Angkara Si Anak Naga 1
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga Bagian 1
ANGKARA SI ANAK NAGA
OLEH AJI SAKA CETAKAN P ERTAMA
PENERBIT CIN TAMEDIA, JAKARTA
PENYUNTING : A. SUYUDI
HAK CIPTA PADA PEN ERBIT
DILARANG MENGCOPY ATAU MEMP ERBANYAK
SEBAGIAN ATAU S ELURUH ISI BUKU INI
TANPA IZIN TERTULIS DARI P EN ERBIT
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
AJI SAKA SERIAL DEWA ARAK
DALAM EPISODE 063 :
ANGKARA SI ANAK NAGA
128 hal ; 12 x18 cm
1 "Taksaka..! Anakku,di mana kau"!"
Seruan keras itu terdengar berkali-kali dari
mulut seorang wanita muda berpakaian coklat.
Dengan mata berlinang dia mengawasi ke sana
kemari berusaha mencari putranya. Namun
sampai di tanah lapang berumput, tempat
anaknya tadi bermain pun tidak ditemukan.
Kakinya terus melangkah menyusuri semak-
semak,barangkali anaknya masih berada di situ.
Mulutnya terus-menerus menyerukan panggil-
an terhadap sang Anak. Wanita berpakaian coklat itu mengayunkan langkah seraya
mengedarkan pandangan ke sana kemari.
Namun tiba-tiba dia mengerutkan kening
ketika melihat dua sosok keluar dari rimbun
pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Keparat.! Kalian lagi rupanya..! Tak bosan-bosannya kalian mengejar kami!"
dengus wanita berpakaian coklat itu penuh perasaan geram.
Dua sosok yang mengenakan pakaian serba hi-
tam dan ikat kepala dengan warna sama tertawa bergelak Kedua orang itu masing-
masing hanya mempunyai satu mata.
"Selama kau belum memenuhi permintaan
kami, jangan harap kalian berdua akan hidup
tenang!" tegas salah satu dari dua sosok itu, yang mata kirinya buta.
"Benar!" sambung yang mata kanannya buta,
"Penuhilah permintaan kami! Percayalah, setelah urusan yang kami maksud selesai,
anakmu akan kami kembalikan!"
"Tutup mulutmu, Kucing-kucing Picak!" sahut wanita berpakaian coklat dengan nada
menantang. "Kalian boleh saja membawanya kalau mampu melangkahi mayatku..!"
"Keparat!"
Hampir berbareng dua sosok berpakaian hitam
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun,
menggeram marah. Julukan mereka sebenarnya
Sepasang Harimau Hitam, tetapi wanita berpakaian coklat menyebut dengan julukan
Kucing-kucing Picak. Karuan saja keduanya
marah karena merasa tersinggung.
Namun ternyata bukan hanya Sepasang
Harimau Hitam itu yang bangkit kemarahannya,
wanita berpakaian coklat pun demikian. Diawali teriakan keras yang melengking
nyaring, dia menerjang Harimau Hitam yang picak sebelah kiri.
Jari-jari tangannya yang menegang kaku disodokkan bertubi-tubi ke dada dan ulu hati
lawannya. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi serangan
wanita berpakaian coklat. Hal itu membuat
Sepasang Harimau Hitam tidak berani bertindak gegabah. Harimau Hitam yang picak
mata sebelah kanannya,
langsung melompat menjauh. Sedangkan kawannya yang mendapatkan serangan, langsung menggeser kaki ke kanan,
sehingga serangan itu lewat di samping kiri
pinggangnya. Kemudian tangan kanannya yang
membentuk cakar menyambar cepat ke perut
wanita berpakaian coklat.
Wanita berpakaian coklat terperanjat mendapat serangan balasan yang tidak
disangka-sangkanya itu. Namun ia tak tampak kegugupan sedikit pun.
Buru-buru tubuhnya didoyongkan ke belakang
seraya menarik pulang kedua tangannya. Namun
hanya sampai pertengahan jalan, karena kemudian dengan kedudukan jari-jari tangan
mencakar,dipapaknya serangan lawan.
"Hih..!"
Prat! Prat.! Terdengar benturan keras ketika dua tangan
sama-sama dialiri tenaga dalam itu beradu.
Akibatnya, baik wanita berpakaian coklat maupun lawannya terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang.
Lelaki berpakaian hitam menggeram murka
karena menyadari dalam gebrakan pertama tadi
dia hampir celaka! Maka sambil berteriak nyaring, diterjangnya wanita berpakaian
coklat yang langsung menyambutinya. Sesaat kemudian,
kedua orang itu pun sudah terlibat dalam
pertarungan sengit. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Harimau Hitam yang bermata
picak sebelah kanan untuk meninggalkan tempat pertarungan.
Sebab dia yakin kalau kawannya akan mampu
menghadapi perempuan itu. Jurus demi jurus
saling mereka keluarkan untuk berusaha menjatuhkan lawan.Hingga pada satu ketika..,
"Hiaaa. .!"
Bukkk! "Hukh!"
Pekikan tertahan keluar dari mulut wanita
berpakaian coklat ketika pukulan Harimau Hitam telak dan keras sekali mendarat
di perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk lalu terhuyung-
huyung ke belakang. Wajahnya yang merah
padam dengan sepasang mata membelalak lebar
memperlihatkan betapa hebat rasa sakit yang
dideritanya. Namun lelaki berpakaian hitam itu tidak ber-
henti hanya sampai di situ. Diburunya tubuh
wanita berpakaian coklat yang masih terhuyung-huyung dengan cengkeraman ke arah
ubun-ubun. Mungkin kalau serangan itu mengenai sasaran,
nyawa wanita berpakaian coklat sulit untuk dapat diselamatkan.
Ketika keadaan benar-benar gawat mengancam
wanita berpakaian coklat,tiba-tiba.. .
Takkk! "Akhhh!"
Harimau Hitam memekik tertahan ketika
merasakan sekujur tangannya bagaikan lumpuh.
Tubuhnya pun terdorong ke samping dan
terhuyung-huyung,
bahkan hampir jatuh terjengkang, kalau dia tidak cepat-cepat menahannya. Dan begitu berhasil memperbaiki
kedudukan, Harimau Hitam yang mata kirinya
picak ini langsung mengarahkan pandangan ke
tempat wanita berpakaian coklat tadi berada.
Di hadapan wanita berpakaian coklat itu,
berdiri seorang pemuda berpakaian ungu. Rambutnya yang berwarna putih keperakan dan
panjang hingga ke punggung dibiarkan tergerai dipermainkan angin. Dan di bahu
pemuda berambut putih keperakan itu terpanggul sesosok tubuh berpakaian putih.
Harimau Hitam menggereng keras laksana
binatang buas terluka. Dia merasa geram bukan kepalang
melihat kegagalan mengirimkan serangan terakhir pada lawannya.
Walaupun tengah dilanda amarah yang
memuncak, Harimau Hitam bukan orang bodoh.
Dia tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa disamakan dengan wanita berpakaian coklat. Rasa sakit
pada tangannya akibat benturan yang terjadi telah memberikannya petunjuk, kalau tenaga pemuda
berambut putih keperakan itu amat kuat dan jauh berada di
atasnya! Oleh karena itu, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera dihunus senjatanya. Sebuah golok yang
ujungnya terbelah dua, membiaskan sinar yang
menyilaukan mata ketika keluar dari sarungnya.
Singngng! Bunyi mendesing yang cukup nyaring terdengar ketika Harimau Hitam membabatkan
goloknya ke leher pemuda berambut putih
keperakan secara mendatar. Serangan itu begitu cepat, sehingga yang terlihat
hanya sekelebatan sinar menyilaukan mata meluncur cepat ke arah lawannya.
Namun pemuda berambut putih keperakan itu
sama sekali tidak memberikan tanggapan. Karuan saja Harimau Hitam merasa heran
bercampur girang. Disangkanya pemuda itu bingung untuk
mengelakkan serangannya yang dilancarkan
secara cepat Namun kegembiraannya hanya berlangsung
sekejap, berganti dengan keterkejutan hebat.
Ketika goloknya yang menghantam leher pemuda
berambut putih keperakan membalik, bagaikan
menghantam benda kenyal. Bunyi berdetak
nyaring mengiringi benturan mata golok pada leher pemuda berambut keperakan.
Tangan Harimau Hitam bergetar, bahkan
telapak tangannya
dirasakan panas.
Harimau Hitam terbelalak kaget, melihat ke-
nyataan yang sama sekali tidak disangka-
sangkanya. Benarkah pemuda berambut putih
keperakan itu memiliki ilmu kebal, ataukah
memiliki tenaga dalam kuat sehingga kulitnya
tidak mampu ditembus goloknya. Rasanya
mustahil! Harimau Hitam tidak percaya!
Rasa tidak percaya membuat Harimau Hitam
memutuskan untuk melakukan serangan lagj.
Goloknya diputar-putar di depan dada sampai
lenyap bentuknya karena kecepatan putarnya.
Kemudian dengan di ringi teriakan melengking
nyaring, dikirimkan serangan berupa tusukan
bertubi-tubi ke arah ulu hati,dada,dan pusar.
Seperti juga sebelumnya, pemuda berambut
putih keperakan itu tak menunjukkan tanggapan apa pun. Dia tetap berdiam diri
dengan senyum tersungging di bibir. Akibatnya, ujung-ujung golok Harimau Hitam
mengenai sasaran yang dituju
secara tepat. Namun seperti tadi, lelaki berpakaian hitam itu tercengang dengan
mata terbelalak.
"Bagaimana?" tanya pemuda berambut putih keperakan ketika melihat Harimau Hitam
terpaku dengan golok di tangan, sehabis memperbaiki
kedudukannya yang terhuyung-huyung. "Masih penasaran" Silakan, pilih bagian yang
paling empuk!"
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Harimau Hitam menggeram keras. Kemudian
setelah mengeluarkan geraman keras, dibalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan
pemuda berambut putih keperakan itu. Rupanya dia
menyadari kalau lawan yang dihadapi terlalu kuat untuk dirinya!
Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengejar.
Dia hanya menatap kepergian lawannya hingga tubuh berpakaian hitam itu lenyap di
kejauhan. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menghadapi wanita berpakaian coklat yang
baru saja selesai member-sihkan matanya dari debu.
"Terima kasih atas pertolonganmu.."
"Arya Buana. Panggil saja Arya!" jabar pemuda beramput putih keperakan yang tahu
kalau wanita berpakaian coklat itu mengalami kesulitan untuk menyebutnya.
"Aku Nawangsuri. Tapi orang-orang biasa
memanggilku, Nawang," wanita berpakaian coklat itu pun memperkenalkan diri.
"Harap turunkan aku, Arya! Aku sudah lebih segar sekarang," selak sosok
berpakaian putih yang berada di bahu Arya Buana. Pemuda
berambut putih keperakan yang di kalangan
persilatan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak itu tersenyum. Kemudian segera
diturunkan sosok berpakaian putih yang dipanggul di pundaknya.
"Ayah..!" seru Nawangsuri. Matanya terbelalak tidak percaya ketika melihat sosok
bepakaian putih yang kini telah berdiri di depannya.
"Nawang..!"
Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang
lelaki tua berambut putih, ikut berseru pula seraya mengembangkan tangan
menyambut uluran
tangan Nawangsuri. Sesaat kemudian ayah dan
anak itu saling berpelukan erat.
"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Nawangsuri seraya melepaskan pelukannya. "Dan
mengapa Ayah terluka?"
"Ceritanya cukup panjang, Nawang," jawab lelaki tua berambut putih itu sambil
menghela napas berat "Kalau saja tidak ada Nak Arya ini, mungkin aku telah tidak ada di
dunia lagi sekarang."
Kakek berambut putih itu menghela napas
berat lagi sebelum melanjutkan ucapannya.
Sementara Nawangsuri menunggu kelanjutannya
dengan sabar. Ayah dan anak seakan lupa akan
kehadiran Dewa Arak di situ.
"Begitu suratmu kuterima, aku langsung
berangkat untuk menjumpaimu. Tapi rupanya, hal yang sangat kau rahasiakan itu
telah tercium oleh tokoh-tokoh persilatan. Maka, mereka secara
diam-diam menguntit kepergianku. Sayang, aku
tidak mengetahuinya. Dan baru setelah berada di kaki gunung ini, secara
kebetulan aku melihat beberapa
sosok bayangan. Karena curiga, perjalanan tidak kulanjutkan. Hal itu rupanya diketahui oleh para penguntitku,
sehingga mereka tidak sabar lagi dan
memaksaku dengan
kekerasan untuk memberitahukan ke mana aku
akan pergi. Dan karena aku tidak mau
mengatakan,pertarungan pun terjadi."
Sampai di sini kakek berambut putih itu
menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak
yang sengaja membiarkan kedua ayah dan anak
itu saling melepaskan rindu jadi termenung
sendiri. Dia teringat akan pengalaman yang
membuatnya berjumpa dengan lelaki tua itu dan menolongnya.
*** Siang itu udara sangat panas. Mentari bersinar terik seakan hendak membakar
permukaan bumi.
Angin yang berhembus pun terasa kurang
nyaman Arya yang tengah melakukan perjalanan
pengembaraan menyempatkan diri beristirahat di tepi sungai. Tubuhnya disandarkan
pada sebatang pohon, duduk menghadap ke sungai. Tangannya
memegang ranting kecil dicelupkan ke air sungai.
Tentu saja Arya tidak memancing secara biasa.
Pemuda berpakaian ungu ini mengerahkan tenaga dalam untuk menarik ikan agar
dapat menempel di ujung ranting yang dipegangnya. Sebuah hal yang tidak sulit bagi seorang
pendekar sakti seperti Dewa
Arak, yang memiliki
tenaga dalam sempurna. Sesaat kemudian, tampak Arya telah menarik
rantingnya yang dicelupkan ke dalam air. Dan, di ujung ranting itu tampak
bertengger beberapa ekor ikan! Dengan senyum ceria, Arya melemparkannya ke
darat,hinggaikan-ikan itu menggelepar-gelepar.
Arya membuang pancing istimewanya, dan
bermaksud menangkap ikan-ikan yang sedang
menggelepar-gelepar itu. Tapi, gerakan tangannya terhenti
dan sepasang matanya menatap membelalak ke sebelah kanannya! Keterkejutan
tampak jelas pada wajah dan sorot matanya.
Untuk pertama kalinya, Dewa Arak yang pandai
menyimpan perasaan tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya!
Berjarak dua tombak di sebelah kanannya,
tengah duduk seorang kakek yang sudah amat
tua. Tubuhnya yang kurus kering dan keriput,
terbungkus pakaian abu-abu. Rambut di kepalanya serta kumis dan jenggotnya yang
panjang telah memutih. Bahkan bulu-bulu hidung yang tampak menerobos keluar juga
berwarna putih. Seperti juga Arya, kakek ini tengah
memancing! Sikapnya tidak peduli, seakan-akan tidak tahu kalau keberadaannya
menyebabkan Arya kaget bukan kepalang.
Dewa Arak tentu saja terkejut bukan kepalang.
Tadi, dia yakin benar kalau di tempat itu hanya ada dirinya, tidak ada orang
lain lagi. Namun, mengapa kakek berpakaian abu-abu ini bisa
berada di situ tanpa diketahuinya. Dari sini saja Arya dapat memperkirakan
ketinggian ilmu kakek itu. Setidak-tidaknya kehebatan ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga keberadaannya di tempat itu tidak terdengar. Padahal, Arya mempunyai
pendengaran yang sangat tajam! Tanpa dapat
mencegah lagi, Arya merasakan jantung di
dadanya berdebar tegang.
*** 2 Menyadari kalau kakek berpakaian abu-abu
itu bukan orang sembarangan, Dewa Arak tidak
berani bertindak gegabah. Dirinya tidak ingin melakukan tindakan yang
menyebabkan terjadi
bentrokan antara mereka. Maka dia pun berpura-pura tak melihat keberadaan kakek
berpakaian abu-abu. Lalu segera memunguti ikan-ikan yang berhasil didapatnya.
"Sayang sekali..! Dunia persilatan sedang goncang dan kacau , tapi seorang
pendekar muda bersenang-senang memuaskan perut dan bersikap tidak peduli.Hhh. .
sungguh memprihatinkan!"
Suasana di sekitar tempat itu hening, tak heran kalau ucapan yang meskipun tidak
keras itu, terdengar nyaring dan jelas tertangkaptelinga Arya.
Untuk kedua kalinya , tangan pemuda berambut putih keperakan itu terhenti.
Sebagai seorang pendekar yang meskipun masih muda namun
memiliki pengalaman cukup banyak, Arya tahu
kalau ucapan itu ditujukan
pada dirinya. Meskipun asal suara itu tidak jelas, dirinya berani bertaruh kalau kakek
berpakaian abu-abu itulah yang mengucapkannya. Sebab, hanya mereka
berdualah yang berada di tempat itu.
Yakin akan kebenaran dugaannya membuat
Arya semakin menyadari kehebatan kakek berpakaian abu-abu itu. Suara yang terdengar
tanpa dapat diketahui asalnya, dan seperti berasal dari delapan penjuru itu
telah membuatnya benar-benar yakin akan ketinggian ilmu yang dimiliki si kakek
berpakaian abu-abu.
Meskipun tahu kalau sindiran itu ditujukan
padanya, Arya tidak merasa tersinggung sama
sekali. Dilepaskan ikan-ikan yang baru digenggamnya, lalu dilayangkan pandangan ke
arah kakek berpakaian abu-abu, dia berharap
kakek itu akan menoleh kepadanya dan menjelaskan maksud ucapan tadi.
Namun, keinginan Dewa Arak tidak terkabul.
Kakek berpakaian abu-abu itu tidak menoleh
sama sekali, tetap sibuk dengan rantingnya yang dicelupkan ke dalam air sungai.
Kenyataan itu membuat Arya agak ragu, benarkah kakek
berpakaian abu-abu yang mengucapkan perkataan yang jelas-jelas ditujukan padanya"
Untuk sesaat pemuda berambut putih keperakan itu itu tercenung di tempatnya. Namun, rasa penasaran yang kuat
memaksanya untuk
mengayunkan kaki menghampiri kakek berpakaian abu-abu yang tetap tidak menunjukkan tanggapan apa pun. Seakan-akan
dia tidak tahu kalau Dewa Arak tengah
kebingungan dan penasaran.
"Maaf.. , mengganggu sebentar, Kek," ucap Arya sopan, setelah berada di dekat
kakek itu. Si kakek berpakaian abu-abu tetap tidak menoleh, seakan tak
mengetahui kehadirannya. "Apakah kau yang telah mengucapkan kata-kata tadi,Kek?"
"Kalau benar mengapa, Anak Muda?" tanya kakek berpakaian abu-abu tanpa
mengalihkan pandangan dari rantingnya.
'Tidak apa-apa, Kek," jawab Arya cepat "Maaf, aku merasa berterima kasih sekali
mendapat pemberitahuan itu, apalagi jika Kakek bersedia memberikan penjelasan ucapanmu
itu." "Ha ha ha. .!"
Mendadak kakek berpakaian abu-abu itu ter-
tawa tergelak sambil menoleh ke arah pemuda di sampingnya. Dewa Arak seketika
terbelalak kaget, karena mengenal siapa adanya kakek ini.
"Kiranya kau, Kek..! Kau. ., kau. . Ki Jaran Sangkar! Ah, sampai hati kau
mempermainkanku, Kek" seru Arya agak terputus-putus karena kaget
"Ha ha ha. .!"
Kakek berpakaian abu-abu yang ternyata Jaran
Sangkar, tertawa terbahak-bahak dengan tarikan wajah menyiratkan kegembiraan.
