Pencarian

Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 1

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat Bagian 1


PEWARIS ILMU TOKOH
SESAT Oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Widarto
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalam episode: Pewaris Ilmu Tokoh Sesat
1 Brakkk...! Terdengar suara berderak keras, ketika
sepasang tangan kokoh seorang laki-laki bertubuh
tinggi kurus berompi kuning, menghantam daun
pintu gerbang Perguruan Kumbang Merah.
Kontan, daun pintu itu hancur berkeping-keping
mengeluarkan suara hiruk pikuk. Padahal daun
pintu gerbang itu terbuat dari kayu jati yang keras
dan tebal. Suara ribut-ribut itu tentu saja membuat
murid-murid Perguruan Kumbang Merah berlarian
menuju ke arah asal suara. Apalagi murid-murid
yang mendapat tugas jaga. Merekalah yang tahu
lebih dahulu. Dan buru-buru melesat ke arah
pintu gerbang. "Siapa kau"!" tanya salah seorang murid
yang bertubuh pendek gemuk bernada kasar.
Laki-laki inilah yang bertugas sebagai
kepala jaga hari itu. Ditatapnya wajah orang yang
berdiri di hadapannya. Seorang laki-laki berusia
dua puluh lima tahun. Berwajah meruncing ke
depan, dengan bola mata yang selalu berputar liar.
Di tangan kanannya tergenggam sebuah trisula.
"He he he...!"
Hanya suara tawa terkekeh saja yang
menyahuti pertanyaan murid bertubuh pendek
gemuk itu. ''Tidak usah banyak basa-basi lagi, Kang
Gilang. Hajar saja pengacau ini!" ucap salah
seorang yang berdiri di belakang laki-laki pendek
gemuk yang bernama Gilang. Memang kepala jaga
itu berdiri paling depan. Sementara rekanrekannya yang berjumlah tiga orang, berada di
belakangnya. Mereka telah menghunus senjata
masing-masing. Sebatang pedang yang batangnya
berwarna merah.
"Hmh...!" laki-laki berompi kuning itu
mendengus dan mendesis tajam. "Kalianlah yang
akan mampus!"
"Keparat!"
Seorang murid Perguruan Kumbang Merah
yang berambut merah, tidak kuat lagi menahan
kemarahan. Sambil
berteriak nyaring, dia
melompat menerjang laki-laki berompi kuning itu.
Pedang di tangannya ditusukkan cepat ke arah
leher. Tapi, laki-laki berompi kuning itu hanya
tersenyum sinis. Tanpa menggeser kaki, didoyongkan tubuhnya ke samping kanan,
sehingga serangan itu mengenai tempat kosong.
Lewat setengah jengkal di sebelah kiri lehernya.
Dan pada saat yang sama, trisulanya ditusukkan
ke arah perut lawan.
Wukkk! Angin mengiuk keras mengiringi tibanya
sambaran trisula itu. Suatu pertanda kalau trisula
itu dimainkan oleh orang yang memiliki tenaga
dalam tinggi. Laki-laki berambut merah terkejut bukan
main. Serangan lawan datang secara tiba-tiba dan
cepat sekali. Padahal, saat itu posisinya tidak
menguntungkan. Tubuhnya masih berada di
udara. Jangankan mengelak, menangkis pun
sudah tidak ada waktu lagi.
Gilang dan kedua temannya pun mengetahui bahaya maut yang tengah mengancam
rekannya ini. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, hampir berbarengan mereka melesat untuk
menolong. Tapi..,
Jrebbb...! Trisula milik laki-laki berompi kuning,
telah lebih dulu menghunjam dalam di perut
murid yang sial itu. Darah pun bermuncratan dari
luka yang menganga lebar ketika trisula itu
dicabut kembali.
Brukkk! Suara berdebuk keras terdengar, begitu
tubuh laki-laki berambut merah ambruk di tanah.
Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar. Kemudian
diam tidak bergerak lagi.
Bertepatan dengan robohnya tubuh murid
yang sial itu, serangan Gilang dan rekan-rekannya
menyusul tiba. Kembali trisula di tangan laki-laki
berompi kuning itu berkelebat
Tranggg, tranggg, tranggg...!
Suara berdentangan nyaring terdengar.
Bunga-bunga api pun memercik ke udara, diikuti
dengan berpentalannya senjata murid-murid
Perguruan Kumbang Merah. Karena tangan yang
menggenggam senjata terasa lumpuh! Tapi
tindakan laki-laki berompi kuning itu tidak hanya
sampai di situ saja. Trisulanya kembali berkelebat.
Dan.... Crattt, crattt, crattt!
Darah segar bermuncratan ketika trisula
merobek perut dan dada, serta leher Gilang dan
kawan-kawannya.
Suara jerit memilukan terdengar saling susul. Jeritan kematian. Seketika
itu juga, tubuh Gilang dan kawan-kawannya
ambruk di tanah. Diam tidak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Luar biasa! Hanya dalam
segebrakan saja, ketiga murid Perguruan Kumbang Merah itu telah menggeletak tanpa nyawa.
Baru saja Gilang dan kedua rekannya
melepas nyawa, muncul sembilan murid Perguruan Kumbang Merah lainnya. Memang
sejak mendengar hiruk-pikuk hancurnya pintu
gerbang, mereka telah bergegas memburu ke arah
asal suara. Tapi, karena jarak yang agak jauh,
kedatangan mereka terlambat. Apalagi, para murid
penjaga pintu gerbang itu tewas hanya dalam
segebrakan! Begitu tiba, sembilan orang murid Perguruan Kumbang Merah langsung terpaku.
Menatap ke arah mayat-mayat saudara seperguruan mereka yang bergeletakan tanpa
nyawa. Tapi hanya sesaat saja, kemudian telah
berganti dengan perasaan marah dan dendam
yang berkobar-kobar.
"Iblis! Kau harus menebus semua ini
dengan nyawamu!" seru seorang murid yang
berwajah bopeng.
"Ha ha ha...!" Laki-laki berompi kuning itu
tertawa terbahak-bahak. Tawa yang penuh ejekan.
"Majulah kalian semua!"
"Kawan-kawan...! Serbu...! Kita cincang
iblis ini!" seru murid yang berwajah bopeng itu lagi
seraya bergerak mendahului menyerang. Tentu
saja kawan-kawannya tidak tinggal diam. Mereka
pun meluruk menyerang tamu tak diundang ini
sambil berteriak-teriak penuh kemarahan.
Tapi Laki-laki berompi kuning itu hanya
tersenyum mengejek. Jelas kalau dia memandang
rendah murid-murid Perguruan Kumbang Merah.
Baru setelah serangan-serangan itu menyambar
dekat, tubuhnya menyelinap di antara hujan
senjata lawan-lawannya.
Dengan ilmu meringankan tubuh yang berada jauh di atas
lawan-lawannya, tidak sulit bagi laki-laki berompi
kuning itu untuk melakukannya.
Begitu berhasil mengelakkan diri, laki-laki
berompi kuning itu lalu melancarkan serangan
balasan. Trisula di tangannya berkelebatan cepat
mencari-cari sasaran. Hebatnya, setiap kali
senjatanya berkelebat, sudah dapat dipastikan ada
seorang murid Perguruan Kumbang Merah yang
roboh. Suara jerit kematian terdengar saling susul.
Sampai akhirnya, tidak ada lagi seorang pun yang
masih hidup. "Biadab...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring
penuh kegeraman. Disusul dengan melayangnya
sesosok tubuh, yang kemudian hinggap di depan
laki-laki berompi kuning itu.
Laki-laki berompi kuning tersenyum sinis.
Sepasang matanya menatap orang yang berdiri di
hadapannya lekat-lekat. Dilihatnya seorang pria
bertubuh tegap, berwajah gagah, berkumis dan
berjenggot rapi, berdiri di hadapannya. Usianya
paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya,
seperti juga pakaian murid-murid Perguruan
Kumbang Merah lainnya, berwarna merah. Inilah
Ketua Perguruan Kumbang Merah. Suntara
namanya. Sepasang mata Suntara merayapi sekitarnya. Terdengar suara gemeletuk dari
mulutnya. Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
merasa geram, ketika melihat belasan muridnya
bergelimpangan tumpang tindih tanpa nyawa.
