Setan Mabok 2
Dewa Arak 23 Setan Mabok Bagian 2
dengan kepalanya sendiri.
Prakkk...! Terdengar suara berderak keras ketika kepala laki-laki berkulit kemerahan itu
hancur berantakan. Tubuhnya limbung sejenak, lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia
menggelepar, kemudian tak berkutik lagi.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat lawan tak ber-daya lagi. Kemudian bagaikan
melempar sebuah karung basah, mayat laki-laki berkulit kemerahan itu dicampakkan
begitu saja ke tanah. Lalu, tokoh sesat itu melesat ke dalam.
*** Baru saja melewati pintu gerbang yang memang
terbuka, di hadapan Setan Mabuk telah berdiri belasan orang berseragam kuning
bergambar naga pada dada kirinya. Semuanya murid Perguruan Naga Hijau. Rupanya,
mereka mendengar adanya keributan di luar, sehingga berbondong-bondong menuju ke
luar. Betapa terkejutnya hati murid-murid Perguruan Naga Hijau begitu melihat seorang
kakek berkepala botak telah melesat masuk sambil tertawa terkekeh-kekeh. Dari
sikapnya yang kasar, bisa diduga golongan kakek gendut itu berasal. Tidak salah
lagi! Pasti golongan hitam!
Melihat orang kasar seperti kakek itu bisa masuk ke dalam, sudah dapat
dipastikan kalau masuknya pasti dengan cara paksa. Dan itu berarti dua orang
penjaga pintu gerbang telah berhasil digilasnya. Tanda noda darah di bagian
kepala Setan Mabuk kian memperjelas persoalannya.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat keterkejutan belasan murid Perguruan Naga
Hijau di hadapannya.
Kakek berkepala botak ini memang sudah memutuskan untuk menghancurkan Perguruan
Naga Hijau, bukan
karena ingin membantu Jagar, tapi karena ingin membuat kerusuhan sebanyak
mungkin agar Dewa Arak muncul.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, segera diserbunya belasan murid Perguruan Naga
Hijau yang memang sudah bersiap dengan senjata di tangan.
Sekali menyerang, Setan Mabuk langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Seribu
Satu Gerakan Setan Mabuk'.
Kedua tangannya yang terbentuk cakar aneh, guci, dan juga araknya dikeluarkan
untuk menghadapi belasan orang pengeroyoknya.
Sepak terjang Setan Mabuk benar-benar menggiriskan.
Setiap kali tangan, guci, atau araknya meluncur, sudah dapat dipastikan ada
sosok tubuh yang ambruk ke tanah.
Dalam waktu sebentar saja, empat orang murid Perguruan Naga Hijau roboh
bergelimpangan untuk selama-lamanya.
Murid-murid Perguruan Naga Hijau yang tersisa terkejut bukan main melihat
kehebatan kakek berperut buncit itu.
Sungguh tidak disangka kalau dalam beberapa gebrakan saja, Setan Mabuk mampu
membinasakan keempat rekan mereka.
Pikiran seperti itu membuat mereka memaksakan diri untuk mengeluarkan seluruh
kemampuan yang dimiliki.
Senjata-senjata mereka pun berkelebat mencari sasaran.
Tapi perlawanan keras murid-murid Perguruan Naga Hijau sama sekali tidak berarti
banyak. Setan Mabuk terlalu tangguh untuk dapat ditandingi. Setiap serangan
pedang yang menyambar, selain ke arah matanya dibiarkan saja.
Hebatnya, setiap serangan yang menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk
kembali membalik seperti menghantam gumpalan karet kenyal. Tidak hanya itu saja.
Tangan yang menggenggam pedang pun bergetar hebat seperti akan lumpuh.
Sebaliknya, setiap serangan kakek berperut buncit itu selalu diakhiri oleh
lolong kesakitan yang menyayat hati.
Kedua tangan, guci, dan arak kakek itu sudah beberapa kali merenggut nyawa.
Penjagalan manusia secara tak ber-perikemanusiaan pun berlangsung di halaman Perguruan Naga Hijau.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh begitu tidak ada lagi lawannya yang berdiri
tegak. Semua tergolek di tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
Setelah puas memperhatikan mayat-mayat yang ter-
kapar di tanah. Setan Mabuk bergerak menghampiri bangunan Perguruan Naga Hijau.
Diambilnya beberapa batang kayu dari sekitar bangunan, lalu digosokkannya satu
sama lain. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya, bukan hal yang sulit untuk menyalakan api.
Sesaat kemudian, api pun memercik dan mulai membakar kayu-kayu itu.
"He... he... he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, Setan Mabuk melemparkan potongan-potongan kayu itu
ke arah bangunan.
Tak lama kemudian, api mulai membakar bangunan itu.
Semakin lama, api semakin besar dan membumbung
tinggi. Asap tebal dan hitam pun memenuhi angkasa. Tidak ada jerit kematian,
karena seluruh murid Perguruan Naga Hijau memang telah dibinasakannya. Namun,
entah berada di mana ketua perguruan itu. Mungkin saja dia tengah bersemadi di
puncak Gunung Koneng.
Seiring semakin membesarnya api, sekeliling tempat itu pun terasa panas di kulit
Setan Mabuk laki melangkah ke belakang, karena hawa panas mulai menyengat kulit
tubuhnya. Kakek berperut buncit ini memperhatikan api yang membakar bangunan
perguruan itu dari jarak yang cukup jauh.
"He... he... he...!"
Dengan tawa terkekeh yang selalu keluar dari mulutnya, Setan Mabuk melangkah
meninggalkan tempat itu. Dengan langkah agak terhuyung-huyung, tubuhnya melesat
cepat bagai kilat.
Semakin lama, suara tawa kakek berkepala botak itu semakin mengecil. Suara tawa
itu akhirnya lenyap, seiring dengan tubuhnya yang lenyap di kejauhan.
*** Suara gemeretak kayu yang terbakar diiringi meletiknya beberapa gelintir bara
api, menyemaraki kesibukan seorang pemuda tampan berambut putih keperakan yang
tengah memanggang seekor ayam hutan.
Dengan jakun turun naik dan air liur yang hampir menitik, pemuda berpakaian ungu
itu terus tenggelam dalam kesibukannya. Tangan kanannya mengebut-ngebutkan daun
nangka yang dijadikannya kipas. Sedangkan tangan kirinya sibuk memutar-mutar
bambu yang memanggang ayam.
Cuping hidung pemuda itu kembang kempis begitu
mencium bau sedap daging terbakar. Memang sebelum memanggang, dia telah
membubuhkan bumbu secukup-nya. Tidak aneh jika akhirnya tercium bau sedap,
sehingga perut yang sudah lapar semakin menjerit-jerit minta segera diisi.
Setelah yakin kalau panggangannya telah matang,
pemuda berambut putih keperakan itu mulai menik-
matinya. Tentu saja setelah tidak terasa panas menyengat mulut lagi.
Rupanya, pemuda itu dilanda lapar yang amat sangat.
Terbukti begitu potongan yang pertama telah habis disikat lalu dilanjutkan
dengan potongan selanjutnya. Dalam waktu tak lama, panggang ayam hutan itu telah
habis dilahap. "Ahhh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mendesah puas.
Diusapnya pinggir-pinggir mulut yang penuh minyak dengan punggung tangan.
Kemudian, tubuhnya disandarkan di pohon seraya menepuk-nepuk perutnya yang kini
sudah tidak kempes lagi.
Perlahan-lahan dijumput guci arak yang tadi diletakkan di dekatnya, lalu
didekatkan ke mulut. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar tegukan ketika arak itu melewati
tenggorokan. Menilik dari warna rambut, pakaian yang dikenakan, dan guci arak
yang terbuat dari perak, sudah bisa diterka sosok pemuda itu. Ya! Dialah Arya
Buana alias Dewa Arak.
Tentu saja sewaktu meminum arak, Dewa Arak tidak bermaksud mempergunakan ilmu
'Belalang Sakti'. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya minum sekadarnya
saja. Itulah sebabnya. Begitu araknya diminum, dia tidak terpengaruh sama
sekali. Perut kenyang, tubuh bersandar, dan angin pagi yang semilir, tidak aneh kalau
membuat orang mengantuk.
Begitu pula dengan Arya. Rasa kantuk ini mulai menyerang matanya. Perlahan-lahan
sepasang matanya terpejam sendiri.
Tapi rasa kantuknya kontan menguap entah ke mana ketika terdengar langkah-
langkah kaki mendekati tempatnya. Seketika itu juga sekujur urat-urat syaraf dan
otot-otot Arya menegang waspada, siap menghadapi segala
kemungkinan. Semakin lama, langkah kaki itu semakin jelas terdengar.
Jelas, pemilik langkah itu tengah bergerak mendekati Dewa Arak. Maka pemuda
berambut putih keperakan ini langsung bergerak bangkit.
Guci arak yang tergeletak di samping kanannya,
dibiarkan saja, karena saat ini memang belum diperlukan.
Kini Dewa Arak duduk tegak menunggu. Ingin diketahuinya pemilik langkah itu.
Menilik dari suaranya, dia tahu kalau pemilik langkah itu tidak hanya seorang
saja. Tak lama kemudian, dari arah sebelah kiri Dewa Arak tampak muncul serombongan
orang berwajah angker.
Empat orang di antara mereka memikul sebuah tandu.
Melihat hal ini, kewaspadaan Dewa Arak mulai
mengendur. Menilik dari tandu itu, bisa diduga kalau rombongan yang seluruhnya
berjumlah enam belas orang adalah pengawal pemilik tandu yang akan pindah
tempat. Arya melirik sekilas ke arah rombongan itu. Tampak empat orang berada di depan
tandu yang dipikul oleh empat orang bertubuh kekar dan kuat. Sementara di
belakang, berjalan tak kurang dari delapan orang.
Kemudian tanpa mempedulikan lagi, Dewa Arak segera menyandarkan punggungnya
kembali ke pohon. Memang pohon tempatnya bersandar berada di hadapan bagian
hutan yang biasa dijadikan orang untuk menempuh
perjalanan. Maka, sudah bisa ditebak kalau tidak lama lagi rombongan orang itu
akan berlalu di depan Arya.
Semula Arya menduga kalau pemilik banyak langkah itu adalah rombongan perampok.
Itulah sebabnya, mengapa sikapnya begitu waspada. Maka begitu tahu kalau pemilik
langkah itu hanyalah rombongan orang yang mengawal sebuah tandu yang sudah pasti
dimiliki seorang saudagar, dia pun tidak ambil peduli lagi.
Semakin lama rombongan itu semakin dekat dengan
tempat Arya bersandar. Meskipun terlihat tidak peduli, tapi tetap saja Dewa Arak
memasang pendengarannya tajam-tajam. Maka dia bisa tahu, rombongan itu semakin
mendekati tempatnya.
Mendadak, terdengar suara pelan seperti ada kain tersingkap. Dewa Arak yang
merasa curiga segera membuka mata. Secepat matanya terbuka, secepat itu pula
hatinya tercekat. Suara kain yang tersingkap ternyata berasal dari samping kanan
tandu. Yang mengejutkan Arya bukan tirai yang tersingkap, tapi
'sesuatu' yang melesat cepat dari dalam tandu. Ternyata, empat bilah pisau
melesat ke arahnya disertai suara mendesing nyaring.
Namun Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh.
Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengawali tibanya serangan, sudah bisa
diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Dewa Arak tidak
berani menangkis, karena tidak ada kesempatan lagi untuk mengambil guci.
Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menggulingkan tubuhnya ke samping.
Cappp, cappp...!
Tiga bilah pisau langsung menancap sampai gagangnya di batang pohon tempat
bersandar Dewa Arak tadi. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga
dalam orang yang melemparkannya.
Belum juga Arya sempat memperbaiki keadaannya, dari batik tirai tandu melesat
sesosok bayangan putih.
Langsung dicecarnya pemuda berambut putih keperakan itu dengan pukulan bertubi-
tubi ke arah dada dan ulu hati.
Kali ini Dewa Arak terpaksa menyalahi kebiasaannya.
Biasanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak pernah menangkis langsung serangan
sebelum bisa memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi kali ini, karena
kesempatan yang dimiliki tidak memungkinkan, terpaksa tangannya bergerak
menangkis. Sadar akan kekuatan tenaga dalam lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan dalam tangkisan itu.
*** 6 Plak, plak...!"
Serangan sosok bayangan putih itu semuanya berhasil dikandaskan Dewa Arak.
Bahkan tubuh sosok bayangan itu pun terpental balik ke belakang. Sementara kedua
tangan Arya hanya terasa bergetar hebat.
Lagi-lagi sebelum pemuda berambut putih keperakan itu berhasil memperbaiki
keadaannya, kembali datang
serangan dahsyat. Kali ini bukan dari sosok bayangan putih, melainkan dari
orang-orang berwajah angker yang mengawal tandu.
Secara serempak, mereka semua meluruk memburu
tubuh Dewa Arak yang masih tergeletak di tanah. Senjata-senjata yang tergenggam
dj tangan segera berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Sing, sing, sing...!
Suara-suara mendesing nyaring mengawali tibanya
serangan senjata para pengawal tandu itu.
Kali ini, Dewa Arak sama sekali tidak mengelakkan serangan. Arya tahu, perbedaan
kekuatan tenaga dalam antara dirinya dengan orang-orang berwajah angker itu
sangat jauh. Dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, semua senjata itu mampu
ditangkisnya tanpa terluka.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras terdengar berulang-ulang ketika senjata-senjata itu
berbenturan dengan kedua tangan Dewa Arak. Arya yang tidak mau bersikap main-
main lagi, langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya sudah bisa diduga. Seketika terdengar jeritan-jeritan kaget dari mulut
para pengawal tandu itu ketika tangan mereka mendadak lumpuh. Tak pelak lagi,
senjata yang digenggam pun terlepas dari tangan dan berpentalan entah ke mana.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak.
Kedua tangannya pun diputar di depan dada. Kontan dari kedua tangan yang
berputaran itu muncul angin keras.
Akibatnya, tubuh para pengeroyoknya berpentalan tak tentu arah seperti dilanda
angin topan. "Hih...!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras menggetarkan
jantung, sosok bayangan putih itu melompat menerjang Dewa Arak. Tapi kali ini,
Arya sama sekali tidak ingin menangkis serangan, karena empat orang pemikul
tandu telah bergerak menghampiri guci araknya yang tertinggal.
Sudah bisa diperkirakan tindakan yang akan dilakukan mereka.
Maka seketika tubuh Arya melenting ke atas, melompati tubuh sosok bayangan
putih. Pemuda berambut putih keperakan ini berburu dengan waktu. Guci araknya
harus cepat diambil lebih dulu sebelum empat orang pemikul tandu itu
merampasnya. Menyadari kalau tidak akan sampai lebih dulu, karena jaraknya dengan guci
terlalu jauh, dan sementara empat orang itu sudah hampir mencapainya. Dewa Arak
tidak mempunyai pilihan lain lagi. Sambil melompat, langsung dilancarkannya
pukulan jarak jauh ke arah dua di antara empat orang yang sudah hampir mencapai
guci. Wuttt..! Bresss...! Jeritan-jeritan ngeri terdengar ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak dan
keras sekali menghantam punggung dua orang yang ditujunya. Seketika itu juga,
darah segar muncrat dari mulut ketika tubuh dua orang pemikul tandu itu
terjungkal ke depan. Tubuh kedua orang yang sial itu menggelepar-gelepar
sejenak, kemudian diam tidak bergerak lagi selama-lamanya.
Sementara dua orang lainnya terkejut bukan main
melihat kejadian ini. Dengan sendirinya, langkah mereka terhenti. Dan di saat
itulah tubuh Arya melayang cepat.
Seperti seekor burung garuda menyambar mangsa, dia meluruk dan menyambar guci
araknya. Tappp...! Dewa Arak melentingkan tubuhnya beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya hinggap
di tanah, pandangannya langsung beredar ke arah para pengeroyoknya yang ternyata
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak melancarkan serangan kembali. Arya sempat melihat kalau sosok bayangan
putih itu melarang para pengawalnya untuk melancarkan serangan lagi. Kini, sosok
bayangan putih itu melangkah menghampiri pemuda
berpakaian ungu itu.
"Siapa kalian" Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak, penuh wibawa.
Mata pemuda itu langsung menatap sosok bayangan
putih yang ternyata seorang laki-laki berwajah pucat seperti mayat. Tampangnya
benar-benar menyeramkan. Pakaiannya yang berwarna putih, semakin menambah seram
penampilannya. "Aku berjuluk Mayat Kuburan Koneng," sahut orang berpakaian putih itu. Suaranya
terdengar aneh. Pelan, tapi bergaung mirip hantu kuburan. Kedua belah pipinya
hampir tidak bergerak sama sekali ketika berbicara.
Mungkin itulah yang membuat suaranya terdengar tidak jelas. "Memang tidak
setenar julukanmu, Dewa Arak!"
Arya mengernyitkan alisnya. Dia memang tidak
mengenal Mayat Kuburan Koneng.
"Mengapa kau menyerangku, Mayat Kuburan Koneng?"
tanya Arya lagi, karena laki-laki berpakaian putih bersih itu sama sekali tidak
menyahuti pertanyaannya.
"Aku hanya ingin menjajal kepandaianmu saja, Dewa Arak. Apakah julukan yang kau
sandang sebanding dengan kepandaianmu, sehingga menggemparkan dunia
persilatan"!"
"Hhh...!"
Arya mengela napas berat. Disadari kalau pertarungan tidak bisa dielakkan lagi.
"Kudengar, Setan Mabuk menantangmu. Terpaksa aku mendahuluinya. Karena apabila
dia lebih dulu bertarung denganmu, kau tidak akan pernah bisa bertarung kembali
denganku, Dewa Arak'" sambung Mayat Kuburan Koneng Pemuda berambut putih
keperakan ini mengerutkan
alisnya. "Setan Mabuk menantangku" Mengapa aku tidak tahu"
Jangankan tahu tentang tantangan itu, mendengar julukannya saja baru kali ini!
Tapi yang jelas, tokoh itu pasti memiliki kepandaian yang amat tinggi. Mayat
Kuburan Koneng yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi, secara tidak
langsung mengakui kalau Setan Mabuk memiliki kepandaian di atasnya," kata hati
Dewa Arak "Ada satu hal lagi yang membuatku terpaksa mendahului Setan Mabuk, Dewa Arak'"
Kali ini suara laki-laki berpakaian putih itu terdengar bersungguh-sungguh. Ada
nada ancaman dalam suaranya yang terdengar mengerikan itu.