Seperti juga Arya,dia merasa gembira dengan pertemuan ini.
"Kau masih tetap seperti dulu, Arya. Sabar dan tidak mudah terpancing amarah."
"Kau bisa saja, Ki," jawabArya agak malu-malu.
Sekarang pemuda berambut putih keperakan
itu tidak merasa penasaran sama sekali dengan kejadian-kejadian menakjubkan yang
dialaminya barusan. Dirinya tahu kalau Jaran Sangkar
memiliki kepandaian sukar untuk diukur. Untuk mengetahui lebih jelas tentang
Jaran Sangkar, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
"Kembalinya Raja Tengkorak."
"Oh, iya, Ki. Bisa kau jelaskan maksud ucapanmu tadi?" pinta Arya setelah
beberapa saat lamanya terlibat percakapan dengan si kakek sakti itu.
"Aku pun hanya mengetahui secara kebetulan saja, Arya," jawab Jaran Sangkar
dengan raut wajah sungguh-sungguh. "Dunia persilatan akan terancam bahaya besar,
apabila anak ajaib ini terjatuh ke tangan tokoh golongan hitam."
"Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi, Ki?" tanya Arya penasaran. Karena apabila
seorang tokoh sakti seperti Jaran Sangkar sampai khawatir, bisa dipastikan masalah itu bukan
main-main. "Seorang tokoh sakti golongan putih yang sekarang telah menjadi kakek-kakek dan
berjuluk Prajurit Kerajaan Dewa, mendapat surat dari
anaknya. Isi surat itu menceritakan bahwa anak wanita satu-satunya telah
melahirkan seorang
bocah ajaib. Sejak bocah ajaib masih bayi, anak Prajurit
Kerajaan Dewa itu, beserta sang Suami terpaksa membawanya
kabur, meninggalkan tempat kediamannya. Mereka mengasingkan diri di
tempat yang tersembunyi selama bertahun-tahun.
Anak Prajurit Kerajaan Dewa baru mengirim surat ketika bayinya telah berusia
sepuluh tahun. Tapi sayang, entah bagaimana, isi surat itu bocor dan Prajurit
Kerajaan Dewa dikuntit tokoh-tokoh
persilatan. Mereka bermaksud mengambil bocah
ajaib itu secara paksa dari ibunya. Asal kau tahu saja, Arya, meskipun masih
bocah, kepandaiannya luar biasa!"
Jaran Sangkar menghentikan ucapannya seje-
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nak untuk mengambil napas dan membasahi
tenggorokannya.
Arya, meskipun merasa penasaran dan tertarik untuk segera mendengarkan kelanjutan cerita itu, terpaksa
menunggu dengan sabar.
"Meskipun aku tahu kepandaian Prajurit Kerajaan Dewa amat tinggi, tapi aku yakin
dia tidak akan sanggup menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang menginginkan
cucunya. Dan bila bocah itu sampai jatuh ke tangan tokoh golongan hitam, berarti
bencana bakal datang bagi dunia persilatan..
Aku yakin, tak akan ada seorang tokoh pun yang sanggup menentang angkara murka
bocah ajaib itu!" "Kalau begitu, biar aku menyediakan tenagaku yang tidak seberapa ini untuk
mencegah terjadinya bencana mengerikan itu, Ki!" ujar Arya menawar-kan diri.
"Memang demikian seharusnya, Arya! Seka-
rang,pergilah kau ke Gunung Pangrango!"
Setelah berkata demikian, Jaran Sangkar lalu
bersiul. Suaranya keras bukan kepalang, membuat Arya terpaksa mengerahkan tenaga
dalam karena merasakan dadanya tergetar hebat.
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu merasa heran melihat tindakan yang
dilakukan Jaran Sangkar. Namun keheranan Arya berganti keterkejutan
ketika mendengar bunyi kelepak sayap burung besar. Dilihatnya seekor burung
garuda berwarna kuning keemasan menukik turun sambil memekik
nyaring melengking. Daun-daun pohon bergetar
hebat oleh kekuatan kepak sayap burung yang
dalam sekejap saja telah hinggap di depan Jaran Sangkar.
"Angkasa, bawa kawanku ini ke Gunung
Pangrango! Patuhi perintahnya," ucap Jaran Sangkar seperti berbicara pada
manusia. "Dan ingat, setelah Itu kau harus kembali lagi kemari.
Mengerti?"
Burung garuda emas yang tingginya hampir
menyamai Arya itu mengeluarkan bunyi seakan-akan mengiyakan. Jaran Sangkar pun
mempersila- kan Dewa Arak naik di pungung burung raksasa
itu. Dewa Arak bimbang. Namun karena dirinya
percaya penuh pada Jaran Sangkar, lagi pula
perjalanan menuju Gunung Pangrango amat jauh, segera memberanikan diri menaiki
punggung Angkasa, si Burung Raksasa itu. Sesaat kemudian, burung garuda emas itu terbang
membawa tubuh Arya serta menuju tempat tujuan yang bila
ditempuh dengan ilmu lari cepat memakan waktu berhari-hari.
*** Pada saat yang bersamaan dengan terbangnya
garuda emas, kakek berambut putih yang tidak
lain Prajurit Kerajaan Dewa, mulai melihat adanya sosok-sosok bayangan yang
menguntitnya. Kini dia berada di kaki Gunung Pangrango. Kakek berambut putih itu
pun menghentikan perjalanannya.
"Keluar kau, Pengecut Hina!" seru Prajurit Kerajaan Dewa dengan lantang. Matanya
mengawasi ke sekelilingnya, yang berupa hamparan padang rumput di luar hutan.
"Ha ha ha. .!"
Suara-suara tawa yang keras dan tidak sedap
didengar telinga langsung menyambuti seruan Prajurit Kerajaan Dewa. Menilik dari
banyaknya tawa, bisa diketahui kalau pemiliknya tidak hanya satu orang. Ternyata
benar. Sesaat kemudian sebelum suara tawa itu lenyap, berkelebat sesosok
bayangan yang langsung berdiri di depan Prajurit Kerajaan Dewa.
'Tak kusangka! Semakin tua, mata dan telinga-
mu semakin tajam saja, Prajurit!" seru sosok yang baru datang itu dengan senyum
sinis terkembang di wajahnya.
Sosok yang berdiri di hadapan Prajurit
Kerajaan Dewa terlihat aneh. Sesosok tubuh
manusia bertubuh dan kepala dua. Namun kedua
sosok itu berdiri dengan sepasang kaki. Secara jelasnya sosok itu adalah dua
orang. Namun sosok yang satu lagi berdiri atau lebih tepatnya lagi bertengger di
leher sosok yang lain, karena sosok itu tidak mempunyai batang kaki lagi. Kedua
kakinya putus, sampai ke pangkal paha.
Usia sosok yang tidak mempunyai kaki itu sulit untuk diterka, tapi yang jelas
tak kurang dari lima puluh tahun. Wajahnya bersih tanpa terhias bulu.
Sebuah topi bundar yang bertengger di atas kepala membuat wajahnya sulit untuk
dikenali. Sosok yang satu lagi, walaupun memiliki sepa-
sang kaki lengkap, tidak lebih beruntung dari rekannya, karena sepasang matanya
buta. Dengan memanggul si buntung dia pun memperoleh
keuntungan dari jerih payahnya itu. Dengan
sepasang mata si buntung, dia tidak akan
mengalami kesukaran untuk berjalan. Kedua
sosok ini bisa saling menutupi kekurangan
masing-masing. Bagi orang awam mungkin melihat kedua
orang ini akan menimbulkan rasa iba. Namun
tidak demikian halnya bagi tokoh-tokoh persilatan.
Justru kedua sosok cacat ini ditakuti karena
kepandaian dan kekejamannya.
Lelaki yang berkaki buntung itu terkenal sebagai seorang bajak laut yang merajai
berbagai sungai, menyebar kejahatan. Kejahatannya semakin merajalela setelah sepasang kakinya
dibuntungi oleh seorang pendekar yang berusaha mencegah keangkaramurkaannya. Hal
yang sama pun menimpa kawannya. Pendekar yang melakukan hal itu tak lain Prajurit Kerajaan Dewa, belasan bahkan mungkin
puluhan tahun lalu.
Itulah sebabnya kedua tokoh hitam yang
sebenarnya mempunyai julukan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti
mengenal Prajurit Kerajaan Dewa.
Berbeda dengan kedua tokoh hitam itu yang langsung
mengenali musuh bebuyutannya, Prajurit Kerajaan Dewa tidak demikian. Dia tertegun
sesaat, memperhatikan kedua sosok ganjil itu.
"Ah, kiranya kalian, Iblis-iblis Haus Darah! Apakah peristiwa belasan tahun lalu
belum membuat kalian kapok" Apakah kedatangan kalian kemari, mencegat
perjalananku untuk balas dendam"!"
"Kau salah duga, Prajurit!" sahut lelaki berkaki buntung yang berjuluk Nelayan
Pemancing Nyawa.
"Kami tidak bermaksud membalas dendam padamu! Bukankah demikian,Petani"!"
Lelaki bermata buta yang berjuluk Petani Berja-ri Sakti,menganggukkan kepala.
"Apa yang dikatakan Nelayan Pemancing Nya-wa tidak salah, Prajurit Kerajaan
Dewa! Kami tidak bermaksud membalas dendam atas perlakuanmu
belasan tahun lalu. Kalau kami mau tentu saja telah kami lakukan ketika kami
melihatmu meninggalkan tempat kediaman beberapa hari
yang lalu!"
Prajurit Kerajaan Dewa bukan orang bodoh. Dia takkan begitu saja menelan mentah-
mentah ucapan tokoh-tokoh golongan hitam yang telah ter-biasa bertindak licik
itu. Prajurit Kerajaan Dewa tidak percaya dua tokoh sesat itu akan membiarkan
begitu, saja persoalan mereka. Pasti ada alasan lain.Dan dia bisa memperkirakan
alasan itu. "Tidak usah berpura-pura baik hati, Nelayan Pemancing Nyawa, Petani Berjari
Sakti!" tukas Prajurit Kerajaan Dewa, tegas. "Aku tahu, orang-orang macam apa
kalian! Jadi tak ada gunanya berbohong, lebih baik katakan maksud kalian yang
sebenarnya..!"
"Ha ha ha..!" Nelayan Pemancing Nyawa tertawa bergelak untuk menenangkan hatinya
karena Prajurit Kerajaan Dewa dapat menebak maksud
mereka. "Memang lebih baik berterus terang terhadap orang seperti dirimu,
Prajurit! Ketahuilah, kami bersedia tidak memperpanjang persoalan
lama apabila kau bersedia menunjukkan di mana putrimu!"
"Sudah kuduga maksud kalian ke sana!" sahut Prajurit Kerajaan Dewa. "Tapi jangan
harap aku akan membentahukannya! Aku, Prajurit Kerajaan Dewa, bukan orang yang
takut mati! Tak akan ku-beritahukan di mana putriku berada meskipun
untuk itu nyawaku harus melayang! Majulah
kalian,Manusia-manusia Busuk!"
"Keparat! Kau mencari mati, Prajurit! Rupanya kau merasa bangga karena dapat
mengalahkanku dulu! Tapi, sekarang jangan harap kemenanganmu akan terulang! Kau akan menjadi
mayat tanpa kubur di sini! Hih!"
Srrr! Prajurit Kerajaan Dewa segera merendahkan
rubuhnya ketika senjata Nelayan Pemancing
Nyawa meluncur ke arah kepalanya. Senjata lelaki berkaki buntung yang ternyata
sebatang pancing, lengkap dengan tali, dan mata kailnya hampir saja mengenai
pelipis. Untung lelaki tua itu bertindak cepat. Prajurit Kerajaan Dewa tahu
apabila mata kail berhasil mendarat pada sasaran, nyawanya akan melayang ke alam
baka. Namun belum juga Prajurit Kerajaan Dewa
sempat berbuat sesuatu, Petani Berjari Sakti telah melancarkan tendangan kaki
kanan. Semula yang dituju adalah perut atau dada, tapi karena Prajurit Kerajaan
Dewa, tengah merendahkan tubuh, serangan itu cepat beralih ke kepala.
Prajurit Kerajaan Dewa terkejut bukan kepa-
lang, tapi sedikit pun tak ada rasa gugup. Dilempar tubuhnya ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menjauhkan diri. Sehingga
serangan Petani Berjari Sakti hanya mengenai
tempat kosong. Petani Berjari Sakti dan Nelayan Pemancing
Nyawa tidak hanya bertindak sampai di situ.
Ketika Prajurit Kerajaan Dewa melompat jauh ke belakang,
mereka berdua memburunya. Kemudian kedua tokoh sesat itu melancarkan
serangan bertubi-tubi yang membuat Prajurit
Kerajaan Dewa tidak bisa tinggal diam. Pertarungan sengit pun berlangsung.
31 Dalam gebrakan-gebrakan pertama, hanya Ne-
layan Pemancing Nyawa yang mempergunakan
senjata. Namun seterusnya baik Petani Berjari Sakti
maupun Prajurit Kerajaan Dewa mengeluarkan senjata masing-masing. Lelaki
bermata buta itu mempergunakan senjata khas
petani, cangkul bergagang melengkung. Senjata yang menggiriskan hati karena
Prajurit Kerajaan Dewa
diumpamakan tanah yang akan dicangkulnya. Sementara Prajurit Kerajaan Dewa seperti juga kedua lawannya memiliki senjata
khas prajurit kerajaan. Sebuah golok dilengkapi dengan sebuah perisai baja
berbentuk bundar dan dipegang di tangan kiri. Lengan kiri dimasukkan di tali
belakang perisainya.
Prajurit Kerajaan Dewa ternyata masih mampu
menunjukkan kelihaiannya. Meskipun cangkul Petani Berjari Sakti berkelebat ke
sana kemari memburu sasaran, lelaki tua berjubah putih itu masih mampu mengatasi
lawannya. Dengan senjata
berupa cangkul itu tampaknya Petani Berjari Sakti tak mampu menembus pertahanan
lawan . Ke mana saja cangkulnya menyambar, perisai lawan telah siap menangkis
dan dengan kuatnya
melindungi tubuh Prajurit Kerajaan Dewa. Sialnya lagi, sekali perisai itu
menangkis cangkul , selalu dibarengi dengan sabetan golok yang tiba-tiba dan tak
terduga. Hal inilah yang menyebabkan Petani Berjari Sakti mati kutu.
Untung saja ada Nelayan Pemancing Nyawa.
Lelaki berkaki buntung itu terus berusaha menyelamatkan
kawannya dengan melancarkan serangan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa
terpaksa harus membatalkan serangannya. Serangan pancing Nelayan Pemancing Nyawa
benar-benar luar biasa. Senjatanya yang lentur bila sudah dialiri tenaga dalam,
tidak begitu saja dapat ditangkis dengan perisai sebab arah serangannya sulit
untuk diduga. Kalau saja kedua lawannya maju satu persatu,
tentu Prajurit
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kerayaan Dewa sanggup menghadapi dengan senjata khasnya. Meskipun di dalam hati dia mengakui tingkat
kepandaian kedua lawannya kini telah mengalami banyak
perkembangan. Dua lawan untuk dihadapinya
secara bersamaan terlalu berat. Apalagi masing-masing memiliki kemampuan
istimewa dan senjata unik. Itu pun masih ditambah lagi dengan kerja sama yang kompak, saling
melindungi dan memperkuat serangan. Perlahan tapi pasti Prajurit Kerajaan Dewa
berhasil didesak. Pancing di tangan Nelayan Pemancing Nyawalah yang membuatnya
kerepotan. Semakin lama kedudukan Prajurit Kerajaan
Dewa semakin mengkhawatirkan. Pada saat
memasuki jurus kelima puluh serangan-serangan yang dilancarkan hampir tidak ada
lagi. Dia hanya mampu bergerak kesana kemari mengelak sambil
menangkis serangan gencar lawan. Lelaki tua
berjubah putih itu terus terdesak mundur. Hingga satu ketika..,
"Hiaaa. .!"
Prattt! "Akh..!"
Prajurit Kerajaan Dewa terpekik kaget ketika
mata kail yang cukup besar merobek tengkuknya.
Seketika darah mengalir keluar dari bagian yang terluka. Kakek berpakaian putih
ini tidak sempat mengelak atau menangkis serangan, karena
tubuhnya dalam keadaan terhuyung-huyung,
setelah memapak cangkul Petani Berjari Sakti.
Selain itu, dia pun baru saja mengelak dari
babatan gagang pancing yang berkelebat cepat.
Namun senjata Nelayan Pemancing Nyawa itu
memang luar biasa karena dapat melancarkan
serangan ganda. Batang pancing dan mata kailnya menyambar dari arah yang berbeda
dan sasaran yang dituju pun berbeda - beda juga.
*** 3 Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berian
Sakti tampaknya tak ingin memberi kesempatan
pada lawannya untuk memperbaiki kedudukan.
Keduanya tidak ingat lagi akan maksud semula
untuk memaksa Prajurit Kerajaan Dewa memberitahukan tempat putrinya berada. Yang
ada di benak mereka itu hanya ingin melenyapkan nyawa lawannya.
Bahkan karena begitu tak sabar, Nelayan
Pemancing Nyawa melompat dari pundak rekannya. Tubuhnya memburu Prajurit Kerajaan
Dewa dengan pukulan telapak tangan ke dada
lawan. Pada saat yang bersamaan, Petani Berjari Sakti pun mengayunkan cangkulnya ke
arah pinggang kanan. Apabila kedua serangan ini mengenai
sasaran, tak ampun lagi bagi lelaki tua berjubah putih itu.Nyawanya pasti akan
melayang seketika.
Meskipun tengah berada dalam keadaan
mengkhawatirkan. Prajurit Kerajaan Dewa masih mampu mempertunjukkan kalau
dirinya seorang
tokoh persilatan yang punya nama besar. Dalam keadaan
terhuyung-huyung itu, dia
masih sanggup mengavunkan perisainya untuk memapak sambaran cangkul.
Klangngng! Kedudukan yang tidak menguntungkan,ditam-
bah lagi dengan tenaganya yang telah terkuras, membuat
tubuh Prajurit Kerajaan Dewa terhuyung-huyung ke samping. Bahkan akibat
benturan keras itu perisainya terlepas dari
pegangan. Namun justru akibat benturan itu, Prajurit Kerajaan Dewa selamat dari
marabahaya. Hantaman telapak tangan Nelayan Pemancing Nyawa tidak
mengenai sasaran yang dituju, melainkan bahu
kiri! Sungguh pun begitu, cukup untuk membuat tubuh Prajurit Kerajaan Dewa
terjengkang ke belakang dengan menyemburkan darah dari
mulutnya. Sementara, Nelayan Pemancing Nyawa setelah
berhasil memasukkan serangan langsung melompat kembali ke belakang leher Petani Berjari Sakti.
Dengan sorot mata penuh perasaan menang
Nelayan Pemancing Nyawa menatap Prajurit Kerajaan Dewa yang tergolek di
tanah,tidak berdaya.
"Sekarang terimalah kematianmu, Prajurit!" se-ru Nelayan Pemancing Nyawa dengan
suara bergetar karena amarah yang meluap. Sedangkan
Petani Berjari Sakti hanya menganggukkan kepala, pertanda membenarkan ucapan
rekannya. "Hih!"
Seperti telah disepakati sebelumnya, Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti secara serentak melancarkan serangan.
Nelayan Pemancing Nyawa menggerakkan senjata uniknya,
sehingga tali pancingnya membelit batang pancing.