Murid-murid yang telah bertahun-tahun dididiknya dengan susah payah. Perguruan
Kumbang Merah memang terbilang sebuah
perguruan silat yang kecil. Jumlah muridmuridnya hanya belasan orang. Dan sama sekali
belum punya murid-murid kepala. Jadi, Suntaralah yang turun tangan mendidiknya
sendiri. "Bagaimana, Suntara?" tanya laki-laki
berompi kuning seraya menyunggingkan senyum
mengejek. Ketua Perguruan Kumbang Merah menggertakkan gigi. Kemarahannya semakin
meluap mendengar ucapan itu. Dengan sekuat
tenaga, ditahannya amarah yang hampir meledak.
Sekujur tubuh laki-laki berkumis dan berjenggot
rapi ini, nampak menggigil menahan kemarahan
yang a mat sangat.
"Siapa kau, Keparat Keji"! Mengapa
membantai semua muridku"!" suara Suntara
terdengar bergetar. Ada nada ancaman dalam
ucapannya. "He he he...!" laki-laki berompi kuning itu
terkekeh pelan. "Kau lupa padaku, Suntara?"
Wajah Suntara seketika berubah. Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini mengernyitkan
dahi, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Suara


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang ini sepertinya memang pernah didengar dan
dikenalnya. Tapi, dia lupa kapan dan di mana.
Amarah yang sudah bergelora, membuatnya sulit
berpikir. "Aku tidak peduli siapa kau, Keparat! Yang
jelas..., kau harus menebus nyawa semua
muridku!" tegas Suntara tandas.
"Kau telah jadi pikun sebelum tua,
Suntara. Seharusnya bukan kau yang mengucapkan perkataan itu. Tapi aku!" tegas lakilaki berompi kuning itu keras. Lenyap sudah
tawanya. Rupanya ucapan Ketua Perguruan
Kumbang Merah membuat dia teringat pada
maksud kedatangannya ke sini!
"Katakan siapa kau sebenarnya, sebelum
hilang kesabaranku!" sambut Suntara tak sabar.
Kemarahannya hampir tidak bisa ditahan lagi.
"Aku Wisanggeni! Asalku Desa Babut!"
sahut laki-laki berompi kuning itu keras.
"Wisanggeni..." Desa Babut"!" gumam
Suntara dengan wajah berubah hebat. Jelas kalau
ucapan laki-laki yang mengaku bernama Wisanggeni itu membuatnya terkejut. Ingatannya
langsung melayang pada kejadian belasan tahun
silam di desa kelahirannya, Desa Babut, yang
membuat keluarganya pindah dari desa itu. Dulu,
di desa itu, dia memang terkenal sebagai orang
yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi.
"Ya. Aku, Wisanggeni!" sahut laki-laki
berompi kuning itu menegaskan. "Aku datang
untuk membalas kematian kakakku di tanganmu!"
"Kakakmu memang layak mati, Wisanggeni!" sergah Suntara tak kalah keras. "Dia
telah menodai adikku!"
"Menodai"!" ejek Wisanggeni sinis. "Adikmu
memang sudah bukan gadis lagi saat berkenalan
dengan kakakku. Dan..., semua peristiwa itu pun
terjadi karena kebinalan adikmu sendiri!"
"Keparat! Kau harus mampus di tanganku!"
bentak Ketua Perguruan Kumbang Merah keras.
Setelah berkata demikian, Suntara mencabut senjata andalannya. Sepasang tombak
pendek berwarna hitam mengkilat yang sejak tadi
ditancapkan di tanah.
Wuk, wuk, wuk...!
Angin menderu cukup keras, begitu Ketua
Perguruan Kumbang Merah memutar sepasang
tombaknya laksana baling-baling hingga lenyap
bentuknya. Terdengar suara mengaung keras
begitu tombak itu diputar.
Melihat Suntara sudah mulai memainkan
jurus-jurus mautnya, maka Wisanggeni tidak
bersikap main-main lagi. Trisula di tangannya pun
diputar-putar di depan dada sehingga mengeluarkan suara mengiuk nyaring.
"Hiyaaa...!"
Suntara berteriak nyaring seraya cepat
menusukkan tombak pendek di tangan kanannya
ke arah perut. Sementara tombak yang satu lagi,
disilangkan di depan dada. Berjaga-jaga bila lawan
mengirimkan serangan balasan.
Wunggg! Suara mengaung terdengar cukup keras,
begitu tombak itu meluncur deras menuju
sasaran. Wisanggeni yang ingin melihat dulu
perkembangan ilmu lawannya, tidak langsung
menangkis. Tapi segera melangkahkan kakinya ke
kanan, sehingga ujung tombak itu lewat setengah
jengkal di samping kiri pinggangnya. Dan pada
saat yang bersamaan, Wisanggeni segera menusukkan trisulanya ke leher Suntara.
Ketua Perguruan Kumbang Merah yang
memang sudah menduga hal itu, tidak menjadi
gugup. Tombak yang berada di tangan kiri segera
digerakkan untuk menangkis.
Tranggg! Keras bukan main benturan kedua senjata
itu. Bunga-bunga api pun sampai memercik ke
sana kemari. Suntara terperanjat kaget ketika merasakan sekujur tangannya tergetar hebat.
Hampir-hampir tombaknya lepas dari genggaman.
Bahkan bukan hanya itu saja, tubuhnya pun
sampai terhuyung-huyung dua langkah ke
belakang. Sementara Wisanggeni sama sekali tidak
bergeming. "Ha ha ha...!" Wisanggeni tertawa terbahakbahak melihat keunggulannya. "Ajalmu hampir
tiba, Suntara!"
Ketua Perguruan Kumbang Merah ini
menggertakkan gigi. Tanpa mempedulikan ejekan
lawannya, laki-laki berkumis dan berjenggot rapi
ini segera melompat, dan kembali menyerang
dengan mengerahkan seluruh kemampuan yang
dimilikinya. Hanya dua pilihan yang ada dalam
benaknya. Membunuh atau dibunuh!
Tapi bukan hanya Suntara saja yang
mempunyai tekad begitu. Wisanggeni pun
mempunyai tekad serupa. Maka tak aneh jika lakilaki berompi kuning ini mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimilikinya. Pertarungan sengit
dan mati-matian pun tidak bisa dihindarkan lagi.
*** Sementara itu dari balik pintu sebuah
bangunan yang daun pintunya sedikit terbuka,
nampak beberapa kepala mengintai ke arah
pertarungan. Kepala seorang laki-laki setengah tua
bermata juling. Seorang anak lelaki berusia dua
belas tahun berpakaian coklat, dan seorang anak
perempuan berusia sepuluh tahun berpakaian
biru. "Apakah ayah mampu mengalahkan orang
jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian
coklat pada laki-laki bermata juling.
Laki-laki setengah tua yang sebenarnya
bernama Wijaya itu menoleh. Dia adalah pelayan
sekaligus pengasuh anak majikannya.
"Entahlah, Den Wuraji. Aku khawatir
sekali. Tampaknya orang jahat itu memiliki
kepandaian amat tinggi...," sahut Wijaya setengah
mendesah. Raut kekhawatiran tergambar jelas di
wajahnya. "Jadi..., ayah akan kalah, Paman?" tanya
anak berpakaian coklat yang ternyata bernama
Wuraji. Nada suara dan wajahnya menyorotkan
ketidakpercayaan. Memang, bocah ini tidak
percaya kalau ayahnya akan kalah. Selama ini dia
menganggap ayahnya adalah orang yang paling
sakti di jagat ini!
"Aku tidak tahu, Den," Wijaya menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita
berdoa agar ayah Aden bisa mengalahkan penjahat
itu." Wuraji tidak menyahuti ucapan pengasuhnya. Pandangannya dilayangkan ke arah
pertempuran. Baru kali ini dia melihat ayahnya
bertarung. Dan bocah kecil ini merasa kagum
sekali. Wuraji yakin kalau ayahnya akan menang.
Ayahnya sangat sakti, ucapnya dalam hati penuh
rasa bangga. Tapi Wuraji sama sekali tidak tahu kalau
ayahnya tengah berada dalam cengkeraman maut.
Memang pada jurus-jurus awal, pertarungan
antara kedua orang itu berjalan imbang. Tapi,
begitu menginjak jurus ke lima belas, Ketua
Perguruan Kumbang Merah itu mulai terdesak
Dan seiring dengan semakin lamanya
pertarungan, keadaan Suntara kian terdesak
hebat. Ruang gerak permainan sepasang tombak
pendeknya semakin lama semakin menyempit.