"Kau kenal Janggulapati?"
Arya mengernyitkan alisnya sebentar, mengingat-ingat nama yang diucapkan Mayat
Kuburan Koneng. Baru sesaat kemudian, dia teringat Janggulapati adalah suami
Gayatri. Mereka berdua terkenal berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Perlahan-lahan kepala pemuda berpakaian ungu itu terangguk-angguk. Sementara
tangan kanannya memegang dagu.
"Dia tewas di tanganmu, bukan"!" desak laki-laki berpakaian putih dengan suara
semakin tidak enak didengar.
"Benar!" sahut Dewa Arak, mantap. Memang dialah yang telah menewaskan
Janggulapati. "Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Janggulapati terhitung saudara seperguruanku.
Walaupun setelah itu kami menempuh cara sendiri-sendiri untuk memperdalam ilmu,
tapi aku tidak rela dia dibunuh orang! Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan membuat
perhitungan denganmu atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap Janggulapati!"
Belum juga gema suara itu habis. Mayat Kuburan
Koneng telah meluruk menerjang Dewa Arak. Laki-laki berpakaian putih ini membuka
serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Arya segera menarik kaki kanan ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Maka
serangan itu tidak mencapai sasaran, masih berjarak sekitar sejengkal di
hadapannya. Tapi, Mayat Kuburan Koneng tidak sudi memberi
kesempatan. Begitu Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan, segera disusulinya
dengan serangan berikut.
Kaki kanannya kini sedikit ditarik pulang, lalu meluncur lagi mengancam leher
Arya dengan sebuah tendangan miring Kali ini Arya terpaksa melompat ke belakang
untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dia bersalto
beberapa kali di udara. Dan begitu hinggap, tangannya telah menggenggam sebuah
guci arak. Gluk.. gluk.. gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika Arya menuangkan arak ke mulutnya. Sesaat
kemudian, hawa hangat merayapi perutnya, dan perlahan naik ke atas kepala
membuat tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri.
Dan bertepatan dengan pemuda berpakaian ungu itu menurunkan guci araknya,
serangan dari Mayat Kuburan Koneng telah datang menyambar.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari.
Mayat Kuburan Koneng mengamuk seperti banteng
terluka. Dia rupanya sangat mendendam atas kematian Janggutapati di tangan Dewa
Arak. Terbukti, setiap serangannya selalu mengancam bagian-bagian yang
mematikan. Bahkan selalu dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam penuh.
Suara angin bercicitan mengiringi tibanya setiap serangan yang dilancarkan Mayat
Kuburan Koneng. Jelas, setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserangnya kali ini adalah Dewa Arak.
Seorang pendekar yang meskipun masih berusia muda, tapi telah memiliki
kepandaian amat tinggi. Ilmu andalannya, yang bernama 'Belalang Sakti' merupakan
sebuah ilmu aneh yang dahsyat. Dan kini menghadapi lawannya, ilmu andalannya itu
langsung dikeluarkan.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi karena
perasaan geram yang melanda hatinya. Telah belasan jurus menyerang kalang kabut,
tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal sepertinya Dewa Arak hanya
mengelak dengan gerakan-gerakan tidak teratur.
Tapi anehnya, setiap serangan yang dikirimkan Mayat Kuburan Koneng selalu
mengenai tempat kosong.
Serangan itu selalu dielakkan Dewa Arak dengan gerakan-gerakan seperti orang
akan jatuh. Bahkan terkadang seperti memapak serangan yang dilancarkan dengan
tubuhnya. Anehnya, justru dengan berbuat seperti itu, serangan lawan bisa
dikandaskan. Semula, Arya sama sekali tidak bermaksud mengadakan perlawanan. Dia sama sekali
tidak mempunyai perselisihan dengan Mayat Kuburan Koneng. Tambahan lagi, rasanya
tak ada alasan untuk membunuh laki-laki berpakaian putih ini. Arya belum melihat
adanya kejahatan yang tidak terampunkan pada Mayat Kuburan Koneng.
Tapi rupanya sikap mengalah Dewa Arak ditafsirkan lain oleh Mayat Kuburan
Koneng. Laki-laki berpakaian putih ini malah menganggap pemuda berambut putih
keperakan itu meremehkannya. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangannya pun
berlangsung semakin dahsyat.
Kesabaran Dewa Arak pun habis. Tokoh sesat ber-
pakaian putih ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Dia yakin, Mayat Kuburan
Koneng tahu kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah. Laki-laki berpakaian
putih itu adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi,
mustahil bila tidak mengetahui kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah!
Begitu kesimpulan yang didapat Arya.
Maka, setelah pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh lima jurus, dan
serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng malah semakin membabi buta, Arya pun
memutuskan untuk mengadakan perlawanan.
Seketika itu pula gerakan Dewa Arak berubah dahsyat.
Kini gerakan-gerakannya tidak lagi meliuk-liuk dan lemas seperti sebelumnya,
tapi diselingi gerakan-gerakan kasar dan keras secara mendadak. Bahkan boleh
dibilang, sulit ditebak. Terkadang lemas seperti tidak bertenaga, dan terhuyung-
huyung seperti akan jatuh. Tapi di lain saat, berubah menjadi kasar, keras, dan
penuh kekuatan.
Gerakan-gerakannya pun jadi terlihat liar! Ini pertanda kalau pemuda berpakaian
ungu itu telah mengeluarkan Jurus 'Belalang Mabuk'nya.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat begitu merasakan perubahan yang begitu mendadak
ini. Terasa adanya tekanan-tekanan berat dari setiap serangan Dewa Arak.
Seketika itu juga, porsi serangan laki-laki berpakaian putih ini berkurang
banyak. Memang setelah Arya mulai balas menyerang, Mayat Kuburan Koneng tidak lagi bisa
leluasa melancarkan serangan membabi buta seperti sebelumnya. Dan biasanya
melakukan penyerangan berarti membuka pertahanan.
Semakin banyak menyerang, semakin banyak pertahanan yang terbuka di sana-sini.
Tadi sewaktu Dewa Arak sama sekali tidak melakukan perlawanan, laki-laki
berpakaian putih ini bebas mengeluarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan
lagi. Tapi kini pemuda berpakaian ungu itu mulai balas menyerang. Dan bila Mayat
Kuburan Koneng terus menyerang membabi buta seperti sebelumnya, maka mudah bagi
Dewa Arak untuk memasukkan serangan ke berbagai
bagian tubuh yang terbuka.
Memang hebat bukan kepalang, Jurus 'Belalang Mabuk'
itu. Sesuai dengan nama jurusnya, serangan-serangan itu memang terlihat liar,
ganas, dan penuh tekanan. Tidak aneh kalau dalam beberapa jurus saja, Mayat
Kuburan Koneng telah kewalahan.
Serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng semakin
berkurang. Bahkan sebaliknya lebih banyak mengelak, karena menangkis pun akan
menimbulkan akibat buruk.
Tenaga dalam Dewa Arak jelas-jelas masih berada di atasnya. Maka bila terus-
menerus menangkis serangan, jelas akan menderita kerugian.
Berbeda dengan Mayat Kuburan Koneng, keadaan Dewa Arak malah sebaliknya.
Serangan-serangan pemuda ini semakin bertubi-tubi menghujani lawan.
Dalam menghadapi Mayat Kuburan Koneng, Arya tidak menguras seluruh kemampuannya.
Bahkan gucinya tidak digunakan, karena lawan belum menggunakan senjata.
Meskipun begitu, sesekali guci araknya dijumput dan ditenggak isinya. Kemudian
gucinya disampirkan kembali ke punggung.
Tentu saja hati Mayat Kuburan Koneng semakin bertambah geram. Pemuda berambut
putih keperakan itu dianggap sengaja memperlihatkan, kalau sambil minum arak,
mampu bertarung. Berarti, Mayat Kuburan Koneng sama sekali tidak dianggap Dewa
Arak. Maka, kontan kemarahannya semakin berkobar.
Kemarahan hebat yang membakar dada, membuat
Mayat Kuburan Koneng mengambil keputusan untuk
mengadu nyawa. Dia tahu, Dewa Arak terlalu sakti untuk bisa dikalahkan. Pemuda
berambut putih keperakan itu telah terlalu banyak membuatnya malu di hadapan
anak buahnya. Padahal, dendam atas kematian Janggulapati saja belum bisa
terbalaskan. Yang jelas, kalau tak bisa menewaskan Dewa Arak, dia tidak akan
bisa mati meram.
Dengan munculnya tekad untuk mengadu nyawa, kini Mayat Kuburan Koneng kembali
melancarkan serangan secara membabi buta. Bahkan tidak dipedulikan lagi
pertahanan dirinya. Yang ada di benaknya hanya satu.
Meningkatkan serangan terhadap Dewa Arak.
Arya terkejut begitu merasakan perubahan mendadak pada serangan lawan yang
menjadi liar dan kalang-kabut kembali. Sama sekali tidak mempedulikan pertahanan
diri sendiri. Plak... plak... plak..!
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng berhasil ditangkis
Dewa Arak. Akibatnya, tubuh laki-laki berpakaian putih itu terhuyung-huyung ke
belakang seraya meringis kesakitan. Kedua tangan terasa linu dan sulit
digerakkan. Tapi, Mayat Kuburan Koneng yang telah kalap langsung mematahkan kekuatan yang
mendorong tubuhnya itu.
Kembali dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa
Arak. Melihat hal ini, Arya sadar kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa. Tentu saja
pemuda berambut putih keperakan itu tidak meladeninya. Maka kembali di-
gunakannya jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk menghindari diri dari setiap
serangan lawan.
Kembali pertarungan berlangsung seperti pada jurus-jurus awal Mayat Kuburan
Koneng menyerang kalang kabut, sementara Dewa Arak mengelak ke sana kemari
dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi. Rasa
marah, malu, sakit hati, dan penasaran bercampur aduk dalam hatinya. Keinginan
untuk membunuh Dewa Arak telah begitu menggebu-gebu. Tapi sayangnya hal itu
tidak mampu diwujudkannya, sehingga membuat dadanya
terasa seperti akan pecah menahan berbagai macam luapan perasaan yang
bergejolak. Lebih dari dua puluh jurus laki-laki berpakaian putih ini menyerang kalang
kabut. Tapi, tetap saja tidak mampu menyarangkan tangan atau kakinya pada
sasaran. Bahkan, mendesak Dewa Arak pun belum mampu.
Mayat Kuburan Koneng ingin menjerit keras saking bingungnya. Pertarungan telah
berlangsung lebih dari seratus lima puluh jurus, tapi sampai selama itu tetap
saja belum mampu mendesak Dewa Arak.
Sementara kelelahan perlahan mulai melandanya.
Padahal lawannya tampak masih segar seperti sediakala.
Melihat keadaan ini, Mayat Kuburan Koneng khawatir tidak akan bisa mewujudkan
maksudnya untuk membunuh Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, anak buahnya
segera diberi isyarat untuk membantunya.
Begitu melihat tanda dari pemimpinnya, belasan orang itu segera bergerak meluruk
ke arah Dewa Arak. Memang, sejak tadi orang-orang berwajah angker itu tinggal
menunggu perintah saja. Mereka sudah bersiap-siap dengan senjata terhunus di
tangan. Tak pelak lagi, hujan belasan senjata itu menyerang ke arah Dewa Arak disertai
desingan-desingan nyaring yang merobek udara.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hai ini. Serangan belasan orang berwajah
angker itu sama sekali tidak diduga. Padahal, serangan Mayat Kuburan Koneng baru
saja dielakkannya. Tambahan lagi, para pengeroyok itu menyerangnya dari berbagai
jurusan. Sudah dapat diterka kalau belasan orang itu sudah terbiasa melakukan
serangan secara bersama-sama.
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Dewa Arak segera memutar-mutarkan kedua
tangannya di depan dada. Maka kejadian seperti yang sebelumnya terulang kembali.
Tubuh sebagian para pengeroyoknya berpentalan ke belakang seperti dilanda angin
topan. Senjata-senjata mereka pun berpentalan tak tentu arah.
Sedangkan serangan dari yang lainnya dibiarkan saja mengenai tubuhnya. Arya
memang langsung mengerahkan tenaga dalam agar tubuhnya tak mempan dihantam
senjata. Memang dengan perbedaan tenaga dalam di antara kedua pihak yang terlalu
jauh, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan
membuat tubuhnya tidak bisa dilukai senjata.
Sementara, sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau pada saat yang sama, Mayat
Kuburan Koneng melancarkan serangan susulan ke arahnya. Bertubi-tubi, dan
mengancam berbagai bagian tubuhnya. Tidak ada kesempatan lagi bagi Dewa Arak
untuk mengelakkan serangan itu. Dan andaikata bisa, serangan lanjutan dari laki-
laki berpakaian putih itu sulit dielakkannya. Memang sebagai seorang tokoh
tingkat tinggi, Arya tahu kalau serangan yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng
kali ini merupakan serangan dalam satu rangkaian. Susul-menyusul dan sambung-
menyambung laksana gelombang laut.
Karena tidak ada pilihan lain lagi, terpaksa Dewa Arak menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Langsung digunakannya jurus 'Pukulan Belalang".
Wusss...! Angin keras berhawa panas berhembus keras dari
kedua tangan Arya yang dihentakkan.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara, dan
jaraknya sudah terlalu dekat dengan Dewa Arak. Maka tidak ada lagi kesempatan
baginya untuk menghindari serangan itu, dan hanya sempat membelalakkan sepasang
matanya. Maka....
Bresss...! "Aaa...!"
Jeritan ngeri terdengar dari mulut laki-laki berpakaian putih itu, begitu
pukulan jarak jauh Dewa Arak keras dan telak sekali menghantam perutnya.
Seketika itu juga tubuh Mayat Kuburan Koneng
terlempar jauh ke belakang, dan baru mendarat keras di tanah ketika telah
melayang-layang jauh. Laki-laki berpakaian putih ini tewas dalam keadaan seluruh
tubuh gosong. Bau sangit daging yang terbakar seketika menyebar di tempat itu.
Belasan pasang mata anak buah Mayat Kuburan
Koneng terbelalak begitu melihat kematian laki-laki berwajah pucat itu. Tahu
kalau lawan yang masih muda itu memiliki kepandaian luar biasa, mereka pun
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat-cepat membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang. Sama sekali tidak
dihiraukan rekan-rekan mereka yang belum mampu bangkit karena luka yang
diderita. Namun Arya sama sekali tidak mengejar, dan juga tidak mempedulikan para
pengeroyok yang merintih-rintih di tanah tak mampu bangkit.
Sambil menghela napas berat, dihampirinya tubuh
Mayat Kuburan Koneng yang tergolek di tanah. Kini tokoh sesat yang berjuluk
'mayat' itu benar-benar telah menjadi mayat. Untuk kesekian kalinya, ada
perasaan sesal di hati Dewa Arak karena telah menjatuhkan tangan maut pada
lawannya. Memang, Arya sebenarnya tidak ingin membunuh.
Pemuda berambut putih keperakan itu menatap
sebentar mayat yang tergolek dalam keadaan hangus itu.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Paling tidak itu
untuk mengusir perasaan sesal yang merayapi hatinya. Arya menghibur hatinya
sendiri agar perasaan sesalnya hilang. Toh, dia memang tidak bermaksud membunuh.
Tapi, lawanlah yang terlalu
memaksanya. "Urus mayat pemimpin kalian. Mengerti"!" ujar Dewa Arak pada beberapa orang anak
buah Mayat Kuburan Koneng yang masih tergolek di situ. Mereka semua menundukkan
kepala, karena khawatir Dewa Arak akan melepaskan tangan kejam.
"Mengerti, Tuan Pendekar...." Hampir berbareng para pengeroyok yang tergolek,
dan berjumlah lima orang itu menganggukkan kepala.
Arya tersenyum pahit, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Masih sempat
didengarnya desah kelegaan dari kelima orang pengeroyoknya. Pemuda berambut
putih keperakan ini tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena tidak jadi
dibunuh" *** 7 Matahari sudah naik tinggi ketika di kejauhan Dewa Arak melihat tembok batas
sebuah desa. Kontan wajah pemuda berambut putih keperakan itu jadi berseri. Dia
memang merasa agak lelah, dan ingin singgah sebentar di sebuah kedai. Di samping
untuk minum dan sedikit melepaskan lelah, juga untuk mengisi guci araknya
kembali. Memang, guci araknya telah hampir kosong.
Terdorong perasan ingin buru-buru tiba, Dewa Arak menambah kecepatan larinya.
Hasilnya, dalam waktu sekejap saja sudah berada dalam jarak sekitar delapan
tombak dari tembok batas gerbang desa.
Mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan ini berkernyit, ketika melihat
sesuatu pada tembok batas desa itu. Perasaan penasaran mendorongnya untuk
bergerak lebih mendekati.
Hanya dalam sekejap saja, Dewa Arak telah berada di dekat tembok batas desa itu.
Sepasang matanya yang sejak tadi menatap penuh rasa ingin tahu, kini malah
terbelalak. Pada tembok batas desa itu tertancap sebatang kayu sebesar jari telunjuk
sepanjang tiga jengkal. Tapi bukan itu yang menyebabkan Dewa Arak terkejut.
Sebagai seorang pendekar yang telah memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi, dia
tidak kaget melihat ada sebatang kayu tertancap di tembok batu sedalam lebih
dari setengah jengkal. Dia sendiri pun mampu melakukan hal yang sama. Bahkan
tidak hanya dengan kayu, tapi sebatang lidi!
Yang membuat Arya terkejut adalah sehelai kain berisi tulisan yang tertancap
oleh kayu itu. Dengan perasaan ingin tahu, pemuda berpakaian ungu itu
membacanya. Dewa Arak.... Melalui surat ini, kuberitahukan padamu.... Kalau kau sampai tidak datang
menemuiku, di Kuburan Desa Koneng, kejadian yang menimpa desa ini akan terulang
lagi di desa lain.
Setan Mabuk "Setan Mabuk..?" sebut Dewa Arak dengan kening berkernyit.
Lagi-lagi didengarnya julukan tokoh itu. Pertama kali dari mulut Mayat Kuburan
Koneng. Dan kini dari surat
tantangan yang ditancapkan di tembok desa. Tokoh itu sendirilah yang
mengirimkannya.
