Pencarian

Pertarungan Raja Raja Arak 1

Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak Bagian 1


PERTARUNGAN RAJA-RAJA ARAK
Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Pertarungan Raja-Raja Arak
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Matahari belum bergulir jauh ketika sosok tubuh berpakaian ungu dan berambut
putih keperakan keluar dari mulut sebuah hutan kecil.
Wajahnya tampan, dan bentuk badannya tegap berisi. Melihat sebuah guci arak yang
tersampir di pinggang, bisa ditebak kalau pemuda itu adalah peminum kelas kakap.
Namun dari ciri-cirinya, tak salah lagi. Dia adalah Arya Buana, yang berjuluk
Dewa Arak! Dewa Arak kini melesat cepat meninggalkan Hutan Koneng.
Tujuannya adalah Pulau Selaksa Setan! Mau tak mau, dia harus kembali ke Desa
Koneng, lalu terus berjalan ke Utara.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, dalam waktu sebentar saja pemuda berambut putih keperakan itu telah tiba
di tembok batas Desa Koneng.
Sesampainya di sini, Arya menghentikan larinya. Pandangannya
tertumbuk pada carikan kain yang menempel di tembok. Surat tantangan yang
ditulis di atas sehelai kain, dan diajukan oleh Setan Mabuk. Beberapa saat
lamanya pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan, lalu mencabutnya.
Dewa Arak merobek-robek carikan kain itu, lalu membuangnya. Kemudian, kakinya melangkah memasuki mulut desa (Agar jelas,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Arya sama sekali tidak merasa heran melihat suasana sepi yang
melingkupi sekeliling Desa Koneng. Jalan utama desa begitu lengang.
Rumah-rumah penduduk tampak menyedihkan. Sebagian besar telah porak-poranda.
Daun-daun pintu telah copot dari ambangnya. Begitu pula daun jendela yang pergi
entah ke mana. Sambil terus menoleh ke sana kemari, pemuda berpakaian ungu itu terus melangkah
masuk ke dalam desa. Seperti juga sebelumnya, hanya kesunyianlah yang
dijumpainya. Desa Koneng benar-benar telah menjadi desa mati.
Secara sambil lalu, Arya melangkah menghampiri sebuah rumah
yang sudah tidak memiliki daun pintu lagi. Tapi begitu melongok ke dalam,
secepat itu pula kepalanya ditolehkan keluar. Ada suara menggeretak keras keluar
dari mulutnya ketika kepalanya berpaling. Jelas kalau Dewa Arak dilanda
kemarahan hebat.
Betapa tidak" Di ruang tengah rumah itu nampak empat sosok
tubuh tengah tergolek mengerikan! Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau
semuanya telah tewas.
Dua di antara empat mayat itu adalah anak-anak. Sementara yang dua orang lagi
adalah laki-laki dan wanita, berusia sekitar tiga puluh tahunan. Yang laki-laki
tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya.
Sedangkan yang wanita lebih mengerikan lagi keadaannya. Dia tewas dalam keadaan
pakaian tidak karuan. Dapat diduga sebelum dibunuh, lebih dulu diperkosa!
Dengan dada terasa sesak oleh amarah bergelora, Arya melangkah meninggalkan
rumah itu. Dan kini perjalanannya dilanjutkan kembali.
Kini Dewa Arak tidak melangkah lambat-lambat seperti sebelumnya, tapi melesat cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya
yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga yang terlihat kini hanyalah
sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar desa!
*** Entah berapa lama berlari, Arya sama sekali tidak menghitungnya.
Yang ada di benaknya hanya berlari sejauh-jauhnya dari tempat yang membuat
hatinya terguncang.
Pemuda berpakaian ungu itu baru melambatkan larinya begitu
melihat tembok batas sebuah desa, tak jauh di hadapannya.
Mendadak pandang mata Arya terbelalak begitu melihat sesosok
tubuh tengah berlari tersaruk-saruk dari dalam desa. Menilik dari gerak-gerik
orang itu, seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Hal ini membuat Dewa Arak
semakin mempercepat larinya. Dia ingin tahu, apa yang membuat orang itu
bertindak demikian.
Tapi selagi jarak di antara mereka masih terpisah tak kurang dari tujuh tombak,
tubuh orang yang berlari-lari itu jatuh tersungkur. Bahkan langsung diam tak
bergerak lagi. Gigi Arya bergemeletuk keras menahan kegeraman yang amat
sangat. Pandangan matanya yang tajam, tadi melihat sekelebatan benda berkilauan
menyambar punggung orang itu. Dan benda itulah yang menyebabkan orang tadi roboh
tersungkur. Bertepatan robohnya orang yang berlari-lari itu, muncul sesosok tubuh tinggi
besar dan bercambang bauk lebat. Sambil tertawa terbahak-bahak, kakinya menjejak
tubuh orang yang tersungkur tadi. Maka akibatnya sudah bisa diduga. Terdengar
suara berderak keras dari tulang-belulang yang berpatahan.
Terdengar geram kemarahan dari mulut Dewa Arak melihat
kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Meskipun berada dalam jarak sekitar
dua batang tombak, tangan kanannya segera dikibaskan ke depan.
Hebat luar biasa kibasan Dewa Arak. Apalagi dilakukan dalam
keadaan murka. Angin yang menderu hebat menyambar ke arah laki-laki pemimpin
perampok, yang dikenal bernama Jagar (Untuk jelasnya, baca serial Dewa Arak
dalam episode "Setan Mabuk").
Laki-laki tinggi besar itu terkejut bukan kepalang tatkala
mengetahui serangan mendadak itu. Dia tadi memang telah melihat kedatangan Dewa
Arak, tapi sama sekali memandang remeh. Bahkan tak mempedulikannya. Jagar baru
terperanjat begitu merasakan angin keras yang menyambar ke arahnya.
Dan belum sempat berbuat sesuatu, tubuh Jagar sudah terlempar ke belakang. Dan
jatuh bergulingan di tanah. Rasa sesak yang amat sangat seketika mendera
dadanya. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, laki-laki bercambang bauk lebat
ini tidak segera bangkit berdiri. Dicobanya untuk bangkit tapi tetap tidak
mampu. Yang dapat dilakukannya hanya merangkak bangun. Itu pun sambil
menyeringai kesakitan.
Tapi belum juga berhasil bangkit berdiri, pandangan matanya
sudah tertumbuk pada sepasang kaki kokoh yang berdiri di hadapannya.
Tanpa mendongakkan kepala lagi pun, Jagar sudah bisa memperkirakan orang yang
berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan pemuda berambut putih keperakan itu"
Pemuda berambut putih keperakan" Mendadak laki-laki tinggi
besar itu teringat. Bukankah Setan Mabuk mencari seorang pemuda yang berambut
putih keperakan dan berjuluk Dewa Arak" Dan memang, salah satu ciri-ciri tokoh
muda yang menggemparkan itu adalah warna rambutnya yang putih keperakan, di
samping pakaiannya yang berwarna ungu dan sebuah guci arak terbuat dari perak
yang selalu tersandang di punggung.
Keinginan untuk membuktikan kebenaran dugaan yang tiba-tiba
muncul membuat Jagar mendongakkan kepala untuk meneliti lebih lanjut.
Wajah laki-laki bertubuh tinggi besar ini kontan memucat ketika ciri-ciri itu
ada pada pemuda yang berdiri di hadapannya adalah benar-benar sosok Dewa Arak!
Maka dia harus cepat memberitahukannya kepada Setan Mabuk.
Sementara itu, Arya yang telah dilanda amarah menggelegak, telah mengambil
keputusan untuk melenyapkan orang di hadapannya. Telah dilihatnya sendiri bukti
kekejaman laki-laki tinggi besar ini.
Meskipun kemarahan melandanya, namun Dewa Arak tidak mau
bertindak saat lawan tengah berada dalam keadaan tidak siap. Maka kakinya hanya
melangkah ke belakang, memberi kesempatan pada lawan untuk mempersiapkan diri.
Jagar menarik dan menghembuskan napas berulang-ulang untuk
menghilangkan rasa sesak yang melanda dada. Baru ketika rasa sesak itu sudah
tidak terasa lagi, dia bangkit berdiri dan langsung mencabut goloknya. Laki-laki
bercambang bauk lebat ini tahu kalau lawan adalah tokoh berkepandaian luar
biasa. Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi senjata andalannya langsung
dicabut. Dan begitu golok itu telah tercabut, Jagar langsung menerjang
sambil berteriak melengking nyaring. Golok di tangannya disabetkan ke arah
kepala Dewa Arak, dengan arah gerakan dari atas ke bawah. Rupanya laki-laki
tinggi besar ini ingin membelah tubuh Arya menjadi dua bagian.
Namun Arya segera mengulurkan tangan kanannya ke depan.
Dan.... Tappp...! Mata golok Jagar kini sudah terjepit di antara telunjuk dan jari tengah Arya.
"Uh... uh...!"
Jagar berusaha keras menarik kembali senjatanya. Tapi golok itu tetap tak bisa
ditariknya kembali. Bahkan wajahnya sampai merah padam, dan napasnya terengah-
engah. Seolah-olah, bukan dua buah jari tangan yang menjepitnya, tapi jepitan
baja yang amat kuat.
Dan begitu kedua jari tangan Dewa Arak bergerak menekuk,
terdengar suara berderak keras disusul patahnya mata golok Jagar.
Akibatnya, Jagar yang pada saat itu tengah berjuang keras menarik pulang
senjatanya, langsung terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya sendiri.
Goloknya yang kini tinggal sepotong ikut terbawa tubuhnya yang terjengkang.