Suntara hanya mampu mengelak dan bertahan.
Hanya sesekali saja dia mampu balas menyerang.
"Haaat..!"
Tiba-tiba Wisanggeni berteriak nyaring.
Trisulanya berputar cepat di depan dada.
Kemudian masih dengan gerakan berputar, trisula
itu melesat ke arah perut Suntara.
Wunggg...! Suara mengaung keras mengiringi tibanya
serangan trisula.
"Apakah ayah mampu mengalahkan orang
jahat itu, Paman?" tanya bocah lelaki berpakaian
coklat yang bernama Wuraji itu.
"Aku tidak tahu, Den," Wijaya menggelengkan kepalanya. "Tapi, marilah kita
berdoa agar ayah Aden bisa mengalahkan penjahat
itu." Hati Suntara tersekat karena senjata yang
berputaran itu membuatnya bingung bukan main.
Sepasang matanya jadi berkunang-kunang.
Meskipun begitu, Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini berusaha keras menyelamatkan
selembar nyawanya. Jalan satu-satunya hanya
menangkis. Dan itulah yang sekarang dilakukannya. Kedua tombak pendeknya disilangkan di depan dada.
Trang, trang...!
"Uh...!"
Suntara mengeluh tertahan. Sepasang
tombak pendeknya seketika terlepas dari genggaman. Serangan trisula yang berputar
seperti orang mengebor itu, membuatnya mati
kutu. Dan sebelum Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini sempat berbuat sesuatu, trisula yang
masih berputaran terus meluncur ke arah
perutnya. Crattt, crattt...!
Darah segar bermuncratan dari perut yang
koyak-koyak dibor trisula. Seketika itu juga tubuh
Suntara terjengkang ke belakang disertai jeritan
menyayat yang keluar dari mulutnya.
Tapi tindakan Wisanggeni tidak hanya
sampai di situ saja. Trisula di tangannya kembali
melesat. Kali ini ke arah leher. Meluncur deras,
tanpa berputaran lagi. Dan....
Crasss! Seketika kepala Suntara terlepas dari leher,
begitu ujung trisula mengenai sasaran. Tanpa
bersuara lagi, tubuhnya roboh ke tanah. Nyawa
Ketua Perguruan Kumbang Merah melayang saat
itu juga. "A.... Hps...!"
Wijaya

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat-cepat mendekap mulut Wuraji, sebelum bocah lelaki itu sempat menjerit
ketika melihat ayahnya tewas di tangan
Wisanggeni. Pada saat yang sama, tangan yang
satunya lagi menepuk tengkuk gadis kecil
berpakaian biru. Perlahan saja kelihatannya, tapi
hebatnya, gadis kecil itu langsung pingsan. Dan
sekali tangan pelayan ini bergerak menekan
tengkuk Wuraji, seketika itu juga putra Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini pingsan.
Kemudian dengan langkah hati-hati tapi
bergegas, Wijaya segera meninggalkan tempat itu.
Pelayan setia ini bergerak cepat menuju ke dapur,
sambil memondong tubuh kedua anak itu di
bahunya. Dia harus memburu waktu, kalau tidak
ingin didahului laki-laki berompi kuning.
Sesampainya di dapur, Wijaya segera
menekan ke bawah batang obor yang tertempel di
dinding. Grrrkkk...! Terdengar suara berderak keras yang
disusul dengan bergesernya salah satu dinding
dapur. Dan di balik dinding, terlihat sebuah
tangga batu yang menuju ke bawah.
Tanpa ragu-ragu Wijaya segera menuruni
anak tangga batu. Dan begitu laki-laki bermata
juling ini melangkah masuk, tiba-tiba pintu
ruangan itu tertutup kembali.
Wijaya melangkahkan kakinya perlahanlahan menuruni anak tangga. Cukup lama juga
dia bergerak turun, sebelum akhirnya tidak ada
lagi anak tangga. Tangga itu ternyata berakhir di
sebuah ruangan yang cukup luas.
Berkat lampu obor yang terpasang di
dinding-dinding ruangan bawah tanah ini, Wijaya
dapat melihat cukup jelas suasana di sekitarnya.
Ternyata hanya ada sebuah jalan yang ada di
ruangan ini. Jalan yang berbentuk sebuah lorong
panjang. Untuk yang kesekian kalinya, tanpa raguragu Wijaya menempuhnya. Berjalan melalui
lorong yang panjang dan lengang. Agak meremang
juga bulu kuduk laki-laki bermata juling ini
melihat suasana yang cukup seram itu. Hanya
kesunyian yang melingkupi suasana lorong. Yang
terdengar hanyalah desah napas Wlyaya yang
memburu, dan detak suara langkahnya di lantai.
Entah sudah berapa lama dia berjalan,
Wijaya tidak tahu pasti. Yang dia tahu, kedua
kakinya telah hampir tidak kuat lagi melangkah,
ketika akhirnya mengetahui lorong itu berakhir di
sebuah pintu. Kriiittt...! Suara berderit tajam dan nyaring bergema
di sepanjang lorong, tatkala Wijaya membuka
pintu. Ternyata di balik pintu itu tidak ada jalan
lagi. Yang ada hanyalah ruang kecil berukuran
satu tombak kali satu tombak.
Yang pertama kali dilihat pelayan setia
berpakaian serba hitam ini adalah sebuah tangga
kayu yang menjulang ke langit-langit ruangan.
Wijaya mengedarkan pandangannya ke
setiap tudut ruangan. Seketika wajahnya berseriseri ketika melihat sebuah pot bunga bertengger di
sudut. Bergegas dia melangkahkan kakinya
menghampiri. Lalu membungkukkan tubuhnya
dan meletakkan kedua bocah yang dipanggulnya
di tanah. Baru setelah itu laki-laki bermata juling
ini memegang pot dengan kedua tangan.
Kemudian memutarnya ke kanan.
Grrrrggghhh...!
Sesaat kemudian terdengar suara berderak
keras, yang membuat dinding-dinding dan atap
ruangan bergetar. Sesaat kemudian, di atap
ruangan, tepat di bawah tangga, terpampang
sebuah lubang bergaris tengah setengah tombak.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Wijaya segera
menaiki anak-anak tangga sambil membawa
tubuh kedua bocah itu satu persatu. Tak lama
kemudian, laki-laki bermata juling ini telah berada
di atas. Wijaya memandang ke sekelilingnya. Yang
tampak hanyalah kelebatan pepohonan dan
rerimbunan semak-semak. Rupanya pelayan setia
ini telah berada di dalam sebuah hutan. Laki-laki
bermata juling ini lalu memutar sebuah gundukan
batu. Seketika itu pula, salah sebuah kelompok
rerimbunan semak bergerak. Sesaat kemudian,
lubang tadi telah tertutup rerimbunan semaksemak.
"Uhhh...!"
Terdengar suara keluhan. Wijaya menolehkan kepalanya. Dilihatnya Wuraji mulai
siuman. Putra almarhum Ketua Perguruan
Kumbang Merah ini mengerjap-ngerjapkan
matanya sejenak
"Uhhh...!"
Kembali terdengar keluhan lirih, yang
disusul dengan mengeriap-ngerjapnya sepasang
mata bening milik gadis kecil berpakaian biru.
"Syukurlah, kalian sudah sadar...," ucap
Wijaya sambil memandang wajah kedua anak itu
bergantian. "Di mana kita, Paman?" tanya gadis
berpakaian biru sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi yang dilihatnya
hanya rerimbunan semak dan pepohonan yang
lebat. "Di sebuah tempat yang aman, Marni,"
jawab Wijaya, seraya menatap wajah gadis kecil
berpakaian biru yang ternyata bernama Marni.
"Ayah...," desah Wuraji lirih ketika teringat
kembali pada semua kejadian yang dilihatnya.
Memang, sejak siuman, anak berpakaian coklat ini
tercenung. Sepasang matanya nampak merembang berkaca-kaca. Bahkan kedua bibirnya
terlihat gemetar. Jelas kalau bocah laki-laki ini
dilanda perasaan sedih yang amat sangat. Hanya
kekerasan hatinya saja yang membuat dia tidak
menitikkan air mata.