Baru saja Arya mengulurkan tangan hendak mencabut kayu itu, pendengarannya yang
tajam menangkap suara langkah kaki. Arahnya dari dalam desa.
Maka, terpaksa niatnya diurungkan. Kemudian kepalanya menoleh ke arah asal suara
itu. Dari suara langkah kaki itu, Arya tahu kalau orang yang datang memiliki
kepandaian. Dan dari situ pula, diketahui kalau kepandaian yang dimiliki orang
itu tidak terlalu tinggi.
Sesaat kemudian, di hadapan Dewa Arak telah muncul seorang gadis cantik.
Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya kuning dan ada gambar seekor naga yang
disulam dari benang berwarna hijau pada dada kiri pakaiannya.
Jelas kalau gadis itu ada hubungannya dengan Perguruan Naga Hijau.
"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya gadis berambut digelung itu
tatkala telah berada di hadapan Arya.
"Benar," jawab Arya sambil menatap gadis itu penuh selidik.
Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak terkejut mendengar gadis
yang baru saja dilihatnya itu telah tepat menebak dirinya. Dan memang, ciri-ciri
yang dimilikinya amat mencolok.
Yang membuat Arya terkejut adalah ketika melihat ada kesedihan di wajah gadis
cantik itu. Bahkan sepasang matanya yang bening dan indah itu terlihat menyimpan
kesedihan yang mendalam. Bisa diterka kalau gadis itu telah mengalami kejadian
yang menyedihkan.
"Kau harus bertanggung jawab atas semua musibah yang terjadi di sini, Dewa
Arak!" Keras dan penuh tekanan ucapan yang keluar dari
mulut gadis berpakaian kuning itu. Sepasang matanya pun berkilat-kilat pertanda
hatinya tengah dilanda kemarahan hebat. Bahkan tangannya pun telah menyentuh
gagang pedangnya.
"Sabar, Nisanak..!" bujuk Arya menenangkan, sambil menjulurkan kedua tangan ke
depan untuk mencegah gadis itu melanjutkan tindakannya. "Aku sama sekali tidak
mengetahui maksudmu."
Gadis berambut digelung itu menatap wajah Arya penuh selidik. Dia melihat adanya
kesungguhan, baik pada raut wajah maupun pada ucapan pemuda yang berdiri di
hadapannya. Maka perlahan tangan yang telah mengejang itu mengendur, kemudian
turun kembari ke sisi pinggang.
"Kau benar-benar tidak mengerti"'' tanya gadis itu berusaha memastikan. Nada
suaranya terdengar bergetar.
Arya menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit.
"Apakah wajahku mirip wajah seorang penipu?" pemuda berpakaian ungu itu balas
bertanya, setengah bergurau
"Aku baru saja tiba di daerah sini, Nisanak. Jadi, sama sekali tidak mengerti
maksud pembicaraanmu ini!"
Gadis berpakaian kuning itu mengalihkan pandangan ke arah kain yang tertancap di
tembok batas desa.
"Kau sudah membaca tulisan itu?" tanya gadis berambut digelung itu lagi, seraya
menudingkan telunjuknya ke arah kain yang terpampang di tembok batas desa.
"Sudah," jawab Dewa Arak, mantap.
"Dan kau masih belum mengerti"!" tanya gadis berpakaian kuning itu setengah
tidak percaya. Dahinya nampak berkernyit ketika mengajukan pertanyaan itu.
"Sedikit," sahut Arya kalem.
Semakin dalam kerutan pada dahi gadis berambut digelung itu.
"Apa kesimpulan yang kau dapat dari surat itu?" desak gadis berpakaian kuning.
"Ada orang yang mengajakku bertarung untuk alasan yang aku sendiri belum tahu.
Anehnya, kenapa dia mem-bawa-bawa penduduk dalam masalah ini?"
"Karena Setan Mabuk khawatir kau tidak berani memenuhi tantangannya," sabut
gadis berambut digelung, cepat.
"Hm..." gumam Arya pelan, untuk menyambuti ucapan gadis berpakaian kuning itu.
"Kau tahu..., sudah berapa lama surat itu terpampang di situ?"
Arya menggelengkan kepala. Dan memang, hal itu sama sekali tidak diketahuinya.
"Sudah dua hari. Setan Mabuk tidak sabar lagi menunggu. Dikiranya, kau
menganggap ancamannya hanya gertak sambal belaka. Maka, ancamannya pun
diwujudkan. Gerombolannya kemudian menghancurkan Desa Gempol."
"Ah...!"
Dewa Arak mendesah kaget. Memang pemuda be-
rambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang.
Betapa tidak" Dia sama sekali tidak tahu tentang tantangan, tapi kenapa para
penduduk yang menjadi sasaran.
"Kalau hari ini kau tidak datang menemuinya..., desa lain akan menjadi giliran
selanjutnya," sambung gadis berambut digelung itu. "Di mulut Desa Gempol pun
dipancangkan surat tantangan seperti ini."
Sambil berkata demikian, gadis berpakaian kuning itu menudingkan telunjuk
kanannya ke arah carikan kain yang terpampang di tempat batas Desa Koneng.
"Apakah..., tidak ada orang yang menentang tindakan Setan Mabuk itu?" tanya Arya
setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Memang ada. Tapi hanya ada beberapa gelintir saja.
Dan mereka adalah murid Perguruan Naga Hijau." jawab gadis berambut digelung
seraya tersenyum getir.
"Lalu..., hasilnya bagaimana?" tanya Dewa Arak setengah hati.
Namun Arya seketika baru menyadari, betapa bodoh pertanyaannya, ketika teringat
sesuatu. Tidak mungkin usaha murid-murid Perguruan Naga Hijau akan berhasil.
Buktinya sudah jelas, sudah banyak desa dihancurkan. Itu saja sudah merupakan
jawaban ketidakberhasilan usaha mereka.
"Mereka semua tewas," Jawab gadis berpakaian kuning dengan suara bergetar. Jelas
kalau ucapannya diutarakan penuh perasaan.
Arya pun mengerutkan alisnya. Terdengar ada nada kesedihan yang mendalam pada
suara gadis berambut digelung itu. Apakah ada hubungan antara gadis itu dengan
murid-murid Perguruan Naga Hijau yang terbunuh"
Tanpa sadar, pandangan Dewa Arak tertumbuk pada
sulaman benang hijau bergambar naga yang menempel di bagian dada kiri pakaian
gadis itu. Naga hijau! Apakah gadis ini juga murid Perguruan Naga Hijau" Kembali
pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak.
"Apakah mereka saudara seperguruanmu?" tanya Arya hati-hati.
Gadis berambut digelung itu hanya menganggukkan
kepala. Tapi hal itu sudah cukup untuk menjadi jawaban bagi pertanyaan yang
diajukan Dewa Arak.
"Ah...! Maaf...!" ucap Arya buru-buru. "Aku sama sekali tidak mengira akan hal
itu. Aku turut berduka cita."
"Terima kasih," hanya ucapan itu yang keluar dari mulut gadis berpakaian kuning
itu. "Apakah hal itu sudah kau beritahukan pada gurumu?"
tanya Arya lagi.
Gadis berambut digelung itu menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" kejar Arya lagi.
"Guruku yang sekaligus ayah kandungku tengah bersemadi di puncak Gunung Koneng.
Beliau tak ingin terjun dalam rimba persilatan, karena sudah benar-benar tidak
mau mencampuri urusan duniawi lagi. Dan yang jelas, Perguruan Naga Hijau telah
musnah." "Ah...!"
Keluh keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak begitu gadis berambut digelung
itu mengakhiri ucapannya. Ada isak tertahan yang keluar dari mulut gadis itu
seiring ucapannya selesai.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak. Jelas, pemuda berambut putih
keperakan ini dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Keji...!" Arya mendesis pelan, tapi tajam penuh tekanan karena keluar dari hati
yang penuh diliputi amarah. "Siapa yang melakukan semua kekejian itu?"
"Setan Mabuk..." jawab gadis berpakaian kuning masih dengan suara serak. "Dia
seorang diri mengamuk dan membasmi semua murid Perguruan Naga Hijau, dalam
usahanya untuk memancing kedatanganmu. Itulah sebabnya, ada beberapa murid
Perguruan Naga Hijau yang tidak dibinasakannya. Dia berharap, murid-murid itu
akan menyampaikan pesannya kepadamu. Apakah kau bertemu mereka"''
Arya menggelengkan kepala.
"Sedangkan murid-murid Perguruan Naga Hijau yang berada di desa-desa dibasmi
kaki tangan Setan Mabuk.
Memang, dengan lenyapnya Perguruan Naga Hijau, mereka bebas berbuat kejahatan."
"Heh..."!" Dewa Arak terperanjat "Mengapa begitu?"
"Karena selama ini, semua orang yang bermaksud jahat selalu berhasil dipukul
mundur murid-murid Perguruan Naga Hijau," gadis berpakaian kuning tersenyum
getir. Rupanya, dia teringat kembali sewaktu Perguruan Naga Hijau masih berdiri.
Kali ini Arya sama sekali tidak menyahuti ucapan gadis berpakaian kuning itu.
Dan karena gadis itu sendiri tidak melanjutkan ucapannya, suasana pun menjadi
hening. "O, ya.... Siapakah namamu, Nisanak?" tanya Arya tiba-tiba. "Rasanya aneh kalau
kita telah berbincang-bincang sekian lamanya, tapi belum saling mengenal nama."
"Aku sudah tahu julukanmu," kalem suara gadis berambut digelung itu. Sebuah
senyuman yang dipaksakan tersungging di bibirnya.
"O, ya?" Dewa Arak yang ingin membuat gadis itu terlupa dengan kesedihannya
mencoba melucu.
"Ayah sudah sering membicarakanmu. Rupanya beliau amat mengagumimu."
Dewa Arak hanya tersenyum getir mendengar namanya banyak dikagumi tokoh
persilatan. Dia memang paling risih namanya dipuja-puja orang.
"Lalu, bagaimana kejadiannya hingga murid-murid Perguruan Naga Hijau dibantai
Setan Mabuk?" tanya Dewa Arak mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya. Yang jelas, ku-temui mayat Wakil Ketua
Perguruan Naga Hijau bersama mayat Kakang Subarji di tengah jalan..."
"Kakang Subarji..?" Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Murid Perguruan Naga Hijau yang telah keluar perguruan," jelas putri Ketua
Perguruan Naga Hijau itu dengan suara yang tidak begitu serak lagi. Rupanya dia
sudah mulai bisa menguasai perasaannya.
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti.
"Jadi..., kau tidak melihat siapa pembunuh mereka?"
Gadis berpakaian kuning itu mengangguk.
"Lalu..., dari mana kau tahu kalau pembunuhnya adalah Setan Mabuk?" desak Dewa
Arak ingin tahu.
"Dari mulut Kakang Subarji, sebelum tewas," jawab gadis berambut digelung itu.
"Rupanya kau mengikuti kepergian mereka secara diam-diam...," tuduh Arya dengan
nada mendesah. Wajah gadis itu kontan memerah.
"Ayah telah berpesan agar aku tidak pergi ke mana-mana. Maka diam-diam aku
mengikuti Paman Buntara. Aku juga ingin mengetahui, seperti apa orang yang
julukannya telah begitu menggemparkan...."
"Tak seperti yang kau bayangkan, bukan," tukas Arya buru-buru.
"Terus terang, aku agak kaget melihatmu, Arya" Namamu Arya, kan?"
Pemuda berpakaian ungu itu tersenyum getir.
"Kau curang, Nisanak."
"Curang"!" dahi gadis berpakaian kuning itu berkenyit.
"Ya! Kau telah tahu namaku, tapi aku sama sekali tidak tahu namamu."
"Namaku Malinda," sebut gadis itu malu-malu.
"Malinda... sebuah nama yang bagus," tanggap Arya.
Pujian Dewa Arak membuat wajah gadis berpakaian
kuning yang ternyata bernama Malinda jadi bersemu merah. Rupanya, dia risih juga
menerima pujian. Apalagi datangnya dari mulut orang seperti Dewa Arak! Seorang
pemuda berwajah tampan dan berkepandaian tinggi. Hati siapa yang tidak berbunga-
bunga" "Laki, apa tindakanmu selanjutnya, Dewa Arak?" tanya Malinda, pelan.
"Memenuhi tantangan yang diajukan Setan Mabuk!"
jawab Arya tegas.
"Kalau begitu, mari kita ke sana!" ajak Malinda cepat.
"Kau tahu tempatnya, Malinda?" Malinda menganggukkan kepala.
"Bagaimana" Setuju?"
Mulut Dewa Arak menyunggingkan senyuman lebar,
kemudian perlahan kepalanya terangguk.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, gadis berambut digelung ini melesat
meninggalkan tempat itu.
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Bisa diduga kalau gadis berpakaian kuning itu
ingin menguji kepandaiannya.
Maka begitu gadis itu melesat kabur, dia pun bergerak menyusulnya.
Sesaat kemudian, yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebatan
cepat. Yang satu berwarna ungu, sementara yang satu lagi berwarna kuning.
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malinda berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuannya. Dia memang bermaksud
menguji kemampuan
Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya.
Semula Malinda sudah merasa gembira begitu tidak melihat adanya bayangan pemuda
berpakaian ungu itu di belakangnya. Tapi, keceriaannya langsung memupus tatkala
mendadak di samping kanannya muncul sesosok bayangan ungu. Seketika senyum yang
tadi mengembang di bibirnya pun lenyap.
Karuan saja hal ini membuat Malinda merasa pe-
nasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi dalam usahanya menambah kecepatan
larinya. Tapi semua usaha yang dilakukannya sia-sia saja. Tetap saja Dewa Arak
berada di samping kanannya.
Malinda semakin terkejut ketika melihat raut wajah Dewa Arak. Wajah itu sama
sekali tidak menunjukkan kalau tengah mengerahkan tenaga sewaktu berlari. Raut
wajah itu masih tetap tenang seperti semula.
Setelah cukup lama berlari sambil mengerahkan seluruh tenaga, nampak Dewa Arak
masih tetap berada di
sebelahnya. Maka, gadis berpakaian kuning itu akhirnya mengalah. Perlahan-lahan
kecepatan larinya dikendurkan, dan akhirnya berhenti sama sekali.
Bertepatan dengan berhentinya kaki Malinda, Arya pun menghentikan langkah
kakinya pula. Malinda menatap wajah Dewa Arak. Perasaan terkejut semakin melanda hatinya
tatkala melihat wajah Arya sama sekali tidak menampakkan perubahan apa pun.
Wajah itu tetap mulus, seperti sediakala. Setetes pun tak ada peluh menggantung
di sana. Deru napas pemuda itu pun biasa-biasa saja, tidak terengah-engah.
Sedangkan dirinya" Peluh membasahi sekujur wajah.
Terutama sekali dahi dan lehernya. Napasnya pun
menderu-deru hebat. Meskipun tidak melihat sendiri, Malinda sudah bisa
memperkirakan kalau wajahnya merah padam.
"Masih jauhkah tempat itu dari sini, Malinda?" tanya Arya. Suaranya terdengar
biasa saja, tidak terputus-putus dan memburu seperti layaknya orang habis
berlari jauh. Gadis berpakaian kuning itu tidak langsung menjawab pertanyaan, dan malah sibuk
menenangkan deru napasnya yang memburu. Memang dia tadi berlari dengan
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
"Tidak jauh lagi." sahut Malinda.
Mendengar jawaban itu, Arya melayangkan pandangan ke depan. Tak jauh di
depannya, tampak mulut sebuah hutan.
"Hutan..."!" Dewa Arak mengerutkan alisnya. Padahal, belum lama dia keluar dari
hutan itu. "Ah...! Hanya sebuah hutan kecil, Dewa Arak. Tapi di hutan itulah letaknya
Kuburan Koneng."
Arya mengangguk-anggukkan kepala saja. Dewa Arak memang tidak mengetahui, di
mana letaknya kuburan yang dimaksudkan Setan Mabuk. Maka begitu mendengar
jawaban itu, dia tidak membantahnya. Tanpa bicara lagi, langkah kakinya
dilanjutkan. Kini Dewa Arak dan Malinda melanjutkan perjalanannya dengan berjalan biasa. Dan
tak lama kemudian, mulut hutan pun sudah dilalui. Malinda terus saja melangkah.
Begitu pula Arya yang berada di sampingnya.
Mendadak Malinda menghunus pedang yang tergantung di pinggang. Dan secepat
pedang itu lolos dari sarungnya, secepat itu pula disabetkannya ke leher Dewa
Arak. Singgg..! Suara mendesing nyaring yang terdengar menjadi
pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan pedang itu.
Arya terperanjat. Keterkejutan yang amat sangat
seketika melandanya. Memang serangan itu sama sekali tidak disangkanya. Tapi
meskipun begitu, karena memang sudah terbiasa berhadapan dengan hal yang tiba-
tiba, Dewa Arak masih bisa mengelak.
Crasss...! Namun tak urung, ujung pedang Malinda berhasil juga menyerempet pundak Arya.
Kontan darah segar mengalir keluar dari bagian yang terluka.
Tidak hanya itu saja menimpa pemuda berpakaian ungu.
Begitu kedua kakinya mendarat, mendadak landasan yang diinjaknya naik ke atas.
Tahu-tahu, tubuh Dewa Arak telah terkurung dalam sebuah jaring yang tergantung
di atas pohon. Arya terperanjat begitu menyadari tubuhnya telah terkurung dalam jaring. Segera
dicengkeram tali-tali jaring itu, laki dikerahkan tenaga dalam untuk
memutuskannya. Tapi ternyata tali-tali itu alot bukan main. Betapapun telah dikerahkan seluruh
tenaga dalamnya, tetap saja tidak mampu.
"Hi hi hi...!"
Malinda tertawa terkikih. Lenyap sudah sorot kesedihan dari sinar matanya. Yang
terlihat kini hanyalah sorot kebengisan dan dendam. Dan semua itu tertuju pada
Dewa Arak. Arya terperanjat melihat sorot mata gadis itu. Namun dia masih belum mengerti
maksud gadis berpakaian kuning ini bertindak seperti itu terhadapnya.
"Malinda...! Apa maksud perbuatanmu ini.."!" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Maksudku sudah jelas. Pemuda Sombong! Aku ingin membalaskan kematian ayahku!"
tandas gadis berambut digelung dengan nada bengis.
"Heh .."! Bukankah ayahmu tengah bersemadi, dan saudara seperguruanmu dibunuh
oleh Setan Mabuk?"
kejar Arya penasaran.
