Pencarian

Bencana Patung Keramat 1

Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat Bagian 1


BENCANA PATUNG KERAMAT
oleh Aji Saka Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook pdf oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http:/ cerita_silat.cc/
Aji Saka Serial Dewa Arak
dalarn episode:
Bencana Patung Keramat
128 hal. ; 12 x 18 cm.
1 Hari sudah agak siang. Sang Surya pun sudah mulai meninggi. Angin yang berhembus
sudah tidak nikmat lagi dihirup ke dada, tapi cukup membuat semak-semak dan daun
pepohonan di Hutan Jati bergoyang-goyang.
"Nah, kurasa tempat ini cocok, Kang. Sepi! Kecil sekali kemungkinan kita akan
mendapatkan gangguan," sebuah suara kecil dan melengking nyaring menyeruak
mengatasi hembusan angin di Hutan Jati itu.
Suara itu ternyata berasal dari mulut gadis cantik berpakaian serba putih.
Rambutnya hitam panjang dan dibiarkan melambai-lambai tertiup angin.
Gadis itu tidak sendirian. Di sebelahnya tampak seorang pemuda berpakaian ungu.
Seperri si gadis, pemuda itu pun memiliki rambut panjang. Hanya saja tidak
hitam, melainkan putih keperakan. Indah sekali kelihatannya.
Pemuda yang berambut putih keperakan tak langsung menanggapi ucapan gadis
berpakaian putih itu. Dihentikan langkahnya, kemudian diedarkan pandangannya ke
sekeliling. Tapi yang nampak hanya pepohonan besar dan rimbun daunnya.
"Kau benar, Melati. Tempat ini memang cocok. Jauh dari keramaian dan terlindung.
Seperti katamu tadi, kecil sekali kemungkinan akan adanya gangguan," sambut
pemuda berambut putih keperakan, menyetujui usul yang diajukan Melati, gadis
berpakaian putih itu.
Sekarang sudah bisa diketahui, pemuda berambut putih keperakan itu tak lain
Arya, yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak.
Melati tersenyum manis mendengar ucapan persetujuan kekasihnya.
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Kang"! Mari kita mulai," ajak Melati penuh
semangat. "Ayolah!" sahut Arya mengalah.
Melati telah berjalan mendahului, lalu keduanya nampak mengayunkan kaki menuju
sebatang pohon besar yang berada di dekat situ. Lagi-lagi Melati mendahului
duduk di akar pohon yang menyembul ke atas tanah. Terlihat jelas kalau gadis
berpakaian putih itu sudah merasa tidak sabar.
"Hhh...!" Arya menghela napas lebih dulu sebelum memulai ucapannya.
"Sebenarnya..., mengapa kau berkeinginan memanggil naga merah di alam gaib itu,
Melati?" "Yang pertama, aku ingin menambah ilmuku. Kusadari betapa banyak orang sakti di
dunia persilatan. Sudah tidak terhitung banyaknya aku bertemu dengan tokoh-tokoh
yang memiliki kepandaian di atasku. Oleh karena itu timbul keinginanku untuk
menambah ilmu,"
jawab Melati setelah tercenung beberapa saat lamanya.
"Hm..., mengapa tak menempuh dengan cara latihan saja, Melati" Dengan sering
berlatih dan bersemadi, kemampuanmu akan meningkat. Dan itu sudah pasti! Akan
semakin kuat tenaga dalammu dan semakin lincah gerakanmu. Dengan sendirinya
tingkat kepandaianmu akan bertambah!" jelas Arya.
"Buru-buru amat Kakang memberi nasihat?" selak Melati, berpura-pura merengut.
"Aku kan belum mengutarakan semuanya."
"O ya, aku lupa mungkin ada alasan lain hingga kau berkeinginan memanggil naga
merah di alam gaib! Coba utarakan, Melati!"
"Aku tahu, Kang. Bahkan tahu pasti, kalau dengan sering berlatih dan bersemadi,
kemampuanku akan meningkat. Tapi, untuk melakukannya sulit sekali. Selalu saja
ada masalah yang kuhadapi. Sehingga membuatku tidak sempat untuk berlatih. Ini
alasan kedua, Kang."
Melati menghentikan ucapannya untuk mengambil napas.
"Alasan ketiga, karena rasa ingin tahuku. Bagaimana rasanya kalau tubuh kita
termasuki makhluk gaib itu" Bagaimana rupa naga itu?" lanjut Melati. "Kuakui, di
antara ketiga alasan, yang lebih membuatku bersikeras untuk memasukkan naga di
alam gaib ke dalam diriku adalah alasan yang ketiga."
Keadaan langsung hening ketika Melati menghentikan ucapannya, dan Arya belum
memberikan tanggapan. Yang terdengar hanya suara binatang-binatang penghuni
hutan, dan gemerisik dedaunan serta semak-semak dihembus angin.
"Aku tak menyalahkan kalau kau punya keinginan demikian, Melati. Aku sendiri
kalau dalam keadaan seperti dirimu kemungkinan akan melakukan tindakan yang
sama," ujar Arya bijaksana.
"Lalu..., bagaimana, Kang" Apa keinginanku bisa kau kabulkan"!" tanya Melati
ingin mengetahui tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu.
"Tentu saja! Jangankan hanya permintaan seperti itu, yang lebih besar lagi pun
akan kuusahakan asal kau yang meminta!" mantap dan tegas jawaban yang keluar
dari mulut Dewa Arak. "Kapan kau ingin melakukannya"!"
"Sekarang, Kang!" tegas jawaban Melati.
"Baik, kalau itu yang kau mau! Nah, sekarang dengarkan baik-baik ucapanku ini,
Melati!" Sampai di sini Arya sengaja menghentikan ucapannya. Maksudnya memberi
kesempatan pada Melati agar mempersiapkan diri mendengar kelanjutan ucapannya.
"Sebelum membawa masuk naga merah di alam gaib itu ke dalam tubuhmu, perlu kau
ketahui secara pasti keberadaannya dan hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan
naga merah itu."
Untuk yang kesekian kalinya Dewa Arak menghentikan ucapannya. Dan itu
dilakukannya dengan sengaja, agar Melati bisa memahami setiap kata-katanya.
"Naga merah itu bukan sejenis makhluk ataupun roh, Melati. Dia merupakan sebuah
ilmu. Mungkin perlu kujelaskan sedikit. Di alam gaib, setiap ilmu itu mempunyai
bentuk. Hanya saja tidak bisa kita lihat. Dan karena ilmu, naga merah itu bisa kita bawa
masuk ke dalam tubuh kita. Kau bisa mengerti uraianku ini, Melati"!"
Melati menganggukkan kepala. Memang, bisa ditangkapnya penjelasan kekasihnya,
meskipun tidak begitu jelas. Tapi secara kasar Melati mengerti maksud
pembicaraan Arya.
"Berbeda dengan ilmu-ilmu yang dimiliki orang lain, ilmu yang kita miliki, utuh
bentuknya. Ilmuku, 'Belalang Sakti', di alam gaib berbentuk seekor belalang
raksasa. Demikian pula dengan ilmu 'Cakar Naga Merah' milikmu, di alam gaib
bentuknya berupa seekor naga berwarna merah darah. Sedangkan ilmu-ilmu yang
dimiliki orang lain rata-rata tidak mempunyai bentuk di alam gaib," sambung Dewa
Arak menjelaskan.
"Mengapa demikian, Kang"! Mengapa hanya ilmu kita yang mempunyai bentuk di alam
gaib" tanya Melati heran, setelah terlebih dulu mengernyitkan kening.
"Karena cara pengambilan ilmu itu berbeda. Guruku..., yang berarti gurumu juga,
mengambil ilmu secara utuh dari belalang dan naga merah yang ada di alam gaib.
Hal ini tidak rumit baginya. Karena beliau telah lebih dahulu menguasai seluk-
beluk alam gaib. Bahkan, ilmu-ilmu yang dimilikinya sebagian besar merupakan
ilmu gaib!" jawab Arya panjang lebar agar Melati jelas. "Mengerti, Melati?"
"Mengerti, Kang."
Arya tersenyum lebar.
"Kalau begitu, sekarang kita masuk pada pokok persoalan. Yaitu, bagaimana
caranya memasukkan naga merah di alam gaib itu ke dalam dirimu," lanjut Dewa
Arak. "Mudahkah menarik naga merah ke dalam diri kita, Kang"!" tanya Melati ingin
tahu. Pada sepasang mata yang berbentuk indah milik gadis berpakaian putih itu,
terlihat ada kilatan rasa gentar. Hal ini wajar saja. Karena dirinya memang
belum tahu pasti kejadian sebenarnya.
"Dibilang mudah, tidak. Dikatakan sulit.., sebenarnya juga tidak. Jadi, kira-
kira setengah sulitlah. Sedangkan modal terpenting agar usaha yang dilakukan
dapat berhasil yaitu dengan kemauan keras! Lalu yang kedua, penekanan terhadap
alam bawah sadar kita!" jelas Dewa Arak.
Sampai di sini, pemuda berpakaian ungu itu teringat kembali akan pengalamannya
ketika berusaha memasukkan belalang raksasa ke dalam dirinya (Untuk jelasnya,
silakan baca Serial Dewa Arak, dalam episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis").
Membutuhkan kesabaran yang tinggi untuk bisa memasukkan belalang raksasa itu ke
dalam dirinya. "Jadi. ., apa yang harus kulakukan, Kang?" selak Melati.
Nampaknya gadis itu merasa belum jelas dengan keterangan kekasihnya. Dia masih
belum tahu, bagaimana caranya memasukkan naga merah ke dalam dirinya.
Dewa Arak tercenung sebentar untuk mencari kata-kata yang tepat guna memulai
nasihatnya. "Pertama-tama, buang semua pikiran lain yang ada di benakmu. Kemudian, pusatkan
perhatian pada naga merah yang akan kau bawa masuk ke dalam dirimu. Panggillah
dia dalam hati, agar masuk ke dalam dirimu. Mengerti, Melati"!"
Gadis berpakaian putih hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sama sekali
tak disangka kalau cara untuk mendapatkan naga merah demikian mudahnya.
Memusatkan pikiran, bagi orang yang memiliki kepandaian seperti Melati bukan hal
yang sulit. Betapa tidak" Semadi, yang dilakukan sejak mempelajari ilmu silat,
telah mengajarkan cara-cara pemusatan pemikiran. Bagaimana setiap kali dalam
menarik napas, dibayangkan kalau udara yang dihirup mengandung kekuatan dahsyat.
Yang ada sebenarnya berasal dari tiada, itulah prinsipnya!
"Boleh kumulai sekarang, Kang?" Melati meminta pendapat dengan penuh gairah Arya
menganggukkan kepala pertanda menyetujuinya.
Seketika itu pula wajah Melati berubah cerah. Dengan senyum manis terkembang di
bibir, dirinya mulai duduk bersila, mengambil sikap seperti tengah bersemadi.
Namun, kedua tangannya tidak terletak di depan dada, melainkan di atas lutut.
Memang, Melati bukan hendak bersemadi, tapi memusatkan pikiran agar dapat
memanggil naga merah.
Tak lama kemudian, Melati mulai tenggelam dalam alun pikirannya. Segenap hati,
perasaan, dan pikiran dicurahkan untuk naga merah. Suasana menjadi hening,
karena tidak ada lagi di antara mereka yang bersuara.
