Pencarian

Arca Dewi Bumi 3

Pendekar Mata Keranjang 16 Arca Dewi Bumi Bagian 3


kirinya tegang tak bisa digerakkan. Hanya kakinya yang masih
bisa bergerak-gerak.
"Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau sudah belajar memainkan tombak dengan kaki,
tentunya aku ingin belajar darimu! Hik.... Hik... Hik...!"
Dewi Kayangan lalu balikkan tubuh dan
melangkah ke arah Pendekar 108.
Dayang Naga Puspa menyumpah-nyumpah
tak karuan, karena ternyata Dewi Kayangan telah menotok kedua tangan dan tubuh
sebelah atasnya. Hingga yang bisa digerakkan hanya sepasang kakinya!
SEMBILAN SENJATA sialan! Pasti racun yang ditim-
bulkannya lebih dahsyat dari bunga hitam milik Dewi Bunga Iblis! Sialan benar!
Di depan masih banyak urusan yang belum terselesaikan, sementara keadaanku sudah
begini rupa!" gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya kerahkan tena-
ga dalam dan mengusap-usap lengannya yang
masih menggelembung hitam akibat terkena keris hitam Jogaskara. Meski dia telah
menelan obat anti racun yang dibekali Gongging Baladewa na-
mun rasa panas akibat keris Jogaskara masih belum lenyap.
Selagi pendekar murid Wong Agung ini
menggerendeng panjang pendek, tiba-tiba terdengar suara beeekkk! di belakangnya.
Secepat kilat Aji menoleh. Dewi Kayangan terlihat duduk
menggelosoh di belakangnya dengan buka mulut-
nya namun tak terdengar suara cekikikannya.
Dan tanpa mempedulikan pandangan Pen-
dekar 108, Dewi Kayangan angkat sebelah ka-
kinya. Kepalanya menyorong ke depan, lalu mu-
lutnya tampak mencium paha kakinya. Begitu
kepalanya ditarik, pipinya tampak mengembung.
Dewi Kayangan lalu meludah. Tampak darah hi-
tam muncrat dari mulutnya. Ini akibat tombak hitam Dayang Naga Puspa yang sempat
menggores pahanya. Dewi Kayangan melakukan hal itu beru-
lang-ulang. Di hadapan Aji tampak membeliak
sepasang matanya, dari mulutnya terdengar gu-
maman tak karuan. Bukan karena ngeri melihat
darah yang dimuntahkan mulut Dewi Kayangan,
tapi justru karena Dewi Kayangan seenaknya saja angkat sebelah kakinya, hingga
pakaiannya ter-singkap lebar!
"Gila! Apa dia sambil pamer..." Kalau yang melakukan adalah gadis cantik,
hmm.... Tentunya sebuah pemandangan yang amat indah dan tidak
akan kulewatkan begitu saja.... Sungguh sayang
sekali...," kata Pendekar Mata Keranjang dalam hati seraya palingkan wajah dan
menahan tawa, meski dengan itu lengannya makin terasa lebih
nyeri! Di seberang, melihat tingkah Dewi Kayangan, Bidadari Bertangan Iblis
serta Singa Betina Dari Timur tampak saling pandang satu sama
lain. "Perempuan edan tak tahu malu! Apa dia sengaja pamer tubuh..."!" kata
Bidadari Bertangan Iblis seraya meludah ke tanah.
"Mungkin dia tak sadar, atau sengaja me-
lucu! Bukankah dia memang suka yang demi-
kian...?" sahut Singa Betina Dari Timur sambil tertawa.
Tiba-tiba Dewi Kayangan hentikan gerakan
kepalanya. Lalu berpaling pada Singa Betina Dari Timur dan Pendekar 108 yang
sama-sama tertawa. "Edan! Apa yang kalian tertawakan" Apa yang lucu"!" bentak
Dewi Kayangan seraya melotot silih berganti pada Singa Betina Dari Timur dan
Pendekar 108. Singa Betina Dari Timur serta-merta ta-
kupkan mulutnya dan tak berani berkata. Semen-
tara Aji terguncang-guncang, namun tak segera
menjawab, membuat Dewi Kayangan makin men-
delik dan mengulangi pertanyaannya.
Pendekar Mata Keranjang akhirnya henti-
kan guncangan bahunya yang menahan tawa, la-
lu berkata perlahan.
"Dewi. Maaf, kau terlalu tinggi mengangkat
kakimu, hingga...," Pendekar 108 tak meneruskan ucapannya.
Dewi Kayangan yang seakan baru tersadar
akan apa yang diperbuatnya, terdiam untuk beberapa lama, namun sesaat kemudian
cekikikannya meledak! Bidadari Bertangan Iblis menggerutu dan
memaki-maki. "Dia benar-benar sinting! Sudah begitu
masih bisa-bisanya tertawa cekikikan!" sedangkan saudara seperguruannya kembali
tertawa. "Anak monyet! Sini kau!" tiba-tiba Dewi Kayangan membentak. Namun mulutnya masih
tetap cekikikan.
Meski dalam hati masih menduga-duga
dengan perintah Dewi Kayangan, namun Aji ak-
hirnya menggeser tubuhnya mendekat pada Dewi
Kayangan. Begitu dekat, Dewi Kayangan langsung pe-
gang tangan Pendekar 108 yang terluka, dan ser-ta-merta tangan kanannya
mengusap-usap len-
gan Pendekar 108 yang menggelembung hitam.
Aji meringis kesakitan. Namun mungkin
takut Dewi Kayangan marah, ia coba tak menge-
luarkan keluhan, meski kata-kata keluhan itu
sudah hendak keluar!
Sesaat kemudian, tiba-tiba Dewi Kayangan
memencet gelembung di lengan Aji. Aji tak bisa lagi menahan sakit, hingga dari
mulutnya terdengar pekikan tinggi. Bersamaan dengan pekikan
Aji, gelembung itu pecah dan memuncratkan da-
rah hitam serta kental! Baju Aji tampak belang-
belang hitam demikian pula sebagian wajahnya
karena terkena percikan darah yang muncrat dari lengannya.
Begitu darah hitam itu muncrat, gelem-
bung di lengan Pendekar 108 mengempes, namun
tampak kulitnya robek agak besar dan masih me-
lelehkan darah.
"Hadap sana! Kerahkan hawa murni!" perintah Dewi Kayangan. Tanpa bicara lagi,
Pendekar Mata Keranjang segera balikkan tubuh me-
munggungi Dewi Kayangan dan segera pula ke-
rahkan hawa murni. Dari belakang, Dewi Kayan-
gan tempelkan kedua telapak tangannya ke pung-
gung Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar 108 merasa hawa dingin mera-
suki sekujur tubuhnya, dan perlahan-lahan pula menindih lenyap rasa panas yang
mendera sebelumnya!
"Bagaimana sekarang...?" tanya Dewi
Kayangan seraya bangkit.
"Lebih enak, Dewi...."
"Bagus! Kau tentunya telah dengar orang
melantunkan syair tadi. Tujuanmu sudah dekat.
Teruskan langkahmu!"
Dengan agak terkejut, Aji segera ambil ki-
pas ungunya yang tergeletak tak jauh di sam-
pingnya. Lalu bangkit dan menghadapkan tubuh-
nya pada Dewi Kayangan. Sesaat dipandanginya
perempuan gemuk besar di hadapannya. Lalu
pandangannya menebar pada beberapa orang
yang masih di tempat itu.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Pende-
kar Mata Keranjang 108.
Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu
berkata. "Itu urusanku! Yang penting kau harus te-
ruskan langkah. Keadaan sudah amat gawat, ka-
rena rahasia tentang Arca Dewi Bumi telah bocor ke mana-mana! Terlambat sedikit,
bencana besar akan datang!"
"Bagaimana rahasia itu bisa bocor?"
"Aku sendiri kurang tahu pasti, tapi yang mungkin, tentu Mekar Sari yang
menebarkan berita itu!"
"Mekar Sari" Dari mana dia tahu...?"
"Itulah kesalahanku. Mekar Sari datang
padaku dan menanyakan tentang rahasia itu. Ta-
pi kedatangannya dengan rasa menyesal atas
perbuatannya dahulu. Setelah kuberitahu bahwa hanya satu orang yang kelak dapat
mengambil dan mewarisinya, dia sadar. Bahkan mengatakan
tak ingin lagi memburu arca itu! Waktu itu dia sepertinya benar-benar bertobat
hingga aku mengatakan apa adanya! Tapi apa yang terjadi selanjutnya sungguh
mengejutkan, karena hampir se-
mua orang rimba persilatan tahu! Melihat hal itu, aku tak enak dan segera ke
sini!" Pendekar 108 manggut-manggut.
"Sekarang, lekas kau lanjutkan langkah-
mu! Aku akan tetap di sini!"
"Baiklah, Dewi...," kata Pendekar 108 lalu menjura hormat dan balikkan tubuh.
Namun murid Wong Agung ini tak segera melangkah, malah balikkan tubuhnya kembali
dan mendekat ke
arah Dewi Kayangan, membuat perempuan ge-
muk besar ini kernyitkan dahi.
"Disuruh cepat malah berbalik. Apa kau
takut...?" kata Dewi Kayangan seraya melotot besar. Aji menggeleng perlahan,
setelah dekat dia berbisik.
"Dewi. Aku hanya mau tanya...."
Pendekar Mata Keranjang diam dan tak se-
gera lanjutkan ucapannya, membuat Dewi Kayan-
gan makin mendelik.
"Tanya apa lagi" Dasar anak bodoh! Tak
pinter-pinter, selalu tanya melulu! Cepat katakan!" ujar Dewi Kayangan.