Di saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan kanannya. Maka,
patahan mata golok yang berada dalam jepitan kedua jarinya melesat cepat ke arah
Jagar. Sepasang mata laki-laki tinggi besar ini terbelalak lebar karena perasaan kaget
melihat ancaman maut yang menuju ke arahnya. Serangan itu ingin dielakkan, tapi
apa daya" Jangankan mengelakkan serangan itu, untuk mematahkan kekuatan yang
membuat tubuhnya terhuyung-huyung saja tidak mampu! Maka....
Cappp...! Jagar menjerit ngeri ketika mata golok itu menancap di dahinya, sampai tidak
nampak lagi. Semua patahan senjata itu amblas ke dalam kepala laki-laki tinggi
besar itu. Berbarengan habisnya kekuatan yang membuat Jagar terjengkang,
tubuhnya pun ambruk ke tanah. Nyawanya kini telah melayang meninggalkan raganya.
*** Dewa Arak menoleh begitu mendengar langkah kaki mendekati
tempatnya berada. Berkat pendengarannya yang tajam luar biasa, bisa diperkirakan
jumlah orang yang melangkah itu. Enam orang!
Memang, dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak
salah. Beberapa saat kemudian, muncul enam sosok tubuh yang menatap ke arahnya
dengan sorot mata penuh ancaman. Mereka kini telah berdiri di hadapan Dewa Arak,
dalam jarak sekitar empat tombak.
Arya memperhatikan enam sosok tubuh itu. Yang berdiri paling
depan adalah seorang laki-laki bertubuh kecil kurus berkumis sedikit dan berompi
hitam. Di tangannya tergenggam sebatang cambuk yang juga berwarna hitam. Dialah
yang berjuluk Kera Bukit Setan. Di belakangnya, berdiri lima sosok tubuh
berwajah dan bersikap kasar. Rata-rata mereka mengenakan rompi.
"Diakah orang yang kau beritahukan pada Setan Mabuk?" tanya Kera Bukit Setan
seraya menolehkan kepala, menatap salah satu dari lima orang yang berdiri di
belakangnya, yang berkulit kemerahan.
"Benar, Kera Bukit Setan," sahut laki-laki berkulit kemerahan itu sambil
menganggukkan kepala.
"Hm...!" gumam Kera Bukit Setan pelan. Kepalanya dipalingkan kembali ke arah
Arya. "Jadi kau rupanya yang berjuluk Dewa Arak"
Memang, orang usil sepertimu sudah lama ingin kulenyapkan. Apalagi kau telah
membinasakan kawan kami!"
Usai berkata demikian, laki-laki kecil kurus ini melecutkan
cambuknya ke udara.
Ctarrr...! Arya diam saja, dan sama sekali tidak kaget atau terkejut ketika cambuk itu
meledak. Wajah pemuda berpakaian ungu ini tetap saja tenang.
Namun sebenarnya, hati Arya sama sekali tidak tenang. Bahkan
sebaliknya, hatinya malah hampir hangus terbakar amarah. Hanya berkat kemampuan
menyimpan perasaan, semua itu tidak tampak di wajahnya.
Yang jelas, pemuda berambut putih keperakan ini telah mengambil keputusan
melenyapkan para penjahat itu selama-lamanya. Bayangan sosok tubuh anak-anak dan
wanita kembali terbayang di benaknya. Dan inilah yang menyebabkan dia mengambil
keputusan demikian.
Kera Bukit Setan menjadi geram melihat Dewa Arak sama sekali
tidak menanggapi pertanyaannya. Tidak tampak kalau pemuda berambut putih
keperakan itu kaget mendengar lecutan cambuknya. Bahkan sepasang matanya sama
sekali tidak berkedip!
"Bunuh dia...!"
Kera Bukit Setan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah
Dewa Arak. Sengaja disuruhnya lima orang kasar itu bergerak menyerang lebih
dulu. Ingin diketahuinya lebih dulu kelihaian lawan. Lebih bagus lagi, kalau
sampai bisa mengetahui perkembangan ilmunya. Dengan begitu akan mudah diukur,
bagaimana harus menghadapi pemuda berambut putih keperakan itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, lima orang kasar itu mencabut senjata masing-
masing. Begitu senjata itu terhunus di tangan, mereka segera bergerak
mengurung Dewa Arak. Lima orang itu tahu kalau lawan amat tangguh.
Maka mereka harus bersikap hati-hati. Mereka tidak langsung menyerang, melainkan
bergerak menghampiri dalam sikap mengurung.
Tapi, orang yang mereka kurung sama sekali tidak memberi
tanggapan apa-apa. Dewa Arak tetap diam saja, seolah-olah tidak mempedulikan
adanya ancaman bahaya.
"Seraaang...!"
Laki-laki berkulit kemerahan memberi aba-aba begitu kurungan
mereka terhadap Arya semakin mengecil.
Seiring dengan keluar teriakannya, laki-laki berkulit kemerahan itu melompat
menerjang. Golok di tangannya membabat kepala dari atas ke bawah. Maksudnya,
ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian!
Pada saat yang sama, dari berbagai penjuru meluncur serangan
empat orang lainnya. Senjata-senjata di tangan mereka yang berupa pedang dan
golok berhamburan ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berambut putih keperakan
itu. Dewa Arak bersikap tenang, tidak nampak adanya tanda-tanda


Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau akan melakukan tindakan menghadapi serangan lawan-lawannya.
Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat dan hampir mengenai sasaran, kedua
tangannya bergerak cepat. Seolah-olah, tangannya tidak lagi dua buah, tapi
puluhan banyaknya.
Terdengar suara berdebuk keras disusul berpentalannya tubuh lima orang kasar
itu. Senjata-senjata yang semula tergenggam di tangan, berpentalan entah ke
mana. Berbarengan jatuhnya senjata-senjata itu di tanah, tubuh lima orang itu pun
jatuh berdebuk keras dan tak mampu bangkit lagi. Mereka semua tewas seketika.
Darah segar langsung mengalir keluar dari mulut dan hidung mereka.
Kera Bukit Setan terperanjat melihat hal ini. Sungguh di luar
dugaan kalau lima orang itu akan roboh tewas dalam segebrakan. Begitu tinggikah
kepandaian pemuda itu" Ataukah lima orang itu yang terlalu ceroboh" Rasanya
mustahil kalau lawan yang semuda itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi.
Perasaan penasaran membuat Kera Bukit Setan cepat melupakan
keterkejutannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kanannya digerakkan.
Cambuk hitam di tangannya segera meluncur deras ke arah ubun-ubun Dewa Arak.
Angin berkesiutan nyaring menjadi pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung
dalam serangannya.
Tappp! Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Arya. Kera Bukit Setan
terperanjat bukan main. Dia tidak menyangka kalau Dewa Arak berani menangkap
cambuknya! Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Dewa Arak kali ini benar-benar tidak main-main lagi. Segera
seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada tangan kanan. Dan begitu ujung cambuk
itu hampir mengenai sasaran, tangannya bergerak cepat menyambar. Dan....
Tappp! Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak.
Untuk yang kedua kalinya, Kera Bukit Setan terperanjat. Tapi
kekagetan kali ini jauh lebih besar daripada sebelumnya. Memang tidak disangka
kalau pemuda berpakaian ungu itu berani menangkap cambuknya.
Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Tapi Kera Bukit Setan memang terlalu keras kepala. Meskipun
sudah bisa menerka kalau tenaga dalam lawan berada di atas tenaga dalamnya, tapi
tetap saja tidak mau melepaskan cambuknya. Bahkan sebaliknya malah membetot.
Maksudnya sudah jelas. Dia ingin menarik kembali senjatanya.
Selebar wajah laki-laki berompi hitam ini sampai merah padam.
Dari mulutnya pun keluar suara keluhan pertanda telah mengeluarkan tenaga
melewati batas dalam usaha menarik pulang senjatanya. Tapi, usahanya tetap saja
sia-sia. Padahal, Dewa Arak sepertinya tidak mengeluarkan tenaga sama sekali.
Wajah pemuda berpakaian ungu itu biasa-biasa saja.
Setelah membiarkan Kera Bukit Setan sibuk dengan usahanya
beberapa saat mendadak Arya melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi, tubuh laki-
laki berompi hitam itu terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya
sendiri. Tindakan Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki kanannya langsung
menendang sebuah batu sebesar jempol kaki yang tergolek di tanah. Pelan saja
kelihatannya, tapi kenyataan yang terlihat tidak sesederhana itu.
Singgg...! Diiringi suara mendesing nyaring yang menyakitkan telinga, batu itu meluncur
deras ke arah Kera Bukit Setan laksana anak panah lepas dari busur.
Laki-laki bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan main melihat adanya bahaya
maut yang mengancamnya. Dia ingin mengelak, tapi terlambat. Apalagi keadaannya
saat itu sama sekali tidak menguntungkan.
Maka.... Takkk! "Aaakh!"
Tubuh Kera Bukit Setan kontan terjengkang. Seketika, nyawanya
melayang meninggalkan raga. Ubun-ubunnya pecah seketika terkena sambaran batu
itu. Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Pemuda
berambut putih keperakan itu langsung melesat meninggalkan tempat itu.
Dia ingin buru-buru tiba di Pulau Selaksa Setan.
Hanya dalam beberapa kali melangkah, tubuh Arya sudah terlihat sebesar telapak
kaki di kejauhan. Semakin lama, tubuh pemuda berpakaian ungu itu semakin
mengecil. Dan akhirnya lenyap di kejauhan.
2 Kicau burung sudah tidak terdengar lagi. Sinar sang mentari sudah tidak begitu
nikmat lagi di kulit. Memang, hari sudah mulai beranjak siang.
Dalam suasana seperti itu, sebuah perahu yang ditumpangi dua
sosok tubuh meluncur ke tengah laut. Menilik dari laju perahu, bisa diperkirakan
kalau mereka tengah terburu-buru.
"Sudah bisa kuperkirakan kalau pertarungan kali ini jauh lebih ramai daripada
sebelumnya, Malaikat Jari Besi," kata salah seorang dari mereka yang tengah
duduk di lantai perahu seraya terus mengayuhkan dayung.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh sedang. Rambutnya panjang melewati bahu.