Dewa Arak pun berdiam diri di tempatnya. Jangankan berbicara, bergerak pun
tidak. Pemuda berambut putih keperakan ini khawatir kalau gerakan yang dilakukan akan
mengejutkan Melati. Bahkan, bernapas pun agak ditahan-tahan.
Waktu berlalu terasa demikian lambat bagi Dewa Arak. Apalagi berdiam diri begitu
saja, tanpa ada yang harus dilakukan. Dengan sendirinya waktu pun berjalan
seperti keong merayap. Lambat sekali!
Semula Dewa Arak mengarahkan pandangan ke tanah, tapi lama-kelamaan bosan
sendiri. Maka biji matanya pun diedarkan ke sana kemari, memperhatikan
sekelilingnya tanpa menggerakkan leher.
Akhirnya bosan juga. Perhatian Dewa Arak kembali dialihkan. Kali ini ke tubuh
Melati. Yang pertama kali dilihatnya wajah kekasihnya, tampak cantik bukan kepalang. Dan
dalam keadaan mata terpejam seperti itu, Melati seakan tengah menunggu Dewa Arak
untuk berbuat sesuatu.
Karuan saja, hal itu membuat jantung Arya berdetak kencang. Tenggorokannya pun
dirasakan kering, dan susah-payah ditelan air liurnya. Di benak Arya mulai
berputaran pikiran-pikiran indah.
Perhatian Dewa Arak mulai beralih. Dan hatinya langsung memuji, setiap kali
sepasang matanya terpaku di satu titik. Mulai dari dahi Melati yang licin,
putih, hahis, dan terlihat begitu mulus. Lalu merayap turun ke pipi yang agak
kemerahan, juga hidungnya yang bangir, bibir yang indah, ranum, terlihat
menantang. Semua itu membuat jakun Dewa Arak turun naik.
Serentetan kata-kata pun muncul di relung hatinya, Melati memang seorang gadis
yang memiliki kecantikan sempurna!
Ada suatu dorongan kuat yang tiba-tiba membuat Dewa Arak mendekatkan wajahnya ke
wajah Melati. Hati-hati sekali, pemuda berambut putih keperakan ini melaksanakan
tindakannya. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit jarak antara dua wajah
semakin dekat Arya lupa akan keinginannya semula untuk tak mengganggu
kekasihnya. Cuppp! Pelan sekali mulut Arya menyentuh dahi Melati. Tapi, kecupan itu sudah cukup
membuat gadis tersentak kaget dan segera menjauhkan tubuhnya. Raut wajahnya
memancarkan keterkejutan yang amat sangat. Namun, ketika disadari hal yang telah
terjadi, dan orang yang melakukannya, Melati menghembuskan napas lega.
"Hhh...! Kau mengejutkanku saja, Kang," ujar Melati pelan.
"Maaf, Melati! Aku..., aku tidak sengaja," sahut Dewa Arak terbata-bata karena
gugup. Perasaan gugup muncul ketika teringat bahwa tindakannya telah mengganggu Melati.
Usaha gadis berpakaian putih itu batal, dan tentu saja harus diulang dari
semula. "Ah..., tidak apa-apa, Kang," ucap Melati buru-buru karena tahu perasaan yang
tengah berkecamuk di hati kekasihnya. "Lagi pula, aku sendiri memang sudah ingin
menghentikannya.
Untuk pertama kali kurasa cukup sampai di sini dulu. Perkenalan!" lanjutnya
sambil tersenyum pada Dewa Arak,
Memang, cukup lama juga Melati tenggelam dalam alun pikirannya. Mulai dari
matahari belum berada di atas kepala, sampai hampir condong ke barat!
"Maafkan aku, Melati! Aku telah membuat usahamu sia-sia. Ah...! Keinginan itu
muncul begitu tiba-tiba. Dan aku tak sempat menyadarinya...," perasaan bersalah
yang melanda belum juga lenyap dari hati Arya.
"Lupakanlah, Kang! Toh, usahaku sama sekali tak sia-sia. Lagi pula, masih ada
kesempatan lainnya kan?"
Ada nada tantangan dalam ucapan itu, meskipun samar-samar. Namun, cukup untuk
dapat ditangkap Arya.
"Kalau begitu...," ucapan pemuda berambut putih keperakan itu terhenti sebelum
selesai. "Kenapa, Kang.. "!" tanya Melati sambil tersenyum menggoda.
Dewa Arak diam. Kelihatan hatinya merasa ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
"Kenapa sih, Kang..."!" rajuk Melati, tak sabarari menunggu ucapan selanjutnya
dari mulut kekasihnya.
"Bagaimana kalau kuteruskan tindakanku tadi. Hanya saja, kali ini dengan
sepengetahuanmu"!" Arya nekat meneruskan ucapannya meskipun dengan suara
bergetar dan serak karena malu bercampur ragu.
Tak ada tanggapan sama sekali dari Melati. Baik berupa ucapan maupun anggukan
kepala. Gadis berpakaian putih itu hanya menundukkan kepala. Namun, Arya sama
sekali tak khawatir melihat sikap yang ditunjukkan kekasihnya. Dirinya tahu
kalau Melati tak marah padanya. Dia hafal benar bagaimana tanda-tanda kalau
kekasihnya itu tengah marah.
Oleh karena itu, Arya yang sejak tadi sudah terbuai bayangan-bayangan nikmat
yang melintas-lintas di pikirannya, tanpa ragu-ragu meneruskan tindakannya.
Dengan perlahan-lahan dan hati-hati sekali, pemuda berambut putih keperakan
mengulurkan tangannya.
Kemudian, dengan jari telunjuk dipegangnya dagu Melati. Lalu diangkatnya secara
perlahan-lahan dan begitu lembut.
Dan sepeiti yang diduga Dewa Arak, tak ada perlawanan sama sekali atas tindakan
yang dilakukannya. Melati pasrah. Gadis berpakaian putih itu membiarkan saja
tindakan kekasihnya yang memaksanya untuk saling bertatapan wajah.
Kemudian perlahan-lahan Dewa Arak mendekatkan wajah. Tetap tak ada tanggapan
dari Melati. Bah-kan, ketika akhirnya wajah Arya menyentuh wajahnya. Melati baru
memberikan tanggapan ketika Arya mulai melumat bibirnya. Gadis berpakaian putih
itu balas memagut dengan tubuh saling berangkulan erat.
Rupanya Arya benar-benar sudah kehilangan kesadarannya. Yang ada di benaknya
hanya menuruti secara membuta, keinginan yang tak tertahankan. Ciuman dan
kecupan yang semula hanya bersarang di wajah Melati, kini mulai merayap ke
leher. Sehingga, membuat tubuh Melati menggeliat-geliat ke sana ke-mari karena


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasa geli bercampur nikmat yang mulai melanda sekujur tubuhnya.
Tindakan Arya semakin menggila. Kini, kedua tangannya pun mulai bergerilya,
berusaha melepaskan pakaian Melati. Dan Melati, yang juga sudah lupa daratan,
membiarkan saja tindakan kekasihnya. Bahkan dirinya nampak membantu tangan Dewa
Arak membuka pakaiannya.
Sudah dapat dipastikan segalanya akan terjadi, kalau saja tidak ada sesuatu yang
tiba-tiba membuat Dewa Arak dan Melati tersentak kaget. Dan sesuatu itu
adalah.... "Aaakh...!"
Jeritan panjang menyayat keluar dari mulut seseorang yang berada di ambang
kematian, memecahkan kesunyian yang melingkupi Hutan Jati. Jeritan itulah yang
membuat Dewa Arak dan Melati terkejut, dan seketika langsung menyadari
ketidakpantasan sikap mereka,
"Ah..., eh..., ma. . maafkan aku, Melati!" untuk yang kesekian kalinya Arya
mengeluarkan ucapan minta maaf.
Wajah pemuda berambut putih keperakan itu memerah karena perasaan malu yang
mendera, setelah menyadari ketidakpantasan kelakuannya barusan.
"Ti... tidak apa-apa, Kang," jawab Melati gugup.
Seperti Arya, dia pun merasa malu. Apalagi ketika menyadari letak pakaiannya
yang sudah tidak karuan. Buru-buru dirapikan lagi.
"Kau dengar suara jeritan tadi, Melati?" tanya Dewa Arak mencoba mengalihkan
perhatian untuk menghilangkan kecanggungan yang terjadi di antara mereka.
Terdengar jelas kalau suara Arya belum pulih. Masih bergetar dan memburu akibat
dorongan perasaan yang mendera.
Melati menganggukkan kepala. Wajahnya nampak dingin dan kaku.
"Sepertinya ada orang yang membutuhkan pertolongan...," jawab Melati sekenanya.
"Kalau begitu, mari kita ke sana!" ajak Dewa Arak lagi.
Kali ini tidak ada suara keluar dari mulut Melati. Gadis berpakaian putih itu
hanya menganggukkan kepala pertanda menyetujui ajakan kekasihnya.
Melihat sikap Melati, tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak segera melesat
menuju asal jeritan keras tadi. Melati pun mengikuti di belakangnya. Sesaat
kemudian, Dewa Arak dan Melati seperti berlomba untuk bisa lebih dulu tiba.
Begitu cepat lari Dewa Arak dan Melati. Sehingga, bentuk tubuh mereka lenyap,
yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih dan ungu saling mengejar.
Karena ilmu meringankan tubuh sepasang pendekar muda itu telah mencapai
tingkatan tinggi, hanya dalam beberapa kali lesatan, mereka telah mengetahui
penyebab timbulnya jeritan menyayat. Memang, untuk mencapai tempat itu keduanya
harus melalui kerimbunan semak-semak dan pepohonan yang cukup lebat. Tapi tentu
saja bagi sepasang muda-mudi itu, hambatan seperti demikian sama sekali tak
berarti. Dewa Arak dan Melati langsung terperanjat, ketika berhasil mengetahui asal
timbulnya jeritan menyayat. Tanpa sadar keduanya melangkah mundur dengan wajah
bersemu merah! Betapa tidak" Di hadapan mereka, dalam jarak sekitar tiga tombak, berdiri sebuah
patung besar yang berbentuk aneh. Patung itu berwajah manusia dan berbadan kuda,
tapi berdiri dengan dua kaki. Kedua kaki yang di atas, berbentuk seperti tangan
manusia dengan kedudukan jari saling dirangkapkan. Dan pada bagian mulutnya ada
taring. Namun, yang lebih menggiriskan hati adanya dua buah tanduk pada bagian atas
kepalanya. Ditambah sepasang matanya yang bagaikan hidup, mencorong! Hal itu
bisa terjadi karena mata makhluk itu terbuat dari intan.
Namun, yang menarik perhatian Dewa Arak dan Melati bukanlah besar dan tinggi
patung yang hampir dua kali lipat manusia biasa. Melainkan sosok yang tergantung
di tangan patung itu. Sosok itu seorang wanita muda yang pakaiannya terkoyak-
koyak. Menilik dari keadaannya, bisa diketahui, wanita berpakaian compang-camping itu
telah tewas. Lidahnya terjulur keluar, dan sepasang matanya yang membelalak
lebar menjadi tanda kematiannya. Rupanya wanita ini mati tercekik. Memang ada
tali yang melilit lehernya dan terikat pada tangan patung. Sehingga tubuh wanita
itu nampak tergantung!
2 "Keparat! Siapa pun pelaku kekcjian ini, jangan harap akan bisa lolos dari
tanganku!"
desis Arya penuh kemarahan.
"Benar, Kang! Penjahat keji ini harus kita kirim ke akhirat!" sambut Melati
dengan suara tak kalah geram.
