Neraka berdiri di belakang musuh-musuhmu,
aku tidak bisa berpangku tangan lagi."
Dada Sapta terasa sesak oleh rasa haru yang
amat sangat melihat pembelaan gurunya yang begitu besar.
"Sekarang yang penting, pulihkan dulu tubuhmu. Jangan bangkit dulu. Aku akan mencari
daun-daunan dan akar-akaran untuk mengobati luka-lukamu." Sapta menganggukkan
kepalanya. Pengemis Tongkat Merah pun segera melesat dari situ. Beberapa saat
kemudian, kakek itu pun kembali dan telah
menggenggam daun-daunan dan akar-akaran yang
berkhasiat untuk mengobati luka-luka yang diderita Sapta dan dirinya sendiri.
*** "Auuung...!"
Lolongan anjing hutan menggaung panjang,
merobek kesunyian malam yang mencekam. Padahal
malam itu langit bersih tidak berawan. Bulan bersinar penuh, memancarkan
sinarnya yang kekuningan di langit. Tapi anehnya dalam suasana secerah itu, di
Desa Gebang nampak sepi seperti mati.
Tapi rupanya masih ada juga orang yang berada
di luar rumah. Terbukti, tampak sesosok bayangan ungu melesat dari satu atap ke
atap rumah lainnya.
Gerakannya gesit sekali. Kalau saja ada penduduk yang melihat, tentu akan
disangka hantu. Apalagi bayangan itu memiliki rambut berwarna putih keperakan.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kakinya mendarat di
tanah. Dan secepat kedua kakinya hinggap, secepat itu pula tubuhnya melesat ke
arah tembok pagar sebuah rumah besar yang megah dan berhalaman luas.
Beberapa saat lamanya si rambut putih keperakan itu berdiri
menempel tembok, baru kemudian menengadahkan kepalanya, mengira-ngira tinggi paga r tembok yang tengah
disandarinya. "Hih...!"
Tubuhnya direndahkan sedikit, dan sebentar
kemudian tubuh si rambut putih keperakan itu
melayang ke atas. Suasana malam yang cerah, dan
sinar bulan pumama yang cukup terang itu menyoroti wajah itu selagi tubuhnya
berada di atas. Ternyata memang si rambut putih keperakan itu adalah Arya Buana
atau yang lebih dikenal berjuluk Dewa Arak!
"Hup...!"
Kedua kaki Dewa Arak hinggap di atas tanah di
dalam pekarangan yang luas itu tanpa suara. Sepi-sepi saja suasana di dalam
pekarangan ini.
"Hih...!"
Tubuh Dewa Arak kini melesat dan hinggap di
atas atap tanpa suara. Pendengarannya yang tajam menangkap
adanya langkah kaki mendekat. Dugaannya tidak keliru. Tak lama kemudian di tempat dia berdiri tadi, lewat dua
orang yang membawa obor dan kentongan.


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ronda...," bisik hati Arya.
Pelan laksana seekor harimau yang berjalan
mengendap-endap menghampiri mangsa, Dewa Arak
berjalan di atas atap. Dia memang mencoba mencari-cari kamar kepala desa.
Tapi baru beberapa langkah berjalan, langkah
kaki pemuda ini tertahan di udara. Pendengarannya yang tajam, menangkap adanya
rintihan lirih di bawah sana. Dan perasaan penasaran mendorong pemuda ini
mendekatkan telinganya ke genteng. Suara rintihan itu pun semakin jelas
terdengar. "Jangan.... Jangan lakukan itu..., bunuh saja aku...."
Wajah Arya langsung berubah. Suara rintihan
lirih itu berasal dari mulut wanita! Berarti ada seorang wanita yang tengah
membutuhkan pertolongan di bawah sana.
Dewa Arak memutuskan menjebol atap ini
untuk menolong wanita yang diduga dalam bahaya
besar itu. Tapi baru saja akan bertindak, sebuah suara lain yang menyambut
rintihan itu membuat dia harus menahan gerakannya.
"Ha ha ha...! Enak saja! Jarang kutemukan
wanita istimewa sepertimu, tahu!" Kau memiliki
banyak kelebihan
dibanding santapan-santapanku
sebelumnya. Kau cantik, masih gadis, dan memiliki kepandaian. Ha ha ha...! Betapa
bodohnya kalau aku membunuhmu!"
Wajah Arya Buana langsung berubah! Memang,
suara dan tawa itu sangat dikenalnya. Dan seketika itu juga jantung Dewa Arak
berdebar tegang. Bukankah pemilik suara dan tawa itu adalah musuh tangguh
yang berjuluk Raksasa Rimba Neraka dan baru saja dihadapinya"
Lalu, kenapa tokoh sakti yang menggiriskan itu berada di sini" Apa hubungannya dengan Toga, yang menjadi
Kepala Desa Gebang" Batin Dewa
Arak terus dibebani bermacam-macam pertanyaan. Tapi Dewa Arak tidak bisa berpikir lebih lama
lagi. Suara kain robek yang terdengar dari bawah, disusul jerit ketakutan
seorang wanita memaksanya bertindak cepat
Brakkk...! Atap rumah itu hancur berantakan ketika Dewa
Arak menghajarnya. Karuan saja hal itu mengejutkan Raksasa Rimba Neraka. Padahal
laki-laki tinggi besar itu baru saja menindih tubuh wanita yang tak lain dari
Kami. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya.
Wuuuttt...! Serentetan angin pukulan yang mengandung
hawa panas telah menyambar ke arah Raksasa Rimba Neraka, ketika kedua kakinya
hinggap di tanah.
Sebentar kemudian, meluncur sesosok bayangan ungu dari atap yang telah ambrol.
"Hih...!"
Tidak ada jalan lain bagi Raksasa Rimba
Neraka, kecuali melompat menghindar. Laki-laki tinggi besar itu menyadari betul
kalau angin pukulan yang menyambarnya itu mengandung tenaga dalam yang
amat kuat. Dan ia tidak berani berlaku ceroboh.
Brakkk...! Tembok yang terbuat dari tembok batu itu
ambrol terhantam tubuh si raksasa yang menabraknya dalam upaya keluar ruangan.
Blarrr...! Lantai tempat kakek tinggi besar tadi berdiri
langsung ambrol, ketika angin pukulan Dewa Arak
yang tidak mengenai sasaran menghantamnya. Tampak sebuah lubang besar tercipta
akibat pukulan itu.
"Hup...!"
Secepat kedua kakinya mendarat di tanah,
secepat itu pula Dewa Arak memalingkan wajahnya. Di sebuah pembaringan nampak
tergolek seorang gadis dalam keadaan tanpa busana! Kulitnya yang putih
mulus, dan lekuk-lekuk tubuhnya yang menggairahkan membuat Dewa Arak menelan
ludah. Melihat keadaan gadis ini yang diam tidak
bergerak, Dewa Arak segera saja tahu kalau gadis ini tertotok lumpuh. Arya
segera bergerak mendekati.
Tentu saja, mau atau tidak mau tubuh yang mulus
indah dan menantang itu terlihat olehnya. Jantung pemuda berambut putih
keperakan ini berdebar tegang. Kedua tangannya terasa dingin. Darah kelaki-lakiannya seketika bergolak.
Sambil menarik napas untuk menenangkan
hatinya yang terguncang, Arya menggerakkan tangannya membuka totokan yang membuat gadis itu lumpuh.
"Cepat kenakan pakaianmu, dan pergilah...!"
perintah Arya sambil melesat keluar, melalui lubang di tembok yang dibuat
Raksasa Rimba Neraka tadi.
Kami buru-buru mencari pakalan, dan dengan
tergesa-gesa mengenakannya. Dalam hati ia bersyukur, di saat terakhir muncul
seorang yang menolongnya.
Sementara itu begitu keluar dari ruangan, Dewa
Arak terkejut. Ternyata di luar telah menanti banyak sekali sosok tubuh. Tapi
yang menjadi perhatian Arya hanya satu, yaitu sosok yang tingginya satu setengah
kali manusia biasa. Siapa lagi kalau bukan Raksasa Rimba Neraka yang amat
tangguh. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak
segera meraih guci dari punggungnya. Kemudian
diangkatnya ke atas kepala, dn
dituangkan ke mulutnya Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar begitu arak itu
memasuki mulutnya. Sesaat kemudian langkahnya
pun mulai sempoyongan.
"Ha ha ha...! Kiranya kau orangnya!" Pantas begitu usilan!" teriak Raksasa Rimba
Neraka keras, begitu melihat Dewa Arak keluar dari ruangan itu.
Memang dia sudah merasakan kehebatan pemuda
berambut putih keperakan itu tadi siang, terutama tenaga dalamnya.
"Hiyaaa...!"
Kali ini di luar kebiasaannya, Dewa Arak
mendahului menyerang. Pemuda ini bermaksud membuat repot Raksasa Rimba Neraka agar Ka mi
dapat meloloskan diri.
Wuuuttt..! Guci di tangan kanannya diayunkan deras ke
arah kepala si raksasa itu. Angin keras mengiringi tibanya serangan itu.
Raksasa Rimba Neraka yang sudah mengetahui
kelihaian pemuda di hadapannya, memang sejak tadi sudah bersiap siaga.