"Hmm.... Bagaimana keadaan Eyang Selak-
sa..." Apa kalian tetap baik-baikan..." Atau...," Aji tak meneruskan ucapannya
karena saat itu juga
Dewi Kayangan hentakkan kakinya ke atas tanah.
"Kau memang anak kurang ajar!" kata Dewi Kayangan setengah berteriak. Tangan
kanannya telah diangkat hendak dipukulkan pada Pendekar 108. Namun sebelum tangan itu
bergerak, Pendekar Mata Keranjang 108 telah balikkan tubuh dan melesat ke arah
sela gunung. "Ini saatnya...," tiba-tiba Bidadari Bertangan Iblis bergumam. Lalu melesat
hendak menyu- sul Pendekar Mata Keranjang.
"Bidadari.... Tunggu!" tahan Singa Betina Dari Timur. Namun terlambat. Bidadari
Bertangan Iblis telah melesat dan tak mendengarkan ka-ta-kata saudara
seperguruannya.
Mendengar teriakan, Dewi Kayangan ber-
paling. Dan begitu melihat gelagat tidak baik dari gerakan Bidadari Bertangan
Iblis, perempuan gemuk ini segera berkelebat. Sosoknya lenyap. Dan tahu-tahu
terdengar jeritan tertahan.
Ketika semua mata berpaling, tampak Bi-
dadari Bertangan Iblis terkapar di atas tanah, dan tak jauh di hadapannya Dewi
Kayangan tampak
duduk menggelosoh sambil cekikikan.
"Anak gadis nan cantik jelita berpakaian
putih tipis berambut pendek potongan tubuh in-
dah dan menggetarkan.... Hik.... Hik... Hik...!"
berkata Dewi Kayangan tanpa ambil napas. "Kalau ikut-ikutan orang-orang kesasar
ini, hidupmu akan terjerumus...."
Bidadari Bertangan Iblis segera bangun.
Parasnya merah padam dengan dagu mengem-
bang. Sepasang matanya berkilat merah. Meski
telah menyaksikan kehebatan Dewi Kayangan,
namun gadis ini tampaknya pantang takut.
"Perempuan sinting! Kesasar atau tidak
bukan urusanmu!" seraya berkata dia melesat menerjang ke arah Dewi Kayangan.
"Oh, begitu..." Jadi, kesasar itu urusan
siapa ya...?" kata Dewi Kayangan seraya cekikikan. Dia seolah tak merasa hendak
diserang. Namun begitu terjangan kaki Bidadari Ber-
tangan Iblis datang, Dewi Kayangan angkat kedua tangannya. Terjadilah hal yang
menggelikan sekaligus menakjubkan. Karena tahu-tahu kedua kaki Bidadari
Bertangan Iblis telah masuk dalam de-kapan kedua tangan Dewi Kayangan.
Bidadari Bertangan Iblis kerahkan tenaga
dalam untuk melepaskan diri, namun gagal.
Hingga tubuhnya kini lurus di antara udara dengan sepasang kaki terjepit kedua
tangan Dewi Kayangan. Dan karena di atas udara, maka tak
ayal lagi pakaiannya bagian bawah berkibar-
kibar! "Uhh..., cantik-cantik tapi bau! Pasti kau sering kencing disembarang tempat
ya.... Hik.... Hik.... Hik...! Sana, sana...!" sambil berkata dan cekikikan Dewi Kayangan
dorong kedua tangannya. Tubuh Bidadari Bertangan Iblis mencelat
dan jatuh bergulingan di dekat Singa Betina Dari Timur. "Bidadari...!" seru
Singa Betina Dari Timur seraya mendekati saudara seperguruannya itu
dan menolongnya bangkit.
"Bidadari.... Terlalu berat bagi kita untuk menghadapi perempuan itu...."
Bidadari Bertangan Iblis melengos, namun
tak membantah kata-kata Singa Betina Dari Timur. Kedua gadis ini lantas duduk
berdampin- gan. Tiba-tiba sepasang mata Bidadari Bertangan Iblis membelalak. Ditariknya
bahu Singa Betina Dari Timur, lalu berbisik. "Singa Betina! Kalau-pun kita gagal
mendapatkan Arca Dewi Bumi, kita tak usah kecewa!"
"Apa maksudmu"!"
"Kau tadi lihat sendiri bagaimana keheba-
tan tombak dan keris itu! Sekarang benda itu tergeletak dan orangnya tidak
berdaya. Bagaimana
kalau kita sambar saja benda itu dan kita bagi sa-
tu-satu"!"
Singa Betina Dari Timur menggeleng perla-
han. "Aku sebenarnya juga mempunyai perhitungan seperti itu. Namun waktunya
belum tepat. Kalau kita bergerak sekarang, perempuan gemuk
itu pasti tidak akan tinggal diam! Padahal dia bukan lawan kita! Lebih baik kita
menunggu saat yang tepat!"
Bidadari Bertangan Iblis mendengus, na-
mun ia tak juga bergerak untuk menyambar keris dan tombak yang tergeletak. Diam-
diam dia membenarkan ucapan Singa Betina Dari Timur.
Di depan, tiba-tiba Dewi Kayangan cekiki-
kan. "Hik.... Hik... Hik...! Nasibku tidak baik.
Sudah tua masih juga harus menunggu orang-


Pendekar Mata Keranjang 16 Arca Dewi Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang kesasar...!"
Habis berkata begitu, Dewi Kayangan
bangkit, lalu berkelebat dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di atas dahan
sebuah pohon. Sambil uncang-uncangkan sepasang kakinya dari mulutnya tak henti-
hentinya keluar suara cekikikan.
SEPULUH PENDEKAR Mata Keranjang 108 terus me-
langkah ke arah sela dua Gunung Kembar. Sela
dua Gunung Kembar itu ternyata merupakan se-
mak belukar tinggi-tinggi serta pohon-pohon besar. Begitu rimbunnya semak dan
pohon, hingga tak tampak jalan setapak pun!
"Hmm.... Pasti tempat ini tidak pernah dirambah manusia. Semaknya begitu
merangas,"
kata Aji dalam hati. "Dewi Kayangan bilang Sa-hyangan Resi Gopala, pembawa Arca
Dewi Bumi ada di sebuah kuil tua...," Pendekar 108 menebarkan pandangannya berkeliling di
tempat itu. "Sial! Aku tak dapat menemukan kuil itu!
Apalagi bulan berwarna merah, membuat peman-
dangan agak kabur. Tapi aku harus menemukan
kuil itu. Tadi kudengar nyanyian syair, berarti kuat dugaan yang melantunkan
syair itu adalah
Sahyang Resi Gopala...," Pendekar Mata Keranjang lantas melangkah berputar
dengan melewati semak-semak belukar. Sepasang matanya tak
berkedip menebar, sedang kedua telinganya dipasang baik-baik. Namun hingga lelah
berputar dan sampai kakinya perih tergores onak duri serta cabang-cabang pohon
yang berjatuhan, murid Wong
Agung ini tak menemukan yang dicari.
"Sialan benar! Di mana letak kuil itu..."
Hmm.... Bagaimana kalau...," Aji lantas anggukan kepalanya. Sepasang matanya
menebar sejenak.
Lalu.... "Sahyang Resi Gopala.... Di mana kau berada...?" Pendekar 108 berteriak
lantang. Namun teriakannya hanya di jawab oleh
kesenyapan. Kembali Aji berteriak namun lagi-lagi kesunyian yang menjawab.
Kesal tak mendapat jawaban, Pendekar 108
tarik-tarik kuncir rambutnya. Sementara bulan di angkasa semakin merah hingga
lingkaran bumi semakin terang berwarna kemerahan.
Saat itulah tiba-tiba sepasang mata Pende-
kar Mata Keranjang menangkap gerakan-gerakan
pada semak-semak kira-kira sepuluh langkah di
sampingnya. "Mungkin ada sesuatu di balik semak-
semak itu! Binatang..." Tak mungkin. Sejak tadi aku tak menemukan satu binatang
pun berkelia-ran di sini...." Sambil menduga-duga, Aji melangkah mendekat. Dan
ia sedikit terkejut tatkala setelah dekat gerakan-gerakan pada semak itu bu-
kan lenyap, melainkan tambah keras malah
sayup-sayup disertai menderunya suara angin.
Pendekar Mata Keranjang 108 membung-
kuk memperhatikan dengan seksama. Namun
hingga matanya melebar dan menyipit yang tam-
pak hanyalah semak belukar! Anehnya gerakan-
gerakan pada semak yang ternyata dikarenakan
deruan angin dari dalamnya terus berlangsung.
"Aneh! Dari mana datangnya angin ini" Se-
belah sana tak tampak bergerak-gerak.... Aku
akan menyelidik!" Pendekar 108 makin mendekat.
Dan betapa terkejutnya murid Wong Agung ini.
Begitu tubuhnya tepat di depan semak yang ber-
gerak-gerak, terasa ada angin dahsyat yang me-
nyambar. Biarpun Aji telah kerahkan tenaga da-
lam untuk bertahan, namun gagal hingga saat itu juga tubuhnya terjengkang dan
jatuh bergelim-pangan menerabas semak belukar!
"Gila! Kelihatannya perlahan, tapi tenaga dalamku tak mampu untuk membendung!
Aku harus lewat berputar...," batin Pendekar 108, lalu
bangkit dan melangkah berputar ke arah semak-
semak yang bergerak-gerak.
Di samping semak yang bergerak-gerak,
Pendekar Mata Keranjang 108 hentikan langkah.
Sepasang matanya lebih dipertajam. Dan sepa-
sang mata Pendekar 108 membelalak besar tatka-
la samar-samar dapat menangkap gundukan
benda hitam di balik semak belukar.
Dengan hati-hati, Aji melangkah mendekat.