Wajar saja kalau Dewa Arak dan Melati merasa murka. Karena keadaan wanita itu
begitu mengenaskan. Memang, dia mati karena jeratan tambang. Namun, baik Dewa
Arak maupun Melati tahu belaka bahwa sebelum dibunuh, wanita itu telah diperkosa
dulu. Tanda-tanda itu nampak jelas. Baik dari pakaiannya yang compang-camping
maupun pada keadaan tubuhnya.
"Lebih baik kau turunkan tubuhnya dulu, kasihan kalau dia harus tergantung terus
di sana," sambil ber-kata demikian Dewa Arak menundukkan kepala.
Tentu saja ada alasan yang membuat Dewa Arak melakukan hal seperti itu. Keadaan
pakaian mayat wanita yang compang-camping itulah penyebabnya. Dengan keadaan
pakaian seperti itu, bagian-bagian tubuhnya menyeruak di sana sini.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Melati segera menjejakkan kakinya. Sesaat
kemudian tubuhnya melayang ke atas. Lalu tangannya pun digerakkan membacok!
Tasss! Luar biasa! Tali penggantung tubuh wanita malang itu pun putus. Rupanya dalam
pengerahan tenaga dalamnya, Melati mampu membuat tangannya setajam pedang.
"Hup!"
Dengan sigap Melati menangkap tubuh wanita berpakaian compang-camping itu
sebelum jatuh di tanah. Lalu,...
Jliggg! Dengan begitu ringan kedua kaki Melati hinggap di tanah. Dalam keadaan memondong
mayat seorang wanita, gadis berpakaian putih itu mampu mendarat secara manis dan
mengagumkan. Melati mengedarkan pandangan berkeliling. Hal itu membuat Dewa Arak merasa
heran. "Apa yang kau cari, Melati?" tanya pemuda berambut putih keperakan ingin tahu.
"Tempat yang baik untuk mengubur mayat wanita malang ini, Kang. Aku tidak sampai
hati membiarkan mayatnya begitu saja. Paling tidak kita bisa memberinya tempat
istirahat yang cukup nyaman," jawab Melati.
"Kau benar, Melati," hanya jawaban itu yang diberikan Dewa Arak. Disadari ada
kebenaran dalam pendapat Melati.
Melati hanya melemparkan seulas senyum tipis. Kemudian diayunkan kakinya menuju
sebatang pohon kamboja. Gadis berpakaian putih bermaksud mengubur wanita yang
malang itu di sana.
Sementara itu, Dewa Arak hanya mengawasi semua tindakan Melati. Namun, sikap
pemuda berambut putih keperakan ini tampak waspada. Nampaknya Dewa Arak telah
bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang bakal terjadi. Barangkali saja
orang yang telah melakukan kekejian itu masih berada di sekitarnya dan saat ini
tengah bersiap untuk melancarkan serangan mendadak.
Dewa Arak tidak hanya mengawasi Melati. Keadaan di sekitarnya pun diperhatikan
secara seksama. Namun, dari hasil pengamatannya, bisa diketahui kalau pelaku
tindak kekejian itu sudah tidak berada lagi di sinl Hanya anehnya, mengapa perasaannya
mengatakan, bahwa ada orang lain selain dirinya, Melati, dan wanita malang itu,
di sekitar sini"
Dewa Arak tidak berani mengenyampingkan perasaannya. Dirinya tahu kalau perasaan
itu bukan sembarang perasaan. Tapi, naluri yang telah dimiliki semenjak belalang
raksasa dari alam gaib masuk ke dalam dirinya. Dan Arya telah beberapa kali
membuktikan kebenaran nalurinya itu.
Melati segera menjejakkan kakinya dan melayang ke atas. Lalu tangannya pun
digerakkan membacok!
Tasss! Luar biasa! Rupanya Melati mampu membuat tangannya setajam pedang! Tali
penggantung tubuh wanita malang itu pun putus, dan tubuh wanita itu meluncur ke
bawah! Oleh karena itu, kali ini Dewa Arak tidak mau menyepelekannya begitu saja.
Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling untuk memastikan kebenaran
dugaannya. Hasil yang didapatnya sama! Tidak terlihat seorang pun di sekitar
tempat itu. Mungkin kali ini naluriku keliru, batin Dewa Arak karena nalurinya tetap
mengatakan adanya orang lain di sekitar tempat itu.
Lalu Arya mengalihkan perhatian pada Melati yang telah menyelesaikan tugasnya.
Sesaat kemudian Melati telah berada di dekat Dewa Arak.
"Ada apa, Kang?" tanya Melati.
Memang, meskipun Arya tidak memberitahu, dan pada wajah dan sikapnya tidak
menampakkan perasaan apa pun, Melati telah mengenal kekasihnya secara mendalam.
Itulah sebabnya gadis itu tahu, ada sesuatu yang tengah dipikirkan di benak Dewa
Arak. "Hhh...!" Dewa Arak lebih dulu menghembuskan napas berat sebelum menjawab
pertanyaan kekasihnya. "Aku merasakan adanya kehadiran orang lain di sekitar
sini, Melati. Tapi.. , betapapun telah kupasang mata dan pendengaranku ke sekeliling, tetap
tak kutemukan keberadaan orang itu. Apakah perasaanku keliru"!" pertanyaan ini
seperti tidak ditujukan kepada Melati, melainkan kepada dirinya sendiri.
Melati tidak langsung menanggapi pertanyaan itu. Wajahnya tercenung sejenak.
Telah diketahuinya kalau Arya mempunyai perasaan yang amat tajam, yang lebih
tepat disebut naluri. Dan biasanya perasaan itu benar. Tapi kini pemuda berambut
putih keperakan itu merasa bimbang terhadap nalurinya sendiri.
"Kalau menurutku..., perasaanmu benar, Kang. Ada seseorang berada di sekitar
sini. Hanya mungkin berada di tempat tersembunyi."
"Mungkin kau benar, Melati. Kalau begitu kita harus lebih berhati-hati. Bukan
tak mungkin orang yang bersembunyi itu tengah merencanakan sesuatu," ujar Dewa
Arak pada Melati dengan suara yang jauh lebih pelan dari sebelumnya.
Melati menganggukkan kepala.
"Kita berada di pihak yang tidak menguntungkan, Melati. Orang itu tahu kedudukan
kita, sedangkan kita sama sekali tidak tahu keberadaannya. Kita harus
meningkatkan kewaspadaan," lanjut Arya memperingatkan kekasihnya.
Untuk yang kedua kali Melati hanya menganggukkan kepala. Sementara Dewa Arak
mulai mengalihkan perhatian ke patung besar yang memiliki wujud aneh. Melati pun
mengarahkan pandangan seperti yang dilakukan Arya.
"Kau tidak melihat adanya keanehan, Melati?" tanya Dewa Arak ingin tahu.
Melati mengedarkan pandangan ke sekelilingnya sejenak. Kemudian perlahan
digelengkan kepalanya.
"Tidak, Kang. Aku tidak melihat keanehan yang kau maksudkan."
"Patung itu, Melati," ujar Dewa Arak sambil menudingkan jari telunjuk ke patung
yang tingginya hampir mencapai dua tombak itu.
"Aku tidak melihat adanya keanehan yang kau maksudkan, Kang," jawab Melati
setelah memperhatikan patung itu beberapa saat "Apakah bentuknya yang kau
maksudkan?"
"Bukan, Melati," kata Dewa Arak. "Bukan itu keanehan yang kumaksudkan."
"Lalu apa, Kang?" ujar Melati.
"Keberadaan patung ini, Melati Patung ini berbeda dengan pepohonan dan semak-
semak yang ada di sini..."
"Ah! Ucapanmu semakin ngawur dan aneh, Kang!" selak Melati cepat, dan tidak
sabar. 'Tanpa kau katakan pun aku tahu, patung itu berbeda dengan pepohonan, semak-
semak, dan juga binatang-binatang."
"Bukan itu maksudku, Melati," jelas Dewa Arak dengan sabar. "Begini. Apakah kau
merasa heran dengan keberadaan pepohonan dan semak-semak yang ada di
sekelilingmu, Melati?"
"Lho"! Mengapa aku harus heran"! Ini hutan, Kang. Merupakan sesuatu yang wajar,
dan bahkan keharusan kalau di tempat ini ada pepohonan dan semak-semak! Mengapa
kau malah mempertanyakannya?" bantah Melati, heran.
"Nah! Itulah yang kumaksudkan, Melati. Tempat ini adalah hutan. Keberadaan
pepohonan dan semak-semak di tempat ini tidak aneh. Bahkan andaikata tempat ini
bukan hutan pun, keberadaan pepohonan dan semak-semak bukan hal yang patut
dipertanyakan. Mengapa demikian" Karena pepohonan dan semak-semak terjadi atas kekuasaan Tuhan.
Dengan kata lain, bukan buatan manusia. Tapi patung itu...?" tanya Arya setelah
memberi penjelasan panjang lebar.
"Sekarang aku mengerti maksudmu, Kang," sahut Melati sambil mengangguk-anggukkan
kepala. "Sekarang aku mengerti mengapa kau mengatakan kalau patung ini berbeda
dengan pohon. Patung ini tidak mungkin terjadi begitu saja. Jadi, jelas tak
mungkin berada di sini kalau tidak ada yang menciptakan."
"Tepat! Itulah yang kumaksudkan, Melati!" sambut Arya cepat. "Ada orang yang
membuatnya. Dan siapa pun orangnya tentu punya maksud tertentu."
Melati kontan tercenung. Disadari ada kebenaran yang tidak bisa dibantah dalam
ucapan kekasihnya. Dan sekarang, gadis itu tengah memikirkan maksud dan tujuan
orang yang telah membawa patung itu ke hutan ini
"Apa kau sudah punya dugaan, Kang?" tanya Melati, ingin tahu.
"Ya," jawab pemuda berambut putih keperakan singkat "Patung ini diciptakan
sebagai alat pembantaian yang ditujukan untuk sebuah maksud. Yahhh..., misalnya
pemujaan terhadap roh-roh yang ada di alam ini. Dan, kalau dugaanku benar,
pelakunya mungkin merupakan sekelompok orang yang menganut suatu kepercayaan
keji!" jelas Arya panjang lebar.
"Ya, mungkin kau benar, Kang," Melati mendukung dugaan kekasihnya. "Kalau
begitu, kita harus segera mencegah terjadinya tindak kekejian berikutnya, Kang!"
"Tentu saja, Melati!" tandas Arya mantap. "Kita harus melakukan penyelidikan."
'Tapi dari mana kita harus memulainya, Kang" Titik terang persoalan ini sama
sekali belum kita dapatkan."
"Kita mulai saja dari bukti-bukti yang telah kita dapatkan," jawab Arya. "Patung
ini dan wanita itu. Kau ingat ciri-cirinya kan, Melati?"
Gadis berpakaian putih itu menganggukkan kepala.
"Nah, kita mulai dari patung ini dulu!"
Usai berkata demikian, maka pendekar muda yang telah menggemparkan dunia
persilatan dengan julukan anehnya itu, mengayunkan langkah mendekati patung. Hal
yang sama pun dilakukan Melati.
"Hm..., patung ini ternyata telah lama dibuat, Melati. Menilik dari
keadaannya... jelas usianya jauh lebih tua dari umur kita," ucap Arya seraya
memperhatikan penuh seksama keadaan patung berwujud aneh di hadapannya.