Pertarungan tadi siang memang membuatnya penasaran bukan main. Selama puluhan
bahkan mungkin ratusan kali bertanding, belum
pernah 'Ilmu Pukulan Tinju Geledek' miliknya ditahan lawannya. Tapi ternyata
Dewa Arak ternyata mampu membuat ilmu andalannya itu tidak berdaya. Ingin
dibuktikannya sekali lagi, apakah memang pemuda
pemabukan ini mampu membuat ilmu andalannya itu
tidak berdaya" Maka tanpa ragu-ra gu lagi, diangkat tangan kirinya melindungi
kepala. Klanggg...! Benturan keras yang terjadi antara guci Dewa
Arak dengan tangan kiri Raksasa Rimba Neraka,
menimbulkan suara berdentang nyaring. Tampak
tubuh kakek tinggi besar itu terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Begitu pula Dewa Arak.
Seperti kejadian sebelumnya, tenaga dalam mereka memang berimbang.
Berkat keisrimewaan ilmu 'Belalang Sakti',
Dewa Arak lebih dulu berhasil mematahkan daya
dorong yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung.
Dan kini, kembali tubuhnya melesat menyambar,
sementara gucinya sudah terikat kembali di punggung.
Entah kapan dan bagaimana caranya, guci itu telah berada di punggung kembali.
Bahkan Raksasa Rimba Neraka sendiri tidak tahu.
Yang diketahui laki-laki bertubuh raksasa itu,
kedua tangan Dewa Arak dengan kecepatan tinggi menyambar bertubi-tubi. Gerakan
tangannya begitu aneh, mengancam pelipis dan ubun-ubunnya. Raksasa Rimba
Neraka kaget bukan main. Posisinya tidak memungkinkan untuk menangkis serangan yang nantinya hanya akan memperburuk keadaan. Maka
buru-buru dibanting tubuhnya ke tanah kemudian
bergulingan menjauh.
Dan tepat pada saat itu, Kami melesat keluar
dari kamar. Namun sayang, ternyata di luar bukan hanya
ada Raksasa Rimba Neraka saja. Di situ juga ada
Gajula, Toga, dan puluhan anak buahnya. Maka begitu gadis itu keluar, segera
mereka mengurungnya.
Dewa Arak sadar kalau keadaan itu amat
berbahaya. Kalau tidak bertindak keras, sulit baginya untuk membawa keluar gadis
itu. Raksasa Rimba
Neraka kelihatannya terlalu tangguh untuk ditaklukkan. "Hiyaaa...!"
Tiba-fiba Dewa Arak berteriak keras. Kedua ta-
ngannya dihentakkan ke depan. Inilah jurus 'Pukulan Belalang' yang jarang sekali
digunakan, kalau tidak terpaksa sekali.
Wuuusss...! Angin berhawa panas menyambar deras ke arah
kerumunan orang yang menghadang langkah Kami.
Bresss...! Beberapa sosok tubuh terlempar jauh, kemudian ambruk ke tanah dan terguling-gullng jauh.
Sekujur tubuh mereka hangus. Dari mulut, hidung, dan telinga mengalir darah
segar. Mereka memang
tewas seketika! Sementara itu Toga, Gajula, dan
belasan orang lain yang berhasil menyelamatkan diri, bergidik ngeri melihat
akibat angin pukulan itu.
"Cepat pergi...!" teriak Arya ketika melihat gadis yang diusahakan setengah mati
untuk lotos dari situ, malah terbengong-bengong.
Bentakan Dewa Arak berhasil menyadarkan
Kami dari ketertegunannya. Segera gadis ini bergerak kabur
dari situ. Tapi Toga dan Gajula tidak membiarkannya lolos! Dan cepat-cepat mereka bergerak mengejar.
Dewa Arak tidak bisa membantu Kami lagi,
karena tampak Raksasa Rimba Neraka itu sudah
berhasil memperbaiki posisinya. Terpaksa dipusatkan perhatiannya lagi pada kakek
raksasa ini kalau masih ingin hidup.
"Hih...!"
Arya menggertakkan gigi. Kembali kedua tangannya dihentakkan ke depan.
Wusss...! Raksasa Rimba Neraka tidak mau kalah.
Dikepalkan kedua tangannya, lalu dipukulkan ke
depan. "Hiyaaa...!"
Wuuusss...! Blarrr...! Dua tiupan angin pukulan yang sama-sama me-
ngandung hawa panas itu bertemu di udara. Ledakan keras luar biasa terjadi
bagaikan gunung runtuh. Keadaan di sekitar tempat itu bergetar hebat bagai
dilanda gempa. Bahkan bangunan-bangunan yang
berada di sekitar tempat itu pun bergetar hebat!
Tapi yang lebih hebat lagi, adalah yang dialami
kedua tokoh sakti yang tengah bertarung itu. Baik tubuh Dewa Arak maupun tubuh
Raksasa Rimba Neraka, sama-sama terjengkang ke belakang. Dan
serentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh
masing masing. "Akh...!"
Terdengar pekikan

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertahan, disusul terhuyungnya tubuh Kami. Rupanya Toga dan Gajula berhasil mengejarnya. Dan dalam
keadaan kondisi
tubuh yang kurang sehat, Kami tidak mungkin mampu menghadapi kedua orang lihai
itu. Segera saja gadis itu terdesak hebat. Sampai akhirnya, sebuah pukulan
telak Toga berhasil mendarat di dadanya.
Walaupun sekujur tubuh Dewa Arak dilanda
rasa panas, tapi tidak separah yang diderita Raksasa Rimba Neraka! Dan ketika
melihat keadaan Kami, Arya menggertakkan gigi menahan kemarahan yang meluap.
Kemudian tubuhnya melesat ke tempat Gajula dan
Toga yang tengah mengeroyok Kami.
Karuan saja Gajula dan Toga menjadi gentar
bukan main, karena sudah melihat kedahsyatan
pemuda berambut putih keperakan itu. Maka begitu melihat tubuh
pemuda itu melayang mendekati,
keduanya pun berlari menghindar.
Tappp...! Tanpa menghhaukan Toga dan Gajula, Dewa
Arak segera menyambar tubuh Kami yang sudah
limbung itu. Dipondong dan dibawanya gadis itu kabur dari situ.
Tak ada seorang pun yang berani menghalangi
kepergian Dewa Arak. Sedangkan Raksasa Rimba
Neraka, orang satu-satunya yang dapat menahan Arya, tengah sibuk mengusir
serangan hawa panas yang
merayap di sekujur tubuhnya. Maka, tanpa mengalami kesulitan sama sekali Kami
dapat lolos dibawa Dewa Arak.
"Hup...!"
Ringan tanpa suara kedua kaki Arya hinggap di
tanah, di luar pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung milik Toga. Tubuhnya
tampak terhuyung begitu kedua
kakinya mendarat di tanah, tapi tidak dipedulikan. Dan terus berlari. Walaupun disadari kalau dirinya telah terkena
serangan hawa panas, pemuda itu juga tidak mempedulikan. Padahal kalau tidak
segera diusir akan mengakibatkan luka dalam.
Arya terus berlari cepat, walaupun tempat
tinggal kepala desa itu telah jauh dilewatinya. Dan kini perasaan pening mulai
menjalari kepala Dewa Arak.
Seketika pemuda berambut putih
keperakan ini memperlambat larinya. Dan di saat itu terdengar
sebuah bentakan nyaring.
"Manusia cabul! Lepaskan wanita itu!" Belum habis gema suara bentakan itu,
sesosok bayangan yang belum terlihat jelas telah menyerangnya. Dan Arya mencoba
mengelak, tapi keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan begitu menyulitkannya.
Bukkk...! Pukulan dari sosok bayangan itu telak mengenai pangkal lengannya.
"Akh...!"
Dewa Arak mengeluh tertahan, dan tubuhnya
langsung terjengkang. Dan dengan demikian, tubuh Kami
yang tengah dipondongnya terlepas dan terlempar. Tapi sebelum tubuh gadis itu terjatuh di tanah, si penyerang telah
terleblh dulu bergerak.
Tappp...! Tubuh Kami berhasil ditangkap orang itu.
Arya menggeleng-gelengkan kepalanya. Hawa
panas yang menyerang membuat pandangannya berkunang-kunang. Sehingga, Dewa Arak kini tidak bisa melihat jelas sosok tubuh
di hadapannya. Tapi bentuk tubuh pemuda itu masih bisa dikenali. Jelas, dia
adalah murid Pengemis Tongkat Merah. Dan kini samar-samar terdengar ucapan si
penyerang. "Kau tidak apa-apa, Kami?"
Tampaklah si penyerang tengah meletakkan
gadis itu di bawah sebatang pohon. Pikiran Arya yang cerdas segera saja dapat
menduga kalau pemuda itu adalah teman wanita yang ditolongnya. Itu terbukti dari
ucapannya tadi. Memang tadi gadis itu sempat
mengenalkan nama padanya. Dan nama Kami adalah
nama yang disebutkan gadis itu. Jadi kemungkinan pemuda itu salah paham padanya.
Dan kini, tampak pemuda teman Kami itu hendak menyerang Dewa
Arak. "Tahan...," ucap Dewa Arak lemah. Digoyang-goyangkan tangannya di depan
dada. Tapi Sapta kelihatannya sudah marah bukan
main ketika melihat pemuda berambut putih keperakan itu membawa lari orang yang dicintainya.
Dia tidak mempedulikan cegahan itu. Keadaannya yang waktu itu setengah sadar,
membuatnya lupa kalau
pemuda yang berada di hadapannya inilah yang telah menolong dirinya dan gurunya.
Apalagi saat itu
kemarahan tengah melanda hatinya. Kembali tangannya bergerak melancarkan serangan.