"Kau percaya dengan semua cerita itu, Pemuda Dungu"!" sergah Malinda keras.
"Jadi.."!" Dewa Arak mulai paham.
"Ya! Semua cerita itu hanya karanganku saja! Ayahku telah mati terbunuh di
tanganmu, Dewa Arak! Kutegaskan sekali lagi, ayahku tewas di tanganmu!"
Pemuda berpakaian ungu itu pun terdiam.
"Siapakah ayahmu, Malinda?" tanya Arya, masih tetap lembut suaranya. Pemuda
berpakaian ungu ini masih mengharapkan semua hanya sebuah kesalahpahaman
belaka. Suiiit...! Terdengar suitan nyaring dari mulut Malinda. Keras dan melengking pertanda
didukung pengerahan tenaga dalam.
Tak lama kemudian terdengar suara berkerosakan,
disusul munculnya beberapa sosok tubuh yang dikenal Dewa Arak. Mereka adalah
anak buah Mayat Kuburan Koneng.
Sekejap kemudian, orang-orang berwajah angker yang jumlahnya tak kurang dari
sebelas orang itu telah berdiri di belakang Malinda dengan kepala tertunduk.
Jelas kalau kedudukan gadis itu lebih tinggi dari mereka.
"Kau kenal mereka, Dewa Arak?" tanya Malinda dengan bibir menyunggingkan
senyuman sinis.
"Kenal sih, tidak. Tapi aku memang pernah bentrok dengan mereka," jawab Dewa
Arak, tenang. "Kini kau bisa menerka, siapa ayahku bukan?"
Arya mengerutkan keningnya sejenak.
"Mayat Kuburan Koneng?" duga Dewa Arak, pelan.
Arya masih merasa ragu mengingat Malinda mengenakan pakaian seragam yang
bersulamkan gambar naga, yang dikatakan gadis itu adalah lambang Perguruan Naga
Hijau. Ataukah cerita gadis itu semua hanyalah hasil karangan belaka, termasuk
cerita mengenai Perguruan Naga Hijau dan kehancurannya"
"Jadi, semua ceritamu tadi hanya hasil karanganmu saja?" tanya Arya sambil
memikirkan cara untuk meloloskan diri.
"Tidak seluruhnya, Dewa Arak!" gadis berpakaian kuning itu menyahut, namun tetap
menyunggingkan senyum sinis.
"Perguruan Naga Hijau memang benar ada dan hancur di tangan Setan Mabuk. Begitu
pula tentang maksud ke-pergiannya untuk menemuimu."
Pemuda berpakaian ungu itu terdiam. Kini sudah
dimengerti masalahnya.
"Kini sudah tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam, Dewa Arak!"
"He... he... he...!"
Mendadak terdengar suara tawa yang menggetarkan
jantung, menggema di sekitar tempat itu. Jelas, suara itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam.
Semua yang berada di situ terperanjat mendengar tawa mendadak itu. Hanya saja,
ada perbedaan tanggapan di antara mereka. Dewa Arak hanya terkejut saja. Tapi,
tidak demikian halnya dengan Malinda dan anak buah ayahnya.
Wajah mereka mendadak pucat pasi. Dan memang,
mereka tahu pemilik suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan Setan Mabuk!
Dan sebelum suara tawa itu lenyap, berhembus angin berkesiur pelan. Tak lama
kemudian, muncul seorang kakek bertubuh pendek gemuk, berperut buncit, dan
berkepala botak. Benar! Dialah Setan Mabuk.
Malinda menggertakkan gigi. Dia tahu kalau tidak bertindak cepat, maka Dewa Arak
tidak akan bisa dibunuhnya.
Dan yang jelas Setan Mabuk akan mendahuluinya. Maka tanpa mempedulikan akibatnya
nanti, gadis itu melompat.
Pedangnya meluncur deras ke arah tubuh Dewa Arak yang tengah terkurung di dalam
jaring. *** 8 Singgg...! Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengiringi tibanya serangan, sudah
bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tubuhnya yang pendek berkelebat, memotong serangan
Malinda. Tangan
kanannya cepat terulur. Dan....
Tappp...! Sungguh mengagumkan! Pedang di tangan gadis ber-
pakaian kuning itu telah tertangkap tangan Setan Mabuk.
Dan sekali tangan kakek berkepala botak itu bergerak menekan, maka pedang di
tangan putri Mayat Kuburan Koneng pun patah jadi dua.
Dan sebelum Malinda sempat berbuat sesuatu, tangan kiri Setan Mabuk telah
meluncur cepat ke arah dadanya.
Seketika gadis berambut digelung ini kaget bukan kepalang. Apalagi, tubuhnya
tengah berada di udara.
Dengan sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan untuk mengelakkan serangan itu.
Tapi.... Plakkk...! Tangan kakek berkepala botak itu tetap saja menghantam tubuhnya. Hanya saja
tidak mengenai dada, melainkan bahu. Seketika itu juga tubuh putri Mayat Kuburan
Koneng terlempar ke belakang dan bergulingan di tanah. Darah segar langsung
muncrat dari mulutnya. Jelas Malinda telah terluka dalam.
"He... he... he...!"
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, kakek berperut buncit itu sudah tertawa
terkekeh-kekeh. Dengan sorot mata penuh ancaman, kakinya melangkah menghampiri
tubuh Malinda. "Jangan harap bisa mendahuluiku, Wanita Liar! Kau tahu, di semua mulut desa
telah kusebar anak buahku.
Dan mereka langsung memberitahuku begitu melihat Dewa Arak. Dan atas
kelancanganmu berani mendahului tin-dakanku, kau akan menerima akibatnya!"
Melihat bahaya mengancam putri majikannya, anak
buah Mayat Kuburan Koneng tidak tinggal diam. Walaupun dalam hati merasa jeri
terhadap Setan Mabuk tetapi mereka tetap bergerak menyerang kakek berkepala
botak itu. Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat, menyambar
berbagai bagian tubuh Setan Mabuk yang mematikan, diiringi suara mendesing
nyaring, "He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tanpa mempedulikan semua serangan yang bertubi-
tubi mengancam, guci araknya diangkat.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan Setan Mabuk terdengar. Dan di
saat itulah senjata-senjata anak buah Mayat Kuburan Koneng tiba.
Takkk, takkk, takkk..!
Gila! Semua senjata yang mengenai berbagai bacaan tubuh kakek berkepala botak
itu terpental balik, seakan-akan menghantam gumpalan karet keras. Bukan hanya
itu saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit-sakit
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh seraya meng-
gerakkan tangannya. Jerit-jerit kesakitan pun terdengar diiringi robohnya satu
persatu anak buah Mayat Kuburan Koneng. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Setan
Mabuk sungguh dahsyat! Buktinya tidak seorang pun dari para pengeroyok yang
tersisa. Mereka semua roboh, dan tak bangun lagi.
Kini sambil tertawa terkekeh-kekeh, Setan Mabuk melangkah menghampiri Malinda
yang belum mampu bangkit.
Memang, akibat serangan kakek berperut buncit itu hebat bukan main, meskipun
hanya mengenai bahu.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu berusaha bangkit, tapi tidak mampu. Sebuah
seringai kesakitan yang muncul di mulutnya telah menjadi tanda kalau gadis itu
telah terluka dalam yang cukup parah. Dan Malinda hanya bisa menatap Setan Mabuk
yang menghampirinya dengan dada berdebar tegang.
Setan Mabuk menghentikan suara tawanya begitu telah berada di dekat Malinda.
Sesaat sepasang matanya mengawasi sekujur tubuh gadis berpakaian kuning itu,
kemudian tangan kanannya bergerak.
Brettt..! Suara dari kain robek terdengar ketika tangan Setan Mabuk merenggutnya. Malinda
langsung terpekik ngeri.
Pakaian yang dikenakan, dari bagian dada sampai perut telah sobek.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Diakui, Malinda adalah seorang
wanita sesat, dan mendendam padanya. Tapi biar bagaimanapun, dia tidak tega
kalau gadis itu diperkosa Setan Mabuk.
Sementara kakek berkepala botak yang sudah
kerasukan nafsu setan, begitu melihat pemandangan indah yang terpampang di
hadapannya, segera menubruk tubuh Malinda dan menciuminya dengan kasar.
Tangannya juga mulai sibuk melucuti sisa pakaian putri Mayat Kuburan Koneng itu.
Malinda yang tengah tertuka dalam, tidak mampu
berbuat apa-apa selain menjerit-jerit keras dan meronta-ronta. Tapi hal itu
justru menambah nafsu setan kakek berperut buncit itu membara. Dan dengan
sendirinya, tindakannya pun semakin brutal
"Setan Mabuk! Tahan...!" teriak Arya keras. "Kalau perbuatanmu dilanjutkan, aku
tidak akan sudi meladeni tantanganmu!"
Kakek berkepala botak itu langsung menoleh dengan napas menderu hebat. Sepasang
matanya telah memerah, karena nafsu telah bergolak dalam dirinya. Tapi
peringatan Dewa Arak-lah yang membuatnya bimbang.
Setan Mabuk memang bukan orang yang suka mem-
perkosa wanita. Dan perbuatan yang akan dilakukannya terhadap Malinda, semula
bukan terdorong nafsu. Melainkan, keinginan untuk menghancurkan gadis itu.
Namun, begitu melihat kemulusan tubuh gadis itu, dia menjadi terpengaruh. Hanya
saja, ancaman Dewa Arak telah membuatnya bimbang.
Beberapa saat lamanya Setan Mabuk tercenung
memikirkannya. "Kali ini kau kuampuni, Wanita Liar! Menyingkirlah cepat sebelum pikiranku
berubah!" Dengan kedua tangan menutupi bagian tubuhnya yang terbuka lebar, Malinda
berusaha bangkit. Luar biasa! Kali ini usaha gadis berambut digelung itu
berhasil. Rupanya rasa takut yang melanda akan terjadinya peristiwa yang
mengerikan, membuat kekuatannya muncul kembali.
Memang, meskipun seorang wanita sesat, tapi Malinda masih seorang gadis tulen.
"Akan kuingat budimu. Dewa Arak...!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning ini melangkah terseok-seok
meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, bayangan tubuhnya lenyap ditelan
lebat-nya pepohonan.
Setan Mabuk memungut pedang yang berserakan di
tanah, kemudian melontarkannya ke arah tali yang menggantung Jaring pengurung
tubuh Dewa Arak
Tasss...! Tali itu putus seketika. Dengan sendirinya, jaring yang membungkus tubuh Dewa
Arak pun terjatuh ke tanah.
Maka, Arya pun bergegas keluar dari dalam jaring.
Begitu Arya keluar dari jaring. Setan Mabuk langsung saja menyerang. Kedua
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya terkembang mem-bentuk cakar dan menyambar bertubi-tubi ke arah perut,
dada, dan ulu hati pemuda berpakaian ungu itu.
Arya langsung terperanjat. Datangnya serangan yang ter-lampau tiba-tiba,
membuatnya terkejut bukan kepalang.
Disadari kalau dirinya tidak akan bisa mengelakkan serangan itu. Tidak ada
pilihan lagi, kecuali menangkisnya.
Tanpa ragu-ragu lagi, segera dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk
menangkis. Plak, plak, plak...!
Suara berderak keras terdengar berkali-kali ketika kedua tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, kedua belah pihak sama-
sama terhuyung mundur selangkah ke belakang. Jelas, tenaga dalam kedua tokoh ini
berimbang. Setan Mabuk mengawasi Dewa Arak dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun Dewa
Arak pun berbuat serupa.
"He... he... he...! Semua berita yang kudengar tentang dirimu ternyata cocok
sekali dengan kenyataan yang kulihat," kata Setan Mabuk setelah puas
memperhatikan Dewa Arak. "Tapi aku belum puas, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Setan Mabuk kembali
menerjang Dewa Arak. Gucinya yang besar itu sama sekali tidak dipergunakan.
Memang, kakek ini belum mau
mengeluarkan ilmu simpanannya.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang mempunyai
kepandaian tinggi, Arya tentu saja tahu kalau lawan belum menggunakan ilmu
andalan. Maka Dewa Arak pun hanya mengeluarkan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' untuk meng-hadapinya.
Kedua macam ilmu yang dimiliki Dewa Arak, menitik-beratkan pada penyerangan.
Begitu pula ilmu yang dimiliki Setan Mabuk. Tak pelak lagi, pertarungan sengit
pun terjadi. Dalam sekejap saja, pertarungan sudah berlangsung tiga puluh lima jurus. Dan
selama itu, belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
"Cukup, Dewa Arak..!"
Terdengar seruan keras dari mulut Setan Mabuk. Pada saat yang bersamaan,
tubuhnya pun melenting ke
belakang menjauhi kancah pertarungan.
Arya pun menghentikan gerakannya. Kini kedua belah pihak saling menatap, dengan
penuh selidik. "Kau tahu, mengapa aku mencari dan menantangmu, Dewa Arak?" tanya Setan Mabuk
dengan senyum terkembang di bibir. Kakek berperut buncit ini merasa puas begitu
mengetahui kelihaian Dewa Arak.
Memang sudah menjadi penyakit seorang ahli silat dia merasa gembira bila bertemu
lawan yang setingkatan.
Arya menggelengkan kepala. Memang, pemuda ber-
pakaian ungu itu belum mengetahuinya.
"Karena kau berani berjuluk Dewa Arak!" tandas Setan Mabuk lagi. "Kau tahu,
sebelum kau lahir ke dunia ini, aku sudah terkenal sebagai dedengkotnya arak.
Sudah tidak terhitung lagi, berapa kali aku mengadu kuat minum arak.
Dan karena tidak pernah terkalahkan, aku mendapat julukan-julukan Setan Mabuk."
Kakek berperut buncit itu menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
Ditatapnya wajah Dewa Arak untuk mengetahui tanggapannya.
"Karena merasa sudah tua, sekitar satu tahun yang lalu, aku mengundurkan diri
dari dunia persilatan. Tapi, terpaksa aku keluar lagi, karena kudengar di dunia
persilatan ada tokoh muda yang berani berjuluk Dewa Arak. Jadi, aku merasa
tertantang ingin kubuktikan sendiri, apakah orang itu berhak mendapat julukan
seperti itu."
Kini Arya mengerti akan duduk permasalahannya.
"Baiklah. Agar tidak terjadi korban di antara orang yang tidak bersalah, aku
menerima tantanganmu, Setan Mabuk"
"Bagus!" sahut Setan Mabuk gembira. "Tapi perlu kau ketahui, Dewa Arak. Kita
tidak hanya bertanding dalam minum arak saja. Tapi, juga dalam ilmu silat."
"Aku mengerti," kata pemuda berambut putih keperakan itu. "Kapan waktunya, Setan
Mabuk?" "Purnama depan!"
"Purnama depan"!" Arya mengerutkan alisnya. Karena waktu yang ditentukan masih
lebih dari sepekan.
"Mengapa harus menunggu begitu lama, Setan Mabuk?"
"Karena, bulan purnama depan adalah waktu bagi raja-raja arak untuk mengadu
kekuatan minum dan ilmu silat,"
jelas kakek berperut buncit itu. "Bertahun-tahun akulah juaranya. Tapi tahun
kemarin, aku tidak mengikutinya.
Sehingga, aku tidak tahu, siapa yang menjadi juaranya."
Arya mengernyitkan dahinya. Sungguh tidak disangka kalau persoalannya jadi
semakin membesar begini.
"Bila ingin julukanmu diresmikan raja-raja arak, kau harus mengikuti pertarungan
di sana, Dewa Arak. Dan kalau tidak, hanya dunia persilatan saja yang
mengakuimu. Tapi, tidak bagi jago-jago minum. Bagaimana" Kau bersedia"!"
"Aku sudah berjanji, Setan Mabuk. Jadi, mau tak mau harus memenuhinya. Aku akan
datang. Tapi..., di mana pertarungan itu dilangsungkan?"
"Tempatnya selalu berpindah-pindah, Dewa Arak" jawab Setan Mabuk. "Tapi yang
jelas, mereka selalu memilih tempat-tempat yang sepi. Kudengar, tahun ini tempat
pertarungan itu akan berlangsung di Pulau Selaksa Setan.
Kau tahu tempatnya, Dewa Arak"!"
Arya menganggukkan kepala. Memang dia tahu, di
mana letak pulau itu.
"Kau ingin bersamaku atau ingin pergi sendiri, Dewa Arak"!" tanya Setan Mabuk.
"Aku pergi sendiri saja," Jawab Dewa Arak mantap.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dan seiring suara
tawanya, tubuh kakek berperut buncit itu berkelebat dari situ. Hanya dalam
sekejapan saja, dia telah berada dalam jarak lebih dari sebelas tombak.
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Dia memang sudah menduga kelihaian kakek ini
dari pertarungan tadi, meskipun hanya bertarung sebentar saja. Disadari kalau
Setan Mabuk adalah seorang lawan yang amat tangguh.
"Hhh....!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas berat. Dipandanginya tubuh
Setan Mabuk yang semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Kemudian baru kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Dia harus bergegas
menuju tempat yang dimaksud, untuk memenuhi janjinya terhadap Setan Mabuk.
Apa yang akan ditemui Dewa Arak di Pulau Selaksa Setan" Siapakah yang akan
memenangkan pertarungan adu minum itu" Dan bagaimana nasib Malinda yang
mendendam pada Dewa Arak, tapi juga ingin membalas budi" Lalu bagaimanakah Kera
Bukit Setan, Jagar, dan yang lain-lain" Apakah Arya tidak membasmi mereka"
Jawaban untuk semua itu ada dalam judul "Pertarungan Raja-Raja Arak'. Di sana,
Dewa Arak akan menemui kejadian yang sama sekali tidak pernah diduganya.
SELESAI Created by fujidenkikagawa & syauqy_arr
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 26 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Pusaka Negeri Tayli 13
dengan kepalanya sendiri.
Prakkk...! Terdengar suara berderak keras ketika kepala laki-laki berkulit kemerahan itu
hancur berantakan. Tubuhnya limbung sejenak, lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia
menggelepar, kemudian tak berkutik lagi.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat lawan tak ber-daya lagi. Kemudian bagaikan
melempar sebuah karung basah, mayat laki-laki berkulit kemerahan itu dicampakkan
begitu saja ke tanah. Lalu, tokoh sesat itu melesat ke dalam.