Dengan gerakan cepat batang pancing itu ditusukkan ke arah mata Prajurit
Kerajaan Dewa. Sedangkan Petani Berjari Sakti mengayunkan
cangkulnya ke arah paha Prajurit Kerajaan Dewa.
Rupanya, kedua tokoh hitam ini telah bersepakat untuk membalas sakit hati mereka
belasan tahun lalu. Gempuran demi gempuran terus dilancarkan ke tubuh lelaki tua
berpakaian putih itu, tanpa dapat dicegah sedikit pun. Meskipun Prajurit
Kerajaan Dewa tetap berupaya mengelak dan
menangkis, tak urung serangan gencar itu berkali-kali mendarat di tubuhnya.
Darah pun terus
mengalir dari tengkuk, dada, perut yang terluka oleh senjata kedua lengannya.
Prajurit Kerajaan Dewa semakin parah karena
sudah tidak mampu untuk menggelakkan atau
menangkis serangan itu. Keadaan tubuhnya
benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Luka parah yang diderita, serta tenaganya
yang telah terkuras habis membuat orang tua itu tak mampu berbuat banyak guna
menghentikan tindakan kedua tokoh hitam yang menjadi musuh bebuyutannya.
Di saat-saat marabahaya akan menimpa Praju-
rit Kerajaan Dewa, mendadak terdengar pekikan melengking nyaring yang
dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti kaget.
Sejenak kedua tokoh hitam itu menggigil menahan kekuatan suara dahsyat yang
belum ketahuan dari mana asalnya. Dengan sendirinya serangan terhadap Prajurit Kerajaan Dewa
pun terhenti. Keduanya merasakan tenaga dalam yang mereka
kerahkan tiba-tiba lenyapseketika.
Hal itu pun tak luput dialami oleh Prajurit Kerajaan Dewa yang sudah parah.
Namun Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti sama-sama tokoh hitam yang sangat tangguh. Keduanya tampak
mengerahkan seluruh
kemampuan tenaga dalam, mengusir kekuatan
aneh yang mengungkung tubuh mereka. Namun
sayang, sebelum keduanya sempat berbuat
sesuatu, dari atas meluncur dua rentetan angin pukulan dahsyat ke arah mereka.
Angin pukulan yang mengandung hawa panas menyengat
menandakan kalau pemiliknya memiliki tenaga
dalam berhawa panas yang sangat kuat.
Kedua tokoh hitam berkaki buntung dan mata
buta itu tampaknya menyadari ada bahaya
mengancam jiwa mereka. Dengan cepat keduanya
melompat menghindari serangan dahsyat itu.
Seketika terdengar ledakan menggelegar. Debu
mengepul tinggi ke udara disertai
dengan berpentalannya bongkah-bongkahan tanah ke
udara,menutupi pandangan.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti merasa geram bukan kepalang dengan ada-
nya gangguan ini. Mereka tahu ada orang sakti yang telah menolong calon korban.
Kehebatan tokoh yang jelas di atas Prajurit Kerajaan Dewa bisa mereka rasakan dari
dahsyatnya pukulan
jarak jauh yang tertuju pada mereka.
Walaupun demikian, Nelayan Pemancing Nya-
wa dan Petani Benari Sakti tampaknya tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan
keduanya bertekad untuk menyingkirkan perintang itu sekaligus. Dan karena rasa
tidak sabar untuk melaksanakan
maksud itu, keduanya segera mengerahkan tenaga dalam
guna mengusir debu tebal yang menghalangi pandangan mata mereka. Sehingga
sesaat kemudian suasana telah kembali seperti sediakala.
*** Ketika debu telah terusir, tampak berdiri tegap di hadapan mereka seorang pemuda
berambut putih keperakan, yang tak lain Dewa Arak. Namun kedua tokoh hitam itu
kaget ketika mereka tak melihat Prajurit Kerajaan Dewa. Rupanya ketika keadaan
tempat itu diliputi debu tebal, Dewa Arak dengan cepat menyingkirkannya ke
tempat yang aman. "Hai..! Siapa kau, Monyet Kecil"! Sungguh berani kau mencampuri urusanku?" geram
Nelayan Pemancing Nyawa penuh kemarahan. Sedangkan
Petani Benari Sakti, yang tidak bisa melihat hanya berdiri
dengan tarikan wajah menyiratkan kebingungan. "Arya.., namaku Arya Buana. Dan orang yang hendak kalian bunuh itu adalah
kawanku. Itulah sebabnya aku terpaksa ikut campur," jawab Dewa Arak.
"Kalau begitu, nyawamu lebih dulu yang akan kukirim ke akherat!"
Sambil mengucapkan ancaman begitu, lelaki
berkaki buntung itu telah mengayunkan senjata uniknya. Mata kailnya meluncur
cepat menjadi sinar kehitaman yang menyambar ke arah leher
Dewa Arak. Sedangkan
batang pancingnya
berkelebat cepat menusuk ke ulu hati. Dua buah serangan maut!
Sementara itu Petani Berjari Sakti yang tadi
hanya mendengar percakapan rekannya langsung
melancarkan serangan pula. Lelaki buta ini
melancarkan serangan dengan tusukan dua jari
tangan kanan dan kirinya. Tentu saja karena
jaraknya yang cukup jauh, jari-jari Petani Berjari Sakti tidak akan menyentuh
sasaran, tapi ternyata di sini keistimewaan lelaki buta itu. Tidak percuma
mendapat julukan Petani Berjari Sakti, karena angin serangannya pun sudah cukup
berbahaya! Angin serangan jari-jarinya tak kalah dengan
tusukan senjata tajam! Mampu melubangi sasaran dari jarak jauh!
Serangan yang dilancarkan kedua tokoh hitam
itu ternyata sangat dahsyat. Namun bagi Dewa
Arak hal itu tentu saja dianggap biasa. Pemuda berambut putih keperakan itu
seolah-olah tak
mempedulikan serangan Petani Berjari Sakti.
Serangan itu dibiarkan saja. Yang dihadapinya hanya serangan Nelayan Pemancing
Nyawa. Itu pun dengan cara yang luar biasa.
Serangan mata kail yang melesat ke leher dari arah kanan, dikandaskan dengan
kibasan tangan kirinya yang menimbulkan hembusan angin kuat.
Mata kail pun terhempas ke arah lain. Sedangkan tusukan batang pancing dielakkan
hanya dengan meliukkan tubuh ke kanan tanpa menggeser kaki.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keduanya tak menduga
kalau pemuda itu akan demikian mudah mematahkan serangan-serangan mereka.
Namun yang lebih kebingungan lagi Petani Ber-
jari Sakti. Meskipun matanya tidak dapat melihat, tapi dengan pendengarannya
yang tajam, dapat
mengetahui kalau lawan tidak mengelak. Dan
serangan yang diakukan diketahui mengenai
sasaran. Namun tidak ada akibat lanjutan yang didengar selain bunyi angin
tusukan jari-jarinya merobek baju lawannya. Ternyata benar, hasil
yang didapat pendengaran Petani Berjari Sakti sesuai dengan kenyataannya.
Kegagalan serangan yang dilakukan, tak mem-
buat Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti
kapok. Bahkan sebaliknya serangan-
serangan lanjutan yang jauh lebih dahsyat segera dilancarkan. Hal itu terjadi
karena rasa penasaran dan amarah yang menggelegak.
Terjangan-terjangan dua tokoh hitam itu
disambut secara hangat oleh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak
hanya mengelak dan menangkis, tapi juga balas
menyerang sehingga pertarungan pun
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlangsung. Pertarungan kini berjalan jauh lebih seru dan menarik daripada
ketika bertarung
dengan Prajurit Kerajaan Dewa.
Seperti juga Prajurit Kerajaan Dewa, Arya pun mengalami sedikit kesulitan dalam
menghadapi kedua lawannya yang bergabung dan bekerja
sama secara aneh ini. Mereka bisa saling mengisi, saling menguatkan serangan,
dan memperkokoh
pertahanan. Hingga pertarungan telah berjalan selama dua puluh jurus, Dewa Arak
tetap belum mampu mengatasi kehebatan serangan kedua
lawannya. Padahal dirinya telah mengeluarkan
ilmu-ilmu andalan yang diwarisi dari almarhum ayahnya, Pendekar Ruyung Maut,
yaitu ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu
'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:"Pedang Bintang").
Keadaan seperti itu pun tampaknya dialami pi-
hak Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti. Mereka tak mampu menekan
pertahanan lawan. Kedua belah pihak sama-sama mengalami
kesulitan untuk mengungguli dan menggempur
pertahanan lawan. Pertarungan itu pun berlangsung seimbang dan kian seru.
"Hey..!"
Dewa Arak berseru kaget ketika melihat ada
sesosok tubuh berpakain merah tiba-tiba melesat mendekati tempat Prajurit
Kerajaan Dewa berada.
Dewa Arak langsung bisa memperkirakan hal
yang akan terjadi. Sosok berpakaian merah itu hendak mengail
di air keruh, mengambil
keuntungan di saat kedua belah pihak yang
tengah memperebutkan Prajurit Kerajaan Dewa,
sibuk saling serang. Oleh karena itu, Dewa Arak tidak
berani bertindak lambat Sambil menjatuhkan tubuh ke tanah untuk menyelamatkan diri dari serangan kedua lawannya, dikirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kiri ke arah sosok
berpakaian merah.
Apabila sosok berpakaian merah itu meneruskan maksudnya tentu akan terhantam
pukulan jarak jauh Dewa Arak.
Jalan untuk lolos dari serangan pemuda
berbaju ungu itu hanya mengurungkan maksud
dengan melompat menghindarinya.
Namun dugaan Dewa Arak ternyata meleset. Sosok
berpakaian merah itu memang tak meneruskan
maksudnya, namun dengan cepat dikibaskan
tangan kirinya menangkis serangan jarak jauh
Dewa Arak,Hingga..
Glarrr! Ledakan keras seperti halilintar menyambar
terdengar, ketika dua buah angin pukulan itu
berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, baik Dewa Arak maupun sosok berpakaian
merah sama-sama terjengkang ke belakang. Bahkan keduanya langsung jatuh dan
bergulingan di tanah. Namun Dewa Arak segera mengerahkan kembali tenaga
dalamnya mematahkan tenaga dorong itu. Hal
yang sama dilakukan pula oleh sosok berpakaian merah. Tanpa menemui kesulitan
sedikit pun, kedua tokoh itu mematahkannya.
Sekarang, keduanya berdiri berhadapan dalam
jarak sekitar enam tombak. Pertarungan antara Dewa Arak dengan Nelayan Pemancing
Nyawa dan Petani Benari Sakti langsung terhenti. Bukan karena dua tokoh hitam itu tidak
suka melakukan bokongan di saat lawan tidak siap. Keduanya
tengah dilanda keterkejutan menyaksikan kedatangan tokoh berpakaian merah itu.
"Resi Ganda Wisesa..," desis Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti
hampir bersamaan dengan mata terbelalak.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti mengenal betul tokoh berpakaian merah
yang mereka sapa dengan panggilan Resi Ganda
Wisesa. Seorang kakek yang tinggal di Gunung
Merapi. Tokoh itu terkenal memiliki banyak ilmu tingkat tinggi yang aneh-aneh.
Namun yang membuat namanya lebih dikenal orang karena
sepak terjangnya yang menggiriskan. Resi Ganda Wisesa terkenal sebagai tokoh
sakti yang memiliki watak kejam.
Berbeda dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan
Petani Berjari Sakti, Arya tidak mengetahui sosok berpakaian merah itu merupakan
tokoh yang ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya.
Dia hanya dapat memperkirakan kalau lawannya
kali ini amat tangguh, berdasarkan perbenturan tenaga dalam tadi.
Kenyataan ini membuat Dewa Arak bersikap
hati-hati. Hal yang sama pun dilakukan pula Resi Ganda Wisesa, karena tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan itu meskipun usianya masih muda,tak dapat
dianggapremeh. Meskipun demikian, kakek berpakaian merah
itu tidak merasa gentar. Tidak tersirat dalam pikirannya akan ada orang lain.
Apalagi pemuda yang dapat menandingi kemampuan ilmunya.
Selama ini dirinya belum pernah menemukan
tokoh yang mampu menandingi ilmu silatnya, baik dari golongan hitam maupun
putih. "Aku pernah mendengar adanya seorang tokoh baru di dunia persilatan. Seorang
pendekar muda yang memiliki kesaktian menakjubkan dan
terkenal dengan julukan Dewa Arak. Apakah kau orangnya, Macan Kecil"!" tanya
Resi Ganda Wisesa dengan
nada memandang rendah, setelah
memperhatikan Arya dari ujung rambut sampai
ujung kaki beberapa saat lamanya.
"Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan. Mana bisa dibandingkan dengan
kepandaian Kakek,"
jawab Arya tenang dan merendahkan diri. Sama
sekali tak terpancing dengan sikap lawan yang meremehkannya.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti terkejut bukan kepalang ketika mengetahui kalau pemuda itu ternyata Dewa
Arak. Seorang pemuda yang julukannya telah menggemparkan
dunia persilatan. Kini rasa penasaran yang sejak tadi menyelimuti hati mereka
karena tak mampu mengalahkan pemuda itu sirna! Kabar yang
tersebar mengenai kesaktian Dewa Arak telah lama mereka dengar.
Keterkejutan yang melanda hati dua tokoh hi-
tam itu tidak dialami Resi Ganda Wisesa. Kakek berpakaian merah tidak merasa
kaget sama sekali mendengar Dewa Arak membenarkan dugaannya.
Resi Ganda Wisesa tetap yakin kalau kepandaiannya berada di atas Dewa Arak.
Meskipun telah banyak tokoh hitam rimba persilatan bertekuk lutut kepada
pendekar muda berambut putih keperakan itu. "Ha ha ha. .!"
Resi Ganda Wisesa yang bertubuh kecil kurus
dan berwajah tirus mirip tikus, tertawa bergelak.
Lelaki tua ini memang memiliki watak sombong
dan senang dipuji, maka sambutan Dewa Arak
yang bernada memuji, membuatnya merasa
bangga bukan kepalang.
"Kau memiliki watak yang menyenangkan hatiku, Dewa Arak. Dan saat ini hatiku
memang tengah merasa senang. Pergilah, jangan mencampuri urusan ini! Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini!"
'Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek. Tapi sayang
sekali, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Sebab, urusan ini ada sangkut-
pautnya dengan diriku pula. Aku hanya dapat
memenuhi permintaanmu jika kau biarkan
Prajurit Kerajaan Dewa pergi bersamaku!"
Seketika wajah Resi Ganda Wisesa berubah
mendengar kata-kata Dewa Arak yang meskipun
diucapkan dengan lemah lembut, tapi mengandung ketegasan. Kakek kecil kurus itu
rupanya memahami benar maksud Dewa Arak.
"Pemuda tidak tahu diri! Dikasih hati kau malah meminta jantung! Jangan harap
aku akan memenuhi permintaan gilamu itu, Bocah Sombong!" "Kalau begitu, terpaksa aku melupakan kebo-dohan sendiri dan mencoba untuk
menentangmu, Kek," ujar Arya masih dengan sikaptenang.
"Kalau begitu.., kaulah yang lebih dulu harus kulenyapkan, Bocah Sombong! Agar
tak ada halangan bagiku membawa Prajurit Kerajaan
Dewa.. " "Hik hik hik!"
Tiba-tiba sebuah tawa melengking panjang dan
menggetarkan menyambut ucapan lelaki tua
berpakaian merah itu. Resi Ganda Wisesa yang
bersiap hendak melancarkan serangan tentu saja terkejut. Serta-merta wajahnya
menoleh ke arah suara itu berasal.
"Heh.."!"
49 Nelayan Pemancing Nyawa pun tersentak ka-
get, ketika mendongakkan kepalanya. Begitu pula Dewa Arak. Mereka hampir tak
percaya melihat sosok manusia melayang di angkasa. Hanya si Petani Berjari Sakti
celingukan. Meskipun tahu suara tawa melengking tadi ber-
asal dari atas, dia tak dapat melihat, karena matanya buta!
*** 4 Ternyata pendengaran tokoh-tokoh itu tidak
salah. Di atas mereka, tampak seorang nenek
berambut panjang meriap tengah duduk dengan
angkuhnya di punggung seekor garuda berwarna
putih. Ketiga tokoh persilatan terlongong bengong, keheranan,menyaksikan
perempuan tua itu.
"Siluman Goa Langit! Turunlah untuk menerima hukuman dariku atas kelancangan
mulutmu!" seru Resi Ganda Wisesa keras karena kemarahan yang melanda. Kakek ini
memang tinggi hati dan selalu tak ingin diremehkan. Suara tawa Siuman Goa Langit
dianggap meremehkan
dirinya. Siluman Goa Langit tetap memperdengarkan
suara tawanya yang melengking tinggi . Kemudian mendadak, diawali jeritan
melengking nyaring, burung garuda putih itu meluruk menyambar Resi Ganda Wisesa.
Resi Ganda Wisesa terkejut bukan kepalang,
melihat kecepatan gerak burung tunggangan
Siluman Goa Langit. Dia hanya melihat sinar putih berkelebat dari atas dan tahu-
tahu sudah diserang bertubi-tubi oleh cakar dan paruh serta sayap besar burung
raksasa itu. Serangan itu hebat sekali. Namun Resi Ganda
Wisesa memang seorang tokoh yang berkepandaian tinggi sekali. Pengalamannya yang banyak di rimba persilatan
membuatnya tetap
tenang menghadapi serangan itu. Dengan cepat
dia
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggerakkan tongkat yang semula menyangga tubuhnya. Tongkat itu ternyata hanya berupa
sarung saja karena di dalamnya tersembunyi sebatang pedang yang berwarna
hitam legam. Dengan kecepatan tinggi pedang hitam legam
itu digerakkan hingga membentuk lingkaran-
lingkaran besar dan kecil. Kemudian dari dalam lingkaran-lingkaran itu melesat
ujung pedang menusuk dengan cepat dan bertubi-tubi ke arah burung garuda yang tengah
menyerangnya. Serangan hebat Resi Ganda Wisesa tidak hanya
membuat Siluman Goa Langit mendecak kagum,
tapi juga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti. Dewa Arak pun tampak menggeleng-gelengkan kepala. Namun burung
garuda itu pun seakan mengetahui kekuatan lawannya. Karena
begitu menghadapi serangan maut dari pedang
hitam itu, secara aneh dan cepat sekali garuda putih mampu merubah gerakannya.
Tubuhnya berkelebat menyelinap di antara gulungan sinar pedang
guna menyelamatkan diri. Sesaat kemudian terbang di atas kepala Resi Ganda Wisesa, menunggu kesempatan baik
untuk melakukan serangan.
"Hi hi hi..!"
Siluman Goa Langit meledakkan tawa gembira
bernada ejekan terhadap Resi Ganda Wisesa. Hal itu membuat wajah kakek
berpakaian merah
padam karena amarah yang bergolak. Dia tahu
nenek berambut panjang itu menertawakan
kegagalannya. "Rampas pedangnya, Manis!" seru Siluman Goa Langit seakan-akan tak menghiraukan
kemarahan yang tengah melanda hati lawannya.
Kemarahan Resi Ganda Wisesa kian memuncak mendengar ucapan itu. Dia menyangka Siluman Goa Langit mengucapkan
perkataan seperti itu untuk mengejeknya. Dia tahu kalau burung itu berbeda
dengan burung lainnya karena Siluman Goa Langit telah mendidiknya
agar dapat mengerti perintah-perintahnya.