Dewa Arak kaget sekali. Walaupun tidak melihat
jelas serangan itu, tapi dari suara desir angin saja dapat diketahui kalau
pemuda di hadapannya tengah menyerangnya
secara ganas! Padahal, bukankah pemuda itu tahu kalau dialah yang telah menyelamatkan dirinya dan gurunya dari keganasan Raksasa Rimba Neraka" Kenapa
kini pemuda itu
hendak membunuhnya"
Perasaan penasaran dan keinginan untuk menyelamatkan nyawanya yang hanya satu-satunya,
membuat Dewa Arak jadi mata gelap.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuusss...! Angin berhawa panas menyambar deras memapak serangan Sapta. Pemuda tinggi besar ini
menjadi kaget bukan main. Cepat dilempar tubuhnya ke samping, dan bergulingan di
tanah. Brakkk...! Sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa
hancur berantakan ketika angin pukulan Dewa Arak yang tidak mengenai sasaran
menghantam. "Huakkk...!"
Tiba-tiba Dewa Arak memuntahkan darah segar
dari mulutnya. Memang karena pengerahan tenaga
yang dipaksakan, akibatnya hawa panas yang menyebar di seluruh tubuh telah melukainya.
Tapi Arya tidak memperdulikannya. Segera dia
melesat kabur dari situ, meninggalkan Sapta yang masih terpaku menatap akibat
angin pukulan yang
dilepaskan Dewa Arak.
6 "Okh...,"
Kami mengeluh lirih. Sepasang matanya yang berbulu lenrik mengerjap-ngerjap. Gadis ini memang jatuh
pingsan sewaktu Dewa Arak
terjengkang diserang Sapta.
Sementara Sapta yang sejak tadi menunggui
Kami yang tergolek pingsan, seketika menjadi berseri-seri wajahnya begitu
melihat gadis itu sadar.
"Eh! Di mana dia...?" tanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah
ini. Sepasang matanya
berkeliaran ke sana kemari, seolah-olah mencari
sesuatu. "Mencari siapa, Kami?" Sapta balas bertanya.
Kecewa juga hatinya, melihat betapa gadis itu
sepertinya tidak memperhatikan dirinya.
"Pemuda yang menolongku...."
Ada suatu perasaan aneh yang menyelinap di hati gadis ini ketika teringat Dewa Arak.
Wajahnya jantan, keperkasaan, dan tindak-tanduknya yang begitu tenang, begitu
mengagumkan hatinya.
Seketika wajah pemuda berhidung melengkung
ini berubah. "Siapa?"
"Pemuda berambut putih keperakan," jelas Kami. "Pemuda yang memondongmu?" tanya
Sapta. Ada nada tidak senang dalam suara itu.
Kami tentu saja merasakan
adanya nada ketidak-senangan dalam suara itu. Sepasang alis yang bagus bentuknya itu pun
berkerut. Ditatapnya wajah pemuda di hadapannya itu lekat-lekat. Mendadak
terbayang kembali, sesosok bayangan yang memukul pemuda yang memondongnya
sehingga tubuhnya
terlempar, dan jatuh pingsan.
"Jadi..., jadi kau rupanya yang menyerang pemuda itu sampai terjengkang"!"
Pucat wajah Sapta seketika. Tapi pantang
baginya menyembunyikan perbuatannya.
"Ya!"
jawabnya tegas. "Akulah yang menyerangnya!"
"Lalu, ke mana dia"!" desak Kami. Tajam dan keras nada suaranya.
"Kabur! Sehabis melepaskan pukulan yang
menimbulkan akibat mengerikan pada pohon itu!"
sahut Sapta sambil menunjuk pohon yang terkena
angin pukulan Dewa Arak.
Kami menolehkan kepalanya, memandang ke
arah telunjuk tangan Sapta. Meremang bulu kuduk
gadis itu melihat pohon yang begitu besar, hancur berantakan. Beberapa saat
lamanya putri angkat Pengemis Tongkat Merah ini terpaku.
"Aku tahu pasti, tidak akan mungkin dia
melepaskan pukulan sedahsyat itu kalau nyawanya
tidak terancam. Aku tahu dia terluka dalam. Karena berkali-kali sewaktu
membawaku lari, langkahnya
sempoyongan dan hampir jatuh."
Sapta menghela napas. "Memang kuakui, Kami.
Pemuda itu berusaha mencegah seranganku."
"Dan yang pasti, kau menyerangnya dengan sebuah pukulan mematikan, bukan?" selak
Kami berapi-api. ' Tidak mungkin dia bertindak demikian hingga mengeluarkan
pukulan yang sangat menguras tenaga.
Kau tahu, saat itu dia telah terluka dalam karena bertarung melawan Raksasa
Rimba Neraka dan antek-antek musuh besarmu! Kalau tidak, jangan harap kau dapat
merubuhkannya!"
Sapta mengangkat kepalanya. Kesal juga pemuda ini disalahkan terus-menerus.
"Kuakui, aku memang salah. Tapi itu tidak
berarti kau terus membela pemuda itu! Aku terpaksa menyerangnya, karena khawatir
pemuda itu akan
berbuat tidak baik kepadamu!"
Kami tersadar seketika. Memang disadari kalau


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sikapnya tidak adil. Sapta sebenarnya sama sekali tidak bersalah. Pemuda itu
terpaksa berbuat demikian karena khawatir akan keselamatan dirinya.
"Maafkan aku, Kang," ucap gadis itu pelan.
Sapta tersenyum pelahan. Kecerahan pada wajahnya pun nampak kembali.
' Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau sama
sekali tidak bersalah. Tapi yang jelas, aku bersalah pada pemuda penolongmu itu.
Kelak bila berjumpa
kembali dengannya, aku akan meminta maaf," jelas Sapta.
Pemuda ini memang mengakui kalau hatinya
terbakar api cemburu terhadap Dewa Arak. Akibatnya, dia menyerang lebih dulu.
Kami hanya dapat mengangguk.
"Nah, sekarang mari kita menemui Guru," ajak Sapta. "Heh"! Kita kembali ke
perguruan"!" Langkah kaki Kami seketika terhenti.
"Tentu saja tidak!"
"Lalu"!"
"Guru memang telah berada di desa ini," jelas Sapta.
"Ayah ada di desa ini"!" tanya Kami setengah tidak percaya.
"Ya!" jawab Sapta membenarkan. Kemudian diceritakan semuanya. Sejak dirinya
tertangkap sampai dibawa kabur gurunya.
"Dan ketika kami berdua merasa lapar, aku
pamit pada Guru untuk berburu binatang. Siapa
sangka aku melihat sesosok bayangan tengah memanggul tubuh wanita. Karena curiga, dia kuikuti.
Kutinggalkan kelinci yang telah kudapatkan. Sinar bulan membantuku untuk
mengetahui kalau kaulah
orang yang dibawa lari orang itu. Dan seterusnya kau sendiri pun tahu."
Kami mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat
kemudian, keduanya terperangkap dalam keheningan.
"Sekarang, mari kita berangkat," ajak Sapta.
Setelah berkata demikian, tubuh Sapta pun
melesat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh ringkat tinggi, agar cepat
sampai ke tujuannya. Kami pun segera melesat mengikuti. Tak lama kemudian
suasana di sekitar tempat itu pun kembali sepi.
*** Pengemis Tongkat Merah bangkit berdiri. Pende-
ngarannya yang tajam menangkap suara langkah kaki.
Semula kakek ini menyangka kalau Sapta-lah pemilik langkah kaki itu. Pemuda itu
memang sejak tadi
ditunggunya. Tapi, ketika telinganya menangkap dua langkah kaki mendekati
tempatnya, kecurigaannya pun timbul.Dalam sekejap pikiran kakek pengemis ini
berpu-tar. Tiba-tiba....
"Hup...!"
Ringan tanpa suara, kedua kakinya hinggap di
cabang sebuah pohon. Dari sini mudah baginya untuk mengetahui, apakah yang
datang itu kawan ataukah lawan. Berkat sinar bulan yang cukup terang, kakek ini
dapat melihat cukup jelas, dua orang yang melangkah mendekati tempatnya. Dan
begitu jelas teriihat orang yang bergerak mendekatinya, kegembiraan kakek ini
pun meledak! Tampak di bawah sana Sapta dan seorang gadis
yang membuatnya gembira bukan main! Betapa tidak"
Karena gadis itu adalah Kami! Anak angkatnya yang menurut cerita Sapta tertawan
Raksasa Rimba Neraka.
Semula begitu mendengar anak angkatnya
tertangkap, Pengemis Tongkat Merah sudah tidak
mempunyai harapan lagi akan keselamatan Kami. Dia telah mendengar kebiasaan
terkutuk tokoh Rimba
Neraka yang menggiriskan itu. Selain kebiasaannya memakan
daging manusia, dia juga suka mempermainkan wanita!
Sebenarnya kakek itu bersama Sapta sudah
menyusun rencana untuk membebaskan Kami, sehabis mengisi perut. Berhasil atau
tidak bukan masalah.
Demikian keputusan mereka berdua.
Tapi kenyataannya, kini gadis itu berjalan
bersama muridnya dalam keadaan selamat. Apakah
Sapta telah pergi ke sana seorang diri dan menyelamatkannya" Ataukah gadis itu sendiri yang berhasil menyelamatkan diri"
"Hup...!"