Semakin dekat gundukan benda hitam di balik
semak belukar semakin agak jelas. Dan setelah
benar-benar dekat Pendekar108 sorongkan tubuh
ke depan. Namun yang terlihat hanyalah gundu-
kan benda hitam samar-samar. Penasaran, Pen-
dekar 108 gerakan kedua tangannya menyibak
rimbunan semak belukar.
Murid dari Karang Langit ini tergagu seje-
nak tatkala kedua tangannya menyentuh benda
keras di balik rimbunan semak.
"Hmm.... Seperti batu.... Apakah ini kuil itu...?" Pendekar Mata Keranjang
membatin. Secepat kilat tangannya merambasi semak belukar
di sekitar tempat itu. Begitu semak agak jarang, Pendekar 108 membelalak sambil
melongo. Di hadapannya tampak sebuah batu yang
membentuk mirip bangunan sebuah kuil. Ting-
ginya tidak lebih dari satu tombak. Lebarnya pun demikian. Mungkin karena tidak
terawat, maka di bagian atas dan sampingnya telah dirambahi lumut berwarna
kecoklatan dan tebal, malah di sa-na-sini tampak tumbuh benalu, hingga jika
tidak disibak, orang tidak akan tahu jika di balik semak
belukar itu ada sebuah batu yang membentuk
kuil. Setelah puas mengawasi bagian atas dan
samping, Pendekar Mata Keranjang 108 melang-
kah ke bagian depan. Penasarannya semakin
menjadi-jadi karena deruan angin itu terus tiada henti-hentinya.
Karena khawatir akan terjengkang lagi,
Pendekar 108 sengaja berhenti di samping. Lalu kepalanya berpaling pada kuil
bagian depan yang tampak membentuk mirip sebuah pintu.
Kedua kaki Aji tersurut satu tindak ke be-
lakang. Sepasang matanya melotot besar. Dari
tempatnya berdiri dengan penerangan cahaya
sang rembulan, Pendekar 108 melihat sesosok
tubuh renta duduk bersila di dalam kuil! Ram-
butnya amat jarang dan nyaris gundul. Pakaian-
nya telah compang-camping dan di sana-sini telah pula ditumbuhi lumut! Demikian
pula anggota tubuhnya! Sepasang matanya memejam rapat.
Paras mukanya amat keriput dan hampir tak di-
tumbuhi daging. Demikian pula anggota tubuh
lainnya. Untuk beberapa saat lamanya murid Wong
Agung ini memandang tak berkedip.
"Mungkin inikah Sahyang Resi Gopala...,"
pikir Pendekar 108. Dan kini Aji dapat mengetahui apa yang menyebabkan semak
belukar di ba- gian depan itu bergerak-gerak. Ternyata gerakan semak belukar itu dikarenakan
hembusan napas sang orang tua!
"Luar biasa! Hembusan napasnya saja aku
tak mampu untuk menahannya! Bagaimana aku
harus mendekatinya...?" Pendekar 108 putar otak. Lalu perlahan mendekati dari
arah samping. Begitu dekat pendekar dari Karang Langit
ini bergerak duduk, meski dari arah samping,
namun angin dari hembusan napas sang orang
tua masih terasa menyambar! Hingga Aji harus
kerahkan tenaga dalamnya untuk menahan tu-
buhnya agar tidak terjengkang ke belakang.
Setelah menjura dengan bungkukkan tu-
buh Pendekar Mata Keranjang 108 bukan mulut-
nya. "Eyang Resi...."
Sang orang tua tak bergeming. Matanya
pun tak bergerak untuk membuka.
Pendekar 108 memanggil. Namun sang
orang tua tetap diam. Pendekar Mata Keranjang
menghela napas dalam-dalam. Merasa mungkin
suaranya tidak didengar Pendekar 108 kembali
memanggil dengan agak sedikit keraskan sua-
ranya. Namun sang orang tua masih tetap diam.
"Bagaimana ini..." Akan kucoba dengan
menyentuhnya!" gumam Pendekar 108 seraya
ulurkan tangan kanannya. Kaki orang tua itu dis-entuhnya sambil memanggil. Namun
sang orang tua tetap seperti semula, bahkan Aji terkejut karena kaki orang tua itu sangat
dingin! "Apa dia telah meninggal..." Kakinya begitu dingin.... Tapi nafasnya masih
berhembus,..." Aji kembali ulurkan tangannya dan kini diguncang-kannya kaki
orang tua itu dengan agak keras.
Sambil mengguncang-guncang, dari mulutnya
terdengar suara memanggil-manggil.
Anehnya, meski Aji mengguncang, namun
tubuh orang tua itu tak bergerak bahkan ketika Aji mengerahkan tenaga dalamnya
dan menggun-cangnya keras-keras tubuh orang tua itu tak bergeming!
"Gila! Bagaimana ini bisa terjadi..." Bagaimana untuk membangunkannya" Apa aku
harus menunggu" Tapi sampai kapan..." Melihat kea-
daan tubuhnya dia telah bertahun-tahun tak pernah meninggalkan tempat ini! Kalau
aku me- nunggu, kurasa terlalu resiko, karena bukan tak mungkin ada orang yang bisa
menerobos Dewi Kayangan dan sampai ke tempat ini. Hmm...."
Selagi pendekar murid Wong Agung ini me-
nimbang-nimbang dan mencari jalan keluar, tiba-tiba sepasang mata orang tua di
sampingnya bergerak membuka, sejurus mata yang sudah tam-
pak memutih kelabu itu mengerjap-ngerjap lalu
agak melebar dan memandang lurus ke depan.
Aji hentikan kata-katanya dan memandan-
gi tak berkedip seraya menunggu. Saat sepasang mata orang tua itu menebar dan
memandang ke samping, di mana Aji berada, murid Wong Agung
ini serta-merta menjura hormat dan berkata pe-
lan. "Eyang Resi...."
Untuk beberapa saat lamanya sepasang
mata orang tua itu memandangi Pendekar 108 la-
lu mulutnya yang terkatup rapat tampak bergerak membuka, dan sesaat kemudian
meluncur kata-katanya. Suara perlahan sekali, namun cukup jelas di telinga Aji.
Malam bertabur sinar merah hampir beru-
jung. Ketentuan sudah pada waktunya.
Beban akan terlewati bersama bergantinya malam. Namun beban berat akan
menghadang di depan Kalau sang pengemban tidak rendah hati.
Petaka besar semakin meraupi dataran bu-
mi. Sejenak orang tua itu hentikan lantunan
syairnya. Pendekar 108 tetap menunggu seraya
memandangi dan coba mengartikan bait-bait yang baru saja dilantunkan.
Sang orang tua lantas buka kembali mu-
lutnya. "Wahai anak manusia! Isyarat malam telah menuntunku untuk mengetahui
makna kedatan-ganmu. Memang, sudah berpuluh-puluh tahun
aku menantikan malam ini, malam yang membe-
baskan diriku dari beban yang harus kuemban.
Hanya pesan yang dapat kuberikan, pergunakan
apa yang nanti kau peroleh untuk kedamaian
manusia. Jika tidak, malapetaka besar akan
menggilas umat manusia, dan itu tanggung ja-
wabmu! Selamat tinggal...."
Habis berkata begitu, sang orang tua pe-
jamkan lagi kedua matanya, bibirnya pun menga-
tup rapat. Dan entah dari mana datangnya, tiba-tiba segumpal awan putih menyusur
semak belu- kar dan bergerak cepat membungkus tubuh sang
orang tua. Lalu perlahan-lahan pula asap itu
membubung dan sirna. Anehnya, bersamaan
dengan lenyapnya awan putih, sosok sang orang
tua telah tidak ada lagi di tempatnya!
"Eyang Resi...," seru Pendekar Mata Keranjang 108. Namun tak ada lagi jawaban.
Sejenak Pendekar 108 menebarkan pan-
dangannya. Namun sosok sang orang tua me-
mang tak lagi tampak.
"Terlambat.... Aku belum sempat mena-
nyakan di mana beradanya Arca Dewi Bumi. Apa
yang harus kuperbuat sekarang...?" gumam Aji penuh dengan kekecewaan. Disekanya
keringat yang membasahi leher dan keningnya.
Saat itulah, sepasang matanya menangkap
sebuah cahaya agak redup di belakang tempat
sang orang tua tadi duduk bersila. Dengan perasaan disesaki beberapa dugaan,
Pendekar 108 mendekat seraya membesarkan sepasang ma-
tanya. Pendekar 108 membungkuk, tangan ka-
nannya dijulurkan untuk mengambil cahaya agak
redup yang ternyata sebuah benda berwarna un-
gu. Begitu jari-jarinya dapat menyentuh benda
itu, ada hawa aneh yang merasuki tubuhnya. Ra-
sa sakit akibat keris Jogaskara yang masih sedikit terasa tiba-tiba lenyap!
"Hmm.... Melihat bentuknya, mungkin in-
ilah Arca Dewi Bumi...," duga Pendekar 108 dalam hati sambil pererat pegangannya
pada benda itu dan pelan-pelan ditariknya dari tempatnya,
karena ternyata benda itu melekat pada batu!
Namun Pendekar Mata Keranjang terpe-
rangah kaget. Benda yang berbentuk arca terse-
but sulit untuk ditarik! Aji kerahkan tenaga dalamnya, namun arca itu tetap tak
bergeming dari tempatnya! Pendekar 108 lipat gandakan tenaga
dalamnya, bahkan kini seluruh tenaga luar da-
lamnya dikerahkan. Keringat mulai membasahi
sekujur tubuhnya, tubuhnya pun tampak berge-
tar dan tangannya gemetaran.
Kali ini usaha Pendekar Mata Keranjang
108 tampaknya ada hasil, karena perlahan-lahan arca itu mulai bergerak-gerak.