Mendengar seruan tuannya, burung raksasa
itu lalu melabrak dengan sayap dan cakar-
cakamya berusaha merampas pedang Resi Ganda
Wisesa. Burung garuda putih itu memukulkan
kedua sayap ke arah kepala Resi Ganda Wisesa, disusul cengkeraman-cengkeraman
kedua kakinya ke arah pedang hitam yang terus berkelebat
menyerangnya. Mengetahui maksud lawannya, Resi Ganda
Wisesa terkejut. Serangan-serangan garuda itu, terutama sekali sepasang sayapnya
dirasakan sangat dahsyat. Setiap kali bergerak, pasti
menghempaskan angin keras yang membuat
rambut dan pakaian Resi Ganda Wisesa berkibar keras. Sedikit banyak hal itu
mempengaruhi penglihatan kakek berpakaian merah itu.
Arya, Nelayan Pemancing Nyawa, dan Petani
Berjari Sakti memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang di
samping rasa tertarik. Memang pertarungan yang berlangsung cukup
menarik dan menggiriskan hati. Pertarungan
antara seorang manusia sakti menghadapi seekor burung raksasa yang terlatih
berkelahi dan bahkan seperti mengetahui ilmu silat. Sejauh itu belum nampak di antara keduanya
yang bakal memenangkan pertarungan unik itu, baik Resi
Ganda Wisesa maupun garuda putih masih tetap
saling menyerang.
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga
puluh dua, mendadak garuda putih mengeluarkan bunyi aneh yang membuat Siluman
Goa Langit terkejut campur girang.
"Mari pergi dari sini, Manis," bujuk Siluman Goa Langit dengan lembut penuh
kasih sayang. Tanpa menunggu perintah dua kali, garuda
putih itu melesat cepat meninggalkan Resi Ganda Wisesa. Tentu saja kakek
berpakaian merah ini tak mau membiarkan begitu saja. Hatinya telah
telanjur marah dan hanya akan bisa tenang
apabila telah memberikan hajaran atau merenggut nyawa burung itu. Bahkan kalau
bisa sekalian dengan pemiliknya.
Oleh karena itu, dengan kemarahan meluap-
luap dilancarkan pukulan jarak jauh dengan
menghentakkan tangan kanannya ke arah garuda
yang tengah melesat. Namun sungguh di luar
dugaan, burung raksasa itu mampu mengelakkannya dengan cara luar biasa! Dan
kemudian terbang jauh meninggalkan tempat
pertarungan. Pada saat yang bersamaan dengan perginya
burung tunggangan Siluman Goa Langit, Dewa
Arak yang sudah bisa menduga kalau pertarungannya dengan Resi Ganda Wisesa dapat berlangsung kembali, segera
menyambar tubuh
Prajurit Kerajaan Dewa. Dia melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti terkejut bukan kepalang mengetahui
tindakan Dewa Arak. Mereka ingin mencegah tapi sayang tidak sempat, karena
keduanya tadi memusatkan perhatian pada pertarungan.
Meskipun demikian, kedua tokoh hitam itu ti-
dak tinggal diam dan langsung melesat mengejar.
Mengetahui apa yang terjadi, Resi Ganda Wisesa pun melakukan hal yang sama,
meskipun agak terlambat. Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh
Resi Ganda Wisesa. Sehingga meskipun Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti telah lebih dulu melesat,dia mampu
menyusul. Meski begitu, untuk menyusul Dewa Arak,
kakek kecil kurus ini tidak mampu. Jarak antara mereka tetap tak berubah seperti
semula. Kenyataan itu membuat Resi Ganda Wisesa yang
mempunyai watak tinggi hati, merasa penasaran bukan kepalang. Dia tidak mau
kalah oleh orang yang lebih pantas menjadi cucunya. Maka segera dikerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya
untuk mengejar.
Kejar-mengejar antara dua tokoh sakti yang
berbeda usia dan kepentingan itu pun terjadi.
Bentuk tubuh keduanya lenyap. Yang tampak
hanya bayangan ungu dan merah berkelebatan
dalam bentuk yang tidak jelas.
Dewa Arak tahu kalau Resi Ganda Wisesa
mengejarnya. Dia pun menyadari untuk meninggalkan kakek berpakaian
merah itu tidaklah semudah seperti meninggalkan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti. Maka pemuda berambut putih keperakan itu segera
memilih jalan yang dipenuhi dengan semak
belukar,dan pepohonan.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak sia-sia karena Resi Ganda Wisesa tampak mulai
tertinggal. Kakek itu mengalami
kesulitan untuk melakukan
pengejaran karena terhalang semak-semak dan
pepohonan. Hanya dalam beberapa saat, Dewa Arak telah
aman dari kejaran Resi Ganda Wisesa. Prajurit Kerajaan Dewa yang telah percaya
pada Arya setelah tadi mendengar kalau penolongnya
ternyata Dewa Arak, tanpa ragu-ragu memberitahukan tujuannya. Hatinya semakin
gembira ketika tahu kalau pemuda berambut
putih keperakan itu memang bermaksud menolongnya dari kejaran orang-orang persilatan atas petunjuk Jaran Sangkar.
Dewa Arak akhirnya terus menyertai Prajurit
Kerajaan Dewa yang ingin menjumpai putrinya.
Sehingga akhirnya mereka bertemu, ketika
Nawangsuri tengah dipaksa oleh Sepasang
Harimau Hitam. *** "Begitulah ceritanya, Nawang," ucap Prajurit Kerajaan Dewa, mengakhiri
penuturannya sejak
dari dia pergi meninggalkan tempat kediamannya.
"Ah. .! Lagi-lagi Dewa Arak..! Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Entah
bagaimana caranya kami, ayah, dan anak untuk membalas
kebaikanmu ini," ucap Nawangsuri
seraya menatap pemuda berambut putih keperakan yang
berdiri tak jauh di depannya, dengan sorot mata memancarkan rasa kagum.
"Lupakanlah!" ujar Arya dengan tarikan wajah malu hati melihat sikap Nawangsuri
yang begitu bersyukur. "Aku hanya kebetulan saja berhasil menyelamatkan kalian
berdua. Lalu, bagaimana
dengan anakmu.."!"
Arya mengucapkan pertanyaannya secara
pelan, tapi bagi Nawangsuri tak kalah kerasnya dengan ledakan halilintar!
Pertanyaan Dewa Arak mengingatkannya kembali pada anak yang tengah dicarinya.
Keterkejutan Nawangsuri membuat Arya serta
Prajurit Kerajaan Dewa yang telah sembuh dari lukanya merasa heran bercampur
khawatir. Sikap wanita berpakaian coklat itu telah memberi
pertanda akan terjadinya hal-hal yang tak
di nginkan. "Apa yang terjadi, Nawang?" tanya Prajurit Kerajaan Dewa, tak mampu
menyembunyikan kecemasan harinya.
"Taksaka tadi minta izin untuk pergi bermain.
Kami pesan agar dia tidak pergi jauh-jauh . Tapi dia tidak kembali-kembali, maka
aku menyusulnya
sampai di sini. Itu pun setelah suamiku pergi menyusul dan belum kembali!"
Prajurit Kerajaan Dewa dan Arya saling
pandang setelah mendengar penjelasan Nawangsuri. Meskipun tidak berbicara tapi satu sama lain keduanya saling
mengerti arti tatapan yang hanya sekilas itu. Sama-sama khawatir akan terjadinya
sesuatu pada diri Taksaka. Sebab,
tokoh-tokoh persilatan telah mengetahui tempat Nawangsuri dan suaminya serta
Taksaka berdiam.
Kedatangan Sepasang Harimau Hitam telah
memperjelas kenyataan itu.
"Kalau demikian tak ada salahnya kalau aku ikut mencarinya, Dewa Arak," ucap
Prajurit Kerajaan Dewa dengan raut muka tegang karena
khawatir kalau-kalau Taksaka telah jatuh ke
tangan tokoh-tokoh persilatan yang memang
tengah berusaha mendapatkannya.
Baru saja Arya bermaksud membuka mulut,
pendengarannya yang tajam menangkap adanya
suara mencurigakan. Maka maksudnya dibatalkan. Sehingga ucapan yang keluar dari
mulutnya berbe-da dengan maksud sebelumnya.
"Awas, ada orang datang!" bisik pemuda berambut putih keperakan itu pada
Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan Dewa.
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayah dan anak yang sama-sama memiliki
kepandaian tinggi itu memusatkan perhatian pada pendengaran, begitu mendengar
ucapan Dewa Arak. Mereka ingin membuktikan kebenarannya,
tapi usaha itu sia-sia karena bunyi yang dimaksud Arya
begitu halus. Mereka tak mampu menangkapnya. Meskipun demikian tak berarti Dewa Arak
berbohong dengan ucapannya tadi, karena sesaat kemudian terdengar suara
mendengus keras.
"Kau boleh pergi sesuka hatimu, Dewa Arak!
Tapi. jangan harap dapat lolos dari tanganku! Ke ujung langit sekalipun kau akan
kukejar!" Arya dan Prajurit Kerajaan Dewa tersentak
kaget ketika mengenali siapa pemilik suara itu.
Duga an keduanya ternyata tidak salah. Sesaat kemudian, di hadapan mereka telah
berdiri seorang kakek berpakaian merah, Resi Ganda
Wisesa. "Aku bukan seorang pengecut seperti yang kau tuduhan, Kek! Aku melarikan diri
dari dirimu bukan karena takut, tapi karena tak ingin
bertarung denganmu. Aku tidak punya urusan
apa pun denganmu!"
"Jangan salah, Dewa Arak! Siapa bilang antara kita tak ada urusan" Kau telah
lancang berani mencampuri
urusanku. Itu berarti sebuah tantangan terhadapku. Padahal, aku tak pernah menolak setiap tantangan yang
ditujukan padaku!
Bersiaplah untuk menerima kematian, Dewa
Arak!" ujar Resi Ganda Wisesa,keras dan tegas.
"Sebenarnya, kalau saja saat ini tak ada urusan lain yang lebih penting, dengan
senang hati aku bersedia meminta pelajaran darimu.Dan.."
"Tidak usah banyak mulut, Dewa Araki Katakan saja kalau kau takut dan mengaku
kalah, maka aku akan melepaskanmu! Urusan denganmu akan kuputuskan sampai di sini!"
sergah Resi Ganda Wisesa,penuh kesombongan.
Wajah Dewa Arak langsung berubah. Amarah
mulai membakar harinya. Resi Ganda Wisesa
terlalu sombong. Terlalu menghinanya! Hal ini tidak bisa dibiarkan karena sudah
menyangkut harga dirinya selaku seorang pendekar.
"Baiklah, Resi Ganda Wisesa," ujar Arya dengan suara berat dan sikap gagah.
Kemarahan membuat suaranya agak bergetar. "Kau yang memaksaku. Jadi jangan salahkan kalau
aku bertindak kurang ajar, berani menentang tokoh tua sepertimu!"
"Tidak usah banyak bacot, Dewa Arak!
Mulutmu tak ubahnya mulut wanita, Cerewet!
Kalau berani tak usah bicara lagi,ayo serang aku!"
"Mulutmu terlalu tajam Resi Ganda! Majulah!
Seranglah aku! Bukankah kau yang menginginkan pertarungan ini"!"
"Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima seranganku,Dewa Geblek!"
Sambil mendengus begitu Resi Ganda Wisesa
menancapkan tongkatnya di tanah. Kemudian,
kedua tangannya diputar di depan dada secara
cepat, hingga terlihat seperti berjumlah banyak.
Tangan kakek ini bagaikan puluhan pasang
banyaknya! Inilah ilmu andalan yang bernama
'Tangan Seribu'!
'Heaaa..!"
Kemudian, dengan diawali teriakan keras dan
menggetarkan Resi Ganda Wisesa melompat
menerjang. Dari suara teriakannya saja telah dapat diketahui, bahwa kakek
berpakaian merah itu
mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Sesaat Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan
Dewa harus mengerahkan tenaga dalam mengatasi pengaruh
getaran dari suara dahsyat itu.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah.
Disadari betul kedahsyatan yang terkandung
dalam serangan Resi Ganda Wisesa. Bukan hanya karena kekuatan tenaga dalam yang
tersimpan dalam setiap serangan, tapi kecepatan gerak kedua tangan itu pun sulit untuk
diketahui arah yang dijadikan sasaran.
Penilaian seperti itu yang didapat oleh Prajurit Kerajaan Dewa dan anaknya.
Mereka segera berlompatan menjauhi kancah pertarungan ketika melihat gerakan tangan Resi Ganda
Wisesa yang meluncur ke arah Dewa Arak.
Tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Me-
mang ketika jaraknya masih cukup jauh, dia
tampak bingung untuk memperkirakan sasaran
yang akan dituju kedua tangan yang seperti
berjumlah puluhan pasang itu. Namun, ketika
serangan-serangan itu telah menyambar dekat,
dirinya baru bisa mengetahui. Serangan tangan kanan menuju ke arah pelipis,
sedangkan yang kiri menyambar dengan cengkeraman ke perut.
Apabila salah satu dari kedua serangan mengenai sasaran, cukup untuk mengirim
nyawa Dewa Arak menuju bang kubur.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak langsung memapak kedua serangan itu.
Serangan ke arah pelipis ditangkisnya dengan
tangan kiri. Sedangkan yang menuju ke perut,
dipapak cepat dengan sikap jari tangan juga
membentuk cakar.
"Heaaa. .!"
Takkk! Prat! Suara keras terdengar ketiga dua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga
dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Dewa Arak maupun Resi Ganda
Wisesa terdorong
dua langkah ke belakang. Dari sini saja kedua belah pihak tahu kalau tenaga
dalam lawan berimbang dengan tenaga dalam sendiri.
Dewa Arak yang memang sudah menduga
kalau Resi Ganda Wisesa merupakan lawan yang
amat tangguh, tidak terkejut mengalami kejadian itu.
Bahkan semakin membuatnya harus bertindak hati-hati, karena merasakan sendiri betapa hebat kekuatan tenaga dalam
lawan. Namun tidak demikian halnya dengan Resi
Ganda Wisesa. Hasil benturan tadi membuatnya
merasa penasaran bukan kepalang. Penasaran
bercampur kemarahan, di samping ketidakpercayaan yang menggelora. Benarkah ada seorang pemuda memiliki tenaga
dalam sekuat dirinya" Baginya mustahil!
*** 5 Kedua perasaan itulah yang menyebabkan Resi
Ganda Wisesa melancarkan serangan kembali.
Kedua tangannya seperti telah berubah menjadi banyak
ketika ilmu 'Tangan Seribu'-nya dikeluarkan untuk melancarkan serangan. Dewa
Arak pun menyambutnya dengan hangat, hingga
pertarungan antara kedua tokoh sakti yang
berbeda usia dan golongan itu berlangsung sengit menggiriskan hati.
Kini Dewa Arak merasakan sendiri kedahsyatan setiap serangan Resi Ganda Wisesa yang tak ubahnya gelombang laut.
Kuat, bertubi-tubi dan penuh tekanan. Dengan ilmu 'Delapan
Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga', dia berusaha meredam
kedahsyatan setiap serbuan kakek berpakaian
merah. Kemudian melancarkan serangan balasan
yang tak kalah dahsyat.
Prajurit Kerajaan Dewa dan Nawangsuri yang
menyaksikan jalannya pertarungan itu merasa
takjub, kagum, di samping pula rasa ngeri. Mata mereka dirasakan berkunang-
kunang dan kepala
pusing ketika memaksakan diri agar dapat melihat dengan jelas pertarungan itu.
Hal itu karena gerakan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa terlalu cepat, sehingga yang terlihat
hanya bayangan-bayangan ungu dan merah yang berkelebatan
jelas. Saling belit dan sesekali tampak saling pisah.
Itu pun berlangsung sebentar karena kemudian
saling belit kembali.
Tidak hanya itu, dari kancah pertarungan
menyambar desiran-desiran angin keras dan
menggetarkan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa
dan anaknya lebih menjauhi kancah pertarungan.
Angin-angin yang berasal dari serangan-serangan kedua tokoh sakti itu membuat
napas mereka sesak. Pertarungan kian seru. Namun tampak Resi
Ganda Wisesa mulai kelabakan. Dia tidak pernah menyangka sama sekali kalau Dewa
Arak akan selihai ini. Tidak hanya dalam hal tenaga mereka berimbang, tapi juga dalam hal
ilmu meringankan tubuh. Hal ini benar-benar tidak bisa diterima.
Resi Ganda Wisesa yang memang berwatak
angkuh. Kehebatan kemampuan lawan justru
membuatnya semakin penasaran. Akibatnya,
serangan-serangan
yang dilancarkannya pun
semakin dahsyat! Namun Dewa Arak tetap
mampu meredamnya. Bahkan pemuda berambut
putih keperakan itu mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pertarungan itu memang semakin seru. Jurus
demi jurus telah saling dikerahkan . Bunyi berdecit , m e ngau ng, dan deru
angin mengiringi setiap gerakan cepat tangan atau kaki mereka.
Bukan hanya itu , angin yang keluar dari setiap serangan yang mereka lancarkan
membuat semak-semak dan pepohonan di sekitar tempat itu tergetar
hebat. Dedaunan
berguguran dan beterbangan. Bahkan banyak dahan pohon yang
berpatahan terhantam pukulan Dewa Arak
maupun Resi Ganda Wisesa. Debu dan bongkahan-bongkahan tanah pun berhamburan
ke atas, setiap pukulan dahsyat menghantam ke bumi.
Ketika pertarungan berjalan seru Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti muncul di tempat itu . Prajurit
Kerajaan Dewa yang melihat kehadiran
mereka, langsung mengeluarkan senjata istimewanya, golok dan perisai! Sebelum kedua belah pihak menyerang,
mendadak muncul
Sepasang Harimau Hitam. Kedua lelaki berpakaian serba hitam itu kembali setelah
tak menemukan apa yang dicari di pondokkediaman Nawangsuri.
Melihat kedatangan mereka, Nawangsuri pun
tidak tinggal diam Segera dicabut pedangnya, siap menghadapi serbuan Sepasang
Harimau Hitam yang baginya, satu di antara mereka saja cukup berat untuk dilawan.
Namun rupanya, baik Nelayan Pemancing
Nyawa, Petani Berjari Sakti, maupun Sepasang
Harimau Hitam tak langsung melancarkan
penyerbuan terhadap ayah dan anak yang telah
bersiap untuk bertarung itu. Keempat tokoh hitam itu merasa tertarik dengan
pertarungan antara Dewa Arak dengan Resi Ganda Wisesa. Perhatian mereka pun
tertuju ke sana.
Sementara itu, pertarungan Dewa Arak dan
Resi Ganda Wisesa telah berjalan hampir lima
puluh jurus. Namun sejauh itu tetap belum
menampakkan tanda-tanda siapa yang bakal
memenangkan pertarungan.
"Haaat.!"
Pada jurus kelima puluh tiga, setelah terlebih dulu bersalto beberapa kali di
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 1 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Tiga Naga Sakti 11
ANGKARA SI ANAK NAGA
OLEH AJI SAKA CETAKAN P ERTAMA
PENERBIT CIN TAMEDIA, JAKARTA
PENYUNTING : A. SUYUDI
HAK CIPTA PADA PEN ERBIT
DILARANG MENGCOPY ATAU MEMP ERBANYAK
SEBAGIAN ATAU S ELURUH ISI BUKU INI
TANPA IZIN TERTULIS DARI P EN ERBIT
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
AJI SAKA SERIAL DEWA ARAK
DALAM EPISODE 063 :
ANGKARA SI ANAK NAGA
128 hal ; 12 x18 cm
1 "Taksaka..! Anakku,di mana kau"!"