Ringan tanpa suara Pengemis Tongkat Merah
mendaratkan kedua kakinya di tanah, tepat di depan Sapta dan Kami. Tentu saja
Sapta dan Kami kaget
bukan main. Seketika seluruh urat syaraf di tubuh mereka
menegang, bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tapi begitu mengenali orang yang secara mendadak berada di hadapan
mereka, seketika itu juga urat-urat
syaraf di tubuh keduanya kembali mengendur. "Guru...!" seru Sapta.
"Ayah...!" ujar Kami tak mau kalah. Kedua tangannya langsung dikembangkan.
Ditubruknya ayah
angkatnya. Pengemis Tongkat Merah memeluk tubuh anak
angkatnya erat-erat. Diusap-usapnya rambut tebal dan hitam milik gadis itu.
Suaranya terdengar tersendat.
"Ayah hampir tidak percaya melihatmu, Kami.
Menurut penuturan Sapta, kau ditangkap Raksasa
Rimba Neraka. Ba gaimana kau bisa lolos dari tangan raksasa itu?"
Kami melepaskan pelukannya. Ditatapnya wajah kakek kurus kering di hadapannya dalam-
dalam. Sepasang mata gadis ini nampak memerah.
Memang, kini rasa takut belum sepenuhnya hilang dari hati Kami. Rasa takut akan
terjadinya sesuatu yang mengerikan,
dan hampir menghaneurkan masa depannya. "Seseorang telah menolongku, Ayah."
"Ah...!" Pengemis Tongkat Merah berseru kaget.
Siapa orang yang berani mati membebaskan tawanan Raksasa
Rimba Neraka itu" Perasaan bingung menggayuti hatinya.
"Apakah orang itu Sapta?" tanya kakek itu dalam hati.
Seketika wajah pemuda tinggi besar itu memerah. Jawaban gurunya itu mengingatkan, betapa dia telah melakukan perbuatan
tercela. Dia telah melukai penolong Kami, walaupun hal itu tidak
disengaja. "Dewa Arak, Ayah," tegas Kami.
"Dewa Arak..."!" teriak kakek pengemis ini kaget.
Kami menganggukkan kepala membenarkan.
Lalu gadis berpakaian jingga itu pun menceritakan semuanya. Dari mulai
kedatangan Dewa Arak di saat ancaman mengerikan hampir menimpanya, sampai De-wa
Arak terluka oleh Sapta karena kesalahpahaman.
"Ah...! Memang, berita tentang keluhuran budi Dewa Arak tidak berlebihan.
Walaupun kita sama
sekali bukan kerabat atau sahabatnya, ia rela
mempertaruhkan nyawa untuk menolongmu. Sungguh
besar budi yang kita terima darinya! Entah kapan dapat membalasnya...," keluh
kakek itu. "Dan kau, Sapta. Ingat, kau harus meminta maaf padanya atas
perbuatanmu itu. Mengerti"!"
"Mengerti,
Guru," pemuda berhidung melengkung itu menganggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang pangganglah dulu kelinci hasil tangkapanmu itu, Sapta!" ujar
Pengemis Tongkat Merah mengalihkan pembicaraan.
Sapta segera mengerjakan perintah gurunya,
membakar kelinci yang sejak tadi dijinjingnya. Tak la-ma
kemudian mereka pun sudah sibuk mempersiapkan semuanya.
*** Seorang kakek bertubuh tinggi besar, satu sete-
ngah kali manusia biasa, bergerak cepat mendaki Lereng Gunung Jarak. Kakek
tinggi besar ini adalah Raksasa Rimba Neraka. Tujuannya mendaki gunung
itu jelas mencari Pengemis Tongkat Hitam. Dan dari penduduk yang tinggal di
sekitar lereng gunung itu, Raksasa Rimba Neraka telah tahu markas Perguruan
Tongkat Merah. Raksasa Rimba Neraka memang mempunyai
aturan aneh. Setiap lawan yang telah kalah olehnya harus mati. Pengemis Tongkat
Merah memang telah
dikalahkan. Tapi karena keburu ada yang menolong, kakek kurus kering ini tidak
tewas di tangannya.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkatan tinggi, tak lama kemudian Raksasa Rimba Neraka telah
menemukan tempat itu. Kakek
raksasa itu memandangi bangunan yang terbuat dari bilik bambu, dan mempunyai
halaman luas yang
dikelilingi pagar bambu tinggi. Di atas pintu gerbang, terpampang papan lebar
yang bertuliskan huruf-huruf yang berbunyi 'Perguruan Tongkat Merah'.
Hanya beberapa kali lompatan saja, kakek
raksasa ini sudah berada di depan pintu gerbang. Dan tiba-tiba dua orang murid
perguruan yang berjaga di depan pintu gerbang, langsung menghadang langkah kakek
ini Mereka saling memiringkan tongkat berwarna merah yang digenggam, sehingga
membentuk tanda
silang. "Siapa Kisanak ini" Mengapa memasuki daerah kekuasaan Perguruan Tongkat
Merah?" tanya salah seorang
yang berjaga-jaga. Wajahnya nampak memancarkan kekagetan melihat tubuh kakek yang
berdiri di hadapannya. Sikap keduanya nampak
waspada. Melihat dandanan kakek di hadapan mereka ini saja, mereka sudah bisa
memperkirakan kalau
kakek ini bukanlah tokoh baik-baik.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa bergelak. "Aku datang untuk membunuh
Pengemis Tongkat
Merah! Sekaligus ingin menghancurkan perguruan ini!"
"Keparat..!" teriak salah seorang dari penjaga itu. Tongkat merah di tangannya
pun disabetkannya.
Tujuannya mungkin kepala. Tapi karena si penjaga ini ukuran tubuhnya biasa saja,
sementara Raksasa
Rimba Neraka memiliki tubuh di atas sewajarnya,
maka serangannya pun hanya mengancam bawah
pundak kakek raksasa itu.
Raksasa Rimba Neraka tersenyum mengejek.
Dibiarkan saja sabetan tongkat ke arah pangkal
lengannya itu Bukkk...! Krakkk..."
Telak dan keras sekali tongkat itu menghantam
sasarannya. Tapi akibatnya, tongkat yang menghajar pangkal lengan Raksasa Rimba
Neraka justru yang
patah! "Ha ha ha...!" kembali kakek tinggi besar itu tertawa terbahak-bahak.
Berbarengen dengan itu, kedua tangannya diulurkan ke depan.
Tappp...! Tappp...!
Tanpa kedua penjaga itu sempat berbuat apa-
apa, kuduk keduanya sudah dicengkeram tangan si
raksasa itu. "Akh...!"
"Ah...!"
Kedua penjaga itu memekik tertahan. Dirasakan
tulang leher belakang mereka patah-patah. Belum lagi mereka sempat berbuat
sesuatu, tangan Raksasa
Rimba Neraka bergerak.
Prakkk...! Terdengar suara berderak keras ketika kedua
kepala penjaga yang sial itu diadu satu sama lain.
Cairan kental berwarna kemerahan, berikut cairan kental berwarna keputihan
langsung muncrat dari
kepala yang pecah itu. Tidak ada lagi suara yang terdengar. Dan ketika kakek
tinggi besar itu melepaskan cengkeramannya, tubuh kedua penjaga yang sial itu
pun ambruk ke tanah. Mati.
Tentu saja keributan yang terjadi di depan pintu gerbang itu, segera mengundang
murid-murid lainnya.
Dalam waktu sekejap saja, seluruh murid Perguruan Tongkat Merah yang berjumlah


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar dua belas orang berkumpul di depan Raksasa Rimba Neraka dengan
sikap mengancam.
Dapat dibayangkan
betapa marahnya hati
mereka, melihat kematian rekan mereka yang begitu mengerikan. Tanpa banyak tanya
lagi mereka pun
bergerak menyerbu.
"Hiyaaa...!"
"Haaattt..!"
Dengan didahului jerit melengking nyaring,
tongkat-tongkat
mereka pun berkelebat cepat menyambar ke arah berbagai bagian tubuh Raksasa
Rimba Neraka. Bukkk...! Bukkk...! Takkk...!
Suara berdebukan terdengar susul-menyusul
ketika hujan serangan tongkat itu, mendarat pada sasaran
masing-masing. Raksasa Rimba Neraka memang tidak menghindari semua serangan itu.
Dengan tenaga dalamnya yang jauh di atas lawan-
lawannya, pukulan tongkat-tongkat
itu tidak berpengaruh apa-apa. Bahkan sebagian besar tongkat yang menghantam sasarannya
patah-patah. "Sekarang giliranku...!" ucap raksasa itu keras ketika
tidak ada lagi hujan serangan tongkat menyambarnya. Belum lagi gema suara ucapannya
lenyap, tangan kakek raksasa itu bergerak ke sana kemari. Sederhana saja
gerakannya, tapi akibatnya hebat bukan main. Ke manapun tangannya bergerak,
sudah dapat dipastikan ada satu jiwa yang melayang.
Jerit kematian terdengar saling susul dibarengi
berjatuhannya tubuh-tubuh yang sudah ditinggalkan nyawanya.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking panjang, mengiringi
robohnya dua orang terakhir yang masih hidup.
"Ha ha ha...!"
Raksasa Rimba Neraka kembali mengumandangkan tawanya ketika melihat tidak ada lagi sosok tubuh yang masih
berdiri. Semuanya telah tewas dalam keadaan mengerikan.
Tapi rupanya kakek tinggi besar ini belum puas
terhadap semua perbuatan yang dilakukan. Didekatinya sebatang pohon sebesar pelukan orang dewasa yang berdaun lebat.