*** Baru saja melewati pintu gerbang yang memang
terbuka, di hadapan Setan Mabuk telah berdiri belasan orang berseragam kuning
bergambar naga pada dada kirinya. Semuanya murid Perguruan Naga Hijau. Rupanya,
mereka mendengar adanya keributan di luar, sehingga berbondong-bondong menuju ke
luar. Betapa terkejutnya hati murid-murid Perguruan Naga Hijau begitu melihat seorang
kakek berkepala botak telah melesat masuk sambil tertawa terkekeh-kekeh. Dari
sikapnya yang kasar, bisa diduga golongan kakek gendut itu berasal. Tidak salah
lagi! Pasti golongan hitam!
Melihat orang kasar seperti kakek itu bisa masuk ke dalam, sudah dapat
dipastikan kalau masuknya pasti dengan cara paksa. Dan itu berarti dua orang
penjaga pintu gerbang telah berhasil digilasnya. Tanda noda darah di bagian
kepala Setan Mabuk kian memperjelas persoalannya.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat keterkejutan belasan murid Perguruan Naga
Hijau di hadapannya.
Kakek berkepala botak ini memang sudah memutuskan untuk menghancurkan Perguruan
Naga Hijau, bukan
karena ingin membantu Jagar, tapi karena ingin membuat kerusuhan sebanyak
mungkin agar Dewa Arak muncul.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, segera diserbunya belasan murid Perguruan Naga
Hijau yang memang sudah bersiap dengan senjata di tangan.
Sekali menyerang, Setan Mabuk langsung mengeluarkan ilmu andalannya, 'Seribu
Satu Gerakan Setan Mabuk'.
Kedua tangannya yang terbentuk cakar aneh, guci, dan juga araknya dikeluarkan
untuk menghadapi belasan orang pengeroyoknya.
Sepak terjang Setan Mabuk benar-benar menggiriskan.
Setiap kali tangan, guci, atau araknya meluncur, sudah dapat dipastikan ada
sosok tubuh yang ambruk ke tanah.
Dalam waktu sebentar saja, empat orang murid Perguruan Naga Hijau roboh
bergelimpangan untuk selama-lamanya.
Murid-murid Perguruan Naga Hijau yang tersisa terkejut bukan main melihat
kehebatan kakek berperut buncit itu.
Sungguh tidak disangka kalau dalam beberapa gebrakan saja, Setan Mabuk mampu
membinasakan keempat rekan mereka.
Pikiran seperti itu membuat mereka memaksakan diri untuk mengeluarkan seluruh
kemampuan yang dimiliki.
Senjata-senjata mereka pun berkelebat mencari sasaran.
Tapi perlawanan keras murid-murid Perguruan Naga Hijau sama sekali tidak berarti
banyak. Setan Mabuk terlalu tangguh untuk dapat ditandingi. Setiap serangan
pedang yang menyambar, selain ke arah matanya dibiarkan saja.
Hebatnya, setiap serangan yang menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk
kembali membalik seperti menghantam gumpalan karet kenyal. Tidak hanya itu saja.
Tangan yang menggenggam pedang pun bergetar hebat seperti akan lumpuh.
Sebaliknya, setiap serangan kakek berperut buncit itu selalu diakhiri oleh
lolong kesakitan yang menyayat hati.
Kedua tangan, guci, dan arak kakek itu sudah beberapa kali merenggut nyawa.
Penjagalan manusia secara tak ber-perikemanusiaan pun berlangsung di halaman Perguruan Naga Hijau.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh begitu tidak ada lagi lawannya yang berdiri
tegak. Semua tergolek di tanah dalam keadaan tidak bernyawa.
Setelah puas memperhatikan mayat-mayat yang ter-
kapar di tanah. Setan Mabuk bergerak menghampiri bangunan Perguruan Naga Hijau.
Diambilnya beberapa batang kayu dari sekitar bangunan, lalu digosokkannya satu
sama lain. Dengan tenaga dalam yang dimilikinya, bukan hal yang sulit untuk menyalakan api.
Sesaat kemudian, api pun memercik dan mulai membakar kayu-kayu itu.
"He... he... he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, Setan Mabuk melemparkan potongan-potongan kayu itu
ke arah bangunan.
Tak lama kemudian, api mulai membakar bangunan itu.
Semakin lama, api semakin besar dan membumbung
tinggi. Asap tebal dan hitam pun memenuhi angkasa. Tidak ada jerit kematian,
karena seluruh murid Perguruan Naga Hijau memang telah dibinasakannya. Namun,
entah berada di mana ketua perguruan itu. Mungkin saja dia tengah bersemadi di
puncak Gunung Koneng.
Seiring semakin membesarnya api, sekeliling tempat itu pun terasa panas di kulit
Setan Mabuk laki melangkah ke belakang, karena hawa panas mulai menyengat kulit
tubuhnya. Kakek berperut buncit ini memperhatikan api yang membakar bangunan
perguruan itu dari jarak yang cukup jauh.
"He... he... he...!"
Dengan tawa terkekeh yang selalu keluar dari mulutnya, Setan Mabuk melangkah
meninggalkan tempat itu. Dengan langkah agak terhuyung-huyung, tubuhnya melesat
cepat bagai kilat.
Semakin lama, suara tawa kakek berkepala botak itu semakin mengecil. Suara tawa
itu akhirnya lenyap, seiring dengan tubuhnya yang lenyap di kejauhan.
*** Suara gemeretak kayu yang terbakar diiringi meletiknya beberapa gelintir bara
api, menyemaraki kesibukan seorang pemuda tampan berambut putih keperakan yang
tengah memanggang seekor ayam hutan.
Dengan jakun turun naik dan air liur yang hampir menitik, pemuda berpakaian ungu
itu terus tenggelam dalam kesibukannya. Tangan kanannya mengebut-ngebutkan daun
nangka yang dijadikannya kipas. Sedangkan tangan kirinya sibuk memutar-mutar
bambu yang memanggang ayam.
Cuping hidung pemuda itu kembang kempis begitu
mencium bau sedap daging terbakar. Memang sebelum memanggang, dia telah
membubuhkan bumbu secukup-nya. Tidak aneh jika akhirnya tercium bau sedap,
sehingga perut yang sudah lapar semakin menjerit-jerit minta segera diisi.
Setelah yakin kalau panggangannya telah matang,
pemuda berambut putih keperakan itu mulai menik-
matinya. Tentu saja setelah tidak terasa panas menyengat mulut lagi.
Rupanya, pemuda itu dilanda lapar yang amat sangat.
Terbukti begitu potongan yang pertama telah habis disikat lalu dilanjutkan
dengan potongan selanjutnya. Dalam waktu tak lama, panggang ayam hutan itu telah
habis dilahap. "Ahhh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mendesah puas.
Diusapnya pinggir-pinggir mulut yang penuh minyak dengan punggung tangan.
Kemudian, tubuhnya disandarkan di pohon seraya menepuk-nepuk perutnya yang kini
sudah tidak kempes lagi.
Perlahan-lahan dijumput guci arak yang tadi diletakkan di dekatnya, lalu
didekatkan ke mulut. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar tegukan ketika arak itu melewati
tenggorokan. Menilik dari warna rambut, pakaian yang dikenakan, dan guci arak
yang terbuat dari perak, sudah bisa diterka sosok pemuda itu. Ya! Dialah Arya
Buana alias Dewa Arak.
Tentu saja sewaktu meminum arak, Dewa Arak tidak bermaksud mempergunakan ilmu
'Belalang Sakti'. Pemuda berambut putih keperakan itu hanya minum sekadarnya
saja. Itulah sebabnya. Begitu araknya diminum, dia tidak terpengaruh sama
sekali. Perut kenyang, tubuh bersandar, dan angin pagi yang semilir, tidak aneh kalau
membuat orang mengantuk.
Begitu pula dengan Arya. Rasa kantuk ini mulai menyerang matanya. Perlahan-lahan
sepasang matanya terpejam sendiri.
Tapi rasa kantuknya kontan menguap entah ke mana ketika terdengar langkah-
langkah kaki mendekati tempatnya. Seketika itu juga sekujur urat-urat syaraf dan
otot-otot Arya menegang waspada, siap menghadapi segala
kemungkinan. Semakin lama, langkah kaki itu semakin jelas terdengar.
Jelas, pemilik langkah itu tengah bergerak mendekati Dewa Arak. Maka pemuda
berambut putih keperakan ini langsung bergerak bangkit.
Guci arak yang tergeletak di samping kanannya,
dibiarkan saja, karena saat ini memang belum diperlukan.
Kini Dewa Arak duduk tegak menunggu. Ingin diketahuinya pemilik langkah itu.
Menilik dari suaranya, dia tahu kalau pemilik langkah itu tidak hanya seorang
saja. Tak lama kemudian, dari arah sebelah kiri Dewa Arak tampak muncul serombongan
orang berwajah angker.
Empat orang di antara mereka memikul sebuah tandu.
Melihat hal ini, kewaspadaan Dewa Arak mulai
mengendur. Menilik dari tandu itu, bisa diduga kalau rombongan yang seluruhnya
berjumlah enam belas orang adalah pengawal pemilik tandu yang akan pindah
tempat. Arya melirik sekilas ke arah rombongan itu. Tampak empat orang berada di depan
tandu yang dipikul oleh empat orang bertubuh kekar dan kuat. Sementara di
belakang, berjalan tak kurang dari delapan orang.
Kemudian tanpa mempedulikan lagi, Dewa Arak segera menyandarkan punggungnya
kembali ke pohon. Memang pohon tempatnya bersandar berada di hadapan bagian
hutan yang biasa dijadikan orang untuk menempuh
perjalanan. Maka, sudah bisa ditebak kalau tidak lama lagi rombongan orang itu
akan berlalu di depan Arya.
Semula Arya menduga kalau pemilik banyak langkah itu adalah rombongan perampok.
Itulah sebabnya, mengapa sikapnya begitu waspada. Maka begitu tahu kalau pemilik
langkah itu hanyalah rombongan orang yang mengawal sebuah tandu yang sudah pasti
dimiliki seorang saudagar, dia pun tidak ambil peduli lagi.
Semakin lama rombongan itu semakin dekat dengan
tempat Arya bersandar. Meskipun terlihat tidak peduli, tapi tetap saja Dewa Arak
memasang pendengarannya tajam-tajam. Maka dia bisa tahu, rombongan itu semakin
mendekati tempatnya.
Mendadak, terdengar suara pelan seperti ada kain tersingkap. Dewa Arak yang
merasa curiga segera membuka mata. Secepat matanya terbuka, secepat itu pula
hatinya tercekat. Suara kain yang tersingkap ternyata berasal dari samping kanan
tandu. Yang mengejutkan Arya bukan tirai yang tersingkap, tapi
'sesuatu' yang melesat cepat dari dalam tandu. Ternyata, empat bilah pisau
melesat ke arahnya disertai suara mendesing nyaring.
Namun Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh.
Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengawali tibanya serangan, sudah bisa
diterka kekuatan tenaga dalam yang terkandung di dalamnya. Dewa Arak tidak
berani menangkis, karena tidak ada kesempatan lagi untuk mengambil guci.
Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menggulingkan tubuhnya ke samping.
Cappp, cappp...!
Tiga bilah pisau langsung menancap sampai gagangnya di batang pohon tempat
bersandar Dewa Arak tadi. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga
dalam orang yang melemparkannya.
Belum juga Arya sempat memperbaiki keadaannya, dari batik tirai tandu melesat
sesosok bayangan putih.
Langsung dicecarnya pemuda berambut putih keperakan itu dengan pukulan bertubi-
tubi ke arah dada dan ulu hati.
Kali ini Dewa Arak terpaksa menyalahi kebiasaannya.
Biasanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak pernah menangkis langsung serangan
sebelum bisa memperkirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi kali ini, karena
kesempatan yang dimiliki tidak memungkinkan, terpaksa tangannya bergerak
menangkis. Sadar akan kekuatan tenaga dalam lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan dalam tangkisan itu.
*** 6 Plak, plak...!"
Serangan sosok bayangan putih itu semuanya berhasil dikandaskan Dewa Arak.
Bahkan tubuh sosok bayangan itu pun terpental balik ke belakang. Sementara kedua
tangan Arya hanya terasa bergetar hebat.
Lagi-lagi sebelum pemuda berambut putih keperakan itu berhasil memperbaiki
keadaannya, kembali datang
serangan dahsyat. Kali ini bukan dari sosok bayangan putih, melainkan dari
orang-orang berwajah angker yang mengawal tandu.
Secara serempak, mereka semua meluruk memburu
tubuh Dewa Arak yang masih tergeletak di tanah. Senjata-senjata yang tergenggam
dj tangan segera berkelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Sing, sing, sing...!
Suara-suara mendesing nyaring mengawali tibanya
serangan senjata para pengawal tandu itu.
Kali ini, Dewa Arak sama sekali tidak mengelakkan serangan. Arya tahu, perbedaan
kekuatan tenaga dalam antara dirinya dengan orang-orang berwajah angker itu
sangat jauh. Dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, semua senjata itu mampu
ditangkisnya tanpa terluka.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras terdengar berulang-ulang ketika senjata-senjata itu
berbenturan dengan kedua tangan Dewa Arak. Arya yang tidak mau bersikap main-
main lagi, langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya sudah bisa diduga. Seketika terdengar jeritan-jeritan kaget dari mulut
para pengawal tandu itu ketika tangan mereka mendadak lumpuh. Tak pelak lagi,
senjata yang digenggam pun terlepas dari tangan dan berpentalan entah ke mana.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak.
Kedua tangannya pun diputar di depan dada. Kontan dari kedua tangan yang
berputaran itu muncul angin keras.
Akibatnya, tubuh para pengeroyoknya berpentalan tak tentu arah seperti dilanda
angin topan. "Hih...!"
Sambil mengeluarkan teriakan keras menggetarkan
jantung, sosok bayangan putih itu melompat menerjang Dewa Arak. Tapi kali ini,
Arya sama sekali tidak ingin menangkis serangan, karena empat orang pemikul
tandu telah bergerak menghampiri guci araknya yang tertinggal.
Sudah bisa diperkirakan tindakan yang akan dilakukan mereka.
Maka seketika tubuh Arya melenting ke atas, melompati tubuh sosok bayangan
putih. Pemuda berambut putih keperakan ini berburu dengan waktu. Guci araknya
harus cepat diambil lebih dulu sebelum empat orang pemikul tandu itu
merampasnya. Menyadari kalau tidak akan sampai lebih dulu, karena jaraknya dengan guci
terlalu jauh, dan sementara empat orang itu sudah hampir mencapainya. Dewa Arak
tidak mempunyai pilihan lain lagi. Sambil melompat, langsung dilancarkannya
pukulan jarak jauh ke arah dua di antara empat orang yang sudah hampir mencapai
guci. Wuttt..! Bresss...! Jeritan-jeritan ngeri terdengar ketika pukulan jarak jauh Dewa Arak telak dan
keras sekali menghantam punggung dua orang yang ditujunya. Seketika itu juga,
darah segar muncrat dari mulut ketika tubuh dua orang pemikul tandu itu
terjungkal ke depan. Tubuh kedua orang yang sial itu menggelepar-gelepar
sejenak, kemudian diam tidak bergerak lagi selama-lamanya.
Sementara dua orang lainnya terkejut bukan main
melihat kejadian ini. Dengan sendirinya, langkah mereka terhenti. Dan di saat
itulah tubuh Arya melayang cepat.
Seperti seekor burung garuda menyambar mangsa, dia meluruk dan menyambar guci
araknya. Tappp...! Dewa Arak melentingkan tubuhnya beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya hinggap
di tanah, pandangannya langsung beredar ke arah para pengeroyoknya yang ternyata
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak melancarkan serangan kembali. Arya sempat melihat kalau sosok bayangan
putih itu melarang para pengawalnya untuk melancarkan serangan lagi. Kini, sosok
bayangan putih itu melangkah menghampiri pemuda
berpakaian ungu itu.
"Siapa kalian" Mengapa menyerangku?" tanya Dewa Arak, penuh wibawa.
Mata pemuda itu langsung menatap sosok bayangan
putih yang ternyata seorang laki-laki berwajah pucat seperti mayat. Tampangnya
benar-benar menyeramkan. Pakaiannya yang berwarna putih, semakin menambah seram
penampilannya. "Aku berjuluk Mayat Kuburan Koneng," sahut orang berpakaian putih itu. Suaranya
terdengar aneh. Pelan, tapi bergaung mirip hantu kuburan. Kedua belah pipinya
hampir tidak bergerak sama sekali ketika berbicara.
Mungkin itulah yang membuat suaranya terdengar tidak jelas. "Memang tidak
setenar julukanmu, Dewa Arak!"
Arya mengernyitkan alisnya. Dia memang tidak
mengenal Mayat Kuburan Koneng.
"Mengapa kau menyerangku, Mayat Kuburan Koneng?"
tanya Arya lagi, karena laki-laki berpakaian putih bersih itu sama sekali tidak
menyahuti pertanyaannya.
"Aku hanya ingin menjajal kepandaianmu saja, Dewa Arak. Apakah julukan yang kau
sandang sebanding dengan kepandaianmu, sehingga menggemparkan dunia
persilatan"!"
"Hhh...!"
Arya mengela napas berat. Disadari kalau pertarungan tidak bisa dielakkan lagi.
"Kudengar, Setan Mabuk menantangmu. Terpaksa aku mendahuluinya. Karena apabila
dia lebih dulu bertarung denganmu, kau tidak akan pernah bisa bertarung kembali
denganku, Dewa Arak'" sambung Mayat Kuburan Koneng Pemuda berambut putih
keperakan ini mengerutkan
alisnya. "Setan Mabuk menantangku" Mengapa aku tidak tahu"
Jangankan tahu tentang tantangan itu, mendengar julukannya saja baru kali ini!
Tapi yang jelas, tokoh itu pasti memiliki kepandaian yang amat tinggi. Mayat
Kuburan Koneng yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi, secara tidak
langsung mengakui kalau Setan Mabuk memiliki kepandaian di atasnya," kata hati
Dewa Arak "Ada satu hal lagi yang membuatku terpaksa mendahului Setan Mabuk, Dewa Arak'"
Kali ini suara laki-laki berpakaian putih itu terdengar bersungguh-sungguh. Ada
nada ancaman dalam suaranya yang terdengar mengerikan itu.
"Kau kenal Janggulapati?"
