Pencarian

Bidadari Penyebar Cinta 1

Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta Bagian 1


BIDADARI PENYEBAR CINTA Darma Patria Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode: Bidadari Penyebar Cinta
128 hal. https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
SATU ANGIN kencang berhembus naik ke kawasan sebuah perbukitan, nun jauh di atas sana
awan hitam menggelantung membuat suasana
menjadi gelap. Sesaat kemudian hujan deras mendera disertai menyambarnya kilat
dan disusul terdengarnya salakan guntur.
Dari arah barat lereng salah satu bukit,
menyeruak di antara curah hujan dan salakan petir sesosok bayangan berkelebat
menuruni lereng
di mana terdapat sebuah air terjun. Tak berselang
lama, bayangan ini telah tegak pada sebuah batu
tak jauh dari air terjun. Ada keanehan pada sosok
orang ini. Meski curahan hujan dan imbasan air
terjun menerpa tubuhnya, namun pakaian hitamhitam serta kulit tubuhnya seakan
memiliki daya sedot luar biasa, hingga tubuh dan pakaian orang
ini tidak basah! Malah samar-samar dari tubuhnya
keluar asap tipis!
Kilat menghampar. Sejenak kawasan perbukitan itu terang benderang. Penerangan
yang hanya sebentar itu sudah cukup menjelaskan siapa adanya sosok yang tegak di atas
batu. Dia adalah seorang kakek dengan tubuh sedikit bungkuk.
Sepasang matanya besar melotot. Hidung besar
dengan mulut lebar. Kumis, jenggot, dan jambangnya panjang awut-awutan.
Rambutnya yang putih
dan panjang hanya tumbuh di separo kepalanya
bagian samping kanan. Samping sebelah kiri kelimis tak ditumbuhi rambut
Beberapa lama sepasang mata orang tua ini
mendelik memperhatikan ke arah hujaman air terjun yang keluarkan suara
bergemuruh. Kedua
tangannya diangkat lalu dirangkapkan sejajar dada. Kepalanya bergerak tengadah,
sesaat kemudian dari mulutnya yang lebar terdengar ucapan.
"Raksa Pati.... Waktumu sudah berakhir.
Keluarlah!"
Meski suara itu pelan, namun mampu menepis gemuruh air terjun dan salakan
guntur. Belum lenyap gema suara si kakek, hujaman air terjun menyibak. Lalu
'wuttt'. Dari bagian bawah air
terjun melesat ke atas sesosok tubuh. Di kejap lain
sosok ini telah tegak di depan si kakek. Air mengucur deras dari rambut,
pakaian, dan tubuhnya.
Sosok yang baru muncul kelihatan jelas tatkala
suasana benderang karena sambaran kilat. Dia
adalah seorang pemuda bertubuh tinggi tegap.
Mengenakan jubah warna merah besar dan panjang hingga lutut, melapis pakaian
dalam yang juga berwarna merah. Rambutnya panjang lebat. Sepasang matanya tajam
dengan dagu kokoh.
"Guru!" kata si pemuda dengan mata menatap tajam dan tetap berdiri.
SI kakek berpakaian hitam-hitam luruskan
kepalanya. Mengawasi sejenak pada si pemuda.
Bibirnya menyeringai.
"Raksa Pati! Hari ini genap dua puluh empat
tahun kau menimba ilmu. Saat menimba telah
usai. Tiba sekarang saatnya untuk mengucurkan!"
"Maksud, Guru..."!"
"Segala ilmuku telah kuturunkan padamu.
Kini kau adalah seorang pemuda berilmu tinggi.
Tapi itu semua tidaklah cukup tanpa pengakuan
kalangan rimba persilatan. Waktu telah tiba untuk
menunjukkan pada dunia persilatan bahwa kau
adalah manusia tanpa tanding yang berhak menyandang gelar Sang Penguasa Tunggal
rimba persilatan!"
Pemuda yang dipanggil Raksa Pati diam tak
mengeluarkan sepatah kata. Namun bayangan air
mukanya jelas menunjukkan rasa gembira.
"Ada beberapa hal yang perlu kau ketahui
sebelum kakimu menginjak arena rimba persilatan," lanjut si kakek. "Pertama.
Rimba persilatan
bukan saja menjadi ajang bergelimangnya tokohtokoh berilmu tinggi. Namun juga
arena pembalasan dendam, tumpahnya fitnah, dan segala macam
kebusukan! Di sini kau harus dapat pergunakan
kelicikan. Jika tidak, cita-citamu sebagai Penguasa
Tunggal hanyalah setetes embun! Kedua. Rimba
persilatan adalah tempat persekutuan dari beberapa golongan yang masing-masing
punya tujuan. Di sini kau harus tidak percaya pada salah satu
golongan! Anggap semua golongan adalah musuh!
Jika tidak, kau hanya akan menjadi kacung dan
tak berguna! Ketiga. Ini yang harus kau camkan
baik-baik. Saat ini rimba persilatan dibuat geger
dengan munculnya kembali berita tentang Lembaran Kulit Naga Pertala...."
"Guru!" potong Raksa Pati. "Kau telah tiga
kali menyebut-nyebut lembaran kulit itu. Apakah
demikian hebatnya lembaran kulit itu"!"
"Tidak hanya hebat. Tapi juga salah satu
syarat untuk layak tidaknya seseorang menyatakan diri sebagai Penguasa Tunggal.
Dapat memiliki lembaran kulit itu berarti rimba persilatan di genggaman tangan!"
"Guru! Katakan di mana lembaran kulit itu
dan apa yang harus kulakukan!" sahut Raksa Pati
dengan suara agak keras seolah tidak berhadapan
dengan gurunya.
Entah sudah tahu sifat muridnya, sang
guru sendiri tidak menegur malah sepertinya
bangga dan diam-diam dalam hati berkata. "Kecongkakan dan cara melihat orang
dengan sebelah mata yang membuat aku tertarik pada anak ini!"
Lalu kakek ini mendongak.
"Raksa! Menurut petunjuk yang kupercaya,
lembaran kulit itu tersimpan di sebuah bukit yang
dikenal orang dengan nama Bukit Siluman."
"Apakah lembaran kulit itu berada di tangan seseorang"!"
"Itulah yang sampai saat ini menjadi tekateki besar! Apalagi ketika bukit itu
mendadak lenyap seperti ditelan bum!. Hanya akhir-akhir ini,
bukit itu timbul kembali, sehingga membuat keadaan dunia persilatan kacau."
Raksa Pati sedikit terkejut. Namun sesaat
kemudian senyum sinis menyungging di bibirnya.
"Mungkin mereka itu orang-orang yang
miskin ilmu dan berotak kerbau. Hingga tak sanggup mengambil lembaran kulit itu!
Aku akan segera ke sana!"
"Itu memang yang kuharap darimu, Muridku! Tapi kuingatkan. Kau jangan ceroboh.
Kau menghadapi urusan besar. Belum sampai kakimu
menginjak kawasan Sungai Siluman, mungkin banyak masalah yang akan
menghadangmu!"
Raksa Pati keluarkan suara tawa pendek.
Sambil mengusap dadanya ia berkata. "Orang yang
kutemui berarti telah mencium bau lubang kubur.
Tegak menghadang di depanku berarti memanggil
ajal! " "Bagus! Hanya aku titip jika sewaktu-waktu
kau bertemu dengan manusia bergelar Mata Malaikat, kau tak usah tanya. Cabut
nyawanya untukku!"
"Hem.... Kau punya silang sengketa dengannya"!"
"Itu bukan urusanmu! Ini perintah! Kau
dengar"!"
Meski parasnya berubah merah padam,
namun akhirnya Raksa Pati anggukkan kepalanya.
Sang guru tertawa mengekeh lalu berujar.
"Begitu kakimu menginjak rimba persilatan,
kau harus mengubur dalam-dalam siapa dirimu
sebenarnya juga namamu. Karena kau menjadi
utusanku maka kau pantas menyandang gelar
Utusan Iblis! Mengerti"!"
"Aku mengerti. Guru...."
Sang guru tertawa mengekeh. "Utusan Iblis!
Berangkatlah! Alirkan darah siapa saja yang
menghadangmu! Lalu dapatkan Lembaran Kulit
Naga Pertala! Aku, gurumu Titisan Iblis biar bangga dan tak sia-sia mendidikmu
bertahun-tahun!"
"Aku tak akan mengecewakanmu, Guru!
Aku pergi sekarang...," Utusan Iblis alias Raksa Pa-
ti bungkukkan sedikit tubuhnya lalu sekali berkelebat sosoknya telah melesat dan
lenyap ditelan kerapatan pohon perbukitan itu.