Wajahnya dipenuhi bintik hitam, bekas jerawat.
"Aku pun berpikiran demikian, Saratoga," sahut orang yang dipanggil Malaikat
Jari Besi. Malaikat Jari Besi bertubuh kekar berotot. Jari-jari tangannya terlihat keras
bukan kepalang. Laki-laki kekar ini juga terus mengayuh dayungnya.
Perahu itu meluncur cepat sekali, mantap dan tanpa hambatan.
Gelombang yang terkadang membuat perahu mereka terombang-ambing, kontan hancur
terbelah diterjang moncong perahu. Sesekali mereka berada di puncak gelombang,
tepi tak jarang seperti terbenam. Dan nampaknya, mereka bukan orang sembarangan.
Malaikat Jari Besi adalah tokoh persilatan aliran putih yang cukup ternama.
Disegani kawan dan ditakuti lawan. Telah tidak terhitung lagi, tokoh persilatan
aliran hitam yang tewas di tangannya. Dan berkat keberadaannya, Desa Ampel dan
desa-desa sekitarnya aman dari gangguan orang jahat.
Tokoh yang bernama Saratoga pun bukan orang sembarangan.
Memang diakui, dia tidak setenar Malaikat Jari Besi, rekannya. Tapi,
kelihaiannya mungkin tidak di bawah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga terus saja mengayuh dayungnya.
Dan tentu saja kayuhan itu disertai pengerahan tenaga dalam, karena mereka
tengah tergesa-gesa.
"Bisa kuperkirakan, sekarang Pulau Selaksa Setan telah dipenuhi tokoh
persilatan," Saratoga kembali membuka percakapan.
"Sudah pasti," sahut Malaikat Jari Besi. "Tahun-tahun sebelumnya saja, ramai.
Apalagi sekarang" Kudengar, Dewa Arak tokoh yang
menggemparkan itu akan ikut dalam pertarungan kali ini."
"Kudengar juga begitu, Malaikat Jari Besi."
"Makanya kita harus bergegas, agar tidak bingung memilih
tempat," tandas Malaikat Jari Besi seraya menambah tenaga kayuhan pada
dayungannya. "Kau benar."
Setelah berkata demikian, Saratoga menambah tenaga kayuhan
pada dayungannya pula, sehingga perahu itu meluncur laksana anak panah melesat
dari busur. Saratoga dan Malaikat Jari Besi terus saja mengayuh disertai
pengerahan tenaga dalam. Sehingga, ketika matahari hampir berada di atas kepala,
pulau yang dimaksud telah tampak. Sebuah pulau yang berbentuk tengkorak kepala
manusia. "Itu Pulau Selaksa Setan, Saratoga...!" seru Malaikat Jari Besi seraya
menudingkan telunjuk ke arah pulau yang dimaksud.
Laki-laki berwajah penuh bintik mengangguk pertanda membenarkan. Memang, dia juga telah melihat pulau yang begitu
menyeramkan itu.
"Mengapa pulau itu mempunyai nama yang begitu seram, Malaikat Jari Besi?" tanya
Saratoga sambil menatap wajah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
"Cerita sebenarnya aku pun tidak tahu, Saratoga," sahut Malaikat Jari Besi
setelah beberapa saat lamanya tercenung. "Tapi menurut berita yang terdengar,
dulu tempat ini didiami makhluk-makhluk pemakan manusia."
"Makhluk pemakan manusia?" selak Saratoga setengah tidak percaya. "Bagaimana
bentuk mereka?"
Malaikat Jari Besi menggeleng.
"Aku pun tidak tahu karena hanya bersumber dari berita saja. Dan menurut berita
yang kudengar pula, makhluk-makhluk itu lenyap dua tahun yang lalu ketika badai
mengamuk. Rupanya, mereka semua hanyut dilanda badai. Dan sejak itu, mereka
tidak ketahuan lagi beritanya," jelas laki-laki bertubuh kekar berotot itu
mengakhiri ceritanya.
"Ahhh...! Syukurlah...!" desah Saratoga. Ada nada kelegaan dalam suaranya begitu
mendengar akhir cerita tentang makhluk-makhluk itu.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Malaikat Jari Besi tidak malanjutkan
ucapan. Sementara Saratoga pun tidak menanggapi lagi.
Sekarang yang terdengar hanyalah suara riak air yang terbelah oleh dayung-dayung
mereka, dan suara gelombang laut.
Kini kedua tokoh aliran putih itu mulai mengarahkan perahu
mereka ke tepi Pulau Selaksa Setan. Dan dengan tenaga dalam yang dimiliki,
Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mengalami kesulitan untuk melawan arah
gelombang laut, dan mengarahkan perahu ke Pulau Selaksa Setan.
Begitu perahu mereka menepi, Saratoga dan Malaikat Jari Besi
melompat ke pantai. Seperti sudah disepakati dari semula, begitu mendarat
Saratoga langsung menarik perahu ke tepi dan menambatkannya.
Sedangkan Malaikat Jari Besi langsung saja mengedarkan pandangan ke sekeliling.
"Aneh...," gumam laki-laki kekar berotot itu pelan. Dahinya pun berkernyit.
Jelas ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Dia kini telah selesai menambatkan perahunya pada sebuah batu
karang di pinggir laut. Rupanya, laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini
mendengar adanya nada keheranan dalam ucapan rekan seperjalanannya.
Malaikat Jari Besi merayapi selebar wajah Saratoga dengan sorot mata sungguh-
sungguh. "Kau tidak melihat adanya keanehan di sini, Saratoga?" Malaikat Jari Besi malah
balik bertanya. Nada suaranya menyiratkan keheranan dan juga tuntutan jawaban.
Laki-laki yang berwajah penuh bintik-bintik hitam itu tidak
langsung menjawab pertanyaan rekannya. Tapi malah mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Dia ingin mengetahui keanehan yang dimaksud kawannya.
"Bagaimana, Saratoga?" desak Malaikat Jari Besi, tidak sabar.
Saratoga menggelengkan kepala.
"Aku tidak melihat adanya keanehan yang kau maksudkan itu, Malaikat Jari Besi,"
sahut Saratoga seraya menatap wajah laki-laki kekar berotot itu lekat-lekat
"Kecuali, yahhh.... Suasana sepi yang melingkupi tempat ini..."
"Justru itulah keanehan yang kumaksudkan!" tandas Malaikat Jari Besi cepat.
"Maksudmu...?"
Saratoga kini mulai mengerti maksud pembicaraan rekannya. Dan ini kontan membuat jantungnya berdebar tegang.
"Kau tahu, Saratoga," laki-laki kekar berotot itu memulai penjelasannya, dengan
perasaan tegang. "Tahun-tahun sebelumnya, suasana pertemuan ini ramai bukan
main. Padahal, pertarungan masih lima hari lagi.
Tapi sekarang..." Apa yang kau lihat Saratoga?"
Malaikat Jari Besi menghentikan ucapannya sejenak, seraya
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang hanya kesunyian dan suasana lengang
yang melingkupi sekeliling tempat itu. Sejauh mata memandang, yang terlihat
hanyalah tanah lapangan luas dan bukit-bukit batu terjal. Tidak tampak adanya
tanda-tanda kehidupan.
Laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu menggelengkan kepala.
"Sepi...," jawab Saratoga serak "Tapi, barangkali saja banyak orang persilatan
yang tidak mengetahui tempat ini...."
Malaikat Jari Besi menggelengkan kepala.
"Pulau Selaksa Setan amat terkenal, Saratoga. Hampir tidak ada tokoh persilatan
yang belum mendengar namanya. Jadi, dugaanmu sama sekali tidak masuk akal."
Saratoga terdiam. Memang diakui, bantahan Malaikat Jari Besi
mengandung kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Lalu..., bagaimana kesimpulanmu, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Suara laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu tercekat di
tenggorokan. Hatinya berdebar tegang. Meskipun telah mempunyai dugaan sendiri,
tapi dia ingin mendengar dugaan laki-laki kekar berotot itu. Ingin diketahuinya,
apakah dugaan mereka sama.
Malaikat Jari Besi tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah dengan
bertindak seperti itu, semua ketegangan yang melanda ingin dibuangnya.
Betapa tidak tegang" Biasanya lima hari menjelang pertarungan, belasan tokoh
persilatan telah bermunculan di tempat pertarungan. Tapi sekarang" Tidak
datangkah mereka" Rasanya mustahil! Berita tentang akan ikut sertanya Dewa Arak
dalam pertarungan kali ini, telah membuat dunia persilatan gempar. Mustahil
kalau sampai dua hari menjelang pertarungan, tak ada seorang pun yang datang"
Tapi kalau benar mereka datang, ke manakah lenyapnya" Ngeri hati kedua tokoh itu
membayangkan belasan tokoh persilatan yang lenyap begitu saja. Lenyap tanpa
jejak. "Aku tidak berani menyimpulkan apa-apa, Saratoga," kata Malaikat Jari Besi
akhirnya. "Hanya saja..., aku mempunyai firasat buruk..."
Jantung dalam dada Saratoga semakin berderak tegang. Dia kenal betul siapa
rekannya. Malaikat Jari Besi memang mempunyai firasat yang amat peka.
Sepertinya, dia memiliki indera keenam sehingga dapat mengetahui bahaya yang
akan terjadi. Mungkin firasatnya yang tajam karena kebiasaannya bergaul dengan
binatang-binatang peliharaannya.
Bahkan sepertinya dia telah paham bahasa-bahasa binatang.
"Bulu tengkukku berdiri semua, Saratoga...," sambung Malaikat Jari Besi dengan
suara semakin bergetar. "Aku yakin, bahaya yang kali ini mengancam tidak main-
main lagi. Hatiku gelisah bukan main."