Arya mengernyitkan alisnya sebentar, mengingat-ingat nama yang diucapkan Mayat
Kuburan Koneng. Baru sesaat kemudian, dia teringat Janggulapati adalah suami
Gayatri. Mereka berdua terkenal berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar (Untuk jelasnya,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Perlahan-lahan kepala pemuda berpakaian ungu itu terangguk-angguk. Sementara
tangan kanannya memegang dagu.
"Dia tewas di tanganmu, bukan"!" desak laki-laki berpakaian putih dengan suara
semakin tidak enak didengar.
"Benar!" sahut Dewa Arak, mantap. Memang dialah yang telah menewaskan
Janggulapati. "Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Janggulapati terhitung saudara seperguruanku.
Walaupun setelah itu kami menempuh cara sendiri-sendiri untuk memperdalam ilmu,
tapi aku tidak rela dia dibunuh orang! Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan membuat
perhitungan denganmu atas pembunuhan yang kau lakukan terhadap Janggulapati!"
Belum juga gema suara itu habis. Mayat Kuburan
Koneng telah meluruk menerjang Dewa Arak. Laki-laki berpakaian putih ini membuka
serangan dengan sebuah tendangan lurus ke arah dada.
Arya segera menarik kaki kanan ke belakang seraya mendoyongkan tubuh. Maka
serangan itu tidak mencapai sasaran, masih berjarak sekitar sejengkal di
hadapannya. Tapi, Mayat Kuburan Koneng tidak sudi memberi
kesempatan. Begitu Dewa Arak berhasil mengelakkan serangan, segera disusulinya
dengan serangan berikut.
Kaki kanannya kini sedikit ditarik pulang, lalu meluncur lagi mengancam leher
Arya dengan sebuah tendangan miring Kali ini Arya terpaksa melompat ke belakang
untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dia bersalto
beberapa kali di udara. Dan begitu hinggap, tangannya telah menggenggam sebuah
guci arak. Gluk.. gluk.. gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika Arya menuangkan arak ke mulutnya. Sesaat
kemudian, hawa hangat merayapi perutnya, dan perlahan naik ke atas kepala
membuat tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri.
Dan bertepatan dengan pemuda berpakaian ungu itu menurunkan guci araknya,
serangan dari Mayat Kuburan Koneng telah datang menyambar.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun tidak bisa dihindari.
Mayat Kuburan Koneng mengamuk seperti banteng
terluka. Dia rupanya sangat mendendam atas kematian Janggutapati di tangan Dewa
Arak. Terbukti, setiap serangannya selalu mengancam bagian-bagian yang
mematikan. Bahkan selalu dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam penuh.
Suara angin bercicitan mengiringi tibanya setiap serangan yang dilancarkan Mayat
Kuburan Koneng. Jelas, setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserangnya kali ini adalah Dewa Arak.
Seorang pendekar yang meskipun masih berusia muda, tapi telah memiliki
kepandaian amat tinggi. Ilmu andalannya, yang bernama 'Belalang Sakti' merupakan
sebuah ilmu aneh yang dahsyat. Dan kini menghadapi lawannya, ilmu andalannya itu
langsung dikeluarkan.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi karena
perasaan geram yang melanda hatinya. Telah belasan jurus menyerang kalang kabut,
tapi tak satu pun yang mengenai sasaran. Padahal sepertinya Dewa Arak hanya
mengelak dengan gerakan-gerakan tidak teratur.
Tapi anehnya, setiap serangan yang dikirimkan Mayat Kuburan Koneng selalu
mengenai tempat kosong.
Serangan itu selalu dielakkan Dewa Arak dengan gerakan-gerakan seperti orang
akan jatuh. Bahkan terkadang seperti memapak serangan yang dilancarkan dengan
tubuhnya. Anehnya, justru dengan berbuat seperti itu, serangan lawan bisa
dikandaskan. Semula, Arya sama sekali tidak bermaksud mengadakan perlawanan. Dia sama sekali
tidak mempunyai perselisihan dengan Mayat Kuburan Koneng. Tambahan lagi, rasanya
tak ada alasan untuk membunuh laki-laki berpakaian putih ini. Arya belum melihat
adanya kejahatan yang tidak terampunkan pada Mayat Kuburan Koneng.
Tapi rupanya sikap mengalah Dewa Arak ditafsirkan lain oleh Mayat Kuburan
Koneng. Laki-laki berpakaian putih ini malah menganggap pemuda berambut putih
keperakan itu meremehkannya. Dan sebagai akibatnya, serangan-serangannya pun
berlangsung semakin dahsyat.
Kesabaran Dewa Arak pun habis. Tokoh sesat ber-
pakaian putih ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Dia yakin, Mayat Kuburan
Koneng tahu kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah. Laki-laki berpakaian
putih itu adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi. Jadi,
mustahil bila tidak mengetahui kalau dirinya telah terlalu banyak mengalah!
Begitu kesimpulan yang didapat Arya.
Maka, setelah pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh lima jurus, dan
serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng malah semakin membabi buta, Arya pun
memutuskan untuk mengadakan perlawanan.
Seketika itu pula gerakan Dewa Arak berubah dahsyat.
Kini gerakan-gerakannya tidak lagi meliuk-liuk dan lemas seperti sebelumnya,
tapi diselingi gerakan-gerakan kasar dan keras secara mendadak. Bahkan boleh
dibilang, sulit ditebak. Terkadang lemas seperti tidak bertenaga, dan terhuyung-
huyung seperti akan jatuh. Tapi di lain saat, berubah menjadi kasar, keras, dan
penuh kekuatan.
Gerakan-gerakannya pun jadi terlihat liar! Ini pertanda kalau pemuda berpakaian
ungu itu telah mengeluarkan Jurus 'Belalang Mabuk'nya.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat begitu merasakan perubahan yang begitu mendadak
ini. Terasa adanya tekanan-tekanan berat dari setiap serangan Dewa Arak.
Seketika itu juga, porsi serangan laki-laki berpakaian putih ini berkurang
banyak. Memang setelah Arya mulai balas menyerang, Mayat Kuburan Koneng tidak lagi bisa
leluasa melancarkan serangan membabi buta seperti sebelumnya. Dan biasanya
melakukan penyerangan berarti membuka pertahanan.
Semakin banyak menyerang, semakin banyak pertahanan yang terbuka di sana-sini.
Tadi sewaktu Dewa Arak sama sekali tidak melakukan perlawanan, laki-laki
berpakaian putih ini bebas mengeluarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan
lagi. Tapi kini pemuda berpakaian ungu itu mulai balas menyerang. Dan bila Mayat
Kuburan Koneng terus menyerang membabi buta seperti sebelumnya, maka mudah bagi
Dewa Arak untuk memasukkan serangan ke berbagai
bagian tubuh yang terbuka.
Memang hebat bukan kepalang, Jurus 'Belalang Mabuk'
itu. Sesuai dengan nama jurusnya, serangan-serangan itu memang terlihat liar,
ganas, dan penuh tekanan. Tidak aneh kalau dalam beberapa jurus saja, Mayat
Kuburan Koneng telah kewalahan.
Serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng semakin
berkurang. Bahkan sebaliknya lebih banyak mengelak, karena menangkis pun akan
menimbulkan akibat buruk.
Tenaga dalam Dewa Arak jelas-jelas masih berada di atasnya. Maka bila terus-
menerus menangkis serangan, jelas akan menderita kerugian.
Berbeda dengan Mayat Kuburan Koneng, keadaan Dewa Arak malah sebaliknya.
Serangan-serangan pemuda ini semakin bertubi-tubi menghujani lawan.
Dalam menghadapi Mayat Kuburan Koneng, Arya tidak menguras seluruh kemampuannya.
Bahkan gucinya tidak digunakan, karena lawan belum menggunakan senjata.
Meskipun begitu, sesekali guci araknya dijumput dan ditenggak isinya. Kemudian
gucinya disampirkan kembali ke punggung.
Tentu saja hati Mayat Kuburan Koneng semakin bertambah geram. Pemuda berambut
putih keperakan itu dianggap sengaja memperlihatkan, kalau sambil minum arak,
mampu bertarung. Berarti, Mayat Kuburan Koneng sama sekali tidak dianggap Dewa
Arak. Maka, kontan kemarahannya semakin berkobar.
Kemarahan hebat yang membakar dada, membuat
Mayat Kuburan Koneng mengambil keputusan untuk
mengadu nyawa. Dia tahu, Dewa Arak terlalu sakti untuk bisa dikalahkan. Pemuda
berambut putih keperakan itu telah terlalu banyak membuatnya malu di hadapan
anak buahnya. Padahal, dendam atas kematian Janggulapati saja belum bisa
terbalaskan. Yang jelas, kalau tak bisa menewaskan Dewa Arak, dia tidak akan
bisa mati meram.
Dengan munculnya tekad untuk mengadu nyawa, kini Mayat Kuburan Koneng kembali
melancarkan serangan secara membabi buta. Bahkan tidak dipedulikan lagi
pertahanan dirinya. Yang ada di benaknya hanya satu.
Meningkatkan serangan terhadap Dewa Arak.
Arya terkejut begitu merasakan perubahan mendadak pada serangan lawan yang
menjadi liar dan kalang-kabut kembali. Sama sekali tidak mempedulikan pertahanan
diri sendiri. Plak... plak... plak..!
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng berhasil ditangkis
Dewa Arak. Akibatnya, tubuh laki-laki berpakaian putih itu terhuyung-huyung ke
belakang seraya meringis kesakitan. Kedua tangan terasa linu dan sulit
digerakkan. Tapi, Mayat Kuburan Koneng yang telah kalap langsung mematahkan kekuatan yang
mendorong tubuhnya itu.
Kembali dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah berbagai bagian tubuh Dewa
Arak. Melihat hal ini, Arya sadar kalau lawan mengajaknya mengadu nyawa. Tentu saja
pemuda berambut putih keperakan itu tidak meladeninya. Maka kembali di-
gunakannya jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk menghindari diri dari setiap
serangan lawan.
Kembali pertarungan berlangsung seperti pada jurus-jurus awal Mayat Kuburan
Koneng menyerang kalang kabut, sementara Dewa Arak mengelak ke sana kemari
dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi. Rasa
marah, malu, sakit hati, dan penasaran bercampur aduk dalam hatinya. Keinginan
untuk membunuh Dewa Arak telah begitu menggebu-gebu. Tapi sayangnya hal itu
tidak mampu diwujudkannya, sehingga membuat dadanya
terasa seperti akan pecah menahan berbagai macam luapan perasaan yang
bergejolak. Lebih dari dua puluh jurus laki-laki berpakaian putih ini menyerang kalang
kabut. Tapi, tetap saja tidak mampu menyarangkan tangan atau kakinya pada
sasaran. Bahkan, mendesak Dewa Arak pun belum mampu.
Mayat Kuburan Koneng ingin menjerit keras saking bingungnya. Pertarungan telah
berlangsung lebih dari seratus lima puluh jurus, tapi sampai selama itu tetap
saja belum mampu mendesak Dewa Arak.
Sementara kelelahan perlahan mulai melandanya.
Padahal lawannya tampak masih segar seperti sediakala.
Melihat keadaan ini, Mayat Kuburan Koneng khawatir tidak akan bisa mewujudkan
maksudnya untuk membunuh Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, anak buahnya
segera diberi isyarat untuk membantunya.
Begitu melihat tanda dari pemimpinnya, belasan orang itu segera bergerak meluruk
ke arah Dewa Arak. Memang, sejak tadi orang-orang berwajah angker itu tinggal
menunggu perintah saja. Mereka sudah bersiap-siap dengan senjata terhunus di
tangan. Tak pelak lagi, hujan belasan senjata itu menyerang ke arah Dewa Arak disertai
desingan-desingan nyaring yang merobek udara.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hai ini. Serangan belasan orang berwajah
angker itu sama sekali tidak diduga. Padahal, serangan Mayat Kuburan Koneng baru
saja dielakkannya. Tambahan lagi, para pengeroyok itu menyerangnya dari berbagai
jurusan. Sudah dapat diterka kalau belasan orang itu sudah terbiasa melakukan
serangan secara bersama-sama.
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Dewa Arak segera memutar-mutarkan kedua
tangannya di depan dada. Maka kejadian seperti yang sebelumnya terulang kembali.
Tubuh sebagian para pengeroyoknya berpentalan ke belakang seperti dilanda angin
topan. Senjata-senjata mereka pun berpentalan tak tentu arah.
Sedangkan serangan dari yang lainnya dibiarkan saja mengenai tubuhnya. Arya
memang langsung mengerahkan tenaga dalam agar tubuhnya tak mempan dihantam
senjata. Memang dengan perbedaan tenaga dalam di antara kedua pihak yang terlalu
jauh, pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan
membuat tubuhnya tidak bisa dilukai senjata.
Sementara, sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau pada saat yang sama, Mayat
Kuburan Koneng melancarkan serangan susulan ke arahnya. Bertubi-tubi, dan
mengancam berbagai bagian tubuhnya. Tidak ada kesempatan lagi bagi Dewa Arak
untuk mengelakkan serangan itu. Dan andaikata bisa, serangan lanjutan dari laki-
laki berpakaian putih itu sulit dielakkannya. Memang sebagai seorang tokoh
tingkat tinggi, Arya tahu kalau serangan yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng
kali ini merupakan serangan dalam satu rangkaian. Susul-menyusul dan sambung-
menyambung laksana gelombang laut.
Karena tidak ada pilihan lain lagi, terpaksa Dewa Arak menghentakkan kedua
tangannya ke depan. Langsung digunakannya jurus 'Pukulan Belalang".
Wusss...! Angin keras berhawa panas berhembus keras dari
kedua tangan Arya yang dihentakkan.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat. Apalagi tubuhnya tengah berada di udara, dan
jaraknya sudah terlalu dekat dengan Dewa Arak. Maka tidak ada lagi kesempatan
baginya untuk menghindari serangan itu, dan hanya sempat membelalakkan sepasang
matanya. Maka....
Bresss...! "Aaa...!"
Jeritan ngeri terdengar dari mulut laki-laki berpakaian putih itu, begitu
pukulan jarak jauh Dewa Arak keras dan telak sekali menghantam perutnya.
Seketika itu juga tubuh Mayat Kuburan Koneng
terlempar jauh ke belakang, dan baru mendarat keras di tanah ketika telah
melayang-layang jauh. Laki-laki berpakaian putih ini tewas dalam keadaan seluruh
tubuh gosong. Bau sangit daging yang terbakar seketika menyebar di tempat itu.
Belasan pasang mata anak buah Mayat Kuburan
Koneng terbelalak begitu melihat kematian laki-laki berwajah pucat itu. Tahu
kalau lawan yang masih muda itu memiliki kepandaian luar biasa, mereka pun
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat-cepat membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang. Sama sekali tidak
dihiraukan rekan-rekan mereka yang belum mampu bangkit karena luka yang
diderita. Namun Arya sama sekali tidak mengejar, dan juga tidak mempedulikan para
pengeroyok yang merintih-rintih di tanah tak mampu bangkit.
Sambil menghela napas berat, dihampirinya tubuh
Mayat Kuburan Koneng yang tergolek di tanah. Kini tokoh sesat yang berjuluk
'mayat' itu benar-benar telah menjadi mayat. Untuk kesekian kalinya, ada
perasaan sesal di hati Dewa Arak karena telah menjatuhkan tangan maut pada
lawannya. Memang, Arya sebenarnya tidak ingin membunuh.
Pemuda berambut putih keperakan itu menatap
sebentar mayat yang tergolek dalam keadaan hangus itu.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Paling tidak itu
untuk mengusir perasaan sesal yang merayapi hatinya. Arya menghibur hatinya
sendiri agar perasaan sesalnya hilang. Toh, dia memang tidak bermaksud membunuh.
Tapi, lawanlah yang terlalu
memaksanya. "Urus mayat pemimpin kalian. Mengerti"!" ujar Dewa Arak pada beberapa orang anak
buah Mayat Kuburan Koneng yang masih tergolek di situ. Mereka semua menundukkan
kepala, karena khawatir Dewa Arak akan melepaskan tangan kejam.
"Mengerti, Tuan Pendekar...." Hampir berbareng para pengeroyok yang tergolek,
dan berjumlah lima orang itu menganggukkan kepala.
Arya tersenyum pahit, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Masih sempat
didengarnya desah kelegaan dari kelima orang pengeroyoknya. Pemuda berambut
putih keperakan ini tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan karena tidak jadi
dibunuh" *** 7 Matahari sudah naik tinggi ketika di kejauhan Dewa Arak melihat tembok batas
sebuah desa. Kontan wajah pemuda berambut putih keperakan itu jadi berseri. Dia
memang merasa agak lelah, dan ingin singgah sebentar di sebuah kedai. Di samping
untuk minum dan sedikit melepaskan lelah, juga untuk mengisi guci araknya
kembali. Memang, guci araknya telah hampir kosong.
Terdorong perasan ingin buru-buru tiba, Dewa Arak menambah kecepatan larinya.
Hasilnya, dalam waktu sekejap saja sudah berada dalam jarak sekitar delapan
tombak dari tembok batas gerbang desa.
Mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan ini berkernyit, ketika melihat
sesuatu pada tembok batas desa itu. Perasaan penasaran mendorongnya untuk
bergerak lebih mendekati.
Hanya dalam sekejap saja, Dewa Arak telah berada di dekat tembok batas desa itu.
Sepasang matanya yang sejak tadi menatap penuh rasa ingin tahu, kini malah
terbelalak. Pada tembok batas desa itu tertancap sebatang kayu sebesar jari telunjuk
sepanjang tiga jengkal. Tapi bukan itu yang menyebabkan Dewa Arak terkejut.
Sebagai seorang pendekar yang telah memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi, dia
tidak kaget melihat ada sebatang kayu tertancap di tembok batu sedalam lebih
dari setengah jengkal. Dia sendiri pun mampu melakukan hal yang sama. Bahkan
tidak hanya dengan kayu, tapi sebatang lidi!
Yang membuat Arya terkejut adalah sehelai kain berisi tulisan yang tertancap
oleh kayu itu. Dengan perasaan ingin tahu, pemuda berpakaian ungu itu
membacanya. Dewa Arak.... Melalui surat ini, kuberitahukan padamu.... Kalau kau sampai tidak datang
menemuiku, di Kuburan Desa Koneng, kejadian yang menimpa desa ini akan terulang
lagi di desa lain.
Setan Mabuk "Setan Mabuk..?" sebut Dewa Arak dengan kening berkernyit.