"Kuatkanlah hatimu, Den," hibur Wijaya
seraya menatap wajah bocah di hadapannya
penuh rasa haru. Laki-laki bermata juling ini
dapat merasakan betapa sedih dan terpukulnya
hati anak tunggal majikannya ini. Karena Wijaya
tahu kalau selama ini Wuraji amat mengagumi
ayahnya. Wuraji menganggap ayahnya adalah
orang yang paling sakti. Bagaimana hatinya tidak
terpukul" Dengan mata kepala sendiri, bocah itu
melihat ayah yang sangat dikaguminya tewas
terbunuh! "Aku sama sekali tidak menyangka kalau
Paman adalah seorang pengecut! Bahkan Paman
telah membawa-bawa aku menjadi seorang
pengecut! Melarikan diri dari musuh yang telah
membunuh ayah dan menghancurkan perguruan!"
Dengan berapi-api, Wuraji mencela pelayannya.
Sepasang matanya menatap penuh penyesalan
pada laki-laki bermata juling di hadapannya. "Aku
lebih suka mati bersama ayah daripada menjadi
seorang pengecut seperti ini!"
Keras dan tajam sekali ucapan yang keluar
dari mulut bocah berpakaian coklat ini. Seketika
itu juga wajah Wijaya merah padam. Kalau saja
tidak mengingat orang yang mencelanya adalah
putra tunggal majikannya, mungkin sudah
ditamparnya mulut itu.
Dia bukanlah seorang pengecut! Dan paling
tidak suka dimaki seperti itu.
"Wuraji...!" tegur Marni seraya menatap
tajam putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang
Merah itu. Gadis kecil ini kasihan pada Wijaya
yang dimaki sekasar itu.
"Tutup mulutmu...! Ini bukan urusan anak
perempuan!" bentak Wuraji kasar
Seketika wajah Marni memucat. Kontan dia
terdiam. Agak heran juga hatinya mendengar katakata kasar yang dilontarkan Wuraji barusan.
Biasanya setiap kali ditegur, Wuraji akan
mengalah. Tapi kali ini, bocah itu malah
membentaknya. Melihat kejadian itu, Wijaya segera
mengelus rambut Marni dan menganggukkan
kepalanya. Gadis kecil ini segera tahu apa arti
anggukan itu. Dia disuruh diam, dan tidak usah
ikut campur. "Hhh...!"
Wijaya hanya dapat menghela napas berat.
Laki-laki bermata juling ini memaklumi mengapa
anak yang biasanya sopan dan hormat kepadanya,
dan pengalah kepada Marni, kini bicara sekasar
itu. Wijaya tahu kalau hati Wuraji masih
terguncang hebat dengan kejadian yang baru saja
dilihatnya. "Kau salah sangka, Den," sahut Wijaya
dengan suara berdesah. "Asal kau tahu saja, Den.
Semua ini kulakukan atas perintah ayahmu. Kau
tahu, kalau menuruti perasaan, aku lebih suka
tewas bersama-sama yang lain. Tapi, aku juga
tidak berani menolak perintah. Walau dengan hati
berat, terpaksa kusanggupi perintah ini...."
''Tidak mungkin!" bantah Wuraji cepat dan
dengan suara keras. ''Tak mungkin ayah memberi
perintah seperti itu!"
"Dengar dulu penjelasanku, Den," sahut
Wijaya tetap sabar.
Wuraji pun terdiam seketika.
"Ayahmu punya banyak alasan untuk
menyuruhku berbuat seperti ini."
Wijaya menghentikan ucapannya sejenak.
Menghela napas panjang seraya melihat tanggapan
anak berpakaian coklat ini. Tapi Wuraji tetap diam
saja. "Ayahmu tahu kalau musuh yang datang
tadi memiliki kepandaian amat tinggi. Dan dia
tidak yakin dapat mengalahkannya. Maka dia
berpesan padaku, apabila sesuatu terjadi pada
dirinya, aku harus cepat menyelamatkanmu dan
Marni. Ayahmu tidak ingin kau mati percuma,
Den! Dan untuk itu, ayahmu telah memberitahu
jalan rahasia untuk membawamu kabur."
"Tapi, aku tidak takut mati!" selak Wuraji
keras. Wijaya tersenyum getir.
"Ayahmu juga tahu hal itu, Den. Demikian
pula aku. Oleh karena itu, ayahmu telah
menyuruhku. Yahhh..., kalau memang terpaksa,
aku diijinkan menggunakan kekerasan untuk
membawamu pergi."
Wuraji menurup wajahnya yang pucat pasi
dengan kedua telapak tangannya. Beberapa saat
lamanya anak berpakaian coklat ini berbuat
seperti itu. "Mengapa ayah berbuat seperti itu....?"
keluh putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini lirih. Seperti berbicara pada dirinya
sendiri. Perlahan-lahan kepalanya diangkat kembali. "Karena ayahmu ingin kau selamat, Den,"
sahut Wijaya cepat.
"Aku tahu itu, Paman," sergah Wuraji.
Masih dengan nada tinggi. "Tapi untuk apa"!"
"Karena ayahmu tidak ingin kau mati siasia, Den. Ayahmu menginginkan kau memiliki
ilmu kepandaian lebih tinggi darinya. Baru setelah
itu, kau bdeh menghadapi musuh tadi!"
"Jadi...," sepasang mata Wuraji terbelalak.
"Ya! Setelah kau memiliki ilmu kepandaian
tinggi, baru kau bisa membalaskan sakit hati ayah
dan juga kakak-kakak seperguruanmu! Kalau
bukan kau, lalu siapa lagi yang akan
membalaskannya. Itulah sebabnya, ayahmu
memerintahku untuk menyelamatkanmu...''
Kini Wuraji mulai mengerti. Maksud
ayahnya memang benar! Untuk apa dia ikut
melawan, kalau akhirnya hanya akan mengantar
nyawa sia-sia! Perlahan-lahan emosinya pun mulai
reda. "Tapi, apakah ada orang yang memiliki


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaian tinggi selain ayah, Paman?" tanya
bocah berpakaian coklat itu beberapa saat
kemudian. Wijaya tersenyum lebar.
"Dunia sangat luas, Den. Orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi tak terhitung jumlahnya. Mudah-mudahan saja kau bernasib
baik. Menemukan tokoh sakti yang bersedia
menjadikanmu sebagai muridnya."
"Tapi..., apakah orang itu memiliki
kepandaian melebihi ayah, Paman?"
"Perlu kau ketahui, Den. Orang yang
memiliki kepandaian melebihi ayahmu tidak
sedikit jumlahnya di dunia ini. Salah satu
contohnya adalah pembunuh ayahmu. Jadi, kau
tidak perlu khawatir." Wijaya menjelaskan dengan
sabar. Hatinya menjadi lega melihat Wuraji sudah
bisa ditenangkan.
"Lalu..., ke mana kita harus mencari orang
sakti itu, Paman?" tanya Wuraji lagi. Nada
suaranya menyiratkan keragu-raguan.
Seketika itu juga Wijaya terdiam. Ya, ke
mana dia harus mencari orang sakti" Dan
andaikata sudah bertemu, belum tentu orang itu
bersedia mengambil Wuraji sebagai murid.
"Aku juga tidak tahu, Den. Tapi yang jelas,
aku akan berusaha. Kalau perlu kita datangi
perguruan-perguruan silat aliran putih yang besar
dan ternama."
Wuraji menganggukkan kepalanya. Kini
wajahnya mulai berseri-seri. Begitu pula Marni
yang sejak tadi hanya diam mendengarkan tanpa
berkata-kata. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, Paman"
Mart kita cari orang sakti itu!" ucap Wuraji penuh
semangat seraya bergegas bangkit.
"Mari, Den," sahut Wijaya seraya menggandeng tangan kedua anak itu. Wuraji di
kiri dan Marni di kanan. Baru setelah itu,
dilangkahkan kakinya, menerobos rerimbunan
semak dan pepohonan yang lebat.
Wuraji dan Marni melangkah penuh
semangat. Ucapan Wijaya benar-benar membuat
semangat mereka bangkit. Kini kedua anak itu
sudah punya tujuan. Mencari orang-orang sakti
untuk berguru. Lega hati Wijaya melihat kedua anak itu
mulai melupakan kesedihannya. Meskipun begitu,
ada perasaan tidak tenang yang menyelimuti
hatinya. Ke mana dia harus mencari orang sakti
untuk guru kedua anak ini" Tapi, laki-laki
bermata juling ini tidak ingin menampakkan
kecemasan hatinya. Justru perasaan gembiranya
yang ditonjolkan.