DUA SAAT itu menjelang tengah hari. Langit di
atas tampak cerah tanpa tertutup gumpalan awan.
Angin semilir berhembus pelan seakan mengimbangi hujaman terik sinar matahari.
Pada sebuah pohon tidak begitu besar, terlihat sehelai daun pisang berukuran
sejengkal kali dua jengkal, diikatkan menggelantung pada satu
dahan, membentuk ayunan. Di atasnya, duduk
seorang kakek berambut putih panjang. Mata kirinya sipit, tapi mata kanannya
menonjol ke luar.
Seraya berayun-ayun, sesekali kakek ini berpaling
ke samping kanan dan kiri. Daun pisang itu tidak
robek, dan tali penggantung di sisi-sisi daun itu
pun tidak putus. Padahal, tali itu adalah akar gantung pohon beringin!
Tiba-tiba kakek berpakaian dari kulit ular
yang bukan lain adalah Mata Malaikat, katupkan
kelopak matanya. Lalu terdengar gumamannya.
"Telah jauh kaki melangkah. Telah lama
waktu berjalan. Tapi harapan hanya tinggal anganangan. Khayalan hanya mimpi
indah tak berwujud. Malang benar nasib tua bangka ini. Akankah
tubuh peot ini berkalang tanah tanpa ada kesem-
patan untuk bertemu lagi"!"
Wajah si kakek tampak berubah murung.
Meski mulutnya membuka tapi napasnya tersengal, pertanda dadanya disesaki
perasaan gundah
gulana. "Ke mana lagi aku harus mencari" Gunung
telah kudaki, lautan telah kuseberangi. Namun
jangankan orangnya, namanya pun tak pernah lagi
diketahui orang! Oh.... Sungguh malang. Rupanya
takdir telah menentukan bahwa tua bangka ini harus mati tanpa tahu sanak
saudara.... Tapi, jika
itu memang takdirku kenapa aku harus bersedih?"
Tiba-tiba Mata Malaikat dongakkan kepalanya, di
lain kejap terdengarlah suara tawanya mengekeh
panjang! Namun mendadak Mata Malaikat putuskan
tawanya, lalu 'Beeettt!' Tubuhnya berkelebat dan
lenyap. Pada saat bersamaan, sesosok bayangan
hijau berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di
bawah pohon di mana tadi Mata Malaikat berayunayun.
"Heran. Suara gumaman dan tawanya masih jelas di telinga. Namun mana batang
hidungnya"!" batin orang yang baru datang seraya sapukan pandangannya
berkeliling. Sepasang mata
orang ini sedikit mendelik tatkala mendapati ayunan yang masih bergoyang-goyang.
Orang ini maklum jika orang yang baru saja tertawa bukanlah
orang sembarangan. Tidak ambrolnya daun pisang, tidak putusnya akar beringin,
serta tertinggalnya suara tawa, menunjukkan semua itu.
"Menilik gumamannya, jelas jika orang tadi
sedang mencari seseorang.... Hem.... Sudah dua
orang yang diketahui merana mencari seseorang,"
gumamnya lalu perlahan-lahan orang ini angkat
tangannya dan usap-usap hidungnya.
"Gadis bernama Seruni juga mencari seseorang. Hem.... Gadis cantik berbekal
tugas berat...,"
orang itu terus berkata sendiri. Dia adalah seorang
pemuda mengenakan pakaian hijau yang melapisi
baju warna kuning lengan panjang. Rambutnya
panjang dikuncir ekor kuda dan bukan lain adalah
Aji alias Pendekar Mata Keranjang!
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya murid Wong Agung ini sempat
memergoki Seruni murid Raksasa Bermuka Hijau berkeluhkesah mengungkapkan
perasaan hatinya (Baca
serial Pendekar Mata Keranjang dalam episode :
"Bukit Siluman").
Aji edarkan pandangannya sekali lagi. Menarik napas sejenak, lalu dengan masih
usap-usap hidungnya, dia melangkah teruskan perjalanan.
Namun baru empat langkah, dia berhenti. Tanpa
memutar tubuh dia berkata.
"Orang di balik pohon! Mengapa hanya
mengintip"! Apakah wajahku begitu memalukan
untuk dipandang" Atau malah sebaliknya kau
yang akan mendapat malu bila dipandang"!"
Terdengar gumaman tak jelas, lalu sesosok
tubuh melesat keluar dari balik pohon. Murid
Wong Agung cepat putar tubuh. Sepasang matanya membelalak besar tak berkesip
memperhatikan orang yang kini tegak di hadapannya.
"Kau...," kata Aji begitu melihat siapa
adanya orang. Dia adalah seorang gadis muda berparas jelita mengenakan pakaian
warna kuning. Rambutnya panjang dikuncir dan diikat dengan
sebuah ikat kepala yang juga berwarna kuning.
Matanya bulat dengan hidung mancung.
Si gadis tersenyum. Matanya balik menatap
pada Aji. Lalu buka mulut. "Apakah aku memuakkan di hadapanmu"!"
"Mendengar nada bicaranya, aku bisa memastikan bukan gadis ini yang tadi
keluarkan tawa. Atau jangan-jangan dia bisa merubah suara...," bisik Aji dalam
hati lalu memperhatikan lebih seksama pada sang gadis.


Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai! Kenapa diam" Kau dengar ucapanku
bukan"!" si gadis kembali angkat bicara setelah
agak lama Pendekar Mata Keranjang hanya memandanginya tanpa berkata.
Aji jerengkan sepasang matanya. Lalu usapusap hidungnya. Seraya melangkah
mendekat dia berujar. "Orang bodoh jika muak memandang paras
cantik sepertimu. Kalau boleh tahu, hendak ke
mana kau"!"
Paras gadis di hadapan Aji berseru merah
mendengarkan pujian. Gadis cantik yang bukan
lain adalah Drupadi merasakan dadanya sesak
dan berdebar. Perempuan mana yang tidak merasa
bangga dan gembira dipuji" Apalagi oleh seorang
pemuda berparas tampan seperti Aji. Perlahanlahan dia tundukkan kepala.
"Hai! Kenapa diam" Kau dengar ucapanku
bukan"!" Aji ajukan tanya seperti ucapan yang di-
katakan Drupadi, membuat gadis ini tersentak dari lamunannya.
"Aku tak bisa mengatakannya...," desah
Drupadi dalam hati.
Si gadis angkat kepalanya lalu berkata.
"Aku tak bisa mengatakan padamu ke mana aku
sedang menuju. Kau sendiri"!" si gadis balik ajukan tanya.
"Aku"!" kata Pendekar Mata Keranjang
sambil gelengkan kepala. "Aku tak punya arah tujuan. Ke mana kakiku melangkah
itulah tujuanku!"
Drupadi kernyitkan dahi. "Aku tak percaya
jika dia tak punya arah tujuan...." Setelah berpikir
sejenak gadis itu memandang lekat-lekat pada Aji
dan berujar. "Dunia persilatan saat ini sedang ribut dengan kabar tentang sebuah lembaran
kulit. Apakah kau tidak tertarik?"
Air muka murid Wong Agung sedikit berubah. "Hem.... Berat dugaan, gadis ini
sedang menyelidik lembaran kulit itu...," Aji kembali gelengkan kepalanya.
"Aku bukannya tidak tertarik, tapi melihat
jalinan ceritanya aku hampir yakin jika berita tentang lembaran kulit itu hanya
isapan jempol belaka! Apakah kau tertarik dan sedang menyelidiki
lembaran itu"!"
Drupadi tidak menjawab, membuat dugaan
Pendekar Mata Keranjang makin kuat.
"Meski kau tidak menjawab, aku tahu. Kau
sedang melakukan penyelidikan."
"Jangan mudah menduga...." Aji menghela
napas lega. Diam-diam sejak tadi sebisanya murid
Wong Agung ini merasa waswas jika Drupadi
punya niat untuk merebut kipasnya seperti halnya tokoh persilatan lainnya.
"Kurasa kau perlu segera meneruskan perjalanan. Kudoakan semoga urusanmu
berhasil. Silakan...," kata Aji sambil menyisi seakan memberi
jalan. Tangan kanannya dilambaikan.
Drupadi tak bergerak dari tempatnya. Sebaliknya sepasang matanya memandang tajam
pada Aji. Gadis ini seakan-akan hendak mengucapkan
sesuatu. Tapi, ucapan itu urung dikatakannya.
Malah Drupadi berkelebat meninggalkan tempat
itu tanpa ajukan kata.
"Hem.... Sebaiknya aku segera ke Bukit Siluman. Urusan akan jadi panjang jika
orang lain mendahului...." Berpikir begitu, murid Wong
Agung ini cepat balikkan tubuh lalu berkelebat.