Tapi ada keanehan, bersamaan dengan bergeraknya arca, kuil
kecil itu ikut bergetar bahkan di sana-sini tampak mulai rengkah-rengkah!
Pendekar Mata Keranjang terus kerahkan
tenaga dalamnya, hingga setelah beberapa lama
berusaha, akhirnya arca itu dapat lepas dari tempatnya. Namun bersamaan dengan


Pendekar Mata Keranjang 16 Arca Dewi Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlepasnya arca, bangunan batu yang membentuk kuil itu
bergetar hebat, rengkahannya semakin berderak-
derak dan pelan-pelan pula pecah!
Sadar akan hal itu, sebelum bangunan ba-
tu berbentuk kuil itu ambruk, Pendekar 108 ce-
pat melompat mundur sambil mendekap arca.
Bersamaan dengan melompatnya Pendekar 108,
batu berbentuk kuil itu meletup keras lalu am-
bruk! "Ini pasti Arca Dewi Bumi!" gumam Aji seraya angkat tangannya yang
memegang arca dan
matanya memperhatikan dengan seksama.
Arca itu ternyata terbuat dari perunggu-
berwarna ungu agak kekuning-kuningan. Ben-
tuknya seorang perempuan berdiri dengan tangan kanan terangkat memegang sebuah
tongkat. Tangan kirinya sedekap sejajar dada. Pada kepalanya tampak sebuah
mahkota bersusun tiga. Pada dahinya terlihat tiap buah mutiara berwarna biru
bercahaya. Ada satu keanehan pada arca itu yang membuat murid Wong Agung ini
agak heran. Ternyata pada tengah-tengah mahkota terdapat se-
buah lubang. Dengan menahan rasa heran, dan tangan
gemetar, Pendekar Mata Keranjang ulurkan tan-
gan kanannya dan memasukkan jari-jarinya pada
lubang. Murid Wong Agung sedikit tersirat tatkala jari-jari tangannya menyentuh
sebuah gulungan
lembut. Sambil menahan degup jantungnya yang
berdetak makin keras, perlahan-lahan diambilnya gulungan lembut itu. Ternyata
gulungan lembut
itu adalah sebuah gulungan kain berwarna putih.
Dengan membesarkan sepasang matanya,
Pendekar 108 membuka gulungan kain. Kini di
hadapannya terpentang lembaran kain yang terte-ra beberapa tulisan serta gambar-
gambar orang sedang memperagakan jurus silat.
"Ini pasti jurus-jurus silat hebat..., Hmm....
Aku telah berhasil mendapatkan Arca Dewi Bumi.
Aku harus cepat tinggalkan tempat ini. Aku khawatir dengan Dewi Kayangan...."
Berpikir begitu, Pendekar 108 lantas gu-
lung kembali kain putih dan dimasukkan kembali ke lubang di tengah-tengah
mahkota. Sejenak dia
tebarkan pandangan berkeliling. Arca Dewi Bumi segera disimpannya ke balik
pakaian hijaunya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, dia balikkan tubuh dan berkelebat ke arah di
mana Dewi Kayangan berada.
SEBELAS BEGITU Pendekar Mata Keranjang 108
sampai di tempat Dewi Kayangan tadi berada, dia terkejut. Dewi Kayangan tak
terlihat batang hidungnya. Yang terlihat hanya Dewi Bunga Iblis
dan Bawuk Raga Ginting yang masih tetap terikat pada sebuah batang pohon. Juga
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara yang kini tampak duduk
berdampingan namun dengan tubuh seperti tak
berdaya. Sementara agak jauh di seberang, Bidadari Bertangan Iblis dan Singa
Betina Dari Timur tampak tetap duduk berdampingan.
"Mana dia..." Apa sudah pulang...?" tanya Pendekar 108 dalam hati seraya sapukan
pandangannya berkeliling. Sebaliknya semua orang di situ sama memandangi Aji
dengan tatapan penuh
tanya, malah Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga
Ginting tampak hendak meronta untuk mele-
paskan diri, namun tetap tak berhasil.
Selagi Pendekar 108 mencari-cari, tiba-tiba
Pendekar Mata Keranjang dikejutkan dengan sua-
ra cekikikan Dewi Kayangan. Pendekar 108 cepat berpaling. Murid Wong Agung ini
sunggingkan senyum seraya usap-usap hidungnya dengan ge-
leng-geleng kepala.
Di atas dahan sebuah pohon, Dewi Kayan-
gan tampak tidur-tiduran dengan kaki kiri diangkat sedikit sementara kaki
kanannya disilangkan di atas kaki kiri. Kedua tangannya terayun-ayun ke bawah.
Hebatnya, dahan itu tidak bergerak-gerak apalagi patah!
"Dewi.... Aku...," Aji buru-buru hentikan ucapannya. Dia hampir saja mengatakan
bahwa dirinya telah berhasil mendapatkan Arca Dewi
Bumi, untung dia sadar dan segera hentikan ucapannya.
"Anak monyet! Jangan teriak-teriak seperti anak monyet tak punya induk! Lekas ke
sini!" ka-ta Dewi Kayangan tanpa palingkan wajahnya pa-
da Aji. Pendekar 108 segera melangkah ke arah
pohon di mana Dewi Kayangan tiduran. Lalu me-
lesat ke atas mendekati Dewi Kayangan, dan berbisik. "Dewi. Aku telah
mendapatkan arca itu. Ki-ta segera tinggalkan tempat ini!"
"Apa..." Menginginkan dua gadis itu" Jan-
gan macam-macam!" bentak Dewi Kayangan seraya melotot besar.
Pendekar 108 gelengkan kepalanya. Bibir-
nya nyengir sambil tangan tarik kuncir rambut-
nya. Dia lantas lebih mendekat dengan merambat sebuah dahan. Lalu kembali
berbisik. "Dewi. Aku...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak meneruskan kata-katanya, karena
Dewi Kayangan telah menyahut.
"Kalau urusan soal gadis-gadis, aku tak
mau kau jadikan sebagai comblang! Sana, bicara sama mereka sendiri!"
"Dewi!" kata Pendekar 108 agak keras. Lalu kembali suaranya dipelankan tatkala
menyambung, "Aku telah mendapatkan arca itu!"
Sepasang mata besar Dewi Kayangan me-
mandangi Aji seakan ingin meyakinkan. Tubuh-
nya lalu bangkit duduk. Dan memberi isyarat
dengan gelengan kepala tatkala Pendekar 108
hendak menunjukkan arca yang ada di balik pa-
kaiannya. "Bagus! Sekarang kita cepat tinggalkan
tempat itu!" kata Dewi Kayangan pula. "He! Kau menginginkan gadis itu...?"
sambung Dewi Kayangan tatkala melihat Aji memandangi pada
Singa Betina Dari Timur yang saat itu juga sedang arahkan pandangan pada
Pendekar 108. "Hik.... Hik.... Hik...! Anak sialan! Urusan gadis masalah belakangan. Kita
harus cepat tinggalkan tempat ini. Ayo!" sambil berkata Dewi Kayangan melayang
turun seraya tarik tangan
Pendekar 108. Meski dalam hati menggerendeng panjang
pendek, namun Aji tak bisa lagi mengelak. Tu-
buhnya pun melayang turun. Sampai di bawah,
Dewi Kayangan terus tarik tangan Pendekar 108
dan diseretnya untuk berkelebat. Mau tak mau
Aji mengikuti kelebatan tubuh Dewi Kayangan,
namun sejenak sepasang matanya masih-
memandang Singa Betina Dari Timur, bahkan
sempat kerdipkan sebelah matanya, membuat
Singa Betina Dari Timur parasnya berubah meski dalam hati berbunga-bunga.
Namun baru saja kedua orang ini berkele-
bat, dari arah depan mereka melihat sesosok
bayangan menyongsong dan berteriak.
"Berhenti!" bersamaan dengan terdengarnya teriakan, serangkum angin melabrak.
Dewi Kayangan lepaskan tangan Pendekar
108, lalu kebutkan tangan kanannya ke depan.
Rangkuman angin yang datang melabrak kontan
ambyar! Bahkan sempat menghamburkan tanah
di tempat itu, hingga pemandangan sejenak tertutup hamparan tanah.
Begitu tanah yang menghambur surut, di
hadapan Aji telah berdiri seorang perempuan
mengenakan pakaian warna gelap dan ketat. Pa-
rasnya cantik jelita meski umurnya kira-kira telah mencapai dua puluh lima
tahunan. Rambutnya
panjang dan berwarna agak kebiru-biruan. Pa-
kaiannya yang ketat menampakkan dadanya yang
tampak membusung menantang, sementara ping-
gulnya besar dan menggemaskan.
Sesaat Pendekar 108 terkesiap dengan
sang perempuan. Sepasang matanya menjalari
sekujur perempuan di hadapannya tak berkedip.
Bibirnya sunggingkan senyum dengan kepala
menggeleng-geleng perlahan.
"Ratu Pulau Merah...!" desis Pendekar Mata Keranjang 108 lirih begitu mengenali
siapa adanya perempuan bermata kebiruan di hada-
pannya. Perempuan bermata biru yang bukan lain
memang Ratu Pulau Merah pandangi Dewi
Kayangan dan Aji silih berganti.
"Bertubuh tambun besar, rambutnya putih
dan disanggul ke atas. Hmm.... Dalam rimba persilatan hanya ada satu orang yang
berciri demikian. Dewi Kayangan.... Mereka tampaknya ber-
hasil melumpuhkan beberapa orang. Hmm.... Me-
reka sepertinya ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Apa mereka telah
berhasil mendapatkan arca itu.... Mungkin saja...," duga Ratu Pulau Merah seraya
memperhatikan lebih seksama pada Pendekar 108 dan Dewi Kayangan.
