Pencarian

Setan Mabok 1

Dewa Arak 23 Setan Mabok Bagian 1


1 Hari sudah agak siang. Sang surya pun telah hampir di atas kepala. Tapi karena
ada awan tebal yang
menutupinya, suasana di bumi jadi agak gelap. Mendung.
Dalam suasana yang tidak panas dan angin bertiup lembut, tampak empat orang
berwajah kasar sedang melangkah memasuki sebuah kedai di Desa Koneng. Rata-rata
mereka mengenakan rompi dengan sebilah golok terselip di pinggang.
Dengan sikap kasar dan jumawa mereka masuk ke
dalam kedai, lalu mengedarkan pandangan berkeliling.
Pengunjung kedai itu ternyata ramai juga, terbukti hampir semua bangku terisi.
Melihat kedatangan empat orang itu, pemilik kedai yang ternyata seorang laki-
laki berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh kurus kering tergopoh-gopoh
melangkah menghampiri. Wajahnya yang kurus dan terlihat kering itu dihiasi kumis
dan jenggot yang jarang-jarang.
Sehingga, makin menambah kegersangan wajahnya.
Menilik dari sikapnya, jelas kalau pemilik kedai ini mengenal empat orang kasar
itu "Aduh, Den ...!" Belum apa apa pemilik kedai itu sudah meratap-ratap. "Kasihani
aku, Den. Tolong, jangan buat keributan di sini"
Sambil berkata demikian, laki-laki kurus kering ini merangkapkan kedua tangan di
depan dada sambil
membungkuk-bungkukkan badan. Sementara pengunjung lain yang tengah menikmati
makan pun tampak ketakutan.
Kini, mereka tidak lagi menyantap makanan, melainkan bersiap-siap kaliur dari
situ. Ini bisa dibuktikan dari sepasang mata mereka yang menatap liar ke sana
kemari. Tapi, rupanya keempat orang kasar itu sudah
memperhitungkannya. Maka begitu masuk ke dalam kedai, dua di antara mereka telah
berdiri menghadang di ambang pintu. Tangan kiri bertolak pinggang. Sementara
tangan kanan mengelus-elus dagu.
"Hmh...! Kau berani menantangku, Giri"!"
Salah satu dari dua orang kasar yang dihampiri pemilik kedai itu, mendengus.
Tangan kanannya mencengkeram leher baju laki-laki bertubuh kurus kering yang
ternyata bernama Giri. Sementara penduduk sekitar Desa Koneng sering memanggil
dengan sebutan Ki Giri.
Dan sekali tangannya bergerak mengangkat, tubuh Ki Giri telah terangkat naik.
Mau tak mau kedua kakinya kini tergantung sekitar dua jengkal di atas tanah.
Apalagi orang yang melakukannya memiliki tubuh tinggi besar, dan yang pasti
kepandaiannya patut diperhitungkan. Cambang bauk yang lebat tampak menghias
wajahnya. Kedua tangannya yang besar-besar, juga berbulu lebat Seperti layaknya
seekor monyet Seketika wajah Ki Giri pucat karena mendapat perlakuan seperti itu. Kakinya coba
digerak-gerakkan untuk mencapai lantai. Dan memang keadaan seperti itu
menyakitkan lehernya. Tapi, usahanya ini sia-sia. Kedua kakinya tetap saja tidak
bisa mencapai lantai. Jarak antara kakinya dengan lantai terlalu jauh untuk bisa
dijangkau. "Ti... ti.... Tidak, Den Jagar...," meskipun terputus-putus, Giri berhasil juga
membuka suara. "Mana aku berani..."
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa terbahak-bahak. Keras sekali suaranya, dan jelas dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga pemilik kedai itu sampai menekapkan
kedua tangan pada telinganya karena merasa bising.
Begitu tawa itu selesai, tangan yang mencengkeram leher baju itu bergerak
melemparkan tubuh Ki Giri. Enak saja laki-laki bertubuh tinggi besar itu
melakukannya. Seolah-olah, tubuh laki-laki kurus kering itu tak ubahnya sehelai karung basah.
Ki Giri langsung menjerit ketakutan begitu tubuhnya melayang deras ke belakang.
Dan.... Brakkk...! Suara berderak keras seketika terdengar begitu tubuh pemilik kedai yang malang
itu menghantam bangku dan meja. Tak pelak lagi, bangku-bangku itu terguling ke
sana kemari. Ki Giri mengaduh-aduh kesakitan. Apalagi tubuhnya sebagian besar hanya terdiri
dari tulang-tulang saja. Bisa dibayangkan, betapa sakitnya terbentur bangku dan
meja. Jagar tidak mempedulikan keadaan laki-laki kurus kering itu. Begitu kepalanya
diegoskan, maka seketika itu juga ketiga orang rekannya bergerak menghampiri
para pengunjung kedai. Sedangkan Jagar hanya berdiam diri, sambil mengawasi
dengan kedua tangan berkacak
pinggang. Jelas, laki-laki bertubuh tinggi besar ini adalah pimpinan gerombolan
itu. Jagar tersenyum sambil memilin-milin kumisnya yang tebal. Matanya terus
mengawasi ketiga orang rekannya yang telah mulai dengan tugas yang memang sudah
direncanakan. Merampok harta para pengunjung kedai memang sudah jadi rencana
mereka. Maka tentu saja hal itu membuat para pengunjung kedai panik bukan
kepalang. Apalagi, bagi mereka yang kebetulan habis menjual barang dagangannya.
"Cepat serahkan semua hartamu...!" bentak rekan Jagar yang bertubuh kurus dan
berkulit kuning, pada salah seorang pengunjung kedai tanpa menghunus goloknya.
Rupanya, dia merasa tidak perlu menggunakan goloknya. Dan sambil berkata
demikian tangan kanannya diulur-kan untuk merampas buntalan uang yang terselip
di pinggang. Tapi, rupanya calon korban itu tidak sudi membiarkan begitu saja uangnya
diambil. Maka diputuskanlah untuk mengadakan perlawanan, begitu melihat orang
yang hendak merampas buntalan uangnya seperti orang
penyakitan. Kebetulan, pengunjung ini memiliki bentuk tubuh kekar dan berotot.
Maka begitu tangan laki-laki bertubuh kurus itu meluncur ke arah pinggang,
bergegas tangannya menangkap.
Kreppp...! Begitu tangan laki-laki berkulit kuning ini berhasil ditangkap, langsung
dilayangkannya tinju kanan ke arah wajah orang yang hendak merampas uangnya.
"Hmh...! Berani kau memukul Gojang"!" dengus laki-laki bertubuh kurus yang
ternyata bernama Gojang. Tangan kirinya pun seketika bergerak. Dan...
Tappp...! Hanya sekali gerak saja, serangan laki-laki bertubuh kekar itu bisa dikandaskan.
Bahkan jari-jari tangan Gojang sudah mencengkeram pergelangan tangan pengunjung
kedai itu. Gojang tidak hanya bertindak sampai di situ saja. Berbareng dengan gerakan
tangan kiri, pergelangan tangannya pun diputar.
Gila! Hanya sekali memutar pergelangan saja, Gojang telah membuat cekalan laki-
laki bertubuh kekar itu terlepas. Bahkan dengan gerak tangan luar biasa, dia
malah telah balas mencekal pergelangan lawan. Hasilnya, kini Gojang telah
berhasil menangkap kedua pergelangan lawan.
Sebelum laki-laki bertubuh kekar itu berbuat sesuatu, kedua tangan Gojang telah
cepat bergerak membetot. Tak pelak lagi, rubuh pengunjung kedai yang sial itu
tertarik deras ke depan, ke arah Gojang! Begitu kerasnya tenaga betotan itu,
sampai tubuhnya terhuyung-huyung.
Langsung laki-laki bertubuh kurus itu tertawa menyeramkan. Dan begitu tawanya
habis, kepalanya digerakkan.
Jelas, maksudnya adalah mengadu kepala pengunjung kedai itu dengan kepalanya
sendiri. Dan karena terhuyung-huyung, kepala laki-laki bertubuh kekar itu
bergerak maju lebih dulu daripada kaki atau tubuhnya.
Duggg...! Benturan antara dua buah kepala yang begitu keras tak dapat dielakkan lagi.
Menilai dari besarnya kedua kepala, sebenarnya kepala Gojanglah yang akan
menerima akibat yang lebih buruk. Tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya!
Laki-laki bertubuh kekarlah yang justru memekik keras kesakitan. Dari bagian
dahinya yang terluka nampak mengalir darah.
Tubuh laki-laki yang sial itu seketika terkulai. Tidak pingsan atau mati, tapi
lemas. Sementara kepala Gojang tetap utuh! Jangankan terluka, tergores pun
tidak. "He... he... he...!"
Gojang tertawa terkekeh-kekeh, sehingga terdengar menyeramkan sekali. Kini
pegangan tangannya berpindah.
Tangan kiri mencekal leher baju, dan tangan kanannya bergerak menampar wajah
laki-laki bertubuh kekar itu.
Plak, plak, plak...!
Suara keras beradunya telapak tangan dengan pipi terdengar berkali-kali. Kepala
pengunjung kedai yang malang itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri. Darah
segar muncrat-muncrat dari mulutnya. Bahkan ada beberapa benda putih sebesar
kuku jari kelingking yang terlompat keluar dari dalam mulutnya. Jelas, benda itu
adalah gigi. Tanpa mengenal rasa kasihan, Gojang terus saja
meneruskan tindakannya. Darah segar pun keluar lebih banyak lagi. Bahkan kali
ini tidak hanya dari mulut saja, tapi juga dari hidung.
Setelah merasa puas, Gojang lalu melepaskan cekalannya. Akibatnya, rubuh laki-
laki sial itu pun ambruk di tanah seperti sehelai kain basah.
"Cuhhh...!"