Lagi-lagi didengarnya julukan tokoh itu. Pertama kali dari mulut Mayat Kuburan
Koneng. Dan kini dari surat
tantangan yang ditancapkan di tembok desa. Tokoh itu sendirilah yang
mengirimkannya.
Baru saja Arya mengulurkan tangan hendak mencabut kayu itu, pendengarannya yang
tajam menangkap suara langkah kaki. Arahnya dari dalam desa.
Maka, terpaksa niatnya diurungkan. Kemudian kepalanya menoleh ke arah asal suara
itu. Dari suara langkah kaki itu, Arya tahu kalau orang yang datang memiliki
kepandaian. Dan dari situ pula, diketahui kalau kepandaian yang dimiliki orang
itu tidak terlalu tinggi.
Sesaat kemudian, di hadapan Dewa Arak telah muncul seorang gadis cantik.
Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya kuning dan ada gambar seekor naga yang
disulam dari benang berwarna hijau pada dada kiri pakaiannya.
Jelas kalau gadis itu ada hubungannya dengan Perguruan Naga Hijau.
"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak"!" tanya gadis berambut digelung itu
tatkala telah berada di hadapan Arya.
"Benar," jawab Arya sambil menatap gadis itu penuh selidik.
Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak terkejut mendengar gadis
yang baru saja dilihatnya itu telah tepat menebak dirinya. Dan memang, ciri-ciri
yang dimilikinya amat mencolok.
Yang membuat Arya terkejut adalah ketika melihat ada kesedihan di wajah gadis
cantik itu. Bahkan sepasang matanya yang bening dan indah itu terlihat menyimpan
kesedihan yang mendalam. Bisa diterka kalau gadis itu telah mengalami kejadian
yang menyedihkan.
"Kau harus bertanggung jawab atas semua musibah yang terjadi di sini, Dewa
Arak!" Keras dan penuh tekanan ucapan yang keluar dari
mulut gadis berpakaian kuning itu. Sepasang matanya pun berkilat-kilat pertanda
hatinya tengah dilanda kemarahan hebat. Bahkan tangannya pun telah menyentuh
gagang pedangnya.
"Sabar, Nisanak..!" bujuk Arya menenangkan, sambil menjulurkan kedua tangan ke
depan untuk mencegah gadis itu melanjutkan tindakannya. "Aku sama sekali tidak
mengetahui maksudmu."
Gadis berambut digelung itu menatap wajah Arya penuh selidik. Dia melihat adanya
kesungguhan, baik pada raut wajah maupun pada ucapan pemuda yang berdiri di
hadapannya. Maka perlahan tangan yang telah mengejang itu mengendur, kemudian
turun kembari ke sisi pinggang.
"Kau benar-benar tidak mengerti"'' tanya gadis itu berusaha memastikan. Nada
suaranya terdengar bergetar.
Arya menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit.
"Apakah wajahku mirip wajah seorang penipu?" pemuda berpakaian ungu itu balas
bertanya, setengah bergurau
"Aku baru saja tiba di daerah sini, Nisanak. Jadi, sama sekali tidak mengerti
maksud pembicaraanmu ini!"
Gadis berpakaian kuning itu mengalihkan pandangan ke arah kain yang tertancap di
tembok batas desa.
"Kau sudah membaca tulisan itu?" tanya gadis berambut digelung itu lagi, seraya
menudingkan telunjuknya ke arah kain yang terpampang di tembok batas desa.
"Sudah," jawab Dewa Arak, mantap.
"Dan kau masih belum mengerti"!" tanya gadis berpakaian kuning itu setengah
tidak percaya. Dahinya nampak berkernyit ketika mengajukan pertanyaan itu.
"Sedikit," sahut Arya kalem.
Semakin dalam kerutan pada dahi gadis berambut digelung itu.
"Apa kesimpulan yang kau dapat dari surat itu?" desak gadis berpakaian kuning.
"Ada orang yang mengajakku bertarung untuk alasan yang aku sendiri belum tahu.
Anehnya, kenapa dia mem-bawa-bawa penduduk dalam masalah ini?"
"Karena Setan Mabuk khawatir kau tidak berani memenuhi tantangannya," sabut
gadis berambut digelung, cepat.
"Hm..." gumam Arya pelan, untuk menyambuti ucapan gadis berpakaian kuning itu.
"Kau tahu..., sudah berapa lama surat itu terpampang di situ?"
Arya menggelengkan kepala. Dan memang, hal itu sama sekali tidak diketahuinya.
"Sudah dua hari. Setan Mabuk tidak sabar lagi menunggu. Dikiranya, kau
menganggap ancamannya hanya gertak sambal belaka. Maka, ancamannya pun
diwujudkan. Gerombolannya kemudian menghancurkan Desa Gempol."
"Ah...!"
Dewa Arak mendesah kaget. Memang pemuda be-
rambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang.
Betapa tidak" Dia sama sekali tidak tahu tentang tantangan, tapi kenapa para
penduduk yang menjadi sasaran.
"Kalau hari ini kau tidak datang menemuinya..., desa lain akan menjadi giliran
selanjutnya," sambung gadis berambut digelung itu. "Di mulut Desa Gempol pun
dipancangkan surat tantangan seperti ini."
Sambil berkata demikian, gadis berpakaian kuning itu menudingkan telunjuk
kanannya ke arah carikan kain yang terpampang di tempat batas Desa Koneng.
"Apakah..., tidak ada orang yang menentang tindakan Setan Mabuk itu?" tanya Arya
setelah beberapa saat lamanya terdiam.
"Memang ada. Tapi hanya ada beberapa gelintir saja.
Dan mereka adalah murid Perguruan Naga Hijau." jawab gadis berambut digelung
seraya tersenyum getir.
"Lalu..., hasilnya bagaimana?" tanya Dewa Arak setengah hati.
Namun Arya seketika baru menyadari, betapa bodoh pertanyaannya, ketika teringat
sesuatu. Tidak mungkin usaha murid-murid Perguruan Naga Hijau akan berhasil.
Buktinya sudah jelas, sudah banyak desa dihancurkan. Itu saja sudah merupakan
jawaban ketidakberhasilan usaha mereka.
"Mereka semua tewas," Jawab gadis berpakaian kuning dengan suara bergetar. Jelas
kalau ucapannya diutarakan penuh perasaan.
Arya pun mengerutkan alisnya. Terdengar ada nada kesedihan yang mendalam pada
suara gadis berambut digelung itu. Apakah ada hubungan antara gadis itu dengan
murid-murid Perguruan Naga Hijau yang terbunuh"
Tanpa sadar, pandangan Dewa Arak tertumbuk pada
sulaman benang hijau bergambar naga yang menempel di bagian dada kiri pakaian
gadis itu. Naga hijau! Apakah gadis ini juga murid Perguruan Naga Hijau" Kembali
pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak.
"Apakah mereka saudara seperguruanmu?" tanya Arya hati-hati.
Gadis berambut digelung itu hanya menganggukkan
kepala. Tapi hal itu sudah cukup untuk menjadi jawaban bagi pertanyaan yang
diajukan Dewa Arak.
"Ah...! Maaf...!" ucap Arya buru-buru. "Aku sama sekali tidak mengira akan hal
itu. Aku turut berduka cita."
"Terima kasih," hanya ucapan itu yang keluar dari mulut gadis berpakaian kuning
itu. "Apakah hal itu sudah kau beritahukan pada gurumu?"
tanya Arya lagi.
Gadis berambut digelung itu menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" kejar Arya lagi.
"Guruku yang sekaligus ayah kandungku tengah bersemadi di puncak Gunung Koneng.
Beliau tak ingin terjun dalam rimba persilatan, karena sudah benar-benar tidak
mau mencampuri urusan duniawi lagi. Dan yang jelas, Perguruan Naga Hijau telah
musnah." "Ah...!"
Keluh keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak begitu gadis berambut digelung
itu mengakhiri ucapannya. Ada isak tertahan yang keluar dari mulut gadis itu
seiring ucapannya selesai.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak. Jelas, pemuda berambut putih
keperakan ini dilanda kemarahan yang amat sangat.
"Keji...!" Arya mendesis pelan, tapi tajam penuh tekanan karena keluar dari hati
yang penuh diliputi amarah. "Siapa yang melakukan semua kekejian itu?"
"Setan Mabuk..." jawab gadis berpakaian kuning masih dengan suara serak. "Dia
seorang diri mengamuk dan membasmi semua murid Perguruan Naga Hijau, dalam
usahanya untuk memancing kedatanganmu. Itulah sebabnya, ada beberapa murid
Perguruan Naga Hijau yang tidak dibinasakannya. Dia berharap, murid-murid itu
akan menyampaikan pesannya kepadamu. Apakah kau bertemu mereka"''
Arya menggelengkan kepala.
"Sedangkan murid-murid Perguruan Naga Hijau yang berada di desa-desa dibasmi
kaki tangan Setan Mabuk.
Memang, dengan lenyapnya Perguruan Naga Hijau, mereka bebas berbuat kejahatan."
"Heh..."!" Dewa Arak terperanjat "Mengapa begitu?"
"Karena selama ini, semua orang yang bermaksud jahat selalu berhasil dipukul
mundur murid-murid Perguruan Naga Hijau," gadis berpakaian kuning tersenyum
getir. Rupanya, dia teringat kembali sewaktu Perguruan Naga Hijau masih berdiri.
Kali ini Arya sama sekali tidak menyahuti ucapan gadis berpakaian kuning itu.
Dan karena gadis itu sendiri tidak melanjutkan ucapannya, suasana pun menjadi
hening. "O, ya.... Siapakah namamu, Nisanak?" tanya Arya tiba-tiba. "Rasanya aneh kalau
kita telah berbincang-bincang sekian lamanya, tapi belum saling mengenal nama."
"Aku sudah tahu julukanmu," kalem suara gadis berambut digelung itu. Sebuah
senyuman yang dipaksakan tersungging di bibirnya.
"O, ya?" Dewa Arak yang ingin membuat gadis itu terlupa dengan kesedihannya
mencoba melucu.
"Ayah sudah sering membicarakanmu. Rupanya beliau amat mengagumimu."
Dewa Arak hanya tersenyum getir mendengar namanya banyak dikagumi tokoh
persilatan. Dia memang paling risih namanya dipuja-puja orang.
"Lalu, bagaimana kejadiannya hingga murid-murid Perguruan Naga Hijau dibantai
Setan Mabuk?" tanya Dewa Arak mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya. Yang jelas, ku-temui mayat Wakil Ketua
Perguruan Naga Hijau bersama mayat Kakang Subarji di tengah jalan..."
"Kakang Subarji..?" Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Murid Perguruan Naga Hijau yang telah keluar perguruan," jelas putri Ketua
Perguruan Naga Hijau itu dengan suara yang tidak begitu serak lagi. Rupanya dia
sudah mulai bisa menguasai perasaannya.
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti.
"Jadi..., kau tidak melihat siapa pembunuh mereka?"
Gadis berpakaian kuning itu mengangguk.
"Lalu..., dari mana kau tahu kalau pembunuhnya adalah Setan Mabuk?" desak Dewa
Arak ingin tahu.
"Dari mulut Kakang Subarji, sebelum tewas," jawab gadis berambut digelung itu.
"Rupanya kau mengikuti kepergian mereka secara diam-diam...," tuduh Arya dengan
nada mendesah. Wajah gadis itu kontan memerah.
"Ayah telah berpesan agar aku tidak pergi ke mana-mana. Maka diam-diam aku
mengikuti Paman Buntara. Aku juga ingin mengetahui, seperti apa orang yang
julukannya telah begitu menggemparkan...."
"Tak seperti yang kau bayangkan, bukan," tukas Arya buru-buru.
"Terus terang, aku agak kaget melihatmu, Arya" Namamu Arya, kan?"
Pemuda berpakaian ungu itu tersenyum getir.
"Kau curang, Nisanak."
"Curang"!" dahi gadis berpakaian kuning itu berkenyit.
"Ya! Kau telah tahu namaku, tapi aku sama sekali tidak tahu namamu."
"Namaku Malinda," sebut gadis itu malu-malu.
"Malinda... sebuah nama yang bagus," tanggap Arya.
Pujian Dewa Arak membuat wajah gadis berpakaian
kuning yang ternyata bernama Malinda jadi bersemu merah. Rupanya, dia risih juga
menerima pujian. Apalagi datangnya dari mulut orang seperti Dewa Arak! Seorang
pemuda berwajah tampan dan berkepandaian tinggi. Hati siapa yang tidak berbunga-
bunga" "Laki, apa tindakanmu selanjutnya, Dewa Arak?" tanya Malinda, pelan.
"Memenuhi tantangan yang diajukan Setan Mabuk!"
jawab Arya tegas.
"Kalau begitu, mari kita ke sana!" ajak Malinda cepat.
"Kau tahu tempatnya, Malinda?" Malinda menganggukkan kepala.
"Bagaimana" Setuju?"
Mulut Dewa Arak menyunggingkan senyuman lebar,
kemudian perlahan kepalanya terangguk.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, gadis berambut digelung ini melesat
meninggalkan tempat itu.
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Bisa diduga kalau gadis berpakaian kuning itu
ingin menguji kepandaiannya.
Maka begitu gadis itu melesat kabur, dia pun bergerak menyusulnya.
Sesaat kemudian, yang terlihat hanyalah dua sosok bayangan yang berkelebatan
cepat. Yang satu berwarna ungu, sementara yang satu lagi berwarna kuning.
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malinda berlari cepat mengerahkan seluruh kemampuannya. Dia memang bermaksud
menguji kemampuan
Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya.
Semula Malinda sudah merasa gembira begitu tidak melihat adanya bayangan pemuda
berpakaian ungu itu di belakangnya. Tapi, keceriaannya langsung memupus tatkala
mendadak di samping kanannya muncul sesosok bayangan ungu. Seketika senyum yang
tadi mengembang di bibirnya pun lenyap.
Karuan saja hal ini membuat Malinda merasa pe-
nasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi dalam usahanya menambah kecepatan
larinya. Tapi semua usaha yang dilakukannya sia-sia saja. Tetap saja Dewa Arak
berada di samping kanannya.
Malinda semakin terkejut ketika melihat raut wajah Dewa Arak. Wajah itu sama
sekali tidak menunjukkan kalau tengah mengerahkan tenaga sewaktu berlari. Raut
wajah itu masih tetap tenang seperti semula.
Setelah cukup lama berlari sambil mengerahkan seluruh tenaga, nampak Dewa Arak
masih tetap berada di
sebelahnya. Maka, gadis berpakaian kuning itu akhirnya mengalah. Perlahan-lahan
kecepatan larinya dikendurkan, dan akhirnya berhenti sama sekali.
Bertepatan dengan berhentinya kaki Malinda, Arya pun menghentikan langkah
kakinya pula. Malinda menatap wajah Dewa Arak. Perasaan terkejut semakin melanda hatinya
tatkala melihat wajah Arya sama sekali tidak menampakkan perubahan apa pun.
Wajah itu tetap mulus, seperti sediakala. Setetes pun tak ada peluh menggantung
di sana. Deru napas pemuda itu pun biasa-biasa saja, tidak terengah-engah.
Sedangkan dirinya" Peluh membasahi sekujur wajah.
Terutama sekali dahi dan lehernya. Napasnya pun
menderu-deru hebat. Meskipun tidak melihat sendiri, Malinda sudah bisa
memperkirakan kalau wajahnya merah padam.
"Masih jauhkah tempat itu dari sini, Malinda?" tanya Arya. Suaranya terdengar
biasa saja, tidak terputus-putus dan memburu seperti layaknya orang habis
berlari jauh. Gadis berpakaian kuning itu tidak langsung menjawab pertanyaan, dan malah sibuk
menenangkan deru napasnya yang memburu. Memang dia tadi berlari dengan
mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
"Tidak jauh lagi." sahut Malinda.
Mendengar jawaban itu, Arya melayangkan pandangan ke depan. Tak jauh di
depannya, tampak mulut sebuah hutan.
"Hutan..."!" Dewa Arak mengerutkan alisnya. Padahal, belum lama dia keluar dari
hutan itu. "Ah...! Hanya sebuah hutan kecil, Dewa Arak. Tapi di hutan itulah letaknya
Kuburan Koneng."
Arya mengangguk-anggukkan kepala saja. Dewa Arak memang tidak mengetahui, di
mana letaknya kuburan yang dimaksudkan Setan Mabuk. Maka begitu mendengar
jawaban itu, dia tidak membantahnya. Tanpa bicara lagi, langkah kakinya
dilanjutkan. Kini Dewa Arak dan Malinda melanjutkan perjalanannya dengan berjalan biasa. Dan
tak lama kemudian, mulut hutan pun sudah dilalui. Malinda terus saja melangkah.
Begitu pula Arya yang berada di sampingnya.
Mendadak Malinda menghunus pedang yang tergantung di pinggang. Dan secepat
pedang itu lolos dari sarungnya, secepat itu pula disabetkannya ke leher Dewa
Arak. Singgg..! Suara mendesing nyaring yang terdengar menjadi
pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangan pedang itu.
Arya terperanjat. Keterkejutan yang amat sangat
seketika melandanya. Memang serangan itu sama sekali tidak disangkanya. Tapi
meskipun begitu, karena memang sudah terbiasa berhadapan dengan hal yang tiba-
tiba, Dewa Arak masih bisa mengelak.
Crasss...! Namun tak urung, ujung pedang Malinda berhasil juga menyerempet pundak Arya.
Kontan darah segar mengalir keluar dari bagian yang terluka.
Tidak hanya itu saja menimpa pemuda berpakaian ungu.
Begitu kedua kakinya mendarat, mendadak landasan yang diinjaknya naik ke atas.
Tahu-tahu, tubuh Dewa Arak telah terkurung dalam sebuah jaring yang tergantung
di atas pohon. Arya terperanjat begitu menyadari tubuhnya telah terkurung dalam jaring. Segera
dicengkeram tali-tali jaring itu, laki dikerahkan tenaga dalam untuk
memutuskannya. Tapi ternyata tali-tali itu alot bukan main. Betapapun telah dikerahkan seluruh
tenaga dalamnya, tetap saja tidak mampu.
"Hi hi hi...!"
Malinda tertawa terkikih. Lenyap sudah sorot kesedihan dari sinar matanya. Yang
terlihat kini hanyalah sorot kebengisan dan dendam. Dan semua itu tertuju pada
Dewa Arak. Arya terperanjat melihat sorot mata gadis itu. Namun dia masih belum mengerti
maksud gadis berpakaian kuning ini bertindak seperti itu terhadapnya.