"Kalau begitu..., bagaimana kalau kita kembali saja?" usul Saratoga tiba-tiba.
"Kau setuju?"
Malaikat Jari Besi tercenung sejenak. Rupanya, usul rekannya itu tengah
dipertimbangkannya.
"Sebuah usul yang baik," sambut laki-laki kekar berotot itu.
Setelah mendengar persetujuan Malaikat Jari Besi, Saratoga
langsung bergerak kembali ke pinggir laut, tempat perahunya ditambatkan.
Sedangkan di belakang, rekannya bergerak mengikuti.
"Celaka...!"
Mendadak Saratoga berteriak keras. Wajah laki berwajah penuh
bintik hitam ini pucat pasi menatap ke arah tempat perahu ditambatkan.
Tempat kini kosong, tidak tampak ada sepotong papan pun di sana. Apalagi perahu!
Bukan hanya Saratoga saja yang terperanjat. Malaikat Jari Besi pun dilanda
perasaan yang sama. Sesaat lamanya mereka menatap penuh perasaan tak percaya
pada tempat perahu ditambatkan yang kini telah kosong melompong.
"Firasatku ternyata benar...," tegas Malaikat Jari Besi dengan suara kering.
"Bersiap-siaplah, Saratoga! Aku yakin bahaya yang akan menimpa kita akan sangat
mengerikan! Hanya saja, aku tidak tahu, bahaya apa itu. Tapi yang jelas,
naluriku telah memperingatkan demikian."
Setelah berkata demikian, tangan laki-laki kekar rotot itu segera bergerak ke
arah punggung. Sesaat kemudian, tangannya bergerak ke depan.
Seketika sinar terang berkeredep begitu Malaikat Jari Besi mencabut senjatanya.


Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini di tangan laki-laki kekar berotot itu telah tergenggam sebatang golok
besar! Saratoga tidak mau ketinggalan. Seketika senjata andalannya
dikeluarkan. Sebatang pedang yang berwarna putih berkilat.
"Tidak ada jalan lain. Kita harus terus masuk ke dalam pulau."
Meskipun agak bergetar, tapi ucapan yang keluar dari mulut
Malaikat Jari Besi terdengar mantap.
"Aku belum pernah merasa setakut ini, Malaikat Jari Besi,"
Saratoga berbisik pelan.
"Mengapa merasa takut, Saratoga?" tanya laki-laki kekar berotot seraya menatap
rekannya lekat-lekat.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik itu menarik napas panjang-panjang dan
menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan rekannya tadi.
"Karena melihat rasa takut yang melandamu, Malaikat Jari Besi,"
jawab Saratoga. "Aku tahu, siapa dirimu sebenarnya. Kau adalah seorang manusia
yang mempunyai naluri binatang. Dan dari rasa takut luar biasa yang melandamu,
aku sudah bisa memperkirakan kalau bahaya yang mengancam akan sangat
mengerikan."
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu tidak menyahuti ucapan
Saratoga, karena memang semua ucapan Saratoga itu benar belaka. Indera keenamnya
sering memperingatkan adanya bahaya yang mengancam. Tapi, rasanya belum pernah
seperti ini, sehingga membuatnya gelisah bukan kepalang. Bahaya seperti apakah
yang akan mengancam"
Malaikat Jari Besi dan Saratoga melangkah perlahan-lahan, kian memasuki pulau.
Sepasang mata mereka menatap ke sekeliling, bersikap waspada.
Senjata-senjata yang tergenggam erat di tangan, menjadi pertanda betapa besar
perasaan tegang yang melanda hati mereka.
Kalau tidak mengalami sendiri, baik Malaikat Jari Besi maupun
Saratoga tentu tidak akan percaya. Mereka benar-benar dicekam rasa takut yang
menggelegak, padahal bahaya yang diduga belum tentu ada.
"Saratoga...! Lihat..!"
Dengan pandangan mata masih tetap mengawasi sekeliling,
Malaikat Jari Besi menudingkan telunjuk tangan kiri ke tanah. Sementara tangan
kanan tetap menggenggam golok andalannya erat-erat.
Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam itu mengalihkan pandang ke arah yang
ditunjuk rekannya.
"Apa dugaanmu, Saratoga?" tanya Malaikat Jari Besi setelah laki-laki berwajah
penuh bintik hitam itu selesai memperhatikan tanah yang ditunjukkannya. Keadaan
tanah di situ tampak porak poranda.
"Sepertinya telah terjadi sebuah pertarungan di sini, Malaikat Jari Besi," sahut
Saratoga mengajukan dugaan. "Melihat keadaan tanah di sini, aku yakin telah
terjadi sebuah pertarungan besar-besaran."
Laki-laki kekar berotot itu menganggukkan kepala, pertanda
membenarkan dugaan rekannya.
"Tingkatkan
kewaspadaan, Saratoga. Kekhawatiran kita nampaknya beralasan...."
Ucapan Malaikat Jari Besi terpaksa dihentikan karena Saratoga
memberi isyarat pada laki-laki bertubuh kekar itu untuk menghentikan ucapannya.
"Aku mendengar langkah-langkah kaki yang menuju kemari,
Malaikat Jari Besi...," jelas laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam itu,
sebelum rekannya sempat mengajukan pertanyaan. Nada suaranya terdengar pelan,
dan lebih mirip bisikan.
Malaikat Jari Besi pun memusatkan perhatian pada kedua
telinganya. Memang, ucapan rekannya sama sekali tidak keliru. Ada banyak langkah
kaki yang bergerak mendekati mereka.
"Arahnya dari sana...," tunjuk laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Tangannya menuding ke tempat yang penuh gundukan batu-batu besar.
Saratoga menganggukkan kepala pertanda membenarkan, karena
memang telah menduga demikian.
"Langkah-langkah kaki yang ringan," sambung Malaikat Jari Besi lagi.
"Mengingatkanku pada binatang-binatang yang tengah memburu mangsa."
Saratoga mengernyitkan dahinya.
"Aku belum mengerti maksudmu, Malaikat Jari Besi."
"Langkah-langkah kaki yang tidak begitu jelas menapak di tanah.
Padahal, jumlah mereka cukup banyak ini membuktikan kalau gerombolan itu sudah
terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Dugaanku lebih condong ke situ daripada
kalau gerombolan itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi," jawab
Malaikat Jari Besi memberi penjelasan.
"Maksudmu...?"
Meskipun sudah cukup mengerti maksud pembicaraan rekannya,
Saratoga tetap mengajukan pertanyaan. Ingin dipastikannya ucapan yang keluar
dari mulut laki-laki kekar berotot itu. Jantung laki-laki berwajah penuh bintik
hitam ini berdebar tegang ketika mendengar penjelasan panjang lebar rekannya.
"Kita berhadapan dengan sekelompok orang yang telah biasa berburu.... Dan
menilik kegelisahanku..., aku khawatir kita berhadapan dengan para pemburu
manusia." Saratoga menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering.
"M..., ma..., maksudmu.... Kita berhadapan dengan manusia yang doyan makan daging
manusia...?" terdengar suara serak ketika Saratoga mengajukan pertanyaan itu.
Belum sempat Malaikat Jari Besi menjawab pertanyaan itu, dari
balik gundukan batu-batu bermunculan sosok-sosok tubuh kekar berkulit coklat
gelap. Dan secepat mereka bermunculan, secepat itu pula bergerak
mengurung Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Jelas, kalau mereka sudah terbiasa
dengan perbuatan seperti itu.
"Ambil posisi saling melindungi, Saratoga," bisik Malaikat Jari Besi.
Saratoga mengerti maksud ucapan rekannya. Maka, dia pun
bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Kini, kedua orang itu mengambil posisi
saling membelakangi. Punggung Malaikat Jari Besi dan Saratoga saling beradu satu
sama lain. "Dugaanku ternyata benar, Saratoga. Kita berhadapan dengan orang-orang yang
terbiasa makan daging manusia...," jelas Malaikat Jari Besi sambil mengedarkan
pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling Malaikat Jari Besi dan Saratoga, tampak belasan
orang yang bertubuh rata-rata kekar dan bertelanjang dada. Wajah dan sekujur
tubuh mereka penuh coreng-moreng. Penutup tubuh berbentuk rumbai-rumbai
bertengger di bagian bawah tubuh mereka. Jelas kalau mereka adalah kelompok
manusia terasing yang terpisah dari manusia umumnya.
"Kenapa mereka tidak langsung menyerang kita, Malaikat Jari Besi?" tanya
Saratoga ketika melihat gerombolan orang berpakaian seadanya itu hanya mengurung
seraya mengamang-amangkan senjata di tangan.
Senjata-senjata gerombolan itu aneh dan mengerikan sekali.
Kapak-kapaknya terbuat dari batu-batu cadas yang keras, dan agak diruncingi pada
bagian ujungnya.
"Kurasa menunggu pimpinan mereka dulu, Saratoga," jawab Malaikat Jari Besi
mengajukan dugaan.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam terdiam. Jawaban
Malaikat Jari Besi rasanya tidak mungkin salah lagi. Memang, sejak tadi Saratoga
telah mengedarkan pandangan untuk menerka pimpinan gerombolan itu. Tapi sampai lelah menolehkan lehernya, tetap saja tidak melihat
sosok yang pantas menjadi pemimpin. Semua anggota gerombolan yang mengurung
mereka mempunyai penutup tubuh yang hampir sama satu sama lain. Sang pemimpin
pasti akan berbeda dengan anak buahnya.
"Sang pemimpin telah datang, Saratoga...," kata Malaikat Jari Besi ketika
melihat dua sosok tubuh yang berjalan tenang mendekati tempat mereka.
3 Saratoga segera membalikkan tubuh. Hatinya kini tidak merasa
khawatir lagi. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini yakin, gerombolan itu
tidak akan menyerang sebelum ada perintah dari sang pemimpin.