Setelah menerobos rerimbunan semaksemak dan pepohonan, di hadapan ketiga orang
ini terpampang sebuah sungai yang lebar dan
cukup deras arusnya.
Wijaya mengedarkan pandangannya ke
sepanjang aliran sungai. Sepasang matanya
berbinar. Wajahnya pun berseri tatkala melihat
sebuah rakit terapung di pinggir sungai.
Dengan langkah penuh semangat, masih
tetap menggandeng tangan Wuraji dan Marni, lakilaki bermata juling ini bergegas melangkah
menuju rakit itu.
*** 2 Wijaya, Marni, dan Wuraji segera menaiki
rakit. Dan begitu semua telah berada di atasnya,
Wijaya mengayuh rakit itu menuju seberang.
Dengan menggunakan sebatang bambu panjang,
laki-laki bermata juling itu berusaha melawan
derasnya arus sungai.
Karena tenaga yang mendorong rakit itu
tertalu lemah, ditambah lagi derasnya arus sungai,
meskipun rakit itu sedikit demi sedikit dapat
menuju ke seberang, tapi arahnya tidak lurus,
melainkan miring.
"Paman! Awas...!"
Wuraji yang berada di pinggir, terkejut
ketika melihat tak jauh di samping kiri rakit
terdapat batu besar yang menonjol di permukaan
sungai. Dan rakit itu bergerak menuju ke situ.
Wiyaya terkejut bukan main mendengar
teriakan putra tunggal majikannya. Dengan sekuat
tenaga, dia mengayuh rakit itu menghindari batu
yang menonjol. Seluruh urat-urat tangan dan
wajahnya menggembung ketika berusaha membelokkan arah rakit. Tapi....
Brakkk...! "Paman..!"
Wuraji berteriak keras ketika tubuhnya
terlempar ke sungai. Benturan yang terjadi antara
rakit dan batu besar begitu keras, sehingga Wuraji
yang tengah berada di pinggir, tidak mampu
mempertahankan keseimbangan tubuhnya.
Byurrr...! Air memercik ke atas ketika tubuh putra
tunggal Ketua Perguruan Kumbang Merah itu
jatuh ke sungai.
"Den Wuraji...!"
"Wuraji...!"
Hampir berbareng Wijaya dan Marni
menjerit keras melihat bocah berpakaian coklat itu
terpental ke dalam sungai, dan langsung terseret
arus yang deras.
Tanpa pikir panjang lagi, Wijaya segera
terjun ke sungai. Pelayan setia ini tidak
mengkhawatirkan nasib Marni. Karena yakin
kalau anak perempuan itu tidak akan tertimpa
bahaya apa-apa.
Wijaya berpikir secara biasa. Rakit itu
tersangkut di batu besar yang menonjol di
permukaan sungai, sehingga tidak bisa bergerak
ke sana kemari lagi walaupun arus sungai terusmenerus mendorongnya.
Byurrr...! Air sungai kembali memercik ke atas ketika
tubuh Wijaya melayang ke arah sungai. Kali ini
percikannya lebih tinggi dari sebelumnya.
Marni yang tetap tinggal di atas rakit,
berpegangan kuat-kuat. Gadis kecil ini berharap
agar Wijaya berhasil menyelamatkan Wuraji. Ngeri
hatinya membayangkan temannya itu tewas
dibawa arus sungai.
"Den Wuraji...! Di mana kau..."!" teriak
Wijaya begitu kepalanya muncul di permukaan
sungai, setelah terbenam beberapa saat lamanya.
Diam-diam laki-laki bermata juling ini terkejut
bukan main tatkala merasakan kuatnya arus
sungai. Wijaya menunggu sejenak. Tapi sama
sekali tidak terdengar sahutan dari anak
berpakaian coklat itu. Dengan jantung berdetak
keras, pandangannya diedarkan ke seluruh
permukaan sungai. Hatinya mencelos ketika tidak
melihat adanya Wuraji. Tidak ada kemungkinan
lain, Wuraji pasti terseret arus sungai. Begitu
kesimpulan laki-laki bermata juling ini.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, segera
Wijaya kembali menyelam dan berenang mengikuti
arus. Sepasang matanya berkeliaran ke sana
kemari. Barangkali saja dapat menemukan anak
tunggal mendiang majikannya. Air sungai itu
memang jernih, sehingga pelayan setia ini dapat
melihat keadaan di sekitarnya dengan jelas.
Wijaya terus berenang mengikuti arus
sungai. Sama sekali dia tidak menyadari kalau
semakin lama, arus sungai semakin deras.
"Den...! Di mana kau..."!"
Wijaya kembali berseru keras, ketika untuk
yang kesekian kalinya kepalanya muncul di
permukaan air. Sepasang matanya terus menatap
berkeliling. Hati Wijaya tersekat begitu merasakan arus
sungai yang semakin deras. Apalagi ketika
pendengarannya yang tajam mendengar suara
gemuruh di depannya. Sebagai seorang yang telah
kenyang pengalaman, laki-laki bermata juling ini
tahu apa sebenarnya suara gemuruh itu. Apalagi
kalau bukan air terjun!
Sadar akan bahaya besar yang mengancam
di depannya, Wijaya segera berbalik arah begitu
menyadari dirinya terseret ke air terjun.
Kembali hatinya tersekat ketika tak lagi
melihat rakit beserta Marni yang tadi ditinggalkannya. Rupanya dia telah terlalu jauh
dari tempat semula.
Kini Wijaya berusaha keras berenang
melawan arus yang akan menyeretnya ke air
terjun. Tapi, betapapun dia telah mengerahkan
seluruh tenaganya, tetap saja laki-laki bermata
juling ini tidak mampu maju. Tubuhnya hanya
bergerak di situ-situ saja.
Semakin lama tenaga Wijaya semakin
lemah. Dan dengan sendirinya, perlahan-lahan
mulai terbawa arus. Seiring dengan tubuhnya
terbawa aliran sungai, tenaga arus yang
menyeretnya pun semakin membesar. Sementara
tenaganya sendiri semakin lemah. Tubuh laki-laki
berpakaian hitam ini pun mulai terbawa arus.
Meskipun begitu, Wijaya tidak putus asa.
Tenaganya terus dikerahkan untuk melawan
dorongan arus sungai, meskipun tubuhnya terus
saja terseret. Tapi akhirnya Wijaya terpaksa mengalah.
Tidak ada lagi tenaga yang dimilikinya untuk
melawan arus sungai yang menyeretnya.
Sementara itu, agak jauh di depan Wijaya,
Wuraji terus terseret cepat mendekati pinggir air
terjun. Putra tunggal Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini memang sama sekali tidak bisa
berenang. Maka seketika itu juga, tubuhnya
hanyut terbawa arus yang deras itu.
Dalam keadaan setengah sadar, Wuraji
mendengar suara panggilan pelayannya. Dia
berusaha menyahut, tapi tidak mampu. Hanya
suara mirip bisikan saja yang keluar dari
mulutnya ketika dia berusaha menyahuti panggilan Wijaya.
Bahkan, ketika tubuhnya telah berada di
tepi air terjun, dan akhirnya jaruh ke bawah,
Wuraji sama sekali tidak mampu berteriak.
Tubuhnya melayang deras ke bawah. Siap untuk
dicabik-cabik batu-batuan yang berada di bawah
sana! *** Di dasar air terjun, sekitar beberapa
tombak dari tempat jatuhnya air, dua sosok tubuh
tengah duduk bersila saling berhadapan. Keduanya duduk di sebongkah batu besar dan
lebar yang menonjol di permukaan sungai. Yang
satu berpakaian hitam, sedangkan yang satunya
lagi berpakaian kulit ular.
Sosok berpakaian hitam yang duduk
menghadap jatuhnya air terjun terperanjat ketika
melihat sesosok tubuh kecil meluncur deras dari
atas. Tanpa membuang-buang waktu lagi, disertai teriakan nyaring, sosok bayangan hitam
itu melesat cepat ke arah tubuh yang tengah
melayang jatuh. Cepat bukan main gerakannya.