"Aku gembira bisa bertemu dengan kau!"
ujar Ratu Pulau Merah seraya arahkan pandan-
gannya pada Dewi Kayangan. "Bukankah kau
yang berjuluk Dewi Kayangan..."!"
Dewi Kayangan alihkan pandangannya pa-
da jurusan lain, lalu dari mulutnya terdengar suara cekikikannya.
"Syukur kau bukan orang yang kesasar
hingga masih bisa mengenaliku! Namun maaf, ji-
ka aku mungkin terlalu sulit untuk mengenalimu!
Kalau tak keberatan coba sebutkan siapa kau
adanya! Hik.... Hik.... Hik...!"
Paras muka Ratu Pulau Merah serentak
berubah. Namun mulutnya membuka juga.
"Orang-orang rimba persilatan menggelariku Ratu Pulau Merah! Jelas"!"
"Ratu Pulau Merah..." Hmm.... Gelar ba-
gus!" puji Dewi Kayangan. Lalu menyambung.
Tampaknya kau tergesa-gesa. Silakan teruskan
perjalanan. Kami pun sedang tergesa-gesa....
Hik.... Hik.... Hik.... Bukankah begitu?" Dewi Kayangan berpaling pada Pendekar
Mata Keranjang. Pendekar Mata Keranjang anggukan kepala
seraya melirik pada Ratu Pulau Merah.
Mendengar ucapan Dewi Kayangan, Ratu
Pulau Merah tersenyum sinis seraya menyeringai, lalu berkata.
"Kalian bisa meneruskan perjalanan, tapi
serahkan padaku dulu arca yang ada pada ka-
lian!" Pendekar 108 tampak sedikit terkejut, namun buru-buru disembunyikan
dengan terse- nyum lebar dan berkata.
"Ratu Pulau Merah! Apakah kau sadar
dengan kata yang barusan kau ucapkan" Kami
tidak membawa arca! Kau salah alamat! Yang aku bawa cuma...," Aji tak meneruskan
kata-katanya, namun terlihat menahan tawa.
"Betul! Kau kesasar jika tanyakan dan
menduga kami membawa arca! Dia memang ba-
wa, tapi arca hidup! Kau mau..." Jika itu yang kau minta, dia mungkin tak
keberatan untuk
memberikannya padamu! Hanya sayang, untuk
saat ini mungkin belum bisa dilayani. Dia telah kupesan dahulu. Kalau kau memang
berkeingi-nan setelah aku, kau bisa memesannya! Hik....
Hik.... Hik...!"
Paras wajah Ratu Pulau Merah mengelam
mendengar kata-kata Aji dan Dewi Kayangan.
Namun perempuan berwajah cantik ini masih
mencoba menahannya. Lalu berkata dengan tan-
pa memandang lagi
"Kalian dengar! Malam telah hampir pagi,
aku tak bisa berlama-lama. Kalian jangan coba-
coba berkata dusta. Aku tahu, Arca Dewi Bumi
ada di antara kalian! Lekas serahkan arca itu padaku kalau masih ingin hidup!"
Meski suara Ratu Pulau Merah terdengar
keras, namun sedikit parau. Hal ini karena sebenarnya diam-diam Ratu Pulau Merah
juga merasa gentar menghadapi Pendekar 108, apalagi kini
bersama dengan Dewi Kayangan, tokoh rimba
persilatan yang didengarnya berkepandaian ting-gi.
"Ratu Pulau Merah! Dengar juga olehmu.
Arca itu tak ada padaku! Dan jangan memaksa-
kan kehendak atas diri kami!" bentak Aji seraya hendak berkelebat pergi.
"Betul! Betul! Kalau kau tetap memaksakan kehendak, berarti kau membuat
kebodohan besar! Dan itu menuntunmu ke tempat orang-orang
yang...," Dewi Kayangan berpaling pada Pendekar 108. "Kesasar!" kali ini yang
menyahut adalah Pendekar 108 seraya tersenyum.
"Keparat jahanam!" maki Ratu Pulau Merah. Kemarahannya tak bisa ditahan lagi.
Dia langsung maju ke depan. Dewi Kayangan segera
bergerak hendak menyongsong, namun telah di-
dahului terlebih dahulu oleh Aji.
"Bagus! Majulah kalian berdua sekalian!"
teriak Ratu Pulau Merah seraya hantamkan ke-
dua tangannya kirimkan serangan jauh dengan
tenaga dalam kuat.
Wuuttt! Wuuuttt!
Angin dahsyat menebar hawa panas segera
menghampar dan menyambar ke arah Pendekar
Mata Keranjang.
Wuuttt! Wuuuuttt!
Sambil melompat ke udara setengah tom-
bak, Pendekar 108 pun sentakkan kedua tangan-
nya memapasi serangan Ratu Pulau Merah.
Bersamaan sentakan kedua tangan Aji,
tempat itu berubah menjadi terang benderang.
Dan tak lama kemudian terdengarlah letupan ke-
ras tatkala serangan Ratu Pulau Merah bentrok
dengan sentakan Pendekar Mata Keranjang 108.
Baik Pendekar 108 maupun Ratu Pulau
Merah sama-sama terseret hingga beberapa lang-
kah ke belakang.
"Saatnya akan mencoba kipas itu serta ju-
rus 'Pamungkas Bayu Kencana'!" gumam Ratu Pulau Merah. Tangan kanan perempuan
bermata biru ini lantas bergerak ke balik pakaiannya, dan tatkala ditarik kembali di
tangannya telah terlihat sebuah kipas berwarna hitam!
Seperti diketahui, Ratu Pulau Merah telah
berhasil mencuri kipas hitam ciptaan Empu Jaladara serta bumbung bambu berisi


Pendekar Mata Keranjang 16 Arca Dewi Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurus 'Pamungkas Bayu Kencana' dari tempat kediaman
Wong Agung di Karang Langit (Mengetahui pencu-
ri itu silakan baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode : "Badai Di
Karang Langit"). Pendekar 108 belalakkan sepasang matanya, dahinya mengernyit
demikian juga Dewi
Kayangan. "Kipas hitam! Berarti perempuan ini yang
mencuri! Jahanam!" maki Aji dalam hati seraya perhatikan kipas hitam di tangan
Ratu Pulau Merah. "Hik.... Hik.... Hik...! Nyatanya kau datang dan menghadap
pada orang yang benar! Kali ini
kau tidak termasuk orang yang kesasar!" berkata Dewi Kayangan seraya kerjap-
kerjapkan sepasang matanya memperhatikan kipas hitam.
"Apa maksudmu"!" bentak Ratu Pulau Merah seraya mendelik sambil mulai gerakan
tangan kanannya berkipas-kipas di depan dada.
"Kau harus serahkan kembali barang cu-
rian itu pada kami!" yang menjawab adalah Pendekar Mata keranjang 108.
Serta-merta Ratu Pulau Merah tertawa ter-
bahak-bahak, hingga dadanya yang membusung
kencang nampak terguncang turun naik. Namun
hal itu kali ini tak membuat Pendekar 108 terkesima. "Begitu..." Baik! Asal
kalian serahkan nyawa kalian satu persatu!" kata Ratu Pulau Merah seraya
sentakan kipas hitamnya.
Weerrr! Serangkum angin dahsyat yang juga mene-
barkan hawa panas dan sinar hitam seraya mele-
sat ke arah Aji.
Aji tak tinggal diam. Kipas ungunya segera
dikeluarkan dan serta-merta dikipaskan menyi-
lang ke depan. Sinar berkilau berwarna keputihan yang
membentuk kipas serta mengeluarkan suara
menggemuruh dahsyat segera keluar menebar
memapak sinar hitam yang keluar dari kipas hi-
tam. Blarrr! Dua serangan yang berasal dari dua kipas
yang diciptakan oleh Empu Jaladara bentrok di
udara. Ledakan dahsyat segera mengguncang
tempat itu. Tanah tampak terbongkar hingga se-
tengah tombak! Baik Pendekar 108 maupun Ratu
Pulau Merah sama terjengkang dan sama-sama
terkapar di atas tanah. Tangan masing-masing
tampak berubah kemerahan, sementara paras
wajah keduanya terlihat meringis menahan rasa
sakit di dada masing-masing.
Ratu Pulau Merah segera bergerak bangkit.
Demikian pula Pendekar Mata Keranjang. Tangan
kanan Ratu Pulau Merah tampak masih bergetar,
namun tidak demikian halnya dengan tangan
Pendekar 108. Ini karena Pendekar 108 telah terbiasa menggunakan kipasnya, lain
dengan Ratu Pulau Merah. Dia masih belum terbiasa menggu-
nakan kipas, yang memang mengeluarkan kekua-
tan tersendiri. Hal itu rupanya disadari oleh Ratu Pulau Merah, hingga ia segera
kerahkan sedikit tenaga dalamnya pada tangan kanannya.
Ratu Pulau Merah segera pejamkan sepa-
sang matanya, mulutnya berkemik-kemik. Kipas
hitamnya dipindahkan pada tangan kiri, sedang
tangan kanannya dibuka dan ditarik sedikit ke
belakang. "Bayu Kencana!" gumam Aji perlahan meli-
hat kuda-kuda yang dilakukan Ratu Pulau Me-
rah. "Berarti dia telah mempelajari isi bumbung bambu itu! Aku harus hati-
hati.... Aku tak boleh menyerangnya!"
Pendekar 108 lantas undurkan langkah
dua tindak. Lalu mengambil sikap seperti yang dilakukan Ratu Pulau Merah.