Seruan keras itu terdengar berkali-kali dari
mulut seorang wanita muda berpakaian coklat.
Dengan mata berlinang dia mengawasi ke sana
kemari berusaha mencari putranya. Namun
sampai di tanah lapang berumput, tempat
anaknya tadi bermain pun tidak ditemukan.
Kakinya terus melangkah menyusuri semak-
semak,barangkali anaknya masih berada di situ.
Mulutnya terus-menerus menyerukan panggil-
an terhadap sang Anak. Wanita berpakaian coklat itu mengayunkan langkah seraya
mengedarkan pandangan ke sana kemari.
Namun tiba-tiba dia mengerutkan kening
ketika melihat dua sosok keluar dari rimbun
pepohonan tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Keparat.! Kalian lagi rupanya..! Tak bosan-bosannya kalian mengejar kami!"
dengus wanita berpakaian coklat itu penuh perasaan geram.
Dua sosok yang mengenakan pakaian serba hi-
tam dan ikat kepala dengan warna sama tertawa bergelak Kedua orang itu masing-
masing hanya mempunyai satu mata.
"Selama kau belum memenuhi permintaan
kami, jangan harap kalian berdua akan hidup
tenang!" tegas salah satu dari dua sosok itu, yang mata kirinya buta.
"Benar!" sambung yang mata kanannya buta,
"Penuhilah permintaan kami! Percayalah, setelah urusan yang kami maksud selesai,
anakmu akan kami kembalikan!"
"Tutup mulutmu, Kucing-kucing Picak!" sahut wanita berpakaian coklat dengan nada
menantang. "Kalian boleh saja membawanya kalau mampu melangkahi mayatku..!"
"Keparat!"
Hampir berbareng dua sosok berpakaian hitam
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun,
menggeram marah. Julukan mereka sebenarnya
Sepasang Harimau Hitam, tetapi wanita berpakaian coklat menyebut dengan julukan
Kucing-kucing Picak. Karuan saja keduanya
marah karena merasa tersinggung.
Namun ternyata bukan hanya Sepasang
Harimau Hitam itu yang bangkit kemarahannya,
wanita berpakaian coklat pun demikian. Diawali teriakan keras yang melengking
nyaring, dia menerjang Harimau Hitam yang picak sebelah kiri.
Jari-jari tangannya yang menegang kaku disodokkan bertubi-tubi ke dada dan ulu hati
lawannya. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi serangan
wanita berpakaian coklat. Hal itu membuat
Sepasang Harimau Hitam tidak berani bertindak gegabah. Harimau Hitam yang picak
mata sebelah kanannya,
langsung melompat menjauh. Sedangkan kawannya yang mendapatkan serangan, langsung menggeser kaki ke kanan,
sehingga serangan itu lewat di samping kiri
pinggangnya. Kemudian tangan kanannya yang
membentuk cakar menyambar cepat ke perut
wanita berpakaian coklat.
Wanita berpakaian coklat terperanjat mendapat serangan balasan yang tidak
disangka-sangkanya itu. Namun ia tak tampak kegugupan sedikit pun.
Buru-buru tubuhnya didoyongkan ke belakang
seraya menarik pulang kedua tangannya. Namun
hanya sampai pertengahan jalan, karena kemudian dengan kedudukan jari-jari tangan
mencakar,dipapaknya serangan lawan.
"Hih..!"
Prat! Prat.! Terdengar benturan keras ketika dua tangan
sama-sama dialiri tenaga dalam itu beradu.
Akibatnya, baik wanita berpakaian coklat maupun lawannya terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang.
Lelaki berpakaian hitam menggeram murka
karena menyadari dalam gebrakan pertama tadi
dia hampir celaka! Maka sambil berteriak nyaring, diterjangnya wanita berpakaian
coklat yang langsung menyambutinya. Sesaat kemudian,
kedua orang itu pun sudah terlibat dalam
pertarungan sengit. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Harimau Hitam yang bermata
picak sebelah kanan untuk meninggalkan tempat pertarungan.
Sebab dia yakin kalau kawannya akan mampu
menghadapi perempuan itu. Jurus demi jurus
saling mereka keluarkan untuk berusaha menjatuhkan lawan.Hingga pada satu ketika..,
"Hiaaa. .!"
Bukkk! "Hukh!"
Pekikan tertahan keluar dari mulut wanita
berpakaian coklat ketika pukulan Harimau Hitam telak dan keras sekali mendarat
di perutnya. Seketika tubuhnya terbungkuk lalu terhuyung-
huyung ke belakang. Wajahnya yang merah
padam dengan sepasang mata membelalak lebar
memperlihatkan betapa hebat rasa sakit yang
dideritanya. Namun lelaki berpakaian hitam itu tidak ber-
henti hanya sampai di situ. Diburunya tubuh
wanita berpakaian coklat yang masih terhuyung-huyung dengan cengkeraman ke arah
ubun-ubun. Mungkin kalau serangan itu mengenai sasaran,
nyawa wanita berpakaian coklat sulit untuk dapat diselamatkan.
Ketika keadaan benar-benar gawat mengancam
wanita berpakaian coklat,tiba-tiba.. .
Takkk! "Akhhh!"
Harimau Hitam memekik tertahan ketika
merasakan sekujur tangannya bagaikan lumpuh.
Tubuhnya pun terdorong ke samping dan
terhuyung-huyung,
bahkan hampir jatuh terjengkang, kalau dia tidak cepat-cepat menahannya. Dan begitu berhasil memperbaiki
kedudukan, Harimau Hitam yang mata kirinya
picak ini langsung mengarahkan pandangan ke
tempat wanita berpakaian coklat tadi berada.
Di hadapan wanita berpakaian coklat itu,
berdiri seorang pemuda berpakaian ungu. Rambutnya yang berwarna putih keperakan dan
panjang hingga ke punggung dibiarkan tergerai dipermainkan angin. Dan di bahu
pemuda berambut putih keperakan itu terpanggul sesosok tubuh berpakaian putih.
Harimau Hitam menggereng keras laksana
binatang buas terluka. Dia merasa geram bukan kepalang
melihat kegagalan mengirimkan serangan terakhir pada lawannya.
Walaupun tengah dilanda amarah yang
memuncak, Harimau Hitam bukan orang bodoh.
Dia tahu kalau pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa disamakan dengan wanita berpakaian coklat. Rasa sakit
pada tangannya akibat benturan yang terjadi telah memberikannya petunjuk, kalau tenaga pemuda
berambut putih keperakan itu amat kuat dan jauh berada di
atasnya! Oleh karena itu, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera dihunus senjatanya. Sebuah golok yang
ujungnya terbelah dua, membiaskan sinar yang
menyilaukan mata ketika keluar dari sarungnya.
Singngng! Bunyi mendesing yang cukup nyaring terdengar ketika Harimau Hitam membabatkan
goloknya ke leher pemuda berambut putih
keperakan secara mendatar. Serangan itu begitu cepat, sehingga yang terlihat
hanya sekelebatan sinar menyilaukan mata meluncur cepat ke arah lawannya.
Namun pemuda berambut putih keperakan itu
sama sekali tidak memberikan tanggapan. Karuan saja Harimau Hitam merasa heran
bercampur girang. Disangkanya pemuda itu bingung untuk
mengelakkan serangannya yang dilancarkan
secara cepat Namun kegembiraannya hanya berlangsung
sekejap, berganti dengan keterkejutan hebat.
Ketika goloknya yang menghantam leher pemuda
berambut putih keperakan membalik, bagaikan
menghantam benda kenyal. Bunyi berdetak
nyaring mengiringi benturan mata golok pada leher pemuda berambut keperakan.
Tangan Harimau Hitam bergetar, bahkan
telapak tangannya
dirasakan panas.
Harimau Hitam terbelalak kaget, melihat ke-
nyataan yang sama sekali tidak disangka-
sangkanya. Benarkah pemuda berambut putih
keperakan itu memiliki ilmu kebal, ataukah
memiliki tenaga dalam kuat sehingga kulitnya
tidak mampu ditembus goloknya. Rasanya
mustahil! Harimau Hitam tidak percaya!
Rasa tidak percaya membuat Harimau Hitam
memutuskan untuk melakukan serangan lagj.
Goloknya diputar-putar di depan dada sampai
lenyap bentuknya karena kecepatan putarnya.
Kemudian dengan di ringi teriakan melengking
nyaring, dikirimkan serangan berupa tusukan
bertubi-tubi ke arah ulu hati,dada,dan pusar.
Seperti juga sebelumnya, pemuda berambut
putih keperakan itu tak menunjukkan tanggapan apa pun. Dia tetap berdiam diri
dengan senyum tersungging di bibir. Akibatnya, ujung-ujung golok Harimau Hitam
mengenai sasaran yang dituju
secara tepat. Namun seperti tadi, lelaki berpakaian hitam itu tercengang dengan
mata terbelalak.
"Bagaimana?" tanya pemuda berambut putih keperakan ketika melihat Harimau Hitam
terpaku dengan golok di tangan, sehabis memperbaiki
kedudukannya yang terhuyung-huyung. "Masih penasaran" Silakan, pilih bagian yang
paling empuk!"
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Harimau Hitam menggeram keras. Kemudian
setelah mengeluarkan geraman keras, dibalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan
pemuda berambut putih keperakan itu. Rupanya dia
menyadari kalau lawan yang dihadapi terlalu kuat untuk dirinya!
Pemuda berpakaian ungu itu tidak mengejar.
Dia hanya menatap kepergian lawannya hingga tubuh berpakaian hitam itu lenyap di
kejauhan. Kemudian dibalikkan tubuhnya, menghadapi wanita berpakaian coklat yang
baru saja selesai member-sihkan matanya dari debu.
"Terima kasih atas pertolonganmu.."
"Arya Buana. Panggil saja Arya!" jabar pemuda beramput putih keperakan yang tahu
kalau wanita berpakaian coklat itu mengalami kesulitan untuk menyebutnya.
"Aku Nawangsuri. Tapi orang-orang biasa
memanggilku, Nawang," wanita berpakaian coklat itu pun memperkenalkan diri.
"Harap turunkan aku, Arya! Aku sudah lebih segar sekarang," selak sosok
berpakaian putih yang berada di bahu Arya Buana. Pemuda
berambut putih keperakan yang di kalangan
persilatan lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak itu tersenyum. Kemudian segera
diturunkan sosok berpakaian putih yang dipanggul di pundaknya.
"Ayah..!" seru Nawangsuri. Matanya terbelalak tidak percaya ketika melihat sosok
bepakaian putih yang kini telah berdiri di depannya.
"Nawang..!"
Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang
lelaki tua berambut putih, ikut berseru pula seraya mengembangkan tangan
menyambut uluran
tangan Nawangsuri. Sesaat kemudian ayah dan
anak itu saling berpelukan erat.
"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Nawangsuri seraya melepaskan pelukannya. "Dan
mengapa Ayah terluka?"
"Ceritanya cukup panjang, Nawang," jawab lelaki tua berambut putih itu sambil
menghela napas berat "Kalau saja tidak ada Nak Arya ini, mungkin aku telah tidak ada di
dunia lagi sekarang."
Kakek berambut putih itu menghela napas
berat lagi sebelum melanjutkan ucapannya.
Sementara Nawangsuri menunggu kelanjutannya
dengan sabar. Ayah dan anak seakan lupa akan
kehadiran Dewa Arak di situ.
"Begitu suratmu kuterima, aku langsung
berangkat untuk menjumpaimu. Tapi rupanya, hal yang sangat kau rahasiakan itu
telah tercium oleh tokoh-tokoh persilatan. Maka, mereka secara
diam-diam menguntit kepergianku. Sayang, aku
tidak mengetahuinya. Dan baru setelah berada di kaki gunung ini, secara
kebetulan aku melihat beberapa
sosok bayangan. Karena curiga, perjalanan tidak kulanjutkan. Hal itu rupanya diketahui oleh para penguntitku,
sehingga mereka tidak sabar lagi dan
memaksaku dengan
kekerasan untuk memberitahukan ke mana aku
akan pergi. Dan karena aku tidak mau
mengatakan,pertarungan pun terjadi."
Sampai di sini kakek berambut putih itu
menghentikan ceritanya. Sementara Dewa Arak
yang sengaja membiarkan kedua ayah dan anak
itu saling melepaskan rindu jadi termenung
sendiri. Dia teringat akan pengalaman yang
membuatnya berjumpa dengan lelaki tua itu dan menolongnya.
*** Siang itu udara sangat panas. Mentari bersinar terik seakan hendak membakar
permukaan bumi.
Angin yang berhembus pun terasa kurang
nyaman Arya yang tengah melakukan perjalanan
pengembaraan menyempatkan diri beristirahat di tepi sungai. Tubuhnya disandarkan
pada sebatang pohon, duduk menghadap ke sungai. Tangannya
memegang ranting kecil dicelupkan ke air sungai.
Tentu saja Arya tidak memancing secara biasa.
Pemuda berpakaian ungu ini mengerahkan tenaga dalam untuk menarik ikan agar
dapat menempel di ujung ranting yang dipegangnya. Sebuah hal yang tidak sulit bagi seorang
pendekar sakti seperti Dewa
Arak, yang memiliki
tenaga dalam sempurna. Sesaat kemudian, tampak Arya telah menarik
rantingnya yang dicelupkan ke dalam air. Dan, di ujung ranting itu tampak
bertengger beberapa ekor ikan! Dengan senyum ceria, Arya melemparkannya ke
darat,hinggaikan-ikan itu menggelepar-gelepar.
Arya membuang pancing istimewanya, dan
bermaksud menangkap ikan-ikan yang sedang
menggelepar-gelepar itu. Tapi, gerakan tangannya terhenti
dan sepasang matanya menatap membelalak ke sebelah kanannya! Keterkejutan
tampak jelas pada wajah dan sorot matanya.
Untuk pertama kalinya, Dewa Arak yang pandai
menyimpan perasaan tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya!
Berjarak dua tombak di sebelah kanannya,
tengah duduk seorang kakek yang sudah amat
tua. Tubuhnya yang kurus kering dan keriput,
terbungkus pakaian abu-abu. Rambut di kepalanya serta kumis dan jenggotnya yang
panjang telah memutih. Bahkan bulu-bulu hidung yang tampak menerobos keluar juga
berwarna putih. Seperti juga Arya, kakek ini tengah
memancing! Sikapnya tidak peduli, seakan-akan tidak tahu kalau keberadaannya
menyebabkan Arya kaget bukan kepalang.
Dewa Arak tentu saja terkejut bukan kepalang.
Tadi, dia yakin benar kalau di tempat itu hanya ada dirinya, tidak ada orang
lain lagi. Namun, mengapa kakek berpakaian abu-abu ini bisa
berada di situ tanpa diketahuinya. Dari sini saja Arya dapat memperkirakan
ketinggian ilmu kakek itu. Setidak-tidaknya kehebatan ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga keberadaannya di tempat itu tidak terdengar. Padahal, Arya mempunyai
pendengaran yang sangat tajam! Tanpa dapat
mencegah lagi, Arya merasakan jantung di
dadanya berdebar tegang.
*** 2 Menyadari kalau kakek berpakaian abu-abu
itu bukan orang sembarangan, Dewa Arak tidak
berani bertindak gegabah. Dirinya tidak ingin melakukan tindakan yang
menyebabkan terjadi
bentrokan antara mereka. Maka dia pun berpura-pura tak melihat keberadaan kakek
berpakaian abu-abu. Lalu segera memunguti ikan-ikan yang berhasil didapatnya.
"Sayang sekali..! Dunia persilatan sedang goncang dan kacau , tapi seorang
pendekar muda bersenang-senang memuaskan perut dan bersikap tidak peduli.Hhh. .
sungguh memprihatinkan!"
Suasana di sekitar tempat itu hening, tak heran kalau ucapan yang meskipun tidak
keras itu, terdengar nyaring dan jelas tertangkaptelinga Arya.
Untuk kedua kalinya , tangan pemuda berambut putih keperakan itu terhenti.
Sebagai seorang pendekar yang meskipun masih muda namun
memiliki pengalaman cukup banyak, Arya tahu
kalau ucapan itu ditujukan
pada dirinya. Meskipun asal suara itu tidak jelas, dirinya berani bertaruh kalau kakek
berpakaian abu-abu itulah yang mengucapkannya. Sebab, hanya mereka
berdualah yang berada di tempat itu.
Yakin akan kebenaran dugaannya membuat
Arya semakin menyadari kehebatan kakek berpakaian abu-abu itu. Suara yang terdengar
tanpa dapat diketahui asalnya, dan seperti berasal dari delapan penjuru itu
telah membuatnya benar-benar yakin akan ketinggian ilmu yang dimiliki si kakek
berpakaian abu-abu.
Meskipun tahu kalau sindiran itu ditujukan
padanya, Arya tidak merasa tersinggung sama
sekali. Dilepaskan ikan-ikan yang baru digenggamnya, lalu dilayangkan pandangan ke
arah kakek berpakaian abu-abu, dia berharap
kakek itu akan menoleh kepadanya dan menjelaskan maksud ucapan tadi.
Namun, keinginan Dewa Arak tidak terkabul.
Kakek berpakaian abu-abu itu tidak menoleh
sama sekali, tetap sibuk dengan rantingnya yang dicelupkan ke dalam air sungai.
Kenyataan itu membuat Arya agak ragu, benarkah kakek
berpakaian abu-abu yang mengucapkan perkataan yang jelas-jelas ditujukan padanya"
Untuk sesaat pemuda berambut putih keperakan itu itu tercenung di tempatnya. Namun, rasa penasaran yang kuat
memaksanya untuk
mengayunkan kaki menghampiri kakek berpakaian abu-abu yang tetap tidak menunjukkan tanggapan apa pun. Seakan-akan
dia tidak tahu kalau Dewa Arak tengah
kebingungan dan penasaran.
"Maaf.. , mengganggu sebentar, Kek," ucap Arya sopan, setelah berada di dekat
kakek itu. Si kakek berpakaian abu-abu tetap tidak menoleh, seakan tak
mengetahui kehadirannya. "Apakah kau yang telah mengucapkan kata-kata tadi,Kek?"
"Kalau benar mengapa, Anak Muda?" tanya kakek berpakaian abu-abu tanpa
mengalihkan pandangan dari rantingnya.
'Tidak apa-apa, Kek," jawab Arya cepat "Maaf, aku merasa berterima kasih sekali
mendapat pemberitahuan itu, apalagi jika Kakek bersedia memberikan penjelasan ucapanmu
itu." "Ha ha ha. .!"
Mendadak kakek berpakaian abu-abu itu ter-
tawa tergelak sambil menoleh ke arah pemuda di sampingnya. Dewa Arak seketika
terbelalak kaget, karena mengenal siapa adanya kakek ini.
"Kiranya kau, Kek..! Kau. ., kau. . Ki Jaran Sangkar! Ah, sampai hati kau
mempermainkanku, Kek" seru Arya agak terputus-putus karena kaget
"Ha ha ha. .!"
Kakek berpakaian abu-abu yang ternyata Jaran
Sangkar, tertawa terbahak-bahak dengan tarikan wajah menyiratkan kegembiraan.
Seperti juga Arya,dia merasa gembira dengan pertemuan ini.
"Kau masih tetap seperti dulu, Arya. Sabar dan tidak mudah terpancing amarah."
"Kau bisa saja, Ki," jawabArya agak malu-malu.