Segumpal ludah kental keluar dari mulut Gojang, dan mendarat dengan manisnya di
wajah laki-laki bertubuh kekar yang sudah megap-megap seperti ikan terdampar ke
darat. Rupanya, laki-laki berkulit kuning ini masih belum puas dengan apa yang
dikerjakannya. Sambil menyeringai kejam yang nampak di mulutnya, kakinya ditaruh
di kepala laki-laki bertubuh kekar. Dan sekali kakinya bergerak menekan, nyawa
pengunjung kedai yang sial itu melayang ke alam baka seiring terdengarnya suara
gemeretak ketika kepala itu pecah berantakan.
Darah segar pun kembali muncrat-muncrat.
"Ha... ha... ha...!"
Gojang tertawa terbahak-bahak. Keras sekali sehingga membuat suasana di dalam
kedai menjadi gaduh. Apalagi ketika ketiga orang kasar lainnya pun tertawa pula.
Bahkan dinding-dinding kedai itu sampai bergetar seperti akan runtuh.
Melihat kejadian mengenaskan yang menimpa laki-laki bertubuh kekar itu, karuan
saja membuat nyali para pengunjung lain menjadi ciut. Mereka kini pasrah saja
ketika rekan-rekan Jagar merampas semua harta benda yang ada.
Tapi meskipun tidak ada yang mengadakan perlawanan, bukan berarti para
pengunjung kedai bebas dari ke-kejaman. Dan memang, tetap saja mereka mendapat
hadiah dari tiga orang kasar itu.
Suara pukulan-pukulan nyaring terdengar silih berganti diiringi jerit dan keluh
kesakitan dari mulut pengunjung kedai.
Tubuh-tubuh pengunjung yang sial itu satu persatu roboh di lantai. Memang, tidak
ada seorang pun yang tewas kecuali laki-laki bertubuh kekar tadi. Tapi meskipun
begitu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang sanggup berdiri.
Darah kini telah membasahi lantai kedai. Semua
pengunjung kedai menderita luka yang lumayan. Ada yang patah kaki, namun tidak
sedikit yang patah tangan atau copot giginya.
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa keras begitu melihat ketiga orang
rekannya telah menyelesaikan tugas, dan bergerak menghampirinya dengan harta
rampasan di tangan.
"Terima kasih, Ki Giri...!" seru laki laki bercambang bauk lebat itu dengan suara
keras menggelegar. "Lain kali, kami pasti datang lagi...!"
Masih sambil tertawa-tawa, Jagar dan kawan-kawannya melangkah meninggalkan
kedai. Tidak ada seorang
penduduk pun yang mengetahui atau mendengar adanya keributan di situ. Memang,
letak kedai agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Tambahan lagi, pada
saat seperti ini sebagian besar penduduk Desa Koneng tengah berada di sawah.
Tidak heran, karena penduduk desa itu sebagian besar adalah petani.
Suasana kembali menjadi sepi ketika Jagar dan rekan-rekannya telah cukup jauh
meninggalkan tempat itu. Kini yang terdengar hanyalah suara rintihan dan keluhan
dari mulut-mulut orang yang terluka.
*** Belum berapa lama Jagar dan ketiga rekannya
meninggalkan kedai milik Ki Giri, nampak seorang laki-laki berwajah gagah dan
berpakaian kuning berjalan perlahan mendekati kedai.
Usia laki-laki itu tak kurang dari tiga puluh tahun. Kumis dan jenggotnya
terawat baik, sehingga menambah
kegagahannya. Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tampak tersampir di
punggung. Bisa ditebak kalau laki-laki ini memiliki kepandaian saat ini bisa
dibuktikan dengan adanya sulaman benang hijau bergambar seekor naga di bagian
dada sebelah kiri pakaiannya.
Dengan langkah gesit dan ringan, laki-laki berkumis rapi ini melangkah memasuki
pintu kedai. Tapi baru sebelah kakinya masuk ambang pintu, dia terperanjat
melihat sosok-sosok tubuh yang bergeletak tak tentu arah di lantai.
Bahkan beberapa buah meja dan kursi nampak terbalik.
Malah ada beberapa di antaranya yang patah-patah.
Kalau saja laki-laki berjenggot rapi ini tidak bersiul-siul sewaktu melangkah
menghampiri kedai, mungkin akan terdengar rintihan dan keluhan dari mulut para
pengunjung kedai yang terluka.
"Ki...!"
Laki-laki berkumis rapi ini berseru ketika melihat Ki Giri yang tengah berusaha
bangkit. Memang, di antara semua orang yang berada di situ, laki-laki bertubuh
kurus kering inilah yang menderita luka paling ringan. Dari ucapannya, bisa
diketahui kalau laki-laki berkumis rapi ini mengenal Ki Giri.
Sambil berseru demikian, laki-laki berkumis rapi itu bergerak cepat menghampiri
tubuh pemilik kedai. Menilik dari gerakannya yang cepat bisa diperkirakan kalau
tingkat kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng.
"Apa yang terjadi, Ki"! Katakanlah...!" desak laki-laki berkumis rapi, ketika
tubuhnya sudah berjongkok di dekat tubuh Ki Giri. Ada suara gemeretak keras
keluar dari mulutnya, pertanda kalau dirinya tengah dilanda perasaan geram.
"Para pengacau datang, merampok dan menganiaya para pengunjung kedai ini. Den
Subarji...." Jelas Ki Giri dengan suara tersendat-sendat
Laki-laki berjenggot rapi yang ternyata bernama Subarji mengepalkan kedua
tangannya, sehingga terdengar bunyi berderak keras seperti ada tulang-tulang
yang patah. Ki Giri mengangguk.
"Siapa, Ki"!" tanya Subarji lagi.
"Jagar dan kawan-kawannya," jawab Ki Giri pelan, mirip desahan.
"Hm.... Kiranya Jagar...."
Subarji mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang
telah sering mendengar nama Jagar, sebagai orang yang selalu membuat onar. Bukan
hanya di Desa Koneng saja, tapi juga di desa-desa sekitarnya. Maka meskipun
belum pernah bertemu, tapi Subarji telah mengetahui ciri-ciri laki-laki bertubuh
tinggi besar itu.
"Baru saja mereka pergi, Den Subarji...," Ki Giri kembali membuka suara.
"Ke arah mana perginya, Ki?"
"Barat, Den."
Memang, Ki Giri tadi sempat melihat kepergian Jagar dan kawan-kawannya ke
samping kanan kedainya. Dan itu berarti mereka pergi ke arah Barat
"Kalau begitu, mereka harus cepat kukejar...! Orang-orang seperti mereka harus
dilenyapkan selama-lamanya."
Setelah berkata demikian, Subarji segera bangkit berdiri dan melesat keluar
kedai. Dan secepat tubuhnya telah berada di luar, secepat itu bergerak mengejar
ke arah Barat. *** 2 Subarji berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Ucapan Ki Giri yang memberi tahu kalau Jagar
dan rekan-rekannya belum lama meninggalkan kedai, membuatnya bertindak seperti
itu. Ternyata, pemberitahuan pemilik kedai itu tidak salah.
Belum berapa lama Subarji berlari, di kejauhan terlihat empat sosok tubuh yang
berjalan cepat. Kontan semangat laki-laki berkumis rapi ini bangkit. Meskipun
belum pasti kalau keempat sosok tubuh itu adalah orang yang dicari, tapi melihat
dari jumlahnya, Subarji yakin kalau yang dilihatnya adalah Jagar dan kawan-
kawannya. Karena Subarji berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sementara empat sosok
tubuh itu berlari seenak-nya, maka jarak di antara mereka semakin lama semakin
bertambah dekat. Seiring semakin bertambah dekatnya jarak, maka sosok-sosok
tubuh itu pun semakin jelas terlihat
Dan begitu jarak di antara mereka terpisah lima tombak lagi, Subarji yakin kalau


Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

empat sosok itu adalah orang-orang yang dikejarnya.
Memang meskipun hanya melihat dari belakang, laki-laki berjenggot rapi ini bisa
mengetahui kalau empat sosok tubuh di hadapannya adalah Jagar dan ketiga orang
rekannya. Dia telah mendengar kalau Jagar selalu mengenakan rompi berwarna
kuning, yang pada bagian belakangnya bergambar seekor kelabang. Dan kini gambar
itu telah dilihatnya.
Jagar dan tiga orang rekannya yang tengah berbincang-bincang, sama sekali tidak
mengetahui kalau di belakang ada orang yang mengejar. Mereka terus saja berlari
tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
"Berhenti...!"
Keempat orang kasar ini baru terkejut ketika mendengar bentakan. Belum juga
mereka menyadari, sesosok
bayangan kuning telah melesat melewati kepala mereka dan tahu-tahu telah berdiri
menghadang. Bagai diberi aba-aba, keempat orang ini berhenti melangkah. Kini kedua belah
pihak berdiri berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak, dengan mata saling
mengamati. "Hmh...!"
Jagar mendengus geram begitu melihat sosok bayangan kuning telah menghadang
perjalanan mereka. Memang dia tidak mengenal orang yang menghadang ini. Tapi
dari pakaian yang dikenakan, dan sulaman gambar naga dari benang hijau pada dada
sebelah kiri, bisa diketahui asal perguruan laki-laki berkumis rapi ini.
"Tikus usilan dari Perguruan Naga Hijau rupanya...," kata laki-laki bercambang
bauk lebat ini sambil tersenyum mengejek.
Jagar memaki Subarji demikian karena Perguruan Naga Hijau beraliran putih. Para
muridnya selalu menentang tindak kejahatan. Tidak heran jika murid-murid
perguruan yang telah cukup kemampuannya, harus mengamalkan ilmu. Mereka
kebanyakan menyebar di berbagai desa. Dan Subarji memilih tinggal di Desa
Koneng, desa kelahirannya.
"Jadi, kau rupanya yang bernama Jagar...," kata Subarji.
Ada nada kegeraman dalam suara Subarji. Ditatapnya sosok tubuh tinggi besar di
hadapannya penuh selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ooo... Kau baru tahu rupanya?" Jagar tersenyum sinis.
"Memang! Akulah Jagar! Lalu, kau mau apa"!"
"Pasti kau dan rekan-rekanmu ini yang telah merampok kedai Ki Giri, bukan"!"
Subarji langsung mengedarkan pandangan ke arah
buntalan kain yang dibawa keempat orang berwajah kasar di depannya.