Namun langkahnya tertahan tatkala bersamaan dengan itu terdengar suara orang.
"Gunung telah kudaki, lautan telah kuseberangi. Beruntung orang-orang yang
berjalan dengan tujuan pasti. Bukannya seperti tua bangka ini.
Melangkah tanpa tahu di mana yang dicari."
Murid Wong Agung balikkan tubuh. Kepalanya mendongak. Untuk beberapa lama dia
memandang tak berkedip pada ayunan yang menggantung. Ayunan itu terayun-ayun. Di
atasnya duduk menjuntai seorang kakek berpakaian kulit
ular dengan mata terpejam!
"Luar biasa.... Kedatangannya tak bisa ku-
siasati. Siapa orang tua ini" Nyanyiannya menggambarkan kegundahan hati...,"
batin Pendekar 108, lalu melangkah mendekat.
"Pendekar Mata Keranjang. Seandainya aku
jadi kamu, tak akan kubiarkan gadis cantik tadi
pergi begitu saja. Sayang, aku sudah tua peot!
Hingga jangankan gadis cantik, nenek-nenek pun
tak sudi mengajakku bincang-bincang...."
Murid Wong Agung melengak mendapati
orang tahu siapa dirinya. Sebenarnya kedua orang
ini pernah bertemu, namun karena saat itu Aji dalam keadaan terluka membuat
pandangannya tak
jelas. Hingga dia tak bisa mengenali siapa adanya
si kakek. "Kek.... Siapa kau" Mendengar katakatamu, sepertinya kau mencari seseorang.
Betul"!"
"Kalau kau dapat menebak ucapanku, kenapa kau tanya siapa diriku" Sebenarnya kau
juga dapat menerka siapa diriku!" kata si kakek yang
bukan lain adalah Mata Malaikat seraya tatap Aji
lekat-lekat. Dengan dahi berkerut, murid Wong
Agung memperhatikan.
"Orang tua berpakaian kulit ular, rambut
panjang. Sepasang matanya saling bertolak belakang," Aji berpikir. Namun sejenak
kemudian dia gelengkan kepala.
"Siapa dia" Kurasa baru kali ini aku berjumpa...," Aji lalu mengutarakan apa
yang ada dalam hatinya.
"Kek. Rasanya kita baru jumpa kali ini. Aku
tak bisa menerka siapa dirimu!"
"Jika begitu, biarlah siapa diriku tersimpan
dulu. Sekarang kutanya padamu. Di mana Setan
Pesolek"!"
Ucapan Mata Malaikat membuat Aji terkejut. Hingga untuk beberapa lama dia
terdiam. "Anak muda! Kau tak usah mungkir. Bukankah kau diselamatkan Setan Pesolek saat
terjadi bentrok dengan Hantu Berjubah?"
"Hem.... Jadi dia tahu itu. Lalu apa tujuannya mencarinya"!" batin Aji lalu
berkata. "Kek....
Kau telah tahu, kenapa sekarang tanya padaku?"
"Kalau aku tak kehilangan jejak kalian, tak
mungkin aku tanya padamu!"
"Kek.... Kenapa kau mencarinya"!"
"Aku butuh beberapa penjelasan darinya!"
"Penjelasan" Jangan-jangan menyangkut
lembaran kulit itu...," bisik Aji dalam hati.
"Pendekar 108! Urusan lembaran kulit yang
saat ini geger diperbincangkan kalangan rimba
persilatan bukan hal menarik bagiku! Aku butuh
penjelasan lain!"
Murid Wong Agung terperangah ketika
mengetahui si kakek dapat meraba apa yang ada
dalam benaknya.
"Kek. Apa kau membutuhkan penjelasan
tentang orang yang kau cari"!"
"Itu bukan urusanmu. Jawab saja pertanyaanku!"
"Kek.... Aku tak tahu ke mana perginya Setan Pesolek, karena dia tak pernah
mengatakannya padaku!"
"Begitu" Jadi percuma aku menunggumu di
sini. Aku harus...."
Aji berpaling ketika Mata Malaikat tak meneruskan ucapannya. Belum sampai Aji
berkata, Mata Malaikat telah bergumam.
"Ada orang menuju kemari!"
Belum lenyap suara gumaman, dan belum
sampai Aji berpaling ke arah mata si kakek memandang, sesosok bayangan telah
berkelebat dan sesaat kemudian tegak di hadapan Aji!
TIGA SEPASANG mata tajam liar memperhatikan
Aji dari bawah sampai atas. Lalu mata itu melirik
ke atas di mana Mata Malaikat berada. Membelalak sejenak lalu kembali memandang
ke arah Aji. Murid Wong Agung ini melihat seorang pemuda berparas garang mengenakan jubah
merah panjang sebatas lutut melapis baju dalam yang
berwarna merah. Rambutnya panjang tebal dengan dagu kokoh.
"Kau bisa buka mulut hanya jika kutanya!"
tiba-tiba si pemuda berjubah merah keluarkan
bentakan ketika dilihatnya Pendekar Mata Keranjang hendak bicara, membuat murid
Wong Agung ini katupkan kembali mulutnya, lalu balas menatap dengan hati menduga-duga
campur geram. "Setan alas! Siapa manusia ini" Lagaknya
sombong betul!"
Di atas ayunan daun pisang, Mata Malaikat
melirik sebentar, lalu katupkan sepasang matanya
dan kembali main ayunan. "Aku Utusan Iblis! Kau
siapa dan juga katakan siapa adanya temanmu
itu!" "Melihat gerakannya, manusia sombong ini
berbekal ilmu tinggi. Utusan Iblis.... Baru pertama
kali ini aku mendengar gelar itu. Mungkin dia salah seorang yang baru keluar
dari sarang...."
"Jangan bertindak bodoh tidak menjawab
pertanyaanku! Atau kau ingin kukubur!" Utusan
Iblis kembali perdengarkan bentakan.
"Tugas di depanku masih menghadang. Kalau urusan ini tidak kunjung diselesaikan,
akan jadi panjang bertele-tele...," kata Aji dalam hati, lalu dengan arahkan
pandangannya ke jurusan lain
dia berkata. "Namaku Aji..."
Utusan Iblis mendengus. "Hem.... Kakek
peot temanmu itu?" katanya seraya arahkan telunjuk jari tangan kirinya ke arah
di mana Mata Malaikat berayun-ayun sementara wajahnya tetap lurus memandang ke
arah Aji. Pendekar Mata Keranjang mengikuti telunjuk tangan kiri Utusan Iblis. Mendadak
sepasang mata murid Wong Agung ini terbeliak besar.
"Keparat! Lekas jawab!" hardik Utusan Iblis.
"Tenang, Sobat!"
"Jahanam! Siapa kau panggil sobat" Hah"!
Aku bukan sobatmu. Aku Utusan Iblis!"
"Hem.... Baik. Baik..., sekarang aku tanya,
siapa yang kau maksud dengan temanku kakek
peot itu"!"
"Jahanam! Siapa lagi kalau bukan...," Utusan Iblis tak teruskan ucapannya,
karena saat dia
berpaling ke atas, pemuda ini tidak lagi melihat si
kakek! Hanya tinggal ayunan daun pisang yang tetap bergoyang-goyang.
Utusan Iblis arahkan pandangannya berkeliling dengan mata berkilat-kilat.
Dagunya mengembung dengan pelipis bergerak-gerak. Di hadapannya, Aji ikut-ikutan
mencari dengan hati berkata. "Gerakannya luar biasa. Sedekat ini aku tak
bisa mengetahui ke mana lenyapnya.... Siapa sebenarnya kakek itu"!"
Selagi kedua pemuda ini mencari-cari, keduanya dikejutkan dengan suara tawa
panjang. Keduanya sama-sama mendongak. Dari atas sebuah pohon melayang sesosok tubuh.
Lalu 'Pluukk'!. Tubuh itu enak saja hinggap dengan kaki menjuntai di atas ayunan.
Lalu tanpa menghiraukan pandangan kedua orang di bawahnya, kakek ini kembali
berayun-ayun dengan mata terpejam.
"Setan! Kau ingin unjuk kebolehan di muka
Utusan Iblis. Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatanmu!" sambil berkata Utusan
Iblis sentakkan kakinya ke atas tanah. Di lain kejap tubuhnya
telah melesat ke atas. Kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuuuttt!
Pyarrr! Brakkk. Lembaran daun pisang yang dibuat ayunan
Mata Malaikat hancur berkeping. Bersamaan dengan itu pohon di mana daun itu
berayun-ayun berderak lalu tumbang dan mencelat sampai beberapa tombak! Begitu sampai di
tanah, batang pohon itu hancur terbelah dengan daun kering berhamburan!