Sekarang pemuda berambut putih keperakan
itu tidak merasa penasaran sama sekali dengan kejadian-kejadian menakjubkan yang
dialaminya barusan. Dirinya tahu kalau Jaran Sangkar
memiliki kepandaian sukar untuk diukur. Untuk mengetahui lebih jelas tentang
Jaran Sangkar, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:
"Kembalinya Raja Tengkorak."
"Oh, iya, Ki. Bisa kau jelaskan maksud ucapanmu tadi?" pinta Arya setelah
beberapa saat lamanya terlibat percakapan dengan si kakek sakti itu.
"Aku pun hanya mengetahui secara kebetulan saja, Arya," jawab Jaran Sangkar
dengan raut wajah sungguh-sungguh. "Dunia persilatan akan terancam bahaya besar,
apabila anak ajaib ini terjatuh ke tangan tokoh golongan hitam."
"Bisa kau ceritakan lebih jelas lagi, Ki?" tanya Arya penasaran. Karena apabila
seorang tokoh sakti seperti Jaran Sangkar sampai khawatir, bisa dipastikan masalah itu bukan
main-main. "Seorang tokoh sakti golongan putih yang sekarang telah menjadi kakek-kakek dan
berjuluk Prajurit Kerajaan Dewa, mendapat surat dari
anaknya. Isi surat itu menceritakan bahwa anak wanita satu-satunya telah
melahirkan seorang
bocah ajaib. Sejak bocah ajaib masih bayi, anak Prajurit
Kerajaan Dewa itu, beserta sang Suami terpaksa membawanya
kabur, meninggalkan tempat kediamannya. Mereka mengasingkan diri di
tempat yang tersembunyi selama bertahun-tahun.
Anak Prajurit Kerajaan Dewa baru mengirim surat ketika bayinya telah berusia
sepuluh tahun. Tapi sayang, entah bagaimana, isi surat itu bocor dan Prajurit
Kerajaan Dewa dikuntit tokoh-tokoh
persilatan. Mereka bermaksud mengambil bocah
ajaib itu secara paksa dari ibunya. Asal kau tahu saja, Arya, meskipun masih
bocah, kepandaiannya luar biasa!"
Jaran Sangkar menghentikan ucapannya seje-
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nak untuk mengambil napas dan membasahi
tenggorokannya.
Arya, meskipun merasa penasaran dan tertarik untuk segera mendengarkan kelanjutan cerita itu, terpaksa
menunggu dengan sabar.
"Meskipun aku tahu kepandaian Prajurit Kerajaan Dewa amat tinggi, tapi aku yakin
dia tidak akan sanggup menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang menginginkan
cucunya. Dan bila bocah itu sampai jatuh ke tangan tokoh golongan hitam, berarti
bencana bakal datang bagi dunia persilatan..
Aku yakin, tak akan ada seorang tokoh pun yang sanggup menentang angkara murka
bocah ajaib itu!" "Kalau begitu, biar aku menyediakan tenagaku yang tidak seberapa ini untuk
mencegah terjadinya bencana mengerikan itu, Ki!" ujar Arya menawar-kan diri.
"Memang demikian seharusnya, Arya! Seka-
rang,pergilah kau ke Gunung Pangrango!"
Setelah berkata demikian, Jaran Sangkar lalu
bersiul. Suaranya keras bukan kepalang, membuat Arya terpaksa mengerahkan tenaga
dalam karena merasakan dadanya tergetar hebat.
Diam-diam pemuda berambut putih keperakan itu merasa heran melihat tindakan yang
dilakukan Jaran Sangkar. Namun keheranan Arya berganti keterkejutan
ketika mendengar bunyi kelepak sayap burung besar. Dilihatnya seekor burung
garuda berwarna kuning keemasan menukik turun sambil memekik
nyaring melengking. Daun-daun pohon bergetar
hebat oleh kekuatan kepak sayap burung yang
dalam sekejap saja telah hinggap di depan Jaran Sangkar.
"Angkasa, bawa kawanku ini ke Gunung
Pangrango! Patuhi perintahnya," ucap Jaran Sangkar seperti berbicara pada
manusia. "Dan ingat, setelah Itu kau harus kembali lagi kemari.
Mengerti?"
Burung garuda emas yang tingginya hampir
menyamai Arya itu mengeluarkan bunyi seakan-akan mengiyakan. Jaran Sangkar pun
mempersila- kan Dewa Arak naik di pungung burung raksasa
itu. Dewa Arak bimbang. Namun karena dirinya
percaya penuh pada Jaran Sangkar, lagi pula
perjalanan menuju Gunung Pangrango amat jauh, segera memberanikan diri menaiki
punggung Angkasa, si Burung Raksasa itu. Sesaat kemudian, burung garuda emas itu terbang
membawa tubuh Arya serta menuju tempat tujuan yang bila
ditempuh dengan ilmu lari cepat memakan waktu berhari-hari.
*** Pada saat yang bersamaan dengan terbangnya
garuda emas, kakek berambut putih yang tidak
lain Prajurit Kerajaan Dewa, mulai melihat adanya sosok-sosok bayangan yang
menguntitnya. Kini dia berada di kaki Gunung Pangrango. Kakek berambut putih itu
pun menghentikan perjalanannya.
"Keluar kau, Pengecut Hina!" seru Prajurit Kerajaan Dewa dengan lantang. Matanya
mengawasi ke sekelilingnya, yang berupa hamparan padang rumput di luar hutan.
"Ha ha ha. .!"
Suara-suara tawa yang keras dan tidak sedap
didengar telinga langsung menyambuti seruan Prajurit Kerajaan Dewa. Menilik dari
banyaknya tawa, bisa diketahui kalau pemiliknya tidak hanya satu orang. Ternyata
benar. Sesaat kemudian sebelum suara tawa itu lenyap, berkelebat sesosok
bayangan yang langsung berdiri di depan Prajurit Kerajaan Dewa.
'Tak kusangka! Semakin tua, mata dan telinga-
mu semakin tajam saja, Prajurit!" seru sosok yang baru datang itu dengan senyum
sinis terkembang di wajahnya.
Sosok yang berdiri di hadapan Prajurit
Kerajaan Dewa terlihat aneh. Sesosok tubuh
manusia bertubuh dan kepala dua. Namun kedua
sosok itu berdiri dengan sepasang kaki. Secara jelasnya sosok itu adalah dua
orang. Namun sosok yang satu lagi berdiri atau lebih tepatnya lagi bertengger di
leher sosok yang lain, karena sosok itu tidak mempunyai batang kaki lagi. Kedua
kakinya putus, sampai ke pangkal paha.
Usia sosok yang tidak mempunyai kaki itu sulit untuk diterka, tapi yang jelas
tak kurang dari lima puluh tahun. Wajahnya bersih tanpa terhias bulu.
Sebuah topi bundar yang bertengger di atas kepala membuat wajahnya sulit untuk
dikenali. Sosok yang satu lagi, walaupun memiliki sepa-
sang kaki lengkap, tidak lebih beruntung dari rekannya, karena sepasang matanya
buta. Dengan memanggul si buntung dia pun memperoleh
keuntungan dari jerih payahnya itu. Dengan
sepasang mata si buntung, dia tidak akan
mengalami kesukaran untuk berjalan. Kedua
sosok ini bisa saling menutupi kekurangan
masing-masing. Bagi orang awam mungkin melihat kedua
orang ini akan menimbulkan rasa iba. Namun
tidak demikian halnya bagi tokoh-tokoh persilatan.
Justru kedua sosok cacat ini ditakuti karena
kepandaian dan kekejamannya.
Lelaki yang berkaki buntung itu terkenal sebagai seorang bajak laut yang merajai
berbagai sungai, menyebar kejahatan. Kejahatannya semakin merajalela setelah sepasang kakinya
dibuntungi oleh seorang pendekar yang berusaha mencegah keangkaramurkaannya. Hal
yang sama pun menimpa kawannya. Pendekar yang melakukan hal itu tak lain Prajurit Kerajaan Dewa, belasan bahkan mungkin
puluhan tahun lalu.
Itulah sebabnya kedua tokoh hitam yang
sebenarnya mempunyai julukan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti
mengenal Prajurit Kerajaan Dewa.
Berbeda dengan kedua tokoh hitam itu yang langsung
mengenali musuh bebuyutannya, Prajurit Kerajaan Dewa tidak demikian. Dia tertegun
sesaat, memperhatikan kedua sosok ganjil itu.
"Ah, kiranya kalian, Iblis-iblis Haus Darah! Apakah peristiwa belasan tahun lalu
belum membuat kalian kapok" Apakah kedatangan kalian kemari, mencegat
perjalananku untuk balas dendam"!"
"Kau salah duga, Prajurit!" sahut lelaki berkaki buntung yang berjuluk Nelayan
Pemancing Nyawa.
"Kami tidak bermaksud membalas dendam padamu! Bukankah demikian,Petani"!"
Lelaki bermata buta yang berjuluk Petani Berja-ri Sakti,menganggukkan kepala.
"Apa yang dikatakan Nelayan Pemancing Nya-wa tidak salah, Prajurit Kerajaan
Dewa! Kami tidak bermaksud membalas dendam atas perlakuanmu
belasan tahun lalu. Kalau kami mau tentu saja telah kami lakukan ketika kami
melihatmu meninggalkan tempat kediaman beberapa hari
yang lalu!"
Prajurit Kerajaan Dewa bukan orang bodoh. Dia takkan begitu saja menelan mentah-
mentah ucapan tokoh-tokoh golongan hitam yang telah ter-biasa bertindak licik
itu. Prajurit Kerajaan Dewa tidak percaya dua tokoh sesat itu akan membiarkan
begitu, saja persoalan mereka. Pasti ada alasan lain.Dan dia bisa memperkirakan
alasan itu. "Tidak usah berpura-pura baik hati, Nelayan Pemancing Nyawa, Petani Berjari
Sakti!" tukas Prajurit Kerajaan Dewa, tegas. "Aku tahu, orang-orang macam apa
kalian! Jadi tak ada gunanya berbohong, lebih baik katakan maksud kalian yang
sebenarnya..!"
"Ha ha ha..!" Nelayan Pemancing Nyawa tertawa bergelak untuk menenangkan hatinya
karena Prajurit Kerajaan Dewa dapat menebak maksud
mereka. "Memang lebih baik berterus terang terhadap orang seperti dirimu,
Prajurit! Ketahuilah, kami bersedia tidak memperpanjang persoalan
lama apabila kau bersedia menunjukkan di mana putrimu!"
"Sudah kuduga maksud kalian ke sana!" sahut Prajurit Kerajaan Dewa. "Tapi jangan
harap aku akan membentahukannya! Aku, Prajurit Kerajaan Dewa, bukan orang yang
takut mati! Tak akan ku-beritahukan di mana putriku berada meskipun
untuk itu nyawaku harus melayang! Majulah
kalian,Manusia-manusia Busuk!"
"Keparat! Kau mencari mati, Prajurit! Rupanya kau merasa bangga karena dapat
mengalahkanku dulu! Tapi, sekarang jangan harap kemenanganmu akan terulang! Kau akan menjadi
mayat tanpa kubur di sini! Hih!"
Srrr! Prajurit Kerajaan Dewa segera merendahkan
rubuhnya ketika senjata Nelayan Pemancing
Nyawa meluncur ke arah kepalanya. Senjata lelaki berkaki buntung yang ternyata
sebatang pancing, lengkap dengan tali, dan mata kailnya hampir saja mengenai
pelipis. Untung lelaki tua itu bertindak cepat. Prajurit Kerajaan Dewa tahu
apabila mata kail berhasil mendarat pada sasaran, nyawanya akan melayang ke alam
baka. Namun belum juga Prajurit Kerajaan Dewa
sempat berbuat sesuatu, Petani Berjari Sakti telah melancarkan tendangan kaki
kanan. Semula yang dituju adalah perut atau dada, tapi karena Prajurit Kerajaan
Dewa, tengah merendahkan tubuh, serangan itu cepat beralih ke kepala.
Prajurit Kerajaan Dewa terkejut bukan kepa-
lang, tapi sedikit pun tak ada rasa gugup. Dilempar tubuhnya ke belakang dan
bersalto beberapa kali di udara untuk menjauhkan diri. Sehingga
serangan Petani Berjari Sakti hanya mengenai
tempat kosong. Petani Berjari Sakti dan Nelayan Pemancing
Nyawa tidak hanya bertindak sampai di situ.
Ketika Prajurit Kerajaan Dewa melompat jauh ke belakang,
mereka berdua memburunya. Kemudian kedua tokoh sesat itu melancarkan
serangan bertubi-tubi yang membuat Prajurit
Kerajaan Dewa tidak bisa tinggal diam. Pertarungan sengit pun berlangsung.
31 Dalam gebrakan-gebrakan pertama, hanya Ne-
layan Pemancing Nyawa yang mempergunakan
senjata. Namun seterusnya baik Petani Berjari Sakti
maupun Prajurit Kerajaan Dewa mengeluarkan senjata masing-masing. Lelaki
bermata buta itu mempergunakan senjata khas
petani, cangkul bergagang melengkung. Senjata yang menggiriskan hati karena
Prajurit Kerajaan Dewa
diumpamakan tanah yang akan dicangkulnya. Sementara Prajurit Kerajaan Dewa seperti juga kedua lawannya memiliki senjata
khas prajurit kerajaan. Sebuah golok dilengkapi dengan sebuah perisai baja
berbentuk bundar dan dipegang di tangan kiri. Lengan kiri dimasukkan di tali
belakang perisainya.
Prajurit Kerajaan Dewa ternyata masih mampu
menunjukkan kelihaiannya. Meskipun cangkul Petani Berjari Sakti berkelebat ke
sana kemari memburu sasaran, lelaki tua berjubah putih itu masih mampu mengatasi
lawannya. Dengan senjata
berupa cangkul itu tampaknya Petani Berjari Sakti tak mampu menembus pertahanan
lawan . Ke mana saja cangkulnya menyambar, perisai lawan telah siap menangkis
dan dengan kuatnya
melindungi tubuh Prajurit Kerajaan Dewa. Sialnya lagi, sekali perisai itu
menangkis cangkul , selalu dibarengi dengan sabetan golok yang tiba-tiba dan tak
terduga. Hal inilah yang menyebabkan Petani Berjari Sakti mati kutu.
Untung saja ada Nelayan Pemancing Nyawa.
Lelaki berkaki buntung itu terus berusaha menyelamatkan
kawannya dengan melancarkan serangan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa
terpaksa harus membatalkan serangannya. Serangan pancing Nelayan Pemancing Nyawa
benar-benar luar biasa. Senjatanya yang lentur bila sudah dialiri tenaga dalam,
tidak begitu saja dapat ditangkis dengan perisai sebab arah serangannya sulit
untuk diduga. Kalau saja kedua lawannya maju satu persatu,
tentu Prajurit
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kerayaan Dewa sanggup menghadapi dengan senjata khasnya. Meskipun di dalam hati dia mengakui tingkat
kepandaian kedua lawannya kini telah mengalami banyak
perkembangan. Dua lawan untuk dihadapinya
secara bersamaan terlalu berat. Apalagi masing-masing memiliki kemampuan
istimewa dan senjata unik. Itu pun masih ditambah lagi dengan kerja sama yang kompak, saling
melindungi dan memperkuat serangan. Perlahan tapi pasti Prajurit Kerajaan Dewa
berhasil didesak. Pancing di tangan Nelayan Pemancing Nyawalah yang membuatnya
kerepotan. Semakin lama kedudukan Prajurit Kerajaan
Dewa semakin mengkhawatirkan. Pada saat
memasuki jurus kelima puluh serangan-serangan yang dilancarkan hampir tidak ada
lagi. Dia hanya mampu bergerak kesana kemari mengelak sambil
menangkis serangan gencar lawan. Lelaki tua
berjubah putih itu terus terdesak mundur. Hingga satu ketika..,
"Hiaaa. .!"
Prattt! "Akh..!"
Prajurit Kerajaan Dewa terpekik kaget ketika
mata kail yang cukup besar merobek tengkuknya.
Seketika darah mengalir keluar dari bagian yang terluka. Kakek berpakaian putih
ini tidak sempat mengelak atau menangkis serangan, karena
tubuhnya dalam keadaan terhuyung-huyung,
setelah memapak cangkul Petani Berjari Sakti.
Selain itu, dia pun baru saja mengelak dari
babatan gagang pancing yang berkelebat cepat.
Namun senjata Nelayan Pemancing Nyawa itu
memang luar biasa karena dapat melancarkan
serangan ganda. Batang pancing dan mata kailnya menyambar dari arah yang berbeda
dan sasaran yang dituju pun berbeda - beda juga.
*** 3 Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berian
Sakti tampaknya tak ingin memberi kesempatan
pada lawannya untuk memperbaiki kedudukan.
Keduanya tidak ingat lagi akan maksud semula
untuk memaksa Prajurit Kerajaan Dewa memberitahukan tempat putrinya berada. Yang
ada di benak mereka itu hanya ingin melenyapkan nyawa lawannya.
Bahkan karena begitu tak sabar, Nelayan
Pemancing Nyawa melompat dari pundak rekannya. Tubuhnya memburu Prajurit Kerajaan
Dewa dengan pukulan telapak tangan ke dada
lawan. Pada saat yang bersamaan, Petani Berjari Sakti pun mengayunkan cangkulnya ke
arah pinggang kanan. Apabila kedua serangan ini mengenai
sasaran, tak ampun lagi bagi lelaki tua berjubah putih itu.Nyawanya pasti akan
melayang seketika.
Meskipun tengah berada dalam keadaan
mengkhawatirkan. Prajurit Kerajaan Dewa masih mampu mempertunjukkan kalau
dirinya seorang
tokoh persilatan yang punya nama besar. Dalam keadaan
terhuyung-huyung itu, dia
masih sanggup mengavunkan perisainya untuk memapak sambaran cangkul.
Klangngng! Kedudukan yang tidak menguntungkan,ditam-
bah lagi dengan tenaganya yang telah terkuras, membuat
tubuh Prajurit Kerajaan Dewa terhuyung-huyung ke samping. Bahkan akibat
benturan keras itu perisainya terlepas dari
pegangan. Namun justru akibat benturan itu, Prajurit Kerajaan Dewa selamat dari
marabahaya. Hantaman telapak tangan Nelayan Pemancing Nyawa tidak
mengenai sasaran yang dituju, melainkan bahu
kiri! Sungguh pun begitu, cukup untuk membuat tubuh Prajurit Kerajaan Dewa
terjengkang ke belakang dengan menyemburkan darah dari
mulutnya. Sementara, Nelayan Pemancing Nyawa setelah
berhasil memasukkan serangan langsung melompat kembali ke belakang leher Petani Berjari Sakti.
Dengan sorot mata penuh perasaan menang
Nelayan Pemancing Nyawa menatap Prajurit Kerajaan Dewa yang tergolek di
tanah,tidak berdaya.
"Sekarang terimalah kematianmu, Prajurit!" se-ru Nelayan Pemancing Nyawa dengan
suara bergetar karena amarah yang meluap. Sedangkan
Petani Berjari Sakti hanya menganggukkan kepala, pertanda membenarkan ucapan
rekannya. "Hih!"
Seperti telah disepakati sebelumnya, Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti secara serentak melancarkan serangan.
Nelayan Pemancing Nyawa menggerakkan senjata uniknya,
sehingga tali pancingnya membelit batang pancing.
Dengan gerakan cepat batang pancing itu ditusukkan ke arah mata Prajurit
Kerajaan Dewa. Sedangkan Petani Berjari Sakti mengayunkan
cangkulnya ke arah paha Prajurit Kerajaan Dewa.