"Ha... ha... ha...! Tidak salah...!" jawab Jagar, lantang.
"Kau ingin merampasnya kembali" Silakan!"
Subarji menggertakkan gigi mendengar kata-kata bernada tantangan itu. Sementara,
tiga orang rekan Jagar segera melemparkan buntalan-buntalan kain yang berisi
harta rampasan di tanah. Memang, harta yang dirampas dari para pengunjung kedai,
biasa dimasukkan ke dalam buntalan kain.
"Kirim tikus usilan itu ke neraka...!" perintah Jagar pada ketiga orang
rekannya. Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang berkeredep tatkala ketiga orang kasar itu menghunus golok
masing-masing, seiring lenyapnya perintah laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
Mereka tahu, lawan yang kali ini dihadapi tidak sama dengan orang-orang di
kedai. Maka, tanpa ragu-ragu mereka segera menggunakan senjata.
Begitu golok telah berada dj tangan, ketiga orang itu menyebar mengurung
Subarji. Sudah bisa ditebak
maksudnya. Ingin menyerang laki-laki berjenggot rapi ini dari tiga jurusan.
"Hm...."
Sambil menggumam, Subarji mencabut pedangnya.
Sepasang matanya beredar berkeliling, memperhatikan gerak-gerik ketiga orang
lawan yang semakin dekat dan semakin mengurungnya. Telah diputuskannya untuk
melenyapkan gerombolan Jagar sebelum semakin meraja-lela dan menimbulkan korban
baru. Itulah sebabnya Subarji langsung menghunus senjatanya.
"Haaat...! "
Sambil mengeluarkan pekik nyaring, laki-laki berkulit kuning mendahului
menyerang. Goloknya meluncur deras ke arah dada. Memang, saat itu dia berhadapan
dengan lawannya.
Belum juga serangan laki-laki bertubuh kurus itu tiba, serangan dari dua orang
lain datang menyusul. Orang yang berada di kanan, menyabetkan goloknya ke arah
leher. Sementara yang di kiri menusuk ke arah pinggang.
Suara angin mendesir cukup nyaring mengiringi tibanya ketiga serangan yang
masing-masing mampu mengantar-kan nyawa ke alam baka bila mendarat.
Namun Subarji tetap bersikap tenang. Melihat dari kecepatan serangan itu, sudah
bisa diketahui kalau ilmu meringankan tubuh ketiga orang lawan cukup jauh di
bawahnya, itulah sebabnya, dia tidak terburu-buru bertindak.
Baru ketika serangan itu menyambar semakin dekat, Subarji menjejakkan kakinya.
Sesaat kemudian, tubuhnya melayang ke atas. Maka semua serangan lawan hanya
mengenai tempat kosong, lewat di bawah kakinya.
Tindakan laki-laki berkumis rapi ini tidak hanya sampai di situ saja. Begitu
tubuhnya berada di udara, pedang di tangannya langsung meluncur deras ke arah
ubun-ubun laki-laki bertubuh kurus. Sementara kaki kanannya menendang ke arah
kepala lawan yang berada di sebelah kanan. Sedangkan lawan yang berada di
sebelah kiri, disampok dengan tangan kirinya ke arah pelipis.
Balasan serangan mendadak ini tentu saja membuat ketiga orang rekan Jagar
terperanjat. Apalagi, datangnya terlalu tiba-tiba! Mereka baru mengetahui adanya
bahaya setelah serangan itu mendekati sasaran. Hembusan angin cukup keras yang
mengiringi tibanya serangan, membuat mereka sadar akan adanya bahaya mengancam.
Karena mengelak sudah tidak mungkin lagi, maka
ketiga orang kasar itu pun memutuskan untuk menangkis.
Laki-laki bertubuh kurus menangkis dengan golok, sementara dua rekannya
menangkis dengan tangan
kanan. Tranggg, plakkk, plakkk...!
Suara berdentang keras diiringi suara tangan dan kaki berbenturan terdengar
bertubi-tubi. Akibatnya, tubuh ketiga orang rekan Jagar terhuyung-huyung ke
belakang. Sekujur tangan yang digunakan untuk menangkis seketika bergetar hebat
dan terasa ngilu bukan main. Jelas, tenaga dalam mereka masih jauh di bawah
lawan. Sebuah keuntungan bagi mereka, karena Subarji tidak bisa melancarkan serangan
susulan. Keadaannyalah yang tidak memungkinkan. Tubuhnya saat itu tengah berada
di udara. Maka begitu semua lawan terhuyung-huyung
sehabis menangkis serangan, kedua kakinya pun mendarat di tanah.
Begitu laki-laki berkumis rapi ini hinggap di tanah, ketiga orang lawannya telah
berhasil memperbaiki sikap kembali.
Bahkan kemudian kembali menyerang.
Dan kini pertarungan sengit pun terjadi. Baik Subarji maupun ketiga orang rekan
Jagar, sama-sama mengerahkan seluruh kemampuan masing-masing. Kedua belah pihak
memang sudah berniat merobohkan lawan secepat-nya.
Suara bercuitan yang cukup nyaring pun terdengar mengiringi pertarungan itu.
Masing-masing pihak
mengeluarkan ilmu andalan dalam usaha untuk merobohkan lawan.
Tapi, ternyata Subarji terlalu lihai untuk bisa di-pecundangi ketiga lawannya.
Belum juga pertarungan menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berkumis rapi itu
sudah bisa mendesak lawan-lawannya, hingga terpontang-panting ke sana kemari
dalam usaha menyelamatkan selembar nyawa.
"Keparat..!"
Jagar menggertakkan gigi melihat keadaan rekan-
rekannya yang terdesak. Maka goloknya segera dicabut dan dengan senjata tercekal
di tangan, laki-laki bertubuh tinggi besar ini melompat menerjang. Jadi, kini
Subarji dikeroyok empat orang!
Mau tak mau, Subarji harus berjuang lebih keras lagi untuk menanggulanginya.
Memang dengan ikut sertanya Jagar dalam kancah pertarungan, membuat keadaan
ketiga orang rekannya tidak terlalu dikejar-kejar maut seperti tadi.
Tapi ketiga orang berwajah kasar itu tidak bisa terlalu lama menarik napas lega.
Bantuan dari Jagar ternyata hanya berguna tak lebih dari tiga puluh jurus saja.
Setelah masuknya laki-laki bercambang bauk lebat itu pun, justru Subarji kembali
berhasil mendesak kembali.
Betapapun Jagar dan ketiga rekannya berusaha keras menanggulangi Subarji, tapi
terap saja tidak mampu.
Kepandaian laki-laki berkumis rapi itu memang masih lebih tinggi dibanding
mereka berempat. Padahal, seluruh kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan.
Bahkan semakin lama mereka semakin terdesak. Sampai pada suatu saat...
Crasss...! Telak dan keras sekali pedang Subarji membabat leher laki-laki yang bertubuh
kurus. Kontan darah memercik keras dari leher yang terobek ujung pedang. Tubuh
laki-laki berkulit kuning itu terpelanting jatuh ke tanah, laki diam tak
bergerak lagi untuk selamanya. Suara mengorok terdengar keluar dari mulutnya
sebelum tewas. Gerombolan Jagar menggeram hebat melihat kematian salah seorang rekan mereka.
Tapi apa daya" Subarji memang terlalu lihai dihadapi! Darah yang keluar dari
leher laki-laki bertubuh kurus itu belum juga berhenti ketika dua orang rekan
Jagar yang tersisa menjerit keras. Pedang Subarji kembali telah menelan korban!
Tubuh mereka langsung jatuh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi.
Jagar meraung melihat kematian ketiga orang rekannya.
Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, laki-laki bertubuh tinggi besar itu
melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Subarji. Tak dipedulikan lagi
pertahanannya yang terbuka di sana-sini. Yang ada di benaknya hanya satu.
Membalas kematian ketiga orang rekannya, meskipun harus kehilangan nyawa!
Tapi bagaimana mungkin Jagar dapat melakukannya"
Dengan dibantu tiga orang rekannya saja tidak mampu mengalahkan Subarji, apalagi
kini yang tinggal hanya dia seorang. Semua serangannya dengan mudah dapat
dipatahkan lawan. Dan kini robohnya Jagar hanya tinggal menunggu saat saja.
Dan belum juga pertarungan kedua orang itu ber-
langsung lama, tiba-tiba....
"Telah lama kudengar kalau orang-orang Perguruan Naga Hijau memang usil! Tapi
baru kali ini kulihat sendiri kenyataannya. Mereka menganggap orang lain jahat
karena sering membunuhi orang. Tapi, padahal apa yang mereka lakukan" Membelai-
belai orang" Sama sekali tidak! Justru yang kulihat malah sebaliknya! Orang
Perguruan Naga Hijau membunuhi orang seperti membunuh nyamuk! Keji! Sungguh
keji!" Jagar dan Subarji terperanjat. Meskipun suara itu terdengar pelan saja, tapi
mengandung getaran yang membuat isi dada terguncang hebat. Maka dengan
sendirinya, pertarungan antara kedua orang itu pun terhenti.
Baru saja gema suara itu lenyap, meluncur cepat bagai kilat seleret benda hitam
yang langsung membelit mata pedang Subarji.
Karuan saja laki-laki berkumis rapi ini terkejut bukan main. Dan sebelum sempat
berbuat sesuatu, benda hitam panjang yang ternyata sebuah cambuk berwarna hitam
telah membetot pedangnya. Keras bukan main tenaga tarikan itu, sehingga Subarji
sama sekali tidak menyangka.
Bahkan tidak mampu mempertahankan senjatanya.
Subarji tidak rela pedangnya dirampas. Maka segera tubuhnya melompat untuk
menangkap kembali senjatanya.
Matanya juga sempat sekilas melihat pemilik cambuk itu.
Seorang laki-laki bertubuh kecil kurus, mengenakan rompi berwarna hitam. Sebaris
bulu-bulu berwarna hitam dan tebal menghias atas bibirnya.
Hanya ciri-ciri itu yang sempat dilihat Subarji, karena dirinya harus sudah
sibuk merampas kembali pedangnya.