Gerombolan pengepung yang berada di depan Malaikat Jari Besi
menyibak, memberi jalan ketika pemimpin mereka muncul. Padahal, kedua sosok itu
masih berjarak lebih dari dua tombak.
Mata Saratoga dan Malaikat Jari Besi terbelalak memandang dua
sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Dua sosok yang sudah pasti adalah sang
pemimpin. Sosok pertama adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dan berotot kekar.
Kulit tubuhnya berwarna hitam kecoklatan, sehingga semakin menambah
keangkerannya. Apalagi dengan adanya bulu-bulu kasar yang tumbuh di sekujur
wajahnya. Sehingga membuat laki-laki ini kian terlihat garang.
Tapi yang membuatnya kelihatan lebih garang lagi adalah topi bulu burung garuda
di kepalanya. Hal ini membuktikan kalau laki-laki ini adalah pemimpin gerombolan
itu. Baik Saratoga maupun Malaikat Jari Besi sama sekali tidak merasa kaget melihat
penampilan pemimkn gerombolan itu. Mereka memang sudah menduganya. Tapi, sosok
kedua yang berada di sebelah siang ketua itulah yang membuat mereka terperanjat.
Betapa tidak" Sosok kedua adalah seorang gadis yang wajahnya tidak jelas
terlihat. Memang, di bagian dahinya terlilit akar bahar yang dihiasi tirai
penutup wajah, dari rumbai-rumbai. Tapi meskipun begitu bisa ditebak kalau gadis
itu memiliki wajah yang cantik biar biasa.
Tubuh gadis itu tidak tertutup rapat. Memang, tubuhnya hanya
ditutupi ala kadarnya. Sehingga, terlihat putih, halus, dan mulus. Bentuk
tubuhnya pun menggiurkan. Sehingga Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang sudah
tidak terbilang muda lagi, mau tak mau menelan air liur melihat pemandangan yang
terpampang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Dewi?" tanya pemimpin gerombolan sambil menoleh ke arah gadis cantik
yang berada di sebelahnya. "Apakah kedua orang ini harus menerima nasib yang
sama dengan orang-orang sebelumnya?"
Wanita cantik jelita yang dipanggil Dewi itu menatap Malaikat Jari Besi dan
Saratoga dari balik rumbai-rumbai yang menutupi wajahnya.
"Mereka bukan orang yang kucari, Dedemit Alam Akhirat" tegas wanita cantik itu.
Laki-laki berwajah kasar yang ternyata berjuluk Dedemit Alam
Akhirat itu mendengus. "Bunuh mereka!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu lalu melingkarkan tangannya ke bahu Dewi.
"Mari, Dewi! Kita saksikan tontonan menarik ini dari tempat yang teduh."
Wanita berkulit putih itu sama sekali tidak membantah. Kakinya kemudian
melangkah mengikuti Dedemit Alam Akhirat yang telah
meninggalkan tempat itu lebih dulu.
*** Saratoga, terutama sekali Malaikat Jari Besi terkejut bukan
kepalang tatkala mendengar Dewi memanggil pemimpin gerombolan
pemakan manusia itu dengan julukan Dedemit Alam Akhirat. Jelas, kalau panggilan
itu mempunyai arti luar biasa bagi kedua tokoh itu.
Dan memang, dua tokoh aliran putih itu tahu, siapa Dedemit Alam Akhirat. Dia
adalah seorang tokoh sesat yang mengerikan. Julukannya saja sudah membuat nyali
semua orang ciut. Tokoh itu memang terkenal memiliki kekejaman yang tidak ada
taranya. Dan lagi, kepandaiannya pun sulit diukur.
Yang lebih mengerikan lagi, adalah kekejamannya! Dedemit Alam
Akhirat ini gemar makan daging manusia hidup-hidup begitu saja. Lalu, mengapa
tahu-tahu tokoh itu berada di sini" Itulah pertanyaan yang bergayut di benak
Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
Tapi kedua orang itu tidak bisa terlalu lama disibuki pikiran-
pikiran semacam itu. Karena, gerombolan pemakan manusia itu sudah mendapat
perintah untuk menyerang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Saratoga segera bergerak ke
belakang Malaikat Jari Besi. Maksudnya sudah bisa diterka. Apa lagi kalau bukan
untuk membuat posisi saling melindungi" Sesaat kemudian, kedua sahabat ini telah
saling mengadu punggung
"Hati-hati,
Saratoga,"
Malaikat Jari Besi memberi nasihat "Tampaknya mereka bukan lawan ringan...."
Peringatan Malaikat Jari Besi sama sekali tidak mendapat
tanggapan. Dan memang, Saratoga tidak sempat lagi menanggapinya.
Bahkan ucapan laki-laki kekar berotot itu pun terhenti secara mendadak, karena
gerombolan pemakan manusia itu sudah bergerak menyerang dengan senjata-senjata
yang berbentuk aneh.
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring yang mendirikan
bulu kuduk, gerombolan orang kasar itu maju menyerang. Senjata-senjata mereka
terayun deras ke berbagai bagian tubuh kedua tokoh aliran putih yang terjebak
itu. Malaikat Jari Besi dan Saratoga tentu saja tidak tinggal diam, dan segera
melakukan perlawanan. Senjata yang sejak tadi tergenggam di tangan digerakkan,
untuk menyambut serangan yang menyambar.
Sesaat kemudian dentang senjata beradu terdengar menyemaraki
pertarungan. Bunga-bunga api pun memercik ke udara, ikut menyemaraki
pertarungan. Malaikat Jari Besi dan Saratoga bertarung mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Mereka tahu kalau hasil pertarungan ini menentukan
hidup dan mati. Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga ternyata memiliki
tingkat kepandaian yang berada jauh di atas lawan-lawannya. Tenaga dalam, ilmu
meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat kedua orang tokoh persilatan aliran
putih itu ternyata jauh lebih unggul.
Kalau saja pertarungan itu berlangsung satu lawan satu, sudah
dapat dipastikan kalau Malaikat Jari Besi dan Saratoga akan dapat merobohkan
lawan-lawannya.
Tapi karena gerombolan pemakan mausia itu menyerang secara
keroyokan, pertarungan jadi berlangsung sengit. Apalagi, anak buah Dedemit Alam
Akhirat itu bertarung secara membabi buta.
Meskipun terlihat serampangan, tapi serangan gerombolan pemakan manusia itu tampak saling susul seperti gelombang laut. Sehingga untuk
beberapa jurus lamanya, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mampu balas
menyerang. Mereka hanya mampu menghindar, dan
menangkis hujan serangan itu.
Setiap kali kedua tokoh itu melakukan tangkisan, tubuh anak buah Dedemit Alam
Akhirat terlempar balik ke belakang. Tak terdengar jerit tertahan keluar dari
mulut, meskipun tangan mereka terasa bergetar hebat ketika senjatanya
tertangkis. Selama beberapa jurus, Malaikat Jari Besi dan Saratoga hanya
menangkis saja. Baru menjelang jurus kesepuluh mereka mulai menyerang.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Malaikat Jari Besi menusukkan golok besarnya ke arah
perut seorang anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Takkk! Hampir saja laki-laki bertubuh kekar berotot ini menjerit ketika goloknya


Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpental balik sewaktu mengenai sasaran. Seakan-akan, yang ditusuk bukan perut
manusia, tapi gumpalan karet keras dan kenyal.
Keterkejutan ini hampir saja mencelakakan laki-laki bertubuh
kekar berotot ini. Karena pada saat itu, serangan kapak lawan meluncur deras ke
arah kepala. Untung pada saat terakhir kepalanya mampu dimi-ringkan.
Wusss...! Serangan kapak itu lewat sekitar sejari di samping kepalanya.
Rambut kepalanya yang berkibar keras menjadi petunjuk, betapa kuatnya tenaga
yang terkandung dalam ayunan kapak tadi.
Malaikat Jari Besi merasa penasaran bukan kepalang. Dalam
benaknya berkecamuk berbagai macam dugaan. Benarkah gerombolan pemakan manusia
ini memiliki kulit tubuh yang kenyal" Atau tadi ada sebuah kekeliruan"
Banyaknya pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi, sehingga
membuatnya ingin membuktikan sekali lagi.
Jerit kekagetan Malaikat Jari Besi tadi, tentu saja terdengar
Saratoga. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini seketika khawatir akan
nasib rekannya. Maka begitu mendapat kesempatan, Saratoga menoleh.
Hati laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini lega ketika melihat Malaikat
Jari Besi tidak menderita apa-apa. Tapi, mengapa dia tadi menjerit"
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga menyempatkan diri begitu kembali
mendapat kesempatan.
"Mereka memiliki tubuh kebal, Saratoga," jelas Malaikat Jari Besi seraya
menangkis serangan lawan.
"Benarkah itu?" tanya Saratoga seraya menangkis serangan beruntun yang mengancam
berbagai bagian tubuhnya.
Ada nada keterkejutan dalam suara Saratoga!
Memang sejak tadi, dia belum berhasil menyarangkan satu
serangan pun. Hujan serangan yang mengancamnya terlalu bertubi-tubi, sehingga
tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Tapi berapa jurus kemudian, baik Malaikat Jari Besi maupun
Saratoga sudah mulai leluasa melancarkan serangan balasan. Dan perasaan terkejut
yang amat sangat pun mulai melanda, tatkala menghadapi kenyataan kalau para
pengeroyok memang memiliki tubuh kebal.
Berkali-kali golok Malaikat Jari Besi maupun pedang Saratoga
mengenai berbagai bagian tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat. Tapi akibatnya,
senjata-senjata itu malah terpental balik seperti menghantam gumpalan karet
kenyal. Setelah berkali-kali menghantamkan senjata ke berbagai bagian
tubuh para pengeroyoknya tanpa hasil, baru kedua tokoh aliran putih ini yakin
akan dugaan mereka. Para pengeroyok ternyata memang benar-benar memiliki
kekebalan kulit tubuh.