Setelah jarak antara dirinya dengan pohon itu
hanya sekitar tiga tombak, raksasa ini menjulurkan kedua tangannya ke depan.
Kemudian pelahan-lahan tangannya dikepalkan. Suara berkerotokan
keras terdengar ketika kakek tinggi besar ini mengepalkan tangannya.
Lambat tapi penuh tenaga, kedua tangan yang
telah terkepal keras itu ditariknya ke pinggang. Suara berkerotokan semakin
terdengar keras ketika kedua tangan itu ditarik.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras melengking yang membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, Raksasa Rimba Neraka memukulkan kedua
tangannya yang terkepal itu ke depan.
Wuttt...! Bresss...! Pralll...!
Angin berhawa panas menderu keras, lalu
menyambar ke arah rerimbunan dedaunan. Dan
secepat angin pukulan itu mengenai rerimbunan
dedaunan itu, secepat itu pula dedaunan itu terbakar!
Dalam waktu sekejap saja, api telah berkobar besar.
"Haaat...!"
Sekali lagi Raksasa Rimba Neraka memukulkan
kedua tangannya ke depan. Kali ini ke arah batang pohon besar itu.
Wuuusss...! Braaakkk...! Pohon itu langsung rubuh ketika angin pukulan
kakek tinggi besar itu menghantamnya. Tampak bagian dalam batang pohon itu
hangus bagai terbakar!
"Hih...!''
Kembali kakek raksasa ini menggerakkan
tangannya, tapi dengan gerakan berbeda dengan
sebelumnya. Kali ini Raksasa Rimba Neraka melakukan gerak mendorong!
Wusss...! Wuk...! Brakkk...!
Hebat luar biasa tenaga dalam yang dimiliki
Raksasa Rimba Neraka ini. Dengan angin pukulannya, pohon itu didorong sehingga
jatuh tepat di depan salah satu bangunan Perguruan Tongkat Merah.
Seketika itu juga api yang tengah membakar po-
hon itu, menjalar ke arah bangunan berdinding bilik bambu. Mendapat sasaran yang
memang mudah terbakar ini, api pun lebih cepat berkobar.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa terbahak-bahak,
memandangi api yang berkobar melahap bangunan itu. Sekujur tubuhnya nampak
penuh keringat. Napasnya pun
memburu hebat. Memang apa yang baru saja dilakukannya, banyak
menguras tenaga.
Sebenarnya kalau kakek raksasa ini hanya
ingin membakar bangunan itu, tidak perlu bersusah payah seperti itu. Dia bisa
langsung mengerahkan
'Tinju Geledek' pada dinding bangunan dari bilik itu.
Dan itu akibatnya sama saja. Dan memang, Raksasa Rimba Neraka sebenarnya hanya
ingin mengetahui
kemampuan dirinya. Dan ternyata memang mampu!
"Ha ha ha...!" Diiringi tawa terbahak-bahak, di-tinggalkannya tempat yang
pelahan namun pasti mulai habis dimakan api! Namun tanpa diketahui, ada
sesosok tubuh yang berlari meninggalkan tempat itu.
*** "Keparat...!" Pengemis Tongkat Merah memaki.
Wajah kakek kurus kering ini nampak merah padam.
Kedua tangannya terkepal erat. Terdengar suara
bergemeletak dari tulang-rulang tangan yang mengepal itu.
Dipandangi dalam-dalam sosok tubuh di hadapannya. Sosok tubuh muridnya yang berhasil
melarikan diri sewaktu Raksasa Rimba Neraka mengamuk di sana. Sapta dan Kami pun nampak
pucat wajahnya.
"Benarkah ciri-ciri orang yang kau sebutkan itu, Kantara?" tanya kakek pengemis
ini lagi, untuk memastikan.
"Benar, Guru."
Pengemis Tongkat Merah mengangkat wajahnya. "Kalau begitu, aku harus membalas perlakuannya! Mati pun tidak mengapa, asal berhasil membunuh kawanan mereka
sebanyak-banyaknya!"
"Aku ikut, Ayah!" tegas Kami buru-buru.
"Aku juga, Guru!" Sapta tak mau kalah.
"Begitu pula aku, Guru," pinta Kantara.
Kakek kurus kering ini, memandangi wajah
anak dan murid-muridnya satu persatu. Ada nada
kebanggaan terpancar di mata kakek ini.
"Sudah dipertimbangkan
masak-masak keputusan kalian itu?"
"Sudah, Guru!" sahut mereka serentak.
"Sekalipun taruhannya adalah nyawa kalian
sendiri?" "Kami tidak takut!"
"Bagus! Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak kakek itu seraya beranjak dari
situ. Sapta, Kami dan Kantara, berjalan mengikuti.
Telah bulat tekad mereka untuk menumpas gerombolan Toga dan
kawan-kawannya sekalipun
harus berkorban nyawa!
7 Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Dewa
Arak berlari meninggalkan Sapta. Arya tahu kalau murid Pengemis Tongkat Merah
salah paham. Mungkin dia disangka hendak berbuat sesuatu yang tidak
senonoh terhadap gadis itu. Maka dengan itu, terpaksa ditinggalnya pemuda itu.
Tapi belum berapa jauh berlari, tubuh Dewa
Arak mulai limbung dan
akhirnya tak ma mpu
bertahan. Tanpa ampun lagi, dia terjatuh di tanah.
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda berbaju ungu itu sama sekali tidak bergerak.
Dibiarkan saja tubuhnya tergolek di tanah. Arya memang bermaksud meredakan dulu napasnya yang
memburu. Setelah alur napasnya kembali normal, Dewa
Arak beringsut mendekati rerimbunan semak yang
agak tersembunyi. Di sudut bibir pemuda itu nampak bercak-bercak
cairan darah merah. Dikeluarkan sebuah obat pulung yang terjepit di sebuah gulungan kain
yang terselip di pinggangnya. Dewa Arak mengambil sebutir, kemudian menelannya. Obat itu memang manjur untuk
menyembuhkan luka dalam.
Beberapa saat kemudian, Arya mulai diserang
rasa kantuk. Dan pelahan namun pasti, sepasang mata itu mulai mengatup. Tak lama
kemudian Dewa Arak
pun tertidur. Cukup lama juga pemuda itu tertidur. Dan
ketika terbangun, yang terasa adalah lemas yang amat sangat. Tapi, rasa nyeri
yang melanda dadanya sudah tidak ada lagi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda
berambut putih keperakan ini segera duduk bersila.
Punggungnya diluruskan, sementara kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Tak lama kemudian, Arya sudah tenggelam dalam keheningan semadi untuk
memulihkan tenaganya kembali.
Waktu berlalu tak terasa. Malam pun berganti
pagi. Tapi, Arya masih belum juga menghentikan
semadinya. Sampai matahari naik tinggi, baru pemuda itu menghentikan semadinya.
"Hhh...!"
Dewa Arak mendesah lega. Kini seluruh tubuhnya terasa segar kembali dan tenaganya pun
telah pulih. Pelahan Arya bangkit dari bersilanya. Kemudian
berdiri menyandar pada sebatang pohon. Sepasang
matanya menerawang ke depan, sementara benaknya
berpikir keras mengingat hal aneh yang dijumpainya semalam.
Memang Dewa

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arak tengah dilanda kebingungan. Mengapa Raksasa Rimba Neraka ada di rumah Kepala Desa Gebang"
Padahal menurut cerita Ki Marta, kepala desa itu adalah Toga. Dan dia itu bekas
kepala pengawal Ki Panjar. Juga sebenarnya Toga
bukan tokoh golongan hitam. Lalu, bagaimana bisa bersama Raksasa Rimba Neraka"
Tapi sampai otaknya lelah berpikir, Dewa Arak
belum juga mendapatkan jawabannya. Pemuda berbaju ungu
ini sadar kalau jawaban bagi semua pertanyaannya ada di rumah Kepala Desa Gebang.
Maka seketika tubuh Dewa Arak ini pun kembali
melesat ke sana.
Cepat bukan main gerakannya. Sehingga dalam
sekejap saja, yang nampak hanya sebuah titik hitam kecil. Dan akhirnya titik
kecil itu lenyap di kejauhan.
*** Empat sosok tubuh berkelebat cepat ke arah ru-
mah Kepala Desa Gebang. Mereka adalah Pengemis
Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan Kantara.
"Ingat, Sapta. Kau tidak perlu menghiraukan diriku. Aku akan mencoba menahan
Raksasa Rimba Neraka, dan kau cari musuh besar yang telah
membunuh keluargamu. Kami akan membantumu.
Mengeiti"!" jelas Pengemis Tongkat Merah sambil terus berlari.Sapta
menganggukkan kepalanya pertanda
mengerti. Tak lama kemudian, keempat sosok tubuh itu
pun sudah berada di depan pintu gerbang rumah besar dan megah yang berhalaman
luas itu. Rumah Kepala Desa Gebang.
Tentu saja dua orang yang menjaga pintu
gerbang itu mengenali Sapta dan Kami, yang telah menewaskan banyak teman mereka.
Dan keduanya pun sadar, kalau bukan tandingan muda-mudi yang
berkepandaian tinggi itu. Maka, seketika diputuskan untuk memberitahu teman-
teman mereka. Sebelum kedua orang itu sempat berbuat
sesuatu, Kami dan Sapta bergerak cepat. Tanpa
sungkan-sungkan
lagi mereka telah menghunus senjata masing-masing. Sapta dengan tombak pendek, dan Kami dengan pedang.