"Malinda...! Apa maksud perbuatanmu ini.."!" tanya Dewa Arak ingin tahu.
"Maksudku sudah jelas. Pemuda Sombong! Aku ingin membalaskan kematian ayahku!"
tandas gadis berambut digelung dengan nada bengis.
"Heh .."! Bukankah ayahmu tengah bersemadi, dan saudara seperguruanmu dibunuh
oleh Setan Mabuk?"
kejar Arya penasaran.
"Kau percaya dengan semua cerita itu, Pemuda Dungu"!" sergah Malinda keras.
"Jadi.."!" Dewa Arak mulai paham.
"Ya! Semua cerita itu hanya karanganku saja! Ayahku telah mati terbunuh di
tanganmu, Dewa Arak! Kutegaskan sekali lagi, ayahku tewas di tanganmu!"
Pemuda berpakaian ungu itu pun terdiam.
"Siapakah ayahmu, Malinda?" tanya Arya, masih tetap lembut suaranya. Pemuda
berpakaian ungu ini masih mengharapkan semua hanya sebuah kesalahpahaman
belaka. Suiiit...! Terdengar suitan nyaring dari mulut Malinda. Keras dan melengking pertanda
didukung pengerahan tenaga dalam.
Tak lama kemudian terdengar suara berkerosakan,
disusul munculnya beberapa sosok tubuh yang dikenal Dewa Arak. Mereka adalah
anak buah Mayat Kuburan Koneng.
Sekejap kemudian, orang-orang berwajah angker yang jumlahnya tak kurang dari
sebelas orang itu telah berdiri di belakang Malinda dengan kepala tertunduk.
Jelas kalau kedudukan gadis itu lebih tinggi dari mereka.
"Kau kenal mereka, Dewa Arak?" tanya Malinda dengan bibir menyunggingkan
senyuman sinis.
"Kenal sih, tidak. Tapi aku memang pernah bentrok dengan mereka," jawab Dewa
Arak, tenang. "Kini kau bisa menerka, siapa ayahku bukan?"
Arya mengerutkan keningnya sejenak.
"Mayat Kuburan Koneng?" duga Dewa Arak, pelan.
Arya masih merasa ragu mengingat Malinda mengenakan pakaian seragam yang
bersulamkan gambar naga, yang dikatakan gadis itu adalah lambang Perguruan Naga
Hijau. Ataukah cerita gadis itu semua hanyalah hasil karangan belaka, termasuk
cerita mengenai Perguruan Naga Hijau dan kehancurannya"
"Jadi, semua ceritamu tadi hanya hasil karanganmu saja?" tanya Arya sambil
memikirkan cara untuk meloloskan diri.
"Tidak seluruhnya, Dewa Arak!" gadis berpakaian kuning itu menyahut, namun tetap
menyunggingkan senyum sinis.
"Perguruan Naga Hijau memang benar ada dan hancur di tangan Setan Mabuk. Begitu
pula tentang maksud ke-pergiannya untuk menemuimu."
Pemuda berpakaian ungu itu terdiam. Kini sudah
dimengerti masalahnya.
"Kini sudah tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam, Dewa Arak!"
"He... he... he...!"
Mendadak terdengar suara tawa yang menggetarkan
jantung, menggema di sekitar tempat itu. Jelas, suara itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam.
Semua yang berada di situ terperanjat mendengar tawa mendadak itu. Hanya saja,
ada perbedaan tanggapan di antara mereka. Dewa Arak hanya terkejut saja. Tapi,
tidak demikian halnya dengan Malinda dan anak buah ayahnya.
Wajah mereka mendadak pucat pasi. Dan memang,
mereka tahu pemilik suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan Setan Mabuk!
Dan sebelum suara tawa itu lenyap, berhembus angin berkesiur pelan. Tak lama
kemudian, muncul seorang kakek bertubuh pendek gemuk, berperut buncit, dan
berkepala botak. Benar! Dialah Setan Mabuk.
Malinda menggertakkan gigi. Dia tahu kalau tidak bertindak cepat, maka Dewa Arak
tidak akan bisa dibunuhnya.
Dan yang jelas Setan Mabuk akan mendahuluinya. Maka tanpa mempedulikan akibatnya
nanti, gadis itu melompat.
Pedangnya meluncur deras ke arah tubuh Dewa Arak yang tengah terkurung di dalam
jaring. *** 8 Singgg...! Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengiringi tibanya serangan, sudah
bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tubuhnya yang pendek berkelebat, memotong serangan
Malinda. Tangan
kanannya cepat terulur. Dan....
Tappp...! Sungguh mengagumkan! Pedang di tangan gadis ber-
pakaian kuning itu telah tertangkap tangan Setan Mabuk.
Dan sekali tangan kakek berkepala botak itu bergerak menekan, maka pedang di
tangan putri Mayat Kuburan Koneng pun patah jadi dua.
Dan sebelum Malinda sempat berbuat sesuatu, tangan kiri Setan Mabuk telah
meluncur cepat ke arah dadanya.
Seketika gadis berambut digelung ini kaget bukan kepalang. Apalagi, tubuhnya
tengah berada di udara.
Dengan sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan untuk mengelakkan serangan itu.
Tapi.... Plakkk...! Tangan kakek berkepala botak itu tetap saja menghantam tubuhnya. Hanya saja
tidak mengenai dada, melainkan bahu. Seketika itu juga tubuh putri Mayat Kuburan
Koneng terlempar ke belakang dan bergulingan di tanah. Darah segar langsung
muncrat dari mulutnya. Jelas Malinda telah terluka dalam.
"He... he... he...!"
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, kakek berperut buncit itu sudah tertawa
terkekeh-kekeh. Dengan sorot mata penuh ancaman, kakinya melangkah menghampiri
tubuh Malinda. "Jangan harap bisa mendahuluiku, Wanita Liar! Kau tahu, di semua mulut desa
telah kusebar anak buahku.
Dan mereka langsung memberitahuku begitu melihat Dewa Arak. Dan atas
kelancanganmu berani mendahului tin-dakanku, kau akan menerima akibatnya!"
Melihat bahaya mengancam putri majikannya, anak
buah Mayat Kuburan Koneng tidak tinggal diam. Walaupun dalam hati merasa jeri
terhadap Setan Mabuk tetapi mereka tetap bergerak menyerang kakek berkepala
botak itu. Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat, menyambar
berbagai bagian tubuh Setan Mabuk yang mematikan, diiringi suara mendesing
nyaring, "He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tanpa mempedulikan semua serangan yang bertubi-
tubi mengancam, guci araknya diangkat.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan Setan Mabuk terdengar. Dan di
saat itulah senjata-senjata anak buah Mayat Kuburan Koneng tiba.
Takkk, takkk, takkk..!
Gila! Semua senjata yang mengenai berbagai bacaan tubuh kakek berkepala botak
itu terpental balik, seakan-akan menghantam gumpalan karet keras. Bukan hanya
itu saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa sakit-sakit
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh seraya meng-
gerakkan tangannya. Jerit-jerit kesakitan pun terdengar diiringi robohnya satu
persatu anak buah Mayat Kuburan Koneng. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Setan
Mabuk sungguh dahsyat! Buktinya tidak seorang pun dari para pengeroyok yang
tersisa. Mereka semua roboh, dan tak bangun lagi.
Kini sambil tertawa terkekeh-kekeh, Setan Mabuk melangkah menghampiri Malinda
yang belum mampu bangkit.
Memang, akibat serangan kakek berperut buncit itu hebat bukan main, meskipun
hanya mengenai bahu.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu berusaha bangkit, tapi tidak mampu. Sebuah
seringai kesakitan yang muncul di mulutnya telah menjadi tanda kalau gadis itu
telah terluka dalam yang cukup parah. Dan Malinda hanya bisa menatap Setan Mabuk
yang menghampirinya dengan dada berdebar tegang.
Setan Mabuk menghentikan suara tawanya begitu telah berada di dekat Malinda.
Sesaat sepasang matanya mengawasi sekujur tubuh gadis berpakaian kuning itu,
kemudian tangan kanannya bergerak.
Brettt..! Suara dari kain robek terdengar ketika tangan Setan Mabuk merenggutnya. Malinda
langsung terpekik ngeri.
Pakaian yang dikenakan, dari bagian dada sampai perut telah sobek.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Diakui, Malinda adalah seorang
wanita sesat, dan mendendam padanya. Tapi biar bagaimanapun, dia tidak tega
kalau gadis itu diperkosa Setan Mabuk.
Sementara kakek berkepala botak yang sudah
kerasukan nafsu setan, begitu melihat pemandangan indah yang terpampang di
hadapannya, segera menubruk tubuh Malinda dan menciuminya dengan kasar.
Tangannya juga mulai sibuk melucuti sisa pakaian putri Mayat Kuburan Koneng itu.
Malinda yang tengah tertuka dalam, tidak mampu
berbuat apa-apa selain menjerit-jerit keras dan meronta-ronta. Tapi hal itu
justru menambah nafsu setan kakek berperut buncit itu membara. Dan dengan
sendirinya, tindakannya pun semakin brutal
"Setan Mabuk! Tahan...!" teriak Arya keras. "Kalau perbuatanmu dilanjutkan, aku
tidak akan sudi meladeni tantanganmu!"
Kakek berkepala botak itu langsung menoleh dengan napas menderu hebat. Sepasang
matanya telah memerah, karena nafsu telah bergolak dalam dirinya. Tapi
peringatan Dewa Arak-lah yang membuatnya bimbang.
Setan Mabuk memang bukan orang yang suka mem-
perkosa wanita. Dan perbuatan yang akan dilakukannya terhadap Malinda, semula
bukan terdorong nafsu. Melainkan, keinginan untuk menghancurkan gadis itu.
Namun, begitu melihat kemulusan tubuh gadis itu, dia menjadi terpengaruh. Hanya
saja, ancaman Dewa Arak telah membuatnya bimbang.
Beberapa saat lamanya Setan Mabuk tercenung
memikirkannya. "Kali ini kau kuampuni, Wanita Liar! Menyingkirlah cepat sebelum pikiranku
berubah!" Dengan kedua tangan menutupi bagian tubuhnya yang terbuka lebar, Malinda
berusaha bangkit. Luar biasa! Kali ini usaha gadis berambut digelung itu
berhasil. Rupanya rasa takut yang melanda akan terjadinya peristiwa yang
mengerikan, membuat kekuatannya muncul kembali.
Memang, meskipun seorang wanita sesat, tapi Malinda masih seorang gadis tulen.
"Akan kuingat budimu. Dewa Arak...!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning ini melangkah terseok-seok
meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, bayangan tubuhnya lenyap ditelan
lebat-nya pepohonan.
Setan Mabuk memungut pedang yang berserakan di
tanah, kemudian melontarkannya ke arah tali yang menggantung Jaring pengurung
tubuh Dewa Arak
Tasss...! Tali itu putus seketika. Dengan sendirinya, jaring yang membungkus tubuh Dewa
Arak pun terjatuh ke tanah.
Maka, Arya pun bergegas keluar dari dalam jaring.
Begitu Arya keluar dari jaring. Setan Mabuk langsung saja menyerang. Kedua
Dewa Arak 23 Setan Mabok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya terkembang mem-bentuk cakar dan menyambar bertubi-tubi ke arah perut,
dada, dan ulu hati pemuda berpakaian ungu itu.
Arya langsung terperanjat. Datangnya serangan yang ter-lampau tiba-tiba,
membuatnya terkejut bukan kepalang.
Disadari kalau dirinya tidak akan bisa mengelakkan serangan itu. Tidak ada
pilihan lagi, kecuali menangkisnya.
Tanpa ragu-ragu lagi, segera dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki untuk
menangkis. Plak, plak, plak...!
Suara berderak keras terdengar berkali-kali ketika kedua tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, kedua belah pihak sama-
sama terhuyung mundur selangkah ke belakang. Jelas, tenaga dalam kedua tokoh ini
berimbang. Setan Mabuk mengawasi Dewa Arak dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun Dewa
Arak pun berbuat serupa.
"He... he... he...! Semua berita yang kudengar tentang dirimu ternyata cocok
sekali dengan kenyataan yang kulihat," kata Setan Mabuk setelah puas
memperhatikan Dewa Arak. "Tapi aku belum puas, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Setan Mabuk kembali
menerjang Dewa Arak. Gucinya yang besar itu sama sekali tidak dipergunakan.
Memang, kakek ini belum mau
mengeluarkan ilmu simpanannya.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang mempunyai
kepandaian tinggi, Arya tentu saja tahu kalau lawan belum menggunakan ilmu
andalan. Maka Dewa Arak pun hanya mengeluarkan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan
Harimau' dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' untuk meng-hadapinya.
Kedua macam ilmu yang dimiliki Dewa Arak, menitik-beratkan pada penyerangan.
Begitu pula ilmu yang dimiliki Setan Mabuk. Tak pelak lagi, pertarungan sengit
pun terjadi. Dalam sekejap saja, pertarungan sudah berlangsung tiga puluh lima jurus. Dan
selama itu, belum nampak ada tanda-tanda yang akan terdesak.
"Cukup, Dewa Arak..!"
Terdengar seruan keras dari mulut Setan Mabuk. Pada saat yang bersamaan,
tubuhnya pun melenting ke
belakang menjauhi kancah pertarungan.
Arya pun menghentikan gerakannya. Kini kedua belah pihak saling menatap, dengan
penuh selidik. "Kau tahu, mengapa aku mencari dan menantangmu, Dewa Arak?" tanya Setan Mabuk
dengan senyum terkembang di bibir. Kakek berperut buncit ini merasa puas begitu
mengetahui kelihaian Dewa Arak.
Memang sudah menjadi penyakit seorang ahli silat dia merasa gembira bila bertemu
lawan yang setingkatan.
Arya menggelengkan kepala. Memang, pemuda ber-
pakaian ungu itu belum mengetahuinya.
"Karena kau berani berjuluk Dewa Arak!" tandas Setan Mabuk lagi. "Kau tahu,
sebelum kau lahir ke dunia ini, aku sudah terkenal sebagai dedengkotnya arak.
Sudah tidak terhitung lagi, berapa kali aku mengadu kuat minum arak.
Dan karena tidak pernah terkalahkan, aku mendapat julukan-julukan Setan Mabuk."
Kakek berperut buncit itu menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas.
Ditatapnya wajah Dewa Arak untuk mengetahui tanggapannya.
"Karena merasa sudah tua, sekitar satu tahun yang lalu, aku mengundurkan diri
dari dunia persilatan. Tapi, terpaksa aku keluar lagi, karena kudengar di dunia
persilatan ada tokoh muda yang berani berjuluk Dewa Arak. Jadi, aku merasa
tertantang ingin kubuktikan sendiri, apakah orang itu berhak mendapat julukan
seperti itu."
Kini Arya mengerti akan duduk permasalahannya.
"Baiklah. Agar tidak terjadi korban di antara orang yang tidak bersalah, aku
menerima tantanganmu, Setan Mabuk"
"Bagus!" sahut Setan Mabuk gembira. "Tapi perlu kau ketahui, Dewa Arak. Kita
tidak hanya bertanding dalam minum arak saja. Tapi, juga dalam ilmu silat."
"Aku mengerti," kata pemuda berambut putih keperakan itu. "Kapan waktunya, Setan
Mabuk?" "Purnama depan!"
"Purnama depan"!" Arya mengerutkan alisnya. Karena waktu yang ditentukan masih
lebih dari sepekan.
"Mengapa harus menunggu begitu lama, Setan Mabuk?"
"Karena, bulan purnama depan adalah waktu bagi raja-raja arak untuk mengadu
kekuatan minum dan ilmu silat,"
jelas kakek berperut buncit itu. "Bertahun-tahun akulah juaranya. Tapi tahun
kemarin, aku tidak mengikutinya.
Sehingga, aku tidak tahu, siapa yang menjadi juaranya."
Arya mengernyitkan dahinya. Sungguh tidak disangka kalau persoalannya jadi
semakin membesar begini.
"Bila ingin julukanmu diresmikan raja-raja arak, kau harus mengikuti pertarungan
di sana, Dewa Arak. Dan kalau tidak, hanya dunia persilatan saja yang
mengakuimu. Tapi, tidak bagi jago-jago minum. Bagaimana" Kau bersedia"!"
"Aku sudah berjanji, Setan Mabuk. Jadi, mau tak mau harus memenuhinya. Aku akan
datang. Tapi..., di mana pertarungan itu dilangsungkan?"
"Tempatnya selalu berpindah-pindah, Dewa Arak" jawab Setan Mabuk. "Tapi yang
jelas, mereka selalu memilih tempat-tempat yang sepi. Kudengar, tahun ini tempat
pertarungan itu akan berlangsung di Pulau Selaksa Setan.
Kau tahu tempatnya, Dewa Arak"!"
Arya menganggukkan kepala. Memang dia tahu, di
mana letak pulau itu.
"Kau ingin bersamaku atau ingin pergi sendiri, Dewa Arak"!" tanya Setan Mabuk.
"Aku pergi sendiri saja," Jawab Dewa Arak mantap.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dan seiring suara
tawanya, tubuh kakek berperut buncit itu berkelebat dari situ. Hanya dalam
sekejapan saja, dia telah berada dalam jarak lebih dari sebelas tombak.
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Dia memang sudah menduga kelihaian kakek ini
dari pertarungan tadi, meskipun hanya bertarung sebentar saja. Disadari kalau
Setan Mabuk adalah seorang lawan yang amat tangguh.
"Hhh....!"
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas berat. Dipandanginya tubuh
Setan Mabuk yang semakin lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Kemudian baru kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Dia harus bergegas
menuju tempat yang dimaksud, untuk memenuhi janjinya terhadap Setan Mabuk.
Apa yang akan ditemui Dewa Arak di Pulau Selaksa Setan" Siapakah yang akan
memenangkan pertarungan adu minum itu" Dan bagaimana nasib Malinda yang
mendendam pada Dewa Arak, tapi juga ingin membalas budi" Lalu bagaimanakah Kera
Bukit Setan, Jagar, dan yang lain-lain" Apakah Arya tidak membasmi mereka"
Jawaban untuk semua itu ada dalam judul "Pertarungan Raja-Raja Arak'. Di sana,
Dewa Arak akan menemui kejadian yang sama sekali tidak pernah diduganya.
SELESAI Created by fujidenkikagawa & syauqy_arr
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 26 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Pusaka Negeri Tayli 13