Tapi sungguh di luar dugaan, belitan cambuk itu
mengendur. Tak pelak lagi, pedang Subarji terjatuh di tanah. Dan sebelum laki-
laki berkumis rapi ini berbuat sesuatu, ujung cambuk itu telah memapak
lompatannya, dan langsung melecut dadanya.
Ctarrr...! Subarji menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang mendera dada ketika ujung
cambuk itu telak dan keras sekali menghantam dada. Seketika itu juga, tubuhnya
terjengkang kembali ke belakang. Darah kental langsung menetes di sudut-sudut
bibirnya. Meskipun begitu, Subarji masih mampu membuktikan kalau dirinya bukan tokoh
sembarangan. Kedua kakinya masih mampu mendarat di tanah walaupun agak
terhuyung-huyung,
"Hmh...!"
Laki-laki kecil kurus berkumis tebal mendengus. Dan kini sama sekali tidak
dilancarkannya serangan lagi.
Sikapnya jelas memandang rendah sekali pada Subarji.
Subarji tidak mempedulikannya. Dirinya tengah disibuk-kan rasa sakit yang
mendera dadanya. Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat
sekadar untuk menghilangkan rasa sakit.
Ctarrr...! Ledakan cambuk membuat laki-laki berkumis rapi ini terkejut dan bersiap-siap
menghadapi serangan susulan.
Tapi ternyata tidak ada serangan yang tertuju ke arahnya.
Cambuk hitam itu sama sekali tidak menuju ke arahnya, tapi ke arah pedang
miliknya yang tertancap di ranah.
Rrrttt..! Laksana ular membelit mangsanya cambuk itu melilit batang pedang. Dan begitu
laki-laki berkumis tebal ini bergerak membetot pedang itu pun tercabut.
"Kukembalikan pedangmu...!" seru laki-laki bertubuh kecil kurus itu.
Sesaat kemudian pedang yang terlilit cambuk itu
meluncur deras ke arah Subarji hingga mengeluarkan suara mendesing nyaring.
Padahal, kelihatannya pelan saja cambuk itu bergerak. Dari pertunjukan ini saja
sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik cambuk itu.
Sementara itu Subarji terkejut bukan kepalang.
Terdengar suara mengaung mengiringi tibanya luncuran pedang itu. Maka laki-laki
berjenggot rapi ini segera menjumput sarung pedangnya, langsung menangkis
serangan itu. Tanpa tanggung-tanggung lagi segera dikeluarkan seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya.
Trakkk...! Sarung pedang itu kontan hancur berantakan ketika kedua benda itu saling
berbenturan. Subarji terkejut bukan kepalang. Tangannya seketika terasa sakit
dan ngilu bukan kepalang Tubuhnya pun tanpa dapat ditahan lagi terhuyung-huyung
ke belakang. Jelas kalau tenaga yang terkandung dalam luncuran pedang itu lebih
kuat daripada tenaga dalam miliknya.
Hal ini benar-benar membuat Subarji terperanjat.
Apalagi, diketahuinya kalau tenaga dalam lawan belum seluruhnya dikeluarkan
sewaktu melemparkan pedang dengan cambuk. Baru dengan tenaga sebegitu saja
Subarji sudah tidak mampu bertahan. Lali bagaimana kalau pemilik cambuk itu
mengerahkan seluruhnya" Sulit bagi laki-laki berkumis rapi ini untuk
membayangkannya.
Mendadak tubuh Subarji yang terhuyung-huyung, berhenti seketika tatkala
membentur sosok tubuh berpakaian kuning yang mendadak muncul di belakangnya.
Karuan saja hal ini membuat Subarji kaget. Secepat tubuhnya membentur, secepat
itu pula melompat ke depan. Tubuhnya langsung berbalik dan bersikap siap siaga
menghadapi serangan mendadak.
Tapi sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot laki-laki berkumis rapi ini
mengendur kembali ketika melihat sosok tubuh yang dibenturnya.
"Guru...!" sebut Subarji seraya melangkah menghampiri dan memberi hormat.
Dia ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Orang yang dipanggil guru oleh
Subarji langsung tersenyum. Raut wajahnya memang menyenangkan bagi orang lain
yang melihatnya. Wajahnya bulat seperti juga perutnya, dan selalu dihiasi
senyum. Rambutnya yang putih, digelung ke atas.
"Menyingkirlah, Subarji...! Dia bukan tandinganmu...!"
ujar kakek bertubuh tinggi kekar itu.
Terdengar sungguh-sungguh dan penuh perintah ucapan yang dikeluarkan kakek itu.
Tapi begitu melihat wajahnya, orang akan mengira kalau dia tengah bercanda!
Kakek itu mengucapkan perintah begitu sungguh-sungguh, disertai senyum di bibir
dan sepasang mata bersinar-sinar seperti orang menang lotre! Selebar wajahnya
pun merautkan kegembiraan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berkumis rapi ini segera melangkah
mundur. Dibiarkan saja gurunya itu melangkah mendekati si pemilik cambuk. Telah
diketahuinya kelihaian gurunya. Maka Subarji percaya kalau kakek berwajah penuh
senyum itu akan mampu mengalahkan lawan.
"Ha... ha... ha...!" laki-laki berompi hitam itu tertawa ber-gelak. "Sungguh
tidak kusangka kalau kau bisa keluar dari kandangmu yang menjijikkan itu,
Buntara!"

Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek berwajah penuh pesona yang ternyata bernama Buntara, sama sekali tidak
merasa marah atau tersinggung atas pertanyaan yang bernada kasar. Bahkan
mulutnya tetap menyunggingkan senyum lebar.
"Aku terpaksa keluar dari kandang untuk mengambil sisa kotoranku yang tertinggal
di sini. Dan kaulah kotoran itu. Kera Bukit Setan!"
Luar biasa sekali ucapan Buntara. Meskipun dikeluarkan dengan wajah penuh
keceriaan, namun mampu
membuat kuping panas. Seketika selebar wajah laki-laki berompi hitam yang
berjuluk Kera Bukit Setan jadi merah padam menahan amarah.
Sementara kedua orang itu terlibat dalam adu mulut, Jagar dan Subarji sibuk
dengan urusan masing-masing.
Jagar tampak sibuk menenangkan deru napasnya yang masih memburu sehabis
bertarung dengan Subarji.
Sementara, laki-laki berkumis rapi itu tampak menahan geram. Sehingga, tampak
wajahnya masih memerah.
Meskipun begitu, tidak berarti kalau kedua orang itu tidak mendengar percakapan
antara Buntara dengan Kera Bukit Setan. Dan karena itulah mereka tahu, kedua
orang yang tengah berhadapan itu ternyata saling mengenal satu sama lain.
Sama sekali Subarji dan Jagar tidak mengetahui kalau Buntara maupun Kera Bukit
Setan sudah saling mengenal.
Di samping itu, Subarji juga tidak kenal siapa Kera Bukit Setan itu. Juga Jagar
tidak tahu, siapa Buntara itu. Mereka hanya mengetahui dari ciri-ciri yang
pernah didengar.
Kera Bukit Setan menggeram. Dia memang tidak bisa berdebat. Maka begitu mendapat
balasan makian dari Buntara, dia tidak bisa membalasnya.
Sambil menghentakkan kaki sehingga membuat tanah amblas sampai semata kaki,
laki-laki berompi hitam ini menyelipkan cambuknya di pinggang.
"Tidak ada seorang pun yang boleh menghina Kera Bukit Setan...!" teriak laki-
laki bertubuh kecil kurus keras.
Dan belum habis gema ucapan itu, tubuhnya telah
meluruk cepat ke arah Buntara. Kedua tangannya yang berbentuk cakar, meluncur
cepat ke arah dada dan ulu hati secara bertubi-tubi.
*** 3 Wuttt, Wuttt...!
Deru angin keras terdengar begitu serangan cakar Kera Bukit Setan meluncur cepat
ke arah sasaran.
Buntara tahu kedahsyatan serangan yang mengandung tenaga dalam kuat itu. Apabila
terkena, batu yang paling keras pun akan hancur berantakan. Maka, laki-laki tua
itu tidak berani bersikap main-main. Buru-buru kaki kanannya melangkah ke kanan
sambil mendoyongkan tubuh. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya dikibaskan
ke arah pelipis lawan.
Wukkk...! Kera Bukit Setan tidak terkejut melihat serangan lawan, karena memang sudah
diperkirakan. Baik mengenai
serangannya yang dapat mudah dielakkan, maupun
balasan serangan itu sendiri.
Karena sudah memperkirakannya, maka laki-laki kecil kurus ini sudah bersiap-siap
menangkalnya. Buru-buru tangan kirinya digerakkan untuk menangkis serangan itu.
Arah gerakannya dari dalam ke luar.
Takkk...! Suara keras seperti terjadi benturan antara dua benda logam terdengar ketika
kedua tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu.
Tubuh Kera Bukit Setan langsung terhuyung-huyung ke belakang. Mulutnya seketika
menyeringai, jelas benturan itu terasa benar akibatnya. Sekujur tulang-tulang
tangan kirinya terasa sakit bukan kepalang. Disadarinya kalau tenaga dalam
Buntara berada di atasnya. Buktinya, kakek berwajah penuh senyum itu sama sekali
tidak terpengaruh oleh benturan tadi.
Tapi Kera Bukit Setan sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Begitu kekuatan
yang membuat tubuhnya terdorong habis, kembali dilancarkannya serangan susulan.
Buntara yang kini sudah bisa memperkirakan
kepandaian lawan, segera menyambutnya. Tak pelak lagi, pertarungan antara kedua
tokoh yang sama-sama sakti itu pun berlangsung sengit.
Jagar dan Subarji memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian.
Meskipun mereka tidak bisa melihat terlalu jelas karena begitu cepatnya kedua
tokoh itu bergerak, tapi setidak-tidaknya bisa memperkirakan siapa yang mulai
unggul. Memang karena perbedaan pakaian yang dikenakan
antara kedua tokoh itu terlalu menyolok, sehingga membuat Jagar dan Subarji
tidak mengalami kesulitan me-mastikannya.