Meskipun begitu, Malaikat Jari Besi dan Saratoga sama sekali
tidak putus asa. Mereka berdua tetap saja melancarkan serangan bertubi-tubi,
selama mendapat kesempatan. Hanya saja, sasaran yang dituju selalu berganti-
ganti. Bila sebelumnya bahu, kemudian ganti leher. Begitu seterusnya. Yang
jelas, mereka mencoba setiap bagian tubuh lawan. Sebagai tokoh berpengalaman,
kedua orang ini tahu kalau setiap ilmu memiliki kelemahan. Dan mereka berusaha
menemukannya. Entah sudah beberapa bagian tubuh yang dibacok, tusuk, tetak,
maupun babat. Tapi tetap saja tidak ada hasil seperti yang diharapkan.
Senjata-senjata Malaikat Jati Besi dan Saratoga sama sekali tidak mampu berbuat
apa-apa. Keuntungan yang ada di pihak Malaikat Jari Besi dan Saratoga
adalah tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki jauh berada di atas tawan.
Sehingga, tidak terlalu sulit untuk mengelakkan serangan balasan yang
dilancarkan lawan. Tambahan lagi, tenaga dalam mereka juga jauh di atas lawan.
Sehingga setiap kali menangkis, cukup untuk membuat orang yang ditangkis tidak
mampu menyerang lagi beberapa saat.
Tapi kalau keadaan ini berlangsung terus-menerus, tentu akan
menguras seluruh kemampuan mereka. Maka tidak aneh ketika pertarungan menginjak
seratus jurus, kedua orang itu mulai merasa lelah.
Seiring perasaan lelah yang mendera, tenaga kedua tokoh yang
terjebak itu semakin berkurang. Dan dengan sendirinya, kegesitan mereka
berkurang pula. Akibatnya sudah bisa diduga. Perlawanan Malaikat Jari Besi dan
Saratoga pun mulai mengendur.
Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga menyadari kalau lambat laun akan roboh
di tangan para pengeroyok Dan itu sudah pasti. Betapa tidak" Setiap serangan
yang dilancarkan sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sedangkan serangan para pengeroyok, setiap saat dapat merenggut nyawa!
Di atas kertas, gerombolan pemakan manusia jelas lebih unggul!
*** "Ha ha ha...! Kau lihat Dewi" Tidak lama lagi kita akan melihat sebuah tontonan
menarik. Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak sambil menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah pertarungan berlangsung.
Sementara tangan kanannya yang sejak tadi melingkar di bahu yang putih, halus,
dan mulus milik Dewi, perlahan mulai merayap turun. Persis seekor ular merayap
turun dari pohon.
Dewi diam saja. Sama sekali tidak diberikan tanggapan atas
perbuatan Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat tindakan pemimpin
gerombolan pemakan manusia ini semakin liar. Tangan itu pun semakin merayap
turun. Telapak tangan yang semula berada di bahu kanan Dewi, kini
sudah mulai berpindah tempat. Tangan itu sudah berada di bagian dada atas.
Sehingga, laki-laki berwajah kasar itu tentu saja harus menggeser duduknya agar
lebih dekat dengan Dewi. Memang, Dedemit Alam Akhirat dan Dewi duduk di atas
sebuah batu besar yang terletak agak tinggi. Dan itu memang disengaja pemimpin
gerombolan pemakan daging manusia itu.
Dan ketika jari-jari tangan Dedemit Alam mulai menyentuh
payudara kanan, Dewi buru menepiskannya dan beranjak bangkit.
"Mengapa, Dewi?" tanya Dedemit Alam seraya bangkit berdiri pula. Ucapannya
terdengar agak terengah-engah, pertanda mulai diamuk nafsu.
"Aku belum menemukan orang yang kucari, tapi kau sudah hendak menagih upahnya,"
kata ketus. "Tapi sampai kapan aku harus menunggu ora yang kau inginkan, Dewi" Iya, kalau
orang itu datang kemari.... Kalau tidak"!" Suara Dedemit Alam Akhirat semakin
lama semakin meninggi. Jelas kalau amarah nya mulai bangkit. "Ingat, Dewi!
Kesabaran ada batasnya. Jangan membuat aku terpaksa bertindak kasar, Dewi. Kau
tahu, akibatnya akan sangat mengerikan bagimu!"
Suasana menjadi hening sejenak begitu Dedemit Alam Akhirat
menghentikan ancamannya. Meskipun perubahan wajah Dewi sulit
diketahui karena terlindung uraian jerami, tapi menilik dari kedua kakinya yang
menggigil keras, sudah dapat diterka kalau di tengah dilanda rasa takut yang
hebat mendengar ancaman itu.
Dewi telah melihat sendiri bukti kekejaman Dedemit Alam Akhirat beberapa hari
yang lalu. Saat itu, laki-laki berwajah kasar ini memperkosa seorang pendekar
wanita, sambil memakan tubuh wanita malang yang berhasil ditaklukkannya.
Itulah sebabnya, hatinya merasa takut dan ngeri bukan main begitu mendengar
ancaman itu. Dewi memerlukan waktu beberapa saat untuk menenangkan hatinya.
Ditarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Dan memang, setelah
berbuat demikian, perasaan hatinya mulai tenang kembali.
"Aku tidak bohong, Dedemit Alam Akhirat. Telah kudengar
sendiri pembicaraan mereka. Kedua orang itu berjanji akan bertemu di sini untuk
mengadu ilmu.... Percayalah! Bila orang-orang yang kucari itu telah berhasil kau
tangkap, dengan sukarela akan kuserahkan diriku padamu...."
"Sebenarnya, siapa orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya Dedemit Alam Akhirat.
Suara laki-laki berwajah keras itu masih agak keras, meskipun
tidak sekeras sebelumnya. Kalimat terakhir yang diucapkan gadis itulah yang
telah meredakan amarahnya yang menggelegak. Tanpa sadar, laki-laki berwajah
keras ini menelan air liurnya ketika membayangkan kemolekan tubuh gadis ini bila
menyerahkan diri kepadanya.
"Dewa Arak dan Setan Mabuk!" tegas dan mantap sekali, ucapan yang keluar dari
mulut Dewi. Dedemit Alam Akhirat mengernyitkan dahinya jenak.
"Nama Dewa Arak sama sekali belum pernah kudengar. Tapi Setan Mabuk, sejak dulu
telah kudengar. Hanya sayangnya, aku belum
mempunyai kesempatan untuk bertarung dengannya. Padahal, sudah lama aku ingin
menjajal kepandaiannya."
"Tapi Dewa Arak justru tidak kalah lihai dibanding Setan Mabuk, Dedemit Alam
Akhirat," tegas Dewi seperti memberi nasihat.
"Kalau dia adalah seorang tokoh tangguh, mengapa aku belum pernah mendengar nama
besarnya"!" sergah laki-laki berwajah kasar itu.
Nada suaranya terdengar penuh ketidakpuasan, karena mendengar gadis yang
diinginkannya justru memuji-muji lawan.
"Dia baru muncul beberapa bulan belakangan ini," jelas Dewi.
"Sedangkan kau mengurung diri tempat terpencil selama hampir dua tahun.
Jadi bagaimana mungkin bisa mendengar nama besarnya yang telah menggegerkan
dunia persilatan?"
Dedemit Alam Akhirat mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau boleh memuji-muji Dewa Arak setinggi langit Dewi. Tapi, satu hal yang perlu
kau ketahui Dedemit Alam Akhirat tidak mungkin bisa dikalahkan oleh siapa pun!
Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun lamanya aku malang-melintang dalam dunia
persilatan. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup menghalangi tindakanku.
Bahkan puluhan orang pendekar telah mengeroyokku, tapi aku berhasil membantai
mereka semua,"
tandas Dedemit Alam Akhirat, jumawa.
Laki-laki berwajah kasar itu menghentikan ucapannya sejenak.
Rupanya karena terlalu berapi-api dalam berbicara, napasnya jadi terengah-engah.
"Bahkan tanpa ada seorang pun yang tahu, kalau aku telah
melanglang buana terlampau jauh. Bahkan sampai ke daerah kekuasaan Iblis Hitam.
Kami kemudian bertarung. Kalau saja dia tidak memiliki keunggulan dalam hal
senjata kapaknya yang amat beracun, dan keistimewaan jubah pusakanya, aku pasti
berhasil mengalahkannya," sambung Dedemit Alam Akhirat penuh amarah (Untuk
jelasnya mengenai tokoh Iblis Hitam, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode
"Peninggalan Iblis Hitam").
"Jadi..., Iblis Hitam berhasil mengalahkanmu, Dedemit Alam Akhirat?"
Meskipun tidak tahu-menahu mengenai tokoh yang disebutkan
pemimpin gerombolan pemakan manusia itu, tapi Dewi memaksakan diri untuk
menanyakannya. Mungkin hanya sekadar basa-basi. Suatu hal yang wajar kalau gadis
bertubuh molek ini tidak mengetahuinya, karena tempat tinggal Iblis Hitam amat
jauh dari situ. Paling tidak harus melewati beberapa hutan, sungai, dan puluhan
desa untuk bisa tiba di sana.
"Ha ha ha...! Mana mungkin Dedemit Alam Akhirat bisa
dikalahkan"! Pertarungan antara kami berlangsung seimbang. Kau tahu, Dewi. Iblis
Hitam di daerah sana telah menjadi legenda. Tak ada seorang pun yang pernah
mengalahkannya. Dia bercokol dan merajalela sampai seratus tahun bahkan mungkin
lebih." Suasana menjadi hening sejenak ketika Dedemit Alam Akhirat
menghentikan ucapannya. Sementara, Dewi sama sekali tidak bertanya lagi.