Baik Aji maupun Utusan Iblis segera mencari. Namun keduanya tidak menemukan
sosok Mata Malaikat. "Bangsat! Ke mana dia" Apa tubuhnya ikut
hancur lebur" Tapi serpihan tubuhnya tidak kutemukan!" batin Utusan Iblis dengan
dada berdebar keras. Tak jauh di hadapannya, murid Wong
Agung jerengkan sepasang matanya sambil usapusap hidungnya. Lalu bergumam lirih.
"Hampir tak dapat kupercaya Jika pukulan
itu masih dapat dielakkan. Tapi kalau kena, setidak-tidaknya masih ada potongan
tubuhnya meski hanya secuil.... Hem.... Pemuda ini benar-benar gila. Tangan maut diturunkan
karena perkara sepele. Aku harus hati-hati!"
Utusan Iblis keluarkan suara gemeletak dari
mulut. Kedua tangannya dikepalkan memperdengarkan suara bergemeretakkan. Matanya
berkilatkilat. Pandangannya lalu terhenti pada sosok Pendekar Mata Keranjang
yang ada di hadapannya.
"Kau belum jawab tanyaku!" bentaknya.
"Katakan siapa dia!"
"Yang kau maksud orang tua itu"!"
"Jahanam tolol! Siapa lagi kalau bukan
dia"!"
"Dengar! Aku tak tahu siapa dia!"
Utusan Iblis menyeringai buruk.
"Kau berani berdusta! Berarti kau telah
menggali liang kubur! Aku tak punya waktu banyak. Jawab atau masuk kubur!"
"Sebenarnya apa maumu" Apakah ada ruginya bagimu tidak mengetahui siapa dia
adanya"!"
"Untung rugi bukan urusanmu! Tapi tak
akan kubiarkan seseorang lolos dari tanganku sebelum menyebut siapa dirinya! Kau
paham"!"
"Jadi selama ini kau selalu menanyai siapa
saja yang kau temui"!"
"Bukan hanya menanya, tapi mengirimnya
ke akhirat jika tak mau menjawab!"
"Hem.... Aku tahu. Berarti kau sedang mencari seseorang yang namanya kau ketahui
tapi wajahnya tak mau kenal. Begitu bukan"!"
"Ternyata kau bukan berotak kerbau. Cepat
jawab tanyaku!"


Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sobat. Seperti kataku tadi. Aku tak tahu
siapa dia adanya! Baru kali ini aku jumpa dengannya!"
Hatinya panas karena pukulannya begitu
mudah dielakkan si kakek, ditambah merasa Aji
berkata dusta, kemarahan Utusan Iblis tak dapat
ditahan lagi. Seraya mendengus keras, pemuda
murid Titisan Iblis ini melesat ke depan. Tangan
kanannya segera bergerak menghantam ke arah
kepala Aji. Di kejap lain kaki kirinya membuat gerakan menendang! Dua angin
keras melesat mendahului sebelum tangan dan kaki itu menghajar
sasaran. Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam.
Tangan kiri diangkat sementara tangan kanan di-
hantamkan ke bawah memapak tendangan.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Utusan
Iblis terkejut besar dan buru-buru surutkan langkah seraya mendengus keras.
Sepasang matanya
memandang tak berkedip. Dadanya sesak dilanda
hawa marah. Di seberang, murid Wong Agung kibas-kibaskan kedua tangannya seraya
meringis. "Sobat! Kenapa kau menghantamku"!" tanyanya sambil arahkan pandangan pada
jurusan lain. Utusan Iblis tegak tak menjawab. Tiba-tiba
dia melesat lagi ke depan. Belum sampai Aji bergerak, dua tangan telah menyambar
sekaligus. Murid
Wong Agung rundukkan kepala, tangan kiri kanan
segera menyusup ke bawah kedua tangan Utusan
Iblis. Bukk! Bukkk! Pendekar Mata Keranjang berseru keras.
Tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima langkah. Bahunya terasa jebol dan
bergetar terhajar
tangan kiri lawan. Di lain pihak Utusan Iblis tegang dengan muka sedikit pucat.
Pemuda ini segera mengusap pinggangnya yang terkena hantaman
tangan Aji, membuatnya tersurut empat langkah.
Dari dua jurus pemuda tadi, cukup membuat Utusan iblis sadar jika lawan memiliki
tenaga dalam yang tidak boleh diremehkan. Memikir sampai di situ, pemuda ini segera
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangan. Bersamaan dengan itu
tubuhnya sedikit berguncang. Pemuda ini lalu tekuk kaki kanannya, kaki kiri
digeser ke belakang.
Sekonyong-konyong kedua tangannya ditarik ke
belakang dihantamkan ke arah Aji!
Wuuttt! Wuuuttt!
Belum sepenuhnya tangan menghantam,
Utusan Iblis telah tarik kembali kedua tangannya
ke belakang. Seeett! Seeettt!
Di seberang, Pendekar Mata Keranjang
urungkan lepaskan pukulan, karena menduga lawan tarik pukulannya. Namun dugaan
Aji meleset. Karena kejap itu juga tubuhnya laksana disedot
kekuatan luar biasa. Tubuhnya perlahan bergerak
ke depan dengan langkah terhuyung-huyung.
"Pukulan Angin Lesus!" terdengar suara
menyeruak. Utusan Iblis lipat gandakan tenaga dalamnya. Tubuh Pendekar 108 makin kencang
tersedot. Pendekar murid Wong Agung tersirap mendapati
serangan yang begitu ganas. Dia tak bertindak ayal, karena maklum kalau Utusan
Iblis telah keluarkan ilmu andalannya.
Aji segera mencabut kipas yang terselip di
pinggang, lalu memutar-mutarnya. Serta-merta kilauan sinar putih bertebaran
disertai menderunya
suara angin! Di saat bersamaan, Utusan iblis sentakkan kembali kedua tangannya
ke depan. Di kejap lain tubuhnya melesat ke samping menghindar! Namun tak urung
kakinya masih tersambar
hingga tubuhnya terputar sebelum akhirnya terbanting duduk!
Pemuda ini merasakan kakinya laksana dipanggang. Melirik ke bawah, dia
terbeliak. Pakaian
bagian bawah hangus dan kakinya melepuh me-
rah! Hawa panas itu cepat menjalar ke seluruh tubuh. Pemuda ini cepat kerahkan
tenaga dalam untuk menolak hawa panas. Dua puluh langkah di
hadapannya, sosok Aji telentang dengan mulut keluarkan darah. Namun dia segera
bangkit duduk meski dengan wajah pias serta persendiannya laksana tanggal. Diam-diam pemuda
murid Wong Agung ini merutuki dirinya sendiri yang kurang
waspada pada pukulan lawan.
"Busyet betul! Pukulannya tak terduga!"
gumamnya lalu kerutkan dahi. "Benar. Aku tadi
mendengar orang berseru menyebut pukulan pemuda itu!" Aji lalu memandang tajam
ke depan. Utusan iblis telah bangkit. Kepalanya berputar
kian kemari dengan sepasang mata berkilat merah.
Lalu kepala itu terhenti dengan mulut menyeringai. Aji arahkan pandangan pada
arah yang kini dipandang Utusan Iblis. Murid Wong Agung ini
mendelik. Pada sebuah tanah agak tinggi, bersandar punggung si kakek dengan
sepasang mata terpejam. Utusan Iblis cepat putar tubuhnya menghadap Mata
Malaikat. "Dia menyebut pukulanku
dengan benar. Berarti dia tahu banyak. Setidaktidaknya menyangkut guruku. Pasti
dia tahu siapa orang yang kucari!" Utusan Iblis melangkah perlahan ke arah Mata Malaikat.
"Orang tua!" katanya dengan nada agak
rendah. Pemuda ini rupanya maklum jika orang
tua itu bukan orang sembarangan. Karena hanya
manusia berilmu tinggi yang sanggup menghindar
dari pukulannya dengan jarak yang begitu dekat
tanpa menderita cedera sama sekali.
"Aku mencari seseorang!"
Mata Malaikat buka kelopak matanya. Namun pandangannya tidak tertuju pada pemuda
berjubah merah yang kini tegak enam langkah di
hadapannya. Mulutnya mengatup. Sejenak kemudian terdengar dia berucap.
"Itu urusanmu! Aku pun sedang mencari
seseorang!"
Paras wajah Utusan Iblis merah mengelam.
Rahangnya mengembung. Namun kali ini si pemuda menahan amarahnya.