Di sampingnya Dewi Kayangan hanya me-
lihat sesekali tertawa cekikikan perlahan. Sementara tak jauh dari tempat itu,
beberapa pasang mata terus mengawasi. Malah sepasang mata
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara membeliak
besar tatkala dapat mengenali siapa adanya pe-
rempuan yang kini tengah bertarung dengan Pen-
dekar Mata Keranjang 108.
"Ratu Pulau Merah...," desis Dayang Naga Puspa seraya arahkan pandangannya pada
Jogaskara. Tubuh perempuan ini memang belum
bisa digerakkan karena masih tertotok oleh Dewi Kayangan. Jogaskara hanya
anggukan kepalanya.
Sesaat kemudian, Ratu Pulau Merah buka
sepasang matanya. Namun dia tidak segera lan-
carkan serangan. Melihat hal itu Aji pun berbuat sama. Hanya memandang tanpa
lancarkan serangan. "Hik.... Hik.... Hik...! Katamu tadi ingin minta arca,
sekarang diam malah saling main ma-ta! Aneh...," kata Dewi Kayangan seraya
dongakan kepala. "Hmm.... Aku tak boleh terpancing dengan kata-kata perempuan
tambun ini! Dia berkata
sengaja memancingkan agar lancarkan serangan
dahulu! Hmm.... Dikira aku tak tahu.... Jika aku lancarkan serangan terlebih
dahulu, maka aku
akan tersedot dahulu.... Jahanam...!" batin Ratu Pulau Merah.
Selagi kedua orang ini sama-sama me-
nunggu serangan lawan, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Begitu cepatnya
kelebat sosok ini, hingga tahu-tahu telah berdiri tak jauh dari samping Ratu Pulau Merah.
"Kakang...," seru Ratu Pulau Merah begitu berpaling dan mengenali siapa adanya
orang yang baru datang. Sementara Dewi Kayangan luruskan
kepala dan kerutkan dahi, sepasang matanya
menyipit. Di sampingnya, Pendekar Mata Keran-
jang 108 tampak terperanjat dan langsung besarkan sepasang matanya.
Di hadapannya, di samping Ratu Pulau
Merah tampak berdiri seorang laki-laki. Usianya amat lanjut. Rambutnya awut-
awutan serta berwarna putih. Demikian pula jenggotnya. Dia bertelanjang dada,
sementara pakaian bawahnya be-
rupa celana pendek agak gombrong dan tampak
dekil. Sepasang mata serta wajahnya tidak begitu jelas, karena tertutup oleh
rambut dan jenggotnya. Laki-laki bertelanjang dada palingkan wajahnya pada Ratu
Pulau Merah. Mulutnya berge-
rak membuka. "Kinanti...."
Ratu Pulau Merah yang bernama asli Ki-
nanti segera melompat mendekat. Dan serta-
merta dipeluknya laki-laki bertelanjang dada itu.
"Kakang... Maafkan aku yang terlebih da-
hulu meninggalkanmu tanpa pamit. Aku...," Ratu Pulau Merah tak meneruskan kata-
katanya karena laki-laki bertelanjang dada memberi isyarat agar Ratu Pulau Merah
tak meneruskan ucapannya dengan gelengkan kepalanya.
"Kinanti! Aku tahu, dan aku sangat gembi-
ra bisa bertemu denganmu lagi!" kata laki-laki bertelanjang dada, lalu arahkan
pandangannya pada Dewi Kayangan dan berujung pada Pendekar
108. Sepasang mata laki-laki ini melotot untuk beberapa saat memperhatikan kipas
ungu be-rangka 108 di tangan Pendekar Mata Keranjang
108. "Kinanti. Yang perempuan gemuk besar itu aku tahu. Sedang yang pemuda
sepertinya aku baru kali ini melihatnya. Siapa dia" Dan apa ma-salahnya hingga kau bentrok
dengan mereka..."!"
Ratu Pulau Merah sunggingkan senyum.
Lalu berbisik dekat telinga laki-laki di sampingnya. "Kakang. Pemuda itulah
manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108! Murid tung-
gal Wong Agung yang pernah kuceritakan pada-
mu. Mereka tampaknya telah berhasil menda-
patkan Arca Dewi Bumi. Aku berusaha merebut-
nya! Kuharap kau sudi menolongku menyelesai-
kan keduanya. Setelah itu kita kembali bersama-sama ke Lembah Bandar Lor. Kita
hidup bersa- ma-sama lagi..."
Laki-laki bertelanjang dada paling wajah-
nya. "Kau tidak berdusta lagi...?"
"Kakang. Ketahuilah. Aku dahulu berdusta
padamu karena aku harus memburu kipas hitam,
bumbung bambu serta Arca Dewi Bumi. Kipas hi-
tam dan bumbung bambu telah dapat kumiliki,
sekarang tinggal arca itu. Jika arca itu dapat kumiliki, untuk apa aku harus
berdusta lagi...?"
Laki-laki bertelanjang dada anggukan ke-
palanya. Meski tampak sekali anggukan itu terasa dipaksakan.
"Kau mau membantuku, Kakang...?" sambung Ratu Pulau Merah dengan menatap lekat-
lekat. "Kalau kau tak mau, harapan kita untuk hidup bersama-sama lagi di Lembah
Bandar Lor hanya akan menjadi impian mu!"
"Hmm.... Baiklah! Tapi jika kau berdusta, kau tahu apa akibatnya!" desis laki-
laki bertelanjang dada. Ratu Pulau Merah tersenyum dan
mengangguk. Di seberang agak jauh, Dayang Naga Puspa
dan Jogaskara tampak terkejut saat melihat siapa adanya laki-laki bertelanjang
dada di samping Ra-tu Pulau Merah.
"Eyang Guru Dadung Rantak...," seru Jogaskara perlahan.
"Sebuah keberuntungan bagi kita. Eyang
Guru pasti akan menolong kita!" tegas Dayang Naga Puspa dengan sunggingkan
senyum. "Menurut keterangan Eyang Selaksa dan
melihat ciri-ciri orangnya serta begitu akrabnya dengan Ratu Pulau Merah, berat
dugaan laki-laki ini yang bernama Dadung Rantak...," Pendekar
108 membatin, lalu berpaling pada Dewi Kayan-
gan dan berkata.
"Dewi. Apakah laki-laki ini yang pernah
disebut-sebut Eyang Selaksa beberapa waktu
yang lalu?"
Dewi Kayangan cekikikan terlebih dahulu,
lalu berkata. "Tak salah! Memang dia orangnya!"
Aji anggukan kepala. Lalu berpaling dan
memandang pada Dadung Rantak. Mulutnya
membuka hendak berkata, namun Dadung Ran-
tak telah terlebih dahulu berkata.
"Aku tak akan berpanjang lebar bicara!
Aku telah tahu siapa adanya kalian berdua. Kalau masih ingin keluar dari tempat
ini dengan keadaan selamat cepat serahkan arca itu pada kami!"
"Walah.... Lagi-lagi ada orang kesasar!
Aji.... Kita tinggalkan saja tempat ini! Jangan-jangan kita nanti ketularan!
Hik.... Hik.... Hik...!"
selesai ucapkan kata-kata, Dewi Kayangan mi-
ringkan tubuh dan sepertinya hendak siap me-
ninggalkan tempat itu.
Namun baru saja tubuhnya bergerak, Da-
dung Rantak telah melompat dan serta-merta
hantamkan tangan kanannya ke arah bahu Dewi
Kayangan. Dewi Kayangan hentikan cekikikannya.
Tubuhnya ditarik sedikit ke belakang. Hingga
hantaman tangan Dadung Rantak melabrak tem-
pat kosong sejengkal di depan bahu Dewi Kayan-
gan. Namun saat itu juga Dadung Rantak sapu-
kan kaki kanannya.
Wuuttt! Begitu cepatnya sapuan kaki Dadung Ran-
tak, hingga belum sempat Dewi Kayangan mem-
buat gerakan menghindar, kaki Dadung Rantak
telah datang. Deess! Tubuh gemuk Dewi Kayangan mencelat
sampai tiga tombak ke belakang. Lalu terkapar di atas tanah. Namun begitu
terkapar, tubuh gemuk Dewi Kayangan cepat menggeliat bangkit. Dari
mulutnya terdengar kembali suara cekikikannya.
"Jahanam!" maki Dadung Rantak garang.
Tubuhnya segera melesat ke depan kedua tangan
segera bergerak menghantam, sementara kaki kiri kanan berputar-putar dan
menerjang. Tiap gerakan kaki atau tangan menghamparkan sinar hi-
tam berkilat. Belum sampai kaki dari tangan
menghajar sasaran, sinar hitam telah melesat
mendahului! Di depan, Dewi Kayangan masih tampak
enak-enakan seakan tidak pedulikan serangan,
padahal serangan itu sudah dua depa di hada-
pannya. Namun tiba-tiba saja kedua tangan Dewi Kayangan membuka dan didorong
kuat-kuat. Weettt! Weeettt!
Gelombang asap tipis berwarna kemerahan
melesat deras ke depan.
Plarrr! Plarrr! Plarrr! Plaaarrr!
Laksana gelombang yang menghantam
lamping batu karang, asap tipis kemerahan melabrak habis empat sinar hitam yang
datang, men- geluarkan suara letupan beberapa kali.
Dadung Rantak tertahan di udara. Dan be-
gitu melihat serangannya bisa ditahan, laki-laki ini hendak lancarkan
serangannya kembali dari udara. Namun belum sempat tangannya bergerak,
Dewi Kayangan telah hantamkan tangan kanan-
nya. Dadung Rantak terkejut, karena saat itu juga tubuhnya laksana dihantam
gelombang besar. Ji-ka saja ia tak cepat melesat ke samping, tentu tubuhnya
telah terhempas!