Melati tak memberikan tanggapan. Namun dirinya mengakui kalau kesimpulan
kekasihnya kemungkinan besar, benar. Keadaan patung memang sudah tidak bisa
dikatakan baru lagi. Selain hampir sekujur bagian patung telah ditumbuhi lumut,
tanda-tanda kalau usia patung itu telah tua pun terlihat jelas.
"Berarti..., kalau patung ini merupakan tempat dilangsungkannya sebuah upacara
keji sekelompok orang yang menganut kepercayaan aneh, tentu telah berlangsung
lama, tahunan. Bahkan mungkin belasan, atau puluhan tahun!" lanjut Arya lagi.
"Tapi, sepengetahuanku.. upacara seperti itu hanya dilangsungkan pada waktu-
waktu tertentu, Kang. Misalnya pada waktu bulan purnama. Sedangkan saat ini
tidak, Kang," bantah Melati.
"Hm... kau benar, Melati," sahut Arya dengan suara mendesah, menyadari kebenaran
bantahan kekasihnya. "Hhh...! Persoalan ini mulai rumit."
Usai berkata demikian, sejenak pemuda berambut putih keperakan tercenung.
Kernyitan dahinya, memperlihatkan kalau Arya tengah berpikir.
"Bagaimana kalau kita mengungkapnya melalui wanita malang itu, Kang?" usul
Melati tiba-tiba.
"Apa boleh buat," ucap Arya sambil mengangkat bahu. "Penyelidikan tentang patung
ini telah buntu sampai di sini. Dan sekarang kita lanjutkan penyelidikan
terhadap wanita itu. Tapi, tidak berarti penyelidikan kita terhadap patung ini
terhenti, Melati. Kita selidiki terus keduanya. Mari, Melati!"
Lalu Dewa Arak mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu, diikuti Melati.
Sepasang muda-mudi itu sama sekali tidak tahu kalau dari atas sehuah pohon besar
yang berdaun rimbun, ada sepasang mata yang tengah memperhatikan tingkah mereka.
*** "Hhhh...!"
Sebuah helaan napas berat keluar dari mulut seorang lelaki bertubuh pendek dan
kekar yang tengah mondar-mandir di depan pintu rumahnya. Raut wajahnya
menyiratkan kegelisahan. Sementara pandangannya tertuju ke satu arah.
"Bagaimana, Kang" Warsini sudah pulang?"
Seiring terdengarnya pertanyaan yang sarat dengan rasa kekhawatiran, di ambang
pintu menyeruak sesosok mungil berusia tidak muda lagi. Seperti juga wajah
lelaki pendek kekar, wajah wanita mungil itu diselimuti perasaan khawatir yang


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amat sangat. "Belum, Ni," jawab lelaki pendek kekar tanpa mengalihkan pandangannya, tetap
tertuju ke satu tempat.
"Kalau begitu, cepat susul, Kang. Aku khawatir terjadi sesuatu atas dirinya,"
seru wanita mungil dengan perasaan khawatir yang sudah tak bisa dibendung lagi.
Kini lelaki pendek itu baru membalikkan tubuhnya.
"Jangan mengharapkan yang tidak-tidak, Ni! Desa kita aman. Kau tahu, selama ini
tak pernah terjadi peristiwa yang mencemaskan di sini. Karena itu tenangkanlah
dirimu!" "Bagaimana aku bisa tenang, Kang!" sergah wanita mungil itu keras. "Warsini itu
anakku, dan sampai sekarang belum pulang! Hhh...! Kalau tahu akan begini, tak
akan kuizinkan dirinya pergi tadi! Warsini..! Anakku... oh...!"
"Ni...! Tak usah kau khawatirkan! Tenangkan saja hatimu. Toh, dia tidak sendiri.
Ada Barada yang menyertainya. Aku yakin Barada akan mampu melindunginya kalau
ada bahaya mengancam," ujar lelaki pendek kekar, berusaha menenangkan hati
istrinya. "Tapi mana bukti kebenaran ucapanmu, Kang"! Nyatanya sekarang Warsini belum juga
kembali! Tanda-tanda kemunculannya pun belum terlihat. Padahal sebentar lagi
malam akan tiba. Ohhh..., Warsini, anakku! Apa yang terjadi atas dirimu, nak!"
keluh wanita mungil itu.
"Diam!" bentak lelaki pendek kekar kehilangan kesabaran. "Kau pikir hanya kau
yang merasa cemas"! Aku juga! Warsini bukan hanya anakmu! Tapi, juga anakku! Kau
dengar"! Aku juga menyayanginya! Tapi, tidak dengan cara begitu mempertunjukkan
perasaan sayang itu!"
"Kalau begitu, mengapa kau tidak mencarinya, Kang"! Mengapa"! Mengapa kau malah
diam saja di sini"!" perasaan kalap yang melanda, membuat wanita mungil itu tak
bisa menggunakan pikirannya dengan benar.
"Hhh...!"
Lelaki pendek kekar menghembuskan napas berat untuk menenangkan gejolak
perasaan yang tengah melandanya. Disadari kalau dirinya menanggapi ucapan-ucapan
istrinya dengan keras, persoalan akan semakin meruncing. Hal itu sama sekali
tidak diinginkannya, sebab saat itu nampak istrinya telah kehilangan pikiran
jernihnya. "Aku bukan tak mampu mencarinya, Ni! Aku ha nya khawatir akan terjadi selisih
jalan. Hal itulah yang membuatku ragu untuk menyusulnya."
"Aku tak peduli! Yang penting, Warsini harus kembali! Oh, Warsini, anakku!
Betapa malangnya nasibmu, nak!"
Dan wanita mungil itu menangis mengguguk.
"Hhh...!"
Telah yang kesekian kalinya lelaki pendek kekar menghela napas berat untuk
melonggarkan isi dadanya yang dirasakan sesak. Kalau menuruti perasaan, mungkin
sudah dimaki-maki istrinya. Dirinya tengah kebingungan hebat, menghadapi
tindakan-tindakan istrinya. Sehingga beban perasaan yang harus ditang-gung
semakin berat. "Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Ni. Aku akan memberitahukan kejadian ini
pada yang lain. Sekarang, lebih baik kau masuk ke dalam. Kunci pintu dan jangan
buka sebelum aku kembali!"
Kali ini wanita mungil itu tidak banyak membantah lagi. Sambil menyusut air
matanya dia membalikkan tubuh, kemudian mengayunkan kaki ke dalam. Dan...
Trakkk! Pintu rumah telah dikuncinya.
"Hhh...!"
Lelaki pendek kekar itu kembali menghembuskan napas berat sebelum menghampiri
kentongan yang tergantung di sudut rumah. Diulurkan tangan mengambil kayu
pemukulnya, lalu dipukulnya ke badan kentongan itu.
Tong! Tong! Tong!
Bunyi kentongan pun terdengar memecahkan suasana sepi seluruh desa. Karena malam
memang telah turun. Dan penduduk Desa Ginang yang sebagian besar petani, telah
bersiap-siap untuk melanglang buana ke alam mimpi setelah seharian bekerja
keras. Hal yang sama hendak dilakukan seorang petani yang tempat tinggalnya tidak jauh
dengan lelaki pendek kekar. Lelaki itu tengah rebahan di balai bambu ketika
mendengar suara kentongan.
Tong! Tong! Tong
Kentongan tanda bahaya" Pikirnya.
Seketika itu pula lelaki bertubuh tinggi besar ini melompat bangun.
"Mau ke mana, Kang?" tegur istrinya.
"Kau dengar bunyi kentongan itu?" lelaki tinggi besar itu balas bertanya.
Sang istri yang bertubuh gemuk, menganggukkan kepala.
"Arahnya dari sebelah kiri, Kang."
"Ya. Kau tunggu di sini. Ada orang yang membutuhkan pertolongan," sahut petani
itu. Tak lama kemudian, lelaki tinggi besar itu bergegas keluar dari dalam dan menuju
ke pintu. Lalu membukanya dengan cepat. Dan setelah berada di luar rumah,
langsung dihampirinya kentongan. Sesaat kemudian...,
Tong! Tong! Tong...!
Isyarat tanda bahaya yang dikirimkan lelaki pendek kekar, disambung oleh lelaki
tinggi besar. Tak lama kemudian, bunyi kentongan lain pun menggema di seluruh
penjuru Desa Ginang mengisyaratkan adanya bahaya. Sesaat kemudian, lelaki pendek
kekar telah berkumpul belasan penduduk Desa Ginang dengan obor terangkat tinggi-
tinggi di atas kepala.
"Apa yang telah terjadi, Gobar?" tanya seorang lelaki setengah baya berpakaian
putih. Sikapnya terlihat penuh wibawa. Apalagi karena raut wajahnya penuh dengan sorot
ketenangan. Dialah Kepala Desa Ginang, Ki Sagotra namanya.
"Anakku, Ki," lapor lelaki pendek kekar yang ternyata bernama Gondewa. "Anakku
belum kembali."
"Apa yang terjadi dengan anakmu, Gondewa" Ceritakanlah secara jelas!" masih
tetap tenang ucapan Ki Sagotra. Tampak jelas kematangan sikapnya.
Gondewa tak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia tercenung sebentar, mencari
kata-kata yang tepat untuk memberitahukan peristiwa yang telah terjadi.
Sementara Ki Sagotra dan belasan penduduk Desa Ginang menunggu keluarnya
penjelasan Gondewa dengan perasaan tak sabar.
"Begini, Ki. Tadi menjelang siang, anakku, Warsini berniat pergi ke rumah
kakeknya. Karena tempat tinggal kakeknya
cukup jauh, istriku menyuruh Barada,
untuk mengantarkannya. Memang, Barada yang biasanya mengantarkan jika Warsini hendak
ke sana." Gondewa menghentikan ceritanya sejenak untuk mengambil napas. Sementara Ki
Sagotra dan para penduduk desa dengan sabar mendengarkan penuturan itu. Sama
sekali mereka tak bermaksud menyelaknya. Mereka semua tahu bahwa Barada adik
Gondewa. "Tapi, sampai sekarang mereka belum kembali. Padahal, biasanya sebelum matahari
condong ke barat, Warsini dan Barada telah berada di rumah. Aku khawatir terjadi
sesuatu terhadap mereka berdua. Itulah sebabnya segera kupukul kentongan," tutur
Gondewa mengakhiri ceritanya.
"Di mana tempat tinggal kakeknya, Gondewa?" tanya Ki Sagotra.
"Di Desa Dadap," jawab Gondewa cepat.
"Hm..., berarti kita harus melewati mulut Hutan Jati," desah Ki Sagotra.
"Benar, Ki," jawab Gondewa sambil menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi" Mari kita mencarinya! Kau tahu jalan yang
dilalui anakmu kalau pergi ke sana, Gondewa?" tanya Ki Sagotra lagi.
Gondewa menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu lewat jalan mana biasanya anakku pergi. Tapi, aku tahu jalan
pintas untuk menuju ke sana."
"Kalau begitu..., kita pakai jalan yang biasa kau lalui saja," putus Ki Sagotra.
"Mari kita berangkat!"
Sesaat kemudian rombongan penduduk Desa Ginang pun mulai bergerak menuju Desa
Dadap. Ki Sagotra dan Gondewa berada di barisan terdepan.
3 "Kang...! Lihat.. !" seru Melati sambil menudingkan jari telunjuknya.
Arya menolehkan pandangan ke arah yang ditunjuk kekasihnya. Terlihat api obor
tengah menuju arah mereka berdua. Jumlahnya belasan. Alis pemuda berambut putih
keperakan itu berkernyit dalam.