Sehingga yang terlihat hanyalah sekelebatan
bayangan hitam saja. Dan....
Tappp...!

Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Luar biasa! Tubuh Wuraji berhasil
ditangkap oleh sosok bayangan hitam itu, sebelum
sempat terhempas ke batu-batuan di bawahnya.
Kemudian dengan indah dan manis, sosok
bayangan hitam itu melenting dan hinggap di atas
salah satu baru yang menonjol di permukaan
sungai. Perasaan heran yang melanda hati sosok
tubuh berpakaian kulit ular lenyap ketika melihat
sosok bayangan hitam itu mendarat di batubatuan
dengan seorang anak dalam pondongannya. Memang, semula dia merasa heran
tatkala melihat sosok bayangan hitam itu melesat
meninggalkannya.
Sosok bayangan hitam itu kembali
menggerakkan kakinya. Kelihatannya hanya
melangkah perlahan saja. Tapi sekejap kemudian,
tubuhnya sudah berada di sebelah sosok yang
mengenakan pakaian kulit ular.
"Nasib bocah ini baik sekali, Ular Kaki
Seribu," ucap sosok bayangan hitam seraya
mengangsurkan Wuraji yang telah pingsan dalam
pondongannya. Suaranya terdengar aneh. Kecil,
tapi melengking tinggi, seperti suara seorang
wanita. Sepasang matanya menatap wajah sosok
berpakaian kulit ular yang ternyata adalah
seorang laki-laki setengah baya. Laki-laki itu
bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan agak
bungkuk. Wajahnya mirip wajah seekor kuda.
Apalagi dengan adanya jenggot kasar, panjang dan
jarang-jarang yang menghiasi dagunya. Pakaiannya terbuat dari kulit ular yang berwarna
kuning keemasan.
"Yahhh...," sosok berpakaian kulit ular
yang ter, nyata mempunyai julukan Ular Kaki
Seribu hanya mendesah. "Dia akan jadi murid
kita, Monyet Tanpa Bayangan."
Kini terlihat jelas kalau sosok hitam itu
ternyata adalah seorang kakek kecil kurus
berpakaian serba hitam. Pakaiannya yang hitam
terbuat dari kulit beruang. Kakek kecil kurus yang
berjuluk Monyet Tanpa Bayangan ini hanya
terkekeh pelan. Kemudian merebahkan tubuh
Wuraji di atas batu.
Ular Kaki Seribu memperhatikan wajah
bocah berpakaian coklat mulai dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Tampak jelas kalau kakek
bertubuh tinggi kurus ini tengah menilai Wuraji.
Setelah memperhatikan beberapa saat,
kemudian Ular Kaki Seribu membungkukkan
tubuh dan memegang-megang seluruh tulangbelulang Wuraji. Secercah senyum gembira
menghias bibirnya. Kakek ini merasa puas ketika
mengetahui kalau putra Ketua Perguruan
Kumbang Merah ini memiliki bakat yang amat
baik untuk dilatih ilmu silat.
"Bagaimana, Ular Kaki Seribu?" tanya
Monyet Tanpa Bayangan meminta pendapat
rekannya. "Kurasa anak ini tidak memalukan kalau
menjadi murid kita," jawab Ular Kaki Seribu.
Monyet Tanpa Bayangan tersenyum lega
mendengar keputusan rekannya.
"Mari kita kembali," sahut Ular Kaki Seribu
seraya bergerak meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak bicara, Monyet Tanpa
Bayangan membungkuk, mengangkat tubuh
Wuraji dan memondongnya. Kemudian membawanya melesat, menyusul rekannya yang
telah berkelebat lebih dulu.
Hebatnya, meskipun Ular Kaki Seribu
bergerak lebih dulu, Monyet Tanpa Bayangan
mampu memperpendek jarak. Bahkan membarenginya. Dan dengan berlari bersisian,
kedua kakek ini bergerak ke arah air terjun.
Lincah dan gesit laksana kera, kedua
kakek itu berlompatan ke sana kemari. Anehnya,
Ular Kaki Seribu dan Monyet Tanpa Bayangan
malah melesat ke arah air terjun.
Mendadak langkah kaki kedua kakek ini
terhenti ketika mendengar sebuah jeritan panjang
menyayat hati. Hampir berbarengan keduanya
mendongak ke atas. Tampak oleh mereka sesosok
tubuh yang melayang jatuh, bersama dengan
curahan air terjun.
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki
Seribu hanya memperhatikan saja hingga sosok
tubuh yang tak lain dari Wijaya jatuh ke dasar air
terjun. Terdengar suara berderak keras dari
tulang-belulang yang patah ketika tubuh pelayan
setia itu menghantam batu-batuan. Seketika itu
juga nyawa Wijaya langsung lepas dari raganya.
Seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa,
kedua kakek sakti ini kembali melanjutkan
langkahnya. Dan begitu dekat dengan air terjun,
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu
bergerak menerobosnya. Menerobos curahan air
terjun! Pyarrr...! Air yang tercurah dari atas berpentalan ke
sana kemari tatkala tubuh kedua kakek itu
menerobos. Ternyata di balik air terjun terdapat
sebuah gua yang cukup besar. Inilah tempat
tinggal Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki
Seribu. Lubang gua itu cukup besar. Garis
tengahnya saja tak kurang dari dua tombak.
Kedua kakek itu melangkah pelan ke dalam gua
yang cukup lebar dan sedikit berliku. Di kanan
kiri dindingnya tergantung obor, sehingga
membuat suasana di dalam agak terang.
Monyet Tanpa Bayangan lalu merebahkan
Wuraji di atas sebongkah batu pipih berbentuk
persegi panjang seukuran balai-balai. Baru setelah
itu, kakek kecil kurus berpakaian kulit beruang ini
duduk bersila, di atas batu pipih dan lebar
lainnya. Duduk berhadapan dengan Ular Kaki
Seribu. "Uhhh...!"
Terdengar suara keluhan yang disusul
dengan mengerjap-ngerjapnya kelopak mata
Wuraji. Sesaat kemudian, setelah kesadarannya
pulih, bocah berpakaian coklat ini lalu memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Seketika itu juga pandangannya tertumbuk
pada dua orang kakek yang tengah memperhatikan dirinya.
"Di manakah aku...?" tanya Wuraji lirih
seperti pada diri sendiri. Sepasang matanya
menatap berkeliling. Sementara benaknya sibuk
berpikir keras. Mengingat-ingat semua kejadian
yang dialaminya.
"Kau berada di tempat kami, Bocah," sahut
Monyet Tanpa Bayangan sambil tersenyum.
"Di tempatmu, Kek?" Wuraji bertanya lagi
meminta kepastian.
Kembali Monyet Tanpa Bayangan yang
menjawab. Kepala kakek kecil kurus ini
mengangguk pelan.
"Ya, aku melihat tubuhmu jatuh dari air
terjun. Kau segera kutangkap sebelum menghantam batu-batuan, dan kubawa ke sini,"
Monyet Tanpa Bayangan menjelaskan.
Kini Wuraji mulai teringat dengan kejadian
yang dialaminya. Dia telah terseret menuju tepi air
terjun dan kemudian jatuh ke dasarnya.
Bagaimana dengan nasib Marni dan Wijaya" tanya
anak berpakaian coklat ini dalam hati.
''Terima kasih atas pertolonganmu, Kek,"
ucap Wuraji seraya bangkit dari berbaringnya.
"He he he...!" Hanya suara tawa terkekeh
Monyet Tanpa Bayangan yang menyahuti ucapan
terima kasih putra Ketua Perguruan Kumbang
Merah ini. "Siapa namamu, Bocah?" Ular Kaki Seribu
mulai membuka suara.
"Wuraji, Kek," sahut anak berpakaian
coklat itu cepat.
"Wuraji...," gumam Ular Kaki Seribu seraya
men-elus-elus dagunya. "Begini, Wuraji. Hari ini
kami tengah berbahagia. Karena telah berhasil
menyempurnakan ilmu-ilmu yang kami miliki....
Dan karena rasa gembira, kami telah bersumpah,
akan mengangkat murid pada orang yang pertama
bertemu dengan kami. Kebetulan kaulah orang
yang bernasib baik itu. Jadi, kaulah yang akan
jadi murid kami."