Mendarat di atas tanah, Dadung Rantak
tampak mendengus keras. Dahinya mengernyit
seakan tak percaya dengan apa yang baru saja
dialaminya. Karena baru kali ini dia mendapat
tangkisan sekaligus serangan yang begitu hebat.
Dengan mulut komat-kamit tiba-tiba dia mem-
bentak garang. Bersamaan itu tubuhnya melesat
kembali ke depan.
Dewi Kayangan salah duga. Karena lesatan
Dadung Rantak tidak langsung kirimkan seran-
gan dari arah depan. Melainkan melambung ke
atas dan tiba-tiba menukik dari atas Dewi Kayangan. Dewi Kayangan, yang baru
saja mendongak hendak mengetahui di mana posisi lawan hanya
melihat lesatan-lesatan sinar hitam di atas kepalanya. Dia segera melompat ke
depan, tubuhnya
dilengkungkan ke belakang sedikit, kedua tan-
gannya dihantamkan ke atas.
Prak! Prakkk! Dua pasang tangan beradu di udara. Da-


Pendekar Mata Keranjang 16 Arca Dewi Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dung Rantak terdengar keluarkan seruan terta-
han. Namun dengan cepat laki-laki ini membuat
gerakan jungkir balik dan hantamkan kakinya ke arah punggung Dewi Kayangan.
Desss! Dewi Kayangan melenguh keras. Tubuhnya
terhuyung ke depan. Dan belum sempat mengua-
sai diri, Dadung Rantak telah menerjang kembali.
Desss! Tubuh Dewi Kayangan meliuk lalu roboh
tersungkur di atas tanah!
Melihat hal ini, Pendekar Mata Keranjang
melompat, namun gerakannya tertahan, karena
saat itu juga Ratu Pulau Merah telah berkelebat menghadang.
"Giliranmu yang sekarang harus roboh!"
seru Ratu Pulau Merah seraya melompat ke de-
pan dan langsung hantamkan kipasnya, sementa-
ra tangan kirinya mendorong.
Pendekar 108 kibaskan kipas, tangan ki-
rinya membuka dan ditarik ke belakang.
Terdengar letupan keras tatkala sambaran
dari dua kipas itu bertemu. Namun serangan tangan kiri Ratu Pulau Merah yang
mengeluarkan gelombang angin segera melesat dan masuk ke telapak tangan kiri
Aji. "Bayu Kencana!" seru Ratu Pulau Merah.
Tubuh perempuan bermata biru ini perlahan ikut terseret ke depan bersamaan
dengan masuknya
serangannya pada telapak tangan Pendekar 108.
Namun perempuan ini segera kerahkan tenaga
dalamnya, tangan kirinya pun dibuka dan ditarik ke belakang.
Gerakan tubuh Ratu Pulau Merah terhenti.
Dan yang terlihat kini adalah keduanya saling kerahkan tenaga dalam masing-
masing sambil tarik tangan kirinya ke belakang. Keduanya tidak ada yang berani
kibaskan kipas masing-masing, mereka sadar jika salah satu dari mereka lancarkan
serangan, maka serangannya akan tersedot ke
tangan lawan, dan tubuhnya akan terseret! Ini
terjadi karena keduanya sama-sama mengerah-
kan jurus pamungkas 'Bayu Kencana'.
Beberapa saat berlalu. Keduanya saling ta-
rik menarik. Pakaian keduanya telah basah
kuyup. Bahkan tubuh keduanya terlihat mulai
bergetar, maka masing-masing sama terpejam.
Dan tanah di tempat itu pun bergetar!
Namun mendadak Ratu Pulau Merah buka
matanya. Mulutnya membentak. Serta-merta tu-
buhnya melesat ke depan. Karena melesat dengan tenaga dalam penuh ditambah
dengan tarikan tangan kiri Pendekar Mata Keranjang 108, mem-
buat lesatan tubuh Ratu Pulau Merah tak dapat
lagi dilihat dengan mata.
Yang terlihat selanjutnya adalah terkapar-
nya tubuh kedua orang ini di atas tanah. Namun ada sesuatu yang membuat Ratu
Pulau Merah atau Pendekar 108 membelalakkan sepasang ma-
ta masing-masing.
Ratu Pulau Merah membelalak karena sa-
betan tangan kirinya yang sempat menyerempet
pinggang Pendekar 108 membuat pakaian bagian
pinggang robek dan memperhatikan sebuah ben-
da berwarna ungu kekuningan yang ada di balik-
nya! Sementara belalakkan mata Pendekar 108
karena terkejut melihat arca di balik pinggangnya menyembul dan nampak jelas!
"Tentu itu arca yang kucari!" gumam Ratu Pulau Merah. "Dugaanku ternyata tidak
meleset!" sekonyong-konyong perempuan bermata biru ini
bangkit dan berkelebat ke arah Aji yang juga tampak bangkit.
"Sialan! Bisa gawat ini!" batin Pendekar Mata Keranjang. Namun baru saja dia
bangkit, Ratu Pulau Merah telah datang menerjang. Se-
mentara tangan kirinya menjulur hendak me-
nyambar arca di pinggang Pendekar 108.
Pendekar Mata Keranjang 108 jejakkan se-
pasang kakinya. Tubuhnya melenting ke udara.
Tapi tanpa disangka-sangka, Ratu Pulau Merah
kebutkan kipas hitamnya. Hingga saat itu juga
serangkum sinar hitam menghantam dari bawah
ke arah Aji. Pendekar 108 terkejut. Dia cepat membuka
gerakan berputar, namun tak urung sambaran
sinar hitam itu menghantam pinggulnya.
Pendekar 108 terpekik, tubuhnya terputar
dan melayang deras ke bawah. Hal ini tak disia-siakan Ratu Pulau Merah. Tubuhnya
segera mele- sat menyongsong dengan tangan menyambar ke
arah pinggang Pendekar Mata Keranjang.
Meski dalam keadaan melayang terkena se-
rangan, namun Pendekar 108 masih sadar akan
apa yang hendak diperbuat Ratu Pulau Merah.
Maka dengan cepat tangan kanannya berkelebat
hendak memapak tangan Ratu Pulau Merah. Na-
mun karena tergesa-gesa tangannya menyambar
arca di pinggangnya terlebih dahulu sebelum
memapasi tangan Ratu pulau Merah.
Tangan Ratu Pulau Merah bisa dibuat
mental balik, namun arca di pinggangnya mence-
lat dan melambung ke udara! Lalu melayang tu-
run dan jatuh di tengah-tengah antar tempat Jogaskara dan Bidadari Bertangan
Iblis berada. Mendapati hal ini, Jogaskara yang telah
terluka parah segera ambil keris di sampingnya, lalu seret tubuhnya mendekati
arca yang tergeletak. Dan serta-merta diraupnya arca itu dengan menindihkan
tubuhnya. Namun bersamaan dengan itu. Bidadari Bertangan Iblis melesat datang.
Dan tanpa bicara lagi, kaki kanannya disapukan pada tubuh Jogaskara yang
telungkup meraupi
arca! Desss! Jogaskara mengaduh. Tubuhnya melengak
terbalik. Namun laki-laki salah satu murid Da-
dung Rantak ini masih sempat kebutkan tangan
kanannya, yang memegang keris.
Seettt! Bidadari Bertangan Iblis yang tidak men-
duga terperangah. Namun sudah terlambat untuk
bisa menghindar, hingga tanpa ampun lagi keris hitam Jogaskara menerabas
dadanya! Tak ada suara keluar dari mulut Bidadari
Bertangan Iblis. Tubuhnya hanya tampak ter-
huyung-huyung sebentar, lalu roboh ke tanah.
Sebentar tampak tubuh itu bergerak-gerak, na-
mun sesaat kemudian diam kaku!
Tak jauh di hadapannya, Jogaskara tam-
pak menggelepar-gelepar lalu terkulai dengan kepala menghantam tanah! Suara
korok tenggoro-
kannya kontan terputus bersama putusnya nya-
wa! Melihat saudara seperguruannya roboh
dengan keris menghujam dada, Singa Betina Dari Timur segera berkelebat dan
serta-merta mengguncang tubuh Bidadari Bertangan Iblis yang ternyata sudah
tewas! "Bidadari! Bidadari!" seru Singa Betina Dari Timur berulang kali. Namun tak ada
jawaban keluar dari mulut Bidadari Bertangan Iblis. Singa Betina Dari Timur
segera merangkul tubuh saudara seperguruannya dengan sesenggukan. Di-
campakannya keris hitam yang ada di dada Bida-
dari Bertangan Iblis. Mungkin karena terguncang dengan robohnya saudara
seperguruannya, hingga niatannya semula yang ingin memiliki keris
atau tombak menjadi terlupakan.
Di lain tempat melihat apa yang terjadi,
Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga Ginting kerah-
kan tenaga dalam masing-masing untuk mele-
paskan diri. Namun usah keduanya sia-sia, mem-
buat kedua orang ini memaki-maki tak karuan,
apa lagi kini arca yang mereka cari-cari ada di hadapannya! Tak jauh beda dengan
Dayang Naga Puspa. Perempuan ini pun memaki-maki panjang
pendek tanpa bisa melepaskan diri dari totokan Dewi Kayangan.
Sementara itu, melihat arca di pinggang
Pendekar 108 mencelat, Ratu Pulau Merah cepat
bangkit dan melesat. Tapi gerakannya tertahan,
karena saat itu juga Pendekar 108 telah mener-
jang ke arahnya. Kipas ungunya ditebar menyi-
lang sementara tangan kirinya didorong kuat-
kuat. Ratu Pulau Merah yang tampaknya sudah
terpancang dengan arca yang tergeletak tak bisa lagi pusatkan perhatian. Hingga
saat serangan datang, perempuan ini terkejut. Namun gerakan-
nya untuk menghindar telah terlambat. Hingga
tanpa bisa dielakkan lagi sinar keputihan yang keluar dari kipas ungu Pendekar
Mata Keranjang 108 tak bisa dihindarkan lagi.