Wut...! Wuk...!
Dua buah senjata itu melesat cepat mengiringi
melesatnya tubuh mereka.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Dua jerit kematian terdengar saling susul,
mengiringi rubuhnya dua penjaga itu ke tanah. Mereka tewas dengan leher hampir
putus. Tentu saja suara jerit kematian itu menimbulkan kegemparan. Maka berbondong-bondong
anak buah Toga, melesat ke arah suara itu berasal.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, Kami, dan
Kan-ara tidak bertindak setengah-setengah
lagi. Mereka segera menyambut serbuan anak buah Toga
dengan penuh semangat. Setiap serangan yang dilancarkan, pasti membuat lawan mereka roboh dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
"Akh...!"
"Aaa...!"
Jerit lengking kematian
kembali terdengar
saling susul. Para penjaga itu bagaikan segerombolan sernut menerjang api, dan
satu persatu berguguran.
"Mundur semua...!"
Tiba-tiba terdengar seruan menggelegar, yang
membuat sekitar tempat itu sepertinya bergetar hebat.
Begitu hebatnya pengaruh bentakan itu, sehingga tanpa sadar Pengemis Tongkat
Merah, dan murid-muridnya melompat mundur. Mereka semua memandang ke
satu arah, ke tempat suara itu berasal.
Sekitar tiga tombak dari arena pertarungan,
nampak berdiri seorang kakek tinggi besar yang tak lain
Raksasa Rimba Neraka. Dia memang telah
kembali, setelah membumihanguskan
Perguruan Tongkat Merah. Di belakang kakek itu nampak berdiri Gajula dan Toga.
"Kau urusi saja musuh besarmu, Sapta. Biar
kucoba menahan raksasa itu," bisik Pengemis Tongkat Merah.
"Tapi, Guru...," Pemuda berhidung melengkung yang tahu kalau gurunya bukan
tandingan Raksasa
Rimba Neraka, mencoba membantah.
"Tidak ada bantahan lagi, Sapta! Ini perintah...!"
desis kakek pengemis itu tegas.
"Ha ha ha...!" Raksasa Rimba Neraka tertawa ter-bahak-bahak. "Tidak kusangka
kalau berani datang kemari, pengemis busuk! Apakah kali ini kau tidak akan lari
terbirit-birit lagi seperti dulu"!"
Merah wajah Pengemis Tongkat Merah.
"Raksasa Rimba Neraka! Tidak kusangka kalau kau ternyata begitu pengecut! Kau
membantai semua muridku selagi aku tidak berada di sana! Sekarang aku datang
untuk menuntut balas atas kekejianmu terhadap semua muridku!"
Setelah berkata demikian, Pengemis Tongkat
Merah segera memutar tongkatnya di depan dada.
Angin menderu keras, mengiringi putaran tongkat itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berseru keras, kakek pengemis ini
melompat menerjang. Tongkat merah di tangannya
disabetkan ke arah leher lawannya. Sedangkan Raksasa Rimba Neraka cepat-cepat mengangkat tangannya, menangkis.
Plak! Hebat akibatnya. Tubuh Pengemis Tongkat
Merah terjengkang ke belakang. Tangannya yang
menggenggam tongkat terasa sakit bukan
main. Sementara itu tubuh Raksasa Rimba Neraka hanya
bergetar saja. "Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram keras. Telah
bulat tekadnya untuk melenyapkan Pengemis Tongkat Merah, setelah kakek pengemis
itu tidak ditemukan di perguruannya. Tidak akan dibiarkan kakek pengemis ini
berhasil menyelamatkan diri lagi!
Kini kakek itu menjulurkan kedua tangannya ke
depan, kemudian mengepalkannya pelahan-lahan. Terdengar bunyi bergemeletuk seolah-olah tulang-
belulang kakek raksasa ini berpatahan. Suara itu semakin jelas terdengar ketika
Raksasa Rimba Neraka menarik kedua tangannya yang terkepal itu ke sisi pinggang.
"Hiyaaa...!"
Tangan kanan kakek raksasa yang terkepal itu
dipukulkan ke depan. Terdengar suara meledak-ledak, seolah-olah ada halilintar
menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah.
"Hup...!"
Kakek kurus kering membanting tubuhnya ke
tanah, lalu berguling-gulingan.
Blarrr...! Seketika itu juga, tanah
berlubang besar
terhantam pukulan Raksasa Rimba Neraka yang tidak mengenai sasaran.
Melihat serangannya gagal, si raksasa ini marah
bukan main. Maka dihujaninya tubuh lawannya yang tengah bergulingan itu, dengan
pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara meledak-ledak laksana halilintar.
Maka repotlah Pengemis Tongkat Merah dibuat-
nya. Tiada jalan lain baginya kecuali terns bergulingan kalau ingin selamat.
Berhenti berguling berarti berhenti pula nyawanya. Sementara itu, Sapta dan Kami
yang semula ingin
menerjang Toga dan
Gajula, jadi mengurungkan niat setelah melihat guru mereka dalam keadaan demikian. Namun
tiba-tiba.... Sraat...! Kami segera menghunus pedangnya.
Wuk...! Wuk...!
Sapta pun memutar-mutarkan
tombak pendeknya. "Hiyaaa.,.!"
Sambil memekik melengking, Kami melompat.
Dan seketika itu pula, ujung pedangnya ditusukkan ke arah
leher Raksasa Rimba Neraka yang tengah
menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan mautnya.
"Haaat...!"
Sapta pun tak ketinggalan. Pemuda berhidung
melengkung ini juga melompat. Tombak pendek di tangannya diputar-putarkan di
udara, sebelum ditusukkan ke perut Raksasa Rimba Neraka.
Menghadapi dua serangan maut ini, Raksasa
Rimba Neraka tidak bertindak ceroboh. Terpaksa
dialihkan perhatiannya dari Pengemis Tongkat Merah.
"Grrrh...!"
Sambil mengeluarkan gerengan
kemarahan, kakek raksasa ini menggerakkan tangannya menangkis. Trak...! Trak..!
"Ihhh...!"
"Ahhh...!"
Sapta dan Kami berbarengan menjerit kaget.
Tangan kedua anak muda itu yang menggenggam sen-
jata, terasa lumpuh seketika saat tangan telanjang si raksasa menangkis serangan
mereka. Belum lagi hilang rasa terkejut yang melanda
hati mereka, tangan Raksasa Rimba Neraka kembali bergerak. Dan....
Tappp...! Kreppp...!
Pedang dan tombak pendek milik kedua muda-
mudi itu tahu-tahu telah dicengkeram si raksasa. Dan Sapta dan Kami tentu saja
tidak membiarkan senjata andalan mereka terampas. Buru-buru mereka mengerahkan
seluruh tenaga yang dimiliki untuk membetot. Tapi, cekalan pada senjata mereka sama sekali tidak bergeming.
Sebaliknya, begitu Raksasa Rimba Neraka menggerakkan tangan membetot, tubuh Kami
dan Sapta pun tertarik maju
Pengemis Tongkat Merah tentu saja melihat ke-
adaan gawat yang dialami murid-muridnya itu. Maka cepat-cepat
dia melompat sambil menyabetkan tongkatnya ke kepala si raksasa. Na mun Raksasa
Rimba Neraka tentu saja tidak membiarkan kepalanya hancur tersabet tongkat kakek
kurus kering. Mau tidak mau dibatalkan betotannya pada Sapta dan Kami.
Wusss...! Tongkat merah itu lewat beberapa rambut di
depan muka kakek tinggi besar itu ketika raksasa itu menarik kepalanya mundur ke
belakang. Beberapa saat kemudian, keempat orang itu
pun sudah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Kini setelah Sapta dan Kami ikut terlibat, pertarungan berlangsung seimbang.
Sementara itu Toga, Gajula dan anak buahnya,
terpukau melihat pertandingan yang menegangkan itu.
Demikian pula dengan Kantara yang hanya berdiri
mematung tanpa memberi bantuan pada Kami dan
Sapta. Suara mendecit, menderu dan meledak-ledak mengiringi pertempuran mereka.
Batu-batu besar dan kecil beterbangan


Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak tentu arah. Debu pun
mengepul tinggi ke udara.
Tapi setelah pertarungan berlangsung tiga
puluh jurus, mulai nampak keunggulan Raksasa
Rimba Neraka yang pelahan namun pasti mulai
menguasai keadaan.
"Hiyaaa...!"
Kami berteriak nyaring. Pedang di tangannya
berkelebat ke arah tenggorokan. Suara mendesing
nyaring mengiringi tibanya serangan pedang itu.
Melihat hal ini, Raksasa Rimba Neraka menggeram. Tangan kanannya berkelebat cepat.
Takkk...! Tappp...!
"Ikh...!"
Kami berteriak tertahan. Tubuhnya melayang
deras ketika tangan
si raksasa itu menangkis,
sekaligus menangkap dan membetot. Kejadian itu
berlangsung begitu cepat dan tiba-tiba. Akibatnya gadis itu tidak mampu berbuat
apa-apa, dan membiarkan
pedangnya dirampas lawan.
"Hup...!"
Gadis berpakaian jingga itu mendaratkan kedua
kakinya di tanah, walaupun tubuhnya agak limbung.
Singgg...! Secepat pedang Kami dirampas, secepat itu pula
dilemparkan ke arah Sapta yang tengah menyerang.