"Kau mengenali pukulanku. Berarti kau
mengenali guruku! Dan pasti kau juga mengenali
orang yang kini kucari!"
"Mana bisa begitu" Mengenal belum pasti
mengetahui! Sebaliknya mengetahui belum menjamin pasti mengenali! Kau mengerti,
Anak Muda"!"
Utusan Iblis menyeringai. "Aku Utusan iblis.
Kau siapa"!"
Mata Malaikat tertawa bergelak hingga mulutnya terkempot-kempot. Masih dengan
tanpa memandang dia berkata.
"Terus terang, aku risih mengatakan siapa
diriku. Jadi biarlah untuk kali ini kau mengetahui
tanpa mengenalku!"
"Baik! Aku tanya sekali lagi. Apakah kau
mengenal manusia bergelar Mata Malaikat"!"
Mata Malaikat cepat arahkan pandangannya pada Utusan Iblis. Dada orang tua ini
sedikit bergetar. Mulutnya mengatup dan komat-kamit
untuk beberapa lama. Di seberang sana, Aji ker-
nyitkan dahi. Kepalanya mendongak. "Mata Malaikat...," gumamnya mengulangi
ucapan Utusan Iblis. Tiba-tiba murid Wong Agung ini tepuk jidatnya
sendiri. "Aih. Kenapa aku jadi ikut-ikutan memikirkan hal itu" Lebih baik aku
cepat menyingkir.
Urusan di depan lebih penting daripada berdebat
dengan orang-orang tak tentu juntrungannya...."
"Hem.... Kau berubah. Berarti kau tahu
orang yang kusebutkan tadi!" kata Utusan Iblis.
Mata Malaikat terdiam. "Titisan Iblis.... Pasti
ini ulahnya! Tapi apa betul pemuda ini muridnya"
Melihat pukulan yang dilepas, aku hampir bisa
memastikan. Tapi akan kutanya dulu. Siapa tahu
ada orang lain yang memiliki pukulan sama...,"
berpikir begitu, Mata Malaikat luruskan tubuh, lalu bertanya....
"Anak muda! Siapa kau sebenarnya" Apa
hubunganmu dengan Titisan Iblis?"
"Kau tidak tuli, Orang Tua! Aku Utusan Iblis! Titisan Iblis adalah guruku!"
"Hem...." Mata Malaikat menggumam.
"Hanya hubungan guru" Tidak ada hubungan apaapa lagi"!"
"Apa maksudmu"!"
"Apakah tidak ada hubungan keluarga"!"
Utusan Iblis tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang memandang tak berkedip.
"Anak muda! Jika kau menjawab beberapa
pertanyaanku, aku akan memberitahukan orang
yang kau cari! Bagaimana"!"
"Baik...," kata Utusan Iblis setelah berpikir.
"Namun jika kata-katamu dusta, aku tak segan
merobek mulutmu!"
Mata Malaikat tertawa mengekeh mendengar ancaman orang itu. "Sekarang jawab
tanyaku tadi!" "Aku tak tahu apakah ada hubungan keluarga antara aku dan guruku!"
"Aneh! Apakah kau tak pernah tanya" Setidak-tidaknya apakah kedua orangtuamu tak
pernah memberitahu"!"
"Aku tak tahu siapa orangtuaku! Yang kutahu, sejak kecil aku sudah diasuh
guruku!" "Gurumu tak pernah cerita siapa orangtuamu"!"
"Aku tak pernah tanya dan dia tak pernah
cerita!" Mata Malaikat mengangguk-angguk.
"Anak muda! Kau mencari Mata Malaikat.
Apa ada pesan dari gurumu"!"
"Betul!"
Mata Malaikat memandang sekali lagi lekatlekat pada Utusan Iblis. "Boleh aku
tahu pesannya...?"
"Pesan kematian!"
Mata Malaikat sentakkan kepalanya ke
samping kanan menyembunyikan perubahan wajahnya.
"Aneh.... Setahuku, antara aku dan Titisan
Iblis tak ada masalah! Kini tiba-tiba dia menginginkan kematianku. Herannya dia
tak langsung turun tangan sendiri. Hem.... Ada sesuatu di balik
semua ini! Aku harus mengetahuinya...."
"Pertanyaanku terakhir. Apa gurumu men-
gatakan masalahnya hingga menginginkan nyawa
Mata Malaikat?"
Utusan Iblis keluarkan dengusan dahulu
sebelum akhirnya menjawab. "Aku tak pernah
mau tahu urusannya. Yang kutahu itu adalah sebuah perintah! Jelas"!"
Mata Malaikat manggut-manggut. Diamdiam dalam hati kakek ini membatin. "Semakin
nyata bahwa di balik semua ini Titisan Iblis menyembunyikan sesuatu. Hem....
Pemuda ini turun
ke rimba persilatan dengan berbekal ilmu lumayan
tinggi. Hanya masih miskin pengalaman. Tapi sikapnya sangat membahayakan...."
Mata Malaikat arahkan pandangannya berkeliling. Ketika matanya tak lagi menangkap sosoknya
Aji, dia tersenyum-senyum sendiri.
"Orang tua. Sekarang giliranmu mengatakan orang yang kucari!"
Tiba-tiba Mata Malaikat membuat mimik
seperti orang terkejut. Lalu keluarkan gumaman
tak jelas. "Terlambat, Anak Muda!"
Utusan Iblis membelalak angker.
"Apanya yang terlambat"!"
"Sebenarnya orang yang kau cari sudah kau
temukan. Tapi sekarang dia sudah kabur lagi!"
"Orang tua! Kau jangan main-main. Siapa
orangnya"!"
"Pemuda yang baru saja bentrok denganmu!
Dialah manusia yang bergelar Mata Malaikat!"
"Orang tua...!"
"Anak muda! Aku tahu. Kau baru saja terjun ke dunia persilatan. Belum tahu siapa
satu persatu tokoh rimba persilatan. Aku telah lama
malang melintang. Dan aku tahu siapa-siapa tokoh dunia persilatan! Silakan
percaya apa tidak.
Yang pasti pemuda itulah yang bergelar Mata Malaikat!"
Cepat, Utusan Iblis putar diri. Matanya nyalang menyapu sekeliling. Dia
bantingkan sepasang
kakinya hingga melesak berlubang tatkala dia tak
mendapatkan orang yang dicari.
"Tentu masih belum jauh...," ujar Utusan
Iblis lalu berkelebat hendak menyusul. Namun
langkahnya terhenti tatkala dari arah belakang
terdengar suara si kakek.
"Anak muda! Tak usah buru-buru mengejar.
Kau sekarang sudah mengetahui siapa orang yang
kau cari. Lebih baik kita ngobrol dulu...."
"Hem.... Ucapannya benar juga. Sebagai
orang pengalaman tentunya dia banyak mengetahui urusan dunia persilatan. Siapa
tahu dia juga mengetahui tentang hal yang menyangkut Lembaran Kulit Naga Pertala...," berpikir
sampai di situ,
Utusan Iblis balikkan tubuh lalu melangkah ke
arah Mata Malaikat.
Mata Malaikat sunggingkan senyum.
"Anak muda.... Aku telah lama mengenal
gurumu. Kalau sekarang mengutusmu terjun ke
kancah persilatan, selain perintah membunuh Mata Malaikat tentunya dia punya
maksud lain...."
Utusan Iblis tak segera membuka mulut.
"Orang tua ini sepertinya mengenal betul guruku.
Jadi tak bohong jika dia mengatakan kenal Guru.
Ada baiknya aku mengatakan apa tujuanku...," la-
lu pemuda ini dongakkan kepala dan berkata.
"Aku yakin kau tahu yang membuat dunia
persilatan akhir-akhir ini guncang. Bisa memberi
penjelasan padaku"!"
Mata Malaikat terkekeh. "Anak muda! Yang
namanya dunia persilatan tak pernah sepi dari kejutan-kejutan. Satu belum usai,
lainnya sudah muncul. Urusan satu belum selesai, urusan makin


Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar sudah menghadang. Entah sampai kapan
urusan-urusan begini akan berakhir...."
"Yang kumaksud kabar tentang adanya sebuah lembaran kitab...!"
Ucapan Utusan Iblis makin membuat Mata
Malaikat keraskan kekehan tawanya. "Anak muda!
Seperti kubilang tadi, sebenarnya aku malang melintang dengan tujuan mencari
seseorang. Namun
hingga tubuhku peot begini, usahaku sia-sia.
Mungkin karena aku terlalu mementingkan pencarianku, membuat perihal lembaran
kulit yang sekarang jadi buah bibir tidak begitu berharga bagiku!"
"Tapi setidak-tidaknya kau mengetahui
meski cuma sedikit!"