Kini mereka berdua mengalihkan pandangan kembali ke arah pertarungan yang tengah
berlangsung. 4 Sementara itu, pertarungan antara Malaikat Jari Besi dan Saratoga dalam
menghadapi gerombolan pemakan manusia telah semakin mendekati penyelesaian.
Keadaan kedua tokoh aliran putih itu sudah semakin payah dan mengkhawatirkan.
Pertarungan memang sudah berlangsung hampir seratus lima puluh jurus. Bukan
merupakan hal yang aneh kalau kedua tokoh aliran putih ini merasa lelah bukan
main. Sebenarnya, bukan hanya kedua orang tokoh itu saja yang merasa lelah. Para
pengeroyoknya pun demikian pula. Tapi, rasa lelah yang melanda gerombolan
pemakan manusia itu tidak seperti yang dialami Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
"Akh...!"
Saratoga menjerit keras ketika tiba-tiba kapak batu lawan keras sekali
menghantam bahunya. Kontan sambungan tulang bahunya terlepas.
Darah pun mengalir dari bagian yang terluka. Akibatnya, pedang di tangan kanan
laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terlepas dari pegangan.
Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Belum sempat Saratoga berbuat sesuatu, kapak di tangan
pengeroyok yang lain telah menghantam pahanya. Suara berderak keras terdengar
mengiringi hantaman itu.
Seketika itu juga tubuh laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terguling. Dan
secepat itu pula, berbondong-bondong gerombolan pemakan manusia menyergapnya.
"Saratoga...!"
Malaikat Jari Besi menjerit keras melihat peristiwa yang menimpa rekannya. Tapi
apa daya" Dia sendiri pun tengah berada dalam keadaan terhimpit-himpit. Maka,
laki-laki bertubuh kekar berotot ini hanya sempat melihat sekilas keadaan
rekannya. Meskipun hanya sekilas, tapi tak urung semua bulu kuduk
Malaikat Jari Besi berdiri. Bahkan perutnya kontan mual! Betapa tidak"
Gerombolan pemakan manusia menghujani sekujur tubuh Saratoga dengan senjata,
tapi tidak untuk membunuhnya. Hanya membuatnya tidak berdaya lagi.
Kemudian, setelah itu mereka mengeluarkan pisau. Namun,
sebenarnya tidak pantas bila disebut pisau, karena matanya tumpul. Dan dengan
pisau itu, anak buah Dedemit Alam Akhirat menyayat daging Saratoga, kemudian
memakannya mentah-mentah! Darah yang memancur deras dari tubuh rekannya pun
dihirup dan dijilati dengan rakusnya.
Saratoga melolong-lolong karena rasa sakit tak terkira pada sekujur tubuhnya.
Rasanya, tak tahan Malaikat Jari Besi mendengar jeritan itu.
Kalau saja bisa, sudah diterobosnya kumpulan orang-orang biadab itu.
Sayangnya, dia sendiri tidak berdaya.
Cukup lama juga Saratoga melolong-lolong menjelang maut. Dan
bertepatan dengan lenyapnya jeritan laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu,
Malaikat Jari Besi mengalami nasib yang sama. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya
terhantam sebuah kapak batu. Keras sekali!
Seketika Malaikat Jari Besi terhuyung-huyung ke depan. Dan
sebelum sadar apa yang telah terjadi, kembali sebuah palu batu besar menghantam
dadanya. Seketika, Malaikat Jari Besi jatuh terjungkal ke belakang. Dan di saat
itulah dia disambut terkaman beberapa orang pengeroyoknya.
Seperti juga Saratoga, laki-laki bertubuh kekar berotot itu pun menjerit-jerit
menahan rasa sakit yang tidak terhingga ketika sedikit demi sedikit daging
tubuhnya dipreteli dengan pisau tumpul. Maka, akhirnya dia tewas secara
menyedihkan. Kini gerombolan pemakan manusia bangkit berdiri dengan
perasaan puas. Mulut mereka masih mendecap-decap menikmati santapan yang menurut
mereka lezat bukan main.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak. Tampak jelas
sekali kegembiraan di wajahnya. Sepasang matanya menatap penuh rasa puas pada
tubuh Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang kini tinggal tulang-belulang saja.
Bahkan tidak ada darah setitik pun pada kedua tengkorak itu.
Semuanya habis dilahap.
Masih dengan suara tawa yang belum juga lenyap, Dedemit Alam
Akhirat melangkah meninggalkan tempat itu. Tangan kanannya kini melingkar di
bahu Dewi yang merasa perutnya mual dan ingin muntah menyaksikan pemandangan di
hadapannya. Kalau saja tidak ada Dedemit Alam Akhirat yang memaksanya untuk
menyaksikan, sudah sejak tadi tempat itu ditinggalkannya.
Dengan gereng penuh kepuasan, gerombolan pemakan manusia itu
pun bergerak mengikuti. Beberapa di antara mereka membawa tulang-belulang
Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Memang, masih ada yang belum sempat mereka
nikmati. Sumsum yang terletak di dalam tulang!
*** Dewa Arak menatap ke arah pulau berbentuk tengkorak kepala
manusia yang tampak di hadapannya. Perlahan dayungnya dikayuh dan perahunya
diarahkan ke pulau, yang tidak lain Pulau Selaksa Setan.
Tak lama kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu telah


Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai mendekati tepi pulau. Air pun memercik pelan begitu sepasang kaki Dewa
Arak menyentuh pinggir pantai.
Arya mengedarkan pandangan sebentar ke sekeliling pulau, baru
kemudian menyeret perahu agak ke darat. Lalu, diambilnya sebuah kayu yang
panjangnya tak kurang dari dua jengkal, dan dihunjamkannya ke dalam tanah hingga
lebih dari setengahnya. Pada patok yang dibuat tadi, tali perahunya ditambatkan.
Memang, pemuda berambut putih keperakan itu masih membutuhkan perahu untuk
meninggalkan Pulau Selaksa Setan nanti.
Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Aneh.... Apakah belum ada orang yang datang?" gumam Dewa Arak pelan. Dahinya
pun berkernyit dalam, pertanda tengah berpikir keras.
Dengan kepala masih tetap memperhatikan sekeliling, Dewa Arak
terus melangkah. Meskipun kewaspadaan tidak tampak pada sikapnya, tapi
sebenarnya sikapnya begitu waspada saat melihat suasana yang hening.
Seluruh urat syaraf dan otot tubuhnya menegang kaku, bersiap menghadapi serangan
mendadak. Dan baru beberapa tombak melangkah, Dewa Arak mendengar
adanya bunyi air beriak. Memang pelan saja kedengarannya, tapi karena tengah
waspada penuh, bisa tertangkap oleh pendengarannya. Dan seketika itu pula
kepalanya menoleh ke belakang.
"Hey...!"
Pemuda berambut putih keperakan ini berseru kaget ketika melihat beberapa sosok
tubuh coklat kehitaman berpakaian ala kadarnya, telah memotong tali perahunya.
Arya tentu saja tidak sudi membiarkan hal itu begitu saja. Tapi sebelum dia
bergerak mengejar, terdengar banyak sekali suara mendesing nyaring disusul
berkelebatannya benda-benda berkilat ke arah berbagai bagian tubuhnya.
Dewa Arak langsung mengerutkan keningnya. Menilik suara
desingan yang begitu tajam, jelas kalau benda-benda berkilat yang meluncur itu
adalah anak panah.
Dengan pikiran masih diliputi teka-teki tentang orang-orang
berpakaian seadanya itu, Dewa Arak memutarkan kedua tangannya.
Luar biasa! Belasan anak panah yang meluncur ke arahnya semua
tertangkis. Suara berderak keras akibat beradunya kedua tangan Dewa Arak dengan
anak-anak panah, seketika terdengar. Sebagian besar runtuh ke tanah, dalam
keadaan patah-patah. Sedangkan sisanya terpental balik kembali ke arah semula.
Baru saja pemuda berambut putih keperakan itu ingin kembali
mencegah perahunya yang dibawa kabur, terdengar suara langkah kaki ribut,
disusul bermunculannya belasan sosok tubuh seperti yang semula dilihatnya.
Arya terperanjat melihat hal ini. Meskipun belum pernah
mendengar, tapi sudah bisa memperkirakan keganasan orang-orang yang
mengurungnya. Apalagi kalau bukan penghuni Pulau Selaksa Setan yang terasing dan
biadab! Apakah Setan Mabuk mendustainya mengenai akan diadakannya pertarungan
antara raja-raja arak. Kalau iya, untuk apa menjebaknya" Bukankah kakek yang
menggiriskan itu belum tentu kalah olehnya"
Tapi kalau Setan Mabuk tidak menipunya, mengapa tempat ini
penuh orang yang menilik dari pakaian yang dikenakan adalah orang-orang biadab"
Bukankah syarat utama tempat pertarungan, seperti yang dikatakan kakek berkepala
botak itu, adalah tempat sepi" Tapi mengapa kini ramai"
Dan mengapa tidak tampak adanya seorang pun di sini" Baik orang-orang yang ingin
menonton, juri, maupun tokoh-tokoh yang hendak bertarung"
Ataukah Dewa Arak telah salah mendarat" Mungkinkah ini bukan
Pulau Selaksa Setan" Ah! Tidak mungkin! Arya tahu betul, perjalanannya tidak
salah! Pulau tempatnya mendarat ini memang benar-benar Pulau Selaksa Setan!
Dan Arya kini tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena sosok yang mengurung
sudah bergerak mengelilinginya.
Dewa Arak memperhatikan belasan orang yang berpakaian
sekadarnya itu. Ada perasaan kaget di hati tatkala melihat ada taring yang
tersembul di sudut-sudut mulut para pengeroyoknya.
Melihat keadaan para pengepungnya, Arya jadi bersikap hati-hati.
Kelainan pada diri merekalah yang membuatnya jadi lebih bersikap waspada.