Karena cepatnya pertarungan kedua tokoh itu, maka yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan kuning dan hitam. Terkadang saling belit, tapi tak jarang
pula saling pisah.
Berkali-kali Jagar dan Subarji melihat kalau bayangan hitam sering keluar dari
kancah pertarungan. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena sosok bayangan
kuning langsung memburunya. Sehingga, dua bayangan itu
kembali saling belit.
Ternyata perbedaan tingkat kepandaian antara kedua tokoh itu terpaut terlalu
jauh. Buktinya, belum juga pertarungan itu berlangsung dua puluh lima jurus,
Kera Bukit Setan sudah terdesak. Kini tokoh sesat ini selalu bermain mundur, dan
hanya sesekali saja menangkis.
Namun, ternyata menangkis serangan justru merugikan dirinya sendiri. Maka dia
memutuskan untuk mengelak. Hal ini disebabkan, tenaga dalamnya berada cukup jauh
di bawah lawan.
"Hih...!"
Kera Bukit Setan menggertakkan gigi seraya melompat ke belakang. Dan begitu
kedua kakinya menjejak tanah, cambuknya langsung dilecutkan. Dia benar-benar
khawatir kalau lawan akan menyerangnya.
Tapi ternyata Buntara sama sekali tidak melancarkan serangan susulan. Kakek
berwajah penuh senyum itu membiarkan lawannya melompat ke belakang, sehingga
serangan cambuk sama sekali tidak mengenainya. Ujung cambuk itu meledak di
udara, menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.
Buntara tidak berani bertindak gegabah. Padahal tingkat kepandaiannya memang
lebih tinggi daripada tingkat kepandaian yang dimiliki Kera Bukit Setan. Dan
memang, dia tidak mau meladeni lawan yang menggunakan senjata andalan dengan
tangan kosong. Sebab, akibat yang dihadapinya tidak kecil.
Maka begitu melihat lawan mengeluarkan senjata
andalan, dia pun segera menjumput pedangnya.
Srattt..! Sinar terang berpendar ketika pedang itu keluar dari sarungnya.
Kini dengan senjata andalan di tangan masing-masing, kedua tokoh sakti itu
kembali saling gebrak. Maka, kini serangan-serangan kedua tokoh itu berlangsung
lebih sengit. Suara mengaung, mendesing, dan meledak-ledak meramaikan
pertarungan antara Buntara dan Kera Bukit Setan.
Tapi hanya beberapa puluh jurus saja pertarungan antara kedua tokoh sakti itu
berlangsung cukup seru.
Menginjak jurus ketiga puluh lima, Kera Bukit Setan kembali terdesak. Suara
meledak-ledak yang keluar dari lecutan cambuknya perlahan semakin jarang
terdengar. Sebaliknya, suara mendesing dan mengaung yang kini sering terdengar.
Menjelang jurus keempat puluh tiga, keadaan Kera Bukit Setan semakin gawat.
Tubuhnya sudah terpontang-panting ke sana kemari dalam upaya menyelamatkan
selembar nyawa. Sudah bisa diperkirakan, tewasnya laki-laki bertubuh kecil kurus
ini hanya tinggal menunggu saatnya saja.
Kini ledakan cambuk laki-laki berompi hitam itu sudah hampir tidak terdengar
lagi. Yang terdengar hanyalah suara mendesing dan mengaung dari pergerakan
pedang Buntara yang memekakkan telinga.
"He... he... he...! Lucu! Lucu sekali...! Ada kambing kurus dan kerbau gendut
tengah menari-nari! Menari-nari..., la...
la... la...!"
Suara pelan dan tak jelas seperti keluar dari mulut orang yang tengah mengigau
terdengar. Itu pun masih di-tambah lagi dengan suara tegukan keras. Tampaknya
pemilik suara itu tengah menenggak minuman dengan cara kasar.
Hebatnya, sungguhpun terdengar pelan saja, tapi suara itu mampu mengalahkan
suara desingan dan aungan ribut yang keluar dari gerakan pedang Buntara!
Buntara dan Kera Bukit Setan terkejut bukan main.
Sebagai tokoh sakti yang berpengalaman, mereka segera tahu ada tokoh tangguh
luar biasa datang. Bagai diberi aba-aba, kedua orang ini segera melompat ke
belakang dan langsung menoleh ke arah asal suara. Dengan sendirinya, pertarungan
pun terhenti. Sekitar lima tombak di sebelah kanan mereka, tampak berdiri seorang kakek
bertubuh pendek gemuk dan berperut buncit. Kepalanya botak dan licin. Tidak ada
sedikit pun bulu yang menghiasi wajahnya. Bahkan sama sekali tidak memiliki
alis! Karena perut kakek itu gendut sekali, rompi yang terbuat dari anyaman bulu
burung garuda itu sama sekali tidak mampu menutupi bagian depan tubuhnya. Tampak
di tangan kanan kakek ini tergenggam sebuah guci besar yang selalu dituang ke
mulutnya. Glek.. glek... glek...!
Suara tegukan terdengar ketika kakek berperut buncit itu menuangkan arak dalam
guci besar itu ke mulutnya.
Kini jelas sudah, mengapa tadi sewaktu kakek itu berkata-kata terdengar juga
suara tegukan. Beberapa tetes arak jatuh ke tanah ketika kakek berkepala botak itu menuangkan
araknya. Bahkan sekitar mulutnya dibasahi arak.
Dengan gerakan kasar dan sembarangan, kakek ber-
perut buncit itu mengusap mulut dengan punggung tangan, sehabis menuangkan arak.
Kemudian, guci arak itu di-turunkan dari atas wajahnya seraya melangkah maju.
Buntara dan Kera Bukit Setan mengerutkan alisnya melihat kakek berkepala botak
itu berkali-kali hampir jatuh ketika melangkah. Tubuhnya oleng ke sana kemari.
Jelas, kakek ini dalam keadaan mabuk.
Mendadak wajah kedua tokoh sakti itu memucat ketika teringat seorang tokoh yang
mempunyai ciri-ciri seperti itu.
Seorang tokoh sesat yang tak kenal ampun, dan sudah lama mengasingkan diri.
Sehingga, julukannya sudah mulai dilupakan orang! Setan Mabuk, itulah
julukannya! Tapi bukankah tokoh yang menggiriskan ini tinggal di Gunung Langkat,
yang jauh dari tempat ini" Mengapa sampai tiba di sini" Berbagai pertanyaan
berkecamuk di benak kedua orang itu.
*** "He he he...! Mengapa berhenti. Sapi Gendut.."!" sambil melangkah sempoyongan,
kakek berkepala botak yang berjuluk Setan Mabuk itu menegur Buntara. "Mengapa
tarian sapi gendut itu dihentikan"!"
Mendengar kata-kata yang bernada hinaan, selebar wajah Wakil Ketua Perguruan
Naga Hijau itu merah padam.
Meskipun begitu, tetap saja raut wajahnya tidak
menampakkan kemarahan. Wajah Buntara tetap cerah, dan senyum tetap mengembang di
bibirnya. Sepasang matanya pun berbinar-binar.
"Kau juga, Kambing Kurus. Mengapa berhenti menari"
Teruskan...!"
Sambil berkata demikian. Setan Mabuk kembali
mengangkat guci araknya yang besar, dan menuangkan ke mulutnya.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melalui tenggorokan kakek
berkepala botak itu.
"Ah...! Nikmaaat..!"
Dengan punggung tangan. Setan Mabuk mengusap
tumpahan arak yang membasahi sekitar mulutnya. Kasar sekali caranya. Bahkan
berkesan menjijikkan.
"Keparat...!"
Kera Bukit Setan berteriak memaki. Laki-laki berompi hitam ini tidak tahan
dihina seperti itu. Maka....
Ctarrr...! Suara menggelegar keras diiringi mengepulnya asap berwarna putih terdengar
ketika ujung cambuk itu melecut di udara. Baru kemudian, ujung cambuk itu
meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Setan Mabuk.
Kejam dan telengas sekali gerakan Kera Bukit Setan.
Sekali menyerang sudah meluncurkan serangan yang dapat membuat nyawa kakek
berkepala botak itu pergi ke alam baka. Ubun-ubun merupakan salah satu bagian
terlemah pada tubuh manusia. Dan kini, ujung cambuk yang mampu menghancurkan
batu karang itu meluncur deras ke bagian itu.
Buntara terperanjat juga melihat serangan maut itu.
Apalagi, tampaknya Setan Mabuk seperti tidak mengetahui adanya bahaya. Dia masih
sibuk mencium-cium bau araknya.
Melihat hal ini, semula kakek berwajah penuh senyum itu ingin menolong. Tapi
niatnya segera diurungkan ketika teringat kalau kakek ini memiliki kepandaian
amat tinggi. Hal itu bisa diketahui dari suara Setan Mabuk yang mampu menindih suara gerakan
pedangnya. Padahal, tokoh sesat pemabukan itu hanya pelan saja mengucapkannya.
Tindakan Buntara menahan gerakannya ternyata tepat sekali. Buktinya, begitu
ujung cambuk itu hampir mengenai sasaran, tanpa mengangkat wajah, Setan Mabuk
mengulur tangan menyambut.
Wajah Buntara dan Kera Bukit Setan berubah seketika.
Apa yang dilakukan Setan Mabuk benar-benar di luar dugaan! Ujung cambuk yang
mampu menghancurkan batu yang paling keras sekalipun, hanya ditangkis dengan
tangan kosong! Suatu hal yang tidak akan mungkin dapat dilakukan Buntara!
Itulah sebabnya, tindakan Setan Mabuk benar-benar menimbulkan keterkejutan
Buntara dan Kera Bukit Setan.
Apalagi, cara kakek berkepala botak itu memapak, sepertinya tanpa mengerahkan
tenaga dalam sama sekali.
Gerakannya begitu sembarangan saja!
Prattt..! Telak dan keras sekali ujung cambuk itu berbenturan dengan tangan Setan Mabuk.
Dan sebelum Kera Bukit Setan sempat berbuat sesuatu, tangan kakek berbaju rompi
bulu burung itu bergerak menangkap. Dan...