Mata Malaikat diam untuk beberapa lama.
Lalu mengangguk.
"Menurut kabar, lembaran kulit itu tersimpan pada sebuah bukit...."
"Aku sudah tahu itu!" tukas Utusan Iblis.
"Yang ingin kutahu, apakah lembaran kulit itu dipegang seseorang"!"
"Tidak bisa dipastikan. Menurut cerita yang
pernah kudengar, orang terakhir yang memegang
lembaran kulit itu adalah seorang dedengkot rimba
persilatan dikenal dengan nama Eyang Pandanaran. Itu terjadi pada ratusan tahun
yang silam. Entah orang itu masih hidup atau sudah mati, tidak diketahui. Lembaran kulit itu
masih di tangannya atau sudah berpindah tangan juga sulit
diselidiki..."
"Berarti pengetahuanmu tentang lembaran
kulit itu tak lebih dari padaku! Percuma aku lamalama di sini!" dengus Utusan
Iblis lalu balikkan
tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
Mata Malaikat hanya memandangi kepergian Utusan Iblis. Begitu sosok Utusan Iblis
lenyap, kakek ini angkat bahunya. Tubuhnya berputar, kedua tangannya disentakkan
perlahan ke atas tanah. Tubuhnya membubung setinggi setengah tombak. Dan sekali goyang
tubuhnya melesat
lalu lenyap di balik kerapatan pohon.
Pada suatu tempat, tiba-tiba Utusan Iblis
hentikan larinya. Keningnya mengernyit. "Janganjangan orang tua itu sengaja
mengajakku bicara
untuk memberi kesempatan pada pemuda tadi
agar bisa berlari jauh. Sialan! Orang tua itu harus
menerima ganjaran yang setimpal akibat perbuatannya...!"
Utusan Iblis cepat putar tubuhnya dan berkelebat ke arah mana dia datang dengan
kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya. Sebentar saja
dia sudah sampai di tanah agak tinggi di mana tadi si kakek duduk bersandar.
Karena dia datang
dari arah belakang, sebelum sampai dia telah berseru.
"Orang tua! Kau harus...," namun Utusan
Iblis tak teruskan ucapannya ketika dia sampai di
depan tanah agak tinggi dan matanya tak melihat
lagi batang hidung si kakek.
"Bedebah keparat! Jangan-jangan orang tua
tadi menipuku! Mungkin dua orang tadi saling
kenal, lalu...." Utusan Iblis kertakkan rahang. Sepasang matanya berkilat
angker. "Jahanam! Mereka menipuku!" teriaknya
sambil hantamkan tangan kanannya ke arah tanah agak tinggi yang tadi disandari
Mata Malaikat. Tanah itu langsung berhamburan ke udara dan
meninggalkan lubang menganga!
EMPAT ENTAH karena tidak mau berurusan dengan tanpa adanya ujung pangkal jelas, lagi
pula urusan Lembaran Kulit Naga Pertala dipikir lebih
penting dan bisa mendatangkan mala petaka jika
sampai kedahuluan orang, murid Wong Agung kali
ini berlari sekuat yang dia bisa.
"Hem.... Di sini banyak pohon besar dan
semak belukar. Lebih baik aku istirahat dengan
berlindung...," pikir Aji. Lalu hentikan larinya dan
melangkah ke arah sebuah pohon besar yang kanan kirinya ditumbuhi semak belukar
lebat tinggi. Sampai di bawah pohon, sepasang matanya memandang berkeliling. Lalu menarik
napas dalam sambil mengusap keringat di wajah dan lehernya.
Sejenak kemudian dia duduk dengan selonjorkan
kaki, punggungnya bergerak ke belakang hendak
menyandar pada batang pohon.
Belum sampai punggungnya menyentuh batangan pohon, terdengar suara tawa mengekeh
panjang. Pendekar 108 cepat bangkit dan putar
tubuh setengah lingkaran menghadap ke arah datangnya suara tawa. Suara tawa
mendadak terputus. Sambil menahan rasa tercekat, murid Wong
Agung memandang lurus ke depan. Matanya tak
menangkap siapa-siapa.
Belum lenyap rasa gelisah Aji, dari atas
kembali terdengar suara tawa. Pendekar 108 cepat
mendongak. Dari pohon di mana dia berada tampak melayang turun sesosok tubuh
dengan perdengarkan suara tawa mengekeh.
Aji urungkan niat untuk lepaskan pukulan
begitu melihat siapa adanya sosok yang melayang.
Matanya terus mengikuti sosok itu hingga sosok
itu mendarat empat langkah di hadapannya.
"Setan tua ini mengikutiku. Tadi dia bilang
menungguku. Hem.... Maunya apa dia sebenarnya"!" pikir Pendekar Mata Keranjang
dengan memperhatikan lekat-lekat pada kakek yang kini
tegak di hadapannya.
"Kek! Katakan terus terang apa maksudmu
sebenarnya!"
"Kalau tak mau urusan panjang, jangan bicara keras-keras! Bahaya itu masih di
sekitar sini!"
"Kek. Kau ini bicara apa"!" meski tak mengerti maksud si kakek namun Aji
rendahkan juga suaranya. "Orang yang menginginkan nyawamu tak
jauh dari sini. Kalau dia sampai mendengar suaramu, bukan hanya kau tapi aku
juga ikut celaka!"
Pendekar Mata Keranjang kerutkan dahi.
"Kek. Maksudmu pemuda yang menyebut dirinya
Utusan Iblis" Aku tak punya masalah dengan pemuda gila itu!"
"Kau salah. Ternyata orang yang dicari adalah kau!"
Aji tertawa. "Kek. Mungkin kau dengar sendiri. Dia mencari orang yang bergelar
Mata Malaikat. Bukan aku!"
"Ah, tak tahulah! Pokoknya yang dicari adalah kau! Aku sempat bicara dengannya
setelah kepergianmu!"
"Hem.... Apa yang dibicarakannya"!"
"Seperti orang-orang lainnya yang saat ini
sedang tergila-gila dengan sebuah lembaran kulit.
Apakah kau juga akan ikut main gila-gilaan mengejar lembaran kulit itu?"
"Kek. Lembaran kulit itu adalah sebuah
lembaran kulit yang amat berbahaya jika sampai
jatuh ke tangan orang-orang sesat. Untuk menyelamatkannya apakah salah jika aku
ikut tergilagila memburunya"!"
Mata Malaikat mengekeh dengan menutup
mulutnya agar suaranya tak terdengar. "Tidak ada
orang yang menyalahkan jika kau ikut tergila-gila.
Namun kau harus tetap sadar dalam ketergilagilaanmu! Sekali kau lengah, kau akan
tewas dalam kegilaan. Eh.... Apakah kau mendapat petun-
juk dari Setan Pesolek atau barangkali dari nenek
yang bersamanya"!"
"Aku tak bisa mengatakannya apa-apa padamu, Kek! Lagi pula aku masih belum tahu
siapa dirimu!" "Hem.... Begitu" Lalu apakah kau benarbenar hendak menyelidiki kitab itu"!"
"Kek. Meski aku tergila-gila, belum tentu
aku melanjutkan perburuan! Semuanya nanti tergantung keadaan!" kata Pendekar
Mata Keranjang sengaja mengaburkan segala ucapannya.
"Anak ini plin-plan. Tadi begitu bersemangat, akhirnya tergantung keadaan. Tapi
aku yakin, dia akan tetap memburu lembaran kulit itu!" sejenak Mata Malaikat berpikir.
"Hem.... Tak ada salahnya jika aku memberikan. Mungkin suatu saat
diperlukan...," Mata Malaikat selinapkan tangan
kanannya ke balik pakaiannya. Ketika ditarik keluar, tampaklah sebuah kantong
kecil berwarna putih. Kantong itu segera diulurkan pada Aji.
"Di dalamnya delapan butir tahi kambing.
Simpanlah!"
"Kek. Kalau cuma tahi kambing, aku bisa
mencarinya! Simpan kembali tahi kambingmu itu.
Aku tak butuh!"
"Anak muda! Tahi kambing ini kuperoleh
dari dasar laut. Sekali kau telan satu, kau akan
bertahan dalam air setengah hari!"
Murid Wong Agung angkat bahunya. "Mana
mungkin ada kambing di dasar laut" Janganjangan orang tua ini bercanda. Ah, tapi
aku tak memerlukannya. Setengah hari berendam di dalam
air juga tak ada gunanya!" batin Pendekar 108, lalu berkata. "Kek. Aku tak
berurusan dengan air.
Lebih baik kau berikan saja pada nelayan yang
tiap hari berada di air!"