Rupanya, kedua tokoh hitam ini telah bersepakat untuk membalas sakit hati mereka
belasan tahun lalu. Gempuran demi gempuran terus dilancarkan ke tubuh lelaki tua
berpakaian putih itu, tanpa dapat dicegah sedikit pun. Meskipun Prajurit
Kerajaan Dewa tetap berupaya mengelak dan
menangkis, tak urung serangan gencar itu berkali-kali mendarat di tubuhnya.
Darah pun terus
mengalir dari tengkuk, dada, perut yang terluka oleh senjata kedua lengannya.
Prajurit Kerajaan Dewa semakin parah karena
sudah tidak mampu untuk menggelakkan atau
menangkis serangan itu. Keadaan tubuhnya
benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Luka parah yang diderita, serta tenaganya
yang telah terkuras habis membuat orang tua itu tak mampu berbuat banyak guna
menghentikan tindakan kedua tokoh hitam yang menjadi musuh bebuyutannya.
Di saat-saat marabahaya akan menimpa Praju-
rit Kerajaan Dewa, mendadak terdengar pekikan melengking nyaring yang
dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti kaget.
Sejenak kedua tokoh hitam itu menggigil menahan kekuatan suara dahsyat yang
belum ketahuan dari mana asalnya. Dengan sendirinya serangan terhadap Prajurit Kerajaan Dewa
pun terhenti. Keduanya merasakan tenaga dalam yang mereka
kerahkan tiba-tiba lenyapseketika.
Hal itu pun tak luput dialami oleh Prajurit Kerajaan Dewa yang sudah parah.
Namun Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti sama-sama tokoh hitam yang sangat tangguh. Keduanya tampak
mengerahkan seluruh
kemampuan tenaga dalam, mengusir kekuatan
aneh yang mengungkung tubuh mereka. Namun
sayang, sebelum keduanya sempat berbuat
sesuatu, dari atas meluncur dua rentetan angin pukulan dahsyat ke arah mereka.
Angin pukulan yang mengandung hawa panas menyengat
menandakan kalau pemiliknya memiliki tenaga
dalam berhawa panas yang sangat kuat.
Kedua tokoh hitam berkaki buntung dan mata
buta itu tampaknya menyadari ada bahaya
mengancam jiwa mereka. Dengan cepat keduanya
melompat menghindari serangan dahsyat itu.
Seketika terdengar ledakan menggelegar. Debu
mengepul tinggi ke udara disertai
dengan berpentalannya bongkah-bongkahan tanah ke
udara,menutupi pandangan.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti merasa geram bukan kepalang dengan ada-
nya gangguan ini. Mereka tahu ada orang sakti yang telah menolong calon korban.
Kehebatan tokoh yang jelas di atas Prajurit Kerajaan Dewa bisa mereka rasakan dari
dahsyatnya pukulan
jarak jauh yang tertuju pada mereka.
Walaupun demikian, Nelayan Pemancing Nya-
wa dan Petani Benari Sakti tampaknya tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan
keduanya bertekad untuk menyingkirkan perintang itu sekaligus. Dan karena rasa
tidak sabar untuk melaksanakan
maksud itu, keduanya segera mengerahkan tenaga dalam
guna mengusir debu tebal yang menghalangi pandangan mata mereka. Sehingga
sesaat kemudian suasana telah kembali seperti sediakala.
*** Ketika debu telah terusir, tampak berdiri tegap di hadapan mereka seorang pemuda
berambut putih keperakan, yang tak lain Dewa Arak. Namun kedua tokoh hitam itu
kaget ketika mereka tak melihat Prajurit Kerajaan Dewa. Rupanya ketika keadaan
tempat itu diliputi debu tebal, Dewa Arak dengan cepat menyingkirkannya ke
tempat yang aman. "Hai..! Siapa kau, Monyet Kecil"! Sungguh berani kau mencampuri urusanku?" geram
Nelayan Pemancing Nyawa penuh kemarahan. Sedangkan
Petani Benari Sakti, yang tidak bisa melihat hanya berdiri
dengan tarikan wajah menyiratkan kebingungan. "Arya.., namaku Arya Buana. Dan orang yang hendak kalian bunuh itu adalah
kawanku. Itulah sebabnya aku terpaksa ikut campur," jawab Dewa Arak.
"Kalau begitu, nyawamu lebih dulu yang akan kukirim ke akherat!"
Sambil mengucapkan ancaman begitu, lelaki
berkaki buntung itu telah mengayunkan senjata uniknya. Mata kailnya meluncur
cepat menjadi sinar kehitaman yang menyambar ke arah leher
Dewa Arak. Sedangkan
batang pancingnya
berkelebat cepat menusuk ke ulu hati. Dua buah serangan maut!
Sementara itu Petani Berjari Sakti yang tadi
hanya mendengar percakapan rekannya langsung
melancarkan serangan pula. Lelaki buta ini
melancarkan serangan dengan tusukan dua jari
tangan kanan dan kirinya. Tentu saja karena
jaraknya yang cukup jauh, jari-jari Petani Berjari Sakti tidak akan menyentuh
sasaran, tapi ternyata di sini keistimewaan lelaki buta itu. Tidak percuma
mendapat julukan Petani Berjari Sakti, karena angin serangannya pun sudah cukup
berbahaya! Angin serangan jari-jarinya tak kalah dengan
tusukan senjata tajam! Mampu melubangi sasaran dari jarak jauh!
Serangan yang dilancarkan kedua tokoh hitam
itu ternyata sangat dahsyat. Namun bagi Dewa
Arak hal itu tentu saja dianggap biasa. Pemuda berambut putih keperakan itu
seolah-olah tak
mempedulikan serangan Petani Berjari Sakti.
Serangan itu dibiarkan saja. Yang dihadapinya hanya serangan Nelayan Pemancing
Nyawa. Itu pun dengan cara yang luar biasa.
Serangan mata kail yang melesat ke leher dari arah kanan, dikandaskan dengan
kibasan tangan kirinya yang menimbulkan hembusan angin kuat.
Mata kail pun terhempas ke arah lain. Sedangkan tusukan batang pancing dielakkan
hanya dengan meliukkan tubuh ke kanan tanpa menggeser kaki.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keduanya tak menduga
kalau pemuda itu akan demikian mudah mematahkan serangan-serangan mereka.
Namun yang lebih kebingungan lagi Petani Ber-
jari Sakti. Meskipun matanya tidak dapat melihat, tapi dengan pendengarannya
yang tajam, dapat
mengetahui kalau lawan tidak mengelak. Dan
serangan yang diakukan diketahui mengenai
sasaran. Namun tidak ada akibat lanjutan yang didengar selain bunyi angin
tusukan jari-jarinya merobek baju lawannya. Ternyata benar, hasil
yang didapat pendengaran Petani Berjari Sakti sesuai dengan kenyataannya.
Kegagalan serangan yang dilakukan, tak mem-
buat Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti
kapok. Bahkan sebaliknya serangan-
serangan lanjutan yang jauh lebih dahsyat segera dilancarkan. Hal itu terjadi
karena rasa penasaran dan amarah yang menggelegak.
Terjangan-terjangan dua tokoh hitam itu
disambut secara hangat oleh Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu tidak
hanya mengelak dan menangkis, tapi juga balas
menyerang sehingga pertarungan pun
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlangsung. Pertarungan kini berjalan jauh lebih seru dan menarik daripada
ketika bertarung
dengan Prajurit Kerajaan Dewa.
Seperti juga Prajurit Kerajaan Dewa, Arya pun mengalami sedikit kesulitan dalam
menghadapi kedua lawannya yang bergabung dan bekerja
sama secara aneh ini. Mereka bisa saling mengisi, saling menguatkan serangan,
dan memperkokoh
pertahanan. Hingga pertarungan telah berjalan selama dua puluh jurus, Dewa Arak
tetap belum mampu mengatasi kehebatan serangan kedua
lawannya. Padahal dirinya telah mengeluarkan
ilmu-ilmu andalan yang diwarisi dari almarhum ayahnya, Pendekar Ruyung Maut,
yaitu ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' dan ilmu
'Sepasang Tangan Penakluk Naga'. (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode:"Pedang Bintang").
Keadaan seperti itu pun tampaknya dialami pi-
hak Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti. Mereka tak mampu menekan
pertahanan lawan. Kedua belah pihak sama-sama mengalami
kesulitan untuk mengungguli dan menggempur
pertahanan lawan. Pertarungan itu pun berlangsung seimbang dan kian seru.
"Hey..!"
Dewa Arak berseru kaget ketika melihat ada
sesosok tubuh berpakain merah tiba-tiba melesat mendekati tempat Prajurit
Kerajaan Dewa berada.
Dewa Arak langsung bisa memperkirakan hal
yang akan terjadi. Sosok berpakaian merah itu hendak mengail
di air keruh, mengambil
keuntungan di saat kedua belah pihak yang
tengah memperebutkan Prajurit Kerajaan Dewa,
sibuk saling serang. Oleh karena itu, Dewa Arak tidak
berani bertindak lambat Sambil menjatuhkan tubuh ke tanah untuk menyelamatkan diri dari serangan kedua lawannya, dikirimkan pukulan jarak jauh dengan tangan kiri ke arah sosok
berpakaian merah.
Apabila sosok berpakaian merah itu meneruskan maksudnya tentu akan terhantam
pukulan jarak jauh Dewa Arak.
Jalan untuk lolos dari serangan pemuda
berbaju ungu itu hanya mengurungkan maksud
dengan melompat menghindarinya.
Namun dugaan Dewa Arak ternyata meleset. Sosok
berpakaian merah itu memang tak meneruskan
maksudnya, namun dengan cepat dikibaskan
tangan kirinya menangkis serangan jarak jauh
Dewa Arak,Hingga..
Glarrr! Ledakan keras seperti halilintar menyambar
terdengar, ketika dua buah angin pukulan itu
berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, baik Dewa Arak maupun sosok berpakaian
merah sama-sama terjengkang ke belakang. Bahkan keduanya langsung jatuh dan
bergulingan di tanah. Namun Dewa Arak segera mengerahkan kembali tenaga
dalamnya mematahkan tenaga dorong itu. Hal
yang sama dilakukan pula oleh sosok berpakaian merah. Tanpa menemui kesulitan
sedikit pun, kedua tokoh itu mematahkannya.
Sekarang, keduanya berdiri berhadapan dalam
jarak sekitar enam tombak. Pertarungan antara Dewa Arak dengan Nelayan Pemancing
Nyawa dan Petani Benari Sakti langsung terhenti. Bukan karena dua tokoh hitam itu tidak
suka melakukan bokongan di saat lawan tidak siap. Keduanya
tengah dilanda keterkejutan menyaksikan kedatangan tokoh berpakaian merah itu.
"Resi Ganda Wisesa..," desis Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti
hampir bersamaan dengan mata terbelalak.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti mengenal betul tokoh berpakaian merah
yang mereka sapa dengan panggilan Resi Ganda
Wisesa. Seorang kakek yang tinggal di Gunung
Merapi. Tokoh itu terkenal memiliki banyak ilmu tingkat tinggi yang aneh-aneh.
Namun yang membuat namanya lebih dikenal orang karena
sepak terjangnya yang menggiriskan. Resi Ganda Wisesa terkenal sebagai tokoh
sakti yang memiliki watak kejam.
Berbeda dengan Nelayan Pemancing Nyawa dan
Petani Berjari Sakti, Arya tidak mengetahui sosok berpakaian merah itu merupakan
tokoh yang ditakuti karena kepandaian dan kekejamannya.
Dia hanya dapat memperkirakan kalau lawannya
kali ini amat tangguh, berdasarkan perbenturan tenaga dalam tadi.
Kenyataan ini membuat Dewa Arak bersikap
hati-hati. Hal yang sama pun dilakukan pula Resi Ganda Wisesa, karena tahu kalau
pemuda berambut putih keperakan itu meskipun usianya masih muda,tak dapat
dianggapremeh. Meskipun demikian, kakek berpakaian merah
itu tidak merasa gentar. Tidak tersirat dalam pikirannya akan ada orang lain.
Apalagi pemuda yang dapat menandingi kemampuan ilmunya.
Selama ini dirinya belum pernah menemukan
tokoh yang mampu menandingi ilmu silatnya, baik dari golongan hitam maupun
putih. "Aku pernah mendengar adanya seorang tokoh baru di dunia persilatan. Seorang
pendekar muda yang memiliki kesaktian menakjubkan dan
terkenal dengan julukan Dewa Arak. Apakah kau orangnya, Macan Kecil"!" tanya
Resi Ganda Wisesa dengan
nada memandang rendah, setelah
memperhatikan Arya dari ujung rambut sampai
ujung kaki beberapa saat lamanya.
"Ah, berita itu terlalu dilebih-lebihkan. Mana bisa dibandingkan dengan
kepandaian Kakek,"
jawab Arya tenang dan merendahkan diri. Sama
sekali tak terpancing dengan sikap lawan yang meremehkannya.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti terkejut bukan kepalang ketika mengetahui kalau pemuda itu ternyata Dewa
Arak. Seorang pemuda yang julukannya telah menggemparkan
dunia persilatan. Kini rasa penasaran yang sejak tadi menyelimuti hati mereka
karena tak mampu mengalahkan pemuda itu sirna! Kabar yang
tersebar mengenai kesaktian Dewa Arak telah lama mereka dengar.
Keterkejutan yang melanda hati dua tokoh hi-
tam itu tidak dialami Resi Ganda Wisesa. Kakek berpakaian merah tidak merasa
kaget sama sekali mendengar Dewa Arak membenarkan dugaannya.
Resi Ganda Wisesa tetap yakin kalau kepandaiannya berada di atas Dewa Arak.
Meskipun telah banyak tokoh hitam rimba persilatan bertekuk lutut kepada
pendekar muda berambut putih keperakan itu. "Ha ha ha. .!"
Resi Ganda Wisesa yang bertubuh kecil kurus
dan berwajah tirus mirip tikus, tertawa bergelak.
Lelaki tua ini memang memiliki watak sombong
dan senang dipuji, maka sambutan Dewa Arak
yang bernada memuji, membuatnya merasa
bangga bukan kepalang.
"Kau memiliki watak yang menyenangkan hatiku, Dewa Arak. Dan saat ini hatiku
memang tengah merasa senang. Pergilah, jangan mencampuri urusan ini! Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini!"
'Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek. Tapi sayang
sekali, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Sebab, urusan ini ada sangkut-
pautnya dengan diriku pula. Aku hanya dapat
memenuhi permintaanmu jika kau biarkan
Prajurit Kerajaan Dewa pergi bersamaku!"
Seketika wajah Resi Ganda Wisesa berubah
mendengar kata-kata Dewa Arak yang meskipun
diucapkan dengan lemah lembut, tapi mengandung ketegasan. Kakek kecil kurus itu
rupanya memahami benar maksud Dewa Arak.
"Pemuda tidak tahu diri! Dikasih hati kau malah meminta jantung! Jangan harap
aku akan memenuhi permintaan gilamu itu, Bocah Sombong!" "Kalau begitu, terpaksa aku melupakan kebo-dohan sendiri dan mencoba untuk
menentangmu, Kek," ujar Arya masih dengan sikaptenang.
"Kalau begitu.., kaulah yang lebih dulu harus kulenyapkan, Bocah Sombong! Agar
tak ada halangan bagiku membawa Prajurit Kerajaan
Dewa.. " "Hik hik hik!"
Tiba-tiba sebuah tawa melengking panjang dan
menggetarkan menyambut ucapan lelaki tua
berpakaian merah itu. Resi Ganda Wisesa yang
bersiap hendak melancarkan serangan tentu saja terkejut. Serta-merta wajahnya
menoleh ke arah suara itu berasal.
"Heh.."!"
49 Nelayan Pemancing Nyawa pun tersentak ka-
get, ketika mendongakkan kepalanya. Begitu pula Dewa Arak. Mereka hampir tak
percaya melihat sosok manusia melayang di angkasa. Hanya si Petani Berjari Sakti
celingukan. Meskipun tahu suara tawa melengking tadi ber-
asal dari atas, dia tak dapat melihat, karena matanya buta!
*** 4 Ternyata pendengaran tokoh-tokoh itu tidak
salah. Di atas mereka, tampak seorang nenek
berambut panjang meriap tengah duduk dengan
angkuhnya di punggung seekor garuda berwarna
putih. Ketiga tokoh persilatan terlongong bengong, keheranan,menyaksikan
perempuan tua itu.
"Siluman Goa Langit! Turunlah untuk menerima hukuman dariku atas kelancangan
mulutmu!" seru Resi Ganda Wisesa keras karena kemarahan yang melanda. Kakek ini
memang tinggi hati dan selalu tak ingin diremehkan. Suara tawa Siuman Goa Langit
dianggap meremehkan
dirinya. Siluman Goa Langit tetap memperdengarkan
suara tawanya yang melengking tinggi . Kemudian mendadak, diawali jeritan
melengking nyaring, burung garuda putih itu meluruk menyambar Resi Ganda Wisesa.
Resi Ganda Wisesa terkejut bukan kepalang,
melihat kecepatan gerak burung tunggangan
Siluman Goa Langit. Dia hanya melihat sinar putih berkelebat dari atas dan tahu-
tahu sudah diserang bertubi-tubi oleh cakar dan paruh serta sayap besar burung
raksasa itu. Serangan itu hebat sekali. Namun Resi Ganda
Wisesa memang seorang tokoh yang berkepandaian tinggi sekali. Pengalamannya yang banyak di rimba persilatan
membuatnya tetap
tenang menghadapi serangan itu. Dengan cepat
dia
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggerakkan tongkat yang semula menyangga tubuhnya. Tongkat itu ternyata hanya berupa
sarung saja karena di dalamnya tersembunyi sebatang pedang yang berwarna
hitam legam. Dengan kecepatan tinggi pedang hitam legam
itu digerakkan hingga membentuk lingkaran-
lingkaran besar dan kecil. Kemudian dari dalam lingkaran-lingkaran itu melesat
ujung pedang menusuk dengan cepat dan bertubi-tubi ke arah burung garuda yang tengah
menyerangnya. Serangan hebat Resi Ganda Wisesa tidak hanya
membuat Siluman Goa Langit mendecak kagum,
tapi juga Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani
Berjari Sakti. Dewa Arak pun tampak menggeleng-gelengkan kepala. Namun burung
garuda itu pun seakan mengetahui kekuatan lawannya. Karena
begitu menghadapi serangan maut dari pedang
hitam itu, secara aneh dan cepat sekali garuda putih mampu merubah gerakannya.
Tubuhnya berkelebat menyelinap di antara gulungan sinar pedang
guna menyelamatkan diri. Sesaat kemudian terbang di atas kepala Resi Ganda Wisesa, menunggu kesempatan baik
untuk melakukan serangan.
"Hi hi hi..!"
Siluman Goa Langit meledakkan tawa gembira
bernada ejekan terhadap Resi Ganda Wisesa. Hal itu membuat wajah kakek
berpakaian merah
padam karena amarah yang bergolak. Dia tahu
nenek berambut panjang itu menertawakan
kegagalannya. "Rampas pedangnya, Manis!" seru Siluman Goa Langit seakan-akan tak menghiraukan
kemarahan yang tengah melanda hati lawannya.
Kemarahan Resi Ganda Wisesa kian memuncak mendengar ucapan itu. Dia menyangka Siluman Goa Langit mengucapkan
perkataan seperti itu untuk mengejeknya. Dia tahu kalau burung itu berbeda
dengan burung lainnya karena Siluman Goa Langit telah mendidiknya
agar dapat mengerti perintah-perintahnya.