Tappp...! Tanpa mampu dicegah, ujung cambuk Kera Bukit Setan telah tertangkap tangan Setan
Mabuk. Dan secepat cambuk itu tercekal, secepat itu pula kakek berkepala botak
ini membetotnya.
Kera Bukit Setan tentu saja tidak merelakan senjata andalannya dirampas. Maka
begitu lawan membetot, seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk mempertahan-
kannya. Tapi usaha yang dilakukan laki-laki berompi hitam ini sia-sia. Tenaga betotan
itu memang terlalu kuat. Karena bersikeras mempertahankan cambuk, maka Kera
Bukit Setan pun ikut tertarik ke depan.
Masih bersikap sembarangan, Setan Mabuk kembali
menggerakkan tangannya. Kali ini tangan yang menggenggam cambuk diputar-
putarkan. Gila! Betapapun Kera Bukit Setan berusaha memper-tahankannya, tetap saja
tubuhnya ikut terbawa arah gerakan tangan Setan Mabuk. Dan kini tubuh laki-laki
berompi hitam itu terputar-putar di udara. Dan dengan sendirinya, Kera Bukit
Setan tidak mampu mengadakan perlawanan lagi. Tidak ada lagi landasan baginya
untuk dijadikan tempat menahan putaran tangan lawan. Kini, dia hanya bisa pasrah
saja. "He... he... he...! Menarik sekali..! Ada kambing kurus yang bisa terbang dan
berputaran di udara...!"
Setan Mabuk tertawa-tawa gembira. Bahkan juga
menambah tenaga putaran tangannya, sehingga membuat putaran tubuh Kera Bukit
Setan semakin cepat.
Laki-laki kecil kurus itu menggigit bibir. Pening kepalanya karena diputar-putar
seperti itu. Sekelilingnya tampak berputar cepat. Disadari, kalau tidak berbuat
sesuatu, keadaannya semakin gawat.
*** Buntara memperhatikan semua itu dengan mata
terbelalak. Kalau tidak melihatnya sendiri, dia mungkin tidak akan percaya akan
kenyataan ini. Telah dibuktikan-nya sendiri kelihaian Kera Bukit Setan. Tapi,
mengapa Setan Mabuk mampu melumpuhkannya dalam se-gebrakan" Sulit dibayangkan,
sampai di mana ketinggian ilmu kakek berkepala botak ini.
Melihat kenyataan ini saja, Buntara tahu kalau dirinya pun bukan tandingan kakek


Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemabukan itu. Tapi meskipun begitu, kakek berwajah penuh senyum ini tidak sudi
bersikap pengecut dan melarikan diri. Buntara memutus-kan untuk tetap berada di
situ, dan melihat perkembangan yang akan terjadi.
Sementara itu putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin menjadi-jadi. Tubuh laki-
laki berompi hitam itu sudah tidak tampak lagi oleh pandangan mata, karena
tubuhnya begitu cepat berputar. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan bayangan
hitam yang berputaran cepat di atas kepala Setan Mabuk.
"He... he... he...! Sekarang kambing kurus ini akan pergi ke neraka...!"
Setelah berkata demikian, kakek berkepala botak itu melepaskan cekatannya pada
cambuk itu. Tak pelak lagi, tubuh yang tengah berputaran itu terlontar jauh!
Bagai diberi aba-aba, tiga buah kepala sama-sama memandang ke arah tubuh Kera
Bukit Setan melayang.
Kepala Buntara, Jagar, dan Subarji mengikuti arah tubuh Kera Bukit Setan yang
meluncur deras.
Kera Bukit Setan saat itu sudah setengah sadar. Rasa pusing dan mual seketika
berkumpul menjadi satu. Bahkan telah hampir pingsan! Mungkin kalau Setan Mabuk
sedikit menunda lemparannya, laki-laki kecil kurus ini sudah pingsan.
Karena masih ada kesadaran yang tersisa, sehingga membuat Kera Bukit Setan
berusaha menyelamatkan
selembar nyawanya. Dia berusaha melihat keadaan tempat tubuhnya meluncur. Tapi
rasa pusing yang mendera, membuat pandangannya tetap berputar.
Dalam kesadaran yang hanya tinggal sedikit itu, laki-laki berompi hitam ini
berusaha terus menggunakan akalnya.
Dia tahu, saat ini pandangannya tidak bisa diandalkan.
Betapapun telah dipaksakan melihat ke depan, tetap saja seperti berputar.
Maka, untung-untungan laki-laki kecil kurus ini menjulurkan kedua tangannya ke
depan seraya mengerahkan seluruh tenaga dalam. Maksudnya, agar bila membentur
pohon besar atau batu, kedua tangannya itulah yang menahannya lebih dulu. Dan
karena tangannya telah dilindungi pengerahan tenaga dalam, kemungkinan untuk
celaka kecil sekali.
Srakkk...! Rupanya keberuntungan masih bersahabat dengan Kera Bukit Setan. Dan memang,
ternyata tubuhnya meluncur deras ke arah semak-semak. Suara berkerosakan nyaring
yang diakhiri suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh laki-laki berompi
hitam itu menerobos kerimbunan semak dan roboh di tanah.
"He... he... he...! Rupanya nasib kambing kurus itu bagus juga...!" kata Setan
Mabuk sambil terkekeh.
Setan Mabuk dan juga tiga orang lainnya terus memperhatikan tubuh Kera Bukit
Setan. Guci arak kakek berkepala botak itu segera diangkat kembali ke arah
wajah, lalu menuangkan isinya ke mulut. Suara tegukan nyaring kembali terdengar
ketika arak itu meluncur menuju perutnya.
Dengan gerakan kasar, kakek berkepala botak itu
menurunkan kembali guci araknya, lalu dipegang dengan tangan kiri. Sementara
tangan kanannya, dengan gerakan kasar mengusap mulutnya yang penuh ceceran arak
di sana-sini. "He... he... he. .! Kalian pun akan mengalami hal yang serupa apabila tidak mau
menunjukkan di mana Dewa Arak sekarang berada. He... he... he...!"
Dengan terputus-putus karena pengaruh hawa arak, kakek berkepala botak itu
mengucapkan ancaman seraya melangkah terhuyung-huyung mendekati Buntara.
"Dewa Arak..."!"
Hampir berbareng Buntara, Subarji, dan Jagar meng-gumamkan julukan itu. Raut
wajah mereka seketika membayangkan keterkejutan yang hebat.
"He... he... he...! Benar! Dewa Arak...!" dengan suara tawa terkekeh yang tidak
pernah tinggal dari mulutnya, kakek berkepala botak itu menyahuti. Jelas,
pengaruh araklah yang membuatnya mudah sekali tertawa. "Kalau tidak mau memberi
tahu di mana dia berada, kalian akan mengalami nasib yang sama."
Sambil berkata demikian, Setan Mabuk menatap tajam ke arah Buntara. Sepasang
mata kakek berkepala botak ini tampak merah menyala. Entah karena memang warna
matanya yang demikian, atau karena terlalu banyak minum arak.
"Aku memang sering mendengar nama besarnya. Tapi aku tidak tahu di mana adanya
pendekar besar itu.
Andaikan tahu, tidak bakalan akan kuberitahukan padamu!"
Tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut kakek berwajah penuh senyum
itu. Jelas, seperti men-cerminkan kekukuhan yang tidak mungkin mampu
digoyahkan. Apalagi sehabis mengucapkan kata-kata itu, Buntara menyilangkan
pedangnya di depan dada. Semakin terlihat keteguhan hatinya memegang ucapannya.
Hanya saja, raut wajah kakek ini tidak terlihat bersungguh-sungguh. Sehingga
orang yang melihatnya, akan mengira Buntara bersikap main-main.
"He... he... he...!" Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh-kekeh. "Rupanya sapi
gendut ini minta cepat-cepat disembelih!"
Buntara sama sekali tidak mempedulikan hinaan itu.
Bahkan tanpa ragu-ragu lagi segera melangkah mendekati.
Langkahnya tidak sembarangan, tapi menyilang. Sementara sepasang matanya beredar
mencari-cari bagian tubuh lawan yang akan diserang.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh saja melihat sikap lawannya, dan tampak
memandang remeh sekali.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan keras yang menggetarkan jantung, dan membuat kedua kaki Jagar
dan Subarji mendadak lemas, Buntara menusukkan pedang ke arah dada Setan Mabuk.
Suara mendesing nyaring dari udara yang terobek
terdengar ketika pedang itu meluncur menuju sasaran.
*** 4 Setan Mabuk tertawa terkekeh. Kemudian dengan
langkah terhuyung seperti akan jatuh, kakinya melangkah ke kanan sambil
mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu pun kandas, lewat setengah jengkal di
samping kiri tubuhnya.
Buntara menggertakkan giginya. Rasa penasaran
melanda hatinya. Maka begitu serangan pertamanya berhasil dielakkan, segera
disusuli dengan serangan bertubi-tubi lainnya.
Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini mengerahkan seluruh kemampuannya. Pedang di
tangannya berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan.
Menusuk, membacok, menetak, dan menyontek. Tapi, tak satu pun yang mengenal
sasaran. Setan Mabuk dengan gerakan seperti akan jatuh, membuat semua serangan
Buntara kandas percuma!
Meskipun berkali-kali serangannya gagal, kakek berwajah penuh senyum itu tidak
putus asa. Dia terus melancarkan serangan bertubi-tubi. Tekadnya tidak akan
membiarkan lawan melancarkan serangan balasan.
Sampai dua puluh jurus lebih, Buntara mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menjatuhkan serangan
pada anggota tubuh Setan Mabuk. Tapi semua usahanya sama sekali tidak membuahkan
hasil seperti yang diharap-kan. Setan Mabuk dengan gerakan-gerakan aneh benar-
benar membuat serangan Buntara jadi kandas.
"He... he... he...! Kini giliranku, Sapi Gendut..!" kata Setan Mabuk.