Tubuh Ratu Pulau Merah mencelat sampai
enam tombak ke belakang. Dan tubuhnya baru
terhenti ketika menghajar sebuah pohon. Pohon
itu berderak roboh bersamaan dengan terkapar-
nya tubuh Ratu Pulau Merah. Kipas hitam di tangan kanannya terjatuh dan
tergeletak di sam-
pingnya. Darah kehitaman terlihat meleleh dari sudut bibirnya, juga dari kedua
lobang hidungnya! Jelas jika perempuan bermata biru ini telah terluka parah.
Melihat hal ini murid Wong Agung tak
buang waktu lagi. Tubuhnya segera melesat ke
arah tergeletaknya arca. Di pungutnya arca itu la-lu disimpannya kembali ke
balik pakaiannya. Kepalanya lalu berpaling ke arah Ratu Pulau Merah.
Sepasang matanya sesaat memperhatikan kipas
hitam yang tergeletak di samping perempuan cantik bermata biru ini. Dia tampak
bimbang. Bergerak menyambar kipas hitam atau menunggu seje-
nak. Dia khawatir jika langsung menyambar, Ra-
tu Pulau Merah akan menyergapnya dan tidak
mustahil arca di tangannya akan kembali jatuh.
Murid Wong Agung sadar, meski Ratu Pulau Me-
rah telah terluka namun sebagai seorang yang telah berpengalaman malang
melintang dalam rim-
ba persilatan. Bukan tidak mungkin mengguna-
kan kesempatan yang ada. Apalagi dirinya telah terluka, mata tak mustahil jika
dia nekat meski harus berkorban nyawa.
Berpikir sampai di situ, akhirnya Pendekar
108 memutuskan untuk melihat situasi selanjut-
nya. Kepalanya lantas menoleh ke arah Singa Betina Dari Timur yang tampak
meratapi kematian
saudara seperguruannya. Seraya mengusap ke-
ringat di dahinya, dia melangkah mendekati.
Sementara itu, jauh di depan, pertarungan
antara Dewi Kayangan dengan Dadung Rantak te-
rus berlangsung. Namun tatkala mata Dadung
Rantak menangkap robohnya Ratu Pulau Merah
kekasihnya, perhatiannya terpecah.
Hal ini rupanya bisa ditangkap oleh Dewi
Kayangan, hingga kesempatan ini pun tak dile-
watkan oleh Dewi Kayangan.
Pada suatu serangan, Dewi Kayangan da-
pat menipu gerakan Dadung Rantak yang sudah
terpecah perhatiannya. Saat itu Dewi Kayangan
hantamkan kedua tangannya ke depan dari arah
samping kanan dan kiri.
Dadung Rantak cepat angkat kedua tan-
gannya dan hentakkan ke kanan kiri untuk me-
nangkis. Namun tiba-tiba saja Dewi Kayangan
hanya hantamkan tangan kirinya, sementara tan-
gan kanannya ditarik pulang lalu dihantamkan
lurus ke depan saat mana tangan kiri Dadung
Rantak telah menghentak ke samping.
Prakkk! Deesss! Dadung Rantak terpekik tatkala tangan
kanannya beradu dengan tangan kiri Dewi
Kayangan. Namun suara pekikannya disusul den-
gan suara pekik keduanya karena wajahnya ter-
hantam tangan kanan Dewi Kayangan!
Darah muncrat dari mulut dan hidung Da-
dung Rantak. Tubuhnya pun mencelat ke bela-
kang lalu roboh bergulingan di atas tanah!
Dewi kayangan melesat menyusul, dan ser-
ta-merta kaki kanannya disapukan pada tubuh
Dadung Rantak pelan. Hebatnya, saat itu juga tubuh Dadung Rantak melayang dan
jatuh tak jauh dari tempat di mana Ratu Pulau Merah masih be-
rusaha bangkit.
"Aji...!" teriak Dewi Kayangan seraya lam-baikan tangannya.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih
baru saja hendak buka mulut untuk bicara den-
gan Singa Betina Dari Timur terkejut. Dan begitu melihat lambaian tangan Dewi
Kayangan, murid
Wong Agung ini tampak kecewa. Namun demi se-
lamatnya arca yang telah di tangan serta demi
untuk tidak mengecewakan Dewi Kayangan meski
sambil menggerendeng panjang pendek, Pendekar
108 berkelebat ke arah Dewi Kayangan.
"Perempuan urusan belakangan. Kita ha-
rus tinggalkan tempat ini!" kata Dewi Kayangan
begitu Aji dekat. Perempuan gemuk ini lantas balikkan tubuh dan berkelebat
tinggalkan tempat
itu. Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak ma-
sih tegak berdiri, kepalanya lantas berpaling pada Singa Betina Dari Timur.
Namun yang dipandangi masih tenggelam dalam isak tangis di atas tubuh saudara
seperguruannya.
"Hmm.... Seandainya keadaan mengizin-
kan, ingin rasanya aku menolongnya! Tapi apa
boleh buat. Arca ini harus diselamatkan pada
tempat yang aman dahulu.... Singa Betina.... Selamat tinggal, semoga kelak kita
dapat dipertemukan lagi...," gumam Pendekar 108 seraya lam-baikan tangan, meski
dia tahu bahwa Singa Beti-na Dari Timur tidak sedang melihat ke arahnya.
Lalu murid Wong Agung ini balikkan tubuh dan
menyusul kelebatan Dewi Kayangan.
Melihat perginya Dewi Kayangan dan Pen-
dekar Mata Keranjang 108, Ratu Pulau Merah se-
gera bangkit hendak mengejar, namun baru saja


Pendekar Mata Keranjang 16 Arca Dewi Bumi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangkit, kaki kanannya goyah, dan jatuh terdu-
duk. "Keparat! Jahanam! Bangsat!" maki Ratu Pulau Merah seraya kerahkan tenaga
dalamnya. Lalu perlahan-lahan bangkit melangkah perlahan dan disambarnya kipas hitam yang
tergeletak seraya simpan kipasnya. Dia teruskan langkah,
namun tiba-tiba dia hentikan langkahnya, sepa-
sang matanya melirik pada tombak dan keris
yang tergeletak. Tanpa pikir panjang lagi dia menyambar tombak dan keris "Hm,
senjata ini tentu
kelak ada gunanya!" Lalu sepasang matanya sejenak liar mengawasi tubuh Dadung
Rantak yang tak jauh di sampingnya.
"Kau tak berhasil merobohkan Dewi
Kayangan, berarti impian mu untuk hidup ber-
samaku kuburlah dalam-dalam, Tua Bangka!"
gumam Ratu Pulau Merah, lalu berkelebat ting-
galkan tempat itu.
Dadung Rantak tertatih-tatih bangun. Dan
ketika sepasang matanya tidak lagi melihat Ratu Pulau Merah, dada laki-laki ini
tampak bergetar.
Sepasang matanya berkilat-kilat.
"Perempuan jahanam! Dia telah berkata
bohong padaku! Hmm.... Saatnya akan tiba,
tunggulah! Juga kau Dewi Kayangan dan Pende-
kar Mata Keranjang 108!" teriak Dadung Rantak, lalu tertatih-tatih melangkah
tiga tindak. "Eyang Guru...!" Tiba-tiba Dayang Naga Puspa memanggil.
"Sejak malam ini tak ada hubungan apa-
apa lagi antara kau dan aku! Urusanmu urusan-
mu, urusanku urusanku!" kata Dadung Rantak tanpa berpaling pada muridnya. Laki-
laki bertelanjang dada Penghuni Lembah Bandar Lor ini
berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Gila! Jahanam!" maki Dayang Naga Puspa dengan lejang-lejangkan kakinya, karena
memang hanya sepasang kakinya yang bisa digerakkan.
Sementara itu, begitu dapat menguasai di-
rinya, Singa Betina Dari Timur lantas angkat tubuh Bidadari Bertangan Iblis lalu
dibawanya meninggalkan tempat itu.
"He...! Kuharap kau mau melepaskan lilitan jahanam ini!" kata Dewi Bunga Iblis
mengharap pertolongan Singa Betina Dari Timur yang membawa tubuh saudara
seperguruannya dan me-
langkah tak jauh dari tempat Dewi Bunga Iblis
"Benar! Aku pun mohon padamu agar kau
sudi melepaskan aku juga!" kali ini yang berkata Bawuk Raga Ginting.
Singa Betina Dari Timur palingkan wajah,
namun gadis cantik ini segera luruskan kembali kepalanya dan meneruskan langkah.
"Jahanam! Gadis keparat!" teriak Dewi Bunga Iblis.
"Gadis liar! Awas. Suatu saat kelak kau
akan dapat balasan ku!" seru Bawuk Raga Ginting lalu memaki-maki tak karuan.
Singa Betina Dari Timur seakan tak meng-
hiraukan ancaman dan makian, gadis berwajah
cantik ini terus melangkah dengan membawa tu-
buh saudara seperguruannya. Sudut kedua ma-
tanya tak henti-henti meneteskan air mata. Se-
mentara bahunya terlihat berguncang-guncang.
Dan tatkala wajah gadis cantik dari daratan Bima ini tengadah, di sebelah timur
lamat-lamat cahaya putih kekuningan sang mentari telah berarak
menebar menerangi angkasa.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Dewi Ular 7 Dewa Linglung 22 Dedemit Rimba Dandaka Pukulan Naga Sakti 2
^