"Aneh...! Apa yang akan dilakukan mereka malam-malam begini"!" desah Dewa Arak
keras. "Apakah mereka akan menuju Hutan Jati?"
Saat itu, Arya dan Melati baru saja keluar dari mulut Hutan Jati.
"Jangan-jangan.. , mereka rombongan orang yang akan melakukan upacara keji itu,
Kang"!" duga Melati.
"Mungkin dugaanmu benar, Melati. Tapi lebih baik jangan melakukan tindakan apa
pun. Siapa tahu, dugaan kita keliru. Barangkali mereka rombongan orang yang
tengah mencari wanita malang tadi. Aku yakin, wanita itu berasal dari salah satu
desa di sekitar sini," urai Dewa Arak panjang lebar.
Melati mengangguk-anggukkan kepala karena merasa kalau dugaan Dewa Arak lebih
mendekati kebenaran. Karena biasanya hanya penduduk desa dan yang kebetulan
tengah melakukan suatu pencarian, beramai-ramai dan menggunakan obor.
"Lalu..., sekarang bagaimana baiknya, Kang" Kita teruskan perjalanan, atau
bersembunyi di sini sambil mengawasi keadaan selanjutnya?" tanya Melati.
"Kita teruskan perjalanan," jawab Dewa Arak memberi keputusan.
Melati hanya mengangkat bahu. Sebenarnya dirinya tak setuju dengan keputusan
kekasihnya, tapi sama sekali tidak membantahnya. Hatinya segera terhibur dengan
keyakinan, bahwa tindakan yang diambil Dewa Arak selalu benar.
Dan karena keyakinan itulah Melati mengikuti Arya yang terus saja mengayunkan
langkahnya. Dewa Arak dan Melati menuju ke arah rombongan yang membawa obor itu
berasal. Sehingga jarak antara mereka pun semakin dekat. Kedua belah pihak nampak seperti
saling menghampiri.
Seiring dengan semakin dekatnya jarak antara kedua belah pihak, mereka pun telah
saling melihat Seperti Dewa Arak dan Melati, rombongan pembawa obor itu juga
dapat melihat mereka berdua.
"Hati-hati...! Siapa tahu dua orang ini mempunyai maksud tidak baik terhadap
kita," ujar lelaki berpakaian putih yang berdiri terdepan dari rombongannya.
Lelaki ini tak lain Ki Sagotra. Memang, mereka rombongan penduduk dari Desa
Ginang. Mendengar pemberitahuan itu, belasan orang di belakangnya pun bersikap waspada.
Pemberitahuan yang disampaikan kepala desa mereka diperhatikan betul-betul.
Namun tidak hanya rombongan penduduk Desa Ginang saja yang bersikap waspada.
Dewa Arak dan Melati pun demikian pula. Dan semakin dekat jarak mereka,
kewaspadaan pun semakin ditingkatkan.
"Selamat malam, Kisanak semua!" tegur Arya dengan sopan ketika jarak antara
dirinya dengan rombongan penduduk Desa Ginang sekitar dua tombak.
"Selamat malam?" sambut Ki Sagotra tak kalah ramah,
Seperti juga Arya dan Melati, Kepala Desa Ginang ini menghentikan langkah.
Sehingga gerak maju rombongannya pun terhenti.
"Kami berdua pengelana, boleh kami bertanya?" ujar Arya lagi memperkenalkan
diri. Dalam waktu sesingkat itu, sepasang mata tajam pemuda berambut putih keperakan
itu langsung bisa mengetahui kalau rombongan ini bukan orang-orang yang terbiasa
dengan kerasnya dunia persilatan. Ini bisa diketahuinya dari sikap dan gerakan
mereka yang tidak gesit. Napas mereka pun nampak terengah-engah. Dewa Arak
segera menyimpulkan bahwa rombongan ini adalah penduduk desa. Oleh karena itu,
dirinya bermaksud mengutarakan peristawa yang ditemuinya tadi siang.
"Ooo... silakan, Anak Muda!" sambut Ki Sagotra cepat.
"Begini, Ki. Kami hanya ingin tahu, hendak ke manakah kau dan rombongan waktu
malam begini?"
Keramahan Ki Sagotra langsung lenyap. Dan kini ketegasanlah yang tampak di
wajahnya. "Maaf, Anak Muda! Bukannya kami bersikap tidak sopan. Tapi, kami tidak bisa
memberitahukannya. Kuharap kau bisa mengerti!"
Arya segera menggoyang-goyangkan tangannya di depan dada.
"Tentu saja kami mengerti, Ki. Kami sama sekali tak menganggap kau dan
rombonganmu tidak sopan. Bisa dimaklumi. Karena kami orang-orang asing, bukan?"
"Terima kasih, kalau kau dapat mengerti, Anak Muda! Sekarang, kami akan
melanjutkan perjalanan. Dan kuharap kau jangan menghalang-halangi!" tandas Ki
Sagotra mantap.
"Tentu saja tidak, Ki. Maaf, kalau aku telah bertindak lancang, berani
menanyakan sesuatu masalah yang bukan urusanku. Tapi, ini terpaksa kami lakukan.
Tadi siang kami menemui sesuatu di tengah perjalanan. Barangkali saja hal yang
telah kami jumpai ada hubungannya dengan urusan rombonganmu."
"Menyingkirlah, Anak Muda! Kami tidak ada waktu untuk berbincang-bincang
denganmu! Kami mempunyai urusan yang lebih penting! Tahu"! Jangan paksa kami
bertindak kasar!" seru Gondewa tak sabar.
Lelaki pendek kekar ini sejak tadi memang telah menahan-nahan sabar. Hatinya
tengah dilanda kegelisahan akan nasib putrinya. Tentu saja menjadi kesal dengan
tindakan Dewa Arak yang dianggapnya memperlambat tindakan pencarian terhadap
Warsini. Ucapan keras Gondewa membuat Melati naik darah. Hal ini tidak aneh karena Melati
memiliki watak pemarah.
"Mari kita pergi, Kang!" ajak Melati sambil menggamit tangan Dewa Arak.
Lalu, tanpa memberi kesempatan pada Dewa Arak untuk berbuat sesuatu, gadis
berpakaian putih itu langsung menarik tangan kekasihnya. Kemudian melangkah
untuk meninggalkan rombongan itu.
Dewa Arak terpaksa membiarkan tindakan kekasihnya yang menariknya untuk
meninggalkan tempat itu. Rombongan penduduk Desa Ginang pun menyeruak memberi
jalan. Karena apabila hal itu tidak dilakukan, tentu mereka ditabrak Melati yang saking
kesalnya tak mempedulikan jalan di hadapannya terhalang rombongan itu. Memang,
Melati berjalan biasa, tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Belum jauh Melati membawa Arya dari tempat itu. Ketika tiba-tiba. ..
"Tunggu!" seru Ki Sagotra keras.
Namun Melati tak menghiraukan perintah itu dan terus melanjutkan langkahnya
dengan setengah menyeret Arya.
Melihat hal ini, Ki Sagotra tidak tinggal diam.
Memang, Kepala Desa Ginang ini bukan orang sembarangan. Digenjotkan kakinya.
Maka sesaat kemudian tubuhnya melesat menuju Melati dan Dewa Arak.
Jliggg! Setelah bersalto beberapa kali di udara, Ki Sagotra mendaratkan kedua kakinya di
tanah dengan mantap, tepat di hadapan Melati dan Arya.
"Tunggu sebentar, Nisanak!" cegah Ki Sagotra sambil menjulurkan kedua tangannya
ke depan. "Apa lagi yang kau inginkan" Menyingkirlah dari situ sebelum hilang
kesabaranku!"
tandas Melati keras.
"Sayang sekali, Nisanak! Aku tidak akan memenuhi permintaanmu sebelum kawanmu
menjelaskan maksud ucapannya," tolak Ki Sagotra.
"Kalau memang begitu, mengapa tadi kau biarkan orangmu mengucapkan kata-kata tak
pantas pada kawanku"!" sergah Melati keras.
"Kalau hal itu kau anggap suatu kesalahan, biar aku yang meminta maaf padamu.
Tapi, percayalah! Aku tak bermaksud membiarkannya mengucapkan kata-kata seperti
itu. Tapi, karena saat itu aku tengah berusaha memahami ucapan kawanmu. Jadi,
aku tidak sempat mencegah ucapan kasar tadi. Bahkan mencegah kepergianmu pun
akan hampir tidak sempat'"
bantah Kepala Desa Ginang.
Melati kontan terdiam. Amarahnya mulai mereda. Memang, gadis berpakaian putih
ini memiliki watak aneh. Sifatnya sukar untuk ditebak. Hatinya mudah marah.
Tapi, kalau orang minta maaf padanya maka amarahnya langsung lenyap. Dengan kata
lain, kalau orang bersikap kejam, dia bisa membalas lebih kejam, dan sebaliknya.
Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Dewa Arak.
"Apa yang kau inginkan, Ki?" tanya Arya tenang.
Sementara itu rombongan penduduk Desa Ginang bergegas menghampiri, dan berdiri
di dekat Ki Sagotra. Nampaknya mereka bersiap-siap untuk membantu apabila
terjadi sesuatu atas diri Kepala Desa Ginang. Di samping itu, mereka pun ingin


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar lebih jelas mengenai hal yang membuat Ki Sagotra mencegah sepasang
muda-mudi itu meninggalkan tempat itu.
"Aku hanya ingin kau menjelaskan padaku maksud ucapanmu yang tadi, Anak Muda.
Bukankah kau tadi mengatakan, kalau sesuatu yang kau temui dalam perjalananmu
itu ada hubungannya dengan urusan kami"! Nah! Kami ingin tahu apa sebenarnya
yang telah kau temui," jelas Ki Sagotra sabar.
Dewa Arak tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Sejenak matanya menatap satu
persatu wajah-wajah di hadapannya.
"Sebenarnya, agak berat untuk mengutarakannya, Ki. Karena hal yang akan
kukatakan kepadamu ini mungkin bukan berita yang menyenangkan, bahkan
sebaliknya."
"Tidak mengapa, Anak Muda. Kami siap untuk mendengarnya. Lagi pula, belum tentu
hal yang akan kau beritahukan itu ada hubungannya dengan kami," kelit Ki Sagotra
cerdik. "Aku pun berharap demikian, Ki. Karena apabila benar ada hubungannya, sulit
kubayangkan betapa kecewa dan sedihnya hati kalian. Terutama bagi orang yang
bersangkutan," ucap Arya masih belum menuju pokok permasalahan.
Bukan tanpa alasan pemuda berambut putih keperakan itu berkata demikian. Dirinya
tak ingin, jika benar berita yang dibawanya mempunyai hubungan dengan rombongan
Ki Sagotra, akan berakibat yang tidak diinginkan. Itulah sebabnya Dewa Arak
tidak langsung mengatakannya.
"Kalau kau memang ingin mengatakannya, katakanlah, Anak Muda! Tidak usah
bertele-tele. Kecuali bila kau menghendaki lain. Kami, terutama sekali aku tidak
akan memaksamu.
Kau dan kawanmu boleh pergi dari sini!" tegas Ki Sagotra.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Ki," sahut Arya memutuskan. "Begini
ceritanya, Ki. Tadi menjelang matahari tenggelam, ketika tengah melewati hutan,
kami mendengar adanya suara jeritan menyayat. Begitu kami menuju ke tempat suara
berasal, kami temui mayat tergantung pada sebuah patung besar. Wanita itu telah
tewas," lanjutnya menjelaskan.