Mendengar seruan tuannya, burung raksasa
itu lalu melabrak dengan sayap dan cakar-
cakamya berusaha merampas pedang Resi Ganda
Wisesa. Burung garuda putih itu memukulkan
kedua sayap ke arah kepala Resi Ganda Wisesa, disusul cengkeraman-cengkeraman
kedua kakinya ke arah pedang hitam yang terus berkelebat
menyerangnya. Mengetahui maksud lawannya, Resi Ganda
Wisesa terkejut. Serangan-serangan garuda itu, terutama sekali sepasang sayapnya
dirasakan sangat dahsyat. Setiap kali bergerak, pasti
menghempaskan angin keras yang membuat
rambut dan pakaian Resi Ganda Wisesa berkibar keras. Sedikit banyak hal itu
mempengaruhi penglihatan kakek berpakaian merah itu.
Arya, Nelayan Pemancing Nyawa, dan Petani
Berjari Sakti memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar tegang di
samping rasa tertarik. Memang pertarungan yang berlangsung cukup
menarik dan menggiriskan hati. Pertarungan
antara seorang manusia sakti menghadapi seekor burung raksasa yang terlatih
berkelahi dan bahkan seperti mengetahui ilmu silat. Sejauh itu belum nampak di antara keduanya
yang bakal memenangkan pertarungan unik itu, baik Resi
Ganda Wisesa maupun garuda putih masih tetap
saling menyerang.
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga
puluh dua, mendadak garuda putih mengeluarkan bunyi aneh yang membuat Siluman
Goa Langit terkejut campur girang.
"Mari pergi dari sini, Manis," bujuk Siluman Goa Langit dengan lembut penuh
kasih sayang. Tanpa menunggu perintah dua kali, garuda
putih itu melesat cepat meninggalkan Resi Ganda Wisesa. Tentu saja kakek
berpakaian merah ini tak mau membiarkan begitu saja. Hatinya telah
telanjur marah dan hanya akan bisa tenang
apabila telah memberikan hajaran atau merenggut nyawa burung itu. Bahkan kalau
bisa sekalian dengan pemiliknya.
Oleh karena itu, dengan kemarahan meluap-
luap dilancarkan pukulan jarak jauh dengan
menghentakkan tangan kanannya ke arah garuda
yang tengah melesat. Namun sungguh di luar
dugaan, burung raksasa itu mampu mengelakkannya dengan cara luar biasa! Dan
kemudian terbang jauh meninggalkan tempat
pertarungan. Pada saat yang bersamaan dengan perginya
burung tunggangan Siluman Goa Langit, Dewa
Arak yang sudah bisa menduga kalau pertarungannya dengan Resi Ganda Wisesa dapat berlangsung kembali, segera
menyambar tubuh
Prajurit Kerajaan Dewa. Dia melesat cepat
meninggalkan tempat itu.
Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti terkejut bukan kepalang mengetahui
tindakan Dewa Arak. Mereka ingin mencegah tapi sayang tidak sempat, karena
keduanya tadi memusatkan perhatian pada pertarungan.
Meskipun demikian, kedua tokoh hitam itu ti-
dak tinggal diam dan langsung melesat mengejar.
Mengetahui apa yang terjadi, Resi Ganda Wisesa pun melakukan hal yang sama,
meskipun agak terlambat. Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh
Resi Ganda Wisesa. Sehingga meskipun Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti telah lebih dulu melesat,dia mampu
menyusul. Meski begitu, untuk menyusul Dewa Arak,
kakek kecil kurus ini tidak mampu. Jarak antara mereka tetap tak berubah seperti
semula. Kenyataan itu membuat Resi Ganda Wisesa yang
mempunyai watak tinggi hati, merasa penasaran bukan kepalang. Dia tidak mau
kalah oleh orang yang lebih pantas menjadi cucunya. Maka segera dikerahkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya
untuk mengejar.
Kejar-mengejar antara dua tokoh sakti yang
berbeda usia dan kepentingan itu pun terjadi.
Bentuk tubuh keduanya lenyap. Yang tampak
hanya bayangan ungu dan merah berkelebatan
dalam bentuk yang tidak jelas.
Dewa Arak tahu kalau Resi Ganda Wisesa
mengejarnya. Dia pun menyadari untuk meninggalkan kakek berpakaian
merah itu tidaklah semudah seperti meninggalkan Nelayan Pemancing Nyawa dan Petani Berjari
Sakti. Maka pemuda berambut putih keperakan itu segera
memilih jalan yang dipenuhi dengan semak
belukar,dan pepohonan.
Siasat Dewa Arak ternyata tidak sia-sia karena Resi Ganda Wisesa tampak mulai
tertinggal. Kakek itu mengalami
kesulitan untuk melakukan
pengejaran karena terhalang semak-semak dan
pepohonan. Hanya dalam beberapa saat, Dewa Arak telah
aman dari kejaran Resi Ganda Wisesa. Prajurit Kerajaan Dewa yang telah percaya
pada Arya setelah tadi mendengar kalau penolongnya
ternyata Dewa Arak, tanpa ragu-ragu memberitahukan tujuannya. Hatinya semakin
gembira ketika tahu kalau pemuda berambut
putih keperakan itu memang bermaksud menolongnya dari kejaran orang-orang persilatan atas petunjuk Jaran Sangkar.
Dewa Arak akhirnya terus menyertai Prajurit
Kerajaan Dewa yang ingin menjumpai putrinya.
Sehingga akhirnya mereka bertemu, ketika
Nawangsuri tengah dipaksa oleh Sepasang
Harimau Hitam. *** "Begitulah ceritanya, Nawang," ucap Prajurit Kerajaan Dewa, mengakhiri
penuturannya sejak
dari dia pergi meninggalkan tempat kediamannya.
"Ah. .! Lagi-lagi Dewa Arak..! Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Entah
bagaimana caranya kami, ayah, dan anak untuk membalas
kebaikanmu ini," ucap Nawangsuri
seraya menatap pemuda berambut putih keperakan yang
berdiri tak jauh di depannya, dengan sorot mata memancarkan rasa kagum.
"Lupakanlah!" ujar Arya dengan tarikan wajah malu hati melihat sikap Nawangsuri
yang begitu bersyukur. "Aku hanya kebetulan saja berhasil menyelamatkan kalian
berdua. Lalu, bagaimana
dengan anakmu.."!"
Arya mengucapkan pertanyaannya secara
pelan, tapi bagi Nawangsuri tak kalah kerasnya dengan ledakan halilintar!
Pertanyaan Dewa Arak mengingatkannya kembali pada anak yang tengah dicarinya.
Keterkejutan Nawangsuri membuat Arya serta
Prajurit Kerajaan Dewa yang telah sembuh dari lukanya merasa heran bercampur
khawatir. Sikap wanita berpakaian coklat itu telah memberi
pertanda akan terjadinya hal-hal yang tak
di nginkan. "Apa yang terjadi, Nawang?" tanya Prajurit Kerajaan Dewa, tak mampu
menyembunyikan kecemasan harinya.
"Taksaka tadi minta izin untuk pergi bermain.
Kami pesan agar dia tidak pergi jauh-jauh . Tapi dia tidak kembali-kembali, maka
aku menyusulnya
sampai di sini. Itu pun setelah suamiku pergi menyusul dan belum kembali!"
Prajurit Kerajaan Dewa dan Arya saling
pandang setelah mendengar penjelasan Nawangsuri. Meskipun tidak berbicara tapi satu sama lain keduanya saling
mengerti arti tatapan yang hanya sekilas itu. Sama-sama khawatir akan terjadinya
sesuatu pada diri Taksaka. Sebab,
tokoh-tokoh persilatan telah mengetahui tempat Nawangsuri dan suaminya serta
Taksaka berdiam.
Kedatangan Sepasang Harimau Hitam telah
memperjelas kenyataan itu.
"Kalau demikian tak ada salahnya kalau aku ikut mencarinya, Dewa Arak," ucap
Prajurit Kerajaan Dewa dengan raut muka tegang karena
khawatir kalau-kalau Taksaka telah jatuh ke
tangan tokoh-tokoh persilatan yang memang
tengah berusaha mendapatkannya.
Baru saja Arya bermaksud membuka mulut,
pendengarannya yang tajam menangkap adanya
suara mencurigakan. Maka maksudnya dibatalkan. Sehingga ucapan yang keluar dari
mulutnya berbe-da dengan maksud sebelumnya.
"Awas, ada orang datang!" bisik pemuda berambut putih keperakan itu pada
Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan Dewa.
Dewa Arak 63 Angkara Si Anak Naga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayah dan anak yang sama-sama memiliki
kepandaian tinggi itu memusatkan perhatian pada pendengaran, begitu mendengar
ucapan Dewa Arak. Mereka ingin membuktikan kebenarannya,
tapi usaha itu sia-sia karena bunyi yang dimaksud Arya
begitu halus. Mereka tak mampu menangkapnya. Meskipun demikian tak berarti Dewa Arak
berbohong dengan ucapannya tadi, karena sesaat kemudian terdengar suara
mendengus keras.
"Kau boleh pergi sesuka hatimu, Dewa Arak!
Tapi. jangan harap dapat lolos dari tanganku! Ke ujung langit sekalipun kau akan
kukejar!" Arya dan Prajurit Kerajaan Dewa tersentak
kaget ketika mengenali siapa pemilik suara itu.
Duga an keduanya ternyata tidak salah. Sesaat kemudian, di hadapan mereka telah
berdiri seorang kakek berpakaian merah, Resi Ganda
Wisesa. "Aku bukan seorang pengecut seperti yang kau tuduhan, Kek! Aku melarikan diri
dari dirimu bukan karena takut, tapi karena tak ingin
bertarung denganmu. Aku tidak punya urusan
apa pun denganmu!"
"Jangan salah, Dewa Arak! Siapa bilang antara kita tak ada urusan" Kau telah
lancang berani mencampuri
urusanku. Itu berarti sebuah tantangan terhadapku. Padahal, aku tak pernah menolak setiap tantangan yang
ditujukan padaku!
Bersiaplah untuk menerima kematian, Dewa
Arak!" ujar Resi Ganda Wisesa,keras dan tegas.
"Sebenarnya, kalau saja saat ini tak ada urusan lain yang lebih penting, dengan
senang hati aku bersedia meminta pelajaran darimu.Dan.."
"Tidak usah banyak mulut, Dewa Araki Katakan saja kalau kau takut dan mengaku
kalah, maka aku akan melepaskanmu! Urusan denganmu akan kuputuskan sampai di sini!"
sergah Resi Ganda Wisesa,penuh kesombongan.
Wajah Dewa Arak langsung berubah. Amarah
mulai membakar harinya. Resi Ganda Wisesa
terlalu sombong. Terlalu menghinanya! Hal ini tidak bisa dibiarkan karena sudah
menyangkut harga dirinya selaku seorang pendekar.
"Baiklah, Resi Ganda Wisesa," ujar Arya dengan suara berat dan sikap gagah.
Kemarahan membuat suaranya agak bergetar. "Kau yang memaksaku. Jadi jangan salahkan kalau
aku bertindak kurang ajar, berani menentang tokoh tua sepertimu!"
"Tidak usah banyak bacot, Dewa Arak!
Mulutmu tak ubahnya mulut wanita, Cerewet!
Kalau berani tak usah bicara lagi,ayo serang aku!"
"Mulutmu terlalu tajam Resi Ganda! Majulah!
Seranglah aku! Bukankah kau yang menginginkan pertarungan ini"!"
"Kalau begitu, bersiaplah untuk menerima seranganku,Dewa Geblek!"
Sambil mendengus begitu Resi Ganda Wisesa
menancapkan tongkatnya di tanah. Kemudian,
kedua tangannya diputar di depan dada secara
cepat, hingga terlihat seperti berjumlah banyak.
Tangan kakek ini bagaikan puluhan pasang
banyaknya! Inilah ilmu andalan yang bernama
'Tangan Seribu'!
'Heaaa..!"
Kemudian, dengan diawali teriakan keras dan
menggetarkan Resi Ganda Wisesa melompat
menerjang. Dari suara teriakannya saja telah dapat diketahui, bahwa kakek
berpakaian merah itu
mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Sesaat Nawangsuri dan Prajurit Kerajaan
Dewa harus mengerahkan tenaga dalam mengatasi pengaruh
getaran dari suara dahsyat itu.
Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah.
Disadari betul kedahsyatan yang terkandung
dalam serangan Resi Ganda Wisesa. Bukan hanya karena kekuatan tenaga dalam yang
tersimpan dalam setiap serangan, tapi kecepatan gerak kedua tangan itu pun sulit untuk
diketahui arah yang dijadikan sasaran.
Penilaian seperti itu yang didapat oleh Prajurit Kerajaan Dewa dan anaknya.
Mereka segera berlompatan menjauhi kancah pertarungan ketika melihat gerakan tangan Resi Ganda
Wisesa yang meluncur ke arah Dewa Arak.
Tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Me-
mang ketika jaraknya masih cukup jauh, dia
tampak bingung untuk memperkirakan sasaran
yang akan dituju kedua tangan yang seperti
berjumlah puluhan pasang itu. Namun, ketika
serangan-serangan itu telah menyambar dekat,
dirinya baru bisa mengetahui. Serangan tangan kanan menuju ke arah pelipis,
sedangkan yang kiri menyambar dengan cengkeraman ke perut.
Apabila salah satu dari kedua serangan mengenai sasaran, cukup untuk mengirim
nyawa Dewa Arak menuju bang kubur.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa
Arak langsung memapak kedua serangan itu.
Serangan ke arah pelipis ditangkisnya dengan
tangan kiri. Sedangkan yang menuju ke perut,
dipapak cepat dengan sikap jari tangan juga
membentuk cakar.
"Heaaa. .!"
Takkk! Prat! Suara keras terdengar ketiga dua pasang
tangan yang sama-sama mengandung tenaga
dalam tinggi berbenturan. Akibatnya, baik tubuh Dewa Arak maupun Resi Ganda
Wisesa terdorong
dua langkah ke belakang. Dari sini saja kedua belah pihak tahu kalau tenaga
dalam lawan berimbang dengan tenaga dalam sendiri.
Dewa Arak yang memang sudah menduga
kalau Resi Ganda Wisesa merupakan lawan yang
amat tangguh, tidak terkejut mengalami kejadian itu.
Bahkan semakin membuatnya harus bertindak hati-hati, karena merasakan sendiri betapa hebat kekuatan tenaga dalam
lawan. Namun tidak demikian halnya dengan Resi
Ganda Wisesa. Hasil benturan tadi membuatnya
merasa penasaran bukan kepalang. Penasaran
bercampur kemarahan, di samping ketidakpercayaan yang menggelora. Benarkah ada seorang pemuda memiliki tenaga
dalam sekuat dirinya" Baginya mustahil!
*** 5 Kedua perasaan itulah yang menyebabkan Resi
Ganda Wisesa melancarkan serangan kembali.
Kedua tangannya seperti telah berubah menjadi banyak
ketika ilmu 'Tangan Seribu'-nya dikeluarkan untuk melancarkan serangan. Dewa
Arak pun menyambutnya dengan hangat, hingga
pertarungan antara kedua tokoh sakti yang
berbeda usia dan golongan itu berlangsung sengit menggiriskan hati.
Kini Dewa Arak merasakan sendiri kedahsyatan setiap serangan Resi Ganda Wisesa yang tak ubahnya gelombang laut.
Kuat, bertubi-tubi dan penuh tekanan. Dengan ilmu 'Delapan
Cara Menaklukkan Harimau' dan 'Sepasang
Tangan Penakluk Naga', dia berusaha meredam
kedahsyatan setiap serbuan kakek berpakaian
merah. Kemudian melancarkan serangan balasan
yang tak kalah dahsyat.
Prajurit Kerajaan Dewa dan Nawangsuri yang
menyaksikan jalannya pertarungan itu merasa
takjub, kagum, di samping pula rasa ngeri. Mata mereka dirasakan berkunang-
kunang dan kepala
pusing ketika memaksakan diri agar dapat melihat dengan jelas pertarungan itu.
Hal itu karena gerakan Dewa Arak dan Resi Ganda Wisesa terlalu cepat, sehingga yang terlihat
hanya bayangan-bayangan ungu dan merah yang berkelebatan
jelas. Saling belit dan sesekali tampak saling pisah.
Itu pun berlangsung sebentar karena kemudian
saling belit kembali.
Tidak hanya itu, dari kancah pertarungan
menyambar desiran-desiran angin keras dan
menggetarkan, membuat Prajurit Kerajaan Dewa
dan anaknya lebih menjauhi kancah pertarungan.
Angin-angin yang berasal dari serangan-serangan kedua tokoh sakti itu membuat
napas mereka sesak. Pertarungan kian seru. Namun tampak Resi
Ganda Wisesa mulai kelabakan. Dia tidak pernah menyangka sama sekali kalau Dewa
Arak akan selihai ini. Tidak hanya dalam hal tenaga mereka berimbang, tapi juga dalam hal
ilmu meringankan tubuh. Hal ini benar-benar tidak bisa diterima.
Resi Ganda Wisesa yang memang berwatak
angkuh. Kehebatan kemampuan lawan justru
membuatnya semakin penasaran. Akibatnya,
serangan-serangan
yang dilancarkannya pun
semakin dahsyat! Namun Dewa Arak tetap
mampu meredamnya. Bahkan pemuda berambut
putih keperakan itu mampu mengirimkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
Pertarungan itu memang semakin seru. Jurus
demi jurus telah saling dikerahkan . Bunyi berdecit , m e ngau ng, dan deru
angin mengiringi setiap gerakan cepat tangan atau kaki mereka.
Bukan hanya itu , angin yang keluar dari setiap serangan yang mereka lancarkan
membuat semak-semak dan pepohonan di sekitar tempat itu tergetar
hebat. Dedaunan
berguguran dan beterbangan. Bahkan banyak dahan pohon yang
berpatahan terhantam pukulan Dewa Arak
maupun Resi Ganda Wisesa. Debu dan bongkahan-bongkahan tanah pun berhamburan
ke atas, setiap pukulan dahsyat menghantam ke bumi.
Ketika pertarungan berjalan seru Nelayan
Pemancing Nyawa dan Petani Berjari Sakti muncul di tempat itu . Prajurit
Kerajaan Dewa yang melihat kehadiran
mereka, langsung mengeluarkan senjata istimewanya, golok dan perisai! Sebelum kedua belah pihak menyerang,
mendadak muncul
Sepasang Harimau Hitam. Kedua lelaki berpakaian serba hitam itu kembali setelah
tak menemukan apa yang dicari di pondokkediaman Nawangsuri.
Melihat kedatangan mereka, Nawangsuri pun
tidak tinggal diam Segera dicabut pedangnya, siap menghadapi serbuan Sepasang
Harimau Hitam yang baginya, satu di antara mereka saja cukup berat untuk dilawan.
Namun rupanya, baik Nelayan Pemancing
Nyawa, Petani Berjari Sakti, maupun Sepasang
Harimau Hitam tak langsung melancarkan
penyerbuan terhadap ayah dan anak yang telah
bersiap untuk bertarung itu. Keempat tokoh hitam itu merasa tertarik dengan
pertarungan antara Dewa Arak dengan Resi Ganda Wisesa. Perhatian mereka pun
tertuju ke sana.
Sementara itu, pertarungan Dewa Arak dan
Resi Ganda Wisesa telah berjalan hampir lima
puluh jurus. Namun sejauh itu tetap belum
menampakkan tanda-tanda siapa yang bakal
memenangkan pertarungan.
"Haaat.!"
Pada jurus kelima puluh tiga, setelah terlebih dulu bersalto beberapa kali di
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 1 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Tiga Naga Sakti 11