Dan begitu ucapannya selesai, gerakannya pun berubah mendadak. Tidak lagi lemas
dan meliuk-liuk seperti akan jatuh. Namun kejang, keras, dan kasar penuh
kekuatan. Dan kini tangan kanan Setan Mabuk mendadak dan
tiba-tiba meluncur deras ke arah pelipis.
Buntara terkejut bukan kepalang menghadapi
perubahan yang begitu mendadak ini, sehingga membuatnya agak gugup. Tanpa pikir
panjang lagi dia melompat ke belakang.
Usaha kakek berwajah penuh senyum ini ternyata tidak sia-sia. Sambaran tangan
itu berhasil dielakkan, lewat beberapa jengkal dari sasaran semula.
Tapi serangan Setan Mabuk ternyata tidak hanya
sampai di situ. Begitu serangan pertama berhasil dielakkan, segera menyusuli
dengan serangan selanjutnya.
Kini setelah kakek berkepala botak itu melancarkan serangan balasan, dan tidak
hanya mengelak saja seperti sebelumnya, Buntara baru merasakan betapa dahsyat
lawannya. Memang diakui dia kalah dalam segala-galanya dibanding Setan Mabuk.
Baik ilmu meringankan tubuh, tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat.
Dan begitu kakek berkepala botak mulai balas
menyerang, serangan Buntara berhenti seketika. Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau
ini hanya mampu mengelak.
Tubuhnya harus terpontang-panting ke sana kemari untuk menghindari serangan yang
berkali-kali hampir merenggut nyawanya.
Kini Buntara hanya mampu mengelak. Menangkis pun hanya kalau ada kesempatan
saja. Bila mengelak sudah tidak memungkinkan lagi, sementara menyerang pun hanya
sekali-sekali saja dilakukannya. Kakek berpakaian kuning ini benar-benar
terdesak hebat. Sudah bisa dipastikan kalau robohnya Wakil Ketua Perguruan Naga
Hijau ini hanya tinggal menunggu waktu saja.
Wuttt..! Dengan gerakan tidak terduga-duga karena posisi
kakinya tidak tetap. Setan Mabuk mengayunkan gucinya ke arah kepala Buntara.
Karena tidak ada kesempatan mengelakkan serangan, terpaksa Buntara memutuskan
untuk menangkis demi menyelamatkan selembar nyawanya.
Tranggg..! Suara berdentang nyaring terdengar ketika pedang Buntara berbenturan dengan guci
Setan Mabuk. Akibatnya, kakek berwajah penuh senyum itu langsung memekik
tertahan. Tangannya terasa lumpuh, sehingga tanpa dapat ditahan pedangnya
terlepas dari pegangan dan terlempar jauh.
Sebelum Buntara berhasil memperbaiki posisi, tangan Setan Mabuk telah meluncur
deras ke arah dadanya.
Dan.... Bukkk...! Tubuh Buntara terlempar ke belakang diiringi suara berderak keras dari tulang-
tulang yang patah terkena pukulan. Darah segar langsung berceceran seiring
melayangnya tubuh kakek berwajah penuh senyum itu.
Brukkk...! Tidak ada geliat-geliat pada tubuh Buntara begitu menghantam tanah. Memang,
nyawa Wakil Ketua
Perguruan Naga Hijau ini telah melayang selagi tubuhnya berada di udara.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya kini diam tidak bergerak
lagi. Sejenak, diperhatikannya tubuh yang tergolek diam di tanah.
*** Subarji terpaku menatap mayat gurunya. Tapi, hanya sesaat saja dia berlaku
demikian. Karena, kemarahan yang amat sangat telah menyadarkannya kembali dari
ke-terpakuan. Maka, sambil meraung keras seperti binatang buas terluka, Subarji melompat ke
atas. Beberapa kali tubuhnya berputar di udara, lalu dari atas pedangnya menusuk
cepat ke arah ubun-ubun.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Dengan gerakan sembarangan, tangan kanannya
segera terulur. Dan....
Tappp...! Sungguh di luar dugaan, mata pedang Subarji berhasil ditangkap! Bahkan tidak
sedikit pun tangan Setan Mabuk terluka. Dan secepat senjata itu tertangkap,
secepat itu pula dibetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh Subarji pun tertarik ke bawah.
Tenaganya memang jauh di bawah tenaga Setan Mabuk.
Jadi, tidak aneh jika dia ikut tertarik ke bawah sewaktu kakek berkepala botak
itu membetotnya. Apalagi,
keadaannya memang tidak memungkinkan. Tubuhnya
tengah berada di udara, dan tidak memiliki tandasan untuk berpijak.
Begitu tubuh Subarji telah tertarik. Setan Mabuk langsung menyodokkan pedang
yang digenggamnya.
Blesss...! "Akh...!"
Subarji menjerit keras ketika gagang pedang miliknya amblas ke dalam perutnya
sendiri hingga sampai ke punggung. Darah segar seketika muncrat-muncrat dari
lukanya. Dan begitu kakek berkepala botak itu melepaskan pegangan, tubuh Subarji
ambruk ke tanah. Sebentar laki-laki berkumis rapi itu menggelepar, lalu diam tak
berkutik lagi. Mati.
Perhatian Setan Mabuk kini beralih pada Jagar yang berdiri dalam jarak sekitar
tujuh tombak di hadapannya.
"Tahan, Setan Mabuk..!" seru Jagar keras seraya menjulurkan kedua tangannya ke
depan. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini sengaja buru-buru berteriak mencegah,
sebelum kakek berkepala botak itu melakukan tindakan terhadapnya.
"He... he... he...! Mengapa, Lutung Jelek"! Apakah kau tahu di mana Dewa Arak
sehingga berani mencegahku"
Perlu kau ketahui, aku tidak akan mengampunimu kalau kau tidak memberi tahu di
mana adanya orang yang berani-beraninya menyaingi julukanku!"
Jagar menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Ucapan
kakek berkepala botak itu membuatnya merasa gentar bukan kepalang.
"Aku memang tidak mengetahui di mana Dewa Arak, Setan Mabuk. Tapi aku tahu,
bagaimana caranya supaya dia datang mencarimu!"
Setan Mabuk mengangguk-anggukkan kepala.
"He... he... he...! Bagus! Bagus sekali...! Bagaimana caranya, Lutung Jelek"!"
Sambil berkata begitu. Setan Mabuk melangkah menghampiri Jagar. Tentu saja
dengan langkahnya yang terhuyung-huyung seperti akan jatuh.
Kedua kaki Jagar mendadak lemas tatkala kakek berkepala botak itu mendekatinya.
Rasa gentar dan ngeri membuat kedua kakinya lemas mendadak.
"Buat kekacauan saja...! Pasti, Dewa Arak akan datang."
"Kalau dia tidak muncul, bagaimana..."!"
"Pasti datang, Setan Mabuk'" sahut Jagar yakin. "Aku tahu betul, Dewa Arak
adalah orang yang mempunyai sifat usilan. Dia selalu ikut campur urusan orang
lain." Jagar menghentikan ucapannya sejenak. Diperhatikannya wajah Setan Mabuk lekat-
lekat. Tegang hatinya ketika melihat kakek berkepala botak itu mengernyitkan
dahinya, pertanda tengah berpikir keras. Dua pilihan kini tengah ditunggunya.
Apakah Setan Mabuk ini menolak, atau menerimanya.
"Aku yakin, dia akan muncul ke tempat kekacauan itu, Setan Mabuk. Karena aku
tahu. Dewa Arak telah berada di wilayah ini. Itu kudengar dari mulut perampok
Hutan Gembor yang diampuninya."
"He... he... he...! Kau benar, Lutung Jelek! Aku pun men-dengarnya. Itulah
sebabnya, mengapa aku keluar dari tempatku. Ingin kulihat, seperti apa orang
yang berani menyaingi julukanku! He... he... he..!"
"Kalau begitu, aku akan menghubungi rekan-rekanku dulu. Setan Mabuk."
"He... he... he.... Untuk apa, Lutung Jelek"!"
"Tentu saja untuk membuat kekacauan di mana-mana.
Tapi..." "Tapi apa"!" sentak Setan Mabuk begitu Jagar menghentikan ucapannya.
Terlihat Jelas, laki-laki bercambang bauk lebat itu merasa ragu-ragu meneruskan
ucapannya. Jagar tidak langsung menjawab, dan hanya berdiam diri dengan sikap
gugup. "Cepat katakan, sebelum kesabaranku hilang dan kau kujadikan bangkai..!" ancam
Setan Mabuk. Wajah Jagar seketika memucat mendengar ancaman
kakek berkepala botak itu. Dia tahu. Setan Mabuk tidak pernah bermain-main
dengan ancamannya. Laki-laki bertubuh tinggi besar ini merasakan adanya nada
kesungguhan dalam ucapan tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Selama ini, tindakan kami selalu dihalang-halangi murid-murid Perguruan Naga
Hijau...," sahut Jagar dengan nada terpaksa.
"He... he... he...! Kukira apa! Tak tahunya hanya itu saja, Lutung Jelek"!
Mengenai Perguruan Naga Hijau, biar aku yang urus! Aku akan datang ke sana untuk
memusnahkan perguruan itu selama-lamanya!" tandas Setan Mabuk.
Keras dan lantang suaranya.
"Tapi... Tapi..., di tiap desa ada murid-murid Perguruan Naga Hijau yang
menetap, Setan Mabuk...!"
Kakek berkepala botak itu kebingungan sesaat.
"Kau boleh pergi dengan si kambing kurus itu...!" kata tokoh sesat pemabukan itu
sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerimbunan semak-semak, tempat Kera Bukit
Setan tadi terjatuh.
Tak puas hanya dengan menunjuk. Setan Mabuk
melangkah menghampiri kerimbunan semak-semak itu.
Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya telah melesat sejauh sebelas
tombak. Dari sini saja sudah bisa diketahui, betapa tingginya ilmu meringankan


Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh yang dimiliki kakek berkepala botak ini. Tidak heran dalam sekejapan saja,
dia sudah berada di tempat yang dituju.
Srakkk...! Terdengar suara berkerosak ketika semak itu tersibak.
Dan bertepatan dengan terkuaknya kerimbunan semak-semak itu. Kera Bukit Setan
baru saja bangkit dari ber-baringnya.