"Seorang wanita" Bagaimana ciri-cirinya"!" selak Gondewa penuh nafsu. Ada
kecemasan yang amat sangat dalam suaranya.
Arya menatap wajah Gondewa sejenak.
"Mengenai pertanyaan itu aku tidak bisa menjawabnya, Ki. Biar kawanku ini yang
akan menjawabnya." Lalu pemuda berambut putih keperakan ini memberi isyarat pada
Melati. Melati tidak langsung memberikan jawaban pada Gondewa yang telah menunggu
dengan perasaan tidak sabar. Rupanya kejengkelan atas kelakuan lelaki pendek
kekar itu terhadap kekasihnya, masih membekas di hati.
Gondewa pun rupanya mengetahui perasaan yang berkecamuk di hati Melati. Maka,
meski dengan perasaan berat karena perasaan ingin tahunya jauh lebih besar,
dikuatkan hati untuk berbicara pada gadis berpakaian putih itu.
"Aku minta maaf atas ucapanku tadi, Nisanak. Andaikata, sukar bagimu untuk
memaafkanku, dengan memandang muka Ki Sagotra selaku Kepala Desa Ginang, sudilah
kiranya kau memaafkanku," ucap Gondewa dengan suara lirih.
Kejengkelan hati Melati pun lenyap seperti asap ditiup angin. Kini, tanpa
diberitahu pun pikirannya telah bisa menebak, kalau rombongan ini memang
bermaksud akan mencari seorang wanita. Dan, wanita yang dicari sudah pasti putri
Gondewa. Buktinya, dia lah yang paling kalap ketika mendengar berita dari Dewa
Arak tentang mayat seorang wanita.
"Kawanku menyerahkan jawabannya padaku, bukan karena hatinya masih mendendam
atas ucapanmu, Ki. Tapi.. , karena dia memang tidak mengetahui ciri-ciri wanita
yang malang ini. Akulah yang tahu, meskipun sebenarnya kami berdua yang
menjumpainya terbunuh," jelas Melati dengan hati lapang.
"Mengapa demikian, Nisanak?" tanya Ki Sagotra, heran.
"Karena..., karena keadaan wanita itu amat mengenaskan, Ki. Dia... dia menerima
perlakuan tak patut dari orang yang membunuhnya. Perlakuan yang..., ah sulit
bagiku untuk mengatakannya, Ki," ucap Melat dengan wajah memerah.
"Ya, ya, aku mengerti, Nisanak," potong Ki Sagotra, cepat
Lelaki berpakaian putih ini tak tega melihat Melati yang dilanda kebingungan
untuk menerangkan kejadian yang sebenarnya.
"Ceritakan saja ciri-cirinya, biar kami mengetahuinya secara jelas. Karena terus
terang, tujuan kami semua mencari seorang wanita."
Lalu, tanpa diminta, orang nomor satu di Desa Ginang ini menceritakan semuanya,
lengkap, berdasarkan cerita yang didapatnya dari Gondewa. Sementara Dewa Arak
dan Melati mendengarkan penuh perhatian.
"Jadi. ., Warsini mengenakan pakaian hijau"!" tanya Melati dengan suara pahit.
"Benar, Nisanak," Gondewa yang menyahuti dengan suara bergetar karena perasaan
tegang yang melanda. Lelaki pendek kekar sadar kalau sebuah kenyataan pahit
sebentar lagi akan diterimanya. Pertanyaan bemada minta penegasan dari mulut
Melati barusan menjadi pertanda buruk baginya. Karena anaknya, Warsini memang
mengenakan pakaian hijau!
"Benar, Nisanak," jawab Gondewa terbata-bata karena rasa khawatir yang
berkecamuk di hati. "Apakah wanita yang kau temukan mengenakan pakaian hijau?"
Dengan hati berat Melati menganggukkan kepala, Bisa dibayangkan betapa
terpukulnya hati lelaki pendek kekar ini, apabila wanita malang yang ditemui
Melati benar putrinya. Dan hal itu bisa dirasakan Melati.
Tanggapan yang diberikan Gondewa memang seperti yang diduga Melati. Lelaki
pendek kekar itu kontan terdiam dengan raut wajah pucat pasi.
"Bisa kau sebutkan ciri-ciri lainnya, Nisanak?" tanya Ki Sagotra mengambil alih
ketika melihat keadaan Gondewa.
"Tentu saja, Ki," jawab Melati sambil menganggukkan kepala. Sementara Dewa Arak
hanya bertindak sebagai pendengar.
"Kalau begitu, tolong katakan, Nisanak! Barangkali saja wanita yang kau temukan
itu bukan Warsini. Tapi kebetulan mengenakan pakaian yang sama," Ki Sagotra
masih berharap akan kemungkinan lainnya.
"Mudah-mudahan, Ki!" hampir berbareng Arya dan Melati memberikan harapan.
"Wanita yang kami temukan itu berambut panjang terurai sampai di pinggang,"
Melati mulai menurutkan ciri-ciri yang dimiliki wanita itu.
"Kalau begitu bukan Warsini!" selak Ki Sagoi penuh perasaan gembira.
"Benarkah begitu, Ki?" tanya Melati dengan perasaan lega.
"Benar," Ki Sagotra menganggukkan kepala, "Sepengetahuanku Warsini memiliki
rambut pendek."
"Warsini berambut panjang, Ki," selak Gondewa dengan suara getir. "Hanya dia
jarang mengurai rambutnya. Lebih sering digelungnya. Agar lebih rapi, katanya,"
lanjut Gondewa.
Seketika rasa lega di wajah Ki Sagotra dan Melat lenyap. Keduanya mulai
menyadari adanya kemungkinan kalau korban itu adalah Warsini.
"Lalu, adakah ciri-ciri lain yang kau temui, Nisanak?" tanya Gondewa lesu.
"Ada, Ki. Ada. Ada dua buah tahi lalat yang kulihat. Satu di leher sebelah
kanan, dan satu lagi di..."
Cukup, Nisanak. Tak perlu kau jelaskan lagi!" potong Gondewa, sambil menjulurkan
kedua tangannya.
"Jadi. .,"
Ki Sagotra tidak meneruskan ucapan yang akai dikeluarkan. Ditatapnya wajah
lelaki pendek kekar lekat-lekat. Wajah Kepala Desa Ginang itu pun tampak
diiiputi perasaan cemas.
"Ciri-ciri itu hanya dimiliki Warsini. Warsini, anakku...! Sama sekali tak
kuduga kalau nasib hidupmu demikian buruk!" keluh Gondewa dengan sedih.
"Kekhawatiran ibumu ternyata tidak keliru."
"Kalau dia benar Warsini, lalu ke mana perginya Barada"!" tanya Ki Sagotra
sambil menatap wajah Gondewa. Dan ketika tak ada jawaban, karena Gondewa memang
tidak mengetahuinya, dialihkan perhatiannya ke Melati. "Apakah kau melihat ada
orang lain di sekitar situ, Nisanak" Seorang pemuda...."
"Hm... aku tidak melihatnya. Yang ada di sana hanya mayat wanita itu, tidak ada
lainnya." Suasana langsung hening ketika Melati menghentikan ucapannya. Mereka terhanyut
dalam alun pikiran masing-masing. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan
serangga malam serta angin yang berhembus di antara pepohonan.
"O ya, Nisanak. Kalau aku tidak salah dengar, kau mengatakan mayat Warsini
tergantung pada sebuah patung. Padahal, aku tahu betul, di Hutan Jati tak ada
patung apa pun. Apalagi patung yang sebesar ukuran manusia. Apakah kau dan
kawanmu ini tidak mengada-ada"! Maaf, aku tak bermaksud mencurigai kalian. Tapi,
di antara keterangan yang kau berikan, ada beberapa di antaranya yang tidak
masuk akal kami "
Bukan hanya Melati yang mengernyitkan alisnya kali ini Dewa Arak pun demikian
pula. Sepasang muda mudi ini menyadari adanya kecurigaan dalam pernyataan Ki Sagotra.
"Coba katakan, mana di antara keterangan kami yang tidak masuk akal itu, Ki?"
Arya buru-buru mendahului bertanya sebelum Melati menyambut ucapan Ki Sagotra.
Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir kekasihnya akan tersinggung dan
marah besar, lalu mengakibatkan terjadinya keributan.
"Pertama, masalah patung itu. Dan yang kedua, ketidaktahuan kalian atas nasib
Barada. Padahal Baradalah yang mengantarkan Warsini!"
Rombongan penduduk Desa Ginang itu termakan ucapan Ki Sagotra. Mereka pun,
terutama Gondewa, menatap Melati dan Dewa Arak berganti-ganti dengan sorot mata
mengandung keingintahuan besar. Mereka semua ingin tahu alasan yang dikemukakan
sepasang muda-mudi berwajah elok itu.
"Mengenai patung itu, perlu kuberitahukan, Ki. Jangankan kau, kami berdua pun
sempat merasa heran. Mengapa patung itu ada di sana" Menurut pendapatku, ada
orang yang telah membawanya ke sana. Entah berapa orang. Tapi yang jelas,
andaikata pelaku tindak kekejian ini hanya seorang, maka tenaga dalamnya sudah
pasti amat kuat! Karena patung itu amat besar!"
"Hm...," Ki Sagotra bergumam. Tampak jelas kalau laki-laki pendek kekar ini
tidak mempercayai keterangan Dewa Arak. "Lalu.. , bagaimana dengan Barada" Kata
rekanmu yang kalian lihat hanya mayat Warsini. Padahal Warsini pergi bersama
dengan Barada. Lebih jelasnya bisa kukatakan kalau Barada bertugas menjaga
keselamatan Warsini. Lalu..., mengapa kalian berdua tidak melihatnya" Suatu hal
yang aneh, bukan"!" urai Ki Sagotra menjelaskan kecurigaannya.
"Sama sekali tidak, Ki. Bisa saja Barada dibunuh, sedangkan Warsini dibawa ke
tempat itu. Ini kemungkinan pertama andaikata benar wanita yang terbunuh itu
Warsini. Kemungkinan keduanya, bisa saja Barada pelaku pembunuhan itu. Kalau dia bukan
pembunuhnya, mengapa tidak kembali"! Ini juga dapat dijadikan bahan kecurigaan,
Ki"!"
bantah Arya. "Kau memang pintar bicara, Anak Muda. Kuakui alasan yang kau jelaskan itu memang
masuk akal. Tapi, kau jangan bergembira dulu. Perasaan curiga terhadapmu tetap
belum hilang di hatiku!" tandas Ki Sagotra tegas.
"Terima kasih atas kejujuranmu, Ki!"
"Bisa antarkan aku ke tempat kau mengubur mayat wanita itu, Nisanak"!"
Tanpa mempedulikan Ki Sagotra dan Arya yang masih berbicara. Gondewa langsung
saja menyelaknya. Lelaki pendek kekar itu tetap belum mengakui kalau mayat yang
ditemukan Melati adalah anaknya.
Itulah sebabnya dia tetap memanggilnya dengan wanita itu.
Melati tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Malah dialihkan pandangannya ke
Dewa Arak. Baru setelah melihat kekasihnya menganggukkan kepala, gadis itu
langsung meluluskan permintaan Gondewa.
"Aku bersedia mengantarkanmu ke sana, Ki."
"Terima kasih, Nisanak! Bisa kita berangkat sekarang?" tanya Gondewa lagi, tidak
sabar. "Bisa, Ki," Arya yang memberikan jawaban. Memang, pemuda berambut putih
keperakan itu sudah tak terlibat pertengkaran lagi dengan Ki Sagotra, setelah
tindakan Gondewa yang menyelak pembicaraan.