"Anak muda! Manusia belum pasti takdirnya. Siapa tahu kau kelak akan jadi
seorang nelayan" Bukankah tahi kambing ini lantas berguna
bagimu"! Tapi kalau kau menolak, aku pun tak
apa!" Mata Malaikat segera masukkan kembali
kantong putih ke balik pakaiannya, namun tibatiba Aji berseru.
"Kek. Ucapanmu ada juga benarnya. Berikan tahi kambing itu padaku!"
Mata Malaikat tertawa mengekeh. Lalu tarik
kembali kantong putih dari balik pakaiannya, lalu
diulurkan pada Aji. Aji menyambuti kantong itu.
Baru saja kantong berpindah tangan, Mata Malaikat palingkan wajahnya ke
belakang. "Celaka! Kita
harus segera berpisah dulu!"
"Kek. Apanya yang celaka" Kau tampak berubah. Apakah...."
"Sudah! Jangan banyak mulut! Kau ke arah
selatan aku ke arah utara!" habis berkata begitu,
Mata Malaikat berkelebat lenyap ke arah yang disebut. Sejenak Pendekar Mata
Keranjang masih tercenung tak mengerti. Namun ketika matanya melihat semak
belukar jauh di hadapannya bergoyanggoyang, tanpa menunggu lebih lama lagi,
murid Wong Agung ini berkelebat ke arah selatan.
Baru saja Pendekar 108 lenyap dari tempat
itu, menyeruak sesosok tubuh tegap mengenakan
jubah merah dan bukan lain adalah Utusan Iblis.
Sepasang matanya merah laksana dipanggang, rahangnya mengembung dengan pelipis
kiri kanan bergerak-gerak.
"Jahanam! Baru saja kudengar suara mereka! Jelas jika kedua bangsat itu
bersekongkol!"
Utusan Iblis arahkan pandangannya berkeliling
dengan mata masih melotot angker. "Hei...! Kalian
berdua! Kalian telah berani main-main dengan
Utusan Iblis. Nyawa kalian tidak jauh dari tangan
dan kakiku!"
Belum lenyap gema suara teriakannya, Utusan Iblis telah melesat ke arah selatan!
Pada suatu tempat, tiba-tiba Utusan Iblis
hentikan larinya. Matanya memandang jauh ke
depan tak berkedip. "Ada orang menuju kemari...,"
gumamnya seraya usap wajahnya dan menghela
napas panjang. Utusan Iblis tak menunggu lama. Sesaat
kemudian sesosok tubuh telah berhenti dua belas
langkah di hadapannya dengan wajah sedikit terkejut. Sebaliknya Utusan Iblis
tampak sunggingkan senyum aneh. Sepasang matanya makin tak
berkedip memperhatikan orang yang kini ada di
hadapannya. "Lama nian tubuh ini tak merasakan
bagaimana nikmatnya tubuh seorang gadis.
Hem.... Hari ini nasibku baik. Mengejar bangsat.
yang datang seorang bidadari...."
Orang yang tegak di hadapan Utusan Iblis
adalah seorang gadis berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna biru.
Rambutnya yang panjang dikuncir agak tinggi. Sepasang matanya bulat
dengan bibir merah dan dada kencang.
Untuk beberapa lama si gadis berbaju biru
dan bukan lain adalah Seruni, balas menatap
pandangan Utusan Iblis. Meski cuma memandang
sekilas, namun gadis ini telah dapat menduga arti
tatapan pemuda di hadapannya.
"Laki-laki.... Hem...," desis Seruni seraya
alihkan pandangan. "Dari cara dan gerak-geriknya,
tampaknya dia sengaja menghadang," gadis itu lalu berucap dengan ketus.
"Siapa kau"! Harap jangan menghadang jalanku!"
Utusan Iblis tersenyum. Melangkah dua
tindak dan berkata.
"Aku tidak menghadang, justru kau yang
datang! Boleh tahu siapa kau?"
Seruni palingkan kembali wajahnya memandang si pemuda. Namun mulutnya terkancing
dan sesaat kemudian tersungging senyum sinis di
bibirnya. "Waktuku tidak banyak. Harap beri jalan!"
ujar Seruni dingin.
Sepasang alis mata Utusan Iblis sesaat naik
ke atas. Matanya membesar lalu menyipit.
"Aku Utusan Iblis. Sekali lagi kutanya, kau
siapa"!"
"Aku tak tanya siapa kau! Jangan cari urusan!"
Utusan Iblis tengadahkan kepala. Lalu terdengar suara tawanya bergelak-gelak.
Tiba-tiba tawanya terputus laksana dicabik. Kepala menyentak lurus ke arah Seruni dengan
air mata berubah
garang. "Bicaramu sombong, Gadis Liar! Aku ingin
tahu apakah kau punya bekal hingga mulutmu berani bicara tinggi di hadapanku!"
Paras wajah Seruni berubah merah padam.
Matanya membelalak dengan tatapan gemetar menahan amarah.
"Urusan di depan masih banyak dan belum
terselesaikan. Sekarang muncul lagi penghalang
jalanan. Hem.... Kalau tak segera dibereskan, urusan tak akan segera tuntas,


Pendekar Mata Keranjang 25 Bidadari Penyebar Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malah akan jadi tak
karuan!" pikir Seruni. Setelah kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya, gadis
ini membentak. "Kau minggir atau mampus!"
"Aku akan minggir setelah merasakan tubuhmu!" sahut Utusan Iblis dengan senyum
sinis. "Mulut busuk!" maki Seruni keras. Bersamaan dengan itu dari kedua tangannya
menyambar dua rangkum angin dahsyat keluarkan suara
laksana gelombang.
Utusan Iblis menyeringai lalu perdengarkan
suara tawa mengekeh panjang meski pakaian dan
rambutnya mulai berkibar-kibar karena sapuan
angin pukulan Seruni telah satu tombak di hadapannya.
Lima jengkal lagi pukulan Seruni menggebrak tubuhnya, Utusan Iblis keluarkan
bentakan nyaring. Tubuhnya melesat ke udara. Di kejap lain
kedua tangannya mendorong ke arah Seruni.
Seruni sendiri yang seolah masih tak percaya karena lawan bisa mengelak jadi
terlengak. Dengan sigap gadis ini cepat menggeser tubuhnya
ke arah samping kanan. Di udara, Utusan iblis gerakkan kedua tangannya. Hantaman
angin deras yang melesat ke arah Seruni bergerak ke samping
mengikuti gerakan Seruni, membuat gadis ini berseru lalu hantamkan kedua
tangannya. Wuuuttt! Wuuuttt!
Bummm! Terdengar ledakan keras ketika dua pukulan itu bertemu. Seruni terseret sampai
dua tombak ke belakang. Paras jelitanya berubah pias. Beberapa lama tubuhnya
tampak berguncang.
Di udara, Utusan Iblis terpental. Namun
pemuda ini segera membuat gerakan jungkir balik
beberapa kali. Kejap kemudian, sosoknya tampak
melayang turun dan mendarat kembali dengan kaki kokoh terkembang. Seulas senyum
tersungging di bibirnya. "Kalau bicaramu tidak sombong, aku tak
akan menjatuhkan tangan kasar padamu! Tapi kini semuanya terlambat!"
Habis berkata begitu, Utusan Iblis melesat
ke depan. Kedua tangannya bergerak cepat membuat gerakan di udara laksana orang
menotok. Di kejap itu juga Seruni yang setengah tombak di hadapannya menjerit keras.
Sosoknya bergetar. Dan
sebelum gadis ini membuat gerakan tubuhnya
limbung. Kaki kiri kanannya menekuk dan sesaat
kemudian tubuhnya melorot jatuh!
Seruni tercekat bukan main. Dia coba kerahkan tenaga dalam, namun seluruh
persendian tubuhnya seolah lumpuh.
"Jahanam! Ilmu apa yang dimiliki keparat
ini"!" piker Seruni. Kuduknya merinding dengan
keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhnya. "Celaka! Tubuhku lemas, mataku
berkunangkunang...," Seruni masih coba bertahan agar tidak
sampai pingsan. Malah dengan sekuat tenaga dia
berteriak lantang.
"Pengecut! Jika memang jantan, kenapa kau
lakukan ini, hah"!"
Utusan Iblis tertawa panjang lalu melangkah perlahan mendekat dengan bibir
menyeringai dan mata berkilat-kilat merah.
"Pengecut jahanam! Kau mau apa"!" teriak
Seruni tatkala dilihatnya Utusan Iblis melangkah
terus. Paras wajah gadis ini makin pucat pasi. Ketakutan membayang jelas, malah
sesaat kemudian
matanya berkaca-kaca. Gadis ini membayangkan
apa yang akan terjadi pada dirinya. Sedangkan dirinya tak bisa membuat
perlawanan. Namun mengingat akan tugas di pundaknya, tiba-tiba semangat gadis
ini muncul kembali.