Jantung Wuraji berdebar mendengar katakata itu. Sungguh sama sekali tidak diduga kalau
dirinya akan begitu mudah mendapat guru. Tapi,
masih ada yang dipikirkannya. Apakah tingkat
kepandaian kedua kakek ini melebihi ayahnya.
Kalau melebihi, dia pun bersedia menjadi murid.
Tapi kalau tidak, dia akan menolak.
''Tapi, Kek. Aku hanya mau jadi murid
orang yang memiliki kepandaian tinggi, Kek."
"Ha ha ha...." Monyet Tanpa Bayangan
tertawa bergelak. "Kau pintar, Wuraji. Tapi akan
kami penuhi permintaanmu. Nah, sekarang kau
perhatikan baik-baik. Akan kami buktikan kalau
kami pantas menjadi guru-gurumu."
Setelah berkata demikian, Monyet Tanpa
Bayangan lalu menoleh. Jari telunjuknya ditudingkan ke arah sebatang obor yang
tergantung di dinding. Jaraknya sekitar lima
tombak dari tempatnya berdiri.
"Mampukah kau mematikan obor itu dari
sini, Wuraji?" tanya kakek kurus itu seraya
menatap Wuraji.
"Tidak, Kek," Wuraji menggeleng, setelah
memperhatikan obor sejenak. "Apakah Kakek
bisa?" ''Tentu saja," sahut Monyet Tanpa Bayangan cepat. "Kau lihat ini...!"
Setelah berkata demikian, kakek kecil
kurus ini lalu mengepalkan tangan kanannya.
Kemudian dipukulkan ke depan.
Wusss... Angin berhembus keras begitu Monyet
Tanpa Bayangan memukulkan tangannya. Sesaat
kemudian, apl obor pun padam, tanpa meliuk-liuk
lebih dahulu! "Hebat...!" Wuraji memuji penuh kagum.
"He he he...!" Monyet Tanpa Bayangan
terkekeh gembira mendengar pujian calon
muridnya. ''Tapi, ilmu seperti itu tidak berguna untuk
menghadapi musuh," sambung Wuraji seraya
menghela napas panjang.
"Siapa bilang"!" Monyet Tanpa Bayangan
mulai bangkit emosinya begitu mendengar ucapan
itu. "Dengan gerakan seperti itu kau dapat
membunuh lawan tanpa menyentuhnya!"
"Aku tidak percaya!" sergah Wuraji cepat
dan berani. Memang, anak yang sudah yatim piatu
ini memiliki keberanian luar biasa.


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Monyet Tanpa Bayangan menjadi kesal
melihat sikap yang ditunjukkan Wuraji. Tanpa
banyak bicara, kepalan tangan kanannya kembali
dipukulkan. Tapi sasaran kali ini adalah
sebongkah batu sebesar anak kambing, yang
berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya
duduk bersila. Wusss...! Brakkk...!
Batu itu langsung hancur berkeping-keping
ketika pukulan jarak jauh kakek berpakaian kulit
beruang itu menghantamnya. Pecahannya berpentalan ke segala arah.
Wajah Wuraji pucat seketika. Sama sekali
tidak disangkanya kalau Monyet Tanpa Bayangan
memiliki kepandaian begitu tinggi. Dia tahu betul
kalau ayahnya sendiri pun tidak sanggup untuk
melakukan hal seperti yang dilakukan kakek ini.
Tanpa pikir panjang lagi, Wuraji segera memberi
hormat. "Guru...!" tanpa ragu-ragu lagi, putra Ketua
Perguruan Kumbang Merah ini menyebut guru
pada Monyet Tanpa Bayangan. Kakek kecil kurus
ini tertawa terkekeh.
"Ular Kaki Seribu pun akan mengajarmu
pula, Wuraji," jelas Monyet Tanpa Bayangan
seraya menudingkan telunjuknya pada kakek
bermuka kuda. "Dia memiliki kepandaian yang
tidak kalah denganku."
"Guru...!" panggil Wuraji pula pada Ular
Kaki Seribu. Sejak saat itu Wuraji menjadi murid
Monyet Tanpa Bayangan dan Ular Kaki Seribu.
Putra Ketua Perguruan Kumbang Merah ini sama
sekali tidak tahu kalau orang yang menjadi gurugurunya adalah tokoh-tokoh golongan hitam.
Kedua kakek itu adalah pentolan-pentolan tokoh
aliran sesat. *** 3 Krotok, krotok...!
Suara berkerotokan keras terdengar memecahkan keheningan pagi di sebuah sungai di
dasar air terjun. Suara itu ternyata berasal dari
seorang pemuda yang tengah berlatih silat.
Pemuda itu berdiri di atas sebongkah batu pipih
dan lebar yang menonjol di permukaan sungai.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua
tahun. Wajahnya tampan, tapi terlihat keras.
Mungkin disebabkan oleh tulang rahangnya yang
kokoh dan kuat. Tubuhnya yang kekar dan penuh
otot-otot melingkar lampak jelas, karena dia
memang tengah bertelanjang dada. Menilik peluh
yang telah membasahi sekujur wajah dan
tubuhnya, bisa ditebak kalau pemuda berwajah
tampan namun keras ini telah lama berlatih.
Dan itu memang benar. Sejak pagi-pagi
sekali, sebelum sang surya muncul di ufuk Timur,
pemuda berwajah keras ini telah berlatih. Kini, dia
hampir menyelesaikan bagian terakhir latihannya.
Ternyata suara berkerotokan keras tadi
terdengar ketika pemuda tampan berwajah keras
itu menarik kedua tangannya yang terkepal ke sisi
pinggang. Perlahan-lahan tapi penuh tenaga, dia
menarik kedua tangan yang terkepal dan saling
bersilangan di depan dada. Kedua kakinya terletak
sejajar, dengan kuda-kuda rendah.
"Hih!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring,
pemuda tampan berwajah keras itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Ke
arah sebongkah batu sebesar anak kerbau yang
terletak di pinggir sungai yang berjarak sekitar tiga
tombak dari tempatnya berdiri.
Wusss! Angin menderu keras. Debu-debu pun
mengepul tinggi ke udara. Dan....
Blarrr! Disertai suara hiruk-pikuk, batu besar itu
hancur berkeping-keping. Pecahan-pecahannya
berpentalan ke segala arah. Bahkan ada beberapa
di antaranya yang mengenai tubuhnya. Tapi, sama
sekali tidak nampak ada tanda-tanda kalau dia
merasa kesakitan.
"Phhh...!"
Pemuda berwajah keras itu menghembuskan napas panjang. Perasaan puas
tergambar jelas di wajahnya. Dengan punggung
tangan, peluh yang membasahi keningnya segera
dihapus. "Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa bergelak yang kasar
begitu pemuda tampan berwajah keras itu selesai
menghapus peluhnya. Tapi, sama sekali tidak
nampak raut keterkejutan di wajahnya. Tenang
saja dia membalikkan tubuh. Tampak sekitar tiga
tombak di hadapannya, di seberang sungai, berdiri
dua sosok tubuh.
"Guru...!" ucap pemuda berwajah keras itu
seraya memberi hormat. Kedua kakinya saling
bersilangan dengan tubuh agak direndahkan.
Kedua tangannya saling bertemu di depan dada.
Tangan kanan terkepal, sementara tangan kiri
terbuka. Ujung jari-jari tangan kiri menghadap ke
atas. Kedua tangannya didorong ke depan.
Kemudian dikembalikan lagi ke depan dada.
"Bagus...! Rupanya kau telah menguasai
'Pukulan Penghancur Gunung', Wuraji," ucap
salah seorang di antara dua orang itu. Dia
bertubuh tinggi, berbadan lebar, dan berwajah
mirip kuda. Usianya sekitar enam puluh tahun.
Pakaiannya terbuat dari kulit ular berwarna
kuning keemasan. Siapa lagi kalau bukan Ular
Kaki Seribu"!
"Tidak percuma kami mengangkatmu
sebagai murid, Wuraji," ucap kakek yang satunya
lagi. Suaranya terdengar aneh. Kecil, tapi
melengking, mirip suara wanita. Kakek ini
bertubuh kecil kurus. Wajahnya terlihat pucat dan
layu, seperti orang penyakitan. Pakaiannya yang
berwarna hitam terbuat dari kulit beruang. Masih
tampak jelas kekasaran pakaian yang dikenakannya. Kakek itu tak lain dari Monyet
Tanpa Bayangan Sikap kedua kakek itu tampak liar, dan
tidak menghiraukan sopan santun. Sepasang mata
keduanya menyiratkan kekejaman yang tersembunyi. Memang dua orang kakek ini adalah
pentolan-pentolan tokoh golongan hitam. Mereka
terkenal memiliki kepandaian tinggi.