"Kalau demikian tunggu apa lagi?"
Melihat hal ini, Ki Sagotra hanya mengangkat bahu. Dibiarkannya Gondewa
melaksanakan keinginannya. Perasaan kasihan yang mendorongnya seperti itu.
"Kita selesaikan persoalannya nanti, Dewa Arak!" kata Kepala Desa Ginang itu
bernada menantang.
Dewa Arak menyambutnya dengan senyum di bibir. Kemudian diayunkan langkahnya
menuju Hutan Jati kembali. Belasan penduduk Desa Ginang mengikuti di
belakangnya. 4 "Itu kuburannya, Ki," ujar Melati sambil menuding sebuah gundukan tanah berisi
mayat wanita malang yang diduga Warsini.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, belasan penduduk Desa Ginang meluruk ke gundukan
tanah itu. Mereka seperti saling mendahului untuk segera tiba di Sana. Namun,
yang berada paling depan adalah Gondewa.
Arya, Melati, dan Ki Sagotra serta beberapa orang penduduk Desa Ginang yang
tidak ikut mendekati kuburan Warsini, hanya mengawasi.
"O ya, di mana patung yang kau ceritakan itu, Anak Muda?" tanya Ki Sagotra
sambil matanya beredar ke sekeliling tempat itu.
Namun belum sempat Arya maupun Melati memberikan jawaban, terjadi peristiwa yang
tak disangka-sangka! Rombongan penduduk desa yang bermaksud membongkar kuburan
Warsini rupanya mendapat masalah.
"Aaakh...!"
"Aduhhh...!"
"Uuukh, kakiku...!"
Terdengar suara-suara jeritan dari sebagian besar penduduk. Dan tiba-tiba
langkah kaki mereka pun terhenti.
Melihat kejadian ini, tanpa membuang waktu Dewa Arak dan Melati segera melesat
ke sana. Tapi, tentu saja sepasang pendekar muda yang telah kesohor ini tetap
selalu berwaspada.
Sebelum mencapai tempat rombongan penduduk menjerit-jerit kesakitan, keduanya
tidak melanjutkan lari mereka.
Arya dan Melati memperhatikan. Sesaat kemudian keduanya telah mengetahui
penyebabnya. Di sekitar kuburan Warsini, telah tersebar ratusan bahkan mungkin
ribuan paku berukuran cukup panjang, sehingga mampu menembus alas kaki dan
melukai yang menginjaknya. Paku-paku itu tidak terlihat jelas karena tanah itu ditumbuhi
rumput yang meskipun pendek, cukup untuk menutupi paku-paku itu hingga tidak
jelas terlihat mata.
Apalagi di waktu malam seperti sekarang
Sekarang para penduduk Desa Ginang yang sial itu harus menerima akibat tindakan
mereka yang tergesa-gesa. Telapak kaki mereka tertembus paku dan terluka. Mereka
terkejut dan kebingungan. Betapa tidak" Kedua telapak kaki mereka tertusuk paku-
paku beracun! Belasan orang penduduk Desa Ginang itu pun semakin kebingungan. Mereka tak dapat
berdiri. Paku-paku beracun itu telah menembus telapak kaki mereka. Dan sialnya,
karena kedua telapak kaki tertusuk paku menyebabkan kesulitan untuk mencopoti
paku yang menancap.
Betapa tidak" Untuk mencopoti paku-paku itu tentu memerlukan salah satu kaki
untuk bertumpu. Dengan sendirinya luka yang diderita semakin parah, jika paku
semakin dalam menembus. Dan hal itu dialami mereka yang berusaha mencopot paku.
Sementara sebagian lagi hanya berdiam diri saja di tempat karena menyadari
sulitnya melakukan tindakan pertolongan.
Ketika mereka terlibat dalam kesulitan itulah Dewa Arak dan Melati menghentikan
langkah sambil mengawasi keadaan. Sepasang muda-mudi berwajah elok ini tak
berani bertindak gegabah. Itulah sebabnya mereka tidak langsung memberikan
pertolongan. Yang dilakukan hanya memperharikan sejenak suasana sekitar tempat
itu. Tiba-tiba...
"Aaakh...!"
Jeritan menyayat hati keluar dari mulut salah seorang penduduk yang berusaha
mencopot paku dari telapak kakinya. Seiring dengan keluarnya jeritan itu, tubuh
penduduk itu menggelepar-gelepar. Dan dari mulutnya keluar busa putih dan
kental! Kemudian diiringi suara mengorok seperti kerbau disembelih, tubuh lelaki yang
sial itu ambruk ke tanah. Di situ, tubuhnya berkelojotan seperti orang ayan.
Sementara dari mulutnya terus-menerus keluar cairan kental berwarna putih.
"Lugira...!" seru kawan-kawannya yang juga terjebak di tempat itu. Mereka semua
terkejut bukan kepalang melihat kejadian yang menimpa Lugira.
Dewa Arak, Melati, dan Ki Sagotra, serta penduduk yang bersamanya pun terkejut.
Dengan tindakan tergesa-gesa, Kepala Desa Ginang bersama warga desa yang
bersamanya melesat mendekati. Dan mereka menghentikan langkah ketika telah
berada di dekat Dewa Arak dan Melati.
"Kalian harus bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa ini!" tandas Ki
Sagotra keras sambil menatap Dewa Arak. "Kalianlah yang membuat mereka semua
terjerumus di situ!"
"Simpan dulu kemarahanmu, Ki. Tindakan yang harus kita lakukan sekarang,
menolong mereka sebelum segalanya terlambat. Hal-hal lain bisa diurus


Dewa Arak 47 Bencana Patung Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakangan," sahut Dewa Arak, cepat
Ki Sagotra melengak. Mengapa dia begini bodoh"! Mengapa dia meributkan masalah
seperti itu di saat genting seperti ini" Apa yang dikatakan Dewa Arak benar
belaka. Pada saat gawat seperti ini, hal yang paling penting dilakukan mencari
jalan untuk menyelamatkan mereka. Bukan meributkan peristiwa. yang telah
terjadi. Maka, lelaki berpakaian putih pun terdiam. Pikirannya berputar mencari
cara untuk menyelamatkan nyawa warga desanya yang belum menjadi korban.
Tapi sebelum Ki Sagotra menemukan cara, Dewa Arak telah berhasil mendapatkannya.
"Lepaskan sabuk kalian, dan pergunakan untuk menjerat tubuh mereka," ucap Dewa
Arak tiba-tiba.
Sambil berkata demikian pemuda berambut putih keperakan itu segera meloloskan
sabuk dari pinggangnya. Hal yang sama dilakukan pula oleh Melati dan Ki Sagotra.
Sementara para penduduk Desa Ginang yang berada bersama kepala desanya hanya
bisa saling pandang.
Mereka sama sekali tidak mengenakan sabuk pengikat pinggang. Sebagai petani
mereka tidak terbiasa mengenakan sabuk di pinggang.
Namun, Dewa Arak sama sekali tidak mempedulikan karena menyadari kalau Ki
Sagotra dan penduduk desanya tak akan mampu melakukan hal yang telah
direncanakan. Seruan itu sebenarnya ditujukan pada Melati. Namun, karena khawatir Ki Sagotra
dan lainnya merasa disepelekan, maka ditujukan ucapannya itu untuk mereka semua.
Dan dugaan pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak keliru. Ki
Sagotra meloloskan sabuknya juga seperti yang dilakukan Dewa Arak dan Melati,
tapi raut wajahnya memancarkan kebingungan.
Sementara itu Dewa Arak dan Melati langsung bertindak.
"Harap kalian tenang, dan jangan melakukan tindakan apa pun," teriak Dewa Arak.
"Kami hendak menolong. Apabila sabuk ini telah membelit tubuh kalian, jangan
melakukan tindakan perlawanan. Lemaskan saja, agar pertolongan ini berjalan
lancar!" Lalu.... Ctarrr! Diawali bunyi ledakan keras, sabuk di tangan wa Arak dan Melati mulai meluncur
menuju para penduduk yang tengah menunggu maut. Salah seorang di antara mereka
telah tewas setelah menggelepar lepar beberapa saat lamanya.
Siuuut! Rrrttt!
Seperti telah disepakati saja, sabuk Dewa Arak dan Melati meluncur ke sasaran
yang berlainan. Perhitungan yang tepat, sabuk itu berhasil membelit tubuh dua di
antara para penduduk yang terjebak.
Dan ketika Dewa Arak dan Melati melakukan sentakan, tubuh-tubuh yang telah
terbelit itu pun terbawa ke arah mereka.
"Cepat kau berikan pertolongan pada mereka Melati! Mereka keracunan. Biar aku
yang menarik mereka keluar dari sana," kata Dewa Arak setelah tubuh dua penduduk
itu berada di antara mereka.
*** Tanpa menunggu perintah dua kali Melati langsung membelitkan sabuknya kembali ke
pinggang, ia berjongkok dan memeriksa keadaan mereka.
Ki Sagotra dan para penduduk yang bersaman pun ikut berjongkok. Mereka ingin
tahu kejadian yang tengah menimpa kawan-kawan mereka. Ki Sagotra kini telah
menyimpan kembali sabuknya karena menyadari kalau dirinya tidak dapat membantu
Dewa Arak. Karena tugas yang diterima Melati membutuhkan waktu yang lebih lama, maka ketika
Dewa Arak telah menyelesaikan semua tugasnya, gadis itu baru melakukan tindakan
pencegahan terhadap semua korban. Berarti pertolongan yang diberikan Melati baru
dimaksudkan untuk mencegah racun menjalar lebih jauh.
"Bagaimana, Melati?" tanya Arya ketika melihat kekasihnya telah selesai
memberikan pertolongan pada orang yang terakhir.
"Ini jenis racun yang aneh, Kang," jawab Melati sambil menyusut peluh yang
membasahi keningnya.
"Ya. Aku juga telah melihat akibatnya tadi," jawab Dewa Arak sambil menghela
napas, karena merasa tidak yakin apakah mereka akan sanggup menyelamatkan nyawa
para penduduk Desa Ginang yang malang itu.
"Tidak akan ada satu pun di antara mereka yang selamat, Anak Muda," selak Ki
Sagotra sambil menatap Dewa Arak.
Karuan saja ucapan itu membuat Dewa Arak dan Melati menolehkan kepala.
"Mengapa kau berkata demikian, Ki?" tanya Arya bernada penasaran. Sorot perasaan
yang sama, terpancar pula di wajah Melati.
"Hhh...!"
Jawaban bagi pertanyaan Dewa Arak hanya hembusan napas berat. Tapi hal itu tidak
membuat Dewa Arak terkejut. Yang membuatnya merasa terkejut bukan kepalang
justru ketika melihat adanya kengerian, baik di wajah maupun di mata Ki Sagotra.
"Sebenarnya berat bagiku untuk mengatakannya, Anak Muda. Tapi, bisa kukatakan
secara singkat. Kematian yang didahului tanda-tanda seperti ini telah pernah
terjadi di Desa Ginang dan di desa-desa sekitarnya," jelas Ki Sagotra dengan
suara lirih. "Maksudmu..., kematian yang didahului dengan gejala-gejala seperti ini, Ki"!"
tanya Arya menegaskan.