"Kau mau menjadi anak buahku, Kambing Kurus"!"
tanpa menunggu lebih lama lagi. Setan Mabuk langsung mengajukan pertanyaan.
Tanpa pikir panjang lagi. Kera Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Jawab kalau kutanya, Kambing Kurus"!" sergah kakek berkepala botak itu keras.
"Aku bersedia...!" jawab Kera Bukit Setan.
"He... he... he...! Sekarang dengar baik-baik perintahku."
Langsung saja Setan Mabuk memberi perintah. "Kau bersama lutung jelek itu harus
membuat kekacauan di setiap desa. Dan bila telah melihat kedatangan Dewa Arak,
segera beri tahu aku...! Mengerti"!"
"Mengerti, Setan Mabuk."
"He... he... he...! Bagus...! Bagus...! Kau memang tidak terlalu dungu, Kambing
Kurus!" Sambil berkata demikian, tangan Setan Mabuk bergerak menepuk-nepuk pipi Kera
Bukit Setan yang hanya bisa berdiam diri saja. Laki-laki berompi hitam ini tahu,
tidak ada gunanya melawan kakek berperut buncit itu. Melawan, berarti mati. Maka
lebih baik mengalah saja.
"Ada satu lagi yang perlu kau ingat, Kambing Kurus,"
sambung Setan Mabuk lagi.
"Apa itu, Setan Mabuk"!"
"Setiap membuat kekacauan, jangan kau membinasakan semua orang. Sisakan beberapa
orang agar memberi laporan pada Dewa Arak. Katakan! Bila Dewa Arak tidak ingin
semua ini terjadi, dia harus datang dan meladeni tantanganku! Jelas"!"
"Jelas!" Kera Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, pergilah...!"
Kakek berkepala botak ini lalu mengibaskan tangannya.
Perlahan saja kelihatannya, tapi akibatnya tubuh Kera Bukit Setan terlempar
jauh. Apalagi laki-laki kecil kurus ini sama sekali tidak menduga mendapat
perlakuan seperti itu. Baru ketika tubuhnya telah berada di udara, Kera Bukit
Setan berusaha keras agar tubuhnya tidak terbanting di tanah. Dengan
kelihaiannya, tidak sulit mematahkan daya lontaran itu. Kemudian, kakinya
mendarat ringan dan mantap di sebetah Jagar.
"Ingat! Kalau main-main, tahu sendiri akibatnya...!"
Seketika tubuh Setan Mabuk pun berkelebat dari situ.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya sudah berupa titik hitam.
Semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Hampir berbareng Jagar dan Kera Bukit Setan menghela napas lega. Kini hati
mereka tenang kembali begitu Setan Mabuk tidak terlihat lagi. Keduanya kemudian
saling pandang sejenak
"Kau bersedia menjadi anak buahnya?" tanya Kera Bukit Setan sambil menatap wajah
Jagar lekat-lekat.
"Apa boleh buat, daripada nyawaku melayang," sahut laki-laki bercambang bauk
lebat itu. "Toh, tidak ada ruginya mempunyai pimpinan seperti dia. Kepandaiannya
luar biasa! Bersama dia, aku akan bebas berbuat semauku tanpa takut lagi pada
orang-orang usilan dari Perguruan Naga Hijau! Dan pasti perguruan itu tak lama
lagi akan musnah!"
"Heh..."!" Kera Bukit Setan terperanjat "Benarkah ucapanmu itu?"
Jagar mengangguk.
"Setan Mabuk pergi ke sana untuk menghancurkannya."
Kera Bukit Setan mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti.
*** 5 Setan Mabuk berlari cepat mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Tokoh sesat berkepala botak itu ingin buru-
buru tiba di tempat yang ditujunya. Padahal, markas Perguruan Naga Hijau
terletak cukup jauh dari tempatnya sekarang berada. Namun bila dibanding desa-
desa lainnya. Desa Koneng memang terletak paling dekat dengan Perguruan Naga
Hijau di lereng Gunung Koneng.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah amat tinggi, dalam waktu tak berapa
lama kakek berkepala botak ini telah berada di kaki Gunung Koneng. Dan kini, dia
mulai sibuk mendaki ke atas.
Lincah dan gesit laksana kera, Setan Mabuk ber-
lompatan ke sana kemari. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian hinggap pada batu-
batuan yang menonjol. Begitu ujung kakinya menotok bebatuan, tubuhnya kembali
melenting ke atas. Begitu seterusnya. Memang bagi seorang yang memiliki ilmu
meringankan tubuh sepertinya bukan merupakan hal yang sulit untuk melakukan
semua itu. Tak lama kemudian, pandangan matanya sudah
menangkap bangunan besar dan megah di kejauhan.
Melihat hal ini, semangat Setan Mabuk pun semakin bertambah. Dan dengan
demikian, larinya pun semakin cepat pula.
Sementara itu di Perguruan Naga Hijau, dua orang murid penjaga gerbang tampak
mengernyitkan dahi. Mereka melihat di kejauhan ada sesosok tubuh yang tengah
bergerak mendekati perguruan. Karena belum mengetahui maksud kedatangan sosok
tubuh yang tengah bergerak, kedua orang itu harus bersikap waspada.
"He... he... he...!"
Begitu telah berjarak dua tombak dengan kedua orang penjaga pintu gerbang. Setan
Mabuk tertawa terkekeh, setelah terlebih dahulu menghentikan langkahnya.
Kemudian, diangkatnya guci yang sejak tadi digenggam dengan tangan kiri.
Dan kini terdengar suara tegukan ketika cairan arak melewati tenggorokan kakek
berkepala botak itu.
"Siapa kau"!" tegur seorang murid Perguruan Naga Hijau yang berkulit kemerahan.
"Apa keperluanmu datang kemari?"
"He... he... he...!"
Setan Mabuk menurunkan guci araknya, seraya
mengusap sekitar mulutnya yang basah dengan punggung tangan. Kemudian dengan
keadaan tubuh doyong ke sana kemari, kakinya melangkah mendekati kedua orang
murid Perguruan Naga Hijau.
"Aku" Kau bertanya siapa diriku. Kodok Buduk"! He...
he... he...! Lucu! Kau tidak mengenalku" Aku Setan Mabuk!
Dengar, Setan Mabuk! Dan keperluanku adalah akan membasmi perguruan kalian!"
"Keparat!" maki penjaga pintu gerbang yang seorang lagi.
Dan... Srattt...! Sinar terang berkilatan ketika penjaga itu meloloskan pedang dari sarungnya.
"Cabut senjatamu, Setan Mabuk! Sebelum pedang di tanganku merobek-robek perutnya
yang bulat seperti guci arakmu!"
"Hm...!" terdengar suara gumaman dari hidung Setan Mabuk.
Mendadak... Pruhhh...! Dari mulut Setan Mabuk tiba-tiba keluar butir-butir arak.
Rupanya kakek berperut buncit ini tadi tidak meminum arak seluruhnya. Sebagian
disimpannya di mulut, dan langsung disemburkan ke arah murid Perguruan Naga
Hijau yang telah menantangnya.
Semburan arak Setan Mabuk tidak bisa dianggap
remeh, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga,
semburan itu tak ubahnya luncuran anak panah.
Kedua orang murid Perguruan Naga Hijau yang menjaga pintu gerbang seketika
terperanjat Apalagi, rekan si laki-laki berkulit kemerahan yang mendapat
serangan itu. Dengan agak gugup pedangnya digerakkan untuk
menangkis serangan semburan arak itu.
Tring, tring. tring...!
Tasss, tasss, tasss...!
"Akh...!"
Murid Perguruan Naga Hijau menjerit memilukan ketika butiran-butiran arak itu
mengenai beberapa bagian wajahnya. Akibatnya mengerikan sekali. Sekujur wajah
yang terkena semburan arak itu berlubang. Darah segar langsung menetes dari
bagian yang terkena. Tak pelak lagi, selebar wajah murid yang sial itu dipenuhi
darah. Rasa sakit dan perih yang amat sangat mendera rekan laki-laki berkulit
kemerahan itu. Dan belum sempat murid yang sial itu berbuat sesuatu, tangan Setan Mabuk telah
bergerak melambai. Seketika murid Perguruan Naga Hijau itu tertarik keras ke
depan. Dan begitu tubuhnya telah dekat, kakek berkepala botak itu mengayunkan gucinya
ke arah kepala.
Wuttt ! Prakkk..!
Suara berderak keras mengiringi pecahnya kepala rekan laki-laki berkulit
kemerahan. Cairan merah bercampur putih seketika muncrat-muncrat. Tubuh orang
itu langsung ambruk tanpa bersuara lagi. Saat itu juga, nyawa murid Perguruan
Naga Hijau seketika melayang meninggalkan raganya
Laki-laki berkulit kemerahan terperanjat melihat kematian kawannya secara begitu
mudah dan mengerikan.
Tapi sesaat kemudian, rasa terkejutnya segera sirna dan berganti kemarahan yang
amat sangat. Kakek ini datang-datang telah menurunkan tangan maut pada rekannya.
Ini tidak bisa didiamkan.
Srattt...! Laki-laki berkulit kemerahan itu pun mencabut pedang, dan langsung menusukkannya
ke arah dada kakek berperut buncit.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Sama sekali tidak dipedulikannya sambaran
pedang yang meluncur cepat ke arah perutnya.
Takkk...! Pedang murid Perguruan Naga Hijau langsung terpental kembali begitu mengenal
sasaran. Sepertinya, yang ditusuk laki-laki berkulit kemerahan adalah gumpalan
karet kenyal! Maka laki-laki berkulit kemerahan itu terperanjat begitu melihat perut lawan
sama sekali tidak terpengaruh oleh tusukan pedangnya. Bahkan justru tangannya
yang terasa bergetar hebat.
Belum lagi rasa terkejutnya hilang, tangan Setan Mabuk telah mencengkeram
pangkal lehernya. Langsung dibentur-kannya kepala murid Perguruan Naga Hijau
Lima Utusan Akherat 2 Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Menuntut Balas 26
^