Terpaksa pemuda berhidung melengkung itu memba-
talkan serangannya, dan menangkis sambitan pedang yang melesat ke arahnya.
Tranggg...! Begitu kuatnya tenaga yang terkandung dalam
lemparan pedang itu, sehingga begitu Sapta me-
nangkis, tombak di tangannya terlepas dari pegangan.
Kini leluasalah Raksasa Rimba Neraka menghujani Pengemis Tongkat Merah dengan pukulan geledeknya.
Kembali untuk yang kesekian kalinya, kakek
kurus kering itu berlompatan ke sana kemari menghindari setiap serangan lawan. Tak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Sudah
dapat dipastikan kalau tak lama lagi, kakek kurus kering ini tak akan bertahan
lama. Sadar jika keadaan seperti ini berlangsung
terus, jelas amat berbahaya baginya. Maka Pengemis Tongkat Merah bertekad
menerobos hujan pukulan
jarak jauh yang bertubi-tubi menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
Tubuh kakek pengemis itu melayang ke arah
Raksasa Rimba Neraka. Tongkat di tangannya disodokkan ke arah ulu hati. Tapi sebelum serangan itu tiba, si raksasa telah
melepaskan pukulan 'Tinju Geledek'-nya.
"Hih...!"
Wuuuttt...! Prattt...!
"Akh...!"
Pengemis Tongkat merah memekik tertahan.
Luncuran tubuhnya langsung terhenti di tengah jalan, ketika pukulan 'Tinju
Geledek' lawan menyerempet pahanya.
Dengan tubuh sempoyongan, kakek pengemis
ini hinggap di tanah. Dan selagi kakek ini belum sempat berbuat apa-apa,
serangan susulan lawan
menyambar tiba.
Wuuusss...! Angin berhawa panas menderu keras ketika
ilmu 'Tinju Geledek' itu menyambar ke arah Pengemis Tongkat Merah, yang hanya
mampu menatap dengan
mata membeliak lebar.
Di saat yang amat gawat bagi Pengemis Tongkat
Merah, dari arah
yang berlawanan, menyambar
serentetan angin berhawa panas, yang menderu
memapak serangan Raksasa Rimba Neraka.
Blarrr...! Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah pukulan
jarak jauh yang sama-sama mengandung hawa panas
bertemu di udara. Bunyi ledakan yang amat keras
terdengar, membuat suasana di tempat itu bergetar seolah terjadi gempa.
Pengemis Tongkat Merah segera membanting
tubuhnya dan bergulingan menjauh. Sementara tubuh Raksasa Rimba Neraka tampak
terhuyung. Tanpa melihat pun dia sudah dapat menduga orang yang telah mampu
membuat dirinya seperti itu.
8 Di hadapan Raksasa Rimba Neraka, tampak
berdiri tenang seorang pemuda berambut putih keperakan. Sebuah guci arak yang
terbuat dari perak, nampak tengah dituangkan ke mulutnya.
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu
memasuki tenggorokannya.
"Grrrh...!"
Raksasa Rimba Neraka menggeram. Kakek
pemakan manusia ini memang murka bukan kepalang.
Sebab, lagi-lagi Dewa Arak menggagalkan usahanya yang hampir berhasil membunuh
Pengemis Tongkat
Merah. "Hih...!"
Dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi Raksasa
Rimba Neraka segera mengeluarkan ilmu andalannya,
'Tinju Geledek'. Kedua tangannya melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah dada.
Setiap gerakan tangannya menimbulkan suara meledak-ledak bagai geledek.
Tapi berkat jurus 'Delapan Langkah Belalang',
Dewa Arak tidak mengalami kesulitan menghindari
serangan itu. Dengan gerakan terhuyung-huyung seperti akan jatuh, Arya berkelit.
Maka, setiap serangan Raksasa Rimba Neraka kandas dan mengenai tempat
kosong. Yang lebih hebat lagi, begitu mengelak, Dewa
Arak langsung berbalik mengancam lawan. Satu
keistimewaan jurus 'Delapan Langkah Belalang'!
Sementara itu, begitu melihat Raksasa Rimba
Neraka telah mendapat lawan, Sapta dan Kami tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Mereka cepat-cepat menerjang musuh besar masing-masing. Sapta menerjang Toga,
sedangkan Kami menerjang Gajula. Se-
mentara Pengemis Tongkat
Merah dan Kantara menghadapi pengeroyokan anak buah Toga.
Sapta kini telah menggenggam kembali tombak
pendeknya yang tadi terlepas dari pegangan. Dengan senjata itu diterjangnya Toga
penuh kemarahan. Tombak pendek di tangannya berputaran, menimbulkan
suara angin menderu-deru.
Toga yang telah mengetahui kelihaian pemuda
putra Ki Panjar ini, tidak mau bertindak gegabah.
Maka, segera dicabut goloknya. Dalam hati, Kepala Desa Gebang ini memaki-maki
Dewa Arak yang untuk kesekian kalinya mengacau urusannya.
Tranggg...! Tranggg...!
Dua kali berturut-turut Toga menangkis serangan Sapta. Dan akibatnya, sekujur tangannya terasa bergetar hebat. Sadarlah
si kumis melintang ini kalau tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah Sapta.
Walaupun waktu itu, Toga sudah merasakan
sendiri kehebatan tenaga dalam pemuda di hadapannya ini, tapi rasa penasaran membuatnya
mencoba mengadu tenaga kembali.
Wut...! Kembali serangan susulan tombak pendek
Sapta menyambar deras. Tombak itu berputaran
sejenak, sebelum membabat leher.
Melihat serangan ini, Toga kebingungan. Karena
tidak bisa menduga arah serangan itu sebenarnya.
Apalagi serangan itu dilakukan secara berputar, sehingga membuatnya pusing. Dan
baru setelah serang-an itu menyambar dekat, diketahuinya arah sasaran serangan
itu. Toga buru-buru mendoyongkan tubuhnya ke
belakang, sehingga serangan tombak itu lewat beberapa senti di depan lehernya. Dan begitu serangan itu lewat, tanpa membuang-
buang waktu lagi golok di tangannya ditusukkan ke bagian perut Sapta yang
terbuka lebar. Tapi murid andalan Pengemis Tongkat Merah
ini, tentu saja tidak ingin perutnya ditembus golok.
Buru-buru tusukan itu dielakkan sambil tak lupa
mengirim serangan balasan yang tak kalah berbahayanya. Kini keduanya sudah terlibat pertarungan mati-matian.
Di bagian lain, Kami tampak tengah berjuang
keras menghadapi Gajula. Murid Raksasa Rimba
Neraka ini memang cukup lihai. Dan tentu saja Kami harus menguras kemampuan
untuk melawannya.
Pedang di tangannya berkelebat cepat mencari sasaran di sekujur tubuh lawan.
Di antara para penyerbu itu, Pengemis Tongkat
Merahlah yang paling beruntung. Kakek ini hanya
menghadapi puluhan keroco. Dengan gerakan seenaknya, dirangsek lawan-lawannya.
Ke mana tongkat di tangannya bergerak, sudah pasti di situ ada sesosok tubuh yang roboh.
Jerit pekik kematian terdengar saling susul.
Dalam waktu sebentar saja, sudah delapan orang yang roboh di tangan kakek kurus
kering ini. Pengemis Tongkat Merah bertarung tidak sepenuh hati. Sepasang matanya berkeliaran memperhatikan pertempuran lainnya. Terutama pertempuran Dewa Arak melawan Raksasa Rimba
Neraka. "Akh...!"
Jerit tertahan membuat Pengemis Tongkat
Merah yang tengah enak-enaknya membunuhi

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya jadi terperanjat. Suara itu cukup dikenalnya.
Suara Kantara! Segera saja kepala kakek kurus kering itu
ditolehkan ke arah asal suara. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya, melihat
Kantara terhuyung-huyung. Di dada pemuda itu tertancap sebatang golok bergerigi
mirip gergaji yang tembus sampai ke punggung. Kalau melihat bentuknya, jelas golok itu milik
Gurat! Dan memang sejak tadi Kantara bertempur melawan Gurat.
Seketika pucat wajah Pengemis Tongkat Merah.
Apalagi ketika melihat tubuh Kantara kemudian roboh.
Kakek ini melompat meninggalkan arena pertempuran, dan langsung menerjang Gurat.
Dan memang, dia pun telah menghabisi lawan-lawannya.
Gurat kaget bukan main. Maka sebisanya dia
berusaha mengelak. Tapi gerakannya terlalu lambat bagi guru Kantara.
Prak! "Aaakh...!"
Tubuh Gurat rubuh di tanah ketika tongkat
merah di tangan kakek kurus kering itu, menghantam kepalanya hingga remuk.
Tepat saat Gurat tewas, Sapta berteriak nyaring.
Tombak pendek di tangannya melesat cepat ke arah perut Toga yang sudah terdesak.
Cepat-cepat kepala desa itu menangkis.
Tranggg...! Tangan Toga tergetar hebat. Dart di saat itu
kaki kanan Sapta menyambar ke arah siku.
Tukkk...! Toga merasakan tangannya mendadak lumpuh,
dan golok di tangannya pun terlempar. Di saat itulah, dengan kecepatan yang
sukar diikuti mata, tombak di tangan Sapta meluruk deras ke arah lambung Toga.
Blesss...! "Aaakh...!"
Toga menjerit memilukan. Beberapa saat lamanya tubuhnya bergetar melawan maut, kemudian roboh untuk selamanya.
"Adi Toga...!"