Sepasang mata Arya berputar, memperhatikan semua tindak-tan-duk anak buah
Dedemit Alam Akhirat.
Agak heran juga hati Dewa Arak tatkala melihat para pengeroyoknya sama sekali tidak bergerak menyerang, tapi hanya mengurung saja.
Melihat hal ini, Arya bisa menebak kalau ada sesuatu yang tengah ditunggu
gerombolan itu.
Dugaan Dewa Arak tidak keliru! Dari balik gundukan batu besar, melesat sesosok
tubuh ramping yang kemudian hinggap dalam jarak sekitar satu batang tombak dari
kepungan gerombolan pemakan manusia itu.
Sepasang mata Dewa Arak terbelalak lebar ketika sosok bayangan itu telah berdiri
tegak. Betapa tidak" Sosok yang baru muncul ini, amat berbeda dengan para
pengepungnya. Dia adalah seorang wanita yang begitu cantik. Kulitnya putih,
halus, dan mulus. Bahkan bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Raut wajah gadis
itu tidak terlihat, karena tertutup rumbai-rumbai yang agak rapat.
"Tangkap pemuda itu...!"
Gadis cantik yang tak lain Dewi itu memberi perintah dengan suara keras.
Seketika itu juga, gerombolan pemakan manusia yang mengepung Arya mulai
bergerak. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini mereka tidak menggunakan
kapak, melainkan tambang panjang berwarna putih. Melihat dari keadaannya, bisa diperkirakan kalau tambang itu ulet dan alot bukan kepalang.
Dewa Arak langsung mengernyitkan alisnya. Meskipun bisa
memperkirakan kalau lawan akan menangkapnya hidup-hidup, menggunakan tambang, tapi belum bisa diketahui apa yang akan dilakukan mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak hanya bisa memperhatikan sambil
memasang sikap waspada. Seluruh urat-urat dan otot-otot tubuhnya menegang,
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mendadak gerombolan pemakan manusia itu berputar mengelilingi
Dewa Arak dengan arah masing-masing tidak seragam. Mereka berlari ke sana kemari
tidak beraturan.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kebingungan. Biji matanya berkeliaran
mengikuti gerakan berputar lawan-lawannya. Tapi karena tubuh-tubuh yang berputar
sama sekali tidak beraturan, sehingga pemuda berambut putih keperakan itu jadi
pusing sendiri. Apalagi, ketika tubuhnya beberapa saat ikut pula berputar. Maka,
kepalanya malah jadi pening.
Arya memang belum pernah mengalami peristiwa seperti ini. Jadi, tidak aneh kalau
jadi bingung karenanya. Dan tahu-tahu tubuhnya telah terbelit tambang-tambang
berwarna putih itu. Baru setelah tubuh Arya terbelit, gerakan berputar para
pengeroyoknya pun terhenti.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang.
Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk memutuskan tambang-
tambang yang menjeratnya. Tapi, tambang-tambang itu ternyata alot bukan main.
Entah terbuat dari bahan apa, tidak diketahuinya sama sekali.
Meskipun gagal dengan usaha pertamanya, Dewa Arak tidak putus
asa. Segera tenaga dalam simpanannya dikeluarkan. 'Tenaga Sakti Inti Matahari'.
Seketika itu juga, ada hawa panas yang menjalar sekujur
tubuhnya. Meskipun begitu, tetap saja tambang-tambang itu tidak bisa diputuskan.
Arya sama sekali tidak putus asa. Tetap saja 'Tenaga Sakti Inti Matahari'
dikerahkan terus. Tujuannya adalah untuk membuat para pengeroyok melepaskan
pegangan pada tambang, karena tidak kuat menahan serangan hawa panas 'Tenaga
Sakti Inti Matahari' yang merayap.
Dugaan Dewa Arak memang tepat. Belasan orang yang memegang
tambang mulai menggeram-geram, begitu tangan mereka terasa panas bukan kepalang.
Tapi, rupanya anak buah Dedemit Alam Akhirat terhitung orang-orang yang keras
hati. Betapapun menyengatnya panas yang melanda telapak tangan, tetap saja
genggaman itu tidak dilepaskan.
Dewi rupanya melihat hal itu. Hatinya khawatir juga bila lawan tangguhnya akan
berhasil lolos. Maka dia pun cepat melesat ke depan. Dan dengan jari telunjuk
menegang kaku, ditotoknya punggung Dewa Arak!
Tukkk..! "Akh...!"
Dewi menjerit keras ketika ujung jari telunjuknya terasa patah-patah dan panas
bukan kepalang ketika menyentuh punggung Dewa Arak.
Seolah-olah, yang ditotoknya tadi bukan kulit manusia, melainkan lempengan baja
tebal yang panas membara!
"Hmh...!"
Terdengar suara mendengus keras disusul melesatnya sesosok
bayangan ke arah Dewa Arak. Dan sekali sosok bayangan itu mengulurkan jari
menotok, tubuh Dewa Arak terkulai lemas.
Di sebelah Dewi, kini berdiri sesosok tubuh berwajah kasar.
Kepalanya memakai topi terbuat dari bulu burung garuda. Siapa lagi kalau bukan
Dedemit Alam Akhirat"
"Inikah orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya laki-laki berwajah kasar itu.
Ada kilatan rasa gembira di wajah Dedemit Akhirat ketika
mengajukan pertanyaan itu. Terbayang di benaknya, betapa gadis yang bertubuh
molek itu akan sukarela menyerahkan diri kepadanya.
Dewi mengangguk lesu. Memang, hatinya masih merasa terkejut
manakala totokannya ternyata sama sekali tidak berarti apa-apa. Apalagi ketika
teringat akan janjinya pada Dedemit Alam Akhirat. Rasanya jijik bila
membayangkan laki-laki yang berwajah kasar dan berbau busuk itu akan
menggelutinya. "Ha ha ha...! Kalau begitu, sudah tiba saatnya bagiku untuk menerima
upahnya...!" tagih laki-laki berwajah kasar itu keras. Sepasang matanya merayapi
sekujur tubuh Dewi.
"Berikan kesempatan padaku untuk membalas dendam pada
pemuda ini, Dedemit Alam Akhirat. Aku tidak sudi diganggu sewaktu menyiksanya,"
pinta wanita bertubuh molek itu seraya menatap wajah Dedemit Alam Akhirat dengan
sepasang mata penuh permohonan.
"Hm...!"
pemimpin gerombolan pemakan manusia itu menggumam. Dahinya berkemyit dalam. Tampak jelas kalau tengah
mempertimbangkan permintaan Dewi.
"Setelah puas melampiaskan dendamku padanya, aku akan
sukarela menyerahkan diri kepadamu. Terserah apa yang akan kau lakukan pada
diriku...," sambung wanita berkulit putih itu buru-buru. "Bagaimana, Dedemit
Alam Akhirat?"
Dengan susah payah laki-laki berwajah kasar itu menelan ludah
ketika di benaknya terbayang betapa nikmatnya menggeluti tubuh molek yang
memiliki kulit putih, halus, mulus, dan menggiurkan itu.
"Baiklah. Kukabulkan permintaanmu," jawab tokoh sesat yang menggiriskan itu
dengan suara yang mendadak serak.
Seketika wajah Dewi berseri.
"Terima kasih, Dedemit Alam Akhirat!"
Setelah berkata demikian, gadis bertubuh menggiurkan ini
melangkah menghampiri Dedemit Alam Akhirat. Dan....
Cuppp! Pipi laki-laki berwajah kasar itu langsung dikecupnya.
Dedemit Alam Akhirat tidak tahan lagi menahan nafsunya. Dengan kasar ditahannya
kepala Dewi yang akan ditarik kembali. Kemudian, dengan buas dilumatnya sepasang
bibir yang merah, ranum, menggiurkan, dan bagus bentuknya itu.
Dewi meronta-ronta, tapi Dedemit Alam Akhirat yang tengah lupa diri tidak sudi
melepaskannya. Pegangannya pun dipertahankan pada kuduk gadis itu. Dan dengan
rakus dijarahnya sepasang bibir Dewi. Baru setelah merasa cukup puas, gadis itu
dilepaskannya. Dewi menatap dengan sinar mata berkilat-kilat. Perutnya kini
mendadak mual. Mulut Dedemit Alam Akhirat ternyata berbau busuk.
Sepertinya, di dalam mulut laki-laki berwajah kasar itu terdapat onggokan
bangkai! Sekuat tenaga, ditahannya keinginan untuk muntah.
"Sisa upahmu kutagih belakangan, Dewi," ujar Dedemit Alam Akhirat Napasnya
terdengar agak memburu.
Tapi Dewi sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan gerak
isyarat, disuruhnya beberapa orang anak buah Dedemit Alam Akhirat membawa tubuh
Dewa Arak. Namun gerombolan pemakan manusia yang diperintahnya justru
malah menoleh ke arah Dedemit Alam Akhirat. Baru ketika tokoh sesat yang
menggariskan itu menganggukkan kepala, mereka bergerak memenuhi permintaan Dewi.
Dewi pun berjalan mendahului. Di belakangnya, berjalan gerombolan pemakan manusia yang memawa tubuh Dewa Arak. Baru di belakangnya
lagi, berjalan belasan orang gerombolan lainnya bersama Dedemit Alam Akhirat.
5 Dengan langkah pasti, Dewi melangkah memasuki salah satu dari
sekian banyak gua yang terdapat di dinding gundukan batu yang besar menyerupai
bukit itu. Anak buah Dedemit Alam Akhirat yang membawa tubuh Dewa
Arak yang terkulai lemas, mau tak mau ikut pula melangkah masuk ke dalam. Tapi
yang lain, dan juga Dedemit Alam Akhirat masuk ke gua lain, tidak ikut masuk ke
gua yang dimasuki Dewi.
Pedang Langit Dan Golok Naga 32 Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Pedang Pusaka Dewa Matahari 2
^