Ki Sagotra menganggukkan kepala membenarkan pertanyaan Dewa Arak. Sementara
Melati tengah sibuk memerangi racun yang mengendap di tubuh para penduduk yang
malang itu. Namun, seperti yang telah dikatakan Ki Sagotra, tindakan Melati
ternyata sia-sia. Salah seorang di antara mereka tahu-tahu menggelepar-gelepar
disertai keluarnya cairan putih dan kental dari mulutnya, lalu diam tak berkutik
lagi. Mati! "Bisa kau jelaskan padaku tentang kejadian itu, Ki?" pinta Arya hati-hati.
Ki Sagotra tidak langsung memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Dewa Arak.
Dilayangkan pandangannya ke angkasa seolah-olah tengah mencari jawaban di sana.
"Sebenarnya..., aku tak pernah ingin mengingatnya lagi, Anak Muda. Kejadian itu
telah lama berlalu. Tepatnya puluhan tahun lalu. Rentetan kejadian mengerikan
yang membuat bulu kuduk berdiri. Begitu mengerikan!" ujar Ki Sagotra masih
dengan tatapan tertuju ke angkasa.
Jelas, ingatan lelaki berpakaian putih itu melayang ke masa puluhan tahun lalu.
Dewa Arak sama sekali tak memberikan tanggapan. Dengan sabar ditunggunya hingga
Kepala Desa Ginang itu melanjutkan ucapannya. Sementara itu, Melati masih tetap
sibuk menyelamatkan nyawa para penduduk yang keracunan.
"Puluhan tahun lalu..., ketika aku seusiamu, terjadi peristiwa-peristiwa
mengerikan. Entah dari mana datangnya tak seorang pun yang tahu. Ada sekelompok orang yang
menganut kepercayaan keji. Suatu kepercayaan yang sangat menggiriskan. Mereka
melakukan pemujaan terhadap roh-roh jahat. Dan demi kesempurnaan pemujaan,
mereka harus mengorbankan seorang wanita yang masih suci. Entah bagaimana
kejadiannya aku tak tahu dengan pasti.
Yang jelas, kami hanya selalu menemukan sesosok mayat wanita tergantung di atas
sebuah patung dalam keadaan mengenaskan!"
Ki Sagotra menghentikan ucapannya sejenak untuk mengambil napas, lalu menelan
ludahnya yang terbendung di mulutnya. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-
baiknya oleh Dewa Arak untuk mengutarakan hal yang mengganjal di dadanya.
"Seperti itu pula keadaan mayat wanita yang kami temukan, Ki," sahut Arya. "Dia
pun tergantung di atas sebuah patung besar yang berwujud mengerikan."
Ki Sagotra tersenyum pahit. Wajahnya pun tampak tegang.
"Sekarang aku bisa mempercayai ceritamu, Anak Muda. Tanpa kau jelaskan pun aku
tahu bentuk patung yang kau maksudkan. Bukankah patung itu terdiri dari campuran
beberapa macam bentuk" Badan dan kaki belakangnya berbentuk kuda, wajah dan
tangan manusia, bertaring, dan memiliki tanduk?" tanya Ki Sagotra sambil menatap
wajah Dewa Arak.
Dewa Arak juga menganggukkan kepala pertanda membenarkan.
"Hhh...! Berarti bencana yang pernah menghebohkan puluhan tahun lalu akan
terulang. Bencana yang terjadi akibat patung yang dianggap keramat oleh kelompok itu.
Padahal, dahulu banyak tokoh persilatan yang telah membantu, tapi kami tetap
mengalami kesulitan. Tak mampu mengatasi setiap malapetaka mengerikan itu.
Apalagi sekarang"! Hhh...! Entah apa yang bakal terjadi terhadap desa ini!"
keluh Ki Sagotra lagi sambil menghembuskan napas berat.
"Maaf, Ki! Boleh kudengar cerita selengkapnya sehingga kelompok yang mempunyai
kepercayaan keji itu bisa dimusnahkan"!"
"O ya, aku belum menyelesaikan ceritaku," Ki Sagotra teringat kembali. "Teror
yang melanda Desa Ginang, puluhan tahun lalu lebih mengerikan lagi. Bukan hanya
wanita yang menjadi korban. Tapi juga para pemuda yang masih perjaka. Tak
sedikit korban yang berjatuhan. Dan hal itu membuat para penduduk memutuskan
untuk melakukan perlawanan.
Di bawah pimpinan guru silat desa, kami menyiapkan perlawanan. Tapi sayang,
dengan mudah perlawanan kami dapat dipatahkan."
Ki Sagotra menghentikan ceritanya kembali untuk mengambil napas sambil berusaha
mengingat-ingat peristiwa mengerikan yang sejak lama diusahakan untuk
dilupakannya. "Untung berita itu terdengar oleh tokoh-tokoh persilatan aliran putih. Itu pun
berkat usaha guru silat desa yang sebelum tewas sempat meminta bantuan per-
guruan-perguruan silat aliran putih melalui surat. Pertarungan demi pertarungan
pun terjadi. Tapi tetap saja kemenangan berada di pihak kelompok penganut aliran
sesat itu. Mereka menggunakan ilmu hitam yang mereka dapatkan dari hasil upacara
mengerikan itu!"
Lagi-Iagi Ki Sagotra menghentikan ucapannya. Ditelannya kembali liur untuk
melegakan tenggorokannya yang kering.
"Dan ketika tokoh-tokoh persilatan aliran putih mulai putus asa, muncul seorang
kakek sakti. Berkat bantuannya kelompok itu bisa dihancurkan. Dia memiliki ilmu
yang membuat ilmu hitam kelompok itu tak berdaya. Bahkan pimpinan gerombolannya
pun berhasil dibinasakan! Sehingga kelompok keji itu pun berhasil dihancurkan!
Ditumpas habis! Itu keyakinan kami dahulu. Namun nyatanya, sekarang peristiwa
ini berulang lagi. Berarti kelompok itu belum sepenuhnya tuntas. Kupikir masih
ada di antara mereka yang selamat!" Ki Sagotra mengakhiri ceritanya dengan raut
wajah memancarkan kengerian mendalam. Beberapa kali terdengar napasnya
dihembuskan dengan berat karena menahan ketegangan di hatinya.
Dewa Arak tercenung begitu Ki Sagotra menyelesaikan cerita. Lalu diedarkan
pandangan ke wajah-wajah penduduk Desa Ginang. Dan seperti juga Ki Sagotra,
wajah dan sorot mata mereka semua memancarkan kengerian yang amat sangat.
Kengerian yang sama melanda hati Melati. Gadis berpakaian putih ini membayangkan
betapa besarnya perasaan ngeri yang melanda hati para penduduk Desa Ginang
puluhan tahun lalu.
"Ki...," sapa Arya perlahan.
"Hm...," hanya gumaman pelan Ki Sagotra yang menyambut ucapan pemuda berambut
putih keperakan itu.
"Kalau mendengar ceritamu tadi, berarti sumber bencana itu tak lain patung yang
dianggap keramat oleh kelompok penganut kepercayaan itu. Bukankah demikian?"
Ki Sagotra mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala.
"Benar, Anak Muda."
"Barangkali..., kalau patung aneh itu tidak ada, malapetaka pun tidak akan
terjadi lagi"
Begitu kan, sepatutnya"!" tanya Arya.
Kini kernyitan dahi Ki Sagotra makin dalam.
Rupanya kepala desa itu belum bisa menebak arah pembicaraan Dewa Arak. Namun,
karena pernyataan yang dikemukakan Arya sama sekali tidak salah, Ki Sagotra
mengangguk meskipun kebingungan masih terlihat jelas di wajahnya.
"Kalau begitu..., patung keramat itu akan kuhancurkan saja! Dengan demikian
tidak ada lagi tempat yang dapat dijadikan peristiwa keji oleh kelompok penganut
kepercayaan keji itu!" tandas Dewa Arak penuh semangat.
"Kau benar, Kang!" Melatilah yang pertama kali memberikan sambutan. "Biar aku
saja yang menghancurkannya. Bagaimana, Ki"!"
"Sebuah usul yang bagus!" sambut Ki Sagotra, juga dengan perasaan gembira.
"Apakah hal itu tidak akan membuat gerombolan keji itu semakin meningkatkan
kekejiannya?" bantah seorang lelaki bertubuh tinggi besar ragu-ragu. Sorot
matanya memancarkan kekhawatiran besar.
"Kalau menurut pendapatku, sama saja, Ki," sahut Arya, cepat.
"Kau benar, Anak Muda. Mari kita hancurkan patung keparat itu!" ajak Ki Sagotra
penuh semangat Tapi riak penuh semangat di wajah Ki Sagotra kontan buyar ketika melihat sikap
Dewa Arak dan Melati. Kedua pendekar muda ini tampak menatap penuh perasaan
heran pada satu arah.
"Apa yang terjadi, Anak Muda?" tanya Ki Sagotra penasaran.
"Patung itu sudah tidak ada lagi, Ki," jawab Arya tenang. Rupanya pemuda
berambut putih keperakan ini telah mampu menguasai dirinya kembali.
"Apakah tadi sewaktu kita datang, patung itu masih ada, Anak Muda?" tanya Ki
Sagotra ingin tahu.
"Sayang sekali, aku tak melihatnya, Ki. Urusan mayat wanita itu yang menyebabkan
kami tidak ingat sama sekali. Tapi, barangkali masih ada di sekitar sini. Kau
juga di sini, Melati. Aku akan memeriksa sekitar tempat itu. Siapa tahu patung
itu masih ada dan kita hanya keliru tempat!"
"Aku yakin kita tidak keliru tempat, Kang. Orang itu pasti telah
memindahkannya."
"Ucapanmu mungkin benar, Melati. Tapi tak ada salahnya kalau aku memeriksanya
untuk meyakinkan benar tidaknya," kelit Arya.
"Kalau begitu pergilah, Kang! Biar aku berjaga-jaga di sini."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Arak segera melesat. Ingin dibuktikannya
sendiri kalau patung itu benar-benar sudah tidak berada di tempatnya lagi.
Berkat sinar bulan dan tidak adanya awan yang menggantung, suasana di persada
cukup terang. Sehingga Arya tak mengalami kesulitan untuk mengawasi segala
sesuatu di sekelilingnya. Dan memang ucapan Melati benar. Patung keramat yang
memiliki bentukaneh itu sudah tidak berada di situ!
Maka dengan lesu, Arya mengayunkan langkah kembali ke tempat semula.
"Bagaimana, Kang?"
Sebelum Arya tiba di dekat mereka, Melati telah lebih dulu mengajukan
pertanyaan. Gadis itu merasa tidak sabar untuk segera mengetahuinya.
"Tidak ada, Melati. Mungkin dugaanmu benar, orang itu telah lebih dulu
menyembunyikan di tempat yang aman," jawab Arya ketika telah berada di dekat
mereka. "Kalau begitu, kami akan kembali ke desa, Anak Muda. Tentu saja setelah mengurus
mayat-mayat ini," ujar Ki Sagotra sambil menudingkan jari telunjuknya ke mayat-
mayat yang tergolek di hadapannya. Memang, tidak ada satu pun yang selamat di
antara orang-orang yang terkena paku beracun.
Ki Sagotra segera memberi perintah pada para penduduk Desa Ginang yang masih
hidup agar membuatkan kuburan bagi mereka yang tewas karena paku beracun. Tak
berapa lama kemudian, lubang-lubang kuburan pun terbentuk karena Arya dan Melati
ikut membantu. "Bagaimana, Anak Muda" Kau ingin melanjutkan perjalanan sendiri atau ikut
Pusaka Negeri Tayli 14 Amanat Marga Karya Khu Lung Makam Bunga Mawar 8
^