Gajula menjerit ketika melihat adik kandungnya
berkelojotan sesaat, untuk kemudian diam tidak bergerak lagi.
"Keparat...! Kubunuh kau...!"
Tanpa mempedulikan Kami, Gajula melompat
menerkam Sapta laksana seekor macan menerkam
mangsa. Kami yang melihat bahaya besar mengancam Sapta,
segera melesat memburu. Pedangnya ditusukkan ke depan.
Sementara itu, Sapta hanya terkesiap. Terkaman itu begitu tiba-tiba datangnya, sehingga tidak ada waktu lagi untuk
mengelak. Terpaksa
dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk memapak serangan dengan
kedua tangan. Plak! Tubuh Sapta terjengkang ke belakang. Memang
tenaga dalam yang dimiliki Gajula lebih kuat. Tapi sebelum Gajula sempat
memberikan serangan susulan, serangan pedang Kami telah lebih dulu tiba.
Cappp...! "Akh...!"
Gajula memekik tertahan. Pedang Kami telah
menghunjam punggungnya hingga tembus ke perut.
Darah segar kontan muncrat ketika Kami mencabut
pedangnya. Tubuh Gajula sempoyongan. Tampak jelas
kalau si wajah kera ini mencoba bertahan. Tapi karena luka-luka yang diderita
terlalu parah, dia pun roboh ke tanah. Tubuhnya menggelepar-gelepar sejenak,
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi.
"Kau tidak apa-apa, Kang?" tanya Kami. Wajahnya menampakkan kecemasan yang
hebat. Sapta menggelengkan kepalanya. Rasa gembira
yang amat sangat melanda hatinya melihat kekhawatiran gadis itu terhadap keselamatannya.
"Hanya dadaku saja yang agak sesak sedikit Si wajah kera itu memang lihai bukan
main. Kalau saja tidak ada dirimu...."
"Sudahlah, Kang...," selak Kami cepat.
"Grrrh...!" terdengar gerengan murka Raksasa Rimba Neraka.
Seratus dua puluh lima jurus telah berlalu, tapi kakek raksasa itu tidak juga
mampu mendesak Dewa Arak.
Padahal 'Tinju Geledek' yang jadi ilmu andalannya telah
digunakan. Bahkan
sebaliknya, malah dia yang terdesak.
Kini terpaksa Raksasa Rimba Neraka menggunakan 'Jurus Trenggiling'. Dan memang menghadapi jurus ini, Dewa Arak kebingungan. Ilmu
'Belalang Sakti' jadi lumpuh menghadapi ilmu ini.
Posisi lawan yang selalu di bawah, membuat Arya repot bukan
main. Sulit baginya untuk menjatuhkan serangan. Setiap serangan Dewa Arak selalu berhadapan
dengan sepasang kaki yang memiliki pertahanan kokoh dan kuat. Sebaliknya setiap
serangan kaki raksasa itu, membuatnya repot bukan main. Pelahan namun pasti Dewa
Arak terdesak. Tapi walaupun terdesak, pikiran Dewa Arak
bekerja keras. Dari pengalaman menghadapi lawan-
lawan tangguh, pemuda berambut putih keperakan ini sadar kalau tidak ada ilmu
yang sempurna. Semua
ilmu memiliki kelemahan. Oleh karena itu, Dewa Arak sibuk berpikir untuk
melumpuhkan ilmu lawan yang aneh ini.
Selama dua puluh jurus kemudian, Dewa Arak
hanya bisa mengelak. Tanpa mampu balas menyerang.
Karena memang tidak bisa menyarangkan serangan
satu pun. "Hait...!"
Sambil berteriak nyaring, Raksasa Rimba Neraka kembali menyerang Dewa Arak. Kedua kakinya bergerak menggunting kaki
Arya. "Hup...!"
Dewa Arak melompat ke belakang. Sehingga
guntingan kedua kaki raksasa itu mengenai tempat kosong. Dan begitu tubuhnya
berada di udara, Arya menghentakkan
kedua tangannya. Dengan jurus 'Pukulan Belalang' dari 'Tenaga Dalam Inti Matahari'
yang jarang dipergunakan, Arya mengirimkan serangan. Wuuusss...! Blarrrr...! Pukulan itu menghantam tanah tempat Raksasa Rimba Neraka tadi berada. Namun demikian, Dewa Arak terus mencecar
raksasa itu dengan jurus
'Pukulan Belalang'-nya, sehingga lawannya hanya bisa berguling-gulingan
menghindari serangan yang dahsyat itu!
Serentetan angin pukulan berhawa panas,
menyambar deras ke arah Raksasa Rimba Neraka.
Kakek raksasa ini kaget bukan main. Cepat-cepat
dilentingkan tubuhnya, kemudian
berguling-guling
menjauh. Blarrrr...! Tak pelak lagi pukulan itu menghantam tanah
tempat Raksasa Rimba Neraka berada, hingga berlubang besar. Namun demikian, Dewa Arak tidak membiarkan lawannya lolos.
Segera dicecarnya si
raksasa itu dengan jurus 'Pukulan Belalang'-nya.
Suara menggelegar terdengar bertubi-tubi, setiap kali Raksasa Rimba Neraka berhasil mengelakkan serangan Dewa Arak. Kini keadaan jadi berbalik,
karena Raksasa Rimba Neraka tidak memperoleh kesempatan membalas.
Kakek bertubuh raksasa itu menggeram. Disadari kalau keadaan seperti ini berlangsung terus-menerus, dia akan tewas di
tangan lawannya. Maka pada suatu kesempatan, raksasa ini melentingkan
tubuhnya ke atas sambil mengirimkan
serangan pukulan jarak jauh.
Suara meledak-ledak terdengar mengiringi tibanya serangan itu. Tapi Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan hal itu,
segera membanting tubuh ke tanah. Tepat pada saat itu, Arya melepaskan
'Pukulan Belalang'-nya.
Wuusss...! Bresss...! "Aaakh...!"
Terdengar jeritan ngeri dari mulut Raksasa
Rimba Neraka. Pukulan yang dilepaskan Dewa Arak
telak menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terlempar ke belakang sejauh beberapa
tombak. Brukkk...! Disertai suara berdebuk keras, tubuh itu jatuh
ke tanah. Tapi kakek raksasa ini memang hebat bukan main.
Jurus 'Pukulan Belalang' yang biasanya langsung mematikan lawan, ternyata tidak mampu
menewaskannya. Walaupun

Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tertatih-tatih,
kakek bertubuh raksasa itu berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya nampak hitam
hangus. Dewa Arak terperangah juga melihat kekuatan
Raksasa Rimba Neraka ini. Terpaksa dilepaskannya lagi jurus 'Pukulan Belalang'-
nya! Bresss...! "Aaakh...!"
Diiringi jeritan menyayat hati, tubuh Raksasa
Rimba Neraka terpental jauh ke belakang. Beberapa saat lamanya tubuh itu
melayang-layang di udara, sebelum akhirnya jatuh ke tanah menimbulkan suara berdebuk keras. Dan
seiring jatuhnya tubuh kakek raksasa itu di tanah, nyawanya pun
melayang meninggalkan raganya.
Pengemis Tongkat Merah, Sapta, dan Kami
bergegas memburu ke arah tubuh Raksasa Rimba
Neraka. Bergidik hati mereka melihat sekujur tubuh si raksasa itu yang tewas
dalam keadaan mengerikan, hangus seperti terbakar.
"Hei...! Ke mana dia...?"
Sapta yang lebih dulu tersadar karena ingin
meminta maaf, merupakan
orang pertama yang
menyadari kalau Dewa Arak telah tidak ada lagi di situ.
Karuan saja ucapan Sapta membuat kaget Pe-
ngemis Tongkat Merah dan juga Kami. Mereka pun
menolehkan kepalanya ke sana kemari, mencari-cari Dewa Arak.
"Dewa Arak...! Aku, Sapta meminta maaf
padamu! Aku telah berlaku tidak pantas padamu
kemarin malam...!"
Suara yang dikeluarkan
lewat pengerahan
tenaga dalam itu menggema ke sekitarnya. Sapta
berdiri diam menunggu. Sayup-sayup di
telinga pemuda berhidung melengkung itu terdengar bisikan lirih, yang dikirimkan dari ja
rak jauh. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sapta. Aku tahu kau tidak bersalah. Semua itu
hanya salah paham saja. Lupakanlah...!"
Seketika wajah Sapta berseri-seri.
"Ada apa, Kang" Mengapa kelihatan gembira
sekali?" tanya Kami yang tidak dapat menahan keingintahuannya.
"Dewa Arak memang seorang pendekar sejati...,"
puji Sapta. "Maksudmu...?" tanya Pengemis Tongkat Merah.
Agak tertahan suaranya.
"Dia sama sekali tidak menyalahkan aku, atas peristiwa yang terjadi kemarin
malam...."
"Sudah kuduga...," desah kakek kurus kering.
Sementara itu nun jauh di sana, orang yang me-
reka percakapkan, tengah melangkah pelahan menyusuri jalan. Sesekali, arak dalam guci yang
digenggamnya itu dituangkan ke mulut. Terdengar
suara tegukan ketika arak itu memasuki kerongkongannya. Dewa Arak terus melangkahkan
kakinya. Masih banyak tugas yang harus dikerjakan selaku seorang pendekar. Nah,
para pembaca yang
budiman, sampai jumpa pada kisah Dewa Arak
selanjutnya. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Kitab Pusaka 14 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Perkampungan Misterius 3
^