"Semua ini berkat bimbingan Guru
berdua," ucap pemuda berahang kokoh yang
ternyata bernama Wuraji. Pelan, lembut, dan
sopan suaranya. Berbeda sekali dengan kedua
gurunya yang berwatak kasar dan liar.
"Ahhh...!" sergah Ular Kaki Seribu. Keras
dan kasar nada suaranya. "Sudah berkali-kali
kukatakan, Wuraji. Buang semua sifat-sifat yang
membuat kami muak itu. Bersikaplah seperti
kami!" "Kukira, ada baiknya kalau Wuraji kita
suruh bergabung dengan Pati Gala, Ular Kaki
Seribu," usul Monyet Tanpa Bayangan. "Barangkali kalau mereka bergaul bersama, sifat
Wuraji akan berubah."
"Itu sudah kupikirkan, Monyet Tanpa
Bayangan," sahut Ular Kaki Seribu.
"Pati Gala" Siapa dia, Guru?" tanya Wuraji
seraya mengernyitkan alisnya. Jelas kalau pemuda
berahang kokoh ini tidak mengenal orang yang
disebutkan gurunya. Ditatapnya wajah kedua
kakek itu berganti-ganti.
"Kami memang belum pernah menceritakannya padamu, Wuraji," ucap Ular Kaki
Seribu. "Maukah Guru memberitahukannya
padaku?" pinta Wuraji.
"Memang, kami ingin memberitahumu. Dan
harus memberitahumu!" Monyet Tanpa Bayangan
ikut menimpali.
"Pati Gala adalah murid kami sebelum kau,
Wuraji," sambung Ular Kaki Seribu. "Jadi, dia
adalah kakak seperguruanmu."
''Tapi, mengapa aku tidak pernah mengetahuinya, Guru?" tanya Wuraji lagi. Masih
terdengar nada keheranan dalam suaranya.
"Karena kau jadi murid kami setelah dia
pergi," lagi-lagi Monyet Tanpa Bayangan menyahuti. Wuraji mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kini pemuda berahang kokoh ini baru mengerti
permasalahannya.
"Jadi..., aku harus mencari kakak seperguruanku itu, Guru?" tanya Wuraji meminta
kepastian. Ular Kaki Seribu menganggukkan kepalanya. ''Tapi, bagaimana aku bisa menemukan
dia, Guru" Bukankah aku belum pernah bertemu
dengan dia"! Dan..., andaikata bertemu pun,
belum tentu dia akan mengenaliku."
"He he he...!"
Ular Kaki Seribu hanya tertawa terkekehkekeh saja melihat muridnya kebingungan.
"Kau cari saja orang yang berjuluk Siluman
Tangan Maut. Aku yakin tidak akan sulit kau
menemukan dia," Monyet Tanpa Bayangan yang
menjawab pertanyaan muridnya. "Sedangkan
pertanyaanmu yang lain, tidak perlu kujawab,
Wuraji. Kau punya otak, bukan" Nah! Pergunakanlah otakmu!"
Wuraji terdiam seketika.
"Kapan aku harus berangkat, Guru?" tanya
Wuraji setelah terdiam beberapa saat.
''Terserah kau, Wuraji. Tapi, lebih cepat
lebih baik!" sahut Ular Kaki Seribu tegas.
Kemudian dilangkahkan kakinya meninggalkan
tempat itu, diikuti Monyet Tanpa Bayangan. Kini
yang tinggal hanya Wuraji.
"Hhh...!"
Pemuda berahang kokoh ini menghela
napas berat. Ada perasaan tidak enak di hatinya,
melihat tingkah laku kedua gurunya. Tapi,
bagaimana lagi" Guru-gurunya adalah tokohtokoh sesat persilatan. Hanya dia saja yang


Dewa Arak 16 Pewaris Ilmu Tokoh Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernasib tidak begitu baik. Memiliki guru tokoh
golongan hitam! Dan, menjadi pewaris ilmu tokoh
sesat Akan tetapi Wuraji mengusir semua
pikiran-pikiran itu. Dipusatkan perhatian untuk
memenuhi tugas gurunya. Di samping itu juga, di
dalam hatinya tersirat niat untuk membalas
dendam atas kematian ayahnya. Dan juga mencari
Marni dan Wijaya. Bagaimana keadaan mereka
sekarang" Wuraji tidak pernah tahu. Walaupun
sejak menjadi murid Ular Kaki Seribu dan Monyet
Tanpa Bayangan, dia selalu memikirkan nasib
kedua orang itu. Tapi apa dayanya" Kedua
gurunya melarang dia mencari mereka. Tapi
sekarang kesempatan itu terbuka. Dia telah bebas.
*** Seorang pemuda berwajah tampan namun
keras, dan berpakaian coklat melangkah pelan
memasuki mulut hutan. Sebuah buntalan yang
berisi pakaian tergantung di bahunya.
Pemuda berahang kokoh ini menoleh
ketika pendengarannya yang tajam, menangkap
suara derak roda kereta di belakangnya. Ternyata
agak jauh di belakang, dilihatnya sebuah
rombongan berkuda. Bergegas dia berjalan agak
ke pinggir, agar tidak mengganggu jalannya
rombongan itu Semakin lama, rombongan kereta semakin
dekat jaraknya dengan pemuda tampan berahang
kokoh itu. Tak lama kemudian, rombongan kereta
itu pun sudah menyusulnya.
Sekilas orang-orang yang berkuda paling
depan memalingkan kepala. Menatap pemuda
tampan berahang kokoh itu penuh perhatian.
Pemuda itu pun balas menoleh. Sebentar saja.
Bahkan hanya sekilas. Lalu tidak ambil peduli.
Terus saja kakinya melangkah kian jauh ke dalam
hutan. Iring-iringan berkuda itu ternyata adalah
serombongan orang berkuda yang mengawal
sebuah kereta. Di belakang, kanan, kiri, dan
belakang kereta, empat orang berwajah dan
bersikap gagah mengiringi. Tampak jelas kalau
orang-orang berkuda itu tengah mengawal kereta.
Semakin lama, rombongan itu pun
semakin jauh meninggalkan pemuda berpakaian
coklat itu. Pemuda berahang kokoh itu terus
memandangi rombongan itu hingga semakin jauh
ke dalam hutan. Ada pertanyaan yang bergayut di
benaknya. Siapakah gerangan orang yang ada di
dalam kereta" Sehingga sampai dikawal oleh
sekumpulan orang yang menilik dari gerakgeriknya adalah orang-orang yang memiliki ilmu
silat tidak rendah.
Tapi pemuda berahang kokoh itu tidak
ambil peduli. Terus saja dia melanjutkan
perjalanannya. Kini tidak lagi perlahan-lahan
seperti tadi, melainkan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Ternyata pemuda tampan berahang kokoh
itu memiliki kepandaian tinggi. Gerakannya cepat
bukan main. Sehingga yang terlihat hanyalah
sekelebatan bayangan kecoklatan yang melesat
cepat menembus ke dalam hutan.
Pemuda berahang kokoh itu berlari tidak
mengikuti jalan yang ditempuh rombongan kereta
tadi. Tapi mengambil jalan pintas. Menembus
rerimbunan pepohonan lebat. Bahkan tidak jarang
harus berlompatan dari satu batang ke batang
pohon lainnya. Gerakannya gesit dan lincah sekali.
Tak ubahnya seekor kera.
Mendadak gerakannya terhenti ketika
mendengar dentang suara senjata beradu di
kejauhan. Cepat pemuda berbaju coklat ini
berhenti sejenak dan mendengarkan lebih
seksama. Mencoba mengetahui asal suara.
Sesaat kemudian, pemuda berahang kokoh
ini telah mengetahui asal suara. Cepat laksana
kilat, kakinya. bergerak menuju ke sana sambil
mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Berlompatan dari satu pohon ke
pohon yang lain.
Tak lama kemudian, pemuda berahang
Pendekar Aneh Dari Kanglam 6 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Memanah Burung Rajawali 18
^