"Pemuda edan! Kalau ingin menghadapiku,
mari kita bertarung secara jantan!"
Utusan Iblis terus melangkah tanpa pedulikan caci-maki orang. Namun demikian,
wajahnya tampak semakin keras dan garang, membuat si
gadis geser tubuhnya menjauh.
Namun baru saja Seruni membuat gerakan,
satu telapak kaki telah menahan tubuhnya hingga
gadis ini tak bisa bergerak lebih jauh lagi.
"Bangsat licik! Apa maumu"!"
Utusan Iblis makin keraskan tekanan telapak kakinya pada paha kanan Seruni
membuat gadis ini mengaduh. Seruni coba angkat tangannya lalu dipukulkan pada kaki
Utusan Iblis. Tapi
pukulan itu seolah tidak punya kekuatan sama
sekali, membuat yang dipukul keluarkan tawa
bergelak-gelak.
"Gadis liar! Katakan siapa dirimu!"
Seruni angkat tubuh bagian atasnya dengan
bertumpu pada kedua siku tangannya. Sepasang
matanya menyengat tajam perhatikan sang pemuda. Tiba-tiba gadis ini meludah ke
samping, lalu berkata lantang.
"Kau tak perlu tahu siapa aku! Kalau mau
bunuh, lekas lakukan!"
Utusan Iblis menyeringai beringas. "Mulamula aku tidak menginginkan kematianmu.
Tapi mulutmu terlalu sombong, hingga niatku berubah!"
"Tapi caramu pengecut!"
Utusan Iblis condongkan tubuhnya ke depan. Tangan kanannya bergerak.
Plakkk! Satu tamparan mendarat di pipi kanan Seruni hingga kepalanya tersentak dan
tumpuan kedua sikunya terkulai, hingga tubuh bagian atas itu
terbanting ke tanah.
Seruni melengak kaget dan keluarkan seruan tertahan.
"Sekali lagi keluarkan suara memaki, kurobek mulutmu!" ancam Utusan Iblis.
Entah karena sakit hati atau sudah pasrah,
ancaman Si pemuda bukannya membuat si gadis
takut, malah dengan mata beringas marah ia ber-
seru. "Jahanam edan! Kau hanya berani pada
orang tak berdaya! Pengecut!"
Plak! Plakkk! Kemarahan Utusan Iblis sudah tak dapat
ditahan lagi, hingga untuk kedua kalinya tangannya bergerak pulang balik
menampar pipi kanan
kiri Seruni sampai mulut gadis ini mengeluarkan
darah. Seruni gigit bibirnya rapat-rapat agar erangannya tak keluar. Bersamaan dengan
itu kembali sepasang matanya nampak berkaca-kaca.
Utusan Iblis tengadahkan kepala. "Kuperingatkan sekali lagi. Jawab tanyaku atau
kulumat tubuhmu!" Keadaan yang terjepit membuat Seruni bulat tekadnya. Hingga dengan menahan sakit
dia berkata keras. "Jangan mimpi aku akan jawab tanyamu,
Pengecut Licik!"
Pelipis Utusan Iblis bergerak-gerak. Rahangnya mengeras dan terangkat
membengkak, pertanda amarahnya sudah sampai ambang batas.
Pemuda ini lantas angkat tangan kanannya.
Seruni menyeringai. Gadis ini tampaknya
sudah tak peduli lagi dengan kemarahan orang,
malah dengan memandang tajam dia kembali buka
mulut. "Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar
mampu membunuhku, Pengecut!"
Niat semula Utusan Iblis musnah sudah
oleh hawa kemarahan yang melanda dadanya. Pe-
muda ini kerahkan tenaga dalam pada tangan kanannya, lalu dengan seringai ganas
tangannya bergerak memukul ke arah Seruni. Kejap itu juga
gelombang angin dahsyat melesat menghantam ke
arah kepala si gadis.
Seruni yang sudah pasrah menghadapi kematian tak membuat gerakan sama sekali,
bahkan sepasang matanya yang bulat tajam terpentang lebar menatap tak berkedip!
Sesaat lagi pukulan yang dilepaskan Utusan
Iblis menghancurkan kepala Seruni, tiba-tiba tanpa terdengar adanya deruan
serangkum angin
dahsyat menghampar berputar-putar, lalu menggulung pukulan Utusan Iblis. Di lain
kejap pukulan angin melesat dengan membawa pukulan yang
dilepas si pemuda. Tak lama kemudian terdengar
dentuman keras!
Pada saat putaran angin datang, Utusan Iblis rasakan tubuhnya laksana disapu
gelombang dahsyat. Meski dia telah coba bertahan, namun
sapuan itu begitu dahsyatnya, hingga sebelum tubuhnya terpental, Utusan Iblis
telah meloncat ke
belakang dengan keluarkan dengusan keras.
"Bangsat rendah! Siapa berani ikut campur
urusan Utusan Iblis, hah"!" teriaknya dengan mata
liar ke sana kemari. Baru saja suara teriakannya
lenyap, terdengar suara orang tertawa. Utusan Iblis cepat berpaling ke samping
kanan dari arah
mana suara tawa terdengar. Pada saat bersamaan,
tiba-tiba dari arah samping kiri angin dahsyat
menghampar tanpa keluarkan suara. Namun pukulan ini sepertinya disengaja tidak
diarahkan pa- da si pemuda. Tapi pada tanah di sebelahnya.
Hingga saat itu juga terdengar suara seperti air
muncrat. Di kejap lain pemandangan menjadi pekat karena hamburan tanah yang
muncrat ke udara.
Utusan Iblis memaki habis-habisan sambil
melompat mundur dan cepat balikkan tubuh. Ketika itulah di balik kepekatan tanah
yang menutupi pemandangan, samar-samar Utusan Iblis menangkap sesosok bayangan
berkelebat laksana setan gentayangan. Sebelum Utusan Iblis menyiasati
siapa adanya si bayangan, bayangan itu telah
kembali berkelebat lalu lenyap. Sosok Seruni yang
tadi tergeletak tak berdaya juga tak tampak lagi!
Dapat menebak apa yang dilakukan si
bayangan, Utusan Iblis cepat melesat ke depan
menerobos kepekatan tanah, kedua tangannya
langsung dihantamkan ke arah berkelebatnya si
bayangan, namun pukulannya kalah cepat dengan
gerakan si bayangan, hingga pukulan itu hanya
menghajar angin.
Ketika suasana sirap, Utusan Iblis masih
coba arahkan pandangan ke sana kemari. Namun
dia tak menemukan siapa-siapa, membuat pemuda ini keluarkan makian tak karuan
dan bantingan sepasang kakinya.
"Keparat siapa yang menolongnya"!" desis si
pemuda dengan dada berdebar keras menahan
marah. "Gerakannya begitu cepat. Pukulannya tidak terdengar sama sekali....
Keparat betul! Hem.... Aku akan terus ke selatan, selain mengejar
pemuda bergelar Mata Malaikat kurasa ini juga ja-
lan menuju kawasan Sungai Siluman. Lembaran
Kulit Naga Pertala.... Aku harus dapat memilikinya. Karena tanpa kuduga, banyak
orang berkepandaian tinggi malang melintang. Kalau lembaran
kulit itu tak dapat kumiliki, akan sia-sia hidupku.
Aku tak mau jadi kacung rimba persilatan. Aku ingin menjadi Penguasa Tunggal!
Ya, orang tanpa
tanding. Ha.... Ha.... Ha...!" sambil terus tertawa
Utusan Iblis putar tubuhnya lalu berkelebat terus
ke arah selatan.
LIMA BAYANGAN kembang-kembang itu berkelebat cepat laksana bersitan sinar. Di pundak
kirinya tampak sesosok tubuh yang diam tak bergerak-gerak. Pada suatu tempat
yang banyak ditumbuhi semak-semak tak jauh dari kawasan pinggir
Sungai Siluman si bayangan kembang-kembang
memperlambat larinya. Pada saat bersamaan, sosok di pundak si bayangan kembang-
kembang membuat gerakan dengan membuka kelopak matanya yang sedari tadi terpejam rapat.
Ternyata dia adalah Seruni. Karena kepala Seruni ada di bagian punggung orang yang memanggulnya, gadis ini
tak bisa melihat siapa adanya orang yang telah menolong
dan melarikannya. Gadis ini sekali lagi memperhatikan. Ternyata orang yang
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 2 Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Istana Kumala Putih 15
^